Post on 09-Apr-2019
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI KOTA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Monica Arum Sukmajati
NIM : 038114022
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PEI,AI<SANAAN ST NDAR PNLAYANAN KEFARMASIAN DI A}OTEKDDRDASATX,{N KEPMENKIJ RI NOMOR TO27IMENKES/SK'X12OO4
DT KOTA YOGYAKARTA
Monic! Arum sul njaliNIM:0381l4u2 l
Skripri i.i lelah dhct,{i!i oleh :
Tde$l : og -cA-tdb?
---.1/ ' /
Ystim Sri rlanlni, M.Si., Apt.
rues.l : ot-o! -rrol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
felg{bu ShiPti
Pf,I-A(SANAAN STANDAR PELAYANAN KEfAiMASIAN I'I POIDKBERDASARKAII KEPMENIGS RI NOMOR IO27IMENI(ES/SK/Dfi ,M4
DI KOIA YOGYA(ARTA
Oleh;MOMCA ARUM SUKMAJATI
N]M : 0381 l.liD2
Dipert lulqtr dibd.P3tr Pltriti! PoguJi Sltripritr.kllL! f.@ti
UBir.dit !Sd.t Db'l4
P..t. luggtl I I Agurtrr 20{lt
?@bimbiDe I Du. Su1Mm, Ap1.
2_
t.
leDbimbirg II : Yustim S.i Hrnini. M,Si,, Api.
Yuslim Sri Ead4 M.Si., Apt,
Alis Widaya6 M.Si., Apt
Ip&s Dju.lrko, S.Sj., A'i-
[,ii r'r( ip.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kesuksesan berarti melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan
dengan apa yang kita miliki. Kesuksesan adalah suatu proses, bukan
hasil akhir-mengenai mengusahakan-nya, bukan keberhasilannya.
Wynn Davis
ku persembahkan kepada Bapa, Putra dan Roh Kudus,
kepada keluargaku, kepada kekasihku,
dan kepada almamaterku.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata
Dharma.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan
saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan
kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan
selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik
dan saran yang telah diberikan.
6. Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin sehingga penelitian
ini dapat terlaksana.
7. Bapak dan Ibu Apoteker Kota Yogyakarta yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak St. Kasidjan dan Ibu R. Sumaryati
atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Kakak Wahyu
dan Adik Agung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini.
9. Made Arthawan Putra. There are lots of things that we’ve been through
together n I would like to say thank you, for being everything to me.
10. Ozza, my brother. Terima kasih atas bantuannya sehingga komputer bisa
kembali normal dan bisa digunakan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan : Adi, Totok, Bambang dan Bangun atas
kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
12. Teman-teman The Sindens : Dee, Vera, Dita, Ana, Tata, Rosa, Sari dan
Angger. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
13. Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas
kebersamaan dan keceriaan selama empat tahun ini.
14. Teman-teman Kost Difa. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
15. Sifa, Ria, Livie dan Ami. Terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian
selama ini.
16. Anna dan Mita atas pinjaman laptopnya.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
U. MeliD d{ MeEy ltas pinjM ddlemt! !6da sd dalut
18, sdu pihat ,@g tidat dapat !.!uiie pbulkm stu p€srhl.
D.ld kempat n ini, p€n'nis juga mnohon baal kepada edu pihak
aB ketoagd de teelahe yDg suelod drbrM Ftrulis. Ol€h lffi iE
d€ne6 rndal lati pqulis magb@lka Muka4 stu rLn kilik yeg
YogyElon4 27 Jui 2007
t0 ..-wv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN K,{RYA
tut! E@yatzk ! dengd wgguhlya bslM shipsi teg eya tulis ini
1id!t nd@t krt€ atau bqgie orug lai4 k€oali yeg telah dtuebdkm d,lah
lolip@ dd.hftd p$ta&4 *bagaibdg lryahr€ laya ilnish.
YosD}rta, 27 Jmi 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… iv
PRAKATA………………………………………………………………… v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………... viii
DAFTAR ISI………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………. xiii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xvii
INTISARI………………………………………………………………….. xviii
ABSTRACT……………………………………………………………….. xix
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 1
1. Rumusan masalah………………………………………………….. 3
2. Keaslian penelitian…………………………………………………. 4
3. Manfaat penelitian………………………………………………….. 5
B. Tujuan Penelitian………………………………………………………. 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Apotek………………………………………. 7
B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker…………………………………….. 8
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Peraturan perundang-undangan……………………………………. 8
2. Apoteker sebagai suatu profesi…………………………………….. 11
3. Peran apoteker……………………………………………………… 14
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek…………………………….. 17
1. Asuhan kefarmasian………………………………………………... 17
2. Akuntabilitas praktek farmasi……………………………………… 17
3. Manajemen praktis farmasi………………………………………… 18
4. Komunikasi farmasi……………………………………………….. 18
5. Pendidikan dan pelatihan farmasi…………………………………. 19
6. Penelitian dan pengembangan kefarmasian……………………….. 19
7. Peraturan perundang-undangan…………………………………… 20
D. Sumpah Apoteker………………………………………………………. 24
E. Kode Etik Apoteker……………………………………………………. 24
F. Keterangan Empiris……………………………………………………. 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian………………………………………… 28
B. Batasan Operasional Penelitian………………………………………… 28
C. Instrumen Penilitian…………………………………………………….. 29
D. Populasi dan Sampel……………………………………………………. 29
1. Populasi…………………………………………………………….. 29
2. Sampel……………………………………………………………… 30
E. Tata Cara Penelitian………...………………………………………….. 32
1. Pembuatan kuesioner………………………………………………. 32
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Pengujian kuesioner………………..………………………………. 32
3. Penyebaran kuesioner……………………………………………… 34
4. Pengumpulan kuesioner……………………………………………. 34
5. Wawancara………………………………………………………… 35
F. Tata Cara Analisis Data………………………………………………… 35
G. Kesulitan Penelitian……………………………………………………. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Deskripsi Responden……………………………………………... 37
1. Umur responden……………………………………………………. 37
2. Posisi responden di apotek…………………………………………. 38
3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek………….. 39
4. Adanya pekerjaan lain dari responden……………………………… 40
5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu………………… 41
6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari……………………. 41
B. Pengelolaan Sumber Daya…………………………………………….. 42
1. Sumber daya manusia……………………………………………… 42
2. Sarana dan prasarana………………………………………………. 44
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya….. 52
4. Administrasi……………………………………………………….. 59
C. Pelayanan………………………………………………………………. 65
1. Skrining resep……………………………………………………… 65
2. Penyiapan obat…………………………………………………….. 71
3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi………………………….. 79
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Evaluasi Mutu Pelayanan………………………………………………. 81
1. Tingkat kepuasan konsumen……………………………………….. 82
2. Dimensi waktu……………………………………………………... 83
3. Prosedur tetap……………………………………………………… 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 87
B. Saran…………………………………………………………………… 87
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 89
LAMPIRAN……………………………………………………………… 92
BIOGRAFI PENULIS…………………………………………………… 111
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel I Posisi Responden di Apotek………………………..... 38
Tabel II Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden…….... 40
Tabel III Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu.. 41
Tabel IV Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu
Berdasarkan Persetujuan APA……………………….. 43
Tabel V Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek…………… 45
Tabel VI Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian
dengan Produk Lainnya. …………………….............. 46
Tabel VII Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien…………………. 47
Tabel VIII Adanya Informasi Bagi Pasien………………………. 47
Tabel IX Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi. 48
Tabel X Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling…………… 48
Tabel XI Adanya Ruang Racikan di Apotek…………………... 49
Tabel XII Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien 50
Tabel XIII Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan
Farmasi di Apotek……………………………………. 53
Tabel XIV Sumber Perolehan Obat di Apotek…………………… 54
Tabel XV Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke
Wadah Lain…………………………………………... 55
Tabel XVI Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru ………. 56
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XVII Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan
Khusus……………………………………………….. 57
Tabel XVIII Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur
Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka
Beli…………………………………………………… 59
Tabel XIX Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur/Nota
Penjualan…………………………………………….. 60
Tabel XX Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam
Buku Penjualan………………………………………. 61
Tabel XXI Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran
Narkotika dan Psikotropika………………………….. 61
Tabel XXII Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara
Berurutan……………………………………………... 62
Tabel XXIII Apotek yang Selalu Melakukan Pengisian Medication
Record…………………………………… 63
Tabel XXIV Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep
Persyaratan Administratif……………………………. 66
Tabel XXV Skrining Kesesuaian Farmasetik……………………. 67
Tabel XXVI Skrining Pertimbangan Klinis………………………. 68
Tabel XXVII Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan
Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep…….. 69
Tabel XXVIII Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang
Etiket Oleh Pasien……………………………………. 71
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XXIX Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep
Sebelum Diserahkan ke Pasien………………………. 72
Tabel XXX Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung
Dalam Penyerahan Obat ke Pasien…………………... 73
Tabel XXXI Informasi Obat yang Diberikan Apoteker…………… 74
Tabel XXXII Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling
Setiap Hari di Apotek………………………………… 76
Tabel XXXIII Apoteker yang Memberikan Konseling Secara
Berkelanjutan………………………………………… 77
Tabel XXXIV Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi
Informasi Kesehatan …................................................ 79
Tabel XXXV Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi …… 80
Tabel XXXVI Apotek yang Pernah Melakukan Survey……………... 82
Tabel XXXVII Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan………….. 83
Tabel XXXVIII Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap 84
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Diagram Umur Responden………………………………… 37
Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker
di Apotek yang Sekarang…………………………………... 39
Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek Dalam
Sehari………………………………………………………. 42
Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan
Persetujuan APA…………………………………………… 44
Gambar 5. Adanya Ruang Racikan di Apotek…………………………. 50
Gambar 6. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek…………….. 51
Gambar 7. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan
Kesehatan Lainnya…………………………………………. 58
Gambar 8. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi……………………….. 64
Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep……………………………….. 70
Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat………………………………. 78
Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut
Terapi………………………………………………………. 81
Gambar 12. Bentuk Survey……………………………………………… 82
Gambar 13. Pelaksanaaan Evaluasi Mutu Pelayanan…………………… 84
Gambar 14. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek Kota Yogyakarta…………………………………... 86
Gambar 15. Skema Alur Pelayanan Resep Apotek XYZ………………. 110
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian………………………. 92
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian……………………………………….. 93
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian……………………………………….. 99
Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker……………………………………. 100
Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia…………………………….. 102
Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat……………………............................. 105
Lampiran 7. Hasil Wawancara ………………………………………….. 106
Lampiran 8. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan
Konsumen…………………………………………………. 109
Lampiran 9. Contoh Alur Pelayanan Resep…………………………….. 110
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.
Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. As the consequences of the orientation change, pharmacist are demanded to improving their knowledge, skill and attitude in the course of direct interaction with patient. Pharmacist also have to understand and realize the possibility of medication error happen in service process. Therefore the pharmacist, in their practices, has to conform with the specified standard in order to prevent injurious event.
This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic.
Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Yogyakarta.
Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan
orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu
apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk
menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi
dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung
penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a).
Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan
kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk
menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat yaitu Kepmenkes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a).
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Apoteker di apotek dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Menurut Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia tahun 2004, salah satu standar prosedur operasional apoteker
di apotek hal manajemen praktis farmasi adalah merancang, membuat,
mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran
dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional
kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku
dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker di
apotek adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek, termasuk di dalamnya
melaksanakan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebagai
pedoman praktek apoteker di apotek.
Apoteker di apotek harus memberikan pelayanan yang profesional pada
masyarakat sesuai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Pasal 8 ayat 1
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Bila melanggar ketentuan tersebut, maka sesuai pasal 62 ayat 1 akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan keterangan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa apoteker di apotek harus menjalankan praktek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kefarmasian sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga
masyarakat terhindar dari pelayanan yang tidak profesional.
Apoteker di apotek dalam menjalankan praktek kefarmasian mendapatkan
perlindungan hukum bila praktek kefarmasian tersebut dijalankan sesuai standar
yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Menurut pasal 24 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan,
perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
Berdasarkan keterangan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah ditetapkan tersebut telah sepenuhnya
dilaksanakan oleh apoteker di apotek, terutama apoteker di apotek-apotek Kota
Yogyakarta.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang
akan diteliti sebagai berikut :
Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh
oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
2. Keaslian penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai
Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.
Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :
a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek
Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di
Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000).
Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman apoteker
tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan apoteker
di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian
Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu undang-
undang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah
Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007).
Penelitian dari Regziana ini menekankan pada penerimaan dokter umum
terhadap peran apoteker berdasarkan Kepmenkes Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 dan harapan dokter umum terhadap peran
apoteker di masa mendatang. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum,
sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek.
Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini
meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :
1) bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam
pengelolaan apotek.
2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang
tertarik dalam pelayanan perapotekan.
3) bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
B. Tujuan Penelitian
Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara
menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.
.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Apotek
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha
dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa
tugas dan fungsi apotek, ialah :
a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi : obat, obat asli Indonesia, kosmetika, alat-alat kesehatan dan sebagainya.
(Anonim, 1965)
Pada perkembangannya fungsi apotek yang diatur pada Peraturan
Pemerintah tersebut mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan adanya
Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 1965.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan
pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur
tugas dan fungsi apotek yaitu :
a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
(Anonim, 1980)
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 10 menyebutkan, yang
dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah meliputi :
a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.
c. layanan informasi mengenai perbekalan farmasi. (Anonim, 1993b)
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah
tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).
B. Tinjauan UmumTentang Apoteker
1. Menurut peraturan perundang-undangan
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah
mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan
berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker
(Anonim, 2004a).
Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin (Anonim,
2002). Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang telah diberi surat izin
apotek (Anonim, 1993b). Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan
melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus
menunjuk apoteker pendamping (Anonim, 2002). Apabila apoteker pengelola
apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti.
Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola
apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih
dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta
tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim,
2002).
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya
berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
(Anonim, 1992). Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32
tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan bahwa bagi tenaga
kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban
untuk :
a. menghormati hak pasien
b. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang
akan dilakukan.
(Anonim, 1996)
Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 7 menyebutkan bahwa seorang apoteker
harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
pemeliharaan (Anonim, 1999). Permenkes Nomor 922 tahun 1993
menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi :
a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
(Anonim, 1993)
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker
harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat,
tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-
kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari
selama terapi (Anonim, 2004a).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu
tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang ke
apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau
apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama
jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke
apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 menyatakan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pada
pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1, telah diuraikan sebelumnya,
dipidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
2. Apoteker sebagai suatu profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan
dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang
bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan
kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan
konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan
suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain :
1. unusual learning, yaitu di didik dan menerima pengetahuan yang khas dan
merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di
tempat lain atau bidang yang berbeda.
2. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan
mementingkan kepentingan orang lain).
3. telah mengucapkan sumpah.
4. memiliki kode etik
5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992).
6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan
peraturan perundang-undangan lain).
7. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja).
8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional
9. bersifat otonomi dan independensi.
10. bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita.
11. confidental relationship dalam pelayanannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Menurut ISFI (2004), profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.
2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi.
3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian.
4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom.
5. memberlakukan kode etik keprofesian.
6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan.
7. proses pembelajaran seumur hidup.
8. mendapat jasa profesi.
Menurut Trait Theory, Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi
karena menunjukkan beberapa ciri khusus, yaitu :
1. memiliki ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan
jangka panjang (specialized knowledge and lengthy training). Agar
dapat diterima menjadi salah satu anggota profesi, seseorang harus
menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan spesialisasi tinggi.
Untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan
di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 maupun jenjang
pendidikan profesi. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker
dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan
dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat
secara klinis (Harding, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi
mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada
masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
2. monopoli dalam praktek (monopoly of practice). Monopoli pekerjaan
yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh Negara (Harding,
1993). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai
apoteker. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Pada pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa profesi farmasi dan pekerjaan kefarmasian memiliki pengakuan
secara hukum di Indonesia, dan bahwa pekerjaan kefarmasian tersebut
hanya apoteker yang memiliki kewenangan untuk menjalankannya.
3. pengaturan diri (self regulation). Organisasi profesi diperbolehkan untuk
mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi
persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang
yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993).
Organisasi profesi farmasi adalah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Surat Kepmenkes Nomor 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965
menyatakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia disingkat ISFI
sebagai organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana apoteker
Indonesia yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana di bidang
farmasi yakni sarjana apoteker. Wujud pengaturan diri tersebut antara lain
dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker, Kode Etik Apoteker Indonesia dan
Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.
4. orientasi pelayanan (service orientation). Pernyataan ini menandakan
bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi
keinginan klien dan tidak diperbolehkan memaksa klien hanya demi
keuntungan pribadi semata. Hal ini ditegaskan pada pasal 53 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyebutkan
bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992).
3. Peran apoteker
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa
sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang
apoteker yang profesional dan dalam pengelolaan apotek tersebut, apoteker
harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan
pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam
situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi
peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004a).
Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah
“Seven Star of Pharmacist” meliputi :
1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan
klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam
memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara
individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan
pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan
dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.
2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan,
keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh
penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan
kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai
tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk
kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan
pelatihan yang diperlukan.
3. Comunicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam
berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh
karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik.
Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar
dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan
kebutuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia,
fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin
orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus
tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi
informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.
6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan
semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk
menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date)
dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara
belajar yang efektif.
7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan
melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam
berbagi ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan
memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.
(Anonim, 2004b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian integral dari
sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi
jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya
penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau
masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur sistem pelayanan
kefarmasian dan fungsi sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b).
1. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan
kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.
b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri.
c. memberikan pelayanan informasi obat. d. memberikan konsultasi obat. e. membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses
terapi. f. melakukan monitoring efek samping obat. g. pelayanan klinik berbasis farmakokinetik. h. pelaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara. i. melakukan evaluasi penggunaan obat.
(Anonim, 2004b)
2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas
praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan
mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang
diambil. d. melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak
mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”.
(Anonim, 2004b)
3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen
praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action).
c. merancang, membuat ,melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan.
d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.
e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.
f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah kepada kepuasan konsumen.
(Anonim, 2004b)
4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi
farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.
c. memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat kefarmasian.
d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
(Anonim, 2004b)
5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan
pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian.
b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan.
c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.
e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.
(Anonim, 2004b)
6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan
pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di
apotek adalah:
a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.
b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.
