Post on 27-Jun-2015
TIMBULNYA ATHEIS
“Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”
Surya Agung
ABSTRACT
As one flow of thought philosophy in European, atheism continues to spread its wings
to all corners of the world. Given the extent of the influence of this flow, I limit the network
pattern by simply observing the local case, more specifically in Indonesia. Although to find
traces of atheism in this country is not an easy matter. But if we are to review by observing
the development of modern science, what is now known as modern atheism, can be found
too.
Key Words: naturalisme, skeptisisme, agnostik, theisme, ritual.
PENGANTAR
Istilah atheisme berasal dari bahasa Yunani, a yang berarti “tanpa”, dan theos, yang
berarti “dewa”. Saat ini, term atheisme lazim dipakai untuk menamakan suatu aliran
pemikiran yang praktis menolak adanya Tuhan dan dewa-dewi. Atheisme sendiri terbagi
dalam dua kelompok. Pertama, atheisme positif-kuat, yaitu penolakan atas keberadaan Tuhan.
Kedua, atheisme negatif-lemah yang diartikan sebagai kurangnya kepercayaan kepada Tuhan.
Tipologi yang kedua ini bertalian dengan istilah agnostisisme, yaitu terbatasnya kemampuan
untuk dapat mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak.
Atheisme memiliki implikasi yang luas bagi keadaan manusia. Karena
ketidakpercayaan kepada Tuhan, secara etis akan berujung pada sekulerisme (non-religious),
suatu sikap mendasar yang menyatakan bahwa manusia harus mengambil tanggungjawab
penuh atas takdirnya.
PEMBAHASAN
Ruang Lingkup Atheisme
Dari zaman dahulu, orang-orang yang menjadi
atheis sebenarnya adalah korban pelabelan atas
posisi mereka yang menentang agama. Seiring
waktu, beberapa kesalahpahaman timbul dari
atheisme, secara pengaitannya dengan moral.
Persoalan moralitas tidak dapat dibenarkan tanpa kepercayaan pada Tuhan, apalagi tidak
adanya tujuan hidup tanpa kepercayaan pada Tuhan. Namun tak ada bukti bahwa mereka
yang atheis tidak lebih bermoral dibanding mereka yang beriman.
Hingga kini, istilah atheisme di Barat telah digunakan lebih sempit untuk merujuk
kepada penolakan terhadap sistem ketuhanan, bukan lagi penolakan terhadap agama atau
dewa-dewa. Atheis positif jelas menolak sistem ketuhanan serta kepercayaan yang terkait
dengan akhirat, takdir, asal mula alam semesta, dan jiwa yang kekal, yang semuanya ini
diungkap dalam Alkitab dan juga Al-Qur’an.
Sebuah ritual merupakan kebiasaan, dan kebiasaan menjadi budaya. Agama hanyalah
jalan yang distimulasi ritual untuk menuju spiritual. Di wilayah ritual ini agama banyak
'pembelokan' sehingga ketika agama substansinya adalah cinta kasih, yang ada bisa malah
pelaksanaan kebencian, perusakan, perpecahan (padahal dilakukan dengan atribut agama).
Lalu karena realitas yang dilihat adalah ternyata agama menjadi sumber masalahnya
(kekejaman, perusakan, kebencian dll), maka agama yang di kambing hitamkan.
Kontroversi, kendati ada, para penganut paham atheis di Indonesia dinilai belum
berani terang-terangan untuk mengakui dirinya adalah seorang atheis kepada khalayak umum
dan menutup dalam-dalam tentang rahasia pandangannya tersebut. Perkembangan dunia
internet yang semakin pesat ternyata membuat para penganut paham atheis di Indonesia
mencoba terbuka, dan berbagi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan. Hal
ini terwujud dalam grup jejaring sosial facebook seperti: “Indonesian Atheist Society, The
Indonesian Community for Agnostic, Atheist and Sceptic, Indonesian Freethinkers dan
Komunitas Agnostik Republik Indonesia”.
Skeptisisme - Skeptisisme Modern
Ketidakpercayaan, (Yunani) skeptesthai, “memeriksa”, dalam filsafat, adalah
sebentuk doktrin yang menyangkal kemungkinan untuk mencapai pengetahuan tentang
kenyataan yang ada dalam diri sendiri. Semua keragu-raguan filosofis, adalah berdasarkan
pandangan tentang cakupan dan validitas pengetahuan manusia. Bahasa Yunani Sophis pada
Abad ke-5 SM adalah sebuah gambaran dari skeptis yang mendasar. Pusat pandangan kaum
sofis kala itu tercermin dalam maksim “Manusia adalah ukuran segala sesuatu” dan
“Ketidakadaan itu, atau jika pun sesuatu itu ada, tetap tak dapat diketahui”.
Abad modern juga ditandai dengan munculnya skeptisisme pada pencerahan yang
terpengaruh oleh skeptisisme kuno. Di dunia intelektual barat, tidak adanya keyakinan akan
keberadaan Tuhan adalah fenomena yang luas dan dengan sejarah panjang dari filsuf-filsuf
kuno, lalu singgah di abad pertengahan dan berlanjut hingga kini, dimana terdapat arus
pemikiran bahwa pertanggung jawaban terhadap theis hanya berasumsi pada kepercayaan
yang hanya mengontrol kekuatan alam dunia belaka. Filsuf Prancis, Michel de Montaigne,
tokoh dan lambang skeptisisme modern abad ke-18. Juga filsuf empiris Skotlandia David
Hume dalam “Treatise of Human Nature” (Risalah Hakikat Manusia, 1739-1740) dan “An
Enquiry Concerning Human Understanding” (1748). Pertanyaan Hume kemungkinan
mendemonstrasikan kebenaran kepercayaan tentang dunia luar, hubungan sebab-akibat,
peristiwa masa depan, atau entitas metafisik seperti jiwa dan Tuhan.
Abad ke-18, filsuf Jerman Immanuel Kant, mencoba untuk mengatasi keraguan Hume
itu, dengan menolak kemungkinan mengetahui hal-hal dalam diri sendiri untuk mencapai
pengetahuan metafisik. Ekspresi dari anti keimanan juga dapat ditemukan pada abad ke-19,
yang terartikulasikan dengan baik melalui beberapa sosok atheis dan filsuf Jerman, Ludwig
Feuerbach, Karl Marx. Seperti dalam buku Franz Magnis Suseno "Karl Marx" (1999), marx
mengemukakan: agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya.
Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang sangat mendalam.
Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri.
"Agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak
mempunyai realitas yang sungguh-sungguh”. Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan,
perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh, Ia adalah
candu rakyat.
Naturalisme
Selain pengaruh yang didapat dari skeptisisme, atheisme juga mengadopsi gagasan
yang dikembangkan oleh filsafat Naturalisme, satu gerakan pemikiran yang menegaskan
bahwa seluruh alam adalah kenyataan dan dapat dipahami hanya melalui penyelidikan ilmiah.
Naturalisme juga menolak keberadaan metafisika, atau ilmu yang memelajari hakikat dari
satu realitas. Naturalisme meyakini bahwa sebab-akibat itu berhubungan, seperti fisika dan
kimia yang cukup untuk memerhitungkan semua fenomena. Dan dampak secara etisnya
adalah, sejak naturalis menyangkal apapun yang bersifat gaib dari akhir manusia, maka itu
adalah nilai-nilai yang harus dapat ditemukan di dalam konteks sosial.
Sebenarnya naturalisme berakar pada empirisme di Inggris, dengan doktrinnya bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman, juga dari positifisme di Eropa, yang
menyangkal segala spekulasi metafisika.
Kritik Atas Theis
Kalangan atheis terus membenarkan posisi mereka dengan berbagai cara filosofis.
Seperti atheis positif yang berusaha untuk mendirikan posisi penyangkalan atas argumen
theis atas keberadaan Tuhan. Pendapat atheis positif lainnya menegaskan bahwa pernyataan
mengenai Tuhan adalah sia-sia belaka, karena atribut untuk sosok yang mengetahui segala
sesuatu tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Sedang atheis negatif di sisi lain, berupaya memertahankan posisi argumentasi
mereka bahwa konsep Tuhan itu tidak konsisten. Mereka bertanya, misalnya, apakah Tuhan
yang mengetahui semua hal juga bisa mengetahui kebaikan dan bagaimana Tuhan yang tidak
berbentuk itu dapat mengetahui secara keseluruhan keberadaan segala sesuatu.
Atheisme dalam Islam?
Jika dalam peradaban Barat kita dapat menemui begitu banyak pemikir handal yang
kemudian menjadi atheis dan malah menganjurkannya, maka tidak demikian halnya dengan
yang terjadi dalam dunia Islam. Agama pamungkas dari langit ini memang agak sedikit
berbeda dengan Kristen yang juga menjadi napas peradaban di Barat, ataupun Yahudi yang
sedikit banyak juga memengaruhi pola pemikiran masyarakat dunia. Kita dapat menelaah
perbedaan ini pada corak struktur yang ada dalam Islam yang tidak monolitik, kecuali di
beberapa wilayah seperti Iran dan Arab Saudi.
Kenapa perkara struktur ini menjadi penting?
Karena ini menjadi faktor penentu dari pemberontakan yang dilakukan oleh para
pemikir Barat, terutama mereka yang lahir dan besar dalam tradisi Katholik.
Dalam Katholik baik itu Barat (Roma) maupun Timur (Yunani), tak dikenal kata
perbedaan, yang ada hanya jenjang hierarkis dimana Paus (Roma) bertindak sebagai penentu
segala kebijakan keagamaan. Sejatinya Islam mengenal bentuk seperti ini seperti halnya
mujtahid atau mufti yang pendapatnya mesti dirujuk oleh kalangan Muslim yang awam.
Namun produk hukum yang mereka putuskan, tak harus diamini, karena Islam menganut
prinsip egalitarian dan kebebasan berkehendak. Sehingga, setiap Muslim bebas menentukan
apakah ia akan mengikut putusan itu atau tidak. Namun uniknya, di Iran dan Saudi sekalipun
yang monolitik, tak pernah ada satu pemikir dari dua negara ini yang mengklaim dirinya
atheis.
Kenapa bisa terjadi demikian?
Karena para cendekiawan Muslim sebelumnya mewariskan sebuah perpaduan unik
antara pengetahuan dengan agama. Seperti misalnya Ibn Sina atau Ibn Rusyd yang mumpuni
sebagai saintis-filosof, selalu mencari justifikasi pada agama atas proposisi filsafat yang
mereka pelajari dari para mpu Hellenistik semisal Socrates dan para penerusnya. Satu-
satunya kontroversi hanya dilakukan oleh satu orang filosof yang hidup di zaman dinasti
Abbasiyyah, Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya al-Razi (Latin: Rhazes) (854?-925?/3 H),
pemikir Muslim yang lahir di Shahr-e Rey, Iran, dekat Tehrān (Teheran sekarang) ini, punya
pengaruh penting di dunia Islam, juga Eropa Barat di Abad Pertengahan.
Ia meyakini bahwa kenabian itu samasekali tidak dibutuhkan apabila manusia bisa
mengoperasikan nalarnya dengan baik. Karena, semua orang punya potensi yang sama untuk
menjadi nabi. Tapi, ar-Razi sendiri tidak menafikan bahwa sosok Muhammad Saw pernah
lahir dan hidup di Makkah. Ar-Razi tetap mengamini bahwa beliau adalah tokoh historis yang
nama dan keagungannya tak bisa tertandingi. Jika dilacak lebih teliti pada masa kini, maka
tak satu pun oknum filosof Muslim yang berdiri tegak memegang tiang pancang atheisme.
Inilah aliran baru dalam Islam. Aliran yang benar-benar aneh. Melebihi anehnya aliran
sungai.
Pengakuan ini dinyatakan oleh seorang Profesor sesat. Kebetulan saya sempat
mewawancarainya secara terbuka. Berikut petikannya.
Saya:
Salam sesat Prof! Kita langsung saja ya. Kenapa anda mengaku sebagai Islam Atheis?
Padahal anda tahu bahwa Islam jelas-jelas agama yang mengajarkan bahwa ada Tuhan yang
Satu. Monotheisme. Sedangkan Atheisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan.
Itu kenapa Prof?
Prof Sesat:
Saya tidak punya istilah lain yang lebih pas.
Saya:
Memangnya apa yang terjadi dengan keyakinan anda?
Prof Sesat:
Okey saya akan cerita. Tapi pastikan tidak ada wartawan di sini ya.
Secara kasar ada 2 alat kita dalam bersentuhan dengan realitas. Pertama akal dan kedua hati.
Nah, cara kerja kedua alat ini berbeda sekali. Yang satu dengan berpikir dan yang satu
dengan merasa.
Jadi sejauh yang petualangan pemikiran saya, hingga saat ini saya tidak "menemukan"
penalaran yang meyakinkan akan adanya Tuhan.
Saya:
Tapi bagaimana dengan banyak ilmuwan dan pemkikir yang dalam perjalanan pemikirannya
justru mereka malah menemukan Tuhan. Apa anda tidak terinspirasi oleh mereka?
Prof Sesat:
Saya paham maksud anda. Memang banyak ilmuwan dan pemikir yang akhirnya mengakui
adanya Tuhan. Tapi bagi saya itu bukan berarti mereka menemukan Tuhan, tapi hanya
“meyakini” Tuhan.
Saya:
Lho apa bedanya Prof?
Prof Sesat:
Menemukan, secara harfiah berarti benar-benar menemukan Tuhan secara empiris. Dan ini
belum pernah terdengar sepanjang sejarah. Kalau pun ada, patut dipertanyakan. Jangan-
jangan yang mereka temukan itu adalah tuyul.
Kemudian menemukan secara penalaran yang meyakinkan. Nah, saya belum melihat dari
disiplin ilmu apapun, ada penalaran yang meyakinkan bahwa Tuhan itu ada. Tetap ada celah
untuk membantahnya.
Saya:
Dalam ilmu agama kan ada Prof?
Prof Sesat:
Agama bukan ilmu. Agama keyakinan.
Saya:
Tapi kok sering disebut ilmu agama Prof?
Prof:
Itu penyimpangan bahasa pada masyarakat umum. Terutama di Toko buku dan perpustkaan
biasa. Yang namanya ilmu berdasarkan metode keilmuan. Baik teroritis maupun praktis. Atau
yang disebut dengan metode ilmiah. Nah, agama bukan disusun dari hasil penelitian yang
menggunakan meotde ilmiah. Tapi "hanya diyakini" bersumber dari wahyu Tuhan.
Tapi benarkah kitab suci itu wahyu dari Tuhan? Tidak ada yang bisa membuktikannya.
