Post on 23-Aug-2019
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA KUA SE-KOTA
YOGYAKARTA TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM PERKAWINAN PADA
PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA
STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
YUSUF ADI PUTRA
NIM: 14350011
PEMBIMBING:
Dr. SAMSUL HADI, M.Ag
NIP: 19730708 2000310 003
HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
ii
ABSTRAK
Perkawinan merupakan sebuah awal dari fase kehidupan baru sebagai
ikatan suami istri yang membutuhkan persiapan matang agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian. Hukum Islam
tidak pernah menentukan pada usia berapa seseorang dipandang telah cukup
matang untuk menikah, sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah
mengatur usia diwajibkan izin orang tua dalam perkawinan yaitu pada usia kurang
dari 21 tahun. Usia tersebut mengindikasikan usia kedewasaan dalam perkawinan
walaupun tidak sedikit yang melakukan perkawinan kurang dari usia 21 tahun.
Realita yang ada ialah seorang yang belum dewasa cenderung kurang dapat
membangun rumah tangga dengan baik, dibandingkan dengan seorang yang telah
dewasa. Di Kota Yogyakarta Perkawinan di bawah usia dewasa dinilai cukup
banyak. Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk meneliti bagaimana tinjauan
Maqāṣid asy-Syarī’ah terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarata
tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan bersifat preskriptif yaitu
suatu analisis penelitian yang ditujukan untuk memberikan preskripsi atau
penilaian yang semestinya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum
dari hasil penelitian. Dalam penelitian ini, data dan informasi bersumber dari
Kepala KUA se-Kota Yogyakarta yang dikumpulkan melalui tiga metode
pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun
pendekatan yang digunakan ialah pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan
yang mengacu pada hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Dalam hal ini
merujuk pada teori Maqāṣid asy-Syarī’ah menurut Asy-Syāṭībī untuk
menganalisis pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta tentang usia
kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974.
Secara umum terdapat tiga pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta
tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 yaitu usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam
perkawinan, kedewasaan dalam perkawinan menjadi hal penting yang harus
dipenuhi, dan usia 21 tahun sebagai usia minimal dalam perkawinan. Jika dilihat
dari kacamata Maqāṣid asy-Syarī’ah, maka pandangan tersebut secara garis besar
telah memenuhi lima aspek kemaslahatan yaitu agama (ḥifẓ ad-dīn), jiwa (ḥifẓ an-
nafs), akal (ḥifẓ al-‘aqli), keturunan (ḥifẓ an-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl). Namun,
sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa kedewasaan
akal atau psikologi menjadi indikator kedewasaan dalam perkawinan karena
sesuai dengan maksud dari izin orang tua dalam perkawinan.
Kata Kunci: Hukum Islam, Kepala KUA, Usia Kedewasaan dalam Perkawinan
vi
Motto
وان ليس لالنسان ال ما سعى
“dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang
telah diusahakannya”
(QS. An-Najm (53): 39)
vii
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan karya sederhana ini kepada:
Kedua Orang tua Tercinta, Bapak Jasan dan Ibu Marini
Kakak-kakakku Yeni Purwati, Lina Dewi Wahyuni, dan adik tersayang Putri Indriani Khotimah
Seorang terkasih yang kelak menjadi penyempurna ibadahku
Dan untuk almamaterku tercinta Program Studi Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan
transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Republik
Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:
158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
Bâ’ B Be ب
Tâ’ T Te ت
Ṡâ’ ṡ es (dengan titik di atas) ث
Jîm J Je ج
Ḥâ’ Ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
Khâ’ Kh ka dan ha خ
Dâl D De د
Żâl Ż zet (dengan titik di atas) ذ
Râ’ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣâd Ṣ es (dengan titik di bawah) ص
Ḍâd Ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ix
Ṭâ’ Ṭ te (dengan titik di bawah) ط
Ẓâ’ Ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
Ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
Gain G Ge غ
Fâ’ F Ef ف
Qâf Q Qi ق
Kâf K Ka ك
Lâm L El ل
Mîm M Em م
Nûn N En ن
Wâwû W W و
Hâ’ H Ha ھ
Hamzah ʼ Apostrof ء
Yâ’ Y Ye ي
B. Konsonan Rangkap
ددةمتع Ditulis muta’addidah
Ditulis ‘iddah ةعد
C. Ta’Marbuṭah di Akhir Kata
1. Bila dimatikan ditulis h
حكمة Ditulis ḥikmah
Ditulis ‘illah ةعل
x
(ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap
dalam bahasa Indonesia, seperi salat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya).
2. Bila diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kedua itu terpisah, maka
ditulis dengan h.
كرامةاألولياء Ditulis Karāmah al-Auliyā’
3. Bila ta’marbuṭah hidup atau dengan harakat fathah, kasrah dan dammah
ditulis t atau h.
Ditulis Zakāh al-Fiṭri زكاةالفطر
D. Vokal Pendek
فعل
Fathah
Ditulis
Ditulis
A
Fa’ala
ذكر
Kasrah Ditulis
ditulis
I
Żukira
يذھب
Dammah Ditulis
ditulis
U
Yażhabu
E. Vokal Panjang
1. Fathah + alif
فال
Ditulis
ditulis
Ā
Falā
2. Fathah + ya’ mati
تنسى
Ditulis
ditulis
Ā
Tansā
3. Kasrah + ya’mati
يمكر
Ditulis
ditulis
Ī
Karīm
xi
4. Dammah + wawu mati
أصول
Ditulis
ditulis
Ū
Uṣūl
F. Vokal Rangkap
1. Fathah + ya’ mati
الزھيلي
Ditulis
ditulis
Ai
az-zuhailī
2. Fathah + wawu mati
الدولة
Ditulis
ditulis
Au
ad-daulah
G. Vokal Pendek Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof
نتمأأ Ditulis A’antum
Ditulis U’iddat أعدت
شكرتمنى ل Ditulis La’in syakartum
H. Kata Sandang Alif + Lam
Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال ,
namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang
yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf
qamariyyah.
1. Bila diikuti Huruf Qamariyyah
Kata sandang yang diikuti oleh Huruf Qamariyyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya
نالقرأ Ditulis Al-Qur’an
Ditulis Al-Qiyās القياس
xii
2. Bila diikuti Huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan Huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf 1 (el) nya.
’Ditulis As-Samā السماء
Ditulis Asy-Syams الشمش
I. Penulisan Kata-Kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut penulisannya.
Ditulis Żawī al-Furūḍ ذويالفروض
Ditulis Ahl as-Sunnah أھلالسنة
xiii
KATA PENGANTAR
الرحيم بسم هللا الرحمن
وبه نستعين على أمور الدنيا و الدين , أشهد أن ال اله اال هللا وحده هلل رب العالمين , الحمد
, اللهم صل وسلم على سيدنا ال شر يك له وأشهد أن محمدا عبده ور سوله ال نبى بعده
جمعين , أما بعدوعلى اله وأصحا به أ محمد
Dengan menghaturkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Tinjuan Hukum Islam terhadap Pandangan Kepala KUA
se-Kota Yogyakarta tentang Usia Kedewasaan dalam Perkawinan pada Pasal 6
ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari zaman jahiliah menuju
zaman yang penuh dengan pencerahan dan semoga kita bisa memperoleh
syafaatnya pada yaumul akhir. Amin.