(Anonim, 2004b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
7. Menurut peraturan perundang-undangan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah sebagai berikut :
a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
2) Sarana dan prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki : 1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur/materi informasi. 3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien
4. Ruang racikan. 5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.
Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out) 3.1 Perencanaan.
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : a. Pola penyakit. b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat.
3.2 Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.
3.3 Penyimpanan. 1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.
2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.
4) Administrasi.
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 4.1. Administrasi umum.
Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.2. Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
b. Pelayanan
1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep. - Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. - Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta. - Cara pemakaian yang jelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
- Informasi lainnya. 1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. 1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
1.2. Penyiapan obat.
1.2.1. Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
1.2.7. Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.
2) Promosi dan edukasi.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
3) Pelayanan residensial (Home Care).
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
c. Evaluasi mutu pelayanan
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket
atau wawancara langsung. 2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah
ditetapkan). 3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang
telah ditetapkan. Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk : • Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; • Adanya pembagian tugas dan wewenang; • Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan
lain yang bekerja di apotek; • Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; • Membantu proses audit. Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: • Tujuan : merupakan tujuan protap. • Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang
dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan. • Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan
dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur. • Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. • Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk
penerapan standar. • Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.
(Anonim, 2004a)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
D. Sumpah Apoteker
Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan
melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus
diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker
dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan
keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker
(ISFI, 2001).
Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan
bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau
pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan
keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya,
sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan
membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun
akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada
lampiran 4.
E. Kode Etik Apoteker
Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-
rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan
keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker
dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan
yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu
memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2006).
Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan
Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005
dapat dilihat pada lampiran 5.
Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :
1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)
Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai
dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan
masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam
menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai
penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan
sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus
mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan
memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya
yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang
ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan
lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)
Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi
keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer
untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan
bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu sendiri.
(Anief, 1995)
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek melakukan
bisnis yang beretika.
Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan
prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang
kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul
konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan
penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses
pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap
tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).
Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan
bisnis adalah :
1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak
berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan
tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik
perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat
yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak,
mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.
3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence).
Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal,
minimal tidak merugikan orang lain.
4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan
sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.
5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan
orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.
(Isdaryadi, 2005)
Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan
dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang
melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari
keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).
F. Keterangan Empiris
Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan
sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan. Berdasarkan hasil
penelitian diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Yogyakarta berdasarkan tiga parameter
utama dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan
penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang
observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa
adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001).
Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).
Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau
keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk
mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara
obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).
B. Batasan Operasional Penelitian
1. Pelaksanaan adalah penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menurut
pendapat responden.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan
sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian
ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
3. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan
tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila
persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka
dikatakan belum dilaksanakan.
5. Apotek adalah 23 apotek sampel yang berada di wilayah Kota Yogyakarta.
6. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping
yang bersedia mengisi kuisioner.
7. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan
selama bulan September-November 2006.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang :
1. karakteristik responden.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-
benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam
suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua
apotek yang ada di Kota Yogyakarta.
Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta, diketahui bahwa jumlah apotek di Kota Yogyakarta tahun 2006
adalah sebanyak 113 apotek.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data
sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif
ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk
populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk,
1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan
secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001).
Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu
pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan
representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum
sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi.
Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum
sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil
penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel
sebesar 20% dari populasi yaitu sebanyak 23 apotek. Penentuan sampel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
menggunakan metode proportional cluster non random sampling dimana
apotek dikelompokkan berdasarkan kecamatan terlebih dahulu sehingga
diperoleh jumlah apotek tiap kecamatan, yaitu Kecamatan Gondokusuman 12
apotek, Kecamatan Jetis 11 apotek, Kecamatan Tegalrejo 3 apotek,
Kecamatan Danurejan 8 apotek, Kecamatan Pakualaman 4 apotek, Kecamatan
Gedongtengen 4 apotek. Kecamatan Ngampilan 5 apotek, Kecamatan Kraton
5 apotek, Kecamatan Gondomanan 6 apotek, Kecamatan Wirobrajan 7 apotek,
Kecamatan Mantrijeron 15 apotek, Kecamatan Mergangsan 5 apotek,
Kecamatan Umbulharjo 20 apotek dan Kecamatan Kotagede 8 apotek. Jumlah
apotek menggambarkan jumlah responden. Kemudian dilakukan pengambilan
sampel sebesar 20% dari jumlah apotek di setiap kecamatan sehingga
diperoleh jumlah sampel yang berbeda di tiap kecamatan sesuai jumlah apotek
yang berada di kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Gondokusuman 2
apotek, Kecamatan Jetis 2 apotek, Kecamatan Tegalrejo 1 apotek, Kecamatan
Danurejan 2 apotek, Kecamatan Pakualaman 1 apotek, Kecamatan
Gedongtengen 1 apotek, Kecamatan Ngampilan 1 apotek, Kecamatan Kraton
1 apotek, Kecamatan Gondomanan 1 apotek, Kecamatan Wirobrajan 1 apotek,
Kecamatan Mantrijeron 3 apotek, Kecamatan Mergangsan 1 apotek,
Kecamatan Umbulharjo 4 apotek dan Kecamatan Kotagede 2 apotek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
E. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan kuesioner
Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam
penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari
responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang
di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis
oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi
responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.
2. Pengujian kuesioner
a. Uji pemahaman bahasa
Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana
bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner
dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan
pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman
bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima
apotek di luar populasi penelitian.
b. Uji validitas isi
Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen
pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).
Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu
untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).
Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi.
Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi
pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana
dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan
analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi
validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan
hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang
akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner
akan tercapai.
c. Uji reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur
tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap
apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut
memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak
berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan
tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan
homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur
suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena
pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung
terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas
data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden
menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan
asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang
mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi
reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).
3. Penyebaran kuesioner
Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan
mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada
responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner
tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner
tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil
kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan
pada bulan September – November 2006.
4. Pengumpulan kuesioner
Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil
setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang
dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak
23 buah sesuai jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
5. Wawancara
Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan
sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985).
Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis,
2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling dan
pengertian medication record. Wawancara dilakukan terhadap beberapa
responden yang bersedia untuk di wawancarai. Hasil wawancara dapat dilihat
pada lampiran 7.
F. Tata Cara Analisis Data
Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada
penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik
(Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif
dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram.
Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga
parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian
menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah
melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan
jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.
G. Kesulitan Penelitian
Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :
1. tidak semua Apoteker di apotek Kota Yogyakarta bersedia menjadi responden.
2. tidak dilakukannya orientasi untuk membuat sampling frame, yang bertujuan
untuk menentukan jumlah apoteker yang bersedia mengisi kuesioner sebagai
populasi, sebelum menentukan jumlah sampel.
3. tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan
responden terhadap tiap jawaban yang diberikan.
4. sulit untuk mengetahui perbandingan tingkat pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek dari setiap responden.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Deskripsi Responden
Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek,
pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan
lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam
sehari.
1. Umur responden
Hasil penelitian menunjukkan responden yang berada pada rentang usia
antara 21-35 tahun sebesar 73,92%, 36-50 tahun sebesar 4,35% dan yang
berusia lebih dari 50 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai rentang usia
responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Umur Responden
73.92%
4.35%
21.74%
21-35 thn36-50 thn>50 thn
Gambar 1. Diagram Umur Respoden
Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden,
yaitu sebanyak 73,92% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang
mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
seseorang. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Growth Study, proses
pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan
mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu
berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan
mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip
abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). Berdasarkan keterangan tersebut
diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih
baik.
2. Posisi responden di apotek
Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada
yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan
Apoteker Pengganti. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker
Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi
kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 95,65% responden
merupakan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sisanya sebesar 4,35%
merupakan Apoteker Pendamping.
Tabel I. Posisi Responden di Apotek
No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Apoteker Pengelola Apotek 22 95,65
2 Apoteker Pendamping 1 4,35 Total 23 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan
apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping
sesuai yang diharapkan oleh peneliti sehingga diharapkan responden dapat
mengisi kuesioner dengan baik dan dapat diketahui pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek tersebut, karena seorang apoteker lebih
paham mengenai segala sesuatu yang terjadi di apotek dibandingkan staf
lainnya.
3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang
Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman
kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun
sebesar 4,35%, 1-5 tahun sebesar 60,87%, 6-10 tahun sebesar 13,04% dan
yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai
pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang dapat
dilihat pada Gambar 2 berikut.
Pengalaman Kerja sebagai Apoteker di Apotek
4.35%
60.87%13.04%
21.74%<1 thn1-5 thn
6-10 thn> 10thn
Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek yang Sekarang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden
(95,65%) telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang
sekarang selama lebih dari 1 tahun sehingga diharapkan bahwa responden
telah memahami mengenai kinerja di apotek mereka yang sekarang dan dapat
mengisi kuesioner dengan baik.
4. Adanya pekerjaan lain dari responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52,17% responden memiliki
pekerjaan lain, selain sebagai apoteker di apotek dan sisanya yaitu sebesar
47,83% tidak memiliki pekerjaan selain sebagai apoteker di apotek.
Tabel II. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden
No Pekerjaan lain selain sebagai apoteker Jumlah Persentase (%)
n = 23
1 Memiliki 12 52,17
2 Tidak memiliki 11 47,83
Total 23 100
Ada tidaknya pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek, apa pun
jenis pekerjaannya, sedikit banyak akan berpengaruh pada jam kehadiran dan
kinerja apoteker di apotek. Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b
apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang
dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang
apoteker yang bekerja penuh (full-time). Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya
sebagai apoteker di apotek dan di pekerjaan lainnya sesuai Kode Etik
Apoteker pasal 6, seorang apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh
yang baik bagi orang lain.
5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek
3-5 hari seminggu sebesar 30,43% dan yang bekerja 6-7 hari seminggu
sebesar 69,57%.
Tabel III. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu
No Waktu kerja di apotek dalam seminggu Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 < 3 hari 0 0 2 3-5 hari 7 30,43% 3 6-7 hari 16 69,57%
Total 23 100
Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tabel III memperlihatkan
bahwa sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat disimpulkan
bahwa responden telah memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana
contoh apoteker yang bekerja di apotek perusahaan negara (Kimia Farma).
6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek
kurang dari 4 jam sehari sebesar 4,35%, yang bekerja 4-6 jam sehari sebesar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
39,13% dan yang bekerja lebih dari 6 jam sehari sebesar 56,52 %. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Waktu Kerja di Apotek dalam Sehari
4.35% 39.13%
56.52%
< 4 jam4-6 jam> 6 jam
Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Sehari
Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (hari).
Gambar 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja lebih dari
6 jam sehari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi
ketentuan waktu kerja minimal dalam sehari yang berlaku.
B. Pengelolaan Sumber Daya
1. a. Sumber daya manusia
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 antara lain
menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang
profesional. Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi
dan menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner.
Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek salah satunya
adalah merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan
mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku dan
bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil.
Tabel IV. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA
No Berdasarkan persetujuan APA Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Ya 18 78,26
2 Tidak 5 21,74
Total 23 100
Tabel IV menunjukkan bahwa apotek yang setiap keputusannya
selalu diambil berdasarkan persetujuan APA sebesar 78,26%, dimana hal
ini juga dinyatakan oleh responden yang merupakan apoteker pendamping.
Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian
ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan lainnya.
Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung menggambarkan
kualitas seorang apoteker terutama Apoteker Pengelola Apotek.
Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20 menyebutkan bahwa Apoteker
Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang
dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam
pengelolaan apotek. Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh
dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten
apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Karena itulah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan
persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.
b. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
sumber daya manusia.
78.26%
21.74%
0.00%
50.00%
100.00%
YaTidak
Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya
manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase
pelaksanaan di atas 50%, yaitu sebesar 78,26%.
2. Sarana dan prasarana
a. Papan petunjuk apotek
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis
kata apotek. Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan bahwa
papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm.
Selanjutnya pasal 6 ayat 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang
persyaratan apotek menyebutkan bahwa papan nama harus memuat : nama
apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek dan
nomor telepon, kalau ada.
Tabel V. Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek
No Papan yang tertulis kata apotek Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ada 23 100
2 Tidak Ada 0 0
Total 23 100
Penelitian ini mengacu pada Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hanya menyebutkan bahwa pada
halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
apotek dan tidak membahas lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya
seperti yang tersebut diatas. Tabel V menunjukkan bahwa semua apotek
(100%) mempunyai papan yang tertulis kata apotek pada halaman depan
apotek mereka sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya
Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 ayat 2 dan 3, sarana
apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya di luar sediaan farmasi dan apotek dapat melakukan
kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Kepmenkes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pelayanan
produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas
pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk
menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko
kesalahan penyerahan. Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 8
menyebutkan bahwa apotek dilarang menyalurkan barang atau menjual
jasa yang tidak ada hubungannya dengan fungsi pelayanan kesehatan.
Tabel VI. Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya
No Diberikan pada tempat yang terpisah Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 14 60,87
2 Tidak 9 39,13
Total 23 100
Tabel VI menunjukkan bahwa apotek yang menempatkan produk
kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 60,87% dan 39,13% sisanya
menempatkan produk kefarmasian tidak terpisah dari produk lainnya.
c. Ruang tunggu bagi pasien
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,
yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini
juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 yang pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang
tunggu.
Tabel VII. Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien
No Ruang tunggu bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Ada 23 100
2 Tidak Ada 0 0
Total 23 100
Tabel VII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki ruang
tunggu bagi pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004.
d. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi
pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut. Informasi disini
contohnya berupa brosur, leaflet atau poster.
Tabel VIII. Adanya Informasi Bagi Pasien
No Brosur/informasi mengenai kesehatan Jumlah Persentase (%)
n = 22 1 Ada 22 95,65
2 Tidak Ada 1 4,35
Total 22 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Tabel VIII menunjukkan bahwa apotek yang menyediakan informasi
bagi pasien sebesar sebanyak 95,65% dan 4,35% sisanya tidak
menyediakan informasi bagi pasien.
Tabel IX. Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi
No Tempat khusus untuk mendisplay Jumlah Persentase (%)
n = 22 1 Ada 19 86,36
2 Tidak Ada 3 13,64
Total 22 100
Tabel IX menunjukkan bahwa dari apotek yang menyediakan
informasi bagi pasien tersebut, 86,36% di antaranya memiliki tempat
khusus untuk mendisplay informasi tersebut dan 13,64% sisanya tidak
memiliki tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut.
e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi
pasien.
Tabel X. Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling
No Ruang tertutup untuk konseling Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ada 4 17,39
2 Tidak Ada 19 82,61
Total 23 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Tabel X menunjukkan bahwa hanya 17,39% apotek yang
mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien dan selebihnya
sebesar 82,61% tidak mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi
pasien. Ruang tertutup berfungsi untuk menjaga privacy dan kenyamanan
pasien selama konseling berlangsung sehingga konseling dapat berjalan
dengan baik.
f. Ruang racikan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada
Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3
Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek
harus memiliki ruang peracikan.
Tabel XI. Adanya Ruang Racikan di Apotek
No Ruang racikan Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Kering saja 4 17,39 2 Basah saja 0 0 3 Kering+Basah 17 73,91 4 Tidak punya 2 8,70
Total 23 100
Tabel XI menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 73,91% apotek
mempunyai ruang racikan kering dan ruang racikan basah, 17,39% apotek
yang hanya mempunyai ruang racikan kering dan terdapat 8,70% apotek
yang tidak mempunyai ruang racikan, baik ruang racikan kering maupun
ruang racikan basah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Ruang Racikan
17.39%
73.91%
8.70%KeringKering+BasahTidak punya
Gambar 5. Adanya Ruang Racikan di Apotek
g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf
maupun pasien. Pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun
2002 disebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta
memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan
salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga
dengan baik.
Tabel XII. Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien
No Keranjang sampah Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Staf saja 1 4,35 2 Pasien saja 0 0 3 Staf +pasien 22 95,65
Total 23 100
Tabel XII menunjukkan bahwa 95,65% apotek mempunyai
keranjang sampah untuk staf dan keranjang sampah untuk pasien sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dan 4,35% sisanya
hanya mempunyai keranjang sampah untuk staf.
h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
sarana dan prasarana
100%60.87%
100% 95.65%
17.39%
91.30% 95.65%
0%
50%
100%
papan petunjuk apotektempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnyaruang tunggutempat display informasiruang konseling tertutupruang racikankeranjang sampah untuk staf+pasien
Gambar 6. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan
prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan
sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki
persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk
apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (100%), tersedianya tempat
display informasi (95.65%), tersedianya keranjang sampah untuk staf dan
pasien (95,65%) dan penempatan produk kefarmasian yang terpisah
dengan produk lainnya (60,87%). Namun demikian masih terdapat
pengelolaan sarana dan prasarana yang belum dilaksanakan, yaitu yang
memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi tersedianya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
ruang konseling tertutup (17,39%) sehingga perlu ditingkatkan lagi
pelaksanaannya.
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan,
pengadaan, penyimpanan dan pelayanan.
a. Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan
harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari
kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006).
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam
membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan
adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.
a) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit
yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat tentang obat-obatan untuk penyakit tersebut.
b) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di
sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-
obatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
c) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat,
bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-
obatan khususnya obat-obat tanpa resep.
(Hartini dan Sulasmono, 2006)
Tabel XIII. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek
No Latar Belakang Perencanaan Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Pola penyakit 3 13,04
2 Pola penyakit dan kemampuan masyarakat 1 4,35
3 Kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat 1 4,35
4 Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat
18 78,26
Total 23 100
Tabel XIII menunjukkan bahwa apotek yang memperhatikan pola
penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat dalam
perencanaan pengadaan sediaan farmasi sesuai Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78,26%, selebihnya sebesar 13,04%
hanya memperhatikan pola penyakit, 4,35% hanya memperhatikan pola
penyakit dan kemampuan masyarakat dan 4,35% hanya memperhatikan
kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.
b. Pengadaan
Persediaan barang di apotek diadakan berdasarkan perencanaan yang
telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada.
Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin
kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus
melalui jalur resmi.
Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan
obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika
dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal
3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar
Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan
farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain.
