Post on 20-Apr-2019
UJI ANGKA LEMPENG TOTAL RIMPANG BASAH, RIMPANG
KERING, DAN EKSTRAK ETANOLIK TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Maria Diyan Monica
NIM : 068114119
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
UJI ANGKA LEMPENG TOTAL RIMPANG BASAH, RIMPANG
KERING, DAN EKSTRAK ETANOLIK TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Yang diajukan oleh :
Maria Diyan Monica
NIM : 068114119
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing
Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt.
Tanggal :
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada
Yohanes Bambang Soenarko (PAPA) dan M.M. Siti Subaryati
(MAMA)
Sebagai bukti cinta dan baktiku
Kakakku Eben dan keluarga
Serta adikku Yuda Dan seseorang yang selalu ada : Garbo
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Maria Diyan Monica
Nomor Mahasiswa : 068114119
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas
Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Uji Angka Lempeng Total Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekttrak
Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam
bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 17 Februari 2010
Yang menyatakan
Maria Diyan Monica
PRAKATA
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya yang
begitu melimpah penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Uji Angka Lempeng Total Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak
Etanolik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat bagi penulis dalam
memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini tentu saja
tidak terlepas dari arahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak, yang tanpa
mereka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si., selaku dosen penguji atas bimbingan
dan perhatiannya.
3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt., selaku dosen penguji atas bimbingan dan
perhatiannya.
4. Segenap dosen yang telah memberikan bimbingan dan bantuan dalam bentuk
apapun kepada penulis.
5. Mas Agus dan seluruh karyawan Laboratorium Mikrobiologi Pusat Studi
Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada atas bantuan yang sangat berarti.
6. Mas Sarwanto, Mas Wagiran, dan Mas Sigit serta segenap karyawan Fakultas
Farmasi Sanata Dharma yang telah memberikan begitu banyak bantuan dan
kemudahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.
7. Orang tuaku tercinta, mama dan papa atas segala doa, dukungan, dan
pengorbanannya, serta seluruh keluarga terutama kakak dan adikku, dan
Garbo atas segala perhatian dan bantuannya.
8. Teman-teman angkatan 2006, terutama 2006 FST atas segenap kebersamaan
selama ini.
9. Teman-teman seperjuangan : Krismawulan, Dwi, Thomas, Joice, Melia,
Wulan, dan Eka, terimakasih untuk kebersamaan dalam suka dan duka.
10. Teman Kost “Putri Ayu”, terutama Nona, Wiwik, Rinda, Susi, yang banyak
memberi semangat dan senyuman.
11. Teman, rekan, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh
penulis, yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak.
Penulis menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan dari penulis,
sehingga skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini berguna bagi seluruh
pembaca, dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Yogyakarta
Penulis
INTISARI
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu
tanaman obat yang luas digunakan baik oleh masyarakat maupun industri obat
tradisional sebagai bahan baku obat tradisional. Rimpang temulawak
dimanfaatkan dalam berbagai bentuk hasil olahan seperti rimpang basah, rimpang
kering, dan ekstrak etanolik temulawak. Hasil olahan rimpang temulawak
tersebut melewati beberapa proses pengolahan seperti pencucian, pengeringan,
dan ekstraksi. Bahan baku obat tradisional harus memenuhi persyaratan keamanan
yang telah ditetapkan pemerintah, salah satunya adalah nilai Angka Lempeng
Total (ALT).
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental dengan
rancangan penelitian deskriptif komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk
memeriksa jumlah cemaran bakteri dari rimpang basah, rimpang kering, dan
ekstrak etanolik temulawak sehingga dapat ditentukan apakah nilai ALT tersebut
melebihi batas keamanan yang telah ditetapkan atau tidak. Persyaratan ALT
menurut SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
661/MENKES/SK/VII/1994 adalah 10 koloni/gram bahan untuk rajangan
rimpang basah, 10 koloni/gram bahan untuk serbuk dari rimpang kering (Anonim,
1994a), dan menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia adalah 10
koloni/ml ekstrak untuk ekstrak etanolik temulawak (Anonim, 2004).
Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif yang dianalisis dengan
perhitungan Angka Lempeng Total. Dari data kuantitatif 3 macam sampel dengan
3 kali replikasi yang dilakukan, diperoleh jumlah koloni untuk rimpang
temulawak sebesar 2,9x108±0,058x10
8 koloni/gram sampel; untuk rimpang kering
temulawak sebesar 1,4x107±0,058x10
7 koloni/gram sampel; dan untuk ekstrak
etanolik temulawak sebesar 1,0x103±0,16x10
3 koloni/ml sampel.
Dari data yang didapatkan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
olahan rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak pada
penelitian ini tidak memenuhi parameter keamanan nilai ALT yang telah
ditetapkan pada SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia
661/MENKES/SK/VII/1994 dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia.
Kata kunci: Angka Lempeng Total (ALT), rimpang, ekstrak etanolik,
Temulawak, proses pengolahan
ABSTRACT
Curcuma (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) is one of the plants have been
widely used by Indonesian people and traditional medicine industries as raw
material in process of making traditional medicine. Curcuma rhizome used in
various type such as rhizome, dried rhizome, or ethanolic extract. As raw material
for traditional medicine, those products of curcuma rhizome have to fullfill the
safety strandard, and one of those safety standard is Total Plate Count.
The research was considered a non-experimental research with descriptive
and comparative research design. The aim of this research was to count the Total
Plate Count of curcuma rhizome, dried curcuma rhizome, and ethanolic extract of
curcuma. The prerequirement of Total Plate Count according to the Indonesian
Departemen of Health number 661/MENKES/SK/VII/1994 was 10 colonies/gram
for rhizome, 10 colonies/gram for powder of dried rhizome (Anonym, 1994a), and
according to Monography of Indonesian Herbal Medicine Extract was 10
colonies/ml for ethanolic extract of curcuma (Anonym, 2004).
Data achieved was quantitative ones which were analyzed by applying the
computation of Total Plate Count. From quantitative data of 3 samples and 3
times replication which were implementated, it was found that amount colony of
curcuma rhizome = 2,9 108±0,058x10
8 colonies/gram of sample; amount colony
of dried curcuma rhizome = 1,4x107±0,058x10
7 colonies/gram of sample, amount
colony of ethanolic extracted curcuma = and 1,0x102±0,16x10
2 colonies/ml of
sample.
Based on the finding above,it can be concluded that curcuma rhizome,
dried curcuma rhizome, and ethanolic extract of curcuma in this research not
fullfill the Total Plate Count prerequirement of Indonesian Departemen of Health
number 661/MENKES/SK/VII/1994 and Monography of Indonesian Herbal
Medicine Extract.
Keywords: Total Plate Count (TPC), rhizome, ethanolic extract, Curcuma,
extraction stages.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis
ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Desember 2009
Penulis
Maria Diyan Monica
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. iv
PERNYATAAN PUBLIKASI ................................................................................... v
PRAKATA ............................................................................................................... vi
INTISARI ............................................................................................................... viii
ABSTRACT ............................................................................................................... ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1. Permasalahan............................................................................................ 4
2. Keaslian Karya ......................................................................................... 4
3. Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
B. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ....................................................................... 6
A. Rimpang Temulawak ..................................................................................... 6
1. Deskripsi Rimpang Temulawak ............................................................... 6
2. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak ................................................. 7
3. Manfaat Temulawak................................................................................. 7
B. Proses Pengolahan Rimpang .......................................................................... 8
1. Pencucian ................................................................................................. 8
2. Pengeringan ............................................................................................ 10
3. Ekstraksi ................................................................................................. 11
C. Obat Tradisional ........................................................................................... 13
D. Cemaran Bakteri........................................................................................... 14
E. Uji Angka Lempeng Total (ALT) ................................................................ 17
F. Landasan Teori ............................................................................................. 19
G. Hipotesis ....................................................................................................... 20
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................... 21
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .............................................. 21
C. Bahan Penelitian........................................................................................... 22
D. Alat Penelitian .............................................................................................. 23
E. Tata Cara Penelitian ..................................................................................... 23
1. Pengumpulan Rimpang Temulawak ...................................................... 23
2. Identifikasi Rimpang Temulawak .......................................................... 23
3. Pencucian dan Perajangan Rimpang Temulawak .................................. 23
4. Pengeringan Rimpang Temulawak ........................................................ 23
5. Penyerbukan Simplisia Temulawak ....................................................... 24
6. Pembuatan Ekstrak Etanolik Temulawak .............................................. 24
7. Pengujian ALT Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak
Etanolik Temulawak .............................................................................. 25
8. Perhitungan Koloni Bakteri.................................................................... 27
F. Analisis Data ................................................................................................ 29
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 30
A. Pengumpulan Bahan..................................................................................... 30
B. Identifikasi Rimpang Temulawak ................................................................ 30
C. Pengolahan Rimpang Temulawak ............................................................... 32
1. Pencucian ............................................................................................... 32
2. Perajangan .............................................................................................. 33
3. Pengeringan ............................................................................................ 33
4. Sortasi Kering ........................................................................................ 34
5. Pembuatan Serbuk .................................................................................. 34
6. Ekstraksi ................................................................................................. 35
D. Uji Angka Lempeng Total (ALT) ................................................................ 36
1. Penanganan Rimpang ............................................................................. 36
2. Homogenisasi Sampel ............................................................................ 36
3. Pengenceran Sampel .............................................................................. 37
4. Uji ALT Rimpang basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik
Temulawak ............................................................................................. 37
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 46
A. Kesimpulan .................................................................................................. 46
B. Saran ............................................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 47
LAMPIRAN ............................................................................................................ 50
BIOGRAFI PENULIS ............................................................................................ 62
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Perbandingan Kontrol Media PCA, Kontrol Pelarut PDF, dan
Perlakuan Sampel Setelah Inkubasi Selama 48 jam ........................... 39
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Rimpang Temulawak Setelah Inkubasi
Selama 48 Jam........................................................................................... 40
Tabel II. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Rimpang Kering Temulawak Setelah
Inkubasi Selama 48 Jam ............................................................................ 42
Tabel III. Hasil Uji ALT Untuk Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Setelah
Inkubasi Selama 48 Jam ............................................................................ 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji ALT Rimpang Basah Temulawak ....................................... 51
Lampiran 2. Hasil Uji ALT Serbuk Rimpang Kering Temulawak .......................... 53
Lampiran 3. Hasil Uji ALT Ekstrak Etanolik Temulawak ...................................... 55
Lampiran 4. Gambar Hasil Uji ALT Rimpang Basah Temulawak .......................... 57
Lampiran 5. Gambar Hasil Uji ALT Rimpang Kering Temulawak ........................ 58
Lampiran 6. Gambar Hasil Uji ALT Ekstrak Etanolik Temulawak ........................ 59
Lampiran 7. Perbandingan Hasil Pengamatan Organoleptis, Makroskopis, dan
Mikroskopis Temulawak Bahan Penelitian dengan Standar MMI
Jilid III ................................................................................................. 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman
yang penggunaannya sangat meluas di kalangan masyarakat Indonesia.
Pemanfaatan temulawak ini sangat bervariasi, mulai dari bumbu masak hingga
sebagai tanaman bahan obat. Pemanfaatan temulawak sebagai tanaman obat
didukung oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang telah
menetapkan sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara
klinis. Sembilan tanaman obat unggulan Indonesia tersebut di antaranya adalah
sambiloto, jambu biji, jati belanda, cabe jawa, temulawak, jahe merah, kunyit,
mengkudu dan salam (Plantus, 2008).
Pemanfaatan temulawak telah ada sejak dahulu sebagai bahan baku jamu
tradisional. Namun saat ini, pemanfaatan temulawak tidak hanya sebatas jamu
yang dibuat secara tradisional tetapi juga telah dimanfaatkan oleh Industri Obat
Tradisional (IOT). Telah dilakukan Pencanangan Gerakan Nasional Minum
Temulawak (GNMT) oleh Pemerintah RI di Keraton Yogyakarta pada tanggal 14
Juli 2005 (Anonim, 2005a). Semenjak adanya GNMT yang dicanangkan
pemerintah, tidak terasa pemanfaatan temulawak telah mendunia baik di dalam
maupun di luar negeri antara lain di Eropa, Amerika, dan Asia (Sidik, 2006).