Penyusun menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A. Ph.D., selaku Rektor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Agus Mohammad Najib, M. Ag., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3. Bapak Mansur, S. Ag., M. Ag., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga
Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
xiv
4. Bapak Dr. Samsul Hadi, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah berkenan meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu dan
membimbing penyusun dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. H. Khoiruddin, M.A., selaku dosen pembimbing
akademik.
6. Terima kasih kepada seluruh dosen jurusan Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yang telah memberikan
ilmunya.
7. Kepada seluruh Kepala KUA beserta staf yang ada di Kota Yogyakarta,
yang telah berkenan memberi pendapat dan data dalam penyusunan
skripsi.
8. Kedua orangtuaku Bapak Jasan dan Ibu Marini yang selalu mendoakan
dan berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anak-
anaknya.
9. Kakak dan Adikku, Yeni Purwati, Lina Dewi Wahyuni dan Putri Indriani
Khotimah yang selalu memberikan dorongan dan motivasi untuk
kelancaran dalam menyelesaikan studi.
10. Kepada teman-teman AS angakatan 2014, yang telah melalui proses
bersama-sama, sehingga mengukir cerita indah bagi hidup penyusun.
11. Kepada teman-teman LIMAPUSAKA (Lingkar Mahasiswa Purbalingga
UIN Sunan Kalijaga) khususnya teman-teman di sekretariatan yang telah
menemani penyusun untuk berjuang di tanah perantauan.
xv
Sebagai manusia biasa penyusun menyadari dalam penyusunan skripsi ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca maupun masyarakat. Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
Yogyakarta, 04 Dzulqa’dah 1439 H
17 Juli 2018 M
Penyusun
Yusuf Adi Putra
NIM. 14350011
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... .... i
ABSTRAK .................................................................................................. .... ii
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI .................................................... .... iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... .... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ............................................... .... v
MOTTO ...................................................................................................... .... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ .... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ .... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ .... xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................... .... xvi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... .... xix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... .... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. .... 1
B. Pokok Masalah ........................................................................... .... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ .... 8
D. Telaah Pustaka............................................................................ .... 9
E. Kerangka Teoritik ....................................................................... .... 14
F. Metode Penelitian ....................................................................... .... 19
G. Sistematika Pembahasan ............................................................ .... 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM
PERKAWINAN DAN MAQĀṢID ASY-SYARĪ’AH .............. .... 26
xvii
A. Tinjuan Umum Usia Kedewasaan dalam Perkawinan ............... .... 26
1. Pengertian Usia Kedewasaan dalam Perkawinan ................... .... 26
2. Asas-asas Perkawinan............................................................. .... 33
3. Usia Kedewasaan dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam .... 35
4. Usia Kedewasaan dalam Perkawinan Menurut Perundang-undangan
............................................................................................... .... 40
B. Gambaran Umum Maqāṣid asy-Syarī’ah ................................... .... 47
1. Pengertian Maqāṣid asy-Syarī’ah ........................................... .... 47
2. Pembagian Maqāṣid asy-Syarī’ah .......................................... .... 48
BAB III GAMBARAN UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
KOTA YOGYAKARTA DAN PANDANGAN KEPALA KUA SE-
KOTA YOGYAKARTA TENTANG USIA KEDEWASAAN
DALAM PERKAWINAN PADA PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
.................................................................................................... .... 56
A. Deskripsi Kantor Urusan Agama (KUA) di Kota Yogyakarta ... .... 56
B. Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tentang Usia
Kedewasaan dalam Perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ..................................... .... 65
C. Draft Tabulasi Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Tentang Usia Kedewasaan dalam Perkawinan pada Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ......... .... 89
xviii
BAB IV TINJAUAN MAQĀṢID ASY-SYARĪ’AH TERHADAP
PANDANGAN KEPALA KUA SE-KOTA YOGYAKARTA
TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM PERKAWINAN
PADA PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ................................ 98
BAB V PENUTUP .................................................................................. .... 114
A. Kesimpulan ................................................................................... .... 114
B. Saran-Saran ................................................................................... .... 116
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ .... 117
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Peraturan Perundang-undangan tentang batas umur anak atau
belum dewasa dan dewasa.
Tabel 2 Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) tentang usia
kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sebuah awal dari fase kehidupan yang baru,
dimana seseorang akan berada pada ikatan suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Sebelum ada
ikatan perkawinan mereka masing-masing hidup sendiri, namun setelah ada
ikatan perkawinan mereka hidup bersama kemudian muncul hak dan kewajiban
tertentu antara satu dengan yang lain dan antara mereka bersama terhadap
masyarakat. Dalam menghadapi fase kehidupan yang baru sebagai ikatan
suami istri tentu membutuhkan persiapan yang matang agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.
Dalam mewujudkan tujuan utama perkawinan yaitu mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tentu
membutuhkan bekal yang cukup guna memudahkan jalan bagi suami dan istri
dalam membina keluarganya. Bekal tersebut ialah kemampuan secara jasmani,
rohani, dan materi. Oleh karena itu, seseorang yang pada usia tertentu telah
mencapai keadaan tersebut dianjurkan untuk menikah, sebagaimana tercantum
dalam surat An-Nūr ayat 32:
وانكحوا االيامى منكم والصلحين من عبادكم واما ءكم1
1 An-Nūr (24): 32.
2
Hukum Islam tidak pernah menentukan pada usia berapa seseorang
dipandang telah cukup matang untuk menikah. Hal ini dimaksudkan antara lain
untuk menjaga keadaan dimana kesiapan biologis setiap orang tidak sama.
Bahkan, setiap daerah dan zaman memiliki perbedaan dengan daerah dan
zaman yang lainnya, yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya
usia kedewasaan seseorang.2 Sedangkan dalam fikih, suatu perkawinan tetap
saja sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, tanpa mengharuskan usia
kedewasaan para calon suami istri. Akan tetapi, aspek kedewasaan seseorang
tidak dapat disampingkan dalam mewujudkan kemaslahatan rumah tangga.
Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator untuk mencapai
tujuan utama perkawinan, yaitu mendapatkan ketentraman dan kasih sayang
dalam mewujudkan kelurga sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana
disebutkan dalam surat Ar-Rūm ayat 21:
ومن ايته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة3
Tujuan utama perkawinan akan tercapai apabila calon pasangan suami
istri telah memenuhi syarat ‘aqil dan baligh. ‘Aqil adalah berakal, mengetahui
atau memahami, sedangkan baligh adalah sampai. Dalam perkawinan, orang
yang telah ‘aqil-baligh adalah orang yang telah sampai pada usia tertentu dan
mampu mengetahui atau memahami hukum pernikahan, serta siap secara
jasmani dan rohani untuk menjalani bahtera rumah tangga. Dengan demikian,
2 H.M. Ghufron, Makna Kedewasaan dalam Perkawinan (Analisis terhadap Pembatasan
Usia Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974), www. academia.edu.com, diakses
24 February 2018.
3 Ar-Rūm (30): 21.
3
orang yang telah ‘aqil-baligh adalah orang yang telah dewasa dan bukan anak-
anak.4
Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan mengenai usia minimal
perkawinan mengemuka seiring dengan aturan-aturan yang ada. Perdebatan
yang melibatkan akademisi dan para pakar yang berkompeten disebabkan
karena tidak adanya kesamaan dalam mengatur batas usia kedewaasaan untuk
menikah. Penentuan batas usia dewasa terkesan tidak konsisten karena antara
undang-undang satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesamaan dan
keterkaitan.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Anak, batas usia seseorang dapat disebut anak ialah kurang dari 18 tahun.5
Batas usia dewasa tersebut, berbeda dengan batas minimal usia perkawinan
yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.6 Perbedaan yang
lain terdapat dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa usia dewasa ialah di
atas usia 17 tahun dan wajib memiliki KTP elektronik.7
4 Rahmani Timorita Yulianti, Benarkah Akil Baligh Sebagai Batas Minimal Usia
Pernikahan?, (Yogyakarta: Kaukaba Dirpantara, 2011), hlm. 9.
5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , Pasal 1 angka (1)
menyebutkan: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan”.
6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1).
7 Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 63 ayat (1) menyebutkan: “Penduduk
4
Peraturan tentang batas usia minimal perkawinan yang tertuang dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah banyak diketahui
oleh masyarakat hingga muncul berbagai diskusi yang berujung pro dan kontra.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan bukan hanya
mengatur tentang batas usia minimal perkawinan. Tetapi juga mengatur tentang
batas usia minimal seseorang harus mendapat izin orang tua untuk menikah
yaitu dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.8
Penentuan usia 21 tahun dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan tidak bertentangan dengan undang-undang lain yang mengatur usia
kedewasaan. Bahkan, penentuan usia 21 tahun melebihi batas usia anak-anak
yang diatur dalam undang-undang lain, seperti Undang-Undang Perlindungan
Anak, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan. Selain itu, beberapa kalangan menilai bahwa usia 21 tahun
atau lebih merupakan usia ideal dalam melangsungkan pernikahan dibanding
usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini didasarkan
dari kematangan dan kemampuan di berbagai segi kehidupan pada usia 21
tahun.
Usia kedewasaan dalam perkawinan menunjukkan bahwa seseorang
telah memasuki cukup dewasa untuk melangsungkan pernikahan karena
perwalian terhadap hak milik anak telah hilang. Perwalian yang dimaksud
Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur
17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el”
8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (2) menyebutkan:
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun
harus mendapat izin orang tua”.
5
meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan. Hal ini dijelaskan pula
dalam Kompilasi Hukum Islam Buku 1 tentang Perkawinan pada Pasal 107
ayat (1) menyebutkan, “Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai
umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.”9
Dengan demikian, penentuan batas usia kurang dari 21 tahun yang
diharuskan mendapat izin dari orang tua dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang No. 1 tentang Perkawinan, mengindikasikan bahwa pemerintah
mengatur usia kedewasaan untuk menikah berada pada usia 21 tahun.
Sedangkan seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun, harus mendapat izin
dari orang tua karena dalam masa perwalian sehingga dianggap belum bisa
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam, “Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.
Perbedaan tentang batas usia minimal perkawinan dan usia kedewasaan
dalam perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan menjadi hal
yang jarang diketahui oleh masyarakat. Masyarakat lebih mengetahui aturan
batas usia minimal perkawinan dibanding batas usia kedewasaan dalam
perkawinan yang diharuskan mendapat izin orang tua. Akibatnya masyarakat
banyak yang menyamakan usia kedewasaan dalam perkawinan dengan batas
usia minimal perkawinan.
9 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 107.
6
Jika melihat fenomena yang ada saat ini, orang tua memberikan izin
dan mendorong anaknya untuk menikah dengan alasan telah memenuhi umur
yang ditentukan undang-undang, sedangkan aspek kedewasaan dan
kemampuan anak diabaikan baik kemampuan akal, materi, ataupun psikis.
Bahkan, keberlangsungan pendidikan anak tidak jarang dikesampingkan.
Menurut data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KemenPPPA) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan perempuan
usia 20-24 tahun yang melakukan perkawinan pada usia anak berdasar pada
Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu usia kurang dari 18 tahun
mengalami dampak yang cukup memprihatinkan terhadap keberlangsungan
pendidikan. Sebesar 94,72% perempuan usia 20-24 tahun tidak bersekolah lagi
karena melakukan perkawinan di usia anak, 0,9% belum pernah sekolah,
sementara yang masih bersekolah hanya 4,38%.10
Realita yang ada ialah seorang yang belum dewasa cenderung kurang
dapat membangun rumah tangga dengan baik, dibandingkan dengan seorang
yang telah dewasa. Hal ini tentu dapat menjadi faktor keretakan rumah tangga,
serta dapat menjadi faktor penyebab perceraian karena belum mampunyai
bekal yang cukup untuk menghadapi permasalahan keluarga.
Terdapat beberapa faktor mempengaruhi orang tua untuk menikahkan
ataupun mengizinkan anaknya untuk menikah tanpa melihat aspek
kedewasaan, seperti faktor adat, kebiasaan, ekonomi, dan lingkungan.
Sedangkan sang anak memegang konsep sami’nā wa aṭa’nā, dimana sang anak
10 “Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan”,
www.kemenpppa.go.id, akses tanggal 4 Juni 2018.
7
patuh terhadap perintah orang tua, termasuk perintah untuk menikah. Hal ini
dapat dilihat dengan sedikitnya permasalahan izin orang tua dalam administrasi
perkawinan di KUA karena izin orang tua sudah didapatkan, sedang
kedewasaan anak diabaikan.
Penelitian ini terfokus pada kemaslahatan batas usia 21 tahun dalam
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengingat pada usia tersebut seseorang berada dalam batasan perwalian
sebagai akibat kedewasaan menurut hukum positif sehingga diperlukan
tinjauan hukum Islam untuk mengetahui terjamin atau tidaknya lima aspek
kemaslahatan manusia dalam usia tersebut. Adapun lima aspek kemaslahatan
manusia ialah agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.
Penyusun mengambil pandangan Kepala Kantor Urusan Agama di Kota
Yogyakarta sebagai bahan utama penelitian karena setiap perkawinan yang
terjadi di Kota Yogyakarta berawal atas persetujuan kepala KUA, maka perlu
diketahui pendapat mereka. Selain itu, Kepala KUA yang sekaligus berperan
sebagai penghulu memiliki ilmu dan pengalaman yang mumpuni tentang
praktik hukum perkawinan.
Alasan penyusun mengambil data di KUA Kota Yogayakarta karena
kondisi masyarakat di Kota Yogyakarta lebih heterogen dibandingkan
kabupaten lain di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga
memunculkan permasalahan yang lebih beragam dalam masyarakat. Perlu
diketahui bahwa jumlah pernikahan di bawah usia 21 tahun yang terjadi di
Kota Yogyakarta pada tahun 2017 yang dilakukan oleh mempelai laki-laki
8
berjumlah 131 orang dan mempelai perempuan berjumlah 270 orang,
sedangkan jumlah pernikahan yang terjadi berjumlah 2290 pernikahan. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah perkawinan di bawah usia 21 tahun atau usia
kedewasaan di Kota Yogyakarta terbilang cukup banyak dan diskusi tentang
upaya pendewasaan usia perkawinan telah banyak dilakukan oleh para
penghulu yang ada di Kota Yogyakarta.
Berdasarkan pemaparan di atas, penyusun merumuskan penelitian
tentang tinjauan hukum Islam terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota
Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan pokok masalah yaitu: Bagaimana tinjauan Maqāṣid asy-Syarī’ah
terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta tentang usia
kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah, maka tujuan penelitian adalah untuk
menjelaskan tinjauan Maqāṣid asy-Syarī’ah terhadap pandangan Kepala KUA
se-Kota Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
9
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
`a. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan terutama
dalam kajian yang berkaitan dengan usia perkawinan.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman dan pengetahuan yang baik bagi masyarakat tentang usia
kedewasaan untuk menikah.
D. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh penyusun,
terdapat beberapa karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan karya ilmiah lain yang
berkaitan dengan tema yang dikaji dalam skripsi ini.
Pertama, tulisan Ali Imron yang berjudul “Perlindungan dan
Kesejahteraan Anak dalam Perkawinan di Bawah Umur”. Tulisan ini
memaparkan bahwa perkawinan di bawah umur pada dasarnya secara normatif
melanggar regulasi perlindungan dan kesejahteraan anak. Sedangkan
dispensasi perkawinan yang diberikan oleh pengadilan dapat membuka
terjadinya perkawinan di bawah umur yang berpotensi menghalangi tujuan dan
hikmah perkawinan sehingga harus diperketat pelaksanaannya karena
bertentangan dengan maksud undang-undang. Hal ini mempertemukan antara
maslahah makro yang menghendaki kesejahteraan anak dan keluarga pada
umumnya dan maslahah mikro yang memperhatikan kepentingan calon
10
pasangan tertentu atas dasar pemikiran bahwa maslahah makro dan mikro tidak
boleh saling merugikan dan harus seimbang.11
Kedua, tulisan Rahma Khairani dan Dona Eka Putri yang berjudul
“Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda”. Tujuan
tulisan ini adalah untuk menguji secara empiris perbedaan kematangan emosi
pada pria dan wanita yang menikah muda. Melalui penelitian terhadap 25
orang pria dan 25 orang wanita yang berusia 18-24 tahun yang menikah muda,
disimpulkan bahwa adanya perbedaan kematangan emosi yang sangat
signifikan pada pria dan wanita yang menikah muda. Dimana pria memiliki
kematangan emosi yang lebih tinggi dibandingkan wanita.12
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Erik Tauvani Somaf yang berjudul
“Pandangan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Kota Yogyakarta Terhadap Batas
Minimal Usia Perkawinan Tinjauan Maslahah”. Pokok permasalahan dalam
skripsi ini ialah bagaiamana pandangan dan alasan tokoh-tokoh
Muhammadiyah Kota Yogyakarta terhadap batas minimal perkawinan dan
bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan tersebut. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian lapangan dengan pendekatan
normatif yuridis. Hasilnya menunjukan bahwa pandangan tokoh-tokoh
Muhammadiyah Kota Yogyakarta terhadap batas minimal usia perkawinan
tinjauan maslahah adalah berbeda-beda. Perbedaan tersebut diklasifikasikan ke
11 Ali Imron, “Perlindungan dan Kesejahteraan Anak dalam Perkawinan di Bawah
Umur”, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 Tahun 2013, hlm. 254., akses tanggal 30 Juli 2018,
http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/article/view/16.
12 Rahma Khairani dan Dona Eka Putri, “Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang
Menikah Muda”, Jurnal Psikologi, Vo. 1, No. 2, Juni 2018, hlm. 136., akses tanggal 30 Juli 2017,
http://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/289.
11
dalam tiga kelompok, yaitu kelompok tekstual, kontekstual, dan moderat.
Namun, demikian sesungguhnya ketiga kelompok tersebut menghendaki
kemaslahatan bagi masyarakat.13
Keempat, skripsi yang disusun oleh Elly Surya Indah dengan judul
“Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Mazhab Dan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Rumusan masalah dalam skripsi ini ialah
bagaimana pandangan ulama fiqih empat mazhab dan UU No. 1 Tahun 1974
mengenai batas minimal usia perkawinan serta relevansi antar pendapat
keduanya. Melalui pendekatan yuridis normatif dan sosiologis, skripsi ini
menerangkan bahwa pendapat antara Imam mazhab dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganai batas minimal perkawinan adalah
sama-sama menekankan pada segi kematangan mental, sedangkan perbedaanya
adalah Imam Mazhab memulai dengan umur dewasa yaitu 9 tahun bagi wanita,
15 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
minimal usia nikah adalah 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.14
Kelima, Muh. Ainun Najib dalam penelitiannya yang berjudul
“Penetapan Usia Perkawinan (Analisis Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak)”. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian
ini ialah, (1) Apa yang melatar belakangi UU Perkawinan dan UU
13 Erik Tauvani Somaf, “Pandangan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Kota Yogyakarta
Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan Maslahah”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
14 Elly Surya Indah, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Mazhab Dan
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
12
Perlindungan Anak dalam menetapkan usia perkawinan. (2) Bagaimana
landasan filosofis antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak dalam
menentukan batas minimal usia nikah. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif, analisis dan komparatif. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (1) menetapkan usia diatas 18 tahun
tidak lagi disebut sebagai seorang anak, sehingga berdasar pasal tersebut usia
16 tahun bagi wanita yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganai batasan usia perkawinan
merupakan usia anak-anak . Namun, usia minimal yang baik untuk
melangsungkan sebuah pernikahan pada dasarnya adalah yang bisa
memberikan memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.15
Keenam, penelitian milik Moh. Alex Fawzi yang berjudul “Batas Usia
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kesehatan Reproduksi”.
Dalam penelitian ini memuat penjelasan tentang dampak pernikahan anak-anak
bagi kesehatan reproduksi dan tinjauan hukum Islam terhadap usia ideal
perkawinan menurut kesehatan reproduksi. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan ushul fiqh dengan kaidah yang digunakan
adalah sadd adz-dzarī’ah, yaitu pencegahan terhadap segala sesuatu yang
membawa mafsadah. Dalam UU Perkawinan memperbolehkan menikah bagi
perempuan ketika usia 16 tahun, namun usia 16 tahun masih dalam kategori
15 Muh. Ainun Najib, “Penetapan Usia Perkawinan (Analisis Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak)”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
13
anak-anak yang belum matang kondisi alat reproduksinya, serta secara fisik
dan mental belum siap untuk menjalani konsekuensi pernikahan.16
Ketujuh, studi yang membahas tentang usia perkawinan seperti skripsi
yang ditulis oleh Muhammad Khamim dengan judul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Usia Perkawinan Menurut Imam Syafi’i”. Skripsi ini menjelaskan
tentang bagaimana pandangan dan istinbāṭ Imam Syafi’i tentang usia
perkawinan ditinjau dari hukum Islam. Penelitian ini mengambil kesempulan
bahwa inti dari metode istinbāṭ hukum Imam Syafi’i yaitu posisi “tengah” yang
dapat dilihat dalam dasar-dasar mahzabnya dan fikih Imam Syafi’i secara tidak
langsung membatasi minimal usia perkawinan adalah 15 tahun untuk laki-laki
dan 9 tahun untuk perempuan. Skripsi ini merupakan penelitian literer (library
research) dengan mengambil data primer dari Kompilasi Hukum Islam dan
kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i.17
Berdasarkan penelusuran pustaka berupa skripsi telah banyak yang
membahas tentang usia perkawinan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974. Namun sejauh pengetahuan penyusun belum ada
dalam bentuk skripsi yang pembahasannya menitikberatkan pada usia
kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
16 Moh. Alex Fawzi, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Kesehatan Reproduksi”,
skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
17 Muhammad Khamim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Usia Perkawinan Menurut
Imam Syafi’i”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013.
14
E. Kerangka Teoritik
Kehidupan rumah tangga yang kokoh dalam perkawinan menjadi syarat
penting bagi kesejahteraan keluarga. Maka dengan itu, persiapan untuk
membentuk sebuah keluarga menjadi sangat penting untuk mewujudkan tujuan
perkawinan. Persiapan yang dibutuhkan ialah persiapan jasmani, akal, dan
materi sehingga tercapainya calon suami-isteri yang masak jiwa raganya.
Masak jiwa raga yang dimaksud dalam persiapan membina rumah tangga
merujuk pada usia kedewasaan seseorang.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai dasar peraturan perkawinan
di Indonesia tidak menentukan usia kedewasaan secara tegas dan jelas.
Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur secara tegas dan jelas mengenai
batas usia minimal perkawinan yaitu pria berusia 19 tahun dan wanita berusia
16 tahun. Namun, peraturan tersebut tidak mengindikasikan usia kedewasaan
seseorang, sedangkan hukum Islam tidak mengatur dengan jelas dan tegas usia
minimal dalam perkawinan.
Syari’at Islam hanya memberi batasan seseorang telah mencapai usia
nikah, yaitu ketika baligh atau rusyd (cakap atau pandai). Baligh merupakan
fase perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa dalam bentuk fisik atau
biologis maupun non biologis. Gejala-gejala balig bagi seorang anak laki-laki
yang dapat diketahui yaitu mengalami ihtilam atau mimpi basah, yaitu
15
keluarnya mani. Gejala baligh bagi anak perempuan yaitu dia akan mengalami
menstruasi.18 Istilah rusyd terdapat dalam Surat an-Nisā ayat 6:
19فان انستم منهم رشدا فادفعوا اليهم اموا لهم
Menurut Abu Hanifah bahwa dewasa yang dimaksud dengan istilah
rusyd ( رشد ) dalam surat an-Nisā ayat 6 ialah sanggup bertindak dengan baik
dalam mengurus harta dan manafkahkan harta itu sesuai dengan pikiran yang
waras, tindakan yang bijaksana, dan peraturan agama.20 Dengan kata lain,
rusyd merupakan bentuk pendewasaan akal atau mental, yaitu manusia mampu
untuk mandiri dalam mengurus harta miliknya dan bertanggung jawab terhadap
diri sendiri. Namun, Syari’at Islam tidak memberikan batasan umur secara
pasti dan konkrit yang dinyatakan dengan bilangan angka.
Dalam hukum positif, peraturan tentang usia perkawinan diatur dalam
dua pasal yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan, “Untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun
harus mendapat izin orang tua”.21 Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan,
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
18 Dadan Muttaqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. ke-1
(Yogyakarta: Insania Citra Pres, 2006), hlm. 23.
19 An-Nisā (4): 6.
20 Zakariya Ahmad al-Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hlm. 116.
21 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (2).
16
tahun”.22 Dua aturan tersebut mengatur tentang batas usia minimal untuk dapat
menikah (Pasal 7 ayat (1)) dan batas usia maksimal perkawinan yang harus
mendapat izin orang tua (Pasal 6 ayat (2)). Jika dua peraturan tersebut tidak
dipenuhi maka perkawinan tidak bisa dicatatkan dan tidak dapat dilaksanakan,
karena aturan usia perkawinan dan izin orang tua tersebut merupakan syarat
perkawinan menurut hukum positif. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka dapat mengajukan dispensasi dari pengadilan.
Pemberlakuan peraturan tentang usia perkawinan merupakan bentuk
dari prinsip Undang-Undang Perkawinan yaitu calon suami istri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dengan kata lain, undang-undang
menghendaki perkawinan dilakukan pada usia dewasa, sedangkan dalam
Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang usia minimal perkawinan,
pihak perempuan masih dalam masa anak-anak yang belum siap dari segi
psikis. Di sisi lain, justru peraturan tentang usia kurang dari 21 tahun
diharuskan mendapat izin orang tua untuk menikah, menunjukan seseorang
telah masuk usia dewasa yaitu usia lebih dari 21 tahun. Hal ini dikarenakan
seseorang yang berumur lebih dari 21 tahun tidak diharuskan izin orang tua
dalam menikah. Dengan kata lain, hak perwalian atas pribadi anak dan harta
benda anak telah lepas, sedangkan perwalian hanya berlaku untuk anak-anak.
22 Ibid., Pasal 7 ayat (1).
17
Peraturan tentang batas usia perkawinan yang diwajibkan izin orang tua
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diperkuat oleh Kompilasi Hukum
Islam Pasal 15 ayat (2) yang berbunyi,”Bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam
pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974”.23 Maksudnya bukan
berarti orang tua ikut campur tangan terhadap hak asasi dari kedua calon
mempelai, akan tetapi karena kondisi anak masih dalam masa transisi menuju
kedewasaan sehingga perananan dan bimbingan orang tua sangat penting.24
Penelitian ini menggunakan teori Maqāṣid asy-Syarī’ah yang berarti
maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia
seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di
hari yang baqa (kekal)25, ini berdasarkan surat Al-Anbiyā ayat 107:
26وما ارسلنك اال رحمة للعلمين
Asy-Syāṭibī mengemukakan bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum
Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat.27
23 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 15 ayat (2).
24 Dadan Muttaqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. ke-1, hlm.
63.
25 Zain Dahlan, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 65.
26 Al-Anbiyā (21): 107.
27 Abī Isḥāq Ībrāhim bin Mūsa bin Muhammad al-Lakhmī Asy-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt Fī
Usūl asy-Syarī’ah, (Kairo: Al-Hayah al-Miṣrīyah al-Āmmah, 2006), juz II, hlm. 4.
18
Kemaslahatan itu akan terwujud dengan cara terpeliharanya tiga macam
kebutuhan manusia, yaitu bersifat dharūriyyāt, ḥājiyyāt, dan taḥsīniyyāt.28
1. Kebutuhan dharūriyyāt, yaitu syari’at menjadi tiang untuk menegakkan
berbagai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Jika tiang-tiang syari’at
tersebut tidak ditegakkan dan dilaksanakan, maka kemaslahatan dunia dan
akhirat itu akan hilang dan tidak akan terwujud. Adapun jumlah tujuan yang
bersifat dharūriyyāt itu menjadi lima bagian: agama (Ḥifẓ ad-Dīn), jiwa
(Ḥifẓ an-Nafs), akal (Ḥifẓ al-‘Aqli), keturunan (Ḥifẓ an-Nasl), dan harta
(Ḥifẓ al-Māl).29
2. Kebutuhan ḥājiyyāt adalah sebagai sesuatu yang dibutuhkan guna
menghilangkan kesempitan yang secara lahiriah kesempitan tersebut
mendatangkan kepayahan dan menimbulkan kesusahan, karena tidak
didapatnya yang dituntut.30
3. Kebutuhan taḥsīniyyāt adalah mengambil sesuatu yang baik dalam adat
kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengotori akalnya.
Mengenai sesuatu yang baik dan buruk ini terakomodasi dalam
perbincangan akhlak.31
28 Ibid., hlm. 6.
29 Ibid., hlm. 8.
30 Yusuf al-Qaraḍawi, Membumikan Syari’at Islam, alih bahasa Muhammad Zakki dan
Yasir Tajid, cet. ke-1 (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hlm. 59.
31 Abī Isḥāq Ībrāhim bin Mūsa bin Muhammad al-Lakhmī Asy-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt Fī
Usūl asy-Syarī’ah, juz II, hlm. 9.
19
Imam Asy-Syāṭibī menjelaskan bahwa kemaslahatan agama dan dunia
itu tegak di atas pemeliharaan dharūriyyāt (tujuan primer). Jika tujuan
dharūriyyāt itu hilang dan tidak terpelihara, maka dunia tidak akan terwujud.
Begitu pula perkara akhirat yang tidak akan ada tanpa adanya dunia.32
Apabila kelima unsur pokok yang terdapat dalam dharūriyyāt dapat
terpelihara, maka tujuan perkawinan sebagai tujuan primer (dharūriyyāt ) akan
terwujud. Kaitannya dengan usia kedewasaan dalam perkawinan, maka
penentuan usia 21 tahun pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 sebagai usia kedewasaan dalam perkawinan merupakan upaya untuk
menghilangkan kesusahan dalam mewujudkan tujuan utama perkawinan
(ḥājiyyāt). Selain itu, kedewasaan dalam perkawinan dapat menjadi kebutuhan
utama (dharūriyyāt) apabila memenuhi lima aspek kemaslahatan yaitu agama,
akal, jiwa, keturunan, dan harta sehingga dapat menegakakan kemaslahatan
dalam perkawinan serta mencegah kerusakan dalam perkawinan. Dalam rangka
terwujudnya keluarga yang bahagia dan kekal serta mencegah perceraian, maka
perlu dilakukan kajian tentang peraturan tersebut. Apakah peraturan tentang
usia kedewasaan dalam perkawinan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
telah memenuhi memenuhi lima aspek kemaslahatan atau justru menimbulkan
madharat.
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
32 Yusuf al-Qaraḍawi, Membumikan Syari’at Islam, alih bahasa Muhammad Zakki dan
Yasir Tajid, cet. ke-1, hlm. 59.
20
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dari
data yang diperoleh dari fakta-fakta yang ada di lapangan dengan tujuan
untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam masyarakat.33 Dalam
hal ini, data dan informasi diperoleh dari Kepala Kantor Urusan Agama se-
Kota Yogyakarta.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini menggunakan metode preskriptif yaitu suatu
analisis penelitian yang ditujukan untuk memberikan preskripsi atau
penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang semestinya menurut
hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.34
Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mengetahui penilaian atau
pandangan Kepala KUA di Kota Yogyakarta terhadap Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan menganalisisnya menggunakan
teori Maqāṣid asy-Syarī’ah.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam skripsi ini adalah Kantor Urusan Agama
(KUA) di Kota Yogyakarta yang terdiri dari 14 (empat belas) KUA yaitu
KUA Kec. Gedongtengen, KUA Kec. Pakualaman, KUA Kec. Danurejan,
KUA Kec. Kraton, KUA Kec. Ngampilan, KUA Kec. Umbulharjo, KUA
33 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), hlm. 28.
34 Mukti Fajar ND, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet. ke-1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 184.
21
Kec. Kotagede, KUA Kec. Gondokusuman, KUA Kec. Gondomanan, KUA
Kec. Jetis, KUA Kec. Mantrijeron, KUA Kec. Mergangsan, KUA Kec.
Tegalrejo, dan KUA Kec. Wirobrajan.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan normatif yaitu suatu
pendekatan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan (law in
books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.35 Dalam hal ini
berdasarkan pada buku-buku yang memuat tentang teori Maqāṣid asy-
Syarī’ah menurut Asy-Syāṭībī sebagai data primer penelitian. Sumber data
primer yang lain ialah pandangan Kepala KUA tentang usia kedewasaan
dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
sedangkan data sekunder berupa data pernikahan berdasarkan usia yang
terjadi di Kota Yogyakarta dalam satu tahun terakhir.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan selalu ada hubungan antara metode
pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan.36
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada
tiga yaitu:
35 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 118.
36 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 174.
22
a. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu obyek dengan
sistematika fenomena yang diselidiki.37 Dalam hal ini penyusun
melakukan observasi langsung ke Kantor Urusan Agama (KUA) yang
ada di Kota Yogyakarta untuk memperoleh gambaran bagaimana
pandangan Kepala KUA terhadap usia kedewasaan dalam perkawinan
pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berdasarkan
pemahaman tentang nilai-nilai yang terdapat dalam Maqāṣid asy-
Syarī’ah.
b. Wawancara, merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan
jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara
pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden).
Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Adapun wawancara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
wawancara dalam bentuk komunikasi langsung yakni peneliti berhadapan
langsung dengan responden untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang
diinginkan, dan jawaban responden dicatat oleh pewawancara.38
Metode yang digunakan dalam wawancara ini ialah wawancara bebas
terpimpin, yaitu wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan kepada interviewee berdasarkan pokok yang telah disusun.39
Wawancara yang dilakukan pada responden atau pihak-pihak terkait
37 Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Penelitian Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 69.
38 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 72.
39 Madyana, Dasar Penentuan Sampel Dalam Metodologi Penelitian, (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1996), hlm. 131.
23
dengan penelitian ini, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di 14
(empat belas) Kecamatan di Kota Yogyakarta yang dipilih penyusun
dengan anggapan mengetahui pokok permasalahan secara baik.
c. Dokumentasi, yaitu cara mengumpulkan data melalui peninggalan
tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku
tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penyelidikan.40 Dalam penelitian ini
penyusun akan menelusuri dokumen jumlah pernikahan berdasarkan usia
dalam arsip KUA di Kota Yogyakarta.
6. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif
yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkap gejala secara
holistik-kontekstual (secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks/apa
adanya) melalui pengumpulan data dari latar alami sebagai sumber langsung
dengan instrumen kunci penelitian itu sendiri.41 Data yang diperoleh
selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode deduktif, yaitu pola
berfikir yang bertolak dari pernyataan bersifat umum ke sesuatu yang
khusus.42 Penelitian ini bertolak dari kedewasaan dalam perkawinan yang
ada pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menurut
pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta. Data akan disimpulkan
40 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993), hlm. 133.
41 Ahmad Tanzeh, Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 64.
42 Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Penelitian Pemula,
hlm. 40.
24
dengan metode induktif, yaitu mulai dari fakta, realita, gejala, masalah yang
diperoleh melalui suatu observasi khusus kemudian penyusun membangun
pola-pola umum.43 Dalam hal ini kesimpulan didasarkan pada pandangan
Kepala KUA se-Kota Yogyakarta yang dianalisis menggunakan lima aspek
kemaslahatan dalam teori Maqāṣid asy-Syarī’ah.
G. Sistematika Pembahasan
Suatu penelitian ilmiah diharuskan memiliki pembahasan yang
sistematis agar penelitian dapat terarah dan memudahkan dalam pembahasan
penelitian ini. Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini terbagi
menjadi lima bagian, yaitu:
Bab pertama, berisi pendahuluan sebagai pengantar secara keseluruhan
sehingga akan memperoleh gambaran umum tentang pembahasan skripsi ini.
Dalam pembahasan pertama ini penyusun memaparkan latar belakang masalah
penelitian yang menguraikan masalah tentang usia kedewasaan dalam
perkawinan, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian supaya penelitian
memiliki arah yang jelas dan dapat memberikan manfaat yang diharapkan dari
penelitian, telaah pustaka untuk menerangkan karya ilmiah yang memiliki
kesamaan aspek dan memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak
memiliki kesamaan menyeluruh dengan karya ilmiah yang sejenis, kerangka
teoritik menerangkan cara pandang sekaligus sebagai alat analisa untuk
menganalisis data yang didapatkan, metodologi penelitian menerangkan cara
43 J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, Keunggulannya, (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm. 121.
25
atau teknik yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika pembahasan
guna mengarahkan pembaca kepada isi dari penelitian.
Bab kedua, merupakan pembahasan umum tentang usia kedewasaan
dalam perkawinan, asas-asas perkawinan, usia kedewasaan dalam perkawinan
menurut hukum Islam dan Perundang-undangan. Selain itu, bab kedua ini juga
akan memabahas secara umum tentang Maqāṣid asy-Syarī’ah, seperti
pengertian dan pembagian-pembagian.
Bab ketiga, membahas gambaran umum Kantor Urusan Agama (KUA)
di Kota Yogyakarta. Hal ini diperlukan guna memperoleh gambaran tentang
tempat penelitian, letak geografis, dan kondisi perkawinan yang ada di Kota
Yogyakarta. Bab ini juga akan menguraikan pandangan Kepala KUA se-Kota
Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disajikan dalam
bentuk deskripsi dan tabel untuk mempermudah dalam memahami dan
membedakan pendapat yang ada.
Bab keempat ini penyusun melakukan analisis menggunakan teori
Maqāṣid asy-Syarī’ah terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta
tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bab kelima adalah bab penutup dalam pembahasan penelitian ini yang
berisi kesimpulan dan saran-saran. Serta pelengkap lebih lanjut dicantumkan
daftar pustaka dan lampiran.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian terhadap pandangan Kepala KUA se-
Kota Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat
(2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Secara umum terdapat tiga pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta
tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. Usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam perkawinan.
b. Kedewasaan dalam perkawinan menjadi hal penting yang harus dipenuhi.
c. Usia 21 tahun sebagai usia minimal dalam perkawinan.
2. Jika dilihat dari kacamata Maqāṣid asy-Syarī’ah, maka pandangan Kepala
KUA tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat 2
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara garis besar telah memenuhi lima
aspek kemaslahatan dalam maqāṣid dharūriyyāt yaitu:
a. Aspek memelihara agama (ḥifẓ ad-Dīn) lebih merujuk pada terpeliharnya
tanda-tanda kedewasaan dalam hukum Islam yaitu tamyiz, baligh, dan
rusyd.
b. Pada hal memelihara akal (ḥifẓ al-‘Aqli) lebih dekat dengan pemeliharaan
terhadap kehidupan rumah tangga dan kedewasaan psikologis terutama
115
faktor pemahaman tentang perkawinan baik tujuan, tanggung jawab,
kemampuan dalam menghadapi persoalan, maupun hak dan kewajiban
dalam perkawinan, kecerdasan emosi dan cara bersikap dalam
menghadapi berbagai persoalan.
c. Aspek memelihara jiwa (ḥifẓ an-Nafs) dekat pada aspek pemeliharaan
kesehatan terutama kematangan reproduksi yang lebih optimal baik laki-
laki maupun perempuan.
d. Ditinjau dari segi memelihara keturunan (ḥifẓ an-Nasl), maka secara
umum perkawinan merupakan bentuk hukum Islam dalam memelihara
keturunan yaitu kejelasan status anak.
e. Aspek memelihara harta (ḥifẓ al-māl) yakni memelihara kewajiban suami
yaitu menafkahi keluarga dan kewajiban isteri yaitu menjaga harta
dengan baik.
Dalam melihat usia kedewasaan dalam perkawinan tersebut, Kepala
KUA se-Kota Yogyakarta lebih menekankan aspek akal (ḥifẓ al-‘Aqli) atau
psikologis sebagai indikator kedewasaan dalam perkawinan karena
kedewasaan akal menjadi alasan diwajibkan izin orang tua dalam perkawinan
apabila usia kurang dari 21 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan jiwa (ḥifẓ an-Nafs), aspek agama
(ḥifẓ ad-Dīn), ekonomi (ḥifẓ al-māl), dan keturunan (ḥifẓ an-Nasl) menjadi
indikator kedewasaan setelah aspek akal (ḥifẓ al-‘Aqli) dan bersifat relatif.
Namun, aspek agama dapat menjadi indikator kedewasaan di samping aspek
akal atau psikologis. Hal ini dapat dilihat pada tanda-tanda kedewasaan dalam
116
aspek agama yang mencakup aspek akal (tamyiz), jiwa (baligh), dan harta
(rusyd), kemudian diikuti oleh kematangan jiwa, aspek keturunan dan harta.
Penentuan usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam perkawinaan
pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjadi landasan
bagi Kepala KUA di Kota Yogyakarta untuk menentukan batas usia dewasa
untuk menikah. Sebaliknya usia kurang dari 21 tahun merupakan usia yang
belum dewasa. Namun demikian, seluruh Kepala KUA se-Kota Yogyakarta
menghimbau masyarakat untuk menikah di usia dewasa karena mendatangkan
kemaslahatan yang lebih banyak.
B. Saran-saran
1. Masyarakat hendaknya lebih memperhatikan usia kedewasaan dalam
perkawinan karena kedewasaan dalam perkawinan menjadi hal yang penting
dalam menentukan keberhasilan tujuan perkawinan. Selain itu, penentuan
usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam perkawinan dapat menjadi
landasan orang tua untuk lebih mendidik anaknya agar dapat mandiri
sebelum usia 21 tahun sehingga ketika menginjak usia 21 tahun telah siap
untuk menikah.
2. Perlu diadakan peninjauan yang lebih mendalam terhadap upaya menaikan
usia minimal dalam perkawinan karena peraturan dalam Undang-Undang
Perkawinan dianggap masih relevan oleh sebagian besar kalangan seperti
Kepala KUA se-Kota Yogayakarta.
117
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an dan Hadits
Bukhari, Al-, Ṣahīh al-Bukhārī, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Kementrian
Agama, 2010.
Saurah, Abu Isa Muhammad bin, Sunan at-Turmużī, Beirut: Dār al-Fikr,
1988.
B. Fikih dan Ushul Fikih
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqāṣid asy-Syarī’ah menurut Asy-Syāṭibī,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Darajat, Zakiyah, Ilmu Fikih, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, jilid II,
1995.
Fawzi, Moh. Alex, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Kesehatan Reproduksi”, skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
Haroen, Hasrun, Ushul Fiqh, jilid 1, Jakarta: Logos, 1996.
Indah, Elly Surya, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat
Mazhab Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, skripsi
tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Khamim, Muhammad, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Usia
Perkawinan Menurut Imam Syafi’i”, skripsi tidak diterbitkan,
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2013.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Najib, Muh. Ainun, “Penetapan Usia Perkawinan (Analisis Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
118
Anak), skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1: Dilengkapi Perbandingan
UU Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA &
TAZZAFA, 2004.
Nuroniyah, H. Maswan dan Wardah, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta:
Teras, 2011.
Qaraḍawi, Yusuf al-, Membumikan Syari’at Islam, alih bahasa Muhammad
Zakki dan Yasir Tajid, cet. ke-1, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Shiddieqy, Hasbi ash-, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Somaf, Erik Tauvani, “Pandangan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Kota
Yogyakarta Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan
Maslahah”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Syāṭibī, Abī Isḥāq Ībrāhim bin Mūsa bin Muhammad al-Lakhmī Asy-, al-
Muwāfaqāt Fī Usūl asy-Syarī’ah, Kairo: Al-Hayah al-Miṣrīyah al-
Āmmah, juz II, 2006.
Zuhaili, Wahbah az-, Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa: Muhammad Afifi
dan Abdul Aziz, Jakarta: Almahira, 2010.
C. Kamus
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, cet. ke-1, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
D. Buku Umum
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit,
2004.
Ahmad al-Barry, Zakariya, Hukum Anak-anak Dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1977.
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
119
Asmin, Yudian W., Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Dahlan, Zain, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hanurawan, Fattah, Psikologi Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Hawari, Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan,
Jakarta: Bakti Prima Yasa, 1996.
Hidayati, Wiji, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Bidang Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Jahja, Yudrik, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Kencana, 2011.
Latif, Nasaruddin, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan
Rumah Tangga, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001.
Madyana, Dasar Penentuan Sampel Dalam Metodologi Penelitian,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1996.
Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Mas’ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka,
1996.
Monks, F.J., dkk, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006.
Muttaqien, Dadan, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet.
ke-1,Yogyakarta: Insania Citra Pres, 2006.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1993.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
ND, Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet.
ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Nurhadi, M., Pendidikan Kedewasaan dalam Persepektif Psikologi Islami,
Yogyakarta: Deepublish, 2014.
Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik,
Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2010.
120
Rumidi, Sukandar, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk
Penelitian Pemula, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012.
Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara,1999.
Tanzeh, Ahmad, Metodologi Penelitian Praktis, Yogyakarta: Teras, 2011.
Wahyudi, Yudian, Hukum Islam: antara Filsafat dan Politik, Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2015.
Yulianti, Rahmani Timorita, Benarkah Akil Baligh Sebagai Batas Minimal
Usia Pernikahan?, Yogyakarta: Kaukaba Dirpantara, 2011.
E. Peraturan Perundang-undangan
Kompilasi Hukum Islam.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
F. Internet/Blog
“Definisi Masa Dewasa”, www.mirapujiana26.blogspot.com, akses
tanggal 4 Juni 2018.
“Kategori Umur”, www.ilmu-kesehatan-masyarakat.blogspot.com, akses
tanggal 22 Maret 2018.
“Kondisi Geografis Kota Yogyakarta”, www.jogjakota.go.id, akses
tanggal 4 April 2018.
“Pengertian Kaidah Fikih dan Contohnya”, www.muamalatku.com, akses
tanggal 26 Juni 2018.
“Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan”,
www.kemenpppa.go.id, akses tanggal 4 Juni 2018.
121
”Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-
undangan”, www.hukumonline.com, akses tanggal 15 Juli 2018.
Ghufron, H.M., Makna Kedewasaan dalam Perkawinan (Analisis
terhadap Pembatasan Usia Perkawinan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974), dalam www. academia.edu.com, akses 24
February 2018.
www.ejournal.gunadarma.ac.id., Rahma Khairani dan Dona Eka Putri,
“Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda”,
Jurnal Psikologi, Vo. 1, No. 2, Juni 2018, akses tanggal 30 Juli
2017.
www.jurnal.stainponorogo.ac.id., Ali Imron, “Perlindungan dan
Kesejahteraan Anak dalam Perkawinan di Bawah Umur”, Jurnal
Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 Tahun 2013, akses tanggal 30 Juli 2018.