Post on 31-Jul-2015
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Buah manggis
Jika diihat dari taksonominya, maka tanaman manggis dapat diklasifikasikan
Dicotyledonae ke dalam:
Divisi : Spermatophyta
Klas : Angiospermae
Sub-klas : Dicotylenae
Ordo : Thalamiflora
Famili : Gutiferales
Genus : Guttiferae
Spesies : Garcinia mangostana
Manggis atau Garnicinia Mangostana L. merupakan buah yang memiliki
kulit tebal, namun mudah dipecah. Biji dengan salut berdaging yang mempunyai
rasa manis asam (Pantastico, 1986). Buah yang berukuran kecil ini mempunyai
kulit yang berwarna coklat sampai keunguan. Sebagian besar kandungan kulit
manggis adalah tanin dan xanton. Di bagian dalam terdapat daging buah manggis
sebanyak 4 hingga 7 buah dengan ukuran yang berbeda-beda (Martin, 1980).
Buah manggis dilapisi oleh kulit yang tebal jika dilihat bagian dalamnya
berwarna ungu. Kulit manggis mengandung senyawa yang rasanya pahit terutama
xanthone dan tannin (Martin, 1980 dikutip Budiarto, 1991). Pada kulit manggis
terdapat pigmen berwarna coklat ungu dan bersifat larut dalam air (Markakis,
1982).
Senyawa lain yang terkandung dalam kulit buah manggis adalah xanthone
yang meliputi mangostin, mangosterol, mangostinon A dan B, trapezifolixanthone,
tovophyllin B, alfa dan beta mangostin, garcinon B, mangostanol, falvonoid
epikatekin, dan gartanin. Senyawa tersebut sangat bermanfaat untuk kesehatan
(Qosim, 2007).
Hasil penelitian ilmiah menyebutkan bahwa kulit buah Manggis sangat kaya
akan anti-oksidan, terutama xanthone, tanin, asam fenolat maupun antosianin.
Dalam kulit buah Manggis juga mengandung air sebanyak 62,05%, lemak 0,63%,
protein 0,71%, dan juga karbohidrat sebanyak 35,61%.
a. Xanthone
Anti-oksidan yang terdapat dalam kulit buah manggis dengan kadar yang
tinggi ini memiliki sifat yang baik dan bermanfaat bagi tubuh, seperti anti-
peradangan, anti-diabetes, anti-kanker, anti-bakteri, anti-jamur, anti-
plasmodial, dan mampu meningkatkan kekebalan tubuh, hepatoprotektif.
b. Tanin
Tanin, senyawa lain yang memiliki aktifitas anti-oksidan yang mampu
menghambat enzim seperti DNA topoisomerase, anti-diare, hemostatik, anti-
hemoroid, dan juga menghambat pertumbuhan tumor dan mampu
membentuk kompleks kuat dengan protein sehingga dapat menghambat
penyerapan protein dalam pencernaan bisa disebut anti-nutrisi.
c. Antosianin
Antosianin memiliki kemampuan sebagai anti-oksidan yang baik dan
memiliki peranan yang penting dalam mencegah beberapa penyakit seperti
kanker, diabetes, kardiovaskuler, dan neuronal. Antosianin merupakan
kelompok pigmen yang terdapat dalam tanaman dan biasanya banyak
ditemukan dalam bunga, sayuran maupun buah-buahan seperti Manggis,
Stroberry, Rasberry, Apel, dan lainnya (deherba.com)
Manggis merupakan salah satu ciri khas buah Asia Tenggara, dan buah unggulan Indonesia yang memiliki peluang ekspor yang cukup menjanjikan. Dari tahun ke tahun permintaan manggis meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen terhadap buah yang mendapat julukan "Queen of Fruits", baik untuk konsumen dalam negeri maupun ekspor. Ekspor manggis di Indonesia mengalami peningkatan. Volume ekspor buah manggis segar dalam 5 (lima) tahun terakhir bervariasi, dan pada tahun 2006 mencapai 5.698 ton senilai 3,6 juta US $. Rata-Rata persentase ekspor manggis dibandingkan ekspor buah total dari tahun 2002 - 2006 adalah sebesar
34,3% (Ditjen Hortikultura, 2008). Peluang ekspor manggis masih terbuka karena pasar buah-buahan termasuk manggis belum dibatasi oleh kuota. Di Indonesia, hingga saat ini buah manggis telah di ekspor ke negara Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia, Jepang, B elanda, dan Arab Saudi. Sebagai komoditas buah ekspor, kualitas buah menjadi faktor yang sangat penting. Kriteria persyaratan manggis untuk ekspor adalah tidak burik, segar, warna sepal hijau segar, jumlah sepal lengkap (dengan toleransi hilang maksimal satu), kulit buah berwarna hijau keunguan sampai merah ungu, tangkai buah berwarna hijau segar dan kulit buah mulus dan tidak terdapat cacat (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2004). Tanaman manggis di Indonesia sebagian besar merupakan warisan leluhur yang telah berumur puluhan tahun dan umumnya kurang terpelihara sehingga produktivitasnya rendah. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman manggis sangat bergantung pada teknik penanaman dan pemeliharaan.
