Post on 21-Oct-2015
1
TEORI-TEORI ANALISIS SASTRA LISAN:
STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
Oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum1
Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia
1. Latar Belakang
Claude Lévi-Strauss (1908-2009) adalah seorang ahli antropologi dan
etnografi terkemuka Prancis yang dikenal sebagai ―bapak antropologi modern‖.
Pandangannya yang utama adalah struktur pemikiran manusia purba (savage
mind) sama dengan struktur pemikiran manusia modern (civilized mind) karena
sifat dasar manusia sebenarnya sama. Pemikiran ini dituangkannya dalam
bukunya yang terkenal Tristes Tropiques yang menempatkan Levi-Strauss sebagai
salah satu tokoh terpenting aliran strukturalis. Gagasannya diterima di lingkungan
ilmu-ilmu humaniora dan filsafat.
Levi-Strauss memberikan perhatian khusus pada mitos, yang menurutnya
memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religious. Dia
menganggap mitos sebagai bahasa, sebuah narasi yang sudah dituturkan untuk
diketahui. Menghadapi mitos, para ilmuwan seolah-olah memasuki sebuah dunia
yang kontradiktif. Di satu pihak, tampak bahwa segala sesuatu dapat saja terjadi.
Tidak ada logika, tidak ada kontinuitas. Sifat-sifat apapun dapat diberikan kepada
subjek tertentu, segala macam relasi dimungkinkan. Hal yang mengherankan
adalah bahwa ciri arbitrer ini muncul dalam semua mitos dari berbagai wilayah di
dunia. Hakikat mitos, menurut Levi-Strauss (1958: 94), adalah sebuah upaya
untuk mencari pemecahan terhadap kontradiksi-kontradiksi empiris yang dihadapi
dan yang tidak terpahami oleh nalar manusia. Pada dasarnya mitos merupakan
pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat.
Teori dan metode kajian struktural Levi-Strauss tidak banyak
dimanfaatkan oleh kalangan akademisi di Indonesia, sebagian karena cara
kerjanya yang cukup rumit. Ilmuwan Indonesia yang sangat intens
memperkenalkan dan menggunakan teori dan metode struktural Levi-Strauss
dalam melakukan kajian terhadap mitos dan karya-karya sastra Indonesia adalah
Ahimsa-Putra (2006). Selain memperkenalkan konsep-konsep teoretisnya,
1 Tulisan ini merupakan Bab VI dalam buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan
Pendekatan, Disertai dengan Contoh Penerapannya. (Penerbit Lamalera: Yogyakarta, 2011: 159-
193).
2
Ahimsa-Putra menerapkan model kajian struktural Levi-Strauss untuk
menganalisis karya sastra dan dongeng-dongeng dari wilayah nusantara, antara
lain terhadap dongeng masyarakat Bajo berjudul ‘Pitoto Si Muhamma‘, karya-
karya sastra Umar Kayam Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi, dan Mitos
Sawerigading dan Dewi Sri.
Dalam mengkaji dongeng masyarakat Bajo, Ahimsa-Putra (2006: 99-180)
sampai pada kesimpulan bahwa dongeng Pitoto‘ Muhamma‘ benar-benar
mencerminkan konflik batin orang Bajo yang terus-menerus mendua dan tak
pernah terpecahkan: di satu pihak mereka adalah orang laut yang meyakini
superioritas laut, tetapi di pihak lain mereka juga sangat tergantung pada
kehidupan darat dan menyaksikan superioritas darat. Dalam kenyataannya,
mereka tidak sepenuhnya dapat hidup hanya dari hasil laut saja. Laut dan darat
masing-masing memiliki kekuatan dan orang Bajo sesungguhnya membutuhkan
keduanya. Dongeng Pitoto‘ Muhamma‘ dapat dikatakan merupakan sebuah upaya
simbolisasi orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris: mereka
sebagai orang yang hidup dari mengumpulkan hasil laut tetapi sekaligus
tergantung pada hasil bumi dari darat. Pertanyaan tentang kontradiksi-kontradiksi
ini tidak pernah terjawab dengan tuntas. Karena itulah dongeng ini memberi
jawaban tentang konflik batin ini, yakni: bagi orang Bajo, aktivitas yang
terpenting adalah mengembara dan mengunjungi sesama orang Bajo. Dalam
aktivitas mengembara inilah mereka menemukan identitas mereka. Dongeng ini
menjawab konflik batin itu: pertanyaan tentang superioritas – inferioritas menjadi
kurang relevan. Mereka tetap memilih menjadi pengembara.
Kajian Shri Ahimsa-Putra lainnya berjudul ‖Sri Sumarah, Bawuk, dan
Para Priyayi: Sebuah Analisis Struktural-Hermeneutik‖ (dari buku Strukturalisme
Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra). Analisis Ahimsa-Putra menyimpulkan
empat hal sebagai berikut. (1) Tema cerita-cerita ‗dongeng‘ Umar Kayam yang
dikaji di atas adalah: kisah tentang keluarga-keluarga priyayi Jawa yang beberapa
anggotanya terlibat PKI. (2) Karya-karya tersebut berhasil memberi jawaban
terhadap kebimbangan Umar Kayam tentang siapa yang ‗harus dan tidak harus‘
jatuh ke dalam lubang nasib mereka. Dalam hal ini, penjelasan itu ditunjukkan
dalam dua struktur, yaitu ‘struktur sejarah kehidupan‘ dan ‘struktur segi tiga
tegak‘. Dalam kedua struktur inilah terkuak adanya prinsip-prinsip nalar Jawa di
3
seputar harmoni, kesinambungan, dan kesatuan. (3) Kebebasan Umar Kayam
sebagai pengarang ternyata ‘dibatasi‘ oleh sebuah struktur nalar ‘nirsadar‘. (4)
Nilai Jawa sak madya, tokoh mitis (mythical figure) Semar, sosok Umar Kayam,
dan tokoh-tokoh etnografis Tun, Bawuk, Hari merupakan perwujudan prinsip
nalar Jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan menyatukan elemen-
elemen yang selalu berlawanan.
Tirto Suwondo (2003) menerapkan studi struktural Levi-Strauss untuk
memahami pola pikir Jawa melalui mitos Dewi Sri dalam tulisan berjudul
‖Pemahaman Pola Berpikir Jawa Melalui Mitos Dewi Sri: Studi Struktural-
Antropologis Menurut Levi-Strauss.‖ Suwondo menyimpulkan bahwa mitos
Dewi Sri merupakan alat pembenaran konsep hidup Jawa yang bersifat melingkar
yang berpusat pada satu titik, yaitu pada sangkan paraning dumadi, suwung
awang-uwung. Suwondo tidak sampai menemukan ‘logika‘ di balik Dewi Sri
yang mencerminkan nalar manusia Jawa dalam memecahkan sebuah persoalan.
Logika mitos Dewi Sri dikemukakan oleh Ahimsa-Putra (2006: 436-438), bahwa
mitos ini menerangkan tentang larangan incest atau kawin antara saudara
sekandung.
2. Teori dan Konsep Analisis Struktural
Strukturalisme adalah sebuah pendekatan yang mulai dikenal dan
dikembangkan di Prancis pada tahun 1950-an dari pemikiran linguis Ferdinand de
Saussure.2 Menurut Saussure, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam
semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial). Di bidang
antropologi dua tokoh strukturalis yang paling berpengaruh adalah Claude Lévi-
Strauss (1908-2009) dan Roland Barthes3 (1915 –1980).
2 Ferdinand de Saussure (1857 –1913) dikenal sebagai peletak dasar linguistik dan semiotik
modern. Menurut dia, studi bahasa perlu membedakan antara langue (sistem bahasa, tata bahasa,
sintaksis, dll) dari parole (penggunaan bahasa oleh individu-individu). Tujuan linguistik adalah
mencari sistem (langue) atau struktur dari kenyataan yang konkret (parole). Ajaran ini menjadi
dasar pendekatan strukturalis. Pemikirannya amat mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu
humaniora dan sosial. Kata bukanlah simbol mengenai sesuatu hal melainkan tanda yang terdiri dari: penanda (kata) dan petanda (konsep, makna, pemikiran). Kata ‗merah‘ menandakan ‗stop‘.
Hubungan penanda dan petanda bersifat arbitrer atau mana suka. 3 Roland Barthes adalah filsuf, kritikus sastra, dan semiolog Prancis yang paling eksplisit
mempraktikkansemiologi Ferdinand de Saussure, bahkan mengembangkan semiologi itu menjadi
metode untuk menganalisis kebudayaan.
4
Perjumpaan Levi-Strauss dengan Roman Jakobson menentukan karir
akademisnya, terutama dengan diperkenalkannya linguistik modern. Beberapa
prinsip linguistik modern Levi-Strauss dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure.
Saussure menganggap fenomena-fenomena umum bahasa (langage) selalu
memiliki dua sisi, yaitu parole (speech, language use) dan langue (sistem bahasa
umum dari suatu kelompok bahasa) (Bertens, 1985).
Yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sistem bahasa umum
yang melebihi bahasa individual (parole). Parole tidak menjadi objek studi
linguistik. Langue harus dianggap sebuah institusi bersistem, arbitrer, sesuai
dengan sistem bahasa tertentu. Dari paham sistem langue itu, Saussure
menekankan pengkajian sinkronis sebelum memasuki pengkajian diakronis.
Sinkronis harus dilepaskan dari persepektif historis, lepas dari subjek yang
berbicara, jadi a-historis. Sinkronis berarti meneliti bahasa pada waktu tertentu
tanpa menghiraukan perkembangan awalnya. Sebelum Saussure, ahli-ahli bahasa
selalu memperhatikan proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan
fonetis dengan sudut pandang historis-komparatif. Bagi Saussure, linguistik harus
mengesampingkan unsur-unsur ekstra-linguistik dan historis. Inilah awal
munculnya pendekatan strukturalisme. Strukturalisme adalah ―penelitian terhadap
pola-pola pemikiran yang mendasari berbagai bentuk aktivitas manusia‖
(Wikipedia, 2010).
Strukturalisme kemudian menjadi model atau paradigma, kunci untuk
membuka ilmu-ilmu manusia lainnya seperti antropologi, psikologi, ekonomi,
sosiologi. Karena semua manusia berbakat simbolik. Kebudayaan tak lain adalah
sistem-sistem simbolik. Selain Mazhab Jenewa (Saussure), pandangan serupa
telah dibuat oleh Mazhab Praha (Roman Jakobson) yang memandang sastra
bersifat otonom, terlepas dari pengarang atau lingkungan sosialnya. Mereka hanya
meneliti relasi-relasi instrinsik karya sastra. Bagi Madzab Praha, segala sesuatu
adalah bentuk, sehingga aliran mereka pun dinamakan Formalisme Rusia. N.
Trubertzkoy menerapakan prinsip-prinsip fonologi modern. Berkat Roman
Jakobson dan N. Trubertzkoy itulah ilmu-ilmu kemanusiaan dipelajari secara
sangat objektif, seperti halnya ilmu-ilmu alam. Ilmu bahasa tampil sebagai ilmu
kemanusiaan yang paling maju.
5
Bagi Levi-Strauss, linguistik adalah satu-satunya ilmu sosial yang pantas
menggunakan nama ilmu (Bertens, 1985: 387). Bagi Levi-Strauss, ada 3 ciri
fonologi yang dapat dimanfaatkan dalam ilmu antropologi. (1) Semua bahasa
merupakan sistem tanda, maka unsur-unsur fonem bahasa juga merupakan satu
sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. (2) Sistem itu harus
dipelajari secara sinkronis sebelum orang menyelami masalah-masalah diakronis.
(3) Hukum-hukum linguistik (misalnya tata bahasa) memperlihatkan suatu taraf
ketaksadaran (unconscious) padahal diterangkan secara sadar. Sistem bahasa
dibentuk oleh ‘psike manusiawi‘ yang tidak sadar.
Strukturalisme bagi Lévi-Strauss adalah sebuah epistemologi baru dalam
ilmu-ilmu sosial-budaya. Oleh karena itu strukturalisme Lévi-Strauss tidak hanya
penting bagi dan dalam antropologi, tetapi juga penting bagi ilmu-ilmu sosial-
budaya lain. Tidak mengherankan, setelah kemunculan strukturalisme ini
pandangan-pandangan antropologi kemudian mempengaruhi cabang-cabang ilmu
sosial-budaya yang lain seperti sosiologi, sastra, dan filsafat (Ahimsa-Putra,
2010). Melalui karyanya Structural Anthropology (1958) strukturalisme kemudian
dikenal oleh lebih banyak orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dia memandang
kebudayaan sebagai sebuah sistem komunikasi simbolik yang dapat dikaji dengan
menggunakan metode-metode yang digunakan dalam mengkaji novel, wacana
politik, olah raga, dan film.
Levi-Strauss memberikan sebuah ilustrasi yang menarik tentang cara kerja
kajian struktural (1958). Dia membayangkan bahwa pada suatu saat ahli-ahli
arkeologi datang dari sebuah planet lain ketika semua manusia sudah tidak ada
lagi di muka bumi ini. Mereka memeriksa perpustakaan kita. Sekalipun mula-
mula mereka tidak mengerti tulisan kita, yakinlah bahwa melalui penelitian tahap
demi tahap, melalui metode trial and error, mereka akhirnya dapat membaca dan
mengartikan tulisan kita. Mereka dapat menemukan bahwa alfabet yang kita
gunakan dalam mencetak buku itu harus dibaca dari kiri ke kanan dan dari atas ke
bawah. Mereka pasti segera menemukan kategori-kategori yang membentuk pola-
pola umum, yang barangkali dianggap sebagai not-not orkestra dalam bidang
musik. Pola-pola notasi itu berulang pada interval tertentu. Setelah menemukan
sebuah ‘harmoni‘, untuk menemukan maknanya, mereka pun akan membacanya
secara diakronik mengikuti satu aksis yakni halaman demi halaman dan dari kiri
6
ke kanan, juga secara sinkronik menurut aksis lainnya, bahwa sebuah notasi yang
ditulis secara vertikal membentuk satu kesatuan unsur pokok, yakni satu ikatan
relasi.
3. Cara Kerja Penelitian
Analisis struktural Lévi-Strauss banyak memanfaatkan data etnografi.
Analisis serta interpretasi dilakukan atas informasi etnografis mengenai berbagai
hal dengan begitu rinci dan rumit. Oleh karena itu pula analisis struktural yang
dikerjakan Lévi-Strauss termasuk yang tidak mudah dipahami oleh orang-orang
antropologi. Kesulitan memahami ini bertambah besar lagi ketika Lévi-Strauss
menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami. Lévi-Strauss termasuk ahli
antropologi yang mampu menggunakan daya retorika yang bagus tetapi tidak
mudah dipahami (Ahimsa-Putra, 2010).
Dalam melakukan kajian terhadap mitos, Levi-Strauss memiliki metode
dan pandangan yang berbeda. Berikut ini dikemukakan mitos Oedipus sebagai
ilustrasi untuk memahami metode dan pendekatan Levi-Strauss. Oedipus adalah
seorang raja mistis dari Thebes, Yunani. Dia memenuhi sebuah ramalan bahwa
dia akan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya, dan dengan demikian
membawa malapetaka bagi kerajaan dan keluarganya. Mitos ini digunakan oleh
Sigmud Freud untuk menyebut sebuah gejala psikologis manusia yang disebut
Oedipus kompleks.
Kisah Mitos Oedipus4
Oedipus adalah anak dari raja Laius dan ratu Jocasta. Karena keduanya
tidak segera mendapatkan anak, mereka mendatangi Peramal Apollo di Delfi.
Sang peramal mengingatkan bahwa jika mereka mendapatkan seorang anak laki-
laki, putra itu akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Ketika Jocasta
melahirkan seorang anak laki-laki, Laius memerintahkan pengawalnya untuk
mengikat kaki Oedipus dan memakunya untuk menghindari terwujudnya ramalan
tersebut. Nama Oedipus muncul dari peristiwa ini, yaitu ―kaki bengkak‖. Laius
menyuruh seorang pelayan untuk membuang anak itu ke kaki gunung terdekat dan
membiarkannya mati. Akan tetapi sang pelayan merasa kasihan pada bayi
Oedipus dan menyerahkannya kepada seorang penggembala dari Korinth. Sang
4 Diolah dari berbagai sumber, dengan sumber utama dari ―http://en.wikipedia.org/wiki/
oedipus‖ yang diunduh tanggal 23 Juni 2010
7
gembala memberikan anak itu untuk dipelihara raja Korinth, Polybus dan ratu
Merope, yang mengadopsi bayi itu karena mereka tidak memiliki anak.
Ketika beranjak dewasa, Oedipus diberitahu oleh seorang pemabuk bahwa
Polybus bukanlah ayahnya yang sebenarnya. Ketika Oedipus menanyakan hal ini
kepada Polybus, dia membantah dan mengatakan bahwa Oedipus memang anak
kandung mereka. Untuk membuktikan kebenaran cerita sang pemabuk, Oedipus
bertanya pada peramal Apollo di Delfi. Sang peramal tidak mengungkap identitas
Oedipus yang sebenarnya, tetapi menyampaikan bahwa Oedipus sudah
ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Demi menghindari
takdir tersebut, Oedipus memutuskan untuk tidak akan kembali ke rumahnya di
Korintus. Bagi Oedipus, Polybus dan Merope, adalah orang tuanya. Karena
berdekatan dengan Delfi, Oedipus memutuskan pergi ke Thebes.
Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba di sebuah simpang tiga di Davlia,
di mana dia bertemu dengan kereta kuda yang dikendarai oleh raja Laius. Laius
memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi
Oedipus tidak mau menurutinya. Oedipus tidak mengenal Laius saat itu.
Keduanya terlibat dalam perkelahian dan berakhir dengan kematian Laius di
tangan Oedipus. Seperti ramalan Apollo, Oedipus membunuh ayahnya.
Oedipus meneruskan perjalanannya ke Thebes. Di tengah jalan dia
dihentikan oleh Sphinx. Sphinx memang menghentikan semua orang yang lewat
di jalan itu sambil memberikan mereka sebuah teka teki. Siapapun yang tidak
dapat menjawab dengan benar akan dimakan oleh Sphinx. Jika mereka berhasil,
mereka dapat melanjutkan perjalanannya. Teka-tekinya adalah ―Makhluk apakah
yang berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki
di sore hari?‖ Oedipus menjawab, ―Manusia. Saat balita, manusia merangkak
yaitu berjalan dengan empat kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua
kakinya, dan saat tua berjalan dengan tongkatnya.‖ Setelah mendengar jawaban
Oedipus sebagai sebuah jawaban yang benar, Sphinx bunuh diri dan
membebaskan Thebes dari ancaman kematian.
Sebagai ungkapan syukur karena berhasil membunuh Sphinx, penduduk
Thebes mengangkat Oedipus menjadi raja dan juga menghadiahkan janda raja
Laius, Jocasta sebagai istrinya. Perkawinan Oedipus ini memenuhi sebagian
ramalan Apollo. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai empat orang anak, dua
laki-laki, Poliniles dan Eteokles dan dua perempuan, Antigone dan Ismene.
Penduduk Thebes yakin bahwa raja mereka Laius terbunuh ketika mencari
jawaban atas teka-teki Sphinx. Mereka benar-benar tidak mengetahui bahwa
pembunuh yang sebenarnya adalah Oedipus.
Beberapa tahun setelah perkawinan Oedipus dan Jakosta, sebuah wabah
penyakit ketidaksuburan menyerang kota Thebes. Tanaman tidak menghasilkan
tuaian dan para perempuan tidak dapat melahirkan anak. Oedipus berjanji akan
segera mengakhiri bencana itu. Diutuskan Kreon, saudara Jocasta, untuk menemui
peramal Apollo di Delfi meminta petunjuk. Apollo mengatakan bahwa si
pembunuh Raja Laius harus ditemukan dan dibunuh atau diasingkan. Oedipus
mencoba mencari identitas si pembunuh. Atas saran Kreon, Oedipus menemui
seorang peramal buta bernama Tiresias. Tiresias mengingatkan Oedipus agar
usahanya untuk mencari pembunuh Laius tidak diteruskan. Karena didesak dan
disudutkan oleh Oedipus, Tiresias terpaksa mengatakan dua hal. Pertama,
pembunuh Raja Laius adalah Oedipus sendiri. Kedua, Oedipus seharusnya merasa
malu karena tidak mengetahui siapakah orang tuanya yang sebenarnya.
8
Mendengar tuturan Tiresias, Oedipus mempersalahkan Kreon. Mereka pun
bertengkar dengan hebatnya. Jocasta mencoba melerai dan menenangkan
Oedipus. Jocasta mencoba menenangkan hati Oedipus dengan menceritakan
mengenai Laius dan sebab-sebab kematiannya. Akan tetapi cerita Jocasta justru
membuat Oedipus menjadi semakin gelisah bahwa dialah yang membunuh Laius
dan membawa malapetaka berupa wabah penyakit ini ke kota Thebes. Pada saat
yang menegangkan ini, datang seorang pesuruh dari Korintus yang mengabarkan
bahwa Raja Polibus, yang dianggap oleh Oedipus sebagai ayahnya, telah wafat.
Oedipus mengkhawatirkan keadaan ibunya. Akan tetapi, untuk menghilangkan
kecemasan itu, sang utusan mengungkap bahwa Oedipus sebenarnya hanyalah
anak angkat dari Polibus. Jocasta akhirnya menyadari identitas Oedipus yang
sebenarnya dan memintanya untuk menghentikan upayanya mencari pembunuh
Laius. Oedipus salah paham terhadap motivasi permintaan Jocasta. Dia mengira
Jocasta merasa malu terhadap Oedipus karena dia adalah anak dari seorang budak.
Jocasta kemudian lari ke istana dan menggantung diri. Oedipus ingin
membuktikan kebenaran cerita utusan tadi. Dia pun menanyakan kepada sang
gembala yang diminta membuang bayi Oedipus. Dari gembala itulah Oedipus
mengetahui bahwa dia memang diadopsi sebagai anak oleh Polybus dan Merope
dan bahwa dia memang anak dari Laius dan Jocasta.
Dalam kesedihan yang amat mendalam, Oedipus teringat bahwa dia
memang membunuh ayahnya sendiri, Raja Laius, di sebuah pertigaan di Davlia,
dan menikahi ibunya sendiri Jocasta. Oedipus bergegas mencari Jocasta tetapi dia
mendapati istri sekaligus ibunya itu sudah tewas bunuh diri. Oedipus mengambil
dua buah peniti dari pakaian Jocasta dan menusuk kedua matanya hingga menjadi
buta. Oedipus meminta Creon menjaga kedua putrinya karena kedua anak laki-
lakinya sudah beranjak dewasa. Akan tetapi putrinya, Antigone, memandu
ayahnya yang buta melalui negaranya sampai meninggalnya di Kolonus, sebuah
wilayah yang dilindungi oleh Raja Theseus dari Athena.
Mitos sebagai Alat Logika
Bagi Levi-Strauss, dengan berpikir manusia membuat struktur terhadap
realitas. Berpikir adalah melakukan klasifikasi. Karena peraturan-peraturan yang
dilakukan dalam klasifikasi itu tidak disadari, maka subjek (manusia individu)
tidak berperan. ‖Pemikiran tidak berasal dari suatu subjek‖ (une pensee sans
sujet). Ini adalah sebuah revolusi cara pandang terhadap manusia yang berlaku
pada waktu itu, yang diterima filsafat Barat, yakni cogito ergo sum, dari Descartes
sampai Sartre (Bertens, 1985: 389).
Pendekatan dan cara kerja penelitian Levi-Strauss dikemukakan dalam
bukunya Mythologiques. Sepintas lalu mitos tampak aneh, tidak memiliki arti,
tetapi bagi Levi-Strauss, mitos memiliki tata bahasa tertentu. Mitos bahkan
merupakan sebuah alat logika untuk menjelaskan berbagai kontradiksi yang
dialami umat manusia. Mitos merupakan hasil kreativitas kejiwaan manusia yang
bebas. Psike manusia ini taat pada hukum-hukum atau struktur-struktur tak sadar
9
dalam cara kerjanya. Dalam interpretasinya, Levi-Strauss memperlihatkan bahwa
mitos terdiri dari (1) relasi-relasi serta oposisi-oposisi dan relasi-relasi, dan (2)
dengan cara itulah pemikiran primitif (savage mind) berhasil menciptakan
orde/keteraturan dalam dunianya.
Dalam menafsirkan setiap mitos, Levi-Strauss memfokuskan diri untuk
menemukan unsur-unsur dasar yang disebutnya unsur-unsur pokok (gross
constituent units). Bagaimana kita dapat mengidentifikasi dan menemukan unsur-
unsur pokok itu? Unsur-unsur pokok tidak mungkin ditemukan pada tataran
morfem, fonem, ataupun semantik, melainkan pada tataran yang lebih tinggi yaitu
kalimat (sentence level). Metode yang disarankan untuk mencari unsur pokok
pada tataran kalimat ini bersifat tentatif, dengan prinsip trial and error, mencoba-
coba.
Unsur-unsur pokok itu disebutnya sebagai mytheme. Contoh mytheme
dalam mitos Oedipus: (1) Oedipus membunuh ayahnya; (2) Oedipus mengawini
ibunya. Cara melakukan interpretasinya adalah: mengaitkan relasi-relasi dan
oposisi-oposisi antara unsur-unsur elementer tersebut. Levi-Strauss menekankan
bahwa sebuah mitos tidak hanya boleh dibaca seperti kita membaca buku, dari kiri
ke kanan, tetapi sekaligus juga dari atas ke bawah, seperti kita membaca partitur
not balok pada musik.
Dalam tulisannya berjudul ”The Structural Study of Myth” (1958), Levi-
Strauss memperlakukan mitos seperti notasi orkestra dalam seri-seri unilinear, dan
tugas kita adalah menetapkannya kembali dalam posisinya yang benar. Misalnya,
jika kita dihadapkan dengan rangkaian pola-pola seperti ini: 1, 2, 4. 7, 8, 2, 3, 4, 6,
8, 1, 4, 5, 7, 8, 1, 2, 5, 7, 3, 4, 5, 6, 8, dstnya, maka tugas kita adalah
mengklasifikasikan notasi-notasi itu secara bersama-sama dalam sebuah
himpunan, sehingga hasilnya tampak seperti pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Susunan Miteme
1 2 4 7 8
2 3 4 6 8
1 4 5 7 8
1 2 5 7
3 4 5
6 8
10
Susunan nomor-nomor itu merupakan unsur-unsur elementer yang mempunyai
dua dimensi: horisontal dan vertikal, sintagmatis dan paradigmatis, diakronis dan
sinkronis.
Dengan rumusan model operasi tersebut, Levi-Strauss mencoba
menerapkannya dengan menganalisis mitos Oedipus. Levi-Strauss menemukan
sebuah model yang ‘harmonis‘ seperti terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2: Analisis Struktur Mitos Oedipus
I II III IV
Menghargai
Hubungan Darah
Meremehkan
Hubungan Darah
Monster Dibunuh Klarifikasi
Kadmos mencari
adiknya Europa
yang diperkosa
Zeus
Kadmos
membunuh naga
Orang-orang
Sparta saling
membunuh
Labdacos (ayah
Laios) = pincang
(lame)
Oedipus
membunuh
ayahnya Laios
Laios (ayah
Oedipus) =
timpang (left-
sided)
Oedipus
membunuh Sphinx
Oedipus menikah
dengan Jocasta
ibunya
Eteocles
membunuh
Polynices
saudaranya
Oedipus = kaki
bengkak (swallen-
foot)
Penyangkalan asal
kebumian
Pengakuan asal
kebumian
Dari tabel di atas, kita dihadapkan pada empat kolom vertikal yang
masing-masingnya memiliki relasi dengan himpunan yang sama. Ketika kita
menceritakan mitos itu, kolom-kolom itu tentu kita abaikan dan kita akan
membacanya dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah. Tetapi bila kita ingin
memahami mitos itu, kita harus mengabaikan separuh dari dimensi diakronik (atas
ke bawah) dan harus membacanya dari kiri ke kanan, kolom demi kolom, masing-
masing kolom dipertimbangkan sebagai satu unit.
Hasil kajian Levi-Strauss terhadap mitos Oedipus memperlihatkan
kesimpulan yang berbeda daripada kajian-kajian sebelumnya. Kajian-kajian
11
sebelumnya banyak terfokus pada unsur-unsur seperti kejatuhan Oedipus, jalan
yang ditempuh Oedipus meraih kekuasaan, dan yang paling terkenal adalah
psikoanalisis Freud tentang Oedipus kompleks. Bagi Levi-Strauss, mitos Oedipus
adalah sebuah alat logika untuk mengungkapkan ketidakmampuan manusia
memahami asal-usulnya. Kebudayaan memegang teguh pandangan bahwa umat
manusia berasal dari dalam perut bumi, tetapi kenyataan yang dihadapi
menunjukkan bahwa manusia dilahirkan dari kesatuan laki-laki dan perempuan.
Sekalipun hal ini tidak dapat diungkapkan secara tuntas, mitos Oedipus
memberikan semacam alat logika terhadap masalah eksistensial itu: manusia lahir
dari satu (bumi) atau lahir dari dua (laki-laki dan perempuan)? Manusia lahir dari
sesuatu yang berbeda (bumi) atau dari yang sama (manusia)? Bagaimana mungkin
kita memiliki dua orang pencipta: seorang ayah dan seorang ibu?
Dengan menghubungkan tipe-tipe dalam Tabel 2 di atas, Levi-Strauss
menjelaskan bahwa relasi yang menghargai hubungan darah (kolom 1) dihadirkan
untuk kepentingan relasi yang meremehkan hubungan darah (kolom 2), dan
penyangkalan asal kebumian itulah (kolom 3) sesuatu yang sebenarnya tidak
mungkin dimenangkan. Perhatikan bahwa semua makhluk monster bumi dibunuh:
naga dan Sphinx. Jadi, meskipun pengalaman hidup manusia bertentangan dengan
anggapan, teori, keyakinan ‘asal kebumian‘, kehidupan sosial membenarkan
kosmologi itu. Dengan demikian, mitos Oedipus menegaskan bahwa kosmologi
itulah yang benar (kolom 4): manusia berasal dari bumi, sesuai dengan teori
kosmologi yang diyakini selama ini.
Dengan dasar pandangan dan metode kerja semacam ini, Levi-Strauss
menetapkan tiga landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai berikut (lihat
Ahimsa-Putra, 2006: 93). (1) Jika mitos dipandang sebagai sesuatu yang
bermakna, maka maknanya tidak terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri
sendiri, yang terpisah satu sama lain, melainkan pada kombinasi unsur-unsur
tersebut. (2) Sekalipun mitos termasuk dalam kategori ‘bahasa‘, bahasa mitos
bukan sekadar bahasa biasa. Bahasa mitos memiliki ciri-ciri yang berbeda. Jika
bahasa memiliki tiga tahap, yaitu fonem, kata, dan kalimat, maka mitos hanya
mempunyai dua tahap, yaitu: kata dan kalimat, sementara musik juga hanya
memiliki dua tahap, yaitu: nada dan kalimat musikal. (3) Ciri-ciri ini bersifat
12
kompleks dan rumit daripada ciri-ciri bahasa, sehingga dapat kita temukan pada
tingkat di atas bahasa.
Bagi Levi-Strauss, mitos memiliki tata bahasanya sendiri. Untuk
mengungkapkan tatabahasa mitos, diperlukan tiga langkah berikut ini (lihat lihat
Ahimsa-Putra, 2006: 94-96).
(1) Mencari Miteme (Mytheme).5 Miteme adalah unsur-unsur terkecil dalam
wacana mitis, yang merupakan satuan-satuan yang bersifat oposisional, relatif,
dan negatif. Sebagaimana pandangan Jakobson, miteme menurut Levi-Strauss
adalah tanda yang tidak bermakna pada dirinya sendiri dan diferensial murni.
Karena itu, dalam menganalisis cerita, makna dari kata yang ada dalam cerita
harus dipisahkan dari makna miteme, yang berupa kalimat atau rangkaian
kata-kata dalam cerita tersebut. Makna miteme sebaiknya tidak dicari hanya
dari satu cerita saja tetapi dari kombinasi cerita-cerita yang ada.
(2) Menyusun Miteme: Sintagmatis dan Paradigmatis. Setelah ditemukan berbagai
miteme –yakni kalimat-kalimat yang menunjukkan relasi-relasi tertentu—
yang ada dalam sebuah atau beberapa mitos, miteme tersebut disusun
sedemikian rupa (Levi-Strauss mengusulkan agar dituliskan pada kartu
indeks) yang diberi nomor sesuai dengan urutannya di dalam cerita. Setiap
nomor (kartu indeks) memperlihatkan suatu subjek yang melakukan fungsi
tertentu, yang disebut ‘relasi‘. Relasi yang sama akan muncul secara diakronis.
Miteme-miteme yang ditemukan harus disusun secara sinkronis dan diakronis,
paradigmatis dan sintagmatis. Unit-unit yang kemudian dianalisis lebih lanjut
adalah kumpulan relasi-relasi. Dengan menyusun miteme secara paradigmatis
dan sintagmatis, akan ditemukan susunan miteme dua dimensi, seperti terlihat
dalam tabel 2 di atas.
4. Penerapan: Analisis Struktural Dongeng Ande-ande Lumut6
5 Istilah „miteme‟ (dalam analisis mitos) diadaptasi oleh Ahimsa-Putra (2006: 263) untuk
dapat digunakan dalam melakukan analisis karya sastra dengan istilah „ceriteme‟. Ahimsa-Putra
mendefinisikan „ceriteme‟ sebagai kata-kata, frase, kalimat, bagian dari alinea atau alinea yang dapat ditempatkan dalam relasi tertentu dengan ceriteme yang lain sehingga dapat menampakkan
makna-makna tertentu. Ceriteme dapat mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, latar
belakang kehidupan, interaksi, atau hubungan sosial, status sosial ataupun hal-hal lain dari tokoh-
tokoh cerita yang penting artinya bagi analisis cerita. 6 Cerita Ande-ande Lumut yang dikemukakan di sini dikutip dari website: Cerita Rakyat
Nusantara atas izin pengasuh website tersebut.
13
Berikut ini teori dan metode kajian struktural Levi-Strauss akan coba
diterapkan dengan mengkaji sebuah dongeng masyarakat Jawa Timur, dongeng
Ande Ande Lumut. Cerita Ande-Ande Lumut yang disajikan di sini diperoleh dari
website: ceritarakyatnusantara.com. Adapun kisah lengkapnya sebagai berikut.
Penomoran menandakan adegan-adegan dalam cerita tersebut.
(1) Alkisah, di daerah Jawa Timur, Indonesia, berdirilah dua buah kerajaan
kembar, yaitu Kerajaan Jenggala yang dipimpin oleh Raja Jayengnegara dan
Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Jayengrana. Menurut cerita,
dahulunya kedua kerajaan tersebut berada dalam satu wilayah yang bernama
Kahuripan. Sesuai dengan pesan Airlangga sebelum meninggal, kedua
kerajaan tersebut harus disatukan kembali melalui suatu ikatan pernikahan
untuk menghindari terjadinya peperangan di antara mereka. Akhirnya, Panji
Asmarabangun (putra Jayengnegara) dinikahkan dengan Sekartaji (Putri
Jayengrana).
(2) Pada suatu ketika, Kerajaan Jenggala tiba-tiba diserang oleh kerajaan musuh.
Di saat pertempuran sengit berlangsung, Putri Dewi Sekartaji melarikan diri
dan bersembunyi ke sebuah desa yang jauh dari Jenggala. Untuk menjaga
keselamatan jiwanya, ia menyamar sebagai gadis kampung dan mengabdi
kepada seorang janda yang kaya raya bernama Nyai Intan. Nyai Intan
mempunyai tiga orang putri yang cantik dan genit. Mereka adalah Kleting
Abang (sulung), Kleting Ijo, dan Kleting Biru (bungsu). Oleh Nyai Intan,
Dewi Sekartaji diangkat menjadi anak dan diberi nama Kleting Kuning.
(3) Di rumah Nyai Intan, Kleting Kuning selalu disuruh mengerjakan seluruh
pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Ia
sering dibentak oleh Nyai Intan dan diperlakukan tidak senonoh oleh ketiga
kakak angkatnya. Bahkan, ia terkadang diberi makan sehari satu kali oleh ibu
angkatnya.
(4) Sementara itu, di Kerajaan Jenggala, Panji Asmarabangun bersama
pasukannya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Namun, ia sangat
sedih karena istrinya telah pergi meninggalkan istana Jenggala dan tidak
ditahui keberadaannya.
(5) Setelah keadaan di Kerajaan Jenggala kembali tenang dan aman, sang
Pangeran memutuskan untuk mencari istrinya. Namun sebelum itu, ia
memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari jejak kepergian istrinya.
Suatu sore, ketika ia sedang duduk di pendopo istana, datanglah seorang
pengawalnya untuk menyampaikan laporannya. ―Ampun, Baginda! Hamba
ingin menyampaikan berita gembira untuk Baginda,‖ lapor pengawal itu.
―Apakah kamu telah mengetahui keberadaan istriku?‖ tanya Panji
Asmarabangun dengan tidak sabar. ―Ampun, Baginda! Hamba hanya
menemukan seorang gadis yang mirip dengan istri Baginda di sebuah dusun.
Namun, hamba belum yakin dia itu istri Baginda, karena ia hanya seorang
gadis kampung yang bekerja sebagai pembantu pada seorang janda kaya,‖
jelas pengawal itu.
14
(6) Mendengar laporan itu, sang Pangeran pun memutuskan untuk menyamar
menjadi seorang pangeran tampan yang sedang mencari jodoh. Keesokan
harinya, berangkatlah ia bersama beberapa orang pengawalnya ke Desa
Dadapan yang berada di dekat Sungai Bengawan Solo, Lamongan. Desa itu
berseberangan dengan desa tempat tinggal Kleting Kuning.
(7) Di desa itu, Panji Asmarabangun menyamar dengan nama Ande Ande Lumut
dan tinggal di rumah seorang janda tua bernama Mbok Randa. Beberapa hari
kemudian, ia pun memerintahkan para pengawalnya agar pengumuman
sayembara mencari jodoh itu segera disebarkan kepada seluruh pelosok desa.
Dalam waktu singkat, berita tentang pelaksanaan sayembara itu tersebar
hingga ke desa seberang, desa tempat tinggal Kleting Kuning.
(8) Betapa senangnya hati Kleting Abang, Ijo, dan Biru mendengar kabar itu.
Mereka akan berdandan sencantik-cantiknya untuk menaklukkkan hati sang
Pangeran Tampan, Ande Ande Lumut. ―Asyik… Asyik...!!! Kita akan
berdandan secantik-cantiknya. Kalau salah seorang di antara kita menjadi putri
raja, ibu pasti akan senang,‖ kata Kleting Abang.
(9) Pada hari sayembara itu dimulai, Kleting Abang, Ijo, dan Biru pun segera
berdandan dengan sangat mencolok. Mereka mengenakan pakaian yang paling
bagus dan perhiasan yang indah. Saat mereka sedang asyik berdandan, Kleting
Kuning mendekati mereka. ―Wah, kalian cantik sekali!‖ puji Kleting Kuning.
―Hai, Kleting Kuning! Apakah kamu ingin mengikuti sayembara juga?‖ tanya
Kleting Abang. ―Ah, tidak mungkin! Baju pun kamu tak punya. Apakah kamu
mau ikut sayembara dengan baju seperti itu?‖ sahut Kleting Ijo dengan
mencela. ―Benar, kamu tidak pantas ikut sayembara ini! Lebih baik kamu di
rumah mengurus semua pekerjaanmu. Ayo, pergilah ke sungai mencuci semua
pakaian kotor itu!‖ seru Kleting Biru sambil menunjuk ke pakaian ganti
mereka yang sudah kotor.
(10) Kleting Kuning segera mengumpulkan pakaian kotor itu lalu pergi ke
sungai. Sebenarnya, ia pun tidak tertarik untuk mengikuti sayembara itu,
karena ia masih teringat kepada suaminya, Panji Asmarabangun. Ia akan
selalu setia kepada suaminya meskipun belum mendengar kabar tentang
keadaannya apakah masih hidup atau sudah tewas dalam peperangan. Ketika
ia sedang mencuci di sungai, tiba-tiba seekor burung bangau datang
menghampirinya. Anehnya, burung bangau itu dapat berbicara layaknya
manusia dan kedua kakinya mencengkram sebuah cambuk. ―Wahai, Tuan
Putri! Pergilah ke Desa Dedapan mengikuti sayembara itu! Di sana Tuan Putri
akan bertemu dengan Panji Asmarabangun. Bawalah cambuk ini! Jika
sewaktu-waktu Tuan Putri membutuhkan pertolongan, Tuan Putri boleh
menggunakannya,‖ ujar sang burung bangau seraya meletakkan cambuk itu di
atas batu di dekat Kleting Kuning. Belum sempat Kleting Kuning berkata apa-
apa, burung bangau itu sudah terbang ke angkasa dan seketika itu pula
menghilang dari pandangan mata. Tanpa berpikir panjang lagi, Kleting
Kuning pun segera kembali ke rumah dan bersiap-siap berangkat menuju Desa
Dadapan.
(11) Sementara itu, ketiga saudara dan ibu angkatnya telah berangkat terlebih
dahulu. Kini mereka telah sampai di tepi Sungai Bengawan Solo. Mereka
kebingungan, karena harus menyeberangi sungai yang luas dan dalam itu,
sementara tak satu pun perahu yang tampak di tepi sungai. ―Bu, bagaimana
15
caranya kita menyeberangi sungai ini?‖ tanya Kleting Ijo kebingungan. ―Iya,
Bu! Apa yang harus kita lakukan?‖ tambah Kleting Biru. ―Hai, coba lihat itu!
Makhluk apa itu?‖ seru Kleting Abang.
(12) Betapa terkejutnya Nyai Intan dan ketiga putrinya ketika mengetahui
bahwa makhluk itu adalah seekor kepiting raksasa yang sedang terapung di
atas permukaan air. Menurut cerita, kepiting raksasa yang bernama Yuyu
Kangkang itu adalah utusan Ande Ande Lumut untuk menguji para peserta
sayembara yang melewati sungai itu. ―Hai, Kepiting Raksasa! Maukah kamu
membantu kami menyeberangi sungai ini?‖ pinta Kleting Abang. Yuyu
Kangkang tertawa lebar. ―Ha... ha... ha...!!! Aku akan membantu kalian, tapi
kalian harus memenuhi satu syarat,‖ ujar Yuyu Kangkang. ―Apakah syaratmu
itu, hai Kepiting Raksasa? Katakanlah!‖ desak Kleting Ijo. ―Apapun syaratmu,
kami akan memenuhinya asalkan kami dapat menyeberangi sungai ini.‖
―Kalian harus menciumku terlebih dahulu sebelum aku mengantar kalian ke
seberang sungai,‖ kata Yuyu Kangkang. Akhirnya, Kleting Abang dan kedua
adiknya menerima persyaratan Yuyu Kangkang. Satu persatu mereka
mencium si Yuyu Kangkang. Setelah itu, Yuyu Kangkang pun mengantar
mereka ke seberang sungai.
(13) Selang beberapa saat kemudian, Kleting Kuning juga tiba di tepi sungai.
Ketika Yuyu Kangkang mengajukan persyaratan yang sama, yaitu meminta
imbalan ciuman, Kleting Kuning menolaknya. Ia tidak ingin menghianati
suaminya. Meski ia tidak mau memenuhi syarat itu, ia tetap memaksa si Yuyu
Kangkang untuk membantunya menyeberangi sungai. Berkali-kali Kleting
Kuning memohon, namun kepiting raksasa itu tetap menolak, kecuali Kleting
Kuning mau memenuhi syarat itu.
(14) Kleting Kuning pun mulai habis kesabarannya. Ia segera memukulkan
cambuknya ke sungai dan seketika itu pula air Sungai Bengawan Solo menjadi
surut. Melihat hal itu, Yuyu Kangkang menjadi ketakutan dan segera
menyeberangkan Kleting Kuning, dan bahkan sekaligus mengantarnya hingga
sampai di Desa Dadapan. Setibanya di rumah Nyai Rondo, Kleting Kuning
bertemu dengan ketiga saudara dan ibu angkatnya.
(15) Tak berapa lama kemudian, sayembara pun dimulai. Secara bergiliran,
Kleting Abang dan kedua adiknya menunjukkan kecantikan dan kemolekan
tubuhnya di hadapan Ande Ande Lumut. Namun, tak seorang pun di antara
mereka yang dipilih oleh Ande Ande Lumut. Melihat hal itu, Nyai Intan pun
berlutut memohon kepada Ande Ande Lumut agar memilih salah satu putrinya
untuk dijadikan permaisuri. ―Ampun, Pangeran! Hamba mohon, terimahlah
salah seorang dari ketiga putriku ini! Kurang cantik apalagi mereka dengan
dandanan yang sebagus itu?‖ iba Nyai Intan. Ande Ande Lumut hanya
tersenyum. ―Memang benar, ketiga putri Nyai cantik semua. Tapi, aku tetap
tidak akan memilih seorang pun dari mereka,‖ kata Ande Ande Lumut tanpa
memberikan alasan.
(16) ―Pengawal! Tolong panggilkan gadis yang berbaju kuning itu kemari!‖
seru Ande Ande Lumut sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang duduk
paling belakang. Rupanya, gadis yang ditunjuk oleh Ande Ande Lumut itu
adalah Kleting Kuning. Ketika Kleting Kuning menghadap kepadanya,
pangeran tampan itu bangkit dari singgasananya. ―Aku memilih gadis ini
sebagai permaisuriku,‖ kata Ande Ande Lumut.
16
(17) Betapa terkejutnya semua orang yang hadir di tempat itu, terutama Nyai
Intan dan ketiga putrinya. ―Ampun, Pangeran! Kenapa Pangeran lebih
memilih gadis yang tak terurus itu dari pada ketiga putriku yang cantik dan
menarik ini?‖ tanya Nyai Intan ingin tahu. Ande Ande Lumut kembali
tersenyum, lalu berkata: ―Wahai, Nyai Intan! Ketahuilah, aku tidak memilih
seorang pun dari putrimu, karena mereka `bekas` si Yuyu Kangkang. Aku
memilih gadis ini, karena dia lulus ujian, yakni menolak untuk mencium si
Yuyu Kangkang,‖ jelas Ande Ande Lumut. Mendengar penjelasan itu, Nyai
Intan dan ketiga putrinya baru sadar bahwa mereka ditolak oleh Ande Ande
Lumut karena tidak lulus ujian.
(18) Sementara itu, Kleting Kuning masih kebingungan, karena belum
menemukan suaminya. Namun, setelah Ande Ande Lumut membongkar
penyamarannya bahwa dirinya adalah Panji Asmarabangun, barulah Kleting
Kuning sadar. Dengan cambuk sakti pemberian si burung bangau, ia segera
mengubah dirinya menjadi seorang putri yang cantik jelita. Panji
Asmarabangun baru sadar ternyata Klenting Kuning adalah istrinya, Dewi
Sekartaji. Akhirnya, sepasang suami istri yang saling mencintai itu bertemu
kembali dan hidup berhagia. Sebagai ucapan terima kasih kepada Mbok
Randa, Panji Asmarabangun membawanya serta tinggal di istana Jenggala.
Sementara Nyai Intan dan ketiga putrinya kembali ke desanya dengan
perasaan kecewa dan malu.
Demikianlah dongeng Ande Ande Lumut, yang merupakan salah satu
cerita dalam Panji cycle atau daur Panji. Cerita Panji adalah sebuah cerita yang
berasal dari Jawa. Isinya mengenai kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada
dua orang tokoh utamanya, yaitu Panji Asmara Bangun (atau Raden Inu
Kertapati) dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candra Kirana). Cerita ini mempunyai
banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali,
Kalimantan) dan juga di negara-negara lain di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand,
Kamboja, Myanmar, Filipina) (lihat Wikipedia.org/wiki/Cerita_Panji, 2010).
Dongeng-dongeng lainnya seperti Keong Mas dan Golek Kencana juga
merupakan turunan dari cerita ini.
Sebagaimana dilakukan Ahimsa-Putra (2006: 208), langkah analisis
struktural berikutnya adalah membagi cerita tersebut ke dalam episode-episode
(sebuah strategi analisis yang berbeda dari metode Levi-Strauss, yang tidak
membagi dongeng yang dianalisis ke dalam adegan-adegan).
Episode I: Berdirinya dua buah kerajaan kembar di Jawa Timur, yaitu
Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri.
17
Menurut catatan sejarah, kerajaan kembar Kediri dan Jenggala pada
mulanya merupakan satu kerajaan bernama Kerajaan Kahuripan yang didirikan
oleh Airlangga. Pada tahun 1045, Raja Kahuripan, Airlangga, membagi wilayah
kerajaan itu menjadi dua, yaitu Kediri (yang menempati wilayah Kediri dan
beribukota di Daha) yang diserahkan kepada Jayengrana alias Sri Samarawijaya
dan Jenggala (menempati wilayah Sidoarjo saat ini dan beribukota di Kahuripan)
diserahkan kepada Jayengnegara alias Mapanji Garasakan. Tujuan pembagian
kerajaan tersebut adalah agar kedua anaknya dapat hidup berdampingan dengan
damai.
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara
kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai.
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja,
namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90
tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang (1035), Kerajaan Janggala akhirnya
ditaklukkan oleh Sri Jayabaya raja Kediri, dengan semboyannya yang terkenal,
yaitu Panjalu Jayati, atau Kediri Menang. Sejak saat itu Janggala menjadi
bawahan Kadiri. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kediri yang bernama Sri
Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri
seorang putri Janggala bernama Kirana. Dalam naskah-naskah tersebut, raja
pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga.
Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang
bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa. Panji
Asmarabangun sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh
Candrakirana dari Kediri.
Kerajaan Kediri amat dominan, bukan hanya atas Kerajaan Jenggala,
melainkan juga terhadap wilayah-wilayah di kawasan Timur Indonesia
(Wikipedia, 2010).7 Pada masa kejayaan Raja Jayabaya (1130 – 1160),
Kesultanan Ternate merupakan salah satu bawahan Kediri. Kerajaan Kediri
terkenal dengan kebangkitan karya sastra klasiknya. Karya-karya sastra klasik
yang muncul pada zaman Kerajaan Kediri antara lain Kakawin Bharatayuddha,
Hariwangsa, dan Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradahana karya Mpu
7 Diunduh dari "http://en.wikipedia.org/wiki/Kediri_historical_kingdom/ tanggal 23 Mei
2010.
18
Dharmaja, dan Prelambang Joyoboyo, Lubdhaka dan Wrtasancaya karya Mpu
Tanakung.
Episode II: “Kerajaan Jenggala diserang oleh kerajaan musuh.”
Tidak disebutkan dalam dongeng ini, siapa yang dimaksud dengan
kerajaan musuh itu. Dari catatan sejarah, saling serang justru seringkali terjadi
antara Kerajaan Kediri dan Jenggala. Dongeng ini rupanya tidak tertarik untuk
mengungkap siapa musuh kerajaan Jenggala itu. Hanya saja disebutkan bahwa
sang permaisuri, Putri Dewi Sekartaji, seorang putri yang berasal dari Kerajaan
Kediri, menyelamatkan diri dengan menyamar sebagai Kleting Kuning, salah satu
putri seorang janda di sebuah kampung yang jauh dari Jenggala.
Dapat diduga bahwa Jenggala diserang oleh Kediri, bahkan diduduki dan
dikuasai oleh Kediri.
Episode III: “Dewi Sekartaji menyamar sebagai Kleting Kuning.”
Tujuan penyamaran Dewi Sekartaji adalah menghindari pengejaran
musuh. Penyamaran ini tampak sangat sempurna karena Nyai Intan dan ketiga
anaknya: Kleting Abang, Kleting Ijo, dan Kleting Biru tidak mengetahui
identitasnya sebagai seorang permaisuri raja. Dewi Sekartaji bahkan mendapat
nama Kleting Kuning dan diperlakukan sebagai seorang pelayan (batur).
Penyamaran seorang ratu menjadi pelayan (batur) dalam kebudayaan Jawa
merupakan sebuah fenomena yang lazim. Dalam dunia pewayangan Jawa, sangat
dikenal tokoh Semar yang merupakan sebuah sosok yang ambiguous. Dia adalah
pembantu (batur) tetapi dia juga sekaligus dewa. Kedudukan di tengah (di antara
dua hal yang bertentangan) ini sebenarnya merupakan perwujudan keutamaan
Jawa, yakni nilai sak madya, di tengah-tengah, secukupnya, tidak ekstrim, seperti
Semar itulah. Karena berada di tengah berarti berada pada as, sumbu kehidupan,
sebuah posisi yang tenang, diam, hening, dan abadi (Ahimsa Putra, 2006).
Episode IV: “Pangeran Panji Asmarabangun mencari istrinya.”
19
Dikisahkan bahwa Pangeran Asmarabangun berhasil memukul mundur
pasukan musuh. Keberhasilan ini tentu saja menambah kebesaran nama dan
reputasinya sebagai seorang raja yang kuat dan perkasa. Akan tetapi, dia tidak
merasakan kebahagiaan itu. Dia bahkan sangat sedih karena istrinya telah pergi
meninggalkan istana Jenggala dan tidak ditahui keberadaannya. Karena itu
Pangeran Panji Asmarabangun memutuskan untuk mencari istrinya. Dia pun
menyamar sebagai seorang pemuda bernama Ande Ande Lumut yang sedang
mencari pasangan hidup dan tinggal di rumah Mbok Randa.
Episode V: “Kleting Abang, Kleting Ijo, dan Kleting Biru, dan Kleting
Kuning mengikuti sayembara”
Episode ini tampak seperti versi Cinderella. Kleting Abang, Kleting Ijo,
dan Kleting Biru berdandan secantik-cantiknya sementara Kleting Kuning, yang
sebenarnya adalah Dewi Sekartaji, diminta mencuci pakaian kotor di sungai. Jika
di dalam kisah Cinderella ada seorang penolong supranatural berupa seorang
nenek sihir yang baik hati, dalam dongeng Ande Ande Lumut penolong
supranatural itu adalah seekor burung bangau. Burung bangau inilah yang
menyuruh Kleting Kuning mengikuti sayembara dan membekalinya dengan
sebuah cambuk ajaib. Dengan cambuk inilah, Kleting Kuning berhasil melewati
sungai tanpa mencium Yuyu Kangkang.
Episode VI: “Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji kembali ke istana
Jenggala”
Panji Asmarabangun yang menyamar sebagai Ande Ande Lumut berhasil
menemukan kembali istrinya Dewi Sekartaji. Sang Dewi pun terbukti tetap
menjaga kesetiaannya, karena dia tidak tergoda mencium Yuyu Kangkang.
Keduanya pun kembali ke istana Jenggala. Mbok Rondo yang baik hati diajak
untuk tinggal di istana, sementara Nyai Intan dan ketiga anaknya kembali ke
desanya dengan perasaan kecewa dan malu.
Tabel 3: Analisis Struktur Dongeng Ande Ande Lumut
I II III IV
Menghargai
Hubungan Darah
Meremehkan
Hubungan Darah
Musuh dipukul
mundur
Klarifikasi
Pangeran Panji
Asmarabangun
Pangeran Panji
Asmarabangun
20
(Jenggala)
menikah dengan
Dewi Sekartaji
(Kediri)
memenangkan
pertempuran
Pasukan musuh
menyerang
Jenggala
Dewi Sekartaji
melarikan diri dan
menyamar
Burung Bangau
memberikan
senjata berupa
cambuk kepada
Dewi Sekartaji
Dewi Sekartaji
mempertahankan
kemurniannya
Yuyu Kangkang
digertak dengan
cambuk sang
bangau
Panji
Asmarabangun
menemukan
istrinya Dewi
Sekartaji
Yuyu Kangkang
Dicium Kleting
Abang, Kt.Ijo, Kt.
Biru
Ande-ande Lumut
mendapatkan
Kleting Kuning
melalui sayembara
Penyangkalan atas
superioritas Kediri
Pengakuan
superioritas
Jenggala atas
Kediri
Dengan struktur dan skema semacam itu, dapat disimpulkan bahwa
dongeng Ande Ande Lumut pada prinsipnya merupakan proyeksi keinginan dari
dua buah kerajaan kembar, Jenggala dan Kediri, untuk hidup rukun dan damai
sesuai dengan keinginan dan harapan Raja Airlangga. Dalam kenyataannya,
Kerajaan Kediri yang sesungguhnya baru didirikan dan beribu kota di Daha,
unggul dalam berbagai hal terhadap Jenggala yang beribukota di Kahuripan. Oleh
karena selalu terjadi pertikaian, peperangan, dan perebutan kekuasaan yang terus-
menerus antara kedua kerajaan kembar itu, Kerajaan Kediri menganeksasi
Kerajaan Jenggala.
Logika di balik dongeng Ande Ande Lumut adalah proyeksi harapan
Kerajaan Jenggala sebagai sebuah kerajaan yang unggul, yang mampu memukul
mundur pasukan musuh. Sementara itu, Pangeran Panji Asmarabangun adalah
seorang raja yang perkasa dan mencintai istrinya Dewi Sekartaji yang berasal dari
Kerajaan Kediri.
21
5. Rangkuman
Model analisis struktural Levi-Strauss benar-benar sebuah model analisis
sastra lisan yang sangat menarik, khususnya di bidang kajian mitos dan dongeng.
Dengan dasar analisis model linguistik struktural Roman Jacobson dan Ferdinand
de Saussure yang bertujuan memahami fenomena bahasa secara sintagmatik (dari
kiri ke kanan) dan paradigmatik (dari atas ke bawah), strukturalisme sastra dan
strukturalisme Levi-Strauss (Antropologi) memiliki perbedaan bukan hanya cara
analisis tetapi juga asumsi dasar tentang struktur itu sendiri.
Asumsi dasar analisis strukturalisme sastra adalah: karya sastra dipandang
telah memiliki kebulatan makna instrinsik. Strukturalisme menentang teori
mimetik (yang berpandangan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan), menentang
teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama adalah ungkapan perasaan
dan watak pengarang), dan menentang teori-teori resepsi (yang menganggap
makna sastra sangat tergantung pada tanggapan dan horison harapan pembaca).8
Strukturalisme menekankan agar karya sastra dipandang secara otonom. Sastra
harus diteliti secara objektif (yakni aspek instrinsiknya9) karena keindahan sastra
terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek
estetik. Model paradigma strukturalisme sastra adalah: karya sastra merupakan
sebuah artefak (benda seni) yang indah karena penggunaan bahasa yang khas. Apa
yang dianggap sebagai ‗struktur‘ karya sastra adalah: ide, tema, amanat, latar,
watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa. Karena itu, analisis struktur
sastra biasanya dilakukan di sekitar hal-hal tersebut. Kelemahan analisis
strukturalisme sastra adalah: karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya
sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya, tercerabut dari sejarah, dan
terpisah dari permasalahan manusia.
Sementara itu, strukturalisme Levi-Strauss mengemukakan sebuah model
analisis yang mencengangkan karena dapat memanfaatkan data-data etnografis
secara leluasa. Dengan demikian, kelemahan strukturalisme sastra tidak berlaku
dalam strukturalisme Levi-Strauss. Model analisis struktural Levi-Strauss perlu
8 Lihat Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme,
Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah, 1987: 31-46. 9 Istilah instrinsik digunakan untuk membedakan aspek ekstrinsik. Yang dimaksudkan
dengan aspek ekstrinsik adalah aspek aspek ‗di luar‘ karya sastra, yakni: biografi pengarang,
unsur-unsur isi seperti ideologi, filsafat, sosiologi, agama, psikologi, dll. Aspek-aspek ini
dipandang tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu
melalui sarana bahasa puitik.
22
diadopsi oleh para peneliti sastra dalam melakukan studi sastra karena dapat
memberikan hasil yang sangat mencengangkan.
Sebagaimana model-model kajian naratif yang lainnya, model kajian
strukturalisme Levi-Strauss pun memiliki sebuah kelemahan, yakni perumusan
mitheme yang bersifat subjektif dan pembagian kolom-kolom yang tidak mudah
dirunut. Kelemahan ini dapat diatasi dengan menerapkan model kajian ini dengan
menyederhanakan rumus-rumus dan skema-skema yang merenik dan rumit.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Imran T. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan
Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Jakarta: PT
Intermasa.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra.Yogyakarta: Kepel Press.
____________________, 2010. ―Strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia 2009‖.
http://kunci.or.id/public-culture-series/strukturalisme-levi-strauss-di-
indonesia-2009-oleh-heddy-shri-ahimsa-putra/. Diunduh tanggal 16 Maret
2010.
Baroroh-Baried, Siti, Siti Chamamah Soeratno, Sawoe, Sulastin-Sutrisno, Moh.
Syakir. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Depdikbud.
Bascom, William. 1984. "The Forms of Folklore: Prose Narratives" dalam Allan
Dundes (ed.) Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth.
California: University of California Press.
Bertens, K., 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis. Jakarta: Gramedia.
Butcher, S. H., 2010. Aristotle‟s Poetics. Diunduh tanggal 23 April 2010 dari
http://www.leeds.ac.uk/ classics/resources/poetics/poettran.htm
Braginsky, V. Y., 1975. Some Remarks on the Structure of the 'Sya'ir Perahu' By
Hamzah Fansuri dalam KITLV, 131.
Carvalho-Neto, Paulo de. 1985. Concept of Folklore (Terjemahan Jacques M.P.
Wilson). Coral Gables, Florida: University of Miami Press.
Chase, Richard. 1969. "Notes on the Study of Myth" dalam John B. Vickery Myth
and Literature. Lincoln: University of Nebraska Press.
Chavalier, Jean and Alain Gheerbrant, 1982. The Penguin Dictionary of Symbols.
London: Penguin Books Ltd.
23
Culler, Jonathan. 1977. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature,
Deconstruction. London: Routledge & Kegan Paul.
____________. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the
Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Depdikbud.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-
lain. Jakarta: Grafiti Press.
Dhavamony, Mariasusai, 1997. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan oleh
Kelompok Studi Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius.
Djamaris, Edward, et.al., 1993. Nilai Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra
Nusantara: Sastra Daerah Sumatera. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Depdikbud.
Djawanai, Stephanus A. 1980. A Study of the Ngadha Text Tradition: A Linguistic
Investigation of the Collective Mind of the Ngadha People on the Island of
Flores, Indonesia. Ann Arbor: The University of Michigan (Disertasi).
Dundes, Alan. 1980. Interpretating Folklore. Bloomington & London: Indiana
University Press.
------------ 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los
Angeles-London:
University of California Press.
Fernandez Ozias, Stephanus, 1991. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara
Timur Dulu dan Kini. Maumere: STFTK Ledalero.
Frenz, Horst. 1990. ―Seni Terjemahan‖ dalam Newton P. Stallhecht dan Horst
Frenz (Eds). Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di
Indonesia 1933 – 1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai
Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: P. T. Djambatan.
Gaster, Theodor H. 1984. "Myth and Story" dalam Sacred Narrative: Readings in
the Theory of Myth. (Alan Dundes, ed.) California: University of
California Press.
Guillen, Claudio. 1971. Literature as System: Essays toward Theory of Literary
History. Princeton University Press.
24
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1984. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Heryanto, Ariel. 1988. ―Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan
Indonesia Mutakhir‖ dalam Prisma, nomor 8 Tahun XVII – 1988.
____________. 1989. ―Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia‖ dalam
Prisma, nomor 1 Tahun XVIII – 1989.
Hicks, David, 1985. Roh Orang Tetum di Timor Timur. Penerjemah Tim PSH.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra
Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.
________________. 1993. ―Yang Tak Abadi adalah Yang Abadi: Transformasi
Cerita Sarahwulan‖ Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta:
FSUI.
____________. 1999. ―Filologi Lisan dalam Kaitan Pembentukan Wacana
Kebudayaan‖ Makalah Seminar Keberagaman Budaya dalam Tradisi
Lisan. Jakarta: ATL.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Translated from
Germany by Timothy Bahti. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Geertz, Clifford, 1996. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Hartoko, Dick. 1991. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.
Kadarisman, 2010. ―Puitika Linguistik Pasca-Jacobson: Tantangan Menjaring
Makna Simbolik‖. Makalah. Tanpa tahun.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kleden, Ignas. 1987. ―Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan‖ dalam Prisma
Nomor 5 Tahun XVI – 1987.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik (Edisi Ketiga). Jakarta:
Gramedia.
Kuntara Wiryamartana, I. 1991. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno
Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa.
25
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Lefevere, Andre. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic
Essay on Its Nature, Growth, Relevance, and Transmission.
Aseen/Amsterdam: Van Gorcum.
Levi-Strauss, Claude. 1958. "The Structural Study of Myth" dalam Thomas A.
Sebeok (ed.) Myth: A Symposium. Bloomington: Indiana University
Press.
Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. Harvard University Press.
Luxemburg, Jan van, dkk., 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Mangunwijaya, Y. B., 1986. ―Sastra dan Bentuk Hidup‖ dalam Basis, No.
XXXVIII. Yogyakarta: Andi Offset.
Meij, Dick, van der dan Yvonne van Genugten. 1993. ―Penelitian Awal Mengenai
Sastra Lisan Nusantara: Gambaran Sementara‖ Makalah Seminar Tradisi
Lisan Nusantara. Jakarta: Fakultas Sastra UI dan Yayasan Lontar.
Merriam-Webster Online Dictionary. 2010. Merriam-Webster Online. Diunduh 25
April 2010 dari <http://www.merriam-webster.com/dictionary/rhetorics>
Mukarovsky, Jan. 1978. Structure, Sign, and Function. Diterjemahkan oleh John
Burbank & Peter Steiner. New Haven: Yale University Press.
Muskens, M.P.M., 1979. Partner in National Building: The chatolic Church in
Indonesia. Aachen: Missio Aktuell Verlag
Noerhadi, Toety Herati, 1986. ―Kata Pengantar‖ buku Metodologi Ilmu
Pengetahuan karya A. B. Shah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Parera, ADM, 1994. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Phillips, Nigel. 1981. Si Jobang: Sung Narratives Poetry of West Sumatra.
Cambridge: Cambridgre University Press.
Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. Austin, London: University
of Texas Press.
Pudentia, MPSS. 2002. ―Dinamika Tradisi Lisan Nusantara‖ Makalah Seminar
Nasional Dinamika Budaya Lokal dalam Wacana Global Dies Natalis
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 5 Maret 2002.
Reynolds L.D. and N.G. Wilson. 1975. Scribes and Scholars: A Guide to the
Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University
Press.
26
Riffaterre, Michael, 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University
Press.
Robson, Stuart. 1988. Principles of Indonesian Philology. Leiden: Foris
Publication.
Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Rutherford, Danilyn dan Sam Kapissa. 1996. ―Barang Rampasan dari ‗Sup
Amber‘: Wor Biak sebagai Alat Transformasi‖ dalam Warta ATL Edisi
II/Maret/1996.
Rusyana, Yus. 1993. "Cerita Sangkuriang: Daya Kembara Cerita Lama Lintas
Media, Genre, dan Bahasa dari Zaman ke Zaman" Makalah Seminar
Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FSUI.
Sebeok, Thomas A. 1968. Style in Language, 2nd
Paperback Printing (First Ed.
1960). Cambridge, Massachusets: The M.I.T Press.
Selden, Raman, 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan
oleh Dr. Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Semi, Atar, 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari buku The
Ethnographic Interview oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Soebadio, Haryati. 1991. "Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang
Ilmu" dalam Lembaran Sastra Nomor Khusus: 12/01. Depok: Fakultas
Sastra Univ. Indonesia.
Sudardi, Bani. 2001. “Muatan Tradisi Lisan dalam Kurikulum di Perguruan
Tinggi” Makalah Semiloka Tradisi Lisan: Pembuka Wawasan Pluralitas.
Bogor: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sukada, Made, 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika
Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.
Sulastin-Sutrisno. 1981. Relevansi Studi Filologi: Pidato Pengukuhan Guru
Besar dalam Ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Yogyakarta: FS-UGM.
Sutrisno, F.X. Mudji., 1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.
Suryadi. 1993. ―Ilmu Sastra Lisan di Indonesia: Persoalan Konsep dan Objek
27
Penelitian‖ Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: Fakultas
Sastra UI dan Yayasan Lontar.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay
World. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Taufik Abdullah. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia.
Taum, Yoseph Yapi. 1994. "Tradisi dan Transformasi Cerita 'Wato Wele-Lia
Nurat' dalam Cerita Rakyat Flores Timur". Tesis Program Pascasarjana
UGM. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM.
_________________. 1997. Kisah Wato Wele-Lia Nurat Dalam Tradisi Puisi
Lisan Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan (ISBN Nomor : 979 - 461 – 256 - 1) .
________________. 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme,
Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa
Indah.
_________________. 1999. ―Sastra dan Bahasa Ritual Masyarakat Flores Timur‖
dalam Kaswanti Purwo dan B. Rahmanto (Ed). Memahami Sastra Lisan.
Jakarta:
Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.
________. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_________. "Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan" (dua karangan)
dalam BASIS No. XXXVII-11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset.
________. 1988b. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya - Giri Mukti Pasaka.
________. 1991. "The Text" dalam J.J. Ras dan S.O. Robson (eds.) Variation,
Transformation andMeaning: Studies on Indonesian Literatures in
Honour of A. Teeuw. Leiden: KITLV Press.
Thompson, Stith. 1966. Motif-Index of Folk Literature: A Classification of
Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval
Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends. California:
University of California Press.
Thompson, Stith. 1977. The Folktale. California: University of California Press.
Van Luxemburg, Jan, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu
Sastra.Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Van Luxemburg, Jan, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1991. Tentang Sastra.
28
Diterjemahkan oleh Akhadiati Ikhram. Jakarta: Intermasa.
Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology.
Harmondsworth: Penguin Books.
__________. 1985. Oral Tradition as History. Madison: The University of
Wisconsin Press.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker
Im Tropischen Holland oleh SD Sjah. Ende: Nusa Indah.
Vickery, John B. 1982. "Literature and Myth" dalam Jean-Pierre Barricelli &
Joseph Gibaldi (eds.) Interrelations of Literature. New York: The Modern
Language Association of America.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Whellwright, Philip. 1965. "The Semantic Approach of Myth" dalam Thomas A.
Sebeok (ed.)
Myth: A Symposium. Bloomington and London: Indiana University Press.
Zaimar, Okke K. S., 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang.
Jakarta: Intermasa.
Zeraffa, Michel. 1973. "The Novel as Literary Form and Social institution"
dalam Sociology of Literature and Drama. Elisabeth and Tom Burns
(Eds). Harmondsworth: Penguin Books.