Post on 28-Dec-2015
description
TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL
MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG
T E S I S
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
A. SYA’RONI TISNOWIJAYA
NIM : 5202069
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG 2008
2
DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. Gedung Dekanat Fakultas Ushuluddin Jl. Prof. Dr. HAMKA, Kampus II IAIN Walisongo Semarang 50189, Telp. 024-7625443 & 08122804394 ---------------------------------------------------------
NOTA PEMBIMBING
Dengan ini saya menerangkan bahwa Tesis Saudara: H. AHMAD SYA’RONI,
NIM: 5202069, Konsentrasi Etika Islam/Tasawuf, berjudul “TASAWUF DI
KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG,” telah
memenuhi syarat untuk diujikan sebagai tesis pada Program Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang, tahun akademik 2008/ 2009.
Semarang, 21 Juli 2008
Pembimbing
DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. NIP. 150245380
3
DEKLARASI
DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB, PENULIS
MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI MATERI YANG TELAH
DAN ATAU PERNAH DITULIS DAN DITERBITKAN ORANG LAIN KECUALI
INFORMASI YANG TERDAPAT DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN
BAHAN RUJUKAN.
Semarang, 20 Juli 2008
Penulis,
H. ACHMAD SYA’RONI
NIM : 5202069
4
ABSTRAKS
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan
implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf. Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatip dengan mengunakan pendekatan naturalistik.
Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.
Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhammadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.
5
KATA PENGANTAR
Selama ini para peminat kajian tasawuf cukup kesulitan memberikan batasan
definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari
diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar minimal
ada dua pendekatan yang dilakukan dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan
pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan
ahistoris. Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa
menjerumuskan umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah
pendekatan dengan menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang
dalam, mazhab kedua ini cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Oleh
sebab itu, yang pertama terkesan rigid dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung
gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak jelas landasan teologisnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah
tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual yang lebih
mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Dengan karakter yang demikian, tasawuf kemudian menjadi
cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi, teosentris. Seolah-olah hidup di dunia
hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nâs
menjadi banyak terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran
non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur
tasawuf bahwa seorang murid ketika berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit
6
yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan
semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama.
Di sisi lain, diperlukan pengakuan jujur bahwa tasawuf telah melahirkan banyak
hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas,
qanâ’ah dan urusan akhlak lainnya. Disamping itu apabila tasawuf digunakan sesuai
dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara tepat dengan tarekat, maka dari
tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan
diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi intinya tasawuf
memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga
memiliki sisi positif.
Sebagai akhir, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak
yang telah membantu dalam proses penelitian ini yang diantaranya adalah:
1. PROF. DR. H. ABDUL DJAMIL, MA, Rektor Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Walisongo Semarang,
2. PROF. DR. AHMAD GUNARYO. M.Soc.Sc, Direktur Program Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang, dan PROF. DR. SUPARMAN SYUKUR, MA, Selaku
Asdir I Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan PROF. DR.
ISMAWATI. M.Ag, selaku Asdir II Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
3. DR. H. ABDUL MUHAYA, MA, sebagai pembimbing yang telah mencurahkan
waktu, pikiran, tenaga dan kesabaran selama membimbing dan mengarahkan penulis
dalam penulisan Tesis ini.
7
4. Seluruh Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang yang tidak
penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan layanan yang diperlukan
dalam proses penyelesaian tesis ini.
5. Seluruh Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara terkhusus
simbah KH. A. SAHAL MAHFUDZ, selaku Rektor.
6. Seluruh sahabat karibku yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga
Tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga penulisan tesis ini bermanfaat kepada para
pembaca dan memberikan sedikit pencerahan.. Amin.
Semarang, 10 Juli 2008
Penulis,
H. ACHMAD SYA’RONI
NIM: 5202069
8
TRANSLITERASI
Tesis ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:
q = ق z = ز ` = ا
k = ك s = س b = ب
l = ل sy = ش t = ت
m = م sh = ص ts = ث
n = ن dl = ض j = ج
w = و th = ط h = ح
h = ه zh = ظ kh = خ
y = ي ‘ = ع d = د
at/ah = ة gh = غ dz = ذ
f = ف r = ر
9
MOTTO:
"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. An-
Naml : 19)
10
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan kepada:
1. Istri (Hj. ANI ROHANI), Anak-anakku (SHOFAUSSAMAWATI,
S.Ag. M.SI dan keluarga, SUSI AMALIA, S.Ag dan keluarga serta
M. NASRUL HAQQI), cucu-cucuku (M. AZKA AZKIA, M.
AHDA MANIHTADA, NAJWA IMANIA dan M. AUVA
BIAHDIH), terima kasih atas semangat, doa dan motivasinya
sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
2. Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (INISNU) Jepara,
terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama ini.
3. Peminat kajian tasawuf semuanya, semoga penelitian ini dapat
memberikan setitik pencerahan.
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN DEKLARASI iv
HALAMAN ABSTRAKSI v
HALAMAN KATA PENGANTAR vi
HALAMAN TRANSLITERASI ix
HALAMAN MOTTO x
HALAMAN PERSEMBAHAN xi
DAFTAR ISI xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Kajian Pustaka 8
E. Metode Penelitian 15
F. Sistematika Penulisan 19
BAB II : DESKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN YANG
TERKAIT DENGAN TASAWUF, MAQOMAT DAN THAREKAT
A. Deskripsi Tentang Tasawuf 23
B. Deskripsi Tentang Kemunculan Tasawuf 34
C. Maqomat: Perjalanan Menuju Hakekat 37
12
D. Tharekat: Berbagai Jalan Menuju Tuhan 48
E. Rekonstruksi Terhadap Tasawuf 67
BAB III : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH:
SEBUAH PENELUSURAN AWAL
A. Historisitas Muhammadiyah 74
B. Identitas Dasar Muhammadiyah 79
C. Misi Muhammadiyah 83
D. Penelusuran Landasan Dasar Muhammadiyah
1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar 87
2. Substansi Kepribadian Muhammadiyah 88
3. Substansi MKCHM 90
4. Substansi Hakekat Muhammadiyah 92
5. Substansi Khittah Perjuangan Muhammadiyah 95
6. Substansi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah 100
E. Deskripsi Tentang Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah 103
F. Melacak Tasawuf dalam Akar idiologi Muhammadiyah 113
G. “Tasawuf” Muhammadiyah: Sebuah Hasil penelusuran 120
BAB IV : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL
MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG
A. Deskripsi Historis-geografis kota Semarang 127
B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang 132
1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf 134
2. Bersikap terbuka Terhadap Tasawuf 149
3. Akomodatif terhadap Tasawuf 160
C. Spiritualitas Syariahistic: Formulasi Tasawuf Muhammadiyah 188
1. Urban Sufisme 188
2. Neo Sufisme 191
3. Tasawuf Positif 194
13
4. Tasawuf Modern Hamka 197
D. Analisis terhadap Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang 199
1. Tasawuf itu Bid’ah? 200
2. Penggolongan Tasawuf dalam Kategori-Kategori 208
3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf? 211
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 216
B. Saran 219
C. Penutup 219
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah
mengalami kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia
mengambil tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi
setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama1
serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini2. Dari kedua
hal itu, bisa dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan
besar untuk mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan
suatu ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi. Apabila
diformulasikan tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis
modernitas dan krisis pemahaman agama.
Krisis modernitas oleh Nasir (1997: 3) dimaknai sebagai mewabahnya
anomi bagi kehidupan bermasyarakat. Anomi adalah suatu keadaaan di mana setiap
individu kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan
1 Fenomena Falun Gong merupakan salah satu contoh proses irrasionalitas ini. Falun Gong
adalah organisasi keagamaan yang lebih dimonopoli ajaran meditasi yang mengabungkan ajaran Budhis dan Taois, di Cina pada tahun 1996 dan dipimpin oleh Li Hongzhi. Menurut Azra (1999: 75-78), Falun Gong merupakan fenomena baru dalam beragama yang menitik beratkan pada aspek kultus. Organisasi semacam ini diantaranya adalah The Moorish Science Temple di Amerika Serikat, serta The International Society for Khrisna Consciousness, The Children of God, The People’s Temple (Jim Jones), dan The Unification of Church (The Moonies) yang kesemuanya oleh beberapa kalangan disebut sebagai New Religions.
2 Kekerasan sebagai sebuah tren bisa dirujuk dalam peristiwa-peristiwa seperti rentetan kerusuhan dan kekerasan di Sampit, Ambon, Aceh, Maluku, serta banyak tempat lainnya di Indonesia maupun dunia diantaranya peruntuhan WTC dan pembantaian atas mana agama di Israel serta Bosnia yang kesemuanya menggunakan kekerasan sebagai piranti utama untuk aksi mereka.
15
manusia yang lain, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan
petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Proses ini dalam
perjalanannya akan mengarah pada rusaknya norma serta kaidah kamasyarakatan
yang menjadi acuan umum dalam kehidupan. Haidar Nasir memberikan deskripsi
menarik tentang hal ini dengan mengatakan:
Daniel Bell telah lama menyurakkan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat borjuis-perkotaan yang penuh keserakahan dan seribu nafsu untuk menguasai bagaimana sebagaimana watak masyarakat modern kapitalis. Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala kehidupan masyarakat yaitu mengambarkan kemunduran sebagai lawan dari kemajuan, sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung pada level pribadi yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respon, termasuk didalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan prilaku yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma. Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan, atau cultural lag. Bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan. Tidak berlebihan, jika Ali Syariati secara tegas melukiskan fenomena penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia (Nasir, 1997: 3).
Selain anomi, yang merupakan salah satu dari indikasi krisis modernitas, hal
lain yang sangat menonjol dalam realitas adalah munculnya berbagai penyakit
keterasingan, yang menurut Heradi Nurhadi (1997: 6) mewujud dalam beberapa
penyakit keterasingan yang terdiri dari keterasingan ekologis, etologis, masyarakat
dan kesadaran.
16
Keterasingan ekologis. Dalam keterasingan ini manusia secara mudah
merusak alam dan kekayaan yang terkandung di bumi ini dengan penuh kerakusan
tanpa peduli kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Keterasingan
etologis, dimaknai sebagai sebuah gejala dimana manusia mengingkari hakekat
dirinya hanya karena perebutan materi dan mobilitas kehidupan. Keterasingan
masyarakat, dalam posisi ini ditandai dengan munculnya keretakan dan kerusakan
dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, sehingga lahir disintegrasi
sosial. Keterasingan kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan
kemanusiaan, karena meletakkan akal pikiran sebagai satu satunya penentu
kehidupan yang menafikan rasa dan akal budi (Nurhadi, 1997: 6).
Dari berbagai sikap keterasingan inilah manusia modern seringkali
melakukan perbuatan-perbuatan yang sering dianggap irasional dan bahkan
bertentangan dengan norma dan kaidah yang berlaku umum di masyarakat yang oleh
Kuntjaraningrat (1997: 9) diasumsikan sebagai mentalitas menerabas3. Haidar Nasir
dalam telaahnya tentang kehidupan modern mengatakan bahwa :
Apa yang patut dibanggakan dalam kehidupan modern saat ini jika manusia saling memangsa sesama dengan penuh kesadaran, sehingga hidup nyaris tanpa pencerahan dan kehormatan. Kehormatan apa saja yang diraih dalam kehidupan yang disebut modern apabila manusia modern itu sendiri saling menjatuhkan diri pada budaya materi, rasio dan teknologi yang mematikan manusia. Humanisme apa lagi yang masih kokoh dijadikan sandaran manusia modern manakala pada saat yang sama krisis demi krisis kemanusiaan tumbuh dengan mekar dan menjadi panorama keseharian di setiap sudut kehidupan, sehingga manusia modern menjadi tidaj berharga
3 Menurut Koentjaraningrat (1997: 21) mentalitas menerabas adalah suatu mentalitas yang
bernafsu untuk mencapai tujuan dengan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara bertahap. Mentalitas ini merupakan jenis penyakit atau kerusakan mental sebagai kelanjutan atau akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan mutu dan kualitas dalam hidup. Mentalitas menerabas ini bukanlah perilaku kebetulan, tetapi merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang memandang hal-hal yang dilakukannya secara jalan pintas itu sebagai sesuatu yang baik dan benar serta dianggap sebagai kelaziman umum. Pola ini bermuara pada sikap pragmatisme.
17
sama sekali karena kehilangan jati diri. Rasionalisme apalagi yang patut dijadikan acuan hidu ketika kemodernan itu manusia kehilangan makna hidup yang membuat manusia rentan terhadap penyakit kehidupan. Bahagiakah manusia modern dengan kemodernan yang diciptakannya sendiri dengan penuh keyakinan dan keangkuhan?. (Nasir, 1997: 9)
Perkataan Haidar Nasir ini merupakan refleksi modernitas yang menilai
secara jujur tentang hilangnya makna hidup dalam kehidupan. Pendapat senada
diungkapkan pula oleh Hanna Djumhana Bastaman (1995: 191) bahwa satu hal
pokok dari kehidpan modern adalah hilangnya makna hidup yang berakibat pada
hilangnya orientasi, hilangnya tujuan hidup, hilangnya moralitas dan “kesemrawutan
pola kehidupan”, yang akhirnya bermuara pada menjalarnya stres4 dalam dimensi
yang semakin komplek.
Kehidupan modern yang materialis-hedonistic dan hanya menekankan pada
aspek lahiriyah semata, berakibat pada kegersangan spiritual dan dekandensi moral
serta stress menjadi fenomena yang lumrah. Pada titik jenuhnya, manusia akan
kembali mencari kesegaran rohaniyah untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Oleh
4Stres dapat mewujud dalam anxiety neurosis atau disebut juga neurosa kecemasan yaitu
bentuk neurosa dengan gejala paling mencolok adalah ketakutan yang terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah terus mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderita saja. Senada dengan definisi ini, Hanna Djumhana Bastaman (2001: 156) memberikan pengertian tentang kecemasan yaitu “ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas biasanya muncul bila kita berada dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasakan akan mengancam diri kita dimana kita merasa tidak bberdaya menghadapinya. Sebenarnya apa yang kita cemaskan iru belum tentu terjadi. Dengan demikian, rasa cemas itu sebenarnya ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Hampir dalam segala hal, seorang pencemas selalu khawatir dan takut”, Sedangkan Zakiyah Daradjat (2001: 20) memberikan pengertian tentang kecemasan bahwa kecemasan adalah : manifestasi dari berbagai proses yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa. Dengan demikian anxiety neurosis ialah; symptom ketakutan dan kecemasan terhadap bahaya yang seakan-akan mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderitanya saja. Perasaan cemas ini berasal dari perasaan tidak sadar yang berada di dalam kepribadian sendiri, jadi tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar-benar ada
18
karena itu banyak diantara mereka yang kembali ke dunia mistisisme, Tao, Budhis
dan Tasawuf.
Selain krisis modernitas manusia modern juga dihadapkan pada sebuah
kenyataan, bahwa agama yang selama ini diharapkan mampu memberikan solusi
terbaik terhadap persoalan-persoalan modernitas juga mengalami persoalan internal
yang cukup rumit. Diantaranya adalah persoalan krisis indentitas yang sejak awal
sudah mempertanyakan mampukah agama secara realitas memberikan alternatif
pemecahan bagi krisis yang dialami oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme
(Maksum, 1994: 1). Pertentangan dan perumusan tentang formulasi jawaban belum
menemukan titik temu yang maksimal sampai sekarang ini.
Persoalan lain dari permasalahan keagamaan yang akhir-akhir ini
menggejala adalah kekerasan atas nama agama5. Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa bisa demian?. Mengapa tiba-tiba manusia yang beragama berubah menjadi
manusia yang brutal?. Mengapa tiba-tiba sesama saudara harus saling menerkam,
membunuh dan menghancurkan?. Mengapa perilaku manusia beragama yang semula
religius berubah dalam waktu yang singkat menjadi seperti binatang?. Mengapa
perayaan agama yang begitu meriah tidak mampu membawa perubahan perilaku?.
Pertanyaan lebih lanjut adalah adakah yang salah mengenai cara beragama yang
selama ini dilakukan?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, dikarenakan ada persoalan
mengenai cara beragama yang selama ini dilakukan. Permasalahan itu adalah adanya
5 Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan lebih-lebih di Indonesia akhir-akhir ini, sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apogetis (membela diri) yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya sehingga menyulut kekerasan. Padahal agama baru menjadi konkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? (Haryatmoko, 2000: 4).
19
keterjebakan keberagamaan manusia dalam bahasa simbol yang masih kaku. Hal ini
dalam realitas nantinya akan mengarah pada keterjebakan formalisasi agama.
Apabila hal ini terjadi maka agama justru menjadi terasing dengan persoalan
kehidupan manusia, karena fungsi agama menjadi kabur. Agama yang seharusnya
menjadi pembebas akan terperosok dan terjebak pada aspek romantisme formal. Oleh
sebab itu sangat wajar, apabila ketika kesalehan dijadikan alat politik untuk mencari
popularitas, posisi, kedudukan, dan kekuasan konsekuensi logis yang akan
ditanggung oleh umat beragama adalah ketidak berdayaan eksistensi.
Dari deskripsi ini jelas, bahwa beragama tidak cukup hanya bersifat ritual
dan mementingkan diri sendiri, diperlukan sikap keberagamaan yang menyeluruh,
sehingga menyentuh aspek-aspek kehidupan. Menurut Romo Mangunwijaya (1999:
4), beriman bukan sekedar orang sembahyang. Bagi dia orang beriman berarti harus
berani menanggung resiko dengan cara ikut ambil bagian untuk memanusiakan
manusia. Orang beriman tidak terjebak persoalan hukum normatif tentang sah dan
tidah sah, layak atau tidak layak. Agama harus kembali kepada semangat awal yakni
berfungsi profetis. Agama harus kritis terhadap kekuasaan, harus mampu
membebaskan masyarakat dari kebodohan, ketakutan, kemiskinan, dan sistem yang
menindas. Dalam realitas banyak masyarakat yang menghayati agama secara
formalis. Mereka rajin beribadah, tetapi juga rajin menjelekkan orang lain. Mereka
rajin berdoa tetapi juga rajin menindas sesama. Mereka rajin berziarah, tetapi juga
rajin korupsi dan manipulasi.
Kenyataan seperti ini muncul karena penghayatan keagamaan mereka
menurut Romo Mangun (1999: 5) amat kekanak-kanakan. Tuhan hanya dimengerti
20
sebagai alat untuk mencari perlindungan dari segala perbuatan yang tercela. Tuhan
dimengerti hanya untuk mencuci dosa. Cara pandang beragama seperti inilah yang
perlu dikoreksi. Tugas umat beriman adalah menyucikan dunia dengan menegakkan
kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. Keberagamaanya bukan hanya
untuk kepentingan diri sendiri tetapi sebaliknya. Romo Mangunwijaya (1999: 5)
mengatakan, orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri justru
memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah
kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya beragama secara benar
adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak
memuaskan diri sendiri.
Adanya kenyataan bahwa, manusia modern mengalami krisis modernitas di
satu sisi dan sisi lain agama yang diharapkan memberikan pencerahan ternyata
terjebak pada aspek formalisasi ajaran dan fenomena kekerasan yang bercorak agama
maka diperlukan pemikiran ulang secara terus menerus untuk lebih mengarahkan
agama supaya efektif dalam memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia.
Pada posisi seperti inilah tasawuf menjadi hal yang patut untuk ditawarkan.
Hal ini dikarenakan tasawuf menurut Syeikh Hisyam Kabbani (2007: 16), lebih
mengutamakan kedamaian bagi umat manusia. Tasawuf menganjurkan agar antar
umat manusia saling bekerja sama. Tasawuf menjembatani semua kebudayaan
seperti tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai
penjuru dunia dan berbagai latar belakang. Oleh karena itu, pengamal tasawuf bisa
berdampingan mesra dengan siapapun.
21
Persoalannya kemudian adalah timbul asumsi bahwa tasawuf merupakan
ajaran dan perilaku yang menyimpang dari Islam dikarenakan banyaknya muatan
bid’ah dan khurafat. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah sebagai organesasi
pembaharuan mengadakan gerakan pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bid’ah
dan khurafat, tetapi dalam perkembangannya banyak tokoh Muhammadiyah yang
adaptip terhadap tasawuf sehingga hubungan tasawuf dan Muhammadiyah yang
awalnya berada pada posisi yang berhadapan menjadi posisi yang sejalan. Perubahan
inilah yang layak untuk diteliti lebih lanjut dalam tesis ini.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap
ajaran tasawuf?
2. Bagaimana implementasi intektual Muhamadiyah Kota Semarang terhadap
ajaran tasawuf tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah
untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan
implementasi dari persepsi tersebut.
D. Kajian Pustaka
Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu
dideskripsikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, beberapa diantaranya
adalah:
22
1. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study
Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2001 yang
berjudul : Muhammadiyah and Reconstruction of Islamic Spirituality: (The
Study of Tasawuf form and its Pactice in Muhammadiyah). Penelitian ini
mengkaji persoalan spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah, yang secara
umum lazim dikenal dengan istilah tasawuf. Persoalan ini kemudian dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan yaitu, 1) Adakah tasawuf dalam Muhammadiyah, dan
2) kalau ada, bagaimana bentuk dan praktik tasawuf dalam Muhammadiyah6.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam gerakan Muhammadiyah
terdapat elemen-elemen tasawuf, yang bentuknya adalah seperti spiritualitas
Islam pada umumnya sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Bentuk dan
praktiknya, misalnya anjuran untuk ber-muhasabah, pengendalian hawa nafsu
dengan menjalankan ibadah ritual. Bentuk lainnya adalah memandang kematian
sebagai bahaya besar. Persepsi tentang kematian ini mendorong orang-orang
Muhammadiyah untuk melakukan amal dan kerja secara produktif dan bukan
melakukan ibadah atau menyepi untuk berhidmat dengan Tuhan. Itulah agaknya
yang dapat disebut sebagai tasawuf Muhammadiyah, atau ajaran spiritualitas
Islam sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Tasawuf Muhammadiyah adalah
6Prosedur pencarian data penelitian di atas dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan
tertulis baik dari hasil penelitian, tulisan lepas maupun dokumen kegiatan yang terkait dengan aspek spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah. Dari bahan yang ada, dilakukan seleksi mana yang layak, serta mana yang dipandang kurang layak. Pembacaan secara mendalam terhadap bahan yang terkumpul adalah tahap selanjutnya hingga penyusunan draf laporan. Penulisan adalah tahap yang membutuhkan waktu paling lama. Dimulai dengan membuat pohon penelitian, hingga memberikan ilustrasi yang sedapat mungkin menggambarkan ada tidaknya tasawuf dalam Muhammadiyah hingga bentuk dan prakteknya. Tahap ini sekaligus merupakan tahap analisis hasil penelitian, dengan mendeskripsikan secara induktif dan melakukan penarikan kesimpulan sementara, sehingga menggambarkan suatu uraian secara deskriptif-kualitatif.
23
tasawuf akhlaki-transformatif, atau tasawuf aktual. Berikut adalah kesimpulan
dari penelitian tersebut.
The research result asserts that the tasawuf elements exist in Muhammadiyah movement whose form such as islamic spiritual as it is commonly known in accordance with Qur'anic value and sunnah. Its form and practice such as advise to be introspective, to control the passion by conducting ritual worship. Another form is regarding a death as a great danger. The perception of death supports the members of Muhammadiyah to perform the program and work productively and not just to worship the God respectively and hide from everyone. Thus, what is probably able to be concsidered as tasawuf of Muhammadiyah of teaching of islamic spirituality in accordance with al-Qur'an and al-Sunnah. Muhammadiyah's tasawuf is moral transformation tasawuf or actual tasawuf (Khozin: 2001,1)
Penelitian di atas merupakan kerangka dasar yang memberi gambaran
awal bahwa Muhammadiyah ternyata juga mengamalkan tipologi tasawuf
meskipun dengan karakteristik yang berbeda dengan yang dipraktekkan secara
umum. Penelitian ini mencoba mempertegas penelitian terdahulu dengan
mencari bentuk dan praktik tasawuf dalam perspektip intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang. Dengan lokalitas dan pembatasan wilayah
yang lebih spesifik diharapkan penelitian di atas dapat teruji secara proporsional
dan memadai untuk mempertegas kesimpulan mengenai tasawuf akhlaki-
transformatif, atau tasawuf aktual.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study
Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2002 dengan
judul: Rekonstruksi Spiritualitas Tokoh Muhammadiyah (Studi Tentang
Apresiasi Dan Refleksi Keagamaan KH. Ahmad Dahlan Dan KH. AR.
Fachruddin). Studi ini berawal adanya suatu fenomena sejarah tentang
24
keberagamaan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai penganut Islam puritan
yang apresiasi keagamaannya menurut pencermatan peneliti agak tipikal.
Apresiasi keagamaan ini sebagaimana yang terefleksi dalam semangat
perjuangan, kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan dalam beramal. Dari
fenomena sejarah ini kemudian fokus penelitian ini dirumuskan: Pertama,
mengapa tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki apresiasi keagamaan yang
tipikal?. Kedua, bagaimana apresiasi keagamaan ini direfleksikan dalam
kehidupan sehari-hari ?7.
Penelitian ini menunjukkan bahwa menurut KH. Ahmad Dahlan,
beragama adalah menghadapkan jiwa hanya kepada Allah serta menghindarkan
diri dari ketertawanan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan dengan bukti
penyerahan harta dan jiwa kepada Allah. Menurut KH. AR. Fachruddin
memandang agama sebagai peraturan hidup lahir dan batin yang harus
direfleksikan dalam hidup sehari-hari sebagai wujud dari kesadaran yang dalam
tentang adanya pembalasan di hari akhir. Refleksi dari pandangan keagamaan ini
semangat juang yang tinggi disertai kerelaan berkorban harta benda, pikiran
serta tenaganya sebagai wujud penyerahan diri yang total. Lebih dari itu adalah
hidup dalam kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan.
7Penelitian di atas dimaksudkan untuk mendeskripsikan apresiasi keagamaan, yaitu
pandangannya terhadap agama yang terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik dengan memberikan sumbangan teoritik tentang wacana spritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini secara praktisnya dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berwenang di persyarikatan untuk mendisain dan mengembil kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan spiritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini menggunakan metode sejarah beografis yaitu, penelitian yang berusaha menangkap fenomenna masa lalu yang bersifat individual. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan konstruksi masa lalu dari apresiasi keagamaan beberapa tokoh Muhammadiyah dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Subyek penelitian sengaja dipilih KH. Ahmad Dahlan dan KH. AR. Fachruddin keduanya adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Muhammadiyah
25
Penelitian di atas memberikan antitesa bahwa Muhammadiyah yang lahir
dari semangat puritan dan anti tasawuf ternyata dalam perspektip pendirinya
yaitu Ahmad Dahlan dan AR. Fahrudin memiliki pemahaman spiritualitas
ketasawufan yang kurang begitu banyak diekspose. Inilah yang menjadi titik
tekan penelitian ini untuk mencari dan merumuskan secara detail spiritualitas
Muhammadiyah pada generasi yang lebih baru terutama di Kota Semarang.
3. Artikel yang ditulis oleh Rizqon Khamami8 yang berjudul : “Fenomena
Intelektual Muda NU dan Muhammadiyah” yang dimuat di harian Duta
Masyarakat, 13 November 2003. Menurutnya pada satu dekade terakhir dapat
ditengarai sebuah kebangkitan intelektual di kalangan anak-anak muda Islam
yang berpayung pada organisasi beraliran tradisional, dan disusul oleh anak-
anak muda dari kalangan Islam modernis. Arah angin di kemudian hari kedua
organasasi Islam ini perlahan terciptanya tipis batasan antara istilah tradisional
dan modern. Pada tataran lain, anak-anak muda Muhammadiyah menunjukkan
gejala kebangkitan yang sama. Sebagai salah satu organisasi massa Islam yang
mendasarkan pada semangat pembaharuan Muhammad Abduh, dan semangat
puritanisme Ibnu Taymiyah,
Muhammadiyah telah mengalami "pergeseran" pergerakan. Meskipun
berhasil memajukan amal usaha yang berhubungan langsung dengan denyut
8Rizqon Khamami beralamat di Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, raksaan,
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Terlahir di kabupaten Batang, Jawa Tengah, kini sehari-hari mengelola pesantren Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-jailani, Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Selain mengajar di Universitas Zainul Hasan, Genggong, ia adalah direktur Pokjar Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menyelenggarakan PGSD, UPBJJ-UT Malang. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan di SMA Takhasus Al-Qur'an (TAQ) dan Ponpes Al-Asy'ariyyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Saddam University for Islamic Studies, Baghdad, Iraq, untuk S1 pada tahun 1998. Sedangkan S2 diselesaikan dari Jamia Millia Islamia, New Delhi, India dalam bidang Islamic Studies.
26
kehidupan masyarakat, seperti rumah sakit, universitas, sekolah dan lain
sebagainya, namun terkesan melupakan sisi kajian keislaman. Pengembangan
wacana keislaman di tubuh organisasi modernis ini selama beberapa waktu
tampak mandeg. Keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang amal usaha belum
membuat kalangan mudanya terpuaskan. Gesekan-gesekan kaum muda
Muhammadiyah dengan fakta sosial, tak terelakkan, adalah pemicu geliat
keintelektualan mereka, karena kaum tua Muhammadiyah lamban dalam
mengantisipasi. Wacana-wacana anyar yang dimunculkan oleh kalangan muda
Muhammadiyah merupakan bentuk kritik tak langsung dan sebagai ekspresi
pemberontakan kepada kalangan tua Muhammadiyah. Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM)9 berdiri.
Dalam Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Januari
2000 telah diputuskan agar manhaj tarjih dan pemikiran Islam dalam
Muhammadiyah tidak hanya didominasi oleh pengkajian masalah-masalah
akidah dan fikih yang dianalisa dengan pendekatan tekstual, tetapi harus
menembus ke berbagai wilayah pemikiran keislaman, baik teologi (kalam),
9Pada 18-20 November 2003, JIMM, menyelenggarakan Tadarus Pemikiran Islam-
Muhammadiyah (TPI-Muh) di Malang, yang memiliki tujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan dialog Islam-Barat dan membangun kunci hermeneutik untuk turut andil memecahkan problem kekinian. Muncul nama-nama seperti Zuly Qodir, Happy Susanto, A Fuad Fanani, Piet A Khaidir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy, Ai Fatimah Nur Fuad dan lain-lain. Bahkan disebut-sebut TPI-Muhammadiyah merupakan upaya awal membedah problem sosial, kemiskinan, keterbelakangan, krisis multidimensional yang memunculkan kegelisahan religius, keprihatinan sosial, dan moral. Intelektual muda Muhammadiyah terpacu untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan kepada rakyat. Persentuhan anak-anak muda Muhammadiyah dengan fakta kekinian dengan mengangkat isu-isu kontemporer seperti demokratisasi, hubungan antaragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, civil society, globalisasi, dan multikulturalisme adalah sebuah sikap kritis dalam memahami persoalan sosial yang memerlukan "penyelesaian agama". Semangat kembali kepada Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju' ila al-Quran wa al-Sunnah al-Nabawiyah) dalam ranah agama, bagi kalangan muda Muhammadiyah belumlah cukup, tanpa melibatkan diri dalam ranah sosial dan moral.
27
falsafah, fikih, tasawuf, dan agenda-agenda sosial kemasyarakatan. Tak pelak,
pilihan ini harus dibarengi dengan peninjauan kembali metodologi. Semangat
tajdid al din (pembaharuan pemikiran keagamaan) yang digagas Abduh
mendapatkan tempat.
Menariknya, ketika angkatan muda NU dan Muhammadiyah secara
bersamaan mengangkat isu-isu tersebut di atas, maka batas antara tradisionalis
NU dan modernis Muhammadiyah semakin kabur, kecuali dari kenyataan bahwa
anak-anak muda NU mengembangkan wacana keislaman berangkat dari warisan
tradisi yang ditularkan secara turun temurun, dan angkatan muda
Muhammadiyah menggali kajian keislaman dari semangat tajdid al-din.
Akhirnya, warisan persengketaan intelektual masa lalu dua kelompok Islam ini
sebagai akibat desakan identitas dan kuatnya kepentingan lambat laun mulai
menghilang. Arus balik intelektual muda Muhammadiyah inilah yang menjadi
titik tekan penelitian tesis ini untuk mempertegas keberadaan bentuk dan praktik
tasawuf di Muhammadiyah Kota Semarang.
4. Artikel yang ditulis oleh Dalail Ahmad dan Muhammad Qorib yang berjudul
“Tasawuf Di Tengah Nestapa Manusia Modern” yang dimuat di majalah Suara
Muhammadiyah pada tanggal 15 April 2008. Menurutnya ada beberapa
indikator kuat dari kebutuhan manusia terhadap tasawuf, baik di dunia pada
umumnya maupun khususnya di dunia Islam. Di Indonesia kecenderungan
terhadap spiritualitas juga dapat dilihat dari maraknya berbagai pengajian
tasawuf. Beberapa pengajian yang bercorak tasawuf dapat menyedot jamaah
lebih banyak daripada pengajian lainnya, bahkan sebagian masyarakat sanggup
28
membayar mahal untuk mengikuti kursus-kursus tasawuf di berbagai tempat.
Spiritualitas di dalam Islam disebut tasawuf. Meskipun para ahli memberikan
definisi terhadap kosa kata itu secara beragam, namun intinya adalah sama yakni
kesadaran manusia akan dimensi spiritualnya. Di dalam tasawuf, manusia
diarahkan untuk memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu,
mengharuskan manusia melakukan pendakian demi pendakian untuk meraih
kualitas dirinya agar semakin baik. Dengan mengutip pendapat Annemarie
Schimmel, kedua penulis tersebut berpendapat bahwa tasawuf akan
mengantarkan manusia sedekat mungkin dengan Tuhan. Tasawuf dapat
diejawantahkan melalui berbagai aktivitas umat manusia, yang mengindikasikan
bahwa tasawuf tidak menolak kehidupan dunia, malah kehidupan itu harus
diraih. Tasawuf hanya mengarahkan agar setiap orang tidak terpengaruh atasnya.
Tasawuf juga tidak mengajarkan agar seseorang melakukan ekskomunikasi dari
masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf bisa melahirkan orang yang tercerahkan dan
mencerahkan, terbimbing dan membimbing, terdidik dan mendidik.
Artikel ini menjadi menarik karena ditulis oleh tokoh Muhammadiyah
yang banyak dicitrakan anti tasawuf. Penulis pertama adalah Ketua PW.
Muhammadiyah Sumatera Utara periode 2005-2010, sedangkan penulis kedua
adalah Wakil Ketua MTDK. PWM Sumatra Utara, yang kini sedang
menyelesaikan program doktor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Tulisan ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma
tentang tasawuf yang dalam perjalannnya kemudian diadopsi menjadi satu hal
yang menyatu dengan Muhammadiyah.
29
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sesuai rumusan masalah yang ada dengan pertimbangan bahwa dalam
penelitian ini tidak mengejar yang terukur, menggunakan logika matematik dan
membuat generalisasi atas neraca maka jenis penelitian di sini adalah penelitian
kualitatif (Muhajir, 1996: 9). Dalam konteks penelitian ini, peneliti dalam
memperoleh data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data itu
diperoleh dalam bentuk penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk lisan
maupun tulisan. Penelitian kualitatif secara garis besar dikelompokkan menjadi
3 yaitu : penelitian kualitatif naturalistik, penelitian kualitatif teks dan penelitian
kualitatif historis (Yahya, 2003: 33-38). Dari ketiga model diatas penelitian ini
sesuai dengan judulnya masuk pada model pertama yaitu penelitian kualitatif
naturalistik.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
naturalistic yaitu pendekatan yang memandang kenyataan sebagai sesuatu yang
berdimensi jamak dan merupakan suatu kesatuan yang utuh, serta berubah (open
ended). Oleh sebab itu dalam melakukan, antara peneliti dan yang diteliti saling
berinteraksi sehingga dalam konteks ini peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat
penelitian yang tentunya tidak dapat melepaskan diri secara multak dari unsur
subjektifitas. Pendekatan naturalistic sering juga disebut sebagai pendekatan
kualitatif, post-positivistic, etnografic, humanistic dan case study (Sudjana dan
Ibrahim, 2000: 6)
30
3. Populasi dan Sampel
Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang
ciri-cirinya akan diduga (Sofyan, 1983: 108), atau juga dapat dipahami sebagai
sesuatu yang terkait dengan elemen yakni tempat diperolehnya informasi yang
bisa berbentuk individu, keluarga, kelompok social ataupun organisasi. Dengan
kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen sedangkan sample
merupakan sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama
dengan populasi (Sudjana dan Ibrahim, 2006: 84).
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari intelektual
Muhammadiyah kota semarang. Intelektual dalam hal ini dipahami sebagai
kelompok terpelajar (Purwodarminto, 1976: 384), atau menurut Ali Syariati
(1985: 15) didefinisikan sebagai orang yang selalu memanfaatkan potensi akal
yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya,
mengungkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami
oleh setiap anggota masyarakat. Secara praktis intelektual Muhammadiyah kota
Semarang adalah seluruh warga Muhammadiyah yang memiliki latar belakang
akademik yang memadai.
Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memformulasikan pemikiran
Intelektual Muhammadiyah kota Semarang secara keseluruhan tetapi mencoba
memotretnya dengan sample unsur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah
(PDM) Kota Semarang dan dan unsur dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
(PWM) Jawa Tengah. Pemilihan sample ini mempertimbangkan pengelompokan
31
intelektual Muhammadiyah Kota Semarang dalam kategori menolak tasawuf
secara total, bersikap terbuta dan akomodatip.
4. Metode Pengumpulan Data
Ada tiga metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini,
keduanya yaitu :
a. Metode Wawancara.
Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan
jalan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang yang
berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993: 104). Wawancara dalam
hal ini dilakukan kepada sample penelitian yang terkait dengan pandangan
mereka terhadap tasawuf dan hal-hal lain yang terkait dengan fokus
penelitian.
b. Metode Dokumentasi
Dalam penelitian ini, pengumpulan data-data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan dokumentasi
yaitu mengumpulkan data yang bersifat primer maupun sekunder dalam
bentuk buku, majalah, artikel dan lainnya (Hadi, 1983: 9)
c. Metode Observasi
Metode ini digunakan untuk mencari data dengan datang langsung
ke-obyek penelitian dengan memperhatikan dan mencatat segala hal penting
32
untuk mendapatkan gambaran dan persepsi yang maksimal dari obyek
tersebut.
5. Metode Analisis Data
Setelah proses memperoleh data-data dari hasil observasi, wawancara
dan domumentasi, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi sesuai dengan
permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisa
dengan metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian
terhadap objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah
tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto,
2000: 59). Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara
sistematis dan objektif.
Metode deskriptif adalah sebuah metode yang mendeskripsikan dan
menafsirkan data yang ada, misalnya tentang sesuatu yang diteliti, satu
hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang nampak atau proses yang sedang
berlangsung (Surahmat, 1970: 131). Setelah data terdeskripsikan, langkah
selanjutnya adalah menganalisisnya dengan mencari faktor-faktor penyebab
terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu (Nasir, 1998: 68) yang
dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan intelektual
Muhammadiyah terhadap ajaran tasawuf.
F. Sistematika Penulisan
33
Dalam penelitian ini penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab
dan setiap bab terdiri beberapa sub bab. Adapun rincian dari kelima bab tersebut
adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, penegasan
judul, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan
Bab II : Diskripsi tentang Tasawuf, Maqomat dan Thariqah. Bab ini akan
membahas tentang pengetian tasawuf, deskripsi tentang kemunculan tasawuf,
maqomat, tarekat dan rekonstruksi terhadap tasawuf. Bab ini dimaksudkan sebagai
landasan teori untuk pembahasan yang lebih tajam dan akurat agar sesuai dengan
pokok permasalahan yang menjadi focus penelitian agar tidak keluar dari landasan
teori yang telah dibangun.
Bab III : Diskripsi tentang penelusuran paham tasawuf dalam landasan
dasar perserikatan Muhammadiyah, yang terdiri dari pembahasan tentang pencitraan
tasawuf secara umum, historisitas Muhammadiyah, penolakan Muhammadiyah
terhadap takhayul, bid’ah dan churofat, deskripsi tentang misi Muhammadiyah,
yang dilakukan dengan penelusuran paham tasawuf dalam landasan dasar
muhamadiyah yang meliputi penelusuran dalam muqodimah anggaran dasar,
kepribadian Muhammadiyah, Matan keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah, hakkat Muhammadiyah, khittah perjuangan Muhammadiyah dan
pedoman hidup islami warga Muhammadiyah. Bab ini juga menelusuri paham
tasawuf dalam zhawahir al afkar al muhammadiyah dan pelacakan dalam idiologi
Muhammad Dahlan. Uraian bab ini dimaksudkan untuk memaparkan hasil
34
pengumpulan data lapangan, yang kemudian dijadikan bahan analisis setelah
dipadukan dengan landasan teori yang ada.
Bab IV : Deskripsi tentang tasawuf dalam perspekrif intelektual
Muhammadiyah kota Semarang yang terdiri dari deskripsi histories-geografis Kota
Semarang, formulasi tasawuf menurut intelektual Muhammadiyah kota Semarang
yang mengarah pada konsep Urban sufisme, Neo-sufisme dan Tasawuf Positif serta
pembahasan tentang faktor penyebab deviasi pemahaman intelektual
Muhammadiyah kota Semarang terhadap tasawuf. Dalam bab ini dimaksudkan
untuk menganalisis data yang ada kemudian membandingkan dengan landasan teori
yang ada.
Bab V : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
DISKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN TENTANG TASAWUF,
MAQOMAT DAN TAREKAT
35
Tasawuf10 merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam. Tasawuf memandang
ruh sebagai puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan”
saja (Aceh, 1984: 28). Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada
aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat
personal. Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam Islam di kenal dengan
istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian dikenal dengan istilah tarekat (dekat
dengan istilah tirakat). Dalam perspektip tarekat setiap pendaki akan melewati level dan
kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal
dengan istilah Mursyid) (Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain
sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda.
Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang
menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan)
atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi
dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke
kondisi yang lebih yang lain, hingga murid mampu mencapai tingkatan fana
(kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada
sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan” (Nicholson,
1979: 30).
Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf
moral, setelah melewati fase tadi, mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam
dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat yang telah diisi
10Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama
Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial.
36
dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat yang dijalankan akan
lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang
murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya
dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang
paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup
toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama
yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara
sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana
ia berasal dan kemana ia akan kembali (Zuhri, 1979: 30).
Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid
atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”, tetapi mau tetap menikmati ekstase
keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan (Nicholson, 1979: 30). Terucaplah
perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Dari sinilah
akhirnya terucap pengakuan sebagai “Sang Kebenaran” atau memuji dirinya sendiri
sebagai Tuhan, atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur
Ilahi, 1986: 99). Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul
khawas) mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang
memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf?
Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga
kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang
sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim sesat dan berakhir dengan
hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu
Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya
37
berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati
dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini
juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah
termasuk dalam kategori ini. Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim
kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi
sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah (Fauzan,
1998: 39).
Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk segera pulang
setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf
dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat, atau
Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan
melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra.
Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf
tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang
berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri
setiap manusia yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu
“tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita (Aceh, 1984: 28).
A. Deskripsi Tentang Tasawuf
Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita simak
pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:
Sufisme and science are striving for the same destination. Science wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach
38
Him? Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that knowledge (Rabbani:1995, 1)
Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita bahwa
tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme, tasawuf dan
mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu hal yang sangat
penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran Islam karena ia
adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr, 1980: 31), namun lebih dari
itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam rangka pencarian terhadap makna
hidup yang bersifat universal dan perennial (Lings, 1993: 22-23).
Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains)
dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran
apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated
dan penuh dengan dinamika.
Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan keberadaan mistisisme baik
sejak awal berdirinya agama ini sampai saat sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam
mengalami perkembangan dan modifikasi yang sangat variatif, maka tidak heran
apabila dalam setiap periode sejarah umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan
kelompok-kelompok sufi (sufi orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam.
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus
batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek
esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual
lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam
yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia
39
(Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi
sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs
(penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-
tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap
berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang
diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),
atau fana’ (peniadaan diri).
Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya
akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya
karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi
setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada
dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada
Allah (Umari, 1961: 123).
Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi
Muhammad. Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah
(Basyuni, 1960: 111). Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1).
Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada)
setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya dituliskan: “Adapun kata sufi
tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in) dan hanya
dikenal setelah masa itu” (dalam Fauzan, 1998: 1). Hal ini banyak dinukil oleh para
imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut
Saleh Fauzan menjelaskan.
40
Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata: “sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu (Fauzan: 1998, 1).
Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula
kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata shaf
yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh yang
tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian yang lain berpendapat berasal
dari shafa yang berarti bersih dan suci karena orang sufi senantiasa membuat lahir
batinnya dalam keadaan suci. Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya
kepada al-shuffat yaitu serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat
ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan
ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata
Yunani shopos (Hidayat, 2003: 542).
Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata asal
yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan kecil berbulu yang
banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang terbaik), suf (bulu domba kasar),
theosophy (hikmat ketuhanan) dan shuffah,. Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata
shuffah, dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan
41
oleh para sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat
dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh
beberapa sahabat Anshar. Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir
Valiuddin (1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah
maka panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufi melainkan shuffi. Pendapat Al-
Kalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang mengatakan
“mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah, namun secara
maknawi dapat dibenarkan”.
Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal dari kata
shuff. Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al Suhrawardi (1985: 326),
dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis dari Anas yang
menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik Himar dan
memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan Basri yang
pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang mengenakan pakaian
bulu domba. Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR. Gibb (1964: 110), menurutnya
sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian dari bulu
domba dan perilakunya disebut tasawuf. Lebih lanjut menurutnya, secara histories
asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang penebusan dosa seseorang yang
diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964, 110). Dukungan juga diberikan oleh
Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke, sebagaimana dikutip oleh Nicholson
(1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff awalnya dinisbatkan kepada
orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru kehidupan para biarawan Nasrani
42
yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar sebagai
tanda tobat dan niat yang kuat untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat
mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada kelompok
yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai oleh pelaku
tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada aspek batiniah
yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa), sedangkan yang lain
menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan amaliah antara ahli
tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan
bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga badannya kurus seperti pohon
shufanah.
Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam, Junaid al
Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan tujuan
hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46). Untuk
mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah
mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian
dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian hati
dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini akan
berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada
dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk
menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri
secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).
43
Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk dari banyak
tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57), tasawuf adalah
menjabarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjahui
perbuatan Bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sikap meringankan
ibadah. Menurut Ma’ruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh Al-Syuhrawardi
(1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak dari apa yang
dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Basuni
(1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia. Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1974:
3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh kehidupan zuhud,
menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan berbagai macam ibadah,
melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi ruhani.
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan
perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang ada untuk
beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan tercela.
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa
sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-
Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun (1966: 231)
pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang
menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk)
atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak
sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani)
perilaku hidup Nabi.
44
Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan
akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup
kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-
agama lainnya (An-Nadwi, 1987: 61). Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa
pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya
masih dalam kerangka zuhud (dalam An-Nadwi, 1987: 68). Menurut Ahmad
Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan
untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi
dibanding tingkat abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi
di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf
adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’ dan bukannya
mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural (dalam An-Nadwi: 1987,
68).
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu
aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat
dikatakan positif (ijabi), tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman
maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi
mempunyai dua corak: tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil
naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual, dan tasawuf
sunni11, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam
11Dalam bidang tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak
dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi'i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
45
konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf
salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil12. Salafi menolak adanya takwil,
sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka
syari’ah, sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat
(Nasution, 1990: 56).
Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf
Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia
dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu
dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme
dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan
menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan
ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi
(Al-Afifi, 1989: 40). Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan
untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan
kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar
Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh
manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Apabila kita membahas tasawuf logikanya memang tidak lagi terkotak-kotak kepada Susy (Suni
Syiah), alasannya tasawuf adalah dimensi spiritual Islam yang membahas perjalanan salik menuju Allah. Artinya dimensi ini bersifat spirit (rohani) lain dengan corak keagamaan yang terdogma dalam aturan-aturan dunia (syariat). Walaupun dominasi ajaran mereka memiliki corak khusus, bahkan Ibnu Arabi seorang Sufi yang Suni, pendapatnya yang berbau filosofis kurang diterima dikalangan suni tetapi sebaliknya di Syii diterima dengan penghormatan khusus, bahkan mendapatkan sebutan Syaihul Akbar. Ilmu hakikatnya satu demikian juga kebenaran karena berangkat dari sumber yang satu, jadi ini hanya masalah sudut pandang saja. Bisa saja sejarah tasawuf dipandang dari sudut pencampuran kebudayaan, bisa saja tasawuf dipandang dari sudut faktor sosial dan ekonomi, masing-masing punya sudut bahasan yang unik bahkan memperkaya khasanah pengetahuan kita. Tak perlu berapriori bahwa sejarah tasawuf harus sama dan seragam.
46
Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi
atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan
teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual,
(3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis
didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30). Oleh karena itu sebagian
ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan
agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.
Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama
dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari pribadi
Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan
para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama
belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan
dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari
tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di
tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari
pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal dapat diketahui
bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek
kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual
umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar
menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76).
Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang
sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat
berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam
47
pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A.
Nicholson (1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk
mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan
mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.
Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-
langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3
(tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminative
(Russel, 1927: 28). Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah
shari’a, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin, 1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana
dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau
amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian
jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-
orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi
kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik
pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering
terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal,
ridha, mahabbah, ma’rifah, fana’, ittihad, hulul. Selain maqam, tradisi sufi
mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state) yakni situasi
kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau
disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi
hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan
48
jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang
disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi
rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, dan raja’, Syauq, Uns, tuma’ninah,
musyahadah, dan yakin (Nasution, 1974: 79).
Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari
perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang,
sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah
tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli.
Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal pada syariat (dari kata syari’=jalan utama) (Triminghan, 1971: 51).
B. Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf
Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2
Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan
istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga
Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul
di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang
masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah)
kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena
faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya
adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu
asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72).
Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-
Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
49
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam
pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-
Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan
yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad
ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para
fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang
dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan
menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya,
terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan
tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam
dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis).
Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan
bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat
dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung
menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat
dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai
pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w.
13Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan
pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (يلمعلا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (يرطنلا ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
50
298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab
al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang
sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami
(261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul
(587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.
Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi
terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi
secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur
pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap
kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang
mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3)
masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-
dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf:
(1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3)
bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan
makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya
14Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik,
khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri. Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam. Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan Wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni. Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri. Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa. Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan (Shihab, 2001: 121)
51
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam
iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1)
sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat
muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-
bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam
tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga
berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang
dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan
fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu
Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes”
dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman
doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi
kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka
(Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui
tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid
dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu.
Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M; (2)
tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi
ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan;
(3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang
melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).
52
Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui
ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual
tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat
disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula
varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
C. Maqamat: Perjalanan Menuju Hakekat
Dalam perspektif tasawuf dipahami bahwa doktrin yang paling pangkal dari
semua ajarannya adalah tauhid dan memang begitu harusnya dikarenakan tauhid
adalah inti dari ajaran Islam. Tauhid (unity) ini diekspresikan dalam bentuk verbal
“syahadah” (al-Faruqi, 1998: 327). Pada kenyataanya seluruh agenda sufisme
dengan jalan spiritualnya yang biasa disebut dengan tariqah bertujuan untuk
membebaskan manusia dari segala bentuk penjara keterpisahan dan keberagaman
(multiciply). Membebaskan manusia dari segala bentuk dan karakter hipokrit
menuju pemahaman dengan perspektif yang menyeluruh untuk menuju derajat
kemuliaan manusia. Manusia terkadang mengaku mempunyai Tuhan yang satu akan
tetapi mereka berbuat seolah-olah ada banyak Tuhan. Inilah yang disebut dengan
syirk. Tasawuf dengan demikian bermaksud mengubah keadaan siyrk. Singkatnya
tujuan tasawuf adalah mengintegrasikan manusia dalam keseluruan eksistensi yang
paling dalam dan paling luas dari eksistensi kehidupan. Dari sinilah konsep manusia
sempurna dimunculkan (al-Faruqi, 1998: 327).
Konsep tauhid mengharuskan setiap muslim untuk percaya bahwa tidak ada
Tuhan (al haq) atau realitas kecuali Allah, tetapi hanya para sufilah yang membawa
realitas ini pada kesimpulan yang sempurna. Inilah yang biasa disebut sebagai
53
“kesatuan keadaan” (oneness af being) (Lings, 1993: 64). Dalam konteks seperti
inilah para sufi mempersaksikan la ilaha illa allah dalam dua hal, pertama:
persaksian tersebut adalah pengesaan Allah dalam segala hal terutama dalam hal dia
sebagai dzat yang dicinta satu-satunya, oleh karena itu para sufi menegasikan
tujuan, kecintaan dan pengabdian selain kepada Allah. Ilah dalam perspektif sufi
adalah mahbub, maqshud dan ma’bud sekaligus. Kedua: persaksian tersebut
mengharuskan proses intenalisasi Allah sebagai satu-satunya yang dituju, dicinta
dan abadi (Muhayya, 2000: 1-2).
Untuk mencapai dan merealisasikan konsep tauhid inilah sufisme
mempunyai jalan atau tahapan-tahapan yang sering disebut dengan istilah maqamat
yang pada umumnya dinyatakan dalam terminology religio-moral yang istilahnya
dipinjam dari al Qur’an (Rachman, 2000: 194) . Istilah maqam sendiri berasal dari
derivasi qama-yaqumu-maqam yang berarti tempat berdiri. Maqam secara
terminology adalah tahapan dari sebuah pencapaian spiritual dalam proses
pendekatan diri kepada Tuhan yang merupakan hasil dari usaha pribadi yang
bersifat mistik (Arberry, 1972: 75). Maqam juga berarti sebuah aspek pengetahuan
ketuhanan yang merupakan sesadaran permanent yang dicapai oleh jiwa. Sebuah
maqam tertentu bisa menjadi karakteristik bagi seorang Wali atau sufi tertentu dan
bisa saja tidak berlaku bagi yang lain (Classe, 1995: 258). Abu Nasr al Sarraj al Tusi
mendefinisikan maqam dengan kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang
berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al
nafs), berbagai latihan spiritual (riyadlah) dan penghadapan segenap jiwa (intiqa)
kepada Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 308).
54
Istilah maqam berbeda dengan istilah yang lain dalam sufi, yaitu hal (ahwal)
yang berarti keadaan jiwa (state of soul) atau beberapa bentuk keadaan secara umum
(Ensiklopedi Tematis, 2004: 308). Hal adalah keadaan spiritual yang tidak
tergantung pada upaya mistik tetapi bergantung kepada Allah. Ini sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh al-Qushairy yang mengatakan bahwa jika maqam dicapai
dengan usaha maha hal merupakan pemberian Allah (dalam Arberry, 1972: 75).
Perbedaan antara kedua hal ini dapat dipahami dari komentar salah satu tokoh sufi
yang otoritatif, al Hujwiri.
maqam mengharuskan keberadaan seseorang dalam rangka menuju Tuhan dan kepatuhan dia terhadap perintah-Nya merupakan usaha untuk mencapai maqam tersebut dan dengan memelihara keadaan itu hingga sampai pada kesempurnaan tergantung pada kesempurnaan manusia. Dia tidak dibolehkan berhenti pada maqamnya tanpa memenuhi kewajiban-kewajibannya. Maqam yang pertama adalah taubat, inabat, zuhd, tawakal dan seterusnya. Maka tidak diperbolehkan seseorang yang berpura-pura melakukan inabat tanpa melakukan taubat terlebih dahulu atau zuhud tanpa taubat. Hal pada satu sisi adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada hati seseorang tanpa ia mampu menolaknya ketika datang atau untuk menahannya ketika pergi (dalam Nicholson, 1991: 181 dan Nasr, 1980: 62)
Dalam kitabnya al Luma, Abu Nars al Sarraj menjelaskan sepuluh ahwal
yaitu: muraqobah, qurb, mahabbah, khauf, raja, syauq, uns, itma’nan, musyahadah
dan yaqin (al-Sarraj, 1914: 42 dan Nicholson, 1991: 181), dan menjelaskan
maqamat kedalam tujuhbagian yaitu taubah, wara, zuhd, faqr, sabr, tawakal dan
rida. Ini berbeda dengan Abu Bakar al Kalabadzi yang membagi maqam dalam
kategori taubat, zuhd, sabar, tawakal, rida, mahabbah dan ma’rifat (Ensiklopedi
Tematis, 2004: 309).
55
Dalam menentukan jumlah dan tingkatan maqam, para sufi nampaknya
berbeda-beda dan tidak mempunyai pekspektip yang sama. Sebagian mereka sama
dalam menentukan jumlah yang kebanyakan adalah tujuh maqam namun berbeda
mengenai apa saja jenis maqam yang harus dilalui namun ada juga seorang tokoh
sufi yang menyebutkan banyak maqam seperti yang dikonsepkan oleh Abu Said Ibn
Abi Khayr yang menentukan empat puluh maqam yang harus ditempuh oleh
seorang sufi yang terdiri dari: niyyat, mabat, taubat, irodat, mujahadah, muraqabat,
sabr, zikr, rida, mukhalafatunnafs, muwafaqat, taslim, tawakal, zuhd, ibadah, wara,
ikhlas, sidq, khauf, raja, fana, baqa’, ilm al yaqin, haq al yaqin, ma’rifat, jahd,
wilayat, mahabbat, wajd, qurb, tafakkur, wisal, kashf, khidmat, tajrid, tafrid,
inbisat, tahqiq, nihayat, tasawwuf (dalam Nasr, 1980: 66-70).
Walaupun maqamat merupakan tahapan spiritual yang bisa dilalui melalui
usaha dan ahwal merupakan sinyal-sinyal Allah yang diterima oleh seorang sufi,
namun ahwal tidak bisa dilepaskan dari usaha seorang sufi dalam meniti maqamat,
dengan demikian menurut Abdul Muhaya, ahwal ibarat cahaya maka maqamat
adalah ibarat cermin (Muhaya, 2000: 2). Semakin tinggi dan keras usaha seseorang
untuk membersihkan cermin, maka semakin terang juga cahaya akan memantul dari
cermin tersebut.
Seorang salik yang dalam perjalanan telah mencapai maqam yang lebih
tinggi tidak diperbolehkan meninggalkan maqam yang ada dibawahnya namun yang
harus dilakukan adalah tetap melakukan perjalanan bersamanya. Kualitas yang
bagus dalam penghayatan sebuah maqam sagatlah dibutuhkan, sekali maqam
tersebut bersamanya maka harus terus bersamanya sampai akhir perjalanan
56
(Amstrong, 1995: 140). Dengan demikian pada dasarnya melampaui sebuah maqam
bukan hanya berarti mempunyai pengalaman (to experience) tentang maqam
tersebut secara lahiriah, namun diharuskan juga untuk melakukan transformasi
secara total dengan maqam tersebut (wholly transformed) (Nasr, 1980: 63-64).
Berikut adalah deskripsi tentang stratifikasi konsep maqam menurut Abu
Bakar al Kalabadzi.
a. Taubat.
Maqam ini merupakan awal dari semua maqamat. Kedudukannya
laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak akan berdiri
dengan baik. Demikian juga tanpa taubat seseorang tidak akan mampu
mensucikan jiwanya secara maksimal untuk menghadap Tuhan. Taubah yang
berasal dari kata kembali dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela
menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan agama (Ensiklopedi Tematis,
2004: 309).
Imam al Ghazali menjelaskan bahwa taubat mempunyai dua arti
penting. Pertama, dosa yang dilakukan secara terus menerus tanpa disertai
dengan taubat mengakibatkan hati menjadi gelap dan penuh dengan kotoran.
Kondisi ini membuat hati menjadi tidak akan merasakan kenikmatan dekat
dengan Allah. Kedua, taubat menentukan diterimanya amal seseorang, karena
ibadah seorang hamba tidak akan diterima selama ia masih penuh dengan dosa
(Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Taubat yang paling tinggi secara tingkatan
adalah taubatan nasuha yaitu taubat yang menghapuskan keinginan yang
terlintas didalam hati untuk melakukan perbuatan dosa yang pernah dilakukan
57
dimasa lampau sebagai perwujudan dari rasa kagum kepada Allah dan takut
kepada siksanya. Taubat ini akan dapat terlaksana amemenuhi tiga hal, pertama :
membebaskan hati dari keinginan untuk berbuat dosa, kedua: meninggalkan
perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada masa lalu, ketiga: meninggalkan
perbuatan buruk tersebut (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).
b. Zuhud
Secara bahasa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu karena
kekurangan dan kehinaannya, sedangkan secara istilah zuhud dimaknai sebagai
kebencian hati yang terkait dengan keduniawian dan menjauhkan diri darinya
karena taat kepada Allah meskipun terdapat kesempatan untuk memperolehnya
(Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan
sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah megah antara kamu serta
berbangga tentang banyaknya harta dan anak (QS. 57: 20). Ayat ini
mengindikasikan bahwa keduniawiaan itu bisa berwujud kesenangan material
yang bersifat sementara yang paling penting dan hakiki adalah kehidupan
spiritual yang bersifat pribadi dan ruhaniyah. Walaupun kehidupan zuhd berarti
bersifat anti materi namun keperluan kemanusiaan juga tidak bisa
dikesampingkan karena orang yang zuhd adalah orang yang mampu
menggunakan segala hal keduniawian sesuai dengan ketentuan hokum dan etika
bukan berlebihan dan berfoya-foya karena semuanya digunakan untuk
kepentingan beribadah kepada Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).
58
Menurut Al Sarraj ada tiga tingkatan dalam zuhud. Pertama, zuhud
terhadap dunia. Ini adalah zuhud yang paling rendah karena di dalam hatinya
sebenarnya masih ada keinginan keduniawiyan hanya saja ia berusaha untuk
mengatasinya. Kedua, kezuhudan seseorang yang telah sanggup meninggalkan
keduniawian karena ia dianggap sudah tidak mempunyai nilai. Ketiga, zuhud
tingkat tertinggi yaitu zuhud yang semata-mata hanya mengharap ridha Allah.
Menurut al Ghazali ada tiga tanda dari kezuhudan seseorang, pertama: dia tidak
bergembira dengan apa yang dapat dicapai dan tidak berduka dengan sesuatu
yang hilang. Ini merupakan tanda zuhud pada harta. Kedua: dia bersikap sama
dalam menerima pujian dan ejekan. Ini merupakan tanda zuhud yang terkait
dengan jabatan. Ketiga: hatinya senantiasa diliputi kemesraan dalam mengingat
Allah dan merasakan nikmatnya beribadah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).
c. Tawakal
Secara bahasa tawakal berarti mempercayakan atau mewakilkan. Dalam
istilah tasawuf berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah
kepada Allahdan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang
dihadapi. Menurut Zunnun Al-Misri, tawakal adalah meninggalkan tadbir
terhadap diri sendiri dengan menghapuskan daya dan kekuatan sehingga orang
yang bertawakal kepada Allah tidak melihat adanya daya dan kekuatan
melainkan daya dan kekuatan Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).
d. Rida’
Maqam rida’ merupakan puncak perkembangan sikap tawakal. Rida
berarti menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah baik yang
59
menyusahkan maupun menyenangkan. Menurut Harun Nasution, pada maqam
rida seseorang tidak akan memberontak batinnya terhadap segala cobaan Allah,
tetapi akan selalu menerimanya dengan senang hati, didalam hatinya tidak
memiliki perasaan benci ketika mendapat musibah melainkan selalu rela dan
selalu mengelorakan rasa cinta kepada Allah. Maqam ini menunjukkan seorang
salik telah mencapai derajat kedekatan dengan Allah dan telah berada diambang
pintu ketuhanan yang nantinya akan mampu menyaksikan musyahadah dengan
Allah melalui hati nurani yang suci (Ensiklopedi Tematis, 2004: 311).
e. Mahabbah
Mahabbah secara bahasa berasal dari kata hibbah yang berarti benih
yang jatuh kebumi. Kata mahabbah dapat diderivasi dari beberapa kata. hubb
yang berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang. Hibb yang berarti
kayu penyangga poci air. Habb yang berarti relung hati tempat bersemayamnya
cinta dan habbah yang berarti gelembung-gelembung air. Menurut Rabiah al
Adawiyah (1981: 34), mahabbah merupakan dasar dan prinsip seorang hamba
dalam perjalanan menuju Tuhan.
f. Ma’rifat
Ma’rifah adalah maqam tertinggi dalam dunia sufisme. Secara bahasa
ma’rifah bearti mengenal namun dalam tasawuf diartikan melihat Tuhan dengan
hati nurani. Apabila seorang salik telah mencapai derajat ma’rifat pada
hakekatnya dia telah sampai pada sebuah kesaksian ruhaniah terhadap tuhan.
60
Pada poisisi seperti ini yang terjadi adalah lenyapnya kesadaran karena
tenggelam ke wujud Allah, sehingga yang dirasakan hanyalah selalu bersama
Allah (unitive state).
Sebagai pembanding berikut adalah tahapan maqomat menurut Harun
Nasution (1996: 24). Menurutnya, Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke
tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan
demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan
yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan
tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat
dalam bahasa Indonesia.
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam
stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon
sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat
melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Penyucian diri diusahakan melalui
ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon
sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah
mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-
dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya
seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia
telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari
perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud
61
adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-
dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun.
Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di
stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan
diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia
tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan
kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana.
Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh
kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani,
dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir. Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi,
ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak
berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu
naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'.
Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam
literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya
terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan
yang berisi syubhat. Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia
menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta
kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia
tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak
62
pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia
sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan
menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam
menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan
hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu
datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-
bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa
yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang
lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak
menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak
minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan
benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa
senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati
nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian
diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi,
tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion
berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
D. Tarekat: Beragam Jalan Menuju Tuhan
63
Tarekat berasal dari kata 'thariqah jamaknya tharaiq, yang berarti: (1)
jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab,
aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh,
tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk
menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diridhoi Allah. Secara praktisnya
tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk
membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa (Haeri, 2000: 37). Menurut Al-
Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang
dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah melalui tahapan-
tahapan/maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia
berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan
kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai
persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga
formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (dalam Mulkhan, 1998: 111).
Tarekat sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung. Di
abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan
khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi
kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan
agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan
kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala
lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat
kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang
pemimpin spiritual (Nafies, 1996: 180).
64
Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada
pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-
pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan
kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan
tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu
disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng
tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang
hendak menghancurkannya. Di anak benua India, pusat sufi disebut Jama'at Khana
atau Khaneqah (Arberry, 1988: 39).
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada
abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk
menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula
tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan
jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab
hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula
banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat
lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang
hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah
tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum
ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat
sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan
penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau
bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun,
65
terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari
pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan
Islam (Beck, 1988: 137).
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa
banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang
saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang
silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering
tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali melalui
Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya.
Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah
penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi
Muhammad SAW (Beck, 1988: 139).
Secara substansi tarekat mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan,
sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau
khalifah suluk, syekh atau Mursyid, Wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat
diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru
dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan
pertolongan dari guru (Iqbal, 1981: 12).
Secara substansial terdapat dua macam tarekat yaitu tarekat wajib dan
tarekat sunat. Pertama, tarekat wajib, adalah amalan-amalan wajib, baik fardhu ain
dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Tarekat wajib yang
utama adalah mengamalkan rukun Islam. Contoh amalan wajib yang utama adalah
shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat,
66
makan makanan halal dan lain sebagainya. Kedua, tarekat sunat, yaitu kumpulan
amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah
untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang
hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib.
Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket
tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru Mursyid untuk diamalkan oleh murid-
murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung
keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan murid atau pengikut. Hal-hal yang
dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca
Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya (Trimingham, 1971: 4).
Salah satu amalan tarekat adalah wirid/zikir yang dibaca secara teratur
dengan disiplin tertentu. Wirid ini diberikan/didiktekan oleh Rasulullah kepada
pendiri tarekat tersebut melalui yaqazah (pertemuan secara sadar/jaga). Fungsi wirid
ini adalah sebagai penguat amalan batin (Hamka, 1978: 241). Berikut adalah
kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual.
67
Islam sebenarnya terdiri dari empat tingkatan spiritual yaitu, syariat,
tariqah atau tarekat, hakikat, sedangkan tingkatan keempat, adalah ma'rifat,
tingkatan yang 'tak terlihat', yang sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat,
sebagai esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut. Secara lahiriah tarekat
terdiri dari beragam bentuk.
Pertama, Tarekat Alawiyyah adalah nama salah satu gerakan tarekat yang
ada di dunia. Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya.
Perbedaan itu terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah
(olah rohani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan
beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan
mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang Mursyid.
Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga
dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat
Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat
Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik) (Arberry, 1988:
121).
Kedua, Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang
berkembang di Mesir. Pada umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang
pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband, tetapi Tarekat Khalwatiyah
justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung.
Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati,
pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara
68
“nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah,
cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh
Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H)15.
Ketiga, Tarekat Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh
Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al-Baghdadi16. Tarekat
Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan
umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat
ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak
abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah,
tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini dikenal
luwes, yaitu apabila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya, bahkan dia
berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti
tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah
15Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin
Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
16 Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
69
mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah
yang menjadi Walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat
yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang
berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah
(1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat
Hindiyah, Khulusiyah, dan lain-lain. Di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah,
Mushariyyah, sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat
Bakka'iyah, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini
secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan
tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian
garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-
Bantani17 berkembang pesat di seluruh Indonesia.
Keempat, Tariqah Naqsyabandiyah yang merupakan salah satu tarekat sufi
yang paling luas penyebarannya18. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah
adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan
penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati,
17Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nurun Naum Suryadipraja yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin. Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Beliau sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.SyaikhAchmadSyaechudin.org
18Tarekat ini bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (”Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah
70
dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun
tidak konsisten). Praktik Naqsyabandiyah di Indonesia sejak dini sangat berbeda
dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka
waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini
sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya
hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin
menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia19.
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari
asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah
penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu
dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut
Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din
Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji
Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu
Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di
Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Masing-masing asas dikenal dengan
namanya dalam bahasa Parsi.
Delapan asas-asas yang dinisbatkan kepada Abd al-Khaliq Ghuswadani
adalah (Bergin, 1995: 5):
19Naqsyabandiyah, sebagai tarekat, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad,
dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
71
1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Sufi yang bersangkutan haruslah sadar
setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di
antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah,
memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah,
lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh
dari Allah.
2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah
menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan,
demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh
segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan
perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya
sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang
mulia atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian
negeri, untuk mencari Mursyid yang sejati untuk sepenuhnya pasrah dan dialah
yang akan menjadi perantaranya dengan Allah.
4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang
memberikan bermacam tafsiran. Khalwat bermakna menyepinya seorang
pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang
mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca
dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah
keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta
secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama
72
hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak
kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin
dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir
tauhid (la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru
seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut
Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian
sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam
kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak
condong kepada hal-hal yang menyimpang, sang murid harus membaca setelah
dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta
maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan
keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari
kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan
perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: “waspada” yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus
sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan
tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara
pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut.
8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung
menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya;
mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam
73
ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin
dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Tiga asas tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi terdiri dari (Bergin,
1995: 15):
1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara
teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan
agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-
menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji,
hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau
lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-
Nya.
2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati
beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya
mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil
yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati
seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat
Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan
demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan
maknanya.
Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam
hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ”
dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-
74
tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada
Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain. Dzikir dapat dilakukan
baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah
lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal
dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-
pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan
semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di
tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang
lebih lama lagi (Arberry, 1988: 107).
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada
pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan
dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Dsikir yang pertama terdiri dari pengucapan
asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil
memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau
dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas,
kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis)
melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai
ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di
situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke
jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga.
Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
75
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang
lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang
memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan
memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini,
lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting
susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam),
selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari
di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada;
dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad
sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Apabila
seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini,
seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan (Arberry: 1988, 108).
Kelima, Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah adalah nama sebuah
tarekat yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat
Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasiatau
biasa disebut juga dengan nama Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-
Sambasi al-Jawi. Beliau adalah ulama besar dari Indonesia yang diangkat menjadi
imam Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah. Beliau tinggal sampai akhir
hayatnya di Makkah. Beliau wafat pada tahun 1878. Sebagai seorang guru Mursyid
yang kamil mukammil, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki
otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya.
Dikemudian hari, tarekat ini sangat berkembang pesat dan menjadi tarekat yang
paling banyak pengikutnya di Indonesia. Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa
76
Naqsyabandiyah diantaranya adalah Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi, Syaikh
Abdul Karim Tanara Nawawi Al-Bantani, Syaikh Abdullah Mubarok
Cibuntu/Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten, Syaikh Nurun Naum Suryadipraja,
Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin dan Syaikh Nur Churi Satar Gondanglegi -
Malang - Jatim.
Keenam, Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali
muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang
mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya
tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama
Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Ketujuh, Thoriqoh Shiddiqiyyah atau Tarekat Shiddiqiyyah. Thoriqoh ini
merupakan aliran tarekat yang mengajarkan metode atau sistem untuk menanamkan
kalimat Laa ilaaha ilallah ke dalam jiwa, hati, roh yang menyehatkan serta
membersihkannya dari bemacam-macam penyakit dan kotoran. Tarekat ini dari
Rosululloh Muhammad diturunkan melalui sahabat Sayyidina Abu Bakar Ash
Shiddiq. Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah saat ini adalah Syaih Muhammad Muhtar
bin Abdul Mu'thi – Muchtarulloh Al Mujtaba r.a., yang mulai mengajarkan Tarekat
Shiddiqiyyah sejak tahun 1954, setelah memperoleh izin dan perintah dari
Mursyidnya, Syaih Ahmad Syuaib Jamali Al Banteni. Kata Shiddiqiyyah berasal
dari gelar dari Sayyidina Abu Bakar ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan
tentang pengalamannya didalam Isra Mi'raj kepada umatnya saat itu. Sayyidina Abu
Bakar adalah salah satu orang pertama percaya akan kebenaran peristiwa Isra Mi'raj
yang dialami Nabi SAW. Abu Bakar mendapatkan gelar Shiddiq dari Rasulullah
77
SAW, yang artinya membenarkan, percaya atas kebenaran. Thoriqoh Shiddiqiyyah
sekarang ini di luar Indonesia sudah punah, dan satu-satunya di dunia hanya terdapat
di Indonesia yang berpusat di Jombang, Jawa Timur.
Kedelapan, Tarekat Tijaniyah adalah salah satu dari gerakan tarekat yang
didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-
1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai
pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga
untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu
dengan Tuhan.
Dalam tradisi tarekat, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani)
merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.
Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah keMursyidan ini ditolak oleh sebagaian
ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara
individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan
rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan
pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah.
Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka
mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid
(Schimmel, 1986: 12).
Pandangan ini dinilai layak hanya secara teoritis belaka tetapi dalam praktek
sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.
78
Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para
ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan
Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu
Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul
Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus
menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada
Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid (Schimmel, 1986: 12). Masing-masing
ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu
agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang
Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah
"dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu
adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri
(Najati, 1980: 328).
Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan
mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin
belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah
sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa
dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipu daya. Sebab, dalam alam
metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani
seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif
(bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan
bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipu daya penempuh jalan sufi
muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa
79
menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan"
(Bastaman, 1997, 59) . Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan
seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki
oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam
soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya
(Aceh, 1985: 12) .
Seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang Wali, dan
seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan
adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai
keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan
bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk
mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari
ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan
menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti
kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis
misalnya tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana,
logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati
(Nurbachshi, 1991: 8).
Siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para
kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak
berkubang dalam kemaksiatan. Sebagian tanda dari keWalian adalah tidak adanya
rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun
merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup
80
banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam
Wilayah Ilahi. Paduan antara keWalian dan keMursyidan inilah yang menjadi
prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Menurut Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, bahwa
syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak, minimal ada lima
yaitu: memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas, memiliki pengetahuan
yang benar, Memiliki cita (himmah) yang luhur, memiliki perilaku ruhani yang
diridhai dan memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya keMursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan
berikut: bodoh terhadap ajaran agama, mengabaikan kehormatan ummat Islam,
melakukan hal-hal yang tidak berguna, mengikuti selera hawa nafsu dalam segala
tindakan dan berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai
tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari
lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani. Lima
karakter tersebut adalah membiarkan dirinya dalam kemaksiatan, mempermainkan
thaat kepada Allah, tamak terhadap sesama makhuk, kontra terhadap Ahlullah dan
tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu
kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan
dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan
dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu." (dalam Al-
Taftazani, 1979: 15). Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam
81
mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan
dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya
kepadamu, jalan menuju Allah" (dalam Al-Taftazani, 1979: 15) .
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid
yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini
menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para
muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula
mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan
mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat
membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru
yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid
sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip
thariqat itu sendiri yaitu taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin, mengikuti Sunnah
Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan, berpaling dari makhluk
(berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi, ridha kepada Allah,
atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak dan kembali kepada Allah dalam
suka maupun duka (Haeri, 2000: 152).
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi
hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas,
sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada
Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril
as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama,
82
ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus
diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir
adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional
Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara
Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul
Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan
dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul
Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah" (Haeri, 2000: 149).
E. Rekonstruksi terhadap Tasawuf
Ide rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalam
pemikiran Hasan Hanafi. Secara mendasar dia menolak tasawuf serta
memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin (Hanafi, 2001: 24).
Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gila
terhadap kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai
oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein
mengalami kekalahan. Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai
mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab
perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah
menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap
dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.
83
Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi
gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi
cita-cita historis; dari milik seluruh umat, Islampun menjadi milik eksklusif jamaah
tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-
ittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya
tanpa mengubah dunia. Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa
menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia
adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang
dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan).
Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yang
tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu (Hanafi, 2001: 67).
Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk
manusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah
lahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu
melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapun
ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskan
misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam dan
membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum
Muslim dalam sejarah.
Atas pertimbangan di atas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi
(2000: 44) mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan
Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat
tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu
84
rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil
menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad V
Hijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyah
yang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang
masa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern. Manurut Hanafi
(2000: 44), tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya
untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan
dalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi
sentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh
manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjang-
jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu
generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi.
Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang
diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam
menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina dunia
kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan
suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis
dan tahap metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi
tasawuf dalam ketiga hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul
sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika
masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap
moral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan
85
awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak
kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan
dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari
rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai
kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda,
karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas
lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yang
dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia
lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c). Dari etika
individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya
individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi
individu; d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara
memperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun
berpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia
sekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari
organisasi sufi ke gerakan sosio-politik.
Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti
bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu
perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan
tindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan. Fokusnya bukan lagi
pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati. Kini,
tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari dua
bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).
86
Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktif
dan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika
sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada
tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah
melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini
benar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan
hadiah yang harus diterima.
Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut
tercapai dibumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Dari
vertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang
tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelah
dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untuk
turun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembali
dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untuk
dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan ini
muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-
tempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini
mungkin bersifat konklusif dan produktif (Shibab, 1998: 59). Jika gerakan di jalan
sufi bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu ke
yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermula
dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar
(pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan
87
diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang
mencoba menaklukkkan bumi lagi (Abdurrahman, 2003: 18).
Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi. Tanah
mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk
dekolonisasi atau untuk bekerja; b). Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena
langkah-langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan,
mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang
progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.:
mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti
pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan
memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan
depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan
reaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan
tempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dan
kebatilah di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada,
maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi
yang kekal bagi mereka. Namun demikian kondisi modern ini lebih banyak
berhubungan dengan kehidupan daripada kematian. Kondisi ini lebih banyak
berhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan
urban kota-kota besar; d). Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat
kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan
antara cita-cita dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan
dan impian yang diteruskan di dalam tasawuf (Fariza, 2003: 55).
88
Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini,
yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam
dan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuan
yang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam.
Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke
penyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisial
yang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial? Jawabannya, metafisik
kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapai
kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangka
konseptual bagi Pan-Islamisme (Shibab, 1998: 56).
Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang
dilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini
tampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yang
sedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan
pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan.
Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan (Abdullah, 1996: 87). Sebagai
cendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan
yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antara
wilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat. Hanafi
dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam
dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual.
Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme.
89
Ia juga menggunakan analisis kesejarahan dunia Islam, sehingga secara jujur dapat
mengungkap fakta-fakta dan relasinya untuk melakukan rekonstruksi.
BAB III
TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH: SEBUAH
PENELUSURAN KONSEPTUAL
Melihat perkembangan Islam di Indonesia beberapa tahun belakangan, salah satu
pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf di samping segi sosial-politik
Islam yang seringkali kontroversial. Kalau diperhatikan laporan media massa akan
90
didapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf, seolah-olah
ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara
Sufistik. Media massa sering memberitakan laporan yang aneh-aneh mengenai kajian-
kajian tasawuf itu, misalnya ada kursus Sufi Dancing, ada spiritual gathering mengenai
masalah kematian dan alam kerohanian, ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga
psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan. Di televisi bahkan muncul
acara dengan rubric tasawuf. akhirnya, tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif
fenomena keagamaan dewasa ini. Bagaimana dengan Muhammadiyah?
A. Historisitas Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912. Dia
lahir pada tahun 1868 di sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta
yang bernama Kampung Kauman dengan nama aslinya yaitu Muhammad Darwisy
(Darban, 2000: 34). Muhammad Darwisy merupakan salah satu anak dari KH. Abu
Bakar, seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan
Yogyakarta. Berdasarkan silsilah, dia masih termasuk dalam garis keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali besar dan terkemuka
diantara para Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dalam penyebaran dan
pengembangan Agama Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991: 3).
Di masa kecilnya, Muhammad Darwisy mengenyam pendidikan dalam
lingkungan keagamaan di sebuah pesantren yang mengajarinya tentang pengetahuan
agama Islam dan bahasa Arab. Di usianya yang masih relatif muda, yaitu pada
umurnya yang ke 15, dia menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu ibadah haji
91
pada tahun 1883. Selanjutnya disana dia menetap dan memperdalam pengetahuan
tentang ilmu Agama Islam di Makkah dalam kurun waktu kurang lebih selama lima
tahun. Selama belajar ilmu agama disana, dia sering berinteraksi dengan pemikiran-
pemikiran pembaharuan di dalam dunia Islam saat itu. Tokoh-tokoh Islam seperti
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah rupanya
mempunyai dampak yang sangat besar pada diri pribadi Muhammad Darwisy
(Nashir, 2006: 1). Seketika itu jiwa dan pemikirannya dipenuhi oleh semangat
pembaharuan yang kelak dikemudian hari menampilkan corak keagamaan yang
sama, yaitu melalui Muhammadiyah20.
Muhammadiyah sendiri berdiri dengan dilatarbelakangi keinginan untuk
memperbaharui pemahaman tentang ke-Islaman di sebagian besar dunia Islam di
Indonesia yang pada saat itu dianggapnya masih bersifat ortodoks (kolot), serta
masih bercampur aduknya ajaran agama Islam dengan ajaran agama yang terdahulu
atau kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Bercampur aduknya ajaran
Islam dengan kebudayaan non-Islam itu sendiri sebenarnya dapat dimaklumi pada
saat awal-awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Hal ini mengingat sulitnya
masyarakat pada waktu itu untuk meninggalkan kebiasan atau ajaran yang telah
lama mereka anut sejak nenek moyang, sehingga kebiasaan tersebut masih
dilakukan walaupun dengan memasukkan unsur Islam didalamnya. Namun seiring
20Kata “Muhammadiyah” secara bahasa berarti “pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
Muhammadiyah, dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma (1960: 29) mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang sucidan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya
92
dengan berlalunya waktu, kebiasan-kebiasaan atau cara-cara yang dianggap masih
bercampur tersebut masih kerap dilakukan meskipun sudah beradab-abad berlalu
sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Dia memandang hal ini dapat
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, stagnasi dan keterbelakangan didalam diri
umat Islam. Dia berpikir, pemahaman keagamaan yang demikian, harus diubah
melalui gerakan pemurnian ajaran Islam yang kembali kepada ajaran al-Qur'an dan
al-Hadits.
Sekembalinya dari Makkah, yaitu pada usia 20 tahun (1888), dia berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, dia diangkat menjadi
khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta (Darban, 2000: 34). Berbekal
dari berbagai pemikiran yang didapatnya selama mendalami ajaran agama Islam di
Makkah, dia merasa bertanggung jawab untuk dapat membangunkan, menggerakkan
dan memajukan umat Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan sadar bahwa keinginannya
itu tidaklah mungkin dilaksanakannya seorang diri, melainkan harus dilaksanakan
oleh sekumpulan orang yang diatur sedemikian rupa dalam wadah organisasi. Untuk
itu, pada tahun 1912, atau tepatnya pada tanggal 18 Nopember, Ahmad Dahlan
mendirikan organisasi non-politik yang bersifat sosial dan bergerak di bidang
pendidikan yang diberi nama Muhammadiyah (Kuntowijoyo, 1985: 36). Organisasi
ini bertujuan untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara.
Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan berkeinginan untuk mengadakan suatu
pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam yang
murni yaitu menurut tuntunan seperti yang diajarkan didalam al-Qur'an dan al-
Hadits (Ali, 2000: 349).
93
Pendirian Muammadiyah itu sendiri pada awalnya mendapatkan kecaman-
kecaman dari berbagai pihak, baik yang datangnya dari keluarga sendiri maupun
dari masyarakat disekitarnya. Berbagai fitnahan ditujukan kepadanya. Pada saat itu
Dia dituduh hendak mendirikan suatu agama baru yang menyalahi ajaran-ajaran
agama Islam yang telah ada. Namun demikian, segala rintangan-rintangan tersebut
dapat dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hati untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi segala rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hokum (Peacock, 1978: 43).
Permohonan itu kemudian dikabulkan pada tahun 1914 dengan Surat
Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Badan hukum itu hanya
berlaku untuk daerah Yogyakarta dan dengan ruang gerak di daerah Yogyakarta
saja. Meskipun ruang gerak Muhammadiyah dibatasi oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang merasa khawatir dengan perkembangan organisasi tersebut, tetapi di
daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan tempat lain telah berdiri
cabang Muhammadiyah meskipun dengan nama yang berbeda atau dibawah
bimbingan Muhammadiyah.
Dalam rangka membangun upaya dakwah, Ahmad Dahlan dengan gigih
membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah
tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun
dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan
dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilih untuk
mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah
94
ialah dengan cara mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di
STOVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis
Yogyakarta, karena ia sendiri pada waktu diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk
mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut (Salam, 1963: 35).
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan
segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang
mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik
para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide
tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid
yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian
dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan
Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah) (Azra, 1985: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah juga disebarluaskan oleh Ahmad
Dahlan dengan cara mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan
yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari
berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh
Indonesia, sehingga pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
95
Pada bulan Oktober tahun 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi
Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan
oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat
Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan
golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati)
terlibat perdebatan yang tajam dengan ulama-ulama lain yang berasal dari Surabaya
dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan telah menyerang aliran yang telah mapan
dan dianggap berusaha membangun suatu mazhab baru di luar empat mazhab yang
telah ada dan mapan (Rais, 1992: 67).
Muhammadiyah juga dituduh berupaya mengadakan tafsir Qur'an baru, yang
menurut penentangnya merupakan suatu perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menanggapinya dengan perkataan, "Muhammadiyah
berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan keterbekelakang.
Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an
dan Hadits (itu sendiri). Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus
mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir"
(Nakamura, 1990: 12).
B. Identitas Dasar Muhammadiyah
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa gerakan Muhammadiyah adalah
gerakan pembaharuan dan pemurnian yang dalam perjalanannya Gerakan ini
berhadapan dengan tahayul, bid'ah dan khurafat, lazim diringkas jadi TBC dan
berusaha untuk memurnikannya. Sebenarnya, gerakan anti-TBC itu terkait gerakan
pemurnian agama oleh berbagai macam organisasi, misalnya Persatuan Islam
96
(Persis, berdiri 12 September 1923) dan Muhammadiyah (berdiri 18 November
1912). Gerakan anti-TBC21 itu membersihkan Islam dari berbagai macam
kepercayaan lokal yang dikonsepsikan sebagai khurafat. Bid'ah, yang dipahami
sebagai penambahan dalam ajaran Islam, diyakini oleh gerakan reformis itu sebagai
ajaran yang tidak ada dalam teks Al-Quran dan sunah. Selain itu juga membersihkan
dari kepercayaan lokal terhadap penguasa alam gaib lokal yang diyakini bisa
meningkatkan keselamatan, kesejahteraan, dan sebagainya itu (Aziz, 2005: 6).
Gerakan-gerakan semacam ini sesungguhnya lebih bercorak transplantik,
Maksudnya, gerakan itu diambil dari Timur Tengah. apabila dilacak, sumbernya
adalah gerakan wahabiyah. Gerakan ini sering dikaitkan dengan Ibnu Taimiyah dan
Abdullah bin Saud yang mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Oleh sebab itu, ketika
mengukur sesuatu juga berangkat dari ukuran Timur Tengah. Ini yang kemudian
menimbulkan resistensi. Resistensi itu akan selalu muncul karena gerakan itu
dianggap tidak memiliki akar historis terhadap Islam bercorak lokal.
Muhammadiyah secara substansial tidak melakukan gerakan dengan menerapkan
seperti apa yang terjadi di Timur Tengah, tetapi melakukan akomodasi-akomodasi.
21Menurut Muhammad Ali dalam www.kompas.com menyebutkan bahwa Muhammadiyah
dianggap mengikuti kecenderungan purifikasi agama. Gerakan Wahabiyyah di Arab Saudi sering disebut sebagai model gerakan Muhammadiyah. Jika ini benar, maka Muhammadiyah kini harus meredefinisi perannya dalam konteks lokal dan global saat ini yang jauh berbeda dari masa awal pendiriannya. Modernisasi pendidikan yang dijalankan Muhammadiyah sejak awal, melalui pengenalan sistem kelas modern dalam pendidikan, sering dianggap sebagai tanda bahwa Muhammadiyah adalah gerakan modern, bukan gerakan tradisionalis. Namun demikian, cap modern pada Muhammadiyah bisa menjadi bumerang pada dirinya sendiri bila tidak cukup pandai mengakomodir tradisi lokal dan global, atau jika menganggap keberagamaan yang dianutnya sebagai self-sufficient (cukup dengan sendirinya) dan lebih murni dari yang lain. Pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar self-sufficient dan benar-benar munri. Sepanjang sejarah, keberagamaan senantiasa mengalami dialektika antara diri dan lingkungan. Setiap manusia, seorang puritan sekalipun, pasti pernah mengalami proses menyerap apa yang ada di luar dirinya. Sulit dipahami bila ada orang yang menganggap dirinya telah beragama secara "murni", dalam pengertian tidak dipengaruhi kondisi lingkungannya. Klaim bahwa mereka menolak TBC (taqlid, bid'ah, "churafat") tidak selalu benar dalam kenyataannya. Apakah ada manusia sosial yang benar-benar lepas dari proses taqlid? Adakah orang yang benar-benar lepas dari proses perubahan dan inovasi?
97
Itu pula yang dilakukan NU, namun, Persis sangat berbeda karena sejak semula
didesain untuk menerapkan Islam seperti di Timur Tengah. Oleh karena itu,
diterimanya NU sebagai suatu gerakan keagamaan dan juga Muhammadiyah di sisi
lain, salah satunya karena NU dan Muhammadiyah bisa melakukan akomodasi
kultural secara kreatif.
Posisi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan pemurnian,
sebagaimana dideskripsikan diatas setidaknya memiliki tiga identitas dasar. (Nashir,
2007: 21):
1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Dari latar belakang berdirinya
Muhammadiyah jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu
tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al
Qur'an. Apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali
semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan
yang riel dan kongkrit.
2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam. Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak
dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri
Muhammadiyah. Namun sudah menjadi tanggung jawab Muhammadiyah juga
sebagai gerakan dakwah Islam amar maruf nahi mungkar untuk meluruskan
kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang sesuai dengan cita-cita
pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat agama Islam dan
keterbelakangan atau kebodohan massif. Tidak hanya ranah pemahaman agama
yang diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi
98
Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi
kemasyarakatan.
3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid (Reformasi). Ciri ketiga ini yang
melekat pada persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau
pembaharu. Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki
dua arti yakni : pertama, pemurnian dan kedua, peningkatan, pengembangan,
modernisasi sudah menjadi tugas Muhammadiyah bila pemurnian tajdid
dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan
sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahih sedangkan arti peningkatan,
pengembangan, modernisasi tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan
dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an
dan AS Sunnah yang shahih.
Di samping itu Muhammadiyah juga bertanggungjawab terhadap tantangan
zaman dan arus globalisasi yang terus melaju (Mulkhan, 2007: 115). Tugas pertama
Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang mulai
terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah. Tugas kedua
Muhammadiyah adalah meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah
maupun amal usaha Muhammadiyah serta mengembangkan serta melebarkan sayap
Muhammadiyah dalam penerimaan arus informasi global sebagai tameng
kebodohan massif Muhammadiyah. Modernisasi Muhammadiyah bukan berarti
meninggalkan dasar pemikiran pertama kali berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat
up to date bukan berarti berganti baju untuk beridentitas ideologi baru namun
99
Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian Muhammadiyah sebagai organisasi
sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan zaman atau kuno tertinggal arus
modernisasi.
C. Deskripsi tentang Misi Muhammadiyah
Setiap organisasi, termasuk Muhammadiyah, tentu memiliki misi tertentu
yang diembannya. Sejak sebuah organisasi didirikan, para pendirinya sudah
merancangkan langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan, agar cita-cita
yang ingin dicapai dengan mendirikan organisasi itu bisa diwujudkan. Misi yang
merupakan tugas utama organisasi yang sifatnya mendasar dan fundamental,
mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis bagi sebuah
organisasi . Di samping misi itu menjadi semacam penuntun bagi semua komponen
organisasi kearah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, ia juga menjadi pembeda
antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya yang bergerak di bidang yang
serupa. Dengan perkataan lain, misi membentuk organisasi memiliki cirri yang khas,
yang membedakannya dari organisasi lainnya yang sejenis. Melihat pentingnya
posisi dan peranan misi bagi setiap organisasi, maka seperti halnya tujuan
organisasi, menjadi sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar, bahwa misi organisasi
itu harus dirumuskan dengan rumusan yang jelas.
Dalam perumusan sebuah misi, menurut seorang pakar manajemen
stratejik, yaitu S.P. Siagian (1992: 53-54), ada beberapa ciri yang harus tergambar
dalam misi itu, antara lain: pertama, ia merupakan suatu pernyataan yang bersifat
umum dan berlaku untuk kurun waktu yang panjang tentang niat organisasi yang
bersangkutan; kedua, ia mencakup filsafat yang dianut dan akan digunakan oleh
100
organisasi itu; ketiga, secara implisit menggambarkan citra yang hendak
diproyeksikan ke masyarakat luas; keempat, ia merupakan pencerminan jati diri
yang ingin diciptakan, ditumbuhkan dan dipelihara; kelima, menunjukkan produk
apa yang menjadi andalan dari organisasi dan keenam, menggambarkan kebutuhan
apa dari masyarakat yang akan diupayakan untuk dipuaskan oleh organisasi. Ada
banyak manfaat yang dapat dipetik dengan adanya rumusan sebuah misi organisasi.
Di antara manfaat itu adalah bahwa dengan rumusan yang tepat, membuat anggota
organisasi punya persepsi yang sama tentang maksud keberadaan organisasi. Ini
penting, karena kesamaan persepsi pada gilirannya akan menimbulkan kesamaan
gerak dan tindakan dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawab masing-
masing, di samping juga menjadi semacam pendorong bagi anggota untuk
memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasi.
Adanya rumusan yang jelas juga memudahkan bagi perumusan langkah
dan program organisasi serta penentuan tipe dan struktur organisasi, baik vertikal
maupun horizontal. Di samping itu adanya rumusan misi yang jelas juga
memudahkan orang luar untuk memahami apa sesungguhnya yang akan diusahakan
oleh organisasi, dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang setuju untuk
memberikan dukungan, bahkan keinginan untuk bergabung dengan organisasi
tersebut. Memperhatikan demikian pentingnya peranan misi bagi sebuah organisasi,
di samping mutlak perlunya rumusan yang jelas tentang misi tersebut, timbul
pertanyaan, apakah dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sudah ada
rumusan tentang misi tersebut?. Apabila dirujuk dari Anggaran Dasar
Muhammadiyah, secara harfiah memang tidak ditemukan istilah misi. Dalam
101
Anggaran Dasar Muhammadiyah, sejak Anggaran Dasar pertama sampai dengan
Angaran Dasar keempatbelas, istilah yang digunakan adalah istilah “maksud”,
kecuali Anggaran Dasar keempat dan kelima, yang menggunakan istilah “hajat”.
Istilah “misi” secara formal salah satunya dapat dijumpai pada tulisan para
tokoh Muhammadiyah, terutama Ustadz H. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua PP
Muhammadiyah periode 1990-1995, yang secara khusus pernah menulis tentang
Misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Istilah misi dalam dokumen resmi,
baru dijumpai pada Keputusan Muktamar ke-44, khususnya pada Program
Muhammadiyah Periode 2000-2005, yang secara eksplisit merumuskan visi dan
misi Muhammadiyah. Pada dokumen-dokumen tersebut, misi Muhammadiyah itu
berkisar pada tiga pokok substansi, yang oleh Ustadz Ahmad Azhar disebut sebagai
tiga pola perjuangan Muhammadiyah, yang secara eksplisit dirumuskan sebagai
berikut:
1. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni, sesuai dengan ajaran Allah yang
dibawa oleh seluruh Rasul Allah, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.
2. Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Al- Qur-;an, Kitab Allah
yang terakhir untuk umat manusia, dan Sunnah Rasul
3. Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan peribadi, keluarga dan
masyarakat.
Apabila diperhatikan secara saksama rumusan misi Muhammadiyah
tersebut, agaknya telah memenuhi kriteria sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Tiga butir misi yang satu sama lain merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak
terpisahkan itu kiranya telah memenuhi ciri-ciri yang diisyaratkan oleh S.P. Siagian
102
seerta telah berhasil membentuk jati diri Muhammadiyah yang khas, yang
membedakan Muhammadiyah dengan organisasi Islam lainnya, yang sama-sama
bergerak di bidang dakwah. Jati diri Muhammadiyah yang telah berhasil dibangun
melalui misi tersebut, bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi gerakan
yang senantiasa berjuang menyebarluaskan ajaran Islam, yang selalu berpegang
teguh pada keyakinan tauhid yang murni serta berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Semua aktivitas Muhammadiyah yang memasuki seluruh aspek kehidupan
pada hakekatnya merupakan perwujudan dari misi tersebut. Tidak ada aktivitas
Muhammadiyah yang terlepas dari misi tersebut, apalagi sampai bertentangan
dengan semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya, bahkan tidak hanya itu
misi Muhammadiyah tersebut tidak hanya menjadi ciri bagi Muhammadiyah secara
kelembagaan, tetapi seharusnya juga menjadi ciri bagi setiap individu dalam
Muhammadiyah. Ciri orang Muhammadiyah yang menonjol adalah bahwa dia
memiliki keyakinan tauhid yang kokoh dan sangat peka terhadap paham, keyakinan,
kepercayaan dan sebagainya yang berbau syirik, yang dapat merusak keyakinan
tauhidnya (Mulkhan, 2007: 15). Di samping itu, orang Muhammadiyah adalah orang
yang sangat giat berdakwah dan berusaha untuk mengamalkan ajaran Islam dalam
keseharian hidupnya, tanpa bertanya apakah hukum amalan itu wajib, sunnah atau
mubah. Semua amalan yang telah dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasul Allah
Muhammad, diusahakan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan
penuh keikhlasan dan kesabaran (Suara Muhammadiyah, April Minggu kedua
Tahun 2008).
103
D. Penelusuran Terhadap Landasan Dasar Muhammadiyah
Langkah pertama untuk mengetahui persepsi intelektual muhammadiyah
terhadap tasawuf, haruslah merujuk pada beberapa konsep dasar yang menjadi
pedoman serta jiwa dari organesasi ini yang sekaligus sebagai aturan pengikat bagi
warganya. Beberapa konsep dasar tersebut meliputi, muqodimah angagaran dasar
persyarikatan muhammadiyah,
1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Dalam Muqodimah Anggaran Dasar disebutkan bahwa sesungguhnya
ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata. Ber-Tuhan dan ber'ibadah serta
tunduk dan tha'at kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas
tiap-tiap makhluk, terutama manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa Tuhan
merupakan pusat dari segala eksistensi sehingga tidak ada sesuatu apapun selain
Tuhan yang dijadikan sebagai sumber ketataan. Di sisi lain Hidup bermasyarakat
itu adalah sunnah (hukum qudrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia
ini. Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah
dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong,
bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya,
lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu (lihat, www.muhammadiyah.or.id).
Dalam Muqodimah Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa Islam
adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat. Menjunjung tinggi hukum
Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi
tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah. Dalam Muqodimah
Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa Islam secara substansial adalah untuk
104
mendapatkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya manusia haruslah
mengikuti jejak para Nabi, beribadah kepada Allah dan berusaha secara
maksimal mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk
menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat yang murni-tulus dan
ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan
ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas
segala perbuatannya, dan pula harus sabar dan tawakal bertabah hati
menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau
rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan
perlindungan dan pertolongan Allah.
2. Substansi dari Konsep Dasar Kepribadian Muhammadiyah
Dalam Konsep Dasar Kepribadian Muhammadiyah ditegaskan bahwa
Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Oleh
sebab itu intinya adalah amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua
bidang: perseorangan dan masyarakat. Untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam
bidang perseorangan diarahkan pada dua aspek: kepada yang telah Islam bersifat
pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan
murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan
untuk memeluk agama Islam. Untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam bidang
kemasyarakatan bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya
itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-
mata.
105
Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar
dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan
masyarakat menuju tujuannya, ialah "terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya". Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana kesejahteraan,
kebaikan dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala
gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu (lihat, www.muhammadiyah.or.id):
• Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.
• Hidup manusia bermasyarakat.
• Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran
Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk
kebahagiaan dunia akhirat.
• Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah
kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.
• Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
• Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.
Berdasarkan prinsip di atas, maka apapun yang diusahakan dan
bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan
tunggalnya, harus berpedoman: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-
Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan
menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah". Oleh sebab itu
106
warga Muhammadiyah wajib memiliki dan memelihara sifat-sifat yang terdiri
dari (lihat, www.muhammadiyah.or.id):
• Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
• Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
• Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.
• Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
• Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan
falsafah negara yang sah.
• Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh
teladan yang baik.
• Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan
pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.
• Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan
dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.
• Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur yang diridlai Allah SWT.
• Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
3. Substansi dari Konsep Dasar Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah (MKCHM).
107
Berdasarkan Konsep Dasar Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah (MKCHM)22 (lihat, www.muhammadiyah.or.id), Perserikatan
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar,
yang beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita
dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai
Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah di muka bumi (Pasal 1).
Pada pasal 2 disebutkan bahwa Muhammdiyah berkeyakinan bahwa
Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sebagai
hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin
kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah
dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an yang merupakan Kitab Allah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah Rasul yang
merupakan penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan
oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan
jiwa ajaran Islam.
Pasal 3 terkait dengan konsep Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: Pertama,
Aqidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan
prinsip toleransi menurut ajaran Islam. Kedua, Akhlak. Muhammadiyah bekerja
22Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) merupakan keputusan
Tanwir tahun 1969 di Ponorogo. Rumusan MKCHM telah mendapat perubahan dan perbaikan PP. Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta dan disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta.
108
untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-
ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan
manusia. Ketiga, Ibadah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang
dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
Ketiga, Muamalah Duniawiyah. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya
mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan
berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini
sebagai ibadah kepada Allah SWT (lihat, www.muhammadiyah.or.id).
4. Substansi dari Hakikat Muhammadiyah
Rumusan konsep Hakekat Muhammadiyah didasarkan atas
perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik
dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah
menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi
kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan
kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap
serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Muhammadiyah sebagai
gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa
mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta
menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang
dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai
tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Dalam
109
melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip
gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah (www.muhammadiyah.or.id).
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi
landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan
hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam
bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan
memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar ma’ruf nahi
mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Di samping
itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada
Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar
Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat
utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT (www.muhammadiyah.or.id).
Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan
khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan
proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan
secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa
ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia
yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat
110
yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang
diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap
berpegang teguh pada kepribadiannya.
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan
bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan
dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini
Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa: Muhammadiyah
adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan
manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan
tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun,
setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak
memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama
dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan
mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya. Dalam melakukan
kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan
mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya
(www.muhammadiyah.or.id).
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan
memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu
ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut: pertama, memulihkan
111
kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian
anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh,
ta'at beribadah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah
masyarakat. Kedua, meningkatkan pengertian dan kematangan anggota
Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya
terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat Menepatkan
kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan
dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat
serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 194523.
5. Substansi dari Khitah Perjuangan Muhammadiyah
Rumusan Khittah Perjuangan Muhammadiyah pada intinya
menyatakan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da'wah
amar ma'ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam
menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan
mu'amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus
dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan
mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau
23Rumusan Hakekat Muhammadiyah ini merupakan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-
40 di Surabaya.
112
mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-'alamin dalam kehidupan
di muka bumi ini (www.muhammadiyah.or.id).
Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan
bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi
melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi
panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah
kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut
diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian,
keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan
gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan
"Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur"( www.muhammadiyah.or.id).
Kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar dapat dilakukan
melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-
kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real
politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau
kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan
masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang
bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force)
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara
sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan
kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang
113
mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis
daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan
kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau
masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang
berkedaulatan rakyat. Peran kemasyarakatan tersebut dilakukan oleh organisasi-
organisasi kemasyarakatan seperti halnya Muhammadiyah, sedangkan
perjuangan untuk meraih kekuasaaan (power struggle) ditujukan untuk
membentuk pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara, yang peranannya
secara formal dan langsung dilakukan oleh partai politik dan institusi-institusi
politik negara melalui sistem politik yang berlaku. Kedua peranan tersebut dapat
dijalankan secara objektif dan saling terkait melalui bekerjanya sistem politik
yang sehat oleh seluruh kekuatan nasional menuju terwujudnya tujuan negara.
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan (organisasi
kemasyarakatan) yang mengemban misi da'wah amar ma'ruf nahi munkar
senantiasa bersikap aktif dan konstruktif dalam usaha-usaha pembangunan dan
reformasi nasional sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya serta tidak akan
tinggal diam dalam menghadapi kondisi-kondisi kritis yang dialami oleh bangsa
dan negara. Oleh karena itu, Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk
berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berdasarkan pada
khittah perjuangan sebagai berikut (www.muhammadiyah.or.id) :
- Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan
negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan
keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai,
114
dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu
diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah
dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan
bernegara.
- Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun
melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang
mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah
melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban
untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur".
- Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat
guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana
tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan
ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai
prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam
kehidupan negara yang demokratis.
- Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang
bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk
dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan
115
dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis
dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal
ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik
hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya
nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan
didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.
- Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud
dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses
dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-
cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat
bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju
kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
- Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan
organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun.
Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam
memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan
prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan
yang demokratis dan berkeadaban.
- Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota
Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik
sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus
merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara
116
rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah,
demi kemaslahatan bangsa dan negara.
- Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam
politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara
sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak
mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian
(ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya
memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar
ma'ruf nahi munkar.
- Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana
pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi
kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
6. Substansi dari Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIM)
Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIM)24 secara garis
besar terdiri dari lima bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang terdiri
dari landasan dan sumber, kepentingan, sifat, tujuan dan kerangka. Bagian kedua
terdiri dari uraian tentang pandangan islam tentang kehidupan. Bagian ketiga
merupakan uraian tentang kehidupan Islami warga Muhammadiyah yang terdiri
dari sepuluh aspek yaitu pribadi, keluarga dan masyarakat25, kehidupan
berorganesasi, kehidupan dalam mengelola amal usaha, kehidupan dalam
24Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah di dasarkan atas Keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta 25Aspek pribadi terdiri dari uraian tentang Aqidah, Akhlaq dan Ibadah. Aspek kehidupan dalam
keluarga terdiri dari uraian tentang kedudukan dalam keluarga, fungsi dan aktifitas keluarga. Aspek ketiga adalah aspek kehidupan bermasyarakat
117
berbisnis, kehidupan dalam mengembangkan profesi, kehidupan dalam
melestarikan lingkungan, kehidupan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan tehnologi dan kehidupan seni dan budaya. Bagian keempat adalah tuntunan
pelaksanaan dan bagian terakhir adalah penutup.
Untuk melihat rumusan “Tasawuf” dalam Pedoman Hidup Islami warga
Muhammadiyah berikut akan dideskripsikan bagian ketiga aspek pertama yaitu
aspek kehidupan pribadi dalam bidang Aqidah. Secara detail disebutkan bahwa:
1. Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran
imani berupa tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala yang benar, ikhlas,
dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad ar-rahman24 yang
menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim,
muttaqin, dan muhsin yang paripurna (PHIM:2003, 13).
2. Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai
sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan
berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul,
bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu
Wata'ala (PHIM, 2003: 13).
Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek
kehidupan pribadi dalam bidang akhlak disebutkan bahwa:
1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi
dalam mempraktikkan akhlaq mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang
diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah
(PHIM, 2003: 14)
118
2. Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup
harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal
shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf,
fasad, fahsya, dan kemunkaran (PHIM, 2003: 14).
3. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang
mulia (akhlaq al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri
dari akhlaq yang tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan
dijauhi sesame (PHIM, 2003: 14).
4. Setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas
maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari
perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang
merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di
dunia ini (PHIM, 2003: 14).
Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek
kehidupan pribadi dalam bidang ibadah disebutkan bahwa:
1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa membersihkan
jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang mutaqqin dengan beribadah
yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk, sehingga
terpancar kepribadian yang shalih yang menghadirkan kedamaian dan
kemanfaatan bagi diri dan sesamanya (PHIM, 2003: 15).
2. Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdhah dengan
sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafil (ibadah sunnah)
sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang
119
kokoh, ilmu yang luas, dan amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam
kepribadian dan tingkah laku yang terpuji (PHIM, 2003: 15).
Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek
muamalah dunyawiyah disebutkan bahwa:
1. Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi
dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan
dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan
kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam arti berakhlaq
karimah (PHIM, 2003: 15).
2. Setiap warga Muhammadiyah senantiasa berpikir secara burhani, bayani,
dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang Islami yang dapat
membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan
keterpaduan antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta
maslahat bagi kehidupan umat manusia(PHIM, 2003: 16).
3. Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja Islami, seperti:
kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara
maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan(PHIM, 2003: 16).
E. Deskripsi Tentang Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang beberapa tahun yang lalu
menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Zhawãhir al-Afkãr al-
Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah
Jelang Satu Abad). Dokumen tersebut tampaknya meneruskan tradisi
Muhammadiyah yang menghasilkan manifesto demi manifesto di setiap periode
120
sejarahnya. Manifesto-manifesto tersebut kemudian dikenal dengan nama resmi
seperti: Kepribadian Muhammadiyah (Keputusan Muktamar ke-35 tahun 1956),
Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (Keputusan Tanwir Tahun
1969 di Ponorogo), Khittah Perjuangan Muhammadiyah (Muktamar ke-40 di
Surabaya, Tahun 1978) dan Khitah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
(Tanwir Bali Tahun 2002 ).
Selain dokumen-dokumen diatas, ada juga dokumen-dokumen formal
sejarah Muhammadiyah yang layak disebut sebagai manifesto Muhammadiyah
seperti Langkah 12 yang dicetuskan oleh KH Mas Mansyur di masa Pra
Kemerdekaan juga Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang digagas Ki
Bagus Hadikusumo di awal Kemerdekaan Indonesia, disamping ada sebuah
‘manifesto praksis’ hasil Muktamar ke 44 tahun 2000 di Jakarta yang dikenal
dengan sebutan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Tradisi ini memang bukan tradisi yang dimulai oleh KH Ahmad Dahlan,
dimana dimasa KH Ahmad Dahlan hidup tidak ada satupun bentuk teks yang
kemudian diakui sebagai dokumen organisasi layaknya sebuah manifesto. Mungkin
sosok KH A.Dahlan-lah yang dianggap sebagai ‘manifesto hidup’ dimana di awal
perintisan Muhammadiyah itu. Dengan keluarnya bentuk manifesto-manifesto yang
keseluruhannya merupakan produk pasca KH Dahlan ini, bisa diartikan sebagian
missi KH Ahmad Dahlan telah berhasil ruh tajdid (pembaharuan) di dalam
Muhammadiyah secara kelembagaan masih terus bergelora. Keluarnya Zhawãhir al-
Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn tampaknya bukanlah semata-
mata layaknya pidato peringatan ulang tahun Muhammadiyah yang sudah berusia
121
hampir satu abad ini. Zhawãhir al-Afkãr ini keluar dalam waktu yang strategis di
tengah krisis peradaban Modern ummat manusia (Kholis, 2006: 1).
Muhammadiyah mungkin merujuk prediksi para penafsir arah peradaban
yang sepakat bahwa saat ini adalah detik-detik akhir dari peradaban modern dan
merupakan awal dari munculnya konstruksi peradaban baru, walaupun kemudian
para penafsir arah peradaban itu memiliki perbedaan membaca kecenderungan
jaman dengan rumusan-rumusan yang beragam. Dimana perbedaan-perbedaan itu
memunculkan beberapa varian seperti konsep Post Modern Derida dan kawan-
kawan, The End of History-nya Fukuyama, Toynbee dalam The Study of History,
Turning Point-nya Fritjof Capra, atau Peradaban Gelombang Ketiganya Alvin
Tofler.
Bila dilihat dari teks Zhawãhir al-Afkãr tampak ada perbedaan mendasar
dibandingkan dengan isi manifesto-manifesto sebelumnya, dimana selain
merupakan sebuah manivesto terpanjang sepanjang sejarah, Zhawãhir al-Afkãr ini
juga merupakan sebuah manivesto yang menganut pola fikir baru, walaupun tetap
berpijak dalam tradisi ar-ruju’ ila al –Qur’an wa as-Sunnah dan tajdid. Di dalam
dokumen Zhawãhir al-Afkãr inilah pertama kali di cantumkan secara jelas tafsir
bentuk “Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya” sebagai tujuan Muhammadiyah
dalam 5 pokok pikiran dan Zhawãhir al-Afkãr tidak sekedar menganut bentuk
penegasan ulang identitas persyarikatan yang lebih bersifat nasional seperti
manifesto-manifesto sebelumnya, namun juga merupakan sebuah bentuk rumusan
visi kedepan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menyambut zaman baru yang
ditandai dengan Globalisasi. Mungkin Muhammadiyah dengan Zhawãhir al-Afkãr
122
ini ingin menghadirkan kembali ‘sosok’ KH A Dahlan yang ijtihadnya telah terbukti
mampu mengatasi peliknya relasi Islam dengan modernisme selama kurun waktu
hampir satu abad ini. Pendek kata, Zhawãhir al-Afkãr ini mencoba mentajdid
kembali bentuk Muhammadiyahnya KH.A. Dahlan seabad yang lalu dalam sebuah
konstruksi relasi Islam dengan tata peradaban baru pasca runtuhnya modernisme.
Atau bahkan dengan Zhawãhir al-Afkãr ini Muhammadiyah ingin menghadirkan
kembali spirit Piagam Madinah yang telah berhasil ‘melampaui jamannya’ di tengah
peradaban baru yang akan datang .
Pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dari lima
hal yaitu komitmen gerakan, pandangan keagamaan, pandangan tentang kehidupan,
tanggungjawab kebangsaan dan kemanusiaan, serta agenda dan langkah kedepan.
Untuk kepentingan penelitian ini tidak akan diuraikan kelima hal tersebut tetapi
membatasi diri dengan hanya mendeskripsikan komitmen gerakan dan pandangan
keagamaan serta kehidupan.
Komitmen Gerakan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir al-
afkãr/statement of mind) terdiri dati tiga point penting yaitu:
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid,
berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai
jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi
dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai
wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi
kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata
123
diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha,
program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan
hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini
(www.muhammadiyah.or.id).
2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman
kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah
yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya.
Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-
langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas
di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti
melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam
dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan
bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya
bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada
kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang
dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam.
Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah
mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh
seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak
kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia
merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami
berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun
Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan.
124
Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi
(pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan
politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal
usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi,
Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu
dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta
aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu
Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal,
nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang
memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia (www.
muhammadiyah.or.id).
5. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan
belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya,
sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk meneguhkan dan
merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu
Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya
sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan
Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan
pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan (www.
muhammadiyah.or.id).
Pandangan keagamaan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir
al-afkãr/statement of mind) terdiri dati empat point penting yaitu:
125
1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan
untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan
dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi
kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di
muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul
hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung
hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan
hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang
fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan
Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup
seluruh umat manusia (www. muhammadiyah.or.id).
2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari
semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan
Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada
di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-
orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu
menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi
kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang
ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat
110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
126
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-
Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran
Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak
pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia
memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang
demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat
tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat
kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya
untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-
bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain (www. muhammadiyah.or.id).
3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai
pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri
Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah
kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam
yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan
tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah,
dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam
amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang
menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong
antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: “Sesungguhnya
Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang
127
yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu
pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang
berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang
mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang
berkemajuan dan berkeadaban (www. muhammadiyah.or.id).
4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran
Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak
masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud
sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang
dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki
keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan
spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,
sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai
keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan
keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika
kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan
berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di
segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan”
(al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-
jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah
memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat
128
kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai
Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia
(al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai
syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia.
Oleh karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak
”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau
utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan
kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar
dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai
ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi),
nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan
(kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai
kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap
kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia
baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi
kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang
demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada
kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat
menghancurkan kehidupan.
Pandangan tentang kehidupan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran
(zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dati tiga point penting yaitu:
129
1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada
dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk
seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi
besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang
memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan
sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan-
keseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang
melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang
bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-
menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi
kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara
sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi
perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan
berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang
melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral
dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang
harmoni (www. muhammadiyah.or.id).
2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan
positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama
melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era
global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme
(ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan
130
terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap
kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik)
manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam
kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme
baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang
bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan.
Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga
ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin
mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan
berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang
lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-
adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang
serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti
Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik
sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain
(‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi (www.
muhammadiyah.or.id).
3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan
dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan
di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di
alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral
tinggi (www. muhammadiyah.or.id).
F. Melacak “Tasawuf” dalam Akar Ideologi Ahmad Dahlan
131
Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa kajiannya tentang geneologi
intelektualitas Ahmad Dahlan mencatat adanya korelasi ideologis dalam beberapa
pemikiran pendiri gerakan Muhammadiyah ini dengan pemikiran Ibn Taimiyah.
Pokok-pokok pandangan Ibn Taimiyah yang dinilai mempunyai pengaruh besar
terhadap dinamika gerakan pembaharuan di dunia Islam, dan Ahmad Dahlan pada
khususnya meliputi lima aspek (Mulkhan, 1990: 37) :
1. Satu–satunya kunci untuk memahami Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul.
2. Ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumber primer (al Quran dan
sunnah) merupakan proses tidak pernah selesai.
3. Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah.
4. Usaha yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan kemampuan akal
dan kecerdasan berpikirnya semata–mata untuk menemukan dan mencapai
kebenaran mutlak, adalah suatu usaha yang mustahil.
5. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap al Quran dan sunnah, perlu
mempergunakan pendekatan dan contoh yang dilakukan oleh golongan salaf
yang merupakan generasi pertama ummat Islam.
Pasca kebangkitan simbolik Ibn Taimiyah, bermunculan sarjana-sarjana
Muslim yang konsisten memperjuangkan ketinggalan dunia Islam dari dunia Barat.
Gerakan reformasi Islam dalam dunia Arab modern dimulai dan disemai oleh para
pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi.
Puncaknya dalam gerakan pembaharuan Muhammad 'Abduh. Dan `Abduh adalah
cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan
dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin
132
intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular),
dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali
dari kerangka ajaran sang imam, yaitu menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh yang beraliran
kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-
Raziq, kemudian Muhammad Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Dinamika
tantangan mendorong konstruksi-konstruksi pemikirannya semakin kiri, sehingga
semakin jauh dari kerangka berpikir awal sang Imam. Kasusnya sama dengan
kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-
rantainya: dari 'Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan
terakhir Sayyid Quthb) (Asysyaukani, 2000: 34). Di kawasan Asia sendiri
bermunculan tokoh–tokoh Islam yang memiliki latar belakang dan corak pemikiran
yang beragam, seperti Syah Waliyullah, Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali,
Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah (India dan Pakistan) serta KH. Ahmad
Dahlan, KH. Ahmad Syurkati dan KH. Hasyim Asy `ari di Indonesia.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bergabung terlebih
dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu pertama di Indonesia. Melalui
organisasi ini Dahlan berkenalan Ahmad Syurkati yang sudah lebih dulu mengenal
gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-
gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar belakangi
ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair (Shihab, 1998: 112 dan
Hisyam, 2001: 167). Bersamaan dengan itu, Dahlan ikut bergabung dalam
133
pergerakan Budi Utomo. Kedua organisasi inilah yang mengilhaminya untuk
membangun organisasi Islam berwawasan modern.
Dapat kita cermati, bahwa Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek,
toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian Dahlan
tersebut sebagai berikut: Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an
energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab
blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”(Hisyam, 2001: 174).
Wawasan keberagamaan Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan
relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan
ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal.
Mengingat kedudukan sentral pemikiran Kyai dalam gerak perkembangan
Muhammadiyah maka menjadi sangat penting untuk memahami pokok–pokok
pikiran pemikiran Kyai Dahlan seperti yang terdapat dalam karyanya. Amin
Abdullah (2001) menyatakan bahwa Kyai Dahlan memiliki tipikal yang berbeda
dengan para pembaharu lain yang banyak meninggalkan karya tulis. Kyai Dahlan
merupakan tipe pembaharu a man of action dan bukan a man of tought. Beliau
menafsirkan Islam sebagai realitas yang dinamis dan hidup. Tafsir sosial Islam yang
dilakukan Dahlan menyuarakan kepentingan pemihakan kepada konstruksi-
konstruksi sosial yang marjinal, terjajah, dan tertindas oleh sebuah sistem
otoritas/struktur sosial yang opresif. Oleh sebab itu tidak mengejutkan apabila dalam
pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, Dahlan
menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit
bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling
134
benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang
memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato Kyai Dahlan tersebut
diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”
(dalam Asyukri, 2003: xix).
Menurut Munir Mulkhan, kesatuan kemanusiaan di atas merupakan dasar
berbagai gagasan KH. Dahlan tentang sikap kritis terhadap kebenaran yang selama
ini diyakini pemeluk agama dan pemimpin agama. Begitu pula pemikiran tentang
pentingnya sikap terbuka dan kesediaan untuk belajar kepada orang lain, walaupun
kepada orang yang berbeda agama. Tampak jelas bahwa bagi KH. Dahlan Islam
merupakan ajaran untuk pencapaian kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat
manusia. Untuk itu, gerakan pembaharuan Muhammadiyah bertujuan melawan
otoritas-otoritas (tiran) kolonial/neo-kolonial yang jutru melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan bahkan mengancam hakekat manusia itu sendiri.
Disinilah, Muhammadiyah ikut andil bagian dalam mengusung nasionalisme dengan
berbasis pada identitas Islam.
Apabila dilihat secara komparatif, epistemologi Kyai Dahlan terbangun dari
dua aksioma, yaitu aksioma dasar dan aksioma operasional (Mulkhan, 1990: 101).
Al Quran dan Sunnah Rasul merupakan aksioma dasar yang dijadikan acuan dalam
melakukan domestifikasi Islam dalam ranah historis empirik. Nalar yang berbasis
kepada logika, kritisisme dan berdimensi praksis menjadi pilar utama dalam
operasionalisasi aksioma dasar diatas. Struktur epistemologi ini menyiratkan bahwa
kepastian (qath`iah) menjadi dasar utama epistemologi sebagaimana ditekankan asy
Syatibi (dalam Hallaq, 2000: 243).
135
Dalam falsafah ajaran Kyai Dahlan (Hadjid, 1996: 46) dan pokok-pokok
pikiran yang dipubliksikan oleh Hoofbestuur Taman Pustaka, Kyai hanya menyebut
akal suci sebagai metode dalam melaksanakan ajaran agama. Sumber komplemanter
untuk memahami agama terdiri dari hadits, ijma dan qiyas sebagaimana tercantum
dalam Verslaag Moehammadijah di Hindia Timur tahun IX Januari-Desember 1922
(Arifin, 1987: 109). Inovasi untuk memasukkan ilmu–ilmu filosofis rasional, baik
yang bersifat sosial-humaniora sciences maupun natural sciences, dalam kurikulum
pendidikan Muhammadiyah telah mengecualikan gerakan ini dari tesis Robert N.
Bellah (2000), generalisasi Arkoun (1994) serta analisis Amin Abdullah (1996)
yang mensinyalir telah hilangnya tradisi filosofis rasionalistik dalam tradisi dunia
Muslim pasca masa kodifikasi atau sejak abad pertengahan-skolastik.
Kepiawaian Kyai dalam ilmu falaq (astronomi) dengan memakai pendekatan
hisa`b, kisah surat al Ma`un serta pendirian berbagai institusi sosial menjadi fakta
otentik yang monumental pada masa itu. Proyek nalar modern yang dicanangkan
Arkoun sudah menjadi komitmen sosial Kyai Dahlan untuk memancangkan
semangat rasionalitas dan kritisisme sebagai aksioma operasional epistemologi
Muhammadiyah. Dominasi dan hegemoni nalar Bayani selama ini terhadap
peradaban (Arab) Islam yang menjadi tesis al Jabiri melahirkan varian tersendiri
bagi Muhammadiyah (Azhar, 2000: 19). Seperti diakui Syamsul Anwar dan Hamim
Ilyas (dalam Baidhowi, 2002: 79), bahwa sejak awal Muhammadiyah memang telah
mempraktekkan pendekatan bayani yang di konfrontasikan dengan realitas empirik.
Sehingga yang terjadi adalah dialektika dinamis antara teks dan konteks, dimensi
normativitas dan historisitas. Menurut penulis, eksistensi nalar Bayani dalam
136
Muhammadiyah pada masa ini relatif berada pada relasi sinergis–kritis dengan nalar
Burhani (akal suci) dan nalar Irfani (hati suci). Dalam kerangka teori al Jabiri,
Muhammadiyah pada masa Islam (sejati) Kyai Dahlan ini berada dalam tahapan al
tadakhul al takwini; fase subalternasi genetis atau dalam istilah Alfian, the
formative years (Alfian, 1989: 136).
Namun dalam perkembangan fase Muhammadiyah, pendekatan bayani/teks
mengeras secara dominan. Fenomena ini dapat dirujuk pada kentalnya dominasi teks
dalam semangat ijtiha`diah Muhammadiyah yang secara eksplisit terkodifikasi
dalam Pokok–pokok Manhaj Majlis Tarjih. Katagorisasi ijtihad bayani, ijtihad
qiyasi dan ijtihad istishlahy dalam konteks ini hanyalah klasifikasi intensitas dan
eksplisitas otoritas teks terhadap nalar. Skema nalar syafi`iah ini menempatkan nalar
manusia dalam struktur subordinatif–dominatif terhadap wahyu. Karena deduksi
analogi harus bertitik tolak pada prinsip–prinsip yang diakui oleh al Quran dan
Sunnah (Coulsons, 1983: 45). Pada dasarnya, wilayah ijtihadiah Muhammadiyah
hanya terbentang sebatas garis demarkasi otoritas teks. Pada proses ini terjadi
transformasi wilayah non-teks menjadi otoritas wilayah teks (Abu Zaid, 1997: 6).
Pendekatan teks (nalar bayani) yang sangat dominan dalam Muhammadiyah
pasca Kyai Dahlan dengan basis nalar qiyasi (qiyas bayani) telah mentahbiskan
lahirnya “Nalar Islam Muhammadiyah” yang mengalami reifikasi. Nalar ini
dibentuk dan menyatu dalam struktur memori kebudayaan Muhammadiyah secara
tidak sadar. Langkah–langkah kodifikasi yang dilakukan pada fase kepemimpinan
1923–1985 telah memunculkan dominasi qiyas bayani (nalar qiyasi). Dominasi ini
mengartikulasikan kepemimpinan elite syariah formalistik dalam gerakan
137
Muhammadiyah pasca Kyai Dahlan. Maka gerakan pemikiran di Muhammadiyah
lebih menampakan background fiqhiyyah–nya dibanding dimensi gerakan
pembaharuan sosial yang dinamis. Dengan demikian, metodologi hermeneutik sosial
yang diwariskan Kyai Dahlan tidak saja tidak mendapat ruang apresiasi bahkan pada
akhirnya harus tersingkir dari epistemologi penalaran sosial keagamaan di
Muhammadiyah.
Ketersingkiran paradigma hermeneutik sosial dari konstruksi tafsir sosial
Muhammadiyah telah menimbulkan akibat yang fatal bagi landasan identitas
(politik) Muhammadiyah, yaitu kebudayaan. Nampaknya, kebudayaan dipahami
tidak memiliki garis relasional dengan cita-cita sosial serta kepentingan pemihakan
Muhammadiyah. Justru kebudayaan merupakan medan bagi proses perebutan
pemaknaan. Oleh karena itu, artikulasi gerakan Muhammadiyah akan selalu
dibingkai dalam kerangka kebudayaan yang bermuatan politis: keberpihakan pada
kelompok-kelompok sosial yang ditundukan/dilemahkan oleh sistem maupun oleh
konstruksi-konstruksi sosial dominan.
G. Tasawuf Muhammadiyah: Sebuah Hasil Penelusuran
Secara umum hasil penelusuran landasan dasar muhammadiyah tidak
dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan
dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang
sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Tasawuf substantive ini dapat
dijumpai dalam beberapa landasan dasar Muhammadiyah yaitu:
1. Dalam Muqodimah Anggaran Dasar disebutkan bahwa Islam secara substansial
adalah untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya
138
manusia haruslah mengikuti jejak para Nabi, beribadah kepada Allah dan
berusaha secara maksimal mengumpulkan segala kekuatan dan
menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat
yang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan
karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di
hadirat Allah atas segala perbuatannya, dan pula harus sabar dan tawakal
bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa
dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh
pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah. Dalam Muqodimah Anggaran
Dasar tasawuf dimaknai sebagai sikap ikhlas, sabar dan tawakal sesuai tuntunan
Nabi dan hanya terorientasikan kepada Allah.
2. Pada pasal 2 MKCHM disebutkan bahwa Muhammdiyah berkeyakinan bahwa
Islam menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an yang
merupakan Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan
Sunnah Rasul yang merupakan penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-
Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal
fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Dalam MKCHM ini tasawuf dimaknai
sebagai keseimbangan materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi, inilah yang
kemudian oleh beberapa kelompok disebut sebagai Tasawuf Positif yang
didasarkan atas Qur’an dan Sunnah, dan menafikan tasawuf yang terorientasi
pada khalwat dan penyingkiran terhadap kehidupan dunia.
139
3. Dalam Rumusan Hakekat Muhammadiyah disebutkan inti dari kepribadian
warga Muhammadiyah adalah beriman teguh, ta'at beribadah, berakhlaq mulia,
dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Inilah orientasi
dasar dari tasawuf yang tidak disandingkan dengan yang dipandang sebagai
negative seperti, menyendiri, berkebiasaan aneh-aneh, berteologi secara
spekulatif dan mengasingkan diri ditengah masyarakat.
4. dalam PHIM disebutkan bahwa setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan
iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh
mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak
syirk, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada
Allah. Ini artinya tasawuf yang identik dengan tarekat dan dan kepatuhan
terhadap mursyid tidak diterima dalam wilayah Muhammadiyah karena
dipandang sebagai bid’ah.
Tasawuf substantive seperti di atas didasarkan atas pemahaman yang
menyatakan tidak seorangpun yang tidak mendambakan kepuasan dan kenikmatan
hidup. Setiap orang tentulah menginginkan agar hidupnya selalu dalam keadaan
tenang dan tenteram serta selalu dapat merasakan adanya kepuasan hidup (Suara
Muhamadiyah, 2008: 12) . Untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman hidup
itu, berbagai cara dan jalan dilalui. Sementara orang beranggapan bahwa, kepuasan
hidup itu terletak pada adanya harta kekayaan yang menumpuk, maka untuk
memperoleh kepuasan hidup itu, ia berusaha mengumpulkan harta kekayaan
sebanyak-banyaknya. Dan sering terjadi bahwa, untuk mendapatkan harta kekayaan
140
itu, ditempuhlah berbagai cara dan jalan, tidak peduli apakah cara itu dibenarkan
oleh agama atau tidak yang penting asal harta kekayaan dapat dikumpulkan.
Sementara orang lagi beranggapan bahwa, kepuasan hidup itu terletak pada
adanya pangkat dan kedudukan yang tinggi. maka untuk memperoleh kepuasan
hidup itu, dengan berbagai cara dan jalan, dikejarlah pangkat dan kedudukan itu.
Dan tidak jarang pula bahwa, dalam mengejar pangkat dan kedudukan itu
ditempuhlah cara-cara yang tidak wajar. Apakah benar bahwa, dengan harta
kekayaan dan pangkat, seseorang akan memperoleh kepuasan hidup? Dalam batas-
batas tertentu memang benar bahwa, harta kekayaan dan pangkat bisa membuat
seseorang menjadi puas dan senang. Tetapi, kesenangan dan kepuasan yang dicapai
sifatnya relatif. Dalam praktek tidak sedikit orang yang berharta cukup, uang
simpanan di Bank melimpah, rumah megah, kendaraan mewah berjejer, segala
kehendak dan keinginannya terpenuhi, tetapi batinnya merasa kosong, jiwanya
gelisa. Demikian pula tidak jarang seseorang yang menduduki pangkat yang cukup
tinggi, tetapi, dengan pangkatnya itujiwanya selalu tidak tenteram. Ia selalu merasa
dikejar-kejar orang dan sebagainya. Sebaliknya tidak sedikit pula orangdapat
merasakan kepuasan hidup, pikirannya selalu dalam keadaan tenang, jiwanya
tenteram, padahal secara lahiriyah ia selalu dalam keadaan serba kekurangan, harta
tidak dan pangkat pun tiada. Kepuasan batin rupanya telah memberikan imbangan
terhadap ketidakpuasan yang bersifat lahiriyah (Suara Muhamadiyah, 2008: 24).
Dalam rangka mencari kepuasan yang bersifat batiniyah menurut
Muhammadiyah, ada beberapa cara yang bisa dilakukan.
141
1. Menjauhi larangan. Setiap orang yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran
terhadap peraturan atau undang-undangnegara, norma atau nilai-nilai luhur yang
berlaku di masyarakat, lebih-lebih lagi pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan Allah, pastilah membuat hatinya tidak tenteram, selalu berdebar-debar
dan gelisah. Keadaan semacam ini tentunya merupakan siksaan batin, yang
membuat kehidupannya tidak tenang. Untuk menghindari kegelisahan hidup,
salah satu resepnya adalah menjauhi segala larangan, terutama larangan Allah
(Suara Muhamadiyah, 2007: 16).
2. Ridha terhadap karunia Allah. Sudah menjadi tabiat manusia bahwa, ia selalu
merasa tidak puas terhadap nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.
Sekiranya perasaan tidak puas itu ditujukan kepada karunia berupa ilmu
pengetahuan, ini justru merupakan hal yang terpuji, tetapi, pada umumnya
perasaan tidak puas itu menyangkut soal kebendaan. Orang selalu merasa tidak
puas dengan harta kekayaan yang telah dimilikinya. Walaupun kepadanya
diberikan dua lembah penuh emas, tetapi ia selalu menginginkan lembah yang
ketiga, keempat dan seterusnya, tiada habis-habisnya. Tabiat tidak pernah
merasa puas terhadap harta yang dikaruniakan kepadanya itu dapat dikendalikan
dengan menanamkan sikap qana;ah, yaitu, bersikap ridha terhadap karunia
Allah. Artinya, dia menerima apa adanya, menerima dengan perasaan syukur
atas apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Sifat ridha dan syukur itu
akan mebuat seseorang merasa paling kaya, walaupun kenyataannya dia miskin.
Sebaliknya sifat thama, loba dan serakah terhadap harta kekayaan akan membuat
seseorang merasa miskin, walaupun dalam kenyataannya ia hidup bergelimang
142
harta. Sebab sifat serakah membuat mata seseorang selalumenengadah, hanya
melihat ke atas, melihat orang lain yang lebih kaya daripada dirinya. Dalam
hubungan inilah Islam menasehatkan agar dalam soal karunia harta, hendaknya
seseorang selalu melihat ke bawah, melihat orang lain yang keadaannya lebih
miskin daripada dirinya. Dengan melihat ke bawah akan tumbuhlah rasa syukur,
bahwa, dirinyaternyata dalam keadaan lebih baik apabila dibandingkan dengan
keadaan orang lain. Menurut Muhamadiyah kekayaan itu tidak terletak pada
uang dan harta yang melimpah, melainkan pada budi pekerti (Suara
Muhamadiyah, 2007: 12).
3. Mencintai sesama manusia laksana mencintai diri sendiri. Sudah menjadi
tabiatnya, bahwa, setiap orang itu sangat mencintai diri sendiri. Meskipun diri
sendiri mengandung banyak kelemahan dan kekurangan serta menyandang
banyak cacat sekalipun, tetapi cinta kepada diri sendiri tidak akan berkurang.
Sekiranya ada orang lain yang beranimengungkapkan kekurangan dan cacat itu,
ia pasti tersinggung dan merasa direndahkan. Karena cintanya kepada diri
sendiri, kadang-kadang membuat orang bersikap sombong dan angkuh, merasa
diri sendirilah yang paling hebat, paling pintar, paling benar, paling gagah dan
sebagainya.Cinta pada diri sendiri, acapkali membuat seseorang bersikap rakus
dan tamak. Ia menginginkan agar sebanyak mungkin harta benda hanya
menumpuk pada dirinya sendiri, tidak perduli, apakah orang lain menderita
karenanya. Mencintai diri sendiri sebenarnya tidak dilarang oleh agama. Bahkan,
agama juga menganjurkan agar memperhatikan kepentingan dan tuntutan diri
kita, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Yang dilarang oleh agama
143
adalah cinta kepada diri sendiri secara berlebihan. Oleh sebab itu kalau tidak
mau dicela atau direndahkan oleh orang lain, hendaklah kita tepo seliro, tidak
mencela dan merendahkan orang lain. Apabila diri kita tidak suka difitnah dan
diadu domba, maka kitapun jangan pula menfitnah dan mengadu domba orang
lain. Apabila kecintaan kita kepada sesama manusia mencapai tingkatan serupa
itu, berhaklah kita menyandang predikat sebagai seorang muslim sejati, yang
hidupnya penuh kepuasan dan ketenteraman (Suara Muhamadiyah, 2008: 25).
BAB IV
TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH
KOTA SEMARANG
Mendengar kata tasawuf, yang terbetik dalam benak adalah sesuatu yang berat.
Sesuatu yang jauh, yang tidak terjangkau oleh akal awam kita. Berpakaian serba putih,
memelihara jenggot panjang dan menjauhi kehidupan dunia, hidup dalam kekurangan
ekonomi alias miskin dan berpakaian lusuh. Gambaran itulah yang kerap dimunculkan,
144
saat mendengar kata tasawuf, dan juga sufi26 (para pelaku tasawuf). Ini masih ditambah
lagi dengan pernyataan-pertanyaan ganjil atau nyleneh yang seringkali susah dipahami
dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim. Seperti ucapan Al Hajjaj dan
Abu Yazid Al-Busthami, misalnya `'Akulah Sang Kebenaran'' (ana Al-Haqq) atau `'Tak
ada apapun dalam jubah yang aku pakai selain Allah”.'
Dari sinilah timbul tudingan Syaikh Abdurrahman al Wakil, yang menyatakan
bahwa tasawuf itu adalah tipuan, makar paling rendah, hina dan tercela. Tasawuf
adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang Rabbani, bahkan juga
topeng semua musuh agama ini (Islam) (dalam Fauzan, 1998: 2).
A. Deskripsi Historis-Geografis Kota Semarang
Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan salah kota
yang dipimpin oleh walikota. Kota ini terletak sekitar 485 km sebelah timur Jakarta,
atau 308 km sebelah barat Surabaya. Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di
utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten
Kendal di barat. Secara histories sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad
ke 8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Bergota (ada ahli sejarah yang
26Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama
Islam pada masanya.Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial. Maka, misalnya, mereka terlibat jauh dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libya, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi. Di Nigeria utara, Syekh 'Utsman dan Fobio (m. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariat Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyat maupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (m. 1885), anggota tarekat Tsemaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.
145
menyebutnya Plagota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah
tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan yang ramai dan masih berupa gugusan
kepulauan kecil-kecil. Akibat pengendapan gugusan tersebut kemudian menyatu
membentuk daratan. Bahkan kota Semarag Bawah yang kita kenal sekarang ini
dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di Pasar Bulu
sekarang memanjang masuk ke pelabuhan Simongan tempat armada Laksamana
Cheng Ho mendarat pada tahun 1406 M. Ditempat pendaratannya Laksamana
Cheng Ho mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi
dan disebut Kelenteng Gedong Batu (Sam Poo Kong) (http//: id-wikipedia
wordpress.com).
Pada akhir abad ke 15 M ada seorang dari kesultanan Demak bernama
pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang pergi ke pesisir
utara bagian barat untuk mencari daerah baru. Disuatu tempat yang bernama Pulau
Tirang ( pulau kecil yang sekarang menjadi bagian dari bukit pemakaman Bergota),
beliau membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam.
Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu
muncullah pohon asam yang jarang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga
memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang27. Sebagai pendiri desa,
kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang
27Semarang, sebagai lbu kota Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang. Mulanya dari dataran lumpur,yang kemudian hari berkembang pesat menjadi lingkungan maju dan menampakkan diri sebagai kota yang penting. Sebagai kota besar, ia menyerap banyak pendatang. Mereka ini, kemudian mencari penghidupan dan menetap di Kota Semarang sampai akhir hayatnya. Lalu susul menyusul kehidupan generasi berikutnya. Di masa dulu, ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat Disuatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang (www.kotasemarang.go.id)
146
I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan
Arang II. Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin
menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan
Hadiwijaya dari Pajang. Oleh karena persyaratan peningkatan daerah dapat
dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan
Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi
Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan
Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang28 (http//: id-wikipedia wordpress.com).
Pada tahun 1678 Amangkurat II dari Mataram, berjanji kepada VOC untuk
memberikan Semarang sebagai pembayaran hutangnya, dia mengklaim daerah
28Bandingkan dengan www.kotasemarang.go.id, yang menjelaskan, di bawah pimpinan Pandan
Arang, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, juga bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 masehi dinobatkan menjadi Bupati yang pertama. Pada tanggal itu "secara adat dan politis berdirilah kota Semarang" . Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali, akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalekat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat. Sesudah Bupati Pandan Arang mengundurkan diri lalu diganti oleh Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586), kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1966-1670), Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701), Raden Maotoyudo atau Raden Summmgrat (1743-1751), Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadmienggolo (1751-1773), Surohadimenggolo IV (1773-?), Adipati Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?), Raden Tumenggung Surohadiningrat (?-1841), Putro Surohadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), RTP Suryokusurno (1860-1887), RTP Reksodirjo (1887-1891), RMTA Purbaningrat (1891-?), Raden Cokrodipuro (?-1927), RM Soebiyono (1897-1927), RM Amin Suyitno (1927-1942), RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945), R. Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan, M. Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946, 1949 - 1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia) pada waktu Pemerintahan RIS yaitu pemerintahann federal diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949.
147
Priangan dan pajak dari pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas. Pada tahun 1705
Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari
perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu
Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah
Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang
Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang
Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan
Jepang (http//: id-wikipedia wordpress.com).
Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai
Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang
masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah
kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa
kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara
Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik.
Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran lima hari di Semarang.
Tahun 1946 lnggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada
pihak Belanda.Ini terjadi pada tangga l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu
muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, walikota Semarang
sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada
pemerintahan daerah kota Semarang. Narnun para pejuang di bidang pemerintahan
tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian
diluar kota sampai dengan bulan desember 1948. Daerah pengungsian berpindah-
148
pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di
Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.
Prawotosudibyo dan Mr. Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal
dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti
dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak
berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada
Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950
Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah
Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementrian Dalam
Negeri di Yogyakarta. Beliau menyusun kembali aparat pemerintahan guna
memperlancar jalannya pemerintahan.
Kotamadya Semarang secara definitif ditetapkan berdasarkan UU Nomor 13
tahun 1950 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Provinsi
Jawa Tengah. Secara geografis daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat
sempit, yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal
dengan sebutan kota bawah29. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di
29Berdasarkan sejarahnya, kota Semarang memiliki suatu kawasan yang ada pada sekitar abad 18
menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada masa sekarang disebut Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK.Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai : HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl. Let Jen Soeprapto.Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut DE ZUIDER POR. Jalur pengangkutan lewat air sangat penting hal tersebut dibuktikan dengan adanya sungai yang mengelilingi kawasan ini yang dapat dilayari dari laut sampai dengan daerah Sebandaran, dikawasan Pecinan. Masa itu Hindia Belanda pernah menduduki peringkat kedua sebagai penghasil gula seluruh dunia. Pada waktu itu sedang terjadi tanam paksa( Cultur Stelsel ) diseluruh kawasan Hindia Belanda. Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga OUTSTADT. Luas kawasan ini sekitar 31 Hektar. Dilihat dari kondisi geografi, nampak bahwa kawasan ini terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri, sehingga mendapat julukan "LITTLE NETHERLAND". Kawasan Kota Lama Semarang ini merupakan saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda lebih dari 2 abad, dan lokasinya berdampingan dengan kawasan ekonomi. Ditempat ini ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan kokoh dan mempunyai sejarah Kolonialisme di
149
sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut (rob). Di sebelah selatan
merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di antaranya
meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati, dan Banyumanik. Secara
administratip Kota Semarang terdiri atas 16 kecamatan, yang terbagi lagi dalam
sejumlah kelurahan dan desa. Ke-16 kecamatan tersebut adalah: Banyumanik,
Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang
Timur, Semarang Utara, Tembalang dan Tugu.
Pemilihan Kota Semarang sebagai tempat penelitian setidaknya didasarkan
karena kota ini menjadi ibu kota propinsi Jawa Tengah. Sebagai ibu kota propinsi
semarang tentunya menjadi pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat yang
lainnya. Sebagai pusat pendidikan, di Semarang30 terdapat sejumlah perguruan
tinggi ternama baik negeri maupun swasta. Perguruan Tinggi tersebut adalah:
Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Politeknik
Negeri Semarang, IAIN Walisongo, Akademi Kepolisian. Perguruan tinggi swasta
antara lain: Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Islam Sultan Agung,
Universitas Wahid Hasyim Semarang, Universitas Katolik Soegijapranata,
Semarang. Kota Lama Semarang ini adalah daerah yang bersejarah dengan banyaknya bangunan kuno yang dinilai sangat berpotensi untuk dikembangkan dibidang kebudayaan ekonomi serta wilayah konservasi.
30Surat kabar yang terbit di Semarang antara lain: Radar Semarang dan Meteor (Grup Jawa Pos), Suara Merdeka, Majalah Merah Putih, Wawasan (Suara Merdeka Grup). Televisi lokal di Semarang adalah TV Borobudur, Pro TV, TVKU, dan Cakra TV. Dari sisi budaya Semarang memiliki seni budaya warak ngendhog dan dhugdheran yang diadakan menjelang datangnya bulan ramadhan. Semarang memiliki kota tua Little Netherland yang mencakup kawasan Polder, Stasiun Semarang Tawang Jembatan berok dan Lawang Sewu. Komunitas Tionghoa di Semarang, dapat ditemui melalui perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata), mengadakan Pasar Semawis, yakni pasar malam yang menjual berbagai makanan & oleh-oleh khas Semarang, di daerah pecinan Semarang (daerah Gang Pinggir).
150
Universitas Dian Nuswantoro, Universitas Stikubank, Universitas Semarang,
Universitas AKI, Universitas Muhammadiyah Semarang, Sekolah Tinggi Ilmu
Elektronika dan Komputer (STEKOM) Semarang, STMIK ProVisi IT College,
AKABA 17 Agustus 1945. Dari sekian banyak lembaga pendidikan, tentunya
Semarang menjadi salah satu pusat domisili para intelektual dari beragam disiplin
ilmu. Dalam perspektip semacam inilah penelitian ini dilakukan.
B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual Muhammadiyah Kota
Semarang.
Beragama pada era dewasa ini memiliki tantangan tersendiri, hal ini
dikarenakan selain dihadapkan pada semakin banyaknya perspekrif pemahaman
yang berbeda dalam lingkup agama tertentu disatu sisi, disisi lain umat beragama
juga dihadapkan pada realitas beragama ditengah agama-agama lain. Menurut Budhi
Munawar Rahman, tantangan paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini
adalah bagaimana seseorang beragama bisa mendifinisikan dirinya ditengah
kelompok-kelompok lain atau dalam istilah yang lebih tehnis “berteologi dalam
konteks pemahaman-pemahaman yang berbeda”31. Dalam pergaulan antar agama,
semakin hari kita semakin merasakan inteksnya pertemuan agama-agama itu. Pada
tingkat pribadi sebenarnya hubungan antar tokoh agama di Indonesia menunjukkan
suasana yang semakin akrab, tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari
agama muncul kebingungan-kebingungan khususnya yang menyangkut bagaimana
kita harus mendefinisikan diri ditengah agama-agama lain yang juga eksis dan
punya keabsahan.
31Dalam bahasa Budhi Munawar Rahman istilah yang dipakai adalah “Beragama di Tengah
Agama Orang Lain”, lihat (IDEA, 1997: 32)
151
Dari realitas yang mengglobal tentang agama dan beragama yang berpadu
dengan cepatnya ilmu pengetahuan dalam berbagai perspektif yang
multidimensional mengakibatkan semakin beragamnya pemahaman beragama yang
semakin dinamis. Hal ini tidak bisa terelakkan karena beragama bukanlah
merupakan sikap yang pasif, tetapi akhir-akhir ini beragama lebih dipahami seagai
sikap dialogis intelektual yang proporsional antara manusia, realitas dan Tuhan.