Wilayah andalan manggis di Indonesia salah satunya berada di Jawa Barat. Wilayah andalan manggis di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Purwakarta, Sukabumi, Bogor, Ciamis, dan Cianjur (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2004). Khusus untuk Kabupaten Sukabumi, sentra manggis salah satunya berada di Kecamatan Cikembar. Produksi manggis di Kabupaten Sukabumi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Di Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi permasalahan manggis di tingkat petani adalah masalah produksi dan kualitas buah. Masalah pada kualitas buah adanya getah kuning, burik, dan ukuran buah (size) yang kecil, sehingga menurunkan persentase buah kualitas ekspor. Untuk itu perlu dilakukan introduksi inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah manggis melalui perbaikan teknologi budidaya.
Implementasi inovasi teknologi dilaksanakan di lokasi Prima Tani Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi pada ketinggian tempat sekitar 400 mdpl, dimulai pada Bulan Oktober 2007 sampai April 2008. Penerapan teknologi dilakukan di kebun manggis milik petani, dengan umur tanaman antara 15-20 tahun. Inovasi teknologi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas buah manggis meliputi:
1. Pemupukan
Pemupukan diberikan dua kali setahun yaitu pada awal musim hujan dan akhir masa panen. Pupuk yang diberikan terdiri adalah pupuk organik. Pupuk organik (pupuk kandang domba) diberikan sebanyak ± 100 kg/pohon. Pupuk diberikan dalam larikan sedalam 10-20 cm, melingkari batang dan tepat di bawah tepi tajuk, lalu ditutup tanah dan langsung disiram sehingga cukup basah (lembab). 2. Irigasi tetes Implementasi irigasi tetes dilakukan pada saat tanaman menjelang berbunga hingga perkembangan buah. Teknis irigasi tetes dibuat secara sederhana menggunakan bambu yang dilubangi pada bagian bawahnya dengan paku, kemudian bambu diletakkan di sekeliling tanaman. Bambu diletakkan dengan jarak 1,5 m dari batang tanaman. Bambu diisi air dengan selang waktu 2 hari sekali. Volume air sebanyak 50 liter/pohon.
Pemupukan dibarengi dengan pengairan dilakukan menjelang tanaman mulai berbunga yang ditandai dari penuaan pucuk daun paling ujung dan pembelahan pada batang pada bagian pucuk. Menurut hasil pengamatan di lapangan, tanaman manggis yang diberi perlakuan teknik irigasi dan pemupukan memiliki waktu munculnya bunga lebih cepat ± 2 minggu dibandingkan tanaman manggis yang ada di sekitar kebun yang tidak menerapkan teknologi pemupukan dan irigasi.
Buah manggis dipanen pada umur ± 104 hari setelah bunga mekar. Panen pertama dilakukan pada awal Bulan Maret 2008. Rata-rata umur tanaman yang diamati pada masing-masing perlakuan pemupukan + irigasi, pemupukan tanpa irigasi, dan tanpa pupuk + irigasi berkisar antara 15-20 tahun. Panen dilakukan secara bertahap dengan selang waktu satu hari atau panen dilakukan dua hari sekali.
Tabel 2.Rata-rata Lamanya M asa Panen dan Hasil Manggis di Desa Cikembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Suk7abumi, 2007-2008.
No. PerlakuanRata-rata Lamanya Panen
(kali/pohon)Rata-rata Hasil
(kg/pohon)
1. A 11 28,3
2. B 22 17,8
3. C 55 0,4Dari Tabel 1 diatas diketahui bahwa terjadi perbedaan rata-rata hasil buah per pohon, dimana tanaman manggis yang diberi perlakukan pemupukan + irigasi (A), pemupukan saja (B), dan tanpa pupuk + irigasi (C). Tanaman manggis yang menerapkan teknik pemupukan dan irigasi tetes lebih tinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya, yaitu rata-rata hasil/pohon yang diperoleh sebesar 28,3 kg dari sebelas kali panen. Sedangkan rata-rata hasil/pohon yang diperoleh dari tanaman manggis yang hanya menerapkan pemupukan saja dan tanpa menerapkan teknik
pemupukan + irigasi diperoleh hasil yang lebih rendah, masing-masing yaitu 17,8 kg/pohon dan 0,4 kg/pohon.
Dari setiap hasil panen dilakukan grading atau pengkelasan. Grading dilakukan untuk memilah antara kualitas buah super dan BS . Grading dilakukan berdasarkan kriteria ukuran buah, panjang tangkai, kemulusan buah (kulit burik atau tidak), dan a danya getah kuning di dalam daging buah. Penerapan teknologi pemupukan dan irigasi tetes pada tanaman manggis berpengaruh terhadap kualitas buah manggis yang dihasilkan terutama menurunkan persentase buah yang mengalami getah
kuning. Persentase rata-rata perolehan buah manggis dengan kualitas super yaitu 40 %, sedangkan kualitas BS sebesar 60% (Tabel 2). Pada tanaman manggis yang menerapkan teknik pemupukan dan irigasi tetes (A) rata-rata hasil buah dengan kualitas super sebanyak 12,5 kg/pohon (43,4 %). Sementara tanaman manggis yang hanya
menerapkan pemupukan (B) diperoleh hasil buah dengan kualitas super sebesar 7,1 kg/pohon (40 %), sedangkan tanpa perlakuan pupuk dan irigasi (C) sebesar 0,14 kg/pohon (40 %). Padahal pada musim panen tahun 2006/2007, rata-rata hasil buah manggis dengan kualitas super sebesar 10-15 % dari total panen. Artinya melalui penerapan inovasi teknologi irigasi tetes pada musim panen 2007/2008 terjadi peningkatan buah kualitas super menjadi 40-43% (meningkat 28-30 %).
Tabel 2.Rata-rata Kualitas Hasil Buah Manggis di Desa Cikembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, 2007-2008 (per Pohon)
No. PerlakuanRata-rata
kualitas super (kg)
% SuperRata-rata
kualitas BS (kg)
% BS
1. A 12,5 43,4 15,8 56,8
2. B 7,1 40,0 10,7 60,0
3. C 0,14 40,0 0,21 60,0
http://jabar.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/info-teknologi/14-alsin/64-manggis-
garcinia-mangostana-l-
2. Zat warna
Zat warna alam (pigmen) adalah zat warna yang secara alami terdapat
dalam tanaman maupun hewan. Zat warna alam dapat dikelompokkan sebagai
warna hijau, kuning, dan merah. Penggunaan zat warna alam untuk makanan
dan minuman tidak memberikan kerugian bagi kesehatan, seperti halnya zat
warna sintetik yang semakin banyak penggunaannya. Diantara zat warna sintetik
yang sangat berbahaya untuk kesehatan sehingga penggunaannya dilarang
adalah zat warna merah rhodamin B.
Di Indonesia kecenderungan penyalahgunaan pemakaian zat pewarna
sintetis untuk berbagai bahan pangan, misalnya zat warna untuk tekstil dan kulit
dipakai untuk mewarnai bahan makanan. Hal ini sangat berbahaya bagi
kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut
(Winarno, 2002).
3. Pewarna makanan
Warna untuk bahan makanan dan minuman dapat memperbaiki atau
memberi daya tarik pada makanan dan minuman yang disajikan. Menurut PDA
(Food Drug Administration) zat warna tambahan adalah pewarna yang bisa dibuat
secara sintetis (kimiawi) atau dari bahan alami, seperti tanaman, hewan, mineral,
dan bahan-bahan lainnya yang diekstraksi, diisolasi, yang bisa ditambahkan dalam
bahan makanan dan minuman, obat-obatan, serta kosmetik tanpa merubah
identitas jenisnya.
