Transcript of SKRIPSI - admin.ebimta.com
DUKUH PANGKRENGAN DESA BULUNGKULON JEKULO KUDUS
Oleh
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
DUKUH PANGKRENGAN DESA BULUNGKULON JEKULO KUDUS
SKRIPSI
Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
MOTTO
1. Sungguh bersama kesukaran dan keringanan, karena itu bila kau
telah
selesai (mengerjakan yang lain). Dan kepada Tuhan, berharaplah.
(Q.S Al
Insyirah : 6-8).
1. Bapak dan Ibu serta keluarga tercinta yang
senantiasa memberikan dukungan, semangat dan
doa penuh kesabaran dan keikhlasan sejak kecil
hingga sekarang.
lelah mendukung, memotivasi, serta
Muria Kudus.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puja dan puji Syukur kehadirat Allah SWT yang
telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Pola Pikir Anak
Pada Keluarga
Broken Home Di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus”,
sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaika Program Sarjana (S1) jurusan
Pendidikan
Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muria
Kudus.
Dalam penyusunan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini
tidak
mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan, bantuan, bimbingan,
dan nasehat
dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan
ini peneliti
menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada:
1. Drs. Sucipto, M.Pd., Kons. Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu
Pendidikan Universitas Muria Kudus yang telah menyetujui
skripsi.
2. Siti Masfuah, M.Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah
Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria
Kudus
yang telah memberikan persetujuan untuk melaksanakan ujian
skripsi.
3. Ika Oktavianti, S.Pd., M.Pd. pembimbing I yang telah
memberikan
bimbingan, pengarahan, saran, dan kemudahan dalam
menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
memberikan bimbingan pengarahan, saran, dan kemudian dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Ibu Dosen jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang
telah
senantiasa membimbing, melayani, dan memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada peneliti sehingga peneliti dapat
menyelesaiakan
studi.
6. Orangtua anak di Desa BulungKulon yang telah memberikan
waktu
untuk membantu dalam proses pengumpulan data-data penelitian.
viii
7. Anak-anak di Desa BulungKulon atas kerjasama yang diberikan
selama
penulis melakukan penelitian.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah
membantu penelitian demi kelancaran dan keberhasilan dalam
terlselesaikannya penyusunan skripsi ini.
Peneliti mendoakan agar semua pihak yang sudah membantu dalam
penyusunan skripsi ini mendapatkan berkat dan karunia yang
berlimpah dari Allah
SWT.
Anggraeni, Frida. 2021. “Analysis Of Children's Mind Patterns On
The
Broken Home Family In Dukuh Pangkrengan, Bulungkulon Village,
Jekulo
Kudus”. Thesis. Elementary School Teacher Education, Faculty of
Teacher
Training and Education, Muria Kudus University. Supervisor (1)
Ika
Oktavianti, S.Pd., M.Pd (2) Muhammad Noor Ahsin, S.Pd., M.Pd.
Keywords: Mindset, Parenting Pattern, Broken Home
This study aims to find out how the mindset of children in a broken
home
family environment in Pangkrengan Hamlet, BulungKulon Village,
Jekulo Kudus,
family parenting patterns in shaping the mindset of broken home
children in
Pangkrengan Hamlet, BulungKulon Village, Jekulo Kudus, and the
impact of
children’s mindset in a broken home family environment in
Pangkengan Hamlet,
BulungKulon Village, Jekulo Kudus.
This study examines the mindset of children who after their
parents
divorce or better know as broken homes or families that are not
harmonious and
no longer intact, and now their parents educate and take care of
them as well as
the impact of their thinking on children if their parents do not
live in the same
house with them.
This type of research is a qualitative research using a case study
approach.
The subjects in this study were 3 children who experienced a broken
home family.
Data collection methods used are observation, documentation, and
interviews. The
data analysis technique used is an interactive data analysis
technique according to
Milles and Huberman which includes the stages of data reduction,
data display,
and data verification.
The results showed that the child’s mindset developed a
developing
mindset because the children in this study thought that their
thoughts were still
changing, it did not have to be realized, while parenting patterns
that could
influence children’s mindsets used democratic parenting where this
parenting
pattern is good for children’s development to be good in a broken
home
environment. Home and the impact of the broken home environment on
each chil
is different but equally negative.
There are two types of children’s mindsets, namely fixed mindsets
and
developing mindsets where in this study children with developing
mindsets can
still be advised by their mothers, in democratic parenting in a
broken home
environment, mothers are required to be patient in educating
children, and freeing
children but still in supervision, so that children grow a sense of
responsibility that
must be done.
Anggraeni, Frida. 2021. “Analisis Pola Pikir Anak Pada Keluarga
Broken
Home Di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus”.
Skripsi. Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan Dan
Ilmu
Pendidikan Universitas Muria Kudus. Dosen pembimbing (1) Ika
Oktavianti, S.Pd., M.Pd (2) Muhammad Noor Ahsin, S.Pd., M.Pd.
Kata Kunci : Pola Pikir, Pola Asuh, Broken Home
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pikir
anak
dalam lingkungan keluarga broken home di Dukuh Pangkrengan
Desa
Bulungkulon Jekulo Kudus, pola asuh keluarga dalam membentuk pola
pikir anak
broken home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus,
dan
dampak pola pikir anak dalam lingkungan keluarga broken home di
Dukuh
Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus.
Pada penelitian ini meneliti tentang pola pikir anak yang
setelah
orangtuanya bercerai atau lebih dikenal keluarga broken home atau
keluarga yang
tidak harmonis dan tidak utuh lagi, serta bagaimana orangtuanya
mendidik dan
mengasuhnya sekaligus dampak berpikirnya bagi anak kalau
orangtuanya tidak
tinggal satu rumah lagi bersama dia.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan
pendekatan studi kasus. Subyek pada penelitian ini adalah 3 anak
yang mengalami
keluarga broken home. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah
observasi,
dokumentasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan
merupakan
teknik analisis data interaktif menurut Miles and Huberman yang
meliputi tahapan
reduksi data, display data, dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pikir anak bepola
pikir
berkembang sebab anak dalam penelitian ini berpikirnya masih
berubah-ubah
tidak harus terwujud, sedangkan pola asuh orangtua yang bisa
mempengaruhi pola
pikir anak menggunakan pola asuh demokratis dimana pola asuh ini
bagus buat
perkembangan anak menjadi baik dilingkungan broken home, dan
dampak
lingkungan broken home kepada masing-masing anak berbeda tetapi
sama-sama
negatif.
Pola pikir anak ada dua jenis yaitu pola pikir tetap dan pola
pikir
berkembang dimana pada penelitian ini anak berpola pikir berkembang
masih bisa
dinasehati oleh Ibunya, dalam pengasuhan bersifat demokrtis di
lingkungan
broken home ini Ibu diharuskan sabar dalam mendidik anak, dan
membebaskan
anak tetapi masih dalam pengawasan, sehingga anak tumbuh rasa
tanggung jawab
yang harus dilakukan.
KATA PENGANTAR
..........................................................................................
vii
2.1 Deskripsi Konseptual
..................................................................................
9
2.1.1 Pola Pikir
..............................................................................................
9
2.1.2 Pola Asuh
...........................................................................................
14
2.1.3 Perkembangan Anak
..........................................................................
24
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
...................................................................
50
3.2 Pendekatan dan Jenis Penelitian
................................................................
50
3.3 Peranan Peneliti
.........................................................................................
52
3.4.1 Data
....................................................................................................
52
4.1 Deskripsi Latar Penelitian
.........................................................................
58
4.1.1 Kondisi Geografis Daerah Penelitian
................................................. 58
4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Desa Bulungkulon
..................... 59
4.1.3 Kondisi Sosial
Keagamaan.................................................................
60
4.2 Deskripsi Dan Pembahasan Hasil Analisis Data
....................................... 63
4.2.1 Pola Pikir Anak Dalam Lingkungan Keluarga Broken Home
Di
Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus.
.................... 63
4.2.2 Pola Asuh Keluarga Dalam Membentuk Pola Pikir Anak
Broken
Home Di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus......
82
4.2.3 Dampak Pola Pikir Anak Dalam Lingkungan Keluarga Broken
Home
Di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus ................
87
xiii
5.1 Kesimpulan
................................................................................................
93
5.2 Saran
..........................................................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................
95
Gambar 2.2 Kerangka Teori
...................................................................................
46
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
..............................................................................
49
Gambar 3.1 Penelitian Studi Kasus
........................................................................
51
Gambar 3.1 Komponen Dalam Analisis Data Model Interaksi
............................. 57
Gambar 4.1 FM Melakukan kegiatan yang disukai
............................................... 65
Gambar 4.2 FM Memperbaiki kesalahan karena lupa belajar
............................... 67
Gambar 4.3 FM Meminta bantuan ibu
...................................................................
68
Gambar 4.4 Pendapat FM ketika hanya tinggal dengan Ibunya saja
..................... 69
Gambar 4.5 MS Melakukan kegiatan yang disukai
............................................... 70
Gambar 4.6 MS Memperbaiki kesalahan karena bermain terus
............................ 72
Gambar 4.7 MS Meminta bantuan ibu
...................................................................
73
Gambar 4.8 Pendapat MS ketika hanya tinggal dengan Ibunya saja
..................... 74
Gambar 4.9 A Melakukan kegiatan yang disukai
.................................................. 75
Gambar 4.10 A Melakukan tugasnya sebagai seorang pelajar yaitu
belajar .......... 77
Gambar 4.11 A Meminta bantuan ibu
....................................................................
78
Gambar 4.12 Pendapat A ketika hanya tinggal dengan Ibunya saja
...................... 79
Gambar 4.13 Bertanya pengasuhan anak
...............................................................
83
Gambar 4.14 Bertanya pengasuhan anak
...............................................................
84
Gambar 4.15 Bertanya pengasuhan anak
...............................................................
85
xv
Table 4.2. Mata pencaharian penduduk desa BulungKulon
.................................. 59
Table 4.3 Klasifikasi Agama
..................................................................................
61
Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Masyarakat
............................................................
62
Tabel 4.5 Pendidikan Formal di Desa BulungKulon Kecamatan
Jekulo
Kabupaten Kudus
..................................................................................
63
Jekulo Kabupaten Kudus
.......................................................................
63
xvi
Lampiran 2 Dokumentasi Wawancara Pra Penelitian
................................... 102
Lampiran 3 Hasil Wawancara Pra Penelitian Anak
...................................... 103
Lampiran 4 Kisi-Kisi Pedoman Observasi Pola Pikir Anak
.......................... 105
Lampiran 5 Hasil Observasi Pola Pikir Anak
................................................ 106
Lampiran 6 Kisi-Kisi Pedoman Wawancara Pola Pikir Anak
....................... 118
Lampiran 7 Hasil Wawancara Pola Pikir Anak
............................................. 119
Lampiran 8 Kisi-Kisi Pedoman Wawancara Pola Asuh Orangtua
................ 125
Lampiran 9 Hasil Wawancara Orang Tua
..................................................... 126
Lampiran 10 Hasil Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian Wawancara
........... 132
Lampiran 11 Surat Penelitian
..........................................................................
136
1
Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa
atau
belum memahami masa pubertas. Secara umum menurut para ahli
dikatakan
bahwa anak adalah anugerah dari tuhan yang maha kuasa yang harus
dijaga
dididik sebagai bekal sumber daya, anak merupakan kekayaan yang
tidak
ternilai harganya. Anak usia sekolah merupakan anak usia 6-12 tahun
yang
sudah dapat mereaksikan rangsang intelektual atau melaksanakan
tugas-tugas
belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan
kognitif
seperti membaca, menulis dan menghitung (Yusuf, 2011:7).
Periode
perkembangan anak dimulai ketika anak berada pada periode
pra-kelahiran
(prenatal) yaitu dari pembuahan hingga sekitar 9 bulan, masa bayi
(infancy)
yaitu usia 18 hingga 24 bulan, masa anak-anak awal (early
childhood) yaitu
usia 5 hingga 6 tahun, masa kanak-kanak tengah dan akhir (middle
and late
childhood) yaitu usia 6 hingga 11 tahun (Santrock, 2011:17).
perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Bagi seorang anak keluarga adalah tempat mereka “pulang”,
artinya
adalah tempat dimana mereka mendapatkan rasa aman, diterima,
dikasihi, dan
bebas mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Anak akan merasa
dilindungi ketika mereka berada disebuah lingkungan keluarga
yang
harmonis. Seorang anak juga akan mencari sosok untuk menjadi
teladan
dalam pembentukan jati dirinya, dan biasanya teladan itu diambil
dari orang
tuanya. Perilaku seorang anak tidak akan berbeda jauh dengan
perilaku orang
tuanya. Bagi seorang anak, orang tua merupakan identitas utama
dan
kebangaan mereka untuk membentuk jati dirinya, oleh karena itu
tidak heran
banyak anak yang berasal dari keluarga yang harmonis mengidolakan
dan
2
merasa bangga pada orang tuanya. Berbeda sekali dengan anak-anak
yang
berada atau hidup didalam keluarga yang tidak harmonis (broken
home).
Menurut Hurlock, broken home merupakan kulminasi dari
penyesuaian
perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak
mampu
lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua
belah
pihak. Dan seorang anak yang keluarganya broken home mereka
cenderung
menutup diri tentang keadaan dalam keluarganya, tidak banyak
membahas
tentang keluarganya karena mereka merasa malu dengan keadaan yang
terjadi
pada keluarganya.
Broken home berasal dari dua kata yaitu broken dan home.
Broken
berasal dari kata break yang berarti keretakan, sedangkan home
mempunyai
arti rumah atau rumah tangga. Broken home adalah kondisi
hilangnya
perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua
yang
disebabkan oleh beberapa hal. Bahkan akibat perceraian, banyak anak
yang
dititipkan ke kakek-neneknya, karena orang tua tunggalnya sibuk
bekerja.
Pada umumnya penyebab utama keluarga broken home adalah
karena
kesibukan orang tua dalam bekerja, hal inilah yang menjadi dasar
seorang
anak sering tidak memiliki keseimbangan dalam menjalankan aktifitas
sehari
hari. Istilah perceraian biasanya sering disebut dengan broken
home. Broken
home bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak
harmonis dan
tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera
karena
sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan
pertengkaran
dan berakhir pada perceraian.
kehidupan kita. Broke home merupakan suatu kondisi ketidak utuhan
dalam
sebuah keluarga yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang
diantaranya
perceraian atau kematian antara suami dan istri yang sudah tidak
harmonis
lagi dimana dari hal tersebut yang menjadi korban adalah anak
mereka sendiri
(Muttaqin, 2019:248). Sedangkan menurut anonim Broken home
(keretakan
dalam rumah tangga) adalah kurangnya perhatian dari keluarga
atau
kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental
seorang
3
anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home adalah
suatu
keadaan yang tidak menguntungkan di dalam keluarga, seperti
perceraian,
kematian pasangan, maupun kehidupan di dalam keluarga yang
tidak
harmonis lagi (Pratama, 2016:239).
Pola pikir terletak dalam pikiran bawah sadar seseorang. Pada
anak-
anak yang berada dalam suatu keluarga yang broken home, perilaku
mereka
kebanyakan cenderung berubah menjadi perilaku yang negatif,
termasuk
dengan berpikirnya anak. Di dalam KBBI Pola pikir adalah kerangka
berpikir.
Fang dkk mendefinisikan pola pikir sebagai sesuatu yang terjadi di
kepala
seseorang, yang memiliki kekuatan untuk mengontrol sikap seseorang
dan
berpotensi untuk memengaruhi perilaku seseorang. Perceraian orang
tua
membuat tempramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara
jelas
dalam perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung,
pemalas
(menjadi agresif) yang ingin mencari perhatian orang tua/orang
lain. Dalam
buku Psikologi Perkembangan berisi Pola pikir adalah kepercayaan
yang
mempengaruhi sikap seseorang atau cara berpikir yang
mempengaruhi
perilaku seseorang. Mencari jati diri dalam suasana rumah tangga
yang
tumpang dan kurang serasi. Pola pikir merupakan hal yang penting
untuk
menjelaskan penilaian manusia dan pengambilan keputusan yang
dalam
beberapa keputusan dapat memperbaiki atau memperburuk
keputusan
(Hamilton, 2011:). Definisi lain dari pola pikir menurut Triantis
(2013) adalah
filosofi kehidupan, cara berpikir, sikap, opini, dan mentalitas
seseorang atau
sebuah kelompok.
tanggal 2 bulan September 2020 dimana peneliti melakukan observasi
awal,
hasilnya ada pada lampiran 2 di pra penelitian, peneliti menemukan
adanya 3
anak siswa SD yang pertama merupakan siswa kelas 3 bersekolah di SD
1
Bulungkulon yang berinisial FM, bertempat tinggal di Dukuh
Pangkrengan rt
02 rw 02, orangtuanya bercerai karena masalah ekonomi, dimana
anak
tersebut serumah dengan Ibu dan neneknya, Ayahnya pergi
merantau
4
teman yang lainnya, sebenarnya baik dan sopan, tetapi setelah
orangtuanya
bercerai dia berubah menjadi anak yang kalau bertemu dengan anak
seusianya
yang tidak dia kenal selalu bersama kedua orangtuanya tatapannya
sinis
sehingga membuat anak yang dilihatnya tersebut takut, padahal anak
yang
tidak dia kenal hanya lewat depan rumah bersama orangtuanya,
perilaku baik
dan sopan hanya pada orangtua, sedangkan pada anak yang tidak dia
kenal
berubah tidak sopan walaupun ada orang tuanya, karena dia seperti
itu berpikir
tidak adil buat dirinya, orang lain bisa bahagia bersama kedua
orangtuanya
kenapa dia harus ditinggal pergi oleh ayahnya dan merasa kalau dia
kesepian.
Dengan adanya Ibu dan neneknya yang selalu bersama anak tersebut
bisa
menjadikan berpikir anak berubah sehingga perilaku baiknya bisa
kesemua
orang.
Anak yang kedua tersebut kelas 4 bersekolah di SD 1
Bulungkulon
yang berinisial MS, bertempat tinggal di Dukuh Pangkrengan rt 01 rw
01,
orangtuanya bercerai karena masalah ekonomi dan hubungan antara
Bapak
dan Ibunya sudah tidak sehat lagi karena selalu bertengkar, dimana
anak
tersebut serumah dengan Ibu, nenek dan kakeknya, ayahnya pergi
merantau
meninggalkannya, perilakunya berubah total tidak baik kepada
teman
seusianya dan orangtua, dia berpikir tidak ada yang sayang kepada
dia setelah
Bapaknya meninggalkannya, sehingga anak tersebut menjadi cuek dan
sesuka
hatinya, padahal ibunya menasehati agar belajar supaya tidak
bermain terus
tapi anak tersebut tidak mau dan marah lalu pergi bermain bersama
temannya
tapi pada saat bermain anak tersebut tidak mau kalah dalam
bermain,
sebenarnya anak tersebut baik dan penurut tetapi semenjak
melihat
orangtuanya selalu marah–marah terus dan akhirnya bercerai menjadi
tidak
seperti dulu yang selalu penurut dan sopan kepada semua orang.
Dengan
adanya Ibu, nenek, dan kakeknya yang selalu menasehatinya terus
dengan
sabar anak tersebut bisa berubah seperti dulu dengan
perlahan.
Anak yang ketiga kelas 4 bersekolah di SD 2 Bulungkulon yang
berinisial A, bertempat tinggal di Dukuh Pangkrengan rt 02 rw 01,
dimana
5
anak tersebut serumah dengan Ibu, nenek dan keluarga lainnnya,
bedanya
anak tersebut orangtuanya sudah bercerai sejak didalam kandungan
dan
ayahnya tidak pernah menemuinya lagi sampai sekarang, tetapi anak
tersebut
baik tidak ada perilaku yang negatif, bicaranya juga sangat sopan,
di sekolah
juga dikenal baik tidak ada masalah apapun dikarenakan dia
selalu
mendapatkan kasih sayang dari ibunya dan dia juga mendapatkan
kasih
sayang dari keluarganya serta neneknya karena satu rumah. Jadi
berpikirnya
dia selalu positif baik berpikir tentang Ibunya, perilaku
keluarganya, dan
perilaku teman-temannya. Dengan adanya kasih sayang yang selalu
diberikan
kepada anak tersebut dari Ibu, nenek, dan keluarganya bisa
menjadikan anak
tersebut selalu bahagia.
Ketika peneliti melakukan observasi dan wawancara peneliti
mendapatkan informasi pola pikir siswa yang berbeda dengan anak
yang lain,
pola pikir anak keluarga broken home di Dukuh Pangkrengan
Desa
Bulungkulon menunjukkan anaknya sangat berubah pada saat
keluarganya
bercerai, anak tersebut tidak baik kepada anak seusianya yang tidak
dia kenal
karena kedua orangtuanya selalu disampingnya, dia berpikir kalau di
dunianya
tidak adil karena keluarganya bercerai dan ayahnya meninggalkannya
tanpa
ada kabar dan tidak pernah bertemu lagi sampai sekarang sehingga
peneliti
tertarik untuk menelitinya, pola asuh anak tersebut tidak seperti
keluarga yang
harmonis, karena itu orang tua harus dapat menempatkan diri dan
mengambil
perannya sebagai orang yang memang memiliki tanggung jawab
dan
kewajiban untuk menjaga dan mendidik sang anak dalam
pembentukan
perilakunya sehari-hari. ini tentuya menarik untuk dikaji karena
pola asuh
yang berbeda, anak tersebut juga kadang diasuh oleh neneknya karena
ibunya
sibuk bekerja, sehingga dampak broken home menyebabkan pola pikir
siswa
cenderung mengalami perubahan yang negatif, anak merasa sedih
dan
kehilangan motivasi dan penyemangat dalam hidupnya. Kajian
penelitian
tentang “Analisis Lingkungan Keluarga Broken Home Pada Pola Pikir
Anak di
Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus” belum banyak
dilakukan jadi peneliti tertarik tentang penelitian ini.
6
Penelitian tentang analisis keluarga broken home pernah juga
diteliti
oleh Af’idatus Sholiha (2019) dia melakukan penelitian dengan judul
“Pola
Asuh Orang Tua Dalam Pembentukan Perilaku Keberagaman Anak
Pada
Keluarga Broken Home di Desa Surodadi Kecamatan Gringsing
Kabupaten
Batang”, hasil penelitian menghasilkan sesuatu kesimpulan sebagai
berikut:
pertama bahwa pola asuh orangtua ada beberapa macam yang di
terapkan
kepada masing-masing anaknya. Yang pertama (pola asuh otoriter)
orangtua
mengasuh anak dengan cara ketat dan keras, (pola asuh demokratis)
tegas
namun anak tetap diberikan keleluasaan untuk melakukan sesuatu hal
yang
anak inginkan namun tetap dalam pengawasan dan arahan dari
orangtua. (pola
asuh permisif). Orangtua tidak peduli dan membiarkan apa saja yang
anak
lakukan asalkan anak senang, Diantara ketiga pola asuh yang ada,
pola asuh
yang paling tepat digunakan untuk pembentukan perilaku keberagaman
anak
yaitu pola asuh demokratis. Persamaan penelitian yang dilakukan
oleh
Af’idatus Sholiha yaitu pola asuh dari keluarga broke home dan
perbedaaya
yaitu tidak membahas tentang pola pikir anak.
Berdasarkan latar belakang diatas kajian penelitian ini sangat
menarik
untuk diteliti karena belum ada yang menelitinya terutama di Kota
Kudus,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Analisis
Lingkungan Keluarga Broken Home Pada Pola Pikir Anak di Dukuh
Pangkrengan Desa BulungKulon Jekulo Kudus”.
1.2 Rumusan Masalah
merumuskan masalah sebagai berikut:
home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus?
2. Bagaimakah pola asuh keluarga dalam membentuk pola pikir
anak
broken home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo
Kudus?
3. Bagaimanakah dampak pola pikir anak dalam lingkungan
keluarga
broken home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo
Kudus?
7
ingin dicapai yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pola pikir anak dalam lingkungan keluarga
broken
home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo Kudus?
2. Untuk menganalisis pola asuh keluarga dalam membentuk pola
pikir
anak broken home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon Jekulo
Kudus?
keluarga broken home di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon
Jekulo Kudus?
dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoretis
terhadap pola pikir anak di Dukuh Pangkrengan Desa
Bulungkulon
Jekulo Kudus.
a. Bagi anak
perubahan sikap anak terhadap orangtua yang mengalami broken
home. Supaya dapat menjadi pelajaran bagi anak yang juga
mengalami broken home.
b. Bagi orangtua/keluarga
permasalahan dan dampak-dampak negatif akibat broken home
terhadap pola pikir yang terjadi pada anaknya.
8
dijadikan wacana untuk menabah pengetahuan, khususnya tentang
menanggulangi dampak psikologis anak yang berasal dari
keluarga
broken home.
dan informasi yang positif dalam penanggulangan anak yang
berasal
dari keluarga broken home.
selanjutnya. Dan penelitian ini juga dapat berguna sebagai
bahan
referensi untuk penelitian yang akan datang.
9
Deskripsi konseptual ini akan menguraikan mengenai (1) Pola pikir
(2)
Pola asuh (3) Perkembangan anak (4) Keluarga (5) Broken home (6)
Dampak
broken home (7) Faktor-faktor pola pikir anak (8) Kajian penelitian
relevan
(9) Kerangka berpikir (10) Hipotesis.
2.1.1 Pola Pikir
sesuatu berdasarkan sudut pandang tertentu. Menurut Pratiwi
(2015:4)
mengatakan bahwa Perbedaan pola pikir seseorang disebabkan oleh
bedanya
jumlah sudut padang yang dijadikan dasar, landasan atau alasan.
Banyaknya sudut
pandang seseorang untuk berpikir dipengaruhi oleh emosi
(mentality). Pola Pikir
atau mindset menurut Sari (2015:6) adalah sekumpulan kepercayaan
(believe) atau
cara berpikir yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang, yang
akhirnya
akan menentukan level keberhasilan hidupnya. Believe menentukan
cara berpikir,
berkomunikasi dan bertindak seseorang. Dengan demikian jika ingin
mengubah
pola pikir, yang harus diubah adalah belief atau kumpulan
believe.
“Pandangan yang orang adopsi untuk dirinya sangat mempengaruhi
cara
orang tersebut mengarahkan kehidupan”.Artinya kepercayaan atau
keyakinan
seseorang memiliki kekuatan yang dapat mengubah pikiran, kesadaran,
perasaan,
sikap, dan lain-lain, yang pada akhirnya membentuk kehidupannya
saat ini
(Dweck, 2008). Pola pikir merupakan sebuah pandangan mental atau
karakter
yang terprogram dan memutuskan respon individu untuk berbagai
situasi (Aloia,
2011:1). Sedangkan Meyvis (2011:1) mengatakan bahwa Pola pikir
merupakan
hal yang penting untuk menjelaskan penilaian manusia dan
pengambilan
keputusan yang dalam beberapa keputusan dapat memperbaiki atau
memperburuk
keputusan.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pola
pikir
adalah kepercayaan atau keyakinan cara berpikir individu yang
mempengaruhi
tingkah laku atau perilaku yang dilakukan dalam menentukan arah
hidup dari
seseorang tersebut yang mempengaruhi kehidupan individu
tersebut.
10
antar lain:
buruknya pribadi manusia agar berkembang dengan baik dalam
beretika, moral, dan akhlakya.
seseorang dengan orang lain berlangsung lama sehingga terjadi
saling
mempengaruhi satu dengan lainnya.
3. Pendidikan adalah solusi terbaik untuk membentuk pola pikir
yang
unggul.
4. Dan sistem kepercayaan atau keyakinan adalah faktor yang
paling
dominan mempengaruhi pola pikir.
Van Bergen (2012) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang
dapat
mempengaruhi pola pikir abstrak atau konkret seseorang,
yaitu:
1. Kebudayaan
Ada perbedaan yang besar antara kebudayaan barat dan asia
timur.
Seperti yang diutarakan Kim dan Markus (1999), kebudayaan
barat
memiliki fokus utama terhadap diri sendiri, mereka memiliki fokus
utama
terhadap diri sendiri, mereka memiliki kebebasan dan hak individu
untuk
memilih dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Sedangkan
pada
kebudayaan asia timur, penduduknya secara aktif dan terbuka
mengikuti
kelompok dan norma-norma sosial. Secara umum penduduk asia
timur
memiliki pola pikir konkret sedangkan penduduk memiliki pola
pikir
abstrak.
seseorang berpikir tentang sebuah peristiwa yang akan terjadi dalam
satu
11
abstrak.
bentuk pola pikir abstrak jika dibandingkan terhadap orang yang
memiliki
perasaan netral atau sedih. Mereka lebih cenderung untuk
mengeneralisasi,
mengelompokkan, dan mengategorisasi sesuatu ke dalam kategori
yang
lebih luas.
mempengaruhi proses berpikir manusia:
Dari orang tualah seseorang belajar tentang kata-kata, ekspresi
wajah,
gerakan tubuh, perilaku, norma, keyakinan agama, prinsip, dan
nilai-nilai
luhur. Orangtua adalah tutor atau guru yang pertama di dunia,
merekalah
yang membentuk pola pikir kita untuk yang pertama kalinya.
2. Keluarga
keluarga, dari merekalah kita akan menangkap informasi dan pola
pikir
yang lain, yang fungsinya untuk melengkapi pola pikir yang telah
kita
peroleh dari orangtua.
telah kita dapat akan membuat proses pembentukan pikiran kita
menjadi
semakin kuat.
4. Sekolah
pembelajaran seseorang, peraturan-peraturan yang diterapkan
sekolah
maupun perilaku dan sikap guru dapat memperkaya proses
pembentukan
pola pikir yang sudah ada.
5. Teman
karena dalam suatu pertemanan, seseorang yang menentukan pilihan
akan
berteman dengan siapa, tidak ada larangan dalam menentukan
dengan
siapa akan berteman.
6. Media Massa
peniruan-peniruan oleh seseorang baik itu yang sifatnya negatif
maupun
yang positif.
Inilah faktor penentu dari suatu pola pikir, baik buruknya
suatu
pengaruh kitalah yang akan menentukan apakah kita akan menjadi
pribadi
yang buruk atau kita akan memilih menjadi pribadi yang baik.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas mengenai faktor-faktor
yang
mempengaruhi pola pikir dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu
penyebab
terjadinya yaitu orangtua yang menjadi tutor dan guru membentuk
pola pikir
paling utama, keluarga untuk melengkapi pola pikir yang telah kita
peroleh dari
orangtua, masyarakat untuk menambah informasi dan disatukan membuat
proses
pembentukan menjadi semakin kuat, sekolah pengaruh yang cukup besar
dalam
proses pembelajaran dan dapat memperkaya proses pembentukan pola
pikir,
teman aktualisasi diri yang pertama dalam kehidupan, media massa
dari unsur
pengidolaan pada tontonan, dan terakhir diri sendiri faktor penentu
pola pikir yang
memilih pribadi buruk atau baik.
2.1.1.3 Jenis-Jenis Pola Pikir
Menurut Freitas (2004), mengemukakan bahwa ada dua jenis pola
pikir
yang biasanya disebut sebagai Construal Theory yaitu pola pikir
abstrak dan pola
pikir konkret. Menurut Tsai (2011) pola pikir abstrak menyebabkan
seseorang
untuk fokus terhadap gambaran yang lebih besar atau lebih lengkap.
Contohnya
soda dapat disimpulkan sebagai minuman, toyota adalah sebuah mobil,
iphone
adalah smartphone, dan sebagainya. Sementara itu pola pikir konkret
membuat
orang fokus terhadap detail yang lebih spesifik atas sebuah objek
atau tindakan.
Contohnya adalah soda adalah sprite atau smartphone adalah
iphone.
13
Pola pikir abstrak juga merupakan pola pikir yang memudahkan
seseorang
untuk menjawab pertanyaan “mengapa” yang berkaitan dengan sebuah
tujuan atau
tindakan sedangkan pola pikir konkret memudahkan seseorang untuk
menjawab
pertanyaan “bagaimana” (Freitas:2004).
Menurut Carol S. Dweck (2008) mengatakan bahwa pada dasarnya
ada
dua jenis pola pikir manusia yaitu pola pikir tetap dan pola pikir
berkembang.
a. Pola pikir tetap (fixed mindset)
Pola pikir tetap (fixed mindset) adalah seseorang yang
menyakini
bahwa segala hal itu sudah tetap dan tidak bisa diubah. Fixed
mindset juga
dapat berupa opini pribadi yang bersifat positif selain dari
negatif. Fixed
mindset seperti “saya cerdas” atau “saya berbakat” bisa
mendorong
kepercayaan atas kemampuan sendiri. Fixed mindset negatif “saya
bodoh” atau
“saya tidak punya bakat yang jelas” dapat mengakibatkan
kurangnya
penghargaan atas diri sendiri.
Pola pikir berkembang (growth mindset) adalah seseorang yang
memiliki pola pikir pertumbuhan atau berkembang (growth mindset)
mungkin
masih memiliki opini positif “saya sangat kreatif” yang berlebihan
atau opini
yang sangat kritis “saya sama sekali tidak berbakat”, namun
kunci
perbedaannya didasarkan pada keyakinan mereka bahwa hal itu bisa
diubah.
Menurut Musman (2017:114) mengatakan pola pikir positif yaitu
“orang
yang berpikir positif bukan berarti telah menjamin suatu
keberhasilan, namun bila
sikap kita positif setidaknya kita berada menuju keberhasilan,
berhasil atau
tidaknya kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan sepanjang jalan
yang kita
lalui”. Sedangkan menurut Lestari (2014:1) pola pikir negatif yaitu
“negative
thinking adalah pola atau cara berpikir yang lebih condong pada
sisi-sisi negatif
dibanding sisi positifnya. Pola pikir ini bisa tampak dari
keyakinan atau
pandangan yang terucap, cara seseorang bersikap, dan perilaku
sehari-hari”.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pola
pikir
dibedakan menjadi dua jenis yakni pola pikir tetap adalah seseorang
yang sudah
menyakini bahwa segala hal itu tidak dapat berubah, sedangkan pola
pikir
14
berkembang adalah seseorang yang memiliki kenyakinan bahwa hal itu
bisa
diubah
pola asuh orangtua adalah jenis kelamin anak, menurutnya orangtua
kebanyakan
lebih keras terhadap anak perempuannya dibandingkan anak laki-laki.
Pola asuh
orangtua menurut Wijanarko (2016:58) mengandung pengertian : 1)
interaksi
pengasuhan orangtua terhadap anaknya 2) sikap orangtua dalam
berinteraksi
dengan anaknya 3) pola perilaku orangtua untuk berhubungan dengan
anak-
anaknya. Sejak anak masih usia balita orangtua sudah sering
berinteraksi dengan
anak. Baik atau buruk keteladanan yang diberikan serta kebiasaan
hidup orangtua
sehari-hari akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Djamarah (2014:51) menyatakan pola asuh orangtua adalah perilaku
yang
diterapkan pada anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke
waktu.
Tridhonanto (2014:5) menyatakan pola asuh orangtua adalah suatu
keseluruhan
interaksi orangtua dan anak, orangtua yang memberikan dorongan bagi
anak
dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang
dianggap paling
tepat bagi orangtua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta berkembang
secara sehat
dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin
tahu, bersahabat,
dan berorientasi untuk sukses.
serta sikap anak (afektif dan psikomotorik) tetapi juga akan
mempengaruhi
potensi akademik (kognitif) mereka. Menurut Syamaun (2012:18) pola
asuh jelas
memberikan pengaruh yang paling besar terhadap proses pembentukan
dibanding
15
bertanggung jawab atas didikannya, tertuang dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim
66:6)”.
Dalam hadits Sahih al-Bukhari dinyatakan bahwa: Setiap anak
yang
dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR Bukhari). Orangtua lah yang
memiliki
tanggung jawab besar dalam mendidik anaknya, jika orangtua berhasil
dalam
memberikan pendidikan pertama dalam keluarga, maka akan
mempermudah
pendidikan anak di sekolah maupun di masyarakat. Dan pola asuh yang
baik harus
menunjang perkembangan mental, sosial, dan psikologis yang sehat.
Ketiga hal
tersebut berperan dalam pembentukan karakter anak saat dewasa
nanti. Dalam
dunia psikologi dikenal 4 jenis pola asuh anak. Masing-masing
memiliki dampak
yang berbeda terhadap karakter anak. Sebagian besar orangtua akan
mengadopsi
salah satu pola asuh yang tampak lebih dominan, ketimbang pola asuh
lainnya.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pola
asuh
orangtua adalah bentuk perlakuan ataupun interaksi orangtua yaitu:
mendidik,
menjaga, mengawasi anaknya sejak lahir hingga remaja yang bersifat
konsisten
dan mempengaruhi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik
anak.
2.1.2.2 Jenis-Jenis Pola Asuh
Hurlock (1999) membagi pola asuh orangtua kedalam tiga macam
yaitu:
1. Pola asuh permissif
Pola asuh permissif dapat diartikan sebagai pola perilaku orangtua
dalam
berinteraksi dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa
yang
ingin dilakukan tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak
menggunakan
aturan-aturan yang ketat bahkan bimbingan pun kurang diberikan,
sehingga
tidak ada pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada
anak.
Kebebasan diberikan penuh dan anak diijinkan untuk memberi
keputusan
16
apa yang diinginkannya tanpa ada kontrol dari orangtua.
2. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter yaitu pola asuh dimana orangtua menerapkan
aturan dan
batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada
anak
untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan
dihukum.
Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan
pada
anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak
menjadi tidak
percaya diri pada kemampuannya.
3. Pola asuh demokratis
demokratis memperlihatkan dan menghargai kebebasan yang tidak
mutlak,
dengan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan orangtua,
memberi
penjelasan secara rasional dan objektif jika keinginan dan pendapat
anak tidak
sesuai. Dalam pola asuh ini, anak tumbuh rasa tanggung jawab,
mampu
bertindak sesuai dengan norma yang ada.
Jenis-jenis pola asuh (Rasnaya, 2020:1).
1. Pola asuh otoriter
Tipe pola asuh anak yang pertama ini menjadikan orangtua sebagai
pemegang
kekuasaan tertinggi (otoriter) dan mendominasi dalam mengasuh
anak,
karakteristik otoriter yaitu kaku, tegas, menerapkan hukuman jika
tidak sesuai
aturan, orangtua cenderung selalu benar dalam mengemukakan
pendapat. Pola
asuh ini akan membentuk seorang anak dengan karakter disiplin dan
patuh.
Namun orangtua yang otoriter sering melayangkan ungkapan “pokoknya”
ketika
sedang mengutarakan pendapat, tanpa memperdulikan atau mendengar
pendapat
dan keinginan anak. Hal ini dapat membuat anak menjadi tidak
terbiasa membuat
keputusan sendiri dan takut jika tidak menuruti perkataan
orangtuanya. Selain itu
anak yang terbiasa dengan pola asuh otoriter sering kali sulit
mengungkapkan
pendapatnya sehingga muncul masalah kecemasan yang dapat
menyebabkan
stress. Dampak pola asuh otoriter terhadap perkembangan anak
lainnya yakni
dapat membuat emosi anak meledak-ledak, hubungan interpersonal
(dengan orang
17
lain) yang kurang baik dan cenderung menjadi pribadi yang otoriter
di kemudian
hari.
2. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif berlawanan 180 derajat dari pola asuh otoriter.
Pola ini
dikenal dengan karakteristik memanjakan anak atau “serba boleh”.
Orangtua
permisif menjadi seorang teman baik bagi anaknya karena memberikan
perhatian,
kehangatan, dan interaksi yang cukup baik. Ciri lainnya dari pola
suh ini yakni
orangtua selalu mendorong anaknya untuk berbuat bebas, semaunya,
mewujudkan
apa yang anak mau dan tidak memberikan batasan pada anak sehingga
jarang
mendisiplikan. Anak yang tumbuh dengan pola asuh permisif memang
tumbuh
kreatif karena terbiasa bebas mengekspresikan dirinya, namun dalam
jangka
panjang anak menjadi bingung karena tidak terbiasa dengan batasan
yang ada. Hal
tersebut dapat membuat anak menjadi sulit menyesuaikan diri dengan
lingkungan,
besifat egois, menuntut, cenderung memberontak, dan motivasi
belajar yang
kurang.
3. Pola asuh cuek
Pola asuh cuek atau abai sering terjadi pada orangtua yang terlalu
sibuk atau
memiliki masalah pribadi, seperti masalah keuangan, kecanduan
narkoba, alcohol
atau judi. Pada tipe pola asuh anak ini, orangtua hanya memenuhi
kebutuhan fisik
dasar anak saja, seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian.
Sementara itu
kebutuhan secara psikologis dan emosional jarang terpenuhi karena
orangtua
menjadi tidak peduli dan jarang berinteraksi dengan anaknya. Pada
pola suh ini
tidak jarang jika anak lebih banyak dididik oleh pegawai, televise,
atau video
games, saat kecil mungkin anak belum sadar atas ketidak acuhan
orang tuanya
namun lambat laun anak menjadi sadar bahwa dirinya tidak penting
dalam hidup
orang tuanya sehingga cenderung menjadi anak yang mandiri. Hal ini
tidak
sepenuhnya baik karena anak yang tumbuh dengan pola asuh cuek
cenderung
menyebabkan anak bermasalah dikemudian hari, nilai akademis yang
buruk,
emosi yang tidak terkontrol, serta kesulitan menjalin relasi dan
komunikasi.
4. Pola asuh demokratis
18
Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang baik. Hali ini
didukung oleh
penelitian dari UGM yang membuktikan, pola asuh orangtua yang
demokratis
dapat mencegah anak memiliki masalah kepribadian, bisa dibilang
pola asuh
demokratis merupakan kombinasi antara pola asuh otoriter dan juga
permisif.
Anak diberikan batasan dan konsekuensi yang konsisten ketika
batasan tersebut
dilanggar. Tujuan batasan dan konsekuensi dijelaskan pada anak
sehingga
komunikasi juga tetap terjaga dengan baik, diluar itu orangtua
tetap memberikan
pujian, dukungan emosional, dan hadiah jika anak dapat meraih suatu
prestasi.
Komunikasi antara orangtua dan anak terjalin baik sehingga anak
juga menjadi
jujur, tetapi tetap patuh. Pola asuh ini menjadikan anak memiliki
kepribadian yang
seimbang, mandiri dalam mengambil keputusan, disiplin dengan
mempunyai
komunikasi baik, memiliki rasa percaya diri, kreatif, dan bahagia
secara
psikologis, karakteristik tersebut dipercayai dapat menjadi kunci
kesuksesan
seorang anak dikemudian hari.
Menurut Badria (2018:4) terdapat empat pola asuh orangtua terhadap
anaknya
yaitu:
Orangtua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak,
tidak
berharap berlebihan yang melampaui kemampuan anak dan
memberikan
kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu
tindakan.
b. Pola asuh otoriter
standar yang mutlak harus dituruti. Orangtua tipe ini cenderung
memaksa,
memerintah, dan menghukum.
c. Orangtua permisif
pengawasan yang cukup dari orangtua. orangtua tipe ini bersifat
hangat
sehingga sering kali disukai oleh anak.
19
Orangtua tipe ini pada umunya memberikan waktu dan biaya yang
sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan
untuk
keperluan pribadi mereka seperti bekerja.
e. Pengaruh pola asuh orangtua dalam mengembangkan potensi
anak
Pola asuh yang paling ideal yang mempengaruhi dalam
perkembangan
potensi anak adalah pola asuh yang pertama yaitu pola asuh
demokratis.
Dimana anak diprioritaskan, diperhatikan, serta ditanamkan hal-hal
yang
positif sejak dini dan dijaukan dari hal-hal yang negatif.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
pola asuh memiliki 3 jenis yaitu pola asuh pemisif yang menerapkan
kebebasan
kepada anaknya tanpa mempertanyakan terlebih dahulu, pola asuh
otoriter dimana
orangtua menerapkan aturan yang harus ditaati tanpa memberi
kesempatan anak
untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan dihukum, dan pola
asuh
demokratis yang menanamkan disiplin kepada anak, membimbing,
memberi
penjelasan secara rasional dan objektid jika keinginan dan pendapat
anak tidak
sesuai.
yang dikutip oleh Walker (Afthoni, 2014:10-12) menyatakan beberapa
faktor
yang mempengaruhi terbentuknya pola asuh orangtua
diantaranya:
1. Budaya setempat
Lingkungan masyarakat di sekitar tempat tinggal memiliki peran yang
cukup
besar dalam membentuk pola pengasuhan orangtua terhadap anak. Dalam
hal ini
mencakup semua aturan, norma, adat, dan budaya yang berkembang
didalamnya.
2. Ideology yang berkembang dalam diri orangtua
Orangtua mempunyai keyakinan dan ideology tertentu cenderung
menurunkan
pada anak-anaknya dengan harapan bahwa nantinya nilai dan ideology
tersebut
dapat tertanam dan dikembangkan oleh anak dikemudian hari.
20
3. Letak geografis norma etis
Dalam hal ini, letak suatu daerah serta norma etis yang berkembang
dalam
masyarakat memliki peran yang cukup besar dalam membentuk pola asuh
yang
nantinya diterapkan orangtua terhadap anak. Penduduk pada dataran
tinggi
memiliki perbedaan karakteristik dengan penduduk dataran rendah
sesuai dengan
tuntutan serta tradisi yang berkembang pada tiap-tiap daerah.
4. Orientasi religius
berusaha agar anak nantinya juga mengikuti agama dan keyakinan
religius
tersebut.
Status ekonomi juga mempengaruhi pola asuh yang nantinya akan
diterapkan
oleh orangtua pada anaknya. Dengan perekonomian yang cukup,
kesempatan dan
fasilitas yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung
cenderung
mengarahkan pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang
dianggap sesuai
oleh orangtua.
Orangtua yang mempunyai kemampuan dalam komunikasi dan
berhubungan
tepat dengan anak, cenderung mengembangkan pola asuh sesuai dengan
diri anak
tersebut.
lingkungan yang nantinya akan mengembangkan suatu gaya hidup. Gaya
hidup
masyarakat di desa dan di kota besar memiliki berbagai macam
perbedaan dan
cara yang berbeda pula dalam interaksi serta hubungan orangtua dan
anak.
Sehingga nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh yang
diterapkan
orangtua terhadap anak.
Menurut Hurlock (1999) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
pola
asuh orangtua. Yaitu karakteristik orangtua yang berupa:
21
sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan
mempengaruhi
kemampuan orangtua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orangtua
dan
bagaimana tingkat sensitifitas orangtua terhadap kebutuhan
anak-anaknya.
2. Keyakinan
mempengaruhi nilai dari pola suh dan akan mempengaruhi tingkah
lakunya
dalam mengasuh anak-anaknya.
menerapkan pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka
akan
menggunakan teknik serupa dalam mengasuh anak bila mereka merasa
pola
asuh yang digunakan orangtua mereka tidak tepat, maka orangtua
akan
beralih ke teknik pola asuh yang lain, seperti a) penyesuaian
dengan cara
disetujui kelompok. b) usia orangtua. c) pendidikan orangtua. d)
jenis
kelamin. e) status sosial ekonomi. f) konsep mengenai peran
orangtua
dewasa. g) jenis kelamin anak. h) usia anak. i) temperamaen. j)
kemampuan
anak. k) situasi.
salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian anak,
seperti anak
akan menjadi tidak bahagia dan cenderung menarik diri dari
pergaulan, suka
menyendiri dan disamping itu pula, sulit bagi mereka untuk
mempercayai pihak
lain dan prestasi belajar mereka di sekolah pun rendah.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
faktor-faktor pola asuh ada tujuh yaitu budaya setempat, ideologi
yang
berkembang dalam diri orangtua, leteak geografis norma etis,
orientasi religius,
status ekonomi, bakat dan kemampuan orangtua, dan gaya hidup.
22
1. Pola Asuh Permissif
permissif meliputi: 1) Pendapatan yang digunakan mengedepankan
kemauan
anak, 2) orangtua cenderung acuh terhadap anak, 3) anak memiliki
kebebasan
penuh.
orangtua memberikan kebebasan penuh pada siswa untuk berbuat, b)
dominasi
pada siswa, c) sikap longgar atau kebebasan dari orangtua, d) tidak
ada
bimbingan dan pengarahan dari orangtua, e) kontrol dan perhatian
orangtua
terhadap siswa sangat kurang, bahkan tidak ada, f) siswa bisa
menentukan apa
yang mereka inginkan, g) orangtua memberikan tuntutan sedikit
terhadap
siswa.
Menurut Syahwandri (2013:6) indikator pola asuh permissif meliputi:
a)
kasih sayang yang berlebihan sehingga orangtua mengikuti segala
keinginan
dan kemauan anak tanpa ada batasan, b) aspek respon dan menerima
tinggi
kepada anak, c) tuntutan dan kontrol yang rendah dari orangtua
kepada anak,
d) orangtua sangat toleran kepada anak, e) tidak menuntut anak
untuk
berperilaku matang, mandiri, dan bertanggung jawab.
2. Pola Asuh Otoriter
kekuasaan orangtua amat dominan terhadap siswa, b) orangtua
menyuruh agar
siswa berpartisipasi aktif di dalam kelas, c) siswa tidak diakui
sebagai pribadi
oleh orangtua, d) kontrol orangtua terhadap tingkah laku siswa
sangat ketat, e)
orangtua akan sering menghukum jika siswa tidak patuh, f) orangtua
marah
ketika siswa terlambat pergi ke sekolah, g) orangtua siswa menyuruh
siswa
untuk mengulangi pelajaran yang didapatkan dari sekolah.
23
otoriter meliputi: 1) pendekatan yang digunakan mengandung unsur
paksaan
dan hukuman, 2) orangtua cenderung menguasai anak, 3) anak tidak
memiliki
kebebasan.
tuntutan yang tinggi dalam aspek sosial, intelektual, emosi, dan
kemandirian,
b) adanya batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang
besar bagi
anak untuk mengemukakan pendapatnya, c) orangtua bersikap
sewenang-
wenang dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran dan
kehendak
kepada anak tanpa mempertimbangkan kemampuan anak, d) orangtua
tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat keputusan sendiri,
e)
aspek respon dan menerima orangtua yang rendah kepada anak namun
kontrol
tinggi, f) orangtua mudah untuk memberikan hukuman baik secara
verbal atau
non verbal, g) orangtua kurang menghargai pemikiran dan perasaan
anak.
3. Pola Asuh Demokratis
Menurut Suyanti (2010:94) Indikator pola asuh demokratis meliputi:
1)
ada kerjasama antara anak dan orangtua, 2) ada control dari
orangtua yang
tidak kaku, 3) ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua, 4)
mengajarkan
anak mengembangkan disiplin, 5) mentolerir jika anak melakukan
kesalahan.
Menurut Sundari (2021:32) Indikator pola asuh demokratis
orangtua
terhadap anaknya meliputi: a) peraturan orangtua yang luwes kepada
anaknya.
(cara orangtua mengatur anaknya), b) menggunakan penjelasan dan
diskusi
dalam berkomunikasi, (bermusyawarah dalam menyelesaikan
permasalaahan
keluarga), c) adanya sikap terbuka antara orangtua dan anak.
(dalam
berkomunikasi orangtua dan anak menggunakan komunikasi dua arah),
d)
adanya pengakuan orangtua terhadap anak-anaknya (pemberian
penghargaan
atas apa yang dicapai anak-anaknya), e) memberi kesempatan
anak-anaknya
untuk tidak bergantung kepada orangtuanya, (anak belajar
mandiri).
24
Menurut Santi (2016:7) indikator pola asuh demokratis meliputi:
1)
bersikap bersahabat, 2) memiliki tujuan dan arah hidup jelas, 3)
memberikan
kesempatan anak untuk meningkatkan kreativitas, 4) memberikan
kesempatan
anak untuk bermain.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada
5 pola asuh demokratis orangtua kepada anaknya a) peraturan
orangtua yang
luwes kepada anaknya. (cara orangtua mengatur anaknya), b)
menggunakan
penjelasan dan diskusi dalam berkomunikasi, (bermusyawarah
dalam
menyelesaikan permasalaahan keluarga), c) adanya sikap terbuka
antara orangtua
dan anak. (dalam berkomunikasi orangtua dan anak menggunakan
komunikasi
dua arah), d) adanya pengakuan orangtua terhadap anak-anaknya
(pemberian
penghargaan atas apa yang dicapai anak-anaknya), e) memberi
kesempatan anak-
anaknya untuk tidak bergantung kepada orangtuanya, (anak belajar
mandiri).
2.1.3 Perkembangan Anak
mengandung pengertian perubahan yang bersifat psikis/mental yag
berlangsung
secara bertahap sepanjang manusia hidup untuk menyempurnakan
fungsi
psikologis yang diwujudkan dalam kematangan organ jasmani dari
kemampuan
yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih kompleks, misalnya
kecerdasan,
sikap, dan tingkah laku. Menurut Desmita (2014:9) perkembangan
adalah
keseluruhan proses perubahan potensi yang dimiliki individu yang
diwujudkan
dalam bentuk kualitas kemampuan, sifat, ciri-ciri yang baru.
Perkembangan juga
mencakup konsep usia yang dimulai saat terjadinya pembuahan dan
akan berakhir
dengan kematian.
perkembangan melibatkan pertumbuhan, meskipun juga melibatkan
penuaan.