Bahkan benarkah ada yang namanya Tuhan itu? Tidak ada yang bisa membuktikan. Tapi
umat beragama meyakininya.
Saya:
Bagaimana menurut anda seperti pengalaman Einstein yang meyakini ada suatu Kekuatan
Tertinggi dibalik semua yang ada ini? Padahal dia seorang fisikawan, yang jelas-jelas banyak
bergulat dengan materi dan hukum fisika. Apakah pengalaman dia itu tidak bisa anda jadikan
rujukan?
Prof Sesat:
Tidak hanya Einstein, banyak kok ilmuwan lain mengalami hal yang sama. Pascal pun sekian
abad silam juga sudah menyatakan hal yang sama. Tapi harap anda catat, mereka “mengakui”
Tuhan. Bukan “menemukan” Tuhan.
Saya:
Sepertinya saya jadi penasaran dengan pernyataan anda. Mungkin kita harus spesifik ya.
Misalnya begini. Dulu kan ada teori hukum alam versi Newton. Bahwa intinya segala sesautu
di dunia fisika ada hukum tetap yang mengaturnya. Ada pergerakan atom-atom yang teratur
dan mekanis dalam setiap materi. Konstan dan bisa diprediksi. Nah jika semua perjalanan itu
teratur, berarti dia sudah solid, sudah tertutup. Dan itu artinya tidak ada campur tangan
kekuatan misterius dalam hukum alam. Yang artinya sama dengan tidak ada teori penciptaan.
Dan lebih jauh itu artinya tidak ada Pencipta atau Tuhan.
Tapi kemudian lahir penemuan Teori Mekanika Kuantum. Yang intinya bahwa pergerakan
molekul dalam atom ternyata tidak beraturan. Berloncatan seenaknya tanpa bisa diprediksi.
Tidak konstan. Tiba-tiba. Nah, kenapa tiba-tiba? Itu artinya ada kekuatan lain yang
mencampurinya. Maka kekuatan lain itulah yang disebut dengan X. Atau disebut dengan
Sang Kreator. Pencipta atau Tuhan. Apa anda tidak melihat hal seperti itu?
Prof Sesat:
Saya paham maksud anda. Tapi seperti yang saya tegaskan tadi. Tetap saja itu hanya sebuah
“pengakuan”. Bukan penemuan. Pengakuan itu muncul karena rasa takjub karena ternyata
apa yang dilihat dan dialami itu diluar perkiraan. Di luar jangkauan. Tidak bisa dinalar lagi.
Lalu secara psikologis muncul rasa takjub.” Wah …. Pasti ada Tuhan nih.” Nah, itu sama
juga statusnya dengan keyakinan. Bukan penemuan ilmiah. Karena tidak ada jalur empiris
dan penalaran antara tidak dimengertinya suatu gejala alam dengan pengakuan adanya Tuhan.
Artinya itu bukan bukti. Tapi hanya stimulus. Pemicu munculnya rasa kagum dan pasrah
secara eksistensial. Suatu misteri yang meliputi segala batas kemampuan kita. Dan secara
ilmu? Itu suatu loncatan yang tidak logis. Apalagi empiris.
Saya:
Hmm …. Begitu ya. Okey saya jadi paham. Tapi itu baru dari segi ilmu pasti ya. Sekarang
bagaimana dari sisi Filsafat?
Prof Sesat:
Okey silahkan anda mulai.
Saya:
Tuhan itu kan Pencita. Dan kita ciptaanNya. Berarti tidak mungkin ada ciptaan tanpa adanya
Pencipta.
Prof Sesat:
Itu hanya permainan bahasa. Dalam filsafat bahasa hal-hal seperti itu sudah tamat. Karena
apa? Karena komposisi, argumentasi dan proposisi bahasa tidak selalu ada hubungannya
dengan kenyataan. Bahasa itu benar hanya pada dirinya sendiri. Bukan benar pada kenyataan
yang kita alami.
Saya:
Wah … bingung Prof. Maksudnya gimana sih?
Prof Sesat:
Contoh ya. Misalnya anda jago menulis. Dari tulisan itu anda bisa menampilkan sosok
penulis yang sangat beriman. Dan setiap ada pertanyaan dan kritik bisa anda jawab dengan
cantik dan menganggumkan. Tapi benarkah itu sekaligus bisa dijadikan sebagai bukti bahwa
anda beriman?
Saya:
Hmm…..
Prof Sesat:
Tidak kan. Menulis satu hal. Logika dalam penulisan satu hal. Dan kebenaran iman anda
dalam kenyataan satu hal. Nah begitu juga dengan permaianan kata-kata tadi. Istilahnya itu
"oposisi binner". Dalam konteks ini selalu saya ada 2 kata yang dilawankan atau
berpasangan. Dan itu logis secara bahasa. Pencipta-Ciptaan, Barat-Timur. Tinggi-rendah.
Baik-buruk. Dan seterusnya.
