Post on 12-Jun-2015
description
Tugas Mandiri Dosen Pembimbing
PERAKTEK MONOPOLI RONY KURNIAWAN SH.MH
TINDAKAN YANG DI LARANG DALAM PERSAINGAN USAHA
UU NOMOR 5 TAHUN 1999
OLEH :
INDRA WIJAYA
11027100841
JURUSAN ILMU HUKUM/VI
FAKULTAS SYARIAH & ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
R I A U
2013
KATA PENGENTAR
Alhamdulliah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat berjudul “tindakan
Yang Dilarang dalam persaingan usaha ( UU NOMOR 5 TAHUN 1999 )” tepat pada
waktunya dan kita semua dapat membaca serta mepelajari makalah saya yang sangat
sederhana ini.
Makalah ini pada mengupas pemahaman-pemahaman yang berkaitan tentang Peraktek
Monopoli yang diuraikan dan disusun secara sistematis agar semua orang dengan mudah
dapat memahaminya.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain Ibu
dosen pembimbing yaitu dan juga teman-teman yang selalu memberikan masukan kepada
saya.
Akhir kata saya mengucapkan mohon maaf karena masih banyaknya kekurangan
disana-sini yang terdapat dalam makalah ini, oleh sebab itu saya mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak agar kiranya dapat mencapai kesempurnaan
makalah-makalah kami diwaktu yang akan datang. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang mau mempelajarinya dengan ikhlas.
Pekanbaru, 12 Juni 2013
Penulis
INDRA WIJAYA
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................. 3
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah ................................................................ 5
Rumusan masalah .......................................................................... 5
Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
BAB II
Pembahasan
A. Perjanjian Yang Dilarang
1. Oligopoli..................................................…....……..…. 7
2. Penetapan Harga............................................................. 8
3. Pembagian Wilayah/Market........................................... 9
4. Pemboikotan................................................................... 9
5. Kartel.............................................................................. 11
6. Trust................................................................................ 11
7. Oligopsoni...................................................................... 12
8. Integrasi Vertikal............................................................ 12
9. Perjanjian tertutup.......................................................... 12
10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negri.............................. 13
B. Kegiatan yang dilarang
1. Monopoli........................................................................ 13
2. Monopsoni...................................................................... 14
3. Penguasaan Pasar........................................................... 15
4. Persekongkolan.............................................................. 16
C. Posisi Dominan
1. Penyalah Gunaan Posisi Dominan................................. 16
2. Jabatan Rangkap............................................................. 17
3. Pemilikan Saham............................................................ 17
4. Penggabungan, Peleburan, Pengalihan........................... 18
3
BAB III
Penutup
Kesimpulan .................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………….……….. 20
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli membuat tiga kategori tindakan-
tindakan yang dilarang, yaitu "perjanjian yang dilarang" (Bab III), " kegiatan yang dilarang"
(Bab IV), dan "posisi domiinan" (Bab V). Didalarn kategori "perjanjian yang dilarang"
ditentukan ada scpuluh tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan
untuk kategori "kegiatan yang dilarang" dan "posisi dominan" masing-masing ditentukan ada
empat dan tiga tindakan yang tidak diperbolehkan.
Dua kategori yang pertama ("perjanjian yang dilarang" dan "kegiatan yang dilarang")
tarnpak lebih ditekankan pada pcngaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibat
yang tidak dikehendaki, sedangkan kategori "posisi dominan" lebih dititik breratkan pada
larangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan) untuk bersaing secara tidak fair.
Di dalain wacana hukum persaingan usaha, aturan yang dititikberatkan pada larangan
perilaku tertentu dikatakan sebagai aturan yang memiliki pendckatan "behavioral."
Sedangkan aturan yang melarang pembentukan atau penyalahgunaan struktur disebut sebagai
aturan yang merniliki pendekatan "struktural".
Meskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan adanya tiga
kategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk mcmbuat katégori tersebut tidak
terlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang pertama dan kategori
yang kedua.
Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai Salah satu tindakan
yang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian yang dilarang scmentara pemboikotan
(boycott) sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa perjanjian
dengan pihak lain.