Perkembangan meliputi tiga aspek, yaitu fisik, mental psikologi,
dan sosial.
25
syaraf serta organ-organ tubuh. Menurut Hurlock perkembangan
merupakan
rangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari
interaksi atau
pengalaman. Hal tersebut menyebabkan perubahan yang dapat
dirasakan.
Semakin banyaknya pengalaman hidup dan interaksi dengan sosial maka
yang
dialami juga semakin bervariasai.
perkembangan anak adalah sebuah proses perubahan pada diri seorang
anak
menuju tahap pendewasaan/kematangan fungsi fisik dan psikologis
yang terjadi
dalam periode waktu tertentu, perkembangan bersifat kualitatif atau
tidak dapat
dinyatakan dengan angka.
2.1.3.2 Tahap-Tahap Perkembangan
beberapa fase. Piaget membagi perkembangan kemampuan kognitif
manusia
menurut usia menjadi 4 tahapan yaitu:
1. Tahap Sensori-motor :
Pada tahap ini berusia 0-1,5 tahun. Sepanjang tahap ini mulai dari
lahir hingga
berusia 2 tahun, bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia
mereka melalui
indera mereka yang sedang berkembang dengan gerakan dan
mendapatkan
pemahaman akan objek permanen serta melalui aktivitas motor.
2. Tahap pra-operasional :
Pada tahap ini berusia 1,5-6 tahun. Anak telah menunjukkan
aktivitas kognitif
dalam menghadapi berbagai hal diluar dirinya, aktivitas berpikirnya
belum
mempunyai sistem yang terorganisasikan. Anak sudah dapat memahami
realitas
dilingkungan dengan menggunakan tanda-tanda dan simbol. Cara
berpikir anak
pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan
tidak logis.
3. Tahap operasional konkrit :
Pada tahap ini berusia 6-12 tahun. Anak sudah cukup matang
untuk
menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek
fisik yang
ada saat ini. Dalam tahap ini anak telah hilang kecenderungan
terhadap animisme
dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam
tugas-tugas
26
konsevasi menjadi lebih baik, namun tanpa objek fisik dihadapan
mereka, anak-
anak pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan
besar dalam
menyelesaikan tugas-tugas logika. (Jarvis, 2011:149-150).
4. Tahap operasional formal :
Pada tahap ini berusia 12 tahun ke atas. Pada umur 12 tahun keatas
timbul
periode operasi baru, periode ini anak dapat menggunakan
operasi-operasi
konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks (Jarvis,
2011:111).
Kemajuan pada anak selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir
dengan
pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan
untuk
berpikir abstrak, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argument
dan tidak
dibingungkan oleh sisi argument dan arena itu disebut operasional
formal.
Piaget percaya bahwa kita semua melalui keempat tahap tersebut,
meskipun
mungkin setiap tahap dilalui dalam usia berbeda, setiap tahap
dimasuki ketika
otak kita sudah cukup matang untuk memungkinkan logika jenis baru
atau
operasi. Semua manusia melalui setiap tingkat tapi dengan kecepatan
yang
berbeda, jadi anak yang berumur 6 tahun biasa pada tingkat
operasional konkrit
dan anak pada usia 8 tahun masih pada tingkat pra-operasional dalam
cara
berpikir. Akan tetapi urutan perkembangan intelektual sama untuk
semua anak,
struktur tingkat sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai
bagian dari tingkat-
tingkat berikutnya. (Wilis, 2011;137). Memasuki usia pra-remaja,
anak pada
tahapan operasional formal memiliki beberapa ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Sudah mengalami penalaran dan berpikir secara abstrak.
b. Mampu menarik kesimpulan dari informasi yang ia dapat.
c. Memahami konsep yang bersifat abstrak seperti nilai dan
cinta.
d. Sudah dapat melihat realitas yang terkadang bisa abu-abu, tidak
melulu
hitam dan putih.
tertentu yang menjadi dasar pemikiran dalam pengujian tahapan
perkembangan
anak yaitu sebagai berikut: 1) Pertama pertimbangan ketertarikan
anak terhadap
suatu bacaan harus dilihat sebagai kriteria seleksi yang lebih
penting dari pada
anggapan kecocokan yang dilakukan oleh kacamata dewasa. 2)
Kedua
27
anak konsep tahapan mempunyai derajat prediksi dalam suasana budaya
yang
stabil, tetapi belum memperhitungkan adanya perubahan budaya,
waktu, dan
geografi, dan karenanya diperlukan penelitian lebih lanjut yang
memperhitungkan
aspek-aspek itu. 4) Keempat pemahaman kesesuaian dalam pemilihan
bacaan
dengan tahapan perkembangan anak perlu diperluas dengan mencakup
kontribusi
tiap tahapan itu.
Menurut Hurlock perkembangan anak dibagi menjadi lima periode
yaitu:
a. Periode pra lahir yang dimulai dari saat pembuahan sampai lahir.
Pada
periode ini terjadi perkembangan fisiologis yang sangat cepat
yaitu
pertumbuhan seluruh tubuh secara utuh.
b. Periode neonatus adalah masa bayi yang baru lahir. Masa ini
terhitung
mulai 0 sampai dengan 14 hari. Pada periode ini bayi
mengadakan
adaptasi terhadap lingkungan yang sama sekali baru untuk bayi
tersebut
yaitu lingkaran di luar rahim ibu.
c. Masa bayi adalah masa bayi berumur 2 minggu sampai 2 tahun.
Pada
masa ini bayi belajar mengendalikan ototnya sendiri sampai
bayi
tersebut mempunyai keinginan untuk mandiri.
d. Masa kanak-kanak terdiri dari 2 bagian yaitu masa kanak-kanak
dini dan
akhir masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dini adalah masa
anak
berusia 2 sampai 6 tahun. Masa ini disebut juga masa pra sekolah
yaitu
masa masa anak menyesuaikan diri secara sosial. akhir masa
kanak-
kanak adalah anak usia 6 sampai 13 tahun, bisa disebut sebagai
usia
sekolah.
e. Masa puber adalah masa anak berusia 11 sampai 16 tahun. Masa
ini
termasuk periode yang tumpang tindih karena merupakan 2 tahun
masa
kanak-kanak akhir dan 2 tahun masa awal remaja. secara fisik
tubuh
anak pada periode ini berubah menjadi tubuh orang dewasa.
28
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tahap
perkembangan anak dimulai dari tahap sensori-motor dimana pada
tahap ini anak
berusia 0-1,5 tahun, kedua tahap pra-operasional dimana pada tahap
ini anak
berusia 1,5-6 tahun, ketiga tahap operasional konkrit dimana pada
tahap ini anak
berusia 6-12 tahun, dan keempat tahap operasional formal dimana
pada tahap ini
anak berusia 12 tahun ke atas.
2.1.3.3 Karakteristik Anak
Anak usia sekolah merupakan anak yang sedang berada pada periode
usia
pertengahan yaitu anak yang berusia 6-12 tahun. Sedangkan menurut
Yusuf
(2011:7) anak usia sekolah merupakan anak usia 6-12 tahun yang
sudah dapat
mereaksikan rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas
belajar yang
menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif seperti
membaca,
menulis, dan berhitung. Karakteristik anak usia sekolah menurut
Hardinsyah
(2016:7) yaitu anak usia sekolah 6-12 tahun yang sehat memiliki
ciri diantaranya
adalah banyak bermain di luar rumah, melakukan aktivitas fisik yang
tinggi, serta
beresiko terpapar sumber penyakit dan perilaku hidup yang tidak
sehat. Menurut
Supariasa (2013:11) karakteristik anak usia sekolah umur 6-12 tahun
terbagi
menjadi empat bagian terdiri dari:
1. Fisik/jasmani
a) pertumbuhan lambat dan teratur.
b) Anak wanita biasanya lebih tinggi dan lebih berat dibanding
laki-
laki dengan usia yang sama.
c) Anggota-anggota badan memanjang sampai akhir masa ini.
d) Peningkatan koordinasi besar dan otot-otot halus.
e) Pertumbuhan tulang, tulang sangat sensitif terhadap
kecelakaan.
f) Pertumbuhan gigi tetap, gigi susu tunggal, nafsu makan
besar,
senang makan dan aktif.
29
terhadap tingkah laku dan diri sendiri, mudah cemas jika ada
kemalangan di dalam keluarga.
3. Sosial
yang bersaing, mulai menunjukkan sikap kepemimpinan, mulai
menunjukkan penampilan diri, jujur, sering punya kelompok
teman-teman tertentu.
bermain sendiri-sendiri.
4. Intelektual
belajar dan keterampilan, ingin coba-coba, selalu ingin tahu
sesuatu.
Menurut Kartono (2013:11) secara umum karakteristik yang terjadi
pada
rentang usia 6-12 tahun:
2. Cemas terhadap kegagalan.
4. Kadang malu atau sedih.
b. Anak usia 8-9 tahun
1. Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat.
2. Mampu menggunakan peralatan rumah tangga.
3. Keterampilan lebih individual.
30
1. Perubahan sifat berkaitan dengan berubahnya postur tubuh
yang
berhubungan dengan pubertas mulai tampak.
2. Mampu melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci,
menjemur
pakaian sendiri, dll.
lain
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
karakteristik anak usia sekolah dasar adalah senang bermain, senang
bergerak,
senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan atau
melakukan sesuatu
secara langsung.
Kurt Lewin mengembangkan suatu teori belajar Cognitive-Field
dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi soisal. Menurut
Lewin
belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur
kognitif. Lewin
berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar
kekuatan baik
yang berasal dari individu seperti tujuan, kebutuhan tekanan
kejiwaan maupun
yang berasal dari luar indvidu seperti tantangan dan
permasalahan.
Sedangkan psikolog Kurt Lewin (1935, 1936) mengkaji perilaku
sosial
melalui pendekatan konsep “medan” atau “field” atau “ruang
kehidupan” life
space. Kurt Lewin merumuskan perilaku sebagai B=f (P,E) dimana B,P
dan E
berturut-turut adalah behavior (perilaku), the person (individu),
dan the
environment (lingkungan). Untuk memahami konsep ini perlu dipahami
bahwa
secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa
karakter
individu (insting dan kebiasaan) bebas-lepas dari pengaruh situasi
dimana
individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan
keyakinan
31
faktor situasi tidaklah lengkap.
masing individu berada dalam medan kekuatan yang bersifat
psikologis. Medan
dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup
perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya pada orang-orang yang
dijumpai,
objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia
miliki. Jadi menurut
Lewin belajar berlangsug sebagai akibat dari perubahan struktur
kognitif.
Perubahan struktur kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan:
a) Struktur
medan kognisi. b) Kebutuhan motivasi internal individu (Khodijah,
2014).
Sedangkan ciri-ciri utama dari teori Lewin, yaitu: 1) Tingkah laku
adalah suatu
fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi. 2)
Analisis mulai
dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian-bagian
komponennya
dipisahkan. 3) Orang yang kongkret dalam situasi yang kongkret
dapat
digambarkan secara matematis.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
tingkah
laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan, baik yang berasal
dari dalam
individu, seperti tujuan, kebutuhan tekanan kejiwaan maupun yang
berasal dari
luar diri individu, seperti tantangan dan permasalahan yang
dihadapi. Menurut
teori belajar kognitif Kurt Lewin belajar itu berlangsung sebagai
akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif, hal tersebut pertemuan dari dua
kekuatan yaitu
berasal dari struktur medan kognitif itu sendiri dan yang lainnya
berasal dari
kebutuhan internal individu.
terpenuhinya fungsi kebutuhan baik secara fisik maupun psikis yang
bertujuan
bagi pengembangan kesejahteraan seluruh anggota keluarga dalam hal
ini
keluarga adalah contoh atau model bagi anak, orangtua mempunyai
pengaruh
32
yang sangat kuat bagi anak ini dapat di lihat dari bagaimana
orangtua mewariskan
cara berpikir kepada anak-anaknya, orangtua juga merupakan mentor
pertama
bagi anak yang menjalin hubungan dan memberikan kasih sayang
secara
mendalam baik positif atau negatif yang berpengaruh pada
perkembangan
kepribadian anak.
keterampilan hidup (Helmawati, 2014:42-43). Menurut Lestari
(2012:6) keluarga
adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan
atau
menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar
dan fungsi-
fungsi ekspresif. Sedangkan menurut Aziz (2017:8) keluarga
merupakan suatu
kelempok sosial kecil yang didalamnya terdiri dari seorang ibu,
ayah, dan anak
dapat berkembang sehingga membentuk keluarga yang baru.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
keluarga
merupakan factor yang penting dalam pembentukan kepribadian anak.
Anak dapat
diibaratkan seperti selembar kertas putih kosong yang harus diisi,
dalam hal ini
peran orang tualah yang sangat dominan. Orangtua harus mendidik
anak sejak
dini agar mereka dapat berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan
2.1.4.2 Fungsi Keluarga
dasar, yaitu:
yang ada di dalam masyarakat.
b. Sosialisasi/edukasi: keluarga menjadi sarana untuk transmisi
nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari
generasi
sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c. Penugasan peran sosial: keluarga memberikan identitas pada
para
anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran
gender.
d. Dukungan ekonomi : keluarga menyediakan tempat berlindung,
makanan,
dan jaminan kehidupan.
interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi
bersifat
mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa
aman
pada anak.
keluarga memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya.
2. Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis.
3. Sumber kasih sayang dan penerimaan.
4. Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar
menjadi
anggota masyarakat yang baik.
tepat.
rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan.
7. Pemberi bimbingan dalam belajar ketrampilan motorik, verbal
dan
sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri.
8. Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai
prestasi, baik di sekolah maupun masyarakat.
9. Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi.
10. Sumber persahabatan atau teman bermain bagi anak sampai cukup
usia
untuk mendapatkan teman diluar rumah, atau apabila
persahabatan
diluar rumah tidak memungkinkan.
menjadi lima yaitu:
memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga.
34
bertujuan menjadikan anak sebagai anggota masyarakat yang
prouktif
serta memberikan status pada anggota keluarga.
3. Fungsi reproduksi yaitu untuk mempertahankan kontinuitas
keluarga
selama beberapa generasi dan untuk keberlangsungan hidup
masyarakat.
4. Fungsi ekonomi yaitu menyediakan sumber ekonomi yang cukup
dan
alokasi efektifnya.
tempat tinggal, perawatan kesehatan.
fungsi keluarga meliputi reproduksi, sosialisasi/edukasi, penugasan
peran sosial,
dukungan ekonomi, dukungan emosi/pemeliharaan
2.1.4.3 Ciri-Ciri Keluarga
Ciri-ciri yang menonjol dari sebuah keluarga menurut Mac Iver dan
Page
antara lain:
b. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang
berkenaan
dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau
dipelihara
c. Suatu sistem tata nama termasuk perhitungan garis
keturunan
d. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh
anggota-anggota
kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-
kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk
mempunyai keturunan dan membesarkan anak.
e. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga
walau
bagaimanapun tidak mungkin terpisah terhadap kelompok
keluarga.
Menurut Rustina (2014:293-294) ciri-ciri yang dimiliki keluarga
antara
lain:
universal diantara bentuk-bentuk organisasi sosial lainnya.
Hampir
35
keluarga.
2. Dasar-dasar emosional: hal ini didasarkan pada suatu dorongan
yang
sangat mendalam dari sifat organis manusia seperti
perkawinan,
menjadi ayah, kesetiaan akan maternal dan perhatian orangtua.
3. Pengaruh perkembangan: hal ini merupakan lingkungan
kemasyarakatan yang paling awal dari semua bentuk kehidupan
yang
lebih tinggi, termasuk manusia dan pengaruh perkembangan yang
paling besar dalam kesadaran hidup yang merupakan sumbernya.
4. Ukuran yang terbatas: keluarga merupakan kelompok yang
terbatas
ukurannya, yang dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis yang
tidak
dapat lebih tanpa kehilangan identitasnya. Oleh sebab itu
keluarga
merupakan skala yang paling kecil dari semua organisasi formal
yang
merupakan struktur sosial, dan khususnya dalam masyarakat
yang
sudah beradab dan keluarga secara utuh terpisah dari kelompok
kekerabatan.
5. Tanggung jawab para anggota: keluarga memiliki
tuntutan-tuntutan
yang lebih besar dan kontinyu dari pada yang biasa dilakukan
oleh
asosiasi-asosiasi lainnya.
6. Aturan kemasyarakatan: hal ini khususnya terjaga dengan adanya
hal-
hal tabu di dalam masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan
kaku
menentukan kondisi-kondisinya.
merupakan suatu yang demikian permanen dan universal, dan
sebagai
asosiasi merupakan organisasi yang paling bersifat sementara dan
yang
paling mudah berubah dari seluruh organisasi-organisasi
penting
lainnya dalam masyarakat.
a. Terorganisasi
mencapai tujuan.
b. Keterbatasan
dan tanggung jawabnya masing-masing. Sehingga dalam
berinteraksi setiap anggota tidak bisa semena-mena tetapi
mempunyai keterbatasan yang dilandasi oleh tanggung jawab
masing-masing anggita keluarga.
fungsi yang berbeda dan khas seperti halnya peran ayah
sebagai
pencari nafkah utama dan peran ibu yang merawat anak-anak.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
ciri-ciri umum keluarga ini sebagai kelompok sosial yang kecil pada
umumnya
terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagai anggota keluarga dan
menjalankan
fungsinya yaitu merawat memelihara, dan melindungi anak dalam
rangka
sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa
sosial.
2.1.5 Broken Home
Broken home adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis atau
sudah
tidak rukun dengan banyaknya pertengkaran dan dapat berakhir
dengan
perceraian. Keluarga broken home merupakan pasang suami dan istri
yang
mengalami permasalahan dalam keluarga kemudian memutuskan
untuk
mengakhiri suatu hubungan dengan kata perceraian yang pada
umumnya
berdampak pada psikologis anak, baik dalam pendidikan maupun
lingkungan
sosialnya (Afriadi, 2020:31). Yang dimaksud kasus keluarga pecah
(broken home)
dapat dilihat dari 2 aspek: (1) keluarga itu terpecah karena
strukturnya tidak untuk
sebab salah satu kepala keluarga itu meninggal dunia atau telah
bercerai. (2)
37
orangtua yang tidak meninggal atau tidak bercerai tetapi salah satu
ayah atau ibu
sering tidak dirumah dan ada hubungan kasih sayang lagi (Willis,
2015:66). Kata
broken home menurut Helmawati (2014:16) yaitu suatu kondisi
keluarga yang
mengalami perpecahan baik secara fisik maupun psikologis.
Suatu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang terikat dalam
sebuah
perkawinan, suatu perkawinan mengalami perpecahan fisik maupun
psikologis,
perpisahan secara fisik bisa terjadi jika salah satu dari kedua
orangtua meninggal,
maupun karena perceraian. Menurut (Ismah, 2016 : 24) Broken Home
merupakan
sebuah kondisi didalam keluarga yang mengalami perpecahan sehingga
terjadinya
perceraian ataupun tidak, kemudian ditandai kondisi yang tidak
harmonis dan
tidak berjalan dengan rukun, damai, dan sejahtera dikarenakan
sering terjadinya
perselisihan yang menyebabkan pertengkaran.
Kekacauan keluarga dapat ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit
keluarga,
terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau
beberapa anggota
gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya. Menurut
Hurlock,
Broken Home merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang
buruk dan
terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara
penyelesaian
masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Pendapat lain
mengenai
pengertian broken home yaitu bahwa broken home adalah “keluarga
atau rumah
tangga tanpa hadirnya salah seorang dari kedua orangtua (ayah dan
ibu)
disebabkan oleh meninggal, perceraian, meninggalkan keluarga dan
lain-lain”.
Kondisi keluarga yang kurang memberikan peran dalam kehidupan
remaja
sebagaimana mestinya ini berakibat kurang baik pula bagi
pertumbuhan dan
perkembangannya. Broken home adalah “keretakan didalam keluarga
yang berarti
rusaknya hubungan satu dengan yang lain diantara anggota keluarga
tersebut”
(Kartini, 2019:15).
home yaitu keluarga yang tidak harmonis. Dimana didalam sebuah
keluarga
orangtua yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga anak merasa
kurang
mendapatkan perhatian, juga kurang adanya komunikasi antara anggota
keluarga
38
menjadi tidak hangat.
Faktor penyebab broken home (Muttaqin, 2019:250) bisa berasal
dari
dalam maupun dari luar, namun apapun yang datang dari luar
sebenarnya bisa
dihadapi apabila faktor dari dalam sudah berasil diatasi. Faktor
penyebab broken
home terdiri atas tertutupnya komunikasi, egosentris, ekonomi,
kesibukan,
rendahnya pemahaman dan adanya pihak ketiga. Untuk
mempermudah
pemahaman tentang penyebab broken home, dibuat gambar sebagai
berikut:
Gambar 2.1 Faktor penyebab broken home
Sumber: Muttaqin, 2019
1. Gangguan Komunikasi
jendela informasi yang bisa digunakan menganalisis dan mendeteksi
apabila ada
gangguan dalam keluarga. Apabila komunikasi ini tidak lancar, maka
akan terjadi
Gangguan
Komunikasi
Pihak
Ketiga
Broken
Home
Egosentris
Ekonomi
Kesibukan
Rendahnya
Pemahaman
39
kebohongan karena keinginan untuk menutup diri. Keluarga yang
normal selalu
ingin agar terjadi terjalin komunikasi intensif dan harmonis serta
dua arah dengan
anggita keluarganya, namun bagi keluarga broken home komunikasi
yang terjadi
justru bisa menjadi petaka karena tiadanya saling pengertian dan
kepercayaan.
Komunikasi dalam keluarga bersifat antar pribadi yang
menunjukkan
kompleksitas hubungannya. Komunikasi dalam keluarga merupakan
proses
simbolik, transaksional yang bertujuan mengungkapkan pengertian
dalam
keluarga Kalvin dan Brommel dalam Arwani (2003). Tersumbatnya
saluran
komunikasi merupakan penyebab awal terjadinya broken home.
2. Egosentris
sendiri sehingga sulit mengakui kebenaran dari orang lain. Apabila
suami-istri
mempunyai sifat ini dan tidak ada dan ada saling pengertian dan
saling mengalah
maka benih-benih broken home telah ada dan akan semakin membesar
suatu saat.
Akibat sifat ini mungkin suatu saat suami-istri bertengkar hebat
dihadapan anak-
anaknya dimana jelas akan berpengaruh negative pada kejiwaan
anak
3. Ekonomi
Ekonomi keluarga jelas memberi pengaruh pada keharmonisan rumah
tangga,
kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab broken home karena
sering kali
percecokan, pertikaian suami-istri diawali dari persoalan ekonomi.
Keluarga bisa
rusak apabila faktor ekonomi ini tidak dikendalikan, kerusakan itu
bisa terjadi
pada orang yang kekurangan maupun kelebihan ekonomi, namun
kekurangan
ekonomi lebih berbahaya dari pada kelebihan ekonomi. Ketiadaan
ekonomi
(kemiskinan) berhubungan dengan pendidikan seseorang meskipun
terjadi secara
tidak langsung dan pengangguran juga punya pengaruh positif
signifikan terhadap
kemiskinan.
40
Sibuk merupakan kata-kata yang paling sering diucapkan ketika tidak
bisa
menghadiri atau menjumpai situasi tertentu. Kesibukan suami atau
istri yang
sampai tiap hari pulang larut malam akan mempengaruhi kondisi
keluarga. Ujung-
ujungnya anak jadi korban karna kurang kedekatan, kurang kasih
sayang dan
kurang perhatian. Kurangnya perhatian terhadap suami atau istri
karena kesibukan
akan menjadi dasar munculnya problem komunikasi dalam
keluarga.
5. Rendahnya pemahaman dan pendidikan
Pendidikan seseorang berpengaruh pada pemahaman yang dimiliki,
apabila
ketika sudah berkeluarga. Suami atau istri yang berpendidikan
rendah cenderung
kurang dari sisi pemahaman dan pengertian serta tugas dan kewajiban
sebagai
suami atau istri. Jadi jelas bahwa pemahaman dan pendidikan
merupakan salah
satu faktor yang bisa memicu broken home karena dengan tiadanya
saling
pengertian, saling memahami akan terjadi konflik terus menerus yang
berujung
pada berakhirnya ikatan dalam rumah tangga.
6. Gangguan pihak ketiga
Pihak ketiga yang dimaksud dalam arti ini adalah orang yang dengan
sengaja
atau tidak sengaja menjadi penyebab adanya krisis dalam rumah
tangga. Krisis ini
bisa saja dalam bentuk krisis kepercayaan baik dari sisi ekonomi,
hubungan
personal maupun lainnya, pihak ketiga juga terkadang
menyebabkan
kecemburuan sehingga muncul krisis kepercayaan (trust) bagi suami
atau istri.
Selai itu pihak ketiga juga bisa datang dari orangtua yang selalu
intervensi
terhadap kehidupan anak-anaknya padahal sudah berumah tangga.
Menurut Willis (2015:2) faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kondisi
broken home diantaranya:
1. Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga terutama
ayah
dan ibu.
Menurut Alferd (2016:6) faktor penyebab broken home yaitu:
a. penyebab fisik yaitu kondisi yang bersifat fisik yang
menyebabkan broken
home seperti perceraian (divorce), kematian (death), desertion
dan
separatio.
perbuatan, perbedaan pendapat, perbedaan sifat kesenangan,
cemburu,
tidak saling mencintai, dan lain-lain yang menyebabkan
terjadinya
pertengkaran dan konflik.
c. Penyebab ekonomi yaitu keadaan ekonomi yang jelek, penghasilan
yang
tidak sesuai dengan keluarga antara kebutuhan dan pengeluaran, hal
ini
sehingga dengan mudah menimbulkan dampak psikologis bagi
keluarga.
d. Penyebab sosial yaitu hal ini secara tidak langsung tidak
berpengaruh,
tetapi sangat memungkinkan terjadinya broken home misalnya
masyarakat
penjudi, dan peminum.
perbedaan agama, antara suami dan istri.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
penyebab broken home terjadi adanya gangguan komunikasi,
egosentris,
ekonomi, kesibukan, rendahnya pemahaman dan pendidikan, dan
gangguan pihak
ketiga.
keretakan hubungan keluarga inti. Tentu yang terdampak adalah
anak-anak yang
masih kecil maupun yang sudah dewasa diantaranya dampak itu
adalah
menurunya prestasi belajar anak. Prestasi belajar anak turun karena
orangtuanya
tidak lagi memperhatikan perkembangan akademik anaknya. Dampak
lainnya
adalah adanya perilaku agresif. Beberapa kasus kekerasan merupakan
manifestasi
dari perilaku agresif, baik kekerasan secara verbal maupun
non-verbal. Perilaku
agresif juga disebabkan oleh adanya kecematan anak dan kesepian.
Jadi untuk
42
menjadi penyebabnya ini.
pendekatan khusus seperti pendekatan biologis, sosiologis,
situasional dan
pendekatan humanis, namun apapun pendekatan yang digunakan akan
gagal
apabila akar masalahnya tidak terselesaikan. Perilaku ini muncul
sebagai bentuk
keinginan anak untuk mendapatkan perhatian dari orang lain karena
tidak dia
dapatkan di rumah. Selain itu juga karena kurangnya pengawasan dan
pembiasaan
akhlak yang baik dari orantuanya. Keluarga yang broken home juga
mempunyai
dampak pada kenakalan anak, kurangnya bekal ilmu agama bagi anak,
selain itu
broken home juga bisa mengakibatkan keputusasaan, retaknya hubungan
orangtua
dan anak serta kecenderungan bunuh diri. Berikut urutan dampak
broken home
(Gintulangi, 2018:253) yaitu:
2. Perilaku agresif anak.
Menurut Sulistiyanto (2017:16-17) ada empat fase dampak broken home
yaitu:
1. Fase pertama adalah perpecahan keluarga atau kematian cinta
kasih dalam
keluarga.
2. Fase kedua adalah fase keterasingan, kekosongan, dan kesendirian
seorang
anak korban broken home.
3. Fase ketiga adalah fase pertumbuhan kedewasaan saat korban
broken
home memiliki rasa memberontak dan rasa ingin membalas
dendam.
4. Fase keempat adalah fase kedewasaan saat korban broken home
mulai
menemukan bahwa pelarian, protes, ketidak ikhlasan bukanlah
jalan
keluar.
43
1. Academic problem
tersebut berbicara kepada teman sebangkunya.
2. Behavioral problem
Siswa memiliki sikap yang kurang baik seperti melakukan bullying
secara
verbal kepada siswa lain, tidak memperhatikan saat guru menjelaskan
di kelas,
serta merokok di lingkungan sekolah.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
dampak broken home menyebabkan perkembangan anak menjadi
negatif,
perilaku agresif anak, kenakalan, prestasi sekolah menurun,
perilaku
menyimpang, dan menyebabkan gangguan kejiwaan.
2.2 Penelitian Relevan
Pada Pola Pikir Anak Di Dukuh Pangkrengan Desa Bulungkulon
Jekulo
Kudus”
Penelitian pertama, ditulis oleh Desy Irsalina Savitri (2016)
dia
melakukan penelitian dengan judul “Peran Keluarga dan Guru
Dalam
Membangun Karakter dan Konsep Diri Siswa Broken Home di Usia
Sekolah
Dasar” penelitian ini adalah penelitian kualitatif menggunakan
studi kasus.
Pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi (di sekolah
dan
home visit) secara mendalam. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan hasil
pengamatan secara mendalam tentang peran keluarga dan guru
dalam
membangun karakter kepada siswa broken home di usia sekolah
dasar.
Hasil penelitian ditentukan dengan cara mendeskripsikan (1)
peran
keluarga (2) peran guru (3) kebutuhan yang diperlukan dalam
membangun
karakter dan konsep diri pada siswa peneliti temukan di salah satu
sekolah
dasar swasta di kota Malang. Ketika peneliti mengadakan observasi
di sekolah
tersebut guna mendapatkan data tentang smart parenting, peneliti
menemukan
44
satu anak korban broken home yang justru menunjukkan sikap yang
baik,
ramah, dan sopan. Persamaan dari penelitian ini yaitu meneliti
tentang
keluarga broken home dan perbedaannya pada penelitian ini dia tidak
meneliti
tentang pola pikir anak melainkan karakter anak.
Penelitian kedua, ditulis oleh Gamar Septianita (2019) dia
melakukan
penelitian dengan judul “Peran Pendidikan In-formal Dalam Mendidik
Anak
Pada Keluarga Broken Home di Kelurahan Bukit Lama Kota
Palembang”
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan
fakta
dilapangan. Pengumpulan data menggunakan cara observasi,
wawancara
secara mendalam dan dokumentasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
peran pendidikan In-formal dalam mendidik anak pada keluarga broken
home
di kelurahan Bukit Lama Kota Palembang, untuk mengetahui
fakto-faktor
yang mempengaruhi keluarga broken home di Kelurahan Bukit Lama
Kota
Palembang, untuk mengetahui upaya mengatasi keluarga broken home
di
Kelurahan Bukit Lama Kota Palembang.
Hasil penelitiannya yaitu mendidik anak pada keluarga broken home
di
Kelurahan Bukit Lama Kota Palembang ialah orangtua menjadi suri
tauladan
yang baik, orangtua sebagai pendidik, orangtua sebagai pembimbing,
orangtua
sebagai pengawas, dan orangtua sebagai motivasi. Persamaan dari
penelitian
ini yaitu meneliti tentang keluarga broken home dan perbedaannya
dia
meneliti tentang mendidik anak dalam pendidikan in-formal tidak
meneliti
tentang pola pikir anak.
Penelitian ketiga, ditulis oleh Efi Tri Astuti (2018) dia
melakukan
penelitian dengan judul “Pengembangan Permainan Tradisional
Boi-Boian
Dalam menanamkan Pola Pikir Sains Anak Sekolah Dasar”. Penelitian
ini
menggunakan desain eksperimen semu (quasi experiment), yaitu
post-test
only, non equivalent control group design. Metode analisis data
yang
digunakan terdiri atas analisis kualitatif dan kuantitatif. Metode
analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda independent
sample-test.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara,