Post on 02-Aug-2015
description
Judul Buku : Sepatu Dahlan
Penulis Buku : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Mei 2012
Tebal : 369 halaman
“Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.”
Begitu tulisan Dahlan Iskan di awal lembaran Sepatu Dahlan.
Pengisahan di dalam buku ini terbagi menjadi 34 Bab. Diawali “Prolog”,
lanjut “ Tanah Tebu”, “Muslihat Gagal”, “Masa orientasi”, “Batik Tegal Arum”,
“Berhenti Merawat Luka”, “Riwayat Sumur Tua”, “Senyum Ibu”, “Lolos Tanpa
Mantra”, “Gitar Kadir”, “Miskin Harta Kaya Iman”, “Sepeda Muryati”, “Suara-
Suara Tak Terkatakan”, “Teguran Juragan Buah”, “Pemberontakan Para Domba”,
“Ojo Kepingin Sugih”, “Kelapa Gading”, “Luka di Mata Zain”, “Logika Berdoa
untuk Aisha”, “Kupatan”, “Jangan Terlalu Bahagia”, “Smash!”, “Si Kumbang dan
Pesta Opor”, “Tragedi Sepatu Bekas”, “Patriot Sejati”, “Misteri Purwodadi”,
“Kesaksian Kadir”, “Perseteruan Murid Zen”, “Geletar Asing di Jalan Takeran”,
“Akhirnya Punya Sepatu”, “Di Bawah Rindang Trembesi”, “Surat Penting”,
“Stasiun Madiun”, dan yang terakhir “Epilog”.
Pada intinya, kisah utamanya ialah kisah dalam “prolog” dan “epilog”.
Sementara itu, bab-bab lainnya hanyalah pendukung kedua kisah tadi. Seluruh bab
diramu dengan kepedihan yang sangat mendalam. Saya katakan mendalam sebab
unsur kesedihannya muncul dari awal hingga akhir kisah. Kepedihan berawal
sejak operasi liver hingga usai operasi liver tersebut. Bahkan, variasi
kepedihannya, yang muncul di antara “prolog” dan “epilog”, yaitu keinginan
sekolah, keinginan memiliki sepatu, permasalahan sepeda, olok-olokan yang
diterima Dahlan, meninggalnya sang ibu, kepergian sang kakak, hingga keinginan
kuliah di dalam kondisi ekonomi yang tidak mencukupi.
Saya akan menceritakan secara ringkas dari apa yang telah saya baca dari
novel inspirasi ini.
1
PROLOG
18 Jam Kematian
Awal kisah saya menghadapi sebuah “Prolog”. Prolog yang menghimpun
seluruh kisah, dan akhir kisah pun ditutup dengan sebuah epilog. “Prolog–epilog”
di dalam Sepatu Dahlan ini menandakan bahwa ada kisah di dalam kisah.
Dalam “prolog” dikisahkan bahwa seorang lelaki sedang mengalami sakit,
liver. Sebuah penyakit yang membawanya ke dalam proses pencangkokan. Pada
hari pencangkokan itulah, tokoh utamanya, Dahlan, tentunya yang dimaksudkan
ialah Dahlan Iskan, merasa sesuatu romantisme kehidupan akibat nadur liver yang
mengidap di tubuhnya. Ini adalah kutipan kata-kata Dahlan Iskan yang ia ucapkan
sebelum menjalani operasi Sekarang, hari ini, di kamar operasi, segera kumasuki
gerbang kelahiran baru, jauh dari tanah kelahiran pertama, Kebon Dalem.
Dari bagian prolog ini saja sudah sangat menarik bagi saya untuk terus
melanjutkan kisah apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam prolog ini yang
sangat membuat saya tersentuh yaitu ketika Pak Dahlan Iskan akan menjalani
sebuah operasi liver, yang kemungkinan akan berhasil atau tidaknya beliau pun
tak tau. Dan juga ketika salah seorang sahabat beliau yang menderita sakit jantung
mengirimkan pesan sebelum Pak Dahlan Iskan menjalani operasinya dengan kata-
katanya yang sangat menggugah hati saya
“Ya Allah, selamatkanlah nyawa rekan saya ini. Jika perlu, tukarlah dengan
kematian saya”
Apa yang bisa dikatakan Pak Dahlan pada saat itu hanyalah berdo’a
kepada Tuhan “Tuhan, terserah Engkau sajalah”
Do’a yang beliau panjatkan begitu singkat dan pasrah, dimana mungkin
saya tidak sanggup mengatakan hal seperti itu ketika menghadapi hal yang sama.
Begitu beliau menghadapi operasi, banyak sekali dukungan yang didapat dari istri,
anak, saudara dan sahabat-sahabat beliau yang senantiasa menemani disamping
Pak Dahlan. Ketika sedang menjalani operasi, Pak Dahlan merasa do’anya sedang
dikabulkan oleh Tuhan, yaitu seakan-akan beliau berada dihalaman
rumahnya:masa lalu. Ini adalah awal kisah yang akan di bahas dalam cerita
selanjutnya.