Tapi dalam kenyataan pernyataan itu tidak ketemu. Sekarang ambil saja contoh baik dan
buruk. Bisakah anda nilai saya ini baik atau buruk?
Saya:
Kan ada alat ukurnya Prof.
Prof Sesat:
Terserah apa ukurannya. Tai yang jelas bisa tidak anda nyatakan dengan tegas apakah saya
ini tergolong orang baik atau buruk?
Saya:
Ya … susah juga Prof. Soalnya manusia kan tidak ada yang sempurna. Tetap saja ada
kelebihan dan kekurangannya.
Prof Sesat:
Nah, itu! Ada gradasi kan. Ada bentangan tidak terhingga dari kutub baik menuju kutub
buruk kan. Apakah baik sedikit, baik menengah dan seterusnya. Nah, itulah problem bahasa.
Logika kata-kata tidak selau merujuk pada kenyataan. Apalagi bahasa itu produk
kebudayaan. Bukan turun dari langit. Karena bahasa hasil budaya manusia, maka apa yang
dipahaminya dengan bahasa, menjadi relatif. Sementara yang ingin kita pahami dengan
bahasa itu adalah sesuatu yang Absolut. Tuhan. Apakah mungkin?
Sengaja saya jelaskan soal ini dulu karena ini kunci. Apapun jenis filsafat sekarang, secara
metodologis atau epistemologis sudah dibunuh oleh filsafat bahasa. Sehingga seorang
Wittgenstein mengatakan: “katakanlah hanya apa yang dapat dikatakan!” Dan saya ingin
menambahkan: “Diamlah jika sesuatu itu sudah percuma untuk dikatakan”
Saya:
Hmm … masih rada-rada bingung nih Prof. Tapi menarik ya. Lanjut Prof saya dengar saja
dulu.
Prof Sesat:
Okey. Nah, karena Tuhan adalah objek pembicaraan yang tidak kongret, tidak empiris, maka
dalam konsep ini, sudah percuma dibahas. Karena tidak ada yang bisa membuktikannya.
Secara saintifik tadi anda sudah paham kan. Tidak ada yang bisa menemukan Tuhan. Apalagi
secara filsafat. Berjuta buku sepanjang sejarah membahas soal Tuhan. Itu bagi saya semua
tidak lebih dari olah raga otak. Hanya spekulasi metafisik. Artinya kita hanya berandai-andai.
Hanya saja ada andai-andainya yang lugu dan ada yang cerdas. Tapi secanggih apa pun
semua itu tetap saja hanya andai-andai. Yang Tuhannya sendiri tetap tidak ditemukan. Kalau
ada yang meyakini Tuhan karena hasil penalarannya, itu bukan karena mereka menemukan
penalaran yang meyakinkan tentang Tuhan, tapi hanya karena sistem berpikirnya yang
membatasi. Nanti kalau di sorot dengan cara berpikir lain, maka konsep Ketuhannya itu bisa
gugur. Dan itu sudah terbukti sepanjang sejarah Filsafat.
Saya:
Oke kalau begitu Prof. Saya sudah paham. Lantas masih ada tidak sisi lain yang bisa
dilakukan untuk mengetahui Tuhan secara keilmuan?
Prof Sesat:
Setahu saya tidak ada lagi. Secara kasar hanya 2 itu puncaknya. Sains dan Filsafat.
Saya:
Psikologi Prof?
Prof Sesat:
Wah itu sama sekali tidak bisa. Itu kuncinya kan pada perasaan dan pikiran. Pikiran atas
sadar dan alam bawah sadar. Jika anda merasa sedih luar biasa, lalu anda menangis dan
berdoa. Setelah itu hati anda langsung jadi tenang. Apa itu bisa dijadikan bukti bahwa Tuhan
itu ada? Dalam konsep Ilmu dan Filsafat itu pernyataan yang paling ngaur. Karena Psikologi
bisa menjelaskannya. Bahwa anda bisa tenang setelah berdoa, itu karena ada sugesti
psikologis. Tidak bisa anda tarik seenaknya, ” wah …. Berarti ada Tuhan nih. Buktinya saya
ditolong kok menenangkan perasaan”. Justru anda terjebak dengan yang disebut
Psikologisme. Memandang segala hakikat kenyataan hanya dari sudut psikologi.
Apalagi?
Saya:
Oya ini Prof. Misalnya ada kejadian yang tidak masuk akal. Ada peristiwa kecelakaan mobil
masuk jurang. Tiba-tiba semua penumpangnya mati. Terus ada seorang bayi yang selamat
ditemukan dibawah reruntuhan mobil itu tanpa cacat sedikit pun. Gimana itu Prof?
Prof Sesat:
Tetap saja itu tidak bisa ditarik-tarik sebagai bukti adanya Tuhan. Dan secara hukum alamiah,
bisa saja tidak ada benturan yang membuatnya cedera. Kebetulan saja posisinya selalu
menguntungkan. Tapi karena peristiwa itu terasa luar biasa, maka secara psikologis perasaan
kita jadi heran penuh takjub, lalu meloncat lagi secara vertikal: “Pasti ada Tuhan nih.
Buktinya bayi ini ditolongNya”. Padahal itu hanya respon psikologis anda. Loncatan berpikir
atau imajinasi anda. Secara Sains dan Filsafat, pernyataan ini tetap dinilai ngaur.
Saya:
Kalau ada yang bisa kebal dan santet itu gimana Prof? Yakin gak?
Prof Sesat:
Bukan hanya yakin. Memang terbukti kok ilmu kebal dan santet itu ada. Tapi itu Psikologi
bisa menjawab. Bahwa itu permainan telepati dan kebathinan. Dan secara ilmu alam itu juga
bisa dijelaskan, bahwa ada daya, aura, atau energi bathin yang di gunakannya. Dan energi itu
bertebaran di alam semesta. Hanya saja mata kita tidak bisa melihatnya, tapi gejalanya terasa.
Sama saja ketika anda sama-sama rindu dengan selingkuhan anda. Kontaknya terasa kan.
Tapi tidak bisa dilihat. Atau seperti arus listrik. Nah semua itu kan energi alam semesta. Yang
siapa saja yang mau mengolahnya akan bisa mendapatkan hasilnya. Tapi itu tidak bisa ditarik
begitu saja: “O pasti ada Tuhan nih. Buktinya dukun anu bisa anu-anu.” Lagi-lagi itu hanya
rasa takjub yang luar biasa. Bukan bukti adanya Tuhan.
Saya:
Okey, kalau mukjizat para Nabi bagaimana Prof?
Prof Sesat:
Wah …. Kalau ini bukan sains dan filsafat lagi. Ini sudah pertanyaan agama. Sudah bersifat
keyakinan.
Saya:
Maksudnya Prof?
Prof Sesat:
Tapi dari awal kan sudah kita bicarakan. Persoalan mendasar kita saja tidak terjawab. Apalagi
masalah turunan seperti mukjizat. Itu sudah turunan sekali.
Saya:
Maaf saya tidak mengerti Prof?
Prof Sesat:
Mukjizat itu diceritakan dalam Kitab Suci kan. Nah kitab suci itu bersumber dari wahyu yang
dibisikan oleh Tuhan melalui malaikat. Nah Tuhan nya sendiri tapi belum terjawab. Ada atau
tidak? Dari sisi ini, selagi pertanyaan dasar ini belum terjawab, maka dalam konteks ini
segala apa saja yang dibicarakan seputar agama menjadi sia-sia. Itu sebabnya tadi saya
tegaskan agama itu keyakinan. Sesuatu yang kita terima tanpa bukti.
Saya:
Tapi Nabi Muhammad itu kan benar-benar ada Prof? Dan Alquran pun juga terbukti dari
Nabi Muhammad?
Prof Sesat:
Oke saya paham. Muhammad benar ada. Dan Alquran benar juga ada dan dibawa oleh Nabi
Muhammad. Tapi bahwa dia benar-benar seorang Nabi yang merupakan utusan Tuhan, bisa
anda buktikan kebenarannya?
Saya:
Buktinya ada dalam Alquran itu sendiri? Yang isinya wahyu dari Tuhan?
Prof Sesat:
Hahaha..! Apa buktinya bahwa Alquran itu wahyu dari Tuhan?
Saya:
Karena isinya diakui kebenarannya. Dan banyak kebenaran dari ajarannya. Dan juga
diceritakan sejarah Nabi-nabi di dalamnya. Dari mana Nabi tahu kalau itu bukan dari Tuhan?
Terus juga soal hari akhir dan alam ghaib. Mana mungkin Nabi tahu kalau bukan dari Tuhan?
Prof Sesat:
Itulah yang saya sebut sebagai pengakuan tadi. Meyakini isinya tanpa minta bukti dari luar.
Saya:
Buktinya banyak kok Prof, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Alquran itu Tuhan yang
menurunkan. Dan itu artinya Tuhan ada kan?
Prof Sesat:
Nah disinilah problem dalam diskusi agama. Alasan yang digunakan melulu keyakinan.
Bukan nalar. Bukan argumentasi. Apalagi bukti.
Sekarang coba anda jawab pertanyaan saya dengan jujur. Ada teman anda yang mengaku
bahwa mobil yang dipakainya adalah hadiah dari lomba blogger terbaik. Lalu dapat hadiah
dari Google. Nah bagaimana anda bisa membuktikan kalau pengakuannya itu benar?
Percayakah anda hanya dengan keterangan yang dia sendiri yang menceritakannya panjang
lebar walaupun sampai 2 hari dua malam?
Saya:
Ya tidaklah Prof. Saya harus tanya dulu ke Google. Kalau google katakan iya baru saya
percaya. Kalau tidak kan bisa saja teman saya itu ngarang….
Prof Sesat:
Nah… itu dia! Berarti anda perlu bukti dari luar dirinya sendiri kan?
Saya:
Lha jelas dong Prof!
Prof Sesat:
Nah, sperti itulah pertanyaan terhadap Alquran tadi. Benarkah Akquran itu wahyu dari
Tuhan? Seterusnya benarkah ada Tuhan?
Saya:
Hmm …. Kalau begitu bisa batal dong Prof semua apa yang dijelaskan dalam Alquran?
Solanya harus dibuktikan dari luar Alquran. Dan Tuhannya sendiri juga harus dibuktikan dari
luar. Bukan dari ayat-ayat itu sendiri. Lho gimana cara membuktikannya Prof? Tuhan ini
kepada siapa mau ditanyakan… wah …! Bahaya juga nih cara berpikirnya Prof. Berarti
semua agama di dunia bisa gugur nih. Wong Tuhan saja belum terjawab. Bagaimana bisa
mengakui kebenaran wahyu dan Kenabiannya?
Oh ada Prof. Ada! Lihat hasil ciptaan Tuhan. Lihat tanda-tandaNya di alam.
Prof Sesat:
Hahaha…! Tapi tadi sudah kita bahas. Apapun yang menakjubkan kita lilhat di alam ini,
secara sains dan filsafat tidak bisa dijadikan sebagai bukti adanya Tuhan. Misalnya anda
melihat gugusan bintang di langit. Begitu indah dan mengagumkan. Lalu anda berucap.
“Pasti ada Tuhan nih”. Ucapan anda itu hanyalah ungkapan kekaguman. Lompatan imajinasi
anda. Dan lompatan itu tidak ada benang merahnya secara penalaran. Apalagi secara empiris.
Kata kuncinya adalah kata “berarti”. Apapun jenis ketakjuban yang anda alami dan saksikan
biasnya akan diawali dengan kata “berarti”. Contoh.
“Wah betapa luasnya jagat raya tidak terhingga ini. Sampai sekarang manusia baru sampai ke
planet Mars. Hmm …. Ini berarti …..”
“Sorang bayi selamat dalam kecelakan mobil masuk jurang? Wah wah…. Berarti….”
“Hanya dari pertemuan sel sperma dengan ovum akhirnya bisa menjadi manusia yang sangat
kompleks seperti manusia. Benar-benar luar biasa. Hmm … ini berarti ……”
Anda sudah tahu sambungan dari kata berarti itu kan. “berarti ada Tuhan nih”
Secara filsafat tahu anda status kata “berarti” itu? Itu bukanlah bukti. Tapi penafsiran. Dan
penafsiran itu bisa berbeda-beda tergantung orangnya. Tergantung juga latar belakang yang
sangat beragam dari masing-masing orang tersebut. Jangan-jangan , kalau anda tiba-tiba
dijemput oleh selingkuhan anda karena anda sebelumnya kangen, mungkin anda akan
tafsirkan juga sebagai bukti adanya Tuhan ..
Saya:
Hahaha…! Prof ini bisa bisa saja…
Hmm .. menarik sekali Prof. Kalau begitu Tuhan tidak bisa dibuktikan sama sekali Prof. Dan
agama hanya murni keyakinan berarti ya. Waduh …saya jadi ngeri Prof. Berarti pemahaman
seperti ini Atheis dong Prof?
Prof Sesat:
Hmmm..?
Saya:
Ya iya berarti Prof. Jelas jelas Atheis namanya. Kan tidak yakin lagi adanya Tuhan. Karena
tidak menemukan buktinya sama sekali. Lha kalau tidak ada bukti kan sama juga dengan
tidak mempercayainya.
Terus boleh saya tanya ya. Prof sendiri kan beragama Islam. Menjalankan ibadah Islam.
Bagaimana tuh Prof?
Prof Sesat:
Apanya yang bagaimana?
Saya:
Kalau Islam Prof kan harus percaya bahwa Tuhan itu ada. Bahwa wahyu itu dari Tuhan dan
Nabi Muhammad itu utusan Tuhan?
Prof Sesat:
Ya itu yang saya katakan di awal tadi. Saya harus memakai hati untuk beragama dan akal
untuk sains dan filsafat. Agama saya yakini dan sains saya buktikan. Filsafat saya pikirkan.
Saya:
Berarti ada dualisme berarti Prof. Sikap Prof tidak kaffah atau meyeluruh berarti?
Prof Sesat:
Kalau mau jujur, sebenarnya umat beragama, nyaris ada dualisme dalam dirinya. Walaupun
tanpa disadarinya. Misalnya anda kan seorang blogger. Apakah agar blog anda bisa terindeks
di google bisa anda dapatkan dengan berdoa tiga hari tiga malam?
Saya:
Ya harus diiringi dengan usaha dong Prof….
Prof Sesat:
Kalau anda usahakan saja tanpa do’a bisa tidak?