Di Indonesia berbagai pabrik farmasi banyak memanfaatkan temulawak
sebagai penambah nafsu makan, pengobatan hepatitis, penurun kadar kolesterol
2
darah, mencegah stroke, mencegah penyakit jantung koroner, dan meningkatkan
daya tahan tubuh (Sidik, 2006). Manfaat temulawak yang berkhasiat obat
terutama dihasilkan dari kandungan kimia yang ada di dalam rimpang temulawak
di antaranya adalah kurkumin dan minyak atsiri. Kurkuminoid memiliki aktivitas
hepatotoksik, antiinflamasi, antiperoksidasi, dan splasmolitik, sedangkan minyak
atsiri memiliki aktivitas koleretik atau meningkatkan sekresi empedu (Soediro,
1997).
Temulawak mudah tumbuh dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Rimpang temulawak banyak digunakan sebagai rempah. Di samping itu, rimpang
temulawak secara turun menurun juga telah digunakan oleh masyarakat kita untuk
pemeliharaan kesehatan. Saat ini temulawak merupakan bahan obat alam yang
paling banyak digunakan oleh industri obat tradisional dalam negeri untuk
memproduksi obat tradisional (Anonim, 2005a).
Temulawak dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri obat tradisional
dalam berbagai bentuk hasil olahan di antaranya adalah rimpang basah
temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak. Berbagai
bentuk yang digunakan sebagai bahan baku obat tersebut merupakan hasil olahan
dari temulawak tersebut telah mengalami proses pengolahan tertentu. Teknik
pengolahan tanaman obat terdiri dari sortasi, pencucian, penjemuran/penirisan,
pengirisan/perajangan, dan pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai
produk/diversifikasi produk (Sembiring, 2008).
Produk yang berasal dari tanaman secara alami banyak mengandung
kontaminan, baik yang berasal dari tanah itu sendiri, air, serta udara. Tapi dengan
3
kaidah bahwa sediaan farmasi harus memiliki sifat-sifat aman, berkhasiat, dan
berkualitas tinggi maka diupayakan pula produk yang bahan bakunya memenuhi
tiga kriteria tersebut. Itu sebabnya upaya penanganan pengolahan yang efektif
diperlakukan sedemikian mungkin sehingga tingkat kontaminannya minim
(Soediro, 1997). Proses pengolahan rimpang merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas bahan baku obat.
Berbagai hasil olahan rimpang temulawak yang digunakan dalam
pembuatan obat tradisional harus memiliki kualitas yang baik agar mutu obat
tradisional yang dihasilkan juga baik. Kualitas yang baik dari bahan obat menjadi
faktor penentu akan kualitas, keamanan, dan khasiat dari obat tradisional yang
dihasilkan. Kualitas bahan baku obat tradisional salah satunya dilihat dari segi
keamanan. Terpenuhinya standar keamanan dapat menjamin bahwa sediaan obat
tidak toksis ketika dikonsumsi.
Keamanan bahan baku obat tradisional salah satunya dilihat dari nilai
Angka Lempeng Total (ALT). Nilai ALT bahan baku obat tradisional harus
memenuhi nilai tertentu sesuai standar pemerintah (Anonim, 2004). Menurut SK
Menteri Kesehatan Indonesia nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang
Persyaratan Obat Tradisional batas nilai ALT untuk obat bentuk rajangan adalah
10 koloni/gram bahan, untuk serbuk adalah 10 koloni/gram bahan (Anonim,
1994a), dan menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia batas ALT
untuk ekstrak etanolik temulawak adalah 10 koloni/ml ekstrak (Anonim, 2004).
Pengujian ALT dapat digunakan untuk menggambarkan cemaran bakteri
pada bahan baku obat tradisional. Keberadaan cemaran bakteri penting artinya
4
karena bakteri tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau dapat
memproduksi toksin (racun) yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia
(Taufik, 2004). Jumlah cemaran bakteri pada bahan baku obat tradisional perlu
diuji sebagai salah satu parameter keamanan obat tradisional yang
menggambarkan banyaknya cemaran karena bakteri, sehingga dapat ditentukan
apakah nilai ALT dari bahan baku obat tradisional tersebut memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan atau tidak.
1. Permasalahan
Dari latar belakang diatas muncul permasalahan sebagai berikut :
a. Berapakah nilai ALT pada rimpang basah temulawak, rimpang kering
temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak?
b. Apakah nilai ALT yang didapat pada rimpang basah temulawak, rimpang
kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak melebihi batas
keamanan yang telah ditetapkan pada SK Menteri Kesehatan Indonesia
nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional
dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia?
2. Keaslian Penelitian
Menurut sumber-sumber informasi yang diperoleh, penelitian ilmiah
tentang uji cemaran bakteri yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Pengujian cemaran bakteri dan cemaran kapang/khamir pada produk jamu
gendong di Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Pratiwi (2005).
b. Uji angka lempeng total dalam jamu gendong beras kencur yang beredar di
tiga pasar tradisional di Kotamadya Yogyakarta oleh Kusuma (2007).
5
Penelitian mengenai uji angka lempeng total rimpang basah, rimpang
kering, dan ekstrak etanolik temulawak belum pernah dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat teoritis : memberikan sumbangan informasi mengenai cemaran
bakteri pada temulawak sebagai bahan obat tradisional.
b. Manfaat praktis : memberikan keterangan keamanan tentang berbagai hasil
olahan rimpang temulawak yang digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional yaitu rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak,
dan ekstrak etanolik temulawak.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa cemaran bakteri dari
beberapa hasil pengolahan rimpang temulawak yang berupa rimpang basah
temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik temulawak yang
digambarkan dengan nilai ALT sehingga dapat ditentukan apakah nilai ALT
tersebut sudah memenuhi persyaratan nilai ALT pada SK Menteri Kesehatan
Indonesia nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat
Tradisional (Anonim, 1994a) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia
(Anonim, 2004).
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma xanhtorrhiza Roxb. Kadar
minyak atsiri tidak kurang dari 6% (Anonim, 1979).
1. Deskripsi Rimpang Temulawak
Pemeriksaan secara organoleptis menunjukkan bahwa rimpang
temulawak memiliki bau aromatik yang khas, rasa yang tajam dan pahit.
Untuk pemeriksaan secara makroskopis menunjukkan bahwa rimpang
temulawak merupakan keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras,
rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm, permukaan luar
berkerut, warna coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat
kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan
melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit,
tebal 3 mm sampai 4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga
sampai coklat jingga terang (Anonim, 1979).
Pemeriksaan secara mikroskopis menunjukkan bahwa rimpang
temulawak memiliki epidermis bergabus, terdapat sedikit rambut yang
berbentuk kerucut, bersel 1. Hipodermis agak menggabus, di bawahnya
terdapat periderm yang kurang berkembang. Korteks dan silinder pusat
parenkimatik, terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berisi butir pati; dalam
parenkim tersebar banyak sel minyak berisi minyak berwarna kuning dan zat
berwarna jingga, juga terdapat idioblas berisi hablur kalsium oksalat
7
berbentuk jarum kecil. Butir pati berbentuk pipih, bulat panjang sampai bulat
telur memanjang, panjang butir 20 µm – 70 µm, lebar 5 µm sampai 30 µm,
tebal 3 µm sampai 10 µm, lamela jelas, hilus di tepi. Berkas pembuluh tipe
kolateral, tersebar tidak beraturan pada parenkim korteks dan pada silinder
pusat; berkas pembuluh di sebelah dalam endodermis tersusun dalam
lingkaran dan letaknya lebih berdekatan satu dengan yang lainnya; pembuluh
didampingi oleh sel sekresi, panjang sampai 200 µm, berisi zat berbutir
berwarna coklat yang dengan besi (III) klorida lp menjadi lebih tua (Anonim,
1979).
Serbuk dari rimpang kering temulawak memiliki warna kuning
kecoklatan. Fragmen pengenal yang khas adalah butir pati, fragmen parenkim
dengan sel minyak, fragmen berkas pembuluh, warna kuning intensif
(Anonim, 1979).
2. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak
Daging buah (rimpang) temulawak mempunyai beberapa kandungan
senyawa kimia antara lain berupa fellandrean dan turmerol atau yang sering
disebut minyak menguap. Kandungan lain adalah minyak atsiri, kamfer,
glukosida, folumetik karbinol. Kandungan kimia yang ada dalam ekstrak
temulawak di antaranya adalah kurkumin, desmetoksi kurkumin, minyak atsiri
dengan komponen utama xantorizol dan oleoresin (Anonim, 2004).
3. Manfaat Temulawak
Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan sebagai bahan
obat adalah rimpang untuk dibuat jamu godog. Manfaat temulawak yang
8
berkhasiat obat terutama dihasilkan dari kandungan kimia yang ada di dalam
rimpang temulawak di antaranya adalah kurkumin dan minyak atsiri (Soediro,
1997). Rimpang ini dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal dan bekerja
sebagai anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah
meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti anemia, anti oksidan, dan
pencegah kanker (Anonim, 2005b). Kurkumin yang terdapat pada rimpang
tumbuhan ini bermanfaat sebagai anti jerawat, di samping sebagai anti
hepototoksik (anti keracunan empedu) (Anonim, 2005b).
B. Proses Pengolahan Rimpang
Teknik pengolahan sangat berpengaruh terhadap khasiat dari produk
tanaman yang diperoleh. Jika penanganan ataupun pengolahannya tidak benar
maka mutu produk yang dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat
menimbulkan toksik apabila dikonsumsi. Teknik pengolahan tanaman obat terdiri
dari sortasi, pencucian, penjemuran/penirisan, pengirisan/perajangan, dan
pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai produk/diversifikasi produk (Anonim,
2009b).
1. Pencucian
Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi
mikroba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera dilakukan
setelah panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian
menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau PAM.
Penggunaan air kotor menyebabkan jumlah mikroba pada bahan tidak akan
berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat pencucian perlu diperhatikan air
9
cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor maka pencucian atau
pembilasan perlu diulangi satu atau dua kali. Perlu diperhatikan bahwa
pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk
menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan
(Anonim, 2009b). Pencucian bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain :
a. Perendaman bertingkat
Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak
mengandung kotoran seperti daun, bunga, dan buah. Proses perendaman
dilakukan beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman
pertama air cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat
perendaman kotoran-kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat
dihilangkan langsung dengan tangan. Metode ini akan menghemat
penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang terkandung
dalam bahan.
b. Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya
banyak melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi dan lain-lain.
Proses penyemprotan dilakukan dengan menggunakan air yang bertekanan
tinggi. Untuk lebih meyakinkan kebersihan bahan, kotoran yang melekat
kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini
biasanya menggunakan air yang cukup banyak, namun dapat mengurangi
resiko hilang/larutnya kandungan dalam bahan.
10
c. Penyikatan (manual maupun otomatis)
Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan
yang keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini
memakai alat bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam-
macam, dalam hal ini perlu diperhatikan kebersihan dari sikat yang
digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap bahan secara perlahan dan
teratur agar tidak merusak bahan. Pembilasan dilakukan pada bahan yang
sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan bahan yang lebih
bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun
meningkatkan resiko kerusakan bahan, sehingga merangsang tumbuhnya
bakteri.
Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering.
Selesai pengeringan dilakukan kembali penyortiran apabila bahan langsung
digunakan dalam bentuk segar (Anonim, 2009b).
2. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak sehingga dapat disimpan lebih lama. Penurunan mutu atau kerusakan
simplisia dapat dihambat dengan pengurangan kadar air dengan tujuan untuk
penghentian reaksi enzimatik. Kandungan air dalam simplisia pada kadar
tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan bakteri lainnya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa reaksi enzimatik tidak berlangsung bila
kadar air kurang dari 10% (Anonim, 1994b).
11
Pengeringan yang tepat meliputi dua masalah utama yaitu pengaturan
suhu dan pengaliran udara yang teratur. Cara pengeringan yang paling
sederhana dilakukan adalah pengeringan di bawah sinar matahari. Kelebihan
dari metode pengeringan di bawah sinar matahari adalah biaya yang murah,
tetapi memiliki kekurangan yaitu suhu dan kelembaban yang tidak dapat
dikontrol, serta waktu yang relatif lebih lama. Waktu pengeringan tergantung
cuaca dan intensitas penyinaran, serta mudah terkontaminasi oleh bakteri dari
luar, serta pengaruh sinar ultraviolet yang dapat merusak kandungan kimia
dari simplisia. Cara pengeringan yang lain adalah dengan pengering mekanis
(oven) yang menggunakan tambahan panas. Pengeringan dengan panas buatan
ini memberikan beberapa keuntungan yaitu : tidak tergantung cuaca, tidak
memerlukan tempat yang luas, kondisi pengeringan dapat dikontrol sehingga
pengeringan dapat rata pada tiap bagian dari simplisia. Pengeringan dengan
alat pengering mekanis akan mendapatkan hasil yang lebih baik bila kondisi
pengeringan ditentukan dengan tepat dan selama pengeringan dikontrol
dengan baik (Anonim, 1994b). Suhu pengeringan yang ideal adalah 50 – 600C
dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah bahan simplisia yang
mengandung kadar air 5-10% (Anonim, 2006).
3. Ekstraksi
Penyarian (ekstraksi) adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut
dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pemilihan cairan penyari
dan cara penyarian didasarkan pada zat aktif yang terkandung pada bahan
tersebut (Anonim, 1986).
12
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana (Voigt,
1994). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat
aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Maserasi dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka
larutan yang terpekat didesak keluar (Anonim, 1986). Ekstraksi pelarut adalah
metode yang efektif untuk mengekstrak kurkuminoid (Jayaprakasha dkk,
2005).
Larutan penyari berfungsi untuk menarik senyawa aktif dari bahan
alam. Beberapa jenis larutan penyari yang biasa digunakan dalam ekstraksi
adalah etanol, air, eter, dan kloroform. Alkohol bagaimanapun juga adalah
pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Alkohol dapat
digunakan dalam ekstraksi senyawa-senyawa yang sedikit polar (Harbourne,
1987).
Kurkumin merupakan senyawa aktif dari Curcuma xanthorrhiza Roxb.
yang termasuk ke dalam golongon senyawa polifenol (Huda, 2006). Cara
terbaik untuk memisahkan senyawa fenol adalah dengan pemekatan ekstrak
tumbuhan dalam etanol-air (Harborne, 1987). Kurkumin tidak larut dalam air
tetapi larut dalam etanol atau dimetilsulfoksida (DMSO). Di antara banyak
pelarut organik, pelarut etanol adalah salah satu pelarut yang cocok untuk
memisahkan kurkuminoid yang optimal (Photitirat dkk, 2004).
13
Dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004)
tertera bahwa ekstraksi temulawak dapat dilakukan dengan menggunakan
larutan penyari etanol 70%. Etanol dapat memiliki aksi sebagai desinfektan
dengan mekanisme denaturasi protein pada konsentrasi 70-90% (Fardiaz,
1992).
Ekstrak kental temulawak adalah ekstrak yang dibuat dari rimpang
tumbuhan Curcuma xanthorrhiza Roxb., suku Zingiberaceae, mengandung
minyak atsiri tidak kurang dari 4,6% dan kurkuminoid tidak kurang dari
14,2%. Ektrak temulawak berwarna kuning kecoklatan, dengan bau khas dan
rasa yang pahit (Anonim, 2004).
C. Obat Tradisional
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1992 tentang
kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Anonim, 1994a).
Tidak seperti produk farmasi konvensional, yang biasanya dapat dibuat
dari bahan sintesis dengan teknik dan prosedur pembuatan yang dapat diproduksi
ulang, produk obat herbal dibuat dari bahan asal tumbuhan yang dapat
terkontaminasi dan terurai, serta memiliki komposisi dan sifat yang bervariasi.
Selain itu, dalam pembuatan dan pengawasan mutu produk herbal, prosedur dan
teknik yang sering digunakan memiliki perbedaan mendasar dari yang digunakan
pada produk konvensional. Pengawasan bahan awal, penyimpanan, dan
14
pengolahan dianggap sangat penting karena sifat banyak produk obat herbal yang
sering kompleks dan variabel serta jumlah dan kuantitas kecil dari penetapan
bahan aktif yang terdapat di dalamnya (Anonim, 2007).
Dalam sistem pengobatan formal Indonesia, terdapat perbedaan peran
yang sangat jelas antara penggunaan obat modern (kimia) dengan obat
tradisional. Utamanya adalah pada obat obat modern sudah memenuhi tiga
paradigma, yaitu Mutu, Aman, dan Manfaat (Quality, Safety, Efficacy (QSE))
(Anonim, 2008).
Sebagai upaya meningkatkan status obat tradisional menjadi sediaan
fitofarmaka maka sediaan tersebut harus dibuat dalam bentuk ekstrak atau fraksi
yang terstandar, serta memenuhi beberapa persyaratan antara lain : (1) jaminan
quality (kualitas), di mana bahan simplisia dan produk akhir harus memenuhi
persyaratan tentang keajegan dari kandungan aktif (senyawa marker), (2) jaminan
safety (keamanan), di mana produk akhir harus aman atau tidak toksik pada hewan
coba yang dipersyaratkan dan (3) jaminan efficacy (manfaat), di mana produk
akhir harus menunjukkan aktivitas biologis pada uji praklinik dengan hewan coba,
dan menunjukkan aktivitas biologis pada uji klinik dengan manusia (Anonim,
2008).
D. Cemaran Bakteri
Bakteri adalah nama sekelompok mikroorganisme yang termasuk
prokaryota yang bersel satu, berkembang biak dengan membelah diri dan bahan-
bahan genetiknya tidak terbungkus dalam membran inti. Pada umumnya bakteri
tidak mempunyai klorofil, kecuali beberapa spesies tertentu yang mempunyai
15
pigmen fotosintesis. Oleh karena itu ada bakteria yang bersifat heterotrof dan ada
juga bakteri yang bersifat autotrof. Bakteria heterotrof dapat dibedakan menjadi
bakteria yang hidup sebagai parasit dan saprofit, sedang bakteri heterotrof dapat
dibedakan berdasarkan atas sumber energi yang digunakan untuk mensintesis
makanannya menjadi fotoautotrof dan kemoautotrof. Bakteri dapat hidup di mana
saja, ada yang dapat merugikan kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan
(Pelczar, 1986).
Di setiap tempat seperti dalam tanah, udara maupun air selalu dijumpai
mikroba. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air
ataupun udara. Umumnya bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi
dalam tanah sehingga cocok untuk pertumbuhan mikroba heterotrof maupun
autotrof (Sumarsih, 2008).
Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia
dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu,
lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk
struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas
dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur
tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut,
dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan
yang diperlukan (Sumarsih, 2008).
Tanaman dapat tercemar oleh bakteri patogen dari air irigasi yang
tercemar limbah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk.
Cemaran akan semakin tinggi pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau
16
dekat dengan tanah. Beberapa bakteri patogen yang dapat mencemari tanaman
melalui tanah adalah Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes
(Djaafar dkk, 2007).
Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan mikroba.
Interaksi antara bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan nutrien
bagi keduanya. Permukaan akar tanaman disebut rhizoplane. Sedangkan rhizosfer
adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tanaman yang masih
dipengaruhi oleh aktivitas akar. Tebal tipisnya lapisan rhizosfer antar setiap
tanaman berbeda. Rhizosfer merupakan habitat yang sangat baik bagi
pertumbuhan mikroba oleh karena akar tanaman menyediakan berbagai bahan
organik yang umumnya menstimulir pertumbuhan mikroba (Sumarsih, 2008).
Mikroba terutama bakteri yang bersifat patogen dapat ditemukan di mana
saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk
pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Tanaman membawa berbagai jenis
mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman, baik yang berasal dari
lingkungan maupun yang masuk selama pemanenan, distribusi, penanganan pasca
panen, pengolahan, serta penyimpanan produk. Pertumbuhan mikroba terjadi
dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi,
pH, suhu, dan kadar air dalam bahan (Djaafar dkk, 2007).
Berdasarkan kisaran suhu pertumbuhannya, bakteri dapat digolongkan
menjadi bakteri psikrofil (tumbuh pada suhu 0-30oC), mesofil (tumbuh pada suhu
20-55oC), dan termofil (tumbuh pada suhu 55-75
oC). Bakteri memerlukan
kandungan air bebas tertentu untuk hidupnya, biasanya diukur dengan parameter
17
aw (water activity) atau kelembaban relatif. Bakteri umumnya memerlukan aw
0,90-0,999. Sebagian besar bakteri umumnya menyukai pH netral untuk tumbuh,
berkisar antara pH 7-8, meskipun ada beberapa bakteri yang tumbuh pada suasana
asam dan basa (Anonim, 2009a).
E. Uji Angka Lempeng Total (ALT)
Tujuan utama dari dilakukannya uji ALT adalah untuk memberikan
jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung bakteri patogen dan tidak
mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan. Uji ALT
berprinsip pada adanya pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah cuplikan
diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada
suhu yang sesuai (Anonim, 2000).
Analisa kuantitatif mikroba-mikroba tidak dapat dihitung secara tepat
dengan pemeriksaan mikroskopik, kecuali bila sekurang-kurangnya ada 100 juta
(108) sel untuk tiap ml. Sejumlah tertentu bahan yang akan diperiksa diencerkan
secara berturut-turut, kemudian 1 ml dari tiap larutan tersebut ditanamkan pada
lempeng agar-agar nutrien dan koloni-koloni yang kemudian tumbuh dihitung.
Karena hanya sel-sel yang hanya sanggup membentuk koloni saja yang dihitung,
maka metode ini dikenal pula sebagai penghitungan sel hidup.
Plate Count Agar (PCA) digunakan untuk perhitungan jumlah bakteri
dalam susu, juga digunakan untuk penghitungan jumlah bakteri dalam air,
makanan, produk susu serta spesimen lain. PCA berisi digesti pankreatik kasein,
ekstrak ragi dan glukosa yang penting untuk pertumbuhan dari bakteri yang
ditumbuhkan (Atlas, 1997).
18
Uji ALT merupakan penghitungan jumlah bakteri yang hidup (viable cell
count). Cara ini hanya menggambarkan jumlah sel yang hidup, sehingga
dikatakan lebih tepat bila dibandingkan dengan cara total cell count. Pada metode
ini diasumsikan bahwa setiap sel mikroba hidup dalam suspensi akan tumbuh
menjadi 1 koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang
sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung, dan
merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah mikroba dalam suspensi tertentu
(Hadioetomo, 1985).
Pada perhitungan ALT sebaiknya hanya lempeng agar yang mengandung
30-300 koloni saja yang digunakan dalam perhitungan. Lempeng agar dengan
koloni >300 sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan penghitungan
sangat besar. Pengenceran sampel akan membantu untuk memperoleh
penghitungan jumlah yang benar, namun pengenceran yang terlalu tinggi akan
menghasilkan lempeng agar dengan jumlah koloni yang rendah (<30 koloni).
Lempeng demikian tidak absah secara statistik untuk digunakan dalam
perhitungan (Lay, 1994). Nilai ALT didapatkan dari rata-rata jumlah koloni pada
tiap cawan dikalikan dengan faktor pengencerannya (Anonim, 2000).
Bahan baku obat tradisional tidak boleh mengandung jumlah cemaran
bakteri melebihi batas karena berpengaruh pada stabilitas bahan dan berbahaya
(toksik) bagi kesehatan (Anonim, 2000). Menurut Surat Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994 batas nilai ALT untuk bahan
rajangan dan serbuk kering adalah sebesar 10 koloni/gram bahan (Anonim,
1994a), sedangkan menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat batas maksimal
19
nilai ALT untuk ekstrak etanolik temulawak adalah sebesar 10 koloni/ml
(Anonim, 2004).
F. Landasan Teori
Temulawak merupakan salah satu tanaman obat unggulan Indonesia dan
merupakan tanaman obat yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku
pembuatan obat tradisional dalam Industri Obat Tradisional. Pada proses
pencucian, pengeringan, dan ekstraksi menggunakan etanol 70% dari rimpang
temulawak, didapatkan hasil yang berupa : rimpang basah, rimpang kering, dan
ekstrak etanolik temulawak. Ketiga hasil tersebut memiliki tingkatan tahapan
pengolahan yang berbeda. Proses pengolahan merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan kualitas olahan rimpang basah, rimpeng kering, maupun ekstrak
etanolik yang dihasilkan, termasuk dari segi keamanannya.
Tahapan pencucian merupakan tahapan di mana pengotor dihilangkan dari
rimpang segar menggunakan air mengalir. Dengan dihilangkannya pengotor-
pengotor ini diharapkan dapat mengurangi jumlah cemaran mikroba pada rimpang
sebagai bahan baku obat tradisional. Sedangkan pada tahapan selanjutnya,
rimpang dirajang, dikeringkan, dan diserbuk. Pada tahapan ini terjadi
penyimpanan rimpang selama pengeringan, namun juga terjadi proses
pengurangan kandungan air dalam bahan, sehingga dimungkinkan akan
menambah ataupun mengurangi jumlah cemaran mikroba dari lingkungan.
Sedangkan pada tahap ekstraksi, serbuk temulawak diekstrak menggunakan
penyari etanol 70% dengan perbandingan serbuk:pelarut = 1:10. Etanol pada
20
konsentrasi 70% sampai 90% dapat berfungsi sebagai desinfektan yang dapat
mengurangi jumlah bakteri yang terdapat pada suatu bahan.
ALT merupakan metode penghitungan jumlah cemaran oleh mikroba, dan
merupakan metode penghitungan cemaran yang paling sensitif, di mana dapat
digunakan untuk menghitung jumlah mikroba yang masih hidup dan dapat
menghitung beberapa jenis mikroba sekaligus.
Pemerintah telah menetapkan parameter nilai ALT untuk obat tradisional
melalui SK Menteri Kesehatan nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 dan
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Untuk bahan bentuk rajangan
batas nilai ALT maksimum adalah 10 koloni/gram bahan, untuk serbuk adalah
sebesar 10 koloni/gram bahan, dan untuk ekstrak etanolik temulawak adalah
sebesar 10 koloni/ml bahan.
G. Hipotesis
Proses pengolahan rimpang temulawak yaitu pencucian, pengeringan, dan
ekstraksi mampu mengurangi cemaran bakteri pada bahan sehingga nilai ALT
pada hasil olahan rimpang temulawak berupa rimpang basah, rimpang kering, dan
ekstrak etanolik dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada SK Menteri
Kesehatan nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 (Anonim, 1994a) dan Monografi
Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004).
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental karena tidak
ada perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian ini adalah penelitian
deskriptif-komparatif di mana hasil penelitian menggambarkan jumlah cemaran
bakteri pada rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik temulawak dan
kemudian dibandingkan dengan batas ketentuan nilai ALT yang telah ditetapkan
pada SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia 661/MENKES/SK/VII/1994
(Anonim, 1994a) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim,
2004).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : tahapan pengolahan rimpang temulawak yaitu pencucian
rimpang, pengeringan rimpang, dan ekstraksi menggunakan etanol 70%.
b. Variabel tergantung : nilai ALT pada hasil olahan rimpang temulawak
yang berupa rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik
temulawak.
c. Variabel pengacau terkendali : waktu inkubasi, suhu inkubasi, media yang
digunakan, asal rimpang, umur rimpang, larutan penyari.
d. Variabel pengacau tidak terkendali : penyebaran sel bakteri dalam suspensi
sampel dan lama penyimpanan sampel.
22
2. Definisi Operasional
a. Rimpang basah temulawak adalah rimpang temulawak yang dihasilkan
dari rimpang temulawak yang diambil di Pasar Beringharjo yang dipanen
pada umur 7-12 bulan, selama bulan Desember 2009, telah dicuci bersih,
ditiriskan, dan dihancurkan menggunakan blender.
b. Rimpang kering temulawak adalah rimpang basah temulawak yang telah
dicuci bersih, ditiriskan, dirajang setebal 4-5 mm, dikeringkan dengan
menggunakan oven selama tiga hari berturut-turut pada suhu 50 – 60 oC.
c. Ekstrak etanolik temulawak adalak ekstrak yang dihasilkan dari penyarian
serbuk temulawak menggunakan pelarut etanol 70% dengan metode
maserasi selama 24 jam, dan kemudian dipekatkan menggunakan
penangas air.
d. ALT adalah jumlah koloni bakteri dalam tiap 1 gram atau 1 ml sampel
rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak, atau ekstrak
etanolik temulawak. Nilai ALT dalam penelitian ini didapatkan dari hasil
perhitungan rata-rata jumlah koloni tiap cawan dikalikan dengan faktor
pengencerannya.
C. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan 3 macam bahan utama yang diteliti yaitu :
rimpang basah temulawak, rimpang kering temulawak, dan ekstrak etanolik
temulawak. Bahan rimpang temulawak didapatkan dari pedagang pengumpul di
Pasar Beringharjo Yogyakarta. Rimpang dipanen pada umur 7-12 bulan selama
bulan Desember 2009. Rimpang dipasok dari petani di daerah Cilacap.
23
Bahan-bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Plate Count
Agar (PCA), pereaksi Peptone Dilution Fluid (PDF), aquadest, dan etanol 70%.
D. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas
(Pyrex), penangas air, oven (Memmert), hot plate (Heidolph MR 2002), timbangan
analitik (Precition Balance Model AB-204, Mettler Toledo), autoclav, inkubator,
cawan petri, hot plate, alat hitung koloni, bunsen, dan Laminar Air Flow (LAF).
E. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan Rimpang Temulawak
Rimpang temulawak diambil dari pedagang pengumpul di Pasar
Beringharjo Yogyakarta. Rimpang diambil selama bulan Desember 2009,
sebanyak 3 kilogram untuk diolah ke tahap selanjutnya. Rimpang temulawak
yang dipilih adalah rimpang yang tua, berumur 7-12 bulan, yang masih dalam
keadaan segar, tidak busuk, tidak cacat, dan tidak rusak (Anonim, 2006).
2. Identifikasi Rimpang Temulawak
Identifikasi rimpang dilakukan dengan memeriksa irisan rimpang
secara organolepstis, makroskopis dan mikroskopis, kemudian mencocokan
hasilnya dengan acuan standar yaitu Materia Medika Indonesia Jilid III
(Anonim, 1979).
3. Pencucian dan Perajangan Rimpang Temulawak
Rimpang temulawak dicuci dengan air mengalir dan dibersihkan dari
debu, tanah, dan kotoran lain yang melekat dengan disikat perlahan,
kemudian diangin-anginkan di udara terbuka untuk menghilangkan tetes-tetes
24
air pencucian. Setelah penirisan cukup, kemudian rimpang dirajang kira-kira
setebal 4 mm sampai 5 mm (Anonim, 2006). Perajangan dilakukan dengan
menggunakan alat pemotong empon-empon manual berbahan stainless steel.
4. Pengeringan Rimpang Temulawak
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pemanas mekanis
(oven). Rimpang yang dihasilkan pada tahap perajangan kemudian
dimasukkan ke dalam oven blower. Suhu pengeringan diatur pada 50 – 60
oC.
Rimpang dibiarkan berada dalam oven selama tiga hari berturut-turut. Setelah
genap tiga hari, rimpang kering ditempatkan pada kantung tertutup rapat
untuk selanjutnya diolah menjadi serbuk. Rimpang dapat dikatakan sudah
kering apabila mudah dipatahkan dengan tangan (Anonim, 2006). Rimpang
temulawak yang telah dikeringkan segera diserbuk dengan menggunakan
blender. Kemudian serbuk diayak dengan menggunakan ayakan no.8/14.
5. Pembuatan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak
Serbuk temulawak diekstrak dengan menggunakan metode maserasi.
Sebanyak satu bagian serbuk kering rimpang temulawak dimasukkan ke
dalam maserator, kemudian ditambahkan 10 bagian etanol 70 %, direndam
selama 6 jam sambil diaduk berkali-kali menggunakan shaker, dan
didiamkan sampai 24 jam. Selanjutnya maserat dipisahkan dan proses
tersebut diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Seluruh
maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penangas air hingga diperoleh
ekstrak pekat.
25
6. Pengujian ALT Rimpang Basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik
Temulawak
a. Penyiapan dan homogenisasi sampel
1) Rimpang basah temulawak : segera setelah didapatkan rimpang basah
temulawak yang telah dicuci bersih dan ditiriskan, maka rimpang basah
temulawak ditumbuk kasar secukupnya dalam kondisi steril dan
ditimbang sebanyak 1 gram. Dalam kondisi steril, 1 gram rimpang
basah yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam wadah
yang telah berisi 9 ml Peptone Dilution Fluid (PDF) dan selanjutnya
dihomogenkan menggunakan vortex.
2) Rimpang kering temulawak : segera setelah didapatkan serbuk dari
rimpang kering temulawak, kemudian ditimbang serbuk kering
temulawak sebanyak 1 gram dalam kondisi steril. Selanjutnya serbuk
yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi 9
ml PDF dan selanjutnya dihomogenkan menggunakan vortex.
3) Ekstrak etanolik temulawak : segera setelah didapatkan ekstrak etanolik
temulawak kemudian dipipet ekstrak sebanyak 1 ml dalam kondisi
steril. Selanjutnya ekstrak tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang
telah berisi 9 ml PDF dan selanjutnya dihomogenkan menggunakan
vortex.
b. Pembuatan media
Sebanyak 22,5 gram Plate Count Agar (PCA) dilarutkan dalam 1
liter aquadest, dipanaskan sambil diaduk, didinginkan hingga suhu 45oC
26
sampai 60oC, kemudian dituangkan dalam wadah yang lebih kecil. Media
tersebut selanjutnya disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama
15 menit.
c. Pembuatan Peptone Dilution Fluid (PDF) sebagai pengencer
Sebanyak 1 gram peptone dilarutkan dalam 1 liter air suling dan diukur
pH 7,0±2, diisikan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9 ml, dan disterilkan
dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
d. Pengenceran sampel
Dari masing-masing jenis sampel yang didapatkan pada tahap
penyiapan dan homogenisasi sampel (konsentrasi 10-1
), dalam kondisi
steril dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam tabung reaksi bertutup
yang telah berisi 9 ml PDF steril dan dikocok homogen menggunakan
vortex sehingga didapatkan pengenceran dengan konsentrasi 10-2
.
Demikian seterusnya hingga didapatkan sampel dengan konsentrasi 10-6
atau sesuai dengan yang diperlukan.
e. Uji Angka Lempeng Total (Anonim, 2000)
Dari setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri dan
dibuat duplo. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15-20 ml media PCA
(45±1 0C). Segera cawan petri digoyang dan diputar sedemikian rupa
hingga suspensi tersebar merata. Untuk mengetahui sterilitas media dan
pengencer dibuat uji kontrol (blangko). Pada satu cawan hanya diisi 1 ml
pengencer dan media agar dan pada cawan yang lain hanya diisi media
agar. Setelah media memadat cawan petri diinkubasi pada suhu 35-370 C
27
selama 24-48 jam dengan posisi terbalik. Dilakukan tiga kali replikasi
dengan perlakuan duplo untuk masing-masing replikasi. Jumlah koloni
yang tumbuh diamati dan dihitung.
7. Cara Penghitungan ALT (Anonim, 2000)
Dipilih cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah
koloni antara 30-300. Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu
dikalikan faktor pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai Angka Lempeng
Total dalam tiap gram contoh. Bila ditemui jumlah koloni kurang dari 30 atau
lebih dari 300, maka diikuti petunjuk sebagai berikut :
1. Bila salah satu dari cawan petri menunjukkan jumlah koloni 30 atau lebih
dari 300 koloni, dihitung jumlah rata-rata koloni, kemudian dikalikan
dengan faktor pengencerannya. Hasil kali dinyatakan sebagai Angka
Lempeng Total dalam tiap ml/gram contoh
2. Bila terdapat cawan dari dua tingkat pengenceran yang berurutan
menunjukkan jumlah koloni antara 30-300, maka dihitung jumlah koloni
dari masing-masing pengenceran dan dikalikan faktor pengencerannya
kemudian diambil rata-ratanya. Jika hasil perhitungan pada tingkat yang
lebih tinggi didapati jumlah koloni rata-rata lebih besar 2 kali jumlah
koloni yang seharusnya, maka dipilih dari tingkat pengenceran yang
terendah.
3. Bila dari seluruh cawan petri tidak satupun yang menunjukkan jumlah
antara 30-300 koloni, maka dicatat angka sebenarnya dari tingkat
28
pengenceran terendah dan dihitung sebagai Angka Lempeng Total
perkiraan.
4. Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan
karena faktor inhibitor, maka Angka Lempeng Total dilaporkan sebagai
kurang dari satu dikalikan faktor pengenceran terendah.
5. Bila jumlah koloni per cawan kurang dari 3000, maka cawan dengan
tingkat pengenceran tertinggi dibagi dalam beberapa sektor (2, 4, atau 8).
Jumlah koloni dikalikan dengan faktor pembagi dan faktor
pengencerannya, hasil dilaporkan sebagai Angka Lempeng Total
Perkiraan.
6. Bila jumlah koloni lebih dari 200 pada 1/8 bagian cawan, maka jumlah
koloni adalah 200 x 8 x faktor pengenceran. Angka Lempeng Total
Perkiraan dihitung sebagai lebih besar dari jumlah koloni yang diperoleh.
7. Jika dijumpai koloni spreader meliputi seperempat sampai setengah bagian
cawan, maka dihitung koloni yang tumbuh diluar daerah sprader. Jika 75%
dari seluruh cawan mempunyai koloni spreader dengan keadaan seperti
diatas, maka dicatat sebagai “Spr”. Untuk keadaan ini harus dicari
penyebabnya dan diperbaiki cara kerjanya, pengujian diulang.
8. Penghitungan dan pencatatan hasil Angka Lempeng total hanya dituliskan
dalam dua angka penting. Angka berikutnya dibulatkan ke bawah bila
kurang dari 5 dan dibulatkan ke atas apabila lebih dari 5.
29
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah jumlah koloni bakteri untuk
tiap ml atau gram bahan sampel dari masing-masing hasil pengolahan rimpang
(rimpang basah, rimpang kering, dan ekstrak etanolik). Dari nilai rata-rata tiga
data perhitungan tersebut kemudian dilakukan pembandingan nilai ALT dengan
batas keamanan nilai ALT yang telah ditentukan menurut Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 661/MENKES/SK/VII/1994
(Anonim, 1994a) dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim,
2004).
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan
Rimpang temulawak didapatkan dari salah satu pedagang pengumpul yang
ada di Pasar Beringharjo Yogyakarta, yang berasal dari petani di daerah Cilacap.
Rimpang tersebut dipanen selama bulan Desember 2009 pada saat berumur 7-12
bulan. Dari tahap pengumpulan bahan didapatkan rimpang yang masih dalam
kondisi segar, namun masih terdapat beberapa rimpang yang busuk dan cacat,
serta masih terdapat pengotor berupa tanah dan pasir yang cukup banyak.
Dari rimpang yang terkumpul kemudian dilakukan sortasi basah sebagai
tahapan awal untuk memisahkan rimpang temulawak dari rimpang yang busuk
dan cacat, serta bahan-bahan lain yang mungkin masih terikut seperti kerikil, akar,
serangga, atau pengotor lainnya. Sortasi basah perlu dilakukan untuk mengurangi
benda asing yang ikut dalam proses pengolahan selanjutnya (Anonim, 2006).
Bahan lain tidak boleh terikut karena yang akan diteliti adalah jumlah cemaran
bakteri dari rimpang temulawak. Dari tahap sortasi basah didapatkan rimpang
temulawak yang sudah terpisah dari bahan selain rimpang, tetapi masih terdapat
tanah dan pengotor yang menempel pada rimpang temulawak.
B. Identifikasi Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Identifikasi dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak dari spesies Curcuma
xanthorrhiza Roxb. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan ciri-ciri
31
organoleptis, makroskopis, dan mikroskopis dari rimpang yang terkumpul dengan
ciri-ciri rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. yang ada pada Materia Medika
Jilid III (Anonim, 1979).
Dari hasil pengamatan organoleptis didapatkan bahwa rimpang temulawak
yang terkumpul memiliki bau khas aromatis temulawak, dengan rasa agak pahit,
pedas, dan kelat di lidah. Rimpang temulawak berwarna kuning orange tua dan
berbentuk pipih bulat. Ciri-ciri organoleptis ini sesuai dengan yang tertera pada
Materia Medika Indonesia Jilid III (Anonim, 1979).
Dari pengamatan secara makroskopik diketahui bahwa rimpang
temulawak yang terkumpul berbentuk kepingan bulat agak lonjong, ringan, keras
tapi rapuh, dengan pinggir berkerut, dan berdiameter antara 4-6 cm dengan tebal
antara 1-3 cm. Hasil pengamatan secara makroskopis ini menunjukkan ciri-ciri
makroskopis yang sesuai dengan ciri-ciri makroskopis Curcuma xanthorrhiza
Roxb. yang tertera pada Materia Medika Indonesia Jilid III (Anonim, 1979).
Dari pengamatan secara mikroskopis pada rimpang temulawak yang
terkumpul, didapatkan adanya beberapa bagian sel pada rimpang seperti parenkim
silinder pusat, endodermis, butir minyak, berkas pembuluh kolateral, butir pati,
hipodermis, epidermis, parenkim korteks. Bagian yang merupakan ciri khas dari
rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. adalah adanya butir pati dan butir minyak.
Hasil pengamatan ciri-ciri mikroskopis ini sesuai dengan ciri-ciri mikroskopis
Curcuma xanthorrhiza Roxb. yang tertera pada Materia Medika Indonesia Jilid III
(Anonim, 1979). Pengamatan secara organoleptis, makroskopis, dan makroskopis
yang menunjukkan kesesuaian dengan literatur acuan tersebut dapat menjamin
32
bahwa bahan rimpang yang digunakan dapat penelitian adalah benar rimpang dari
spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Perbandingan hasil pengamatan secara
organoleptis, makroskopis, dan mikroskopis rimpang temulawak yang digunakan
sebagai bahan penelitian dengan ciri-ciri temulawak pada standar acuan MMI Jilid
III disajikan pada lampiran 7.
C. Pengolahan Rimpang Temulawak
1. Pencucian
Tahap pencucian dilakukan dengan mencuci rimpang di bawah air
mengalir sambil disikat perlahan. Tahap ini perlu dilakukan untuk menghilangkan
tanah dan pengotor lain yang masih melekat pada rimpang temulawak (Sembiring,
2008). Setelah semua rimpang selesai dicuci bersih, kemudian rimpang ditiriskan
selama beberapa saat untuk menghilangkan tetesan-tetesan air sisa hasil pencucian
(Anonim, 2006). Penirisan ini perlu dilakukan mengingat selama proses
pencucian terjadi kontak rimpang dengan air yang kemungkinan dapat menambah
kandungan air pada permukaan rimpang. Air dari pencucian ini harus dihilangkan
dengan ditiriskan karena adanya air akan menjadi tempat yang baik bagi
pertumbuhan mikroba (Jawetz dkk, 1995). Hal ini dapat mengacaukan hasil
penelitian karena jumlah bakteri yang ada nantinya bukan hanya berasal dari
rimpang seperti yang diharapkan, tetapi juga berasal dari air sisa pencucian.
Dari tahapan ini didapatkan sampel berupa rimpang basah temulawak yang
sudah bersih. Penyimpanan sampel dilakukan dalam wadah tertutup rapat
berfungsi untuk menghindarkan sampel dari kontak dengan udara bebas yang
mengandung bakteri sehingga dapat mencegah masuknya kontaminan bakteri dari
33
lingkungan ke dalam sampel. Sampel disimpan dalam freezer karena di dalam
freezer suhu dapat diturunkan sangat rendah. Suhu yang rendah ini dapat
menghentikan reaksi enzimatis dari bakteri sehingga tidak terjadi pertumbuhan
bakteri (Rukmi, 2009).
2. Perajangan
Perajangan berfungsi untuk membantu proses pengeringan, karena pada
tahap perajangan ini rimpang utuh dipotong menjadi lebih tipis sehingga akan
menambah luas permukaan untuk proses pengeringan (Anonim, 2009b).
Meningkatnya luas permukaan yang kontak dengan udara pada rimpang akan
mempercepat proses keluarnya air dari rimpang sehingga proses pengeringan
dapat berjalan dengan lebih cepat. Perajangan rimpang dilakukan dengan
menggunakan alat pemotong empon-empon manual dengan mata pisau stainless
steel yang tajam sehingga didapatkan potongan rimpang dengan tebal yang
seragam. Rajangan tidak boleh terlalu tebal karena akan memperlama proses
pengeringan serta akan memperbesar kemungkinan tumbuhnya jamur dan bakteri
(Anonim, 2009b). Pada tahap ini dihasilkan rajangan rimpang basah dengan
ukuran yang seragam dan siap untuk dikeringkan.
3. Pengeringan
Pengeringan rimpang berfungsi untuk mengurangi kadar air sehingga
dihasilkan simplisia yang siap untuk diserbuk. Berkurangnya kadar air pada
simplisia akan mencegah tumbuhnya jamur, bakteri, serta menghentikan
terjadinya reaksi enzimatik (Huda dkk, 2007). Pengurangan kadar air pada
simplisia dapat terjadi karena kandungan air di dalam simplisia akan menguap
34
selama proses pengeringan. Proses pengeringan simplisia dilakukan sampai terjadi
keseimbangan kadar air antara simplisia dengan lingkungannya, artinya proses
penguapan air dari simplisia sudah berhenti karena jumlah molekul-molekul air
yang diuapkan dari simplisia sama dengan jumlah molekul-molekul air yang
diserap oleh permukaan simplisia. Simplisia yang sudah kering ditandai dengan
potongan rimpang yang mudah dipatahkan.
Pada penelitian ini digunakan metode pengeringan menggunakan pemanas
mekanis (oven). Metode ini dipilih karena dengan metode ini suhu pengeringan
dapat diatur dan stabil, tidak tergantung pada cuaca. Selain itu, pada alat
pengering terdapat kipas yang memungkinkan aliran udara pada seluruh bagian
ruangan sehingga pengeringan dapat merata ke seluruh bagian simplisia. Pada
tahap pengeringan ini dihasilkan simplisia rimpang temulawak kering yang siap
diolah ke tahap selanjutnya.
4. Sortasi Kering
Proses sortasi kering dilakukan untuk menyeleksi simplisia kering dari
pengotor yang mungkin masih terikut (Anonim, 2009b). Proses ini perlu
dilakukan supaya pengotor-pengotor yang ada tidak ikut terserbuk sehingga dapat
diperoleh simplisia rimpang temulawak yang murni. Pengotor-pengotor tersebut
perlu dihilangkan agar nantinya yang terserbuk adalah hasil dari pengeringan
rimpang saja. Pada tahapan ini dihasilkan sampel berupa rimpang kering
temulawak.
5. Pembuatan Serbuk
35
Pembuatan serbuk dilakukan dengan menghancurkan simplisia kering
menggunakan blender. Pada proses penyerbukan terjadi penghancuran simplisia
menjadi lebih kecil. Setelah seluruh simplisia diserbuk kemudian dimasukkan
dalam wadah tertutup rapat dan disimpan dalam freezer. Proses penyerbukan dari
rimpang kering ini perlu dilakukan agar nantinya didapatkan suspensi sampel
yang merata dari rimpang kering temulawak. Hal ini berfungsi agar koloni bakteri
dapat tumbuh menyebar secara merata pada media yang digunakan sehingga akan
memudahkan penghitungan nilai ALT. Selain itu dengan dilakukannya
penyerbukan maka akan terjadi penghancuran sel dari rimpang temulawak yang
telah dikeringkan sehingga sel bakteri yang ada di dalam rimpang dapat keluar
dan dapat tersuspensi secara merata pada cairan pengencer yang digunakan.
6. Ekstraksi
Dari serbuk yang didapatkan selanjutnya dilakukan ekstraksi untuk
mendapatkan ekstrak etanolik temulawak. Metode penyarian yang digunakan
adalah maserasi. Metode maserasi dipilih karena metode ini merupakan metode
yang mudah dan sederhana. Proses ekstraksi serbuk temulawak dilakukan
menurut Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (Anonim, 2004).
Pengadukan pada proses maserasi berfungsi untuk membantu cairan
penyari menembus dinding sel simplisia. Dengan cara ini juga semua cemaran
berupa sel bakteri dapat kontak langsung terikut ke dalam cairan penyari. Dengan
demikian diharapkan semua sel bakteri akan ikut tersari. Etanol 70% merupakan
salah satu bahan yang biasa digunakan sebagai cairan desinfektan yang dapat
membunuh mikroba (Jawetz dkk, 1996). Oleh karena itu, pada tahap ini juga
36
terjadi pembunuhan sel bakteri yang ada pada serbuk dari rimpang kering yang
disari sehingga kemungkinan akan menurunkan jumlah cemaran bakteri yang
digambarkan dengan menurunnya nilai ALT. Pada tahap ini didapatkan sampel
yang ketiga berupa ekstrak etanolik temulawak yang siap diuji ke tahap
selanjutnya.
D. Uji Angka Lempeng Total (ALT)
1. Penanganan Rimpang
Sebelum digunakan sebagai cuplikan sampel, rimpang basah, rimpang
kering, dan ekstrak etalonik perlu disiapkan melalui tahapan penanganan sampel.
Sampel berupa rimpang basah dan rimpang kering dihancurkan terlebih dahulu
supaya dapat disuspensikan pada pengencer PDF. Proses penghancuran rimpang
basah dan kering ini dilakukan dalam kondisi aseptis baik ruangan maupun
alatnya untuk menghindari adanya kontaminasi dari lingkungan.
2. Homogenisasi Sampel
Homogenisasi sampel perlu dilakukan untuk mendapatkan cairan uji
dengan distribusi bakteri yang merata dalam tiap bagian contoh uji. Homogenisasi
sampel dilakukan dengan menggunakan Peptone Dilution Fluid (PDF). Proses
homogenisasi sampel dilakukan menggunakan vortex supaya sampel dapat
bercampur merata pada tiap bagian diluent.
Proses homogenisasi sampel juga diperlukan untuk mengembalikan
viabilitas sel bakteri yang ada pada sampel. Pada pengujian ALT, terjadi proses
pemindahan sel-sel bakteri dari media pertumbuhan alami ke dalam media
pertumbuhan buatan. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya viabilitas sel
37
bakteri karena adanya perbedaan kondisi pertumbuhan. Untuk mengembalikan
viabilitas sel bakteri agar tetap dapat hidup dan tumbuh, maka diperlukan suatu
media yang dapat menyediakan nutrisi yang cukup bagi sel bakteri. Pada
penelitian ini digunakan diluent PDF sebagai pengencer sekaligus penyedia nutrisi
bagi sel bakteri yang disuspensikan. PDF mengandung pepton yang merupakan
salah satu jenis protein yang dibutuhkan oleh sel bakteri untuk tetap hidup.
Komponen pepton ini juga berfungsi sebagai buffer yang dapat mempertahankan
pH dalam keadaan netral (Setiawan, 2009). Pada proses homogenisasi sampel
dihasilkan suspensi sampel yang homogen pada tiap bagiannya dengan
konsentrasi 10-1
yang siap diencerkan.
3. Pengenceran Sampel
Dari suspensi sampel dengan pengenceran 10-1
di atas, kemudian
dilakukan pengenceran. Pengenceran ini berfungsi untuk mempermudah
perhitungan jumlah koloni. Dalam satu cawan petri, jumlah koloni yang dihitung
adalah yang memiliki jumlah koloni antara 30-300 koloni. Pengenceran perlu
dilakukan karena jumlah bakteri dalam contoh sampel tidak diketahui
sebelumnya, sehingga dengan dilakukannya pengenceran dapat menghindari
pertumbuhan bakteri yang terlalu pekat dan tidak dapat dihitung (Lay, 1994). Dari
proses pengenceran sampel didapatkan 3 jenis sampel dengan tingkat pengenceran
10-1
sampai 10-6
yang siap digunakan untuk uji ALT.
4. Uji ALT Rimpang basah, Rimpang Kering, dan Ekstrak Etanolik
Temulawak
38
Uji ALT merupakan cara penghitungan jumlah mikroba yang terdapat
dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi
yang ditetapkan. Uji ini disebut juga dengan viable count atau penghitungan
jumlah mikroba yang hidup, di mana perhitungannya diasumsikan dengan
keadaan bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh
menjadi satu koloni setelah ditumbuhkan dalam media pertumbuhan dan
lingkungan yang sesuai.
Untuk metode ALT jumlah koloni yang layak untuk dihitung pada tiap
cawan petri adalah antara 30-300 koloni. Apabila jumlah koloni pada tiap cawan
petri yang dihitung lebih dari 300 koloni, kondisi ini disebut sebagai Too
Numerous To Count (TNTC) atau terlalu banyak untuk dihitung yang dapat
memperbesar ketidaktepatan perhitungan jumlah koloni secara keseluruhan.
Sedangkan apabila koloni dalam satu cawan petri berjumlah kurang dari 30
koloni, maka jumlah perhitungan yang dihasilkan kurang absah secara statistik
sehingga dapat dikatakan hasil perhitungan kurang valid (Lay, 1994).
Pengujian ALT dapat digunakan untuk menggambarkan jumlah cemaran
bakteri dalam bahan baku obat tradisional. Penanaman sampel dalam media pada
penelitian ini menggunakan metode pour plate agar suspensi sampel dapat
tersebar merata pada media. Proses inkubasi dilakukan dengan keadaan cawan
terbalik. Hal ini dimaksudkan supaya uap air yang terkondensasi pada tutup
cawan tidak jatuh ke permukaan media yang dapat mengganggu perhitungan
bakteri.
39
Pada pengujian ALT cara kerja aseptis perlu diperhatikan. Hal ini
disebabkan pada pengujian ALT yang akan ditumbuhkan adalah bakteri,
sementara bakteri terdapat di mana-mana, bahkan di udara. Cara kerja yang tidak
aseptis dapat mengacaukan hasil pengujian karena bakteri yang tumbuh tidak
hanya berasal dari cuplikan sampel saja tetapi juga dari kontaminan selama
pengerjaan. Jika benar pengerjaan yang dilakukan sudah mengikuti teknik aseptis,
maka pada kontrol media dan pelarut tidak akan tumbuh koloni bakteri.
A
B
C
Gambar 1. Perbandingan Kontrol Media PCA, Kontrol Pelarut PDF, dan
Perlakuan Sampel Setelah Inkubasi Selama 48 jam
Keterangan Gambar : A = Kontrol Media PCA, B = Kontrol Pelarut PDF,
C=Perlakuan Sampel
Dari gambar 1 didapatkan bahwa tidak ada koloni bakteri yang tumbuh
pada cawan kontrol media maupun kontrol pelarut. Hal ini menunjukkan bahwa
40
dalam pengerjaan sudah mengikuti cara kerja yang aseptis dan juga media dan
pelarut yang digunakan sudah benar steril sehingga koloni yang tumbuh pada
cawan sampel benar berasal dari bakteri yang ada pada sampel, bukan dari
kontaminan selama pengerjaan.
Selanjutnya dilakukan perhitungan koloni bakteri pada cawan yang
mengandung cuplikan suspensi sampel. Dipilih cawan petri yang memiliki jumlah
koloni antara 30-300, dan perhitungan koloni dilakukan menurut ketentuan dari
Parameter Umum Ekstrak Terstandar Indonesia (Anonim, 2000). Hasil dari
perhitungan untuk sampel rimpang basah disajikan dalam tabel I :
Tabel I. Hasil Uji Angka Lempeng Total Untuk Sampel Rimpang Basah
Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Replikasi Jumlah
Koloni
ALT
(koloni/gram)
Rata-rata
(koloni/gram) ±SD
Replikasi I 1 287
2,9 x 108
2,9 x 108±0,058x10
8
2 293
Replikasi II 1 281
2,8 x 108
2 273
Replikasi III 1 294
2,9 x 108
2 282
Kontrol Media 1 0
0 0
2 0
Kontrol Pelarut 1 0
0 0
2 0
Dari tabel I diketahui rata-rata nilai ALT untuk sampel rimpang basah
temulawak adalah 2,9x108±0,058x10
8 koloni/gram sampel. Nilai standar deviasi
(SD) yang ada menggambarkan seberapa besar simpangan data dari nilai rata-rata.
Pada sampel rimpang basah, nilai SD yang didapatkan berkisar 2% dari besar nilai
rata-rata ALT. Hal ini menunjukkan bahwa variasi data yang didapat pada sampel
rimpang temulawak tidak terlalu besar yang berarti juga bahwa nilai ALT yang
41
didapat cukup stabil. Dari nilai SD ini dapat dimaknai bahwa proses pencucian
yang dilakukan dapat menghasilkan nilai ALT yang seragam pada sampel.
Nilai ALT yang didapat pada sampel rimpang temulawak ini sangat besar,
yang menunjukkan jumlah cemaran bakteri juga sangat banyak. Hal ini
disebabkan karena pada sampel rimpang basah temulawak, kandungan air yang
ada pada rimpang masih sangat tinggi. Tingginya kandungan air ini dapat
menyebabkan bakteri yang ada dalam sampel akan tetap hidup dan
memungkinkan bakteri tersebut untuk tumbuh sehingga menyebabkan jumlah
cemaran bakteri sangat banyak.
Banyaknya jumlah cemaran bakteri pada sampel rimpang basah
temulawak juga dapat disebabkan karena pencucian yang dilakukan hanya
membersihkan bagian permukaan luar rimpang saja, sementara bagian daging
rimpang tidak dapat ikut dibersihkan. Hal ini menyebabkan sel-sel bakteri yang
ada pada bagian dalam daging rimpang tetap ada, dengan kandungan air yang
masih banyak sehingga menyebabkan nilai ALT yang dihasilkan juga masih
sangat tinggi. Menurut SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
661/IMENKES/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional menyatakan
bahwa syarat nilai ALT untuk jenis rajangan adalah tidak lebih dari 10 koloni.
Dari hasil uji ALT pada rimpang temulawak, nilai ALT yang ada jauh melebihi
syarat yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan proses pencucian yang telah
dilakukan belum dapat mengurangi bakteri yang ada pada rimpang sesuai dengan
yang diharapkan sehingga rimpang basah yang dihasilkan pada penelitian ini tidak
memenuhi persyaratan nilai ALT.
42
Tabel II. Hasil Uji Angka Lempeng Total Untuk Sampel Rimpang Kering
Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Replikasi Jumlah
Koloni
ALT
(koloni/gram)
Rata-rata
(koloni/gram) ±SD
Replikasi I 1 153
1,4 x 107
1,4 x 107±0,058x10
7
2 129
Replikasi II 1 137
1,4 x 107
2 133
Replikasi III 1 128
1,3 x 107
2 136
Kontrol Media 1 0
0 0
2 0
Kontrol Pelarut 1 0
0 0
2 0
Dari tabel II diketahui rata-rata nilai ALT untuk sampel serbuk rimpang
kering temulawak sebesar 1,4x107±0,058x10
7 koloni/gram sampel. Pada sampel
rimpang basah, nilai SD yang didapatkan berkisar 4% dari besar nilai rata-rata
ALT. Hal ini menunjukkan bahwa variasi data yang didapat pada sampel rimpang
temulawak tidak terlalu besar yang berarti juga bahwa variasi data nilai ALT
yang didapat kecil. Dari nilai SD ini dapat dimaknai bahwa proses pengeringan
yang dilakukan dapat menghasilkan nilai ALT yang seragam pada sampel.
Untuk sampel berupa rimpang kering temulawak ini didapatkan bahwa
terjadi penurunan nilai ALT dibandingkan pada sampel rimpang basah
temulawak. Penurunan jumlah cemaran bakteri ini dapat terjadi karena sampel
rimpang kering termulawak telah mengalami proses pengeringan. Proses
pengeringan yang dilakukan dapat mengurangi kandungan air dalam simplisia
yang diuji. Pengurangan jumlah kandungan air dalam simplisia ini dapat
mengurangi jumlah cemaran bakteri. Dengan berkurangnya jumlah air maka akan
memperkecil kemungkinan bakteri untuk tumbuh. Selain itu pada proses
pengeringan juga terjadi proses pemanasan yang juga dapat mengurangi jumlah
43
bakteri yang hidup. Dengan demikian, ketika dilakukan uji ALT pada sampel
rimpang kering temulawak, jumlah bakteri yang hidup telah berkurang sehingga
menghasilkan nilai ALT yang juga mengalami penurunan dibandingkan nilai ALT
pada sampel rimpang basah temulawak. Meskipun demikian, nilai ALT yang
didapatkan pada sampel rimpang kering temulawak masih cukup tinggi. Menurut
SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 661/IMENKES/SK/VII/1994
Tentang Persyaratan Obat Tradisional menyatakan bahwa syarat nilai ALT untuk
jenis serbuk dari rimpang kering adalah tidak lebih dari 10 koloni. Hasil uji ALT
menunjukkan bahwa nilai ALT rimpang kering temulawak jauh melebihi batas.
Hal ini menunjukkan bahwa proses pengeringan yang dilakukan dapat
mengurangi jumlah cemaran bakteri dibandingkan pada sampel rimpang basah,
namun rimpang kering yang dihasilkan belum memenuhi persyaratan nilai ALT
yang telah ditetapkan.
Tabel III. Hasil Uji Angka Lempeng Total Untuk Sampel Ekstrak Etanolik
Temulawak Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Replikasi Jumlah
Koloni
ALT
(koloni/gram)
Rata-rata
(koloni/gram) ±SD
Replikasi I 1 92
1,1 x 103
1 x 103±0,16x10
3
2 130
Replikasi II 1 137
1,1 x 103
2 75
Replikasi III 1 88
8,3 x 102
2 78
Kontrol Media 1 0
0 0
2 0
Kontrol Pelarut 1 0
0 0
2 0
Dari tabel III diketahui bahwa rata-rata nilai ALT untuk sampel ekstrak
etanolik temulawak adalah sebesar 1x103±0,16x10
3 koloni/ml sampel. Nilai
standar deviasi yang didapatkan pada sampel ekstrak temulawak adalah yang
44
paling besar dibandingkan pada dua sampel yang lain, yaitu berkisar 16% dari
nilai rata-rata ALT. Hal ini menggambarkan bahwa variasi nilai data pada sampel
ekstrak etanolik adalah yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa proses
pemekatan ekstrak yang dilakukan dengan penangas air pada penelitian ini dapat
menyebabkan cemaran bakteri yang sangat bervariasi dan tidak terkontrol.
Nilai ALT untuk sampel ekstrak etanolik temulawak ini merupakan nilai
ALT yang paling kecil dibandingkan sampel rimpang basah maupun serbuk
rimpang kering temulawak, yang berarti bahwa sampel ekstrak etanolik
mengandung jumlah cemaran bakteri yang paling sedikit dibandingkan sampel
yang lain. Hal ini disebabkan karena proses ekstraksi menggunakan cairan penyari
etanol 70%. Cairan etanol 70% ini merupakan desinfektan yang efektif untuk
membunuh berbagai jenis mikroba melalui mekanisme denaturasi protein (Jawetz,
1995). Penggunaan etanol 70% sebagai cairan penyari pada proses maserasi akan
membunuh sel-sel bakteri yang ada sehingga terjadi pengurangan nilai ALT.
Bakteri yang masih ada setelah hasil pengujian dimungkinkan berasal dari
proses pemekatan ekstrak. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan pemanasan di
atas penangas air. Pada saat proses pemekatan ekstrak, terjadi penguapan pelarut
yaitu etanol yang ada di dalam sampel. Dengan menguapnya etanol ini, maka
kerjanya sebagai desinfektan juga akan berkurang, sementara ekstrak yang
dipekatkan terus kontak dengan udara bebas yang tidak steril sehingga ada
sejumlah bakteri yang masuk ke dalam sampel dan terhitung sebagai jumlah
cemaran bakteri pada saat dilakukan uji ALT. Nilai ALT pada sampel ekstrak
etanolik masih melebihi batas yang ditetapkan yaitu 10 koloni.
45
Dari tiga jenis sampel hasil olahan rimpang temulawak yang diuji,
semuanya menunjukkan nilai ALT yang masih jauh melebihi batas, meskipun
proses pengolahan rimpang temulawak sudah dilakukan sesuai standar teknis
pengolahan rimpang temulawak (Anonim, 2006). Hal ini selain disebabkan karena
adanya cemaran bakteri yang memang berasal dari sampel, tetapi juga dapat
disebabkan karena ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai ALT yang
pada penelitian ini kurang dapat dikontrol oleh peneliti. Beberapa faktor tersebut
diantaranya adalah lama dan kondisi penyimpanan sampel. Lama dan kondisi
penyimpanan sampel tentunya dapat mempengaruhi jumlah cemaran bakteri.
Selain itu, pada penelitian ini masih mungkin yang terhitung sebagai nilai
ALT bukan hanya koloni bakteri saja. Hal ini disebabkan karena pada media yang
digunakan masih memungkinkan adanya khamir yang tumbuh, di mana khamir
memiliki morfologi yang hampir sama dengan bakteri. Adanya khamir yang
masih mungkin tumbuh ini disebabkan karena pada media agar yang digunakan
terdapat kandungan air yang cukup tinggi yang merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan khamir.
Meskipun demikian, proses pengolahan rimpang sesuai standar tetap
diperlukan untuk mendapat kualitas hasil olahan yang lebih baik. Apabila proses
pengolahan tidak dilakukan sesuai standar, maka kemungkinan adanya cemaran
bakteri tidak berkurang, tetapi malah bertambah yang dihasilkan dari proses
pengolahan yang asal-asalan.
46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Nilai ALT yang diperoleh untuk rimpang basah temulawak adalah sebesar
2,9x108±0,058x10
8 koloni/gram sampel; untuk rimpang kering temulawak
sebesar 1,4x107±0,058x10
7 koloni/gram sampel; dan untuk ekstrak temulawak
sebesar 1,0x102±0,16x10
2 koloni/ml sampel.
2. Nilai ALT yang didapatkan dari sampel rimpang basah, rimpang kering, dan
ekstrak etanolik melebihi batas persyaratan ALT yang telah ditetapkan pada
SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
661/MENKES/SK/VII/1994 dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai cara pengolahan rimpang temulawak
yang dapat mengurangi cemaran bakteri pada rimpang temulawak, seperti
adanya pengontrolan pada kondisi simpan rimpang secara khusus sehingga
jumlah cemaran bakteri yang ada dapat minimal dan dapat memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
2. Pada pengujian ALT perlu digunakan reagen yang dapat membedakan
pertumbuhan koloni bakteri dengan koloni mikroba lain, salah satunya adalah
Triphenyl Tetrazolium Chloride (TTC). Selain itu diperlukan pengontrolan
kondisi aseptis pada tiap tahapan perlakuan sampel, termasuk lama dan
kondisi penyimpanan sampel.
47
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Materia Medika, jilid III, 63-70, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 2-40, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1994a, Peraturan Prundang-undangan Obat Tradisional,Jilid I, 21-5, 9-
46, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1994b, Teknologi Pengeringan Simplisia Untuk Pedesaan, Prosiding
Symposium Penelitian Bahan Obat Alami,VII, 78-79, Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan
Pertama, 4-5, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
Jakarta.
Anonim, 2004, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Vol. I, 114-117,
Badan POM RI, Jakarta
Anonim, 2005a, Gerakan Nasional Minum Temulawak,
http://www.pom.go.id/oai/info/GNMT.htm, diakses tanggal 28 Januari
2010
Anonim, 2005b, Tanaman Obat Indonesia : Temulawak,
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2&id=129, diakses
tanggal 28 Januari 2010
Anonim, 2006, Standar Teknis Prosedur Operasional Pengolahan Temulawak, 2-
4, Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Direktorat Jendral Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2008, Budidaya dan Pasca Panen Tanaman Obat Untuk Meningkatkan
Kadar Bahan Aktif,
http://balittro.litbang.deptan.go.id/eng/index.php?option=com_content&ta
sk=view&id=88&Itemid=44, diakses tanggal 29 Januari 2010
Anonim, 2009a, Faktor Lingkungan Bagi Pertumbuhan Mikroba,
http://bahanajar.unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/09/faktor-lingkungan-
pertumbuhan-mikroba-revisi-270909.pdf, diakses tanggal 26 Januari
2010
48
Anonim, 2009b, Teknologi Penyiapan Simplisia Terstandar Tanaman Obat,
http://balittro.litbang.deptan.go.id/index/view+penyiapan+simplisia&cd
=9&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a, diakses tanggal 29 Januari
2010
Atlas, R. M., 1997, Handbook of Micribiological Media, 2nd
Edition, 207, 497,
506, 796, CRC Press Inc, New York.
Djaafar, T.F, dan Rahayu S., 2007, “Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian,
Penyakit yang Ditimbulkan, dan Pencegahannya”, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jurnal Litbang Pertanian.
Fardiaz, S., Mikrobiologi Pangan, Edisi I, 130, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadioetomo, R. S., 1985, Mikrobiologi Dasar dan Praktek-Teknik dan Prosedur
Dasar Dalam Laboratorium, 42-46, Gramedia, Jakarta.
Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia, 50-51, Penerbit ITB, Bandung.
Huda, M. D. K., Cahyono, B., dan Limantara, L., 2006, “Pengaruh Proses
Pengeringan Terhadap Kandungan Kurkuminoid Dalam Rimpang
Temulawak”, Universitas Diponegoro Semarang, Jurnal Teknologi
Pangan.
Jawetz, E. J. I., Melnick and Adelberg, E. A., 1995, Mikrobiologi Untuk Profesi
Kesehatan, 234-240, 286-290, Diterjemahkan oleh Tonang, A., Edisi
XVI, EGC, Jakarta.
Jawetz, E. J. I., Melnick and Adelberg, E. A., 1996, Mikrobiologi Kedokteran,
234-240, 286-290, Diterjemahkan oleh Nugroho, E., dan Maulany, Edisi
XX, EGC, Jakarta.
Jayaprakasha, G.K., Rao, L.J.M., Sakariah, K.K., 2005, “Chemistry and
Biological Activities of Curcuma Longa”, Trends in Food Science &
Technology 16, 533-548.
Lay, B.W., 1994, Analisis ,Mikroba di Laboratorium, Edisi I, 47-54, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Pelczar, J.R., dan Michael, J., 1986, Microbiology, 20-25, Mc Grawhill Book
Company, New York.
Plantus, 2008, Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM,
http://anekaplanta.wordpress.com/2008/03/02/sembilan-tanaman-obat-
unggulan-hasil-uji-klinis-badan-pom/, diakses tanggal 11 November
2009
49
Pothitirat, W., Supabphol, R., Dritsanapan, W. 2004. “Comparison of Free
Radical Scavenging Activity and Curcuminoids Content of Turmeric
Extracts Using Different Methods of Extraction”. Mahidol University
Journal of Pharmaceutical Sciences.
Rahardjo, M., dan Otih Rostiana, 2005, Budidaya Tanaman Temulawak, Edisi I,
24-28, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Jakarta
Rukmi, I., 2009, “Keanekaragaman Aspergilus Pada Berbagai Simplisia Jamu
Tradisional”, Universitas Diponegoro Semarang, Jurnal Sains dan
Matematika.
Sembiring, B.S., 2008, Teknologi Pengolahan Tanaman Obat,
http://balittro.litbang.deptan.go.id/eng/index.php?option=com_content&
view=article&id=106:teknologi-pengolahan-tanaman-
obat&catid=19:artikel&Itemid=38, diakses tanggal 28 Januari 2010
Setiawan, W.A., 2009, Kultivasi, reproduksi, dan Pertumbuhan Mikroba, http://unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/07/kultivasi-reproduksi-dan-
pertumbuhan-bakteri.pdf., diakses tanggal 26 Januari 2009
Sidik, 2006, Gerakan Nasional Minum Temulawak, Majalah Farmacia, 6039, 72
Soediro, 1997, Tinjauan Aspek Keamanan Obat Tradisional, Makalah Seminar
Nasional Tanaman Obat Indonesia, 76-79
Sumarsih, 2008, Mikroba dan Kesuburan Tanah,
http://sumarsih07.files.wordpress.com/2008/11/vi-mikroba-dan-
kesuburan-tanah.pdf, diakses tanggal 29 Januari 2010
Sylvia, 2005, Pengujian Cemaran Bakteri dan Cemaran Kapang/Khamir Pada
Produk Jamu Gendong di Daerah Istimewa
Yogyakarta,http://eprints.ums.ac.id/journal/index.php?t=pharmacon&v=
2005v6n1, diakses pada tanggal 20 Desember 2009
Taufik, 2004, Amankah Makanan Yang Disimpan Dingin?, http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0104/11/1002.htm, diakses tanggal 28 Januari 2010
Voigt, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5, 579-582 Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 1.
Hasil Pengujian ALT Rimpang Basah Temulawak
Sampel : Rimpang Segar Temulawak Nomor sampel : B
Tanggal Pengujian : 29 Desember 2009 Pengambilan Sampel:1gram
Pengenceran : 9 ml PDF Media/Suhu:PCA/35-37OC
a. Pengamatan Jumlah Koloni Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Tingkat
Pengenceran
Pengamatan
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
I II I II I II
10-1
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-2
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-3
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-4
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-5
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-6
287 293 281 273 294 282
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
b. Perhitungan Angka Lempeng Total
Perhitungan nilai ALT dilakukan setelah inkubasi selama 48 jam.
Dipilih cawan petri dengan jumlah koloni bakteri 30-300 koloni.
Pada hasil perhitungan untuk sampel rimpang segar, dipilih cawan
petri pada tingkat pengenceran 10-6
, karena semua cawan petri
pada tingkat pengenceran ini menunjukkan jumah koloni antara 30-
300.
Cara perhitungan dilakukan menurut cara 1 yaitu : Dipilih cawan
petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni
antara 30-300. Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung
52
lalu dikalikan faktor pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai
Angka Lempeng Total dalam tiap gram contoh.
Replikasi I
→ 281+293 x 106= 290 x 10
6 = 290.000.000 koloni/gram sampel
2
→ 290.000.000 koloni (perbandingan 1 : 100.000.000)
= 2,9 x 108 koloni/gram sampel
Replikasi II
→ 281+273 x 106 = 277 x 10
6 = 277.000.000 koloni/gram sampel
2
→ 277.000.000 koloni (perbandingan 1 : 100.000.000)
= 2,8 x 108 koloni/gram sampel
Replikasi III
→ 294+282 x 106= 291 x 10
6 = 291.000.000 koloni/gram sampel
2
→ 291.000.000 koloni (perbandingan 1 : 100.000.000)
= 2,9 x 108 koloni/gram sampel
Rata-rata
→ (2,9x108)+(2,8x10
8)+(2,9x10
8) = 2,9 x 10
8 koloni/gram sampel
3
Batas nilai ALT = 10 koloni/gram → tidak memenuhi sayarat
53
Lampiran 2.
Hasil Pengujian ALT Rimpang Kering Temulawak
Sampel : Rimpang Kering Temulawak Nomor sampel : A
Tanggal Pengujian : 29 Desember 2009 Pengambilan Sampel:1gram
Pengenceran : 9 ml PDF Media/Suhu:PCA/35-37OC
a. Pengamatan Jumlah Koloni Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Tingkat
Pengenceran
Pengamatan
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
I II I II I II
10-1
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-2
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-3
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-4
~ ~ ~ ~ ~ ~
10-5
153 129 137 133 128 136
10-6
13 15 11 8 12 9
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
b. Perhitungan Angka Lempeng Total
Perhitungan nilai ALT dilakukan setelah inkubasi selama 48 jam.
Dipilih cawan petri dengan jumlah koloni bakteri 30-300 koloni. Pada
hasil perhitungan untuk sampel serbuk dari rimpang kering, dipilih
cawan petri pada tingkat pengenceran 10-5
, karena semua cawan petri
pada tingkat pengenceran ini menunjukkan jumah koloni antara 30-
300.
Cara perhitungan dilakukan menurut cara 1 yaitu : Dipilih cawan petri
dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 30-300.
Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan faktor
54
pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai Angka Lempeng Total
dalam tiap gram contoh.
Replikasi I
→ 153+129 x 105 = 141 x 10
5 = 14.100.000 koloni/gram sampel
2
→ 14.100.000 koloni (perbandingan 1 : 10.000.000)
= 1,4 x 107 koloni/gram sampel
Replikasi II
→ 137+133 x 105
= 135 x 105 = 13.500.000 koloni/gram sampel
2
→ 13.500.000 koloni (perbandingan 1 : 10.000.000)
= 1,4 x 107 koloni/gram sampel
Replikasi III
→ 128+136 x 105
= 132 x 105
= 13.200.000 koloni/gram sampel
2
→ 13.200.000 koloni (perbandingan 1 : 10.000.000)
= 1,3 x 107 koloni/gram sampel
Rata-rata
→ (1,4x107)+(1,4x10
7)+(1,3x10
7) = 1,4 x 10
7 koloni/gram sampel
3
Batas nilai ALT = 10 koloni/gram → tidak memenuhi sayarat
55
Lampiran 3.
Hasil Pengujian ALT Ekstrak Etanolic Temulawak
Sampel : Ekstrak Etanolik Temulawak Nomor sampel : C
Tanggal Pengujian : 29 Desember 2009 Pengambilan Sampel:1ml
Pengenceran : 9 ml PDF Media/Suhu:PCA/35-37OC
a. Pengamatan Jumlah Koloni Setelah Inkubasi Selama 48 Jam
Tingkat
Pengenceran
Pengamatan
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
I II I II I II
10-1
92 130 137 75 88 78
10-2
10 8 15 16 7 3
10-3
0 0 0 0 0 0
10-4
0 0 0 0 0 0
10-5
0 0 0 0 0 0
10-6
0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
Kontrol Media 0 0 0 0 0 0
Kontrol Pelarut 0 0 0 0 0 0
b. Perhitungan Angka Lempeng Total
Perhitungan nilai ALT dilakukan setelah inkubasi selama 48 jam.
Dipilih cawan petri dengan jumlah koloni bakteri 30-300 koloni. Pada
hasil perhitungan untuk sampel ekstrak etanolik, dipilih cawan petri
pada tingkat pengenceran 10-1
, karena semua cawan petri pada tingkat
pengenceran ini menunjukkan jumah koloni antara 30-300.
Cara perhitungan dilakukan menurut cara 1 yaitu : Dipilih cawan petri
dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 30-300.
Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan faktor
pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai Angka Lempeng Total
dalam tiap gram contoh.
56
Replikasi I
→ 130+92 x 101 = 111 x 10
1 = 1.110 koloni/gram sampel
2
→ 1.110 (perbandingan 1 : 1.000)
= 1,1 x 103 koloni/ml sampel
Replikasi II
→ 137+75 x 101 = 106 x 10
1 = 1.060 koloni/ml sampel
2
→ 1.060 koloni (perbandingan 1 : 1000)
= 1,1 x 103 koloni/gram sampel
Replikasi III
→ 88+78 x 101 = 83 x 10
1 = 830 koloni/ml sampel
2
→ 830 koloni (perbandingan 1 : 100)
= 8,3 x 102 koloni/gram sampel
Rata-rata
→ (1,1x103)+(1,1x10
3)+(8,3x10
2) = 1,0 x 10
2 koloni/ml sampel
3
Batas nilai ALT = 10 koloni/gram → tidak memenuhi sayarat
57
Lampiran 4.
Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Segar Temulawak
A
B
C
D
Keterangan Gambar :
A = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-6
B = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-5
C = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-4
D = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Basah Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-3
58
Lampiran 5.
Gambar Hasil Uji ALT Sampel Serbuk Rimpang Kering Temulawak
A
B
C
D
Keterangan Gambar :
A = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-6
B = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-5
C = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-4
D = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Rimpang Kering Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-3
Lampiran 6.
Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak
A B
59
C
Keterangan Gambar :
A = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-3
B = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-2
C = Gambar Hasil Uji ALT Sampel Ekstrak Etanolik Temulawak Pada Tingkat
Pengenceran 10-1
60
Lampiran 7. Perbandingan Hasil Pengamatan Organoleptis, Makroskopis, dan Mikroskopis
Temulawak Bahan Penelitian dengan Standar MMI Jilid III
a. Tabel Hasil Perbandingan Organolepstis b. Tabel Hasil Perbandingan Makroskopis
Pengamatan Makroskopis
Hasil Pengamatan Standar MMI III
Bentuk
Kepingan bulat, lonjong,
ringan, keras tapi rapuh,
pinggir berkerut
Diameter= 4-6 cm, tebal= 1-3 mm
Keping bundar atau
jorong, ringan, keras,
rapuh, pinggir berkerut.
Diameter 6 cm, tebal 2 mm-5 mm
Warna
Kuning kecoklatan
sampai coklat, bidang
irisan berwarna lebih
buram
Coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat kuning buram
Pengamatan
Organoleptik Hasil Pengamatan Standar MMI III
Bau Khas aromatis Khas aromatik
Rasa Agak pahit, tajam Tajam dan pahit
Warna Kuning-orange
Kuning jingga sampai coklat kuning jingga
Bentuk Pipih, bulat Bundar atau jorong
Pengamatan
Organoleptik Hasil Pengamatan Standar MMI III
Bau Khas aromatis Khas aromatik
Rasa Agak pahit, tajam Tajam dan pahit
Warna Kuning-orange
Kuning jingga sampai coklat kuning jingga
Bentuk Pipih, bulat Bundar atau jorong
Pengamatan
Organoleptik Hasil Pengamatan Standar MMI III
Bau Khas aromatis Khas aromatik
Rasa Agak pahit, tajam Tajam dan pahit
Warna Kuning-orange
Kuning jingga sampai coklat kuning jingga
Bentuk Pipih, bulat Bundar atau jorong
61
c. Tabel Hasil Perbandingan Mikroskopis
Temulawak Gambar
Hasil Pengamatan
Keterangan Gambar :
1. dan 4. Parenkim Silinder
Pusat
2. Endodermis
3. Parenkim Korteks
5. Berkas Pembuluh
Kolateral
6. Butir Pati
7. Hipodermis
8. Epidermis
Standar MMI III
Keterangan Gambar : 1: rambut penutup 6 : sklerenkim
2: epidermis 7 : parenkim korteks
3: hipodermis 8 : butir pati
4: periderm 10: endodermis
5: berkas pembuluh kolateral 11: parenkim silinder pusat.
62
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama lengkap Maria Diyan Monica,
merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Yohanes
Bambang Soenarko dan Ibu M.M. Siti Subaryati.
Penulis lahir di Kulon Progo pada tanggal 04 Agustus
1988. Penulis mulai menempuh pendidikan di Taman
Kanak-Kanak Pertiwi Puspayoga pada tahun 1992
sampai 1994 dan melanjutkan di Sekolah Dasar
Percobaan IV Wates (1994-2000). Pada tahun 2000 sampai 2003 penulis
mengenyam pedidikan tingkat menengah pertama di SLTP N 1 Wates. Pendidikan
menengah tingkat atas dilanjutkan di SMA PL Van Lith Muntilan mulai dari
tahun 2003 sampai 2006, dan selanjunya penulis meneruskan ke jenjang
perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dari 2006
sampai 2010.
Selama menempuh studi di Fakultas Farmasi, penulis aktif menjadi panitia
beberapa kegiatan mahasiswa seperti panitia Pharmacy Performance 2007 dan
panitia Pharmacy Performance and Event Cup tahun 2008. Penulis juga pernah
menjadi asisten dosen pada mata kuliah praktikum Farmakognosi Fitokimia.