2
Dahlan ialah tokoh utama. Tokoh utama di sini adalah tokoh yang jadi
sorotan, dan sangat berpengaruh terhadap keutuhan kisah. Meskipun keutuhan itu
tidak akan ditemui sebagai keutuhan yang kuat dalam elemen per elemen
ceritanya. Selain Dahlan, tokoh kisahnya ialah istri, anak sulung, dan Robert Lai
(sahabat Dahlan). Mereka bertiga lah sahabat setia yang menemani sosok Dahlan
Iskan ketika menghadi operasi pencangkokan liver baru yang akan diterimanya.
Di dalam buku ini juga terdapat tokoh bayang-bayang, yakni orang tua
Dahlan (Ayah dan Ibu), Zain (adik Dahlan). Kenapa saya menyebutnya tokoh
bayang-bayang? Karena ceritanya bukanlah satu pengisahan yang sebenarnya,
melainkan hanya dalam masa kenangan. Ibaratnya, bila kita bercermin mungkin
kita akan teringat atau terkenang seseorang. Proses pencerminan itulah titik
utamanya, sedang kenangan/ingatan hanyalah bayang-bayang.
1
Tanah Tebu
Namanya Dahlan, lengkapnya Muhammad Dahlan. Seorang anak lelaki
yang tinggal di sebuah desa bernama Kebon Dalem, Magetan. Hari itu adalah hari
pembagian ijazah di SR Bukur, sekolah tempat Dahlan bersekolah. Di ijazahnya
ada dua nilai merah yaitu untuk nilai pelajaran Berhitung dan Bahasa Daerah,
sedangkan pelajaran lainnya ada yang bernilai enam, tujuh, delapan, dan
sembilan. Sayangnya, nilai dua nilai merah tetap saja membuat bapaknya
memarahinya.
Kemudian ibunya pun bertanya ke mana dia hendak melanjutkan sekolah.
Dahlan pun menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMP
Magetan. Sayangnya, bapaknya menentang. Dia menyuruh Dahlan untuk sekolah
di Tsanawiyah Takeran. Satu keputusan yang tak bisa ditawar, kecuali dengan
satu cara. Dan Dahlan berencana menggunakan cara itu.
2
Muslihat Gagal
Pagi hari, setelah bangun tidur, dia menjalankan rencananya. “Aku mimpi
bertemu Kiai Mursjid,” katanya. Demi mendengar nama seseorang yang sangat
dihormatinya, Bapak pun langsung duduk bersila memandang Dahlan. “Apa
3
pesan Kiai Mursjid, Le?” tanyanya. Dahlan pun menjawab bahwa kiai itu
berpesan agar dia tidak berhenti sekolah. “Lalu kamu jawab apa?” tanya Bapak
lagi. Dahlan yang semula berencana ‘menyalahgunakan’ nama Kiai Mursjid untuk
membuat Bapak mengijinkan dia sekolah di SMP Magetan justru merasa bersalah.
Dia tidak tega membohongi bapaknya. Pada akhirnya dia justru mengatakan
bahwa dia akan sekolah di Pesantren Takeran karena Kiai Mursjid berpesan
bahwa kewajiban utama keluarga mereka adalah menjaga kelangsungan Pesantren
Takeran.
3
Masa Orientasi
…kemiskinan bukan halangan untuk mereguk ilmu sebanyak mungkin…Tuhan
selalu mengabulkan doa orang-orang yang memiliki keyakinan dan kemauan
yang kuat untuk mewujudkan harapan. ( Petuah Ustaz Ilham,hlm. 37 )
Dahlan dan Bapak pun pergi mendaftar ke Pesantren Takeran. Bapak pun
membacakan kaligrafi yang ada di dinding salah satu bangunan pesantren.
Tulisannya menggunakan huruf Arab tapi bahasanya menggunakan Bahasa Jawa.
Yang pertama, Ojo kepengin sugih, lan ojo wedi mlarat. Jangan berharap kaya,
dan jangan takut miskin. Nasihat ini rupanya memiliki makna yang tidak seharfiah
itu. Kelak, ketika Dahlan mendapat suatu amanah, Bapak menjelaskan bahwa
kalimat “Ojo kepengin sugih” bukan hanya nasihat agar tidak terlalu memburu
harta tapi juga juga berarti “jangan meminta-minta jabatan”. Yang kedua, Sumber
bening ora bakal nggolek timbo. Sumur jernih tidak akan mencari timba. Kelak,
ketika ada pemilihan pengurus santri bahwa itu adalah nasihat agar tidak
menghabiskan waktu mencari jabatan, tetapi ketika mendapatkan amanah harus
dilaksanakan. Yang ketiga, Pilih ngendi, sugih tanpo iman opo mlarat ananging
iman. Pilih mana, kaya tapi tidak beriman, atau miskin tapi beriman.
4
4
Batik Tegal Arum
Begitulah. Sejak itu Dahlan harus berjalan kaki sejauh enam kilometer,
pergi dan pulang sekolah. Andai dia punya sepatu, perjalanan enam kilometer itu
mungkin tidak akan membuat kakinya melepuh atau lecet-lecet, begitu lebih
kurang yang ada di pikirannya.
Dahlan harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki.
Sepulang sekolah, dengan perut yang masih kelaparan ia masih harus bekerja
sebagai nguli nyeset, nguli nandur dan ngangon domba. Begitu banyak beban
hidup yang harus ditanggung oleh anak seusia Dahlan. Namun meski mereka
hidup susah, Bapaknya selalu mengajar Dahlan dan saudara-saudaranya untuk
bekerja keras.
Ibu Dahlan adalah seorang wanita yang bekerja sebagai pembatik dan juga
mengajari ibu-ibu lain membatik di Kebon Dalem. Upahnya lumayan untuk
membeli kebutuhan rumah tangga, seperti beras, gula, minyak, bawang, dan
kebutuhan dapur lainnya.
Didalam kisah ini juga ada yang membuat saya penasaran, yaitu ketika ibu
Dahlan menyebutkan tentang Laskar Merah yang telah membawa Kiai Mursjid
dan paman-paman Dahlan di Pesantren Takeran. Semakin membuat saya ingin
terus membaca kisah selanjutnya untuk menemukan titik terang.
5
Berhenti Merawat Luka
Selain menceritakan perjuangan Dahlan mengejar mimpinya memiliki
sepatu, pahitnya kehidupan yang dihadapinya, dan juga persahabatannya dengan
teman-temannya, novel ini juga mengungkap sejarah pembantaian masal di
sumur-sumur tua di Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan, Magetan terhadap
anggota atau simpatisan PKI. Rasa penasaran saya pun semakin bertambah ketika
sahabat Dahlan, si Kadir selalu terdiam dan matanya berkaca-kaca setiap
mendengar cerita Laskar Merah. Apakah ada hubungan antara Kadir dan Laskar
Merah?
5
6
Riwayat Sumur Tua
Laskar Merah, begirulah orang-orang tua di kampung Kebon Dalem
menamai pasukan bentukan “sayap kiri” Front Demokrasi Rakyat. Pada
September 1948, di Madiun berdirilah sebuah negara, Republik Soviet Indonesia
dan siapa saja yang menentang mereka pada saat itu akan diamankan. Mereka
akan benar-benar dibersihkan (tawanan-tawanan) dengan disemayamkan di sumur
tua Soco, sebuah sumur tua di tengah tegalan ketela di Cigrok.
7
Senyum Ibu
Bagiku, menulis tak ada bedanya dengan obat, menyembuhkan luka akibat
sayatan kepedihan.(hlm.80)
Hari berlalu. Pagi itu, Dahlan mencari-cari ibunya dan menemukan ibunya
sedang terbatuk-batuk lalu muntah darah. Bapak pun membawa Ibu ke rumah
sakit. Dahlan ditinggal berdua dengan Zain, adiknya. Lalu adiknya menangis,
Dahlan mengira adiknya menangis karena melihat ibunya sakit, tapi ternyata ia
menangis karena mengeluh lapar.
Disini saya benar-benar tersentuh, air mata pun sampai keluar ketika
seorang Dahlan kecil yang harus dihadapkan dalam kerasnya kehidupan, ibu yang
sakit, Bapaknya pun pergi menemani ibunya, dan dia harus bertanggung jawab
mengurus adik kecilnya.
8
Lolos Tanpa Mantra
Tak tahan terus mendengar keluhan adiknya, Dahlan memutuskan mencuri
tebu. Ia tahu apa yang harus ia tanggung jika ia ketahuan oleh para mandor sangar
yang sedang menjaga kebun tebu itu. Disini saya mengalami rasa tegang, karena
takut kalau-kalau Dahlan kecil akan ketahuan oleh para mandor, dan ayangnya, ia
benar-benar ketahuan. Ia pun dihukum mondok (kerja sukarela) minggu depan.
Lalu Dahlan pun pulang membawa sebatang tebu untuk dia dan Zain. Sorenya,
ketika mereka bingung mencari makanan untuk mengganjal perut mereka,
6
Komariyah, kawan akrab Dahlan, datang membawa tiwul, ikan teri, dan sambal
terasi.
9
Gitar Kadir
Janganlah aku dirayu, janganlah aku digoda, tak sanggup kumenahan
beban kasih asmara (lirik lagu beban asmara)
Keesokan harinya, ketika pelajaran kosong, Dahlan bernyanyi dengan
diiringi petikan gitar Kadir. Kadir duduk di bangku bambu panjang, yang setiap
ujungnya diapit dua batang cemara, dan Dahlan duduk disampingnya. Mereka
bernyanyi lagu dangdut berjudul “Beban Asmara”. Banyak teman-teman mereka
yang menonton, salah satunya gadis bernama Aisha, yang kemudian memuji
bahwa suara Dahlan bagus. Gadis inilah yang membuat Dahlan jatuh cinta.
Sayangnya, Dahlan kemudian justru dihukum karena “mengganggu pelajaran”
kelas lain. Dia dan Kadir dihukum untuk membersihkan sekolah esok harinya.
“Disiplin itu lahir dari kemauan dan kesungguhan kalian sendiri, bukan
dari peraturan atau ketegasan guru-guru dalam menegakkannya.” ( Ustad
Ilham,hlm.105 )
10
Miskin Harta Kaya Iman
“Ojo wedi mlarat. Yang penting tetap jujur! Kita boleh miskin harta tapi
ndak boleh miskin iman” ( Mbak Sofwati,hlm.109)
Dalam kisah ini mbak Sofwati menasehati Dahlan untuk tidak mencuri
walaupun mereka dilanda rasa lapar yang tak tertahankan. Mbak Sofwati
menyuruh mereka untuk mencari ikan di sungai atau meminta pekerjaan kepada
Mandor Komar dan digaji dengan sebatang-dua batang tebu ketika mereka sedang
merasa lapar.
“Lapar ndak berarti harus maling, Dik. Bukan karena nama baik keluarga, tapi
Mbak takut itu jadi kebiasaan. Setiap perut kalian lapar, nyuri jadi pilihan
Demikianlah, Dahlan sesudah itu tidak lagi mencuri tebu. Setiap ia lapar,
sarung memiliki fungsi, yaitu menahan rasa lapar tersebut dengan cara
mengikatkan sarung sekencang-kencangnya di perut.
7
“Kita boleh miskin harta, Dik, tapi ndak boleh miskin iman. Ingat
semiskin apa pun kita, Bapak dan Ibu ndak rela kalau kita meminta-minta belas
kasihan tetangga, keluarga atau siapa saja.”
Betapa saya tersentak dengan kalimat di atas. Betapa dalam, dan sungguh
kemiskinan tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengemis. Kita diperlengkapi
oleh Yang Maha Kuasa dua tangan, dua kaki, mulut untuk berbicara, otak untuk
berpikir, sehingga ketika kita miskin kita sebenarnya tidak layak untuk
memiskinkan hati kita, memiskinkan iman kita dengan menjadi peminta-minta
dan meminta belas kasihan orang lain.
11
Sepeda Maryati
Apa pun itu, aku suka matamu (catatan harian Dahlan hal 121)
Dalam perjalanan menuju sekolah, Dahlan bertemu dengan Maryati.
Maryati mengajak Dahlan untuk mencoba mengendarai sepedanya. Ketika sedang
mencoba bersepeda tiba-tiba saja Maryati naik dan membuat Dahlan kehilangan
keseimbangan. Akibatnya Dahlan tidak jadi berangkat sekolah karena insiden
sepeda bersama Maryati. Dia yang sudah setengah jalan pun memutuskan pulang
ke rumah.
12
Suara-Suara Tak Terkatakan
Ketika Dahlan ingin pulang ke rumah, ia merasakan ada hal yang berbeda
dari rumahnya. Ternyata di rumahnya sudah banyak orang dan melantunkan ayat-
ayat Al-Qur’an. Ibunya sudah dibawa pulang dari rumah sakit, tapi bukannya
sudah sembuh, melainkan sudah meninggal.
Kisah ini benar-benar membuat saya tersentuh dan tak tahan menahan air
mata, ketika Dahlan harus kehilangan sosok wanita yang sangat ia cintai, ibu satu-
satunya harus pergi meninggalkan ia dan keluarga selama-lamanya.
8
13
Teguran Juragan Buah
Dalam episode ini juragan buah sang ayah Maryati meminta tanggung
jawab Dahlan yang telah merusak sepeda anaknya. Ayah Dahlan pun
menawaarkan untuk menukarkan tiga ekor domba milik Dahlan dan
menukarkannya dengan sepeda ringsek milik Maryati. Ia merasa sangat bersalah
dan lagi-lagi membuat ayahnya kecewa dengan sikapnya
14
Pemberontakan Para Domba
Kemiskinan bukan untuk ditangisi. Hidup bagi orang miskin sepertiku
harus dijalani apa adanya (hal 147)
Sejak pertukaran tiga ekor domba milik Dahlan dengan sepeda Maryati,
hari-hari Dahlan seperti dipenuhi perasaan nelangsa. Sejak kejadian itu, bapak
Dahlan jarang menegurnya, ketika ditegur, bapak hanya memberikan senyuman
tanpa sepatah kata.
Saat siang hari di langgar, ayah Dahlan bercerita kepada anak-anak kebon
Dalem tentang seorang laki-laki miskin dari kaum Anshar yang mendatangi
Rasulullah untuk meminta sedekah agar keluarganya bisa makan pada hari itu.
Bapak pun menceritakan kisah itu dengan hikmat dan di simak baik-baik oleh
para anak-anak. Setelah mendengar kisah itu, membuat Dahlan ingin menjadi
sosok laki-laki itu, yang tidak akan meminta belas kasihan orang lain.
15
Ojo Kepingin Sugih
Pada bab ini menceritakan Dahlan diangkat sebagai Pengurus Ikatan
Santri. Tak heran , walau dalam belitan kemiskinan prestasi tetap dapat
ditorehkan. Walau tanpa sepatu, posisi kapten tim bola voli dipegang. Pengurus
ikatan santri pun disandang. Dua syarat ‘kepemimpinan dipenuhinya.
“ Pertama, santri tu harus tawaduk,harus rendah hati. Terpilih menjadi
pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah sekehendak
hati, melainkan menjadi pelayan bagi orang-orang yang dpimpinnya. Kedua,
harus tawakal. Dunia ini persinggahan semata. Jabatan adalah amanat yang
9
dilimpahkan kepada kita, kelak akan dimintai tanggung jawab. Menjadi pemimpin
bukan untuk gagah-gagahan atau cari pamor. Siapa pun yang terpilih harus siap
bekerja. “ ( Kiai Irsjad,hlm.158 )
16
Kelapa Gading
“Pak, ndak ada tiwul?
Bapak tersenyum lembut, “Puasa dulu Le.”
Aku mengangguk mendengar jawaban Bapak sambil memegang perut yang mulai
terasa perih. Sebenarnya ingin sekali mengatakan betapa laparnya perutku, tapi
jawaban Bapak sudah menerangkan segalanya, tak ada lagi yang patut
dipertanyakan.
Bagi orang miskin, rasa lapar adalah hal sehari-hari yang harus dijalani.
Namun sering untuk mengatasinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada
episode ini Dahlan dan teman-teman mengambil buah kelapa untuk mengganjal
perut mereka yang kelaparan. Saat Zain sang adik ingin meminta, Dahlan
menyuruhnya untuk mengambil kelapa sendiri. Alhasil sang adik terjatuh di
dalam parit dan tak sadarkan diri.
17
Luka di Mata Zain
Setelah kejadian yang menimpa Zain, Zain lebih banyak diam dan tak
merespon setiap sang kakak Dahlan menyapa atau bertanya kepadanya.
Sepertinya Zain masih merasa kesal dengan Dahlan.
18
“Logika Berdoa” untuk Aisha
Pada saat Dahlan dan teman-temannya menginap di langgar bersama Zain,
tiba-tiba saja Zain sakit, wajahnya pucat pasi. Saat Kadir sedang merapikan kain
sarung, dia mendapati ada sebuah sarung yang dililitkan sangat ketat di perut
Zain. Itu adalah cara termudah bagi mereka untuk menahan lapar.
10
Saat di sekolah Dahlan sibuk memikirkan sang gadis, yang berambut
panjang, Aisha. Dia menulis sebuah catatan dan itu diketahui oleh Ustad Hamim
dan meminta Dahlan untuk membacakan logika berdoa yang ia tulis tentang
Aisha.
19
Kupatan
Saat lebaran tiba, inilah saat yang mereka tunggu, yaitu tradisi kupatan,
begitulah orang jawa biasa menyebuutnya. Begitulah tradisi, yang mereka bilang
“pemborosan “ yang terjadi satu tahun sekali. Masyarakat pedalaman meyakini
kupatan adalah tradisi peninggalan Wali Songo yang kerap mengajarkan nilai-
nilai Islam dengan menyerap simbol-simbol kejawaan.
20
Jangan Terlalu Merasa Bahagia
Episode ini juga membuat aku tersentuh dan tahan menahan rasa sedih.
Rasa sedih yang dialami Dahlan ketika sang kakak Mbak Atun akan pergi ke
Kalimantan, tepatnya di Samarinda bersama sang paman. Semua yang ada
menangis dan merasa sangat sedih dengan kepergian sang kakak sulung ke
Samarinda dan meninggalkan mereka.
21
Smash!
Dalam episode ini sekolah Dahlan akan bertanding voli dengan “sekolah
negara”. Sebelum pertandingan, tepatnya ketika mereka sedang menyusun strategi
Maryati memberikan mereka sebuah kardus, yang ternyata isinya adalah baju
seragam.Maryati mendapatkannya dari hasil sumbangan para santri dan para
orang tua murid. Dengan bangga sekolah Dahlan memenangkan pertandingan
dendan skor pada set pertama 15-3 dan 15-0 pada set kedua. Penonton yang
didominasi oleh warga Takeran punbergemuruh menyambut kemenangan mereka.
11
22
Si Kumbang dan Pesta Opor
Dalam episode ini Nanang yang terkenal mahir menunggang kerbau akan
bertanding dalam balapan kerbau. Kerbaunya bernama Si Kumbang, akan
melawan milik Bejo Si Petir. Tapi ketika pertandingan, Nang sempat tak
sadarkan diri karena ia terlempar ke pematang dan badannya dipenuhi oleh
lumpur. Walaupun begitu mereka sangat menikmati suasanan saat-saat seperti itu.
Mereka juga senang karena selama seminggu pertama Syawal, opor ayam ,
ketupat, dan sayur lodeh tak berhentihenti memasuki perut mereka.
23
Tragedi Sepatu Bekas
Upaya mencuri yang sia-sia (hal 263)
Dahlan pun masuk tim bola voli di sekolahnya. Tim mereka berhasil
masuk ke babak final pertanding bola voli tingkat kabupaten. Sayangnya, untuk
bertanding di final, semua pemain harus memakai sepatu. Dahlan tidak punya
sepatu. Begitu juga Fadli, salah satu anggota tim mereka. Dahlan berniat untuk
mengambil uang yang ada dalam celengan milik bapaknya yang ada dalam kotak
terlarang, begitulah ia menyebutnya. Ia hanya mempunyai uang 7.500 yang ia
dapatkan dari hasil mencuri uang simpanan bapak. Bersama Arif, Dahlan ingin
membeli sepatu di pasar Madiun, tapi sayang, uang yang ia miliki tidak cukup
untuk membeli sepatu, walaupun itu hanya sepatu bekas.
24
Patriot Sejati
Dahlan beserta kawan-kawan sangat khawatir, karena Dahlan dan Fadli
masih tidak mempunyai sepatu. Namun, ternyata kawan-kawan mereka sudah
mengumpulkan dana untuk membeli sebuah sepatu bekas untuk mereka pakai.
Mereka pun bisa bertanding. Sayangnya, sepatu itu kekecilan di kaki Dahlan
maupun Fadli. Namun, semangat mereka tetap bisa membuat mereka
12
memenangkan pertandingan. Dahlan pun melepaskan sepatu itu lalu
mengalungkannya di lehernya.
Setelah mereka menerima piala, Pak Camat menghampiri Dahlan dan
berkata, “Bisa kamu pakai le sepatumu? Bapak ingin merasakan lagi semangat
juangmu.” Dahlan pun menurutinya. Dia memakai sepatu itu dan ternyata
jempolnya melesak keluar. Teman-temannya tertawa. Tapi, Pak Camat sama
sekali tidak tertawa. Dia menjabat tangan Dahlan dengan mata berkaca-kaca.
Katanya, “Bapak dengar kamu pertama kali pakai sepatu?”
25
Misteri Purwodadi
Episode ini menceritakan Kadir yang sangat merasa kehilangan karena
sang ibu entah dibawa kemana oleh para tentara. Akhirnya ia memutuskan untyuk
mencari sang ibu, dia meminta Dahlan untuk menyampaikan kepada wali kelas
bahwa ia tidak akan mengikuti pelajaran seperti biasa. Kadir akan menyusul sang
ibu ke Purwodadi. Menurut orang-orang, banyak orang yang dibunuh tentara.
Mereka dituduh membela PKI.
26
Kesaksian Kadir
Pertemanan barangkali, memang harus diuji dengan perbedaan (hal 300)
Kadir menceritakan kepada teman-temannya mengenai kisah ayahnya
yang pernah dituduh sebagai anggota Laskar Merah. Setelah mendengar semua
cerita dan kesaksian Kadir, tiba-tiba saja Imran marah terhadap Kadir, karena
Imran merasa ia selama ini telah berteman dengan keluarga pembunuh yang telah
membunuh keluarga Imran.
27
Perseteruan Murid Zen
Dahlan yang bingung dengan apa yang harus ia lakukan terhadap Imran
yang masih marah dengan Kadir. Ia pun menceritakan masalah yang sedang ia
hadapi kepada sang bapak. Kemudian Bapak meminta Dahlan untuk
mengumpulkan anak-anak di langgar. Seperti biasa, sang bapak dengan bijak
13
bercerita tentang perseteruan murid Zen. Setelah mendengar kisah yang telah
diceritakan oleh bapak Dahlan, Imran pun meminta maaf kepada Kadir.
28
Geletar Asing di Jalan Takeran
Ketika Dahlan, Kadir dan teman-temannya sedang memancing, mereka
memperhatikan ada geletar asing, yaitu obor-obor yang menyala yang menuju
rumah Kadir. Tiba-tiba Kadir langsung berlari menuju arah obor itu berada, dan n
benar yang ia perkirakan sang ibu telah pulang, tapi dalam keadaan yang parah,
dengan luka memar dimana-mana. Mereka akhirnya memutuskan untuk
membawa bu Sulastri, ibu Kadir kerumah sakit dengan biaya dari membuka
celengan bersama mereka yang mereka tabung selama ini.
29
Akhirnya punya sepatu
Dan Senin, lusa, aku ke sekolah dengan “sepatu baru”(hal 334)
Ini adalah sesuatu yang sangat ditunggu oleh Dahlan, yaitu saat-saat
memiliki sepasang sepatu. Tanpa terasa selama tiga bulan dia telah melatih putra-
putri di PG. Gorang Gareng dan berhasil menyabet gelar terbaik dalam
pertandingan. Walaupun dalam melatih ia dihadapkan dengan beberapa masalah,
yaitu Fauzan, sosok yang tidak mau dinasehati dan hanya ingin menang sendiri.
Akhirnya Fauzan pun dengan tegas dikeluarkan oleh Dahlan dari tim karena
dianggap sebagai penghalang.
Dengan upah Rp.30.000, dan Rp.12.000 akan ia bayarkan kepada Arif
untuk membayar sepeda. Dahlan pun meminta izin dari Bapak akan membeli
sepatu ke Pasar Madiun. Tiba-tiba saja sang ayah mengambil setumpuk uang yang
ada dalam kotak perkakas, jumlahnya Rp.12.000 untuk memambahkan Dahlan
membeli sepatu. Akhirnya Dahlan membeli sepatu, tidak hanya sepasang, tapi dua
pasang, yang satu untuk sang adik, Zain.
30
Di Bawah Rindang Trembesi
Aku tak tahu apakah sepatu dan sepeda itu termasuk cita-cita atau hanya
mimpi remaja semata, sepertiku (hal 337)
14
Hari kelulusan pun telah tiba, di bawah rindang trembesi di halaman
gedung berbentuk U, Dahlan membayangkan nasib baru yang akan digariskan
Tuhan untuknya. Bayangan perpisahan pun memaksa Dahlan dan teman-teman
untuk membisu. Walaupun perpisahan yang harus mereka hadapi, tapi ada kabar
bahagia dari Arif, yaitu ia akan menikah dengan sahabatnya, Komariyah.
31
Surat penting
Satu hal yang menarik dari novel ini, adalah diselipkannya beberapa
catatan dalam buku harian Dahlan kecil. Terlepas dari catatan itu memang benar
ada atau tidak, disitu sangat terlihat bahwa Dahlan merupakan sosok yang mahir
menulis sejak duduk dibangku Madrasah Tsanawiyah. Ada satu catatan yang
sangat saya suka, catatan ini ditulis saat Dahlan ingin membalas surat dari Aisha,
namun karena dipikirnya surat ini terlalu berkelok dan berbunga-bunga, maka
dibatalkannya untuk mengirimkan surat tersebut,
Barangkali harapan ini hanya semacam doa yang memeluk kehampaan
sebagai kamu. Tapi, biarlah. Sesekali perlu mengajariku cara tercepat
meninggalkan masa silam meski aku tak yakin kamu akan “hilang” begitu saja di
masa depanku. Kadang, setiap merindumu aku menegarkan hati dengan merapal
mantera “semoga”, dan berharap mantera itu mustajab untuk mengembalikan
“yang pergi” dan memulangkan “yang lupa”. Walaupun setiap mataku membuka
kamu tetap pergi dan tetap lupa kembali.
Itu adalah petikan surat yang tak jadi Dahlan balas untuk Aisha, ia benar-
benar bingung harus menjawab apa. Karena syarat yang diajukan Aisha baginya
sangat berat, yaitu harus menjadi sarjana mudda tiga tahun kedepan.
32
Stasiun Madiun
Di jantung Rinduku kamu adalah keabadian
Yang mengenalkan dan mengekalkan kehilangan
Kita bertemu di Stasiun Madiun, besok pagi pukul 09.00
15
Tiga tahun terlalu lama untuk sebuah penantian (surat Dahlan untuk
Aisha hal.363)
Tahun demi tahun telah Dahlan dan Zain lewati, menjalani hidup tekun
dengan mengembala, nguli nandur, atau nyeset, mengumpulkan ranting kering,
dll. Baginya jika ia terus menjalani hidupnya di Kebon Dalem akan tetap sama
dan tak ada perubahan. Dahlan pun membujuk bapaknya untuk membolehkan ia
pergi merantau ke Samarinda, pertama bapak dan Zain tidak memberikan izin
untuk Dahlan pergi kuliah ke Samarinda. Tapi akhirnya bapak ingat akan
wejangan Kiai Mursjid agar tidak mengekang santrinya yang ingin maju dan
menuntut ilmu. Restu pun ia dapatkan dari sang ayah untuk pergi ke Samarinda.
Tak lupa ia membalas surat Aisha, sehari sebelum keberangkatan Aisha ke Yogya.
Rasanya saya sangat penasaran dengan akhir kisah cinta Pak Dahlan Iskan
dengan Aisha, apakah mereka bertemu di stasiun Madiun dan saling menunggu
satu sama lain?
Epilog
Mimpi Baru
Dalam epilog ini menceritakan tentang akhir dari operasi liver yang
dijalani Dahlan. Hal yang membuat saya tersenyum yaitu ketika ia ingin
memastikan apakah ia masih hidup atau tidak dengan bertanya jam, karena saat
membuka mata ia melihat angka sebelas. Akhir yang bahagia dari operasi yang ia
jalani, semua orang turut berbahagia karena Dahlan masih bisa bertahan hidup. Di
akhir kisah pada jam 12.00, 2007, Dahlan tertidur lagi dan memasuki mimpi
memeluk sepatu dengan ujung yang bolong dan tumit yang berserabut.
Itu adalah separuh ringkasan cerita Sepatu Dahlan karya Khrisna
Pabichara. Menurut saya novel ini sederhana tapi maknanya dalam dan
menyentuh. Sebuah kisah tentang seorang anak dengan cita-cita sederhana: sepatu
dan sepeda. Bagi orang lain, mungkin itu hal remeh, tapi bagi Dahlan, itu sangat
mewah. Novel ini juga mengajarkan tentang kemiskinan. Bahwa kemiskinan
bukan alasan untuk mencuri atau melakukan hal tercela lainnya. Boleh miskin
harta asal jangan miskin iman. Novel ini juga mengajarkan tentang kerja keras.
16
Tokoh Dahlan ini bisa dibilang prigel. Rajin bekerja, meskipun usianya masih
muda. Mulai dari angon domba, nguli nyeset, pokoknya apa saja.
. Kehidupan Dahlan kecil yang serba kekurangan terkisahkan dengan
sangat baik sehingga menyentuh nurani kita yang mungkin lebih beruntung
dibanding Dahlan kecil. Novel ini juga menyadarkan kita bahwa kemiskinan
bukanlah akhir dari segala-galanya malahan dalam sebuah petuahnya, ayah
Dahlan berkata bahwa “Kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan
mematangkan jiwa”.
Sejarah hidup Dahlan telah membuktikan petuah ayahnya ini, Dahlan kecil
memang terlihat lebih matang dibanding anak seusianya dan kematangan jiwanya
itulah yang juga menghantarnya hingga bisa menjadi seorang menteri yang
disgani. Masa kanak-kanaknya harus dilalui dengan keras, ketika anak-anak lain
beria-ria bermain atau beristirahat sepulang sekolah, Dahlan harus menyabit
rumput, mengangon domba, menjadi kuli seset di kebun tebu, dll untuk membantu
keluarganya. Walau hidupnya sulit Dahlan tak lantas kehilangan keceriaannya,
novel ini menceritakan dengan jelas bagaimana anak-anak miskin seperti Dahlan
tetap memiliki keceriaan masa kanak-kanak dengan caranya sendiri.
Seluruh kisah Dahlan dan mimpinya dalam novel ini memang patut untuk
diapresiasi dengan baik. Penulis mampu merangkai sebuah kisah yang menarik
dari awal hingga akhir dengan nuansa sastrawi yang menarik sehinga novel yang
diawali saat Dahlan Iskan hendak dioperasi cangkok liver di tahun 2007 lalu flash
back ke masa kecil Dahlan ini tak hanya enak dibaca melainkan mampu
melibatkan emosi pembacanya dan menginpirasi pembacanya untuk tidak
menyerah oleh keterbatasan.
Bersyukur walau yang dikisahkan dalam novel ini adalah sosok seorang
tokoh terkenal namun penulis tak terjebak dalam menulis hal-hal yang baiknya
saja. Dahlan dalam novel ini tidak digambarkan sebagai sosok yang sempurna,
sama seperti anak-anak lainnya Dahlan juga dikisahkan melakukan kenakalan
seperti anak-anak lainnya seperti mencuri tebu, mencoba membongkar lemari
ayahnya agar bisa mendapat uang untuk membeli sepatu, memiliki nilai merah di
raportnya, dan sebagainya.
17
Sepatu yang menjadi impian Dahlan kecil mengikat keseluruhan kisah
dalam novel ini sehingga pembaca dibuat ikut merasakan bagaimana besarnya
keinginan Dahlan untuk memiliki sepatu. Tentunya ada banyak sisi-sisi menarik
yang bisa digali dan dikisahkan saat Dahlan untuk pertama kalinya memiliki
sepatunya hasil dari jerih upayanya sendiri.
Terlepas dari hal di atas dengan segala kelebihan dan kelemahannya novel
ini sepatutnya dibaca oleh siapa saja dengan range usia yang cukup panjang, mulai
dari anak remaja hingga para orang tua. Ada banyak nilai-nilai kekeluargaan,
kedisiplinan, ketekunan, perjuangan, persahabatan, plus romansa remaja yang
tercemin dalam kisah Dahlan dan sepatunya ini.
Selain itu melalui novel ini pula kita bisa memahami apa yang melatari
sosok Dahlan Iskan seperti yang kini dikenal dengan kenyentrikan,
kesederhanaan, dan kerja kerasnya.
“mata berkunang-kunang, keringat bercucuran, lutut gemetaran, telinga
berdenging..siksaan akibat rasa lapar ini memang tak asing…sungguh aku butuh
tidur…sejenak pun bolehlah..supaya lapar ini terlupakan” [kutipan dari belakang
cover]
18