Saya:
Hmm …. Ya bisa ya. Haha..! Berarti …
Prof Sesat:
Nah, itu buktinya alam ini hanya patuh mengkuti hukum-hukumnya sendiri. Ada mekanisme
hukum alam yang tidak terbantah. Jadi jika berurusan dengan alam anda harus menjadi
seorang yang bersikap saintifik. Anda tidak akan bisa membangun rumah, pergi ke kantor,
belanja ke pasar hanya dengan iman. Anda harus mengikuti mekanismenya. Tanpa anda
bawa-bawa nama Tuhan pun hal itu akan tetap terjadi. Jadi semua tindakan anda dalam
kegiatan sehari-hari itu tidak ada hubungannya secara ontologis dengan agama.
Saya:
Lho? Jadi fungsi agama jadinya dimana Prof?
Prof Sesat:
Ya untuk menenangkan hati. Tapi sudah saya katakan tadi bahwa agama didekati dengan
hati. Maka yang diisinya juga hati. Juga jiwa atau bathin.
Saya:
Hmm … begitu toh. Jadi ini yang Prof sebut dengan Islam Atheis? Islam dipakai sebagai
keyakinan dan sikap Atheis dipakai untuk memahami alam dengan berbagai gejalanya?
Prof Sesat:
(tersenyum …..)
Kritik Terhadap Atheis
Pada bagian ini saya, akan mencoba memaparkan beberapa kritik yang bisa
dialamatkan kepada kalangan atheis (baik yang positif maupun negatif). Sejatinya, atheisme
merupakan sebentuk kegelisahan berpikir yang sayangnya tidak dilanjutkan hingga selesai.
Dan keburu tercampur dengan begitu banyak epistemologi, khususnya filsafat Barat. Apabila
sedikt lebih jeli mengamati pola berpikir mereka yang akhirnya atheis, masih terbuka
kemungkinan bagi kita untuk melabeli mereka dengan kata skeptisisme buta. Dengan kata
lain, ketidakbertuhanan mereka lebih didasari oleh keragu-raguan yang mendalam tentang
Zat Yang Kekal Abadi. Sehingga banyak dari mereka yang terkadang tidak tahu apa dasar
terkuat bagi mereka untuk kemudian menjadi atheis.
Jika mereka memang termasuk kelompok orang yang rasionalis, kenapa mereka tidak
pernah sedikit keras berpikir untuk mengamati, contohnya seperti: jam yang dengan
kerumitan dan elegansinya, juga membutuhkan sosok pencipta, yaitu pembuat jam dan bukan
muncul begitu saja. Apalagi dengan semesta raya yang membentang luas ini. Itu belum lagi
mengikutsertakan kita (manusia) di dalamnya. Ini hanya satu contoh kecil saja, dan tidak
perlu menyertakan sekian banyak contoh yang tetap takkan mendapat jawaban yang
memuaskan dari mereka. Figur sekelas Einstein saja tetap memberi tempat yang terhormat
kepada sosok yang tak terpahami (Tuhan) dengan ujaran ilmiahnya berikut ini: meskipun
Tuhan yang dimaksudkannya adalah Super Monad-nya Spinoza; Satu-satunya hal yang tidak
dapat dipahami dari semesta raya ini adalah, kenapa ia (semesta) dapat dipahami.
KESIMPULAN
Perdebatan intelektual atas keberadaan Tuhan tetap aktif hingga kini, terutama di
kampus-kampus, dalam diskusi kelompok-kelompok keagamaan, dan forum elektronik
melalui internet.
Dalam hal ini seringkali manusia memahami bahwa wilayah kekuasaan Tuhan
hanyalah pada persoalan-persoalan sakral atau tempat-tempat suci. Di luar semua itu,
kekuasaan bukan lagi wilayah Tuhan, melainkan jadi wewenang manusia. Maka, manusia
sangat bebas dan independen dalam bersikap, termasuk melakukan tindakan negatif.
Saya mengutip apa yang dikatakan pemikir Islam, Komaruddin Hidayat, selama ini
kita memperoleh doktrin bahwa Tuhan itu Maha Baik, Maha Mendengar dan Maha
Menolong, namun pada kenyataannya ketika kenyataan pahit menghadang, kita tidak mudah
menemui Tuhan untuk menuntut janji-janji kebaikkannya. Hal itulah yang terkadang
membuat kita mempertanyakan kesungguhan Tuhan dan sering tergoda untuk
meninggalkannya.
Fenomena sosial terhadap pertanyaan serta keraguan mengenai ”keyakinan” untuk
kembali mempelajari masa lalu dan mengambil hikmahnya atas sejarah Tuhan ini, agar kita
mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana kita harus memandang dan
mendefinisikan Tuhan dan firmannya serta bagaimana kita mendefinisikan hubungan antar
agama.
Sang Ilahi itu mahakuasa, tetapi mainstreamnya merupakan perpaduan kebaikan dan
kejahatan. Pilihan ini berupa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan tidak seorang pun dapat
menyebut-Nya baik atau jahat, tetapi Dia adalah Tuhan yang jauh dan bahkan, mungkin, pada
dasarnya bukan suatu pribadi “impersonal”.