Terlepas dari kekurang jelasan kategorisasi di atas, dalam bagian ini hendak diuraikan
masing-masing kategori scrta tindakan-tindakan yang dilarang secara lebih rinci.
5
B. Rumusan Masalah
Apa saja Tindakan-Tindakan Yang di Larang Dalam Persaingan Usaha Menurut UU
NO 5 Tahun 1999 ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tindakan-Tindakan Yang di
Larang Dalam Persaingan Usaha Menurut UU NO 5 Tahun 1999.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A.Perjanjian yang Dilarang
Ada sepuluh tindakan yang tcrgolong sebagai "perjanjian yang dilarang". Masing-
masing tindakan tersebut akan diuraikan berikut ini.
1. Oligopoli (Pasa14)
Pengertian oligopoli tidak didapati secara tegas, baik di dalam definisi peristilahan
(Pasal 1) maupun dalam Pasal 4 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Namun,
secara implisit dapat ditafsirkan bahwa oligopoli adalah penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat oleh beberapa pelaku usaha secara bcrsama-sama dengan
pembuatan perjanjian.
Berbeda dari monopoli yang dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok pelaku
usaha, oligopoli dilakukan oleh beberapa pelaku usaha. Ayat (2) dari Pasa14 menentukan
perihal batas minimal penguasaan pangsa pasar untuk dapat dikatakan oligopoli.
Menurut ayat terscbut, oligopoli dianggap terjadi apabila pcnguasaan bersama atas
produksi dan atau pcmasaran barang/jasa menghasilkan penguasaan dua atau tiga pelaku
usaha/kelompok pelaku usaha atas 75% pangsa pasar barang atau jasa tertentu.
Contoh:
Perusahaan x, Perusahaan y, dan Perusahaan z masing-masing memproduksi barang A.
Dikatakan terjadi oligopoli apabila ketiga perusahaan itu menguasai produksi pemasaran
barang A dan pcnguasaan itu menghasilkan penguasaan pangsa pasar sebesar 75% oleh dua
atau tiga pcrusahaan.
7
2. Penetapan Harga (Pasal 5 - 8).
Penetapan harga yang diadakan pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal price
fixing) untuk menetapkan harga yang harus dibayar konsumen untuk suatu barang pada pasar
bersangkutan yang sama (Pasal 5 ayat (1)). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila perjanjian
penetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada undang-undang
yang berlaku ((Pasal 5 ayat (2).
Penetapan harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mcngakibatkan pembeli
yang satu harus membayar harga yang A berbeda dari harga yang dibayar pembeli lain untuk
barang dan jasa yang sama (Pasal 6).
Ada ketidakjelasan di dalam ketentuan Pasal 6. Menurut pasal tersebut yang dilarang
adalah diskriminasi harga (price discrimination) yang didasarkan pada perjanjian (oleh karena
itu tindakan ini termasuk kategori "perjanjian yang dilarang") padahal sebenarnya
diskriminasi harga bisa dilakukan secara unilateral, tanpa perjanjian apa pun. Pasal 6 yang
mernberi tekanan pada perjanjian sebagai dasar diskriminasi harga bisa rnemunculkan
pertanyaan eontang boleh tidaknya diskriminasi harga secara sepihak (unilateral) yang tidak
didasarkan pada perjanjian.
Penetapan harga di bawah harga pasar melalui perjanjian horizontal (antara pélaku
usaha dengan pesaingnya) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
(Pasal 7).
Dikaitkan dengan isi Pasal 5 ayat (l), Pasal 7 ini sebenarnya mcrupakan pasal yang
berlebihan. Pasal 5 ayat (1) ini jelas melarang pclaku usaha untuk rnernbuat perjanjian
penetapan harga déngan pesaingnya untuk rnonentukan harga yang harus dibayar oleh
konsumen. Karena yang dilarang oleh Pasal 5 adalah perjanjian untuk menetapkan harga,
sernestinya perjanjian penetapan harga di bawah harga pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 7
sudah tercakup di dalam Pasal 5.