Dalam perspektif seperti inilah beragama semakin menemukan momentum untuk
bergerak dinamis dan berakselerasi dengan tantangan realitas ruang dan waktu.
Secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah
terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap
keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Ketiga sikap ini dapat
pula dikategorikan dalam terminologi eksklusif, inklusif dan pluralis32 (Hubbard,
1998: xix). Eksklusif adalah pola pemikiran yang secara umum menafikan tasawuf
secara total dan beranggapan bahwa hanya pemikiran kelompoknyalah yang paling
benar dan yang mampu memberikan pencerahan kehidupan. Sikap secara inklusif
ditunjukkan dengan lebih terbuk terhadap tasawuf sedangkan sikap pluralis
merupakan tindakan respek terhadap tasawuf yang ditunjukan dengan sikap
mengakui serta memahami eksistensi tersebut.
1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf
32Kategorisasi kedalam sikap eksklusif, inklusif dan pluralis diadaptasi dari pendapar Nurcholish
Madjid yang menyatakan bahwa paling tidak dewasa ini para ahli memetakan dalam tiga sikap golongan. Pertama, sikap yang eksklusif dalam melihat agama lain (agama lain adalah jalan yang salah dan menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implicit agama kita) dan ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresikan dalam beragam rumusan seperti, agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama-sama sah atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran (Hubbart: 1998, xix)
152
Sikap ini diwakii oleh Hamzah33, Sekretaris PDM kota Semarang dan
juga Dosen di IKIP PGRI Semarang. Menurutnya beribadah adalah suatu konsep
yang sudah paten dan tidak boleh mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang
dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif
Muhammadiyah menurutnya, landasan utama yang mendasari setiap ibadah
manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan
Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara
otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Menurut Hamzah, penolakan terhadap tasawuf didasarkan pada
beberapa aspek:
1. Pada jaman Rasulullah, Islam tidak mengenal aliran tasawuf, juga pada masa
shahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang
mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), dari
pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu
Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. Menurut Hamzah, adalah dusta
yang mengatakan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah golongan
tasawwuf.
2. Aliran sufi memeliki sifat fanatisme terhadap syaikh dan mursyid mereka,
padahal menurutnya Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat : 1) dan
rasulullah bersabda : Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam berbuat
maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam berbuat baik. (HR. Bukhari
33Wawancara dengan Hamzah dilakukan pada tanggal 17 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Semarang.
153
& Muslim). Menurut Hamzah, kebanyakan manusia sekarang ini
mengambil apa saja yang dikatakan oleh gurunya tanpa mau memeriksa
apakah perkataan gurunya itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau
tidak. Dia menerima apa saja yang dikatakan oleh gurunya yang disangkanya
bebas dari kesalahan, maka jika gurunya sesat secara otomatis sesat pulalah
dia. Ini menurutnya adalah kebiasaan syaikh-syaikh tasawuf. Mereka biasa
melatih murid-muridnya untuk taat buta sekalipun didalamnya terdapat
perihal meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan
memperingatkan mereka bila bersikap ingkar dan menyanggah.
3. Keramat-keramat dan Perkataan-perkataan Para Syaikh Tarekat Sufi. Dia
merujuk pada ungkapan Syaikh Muhammad Al-Mashum: Aku melihat kabah
yang dimuliakan merangkul dan menciumku dengan kerinduan yang
mendalam. Tatkala aku selesai melaksanakan thawaf ziarah, datanglah
kepadaku seorang malaikat membawa sebuah kitab tentang diterimanya haji
yang aku laksanakan dari Rabb semesta alam. Ini menurutnya ada dalam
kitab Al-Mawahibus Sarmadiyyah, halaman 213, Jamiu Karamatil Auliya jus
1 halaman204 dan Al-Anwarul Qudsiyyah halaman 196, semuanya adalah
kitab-kitab referensi tasawuf aliran Naqsyabandiyyah.
Ini adalah perkataan para Syaikh tarekat sufi, dan masih begitu banyak hal
yang senada seperti di atas dari ucapan-ucapan mereka yang didalamnya
terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap syariat dan tidak bisa
diterima oleh orang yang memeiliki akal sehat.
154
4. Memohon Pertolongan/Istighasah Kepada Para Syaikh Mereka.
Diriwayatkan bahwa salah seorang murid Syaikh Muhammad Al-Mashum
sedang mengendarai seekor kuda, lalu kuda tersebut membuang kotorannya
sehingga membuat sang murid terjatuh ke tanah dan kakinya tergantung di
tempat pelana kuda. Kemudian kuda tersebut membawanya lari hingga ia
berkeyakinan akan binasa. Kemudian ia meminta pertolongan kepada yang
mulia al-qayyum (yaitu Syaikh Muhammad Al-Mashum-disifati dengan sifat
yang hanya dimiliki Allah SWT). Sang murid berkata : lalu aku melihat sang
Syaikh datang sambil memberhentikan kuda tersebut serta menaikkanku
keatasnya. Menurut Hamzah ini bisa dilihat dalam Al-Mawahibus
Sarmadiyyah halaman 210-213, padaha Alah berfirman :
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan
yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Alah
ada tuhan (yang lain)? (Al-Anam: 62)
5. Membenci Ilmu dan Malas Menuntut Ilmu. Abu Yazid Al-Busthomi berkata
seraya mengajak bicara Ahlul Hadits : Kalian telah mengambil ilmu kalian
dari orang mati melalui orang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami
dari Dzat Yang Maha Hidup Yang tidak akan mati. Ini bisa dirujuk dalam
Thabaqatusy Syarani jus 1 halaman 5, Al-Futuhatul Makkiyyah jus 1 hal
365. Al--Qusyairi telah meriwayatkan perkataan Abu Bakar Al-Warraq :
Penyakit yang bisa merusak seorang murid ada tiga : menikah,
mencatat/menulis hadits dan kitab-kitab. (Ar-Risalatul Qusyairiyyah
155
halaman 92). Sulaiman Ad-Daroni berkata: Apabila seseorang
mencari/mempelajari hadits atau bepergian untuk mencari rezeki dan
menikah, maka berarti ia telah cenderung kepada dunia. (Al-Futuhatul
Makkiyyah 1/37). Menurut Hamzah, mereka tidak butuh lagi dengan As-
Sunnah, padahal Allah berfirman : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bagaimana bisa mentaati Allah dan rasul-Nya jika ia tidak mengetahui
perintah-perintah dan larangan-larangan yang tersebut dalam As-Sunnah,
apalagi yang tersebut dalam Al-Quran.
6. Aliran sufi menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan sebab-
sebab (kerja) serta meninggalkan jihad padahal Allah berfirman :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kenikmatan) di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
(dari kenikmatan ) di dunia.” (Al-Qashash : 72) “Dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu miliki.” (Al-Anfal : 59.)
7. Sebagian aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba
kepada Allah), sehingga tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan
semua makhluk bisa menjadi sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi
(tokoh sufi) yang dikubur di Damsyiq, dia mengatakan: Hamba ini adalah
Tuhan dan Tuhan adalah hamba Wahai siapa yang dibebani (ibadah) ? Jika
saya katakan saya adalah hamba itu betul. Dan jika saya katakan saya adalah
Tuhan, maka bagaimana akan dibebani ? Ini adalah menurut Hamzah adalah
kesyirikan yang Akbar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
Bagaimana seorang manusia mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, dan
156
mengatakan bahwa ia terbebas dari kewajiban ibadah (karena ia sudah
berkedudukan sebagai Tuhan.
8. Sufiyyah berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para Wali yang
hidup dan yang telah mati. Mereka mengucapkan : “Yaa Jailani!, Yaa
Rifa’i!, dan Yaa Rasulullah!”, sebagai tujuan istighatsah dan memohon
pertolongan atau dengan ucapan, “Yaa Rasulullah! Engkaulah tempat
bersandar.” Sementara Allah : “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa
yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu
selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian itu maka
sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zhalim(musyrik).”(Yunus
:106) Rasulullah SAW telah bersabda : “Doa itu adalah ibadah.” (HR
Tirmidzi dengan sanad hasan shahih), maka do’a itu adalah ibadah seperti
halnya shalat yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, sekalipun
kepada Rasul dan para Nabi.
9. Aliran Sufi mengaku mempunyai ilmu kasyaf (tersingkapnya segala rahasia)
dan mengetahui yang ghaib Ini adalah kedustaan yang telah dibantah oleh
Allah dengan firman-Nya : Katakanlah : tidak ada seorangpun dilangit dan
dibumi yang mengatahui perkara yang ghaib kecuali Allah. (An-Naml : 65)
Rasulullah bersabda : Tidak ada yang mengetahui perkara yang ghaib selain
Allah. (HR. Thabrani dengan sanad Hasan).
Sikap Hamzah ini didasarkan pada Anggaran Dasar Muhammadiyah
yang dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas
Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang gerakannya
157
melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan
tujuan menjunjung tinggi Agama Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi dan
eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan
pembaruan di bawah tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang
shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad
untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia. Sebagai Gerakan Islam
sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki
paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada
awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad
Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy,
kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi
jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah.
Berikut pandangan H.M. Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah,
mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam:
”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (Tamimy, 1978: 3).
Menurut Hamzah, berbicara tasawuf dalam perspektip Muhammadiyah
merupakan hal yang salah alamat dikarenakan memang tidak dikenal. Tasawuf
dalam Muhammadiyah adalah Islam itu sendiri. Menurutnya Rujukan paham
158
agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan
tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara ideal-
teologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah ditetapkan dalam
pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan keputusan-
keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah.
Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja
seperti dalam “Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-
Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas yang
membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu.
Menurut Hamzah, pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah
yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain dapat dirujuk pada
berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas
Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah
Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil al-
Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil
Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami
Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta,
dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah-
masalah paham agama dalam Muhammadiyah.
Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah menurut
Hamzah, tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-
perorang, sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup
159
dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan
dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.
Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu
matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya
berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang
diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa,
dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai
hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin
kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari
pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari
Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan
didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat
manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-
‘alamin.
Dalam pandangan orang Muhammadiyah menurut Hamzah, Agama
adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi-Nya,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang
tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-
larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
160
Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-
Khams tentang al-Dîn). Hal yang menarik dari paham agama menurut
Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (asli) karena
berasal dari Allah dan dibawa oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek
ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-perintah (al-
awâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-
petunjuk (al-irsyâdat). Dalam perspektip semacam inilah maka beragama
menjadi sesuatu yang tidak dibuat-buat seperti yang terjadi dalam tasawuf,
sehingga wajar apabila tasawuf tidak mendapat tempat dalam Muhammadiyah.
Penolakan Muhammadiyah terhadap tasawuf, menurut Hamzah juga
dapat dilihat dari pemahaman Muhammadiyah, yang memahami Islam sebagai
agama yang hanya untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah dan tidak
ada ketundukan kepada mursyi’d, agama semua Nabi, agama yang sesuai
dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang
mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan
agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang
diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap
muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam
kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk
meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan
menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani,
161
dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat
Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri.
Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu menurut
Hamzah, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama:
kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti
berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).
Pandangan Islam tentang kehidupan tersebut menunjukkan keluasan
mengenai aktualisasi ajaran Islam, sekaligus kesadaran dan tuntutan untuk
membumikan ajaran Islam tersebut dalam dunia kehidupan umat manusia untuk
menciptakan rahmatan lil-‘alamin. Dalam konteks inilah Muhammadiyah
memandang dunia bukan saja sebagai ajang untuk membumikan ajaran Islam,
tetapi sekaligus memberi ruang untuk berijtihad dalam rangka mengurus urusan
dunia berdasarkan pesan ajaran Islam. Inilah yang membedakan dengan tasawuf
yang memandang dunia sebagai neraka dan penjara bagai kaum muslim. Dalam
kaitan inilah maka Muhammadiyah pun memiliki pandangan yang mendasar
mengenai konsep dunia (ma hiya al-dunyâ). Menurut Muhammaiyah, yang
dimaksud dengan ”urusan dunia” dalam Sabda Rasulullah: “Kamu lebih
mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas
diutusnya para Nabi; yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan
yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (Kitab Masalah
Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dunýâ).
162
Selain pandangan mengenai agama dan dunia, dalam al-Masail al-
Khams juga dikemukakan juga mengenai konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas
atau ijtihad, yang menyisyaratkan tentang lima masalah mendasar yang terkait
dengan pandangan Muhammadiyah mengenai hal-hal penting bagi manusia.
Menurut Hamzah, Muhamadiyah berpandangan bahwa Ibadah ialah bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-
perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang
diidzinkan Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: yang umum
ialah segala ‘amalan yang diidzinkan Allah. Dan yang khusus ialah apa yang
ditetapkan Allah akan perincian-perinsiannya, tingkah dan cara-caranya yang
tertentu.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah).
Adapun mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan
bahwa ”Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah,
berupa segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat-
kalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” (Kitab
Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan pandangan
mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah selain menunjukkan kesatuan
mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga memandang
tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan dan menuju pada
jalan Allah. Sabilullah tidak lepas dari ibadah, bahkan keduanya merupakan satu
kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat bagi setiap muslim. Dalam
pemahaman semacam inilah, Muhammadiyah secara tegas menurut Hamzah
menolak keberadaan tasawuf.
163
Senada dengan Hamzah adalah apa yang dikemukakan oleh
Suratman34, Wakil Ketua PDM Kota Semarang. Menurutnya penolakan terhadap
tasawuf dikarenakan tasawuf tidak ditemukan dan dirumuskan dalam Islam.
Rumus dasarnya adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
dan terdapat dalam Qur’an dan Sunnah maka itulah yang dilakukan. Sebagai
contoh adalah bacaan takbir tahmid sebanyak 33 kali setelah ba’da Isya, ini
boleh dilakukan dikarenakan sesuai ajaran Rosulullah tetapi bacaan Ya Latif
sebanyak 33 kali itu tidak ada dalam Islam. Sikap penolakan terhadap tasawuf
juga didasarkan atas rumusan dasar bahwa ijtihad dalam bidang ibadah adalah
kharam. Berijtihad hanyalah untuk aspek-aspek dunyawiyah. Dalam kasus
tasawuf menurut Suratman, itu masuk dalam kategori berijtihad dalam bidang
ibadah.
Penolakan terhadap tasawuf ini menurut Suratman juga didasarkan
pada pokok agama Islam, yaitu hanya sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w yang
menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia
dan akhirat, kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan
bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan
Agama Islam. Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas
tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari
Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah
untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi
pemurnian maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting
34Wawancara dengan Suratman dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Semarang.
164
dalam pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah.
Dengan pemurnian Muhammadiyah yang merujuk dan menampilkan Islam yang
sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih
(maqbulah), sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi
dengan pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan
manusia.
Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran
Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam
menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat
pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangan-
tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar
menjadi rahmatan lil-’alamin: “tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali
sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah
menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta
kehidupan.
Menurut Suratman, Muhammadiyah mempertahankan Islam dari
pengaruh dan serangan dari luar. membersihkan Islam di Indonesia dari
pengaruh dan kebiasaan bukan Islam. Watak puritan Muhammadiyah, menurut
Faisal Ismail tercermin dalam sikap Muhammadiyah yang tidak mengapresiasi
praktik-praktik semacam tarekat, tahlil, danMuhammadiyah tidak terikat dengan
satu mazhab tertentu dalam pengambilan hukum agama, makanya sering disebut
Muhammadiyah tidak bermazhab. Muhammadiyah tidak mentolerir taklid yang
menjadi pangkal kebekuan umat dalam menjalankan agama, tapi justru
165
menganjurkan ittiba dan ijtihad sebagai tulang punggung gerakan dakwahnya
dan menolak tawasul secara total.
Dalam perspektip semacam ini, Muhammadiyah menurut Suratman
bercita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun
kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-
aspek tauhid (aqidah), ibadah, muamalah, dan pemahaman terhadap ajaran
Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya
yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka
ijtihad. Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya
Muhammadiyah di Kampung Kauman, Suratman merujuk pada pendapat Adaby
Darban (2000: 31) yang berpendapat dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin
membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah,
membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman
terhadap ajaran Islam, dia merombak taklid untuk kemudian memberikan
kebebasan dalam ber-ijtihad. Gagasan pembaruan Kyai Dahlan yang memiliki
aspek pemurnian (purifikasi) selain dalam memurnikan aqidah dari syirk,
bid’ah, khurafat, tahayul, juga dalam praktik pelaksanaan ibadah.
Menurut keduanya di dalam Muhamadiyah yang diamalkan tidak boleh
lepas dari landasan dasar perserikatan terutama Muqodimah Anggaran Dasar,
MKCHM, Pedoman Islami Warga Muhammadiyah, dan Kepribadian
Muhammadiyah. Dari kesemua landasan ini, tasawuf tidak dikenal dan sebagai
sesuatu yang dianggap bid’ah dan tidak islami.
166
Secara umum kelompok yang menolak tasawuf mereka menganggap
tasawuf adalah bid’ah yang bertentangan dengan atau menyimpang dari Islam,
karena berasal dari luar Islam. Kelompok ini pada umumnya adalah kaum
literalis dan formalis Islam (Muhaditsun/Akhbariyun) (Al Husaini, 2004: 2),
seperti Khawarij, para ulama kerajaan, para modernis dan para pengikutnya dari
kalangan Wahabiyin. Kelompok pertama, yang menolak keislaman tashawuf,
terlihat misalnya dari bagaimana para ‘ulama’ mengkafirkan dan menganggap
sesat seorang sufi (Abu Abd al-Rahman al-Sulami) yang telah menulis tafsir al
Qur’an, Haqa’iq al-Tafsir, dengan pendekatan tasawuf. Al-Sulami dikafirkan
dan dianggap sesat dan pendusta antara lain oleh Ibn Shalah, Imam Abu al-
Hasan al Wahidi, Al Dzahabi, dan Ibn Taymiah (Basyuni, 1981: 1). Ibn Arabi
(Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi) yang menulis salah satu tafsir Sufi, Tafsir al
Qur’an al Karim, dikecam dan dikafirkan oleh Syeik Muhammad Abduh. Tafsir
ini dikecam dan dinisbahkan oleh Abduh kepada seorang Syiah Batiniah, Al-
Kasyani. Menurut Abduh: ‘Di dalamnya banyak sekali penyimpangan yang
terlepas darinya agama Allah dan Kitab Allah yang Mulia” (Al Husaini, 2004:
2).
Al-Husayn bin Mansyur al-Hallaj adalah seorang ahli ibadah yang
cintanya kepada Allah tidak diragukan dan sangat mabuk dalam tasawuf, diadili
dengan berbagai tuduhan yang bertentangan satu sama lain. Ia dituduh telah
mengaku sebagai Imam Mahdi, Nabi bahkan Tuhan. Ia juga dituduh pengikut
Syiah ekstrem dan menganjurkan haji ke Ka’bah yang dibuat di rumahnya
sendiri. Dalam pengadilan ia dibela oleh Ibn Atha yang dengan berani berkata
167
kepada Majlis Hakim, “Apa hubungannya kalian dengan peristiwa ini?
Cemaskanlah perampasan hak rakyat yang disitu kalian terlibat, pikirkanlah
perbuatan kalian menindas dan membunuhi mereka. Apa hubungannya kalian
dengan ucapan-ucapan orang yang mulia ini.”(Al Husaini: 2004, 3), Ibn Atha
lalu dipukuli sampai mati dengan sepatunya sebelum al-Hallaj dicambuk 1000
kali dan tubuhnya dibakar pada tahun 309 H.
Di dalam sejarah Islam di tanah air Indonesia, dapat dilihat bagaimana
Hamzah Fanshuri, seorang sufi dan sastrawan-pujangga Islam Melayu di Aceh,
dikafirkan dan ditindas oleh kerajaan dan ‘ulama’ kerajaan: Nurrudin Ar Raniry.
Atau Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa, dianggap sesat dan dibunuh oleh para
ulama kerajaan di Jawa.
2. Bersikap Terbuka terhadap Tasawuf
Kelompok kedua ini meletakkan sikap penolakan terhadap tasawuf
harus dipahami dalam konteks historisnya. Lothrop Stoddard (1966: 29)
melukiskan dengan tepat, bahwa pada abad ke-13 Masehi dunia Islam jatuh ke
jurang keruntuhan yang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga
sehat dan di mana-mana terdapat kemacetandan pembekuan. Kerusakan budi
dan moral malah parah. Apa yang masih tinggal dari kebudayaan Arab lenyap
ditelan kemewahan yang di luar batas oleh segolongan kecil maupun besar yang
juga mengalami degradasi. Pengajaran atau pendidikanpun terhenti. Sejumlah
universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan (Stoddard, 1966: 30).
168
Masyarakat muslim hidup miskin dan tak diacuhkannya. Pemerintahan
Islam menjadi despotik, kadang terjadi anarkhi dan berbagai pembunuhan.
Pegawai pemerintahan yang curang memeras dan merampas rakyat habis-
habisan. Petani dan orang kota patah semangat hidupnya untuk bekerja dan
berusaha. Pertanian dan perdagangan pun jatuh dan merosot sekali. Sedangkan
agamapun membeku, ketauhidan yang diajarkan Nabi Muhammad telah
diselubungi khurafat dan paham kesufian.Masjid-masjid ditinggalkan golongan
besar awam. Golongan awam itu menghias diri dengan azimat, penangkal
penyakit, dan tasbih sambil belajar pada darwis-darwis dan menziarahi kuburan-
kuburan orang-orang yang dikeramatkan. Orang-orang awam itu tidak lagi hirau
dengan akhlak yang diajarkan Al-Quran, bahkan minum arak dan melakukan
perbuatan-perbuatan tercela. Akhlak merosot dan rusak kehormatan diri. Kota
Makkah dan Madinah tak lagi berwibawa (Stoddard, 1966: 30).
Intinya, kehidupan Islam telah lenyap, meninggalkan ritus dan tak
berjiwa, serta dilanda kemunduran yang meluas. Jadi, sejak kejatuhan Cordova
dan Baghdad itulah dunia Islam diliputi kegelapan. Itulah era kemunduran
peradaban dan kebudayaan Islam. Agama Islam kehilangan kemurniannya,
artinya para pemeluknya tidak lagi mempraktikkan Islam yang autentik (murni,
aseli) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi Salaf al-Shalih
(generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin). Praktik Islam melenceng dari
sumbernya yang utama, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih
(maqbulah). Sementara itu pintu ijtihad ditututp rapat-rapat dan sebaliknya
169
taklid berkembang, sehingga umat Islam jatuh dalam kejumudan (statis) dan
kehilangan daya hidup serta kemajuan (Stoddard, 1966: 31).
Kehadiran pasukan Mongol ke jantung peradaban Islam di Baghdad
telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik
kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah
dan moralumat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam.
Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari
dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot
secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi
kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah maka muncul gerakan untuk
memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan
sebagaimana dipelopori oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (1263-1328) untuk
memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.Tema utama pemikiran
Ibn Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah, yakni
mengajak kembali pada sumber ajaran Islam yang asli atau murni yaitu Al-Qur-
;an dan As-Sunnah. Dengan tekanan pada pemurnian akidah (tandhif al-aqidah
al-Islamiyyah), gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf, yakni
menghidupkan kembali ajaran salaf yang shalih, yaitu praktik ajaran Islam
zaman Nabi dan tiga generasi sesudahnya yakni generasi para sahabat. Jadi,
konteks pemurnian Ibn Taimiyah saat itu memang karena ada kondisi
pencemaran praktik ajaran Islam dari syirk, tahayul, bid’ah, dan khurafat
sebagai pengaruh dari kehadiran bangsa Mongol dan juga Persia yang membawa
atau menghidupkan kembali paganisme (Stoddard, 1966: 31).
170
Gerakan dan pemikiran pemikir Islam abad tengah ini memiliki spirit
pula dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal, yang menghidupkan salafisme
(salafiyyah), tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah,
tetapi terbuka pada ijtihad. Namun karena Ibn Taimiyah sendiri kaya akan
pemikiran, maka warna pemurnian Islam yang dibawanya bersenyawa dengan
spirit ijtihad dan orientasi pada membangkitkan kembali kemajuan umat Islam
dari kemunduran dankejumudan. Pembaruan yang dipelopori Ibn Taimiyah
memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qayyim al-
Djauziah (1292-1350) terutama dengan tekanan pada pemurniannya, bahkan tiga
abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (1703-
1787) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras,
yang dikenal pula dengan gerakan Wahhabiyah atau Wahabi.
Setelah itu, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh
sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru Jamaluddin Al-
Afghani (1838-1797), kemudian di bidang pemikiran dan pendidikan oleh
pembaru dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya yang lebih
keras Syekh Muhammad Rashid Ridla (1856-1935). Sedangkan pembaruan di
anak benua India ialah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897). Dalam mata rantai
pembaruan Islam di dunia muslim pasca kejatuhan peradaban Islam itulah lahir
Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di
Indonesia.
Pada rentang abad yang panjang itu, Islam dan umat Islam memang
mundur. Apalagi setelah kejatuhan tiga kerajaan besar yakni dinasti Ustmani di
171
Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang tahun 1500-1800
Masehi, baik di Timur maupun di Barat umat Islam benar-benar jatuh ke lembah
kemunduran. Di Spanyol usai kekalahan di Andalusia umat Islam bahkan
dipaksa masuk Kristen. Sementara di jazirah Arabia, Turki, Persia, dan India
Islam mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai
praktik kemusyrikan, bid’ah, dan tahayul sebagai akibat dari semakin
menjauhnya spirit Islam dari sumbernya yang aseli serta pengaruh praktik-
praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Praktik tasawuf yang kian mekar
juga ikut memperlemah kaum muslimin kala itu, sehingga Islam kehilangan
spirit ajarannya yang dinamis. Konflik Sunni dan Syi’ah juga semakin meluas di
tengah terpuruknya dunia Islam dalam lapangan politik dan pemerintahan.
Sementara taklid semakin meluas dan pintu ijtihad ditutup rapat, sehingga umat
Islam benar-benar terpuruk dalam kejumudan dan kemunduran.
Dalam kondisi Islam yang penuh pencemaran dan kemunduran itu,
lahir gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammad Ibn Abdil Wahhab di
jazirah Arab, yang tekananya lebih pada pemurnian ajaran Islam dengan corak
gerakan yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abdil Wahhab ingin
mengembalikan Islam pada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur-;an dan Hadits
Nabi yang autentik sebagaimana jejak Salaf al-Shalih yang dikumandangkan Ibn
Taimiyah dan para pengikut Mazhab Ibn Hanbal sebelumnya. Dalam kaitan ini
Muhammad Ibn Abdil Wahhab boleh dikatakan sebagai pelanjut pembaruan Ibn
Taimiyah dengan tekanan pada pemurnian yang lebih praktis bahkan keras.
Artinya, gerakan untuk mengembalikan umat pada ajaran Islam yang murni
172
bukan sekadar mengembalikan pada dua sumber ajarannya semata yaitu Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi, sekaligus melakukan gerakan pemberantasan terhadap
praktik-praktik syirik dan bid’ah yang meluas kala itu secara langsung dan
keras, seperti pemusnahan bangunan-bangunan kuburan yang dikeramatkan.
Ibn Taimiyah memang sering dihubungkan dengan penerus dan
pemikir yang memiliki kaitan dengan mazhab Hanbali. Pemikirannya untuk
menghidupkan kembali ajaran salaf al-shalih (tiga generasi terbaik sesudah
Nabi) yang membawa misi pemurnian akidah yang sering diklaim sebagai
golongan yang selamat (firqah najiyah) sebagaimana pesan Nabi mengenai
lahirnya berbagai golongan dalam Islam. Gerakan untuk menghidupkan ajaran
Salafiyah yang murni itulah yang membawa persentuhan Ibn Taimiyah dengan
mazhab Hanbali yang sejak awal menggelorakan salafiyah. Karena itu, hingga
batas tertentu, gerakan salafiyah bahkan memperoleh napas baru di tangan
Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah, yang menampilkan pemikiran dan gerakannya
dengan begitu cerdas dan cemerlang.
Pemikirannya selain tentang tauhid, tafsir, hadits, dan fiqih yang begitu
luas dan mendalam, juga tentang politik sebagaimana termaktub antara lain
dalam karya utamanya As-Siyasah As-Syar’iyyah. Dia sangat keras pula
menentang tasawuf, terutama yang membawa paham wihdat al-wujud atau
phanteisme. Dia juga pendobrak pintu ijtihad yang ditutup rapat kala itu. Di
sinilah Ibn Taimiyah menjadi sosok ulama dan pemikir besar yang menonjol
dalam menggelorakan gerakan kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
dikenal pula dengan gerakan pemurnian Islam. Gerakan pemurnian Islam yang
173
dipelopori Ibn Taimiyah dan kemudian mengilhami gerakan-gerakan pembaruan
Islam babak berikutnya, memang dinisbatkan pada ajaran Salaf al-Shalih, yakni
ajaran Islam yang dipraktikkan dan dianut di zaman Nabi, sahabat, tabiin, dan
tabiut tabiin hingga abad ke-3 hijriyah, yang dikenal pula dengan gerakan Islam
asli (Harun Nasution, 2001: 19).
Islam asli atau murni tersebut belum tercemar oleh praktik-praktik
syirk (kemusyrikan), bidah, tahayul, dan khurafat yang dilingkungan
Muhammadiyah dikenal dengan TBC (Tahayul, Bid-;ah, dan Churafat). Ibn
Taimiyah, sebagaimana Imam Ibn Hanbal dan madzhab Hanbali, memang sosok
yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam tersebut. Hal tersebut
karena situasi kehidupan umat Islam kala itu memang tengah berada dalam
situasi penuh krisis. Dia berada di tengah zaman ketika Islam yang autentik
banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan, sehingga gerakan kembali pada
Al-Qur-;an dan As- Sunnah yang dikumandangkannya memang sangat
kontekstual dengan zaman kritis saat itu.
Kelompok kedua ini diwakili oleh Tabri Hasani35, Wakil Ketua PDM
Kota Semarang dan dosen di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus).
Menurutnya dalam Muhamadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal,
yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami ia
sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang dzikir
diajarkan dalam Islam.
35Wawancara dengan Tabri Hasani dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di kantor Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Semarang
174
Prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada
tingkat tertentu menurut Tabri, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Oleh
karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model
Protestan, dengan argumen berikut. Pertama, baik Calvinis maupun Muslim
puritan Muhammadiyah sama-sama mengajarkan skripturalisme: bersandarkan
semata-mata pada kitab suci (Bibel dan Al Quran). Inilah doktrin sola scriptura.
“Kembali pada Kitab Suci” sama-sama dipakai dalam gerakan reformasi
Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya menyandarkan diri pada
pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sementara Muslim puritan
Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli Islam, yakni Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Al-Qur’an diletakkan sebagai sumber
utama otoritas dan legitimasi. Pada posisi seperti inilah menurut Tabri, tasawuf
tidak bergitu dilihat secara total karena telah tercampur dengan doktrin-doktrin
selain Qur’an dan Sunnah.
Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan “Kembali pada Kitab Suci”,
baik Calvinis maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. “Para
Calvinis,” kata Weber (2005: 68), “ingin selamat melalui pembenaran hanya
dengan Iman”. Inilah doktrin sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan
dan Calvinis. Absennya perantara keagamaan ini dapat disimak pada
minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan
penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup. Muslim puritan
Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak ada sistem
perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah. Muslim
175
puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa
yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di
dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik,
maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam
dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya. Pada posisi seperti ini konsep
tawassul, asketik, mursyid yang akrab dalam dunia tasawuf menjadi sesuatu
yang asing bagi Muhhamdiyah.
Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang
diteoritisasikan Weber sebagai “disenchantment of the world”. Menurut Weber,
proses ini dimulai dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran
dan gerakan ilmiah Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik
Calvinis dengan menolak semua piranti magis dalam pencarian keselamatan.
Kebangkitan Muslim puritan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons
langsung terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini
adalah nonrasional, dan, mengikuti tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik
Islam puritan dan konsepsi keduniaan. Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua
hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan
dengan mendasarkan diri pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di
dunia modern. Imbas dari pemahaman ini adalah penolakan terhadap unsure-
unsur karomah, kewalian dan hal-hal yang berbau mistis dalam tasawuf.
Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep “disenchantment of the
world”, Muslim puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan
merasionalisasikan doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik
176
dan Islam-Jawa-Hindu. Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang
sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Taklid harus diganti
dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini
diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern
Senada dengan Tabri Hasani adalah apa yang diungkapkan oleh Hasan
Rifai36, Wakil Ketua PDM Kota Semarang dan dosen di Unimus. Menurutnya
dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh
Rosulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang diucapkan sebanyak 99 kali, 4444
kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah untuk memperbanyak dzikir memang
ada dalam Islam dengan maksud untuk lebih memahami suatu amal perbuatan
ibadah tertentu tetapi secara khusus penyebutan angka tidak ada.
Agama dalam pandangan Muhammadiyah menurut Tabri, bukan hanya
masalah ritual semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana
sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat
multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati
peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra
Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai
gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai
gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia
sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad
yang silam. Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat
36Wawancara dengan Hasan Rifai dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Semarang
177
dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang
tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis
Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat “radlitu bi Allah rabba wa bil
al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa
rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok
pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2)
Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi
(Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni.
Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap
”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus
Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental
mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah,
yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah;
(2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam
dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan
ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai
ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah
perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan
perjuangan dengan ketertiban organisasi.
Menurut Rozihan37, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, dzikir memang
dipraktekkan dalam Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus.
37Wawancara dengan Rozihan dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Semarang
178
Terkait dengan jumlah dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali,
4444 kali, 1000 kali atau sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah
yang telah ditentukan baik itu kurang atau kelebihan maka tidak maqbul, ini
yang tidak diterima dalam Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali,
4444 kali, 1000 kali atau sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak
pas maka tidak dapat digunakan untuk membuka, ini dinilai oleh Rozihan
sebagai sesuatu yang tidak berdasar.
Pernyataan di atas juga didukung oleh Tafsir, Sekretaris PWM Jawa
Tengah dan dosen IAIN Walisongo Semarang dan Saifudin Waspada, wakil
ketua PWM Jawa Tengah. Menurut keduanya tasawuf secara formal memang
tidak diterima dalam Islam, tetapi Muhammadiyah mengamalkan apa yang oleh
HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, tafsir
mengatakan hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam
aplikasinya diserahkan menurut pribadi masing-masing dan dalam bentuk
perbuatan yang dalam Muhammadiyah disebut dengan amal usaha baik
berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi, rumah sakit dan lain sebagainya.
Dari sinilah menurut Tafsir, ada kesan Muhammadiyah mengalami kegersangan
bacaan-bacaan dzikir tetapi sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam
Muhammadiyah yang ditolak hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini
dikarenakan dalam Muhammadiyah tawasul tidak melalui orang perorang
melainkan melalui amal berbuatan.
Kelompok kedua ini, secara mendasar meski tidak mengharamkan tasawuf, mereka masih meragukan
keaslian dan kemurnian Islam dalam Tashawuf. Akibatnya mereka masih ragu-ragu untuk mengikuti dan
179
mempromosikannya. Dan menganggapnya hanyalah sebagai urusan pribadi masing-masing orang dalam berhubungan
dengan Tuhan Pencipta-nya.
3. Akomodatif terhadap Tasawuf
Kelompok ini diwakili oleh Ahmad Rifai, Kepala Divisi Kajian
Majalah cermin PWM. Jawa Tengah dan dosen di Akademi Ilmu Statistik (AIS)
Muhammadiyah Semarang38. Menurutnya tasawuf tidak sering ditemui di dalam
Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk
terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati
suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam
istilah Amin Abdullah. Menurut Rifai istilah Irfan – sebagaimana istilah
ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara
literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan
tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (empirisme &
eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan
melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut
digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna
penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional
(misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan
(teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui
latihan-latihan (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair
wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik
Sufisme/Tashawwuf).
38 Wawancara dengan Ahmad Rifai dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2008 di SMK.
Muhammadiyah Semarang.
180
Penolakan terhadap TBC, menurut Rifai muncul jauh setelah era Ahmad Dahlan karena memang tidak
mendapat rujukan otentik dalam Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, tasawuf secara formal tidak ada didalam Islam, tetapi
landasan dasar segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang haruslah diorientasikan pada rihdo Allah dan selalu dalam
pengamatan Allah yang dalam aplikasinya menuju arah individualisasi spiritualistis.
Menurut Rifai, “tasawuf” akan menjadi positif, bahkan sangat positif ketika tasawuf dilaksanakan dalam
bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh al-
Qur’an dan as-Sunnah; mana yang diwajibkan dan dihalalkan, dikerjakan dan mana yang haram dikerjakan ditinggalkan.
Sementara itu wajah peribadahan hendaknya berkolerasi antara ibadah yang “hablun minallah” (ibadah murni) dengan
ibadah yang “hablun minannas” (ibadah sosial nyata). Selain itu, tasawuf hendaknya juga dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan
umat Islam” agar kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas yang dengan demikian
kalau umat Islam ingin berkorban maka ada hal atau barang yang akan dikorbankan, kalau ingin mengeluarkan zakat
maka ada kekayaan yang akan diberikan kepada orang yang berhak dan sebagainya. Untuk itu, bukan tradisi pandangan
tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut diangkat kembali, melainkan roh asli “tasawuf” yang semula
bermaksud untuk zuhud terhadap dunia, yaitu sikap hidup agar hati tidak “dikuasai” oleh keduniawian. Intinya tasawuf
akan memiliki efek negatif bila dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam
yang terumus dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Selain itu, tasawuf dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan
terhadap pandangan bahwa “dunia ini harus dibenci”.
Dalam posisi ini dia merujuk pada pendapat Hamka (1996: 38). Dengan memperhatikan rincian
kemungkinan-kemungkinan tasawuf menjadi negatif atau positif di atas, Hamka menyimpulkan bahwa tasawuf yang
bermuatan zuhud yang benar, dilaksanakan lewat peribadahan dan I’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media
pendidikan moral yang efektif. Dari kesimpulan tersebut, Hamka lalu menawarkan pendapatnya, yaitu bahwa tasawuf
yang patut diintroduksi dan diamalkan “jaman modern” adalah tasawuf yang memenuhi ciri berikut :
a. Bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepat seperti
yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw yang cukup sederhana pengertiannya,
yaitu memegang sikap hidup di mana hati tidak berhasil “dikuasai’ oleh
keduniawian.
b. Sikap hidup zuhud tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna
dibalik kewajiban peribadahan yang diajarkan resmi dari agama Islam,
karena dari peribadahan itu dapat diambil makna metaforiknya, yang tentu
saja peribadahan yang berlandaskan I’tiqad yang benar.
181
c. Sikap zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan sosial
yang tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat
(social empowering), seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq
sebergairah menerima keuntungan dalam kerja dan sebagainya (Hamka,
1996: vii).
Oleh sebab itu Muhammadiyah memandang perlu untuk normalisasi konsep zuhud. Bagi kebanyakan orang,
ketika disebut kata zuhud, biasanya langsung terbayang dalam pikiran kita sikap anti dunia, menjauhkan diri dari
kemewahan duniawi, dan benci terhadap segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Jadi, zuhud ialah meninggalkan dunia
dan benci kepada dunia, karena dipandang jelek dan penipu. Akan tetapi, mampukah kita hidup terpisah dari dunia yang
masih kita perlukan? Apakah memisahkan diri dari masyarakat ramai bukan sesuatu yang melanggar agama dan tabiat
sendiri?. Dibalik itu, menurut Rifai, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain, bukankah kita masih hidup di dunia
dan butuh makan, minum, tempat tinggal dan sebagainya. Bukankah kita masih perlu istri dan anak-anak?. Bukankah
kita masih perlu perhatian dari orang sekitar kita?. Itulah sederetan pertanyaan yang muncul ketika kata zuhud diangkat
kepermukaan. Lalu kalau demikian, akan muncul lagi pertanyaan berikutnya apakah zuhud itu bukan bersumber dari
ajaran Islam? Bukankah ajaran Islam menawarkan prinsip keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat? Apakah
mencari harta secara halal bertentangan dengan ajaran Islam? Dibalik pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan muncul lagi
sederetan pertanyaan lain yang sehubungan dengan itu. Untuk membendung munculnya pertanyaan baru lagi, Rifai,
memulai pembahasan ini dengan melihat posisi dunia bagi kehidupan manusia.
Dunia yang diciptakan Allah sebagai tempat untuk manusia hidup dan berketurunan telah dilengkapi dengan
berbagai perhiasan dan sarana kehidupan dalam wujud berbagai potensi alam yang dapat diolah dan dikelola menjadi
benda-benda berhargam sehingga disebut harta benda. Selain itu, Allah telah menjadikan manusia berpasang-pasangan,
sehingga dengan itu ia dapat menjalin tali pernikahan yang nantinya akan melahirkan anak-anak. Semua itu adalah
perhiasan bagi kehidupan. Allah berfirman, “Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”, (QS.Al-Kahfi
: 46). Tanpa harta dan anak-anak dunia terasa sunyi dan hampa. Hidup tanpa harta laksana sebuah rumah besar tanpa
perhiasan, terasa tidak indah dan kosong. Rumah tanpa tangis dan tawa canda anak-anak serasa kuburan yang sepi dan
menakutkan. Akan tetapi kebanyakan anak dapat pula membuat pusing kepala. Sebenarnya dunia diperlukan tapi
menumpahkan cinta dan perhatian semata-mata kepada dunia, itulah yang tercela. Jadi, dunia tidak harus dibenci yang
dibenci ialah mempasrahkan hidup hanya semata-mata dunia. Pada posisi ini Rifai merujuk pada pendapat Yunasril Ali
(2002: 69).
Suatu ketika, seorang laki-laki menemui Ali ibn Abi Thalib. Lelaki itu mencela dunia, ia berkata bahwa dunia telah memperdaya dirinya,
182
merusak, menipu, dan berbuat jahat kepadanya. Lelaki tersebut pernah mendengar orang-orang besar mencela dunia, lalu mengira bahwa yang mereka cela adalah realias alam, sehingga alam ini benar-benar dipandangnya jelek. Lelaki yang lalai itu tidak tahu bhawa yang tercela ialah penyembahan dunia, pandangan picik terhadap dunia dan kesenangan-kesenanagan rendah yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan kebahagiaannya. Ali menjawab, “Sesungguhnya engkaulah yang tertipu oleh dunia, padahal dunia tidak menipumu. Engkaulah yang menganiaya dunia, bukan dunia yang menganiayamu”. Hingga beliau berkata, “Dunia adalah sahabat bagi yang berjalan bersamanya dengan cara bersahabat, ia adalah sumber kesembuhan bagi yang mengetahui hakikatnya. Dunia adalah tempat ibadah bagi para pecinta Allah, tempat salat para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan tempat berniaga para wali Allah.” Ali juga menuturkan tentang orang-orang zuhud: “Kamu min ahl al-dunya wa kaysu min ahliha : Mereka hidup didunia, tetapi tidak mendunia” (Ali, 2002: 83).
Kecintaan kepada dunia tidak dilarang jika hanya sebatas kecintaan fitri yang memang telah ditanamkan
Allah dalam setiap diri manusia. Allah berfirman : Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak darijenis emas, dan perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik.
(QS.Al-Imran: 14). Ayat ini, menyebutkan benda-benda yang menjadi kecintaan manusia, wanita, anak, uang, emas dan
perak, kuda-kuda pilihan yang melambangkan kewibawaan, binatang ternak dan sawah ladang. Cinta kepada wanita,
anak-anak, dan harta benda adalah bersifat fitri, dan segala yang bersifat fitri tidaklah tercela. Yang tercela ialah apabila
hati tertembat dan disibukkan oleh benda-benda duniawi itu, merasa rida dan cukup terhadapnya, serta lalai dan
melupakan sesuatu yang dibalik itu, yaitu Tuhan dan akhirat. Apabila hati telah tertembat kepada dunia, maka segenap
aktivitas dan pikiran yang tertuju kepadanya, sehingga lupa kehidupan akhirat yang abadi. Jadi yang dilarang bukan
mencintai dunia secara wajar, yang merupakan firah manusia, tetapi yang tidak baik ialah tertambat hati kepada dunia,
sehingga lalai dan lupa terhadap Tuhan dan akhirat, seakan-akan dunia adalah tujuan akhir kehidupan.
Cinta damai adalah fitrah manusia, oleh sebab itu tidak ada seorang manusiapun yang tidak menukai wanita,
anak-anak, harrta, jabatan dan sebagainya. Seandainya ada orang yang tidak suka itu semua, niscaya dia akan
ditanggalkan oleh anak, istri, dan orang-orang sekitarnya, dan bahkan anak dan istri akan memandangnya sebagai orang
lain dalam kehidupan mereka. Seandainya Nabi Ibrahim bersedia mengurbankan anaknya, tanpa perasaan cinta seorang
ayah terhadap anaknya, maka kesediaannya mengurbankan anaknya tidaklah dihitung sebagai suatu kelebihan.
Pengurbanan itu menjadi berarti karena adanaya rasa cinta yang mendalam Ibrahim As kepada anaknya. Kalau kecintaan
itu tidak ada, tentu berkurban anak akan sama dengan berkurban kambing. Dari itu, kecintaan kepada harta, anak, dan
wanita adalah wajar dan normal, sejauh tidak membuat kita lu[a kepada Allah dan hari akhirat Allah mengisyaratkan :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dilalaikan oleh harta benda dan anak-anakmu dari mengingat
Allah. Barangsiapa berbuat demikan, mereka itulah orang-orang yang merugi”.(QS. Al-Munafiqin : 9)
183
Kecintaan berlebihan kepada dunia membuat orang lupa kepada Allah dan kehidupan akhirat. Laksana
seseorang yang meminum air asin, semakin banyak diminum semakin terasa dahaga. Senang terhadap dunia, senang
terhadap wanita, anak, harta, dan kekakayaan, kedudukan, serta kekuasaan adalah sunnatullah. Hal itu menurut Rifai,
merupakan sarana berputarnya roda kehidupan didunia ini. Seandainya kecenderungan dan semangat yang seperti itu
tidak ada di dalam diri setiap orang, niscaya etos kerja akan menghilang. Dengan demikian, gerak kehidupan akan
berhenti total dan kesempurnaan hidup manusia tidak aka tercapai. Kecintaan terhadap dunia semata bukan
menyebabkan kemandekan dan bahan kehancuran. Banyak bencana kemanusiaan timbul akibat kerakusan manusia.
Banyak pula keonaran mencuat akibat pemujaan perut, pemujaan wanita, harta dan kedudukan. Seluruh akhlak bejat dan
perilaku rendah, seperti berbohong, menjilat, dan berbuat semena-mena, bersumber dari penghambaan diri terhadap
dunia. Allah mengancam orang yang hanya mempasrahkan kehidupannya untuk dunia, “Sesungguhnya orang-orang
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram
dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di nereka, disebabkan
apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS Yunus : 7-8)
Sikap zuhud dalam hal ini berarti melihat dunia hanya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan abadi di
akhirat. Dunia bukan tujuan hidup, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan hidup ialah Tuhan dan
ridhaNya. Seorang zahid bukan pribadi yang lemah dan bertekuk lutut di depan para penyembah dunia dan
mengharapkan sisa-sisa makanan mereka. Zahid sejati adalah pribadi yang memiliki wibawa yang tinggi tidak
dipermainkan oleh dunia, tidak merasa takut berpisah dengan dunia, kendati akan habis segala yang ada ditangannya.
Allah berfirman, “Agar kamu tidak terlalu bersedih terhadap yang telah hilang dan tidak terlalu gembira terhadap yang
datang’. (QS.Al-Hadid : 23).
Sikap zuhud mengarahkan manusia untuk melihat dunia sebagai lembah yang luas dan lapang. Tidak takut
menghadapi bahaya, tidak gentar menghadapi bencana. Bersyukur ketika mendapat karunia dan tidak lupa daratan.
Bersabar ketika ditimpa musibah dan tidak berputus asa. Manusia adalah hamba Allah, bukan hamba dunia. Zuhud tidak
akan meninggalkan dunia, karena dunia diperlukan. Namun dunia bukan tujuan hidupnya. Allah berirman : “Dan carilah
pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan kamu melupakan
kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi da berbuat baiklah kamu (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu (QS.Al-Qashash : 77). Dengan zuhud, nilai dunia yang bersifat sementara berubah menjadi
bernilai abadi yang melampaui ruang, waktu sebagai sarana untuk meraih ridha Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh
Nabi, “Dunia adalah ladang untuk akhirat”. Di dunia kita menyemai dan menanam, didunia kita akan memetik hasilnya.
Senada dengan Rifai adalah apa yang diungkapkan oleh Rahmad Suprapto dari devisi kajian Majalah Cermin
PWM. Jawa Tengah39. Menurutnya tasawuf dalam Muhammadiyah adalah “Spiritualitas yang Syariahistik” yang
terlembaga dalam konsep “akhlak, ikhsan dan irfan”. Penolakan tasawuf dalam Muhammadiyah selain karena tidak
39Wawancara dengan Rahmad Suprapto dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2008 di
Ruang Redaksi Majalah Cermin PWM. Jawa Tengah
184
mendapat legalitas dalam Qur’an dan Sunnah juga karena adanya asketisme dalam kelompok-kelompok tertentu dalam
tasawuf. Menurutnya tasawuf dalam muhammadiyah adalah tasawuf modern HAMKA yang lebih subtantif.
Salah satu contoh tasawuf modern yang subtantif sebagaimana dipahami dalam muhammadiyah bisa
ditemukan dalam bentuk pemaknaan ulang konsep sabar, dia mengutip sebuah ayat:
Sesungguhnya Kami memberikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Qs al-Baqarah : 155-157).
Menurut Suprapto, ketakutan, krisis pangan dan ekonomi, kematian orang yang disayangi dan berbagai
musibah yang lain merupakan hal-hal yang terasa berat dan menyedihkan, tetapi tak dapat dielakkan kedatangannya.
Segenap manusia yang berpikiran waras merasakan pahit dan getirnya bencana itu, namun dia harus menghadapinya. Di
sini datang perintah Tuhan, agar segalanya itu dihadapinya dengan sabar (Al-Baqarah : 153). Kesabaran yang harus
dilakukan dengan rasa yang sangat berat ini disebut tashabbur, yaitu berupaya menahan hati, kendari kepedihan,
kesedihan dan penderitaan tetap dirasakan. Menurut kaum sufi inilah kesabaran peringkat paling bawah (Ali, 2003: 75).
Untuk mempertegas kajian sabar ini Suprapto menceritakan sebuah kisah yang intinya: Pada masa Nabi masih
hidup seorang sahabat menghadap beliau sembari berkata “Ya rasulullah, saya mendapat musiba besar. Anak saya satu-
satunya yang bernama Salim ditawan musuh. Ibunya senantiasa menangis hingga sakit. Saya tidak punya uang untuk
membebaskan anak saya itu. Apa kiranya yang harus saya lakukan ya Rasulullah. Sejenak Nabi berpikir, lalu berkata,
“Tabahkanlah hatimu serta perbanyak menyebut: La hawla wa la quwwata illa bi Allah al-Aliyya al-Azhim (Tidak ada
daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung) bersama istrimu!”. Pesan
tersebut disampaikannya kepada istrinya dan mendapat sambutan penuh harapan. Sang istri berkata, “Pastilah tepat pesan
Nabi itu!”. Karena itu mereka berdua senantiasa bersabar sambil berpasra diri dengan mengucapkan apa yang diajarkan
Nabi Saw tersebut. Lalu, tak lama kemudian sahabat tadi datang lagi kepada Nabi dengan membawa anaknya yang baru
lolos dari tawanan musuh. Nabi berkata kepada Salim, Ceritakanlah usahamu sehingga dapat lolos dari tawanan
musuhmu!”. Ya Rasulullah, pertama saya ditawan dengan penjagaan yang sangat ketat, saya ditawan dan disekap tetapi
saya senantiasa bepenampilan baik, jujur, setia dan tidak menampakkan sikap benci. Lama kelamaan saya dipercaya dan
dianggap sebagai teman sejati sembari diperlakukan sebagai keluarga sendiri. Saya disuruh mengembala kambing dan
onta, tanpa ada rasa curiga. Pada saat-saat itulah saya mengatur rencana pembebasan diri saya. Pada suatu hari, mereka
mengadakan pesta perkawinan dengan keramaian, tari-tarian dan tabuh-tabuhan, makan dan mabuk-mabukan. Ketika
mereka sudah tidak sadar, maka segera saya ambil seekor onta yang terbaik dan tercepat larinya serta menggiring
sebanyak mungkin kambing-kambing yang biasa saya gembalakan sebagai hadiah untuk orang tuaku”. Demikianlah
cerita Salim kepada Nabi. “Ya Rasulullah sungguh Salim ini menjadikan kami makmur”, tukas ayah salim penuh
kegirangan. Hal demikian tidak lain adalah karena upaya untuk bersabar ketiak ditimpa musibah, menahan emosi serta
senantiasa berharap akan pertolongan Allah (Ali, 2003: 75-77).
185
Sabar peringkat pertama dapat ditingkatkan dengan memikirkan secara mendalam bahwa mansuia adalah
makhluk yang memiliki derita yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, sebagai tertera dalam ungkapan Allah:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan kesusahan”.(Qs Al-balad ; 4) Jadi penderitaan
adalah standar insaniah dan sumber nilai-niai insani, akan tetapi kita sering salah dalam menanggapi suatu penderitaan
yang kita rasakan. Kita anggap kesulitan sebagai sesuatu yang buruk, misalnya kita ditimpa sakit kepala, rasa sakit itu
kita dapat mengobati suber penyakit. Nah, kalau tanpa rasa sakit tentu kita akan membiarkan bakteri atau virus
berkembang di dalam tubuh kita, sehingga membahayakan diri kita.
Jadi rasa sakit itu ibarat petugas yang memberitahukan kepada kita bahwa di dalam tubuh kita ada bahaya
yang harus segera kita atasi. Oleh sebab itu dapat kita simpulkan orang yang lebih banyak merasakan derita berarti sadar
dan lebih tahu keadaan dirinya. Dengan demikian, penderitaan dan kepedihan dalam hidup akan kita rasakan sebagai hal
yang wajar dan biasa. Menurut kaum sufi, inilah sabar peringkat kedua dan inilah sabar yang sebenarnya. Disini sabar
bukan lagi sebagai hal yang dipaksakan, tetapi telah menjadi tabiat, sehingga kapan dan dimanapun kita akan
menghadapinya sebagai hal biasa yang wajar.
Lebih jauh, menurutnya dengan semakin banyaknya cobaan, niscaya kita akan semakin dewasa dalam
menghadapinya dan pada tahap tertentu kita memandang penderitaan itu tidak lagi sebagai bencana atau musibah.,
melainkan sebagai wujud kasih dan cinta Tuhan sebagai disebutkan dalam hadis : “Sesungguhnya apabila Allah
mencintai seseorang hamba, maka Dia tenggelamkan hamba itu ke dalam cobaan”. (HR .al-Thabrani) (Ali, 2003: 79).
Tak ubahnya seperti pelatih panjat tebing, ia akan mendorong orang yang dilatihnya untuk dapat naik memanjat tebing,
sekalipun orang yang dilatihnya itu harus mendeita jatuh sekali-kali, sebab, dia tahu benar bahwa kendati ratusan buku
dan teori yang dipelajari sang pemanjat tebing untuk mengetahui cara memanjat yang baik dan benar, dia tidak akan
pernah bisa memanjat selama hanya membaca buku dan mempelajari teori. Dia harus berlatih dengan tali temali dan
tebing terjal, dan dalam latihan itu harus berani, smapai-sampai harus menghadapi maut sekalipun. Karena dengan itulah
dia akan dapat menjadi pemanjat ulung. Semakin banyak berlatih, niscaya akan semakin terampil memanjat.
Demikian pula dengan cobaan-cobaan Allah yang ditimpahkan kepada kita, tidak lain adalah sebagai wujud
kaih sayangNya. Dia ingin menyempurnakan jiwa hambaNya, sehingga memiliki ruhani yang benar-benar
berkualitas.kehidupan manusia di dunia bukan berakhir dengan kebahagiaan, tetapi pada kesempurnaan dan kematangan
ruhani, maka dalam kehidupan duniawinya tidak pernah merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan sejati hanya ada di
akhirat kelak, kebahagiaan duniawi hanya ada dalam batas khayal, yang dapat dicapai oleh manusia ialah kesempurnaan
ruhani. Ketika derita itu kita rasakan sebagai wujud kasih sayang Tuhan, kita tidak lagi menerimanya sebagai sesuatu
yang menyusahkan dan menyakitkan, melainkan dengan rasa lega dan lapang dada. Kita percaya bahwa inilah kasih
sayang Tuhan yang dikaruniakan-Nya kepada kita. Kesabaran ditingkat ini disebut ishthibar. Allah berfirman, “Maka
mengabdilah kepada Dia (Allah) dan ishthibar-lah dalam beribadat kepadaNya”.(QS. Maryam : 65)
Alam semesta diciptakan Tuhan dengan sistem universal, yang disebut sunnatullah. Satu sama lain saling
berkorelasi sehingga membentuk satu tatanan hukum yang utuh dan harmonis. Tidak ada satu yang kurang dari sistem
universal itu, karena ia dirancang dan diciptakan oleh pencipta Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Apabila kita
186
melihat alam ini secara utuh dan menyeluruh, maka yang ada dihadapan kita tidak lain hanyalah menerima apa adanya
demi terealisasinya sistem dan kesimbangan umum. Bertolak dari asumsi demikian, maka adanya tinggi dan rendah,
terang dan gelap, kesengsaraan dan kesenangan, kegagalan dan kesuksesan semua merupakan keharusan karena semua
itu berada dalam ruang lingkup sistem universal itu. Jika satu diantaranya tidak ada, maka yang lain tidak akan
bermakna. Tinggi tidak ada maknanya tanpa ada yang rendah, jika saja segenap manusia diciptakan dengan postur tubuh
yang sama bentuk wajah serta warna kulit sama pula, maka kita tidak akan kenal arti tampan dan buruk rupa, kesadaran
tentang makna ketampanan itu terkait dengan kejelekan dan perbandingan keduanya.
Akan tetapi, pandangan umum yang jernih itu sering tertutup oleh pandangan individual yang subjektif,
sehingga kita sulit menerima kenyataan. Oleh sebab itu menurutnya perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya kemalangan,
kesedihan, kepahitan hidup merupakan pendahulu bagi terwujudnya sesuatu yang membahagiakan. Sebenarnya di relung
kepahitan terdapat kemanisan, di relung jeruk muda yang asam tersimpan kemanisan, tetapi kita tidak tahu dan tidak
merasakannya. Baru setelah jeruk itu matang dan rasa asam menyusut tampillah rasa manis ketika kita katakan bahwa
jeruk itu manis. Dalam relung bencana yang menimpa sebenarnya tersimpan kebahagiaan, tetapi kita tidak
mengetahuinya. Allah berfirman, “Dan boleh jadi kamu memberi sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi
pula kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Dan Allah mengetahui tetapi kamu tidak
mengetahui”.(QS.al-Baqarah: 216)
Tidak ada yang tahu bahwa dalam relung malam yang gelap terdapat siang yang terang-benderang direlung
kesulitan terdapat kemudahan relung kebencian tersembunyi kecintan. Ketika seseorang ayah sangat mencintai anaknya,
ia memanjakan anak itu secara berlebihan. Lalu tak lama kemudian perangai anak itu berubah menjadi bandel, sehingga
relung kebencian tersembunyi kecintaan. Akan tetapi, jangan kira kebandelan senantiasa buruk, ketika seorang ibu
berhadapan dengan anak yang bandel, sehingga menumbuhkan rasa benci kepada sang anak, dia tidak mengira bahwa di
balik kebandelan itu tersembunyi keluhuran budi. upaya orang tua ialah mengenyahkan sifat bandel dengan mendidik si
anak, bukan memanjakannya, sehingga akan muncul sifat-sifat mulianya. Allah mengisyaratkan dalam Kitab Suci,
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.(QS.al-
Insyirah : 4-5), (Ali : 2003, 84). Kesulitan dan bencana merupakan keharusan bagi kesempurnaan manusia. Seandainya
cobaan dan penderitaan itu tidak ada niscaya tidak akan ada pula apa yang disebut manusia. Sebab penderitaan dan
kebahagiaan adalah milik manusia, bukan milik mahkluk lain. Al-Qur’an menyebutkan, “Dia (Allah) yang menciptakan
mati dan hidup untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya”. (QS.al-Mulk : 2). Dunia
adalah sekolah kehidupan, sedangkan hidup dan mati, senang dan susah, bahagia dan sengsara adalah ujian bagi manusia,
sehingga daat ditentukan mana diantara mereka yang paling baik kualitas amalnya. Tengelam dalam kenikmatan hidup
dan jauh dari kesulitan akan mendatangkan kemanjaan dan kelemahan ruhani, tetapi sebaliknya kehidupan yang
senantiasa dirundung kepedihan dan kesulitan niscaya akan melahirkan manusia yang kuat dan kokoh serta mampu
mengatasi tantangan yang lebih besar lagi.
187
Menurut Arif Rahman40, alumni al Azhar dan Pascasarjana UIN Jakarta dan Ketua Majelis Tabliq PDM
Semarang, secara umum mengatakan tasawuf tidak dikenal dalam Muhammadiyah, karena organisasi ini lebih bercorak
Wahabi dan merujuk pada Ibn Taimiyah, tetapi konsep akhlak, tazkiyatun nafs dan dzikir ada dalam Muhammadiyah
meskipun secara jama’I ketiga hal itu tidak pernah dilakukan, sehingga bentuk formalnya ada tetapi secara substansi ada.
Imbasnya menurutnya adalah keringnya spiritualitas dalam Muhammadiyah yang berimbas pada minimnya berkah dan
Muhammadiyah tidak mengenal konsep ini menurutnya.
Hal lain yang menarik dari Arif Rahman ini adalah ungkapannya yang secara pribadi respek dan akomodatif
terhadap konsep mursyid dalam tarekat yang dipahaminya sebagai guru. Dia menjelaskan penjelasan tambahan terkait
dengan mursyid ini melalui perumpamaan seseorang yang belajar membaca al-Qur’an. Secara sendiripun bisa tetapi
kalau mau fasih harus melalui guru.tetapi musyid sebagai perantara kepada Tuhan dia tidak setuju. Imbas dari ditolaknya
konsep mursyid dalam Muhamadiyah memunculkan sikap tidak adanya ta’dzim kepada guru. Dia juga setuju dengan
fenomena “sufi kota”, “tasawuf positif”, “sufi tanpa tarekat” atau sejenisnya.
Dia juga menilai positif dan apreseasif kiat-kiat sufiah yang dipahami secara positif seperti:
1. Bertaubat: siapapun dan kapanpun, seorang harus melakukannya, karena taubat adalah modal dasar baginya,
manfaatnya juga untuk dirinya (QS. Huud [11]:3). Guna menjaga kelestarian taubatnya, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan terus menerus: Muuhasabah, Ibnu Muhammad Syatha mengajak: “Ikutilah taubatmu dengan muhasabah,
yang akan mencegahmu dari sikap meremehkan dan mengulangi dosa.” (ii) Menjaga tujuh anggota badan (mata,
lisan, telinga, perut, tangan, kaki dan kemaluan) dari kerja mereka yang dapat mendorong kepada maksiyat dan dosa-
dosa. (iii) Tekun beribadah, ibaratnya, taubat adalah pondasi dan ibadah adalah bangunan diatasnya. Keinginan
setiap orang tentu pondasi harus kuat dan bangunan juga harus seindah mungkin.
2. Qana’ah, yakni perasaan rela menerima pemberian yang sedikit. Maka dia tidak pernah rakus ataupun tamak dalam
kehidupannya. Yang menyebabkan berhasilnya qana’ah, dalam mencari ‘hidup akhirat’ rela meninggalkan sesuatu
yang amat menarik dan membanggakannya dari duniawi.
3. Zuhd al-dunya, artinya aslinya adalah menentang keinginan atau kesenangan. Makna Zuhd adalah berpaling dari
mencintai dunia manuju cinta Ilahi. Maka yang perlu dilakukan zahid (orang yang zuhd) adalah menghilangkan rasa
cinta dunia dari dalam hatinya, tapi tak perlu menghilangkan dunianya, karena jika hati dipenuhi oleh duniawi, akan
susah untuk ‘memasukkan’ Allah ke dalam hatinya.
4. Mempelajari syari’at guna meningkatkan kualitas takwanya. Secara garis besar ada 3 kandungan syari’at Islam yakni
ibadah, aqidah dan akhlaq. Ketiganya merupakan serangkaian amalan lahir dan batin sebagai bukti kesempurnaan
iman seseorang.
5. Memelihara sunnah-sunnah Nabi, baik dalam pengertian melaksanakan amalan/ibadah sunat maupun mencontoh
adab (budi pekerti) Nabi.
40Wawancara dengan Arif Rahman dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 di kantor Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Semarang.
188
6. Tawakkal, arti bahasanya adalah penyerahan dan penyandaran. Maka makna tawakkal adalah menyandarkan hati dan
segala urusan hidupnya sepenuhnya hanya kepada Yang Maha Mewakili, Allah SWT. (QS. Ali Imran :159)
7. Ikhlash semata-mata karena Allah, merupakan dasar gerakan hati dan sebagai pusat seluruh ibadah. (QS. al-
Bayyinah : 5). Maka yang harus kita hindari adalah riya, sum’ah, ujub, (bangga diri), dan takabur (sombong).
8. ‘Uzlah, yakni menyendiri dari kehidupan sesama manusia. Memang ada yang memahaminya secara fisik (misalnya
Imam Ghazali pernah melakukannya), tetapi sebenarnya yang lebih utama adalah tetap al-julus (berdampingan) dan
bergaul dengan masyarakat namun bersikap ‘uzlah dalam menjaga dirinya. Maka untuk itu dibutuhkan kesabaran,
ketabahan, kebesaran jiwa, kedewasaan, dan tetap tanggap akan kebutuhan sosialnya.
9. Memperbanyak wirid dan dzikir, baik dengan hati, lisan, sikap maupun perbuatannya.
Istilah-istilah “sufi kota”, “tasawuf positif”, “sufi tanpa tarekat” atau sejenisnya ini menurut Wahyudi, Wakil
Ketua PDM Semarang dan dosen IAIN Walisongo Semarang, sebagai hal yang positif yang menurutnya adalah sebagai
kreatifitas organisasi dan di Semarang itu tidak berkembang dikalangan Muhammadiyah.
Tasawuf dalam Muhammadiyah salah satunya dapat dirujuk dari Ibn Taimiyah, selain juga Hamka. Sebagai
contoh adalah bagaimana pemikiran Ibn Taimiyah tentang penyakit hati. Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah
suatu bentuk kerusakan yang menimpa hati, dengan merusak gambaran dan kehendak hati. Gambaran tentang syubhat
(hal-hal yang samar) yang sudah jelas di depannya membuatnya tidak mampu melihat kebenaran atau bahkan dia melihat
kebalikannya. Akibatnya orang yang terjangkit penyakit hati akan membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai
kebatilan yang membawa kepada kemudharatan. Oleh karena itu kata maradh (sakit) kadang-kadang diintepretasikan
dengan syakh atau raib (keraguan). Hal ini seperti penafsiran Mujahid dan Qotadah tentang ayat al-Baqarah ayat 2 :
“Dalam hati mereka ada penyakit”. Penyakit dalam ayat ini dipahami sebagai keraguan (Taimiyah, 2001: 149).
Orang yang dijangkiti penyakit hati, efeknya akan kembali kepada dirinya sendiri seperti panas, dingin,
hingga ada perasaan berat untuk beraktivitas. Penyakit ini akan membawa penderitanya kepada suatu bentuk kelemahan.
Kekuatan yang ada seakan-akan menjadi hilang dan tidak mampu lagi melakukan aktifitas sebagaimana mereka yang
sehat. Kesehatan itu hanya bisa dijaga dengan hal-hal yang mendukung kesehatan itu sendiri dan akan hilang manakala
dilakukan tindakan yang sebaliknya. Begitu pula dengan semakin parah dan sembuhnya suatu penyakit tergantung pada
perawatannya, maka apabila orang-orang yang sakit tidak diberi hal-hal yang mendukung sakitnya akan semakin
parahlah penyakitnya dan akan semakin melemah kekuatannya. Sebaliknya apabila diberi hal-hal yang memperkuat
kekuatannya maka akan lenyaplah penyakitnya (Taimiyah, 2002: 29).
Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah penyakit yang ada di dalam hati, seperti kemarahan, keraguan
dan kebodohan dan kezaliman. Orang yang ragu dan bimbang tentang sesuatu akan merasakan sakit hatinya sampai dia
mendapatkan jelelasan dan keyakinan. Tetapi fokus kajian Ibnu Taimiyah tentang penyakit hati adalah hasud atau iri
ataupun dengki. Dengki menurutnya, dengan mengambil beberapa pendapat adalah rasa sakit yang disebabkan karena
kecemburuan terhadap orang-orang yang berharta dan juga sikap berangan-angan atau berharap hilangnya nikmat dari
orang lain, meskipun dengan hilangnya nikmat itu ia tidak memperolehnya, atau juga dimaknai sebagai sikap
189
berkeinginan untuk mendapatkan hal yang sama dengan diiringi rasa senang apabila yang dinginkan itu hilang dari orang
lain. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa iri adalah suatu bentuk kebencian dan rasa tidak senang terhadap
kenikmatan yang ada pada orang lain (Taimiyah, 1999: 13).
Secara umum, iri terbagi menjadi dua : pertama, adalah kebencian terhadap nikmat yang ada pda orang lain.
Iri semacam ini menurutnya adalah iri yang tercela, dikarenakan apabila seseorang terjangkit penyakit ini hatinya akan
terasa sakit setiap kali orang lain mendapatkan nikmat dan rasa sakit tu hanya dapat dihilangkan apabila nikmat yang ada
pada orang lain itu juga dihilangkan. Padahal dengan hilangnya nikmat pada orang lain tersebut, dia tidak mendapatkan
manfaat apapun. Manfaat yang ia dapatkan hanyalah sebatas hilangnya rasa skit dalam dirinya. Meskipun demikian rasa
sakit itu akan terus menghantunya manakala nikmat yang diharapkan hilang itu ada kemungkinan untuk didapatkan
kembali oleh orang yang bersangkutan, baik dalam bentuk yang sama, lebih bagus atau dalam jumlah yang lebih besar.
Kedua : perasaan tidak senang kepada orang lain yang mempunyai kelebihan dan akan merasa senang apabila dia juga
memperoleh hal yang sama atau lebih bagus. Keadaan semacam inilah yang oleh sebagian orang disebut ghibthah
(Taimiyah, 1998: 13).
Menurutnya, iri merupakan penyakit yang diidap oleh sebagian besar manusia dan hanya sebagian kecil saja
yang mampu membersihkan hatinya dari penyakit ini. Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jasad tidak akan
terlepas dari iri”, hanya saja bedanya seseorang yang berjiwa rendah akan menampakannya sedangkan mereka yang
berjiwa mulia menyembuyikannya. Menurut Ibnu Taimiyah, pada suatu hari, Hasan Basri ditanya, “Adakah seorang
Mukmin yag berlaku iri?”, maka Hasan Basri menjawab, “Adakah engkau lupa akan kisah saudara-saudara Nabi Yusuf?
akan tetapi iri hendaklah engkau sembuyikan dalam hatimu saja. Iri tidak membahayakan dirimu selagi engkau tidak
mengungkapnya dengan lisan atau melahirkannya kedalam bentuk tindakan”. (Taimiyah, 2001: 200).
Dengan demikian barangsiapa yang didalam jiwanya ada rasa iri hendaklah dia menggiringnya dengan
ketaqwaan dan kesabaran serta membenci iri itu. Banyak orang memiliki dasar agama yang kuat tidak melanggar hak
mahsud (orang yang menjadi sasaran kedengkian). Meskipun demikian dia belum dapat dikatakan memenuhi hak-hak
yang semestinya seandainya ada orang yang mencela, tetapi dia juga tidak membelanya dengan mengungkap
kebaikannya. Demikian pula jika ada orang yang memuji mahsud dia lebih memilih berdiam diri. Orang yang semacam
ini digolongkan sebagai orang yang mufrith (orang-yang meyia-nyiaka kebaikan).
Menurut Ibn Taimiyah ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit hati yaitu al Qur’an, amal
saleh dan meninggalkan ma’siat.
Pertama : menurut Ibn Taimiyah, al Qur’an adalah penyembuh bagi penyakit hati yang berada di dalam dada
dan bagi orang yang dalam hatinya ada penyakit keraguan dan syahwat (Taimiyah, 2001: 187). Di dalamnya terdapat
keterangan-keterangan yang menghilangkan kebatilan dan syubhat yang dapat merusak ilmu, pemahaman dan kesadaran
hingga segala sesuatu secara hakiki. Di dalamnya juga terdapat hikmah dan nasehat yang baik, seperti dorongan berbuat
baik, ancaman dan kisah-kisah yang didalamnya terdapat pelajaran yang berpengaruh pada sehatnya hati. Hati akan
menjadi cinta kepada apa yang bermanfaat dan benci kepada apa yang membawa kepada kesengsaraan. Akhirnya hati
190
menjadi cinta kepada petunjuk dan benci kepada kesesatan, setelah pada mulanya condong kepada penyimpangan dan
antipati terhadap petunjuk (Taimiyah, 2001: 154).
Al-Qur’ân juga merupakan penyembuh dari penyakit yang mendorong kepada kehendak-kehendak buruk.
Dengan al Qur’an hati dan kehendak menjadi sehat serta kembali kepada fitrahnya, sebagaimana kembalinya badan pada
keadaan yang semula yaitu nilai-nilai keimanan dan al Qur’an yang membawanya kepada keesucian dan menolongnya
untuk melakukan perbuatan baik.
Kedua : amal saleh sebagai obat penyakit hati. Menurutnya hati membutuhkan pemeliharaan supaya dapat
berkembang dan bertambah baik menuju kesempurnaan dan kebaikan, sebagaimana tubuh memerlukan makanan yang
bergizi. Oleh karena itu, wajib hukumnya untuk mencegah badan dari apa saja yang dapat membawa pada kemudaratan.
Badan tidak akan dapat berkembang dengan baik tanpa memberinya hal yang bermanfaat dan mencegahnya dari hal yang
memudaratkannya. Demikian pula hati, ia tidak akan berkembang dengan baik atau mencapai kesempurnaan tanpa
memberinya sesuatu yang bermanfaat dan menolak apa-apa yang membawa pada kemudaratan. Demikian pula halnya
dengan tanaman, ia tidak akan tumbuh kecuali dengan hal ini (Taimiyah, 2001: 153). Oleh karena itu tatkala sedekah
dapat menghapus kesalahan, sebagaimana air dapat memadamkan api maka perbuatan baik dapat mensucikan hati dari
dosa, sebagaimana firman Allah : Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu bersihkan
dan mensucikan mereka (QS. At taubah/9 : 103).
Ketiga : meninggalkan ma’siat sebagai obat penyakit hati. Menurutnya perbuatan keji dan munkar tak
ubahnya seperti campuran kotoran dalam badan dan seperti benalu bagi tanaman. Oleh karena itu apabila badan telah
bersih darinya maka sehatlah badan tersebut. Demikian pula hati, apabila ia telah bertobat dari dosa-dosa, seolah-olah ia
telah mensucikan dari segala yang hal buruk. Oleh sebab itu apabila hati telah bertobat dari segala dosa maka akan
kembalilah kekuatan hati dan siap untuk menjalankan amalan baik, disamping juga beristirahat dari segala hal yang
sifatnya buruk (Taimiyah, 2001: 155).
Dari deskripsi di atas menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat
diperinci menjadi beberapa varian yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah,
takut, dan mengharap. Macam-macam pengobatan hati tersebut tidak lain merupakan atau sebagian dari apa yang
dikemukakan oleh sufi sebagai Al maqomat dan al akhwal yaitu tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan rohani dalam
mendekatkan diri kepada Allah (Mu’thi, 1994: 71).
- Benar dan Ikhlas
Pengobatan hati yang mula-mula dibicarakan oleh Ibnu Taimiyah adalah adalah benar dalam artian
kesungguhan dalam beragama yang harus dibuktikan dengan mengerjakan amal kebajikan, sedangkan kata ikhlas
adalah bukti dari keislaman. Dengan Islam, yang dimaksud di sini adalah menyerahkan diri kepada Allah sebagai
lawan dari sombong dan menyekutukan Allah. Kata Ibnu Taimiyah, “Barang siapa yang tidak menyerahkan diri
kepada Allah maka ia adalah sombong dan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah dan kepada selain Allah
maka ia telah menyekutukan” (Mu’thi, 1994: 72). Dalam pengertian ini maka benar dan Ikhlas ditempatkan pada
191
bagian pertama mengennai pengobatan hati. Pemahaman Ibnu Taimiyah mengenai kedua istilah itu memberikan
penekanan pada pentingnya amal kebajikan dan berjuang untuk membela agama.
- Taubat
Dalam tasawuf, taubat dipandang sebagai tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi dalam proses
mendekatkan diri kepada Allah. Secara umum pengertian taubat meliputi tiga aspek yaitu meninggalkan perbuatan
dosa, mohon ampun kepada Allah dan tidak akan melakukan dosa selamanya. Dalam tasawuf pengertian tersebut
diperdalam lagi dalam artian taubat tidak hanya meninggalkan perbuatan dosa tetapi juga meninggalkan segala
sesuatu selain Allah (Taimiyah, 2002: 136).
Menurut Ibnu Taimiyah, taubat sebagai awal dari tahapan penyucian jiwa, tetapi dalam kaitannya dalam
kehidupan manusia yang setiap saat cenderung berbuat dosa, suatu dosa, kata Ibnu Taimiyah, akan diampuni Allah
dengan sepuluh perkara : Pertama : dengan bertaubat kepada Allah sehingga Allah menerima taubatnya. Kedua :
dengan istighfar yaitu memohon ampun kepada Allah sehingga Allah mengampuninya. Ketiga : dengan melakukan
amal kebajikan karena amal kebajikan dapat menghapuskan kesalahan. Keempat : karena doa orang yang beriman
yang mendoakan kepadanya baik ketika ia masih hidup ataupun sudah mati. Kelima : dengan memberikan kepadanya
pahala amal yang bermanfaat. Keenam : karena safaat nabi. Ketujuh : karena cobaan Allah berupa musibah di dunia
sehingga cobaan itu menjadi tebusan bagi dosa-dosanya. Kedelapan : karena penderitaan yang dialami di alam barzah.
Kesembilan : karea penderitaan dihari kiamat. Kesepuluh: semata-mata karena kasih sayang Allah. Ibnu Taimiyah
berkata : “Barangsiapa tidak mendapat salah satu dari yang kesepuluh perkara ini janganlah ia menyalahkan kecuali
kepada dirinya sendiri” (Taimiyah, 1998: 21). Menurut Ibnu Taimiyah, tidak ada dosa yang tidak diampuni oleh Allah
apabila orang yang melakukan dosa itu mau bertaubat kepada Tuhan, termasuk dosa menyekutukan Tuhan.
Ajaran Ibnu Taimiyah tentang taubat di atas pada dasarnya mengajak seseorang yang berdosa supaya
meninggalkan perbuatan dosanya dan mengisi hidupnya dengan amal kebajikan. Hal ini dia pertegas dengan
menyatakan bahwa kesempurnaan taubat adalah dengan melakukan amal kebajikan.
- Zuhud dan Wara
Zuhud menurut Ibnu Taimiyah tidak bearti menjauhkan diri dari kehidupan dunia atau meninggalkan
perkara yang dihalalkan yang membawa kepada kebaikan. Sebagai contoh, meninggalkan makanan yang diperlukan
tubuh sehingga tidak dapat melakukan kewajiban agama, tidak merupakan zuhud yang dikehendaki oleh agama.
Perbuatan demikian adalah salah, karena tidak memperhatikan kepada kebaikan yang harus diutamakan (Taimiyah,
2001: 234).
Zuhud yang sesuai dengan syariah adalah meninggalkan perkara yang merugikan atau perkara yang tidak
bermanfaat untuk kehidupan akhirat termasuk didalamnya adalah kekayaan yang berlebihan apabila kekayaan itu
tidak dipergunakan untuk beribadah kepada Allah. Singkatnya zuhud yang benar ialah zuhud dari perkara yang
merugikan bukan zuhud dari perkara yang bermanfaat. Dalam salah salah satu risalahnya Ibnu Taimiyah menjawab
menjawab pertanyaan tentang siapakah yang lebih utama orang kaya yang bersyukur ataukah orang miskin yang
sabar. Menurutnya, kekayaan dan kemiskinan bukanlah ukuran keutamaan yang berdiri sendiri. Keutamaan seseorang
192
adalah disebabkan oleh taqwanya kepada Allah. Orang kaya karena taqwanya maka ia lebih utama dari pada orang
fakir dan sebaliknya. Orang yang sempurna imannya adalah yang dapat menempatkan diri pada masing-masing
keadaan dengan bersabar dan bersyukur.
Sama seperti hal di atas adalah persoalan apakah menyepi atau menyendiri dalam beribadah lebih utama
daripada bergaul daalam kehidupan masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, dalam keadaan tertentu pergaulan adalah lebih
diutamakan misalnya untuk tolong menolong dalam melakukan kebaikan, shalat berjamaah, berjuang untuk membela
agama dan mengikuti perkumpulan sosial yang bermanfaat, tetapi tetap diperlukan waktu-waktu tertentu dalam
kehidupan seseorang dimana ia menyendiri untuk berdoa, berdzikir, tafakkur, muhasabah (introspeksi) dan sebagainya
(Taimiyah, 2002: 11). Jadi memilih pergaulan secara mutlak adalah tidak benar begitu pula hidup menyendiri secara
mutlak adalah tidak benar. Sikap hidup yang benar adalah mengambil apa yang diperlukan dan yang bermanfaat dari
keduanya.
Wara’ yang sesuai dengan syariah adalah meninggalkan perkara yang haram dan syubhat. Menurut Ibnu
Taimiyah, kesempurnaan wara’ adalah dengan mengetahui yang terbaik diantara dua perkara yang baik untuk dilakukan
dan yang terburuk diantara dua perkara yang buruk untuk ditinggalkan. Melakukan yang paling baik dan meninggalkan
yang paling buruk didasarkan atas pertimbangan bahwa ajaran agama pada hakekatnya dibangun atas dasar maslakhah
semaksimal mungkin dan menghilangkan mafsadah hingga sekecil-kecilnya. Dengan demikian orang yang melakukan
perbuatan atau meninggalkannya dengan alasan wara’ tidak dapat dibenarkan jika tanpa mempertimbangkan segi
maslahah dan mafsadah menurut agama, sehingga menyebabkan ia meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan.
- Sabar dan sykur
Berbagai penjelasan Ibnu Taimiyah tentang sabar tidak berbeda dengan penjelasan yang terdapat dalam
literatur akhlaq atau tasawuf pada umumnya, menurutnya sabar adalah ungkapan hati yang berkaitan dengan
penderitaan (Taimiyah, 2001: 231). Sebaliknya adalah syukur yang merupakan keadaan hati yang berkaitan dengan
kenikmatan. Syukur dinyatakan dengan memanjatkan pujian kepada Tuhan.
Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya memuji dan bersyukur kepada Tuhan dan mejelaskan perbedaan
antara keduanya. Dari segi cara menyatakannya, syukur lebih umum sifatnya karena syukur dikerjakan dengan hati,
ucapan dan perbuatan, sedangkan memuji Tuhan dinyatakan dengan ucapan saja, tetapi dari segi sebabnya memuji
kepada Tuhan mengandung arti yang lebih umum karena berkaitan dengan segala kebaikan yang dipuji tidak hanya
kebaikan yang ditujukan kepada yang memuji, sedangkan syukur hanya berkenaan kenikmatan yang diberikan
kepada orang yang bersyukur.
- Tawakal dan Ridha
Tawakal berarti menyerahkan diri kepada Tuhan untuk tidak bergatung kepada makhluk atau perbuatan
yang dilakukan (Taimiyah, 1998: 212). Perbuatan hanya merupakan sebab dari terjadinya sesuatu. Sebab tidak dapat
berdiri sendiri dalam mewujudkan sesuatu melainkan harus ada penentu. Penentu bagi keberhasilan usaha tidak lain
adalah Tuhan. Oleh sebab itu manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada Tuhan.
193
Tawakal kepada Allah tidak berarti penyerahan diri secara pasif tetapi harus disertai dengan usaha dan
meminta pertolonga kepada Tuhan. Oleh karena itu ajaran agama menyuruh manusia agar menyembah kepada Allah dan
meminta pertolongan kepadanya. Secara garis besar Ibnu Taimiyah berpendapat apabila seseorang merasakan hakekat
keihlasan dalam beragama yang terkandung dalam iyyakana’budu dan merasakan hakekat tawakat yang terkandung
dalam iyyaka nastain maka tidak ada lagi baginya kenikmatan yang diatasnya. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa
tawakal tidak berarti meninggalkan sebab dan menyerah kepada nasib. Dia mengkritik orang-orang yang mengaku
menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa berusaha dan menjalankan perintahnya. Mereka menyangka bahwa segala sesuatu
telah ditaqdirkan Tuhan tanpa digantungkan pada sebab-sebab tertentu yang harus diusahakan oleh manusia.
C. Spiritualitas yang Syariahistic: Formulasi Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang
Dari ketiga kategori di atas terdapat benang merah yang dapat menyatukan
persepsi mereka yaitu penerimaan tasawuf secara substantive atau juga disebut
sebagai spiritualitas yang syariahistic. Konsep ini dalam aplikasinya terformula
dalam beberapa bentuk.
1. Urban Sufisme
Tasawuf dalam perspektip intelektual muhammadiyah Kota Semarang
secara umum bercorak substantive atau juga disebut sebagai spiritualitas yang
syariahistic hampir sama dengan apa yang dikonsepkan oleh Julie Howell (2003)
dengan istilah “urban Sufism” untuk memformulasikan satu kajian antropologis
tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, seperti
Paramadina, Tazkiya Sejati, ICNIS, IIMAN, dan lain sebagainya. Pengertian
urban sufism sendiri bisa mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang
muncul di tengah masyarakat perkotaan. Maka, di samping gerakan spiritual
yang lebih mengutamakan ritual zikir dan do’a tanpa organisasi tarekat juga
termasuk dalam kategori urban sufism adalah gerakan tasawuf konvensional
194
yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang
ditampakkan oleh komunitas Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah
(Fathurrahman, 2007: 1).
Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir
semua kota besar di dunia. Hanya saja, urban sufism tidak bisa dipahami sebagai
gerakan yang telah menggeser popularitas tarekat konvensional. Kenyataannya
tasawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di
tengah hiruk-pikuk masyarakat modern. Fakta ini semakin menegaskan nilai
universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur,
toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan dan tradisi local
(Sukma, 2007: 34). Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran
kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan). Model keberagamaan inilah yang
banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini
sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand
Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia.
Dalam kaitan inilah Komaruddin Hidayat (1985: 231) melihat
setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di
kota-kota besar di Indonesia:
• Sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana
pencarian makna hidup
• Sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual
• Sufisme sebagai sarana terapi psikologis
195
• Sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana
keagamaan.
Fenomena urban sufism di Indonesia bisa dirunut dari Hamka, dengan
buku Tasawuf Modern-nya. Hamka adalah orang pertama yang memberi
penekanan atas pentingnya mengapresiasi nilai-nilai substantif tasawuf tanpa
harus terikat dengan ketentuan-ketentuan tarekat (Fathurrahman, 2008: 5).
Belakangan juga muncul sastrawan Abdul Hadi WM yang giat mendengungkan
puisi-puisi sufi, khususnya karangan Hamzah Fansuri, sehingga semakin banyak
kalangan Muslim yang tertarik dengan ajaran tasawuf. Mulai sekitar 1980-an,
aktivitas sufi di perkotaan ini mulai terlembagakan. Ini ditandai antara lain
dengan berdirinya Yayasan Wakaf Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid atau
Cak Nur (alm.). Melalui kegiatan-kegiatan pengajian dan kursus yang
diselenggarakannya, Cak Nur mencoba mengemas tasawuf menjadi menu
menarik untuk memenuhi hasrat masyarakat perkotaan yang haus akan nilai-
nilai spiritual. Lembaga sejenis lain juga tumbuh, seperti Tazkiya Sejati
pimpinan Jalaluddin Rahmat, IIMAN sebagai pusat pengembangan tasawuf
positif di bawah koordinasi Haidar Bagir. Dan, seperti halnya Paramadina,
lembaga-lembaga tersebut juga menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan
seperti kursus, dan pelatihan dengan menyuguhkan materi-materi yang berkaitan
dengan tasawuf. Kendati mengalami pasang surut, kegiatan-kegiatan dengan
materi semacam itu pernah banyak diminati peserta yang umumnya berasal dari
kalangan menengah ke atas (middle class).
196
Tentu saja, cara pengenalan ajaran-ajaran tasawuf oleh lembaga-
lembaga tersebut berbeda dengan dunia tasawuf konvensional. Yayasan
Paramadina mengemas kajian tasawuf sebagai bagian dari paket kursus kajian
Islam yang ditawarkan. Demikian halnya Tazkiya Sejati, yang memperkenalkan
tasawuf kepada masyarakat perkotaan dalam bentuk kursus singkat, serta dengan
menyediakan bahan-bahan pegangan dan panduan zikir yang disusun sendiri
oleh Jalaluddin Rahmat.
Juga perlu disebut di sini adalah peran media massa yang menampilkan
dan bahkan memiliki rubrik khusus tentang tasawuf. Tidak hanya harian
Republika, yang memang kental dengan nuansa Islamnya, media cetak lain
semisal Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Indonesian Observer,
Media Indonesia, Gatra, SWA, dan Tempo, tidak jarang memuat tulisan atau
reportase berkaitan dengan dunia tasawuf. Berbagai tulisan dalam media cetak
tersebut, ditambah dengan maraknya penerbitan buku-buku tentang tasawuf,
telah banyak memberikan kontribusi terhadap proses sosialisasi aspek-aspek
esoteris Islam ke kalangan masyarakat perkotaan yang memang cenderung
memiliki akses luas terhadap sumber-sumber informasi tersebut.
Fenomena maraknya kajian tasawuf Islam khususnya, dan spiritualitas
pada umumnya, di kalangan masyarakat perkotaan ini tentu saja merupakan hal
menarik, karena sebelumnya tasawuf seringkali diidentikkan dengan aktivitas
masyarakat pedesaan tradisional belaka, bahkan dianggap sebagai simbol
ketertinggalan. Kini, kajian-kajian tentang sufisme dilakukan di hotel
berbintang, di kantor, dan di perumahan-perumahan mewah (Bagir, 2002: 34).
197
Apalagi, fenomena bangkitnya tasawuf dan spiritualitas ini sudah menjadi trend
global, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di sejumlah negara lain .
2. Neo Tasawuf
Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran
Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam. Dalam konteks
yang pertama, tasawuf dipersoalkan sejauhmana kesesuaiannya dengan al-Quran
dan Hadits. Pada dasarnya Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan
keagamaan yang bersifat eksoterik (lahiriah) dan esoterik (batiniyah). Ayat-ayat
al-Quran mencakup dua jenis keberagamaan ini. Sayangnya, sejarah Islam
mencatat adanya polarisasi yang saling menistakan. Polarisasi itu antara lain
munculnya ekstrimitas kaum fiqh yang literal di satu sisi, dan ekstrimitas kaum
sufi (penganut Tasawuf) di lain sisi (Amal, 1989: 33).
Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara keduanya, diantaranya
dengan sikap saling menuduh bahwa lawannya telah menyeleweng dari Islam.
Di kalangan mayoritas Islam, terutama yang beraliran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Aswaja), tasawuf dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.
Karena itu mayoritas umat Islam di Indonesia yang merupakan penganut Aswaja
memandang Tasawuf sebagai ajaran yang sesat. Namun demikian, gerakan
Tasawuf juga mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan
penyebaran Islam di Indonesia menjadi lebih mudah berkat dakwah yang
dilakukan oleh para Sufi. Situasi seperti inilah mulanya yang mendorong Buya
Hamka (1994: 21) melakukan penelitian tentang Tasawuf, sebagaimana Hamka
jelaskan dalam bukunya:
198
Bilamana kita perhatikan ajaran-ajaran Tasawuf dan latihan-latihannya itu dengan memakai bermacam-macam kata rahasia dan pertumbuhan-pertumbuhannya, dapatlah kita mengetahui bagaimana besar dan luasnya gerakan ini dalam berbagai zaman. Bila diselidiki dengan dasar ilmu pengetahuan, dapatlah kita pisahkan mana pokoknya yang asli dan mana ajaran lain yang disengaja atau tidak telah turut membentuknya. Tetapi tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan fikiran kaum muslimin,” (Hamka, 1981: 20).
Luasnya pengaruh Tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban
Islam menandakan bahwa Tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam.
Sebetulnya, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka, Tasawuf adalah pusaka umat
Islam yang diambil langsung dari al-Quran dan kehidupan Nabi Muhammad
Saw. Oleh karena itu, benturan antara tasawuf (hakikat) dengan fiqih (syariat),
menurut Hamka, tidak harus disikapi dengan menolak Tasawuf dan melabelinya
sebagai ajaran sesat (Hamka, 1971: 22). Sungguhpun ada sebagian doktrin
Tasawuf yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam, namun substansi dari
ajaran Tasawuf sesuai dengan ajaran Islam. Penyimpangan dalam Tasawuf
mungkin saja terjadi, mengingat interaksi umat Islam yang demikian luas
dengan beraneka macam tradisi agama-agama lain. Mengenai hal ini Buya
Hamka dapat dikategorikan sebagai penganjur neo-Tasawuf (Maksum,
2003:113).
Menurut Buya Hamka, Tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh
(1981). Dalam Islam Tasawuf merupakan jantung dari keislaman. Oleh karena
itu, sangat tepat jika pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik
diterimanya Islam di Indonesia. Lebih jauh lagi, Tasawuf telah meniupkan
199
spiritnya ke dalam hampir seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi
sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih besar masyarakat
Muslim, memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur masyarakat. Di awal
pertumbuhannya, tasawuf merupakan gerakan kritis terhadap kemewahan para
penguasa dan kecenderungan haus kekuasan dan jabatan yang diidap oleh
sebagian tokoh-tokoh Islam (Rahmad,1999: 2).
Problem hedonisme menjadi altar kemunculan dan pertumbuhan
tasawuf. Dalam perkembangan selanjutnya tasawuf menjadi suatu pendekatan
keagamaan yang diminati mayoritas umat Islam, terutama ketika Imam al-
Ghazali mempromosikannya lewat bukunya Ihya ‘Ulumuddin. Dalam konteks
kehidupan masyarakat modern, fenomena ketertarikan masyarakat terhadap
pengajian-pengajian yang bernuansa Tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan
masyarakat untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan oleh modernitas(
Nasution, 1995: 33). Modernitas memang memberikan kemudahan hidup namun
tidak selalu memberikan kebahagian
3. Tasawuf Positif
Tasawuf positif adalah sebuah pemahaman atas tasawuf yang berupaya
mendapatkan manfaat dari segala kelebihan dalam hal pemikiran dan disiplin
yang ditawarkannya seraya menghindari ekses-eksesnya, sebagaimana
terungkap dalam sejarah Islam (Burhani, 2001: 89). Selain itu, betapapun
dilabeli istilah `positif , tasawuf ini tetap mempromosikan konsep Allah dalam
dua perwujudan, yakni perwujudan keindahan dan cinta (jamal) di samping
200
perwujudan keagungan dan kedahsyatan (jalal)41. Tema tersebut
menggambarkan bahwa metode tasawuf merepresentasikan sifat Islam yang,
selain berorientasi syariat, juga menekankan metode cinta. Selama ini kita
menganggap bahwa cinta kasih itu kaitannya dengan agama Nasrani, sedangkan
Islam identik semata-mata dengan syariah, ketaatan pada hukum, disiplin pada
hukum. Hal ini, menurut (Baqir, 2005: 211), merupakan akibat dari pemahaman
41Salah satu contoh kajian Tasawuf positif adalah kajian yang laksanakan oleh Lazuardi bekerja
sama dgn IIMaN ( Indonesian Islamic Media Network) akan mengadakan Kajian Tasawuf Positif yg Insya Allah akan di lakukan secara rutin (mingguan).Untuk sessi soft opening, akan dimulai pada 3 Sept 2005 dgn 2 kali pertemuan dgn topik Menggapai akhirat melalui kesuksesan dunia (gratis) dan selanjutnya mulai 10 Sept 2005 dgn topik Panduan Menggunakan Kecerdasan Al-Quran untuk Kesuksesan Dunia Akhirat. Contoh tema kajian: Quranic Quotient for a Lasting Success Panduan Menggunakan Kecerdasan Al-Quran untuk Kesuksesan Dunia-Akhirat. Kegiatan dalam 5 kali pertemuan pada 10 Sept - 11 Oktober 2005 yang meliputi materi Panduan 1 - pertemuan 1 (Personal Inprovement) Mimpi yang sedang beraksi Panduan 2 - pertemuan 2 (Personal Inprovement) Sensitivitas terhadap Realitas Panduan 3 - pertemuan 3 (Personal Inprovement) Putus asa = Kafir Panduan 4 - pertemuan 4 (Spiritual Development) Teknik QQ untuk Ketentraman Ruhani Panduan 5 - pertemuan 5 (Social Empowerment) Teknik QQ untuk Kebahagian Bersama Kegaiatn ini secara garis besar mengungkap kusuksesan dunia dan akhirat sering disangka tak bisa diraih sekaligus, karena keduanya selalu saja dirasakan bertentangan. Tapi kalau nyatanya begitu, lalu apa gunanya perintah Al-Quran untuk mengejar kesuksesan dunia akhirat? Tidakkah perintah itu akan menjadi sia-sia belaka? Disinilah letak pentingnya penggalian Quranic Quotient demi pencapaian kesuksesan abadi. Al-Quran tidak memberikan rincian teknis yang sangat detail dalam menjalankan prinsip pernigaan yang menguntungkan dunia akhirat, karena bagaimanapun ia bukan buku ekonomi atau manajemen. Sebagai kitab petunjuk yang universal, ia lebih berkepentingan untuk mengamanatkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai saja. Sedang menyangkut bentuk atau teknik pemenuhan nilai itu lebih banyak diserahkan kepada rasio atau kecerdasan manusia. Sungguhpun begitu, disisi lain, Al-Quran pun tetap berkepentingan memberikan inspirasi bagi pengembangan cara-cara pemenuhan nilai. Sebab lagi-lagi sebagai petunjuk universal, disamping ia harus menunjukkan nilai-nilai universalnya, ia pun sudah selayknya memperlihatkan kemungkinan bisa diterapkannya nilai-nilai tersebut (visiabilitas), sehingga nilai-nilainya tidak bisa dianggap utopis atau mustahil diterapkan. Biasanya Al-Quran menjabarkan nilai-nilainya melalui konsep-konsepnya (seperti iman, shalat, zakat, dan sebaginya), sedang untuk menunjukkan visiabilitas nilai-nilainya ia menggunakan kisah-kisah terbaiknya (ahsan al-Qashahs). Kisah-kisah inilah yang kemudian banyak memberikan inspirasi. Karena itu tak heran dalam bukunya Quranic Quotient: Kecerdasan-kecerdasan Bentukan Al-Quran, Muhammad Jarot Sensa menyebut kisah-kisah Al-Quran sebagai mencerdaskan. Bertolak dari penggalian kecerdasan Al-Quran tersebut training ini memberikan panduan menggunakan kecerdasan untuk kesuksesan dunia akhirat. Narasumber: Dr. Haidar Bagir, MA (Doktor di bidang Filsafat Islam dan Ketua Pusat Pengembangan Tasawuf Positif IIMaN, penulis Buku Saku Filsafat Islam dan Buku Saku Tasawuf,Direktur Utama Penerbit MIZAN,serta Ketua Yayasan Lazuardi Hayati). Partisipasi 150.000 Untuk 5 (lima) kali pertemuan (Termasuk Buku QQ for a Lasting Succes seharga Rp 31.000,-)
201
secara eksklusif atas aspek jalal (tremendum) Allah dan melupakan pada satu
aspek lainnya.
Sesungguhnya, jalan tasawuf positif berusaha membimbing para
pencari agar secara sungguh-sungguh berusaha menemukan kehilangan mereka
yang sesungguhnya. Dengan pasti dapat dikatakan bahwa setiap orang yang
memiliki pikiran dan kesadaran yang bekerja dengan baik akan merasakan
bahwa ada sesuatu yang hilang yang sedang dicarinya dalam kehidupannya di
dunia ini. Orang-orang yang tidak mempunyai rasa kehilangan ini hanyalah
orang yang telah kehilangan dirinya sendiri karena sikap ketidakpedulian
mereka. Sesungguhnya, "perasaan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan ini"
adalah perasaan agung yang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah
menjadi budak nafsu, kekayaan, jabatan, atau ambisi. Kereta tasawuf negatif
melakukan perjalanan panjang, mencari banyak hal, dan mengalami banyak
hambatan, tetapi akhirnya ia sudah terpuaskan hanya dengan beberapa
kenikmatan batiniah atau tingkat-tingkat mental tertentu; merasa cukup hanya
dengan beberapa pengetahuan yang aneh, dengan ucapan-ucapan yang tak biasa,
dan lalu berhenti.
Sayang sekali para pencari ini tak menyadari benar-benar bahwa
sesuatu yang hilang dalam jiwa manusia itu bukanlah hal-hal sepele seperti itu,
yang muncul karena beberapa sebab tampaknya, orang pertama yang
mengetahui kehilangannya adalah orang yang, setelah mencoba tasawuf positif
di bawah bimbingan para Rasul, merasa diberi semangat untuk bangkit dari
lembah khayal dunia dan melangkah menuju perbaikan. Ketika berusaha
202
menemukan sesuatu yang hilang itu, mereka menjauhkan diri dari kenikmatan-
kenikmatan, rasa mementingkan diri sendiri, dan capaian-capaian duniawi,
untuk menjalankan kapal jiwanya dengan penunjuk arah kesadaran ilahiah, dan
di bawah bimbingan intelek yang sehat, di samudera wujud. Karena tasawuf
positif tak pernah menganggap keuntungan-keuntungan seperti yang disebutkan
di atas sebagai tujuan, maka ia dapat mencapainya sementara tetap berjalan
menuju tujuan akhirnya, yaitu perjumpaan dengan Allah, yang mensyaratkan,
pertama-tama, keterjagaan, pengembangan, dan penguasaan jiwa atas dunia
wujud.
Tasawuf positif adalah tasawuf yang mengakomodasi kehidupan dunia
untuk akhirat (Burhani, 2002: 34). Menghargai syariat (aspek formal agama),
menjunjung rasionalitas, dan menekankan buah tasawuf pada dimensi sosial
kemasyarakatan. Maka tidak heran jika para penganut Tasawuf Positif
kontemporer adalah masyarakat yang secara material tercukupi, terpelajar, dan
suka mengasihi dan bersimpati dengan kaum miskin. Oleh karena itu, jika
masyarakat perkotaan ingin mendapatkan kedamaian dan kebahagian yang
terampas oleh modernisme, mereka harus berpikir jernih, cerdas, cermat, dan
tidak gampang mengikuti tren yang berkembang. Pencarian kebenaran atau
kebermaknaan hidup yang bersifat virtual atau semu bukanlah wujud dari
pembebasan kemanusiaan. Ia hanyalah bentuk kebebasan yang tidak jarang
sering tidak terbendung dan sulit diarahkan. Penggabungan kreativitas akal,
pengalaman, dan perenungan makna hidup secara mendalam mutlak dilakukan
untuk mencapai hal tersebut (Amstrong,1996: 69).
203
4. Tasawuf Modern HAMKA
Tasawuf modern yang digagas Hamka pada dasarnya adalah tawaran
upaya-upaya pembersihan jiwa untuk menuju kesempurnaan dan kebahagiaan
melalui pembersihan jiwa ala sufi. Dengan demikian manusia akan mendapatkan
hati yang bersih dan bisa berada dekat dengan Tuhan (Iqbal, 1981: 49).
Bedanya, Hamka menempatkan praktek permbersihan jiwa tersebut dalam
konteks masyarakat modern. Ini dimaksudkan agar term-term tasawuf yang
sering dianggap tradisional lebih “membumi” dan sesuai dengan kehidupan
masyarakat sehari-hari. Dalam buku Lembaga Budi misalnya, Hamka secara
panjang lebar membahas bagaimana seorang professional, pelaku bisnis,
karyawan, pengarang, wartawan, pemimpin, palitikus dan lain sebagainya
melakukan berbagai akhlak terpuji (budi mulia) (Hamka: 1996, 79).
Implementasi budi dalam kehidupan sehari-hari tersebut adalah sebagai upaya
penyucian hati manusia sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan hakiki.
Seperti dikatakan al-Junayd, “Barang siapa mencari sesuatu dengan kejujuran
dan bersungguh-sungguh tentu akan mendapatkannya. Seandainya tidak
mendapatkan seluruhnya maka akan mendapatkan sebagiannya” (Nasution,
1995: 58)
Di dalam bukunya Tasauf Moderen, Hamka juga membahas tentang
apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang sebagai upaya untuk mencapai
bahagia, misalnya bergaul dengan orang budiman, menjaga syahwat dan
kemarahan, instropeksi diri, memelihara kesehatan jiwa, marah yang positif,
qana’ah, tawakkal dan lain sebagainya. Semua itu dikaitkan Hamka dengan
204
kehidupan keseharian masyarakat modern, sehingga istilah-istilah tasawuf
menjadi mudah dipahami. Misalnya qana’ah, dalam tradisi tasawuf klasik
diartikan beragama oleh para sufi. Bisyr al-Hafi mengartikan qana’ah dengan
seorang raja yang hanya tinggal di dalam hati yang beriman.
Dhun Nun al-Misri menyebutkannya dengan orang yang selamat dari
orang-orang yang semasanya dan berjasa atas semua orang. Sufi lain yaitu al-
Kaffari mengatakan “Barang siapa yang menjual kerakusan demi qana’ah
berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran. Hamka mengartikan
qana’ah dengan “menerima cukup” (al-Taftazani, 1985: 45). Menurut Hamka
qana’ah memiliki lima unsur yaitu, menerima apa yang ada dengan rela,
memohon kepada Allah agar menambahkannya yang pantas dengan berusaha,
menerima dengan sabar ketentuan Allah, bertawakkal kepada Tuhan, tidak
tertarik oleh tipu daya dunia. Dalam menjelaskan qana’ah Hamka mengatakan,
siapa yang mendapatkan rizki yang cukup untuk menghidupi diri dan
keluarganya, maka hendaklah menenangkan hati. Manusia tidak dilarang untuk
mencari rizki yang banyak, berpangku tangan, sebab itu bukan qana’ah.
Manusia tetap harus bekerja keras, bukan karena terobsesi mengumpulkan harta,
namun karena orang hidup memang tidak boleh berhenti bekerja.
Penjelasan Hamka dengan kalimat seperti ini sangat sesuai dengan
konteks masyarakat modern. Hamka memahami masyarakat sering menganggap
qana’ah dengan arti salah, di mana qana’ah diartikan sebagai sifat yang tidak
mementingkan bekerja dan merasa cukup dengan apa yang telah ada. Menurut
Hamka itu adalah sifat yang justru bukan menjadi terpuji tapi malah tercela,
205
sebab qana’ah itu bekerja dan berusaha sehabis tenaga. Arti qana’ah sangat
luas. Qana’ah menyuruh manusia percaya akan adanya kekuasaan yang lebih
besar dari kekuatan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi,
menyuruh manusia bekerja keras, bukan karena harta yang ada tidak cukup, tapi
karena orang hidup mseti bekerja.
Dengan penjelasan seperti demikian, Hamka menginginkan terciptanya
individu dan masyarakat yang memiliki kepribadian sufi, yaitu pribadi yang
memilikim akhlak terpuji (akhlaq al-karimah). Jadi bukan sufi dalam term
tasawuf klasik yang hidup dengan mengasingkan diri atau mempraktekkan
kesalehan individu dan terasing dari masyarakat
D. Analisis terhadap Pemahaman Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap
Tasawuf
1. Tasawuf itu Bid’ah?
Muhamadiyah secara umum dikesankan beranggapan bahwa
mempelajari dan menjalankan tasawuf hukumnya bidah/haram dengan alasan
bahwa tasawuf itu merupakan kegiatan yang dapat menyesatkan ummat. Mereka
mengatakan bahwa pada zaman Rasulullah saw. tidak dikenal istilah tasawuf,
yang ada adalah istilah zuhud, wara, dan lain-lain.
Terkait dengan pemahaman di atas harus dipahami bahwa manusia, seperti
disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh, panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari
(Nasr, 1983: 44). Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara
harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.
Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh.
Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia. Kedua, filsafat, berperan
dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan
206
dimensi metafisik. Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya
tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia.
Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup
dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya (Nasr: 1983, 68).
Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23. “Katakanlah:
Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,
tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk/67: 23). Ditinjau dari segi bahasa, tasawuf
memiliki makna sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana,
rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada
hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun dari segi istilah, pengertian tasawuf amat bergantung
pada sudut pandang yang digunakan para ahli yang memberikan definisi tersebut. Selama ini,
ada tiga sudut pandang yang diguakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut
pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, manusia sebagai mahluk yang
harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan,
tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt (Syukur, 1999: 123) . Jika
sudut pandang yang digunakan manusia sebgai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat
didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang
digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai
kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-
kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan. Abul Hasan Al Fusyandi,
seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman
Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah
sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya” (Iqbal, 1981: 21).
Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan bahwa zaman
Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap
zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum
dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu
mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi kehidupan,
207
kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda
memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak
termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah
tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud
misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad) (Baqir, 2002: 56).
Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya
sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting
substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang
shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan
istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada
juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan
tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw.
sama sekali tidak bid’ah.
Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada
adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita
dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw.
dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah
saw. (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu
bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional.
Istilah tasawuf atau mistisisme dalam Islam masih sebuah diskursus kontroversial.
Sebab, secara tekstual (scripture), Alquran tidak menyebutkan kata "tasawuf", baik secara
eksplisit maupun implisit. Hal ini, sepintas dapat dipahami, bahwa Islam terkesan tidak memiliki
dimensi tasawuf, atau setidak-tidaknya "anti tasawuf". Pada tataran ini, studi tentang Islam
khususnya dalam rangka memahami tasawuf tidak bisa bersifat tekstual semata, atau meminjam
istilah Muhammed Arkoun hanya bersifat "logosentris". Tradisi filologis atau logosentris yang
mewarnai para pemikir muslim dan Islamolog Barat, ternyata tidak mampu membedah substansi
ajaran Islam yang paling fundamental (dimensi esoteris). Buktinya, secara sosio-historis, hampir
seluruh ajaran dalam Islam hanya "mengandalkan" kemampuan teks didalam memahami
agamanya, seperti Wahabisme yang "anti tasawuf" atau terkesan kurang apresiatif terhadap
tasawuf. Fenomena seperti itu, tidak hanya mewarnai dunia Islam, tetapi juga dunia Barat, paling
tidak dapat dilihat dari tradisi orientalisme.
208
Karena itu, upaya memahami ajaran Islam secara komprehensif harus disertai dengan
analisa sosio-historis. Pada konteks ini, ajaran Islam, khususnya tasawuf tidak hanya bisa
dipahami dari sudut pandang "sejarah ide" an sich, melainkan juga harus dilihat dari "kenyataan
sosial-politik". Dengan kata lain, realitas sosial-politik merupakan komponen yang harus
dipertimbangkan pada saat memahami ajaran Islam. Bila secara tesktual, Alquran tidak pernah
menyebutkan kata "tasawuf", maka secara konsepsional (pada tataran sue-generis) atau sosio-
historis Islam tidak berarti "anti tasawuf". Tasawuf adalah produk sejarah Islam, karena itu,
kenyataan historis yang tidak bisa dipungkiri adanya. Ia adalah hasil dari proses "ortodoksifikasi"
para intelektual muslim di dalam membedah doktrin ideal Islam.
Bahkan, pada konteks kehidupan modern, tasawuf merupakan fenomena
antropologis. Dari situ, dari sudut antropologi-falsafi, kita bisa melihat bahwa kegairahan
bertasawuf erat hubungannya dengan keterasingan (alienasi) yang muncul akibat kehidupan
modern. Alienasi tersebut, membawa akibat terjadinya keadaan yang disebut powerlesness
(kehilangan makna hidup), dan social-isolation (merasa terisolasi, dan kehilangan kontak
personal dalam masyarakat).
Tasawuf atau sufisme adalah dimensi bathin atau esoteriss Islam (the inner dimension
of Islam). Dimensi ini sering dipertentangkan dengan aspek luar ajaran Islam, atau istilah
populernya syari’ah. Karena merupakan dimensi bathin, maka tasawuf, "sufisme" (mistik), tidak
bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik ini memang berasal
dari kata Yunani : myin, "menutup mata". Maka dari itu, tegas Annemarie Schimmel, mistik telah
menjadi "arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama". Dalam dimensi yang lebih
luas, mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang mungkin
disebut Kearifan, Cahaya, Cinta, atau Nihil. Dengan kata lain, mistik dapat didefinisikan sebagai
cinta kepada yang mutlak. Cinta ini bisa mengantarkan jiwa si ahli mistik kehadapan Illahi
"bagaikan elang yang membawa mangsanya" yakni dengan itu, Seyyed Hossein Nasr, salah
seorang penggagas filsafat perenial atau aliran tradisional menyatakan, bahwa sufisme
merupakan "jalan spritual". Dari situ, Nasr memahami sufisme sebagai jantung ajaran Islam, ia
seperti juga jantung manusia, tersembunyi dari pandangan, meskipun ia menjadi sumber bathin
kehidupan dan menjadi pusat yang mengatur seluruh organisme keagamaan Islam.
Dari perspektif perenialistik, sufisme ternyata merupakan ajaran Islam yang paling
fundamental. Ia merupakan falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam
209
upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan
kebahagiaan rohani. Dari sini terlihat bahwa, sufisme cenderung menempatkan Tuhan di atas
segalanya, termasuk dirinya sendiri. Hal ini berarti sufisme penuh dengan semangat perjuangan
yang membuatnya selalu siap bertempur dengan segala yang menolak kebenaran dan merusak
harmoni. Dalam perspektif ini, substansi atau essensi dari sufisme, "seharusnya" melahirkan dua
sikap hidup yang ideal. Pertama, jiwa berjuang, "berperang" yang berdimensi historis, dalam arti
dapat dibuktikan secara kongkret, baik secara militer, politik maupun sosial. Perang dalam
kategori ini kata nabi disebut sebagai perang kecil (al-Jihad al-Ashgar). Kedua, jiwa berjuang
yang inheren dalam jiwa manusia itu sendiri, yang berarti perang melawan nafsu, melawan
semua kecenderungan untuk menolak Tuhan dan kehendak-Nya. Kategori kedua ini oleh nabi
disebut sebagai"perang besar" (al-Jihad al-Akbar).
Namun demikian, secara historis, yang berkembang dalam masyarakat muslim justru
kategori kedua. Karena itu, sufisme umumnya dipahami sebagai proyek perbaikan moral individu
melalui "renungan-renungan spiritual", ritus, wirid-wirid, dan upacara-upacara keagamaan.
Dengan demikian sufisme menjadi kehilangan dimensi sosialnya, dengan sendirinya, sufisme
seakan akan tidak mempunyai tanggung jawab sosial, sehingga sering diidentikkan dengan
budaya asketis, anti intelektual dan lain-lain.
Untuk menguatkan asumsi kecenderungan di atas, berikut pernyataan Abu Wafa al-
Ghanimi al-Taftazani, yang pendapat ini didukung oleh Bertrand Rusel, RM Bucke, dan lain-lain.
Menurutnya, tasawuf atau mistisisme umumnya memiliki lima karakteristik yang bersifat psikis,
moral, dan epistimologis, yakni peningkatan moral, merupakan ekspresi nilai-nilai moral tertentu
dari setiap Tasawuf (mistisisme) dan bertujuan untuk "membersihkan jiwa", yang perealisasian itu
memerlukan proses riyadhah fisik-psikis tersendiri. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas
mutlak. Adalah sampainya kondisi mistikus pada satu level psikis tertentu di mana rasa
egosentrisnya sirna, kekal-abadi dalam realitas yang tertinggi, telah meleburkan kehendaknya
bagi Kehendak Yang Mutlak.
Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma terkaji epistimologis, yang
membedakan tasawuf (mistisisme) - suatu pemahaman hakekat realitas di balik persepsi
inderawi serta penalaran intelektual dengan filsafat yang memahami realitas melalui metode-
metode intelektual. Ketentraman atau Kebahagiaan yang merupakan karakteristik khusus pada
semua bentuk tasawuf (mistisisme), sebagai pembangkit keseimbangan (balance) psikis pada diri
210
mistiskus, membuat terbebas dari rasa takut serta merasa intens dalam ketentraman jiwa.
Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan realisasi dari kondisi-kondisi
efektif yang khusus, yang mustahil diekspresikan secara aktual; lewat kata-kata. Tasawuf
(mistisisme) merupakan pengalaman yang subyektif, ia buka merupakan kondisi yang sama pada
semua orang.
Karakteristik umum tasawuf di atas terutama dimensi moralnya telah "menyejarah"
dalam masyarakat muslim, bahkan diakui sebagai "doktrin ideal-normatif" Islam. Pada konteks
ini, tasawuf dipahami sebagai "Islam" itu sendiri - sebagai cita-cita kehidupan ideal yang bersifat
spiritual - ketimbang sebagai sebuah "tradisi Islam". Di samping itu, penekanannya pada
perbaikan moral manusia secara individual, menyebabkan tasawuf kehilangan dimensi sosial.
Kecenderungan seperti ini, sebenarnya bertentangan dengan misi Nabi Muhammad SAW. Di
samping menekankan perbaikan moral individuu, Nabi juga menekankan tranformasi sosial. Jadi,
tipologi dan corak tasawuf klasik, sepertinya merupakan sebuah perspektif reduksionis terhadap
doktrin ideal Islam, termasuk sunnah (tradisi nabi, meminjam istilah Fazlur Rahman). Karena itu,
wajar bila para intelektual muslim modern, seperti Iqbal atau Fazlur Rahman, atau Hamka sendiri
mulai kritis dalam melihat "tradisi Islam". Hamka, misalnya menawarkan istilah "tasawuf modern"
sebagai paradigma baru ilmu tasawuf. Sedangkan Rahman, menawarkan istilah "neo-sufisme".
Keduanya, baik tasawuf modern maupun neo-sufisme merupakan reformed sufism. Jika tasawuf
klasik hanya menekankan moral individual, maka tasawuf modern atau neo-sufisme tidak ragu
lagi adalah puritanis dan aktivis. Kecenderungan yang dipahami Rahman dan Hamka pada
dasarnya adalah ingin mengembalikan esensi tasawuf kembali pada tradisi Nabi.
2. Penggolongan tasawuf dalam kategori-kategori
Di wilayah ilmiah, tashawwuf pun digolong-golongkan dengan penambahan titel
klasik dan modern. Misalnya, kini marak pula apa yang disebut sebagai Tasawuf Modern,
Sufisme Modern, Neo-Sufism, atau belakangan disebut pula dengan Tasawuf Positif. Tashawwuf
klasik, walau tetap mementingkan pemahaman esoteris dari setiap ibadah formal yang dilakukan,
masih sering dicap cenderung menarik diri dari kehidupan dunia. Sedangkan tashawwuf
Pemahaman dan penggolongan tashawwuf dengan cara seperti ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh sikap anti thariqat yang dipandang sebagai Jalan yang diikuti oleh para shufi
masa lalu. Thariqat dipandang hanya berlandaskan pada ketaqlidan buta terhadap mursyid
211
sebagai pembimbing spiritual. Bahkan kini pun muncul slogan “Tasawuf Yes, Tarekat No”.
Permasalahannya, dari pandangan seperti itu terlihat bahwa kini jarang ada yang memahami
apakah sebenarnya thariqat itu, dan lebih terbetot perhatiannya pada ekses-ekses yang
dipandangnya ‘negatif’.
Thariqat sebenarnya adalah bagian khusus dari tashawwuf, yaitu aspek
operasionalnya. Thariqat merupakan sikap hidup di dunia, terjun ke dalam ‘lautan’ dunia,
berinteraksi dan beraktivitas dengan manusia, namun jiwanya tidak ‘terbasahi’ oleh dunia. Inilah
yang disebut dengan sikap zuhud, yaitu tidak mengisi hati dengan kecintaan terhadap dunia.
Thariqat sebenarnya memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah menjadi al-
muthahharuun, suatu tingkat kesucian bayi. Pada tingkatan ini, barulah seseorang salik (pejalan
thariqat) dapat ‘menyentuh’ dimensi batin Al-Quran yang bahkan berdimensi hingga tujuh lapis.
Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat pertama. Tujuan kedua adalah bertemu diri, atau
ma‘rifat. Pada tingkatan inilah seseorang baru dapat mengenal diri otentiknya dan mengetahui
misi hidupnya di muka bumi. Pada tingkatan inilah seseorang digelari sebagai syuhada (bisa juga
dengan cara mati syahid). Dan di tingkatan inilah seseorang baru dikatakan mengerti hakikat
syahadat (bagaimana bisa tingkatan seperti ini bisa dicapai hanya dalam satu kali training?).
Pada tingkatan inilah Ruh Al-Quds berbicara di balik jiwa, seperti melihat matahari di balik film
yang memfilter cahayanya yang dapat membutakan mata. Ruh Al-Quds mengingatkan kembali
jiwa dengan perjanjian terhadap Tuhan (QS Al-A’raaf [7]: 172) dan penetapan qadha dan
qadarnya.16 Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat kedua. Tugas seorang mursyid hanya
sampai di tingkatan ini, karena untuk berikutnya yang akan menjadi mursyid adalah Ruh Al-Quds,
yang akan menjadi penasehat dan pembimbing dalam menjalankan misi hidupnya. Adapun
tujuan thariqat yang ketiga adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarrib).
Di sisi lain, secara ilmiah, kini tashawwuf pun digolong-golongkan ke dalam berbagai
tipe wacana, seperti tashawwuf akhlaqi atau tashawwuf filosofis, bahkan ada pula
mengistilahkannya dengan Jalan Cinta (Path of Love) dan Jalan Pengetahuan (Path of
Knowledge). Dalam tradisi wacana modern, hal tersebut merupakan sesuatu yang positif, yaitu
suatu kreativitas dalam mencipta konsep-konsep. Namun, berbeda dengan tradisi spiritualitas,
konsep sebenarnya lebih diarahkan sebagai mimesis dari Kebenaran, sebagai imaji pemikiran,
sebagaimana yang disarankan oleh Plato. Untuk kajian akademis, penggolongan tersebut
memang berguna, namun dalam Jalan spiritual bisa lain masalahnya.
212
Perbedaan di kalangan shufi—yang telah sering dibukukan—sebenarnya hanyalah
sebatas peristilahan, bukan konsep. Ajaran-ajaran yang ditulis oleh para shufi besar tak ubahnya
televisi dengan berbagai macam tipe bentuk dan ukuran, namun kesemuanya menayangkan satu
siaran dari stasiun televisi yang sama. Tak ubahnya air yang mengambil bentuk wadahnya,
sehingga tampak berbeda bentuk, padahal esensinya tetaplah air. Tak ada perbedaan antara
satu sama lainnya karena pengetahuan mereka lahir dari keberserahdirian total. Yang
membedakan adalah wadah pembahasaannya. Seorang Suhrawardi atau Mulla Shadra yang
ketika muda lebih terbiasa dengan wacana filsafat, ketika membahasakan tashawwuf akan
menggunakan bahasa-bahasa filsafat. Karena itu, untuk zaman sekarang, apabila muncul
kembali shufi sekaliber Ibn ‘Arabi atau Rumi yang ketika mudanya terbiasa dengan wacana sains,
bukan tidak mungkin pembahasannya tentang tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa
sains.
Selain itu, pengetahuan mistik yang berasal dari Satu Sumber bagi para shufi lebih
berfungsi untuk meningkatkan hakikat ‘ubudiyyah. Inilah perbedaan yang cukup mencolok
dengan wacana Tasawuf Modern. Kecenderungan wacana tersebut adalah melakukan klasifikasi
dan mencari berbagai perbedaan di antara ajaran-ajaran tersebut secara kreatif untuk penciptaan
konsep-konsep baru, dan seringkali tidak langsung diniatkan sebagai Jalan spiritualitas. Hal ini
terlihat cukup jelas dengan tidak adanya lagi karya-karya tashawwuf yang kualitasnya sebanding
dengan karya-karya para shufi terdahulu, seperti Fushush Al-Hikam dari Ibnu ‘Arabi, Al-Hikam
dari Ibnu Atha’illah, Ihya ‘Ulumuddin dari Imam Al-Ghazali, Hikmah Muta’aliyyah dari Mulla Sadra,
Al-Mawaqif wal Mukhathabat dari Imam An-Nifari, dan banyak lagi yang lainnya. Apabila para
shufi zaman dulu menulis karyanya dari hasil berthariqat, mencapai ma‘rifat, dan menemukan al-
‘ilm at-tasawwur-nya serta dianugrahi nur ilmu, setelah sekian tahun jatuh bangun dalam
berbagai ujian kehidupan dan menjalani misi hidupnya, maka wacana tashawwuf
hari ini lebih didominasi oleh wacana-wacana rasional tanpa pengalaman dan
pengetahuan mistik.
3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf?
Selama ini para peminat kajian tasawuf Islam cukup kesulitan memberikan batasan
definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari diskursus
tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar selama ini minimal ada
213
dua pendekatan yang dilakukan para ulama dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan
pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan ahistoris.
Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa menjerumuskan
umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan
menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang dalam, mazhab kedua ini
cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Maka, bila yang pertama terkesan rigid
dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak
jelas landasan teologisnya (al-Quran dan as-Sunnah). Dari sinilah sebenarnya kita dituntut untuk
bisa mengambil posisi mu’tadil (moderat). Dalam bahasa al-Quran posisi ini disebut, lâ ilâ hâulâi
wa lâ ilâ hâulâi (tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri). Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini
selalu ada kesan negatif dalam ranah tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan
individual; yang lebih mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan karakternya yang demikian, tasawuf kemudian
menjadi cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi; teosentris. Seolah-olah hidup di dunia
hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nâs menjadi banyak
terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran non-egaliter dan irasional.
Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur tasawuf bahwa seorang murid ketika
berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit yang terbujur kaku di depan orang yang
memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan semangat tauhid Islam yang menekankan
kesetaraan antar sesama.
Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa tasawuf pun telah melahirkan banyak hal
positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas, qanâ’ah dan
urusan akhlak lainnya. Seorang orientalis kawakan berdarah Perancis penganut aliran marxisme;
Roger Geraudi, terrtarik untuk masuk Islam karena terkagum pada ajaran tasawuf. Di samping itu
pula, bila digunakan sesuai dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara apik dengan
tarekat, maka dari tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme
dan diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi kesimpulannya adalah
bahwa tasawuf memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga
memiliki sisi positif.
Apa yang bisa dikonsep untuk melahirkan posisi i’tidâl dalam ranah tasawuf ini? Yusuf
Qardhawi dalam bukunya Tsaqâfah Dâ’iyah berusaha memetakan bentuk interaksi yang mu’tadil
214
terhadap tasawuf. Dan inilah yang tepat untuk menformulasi tasawuf dari kelompok yang tidak
menolak tasawuf dalam Muhammadiyah. Pertama, kita selayaknya menolak seluruh paham
tasawuf yang lahir atas dasar logika (falsafah), seperti, al-hulûl dan wihdatu’l wujûd. Kedua,
memanfaatkan sisi positif tasawuf yang bersifat akhlaqi dan tarbawi. Ketiga, meninggalkan segala
bentuk ajaran tasawuf yang bertentangan dengan akidah dan beraliran skeptisme. Mari sama-
sama kita renungkan ayat al-Quran yang menganjurkan pentingnya sikap washatiyyah ini. “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu…." (QS al-Baqarah/2:143). Ada satu langkah yang harus dilakukan dalam
ranah tasawuf ini, yaitu rekonstruksi. Dua hal ini tidak paradoks bila dilakukan secara adil. Ajaran
yang harus di dalam dunia tasawuf adalah ajaran yang non-egaliter, irasional dan individualistic
dan diganti menjadi ajaran-ajaran positif, yaitu dengan menjadikan tasawuf sebagai 'nafas' pada
setiap gerak anak adam. Ajaran positif terhadap tasawuf ini menjadikan tasawuf sangat elastis
dan terus mengikuti perkembangan zaman. Kalau dulu seorang wali muncul dari goa-goa
pertapaan, diera moderen mungkin saja seorang waliyullah keluar dari perkantoran-perkantoran,
berdasi dan naik mercy. Tasawuf itu elastis, tidak jumud dan terus berkembang.
Muhammadiyah secara formal memang menolak tashawwuf, karena tashawwuf,
menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual
yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban
seperti yang dipunyai NU. Tapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tashawwuf dan dzikir tidak
dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tashawwuf dapat diterima oleh mereka
sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji.
Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat
sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai hari ini
sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.
Terkait dengan dua tokoh yang menjadi rujukan dalam Muhammadiyah yaitu KH
Ahmad Dahlan dan Hamka dalam hal tasawuf terjadi perbedaan. Ahmad Dahlan dikenal sebagai
pembaru ajaran Islam dari 'penyakit' TBC. (takhayul, bid’ah, dan c/khurafat). Ungkapan dia yang
terkenal di kalangan Muhammadiyah adalah 'Semua ibadah diharamkan kecuali ada perintah dan
semua muamalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan.' Dalam hal itu, Hamka
sama dengan KH Ahmad Dahlan. Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan sekaligus
215
pembaru. Bedanya, kalau ajaran Dahlan 'kering' dari spiritualisme atau kerohanian, Hamka justru
sebaliknya. Ia merupakan penganjur dan bahkan menulis sejumlah buku tentang tasawuf. Ia
sanga fasih mengupas sisi kehidupan spiritual Nabi Muhammad dan para sahabat, serta ajaran
dan personifikasi dari para tokoh-tokoh sufi/tarekat dari abad pertengahan hingga yang ada di
nusantara. Ia sering mengutip ayat Alquran Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub yang menjadi dasar
ajaran tawawuf.
Ayat ini pulalah yang menjadi pegangan kaum nahdliyin dalam mengamalkan
kehidupan kesufian/kerohanian. Di sinilah kesamaan Hamka dengan KH Hasyim Asy'ari. Namun,
berbeda dengan kaum Nahdliyin, sufistik Hamka tidak mengikuti salah satu ajaran maupun
amalan tarekat yang diakui oleh NU. Dari buku-buku sufistik yang ditulisnya tampak Hamka tidak
menjalani ritual tertentu seperti yang dijalankan pengamal tarekat pada umumnya. Misalnya
suluk, baiat, dan amalan-amalan tertentu yang dijalankan pada waktu-waktu tertentu. Dalam hal
ini bahkan Hamka mengritik amalan-amalan sufistik yang dianggap menyimpang yang mengarah
pada syirik.
Sebagai misal ia mengritik amalan-amalan yang mengarah pada pemujaan berlebihan
terhadap Sheikh Abdul Qadir Jaelani, Terlepas kritiknya terhadap tarekat, Hamka, seperti
dikemukakan di atas, merupakan penganjur dan sekaligus pengamal tasawuf (yang
mementingkan sisi rohani) dalam kehidupan sehari-hari. Ini pulalah yang mendekatkan Hamka
dengan kalangan warga NU. Bahkan terhadap kalangan NU, ia dikenal sangat toleran. Meskipun
ia seorang tokoh Muhammadiyah, tapi saat menjadi imam salat Subuh di masjid sering memakai
qunut manakala ia tahu banyak warga NU yang ikut berjamaah. Dari puluhan buku yang
ditulisnya, Hamka juga tampak sengaja menghindar dari membahas masalah-masalah furi'iyah
(cabang), yang seringkali menjadi perdebatan tajam antara kalangan Muhammadiyah dan NU.
216
BAB V
P E N U T UP
A. Kesimpulan
Muhammadiyah secara formal memang menolak tashawwuf, karena tashawwuf, menurut
Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat
ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang
dipunyai NU. Tapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tashawwuf dan dzikir tidak dilakukan warga
Muhammadiyyah. Amalan-amalan tashawwuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik
individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat
menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta
mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai hari ini sikap hidup yang demikian masih
terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.
Secara umum hasil penelusuran landasan dasar muhammadiyah tidak dijumpai
adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU,
yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan
ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Secara umum terdapat tiga sikap dikalangan
intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara
total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif
217
1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf
Kelompok yang menolak ini beranggapan beribadah adalah suatu
konsep yang sudah paten dan tidak boleh mengada-ada. Apabila kedua hal ini
yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif
Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah
Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada
konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka
hal tersebut tidak boleh dilakukan. Penolakan terhadap tasawuf juga dikarenakan
tasawuf tidak ditemukan dan dirumuskan dalam Islam. Rumus dasarnya adalah
segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan terdapat dalam Qur’an
dan Sunnah maka itulah yang dilakukan. Sebagai contoh adalah bacaan takbir
tahmid sebanyak 33 kali setelah ba’da Isya, ini boleh dilakukan dikarenakan
sesuai ajaran Rosulullah tetapi bacaan Ya Latif sebanyak 33 kali itu tidak ada
dalam Islam. Sikap penolakan terhadap tasawuf juga didasarkan atas rumusan
dasar bahwa ijtihad dalam bidang ibadah adalah kharam. Berijtihad hanyalah
untuk aspek-aspek dunyawiyah. Muhamadiyah yang diamalkan tidak boleh
lepas dari landasan dasar perserikatan terutama Muqodimah Anggaran Dasar,
MKCHM, Pedoman Islami Warga Muhammadiyah, dan Kepribadian
Muhammadiyah. Dari kesemua landasan ini, tasawuf tidak dikenal dan sebagai
sesuatu yang dianggap bid’ah dan tidak islami.
2. Bersikap Terbuka terhadap Tasawuf
Kelompok ini beranggapan bahwa konsep tasawuf secara formal tidak
dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan
218
dipahami ia sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang
dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep
dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang
diucapkan sebanyak 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah
untuk memperbanyak dzikir memang ada dalam Islam dengan maksud untuk
lebih memahami suatu amal perbuatan ibadah tertentu tetapi secara khusus
penyebutan angka tidak ada. Dzikir memang dipraktekkan dalam
Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus. Terkait dengan jumlah
dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau
sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan baik
itu kurang atau kelebihan maka tidak maqbul, ini yang tidak diterima dalam
Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau
sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak pas maka tidak dapat
digunakan untuk membuka, ini dinilai kelompok ini sebagai sesuatu yang tidak
berdasar.
Tasawuf dalam perspektip kelompok ini adalah mengamalkan apa yang
oleh HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, dapat
dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam aplikasinya diserahkan menurut
pribadi masing-masing dan dalam bentuk perbuatan yang dalam Muhammadiyah
disebut dengan amal usaha baik berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi,
rumah sakit dan lain sebagainya. Kelompok ini mengakui ada kesan
Muhammadiyah mengalami kegersangan bacaan-bacaan dzikir tetapi
sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam Muhammadiyah, yang ditolak
219
hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini dikarenakan dalam Muhammadiyah
tawasul tidak melalui orang perorang melainkan melalui amal berbuatan.
3. Akomodatif terhadap Tasawuf
Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan
oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci”
sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam
Muhammadiyah menurut kelompok ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik” yang terlembaga dalam konsep “akhlak,
ikhsan dan irfan”. Penolakan tasawuf dalam Muhammadiyah selain tidak mendapat legalitas dalam Qur’an dan Sunnah
juga karena adanya asketisme dalam kelompok-kelompok tertentu dalam tasawuf. Tasawuf dalam muhammadiyah
adalah tasawuf modern HAMKA yang lebih subtantif.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis paparkan di sini adalah sebagai berikut:
Kesimpulan di atas, janganlah dijadikan pedoman final, tetapi sebagai landasan awal
untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga upaya pembaharuan pemahaman
Islam perlu dilakukan secara terus menerus supaya lebih dinamis dan akomodatif
terhadap persoalan peradaban dan realitas masyarakat.
C. Penutup
Terakhir penulis bersyukur kepada Tuhan, atas rencana hidup dan
keridoannya yang mempertegas keyakinan penulis bahwa garis taqdir memang
sudah tersuratkan dan manusia tinggal meniti sesuai petunjuk dan pertolongan-Nya.
Ungkapan ini penting untuk melukiskan betapa sulit dan beragam kebingungan serta
tantangan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan penelitian ini realitas
kehidupan yang terus bergulir. Semoga dengan segala keterbatasan hasil penelitian
ini dapat bermanfaat dan mampu sebagai pemicu awal dalam studi tentang Kompas
dan media pada umumnya untuk menemukan ritual lain dari kajian keislaman
selama ini. Amin.
220
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 1996, Studi Agama: Normativitas Atau Historisitas, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar Abdurrahman, Moeslim Dkk. 1999, Islam, Masyarakat Madani Dan Demokrasi,
Surakarta, Muhammadiyah University Press. Abu Zaed,, Nasr Hamid, 1997, Imam Syafi` : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, Terj.
Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS. Aceh, Abubakar, 1985, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, ---------------------, 1984,Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, Al-Afifi, Abu A’la, 1989, Filsafat Mistic Ibn Arobi, Terj. Syahrir Mawi Dan Nandi
Rahman, Jakarta: Gaya Media Pratama, Al-Faruqi Ismail Raji, Dan Louis Lamya Al Faruqi, 1998, Atlas Budaya Islam,
Bandung: Mizan, Alfian, Alfan, 1989, The Muhammadiyah Political Behavior Of A Moslem Modernits
Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
221
Ali, Yunasri, 2002., Jalan Kearifan Sufi : Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,
---------------, 2003, Jatuh Hati Pada Ilahi, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,.
--------------, 1997, Manusia Citra Ilahi : Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi Oleh Al Jili, Paramadina, Jakarta,.
---------------, 2003, Ruh Dan Jenjang-Jenjang Rohani, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Ansori, Afif, 2003, Dzikir Dan Kedaamaian Jiwa : Solusi Tasawuf Atas Persoalan Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian , PT Rineka Cipta, Jakarta
At-Taftazani, Abu el Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,
Al-Kalabazi, 1969, Al-Taa’rruf Limadzahabi Ahli Al-Tasawwuf, Cairo: Maktabah Al
Kulliyat Al-Azhariyah, Al-Qusyairi, Tt , Risalah Al-Qusairiyah Fi Ilm Al Tasawuf, Beirut: Dar Al-Khoir Al-Suhrawardi, 1358 H , Awarif Al-Ma’arif, Cairo: Maktabah Al-Alamiyah, Al-Taftazani, Abu Al Wafa, 1979, Madkhol Ila Al Tasawuf Al Islam, Kairo: Dar Al
Shaqofah, Amal, Taufiq Adnan, 1989, Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rachman, Bandung: Mizan, Amstrong, Amanullah, 1996, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, Anshori, Afif, , 2003, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf Atas Persoalan
Manusia Modern, Jogyakarta: Pustaka Pelajar
Arberry, AJ., 1988, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj Bambang Herawan, Bandung: Mizan
-----------------, 1979, Sufism: An Account Of The Mystic Of Islam, London: Unwin Paperboche
222
Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian , PT Rineka Cipta, Jakarta,
Assyaukanie, Luthfi, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Dalam
Jurnal Paramadina, 2/4/2000 Asykuri Dkk. 2003, Purifikasi Dan Reproduksi Budaya Di Pantai Utara Jawa,
Surakarta: PSB-PS UMS
At-Taftazani, Abu El Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama Dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,.
Azhar, Muhammad, Dan Hamim Ilyas (Ed.), 2000, Pengembagan Pemikiran Keislaman
Muhammadiyah: Purifikasi Dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI UMY Basyuni, Ibrahim, 1969, Nasyaih Al-Tashawwuf Fi Al Islami, Kairo: Dar Al-Maarif, Burhani, Ahmad Najib, 2002, Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf
Positif, Jakarta: Hikmah Bazur Ilahi, Syaikh Ibrahim, 1986, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al Hallaj:
Anal Haqq, Terj. Jobar Ayoeb, Jakarta : Rajawali, Beck. HL Dan NJE. Kaptain (Ed.), 1988, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum,
Filosofi, Teologi Dan Mistic Dalam Tradisi Islam, Jakarta: INIS, Bergin, Allen E., “Psikoterapi And Nilai-Nilai Religius”, Jurnal Ulumul Al Qur’an,
Nomor 4 Vol. V, Tahun 1995
Burhani, Ahmad Najib, 2002., Tarekat Tanpa Tarekat : Jalan Baru Menjadi Sufi, Serambi, Jakarta
Coulson`S, Noel J, 1983, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, Jakarta: P3M,
Damami, Muhammad, 2000, Tasawuf Positif : Dalam Pemikiran Hamka, Fajar Pustaka, Yogyakarta,
Effendi, Djohan, 1993, Sufisme Dan Masa Depannya, Jakarta: Pustaka Firdaus, Ensiklopedi Islam Tematis, 2004, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoove,
223
Fariza, 2003, Islam Bukan Agama Misionaris Tapi Agama Peradaban, Jakarta, Ma’arif Institute.
Fauzan, Sholeh, 1998, Haqiqout Tashawwuf Wa Mauqifush Shufiyah Min Ushulil
Ibadah Wa Addin, Terj. Muhammad Ali Ismah, Solo: Pustaka As-Shof, Haeri, Syaikh Fadhlullah, 2000, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj. Ibnu Burdah,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Hallaq, Wael B., 2000, Sejarah Teori Hukum Islam, Terj. , Jakarta: Rajawali Pers, HAMKA, 1971, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ------------, 1980, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, -------------, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, HAR. Gibb, 1964, Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Barata,
Hawwa, Said, 1408 H, Tarbiyatunur Ruhiyah, Darus Salam, Mesir,
Hidayat, A., “Tasawuf Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Serta Pandangan Ulama”, Jurnal
Khasanah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 1 No. 3 Januari-Juni, 2003
Hidayat, Komarudin, 1985,“Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap
Manusia Modern”, Dalam Dawam Raharja (Ed), Insan Kamil, Jakarta: Grafida Press,
Hisyam, Muhammad, , 2001, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under
Dutch Colonialism Administration 1882–1942, Jakarta: INIS Iqbal, Muhammad, 1981, Recontruction Of Religions Thought In Islam, New Delhi:
Nasrat Ali Nasri Of Kitab Bavan,
Isa Walay, Muhammad, 1989, Fikr Dan Dzikir Dalam Sufisme Persia Awal, Terj. Ribut Wahyudi, Pustaka Sufi,
Khaldun, Ibn, Al Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr, Tt KHR. Hadjid, 1996, Ajaran K. H. Ahmad Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat–Ayat Al
Quran, Semarang: PWM Jawa Tengah, ,
224
Manrihu, Muhammad Tayib, 1992, Penyuluhan Bimbingan Dan Konseling Karir, Bumi Aksara, Jakarta,
MT. Arifin, 1987, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Bumi Aksara,
Mubarak, Ahmad, 2000, Jiwa Dalam Al-Qur’an : Sulusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, Paramadina, Jakarta,
Muhaya, Abdul, “Melintas Tingkatan Spiritualitas Melalui Musik”, Disampaikan Dalam
Stadium General Perkuliahan Semester Gasal 2000/2001 Di IAIN Walisongo Semarang Tanggal 1 September 2000
Mulkhan, Abdul Munir, 1989, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan Dan Amal
Usaha, Yogyakarta: Percetakan Persatuan, ----------------------------, 1998, Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat Dalam Masyarakat
Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Nafies, Muhammad Wahyuni (Ed), 1996, Rekonstruksi Dan Renungan Religius Islam,
Jakarta: Paramadina, Najati, Muhammad Ustman, 1980, Ilm Al Nafs Fi Hayatina Al Yaumiyah, Kuwait: Dar
Al Qolam,
Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
Nasr, Seyyed Husain, 1993, Islam Dalam Cita Dan Fakta, Terj. Abdurrahman Wahid,
Jakarta: Lapenas, ---------------- , 1980, Living Sufisme, George Allen And Unwin Great Britain, -----------------, 1983, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahyudin,
Bandung: Pustaka, Nasution, Harun, 1995, “Tasawuf”, Dalam Budhi Munawar Rahman, Rekonstruksi
Doktrin Islam Dan Sejarah, Jakarta: Paramadina, ---------------------, 1990, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ---------------------, 1974, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan
Bintang, Nicholson, RA., 1979, The Mystic Of Islam, London And Boston: Routledge And
Kegan Paul,
225
Nurbakhshi, Javad, “Tasawuf Dan Psikoanalisa: Konsep Irodah Dan Transformasi Dalam Psikologi Sufi”, Jurnal Ulumul Al-Qur’an, Nomor 8 Tahun 1991
Nasution, Harun, dkk., 2004, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI, Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Jakarta: .
Othman, Ali Isa, 1998. Manusia Menurut Al Ghazali, Terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung,
Pengurus Pusat Muhammadiyah, 2004, Dakwah Kultural Muhammadiyah, Yogkayarta: Suara Muhammadiyah.
Praja, Juhaya, S., 1995, Model Tasawuf Menurut Syariah : Penerapannya Dalam Perawatan Korban Narkotik Dan Berbagai Penyakit Ruhani, Latifah Press, Tasikmalaya,
Rabbani, Wahid Bakhsh, 1995, Islamic Sufism, Kuala Lumpur: AS. Noordeen, Rachman, Fazlur, Islam, 2000, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, ----------------------, 1993, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin, Bandung:
Pustaka, 1993 ---------------------, 1993, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin, Bandung:
Pustaka, Rachmat, Jalaludin, 1999, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Russell, Bertrand, 1927, Mysticism And Logic, New York: Modern Liberary, Schemmel, Annemarie, 1986, Mystic Dimention In Islam, Terj. Supardi Joko Damono,
Jakarta: Pustaka Firdaus, Shihab, Alwi, 1998, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen Di Indonesia, Terj. Ali Ihsan Fauzi, Bandung: Mizan,
-------------------------, 2001, Al-Tashawwuf Al-Islami Wa Atsaruhu Fi Al-Tashawwuf Al-
Indunisi Al'Mu' Ashir , Terj. Islam Sufistik: "Islam Pertama" Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, Bandung: Penerbit: Mizan,
226
Syafi’i Ma’arif, Ahmad, 1995, Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Syukur, Amin, 1996, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Taimiyah, Ibn, 1986, Tasawuf Dan Kritik Terhadap Filsafat Tasawuf, Terj. Aswadi
Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Trimingham, Spencer, 1971, The Sufi Orders In Islam, New York: Oxford University Umari, Barmawi, 1961, Sistemik Tasawuf, Solo: Ramadhani, Valiudin, Mir, , 1981, The Qur’anic Sufism, New Delhi: Matilal Banarsidas
Van Bruinesenn, Martin, 1992, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan Pustaka Utama, Bandung,.
Zachner, RC., 1969, Hindu And Muslim Mysticism, New York: Socke Book, Zakiyuddin, Baidhowi, Dan M. Jinan, 2002, Agama Dan Pluralitas Budaya Lokal,
Surakarta: PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta, Zuhri, Mustafa, 1979, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu,
Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bastaman, Hanna Djumhana, 1997, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hidayat, Komarudin, 1985,“Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern”, Dalam Dawam Raharja (Ed), Insan Kamil, Jakarta: Grafida Press,
HAMKA, 1971, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ------------, 1980, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, -------------, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, Rachmat, Jalaludin, 1999, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Burhani, Ahmad Najib, 2002, Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf
Positif, Jakarta: Hikmah Bazur Ilahi, Syaikh Ibrahim, 1986, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al Hallaj:
Anal Haqq, Terj. Jobar Ayoeb, Jakarta : Rajawali, Amal, Taufiq Adnan, 1989, Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rachman, Bandung: Mizan,
227
Amstrong, Amanullah, 1996, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, Anshori, Afif, , 2003, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf Atas Persoalan
Manusia Modern, Jogyakarta: Pustaka Pelajar
Arberry, AJ., 1988, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj Bambang Herawan, Bandung: Mizan
Iqbal, Muhammad, 1981, Recontruction Of Religions Thought In Islam, New Delhi: Nasrat Ali Nasri Of Kitab Bavan,
Isa Walay, Muhammad, 1989, Fikr Dan Dzikir Dalam Sufisme Persia Awal, Terj. Ribut Wahyudi, Pustaka Sufi,
Nasution, Harun, 1995, “Tasawuf”, Dalam Budhi Munawar Rahman, Rekonstruksi Doktrin Islam Dan Sejarah, Jakarta: Paramadina,
---------------------, 1990, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ---------------------, 1974, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan
Bintang,
BIODATA PENULIS Nama : H. AHMAD SYA’RONI Tempat Tangal Lahir : Jepara, 10 Februari 1943 Alamat Rumah : Bantrung RT.01 RW. II, Kecamatan Batealit, Jepara Phon. 081 325 025871 Alamat Kantor : Fakultas Dakwah, Inisnu Jepara
Jln. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara, telp/fax: 0291 593132, Email: Inisnujpa@yahoo.co.id
Pengalaman Pekerjaan
1. Dosen IAIN Walisongo Semarang 2. Dosen Undaris 3. Dosen STAIN Kudus
228
4. Pembantu Rektor III Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara 5. Dekan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara
Pengalaman Organesasi
1. Ketua MWC NU Kecamatan Batealit Jepara 2. Anggota Mukhtasyar NU Cabang Jepara 3. Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi Islam NU (Yaptinu) Jepara 4. Ketua Yayasan Pendidikan “Amal Muslimin” Jepara
Lampiran
DAFTAR RESPONDEN No Nama Keterangan 01 Hamzah Sekretaris PDM Kota Semarang
Dosen IKIP PGRI Semarang 02 Suratman Wakil Ketua PDM Kota Semarang 03 Aan Jumeno Wakil Sekretaris PDM Kota Semarang 04 Nurbini Wakil Ketua PDM Kota Semarang
Dosen IAIN Walisongo 05 Harminto Wakil Ketua PDM Kota Semarang 06 Tabri Hasani Wakil Ketua PDM Kota Semarang
Dosen Unimus 07 Hasan asy’ari Ulamai Wakil Ketua PDM Kota Semarang
Dosen IAIN Walisongo
229
08 Rozihan Wakil Ketua PWM Jawa Tengah Dosen Unisula
09 Tafsir Sekretaris PWM Jawa Tengah Dosen IAIN Walisongo
10 Saifudin Waspada Wakil Ketua PWM Jawa Tengah 11 Marpuji Ali Ketua Umum PWM Jawa Tengah
Dosen UMS Surakarta 12 Ahmad Rifai Kepala Divisi Kajian Majalan Cermin PWM
Jawa Tengah Dosen AIS Semarang
13 Arif Rachman Ketua Majelis Tablig PDM Kota Semarang 14 Wahyudi Wakil Ketua PDM Kota Semarang
Dosen IAIN Walisongo 15 Hasan Rifai Wakil Ketua PDM Kota Semarang
Dosen Unimus