Salah satu unsur kualitas sensori yang paling penting untuk makanan adalah
warna. Meski bau, rasa, dan tekstur menarik namun jika warna tidak menarik
maka makanan tersebut kurang diminati. Pada pengolahan bahan makanan
modern, bahan pewarna sering ditambahkan untuk memperkuat warna asli
makanan yang bersangkutan atau merupakan satu-satunya warna penentu dari
makanan tersebut. Pewarna tersebut bisa merupakan bahan sintetik maupun
ekstrak zat warna alami yang telah dimurnikan. Setiap bahan olahan yang diberi
warna, maka warna olahan tersebut dinyatakan artificial atau buatan, tidak
tergantung apakah bahan yang ditambahkan adalah alami atau sintetik
(Tranggono, 1989).
Pembuatan pewarna alami dari bahan baku tumbuhan dan hewan selalu
dilakukan proses pemisahan warna dari bahan pangan dengan beberapa metode
diantaranya metode ekstraksi.
4. Metode ekstraksi
Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah
obat dan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut
kedalam pelarut tersebut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan atau
dikeringkan. Tiap bahan mentah obat disebut ekstrak, tidak hanya mengandung
satu unsur saja tetapi berbagai macam unsur, tergantung pada obat yang
digunakan dan kondisi dari ekstraksi (Ansel, 1989).
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan (Depkes,2000).
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi,
perkolasi, soxhletasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan mentah obat, dan daya penyesuaian dengan tiap macam
metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna
(Ansel, 1989).
5. Pelarut
Menurut Guenther (1987) pelarut adalah salah satu faktor yang
menentukan dalam proses ekstraksi sehingga banyak faktor yang harus
diperhatikan dalam pemilihan pelarut. Pemilihan pelarut pada umumnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
1. Selektifitas
2. Kelarutan
3. Reaktifitas
4. Titik didih
5. Kriteria yang lain
Pelarut yang seringkali digunakan untuk mengekstrak antosianin
adalah etanol, metanol, isopropanol, aseton, atau dengan air (aquades) dalam
kombinasi dengan asam, seperti asam klorida, asam asetat, asam format, atau
asam askorbat (Hidayat dan Saati, 2006).
Menurut Ketaren (1985), syarat-syarat pelarut yang digunakan dalam
ekstraksi adalah sebagai berikut:
1. Dapat melarutkan komponen dalam bahan secara selektif, cepat dan optimal,
serta sesedikit mungkin melarutkan bahan pengotor seperti lilin, pigmen dan
senyawa albumin.
2. Mempunyai titik didih yang tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Hal ini
terutama berkaitan dengan pengambilan kembali pelarut melalui evaporasi.
Pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi hanya dapat diuapkan dengan
menggunakan suhu tinggi sehingga selain membutuhkan energi yang besar
juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan ekstraksi. Sedangkan suhu
yang terlalu rendah dapat mengakibatkan kehilangan pelarut.
3. Tidak larut dalam air.
4. Bersifat inert terhadap bahan baku, sehingga tidak bereaksi dengan komponen
yang diekstrak.
5. Mempunyai titik didih yang seragam agar tidak meninggalkan residu dalam
bahan pangan.
6. Harga pelarut harus serendah mungkin serta tidak mudah terbakar.
Contoh:
Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O, satu molekul air
tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu
atom oksigen. Zat kimia ini merupakan suatu pelarut yang penting, yang
memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya seperti
garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul
organik. Air sering disebut sebagai pelarut universal karena air merautkan
banyak zat kimia. Air berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair
dan padat di bawah tekanan dan temperatur standar. Dalam bentuk ion, air
dapat dideskripsikan sebagai sebuah ion hidrogen (H+) yang berasosiasi
dengan sebuah ion hidroksida (OH-). Air adalah pelarut yang kuat,
melarutkan banyak jenis zat kimia (Wikipedia, 2009).
6. Metode nanopartikel
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mensintesis material
berukuran nano:
a. Plasma arcing
b. Chemical vapour deposition (deposisi uap kimia)
c. Electro deposition
d. Sintesis sol-gel
e. High energy milling (HEM)
f. Nanolithography
g. Use of natural nanoparticles
Diantara metode-metode yang tersedia di atas, HEM mempunyai
keuntungan: mudah/sederhana, relatif tidak mahal, dapat diterapkan untuk
semua jenis material, dan mudah diperbesar ke skala produksi. Itu sebabnya
dalam percobaan ini kita menggunakan metode HEM untuk mendapatkan partikel
yang berukuran nano.