Penetapan harga maksimal secara vertikal atau vertical maximum price fixing (Pasal
8). Pasal 8 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang mensyaratkan penerima
barang/jasa tidak akan menjual kernbali barang/jasa tersebut dengan harga lebih rendah dari
harga tertentu yang diperjanjikan. Praktek semacam ini juga disebut RPM (resale price
maintenance).
8
Contoh:
Perusahaan x menjual barang A pada Perusahaan y (distributor) dengan syarat Perusahaan y
tidak boleh menjual barang tersebut
di bawah harga tertentu.
3. Pombagian Wilayah / Market / Territorial Distribution (Pasal 9)
Pasal 9 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
dongan maksud rnembagi wilayah atau alokasi pasar barang/jasa sehingga rnengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Karena yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian di antara para pesaing
(horizontal), dapat ditafsirkan bahwa perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain
yang bukan pesaing, melainkan distributor / retailer-nya (vertikal), tidak terrnasuk dalam
ruang lingkup pengaturan Pasal 9. Namun, ternyata di dalam penjelasan Pasal 9 dikatakan
bahwa perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 9 rnencakup pcrjanjian yang bersifat horizontal
maupun vertikal.
Untuk menghindari ketidakjelasan yang justru muncul dari bagian penjelasan Pasal 9,
sebenarnya akan lebih baik apabila dibuat definisi untuk "perrjanjian vortikal" dan
"pcrjanjian horizontal". Tanpa penjelasan dernikian, kontradiksi sangat mungkin muncul di
antara pasal yang satu dengan pasal yang lain atau di antara satu pasal dengan penjelasannya.
Pasal 9 rnelarang perjanjian antara pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal), sedangkan
penjelasan Pasal 9 justru rnemperluas dan rnengaburkan isi Pasal 9 dengan rnemasukkan juga
perjanjian vertikal dalam cakupan pasal tersebut.
Contoh permasalahan yang rnungkin tirnbul adalah sebagai berikut:
Perusahaan A rnemiliki lima distributor (B, C, D, E, dan F). Karena masing masing
merupakan distributor dari barang yang sama (produk Perusahaan A), maka rnereka berada
pada posisi pesaing satu sarna lain. Yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian pembagian
wilayah antar pesaing, sehingga dalarn hal ini dua distributor atau lebih (di antara B, C, D, E,
dan F) tidak dibenarkan rnembuat perjanjian wilayah. Persoalan akan muncul dalam hal
pembagian wilayah tidakd ibuat
9
di antara para distributor yang saling menjadi pesaing, melainkan antara Perusahaan A
dengan setiap distributornya. Karena Perusahaan A pada akhirnya berkopentingan agar
produknya diserap pasar, bisa saja ia rnernbuat perjanjian dcngan setiap distributor yang
menentukan wilayah pernasaran distributor tersebut. Dengan distributor B rnisalnya,
Perusahaan A menentukan bahwa wilayah pemasaran B adalah di lokasi I. Dengan C,
Perusahaan A mernbuat perjanjian untuk rnenentukan lokasi ll sebagai wilayah pemasaran.
Hal yang sama juga dilakukan A dengan D, E, dan F yang masing-masing ditentukan
rnemiliki wilayah pemasaran sendiri sendiri. Meskipun berakhir pada kondisi terbaginya
wilayah pemasaran para distributor sebagai pesaing, dalarn kasus di atas para distributor tidak
rnengadakan perjanjian di antara mereka.
Perjanjian diadakan antara perusahaan A dengan B, C, D, E, dan F. Karena A berada
pada tahap distribusi yang berbeda dari B, C, D, E dan F, sulit mengatakan bahwa A adalah
pesaing B, C, D, E, dan F.
Menurut Pasal 9, perjanjian antara A dengan masing-rnasing distri butornya tidak
terinasuk perjanjian yang dilarang mengingat perjanjian itu tidak terjadi antara A dengan
pesaing-pesaingnya. Narnun, apabila restriksi Pasal 9 ditinggalkan sama sekali dan
penjelasan Pasal 9 diterapkan, perjanjian vertikal antara A dongan B, C, D, E, dan F bisa
menjadi perjanjian yang dilarang.
Di sini lantas tarnpak adanya inkonsistensi antara Pasal 9 dengan penjelasannya. Pasal
9 yang sudah cukup sernpit ternyata diperluas lagi oleh penjelasannya. Sebenarnya,
penjelasan harus bersifat mempertegas atau mempersempit ketentuan pasal, bukan
sebaliknya.
4. Pemboikotan (Pasal 10)
Seperti telah disinggung di muka, pemboikotan yang secara tegas diatur oleh Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli adalah pernboikotan yang dilakukan dengan perjanjian.
Satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa sobenarnya pemboikotan bisa dilakukan
secara sepihak (unilateral), tanpa perjanjian dengan pihak lain.
Unilateral boycott tidak secara togas diatur di dalam Undang-Undang Larangan
Praktek Monopoli. Menurut Pasal 10, pemboikotan dapat terwujud dalam dua bentuk, yaitu
sebagai berikut.
10
Perjanjian horizontal (antar pesaing) untuk menghalangi pelaku usaha lain melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalarn negéri rnaupun luar negeri (prevention to
enter a business) yang diatur dalam ayat (1). Perjanjian horizontal guna menolak penjual
setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga merugikan/dapat diduga
merugikan pelaku usaha lain atau membatasi pelaku usaha lain dalain menjual atau meinbeli
barang/jasa dari pasar yang bersangkutan (ayat 2).
Apa yang diatur dalain Pasal 10 ayat (2) tersebut juga dikenal dcngan istilah "refusal
to deal", yang sekali lagi tidak harus terjdi melalui perjanjian, melainkan bisa melalui
tindakan tunggal sepihak (single unilateral action).
5. Kartel (Pasal 11)
Meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel di dalarn Undang-Undang
Larangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalah
perjanjian horizontal untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pernasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
6. Trust (Pasal 12)
Pasal 12 berisi larangan bagi pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian yang
mengarah pada pernbentukan trust. Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang
dimaksud dengan trust, narnun dari Pasal 12 dapat dikemukakan bahwa trust adalah
pembentukan gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap
mempertahankan identitas perusahaan anggotanya dengan tujuan mengontrol produksi dan
atau pernasaran barang/jasa.
Trust sebenarnya merupakan bentuk kerja sama yang lebih bersifat integratif
dibanding kartel. Anggota-anggota kartel hanya diikat oleh perjanjian / kesepakatan (atau
paling banter mengambil bentuk "asosiasi pengusaha" yang tidak berbadan hukum),
sementara anggota-anggota trust diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar.
11
7. Oligopsoni (Pasal 13)
Selain oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4, Undang-Undang Larangan Praktek
Monopoli juga secara khusus melekatkan larangan bagi dibuatnya perjanjian yang mengarah
pada terjadinya oligopsoni , yakni penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan oleh
beberapa pelaku usaha sehingga mereka bisa mengendalikan barang atau jasa dalam pasar
bersangkutan.
Ayat (2) dart Pasal tersebut menjelaskan bahwa oligopsoni patut diduga terjadi
apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar barang/jasa
tertentu. Pasal 13 ternyata juga tidak bisa menjelaskan segala hal. Pertanyaan bisa muncul
dalarn hal 80% pangsa pasar dikuasai oleh tiga pelaku usaha, narnun penguasaan itu tidak
rnengakibatkan terjadinya praktek rnonopoli sebagairnana disyaratkan oleh Pasal 13 ayat (1)
8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)
Apabila rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 14 melarang dibuatnya
perjanjian integrasi vertikal. Penjelasan Pasal 14 menyebutkan bahwa integrasi vertikal
adalah penguasaan serangkaian proses produksi barang tertentu rnulai hulu sampai hilir atau
proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha.
Apabila dicermati, ada pertentangan antara Pasal 14 dengan penjelasan ya. Penjelasan
Pasal 14 mengartikan integrasi vertikal sebagai :
penguasaan proses produksi "dari hulu sampai hilir", sedangkangkan Pasal 14 tidak
mcnsyaratkan integrasi vertikal yang sedemikian luas rnulai dari hulu hingga hilir.
9. Perjanjian Tertutup (Pasal 15)
Ada ernpat jenis perjanjian yang dilarang oleh Pasal 15 di bawah judul "Perjanjian
Tertutup". Masing-masing perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa hanya mernasok
barang/jasa tersebut pada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Dengan kalimat lain,
perjanjian ini melarang atau mewajibkan seseorang penerima barang/jasa memasok kepada
pihak tertentu.
12
· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa harus bersedia
membeli barang/jasa lain dari pernasok (tgying-in arrangement).
· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan penerirna barang/jasa
harus membeli barang/jasa lain dari pemasok (conditional tying-in).
· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan syarat penerirna
barang/jasa tidak akan membeli barang / jasa yang sama atau sejenis dari pesaing pemasok
(conditional exclusive dealing). Penjelasan Pasal 15 menegaskan bahwa pengertian memasok
mencakup tindakan menyediakan pasokan, jual be1i, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa
guna usaha (leasing).
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)
Pasal 16 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli berbunyi,
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain diIuar negeri yang
memuat ketentuan yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek rnonopo1i dan atau
persaingan usaha tidak sehat'
Pasal ini sebenarnya cukup baik, karena merupakan antisipasi terhadap kemungkinan
interaksi pelaku usaha domestik dengan pelaku usaha asing. Hanya saja substansi pasal ini
sangat sumir. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana dengan perjanjian antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha asing yang rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
dan bukan di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Pasal 16 dan penjelasannya tidak
menegaskankan tentang di pasar mana (domestik atau asing) praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat disyaratkan terjadi.
B. Kegiatan yang Dilarang
Kategori yang kedua dari tindakan-tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang
Larangan Praktek Monopoli adalah "kegiatan yang dilarang". Seperti telah disinggung di
muka, kategorisasi tindakan-tindakan yang dilarang menjadi tiga jenis tidak terlampau jelas.
Namun demikian, kategori pertama yang telah diuraikan sebclumnya ("perjanjian yang
dilarang") agaknya dibuat untuk mewadahi larangan terhadap tindakan yang dilakukan
dengan perjanjian dan dengan demikian tindakan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu aktor
yang saling bekerja sama melalui perjanjian.
13
Kategori kedua ini tampaknya dimaksudkan untuk mengakomodasi larangan terhadap
tindakan-tindakan yang hanya melibatkan seorang pelaku (unilateral action), bukan dua atau
lebih pelaku seperti yang ada dalam kategori "perjanjian yang dilarang".
Di bawah subjudul "kegiatan yang di1arang", Undang-Undang Larangan Praktek
Monopoli menentukan ada empat aktivitas yang tidak diperbolehkan. Masing-masing
tindakan tersebut akan diuraikan dibawah ini.
1. Monopoli (Pasal 17)
Pasal 17 melarang pelaku usaha melakukan monopoli yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dari isi Pasal 17 itu dapat
ditafsirkan bahwa tidak setiap monopoli dilarang. monopoli dilarang apabila mengakibatkan
terjadinya praktek dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kondisionalitas bahwa monopoli yang dilarang adalah yang mangakibatkan terjadinya
praktck monopoli atau persaingan usaha tidak sehat sebenarnya berlebihan. Dengan mengacu
pada dafinisi peristilahan yang ada pada Pasal 1, sesungguhnya cukup disyaratkan bahwa
monopoli yang dilarang adalah yang mengakibatkan praktek monopoli.
Di dalam pengertian praktek monopoli telah terkandung pengertian mcnimbulkan
persaingan usaha tidak sehat (lihat pengertian istilah "praktek monopoli ") sehingga
persaingan tidak sehat sebenarnya tidak perlu dinyatakan tersendiri berdampingan dengan
praktek monopoli sebagai syarat monopoli yang tidak diperbolehkan.
Ayat (2) dari Pasal 17 memuat indikator yang bisa menjadi dasar dugaan terjadinya
monopoli yang dilarang. Menurut ayat (2) tersebut, seorang pelaku usaha patut diduga
melakukan monopoli yang dilarang apabila terjadi hal-hal berikut :
Barang dan atau jasa yang di monopoli belum ada substitusinya.
· Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan atau jasa yang sarna. Penjelasan ayat (2) Pasal ini menyebutkan bahwa pelaku usaha lain
yang dimaksud adalah pelaku usaha yang mempunyai kcmampuan usaha bersaing yang
signifikan dalam pasar bersangkutan.
· Satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
14
2. Monopsoni (Pasal 18)
Definisi yang tegas tentang monopsoni tidak didapati di mana pun dalam Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli. Meskipun demikian, dari Pasal 18 dapat
dikonstruksikan bahwa Monopsoni adalah penguasaan penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Seperti telah disebutkan dalam bagian awal, monopsoni sebenarnya adalah monopoli dari
sisi pembeli (monopoly of demand). Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli juga
melarang Monopsoni sepanjang tindakan itu mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan tidak sehat. Mengingat di dalam istilah praktek monopoli telah terkandung
pengertian persaingan usaha tidak sehat, sebenarnya dua hal ini tidak perlu disejajarkan
sebagai syarat monopsoni yang tidak dipcrbolehkan.
Berbeda dari Pasa1 17 tentang rnonopoli, Pasal 18 tentang monopsoni hanya
mencantumkan satu indikator yang bisa mendasari dugaan terjadinya monopsoni yang
dilarang. Berdasarkan ayat (2) Pasal 18, pelaku usaha patut diduga melakukan Monopsoni
yang dilarang apabila satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Tidak ada kejelasan mengapa dua indikator
lain di dalam monopoli tidak diadopsi sekalian ke dalarn tindakan Monopsoni yang dilarang.
3. Penguasaan Pasar (Pasal 19 - Pasal 24)
Di bawah judul "Penguasaan Pasar" Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
melarang pelaku usaha, baik sendiri ataupun secara bersama-sama melakukan kegiatan-
kegiatan yang diuraikan dalam Pasal 19 - Pasal 24. Menurut pasal-pasal tersebut, kegiatan
yang dilarang di bawah judul "penguasaan pasar" meliputi hal-hal berikut :
Menolak dan atau rnenghalangi pelaku usaha tcrtentu untuk rnelakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan (Pasal 19 huruf a).
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk rnelakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu (Pasal 19 huruf b).
Membatasi peredaran bahan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
beersangkutan (Pasal 19 huruf c).
15
Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tcrtentu (Pasal 19 huruf d).
Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau
menetapkan harga yang rendah untuk menyingkirkan atau rnernatikan usaha pesaing.
Predatory pricing ini diatur di dalarn Pasal 20.
Melakukan kecurangan dalam meneetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang
menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 21).
4. Persekongkolan (Pasal 22)
Mengingat bahwa persekongkolan (conspiracy) selalu dilakukan oleh lebih dari satu
pelaku, sebenarnya tindakan ini bisa diatur di dalam kategori "perjanjian yang dilarang".
Persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli mencakup
persekongkolan untuk:
mengatur atau menentukan pernenang tender atau tindakan bidrigging (Pasal 22),
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagai
rahasia perusahaan (Pasal 23),
menghambat produksi dan atau pernasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta
terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasa124).
C. Posisi Dominan
Untuk kategori ini ada ernpat tindakan yang dilarang Undang- Undang Larangan Praktek
Monopoli. Masing-masing akan dikcmukakan berikut ini :
1. Penyalahgunaan Posisi Dominan (Pasal 25)
Istilah penyalahgunaan posisi dominan bukan istilah baku yang ada di dalam Pasa125.
Pasal tersebut secara formal berjudul "Umum".
Meskipun demikian, dari isi Pasal 25 dapat diketahui adanya larangan untuk
menggunakan posisi dominan untuk maksud tertentu. Tindakan penyalahgunaan posisi
dominan yang tercantum di dalam Pasal 25 adalah sebagai berikut :
16
Menetapkan syarat perdagangan guna mencegah dan atau mcnghalangi konsumen
mcndapatkan barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas (Pasal
25 ayat (1) huruf a). Membatasi pasar dan pcengembangan teknologi (Pasal 25 ayat (1) huruf
b). Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan (Pasal 25 ayat (1) huruf c).
Ayat (2) dari Pasa125 selanjutnya menentukan bahwa pelaku usaha memiliki posisi
dominan jika satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar barang/jasa tertentu pun dianggap mcmiliki
posisi dominan.
2. Jabatan Rangkap (Pasai 26)
Jabatan rangkap atau "interlocking directorate" secara eksplisit diatur di dalam Pasal 26.
Menurut Pasal tersebut, seseorang yang memegang jabatan direksi atau komisaris suatu
perusahaan dilarang memegang jabatan serupa pada perusahaan lain jika perusahaan-
perusahaan tersebut :
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. memiliki keterkaitan erat dalam bidang dan suatu jenis usaha;
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentuyang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Secara logis perangkapan jabatan ini dilarang karena posisi demikian akan membuka
peluang bagi perusahaan-perusahaan terkait untuk menghindari persaingan.
3. Pemilikan Saham (Pasai 27)
Pasal 27 pada dasarnya melarang pemilikan saham yang bisa berdampak negatif terhadap
persaingan. Pasal tersebut melarang pemilikan saham mayoritas pada perusahaan-perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang sama
pula atau pendirian perusahaanperusahaan yang menjalankan kegiatan usaha yang sama pada
pasar bersangkutan yang sarna.
17
Pemilikan saham dan pendirian perusahaan-pcrusahaan seperti terscbut di atas menjadi
dilarang apabila membawa akibat:
a. satu orang atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
atau jasa tertentu,
b. dua atau tiga pclaku usaha atau kelompok-kelompok usaha menguasai lebih dari 75%
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tcrtcntu.
4. Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan (Pasal 28-Pasal 29)
Secara substansial ada dua hal yang diatur di dalam Pasal 28 Undang-Undang Larangan
Praktek Monopoli, yaitu:
a. penggabungan dan peleburan badan usaha yang dapat meng akibatkan tcrjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (ayat (1) Pasal 28),
b. pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha ticlak sehat (ayat (2) Pasal 28).
Ayat (3) Pasal 28 nenegaskan bahwa ketentuan tentang penggabungan, peleburan,
maupun pengambilalihan saham akan diatur lebih lanjut di dalam pcraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 28 menerangkan tentang apa yang dimaksud badan usaha. Menurut
penjelasan pasal tersebut, pcngertian badan usaha di dalam Pasal 28 meliputi baik bentuk
usaha yang berbadan hukum maupun yang tidak bcrbadan hukurn.
Berbeda dari Pasa128 yang lebih substantif, Pasa129 mengatur aspek prosedural. Pasal ini
meletakan kewajiban pada pelaku usaha untuk melakukan penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan scperti yang dimaksud dalam Pasal 28 untuk selambat-lambatnya dalam
waktu 30 hari memberitahukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan itu jika
tindakan tersebut menyebabkan nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah
tertentu. Ketentuan tentang jumlah tertentu dan tata cara pemberitahuan akan diatur tersendiri
di dalam peraturan pemerintah.
18
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Meskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan adanya tiga
kategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk membuat katégori tersebut
tidak terlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang pertama dan
kategori yang kedua.
Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai Salah satu tindakan
yang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian yang dilarang scmentara
pemboikotan (boycott) sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa
perjanjian dengan pihak lain.
19
DAFTAR PUSTAKA
Arie Siswanto, Hukum persaingan usaha, cet.1, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002,
Abdul R. Saliman dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Contoh
Kasus, Jakarta : Kencana, 2004
Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1999
Adikusuma, Hilman,jual beli, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.
Darajat, Zakiah, Prof, Dr, Perbandingan Pasar monopoli dan non monopoli, Jakarta:Bulan
Bintang, 1993.
20