Tabel XIV. Sumber Perolehan Obat di Apotek
No Sumber Perolehan Obat Jumlah Persentase (%) n = 23
1 PBF 10 43,47 2 PBF+apotek 6 26,09 3 PBF+toko obat 1 4,35 4 PBF+apotek+toko obat 4 17,39 5 PBF+toko obat+swalayan 1 4,35 6 PBF+apotek+toko obat+swalayan 1 4,35
Total 23 100 Tabel XIV menunjukkan bahwa apotek yang memperoleh obat-
obatan melalui jalur resmi sesuai Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 1993 sebesar 69,56%, selebihnya ada yang
memperoleh obat melalui jalur tidak resmi. Bagan jalur distribusi obat
dapat dilihat pada lampiran 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
c. Penyimpanan
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Tabel XV. Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah Lain
No Pernah memindahkan isi ke wadah lain Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 7 30,43
2 Tidak 16 69,57
Total 23 100
Tabel XV menunjukkan bahwa apotek pada umumnya (69,57%)
selalu menyimpan obat/bahan obat dalam wadah asli dari pabrik, namun
terdapat 30,43% apotek yang pernah memindahkan isi obat dari wadah asli
ke wadah lain.
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya
memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Gambaran mengenai
informasi yang disertakan apoteker pada wadah baru dapat dilihat pada
Tabel XVI berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Tabel XVI. Informasi yang Disertakan pada Wadah Baru
No Informasi yang disertakan Jumlah Persentase (%) n = 7
1 Tidak ada informasi 1 14,29 2 Tanggal kadaluwarsa+aturan pakai 3 42,85
3 Produsen+tanggal kadaluwarsa+aturan pakai+cara penyimpanan
1 14,29
4 Produsen+tanggal kadaluwarsa+nomor batch+aturan pakai+cara penyimpanan
2 28,57
Total 7 100
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, informasi yang harus
dicantumkan pada wadah baru sekurang-kurangnya memuat nomor batch
dan tanggal kadaluwarsa. Tabel XVI menunjukkan bahwa apotek yang
mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa sesuai Kepmenkes
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 28,57%, selebihnya tidak
mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa seperti yang telah
ditentukan.
Pencantuman ini dimaksudkan bilamana terjadi penarikan suatu obat
karena sub standard dan bila apoteker tidak menyediakan, menyimpan dan
menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang
keabsahannya terjamin, maka Surat Izin Apotek yang bersangkutan akan
dicabut. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Permenkes Nomor 922 tahun 1993.
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga
menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Kepmenkes Nomor 278
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang
penyimpan obat.
Tabel XVII. Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan Khusus
No Tempat penyimpanan khusus Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Ada 23 100
2 Tidak Ada 0 0
Total 23 100
Tabel XVII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki
tempat penyimpanan khusus untuk obat-obat tertentu. Tempat
penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya
adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika (pasal 7 Kepmenkes
Nomor 278 tahun 1981) dan lemari pendingin yang digunakan untuk
menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu
kamar seperti serum dan vaksin (pasal 9 Kepmenkes RI Nomor 278 tahun
1981). Dengan mengetahui adanya tempat penyimpanan khusus di apotek
tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan apakah apotek
tersebut memperhatikan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan
kestabilan obat pada saat penyimpanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
78.26% 69.19% 69.57%
28.57%
0.00%
50.00%
100.00%
perencanaan meliputi : pola penyakit+kemampuan masyarakat+budayamasyarakatpengadaan melalui jalur resmi
penyimpanan dalam wadah asli pabrik
informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi : tgl kadaluwarsa+nmrbatch
Gambar 7. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan
Perbekalan Kesehatan Lainnya
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya sebagian besar telah dilaksanakan dengan
baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang
telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas
50%, meliputi perencanaan (78,26%), penyimpanan dalam wadah asli
pabrik (69,57%) dan pengadaan (69,19%). Namun demikian masih
terdapat pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di
bawah 50%, meliputi penyertaan informasi pada wadah baru (28,57%)
sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
4. Administrasi
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu
dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan
administrasi pelayanan.
1) Administrasi umum
Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan
narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
a. Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian
Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan
bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan.
Tabel XVIII. Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka Beli
No Selalu disertai bukti/faktur pembelian dan dicatat Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 23 100
2 Tidak 0 0
Total 23 100
Tabel XVIII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu
menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka
pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
b. Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan
Pasal 12 Kepmenkes RI Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan
bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota penjualan. Pasal 13
(d) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur
dan blangko nota penjualan.
Tabel XIX. Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur/Nota Penjualan
No Dilengkapi faktur/nota penjualan Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 19 82,61
2 Tidak 4 17,39
Total 23 100 Tabel XIX menunjukkan bahwa apotek yang selalu menyertakan
faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka
lakukan sebanyak 82,61% dan 17,39% sisanya tidak selalu
menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan
yang mereka lakukan.
Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan
bahwa dalam apotek harus tersedia buku penjualan dan penerimaan
obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap transaksi
penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Tabel XX. Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam Buku Penjualan
No Dicatat dalam buku penjualan Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Ya 22 95,65
2 Tidak 1 4,35
Total 23 100 Tabel XX menunjukkan bahwa terdapat 4,35% apotek yang tidak
selalu mencatat setiap transaksi penjualan yang terjadi. Apotek yang
selalu mencatat setiap transaksi penjualan dalam buku penjualan
sebesar 95,65%.
c. Pengeluaran narkotika dan psikotropika
Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (g) menyebutkan
bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotika dan
psikotropika.
Tabel XXI. Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran Narkotika dan Psikotropika
No Dicatat dalam buku pencatatan Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 23 100
2 Tidak 0 0
Total 23 100 Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 menyebutkan
bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan pada pasal 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 disebutkan bahwa apotek wajib
membuat laporan berkala mengenai pengeluaran narkotika. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu
melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika
dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika.
2) Administrasi pelayanan
Administrasi pelayanan ini meliputi pengarsipan resep, pengarsipan
cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan
obat.
a. Pengarsipan resep
Gambaran mengenai pengarsipan resep dapat dilihat pada Tabel
XXII berikut.
Tabel XXII. Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara Berurutan
No Selalu menyimpan resep secara berurutan Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 23 100
2 Tidak 0 0
Total 23 100
Pasal 7 Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa
Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan
menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus
disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Hasil penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu menyimpan resep
menurut urutan tanggal dan nomor resep.
b. Medication record
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
medication record adalah catatan pengobatan setiap pasien.
Tabel XXIII. Apotek yang Selalu Melakukan Pengisian Medication Record
No Selalu melakukan pengisian medication record Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 9 39,13
2 Tidak 14 60,87
Total 23 100
Hasil penelitian menunjukkan 60,87% apoteker selalu melakukan
pengisian medication record dan terdapat 39,13% apoteker yang tidak
selalu melakukan pengisian medication record. Melalui wawancara
lepas kepada beberapa responden, responden mempunyai persepsi
yang hampir sama mengenai pengisian medication record, yaitu
catatan pengobatan setiap pasien yang memuat antara lain data pribadi
pasien (nama, usia, jenis kelamin, alamat), nomor resep, nama dokter,
riwayat obat yang pernah digunakan pasien dan riwayat penyakit
pasien. Berdasarkan hasil wawancara pada salah satu responden yang
menyatakan tidak selalu melakukan pengisian medication record,
diketahui bahwa pelaksanaan pengisian medication record hanya
dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang lansia dan pasien
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dengan penyakit tertentu seperti TBC dan diabetes. Berdasarkan hasil
wawancara tersebut terlihat bahwa pemahaman apoteker mengenai
medication record sudah sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, tetapi belum dalam pelaksanaannya.
3) Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
administrasi
100% 82.61% 95.65% 100% 100%
39.13%
0%
50%
100%
pencatatan&pengarsipan pembelianpenyertaan bukti/faktur penjualanpencatatan penjualanpencatatan narkotika&psikotropikapengarsipan reseppelaksanaan pengisian medication record
Gambar 8. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi, meliputi
administrasi umum dan administrasi pelayanan sebagian besar telah
dilaksanakan dengan baik. Kegiatan administrasi yang telah dilaksanakan,
yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi
pencatatan dan pengarsipan pembelian (100%), pencatatan narkotika dan
psikotropika (100%), pengarsipan resep (100%), pencatatan penjualan
(95,65%), penyertaan bukti/faktur penjualan (82,61%). Namun demikian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
masih terdapat kegiatan administrasi yang belum dilaksanakan, yaitu yang
memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pengisian
medication record (39,13%) sehingga perlu ditingkatkan lagi
pelaksanaannya.
C. Pelayanan
1. Skrining resep
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker
melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan dengan tujuan
untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang
merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga
kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error yang berusaha
diminimalisir melalui skrining resep ini adalah dispensing error yang
merupakan lingkup tanggung jawab farmasis.
a. Persyaratan administratif
Hasil penelitian menunjukkan 95,65% apotek selalu melakukan
skrining resep persyaratan administratif dan 4,35% sisanya tidak selalu
melakukan skrining resep persyaratan administratif. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel XXIV berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Tabel XXIV. Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep Persyaratan Administratif
No Persyaratan administratif Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Ya 22 95,65
2 Tidak 1 4,35
Total 23 100
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter; tanggal
penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat,
umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis,
jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.
Pada penelitian ini tidak dijabarkan mengenai persyaratan
administratif yang dilakukan karena responden dianggap sudah
mengetahui dan memahami mengenai persyaratan administratif beserta
cakupannya.
b. Kesesuaian farmasetik
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Gambaran mengenai
pelaksanaan skrining resep kesesuaian farmasetik dapat dilihat pada Tabel
XXV berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Tabel XXV. Skrining Kesesuaian Farmasetik
No Skrining kesesuaian farmasetik yang dilakukan Jumlah
Persentase (%)
n=23 1 Tidak melakukan 1 4,35 2 Dosis 1 4,35 3 Bentuk sediaan+lama pemberian 1 4,35
4 Bentuk sediaan+dosis+cara pemberian+lama pemberian 1 4,35
5 Bentuk sediaan+dosis+stabilitas+cara pemberian 1 4,35
6 Bentuk sediaan+dosis+potensi+cara pemberian+lama pemberian 1 4,35
7 Bentuk sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkompatibilitas+cara pemberian
1 4,35
8 Bentuk sediaan+dosis+stabilitas+inkompatibilitas+cara pemberian+lama pemberian
1 4,35
9 Dosis+stabilitas+inkompatibilitas+cara pemberian+lama pemberian 2 8,70
10 Bentuk sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkompatibilitas+cara pemberian+lama pemberian
13 56,52
Total 23 100
Tabel XXV menunjukkan bahwa apotek yang melakukan skrining
resep kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian sesuai
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56,52%,
selebihnya belum melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik secara
menyeluruh, sehingga kemungkinan terjadinya medication error masih
relatif besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
c. Pertimbangan klinis
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan
jumlah obat.
Tabel XXVI. Skrining Pertimbangan Klinis
No Skrining pertimbangan klinis yang dilakukan Jumlah
Persentase (%)
n = 23 1 Tidak melakukan 1 4,35 2 Alergi 1 4,35 3 Efek samping 1 4,35 4 Durasi+jumlah obat 1 4,35 5 Alergi+efeksamping+jumlah obat 1 4,35 6 Efek samping+interaksi+jumlah obat 1 4,35 7 Alergi+efek samping+interaksi+durasi 1 4,35
8 Alergi+efek samping+durasi+jumlah obat 2 8,70
9 Alergi+efek samping+interaksi+jumlah obat 2 8,70
10 Efek samping+interaksi+durasi+jumlah obat
1 4,35
11 Alergi+efek samping+interaksi+durasi+jumlah obat
11 47,82
Total 23 100 Tabel XXVI menunjukkan bahwa apotek yang melakukan skrining
resep pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi , durasi
dan jumlah obat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 47,82%, selebihnya belum
melakukan skrining resep sehingga kemungkinan terjadinya medication
error masih relatif besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
d. Konsultasi dengan dokter penulis resep
Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan bahwa
resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan
terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter
penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan
meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini
sesuai dengan pasal 25 Kode Etik Apoteker Indonesia.
Tabel XXVII. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep
No Selalu melakukan konsultasi dengan
dokter penulis resep Jumlah
Persentase (%)
n = 23
1 Ya 18 78,26
2 Tidak 5 21,74
Total 23 100
Tabel XVII menunjukkan bahwa apotek yang selalu melakukan
konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam
penulisan resep sebesar 78,26% dan 21,74% sisanya tidak selalu
melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada
ketidakjelasan dalam penulisan resep.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
skrining resep
95.65%
56.52% 47.82%
78.26%
0.00%
50.00%
100.00%
persyaratan administratif
kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberianpertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi danjumlah obat
konsultasi dengan dokter penulis resep
Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep sebagian besar
telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah
dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%,
meliputi skrining resep persyaratan administratif (95,65%), konsultasi
dengan dokter penulis resep (78,26%) dan skrining resep kesesuaian
farmasetik (56,52%). Namun demikian, masih terdapat skrining resep yang
belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase di bawah 50%,
meliputi skrining resep pertimbangan klinis (47,82%) sehingga perlu
ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
2. Penyiapan obat
a. Etiket
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa
etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat
menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah
membaca/mengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket
harus jelas dan dapat dibaca.
Tabel XXVIII. Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien
No Pernah terjadi keluhan tentang etiket Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 2 8,70
2 Tidak 21 91,30
Total 23 100
Tabel XXVIII menunjukkan bahwa terdapat 91,30% apotek yang
tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 8,70%
sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak
jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication
error.
b. Penyerahan obat
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir
terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Tabel XXIX. Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien
No Selalu melakukan pengecekan sebelum diserahkan ke pasien Jumlah
Persentase (%)
n = 23
1 Ya 23 100
2 Tidak 0 0
Total 23 100
Tabel XXIX menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu
melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep
sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir (medication review)
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error
terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak
farmasis.
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian
informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini
juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan
kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur
operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi
obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker
Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber
informasi sesuai dengan profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut
dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah
memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien
agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor
32 tahun 1996 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan
kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan
dikenakan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Tabel XXX. Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung Dalam Penyerahan Obat ke Pasien
No Selalu terlibat dalam penyerahan obat Jumlah Persentase
(%) n = 23
1 Ya 15 65,22
2 Tidak 8 34,78
Total 23 100
Tabel XXX menunjukkan bahwa apotek yang apotekernya selalu
terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien sebesar 65,22% dan
34,78% sisanya tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat
kepada pasien sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk
memberikan informasi kepada pasien.
c. Informasi obat
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurang-
kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan
aktivitas yang harus dihindari.
Tabel XXXI. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker
No Informasi Obat yang diberikan Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Cara pemakaian obat+jangka waktu pengobatan 2 8,70
2 Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan
8 34,78
3
Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan minuman yang harus dihindari+aktivitas yang harus dihindari
13 56,52
Total 23 100
Tabel XXXI menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan
informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan
obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus
dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56,52%, selebihnya belum
memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien.
Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker
karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi
terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat
pasien mengkonsumsi obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
d. Konseling
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara
apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah
yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus
memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan
perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan
mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui
kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 mengenai pengertian konseling. Melalui
wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka
mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian
konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien
dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh pasien. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai
pemahaman yang berbeda/tidak sesuai dengan yang tertera pada
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Responden juga
berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian
yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan
proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman
maupun pengetahuan. Salah seorang responden berpendapat bahwa
konseling merupakan proses searah, sedangkan konsultasi merupakan
proses dua arah. Berdasarkan hasil wawancara ini terlihat kalau apoteker
belum mengetahui pengertian konseling yang sebenarnya. Namun
demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam
pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling
karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang mungkin lebih
mengetahui dari dokter yang menangani pasien tersebut, tentang obat-
obatan yang sering mereka konsumsi.
Tabel XXXII. Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek
No Selalu menyediakan jam
konseling setiap hari Jumlah
Persentase (100%)
n = 23
1 Ya 20 86,96
2 Tidak 3 13,04
Total 23 100
Tabel XXXII di atas menunjukkan bahwa apoteker yang menyatakan
bahwa mereka selalu menyediakan jam konseling bagi pasien setiap
harinya di apotek sebesar 86,96%, selebihnya yaitu sebesar 13,04% belum
menyediakan jam konseling setiap hari.
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan
pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel
XXXIII berikut.
Tabel XXXIII. Apoteker yang Memberikan Konseling Secara Berkelanjutan
No Memberikan konseling secara berkelanjutan Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 15 65,22
2 Tidak 8 34,78
Total 23 100
Tabel XXXIII menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan
konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya hanya
sebesar 43,48% dan apoteker yang tidak memberikan konseling secara
berkelanjutan sebesar 56,52%. Penderita penyakit tertentu seperti yang
telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak
sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah
diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian
khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan
konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
penyiapan obat
91.30% 100%
65.22%
86.96%
65.22%56.52%
0.00%
50.00%
100.00%
etiket jelas&dapat dibaca
pengecekan resep sebelum diserahkan
keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat
jam konseling setiap hari
konseling secara berkelanjutan
informasi yang diberikan meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitasyang harus dihindari
Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan
penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase
pelaksanaan di atas 50%, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan
kepada pasien (100%), penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca
(91,30%), adanya jam konseling setiap hari (86,96%), keterlibatan
apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (65,22%), adanya
konseling secara berkelanjutan (65,22%) dan pemberian informasi oleh
apoteker kepada pasien (56,52%).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi
a. Diseminasi informasi kesehatan
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dalam
rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara
aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi
informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster,
penyuluhan dan lain-lainnya.
Tabel XXXIV. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan
No Pernah melakukan diseminasi informasi kesehatan Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 15 65,22
2 Tidak 8 34,78
Total 23 100
Tabel XXXIV menunjukkan bahwa apoteker yang pernah melakukan
diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan hanya sebanyak 30,43% dan
69,57% sisanya tidak pernah melakukan diseminasi (penyebaran)
informasi kesehatan.
b. Tindak lanjut terapi
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 setelah
penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan
penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
(pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien
dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Tabel XXXV. Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi
No Melakukan tindak lanjut terapi Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 10 43,48
2 Tidak 13 56,52
Total 23 100
Tabel XXXV menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan tindak
lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi
melalui telepon untuk memantau keadaan pasien hanya sebanyak 43,48%,
sedangkan 56,52% sisanya tidak melakukan tindak lanjut terapi. Selain
melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan
kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu
bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna
mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau
pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk
datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian
promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi
65.22%
43.48%
0.00%
50.00%
100.00%
diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi
Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut
Terapi
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak
lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh.
Pelayanan promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi yang telah
dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%,
meliputi diseminasi informasi kesehatan (65,22%) dan yang belum
dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%,
meliputi pelayanan tindak lanjut terapi (43,48%) sehingga perlu
ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
D. Evaluasi Mutu Pelayanan
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 indikator yang
digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau
wawancara langsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang pernah melakukan
survey mengenai tingkat kepuasan konsumen hanya sebanyak 21,74%,
sedangkan sebanyak 78,26% apotek tidak pernah melakukan survey mengenai
tingkat kepuasan konsumen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVI berikut.
Tabel XXXVI. Apotek yang Pernah Melakukan Survey
No Pernah melakukan survey tingkat kepuasan konsumen Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ya 5 21,74
2 Tidak 18 78,26
Total 23 100
Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasien/pengunjung
apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek
mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari apotek yang pernah
melakukan survey tersebut, 40% di antaranya melakukan survey dengan
angket dan 60% dengan wawancara.
40%
60%
AngketWawancara
Gambar 12. Bentuk Survey
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 8,70% apotek yang
menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) dan
91,30% sisanya tidak menetapkan lama pelayanan per pasien. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel XXXVII berikut.
Tabel XXXVII. Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan
No Menetapkan lama pelayanan Jumlah Persentase (%) n = 23
1 Ya 2 8,70
2 Tidak 21 91,30
Total 23 100
Penetapan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien)
bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien
tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya
adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan
pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam
sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian
waktu.
3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah
ditetapkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 47,83% apotek yang
mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 52,17%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
sisanya tidak mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVIII berikut.
Tabel XXXVIII. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap
No Ada prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien Jumlah Persentase (%)
n = 23 1 Ada 11 47,83
2 Tidak ada 12 52,17
Total 23 100
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 prosedur
tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik
dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di
apotek. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya alur pelayanan resep di apotek
sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang
tindih tugas dan wewenang. Contoh alur pelayanan resep dapat dilihat pada
lampiran 8.
4. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi
mutu pelayanan
21.74%8.70%
47.83%
0.00%
50.00%
100.00%
survey tingkat kepuasan konsumenwaktu pelayanan per pasienprosedur tetap
Gambar 13. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum
dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah
50%, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar
21,74%, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 8,70% dan untuk
penetapan prosedur tetap sebesar 47,83%, sehingga perlu ditingkatkan
pelaksanaannya.
E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota
Yogyakarta Berdasarkan Tiga Parameter Utama Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh
apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta karena masih terdapat persentase
pelaksanaan di bawah 50% pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, yaitu pengelolaaan sumber daya, pelayanan maupun
evaluasi mutu pelayanan (Gambar 14). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah bagian evaluasi mutu
pelayanan, karena semua persentase pelaksanaannya masih di bawah 50%
sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
0.00%
50.00%
100.00%
Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan
pengambilan keputusan di apotek (78,26%) papan petunjuk apotek (100%)penempatan produk yg terpisah (60,87%) ruang tunggu (100%)tempat display informasi (95,65%) ruang konseling tertutup (17,39%)ruang racikan (91,30%) keranjang sampah (95,65%)perencanaan (78,26%) pengadaan (69,19%)penyimpanan (69,57%) informasi pada w adah baru (28,57%)pencatatan&pengarsipan pembelian (100%) penyertaan bukti/faktur penjualan (82,61%)pencatatan penjualan (95,65%) pencatatan narkotika&psikotropika (100%)pengarsipan resep (100%) pengisian medication record (39,13%)persyaratan administratif (95,65%) kesesuaian farmasetik (56,52%)pertimbangan klinis (47,82%) konsultasi dengan dokter (78,26%)etiket jelas&dapat dibaca (91,30%) pengecekan resep sebelum diserahkan (100%)keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (65,22%) jam konseling setiap hari (86,96%)konseling secara berkelanjutan (65,22%) informasi yg diberikan pada pasien (56,52%)diseminasi informasi kesehatan (65,22%) tindak lanjut terapi (43,48%)survey tingkat kepuasan konsumen (21,74%) w aktu pelayanan per pasien (8,70%)prosedur tetap (47, 83%)
Gambar 14. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa Apoteker
di apotek-apotek di Kota Yogyakarta belum melaksanakan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan masih
terdapatnya persentase pelaksanaan yang kurang dari 50%, yaitu : adanya ruang
konseling tertutup, informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi tanggal
kadaluwarsa dan nomor batch, pengisian medication record, pelaksanaan skrining
resep pertimbangan klinis, pelaksanaan tindak lanjut terapi dan pelaksanaan
evaluasi mutu pelayanan.
B. SARAN
1. Dalam rangka menindak lanjuti hasil penelitian ini, diharapkan adanya respon
positif dari pihak Departemen Kesehatan, ISFI dan Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta untuk mensosialisasikan pelaksanaan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/IX/2004 dengan mengadakan pelatihan, bimbingan,
penyuluhan dan seminar terutama mengenai medication record, pelayanan
residensial, menghindari medication error, manfaat/tujuan ruang konseling
tertutup, adanya jam konseling bagi pasien, pelaksanaan evaluasi mutu
pelayanan apotek sehingga Apoteker Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
dapat melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan persepsi dan
pemahaman yang sama dengan adanya Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan
Juknis (Petunjuk Teknis) dari instansi yang terkait.
2. Perlu peningkatan kesadaran Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta
akan pentingnya pemahaman perundang-undangan terutama Keputusan
Menteri mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3. Perlu dilakukan penelitian sejenis pada tingkat populasi yang lebih besar
seperti penelitian pada tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengacu pada pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian dengan responden yang berbeda yaitu Apoteker di
Rumah Sakit.
5. Perlu diadakannya wawancara pada penelitian selanjutnya, mengenai alasan
responden untuk tiap jawaban yang diberikan sehingga dapat diketahui latar
belakang sudah dilaksanakan maupun belum dilaksanakannya Standar
Pelayanan Kefarmasian tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
DAFTAR PUSTAKA
Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta
Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta
Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah/Janji Apoteker, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1965, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1981a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 278/MENKES/SK/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1981b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/MENKES/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotik, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1981c, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26/MENKES/ PER/I/1981, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta
Anonim, 1992, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1993a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1993b, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Anonim, 1995, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 184/MENKES/PER/II/1995 Tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti da Izin Kerja Apoteker, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1997a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1997b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta
Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Azwar, S., 2003, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Budiharjo, 1981, Kode Etik Kefarmasian, Pembinaan Profesi Apoteker Pengelola Apotek, Jilid B, 4-5, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pelaksanaan Departemen Kesehatan Republik Indonesua, Jakarta
Harding, dkk, 1993, Sociology for Pharmacists; an Introduction, The Macmillan, London
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
ISFI, 2001, Draft Hasil Rapat Kerja Nasional I, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Semarang
Isdaryadi, F. Wisnu., 2005, Bisnis Berwawasan Etika, Ombudsman, No.II, 10-11
Kontour, R., 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 105, PPM, Yogyakarta
Mardalis, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 24-69, Bumi Aksara, Jakarta.
Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, 67-68, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Salim, P. dan Yenny Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi III, Modern English Press, Jakarta
Sirait, M., 2001, Tiga Dimensi Farmasi: Ilmu-Teknologi, Pelayanan Kesehatan dan Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta
Sevilla, C.G., dkk, 1993, Pengantar Metode Penelitian, diterjemahkan oleh Alimuddin Tuwu, edisi pertama, 160-163, UI-Press, Jakarta
Sulasmono, 1997, Profesi di Apotek Sekarang dan Masa Depan dengan Analisis SWOT, Diskusi Kuliah Pengantar Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Trisna, Y., 2007, Mencegah Medication Error, Makalah Seminar Patient Safety and Drug Information, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Wahyuni, B., 2005, Publik Tidak Boleh Ditipu Lagi, Ombudsman, No.II, 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
L.bpim 1. Sunt Pctrg! $ KtrBioftr P€lelitirr
UniveEitas Sanard Dhama
Apot€ker Pengelola Apotek
Delam ranqka m€nyeleeikan jenjang studi S-1, *ya bermaksudmenqadalan p€nelldan dengan judui 'Pelaksanaan standa. Pelayanan
KefarnasiEn dl AooGk Aerdasarkan Keomenkes RI Nomor
1027/MENKES/SVIV2004 di Kota Yoqyakarta",
Sehlbungan dengan hal ltu, saya mohon kerelaan Bapalrlbu (ntuk
menjawab pertanyaan berikut dengan Jengkap dan suai denqan kondlsJyans sebenarnya. semua Inromasr yang Bapali/Ibu berikan akan dijaga
kedhasianny6 d€mi kepentinqan ilmiah,
Atas bantuan Bapaldlb! saya ucapkan teilma kasih,
NI i4 :034114022
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI KOTA YOGYAKARTA
I. Data Responden Petunjuk Pengisian : Lingkarilah jawaban yang benar
No Pertanyaan Jawaban
1. Berapakah umur Anda? a. 21-35 tahun
b. 36-50 tahun
c. >50 tahun
2. Apakah posisi Anda di apotek ? a. APA
b. Apoteker Pendamping
c. Apoteker Pengganti
3. Berapa lama pengalaman Anda bekerja sebagai
Apoteker di apotek yang sekarang?
a. <1 tahun
b. 1-5 tahun
c. 6-10 tahun
d. >10 tahun
4. Apakah Anda memiliki pekerjaan yang lain? a. Ya
b. Tidak
5. Berapa hari rata-rata Anda bekerja di apotek
dalam seminggu?
a. <3 hari
b. 3-5 hari
c. 6-7 hari
6. Berapa lama rata-rata Anda bekerja di apotek
dalam satu hari?
a. <4 jam
b. 4-6 jam
c. >6 jam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
II. Kuesioner Tentang Pengelolaan Sumber Daya
Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ╳ pada jawaban yang sesuai
No Pertanyaan YA TIDAK
1 Apakah pada halaman depan apotek Anda terdapat
papan yang tertulis kata apotek?
2 Apakah apotek Anda memiliki ruang tunggu bagi
pasien?
a. Apakah di apotek Anda tersedia informasi berupa
brosur, leaflet atau poster mengenai kesehatan
(misalnya obat-obat baru)?
3 b. Jika ya, apakah ada tempat khusus untuk
mendisplay informasi tersebut (misalnya
penempatan brosur dalam suatu wadah)?
4 Apakah apotek Anda memiliki ruangan tertutup untuk
konseling bagi pasien?
Apakah apotek Anda memiliki :
a. ruang racikan kering? 5
b. ruang racikan basah?
6 Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang
tersedia untuk staf?
7 Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang
tersedia untuk pasien?
Apakah dalam perencanaan pengadaan sediaan
farmasi Anda memperhatikan :
a. pola penyakit?
b. kemampuan masyarakat?
8
c. budaya masyarakat?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
1. Dari manakah Anda memperoleh obat-obatan?
a. PBF
b. Pabrik farmasi
c. Apotek lain
d. Toko obat
e. Swalayan
2. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu
disertai bukti/faktur pembelian?
9
3. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu
dicatat dalam buku penerimaan?
10
Adakah tempat penyimpanan khusus (misalnya lemari
pendingin atau tempat penyimpanan narkotika dan
psikotropika) untuk obat tertentu (misalnya serum,
vaksin)?
1. Apakah apotek Anda pernah memindahkan isi obat
dari wadah asli ke wadah lain?
2. Jika ya, apakah informasi di bawah ini Anda sertakan
pada wadah baru tersebut?
a.Produsen (pabrik)
b.Nomor batch
c.Tanggal kadaluarsa
d.Aturan pakai
11
e.Cara penyimpanan
12
Apakah pelayanan produk kefarmasian (misalnya
obat, kosmetik, makanan) diberikan pada tempat yang
terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan
produk lainnya (misalnya pembalut wanita, alat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
kontrasepsi, popok bayi)?
13 Apakah setiap penjualan selalu dilengkapi dengan
faktur atau nota penjualan?
14 Apakah setiap penjualan selalu dicatat dalam buku
penjualan?
15
Apakah setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika
selalu dicatat dalam buku pencatatan narkotika dan
psikotropika?
16 Apakah setiap resep selalu disimpan menurut urutan
tanggal dan nomor urut resep?
17 Apakah Anda selalu melakukan medication record?
III. Kuesioner Tentang Pelayanan
Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ╳ pada jawaban yang sesuai
No Pertanyaan YA TIDAK
Apakah Anda selalu melakukan skrining resep, meliputi :
1. PERSYARATAN ADMINISTRATIF
2. KESESUAIAN FARMASETIK :
a. Bentuk sediaan
b. Dosis
c. Potensi
d. Stabilitas
e. Inkompatibilitas
f. Cara pemberian
g. Lama pemberian
3. PERTIMBANGAN KLINIS :
18
a. Alergi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
b. Efek samping
c. Interaksi
e. Durasi
f. Jumlah obat
19
Apakah Anda selalu melakukan konsultasi dengan
dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam
penulisan resep?
20
Apakah anda selalu melakukan pengecekan
kesesuaian antara obat dan etiket terhadap resep
sebelum diserahkan kepada pasien?
21 Apakah apoteker selalu terlibat langsung dalam
penyerahan obat kepada pasien?
Apakah Anda selalu memberikan infomasi mengenai:
a. Cara pemakaian obat
b. Cara penyimpanan obat
c. Jangka waktu pengobatan
d. Makanan dan minuman yang harus dihindari
22
e. Aktivitas yang harus dihindari
23 Apakah pernah terjadi keluhan dari pasien mengenai
etiket (tidak jelas/sulit dibaca)?
24
Apakah keputusan yang diambil di apotek (mencakup
perencanaan, pegadaan dan penyimpanan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya) selalu
berdasarkan persetujuan APA ?
25 Apakah Anda menyediakan jam konseling setiap hari
bagi pasien?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
26
Apakah Anda juga menyediakan jam konseling secara
berkelanjutan, terutama untuk penderita penyakit
tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya?
27
Apakah Anda melakukan tindak lanjut terapi (misalnya
melalui komunikasi telepon dengan pasien atau
mengunjungi pasien)?
28
Apakah Anda pernah melakukan diseminasi
(penyebaran) informasi kesehatan (misalnya
penyebaran brosur dan poster, melakukan
penyuluhan)?
IV. Kuesioner Tentang Evaluasi Mutu Pelayanan
Petunjuk Pengisian: Berilah tanda ╳ pada jawaban yang sesuai
No Pertanyaan YA TIDAK
29 1. Apakah pernah dilakukan survey mengenai tingkat
kepuasan konsumen?
2. Jika ya, apakah survey tersebut berupa:
a.Angket
b.Wawancara
30 Apakah Anda menetapkan lama pelayanan (waktu
pelayanan maksimal per pasien)?
31 Apakah ada prosedur yang tertulis dan tetap dalam
pelayanan pasien?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker
Lafal Sumpah/Janji Apoteker berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun
1962 pasal 1 :
(1) Sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus
mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau
mengucapkan janji. Ucapan sumpah dimulai dengan, kata-kata “Demi Allah”
bagi mereka yang beragama Islam, dan sumpah untuk agama lain, pemakaian
kata-kata “Demi Allah”…..disesuaikan dengan kebiasaan agama masing-
masing.
(2) Sumpah/Janji itu berbunyi sebagai berikut :
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan,
terutama dalam bidang kesehatan;
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai apoteker;
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan
kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum
perikemanusiaan;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-
sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan,
kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial;
6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh
keinsyafan.
(Anonim, 1962)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA
Mukadimah
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.
Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :
BAB I
Kewajiban Umum
Pasal 1 : sumpah/janji Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker.
Pasal 2 Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3 Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4 Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5 Didalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi khususnya.
BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarkat dan menghormati hak azasi penderita dan melindungi mahluk hidup insani.
BAB III Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat
Pasal 10
Setiap Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.
Pasal 12 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
BAB IV Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Petugas Kesehatan
Lainnya
Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.
BAB V Penutup
Pasal 15
Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasian sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran 7. Hasil Wawancara
(P) : Peneliti
(R) : Responden
Responden 1
P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record?
R : medication record itu adalah catatan pengobatan pasien.
P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja?
R : Seharusnya setiap pasien, tapi disini kami baru melakukan pada pasien tertentu
saja kayak yang udah lansia atau yang punya penyakit tertentu yang butuh
dikontrol.
P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record?
R : semuanya tentang pasien. Nama pasien, macam-macam obat yang rutin di
pakai, terutama untuk pasien yang lansia, yang punya penyakit seperti TBC itu
harus dikontrol, misalnya dengan di telepon pada akhir bulan untuk mengetahui
perkembangannya.
P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling?
R : konseling itu proses tanya jawab antara pasien dengan apoteker.
P : pasien tanya dan anda menjawab?
R : iya.
P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau
berbeda?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
R : kalau konseling itu lebih spesifik, kita memberi tahu mereka tentang
semuanya.
P : maksud Anda prosesnya searah?bagaimana dengan konsultasi?
R : iya. Kalau konsultasi itu dua arah.
Responden 2
P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record?
R : medication record itu catatan mengenai data-data tentang pasien, penyakitnya,
pola pengobatannya.
P : setiap pasien? keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record?
R : iya, setiap pasien. Ada nama pasien, nomor resep, alamat pasien, alamat
dokter terutama untuk resep yang ada narkotikanya, riwayat penyakit.
P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling?
R : konseling itu proses dimana kalau pasien tanya mengenai obat-obatan dan
penyakit.
P : maksud Anda proses tanya jawab?
R : iya. Jika pasien bingung bisa tanya terus kita beri penjelasan.
P : hanya pasien saja yang bertanya dan Anda hanya menjawab?
R : gak juga. Kadang kita juga harus bertanya untuk mengetahui kondisi pasien
yang sebenarnya.
P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau
berbeda?
R : menurut saya konseling dan konsultasi itu sama cuma beda istilah saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Responden 3
P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record?
R : medication record itu data atau catatan yang memuat data pasien.
P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja?
R : setiap pasien yang datang.
P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record?
R : data pribadi pasien ; nama, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, terus obat yang
dikonsumsi, data dokter, pemberian obat.
P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling?
R : konseling itu penyebaran informasi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang
ditanyakan pasien, penyakit, obat, efek samping.
P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau
berbeda?
R : sama, hanya beda istilah. Menurut saya konsultasi itu proses dari konseling.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Lampiran 8. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan Konsumen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Lampiran 9. Contoh Alur Pelayanan Resep
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
BIOGRAFI PENULIS
Monica Arum Sukmajati, anak kedua dari pasangan St.
Kasidjan dan R. Sumaryati. Lahir di Palembang, pada
tanggal 5 September 1985. Pendidikan yang telah
ditempuh oleh penulis adalah TK&SD Xaverius 5
Palembang, SMP&SMU Xaverius 1 Palembang dan
melanjutkan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI