Post on 03-Aug-2020
PUTUSAN Nomor 13/PUU-XVI/2018
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Nama : Indonesia for Global Justice (Indonesia untuk
Keadilan Global), diwakili oleh Rachmi Hertanti,
selaku Direktur Eksekutif.
Alamat : Jalan Duren Tiga Raya Nomor 9, Pancoran, Jakarta
Selatan;
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon I;
2. Nama : Indonesia Human Rights Committee for Social
Justice (IHCS), diwakili oleh Henry David Oliver,
selaku Ketua Eksekutif.
Alamat : Jalan Pengadegan Utara I Nomor 11, Pancoran,
Jakarta Selatan;
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon II;
3. Nama : Serikat Petani Indonesia (SPI), diwakili oleh Henry
Saragih selaku Ketua Umum Badan Pelaksana.
Alamat : Jalan Mampang Prapatan XIV Nomor 5, Jakarta
Selatan;
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon III;
4. Nama : Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), diwakili
oleh Dwi Astuti selaku Ketua Pengurus.
Alamat : Jalan Saleh Abud Nomor 18-19, Otto Iskandardinata,
Jakarta Timur;
2
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon IV;
5. Nama : Aliansi Petani Indonesia (API), diwakili oleh
Muhammad Nur Uddin selaku Sekretaris Jenderal.
Alamat : Jalan Kayu Manis I Lama Nomor 3 RT 02/RW 08
Kelurahan Palmeriam, Matraman, Jakarta Timur;
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon V;
6. Nama : Solidaritas Perempuan (SP), diwakili oleh Puspa
Dewy selaku Ketua Badan Eksekutif.
Alamat : Jalan Siaga II, RT. 002, RW. 005, Nomor 36, Kelurahan
Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan;
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon VI;
7. Nama : Perkumpulan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan
Perikanan (KIARA), diwakili oleh Susan Herawati
Romica selaku Sekretaris Jenderal.
Alamat : Jalan Mangga Blok M Nomor 23, Jakarta Selatan;
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon VII;
8. Nama : Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and
Democracy (FIELD), diwakili oleh Widyastama
Cahyana selaku Direktur Eksekutif.
Alamat : Jalan Teluk Peleng 87A, Komplek TNI AL Rawa
Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan;
Sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon VIII;
9. Nama : Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), diwakili oleh
Mansuetus Alsy Hanu selaku Ketua Badan Pengurus;
Alamat : Jalan Perumahan Bogor Baru Blok A5 Nomor 17,
Bogor, Jawa Barat;
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon IX;
10. Nama : Amin Abdullah
Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional
Alamat : Lungkak, Kelurahan Ketapang Raya, Kecamatan
Keruak Kabupaten Lombok Timur;
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon X;
11. Nama : Mukmin
Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional
3
Alamat : Serumbung, Kelurahan Pemongkong, Kecamatan
Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon XI;
12. Nama : Fauziah
Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional
Alamat : Serumbung, RT. 001, Kel. Pemongkong, Kecamatan
Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur;
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XII;
13. Nama : Baiq Farihun
Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional
Alamat : Lungkak, Kelurahan Ketapang Raya, Kecamatan
Keruak;
Sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon XIII;
14. Nama : Budiman
Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional
Alamat : Pengoros, Kelurahan Sekaroh, Kecamatan Jerowaru.
Sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon XIV;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing bertanggal 1
Februari 2018, 12 Februari 2018, dan 13 Februari 2018 memberi kuasa kepada
Henry Davod Oliver Sitorus, S.H., M.H., Ecoline Situmorang, S.H., M.H., Ridwan
Darmawan, S.H., Janses E. Sihaloho, S.H., B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., Riando
Tambunan, S.H., Ahmad Marthin Hadiwinata, S.H., M.H., Priadi, S.H., Anton
Febrianto, S.H., Arif Suherman, S.H., Muhammad Rizal Siregar, S.H., Reza
Setiawan, S.H., Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., M.A. Arifian Nugroho, S.H., Azis
Purnayudha, S.H., Imelda, S.H., Rahmat Maulana Sidik, S.H., dan Gelar Lenggang
Permada, S.H., Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ekonomi,
yang berkedudukan hukum di Kantor Indonesia Human Rights Committee for Social
Justice (IHCS), Jalan Pengadegan Utara 1 Nomor 1, Pancoran, Jakarta Selatan,
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
4
[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Mendengarkan dan membaca keterangan Presiden;
Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan ahli Presiden;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 14 Februari 2018, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari
Rabu, tanggal 14 Februari 2018, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 22/PAN.MK/2018 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 13/PUU-XVI/2018 pada hari Senin, tanggal 19 Februari
2018, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal
19 Maret 2018, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. PENDAHULUAN
Dalam hukum nasional Indonesia, aturan mengenai ketentuan teknis dan
prosedural pengikatan Indonesia terhadap perjanjian internasional merujuk
kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Sementara itu, hukum internasional juga telah mengatur tata cara
pengikatan sebuah perjanjian internasional.
Dalam perkembangan hukum internasional terdapat dua konvensi yang
berkembang dari kebiasaan internasional mengenai Perjanjian Internasional
yaitu: Pertama, Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional
yang banyak mengatur perjanjian-perjanjian internasional antara negara dan
negara saja, dan; Kedua, Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian
Internasional antara Organisasi Internasional dan Negara dan antara Organisasi
Internasional dan Organisasi Internasional yang sesuai dengan namanya
mengatur tentang perjanjian internasional antara organisasi internasional dan
negara ataupun perjanjian internasional antara sesama organisasi internasional.
5
Indonesia tidak meratifikasi Konvesi Wina. Namun, Konvensi Wina tentang
Perjanjian Internasional (Konvensi Wina) telah menjadi hukum kebiasaan
internasional. Untuk hukum kebiasaan internasional, keterikatan bermula ketika
negara yang bersangkutan secara sukarela ikut mempraktikkan kebiasaan
internasional dan menerima serta menjalankan praktik itu sebagai hukum. Suatu
negara tidak terikat dengan hukum kebiasan ketika negara menunjukkan diri
sebagai persistent objection (menolak secara konsisten) terhadap kebiasan itu.
Sehingga misalnya, ketika Indonesia tidak pernah menunjukkan diri sebagai
persistent objector terhadap suatu norma hukum kebiasaan internasional,
bahkan menjalankan praktik itu dan menerimanya sebagai hukum, negara
Indonesia dengan demikian terikat dengannya.
Terikatnya suatu negara pada perjanjian internasional dibutuhkan pernyataan
persetujuan untuk terikat pada perjanjian tersebut. Namun, jika sebuah negara
tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian internasional
maka perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikatnya. Oleh karena itu,
persetujuan atau penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian adalah
manifestasi dari kedaulatan setiap negara.
Pernyataan persetujuan atau tidak terhadap pengikatan kepada perjanjian
internasional tergantung pada kesepakatan para pihak yang membuat
perjanjian, hukum nasional masing-masing, dan tergantung dari kewenangan
yang diberikan kepada delegasi dari negara yang bersangkutan apakah
perjanjian yang ditandatangani perlu disahkan atau tidak sebelum mengikat.
Sebagian perjanjian internasional misalnya, mensyaratkan pengesahan
sebelum pernyataan pengikatan dilakukan. Sebagian yang lain hanya
mensyaratkan penandatanganan dan pemberitahuan kesediaan negara
bersangkutan untuk terikat. Sebagian negara memberikan kewenangan penuh
kepada delegasinya untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian tertentu,
sementara sebagian negara yang lain tidak memberikan kewenangan yang
demikian kepada delegasinya. Pembedaan dua kategori itu berhubungan
langsung dengan substansi perjanjian. Sehingga, untuk mengetahui mana suatu
perjanjian internasional yang membutuhkan pengesahan dan mana yang tidak,
menjadi penting.
Perlu dipahami, bahwa konsekuensi atas keterikatan atau tunduknya suatu
negara pada suatu perjanjian internasional terbagi dalam dua aspek, yakni:
6
aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternalnya adalah negara itu
memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional itu.
Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasionaI itu masuk dan
berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Oleh karena itu, pertimbangan
matang dan kontrol rakyat terhadap negara untuk terikat ke dalam perjanjian
internasional menjadi penting sebelum negara tersebut memberikan pernyataan
persetujuannya.
Undang-Undang Perjanjian Internasional patut diduga lahir karena
ketidaktepatan dalam meletakkan dan menentukan mana wilayah keberlakuan
hukum nasional dalam hal ini hukum administrasi negara dan hukum tata negara
di satu sisi, dengan wilayah keberlakuan hukum internasional di sisi lain.
Persetujuan atau penolakan DPR adalah tindakan atau perbuatan hukum dalam
lingkup hukum nasional yang diatur menurut hukum nasional, sementara
pernyataan pengikatan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan
persetujuan DPR tadi, adalah tindakan atau perbuatan hukum internasional
yang dilakukan berdasarkan hukum internasional.
Setelah empat belas tahun, kemudian dirasakan bahwa ragam isu yang
dimasukkan ke dalam Pasal 10 tidak cukup. Misalnya, disadari bahwa terdapat
isu perdagangan dan perlindungan investasi (penanaman modal) yang juga
membawa akibat luas dan fundamental serta tidak terbatas pada aspek-aspek
yang bersifat prosedural. Bahkan, lebih jauh lagi, diakui substansi perjanjian
perdagangan dan investasi (perlindungan penanaman modal) internasional
dapat menimbulkan konsekuensi keuangan negara dan membawa keharusan
mengubah undang-undang, sehingga perjanjian dengan karakteristik seperti ini
perlu mendapat pengesahan DPR sebelum pemerintah menyatakan
keterikatannya.
Kesalahan dalam mengkualifikasikan perjanjian internasional tentunya akan
berdampak terhadap hilangnya kontrol rakyat yang direpresentasikan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk secara hati-hati mengikatkan Indonesia
kepada perjanjian internasional yang akan membawa dampak secara langsung
terhadap kedaulatan negara. Sehingga hak-hak rakyat tidak akan dirugikan dan
tidak akan dilanggar atas penerapan perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional.
7
Bahwa banyak perjanjian internasional yang merugikan rakyat, dan tanpa
melibatkan masyarakat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional tersebut. Bahwa padahal, perjanjian internasional yang
diratifikasi dan/atau disahkan oleh Pemerintah membawa dampak yang luas
bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekonomi dan perdagangan. Namun,
masyarakat tidak diberikan mekanisme untuk mengontrol setiap perjanjian
internasional yang disahkan tersebut. Karena, kewenangan persetujuan DPR
sebagai representasi rakyat dihilangkan dalam Undang-Undang No. 24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional.
B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Hak Uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem
hukum kita, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, yang telah mengalami perubahan sebanyak
empat kali, dalam Pasal 24 ayat (1), yang menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya …. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan hak uji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Pasal 24C
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang
selengkapnya menentukan sebagai berikut:
Pasal 24C ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
3. Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
8
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Bahwa Pasal 1 angka (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa
“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
5. Bahwa selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
6. Bahwa selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur secara hirarki
kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tinggi dari undang-undang,
oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945. Maka jika terdapat ketentuan dalam
undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
maka ketentuan undang-undang tersebut dapat dimohonkan untuk diuji
melalui mekanisme pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi;
7. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian secara materiil
Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Pasal 11
ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
C. KEDUDUKAN DAN HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON
8. Pengakuan hak setiap warganegara Republik Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 merupakan salah satu indikator kemajuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 merupakan manifestasi jaminan konstitusional
9
terhadap pelaksanaan hak-hak dasar setiap warganegara sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 juncto Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003. Mahkamah Konstitusi merupakan badan
judicial yang menjaga hak asasi manusia sebagai manifestasi peran the
guardian of the constitution (pengawal konstitusi) dan the sole interpreter of
the constitution (penafsir tunggal konstitusi).
9. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
bahwa “Pemohon” adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang
yaitu;
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
10. Bahwa dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 dikatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’
adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.” Uraian kerugian hak konstitusional para Pemohon
akan dijabarkan lebih lanjut dalam Permohonan a quo.
11. Bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 tertanggal 11 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan Undang-Undang Dasar 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
10
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitrusional tersebut harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
12. Bahwa lima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh
Mahkamah melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 16 Juni
2010 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah
Agung, yang menyebutkan sebagai berikut: “Dari praktik Mahkamah (2003-
2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan
Nomor 003/PUU-I/2003 tanggal 29 Oktober 2004) berbagai asosiasi,
termasuk partai politik dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-
Undang demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah daerah,
lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun
materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
13. Bahwa berkaitan dengan permohonan ini, Para Pemohon menegaskan
bahwa para Pemohon memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu apabila dinyatakan sebagai
setiap pribadi warga negara berhak untuk mendapatkan perlakuan sesuai
dengan prinsip “perlindungan dari kesewenang-wenangan” sebagai
konsekuensi dari dinyatakannya Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan Undang-Undang
Dasar 1945.
14. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 tertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal
20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa
11
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5
(lima) syarat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
PEMOHON dalam permohonan pengujian undang-undang a quo.
15. Bahwa PEMOHON I sampai dengan PEMOHON IX adalah badan hukum
privat, yang bergerak, berminat dan didirikan atas dasar kepedulian untuk
dapat memberikan perlindungan dan penegakan KONSTITUSI, KEADILAN
SOSIAL dan HAK ASASI MANUSIA, yang berbadan hukum privat dan
didirikan berdasarkan akta notaris;
16. Bahwa adapun organisasi yang dapat atau bisa mewakili kepentingan publik
(umum) adalah organisasi yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
berbagai undang-undang maupun yurisprudensi, yaitu:
‐ Berbentuk badan hukum;
‐ Dalam AD/ART secara tegas menyebutkan tujuan didirikan organisasi
tersebut;
‐ Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamanatkan oleh
AD/ART nya tersebut.
17. Bahwa dalam hal ini PARA PEMOHON I sampai dengan IX terdiri dari
berbagai organisasi non pemerintah (badan hukum privat) yang dikenal
telah memperjuangkan Hak–Hak Konstitusional, khususnya di bidang Hak
Atas Tanah, keadilan agraria di Indonesia, dan Hak atas Pangan di mana
hal tersebut tercermin dalam AD/ART dan aktivitas sehari-hari Para
Pemohon dan PEMOHON X sampai dengan XIV merupakan pemohon
Individu sebagai warga negara Indonesia yang dirugikan secara langsung;
18. Bahwa Pemohon Organisasi telah mendapatkan status hukum sebagai
badan hukum Privat, sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris, adapun
PARA PEMOHON adalah sebagai berikut:
1) Indonesia for Global Justice (IGJ) Indonesia untuk keadilan Global
Bahwa Pemohon I adalah Badan Hukum yang berbentuk
PERKUMPULAN yang didirikan berdasarkan Akta Nomor 34 tertanggal
22 April 2002 pada Notaris dan PPAT H. Abu Jusuf, S.H yang beralamat
di Bungur Grand Centre Blok C.7. Jalan Ciputat Raya Nomor 4-6
12
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan jo Akta Nomor 9 tertanggal 10
Februari 2012 pada Notaris Dian Fitriana, S.H., M.Kn., yang beralamat
di Kalimalang Square Blok F/21 Jalan K.H Noer Ali Bekasi tentang
perubahan nama Institute untuk Keadilan Global menjadi Indonesia
untuk Keadilan Global dan berdasarkan surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0001785.AH.01.07 Tahun
2018 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Pemohon I.
Bahwa berdasarkan Pasal 9 Angka (6) AD/ART Pemohon I,
menyatakan:
“Direktur Eksekutif berhak dan berwenang mewakili perkumpulan
di dalam dan di luar pengadilan”
Bahwa berdasarkan Akta Nomor 25 tertanggal 28 September 2016 dan
berdasarkan Surat Keputusan Rapat Dewan Pengurus Indonesia for
Global Justice tentang Penetapan Direktur Eksekutif dan Badan
Pengurus Indonesia untuk Keadilan Global telah menetapkan Rachmi
Hertanti sebagai Direktur Eksekutif Indonesia untuk Keadilan
Global, sehingga Rachmi Hertanti berwenang mewakili Indonesia
untuk Keadilan Global dalam permohonan a quo.
Bahwa Pemohon I dalam Pasal 6 AD/ART menyebutkan bahwa tujuan
perkumpulan Indonesia untuk Keadilan Global adalah:
1. Berkembangnya kesadaran kritis masyarakat terhadap globalisasi;
2. Adanya kebijakan lokal, nasional dan global yang melindungi,
menghargai nilai-nilai hidup dan kehidupan;
3. Adanya tatanan dunia baru yang berazaskan pluralisme,
keragaman, keberlanjutan dan keadilan.
Untuk mendukung tujuan perkumpulan, kegiatan Indonesia untuk
Keadilan Global berdasarkan Pasal 7 AD/ART Pemohon I yang
mengatakan bahwa Perkumpulan melakukan kegiatan-kegiatan: Riset,
Advokasi, Pendidikan, Pengembangan Jaringan Kerja, dan Kegiatan-
kegiatan lain yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Bahwa Undang-Undang a quo perlu diadvokasi oleh Pemohon I karena
mengakibatkan kebijakan nasional dan global yang tidak melindungi,
13
menghargai nilai-nilai hidup dan kehidupan dan adanya tatanan dunia
baru yang berasaskan pluralisme, keragaman, keberlanjutan dan
keadilan.
Bahwa berdasarkan penelitian dan analisa kritis Pemohon I banyak
perjanjian-perjanjian perdagangan dan investasi internasional baik
dalam lingkup bilateral, regional maupun multilateral, seperti: Perjanjian
Perdagangan antara ASEAN dan China yang diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dan Perjanjian
Peningkatan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) atau dikenal
dengan Bilateral Investment Treaty (BIT), seperti P4M antara Indonesia
dengan Singapura yang disahkan dengan Keppres No. 6 Tahun 2006
atau P4M antara Indonesia dengan India dengan Keppres No. 93 Tahun
2003, termasuk perjanjian dagang dan investasi internasional Indonesia
dan Uni Eropa (IEU CEPA) dan Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP) dan Bilateral Investment Treaty (BIT) dengan
negara-negara lain bersama dengan jaringan masyarakat sipil
Indonesia, serta perjanjian-perjanjian Indonesia dengan organisasi
internasional (WTO, ASEAN, APEC, ADB, G20, dsb) yang telah
merugikan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia.
Bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang a quo, khususnya
Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1), yang tidak
sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 telah menimbulkan kerugian
ataupun berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon I karena
tidak adanya keterlibatan dan kontrol rakyat dalam setiap proses
pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional yang menyangkut
ekonomi, perdagangan, dan kerjasama perlindungan penanaman
modal, serta penghindaran pajak berganda yang menimbulkan dampak
luas bagi kehidupan rakyat akibat tidak melalui persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang adalah representasi rakyat.
Sehingga, Pemohon I berdasarkan tujuan organisasi yaitu “adanya
kebijakan lokal, nasional dan global yang melindungi nilai-nilai hidup dan
kehidupan” memandang perlu untuk mengajukan Judicial Review
Undang-Undang a quo di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan
14
adanya kontrol dan keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan dan
pengesahan perjanjian Internasional, khususnya perjanjian yang
berdampak luas terhadap kehidupan rakyat sesuai dengan Pasal 11
ayat (2) UUD 1945 guna menjamin terpenuhinya hak-hak setiap warga
negara sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
2) Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Bahwa Pemohon II tercatat di Akta Notaris Ny. Nurul Muslimah
Kurniati,S.H., dengan nomor Akta 16 tanggal 16 Februari 2008.
Bahwa dalam akta Pasal 7 mengenai tujuan organisasi ini adalah :
Organisasi ini bertugas untuk memperjuangkan tata dunia yang damai, adil dan makmur. Menghapus ketidakadilan global yang disebabkan oleh negara dan modal. Dan dunia yang yang bebas dari kemiskinan dan kelaparan, peperangan dan perbudakan serta bebas dari neokolonialisme dan imperialisme. Di tingkatan nasional adalah terciptanya negara demokratis yang menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia serta mewujudkan keadilan sosial bagi warganya.
Organisasi ini berperan memajukan dan membela hak asasi manusia
serta mewujudkan keadilan nasional.
Selanjutnya dalam pasal 9 menyatakan : --------------------------------------Fungsi----------------------------------------- Organisasi ini berfungsi : Membela korban pelanggaran hak asasi manusia melalui advokasi litigasi dan non litigasi; ‐ Memfasilitasi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia
untuk berubah menjadi pejuang hak asasi; ‐ Melakukan advokasi kebijakan publik untuk menciptakan sistem
negara yang demokratis dan menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia;
‐ Melakukan inisiatif jalan pemenuhan hak asasi manusia, keadilan sosial, pembaruan sistem ekonomi, politik, hukum dan keamanan serta penyelesaian konflik kekerasan bersenjata;
Bahwa perjanjian internasional banyak melanggengkan ketidakadilan dan
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemodal (capital
violence) yang dilindungi oleh Undang-Undang (judicial violence)
sehingga tujuan pendirian organisasi Pemohon II akan mengalami
kesulitan dalam mewujudkan tujuannya. Bahwa Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak memungkinkan
organisasi Pemohon I menjalankan peran dan fungsinya untuk membela
15
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang disebabkan oleh perjanjian
internasional. Karena tidak kuatnya DPR RI dalam menjalankan peran
dan fungsi nya sebagaimana mandat didalam Undang-Undang Dasar
1945.
3) Serikat Petani Indonesia (SPI)
Bahwa Pemohon III adalah Serikat Petani Indonesia (SPI) yang didirikan
pada tanggal 6 Juli 2000 dengan Akta Notaris Nomor 3 dan perubahan
Anggaran Dasar terakhir pada tanggal 14 April 2008 dengan Akta Notaris
Nomor 18. Bahwa dalam Pasal 8 mengenai tujuan organisasi:
1. Terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penaatan pembangunan ekonomi nasional dan internasional, agar tercipta perikehidupan ekonomi petani, rakyat, bangsa dan negara yang mandiri, adil dan makmur, secara lahir dan batin, material dan spiritual; baik dalam kebijakan maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari.
2. Bahwa perikehidupan ekonomi yang mandiri, adil dan makmur tersebut hanya dapat dicapai jika terjadi tatanan agraria yang adil dan beradab. Tatanan agraria yang adil dan beradap tersebut hanya dapat tejadi dilaksanakan pembaruan agraria sejati oleh petani, rakyat, bangsa, dan negara.
Bahwa Pemohon III merupakan organisasi massa petani yang terus
menerus aktif melakukan pendampingan dan advokasi hak–hak petani,
peternak dan nelayan di Indonesia, serta penguatan organisasi tani dalam
rangka menghadapi perjanjian perdagangan internasional dan liberalisasi
sektor pertanian baik yang misalnya: yang disepakati melalui World Trade
Organization (WTO), maupun Free Trade Agreement yang merugikan
kaum tani.
Bahwa selama ini, banyak perjanjian internasional terutama yang di
bawah mekanisme WTO (World Trade Organization) mengakibatkan
liberalisasi agraria, pertanian dan pangan yang merugikan petani,
termasuk petani anggota SPI.
Bahwa Pemohon III tidak bisa memperjuangkan kepentingan petani
anggotanya dalam perjanjian internasional melalui mekanisme di DPR,
karena DPR berdasarkan Undang-Undang a quo hanya berfungsi untuk
konsultasi dan pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh
pemerintah, bukan mekanisme persetujuan DPR dimana DPR bisa
membuka ruang aspirasi masyarakat khususnya petani anggota SPI.
16
Bahwa, khususnya pengesahan perjanjian internasional mengenai bidang
ekonomi dan kerja sama perlindungan penanaman modal, yang
merupakan perjanjian internasional yang menimbulkan dampak luas bagi
hidup kehidupan masyarakat, penghidupan dan kesejahteraan petani.
Justru hal itu tidak melibatkan persetujuan DPR yang merupakan wakil
rakyat Indonesia yang berarti tidak melibatkan peran serta masyarakat.
Sehingga Pemohon III menganggap perlu mengajukan judicial review
Undang-Undang a quo karena banyak merugikan hak konstitusional
Pemohon III sebagaimana yang telah dijamin dalam UUD 1945.
4) Yayasan Bina Desa
Bahwa PEMOHON IV adalah Badan Hukum yang berbentuk Yayasan
yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 03 tanggal 18 April 2006,
pada Notaris Joyce Karnadi, S.H., di Jakarta dan Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C-1014.HT.01.02 TH 2006
tertanggal 17 Mei 2006.
Bahwa berdasarkan Pasal 16 ayat (5) AD/ART PEMOHON IV,
menyatakan:
“5. Pengurus berhak mewakili Yayasan di dalam dan diluar
Pengadilan tentang segala kejadian,...”
Bahwa berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Berita Acara Rapat
Gabungan Organ Yayasan Bina Desa Sadajiwa Nomor 32 tertanggal 29
November 2010 sebagaimana dibuat dihadapan Notaris Agus Madjid,
S.H., di Jakarta Selatan, telah menetapkan Dwi Astuti sebagai Ketua
Pengurus Yayasan Bina Desa Sadajiwa, sehingga berdasarkan hal
tersebut Dwi Astuti berwenang untuk mewakili Yayasan Bina Desa
Sadajiwa dalam permohonan a quo;
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, Yayasan
menjalankan kegiatan sebagai berikut:
(1) Di bidang Sosial : a. Mengadakan, menyelenggarakan, dan mendirikan Lembaga
pendidikan, ketrampilan dan pelatihan baik formal maupun non formal bagi masyarakat di pedesaan.
b. Menfasilitasi reorientasi kaum intelektual tentang masalah-masalah rakyat.
17
c. Mengadakan, menyelenggarakan dokumentasi dan penyebaran informasi dalam bidang pendidikan melalui penerbitan buku-buku, media massa elektronik maupun non elektronik.
d. Mengadakan, menyelenggarakan, pembinaan dalam bidang pendidikan pada masyarakat pedesaan.
e. Mengadakan, menyelenggarakan, penelitian dibidang Ilmu Pengetahuan mengenai kemasyarakatan, kemanuasiaan, Lingkungan Hidup dan Teknologi.
(2) Mengadakan, menyelenggarakan Studi banding di bidang kemanusiaan: a. Memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan; b. Membangun dan mengembangkan masyarakat- masyarakat
pedesaan. c. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam, korban
korban Hak Asasi manusia. d. Memberikan bantuan kepada pengungsi akibat perang. e. Memberikan bantuan kepada tuna wisma, fakir miskin, dan
geladangan. f. Memberikan perlindungan konsumen. g. Melestarikan lingkungan hidup.
Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang a quo, akan berpotensi mengancam
keberlanjutan pertanian masyarakat dampingan dari Pemohon IV dan
menghambat peran serta masyarakat dampingan Pemohon IV dalam
memberikan masukan kepada Pemerintah melalui mekanisme DPR
dalam proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.
Sehingga, tujuan pendirian organisasi Pemohon IV akan terhalangi,
terlebih lagi komunitas yang berada di wilayah dampingan Pemohon IV
yaitu para petani kecil, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat
adat akan terancam keberadaan dan kesejahteraannya. Untuk itu,
Pemohon IV memandang perlu untuk melakukan uji materiil Undang-
Undang a quo di Mahkamah Konstitusi agar terjaminnya hak-hak
konstitusional sebagaimana dicantumkan dalam UUD 1945.
5) Aliansi Petani Indonesia (API)
Bahwa Pemohon V didirikan pada tanggal 5 Agustus 2005 dengan Akta
Notaris Nomor 10. Bahwa dalam Pasal 12 mengenai Tujuan Sosial
Ekonomi Organisasi ini adalah:
1. Perlindungan dan jaminan berusaha tani oleh pemerintah dari ancaman dan penetrasi perdagangan bebas pertanian di pedesaan.
18
2. Dukungan oleh pemerintah dalam hal akses terhadap lembaga keuangan untuk keberlangsungan kewirausahaan social pedesaan dan akses pasar yang mengikut sertakan lembaga ekonomi petani.
3. Mengembangkan budidaya pertanian yang ramah lingkungan dan membangun pemasaran bersama antar anggota organisasi untuk memperkuat posisi tawar petani dalam mata rantai pertanian yang berkelanjutan.
4. Mengembangkan tehnologi pertanian yang dapat diadaptasi oleh petani sesuai dengan tradisi dan budaya serta potensi wilayahnya.
5. Mengembangkan sistem dan model ekonomi kerakyatan di pedesaan melalui korporasi-korporasi pertanian.
6. Meningkatkan pendapat, kesejahteraan, harkat dan martabat petani dan masyarakat pedesaan. Melakukan pemberdayaan kelompok-klompok tani yang mengembangkan komoditas usaha tani dan memperbaiki mata rantai pertanian yang berkelanjutan.
Bahwa Pemohon V merasa dirugikan dengan berbagai perjanjian-
perjanjian internasional yang terlahir setelah lahirnya Undang-Undang a
quo utamanya di sektor pertanian, agraria dan perkebunan. Diantara
perjanjian internasional yang merugikan anggota petani Pemohon V
seperti, perjanjian Internasional Free Trade Agreement (FTA) ASEAN baik
internal ASEAN maupun ASEAN + 3. Karena perjanjian ini menyebabkan
derasnya arus impor produk-produk pertanian.
Bahwa anggota petani Pemohon V di berbagai wilayah juga menjadi
terhambat kesejahteraannya, karena dominasi penguasaan korporasi
yang disebabkan perjanjian internasional ASEAN Comprehensive
Investment Agreement (ACIA) yang disahkan melalui Peraturan Presiden
Nomor 49 Tahun 2011. Mekanisme pengesahan tanpa peran serta
masyarakat mengakibatkan kerugian terhadap anggota petani di berbagai
wilayah dampingan Pemohon V. Sehingga mengakibatkan dominasi
liberalisasi di sektor pertanian dan pangan di Indonesia.
Sehingga Pemohon V perlu mengajukan judicial review terhadap Undang-
Undang a quo, mengingat banyak nya kerugian dan dampak yang luas di
sektor pertanian dan pangan di Indonesia dari perjanjian internasional
yang lahir tanpa peran serta masyarakat dan dilegalisasi dengan Undang-
Undang a quo.
6) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
19
Bahwa Pemohon VI adalah Perkumpulan KIARA yang didirikan pada
tanggal 13 Maret 2009 dengan Akta Notaris Nomor 29 yang merupakan
organisasi non pemerintah yang menaruh perhatian terhadap dinamika
isu kelautan, perikanan, dan nelayan yang berkaitan dengan perdagangan
bebas dan liberalisasi sektor perikanan.
Bahwa keberadaan Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang a quo telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi
Pemohon VI, karena perjanjian-perjanjian internasional yang disahkan
melalui Keputusan Presiden tanpa adanya keterlibatan masyarakat
pesisir khususnya nelayan, pembudidaya ikan, perempuan nelayan,
masyarakat adat di pesisir, dan petambak garam sehingga perjanjian
internasional yang disahkan itu berdampak merugikan Pemohon VI dan
masyarakat pesisir.
Bahwa, Pemohon VI telah melakukan kajian mengenai dampak perjanjian
internasional di bidang perdagangan internasional seperti perjanjian
perdagangan internasional ACFTA (Asean China Free Trade Agreement)
yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004.
Bahwa keluasan dan liberalisasi yang diberikan kepada investasi asing
salah satunya dari China yaitu dengan mengeksploitasi sumber daya laut
di Indonesia.
Bahwa, liberalisasi berdampak pada aktivitas yang melanggar hak
konstitusional masyarakat pesisir dan kedaulatan bangsa, yaitu Over
Fishing, Over Exploitation dan IUU Fishing. Dampak dari hal tersebut
adanya ketidakadilan ruang dalam penangkapan ikan yang harus
dihadapi oleh masyarakat pesisir. Bahwa, Pemohon VI telah melakukan
riset dan advokasi mengenai persoalan di atas, dikarenakan adanya
ruang yang terbuka dari regulasi nasional untuk memberikan kesempatan
bagi investasi asing masuk ke Indonesia. Salah satu perjanjian yang
merugikan konstitusional Pemohon VI adalah perjanjian ASEAN China
FTA yang disahkan melalui Keputusan Presiden tanpa melibatkan
masyarakat termasuk Pemohon VI. Bahwa karena hal itu, Pemohon VI
menjadi tidak dapat mandiri dalam perekonomian dan terhambat
20
kesejahteraan nya karena perjanjian internasional itu lahir berdasarkan
Undang-Undang a quo.
Sehingga Pemohon VI perlu mengajukan judicial review khususnya Pasal
2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang a quo
dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 guna terjaminnya hak
ekonomi dan keadilan bagi warga negara sebagaimana telah dinyatakan
dalam UUD 1945.
7) Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP)
Bahwa Pemohon VII adalah Perserikatan Solidaritas Perempuan yang
didirikan pada tanggal 1 April 1993 dan tercatat di Akta Notaris Gde
Kertayasa, S.H. di Jakarta dengan nomor Akta 33 tanggal 17 Januari
1994. Bahwa dalam pasal 2 mengenai tujuan organisasi ini adalah:
“perserikatan ini berasaskan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak
Asasi Perempuan (HAP) yang utuh dan bersifat universal.”
Bahwa Pasal 3:
“Perserikatan ini bertujuan untuk mewujudkan tatanan sosial yang demokratis, dengan prinsip-prinsip keadilan, keutuhan ekologis, menghargai keberagaman, menolak diskriminasi dan kekerasan, dengan berdasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, dimana keduanya dapat berbagai akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi, dan politik secara adil.”
Bahwa ketentuan perjanjian tentang Trade Related Intellectual Property
Rights dalam WTO mengacu pada hak atas kekayaan intelektual terhadap
benih pertanian mengancam kedaulatan petani dalam memuliakan benih.
Akibatnya, saat ini perusahaan-perusahaan transnasional besar yang
berkuasa atas benih dan memaksa petani untuk tergantung terhadap
benih yang dihasilkan berikut berbagai produk pestisida yang menjadi
suplemen dari benih tersebut. Perempuan petani yang bekerja bersama
Solidaritas Perempuan di antaranya merupakan pemulia benih yang
terancam kehilangan kedaulatannya akibat perjanjian ini. Bersama
dengan mekanisasi pertanian, perempuan petani kehilangan perannya
dan terpinggirkan dari sektor pertanian sehingga banyak yang akhirnya
terpaksa bekerja di luar negeri menjadi buruh migran tanpa perlindungan
yang memadai dan terlanggar hak-hak sebagai perempuan.
21
Bahwa selain itu, adanya ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang a
quo yang menghambat tujuan dari organisasi Pemohon VII dalam
melindungi hak-hak perempuan terutama di sektor pertanian, nelayan dan
buruh dalam perjanjian-perjanjian internasional.
Sehingga Pemohon VII perlu mengajukan judicial review Undang-Undang
a quo karena dirugikan hak konstitusionalnya khususnya sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (4) UUD
1945.
8) Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD)
Bahwa Pemohon VIII tercatat di Akta Notaris Zarkasyi Nurdin, S.H.,
dengan nomor Akta 1 tangggal 1 Juni 2001. Bahwa dalam akta Pasal 4
mengenai maksud dantujuan organisasi ini adalah:
”Mengupayakan terwujudnya masyarakat tani yang demokratis dan berkeadilan,dengan mendukung gerakan petani yang menjalankan kehidupan bertani yang sehat dan berkelanjutan, melalui pendidikan partisipatoris, penguatan kelompok dan jaringan petani, riset aksi, kajian kebijakan dan penyebaran gagasan-gagasandemokratis dan ekologis.”
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, yayasan melakukan
serangkaian program (Pasal 5):
1) Pendidikan bagi para petani yang bersifat partisipatif khususnya yangmendukung pengembangan: 1. budidaya pertanian ekologis; 2. kesehatan kerja petani; 3. organisasi petani; 4. ketrampilan pemasaran produk; 5. advokasi oleh petani; 6. media komunikasi antarpetani; 7. wawasan keadilan gender di masyarakat petani.
2) Dukungan terhadap pengembangan organisasi petani yang berakar di desa-desa dalam rangka advokasi petani terhadap kebijakan di tingkat lokal, dan dukungan terhadap pengembangan jaringan kerja antar organisasi petani dengan organisasi kemasyarakatan lainnya.
3) Penyebaran gagasan (kampanye), melalui berbagai media komunikasi yang mungkin, kepada konsumen dan masyarakat luas tentang: a) Gagasan petanian ekologis dan organik b) hasil-hasil penelitian dan pengorganisasian petani c) masalah-masalah aktual, seperti reformasi agraria,
peraturan usaha pertanian oleh negara, hak milik intelektual yang diperdagangkan (TRIPS), benih transgenik (GMO).
22
4) Riset aksi bersama masyarakat petani untuk menjawab permasalahan yang ada dan untuk menyempurnakan pelayanan program lain.
5) Melakukan penelitian pendukung gerakan. 6) Melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi petani dan
masyarakat. 7) Melakukan kerjasama dengan pihak penyandang dana untuk
memberikan jasa teknis dan pelatihan bagi organisasi-organisasi petani dan lain dalam arti katayang seluas-luasnya.”
Bahwa Pemohon VIII yang didirikan sejak tahun 2001 mendukung
masyarakat marjinal mendapatkan dan dapat mengelola kembali wilayah
perikehidupannya untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta bergerak
untuk memperkuat demokrasi, keadilan, dan kesehatan lingkungan hidup.
Sehingga, misinya memfasilitasi masyarakat agar mampu memperkuat
masyarakat petani yang rentan untuk menjadi pelaku dalam upaya
memperjuangkan (terwujudnya) ekosistem lingkungan yang seimbang,
dan memperoleh kehidupan yang layak, serta memperkuat gerakan
masyarakat petani/pedesaan melalui pendidikan partisipatif, riset, aksi
dan penguatan jaringan organisasi petani.
Bahwa Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan:
“Masyarakat (orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan) berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”;
Bahwa Pasal 96 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan:
“Masukan tersebut dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.” dan ayat (3): “Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis maka setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”
Bahwa dengan berlakunya Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal
11 Undang-Undang a quo, akan merugikan Pemohon VIII karena tidak
adanya keterlibatan dan kontrol masyarakat dalam setiap proses
pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional yang menyangkut
ekonomi, perdagangan, dan kerjasama perlindungan penanaman modal
23
yang dapat merugikan perikehidupan masyarakat petani, melemahkan
demokrasi, memudarnya keahlian petani, rusaknya ekosistem petanian
pangan dan iklim, ekonomi petani dan ancaman regenerasi petani selaku
produsen pangan.
Sehingga Pemohon VIII perlu untuk mengajukan judicial review Undang-
Undang a quo di Mahkamah Konstitusi supaya ada kontrol dan
keterlibatan rakyat dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian
Internasional. Selain itu, agar hak-hak petani sebagai warga negara tidak
terlanggar sebagaimana telah terjamin hak-hak nya dalam UUD 1945.
9) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
Bahwa Pemohon IX dalam Pasal 6 AD/ART menyebutkan bahwa tujuan
perkumpulan SPKS adalah mewujudkan petani kelapa sawit yang
mandiri, berdaulat, bermartabat dan sejahtera.
Bahwa selanjutnya Pasal 7 AD/ART menyebutkan bahwa kegiatan yang
dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut diatas, organisasi menjalankan
kegiatan sebagai berikut:
1. Peningkatan lewat kapasitas pendidikan dan pelatihan : a) Kepemimpinan dan politik; b) Kewirausahaan; c) Manajemen perkebunan kelapa sawit; d) Teknis perkebunan kelapa sawit;
2. Penguatan dan konsolidasi usaha-usaha ekonomi anggota; 3. Inisiasi diversifikasi usaha-usaha ekonomi bersama anggota; 4. Penelitian untuk menjawab kebutuhan petani kelapa sawit; 5. Promosi untuk menguatkan posisi petani sawit; 6. Advokasi berbagai persoalan petani kelapa sawit.
Bahwa Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan, “Masyarakat (orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan) berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.”, Ayat (2): “Masukan tersebut dapat
dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja;
sosialisasi; seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.” dan Ayat (3): “Untuk
memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
24
dan/atau tertulis maka setiap Rancangan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”
Bahwa Pemohon IX dirugikan dengan Undang-Undang a quo khususnya
di sektor pertanian, agraria, pangan dan kelapa sawit. Karena, para
anggota petani Pemohon IX menjadi tidak berdaulat dalam menentukan
kesejahteraannya. Terlebih, ketika adanya perjanjian internasional
tentang P4M antara Indonesia dengan India yang disahkan melalui
Keppres Nomor 93 Tahun 2003. Karena perjanjian itu, mengancam
keberlanjutan kehidupan petani yang tidak bisa mandiri di bidang ekonomi
dan pangan. Maka, Pemohon IX menganggap bahwa hak Pemohon
sudah terampas sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 33 ayat (4)
UUD 1945.
Sehingga, Pemohon IX perlu mengajukan judicial review Undang-Undang
a quo ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, demi menjamin
terpenuhinya hak-hak Pemohon IX sebagaimana disebutkan dalam UUD
1945.
10) Bahwa Pemohon X sampai dengan XIV adalah warga negara Indonesia:
1. Nama : Amin Abdullah Nomor KTP : 5203013112670081 Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional Alamat : Lungkak, Kelurahan Ketapang Raya,
Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur
Kewarganegaraan : Indonesia Untuk selanjutnya disebut sebagai ------------------- Pemohon X
2. Nama : Mukmin Nomor KTP : 5203200107780346 Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional Alamat : Serumbung, Kelurahan Pemongkong,
Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur
Kewarganegaraan : Indonesia Untuk selanjutnya disebut sebagai ------------------ Pemohon XI
3. Nama : Fauziah Nomor KTP : 5203204706820002 Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional Alamat : Serumbung, RT 001, Keluarahan
25
Pemongkong Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur
Kewarganegaraan : Indonesia Untuk selanjutnya disebut sebagai ----------------- Pemohon XII
4. Nama : Baiq Farihun Nomor KTP : 5203017112690068 Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional Alamat : Lungkak, Kelurahan Ketapang Raya
Kecamatan Keruak Kewarganegaraan : Indonesia Untuk selanjutnya disebut sebagai ---------------- Pemohon XIII
5. Nama : Budiman Nomor KTP : 5203202507880001 Pekerjaan : Petambak Garam Tradisional Alamat : Pengoros, Kelurahan Sekaroh,
Kecamatan Jerowaru Kewarganegaraan : Indonesia Untuk selanjutnya disebut sebagai ---------------- Pemohon XIV
Bahwa PEMOHON X sampai dengan PEMOHON XIV sebagai warga
negara Indonesia telah dirugikan hak konstitusionalnya berupa
meniadakan hak konstitusional Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV
untuk ikut memberikan aspirasinya melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia sebagai lembaga perwakilan yang mewakili dan
menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia serta terjadinya ketidak
pastian hukum yang menyebabkan meningkatnya jumlah garam impor
yang beredar di pasaran Indonesia, sehingga merugikan PARA
PEMOHON untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraannya.
D. FAKTA HUKUM
19. Bahwa pada tanggal 23 Oktober 2000 Dewan Perwakilan Rakyat bersama
dengan Pemerintah telah menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional;
20. Bahwa salah satu dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional adalah Pasal 11 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
26
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
21. Bahwa karena Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu
dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, maka sudah seharusnya ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional selaras
dengan Undang-Undang Dasar 1945;
22. Bahwa pada faktanya, ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional tidak selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang akan
PARA PEMOHON uraikan lebih lanjut dalam “alasan-alasan pengajuan
permohonan uji materiil”.
23. Bahwa untuk perjanjian internasional tertentu, DPR ikut terlibat dalam
memberikan persetujuan tentang tindakan pemerintah yang hendak
menyatakan keterikatannya kepada perjanjian internasional.
24. Dengan demikian, konstitusi dan peraturan perundang-undangan Indonesia
mengatur kekuasaan membentuk dan pihak yang menjalankan kekuasaan
untuk mengikatkan Indonesia kepada hukum internasional. Kekuasaan itu
berada di tangan Presiden (Pemerintah) dan dijalankan oleh Presiden atau
orang-orang yang diberi kewenangan oleh Presiden. Namun, untuk kategori
perjanjian internasional tertentu, persetujuan dan pengesahan DPR perlu
diperoleh Presiden sebelum perjanjian itu mengikat Indonesia
E. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN UJI MATERIIL
1. Pasal 2 Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena telah mengganti
frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan
DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”.
25. Bahwa Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, menyatakan:
“Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan
27
Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik”;
26. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
27. Bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) butir a Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969 (Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional),
Perjanjian internasional (istilah yang dipakai dalam konvensi itu adalah
treaty atau traktat) adalah “an international agreement concluded
between States in written form and governed by international law,
whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation.” (Suatu kesepakatan
internasional yang dibuat oleh negara-negara dalam bentuk tertulis dan
diatur oleh hukum internasional baik dituangkan dalam satu atau dua
instrumen atau lebih yang saling terkait dan dituangkan dalam bentuk
nama apapun sesuai kehendak).
28. Bahwa, menurut Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 disebutkan:
The Treaty means an international agreement governed by international
law and concluded in written form: (i) between one or more states and
one or more international organisations’ or (ii) between international
organizations, whether that agreement is embodied in a single instrument
or in two or more related instruments and whatever its particular
designation (Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang
diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: (i)
antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi
internasional; atau (ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan
itu berupa satu instrument atau lebih dari satu instrument yang saling
berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya).
29. Bahwa Undang-Undang a quo memberikan definisi perjanjian
internasional sebagai:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”
28
30. Bahwa dalam Penjelasan Bagian Umum UU a quo menyebutkan:
“Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini
adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum
internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional lain.
31. Bahwa, Indonesia sendiri tidak meratifikasi Konvesi Wina. Namun,
Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional (Konvensi Wina) telah
menjadi hukum kebiasaan internasional. Untuk hukum kebiasaan
internasional, keterikatan bermula ketika negara yang bersangkutan
secara sukarela ikut mempraktikkan kebiasaan internasional dan
menerima serta menjalankan praktik itu sebagai hukum (opinio juris).
32. Bahwa suatu negara tidak terikat dengan hukum kebiasan ketika negara
menunjukkan diri sebagai persistent objection (menolak secara
konsisten) terhadap kebiasan itu. Sehingga misalnya, ketika Indonesia
tidak pernah menunjukkan diri sebagai persistent objector terhadap suatu
norma hukum kebiasaan internasional, bahkan menjalankan praktik itu
dan menerimanya sebagai hukum, negara Indonesia dengan demikian
terikat dengannya.
33. Bahwa keterikatan negara kepada hukum internasional yang bersumber
dari perjanjian internasional harus dinyatakan secara formal dan
mengikuti prosedur tertentu. Karena perjanjian internasional hampir
selalu bersifat tertulis, dibuat, dan disetujui oleh negara-negara secara
formal.
34. Bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan Presiden
dalam membuat dan mengikatkan Negara Indonesia dalam Perjanjian
Internasional itu terbatas. Untuk kategori perjanjian internasional
tertentu, persetujuan DPR diperlukan sebelum perjanjian itu mengikat
Indonesia.
35. Bahwa Presiden dengan persetujuan DPR dapat membuat perjanjian
dengan Negara lain [vide: Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar hun 1945]. Presiden Indonesia adalah pemegang kekuasaan
menjalankan hubungan internasional yang salah satu bentuknya
dilakukan dengan kewenangan membuat perjanjian internasional
dengan negara atau subjek hukum internasional lain.
29
36. Bahwa Pasal 3 Undang-Undang a quo menentukan secara teknis
bagaimana kekuasaan untuk mengikatkan negara kepada perjanjian
internasional itu dilakukan. Cara dimaksud adalah:
a. penandatanganan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.
37. Bahwa ketentuan Pasal 3 Undang-Undang a quo pada hakekatnya
adalah penulisan ulang ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina 1969.
Namun, Undang-Undang a quo membuat suatu istilah tersendiri yakni
‘pengesahan’. Kata ‘pengesahan’ ini sebagaimana disebut di dalam
Pasal 1 dan Penjelasan Undang-Undang a quo mewakili cara pernyataan
pengikatan yang dilakukan dengan ratifikasi (ratification), penerimaan
(acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi (accession),
sebagaimana termaktub dalam Pasal 11 Konvensi Wina itu. Konvensi
Wina sendiri mengartikan ratification, acceptance, accession atau
approval adalah bentuk-bentuk pernyataan pengikatan negara (consent
to be bound) kepada perjanjian internasional. Dengan demikian, Undang-
Undang a quo ini menghendaki setiap perjanjian internasional yang
pernyataan pengikatannya harus dilakukan dengan cara ratification,
acceptance, accession atau approval adalah perjanjian-perjanjian
internasional yang mengharuskan pengesahan.
38. Bahwa didalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, pengikatan suatu Perjanjian
Internasional mensyaratkan adanya persetujuan melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
39. Bahwa menjadi pertanyaan besar bagi PARA PEMOHON, bagaimana
jika menteri dalam berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
tentang pembuatan perjanjian internasional, dan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan tidak sepakat atau setuju dengan perjanjian
internasional tersebut? Tentu keberatan Dewan Perwakilan Rakyat
tersebut dapat diabaikan oleh menteri, karena kewenangan Dewan
Perwakilan Rayat dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo, Dewan
Perwakilan Rakyat hanya terbatas untuk memberikan konsultasi bukan
30
untuk memberikan persetujuan;
40. Bahwa mengingat kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai lembaga perwakilan yang mewakili dan menyuarakan
kepentingan rakyat, salah satu wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
dalam perjanjian internasional adalah memberikan persetujuan
sebagaimana mandat Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan;
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
41. Bahwa frase “berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam
Pasal 2 Undang-Undang a quo tidak menjelaskan secara tegas kekuatan
mengikat dari pelaksanaan konsultasi antara menteri dengan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk
memberikan persetujuan dalam pembuatan perjanjian internasional
sebagai bentuk perwujudan kedaulatan rakyat.
42. Bahwa dengan merubah frase “dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat” menjadi frase “konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat ” di
dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo telah menghilangkan kedaulatan
rakyat yang diemban oleh DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
43. Bahwa persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pembuatan
perjanjian internasional oleh Indonesia menjadi sangat penting. Mengutip
dari buku yang ditulis oleh DR. Eddy Pratomo, SH., MA., (2016, 512),
disebutkan bahwa:
“perlu diingat ketika membuat suatu perjanjian internasional pada
dasarnya kita telah memberikan sebagian “kedaulatan kita”.
Oleh karena itu, “persetujuan” oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat menjadi sangat penting. Apalagi terkait
dengan perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat.
44. Bahwa, di dalam Undang-Undang a quo tidak ditemukan satu klausul pun
31
yang menyebutkan tentang “persetujuan oleh DPR”. Yang ada hanya
tindakan pengesahan dalam bentuk undang-undang yang memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
45. Bahwa Pasal 2 Undang-Undang a quo menghilangkan frasa “persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat “, dan menggantinya dengan frasa “dengan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilian Rakyat”. Berarti Dewan
Perwakilan Rakyat dalam perjanjian internasional hanya terlibat ketika
perjanjian itu telah diterima oleh pemerintah tanpa melalui persetujuan
DPR.
46. Bahwa hilangnya makna “dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat” di dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo juga telah
menghilangkan hak warga Negara (dalam hal ini Para Pemohon) untuk
menyatakan pendapat tentang sebuah perjanjian internasional yang
akan diikatkan oleh negara Indonesia melalui peran dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai check & balance dalam bentuk memberikan
persetujuan sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat.
47. Bahwa jika frase “berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat”
dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo dimaknai sebagai suatu
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini juga menimbulkan
kerancuan mengingat bahwa dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo tidak
menjelaskan apakah kata berkonsultasi tersebut adalah persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat atas proses atau persetujuan atas hasil/
substansi dari Pejanjian Internasional;
48. Bahwa perlu dihindari pemaknaan persetujuan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat hanya dimaknai sekedar memberikan stempel saja terhadap
sebuah perjanjian internasional yang diikatkan oleh Pemerintah
Indonesia. Sehingga sangat penting untuk memperjelas bagaimana
proses seharusnya pemberian persetujuan yang diberikan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional.
49. Bahwa memperhatikan fakta sejarah mengenai pelaksanaan politik luar
negeri khususnya mengenai pemberlakuan perjanjian internasional di
Australia, sebagaimana diuraikan pada buku: “Hukum Perjanjian
Internasional: Dinamika dan Tinjauan Kritis Terhadap Politik Hukum
32
Indonesia” (DR.Eddy Pratomo, 2016, 326).
50. Bahwa Konstitusi Australia mengatur kewenangan pembuatan perjanjian
internasional sebagai kewenangan eksekutif. Hal ini juga serupa dengan
di Indonesia. Namun, pada tahun 1995 muncul kritik terhadap
Pemerintah Australia mengenai praktik dan proses pembuatan perjanjian
internasional Australia yang dinilai kurang demokratis, karena tidak
melibatkan parlemen. Lalu pada 2 Mei 1996, Pemerintah Commonwealth
Australia di depan Parlemen menanggapi kritik tersebut dengan
menawarkan beberapa proses yang dimaksud untuk menjamin suatu
proses demokratis yang terbuka dalam pembuatan perjanjian
internasional. Proses-proses yang ditawarkan seperti:
Pertama; Perjanjian akan disampaikan kepada kedua kamar parlemen
paling tidak 15 hari sidang sebelum Pemerintah mengambil langkah
mengikatkan diri secara hukum (treaty action), dengan pengecualian
yang dilakukan terhadap perjanjian yang dinilai bersifat segera dan
sensitif.
Kedua; perjanjian akan disampaikan kepada Parlemen disertai dengan
analisis tentang kepentingan nasional yang merangkum latarbelakang
perlunya keikutsertaan Australia pada Perjanjian Internasional tersebut,
termasuk untung rugi serta dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian
internasional.
Ketiga; Pemerintah mengusulkan pendirian Komite Bersama Parlemen
mengenai perjanjian internasional untuk mempertimbangkan perjanjian
internasional dan analisis kepentingan nasional yang disampaikan
kepada parlemen.
Keempat; Pemerintah juga mendukung pembentukan Dewan Perjanjian
Internasional (treaties council) sebagai bagian dari Dewan Pemerintah
Australia yang berfungsi sebagai badan penasihat.
Kelima; perjanjian internasional dapat diakses tanpa biaya oleh setiap
individu atau kelompok kepentingan.
Seluruh pilar Reformasi 1996 yang ditawarkan tersebut diatas diterima
oleh Parlemen. Untuk mendukung Reformasi 1996, Department of
Foreign Affairs Trade (DFAT) mendirikan sekretariat Perjanjian
Internasional dengan tugas memantau dan mengadministrasikan
33
jalannya reformasi.
51. Bahwa dengan membandingkan proses berlakunya perjanjian
internasional menjadi ketentuan hukum nasional dalam sistem hukum
negara Australia, maka persetujuan parlemen terhadap perjanjian
internasional merupakan proses demokrasi yang melibatkan partisipasi
publik;
52. Bahwa serupa dengan negara Indonesia, dimana dalam Pasal 11 ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945 terdapat frasa: “dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”, maka perjanjian Internasional yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia harus mendapatkan persetujuan dari Dewan
perwakilan Rakyat demi kepastian hukum serta terbukanya ruang publik
dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan serta perlindungan
hukum bagi warga Negara sehinggga terwujud kesejahteraaan dalam
penghidupan dan kehidupan rakyat Indonesia;
53. Bahwa mengganti frasa “dengan persetujuan DPR-RI” dengan frasa
“berkonsultasi dengan Dewan Perwkilan Rakyat” telah bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka Pasal 2
Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945.
2. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
54. Bahwa Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang a quo menyatakan:
“Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden”;
55. Bahwa pada bagian Penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang a quo
menyatakan:
“Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan keputusan presiden
selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat“;
56. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
34
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
57. Bahwa didalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyatakan. yang
dibutuhkan dalam perjanjian Internasional adalah persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Undang-Undang a quo menggantikan frasa
“persetujuan DPR” dengan frasa “pengesahan dengan Undang-Undang”.
Hal ini berarti hanya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bagian
akhir penyusunan perjanjian Internasional;
58. Bahwa pada awalnya, sebelum UUD 1945 diamandemen seperti
sekarang, ketentuan UUD 1945 tentang perjanjian internasional pada
Pasal 11 UUD 1945 ini lebih sederhana. Pasal itu hanya berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.”
Dalam praktik, ketentuan permintaan persetujuan DPR terkait
pembuatan perjanjian itu ternyata merepotkan Presiden (Pemerintah)
maka Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Nomor 2826/HK/60.
59. Bahwa Surat Nomor 2826/HK/60 berbunyi:
“... maka Pemerintah akan tidak mempunyai cukup keleluasan bergerak
untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya karena
untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil-kecil
harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan
Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian
sensitifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari
Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusionil yang lancar.”
60. Bahwa atas alasan ini, Presiden menafsirkan persetujuan DPR hanya
diperlukan untuk perjanjian internasional yang penting yang disebut
treaty untuk perjanjian yang tidak penting disebut sebagai agreement,
Pemerintah hanya akan menyampaikan kepada DPR untuk diketahui.
Kemudian, Presiden Soekarno merinci apa yang dimaksudkannya
sebagai perjanjian yang penting itu yakni perjanjian internasional yang
mengandung;
“...Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri Negara,... Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya
sehingga bisa mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara.... dan
35
Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem
perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang....”.
61. Bahwa walaupun dalam bentuk surat, kemudian Presiden dan Dewan
Perwakilam Rakyat menjadikannya sebagai pedoman dalam
menafsirkan dan mengimplementasikan Pasal 11 UUD 1945. Lalu pada
tahun 2000, terbit Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Dalam undang-undang ini praktik yang sudah
berjalan sebelumnya mendapatkan landasan yuridis yang lebih kuat.
Undang-undang dimaksud meneguhkan pembedaan perjanjian
internasional yang perlu disetujui DPR dan mana yang tidak.
62. Bahwa ada perbedaan penggunaan istilah yang dipakai dalam Undang
Undang a quo dengan kata yang dipakai dalam Pasal 11 ayat (2) UUD
1945 ketika menentukan kewenangan DPR dalam hubungannya dengan
pembuatan perjanjian internasional ini. Jika Pasal 11 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan istilah ‘persetujuan’,
Undang-Undang a quo menggunakan istilah ‘pengesahan’. Dan ketika
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur
kewenagan Dewan Perwakilan Rakyat untuk terlibat dalam pembuatan
perjanjian internasional yang dibuat Presiden dengan ‘persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat’, Undang-Undang a quo menggambarkannya
dengan ‘pengesahan dengan undang-undang atau keputusan presiden’.
63. Bahwa dengan menggunakan pengertian kata ‘pengesahan’ itu, maka
pada frase ‘pengesahan dengan undang-undang atau dengan
Keputusan Presiden’, artinya adalah: suatu perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dengan undang-
undang atau dengan keputusan presiden. Dengan pengertian ini berarti,
peran DPR yang seharusnya menyetujui atau menolak tindakan
pemerintah yang akan mengikatkan negara kepada suatu kesepakatan
internasional tertentu berubah perannya menjadi hanya pembuat
pernyataan pengikatan (consent to be bound) melalui suatu undang-
undang maupun bentuk lainnya.
64. Bahwa menyatakan terikat kepada perjanjian internasional merupakan
tugas atau pekerjaan pemerintah yang dilakukan dengan mendepositkan
atau mempertukarkan apa yang disebut sebagai instrumen ratifikasi. Dan
36
ini bukan undang-undang atau keputusan Prresiden. Kata pengesahan
seharusnya tidak ada dan tidak bisa menggantikan kata “persetujuan”
65. Bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo ini patut diduga lahir
karena ketidaktepatan dalam meletakkan dan menentukan mana wilayah
keberlakuan hukum nasional (dalam hal ini hukum administrasi negara
dan hukum tata negara) di satu sisi, dengan wilayah keberlakuan hukum
internasional di sisi lain.
66. Bahwa persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilam Rakyat adalah
tindakan atau perbuatan hukum dalam lingkup hukum nasional yang
diatur menurut hukum nasional, sementara pernyataan pengikatan yang
dilakukan oleh Pemerintah (berdasarkan persetujuan DPR tadi), adalah
tindakan atau perbuatan hukum internasional yang dilakukan
berdasarkan hukum internasional. Sehingga, frasa “pengesahan
perjanjian internasional dengan undang-undang atau keputusan
presiden “ tidak seharusnya ada, melainkan frasa ‘persetujuan perjanjian
internasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat’ seperti disebut di dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dan kata
‘persetujuan’ sendiri harus diartikan sebagai tindakan DPR menerima
atau menolak tindakan pemerintah untuk mengikatkan negara kepada
suatu perjanjian internasional tertentu.
67. Bahwa frasa “pengesahan dengan undang-undang atau keputusan
presiden” berarti menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dalam
akhir penyusunan dan/atau pembuatan perjanjian Internasional dan
menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dimaknai sekedar lembaga
memberikan stempel pengesahan saja terhadap sebuah perjanjian
internasional yang akan diikatkan oleh Pemerintah Indonesia.
68. Bahwa dikarenakan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang a quo telah
mereduksi makna dari frasa dengan “persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat” menjadi “pengesahan melalui undang-undang ataupun
keputusan presiden”, maka Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang a quo telah
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
3. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan
37
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang” dimaknai hanya terbatas pada kategori : a) masalah politik,
perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah
atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan
atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar
negeri.”
69. Bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional menyatakan:
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri”.
70. Bahwa Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan;
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain;
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
71. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
dimaksud dengan Undang Undang adalah: ”Peraturan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”
72. Bahwa jika pengesahan perjanjian internasional yang disahkan melalui
bentuk undang-undang dimaknai oleh pembuat Undang-Undang a quo
38
sebagai perjanjian internasional yang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, Pasal 10 Undang-Undang a quo telah memberikan
pengaturan mengenai kategori perjanjian internasional yang dapat
disahkan dengan undang-undang;
73. Bahwa perjanjian internasional diluar ketentuan Pasal 10 Undang-
Undang a quo disahkan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang, yaitu Keputusan Presiden
(sekarang Peraturan Presiden) tanpa harus melalui persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat;
74. Bahwa pembatasan perjanjian internasional yang dapat disahkan
dengan undang-undang telah mengabaikan perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang yang
tidak diatur sebagaimana ketentuan Pasal 10 Undang-Undang a quo;
75. Bahwa karena perjanjian internasional yang dapat disahkan dengan
undang-undang telah dibatasi sebagaimana ketentuan Pasal 10
Undang-undang a quo, lalu bagaimana dengan perjanjian internasional
yang juga berakibat secara luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
akan tetapi diluar ketentuan Pasal 10 Undang-Undang a quo?
76. Bahwa perjanjian internasional menyangkut kerjasama di bidang
ekonomi ilmu pengetahuan, teknik, perdagangan, kebudayaan,
pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama
perlindungan penanaman modal merupakan perjanjian internasional
yang menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat dan
menimbulkan beban keuangan Negara, akan tetapi perjanjian
internasional tersebut diatas disahkan dengan Keputusan Presiden
sebagimana ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
77. Bahwa perjanjian internasional di bidang ekonomi, khususnya
perdagangan internasional, merupakan perjanjian yang paling banyak
dibuat karena politik ekonomi dari kebijakan perdagangan internasional
menjadi bidang yang paling fundamen di dalam pembangunan hubungan
39
masyarakat internasional. Peningkatan dan pembangunan ekonomi
secara berkelanjutan telah menjadi rumus penting dalam pembuatan
perjanjian internasional. karena tanpa adanya peningkatan dan
pembangunan ekonomi, maka tidak akan ada pembangunan disektor-
sektor lain.
78. Bahwa, melihat perkembangan perjanjian perdagangan internasional di
era abad 21, perjanjian tersebut sudah melampaui dari praktek
tradisional yang hanya mengatur kegiatan ekspor dan impor saja. Rezim
perjanjian perdagangan bebas telah berkembang sedemikan rupa dan
mencakup aspek-aspek investasi, hak atas kekayaan intelektual, peran
Badan Usaha Milik Negara dan persaingan usaha, mekanisme
penyelesaian sengketa, dan lain-lain. Sehingga, secara formal, nama
perjanjian ini tidak lagi memakai istilah international trade agreement
tetapi economic partnership agreement, seperti pada Trans-Pacifik
Economic Partnership Agreement, Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP), dan Comprehensive Economic Partnership
Agreement (CEPA).
79. Bahwa, dalam konteks ASEAN misalnya, walaupun kesepakatan
perdagangan bebas tidak dibuat dalam satu perjanjian yang
komprehensif, tetapi tersusun dalam serangkaian perjanjian yang
mencakup banyak aspek. Tidak hanya tentang tarif dan
pengurangan/penghapusan hambatan perdagangan barang tetapi juga
menyangkut investasi, penyelesaian sengketa, jasa keuangan,
kebebasan pergerakan orang, dan lain-lain yang semuanya dibuat
sebagai suatu kerangka hukum yang terintegrasi bagi landasan
berlangsungnya perdagangan bebas atau bagi terwujudnya masyarakat
ekonomi ASEAN.
80. Bahwa, perjanjian-perjanjian ASEAN yang luas tersebut di atas selama
ini hanya disahkan dengan Keppres, seperti: ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA) yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden No. 2
Tahun 2010; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA)
yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2011; dan
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS).
81. Bahwa hal yang sama terjadi dengan perjanjian perlindungan
40
penanaman modal. Selama ini perjanjian perlindungan penanaman
modal hanya disahkan dengan Keppres atau Perpres. Misalnya,
Perjanjian Peningkatan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) atau
dikenal dengan Bilateral Investment Treaty (BIT), antara Indonesia
dengan Singapura yang disahkan dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2006.
Atau P4M antara Indonesia dengan India dengan Keppres Nomor 93
Tahun 2003. Padahal isi di dalam perjanjian tersebut bukan hal yang
menyangkut prosedural ataupun teknis. Di dalam perjanjian tersebut
menyangkut ketentuan yang didalamnya berisi kewajiban Indonesia
untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan investor asing, seperti
tindakan diskriminasi, tindakan nasionalisasi, serta tindakan
pengamanan terhadap investor asing. Jika Indonesia melanggar maka
Indonesia dapat digugat oleh Investor asing di arbitrase internasional.
Mekanisme ini disebut penyelesaian sengketa antara investor dan
negara (Investor to State Dispute Settlement/ISDS)
82. Bahwa, Indonesia sudah punya paling tidak 8 pengalaman kasus
gugatan investor asing terhadap Indonesia dengan nilai klaim kerugian
yang dimintakan ganti rugi oleh investor mencapai milyaran dollar
Amerika. Beberapa kasusnya seperti gugatan Rafat Ali Rizvi (kasus Bank
Century), Churcill Mining (Inggris), Planet Mining, Newmont (Belanda),
India Metal Ferro Alloys (India), dan lain sebagainya.
83. Bahwa, dari pengalaman gugatan tersebut, Pemerintah Indonesia
menyadari perjanjian perlindungan penanaman modal memiliki
persoalan besar terhadap kedaulatan negara. Merujuk pada sebuah
tulisan yang ditulis oleh Abdul Kadir Jailani “Indonesia’s perspective on
review of international investment agreement”, dalam sebuah buku yang
berjudul “Rethinking Bilateral Investment Treaties: Critical Issues and
Policy Choices”, disebutkan bahwa ada 4 alasan mengapa Indonesia
pada akhirnya harus melakukan review terhadap perjanjian perlindungan
penanaman modal, yaitu:
Pertama, tidak adanya keseimbangan antara perlindungan investor dan
kedaulatan nasional; Kedua, ketentuan dalam perjanjian memberikan
perlindungan dan hak-hak yang luas bagi investor asing, membiarkan
negara tuan rumah tidak memiliki ruang kebijakan (policy space) untuk
41
menerapkan tujuan pembangunannya sendiri. Ketiga, permasalahan
yang ditimbulkan dari Penyelesaian Sengketa Investor-Negara Bagian
(ISDS), yang telah meningkatkan eksposur Indonesia terhadap klaim
investor dalam arbitrase internasional. Keempat, ketentuan perjanjian
investasi internasional berpotensi mengesampingkan undang-undang
nasional.
84. Bahwa, dampak dari perjanjian investasi internasional yang memuat
mekanisme ISDS ini juga telah menghilangkan fungsi negara dalam
menjalankan kewajiban pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap
rakyatnya. Dalam laporan A/HRC/30/44 tanggal 14 Juli 2015 yang
disusun oleh United Nations Independent Expert on the Promotion of a
Democratic and Equitable International Order, Alfred Mauritius De Zayas,
secara eksplisit menyatakan bahwa pelaksanaan ISDS yang diatur di
dalam sebuah perjanjian perdagangan dan perjanjian investasi
internasional telah menggangu fungsi negara dalam mengatur
kepentingan umum melalui praktek chilling effect dalam mengadopsi
peraturan yang melindungi lingkungan, keamanan pangan, akses
terhadap obat-obatan yang murah, dan pelaksanaan konvesi
pengendalian tembakau yang disepakati di bawah WHO. Dampak dari
“Chilling effect” dari penerapan ISDS telah mencegah negara dalam
melaksanakan kewajibannya untuk menghormati, memenuhi, dan
melindungi hak asasi manusia. De Zayas memastikan bahwa hilangnya
ruang kebijakan negara karena penerapan mekanisme ISDS di bawah
perjanjian perdagangan dan investasi internasional telah bertentangan
dengan Pasal 28 dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
dan Pasal 2 Kovenan internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
85. Bahwa perjanjian international menyangkut kerjasama di: 1) bidang
ekonomi, 2) ilmu pengetahuan, 3) teknik, 4) perdagangan internasional,
5) kebudayaan, 6) pelayaran niaga, 7) penghindaran pajak berganda,
dan 8) kerja sama perlindungan penanaman modal merupakan
perjanjian internasional yang menimbulkan dampak yang luas bagi
masyarakat dan menimbulkan beban keuangan negara, akan tetapi
perjanjian internasional tersebut diatas walaupun berdampak luas bagi
masyarakat dan menimbulkan beban keuangan Negara dan/atau
42
mengharuskan pembentukan atau perubahan undang-undang,
perjanjian internasional tersebut tidak disahkan dengan undang-undang,
karena perjanjian tersebut diatas dianggap tidak masuk kategori/ kriteria
yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang a quo.
86. Bahwa pembatasan perjanjian internasional yang dapat disahkan
dengan undang-undang telah mengabaikan perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan pembentukan atau perubahan undang-undang yang tidak
diatur sebagaimana ketentuan Pasal 10 Undang-undang a quo.
87. Bahwa dengan demikian Pasal 10 Undang-Undang a quo bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang frasa
“menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan Negara dan perubahan atau
pembentukan undang-undang” dimaknai hanya terbatas pada kategori
: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b)
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi
manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f)
pinjaman dan/atau hibah luar negeri”;
4. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang” dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik,
perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah
atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan
atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar
negeri.”
88. Bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional menyatakan:
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
43
apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri”.
89. Bahwa Pasal 28D ayat (1) menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”;
90. Bahwa perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kualifikasi
Pasal 10 Undang-Undang a quo, maka hanya perlu disahkan dengan
Keputusan Presiden/ Keppres (sekarang Peraturan Presiden/Perpres).
Perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama di bidang ekonomi,
ilmu pengetahuan, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga,
penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman
modal merupakan perjanjian internasional yang menimbulkan dampak
yang luas bagi masyarakat dan menimbulkan beban keuangan Negara,
akan tetapi perjanjian internasional tersebut diatas disahkan dengan
keputusan presiden.
91. Bahwa ada perjanjian internasional dibidang pinjaman dan/atau hibah
luar negeri yang hanya disahkan dengan Keputusan Presiden/ Keppres
(sekarang Peraturan Presiden/Perpres). Seharusnya berdasarkan Pasal
10 Undang-Undang a quo perjanjian tersebut harus disahkan dengan
undang-undang. Perjanjian tersebut terkait dengan keikutsertaan
Indonesia sebagai anggota Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Pada tahun 2015 Pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian
pembentukan AIIB ini dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 171
Tahun 2015.
92. Bahwa, perjanjian pembentukan AIIB itu bukan hanya sekedar bersifat
teknis dan prosedural, tetapi ini menyangkut keterikatan Indonesia
dengan utang luar negeri yang tentunya akan berdampak terhadap
44
beban keuangan negara. Faktanya setelah Indonesia bergabung
menjadi anggota AIIB, Pemerintah Indonesia telah menandatangani
Loan Agreement dengan AIIB sebesar US$ 406 juta untuk proyek
pembangunan Regional Infrastructure Development Fund dan US$ 300
juta untuk pembangunan bendungan (Dam Operation Improvement).
93. Bahwa, pengesahan perjanjian pembentukan AIIB melalui Keputusan
Presiden (sekarang Peraturan Presiden) menunjukan adanya ketidak
selarasan mengenai kualifikasi pengesahan perjanjian internasial melalui
undang-undang dan pengesahan melalui Keputusan Presiden.
94. Bahwa ketidak selarasan megenai kualifikasi-kualifikasi pengesahan
perjanjian internasional melalui undang-undang dan pengesahan melalui
Keputusan Presiden (sekarang Peraturan Presiden) telah menimbulkan
ketidak pastian hukum.
95. Bahwa Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang a quo telah menimbulkan
ketidakpastian hukum maka Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang a quo
telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945.
5. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional beserta penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar ahun 1945.
96. Bahwa Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional berbunyi:
(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk
materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan
presiden;
97. Bahwa penjelsan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo berbunyi:
“Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas
perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai
berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan
memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi
peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang
termasuk dalam kategori ini, di antaranya adalah perjanjian induk yang
45
menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga,
penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman
modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis”;
98. Bahwa Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”;
99. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
100. Bahwa dikarenakan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo beserta
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 Undang-Undang a quo
yang menurut hemat PARA PEMOHON, Pasal 10 Undang-Undang a quo
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa
“menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara” dimaknai hanya terbatas
pada kategori: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan
keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d)
hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum
baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”;
101. Bahwa karena Pasal 10 Undang-Undang a quo telah memberikan
batasan terhadap Perjanjian Internasional yang dapat disahkan dengan
undang-undang dinyatakan inkonstitusional dan juga telah terdapat
ketidakselarasan mengenai kualifikasi perjanjian internasional yang
pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dengan
pengesahan melalui peraturan presiden, maka pembatasan pengesahan
46
perjanjian internasional dengan Keputusan Presiden sebagaimana Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang a quo berserta Penjelasan Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 dan harus juga dinyatakan inkonstitusional;
F. KESIMPULAN
1. Pasal 2 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Pasal 9 ayat (2) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional telah mengganti frasa “dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat” dengan frasa “pengesahan dengan undang-undang” sehingga
menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat di bagian akhir penyusunan
perjanjian Internasional dengan hanya berperan mengesahkan perjanjian
internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia, sehingga Pasal 9
ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pasal 10 Undang Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara” dimaknai
hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan,
dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak
asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f)
pinjaman dan/atau hibah luar negeri”;
4. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” dimaknai
hanya terbatas pada kategori : a) masalah politik, perdamaian, pertahanan,
dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak
47
asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f)
pinjaman dan/atau hibah luar negeri”;
5. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional berserta Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal
11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
6. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional beserta Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
G. PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini PARA PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang
Mulia agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
2. Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya:
2.1 Pasal 2 Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
185;
2.2 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 185;
2.3 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
185. sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara” dimaknai
hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau
hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e)
48
pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar
negeri”;
2.4 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional beserta Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti
P-15, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon I;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon II;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon III;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon IV;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon V;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon VI;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon VII;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon VIII;
11. Bukti P-11 : Fotokopi Anggaran Dasar Pemohon IX;
12. Bukti P-12 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon X sampai dengan
Pemohon XIV;
13. Bukti P-13 : Fotokopi Surat Presiden Soekarno kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Nomor 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960, perihal
Pembuatan Perjanjian-Perjanjian Dengan Negara Lain;
14. Bukti P-14 : Fotokopi Memorandum Saling Pengertian antara Departemen
Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia dan Kementrian
49
Pertahanan Republik Italia tentang Kerjasama Dalam Bidang
Peralatan, Logistik dan Industri Pertahanan (Memorandum of
Understanding Between The Department of Defence and
Security of The Republik of Indonesia and The Ministry of
Defence of The Italian Republic Concerning Cooperation In The
Field of Defence Equipment, Logistic and Industry)
15. Bukti P-15 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara
Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia
dan Kementrian Pertahanan Republik Italia tentang Kerjasama
Dalam Bidang Peralatan, Logistik dan Industri Pertahanan
(Memorandum of Understanding Between The Department of
Defence and Security of The Republik of Indonesia and The
Ministry of Defence of The Italian Republic Concerning
Cooperation In The Field of Defence Equipment, Logistic and
Industry).
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan keterangan tertulis Ahli a.n.
Irfan R. Hutagalung, Cenuk Widiyastrisna Sayekti, Boli Sabon Max, Luthfiyah Hanim,
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 April 2018 dan 21 Mei
2018, serta didengarkan dalam persidangan pada tanggal 30 April 2018 dan 22 Mei
2018, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Irfan R. Hutagalung
Maksud Dan Tujuan Pembentukan
1. Maksud dan tujuan pembentukan UU ini yang terlihat secara normatif
termaktub dalam konsiderannya bahwa: pertama, ketentuan tentang
kekuasaan pembuatan dan prosedur internal pengikatan (atau dalam
bahasa UU a quo disebut pengesahan) kepada perjanjian internasional
dalam UUD 1945 sangat singkat. Kedua, surat Presiden Republik
Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang
"Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" yang dijadikan
pedoman bahkan hukum kebiasaan pada waktu itu dinilai “tidak sesuai lagi
dengan semangat reformasi” dan ketiga karena sifat pedoman tadi yang
berupa surat presiden dari segi bentuk hukumnya atau dari segi
50
perundang-undangan, dianggap kurang kuat dan tidak jelas. Padahal,
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional adalah hal yang
sangat penting. Sehingga, perlu dibuat UU a quo. Juga, dalam bagian
Penjelasan Umum UU ini disebutkan bahwa Undang-Undang a quo
“merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan
Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 bersifat ringkas sehingga
memerlukan penjabaran lebih lanjut.” Semua alasan ini dapat diterima.
Persoalan kemudian adalah apakah maksud dan tujuan tadi terwujud
dalam keseluruhan norma yang termaktub dalam UU itu atau tidak bukan?
Paparan di bawah ini akan menjawab pertanyaan itu.
Tidak Menjabarkan Malah Mengganti Persetujuan Menjadi Pengesahan
2. Seperti disebutkan UU a quo bertujuan menjabarkan ketentuan Pasal 11
UUD. Namun, alih-alih menjabarkan, UU a quo malah membuat ketentuan
yang berbeda dan menimbulkan pertentangan dengan Pasal 11 UUD itu
sendiri. Seperti yang dapat dibaca, Pasal 11 UUD menentukan
kewenangan DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan
presiden dalam membuat perjanjian internasional (baca: mengikatkan diri
kepada perjanjian internasional). Tetapi, sebagaimana dapat dilihat dalam
batang tubuh UU a quo, persetujuan DPR tidak ada lagi disebut-sebut. UU
a quo malah menentukan kewenangan lain bagi DPR yakni kewenangan
untuk mengesahkan suatu perjanjian internasional tertentu sebagaimana
diatur di dalam Pasal 9 ayat (2). Uniknya, kekuasaan itu harus pula dibagi
dengan Presiden karena kekuasan mengesahkan itu harus diwujudkan
dalam bentuk UU. Sebagaimana kita semua tahu, UU adalah produk
bersama antara Presiden dengan DPR. Sementara itu, tentang
kekuasaaan pengesahan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 9 ayat (2)
dan pasal-pasal setelahnya terkait pengesahan juga menimbulkan
persoalan lain. Persoalan ini akan dibahas dalam paragraf 4.
Pengesahan Tidak Dapat Disamakan Dengan Persetujuan
3. Sebagian pihak mengatakan bahwa Pasal 9 ayat (2) yang menyebutkan
pengesahan perjanjian tertentu yang dilakukan dengan UU harus dibaca
sebagai bentuk permintaan persetujuan yang diajukan Presiden
51
(pemerintah) kepada DPR sebagaimana dikehendaki Pasal 11 UUD. Saya
menolak pandangan ini. Berikut alasannya. Pertama, persetujuan DPR
patutlah tidak diwujudkan dalam bentuk UU karena persetujuan haruslah
produk tindakan sepihak DPR bukan tindakan dua belah pihak
sebagaimana UU. Kedua, sebagian pihak mungkin mengatakan bahwa UU
dalam konteks ini harus dibaca sebagai UU formal (lawan dari UU materil).
Pandangan ini juga tidak tepat karena secara normatif dan praktik, proses
pembuatan UU dimaksud sama saja dengan proses pembuatan UU
materil. Ketiga, jika dibaca secara seksama, walau dirumuskan secara
keliru, Pasal 9 UU a quo itu sesungguhnya mengatur tentang cara
pengikatan (consent to be bound) terhadap perjanjian internasional. Ini
karena di dalam Pasal itu mengatur tentang ‘pengesahan perjanjian
internasional. Sementara kata ‘pengesahan’ sendiri artinya menurut Pasal
1 butir 2 UU a quo adalah: “perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada
suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification) aksesi
(accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).”
Sehingga, sekali lagi, Pasal 9 (2) adalah tentang pernyataan pengikatan
diri kepada perjanjian internasional bukan permintaan persetujuan
pemerintah kepada DPR. Namun, pernyataan pengikatan diri itu
dirumuskan secara keliru karena mencampuradukkan proses internal yang
tunduk pada hukum nasional dengan proses eksternal yang tunduk pada
hukum internasional.
Pengesahan Merupakan Pernyataaan Pengikatan Diri
4. Dalam Paragraf 2, saya telah menyebutkan bahwa kekuasaan
mengesahkan perjanjian internasional bermasalah. Berikut penjelasannya.
Jika diperhatikan, Pasal 1 butir 2 UU a quo tentang pengertian
‘pengesahan’, pengesahan adalah suatu perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification) aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan
penyetujuan (approval). Namun, pengertian pengesahan yang dijelaskan
dalam Pasal 1 butir 2 ini berubah maknanya ketika diaplikasikan dalam
pasal-pasal yang termaktub dalam Bab 3 Tentang Pengesahan. Misalnya,
Dalam Pasal 9 (1) disebutkan: Pengesahan perjanjian internasional oleh
Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
52
perjanjian internasional tersebut. Lalu, Ayat (2) berbunyi “Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Penjelasan Pasal Demi
Pasal terkait ayat ini meneguhkan norma Pasal 9 ayat (2) itu bahwa
perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional dilakukan dengan UU atau Kepres (sekarang Perpres). Jika
pengertian kata ‘pengesahan’ sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir
2 di atas diterapkan dalam Pasal 9 ayat (2) ini, maka Pasal (2) ini menjadi
tidak masuk akal dan tidak mungkin dilaksanakan karena tidak pernah dan
tidak mungkin pemerintah menggunakan UU, Keppres, atau Perpres
sebagai suatu bentuk perbuatan hukum untuk mengikatkan diri kepada
perjanjian internasional sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11
Vienna Convention on the Law of Treaties atau Konvensi Wina 1969 terkait
aturan tentang consent to be bound. Dengan pengertian ini berarti, peran
DPR yang seharusnya menyetujui atau menolak tindakan pemerintah yang
akan mengikatkan negara kepada suatu kesepakatan internasional
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UUD berubah perannya
menjadi pembuat pernyataan pengikatan (consent to be bound) bersama-
sama dengan Presiden (pemerintah) melalui suatu undang-undang. Ini
tentu membingungkan dan tidak mungkin diaplikasikan karena memang
DPR dan Presiden tidak mungkin melakukan itu dan rasanya tidak pula
lembaga perwakilan manapun di dunia ini melakukannya. Menyatakan
terikat (meratifikasi) kepada perjanjian internasional adalah pekerjaannya
pemerintah semata sebagaimana disebut dalam Pasal 9 ayat (1) UU a quo
yang dilakukan dengan mendepositkan atau mempertukarkan kepada
pihak peserta perjanjian apa yang disebut sebagai instrumen ratifikasi
(instrument of ratification). Instrumen ini bukan undang-undang, bukan
pula produk DPR.
Kesalahan Menentukan Wilayah Hukum Nasional dengan Wilayah Hukum
Internasional
5. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU a quo ini berbunyi demikian patut diduga
karena ketidaktepatan dalam meletakkan dan menentukan mana wilayah
keberlakuan hukum nasional -dalam hal ini hukum administrasi negara dan
hukum tata negara- di satu sisi, dengan wilayah keberlakuan hukum
53
internasional di sisi lain dalam rentang proses tindakan meminta
persetujuan untuk mengikatkan diri sebagaimana dikehendaki Pasal 11
UUD dan tindakan mengikatkan diri itu sendiri sebagaimana diatur di
dalam Konvensi Wina. Persetujuan atau penolakan DPR adalah tindakan
atau perbuatan hukum dalam lingkup hukum nasional yang diatur menurut
hukum nasional, sementara pernyataan pengikatan yang dilakukan oleh
pemerintah-berdasarkan persetujuan DPR tadi, adalah tindakan atau
perbuatan hukum internasional yang dilakukan berdasarkan hukum
internasional pula. Sehingga, prase “pengesahan perjanjian internasional
dengan undang-undang” tidak seharusnya ada, melainkan seharusnya
prase “DPR menyetujui (tidak menyetujui) pengikatan kepada perjanjian
internasional” agar sejalan dengan Pasal 11 UUD. Lalu, setelah disetujui
DPR barulah kemudian pemerintah mememiliki dasar untuk menyatakan
keterikatannya dengan perjanjian itu.
Masih Tentang Kesalahan Menentukan Wilayah Hukum Nasional dengan
Wilayah Hukum Internasional
6. Kembali ke persoalan penjabaran dan kekeliruan menentukan wilayah
keberlakukan hukum nasional dan internasional. UU a quo menjabarkan
Pasal 11 UUD dengan membuat ketentuan tentang aspek-aspek sebagai
berikut:
a. pembuatan perjanjian internasional seperti: siapa pejabat atau
kementerian yang berwenang untuk membuat perjanjian dan
panduan bagi mereka dalam membuat perjanjian itu;
b. pengesahan perjanjian internasional;
c. pemberlakuan perjanjian internasional;
d. penyimpanan perjanjian internasional; dan
e. pengakhiran perjanjian internasional.
Dari beberapa substansi aturan yang dijabarkan itu, UU a quo telah
mencampuradukkan dimensi wilayah keberlakukan hukum nasional dan
wilayah keberlakuan hukum internasional di luar dari apa yang saya sebut
di paragrap sebelumnya. Hal ini misalnya terlihat pada aspek pengaturan
tentang pengakhiran perjanjian. Dalam UU a quo Pasal 18 butir huruf ‘h’
disebutkan: Perjanjian internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang
merugikan kepentingan nasional. Penentuan tentang kapan berakhirnya
54
perjanjian internasional bukanlah wilayah hukum nasional alias bukan
wilayah UU a quo, melainkan wilayah hukum internasional alias wilayah
hukum perjanjian internasional yang tersebut di dalam Konvensi Wina
1969. Hal yang sama ditemukan juga pada bagian Penjelasan Pasal Demi
Pasal terkait Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU a quo disebutkan: “ ....
Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku
setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.” Sebagaimana ketentuan tentang saat dimulai
berlakunya perjanjian internasional, hukum internasional juga mengatur
saat berakhirnya perjanjian internasional. Hukum nasional tidak dapat
mengatur sepihak kapan mulai berlakunya perjanjian internasional. Hukum
nasional hanya dapat memilih atau menentukan kapan perjanjian
internasional mengikat dirinya dengan menentukan kapan suatu negara
mau mengikatkan diri kepada perjanjian internasional. Hukum nasional
atau UU a quo bisa saja menulis ulang isi konvensi itu tetapi tidak bisa
mengatur berbeda dan bertentangan dengan konvensi dimaksud, apalagi
mengatur objek yang masuk dalam wilayah hukum internasional.
Sekali Lagi: Tidak Menjabarkan Malah Membuat Ketentuan Yang
Bertentangan Dengan UUD
7. Selain dari kesalahkaprahan Pasal 9 ayat (2) terkait penjabaran konsep
persetujuan yang berubah menjadi pengesahan atau pernyataan
pengikatan diri kepada perjanjian internasional sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, Pasal 10 UU a quo melahirkan kontradiksi lain
dengan UUD, walaupun pengesahan perjanjian internasional itu dimaknai
sebagai permintaan persetujuan pemerintah kepada DPR. Pasal 10 UU a
quo menyebutkan: Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan
undang-undang apabila berkenaan dengan :
1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
3) kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5) pembentukan kaidah hukum baru;
6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
55
Sekali lagi, walaupun pengesahan dimaknai persetujuan, Pasal 10 ini telah
menyimpangi UUD Pasal 11. Berikut alasannya: Pasal 10 UU a quo telah
membuat kriteria atau kualifikasi yang tertutup (exhaustive) terbatas pada
enam aspek dimaksud, sementara Pasal 11 ayat (2) UUD membuat kriteria
yang terbuka. Pasal 11 ayat (2) UUD menyebutkan: “Presiden dalam
membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Memang, Pasal 10 UU a quo ini lahir terlebih dahulu dari Pasal 11 ayat (2)
UUD. Sehingga, sebagian pihak mungkin mengatakan tidaklah tepat untuk
menghadapkan Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 11 ayat (2) UUD.
Baiklah, untuk sementara ahli akan kesampingkan menghadap-hadapkan
Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 11 ayat (2) UUD.
Dengan demikian, Pasal 10 ini harus dihadapkan pada Pasal 11 lama yang
sekarang menjadi Pasal 11 ayat (1). Artinya, sesuai dengan maksud
pembentukannya, Pasal 10 UU a quo akan menjabarkan lebih lanjut
ketentuan Pasal 11 ayat (1) ini, bukan? Pertanyaannya kemudian adalah,
apakah Pasal 10 berhasil mencapai maksudnya untuk menjabarkan
ketentuan Pasal 11 ayat (1). Untuk menjawab ini saya perlu kembali ke
Surat Presiden Soekarno yang disebutkan di awal. Surat ini punya maksud
yang sama dengan UU a quo yakni bagaimana menjabarkan atau
mengimplementasikan Pasal 11 ayat (1) itu karena jika semua perjanjian
internasional harus memerlukan persetujuan DPR maka akan merepotkan
pemerintah sendiri dan dapat menggangu kefektifitasan hubungan luar
negeri sebagaimana pernah disampaikan oleh Soekarno dalam suratnya
itu. Lalu, dalam surat itu juga Presiden Sokarno membuat kriteria perjanjian
internasional yang memerlukan persetujuan DPR yakni:
“... Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri negara,... Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya
sehingga bisa mempengaruhi haluan politik luar negeri negara.... dan Soal-
soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem
perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang....”
56
Jelas terlihat bahwa kualifikasi yang dibuat oleh Presiden waktu itu sama
karakternya dengan Pasal 11 ayat (2) yang dibuat 42 tahun kemudian,
yakni sama-sama bersifat terbuka. Dengan demikian, Surat Presiden itu
lebih berhasil melaksanakan Pasal 11 ayat (1) UUD.
Mengingat bahwa Pasal 11 ayat (2) ini lahir belakangan dibandingkan
dengan Surat Presiden itu dan bahkan muncul setelah lahirnya Pasal 10
UU a quo, sangatlah fair untuk mengatakan Pasal 11 ayat (2) UUD lebih
memilih kriteria yang digunakan oleh Surat Presiden dibandingkan dengan
kriteria yang digunakan oleh Pasal 10 UU a quo. Artinya, jika norma UUD
yang lahir belakangan menyimpangi norma UU a quo yang lahir lebih
dahulu, dapatlah dipastikan norma UU itu bertentangan dengan norma
UUD. Jadi, andaipun dimungkinkan untuk menghindari menilai Pasal 10
UU a quo dengan Pasal 11 ayat (2) UUD karena Pasal 10 itu lahir terlebih
dahulu, tetapi mutlak tidak dapat dihindari untuk menghadapkan Pasal 11
ayat (2) UUD dengan Pasal 10 UU itu. Selain adanya dimensi
pertentangan ini, mungkin timbul pertanyaan: Apa masalahnya jika Pasal
10 UU a quo membuat kriteria atau kualifikasinya tertutup? Penjelasannya
adalah sebagai berikut ini.
Kriteria Problematis
8. Enam kualifikasi substantif perjanjian internasional yang disebut pada
Pasal 10 UU a quo memiliki makna implisit bahwa enam kriteria perjanjian
internasional itu adalah jenis-jenis perjanjian internasional yang penting
karena memerlukan UU dalam pengesahannya (jika dimaknai pengesahan
adalah permintaan persetujuan DPR sebagaimana saya singgung di atas).
Sementara secara a contrario perjanjian internasional di luar enam
kualifikasi itu adalah kurang penting. Sehingga, cukuplah pengesahannya
dengan Perpres. Persoalannya adalah apakah perjanjian internasional
yang penting terbatas hanya pada enam kualifikasi tersebut? Jawabannya
adalah tidak. UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan dalam Pasal
84 ayat (3) huruf a dan huruf b menyebutkan:
a. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
57
pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan dengan
undang-undang.
b. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional tidak menimbulkan
dampak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya
dilakukan dengan Peraturan Presiden.
Dari ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa selain enam kriteria itu, ada
kriteria lain yang juga penting. Yakni, perjanjian yang mengatur tentang
perdagangan internasional yang substansinya “menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang ....” Sehingga, pengesahannya harus dilakukan dengan
UU.
Bercermin dari UU Perdagangan, maka dapat diketahui bahwa substansi
perjanjian internasional yang “menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang” pasti banyak atau tidak terbatas pada enam kriteria yang disebut
di dalam Pasal 10 UU a quo dan Pasal 84 ayat (3) huruf a UU
Perdagangan. Dari UU Perdagangan ini pula, secara sangat meyakinkan
kita harus mengatakan bahwa kriteria Pasal 10 UU a quo yang bersifat
tertutup tidak bisa diterima. UU Perdagangan menggunakan kriteria Pasal
11 ayat (2) UUD yang bersifat terbuka. Jangankan terhadap perjanjian
internasional yang spektrum substansinya sangat luas, bahkan terhadap
perjanjian perdagangan yang sangat spesifikpun substansi aturannya bisa
sangat terbuka: “ada yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang”
ada yang tidak- sehingga cukup disahkan dengan Peraturan Presiden.
Sementara itu, dari sisi kewenangan DPR, enam kriteria tertutup ini jelas
telah mengibiri lembaga perwakilan rakyat itu mengontrol tindakan
pemerintah dalam mengikatkan diri kepada perjanjian internasional dan ini
adalah persoalan yang sangat serius.
Contoh Perjanjian Internasional Yang Membawa Akibat Yang Luas dan
Mendasar
58
9. Sejak berlaku tahun 2000 dan dengan segala permasalahan yang telah
dipaparkan di atas, UU a quo dan secara spesifik Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 11 telah menjadi dasar bagi Presiden (pemerintah) dan juga DPR
dalam mengikatkan diri kepada perjanjian internasional. Sejak tahun 2000
itu pula, pemerintah telah membuat ratusan perjanjian internasional. Di
antara sekian banyak perjanjian itu ada perjanjian internasional “yang
menimbulkan dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang” tetapi pengesahannya
dilakukan dengan Peraturan Presiden seperti perjanjian-perjanjian
tersebut di atas. Saya tidak akan merinci satu persatu perjanjian-perjanjian
dimaksud. Namun jelas, hampir semua perjanjian kemitraan ekonomi
selalu diratifikasi setelah terbit Perpres atau dalam bahasa UU a quo
disahkan melalui Perpres.
Dalam lingkup ASEAN misalnya, Indonesia terikat pada perjanjian
perdagangan/investasi bebas melalui ASEAN Framework Agreement on
Services (AFAS) 1995 yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor
88 Tahun 1995; ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) 2009 yang
disahkan pada tahun 2010 dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun
2010; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) tahun 2009
yang sahkan Indonesia pada tahun 2011 dengan Peraturan Presiden No.
49 Tahun 2011. Semua perjanjian dalam rangka mewujudkan masyarat
ekonomi ASEAN alias pasar bebas ASEAN itu -menurut bahasa UU a quo-
disahkan dengan Peraturan Presiden bukan dengan UU. Yang lain adalah
perjanjian internasional yang bernama: Agreement Between The Republic
of Indonesia and Japan For An Economic Partnership 2007 atau yang
biasa disebut Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA), yang
disahkan lewat Perpres Nomor 36 Tahun 2008.
Perjanjian ini adalah suatu perjanjian internasional tentang kemitraan
ekonomi antara Indonesia dengan Jepang. Perjanjian yang terdiri dari tidak
kurang 154 pasal mengatur kerjasama ekonomi dua negara yang sangat
luas. Mulai dari aturan perdagangan berbagai jenis produk dan jasa,
kepabeanan dan bea masuk, pajak, investasi, hak atas kekayaan
intelektual (hak cipta, merek dagang, disain industri, paten) persaingan
59
usaha, penyediaan barang pemerintah (government procurement)
pergerakan orang, sampai dengan penyelesaian sengketa. Luasnya
cakupan perjanjian dan mengingat besarnya nilai dan volume kerjasama
ekonomi antara Indonesia dan Jepang, terlihat jelas bahwa perjanjian ini
memiliki dampak yang luas bagi Indonesia dan oleh karenanya sangat
penting. Jepang sendiri menganggap perjanjian ini penting. Sehingga,
Pemerintah Jepang memerlukan persetujuan parlemennya terlebih dahulu
sebelum menyatakan terikat dengan perjanjian ini. Namun, seperti
disebutkan sebelumnya, Indonesia menyatakan keterikatannya dengan
perjanjian ini setelah diterbitkannya Perpres. Pemerintah tidak meminta
persetujuan dari DPR.
Contoh lain adalah berbagai Perjanjian Perdagangan bebas ASEAN-China
yang mulai dibentuk pada tahun 2002 melalui perjanjian internasional
bernama Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-
operation Between The Association Of South East Asian Nations And The
People's Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai
Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China tahun 2002
yang disahkan melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004. Ada banyak
perjanjian internasional lain yang dibuat antara negara-negara ASEAN
termasuk Indonesia dengan China ini dalam mengimplementasikan
framework agreement itu seperti Agreement on Trade in Goods of the
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation
Between The Association Of South East Asian Nations And The People's
Republic Of China (Perpres No.25/2011), Agreement on Investment of the
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation
Between The Association Of South East Asian Nations And The People's
Republic Of China (Perpres No. 57/2010), dan Agreement on Trade in
Services of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-
operation Between The Association Of South East Asian Nations And The
People's Republic Of China (Perpres No. 18/2008) plus amandemen dan
protokol-protokolnya. Indonesia ikut menjadi pihak dalam paket perjanjian
internasional pasar bebas di bidang perdagangan dan investasi ini dan
pengesahannya dilakukan tidak dengan UU walau dampak dari rangkaian
60
perjanjian-perjanjian ini sangat besar. Menurut Serikat Petani Indonesia
(SPI), pasar bebas antara ASEAN dengan China dimana Indonesia ikut di
dalamnya membuat pertanian Indonesia terancam. Petani bawang putih
kita misalnya adalah salah satu pihak yang paling terkena dampak buruk
dari perjanjian internasional ini.
Sementara itu, banyak kalangan menilai Perjanjian Kemitraan Ekonomi
dengan Jepang itu merugikan Indonesia. Ini dikatakan antara lain oleh
Menteri Perindustrian MS Hidayat sebagaimana dilaporkan oleh media
Bisnis Indonesia yang ditulis ulang pada situs Kementerian Perindustrian.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian
setelahnya yakni Saleh Husin sebagaimana dilaporkan oleh CNN
Indonesia. Memang, ada juga laporan yang menyebutkan bahwa IJEPA
menguntungkan Indonesia. Namun, tidak dapat dibantah bahwa ketika
Indonesia menunda bea masuk mobil impor utuh completely build up
(CBU) dari Jepang karena Indonesia menilai penurunan bea masuk ini
akan menghambat investasi industri mobil -padahal penurunan itu telah
disepakati dalam IJEPA- itu berarti bahwa perjanjian IJEPA ini merugikan
Indonesia. Secara umum, perjanjian ini dinilai tidak menguntungkan
Indonesia sehingga muncul keinginan dari pihak Indonesia untuk mengkaji
ulang atau mengamendamennya. Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa pemerintah mengesahkan perjanjian internasional yang penting
ini dengan Perpres? Jawabannya jelas. Ini karena kategori atau kualifikasi
perjanjian internasional dimaksud di luar kriteria perjanjian internasional
yang pengesahannya dilakukan dengan UU sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 10 UU a quo. Sehingga, bentuk pengesahan perjanjian itu
masuk dalam kategori Pasal 11 UU a quo.
Hak Konstitusionalitas Yang Diberikan UUD
10. Akhirnya, ahli akan sampaikan pendapat terkait hak dan kerugian
konstitusionalitas akibat berlakunya UU a quo. Pertanyaan
fundamentalnya adalah: Apa hak konstitusionalitas yang dimiliki warga
negara dan kerugian konstitusionalitas sehubungan dengan UU a quo?
Negara Republik Indonesia adalah negara yang dalam konstitusinya
memberikan perhatian yang serius terhadap sistem perekonomiannya
termasuk menentukan bentuk usaha perekonomian yang berasaskan
61
kekeluargaan. Sehingga, dalam hubungan ini, cabang-cabang produksi
penting termasuk air dan kekayaan yang terkandung di dalam bumi pertiwi
dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Ini
termaktub jelas dalam Pasal 33 UUD. Bahkan, pada perubahan UUD
tahun 2002, komitmen konstitusionalitas dipertegas dan diperluas lagi
dengan menyebut bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.”, sebagaimana dapat dibaca pada ayat (4) dalam Pasal 33 UUD
itu.
Dengan demikian, UUD mewajibkan pemerintah untuk menjamin
terciptanya sistem perekenomian sebagaimana disebut di dalam Pasal 33
ayat (4) UUD itu. Melalui Pasal 33 ayat (4) ini pula, warga negara Republik
Indonesia secara konstitusional berhak untuk mendapatkan kesejahteraan
dan kemakmuran atau setidak-tidaknya berhak melakukan berbagai
aktivitas perekonomian untuk memperoleh kesejahteraan dan
kemakmuran dalam suatu sistem perekonomian yang harus pemerintah
ciptakan sesuai dengan kehendak Pasal 33 itu.
Jika pemerintah belum mampu mewujudkan sistem perekonomian ke arah
sana, setidak-tidaknya pemerintah tidak membuat -baik secara
keseluruhan atau sebagian- atau setidak-tidaknya pemerintah tidak
memfasilitasi suatu sistem perekonomian atau praktik usaha, industri,
perdagangan, investasi atau aktivitas perekonomian lain yang justru
bertentangan dengan sistem yang diperintahkan untuk dibentuk oleh UUD.
Kerugian Konstitusionalitas
11. Tidak mudah untuk menentukan apakah sistem perdagangan bebas
merugikan atau menguntungkan negara-negara yang terlibat. Banyak pro-
kontra seputar ini. Walaupun demikian, secara spesifik masih bisa
ditentukan apakah suatu jenis perjanjian kemitraan tertentu merugikan
atau menguntungkan negara peserta dalam suatu kurun waktu tertentu
seperti perjanjian-perjanjian yang sudah disebutkan di atas. Dalam konteks
Indonesia dan IJEPA serta perjanjian dalam kerangka pasar bebas ASEAN
dengan China, perjanjian-perjanjian itu merugikan perekonomian nasional
62
secara umum. Jika dikaitkan dengan industri otomotif Indonesia misalnya,
industri ini dapat terancam kemandiriannya, keberlangsungannya, atau
setidaknya akan terganggu akibat adanya ketentuan penurunan bea
masuk mobil dari Jepang sebagai konsekuensi perjanjian IJEPA itu. Serta,
jika dikaitkan dengan petani Indonesia jelas petani kita merugi karena
kalah bersaing dengan produk pertanian China akibat serangkaian
perjanjian pasar bebas ASEAN-China. Lalu, pertanyaan kuncinya adalah
apa hubungan antara hak yang diberikan konstitusi dalam Pasal 33 ayat
(4) dan kerugian yang timbul dari perjanjian internasional seperti IJEPA
dan perjanjian pasar bebas ASEAN-China dengan UU a quo yang
dimohonkan untuk diuji materi? Bukankah kerugian itu berasal dari IJEPA
dan perjanjian pasar bebas ASEAN-China bukan dari UU a quo? Lalu,
mengapa yang diuji adalah UU a quo?
Pemohon mengajukan uji materi terhadap perjanjian internasional yang
bernama Piagam ASEAN karena perjanjian internasional yang disahkan
melalui UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Asean Charter itu,
memuat Piagam ASEAN dalam lampirannya. Mengungat bahwa lampiran
UU adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan UU, maka mereka
memohon pengujiannya ke MK. Jika menggunakan logika ini dan jika
IJEPA disahkan dengan UU misalnya maka yang diuji adalah IJEPA-nya
karena IJEPA itu menjadi lampiran dari produk hukum yang
mengesahkannya. Walau permohonan tersebut ditolak, namun MK
sependapat dengan logika pemohon bahwa MK berwenang melakukan uji
materi perjanjian internasional Piagam ASEAN karena Piagam itu
merupakan lampiran dari UU Nomor 38 Tahun 2008 itu. Ahli dalam hal ini
tidak sependapat dengan putusan MK tersebut karena menurut tindakan
pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) UU a quo
adalah tindakan hukum nasional, sehingga yang patut diuji oleh MK adalah
tindakan hukum nasional itu. Sementara subtansi perjanjian internasional
dan ketentuan keterikatan atau ketidakterikatan kepadanya adalah wilayah
hukum internasional, sehingga hukum internasional pulalah yang harus
digunakan. Jadi, yang semestinya dilakukan MK dalam konteks uji materi
tersebut adalah menyatakan persetujuan yang dibuat dalam bentuk UU
Nomor 38 Tahun 2008 bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD.
63
Dan jika MK menyatakan bertentangan, putusan MK itu harus menjadi
dasar bagi pemerintah untuk mundur dari perjanjian dimaksud dan
dilakukan menurut syarat-syarat yang diatur dalam hukum internasional.
Dengan dasar argumen ini pulalah ahli hendak menjawab pertanyaan
hubungan antara hak yang diberikan UUD dan kerugian konstitusionalitas
yang ditimbulkan oleh suatu perjanjian yang disahkan dengan Perpres
seperti IJEPA dengan uji materi UU a quo. Bahwa tidak mungkin untuk
mengajukan permohonan uji materi perjanjian internasional walau
perjanjian internasional itu merupakan lampiran dari suatu UU yang
mengesahkannya karena permohonan itu bukan wilayah hukum dan
bukan wilayah peradilan nasional melainkan wilayah hukum internasional.
Yang mungkin dilakukan adalah membatalkan atau menguji materi
perundang-undangan yang mengesahkannya. Jika bentuk
pengesahannya adalah UU maka bisa diuji ke MK atau jika Perpres, bisa
diuji ke peradilan lain. Kemudian, terhadap pertanyaan bukankah yang
merugikan itu adalah perjanjian internasionalnya tetapi mengapa yang diuji
adalah UU a quo?
Semua perjanjian internasional sejak berlakunya UU a quo tahun 2000
dilakukan menurut UU ini. Walau memang, sejak berlakunya UU
Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 sebagian pengesahan perjanjian
internasional dilakukan menurut UU ini. Artinya, UU a quo lah –dalam hal
ini ketentuan tentang pengesahan yakni Pasal 9 ayat (2) Pasal 10 dan
Pasal 11 ayat (1)- yang menentukan berlakunya perjanjian-perjanjian
internasional yang merugikan hak konstitusional itu. Ini dilakukan dengan
memberikan kekuasaan pada pemerintah untuk menyatakan keterikatan
Indonesia kepada perjanjian seperti perjanjian IJEPA dan perjanjian
ASEAN China tanpa harus mendapat persetujuan DPR. Mungkin sebagian
pihak akan bertanya, bukanlah kerugian itu bersifat tidak langsung? Dan
bukankah -walau pengikatannya disetujui DPR- kerugian atau potensi
kerugian bisa saja terjadi?
Benar, kerugian yang ditimbulkan tidak langsung diciptakan oleh UU a quo
tetapi oleh perjanjian internasional. Namun, bukankah satu-satunya cara
membuat perjanjian internasional itu mengikat Indonesia karena Indonesia
64
yang menginginkannya dan keingainan itu hanya dapat terwujud jika telah
memenuhi ketentuan UU a quo?
Jika sifat kerugiannya harus bersumber langsung dari UU a quo,
bayangkan bagaimana warga negara yang hak konstitusionalitasnya
dirugikan atau berpotensi dirugikan menghentikan pemerintah untuk tidak
mengikatkan diri kepada perjanjian internasional yang demikian?
Terhadap pertanyaan: Bukankah kerugian atau potensi kerugian bisa saja
terjadi walau pengikatannya disetujui DPR? Memang benar, tidak ada
jaminan jika suatu perjanjian internasional yang telah dibuat pemerintah
lalu disetujui DPR pasti tidak akan merugikan Indonesia. Namun, jika UU
a quo membuat kriteria yang sejalan dengan UUD warga negara pemilik
hak lewat wakil-wakilnya di DPR -melalui proses yang ada di DPR yang
perlu dibuat partisipatif dan transparan- punya kesempatan untuk
menghentikan langkah pemerintah mengikatkan diri kepada perjanjian
internasional yang berpotensi merugikan hak-hak konstitusionalitas warga
negara dimaksud. Karena pemilik hak tidak mungkin menggugat atau
memohon pembatalan suatu perjanjian internasional kepada hukum
nasional melalui peradilan nasional, maka tidak ada jalan lain bagi rakyat
kecuali mengharapkan DPR dapat menghentikan usaha pemerintah untuk
mengikatkan diri kepada perjanjian internasional dengan meminta DPR
untuk tidak menyetujuinya. UU a quo yang sekarang diuji materi
menghilangkan harapan itu.
Oleh karena itu, jika majelis yang mulia biasanya memutuskan diterima
atau tidaknya uji materil suatu UU karena ada kerugian langsung dari UU
yang diujimaterilkan, izinkan ahli mengundang majelis untuk sungguh-
sungguh mempertimbangkan uji materi UU a quo yang sangat khas ini
dengan melihat kerugian yang tidak langsung yang diciptakannya. Khas
karena pada hakekatnya UU a quo hanya mengatur kewenangan Presiden
(pemerintah) dan DPR serta tidak secara langsung mengatur hak dan
kewajiban warga negara. Sehingga, dampak kerugiannya juga tidak
langsung dirasakan oleh warga negara pemilik hak konstitusional. Namun,
walau tidak langsung, kerugian yang dihasilkannya nyata.
Selain itu, ahli juga memberikan keterangan dalam persidangan, yang
pokok-pokoknya adalah sebagai berikut:
65
- Ketika frasa persetujuan kemudian berubah menjad pengesahan, menurut
ahli tidak merubah peran rakyat dalam memberikan partisipasi melalui DPR.
Partisipasi dalam hal ini tetap ada tetapi dalam konteks yang berbeda, jika
menyangkut dengan perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-
undang maka partisipasi tersebut bersifat terbuka;
- Menurut ahli, yang dimaksud dengan “....perjanjian internasional lainnya..”
dalam Pasal 11 ayat (2), jika melihat pada perjalanan pasal tersebut lahir
maka yang dimaksud oleh frasa a quo pada Pasal 11 ayat (2) sebelum
amandemen yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya
dengan melihat pada subjek yang melakukan perjanjian, sebelum
amandemen adalah perjanjian terhadap Indonesia dengan negara lainnya,
lalu kemudian berubah menjadi perjanjian antara negara Indonesia dengan
subjek bukan negara atau dengan organisasi internasional;
- Menurut ahli, ketika norma dalam UU lebih dulu ada sebelum adanya
amandemen UUD 1945 maka dapat dikatakan norma yang terdapat dalam
UU tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945, karena yang dilihat
buka lebih dulu dibuat tetapi pada substansinya. Hal tersebut dikarenakan
bahwa terkait dengan pasal yang diuji oleh para Pemohon yaitu Pasal 9 ayat
(2) dan Pasal 10 UU PI menentukan perjanjian internasional dapat
diratifikasi hanya dengan pengesahan dan dengan kriteria tertutup tanpa
adanya persetujuan sementara Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
menentukannya terbuka atau dengan persetujuan DPR, dan hal tersebut
oleh UU Perdagangan telah dilakukan penyesuaian sehingga setiap
perjanjian internasional yang akan diratifikasi tetap harus mendapat
persetujuan DPR. Dan dalam prakteknya, beberapa perjanjian internasional
yang seharusnya dilakukan ratifikasi dengan undang-undang sebagai
contoh perjanjian internasional terkait dengan pertahanan dengan Negara
Cekoslovakia dilakukan dalam bentuk peraturan presiden, sehingga secara
nyata bahwa kriteria yang dicantumkan dalam Pasal 10 tersebut tidaklah
aplicable, hal ini berbeda dengan UU Perdagangan yang bunyinya sejalan
dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
- Perbedaan antara Pasal 11 ayat (1) dengan Pasal 11 ayat (2) UU PI
merupakan perbedaan yang sebenarnya saling melengkapi. Perjanjian
internasional yang dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat (1) UU PI adalah
66
perjanjian internasional antara dengan negara sedangkan perjanjian
internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU PI tentu bukan
perjanjian internasional dengan negara lagi tetapi juga dengan selain
negara yang membawa dampak serius bagi kehidupan negara, oleh karena
itu maka seharusnya perjanjian internasional yang dibuat dengan organisasi
internasional seperti misalkan IMF atau Bank Dunia diratifikasi dalam bentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR karena kriteria membawa
dampak yang luas tersebut. Hal ini sesungguhnya telah diakomodir dalam
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 namun dalam UU PI justru tidak terakomodir;
- Partisipasi masyarakat jika melihat Pasal 11 UU PI ini tertutup terutama
terhadap perjanjian internasional yang disahkan selain dengan UU, hal
tersebut dikarenakan masyarakat tidak ada kesempatan dalam hal informasi
maupun akses penyampaian pendapat kepada presiden atau menteri terkait
perjanjian internasional tersebut apakah merugikan Indonesia atau tidak;
- Jika melihat Pasal 9 ayat (1) UU PI maka Pemerintah memiliki kewenangan
untuk melakukan atau membuat perjanjian internasional, terkait dengan hal
ini Ahli setuju, karena disetiap negara posisi parlemen atau DPR adalah
pada posisi untuk dimintai persetujuannya dan bukan membuat perjanjian
internasional;
- Terkait dengan format atau bentuk dari persetujuan DPR bisa dilakukan
dengan bentuk pernyataan atau resolusi atau nomenklatur lainnya.
2. Cenuk Widiyastrisna Sayekti
Pada intinya Para Pemohon Uji Materi mengajukan pengujian atas
Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Pasal 11 ayat (2) UUD
1945. Para Pemohon Uji Materi mempertanyakan kewenangan DPR dalam
proses pembuatan perjanjian internasional sehingga menyebabkan hilangnya
kontrol DPR atas perjanjian internasional yang dibuat oleh Lembaga Eksekutif
dengan pihak luar. Sebelum menjawab permasalahan di atas, perlu ahli
tegaskan bahwa pendapat ahli berangkat dari perspektif Hukum Ekonomi
Internasional yang menganalisis partisipasi legislative dalam proses evolusi
perjanjian ekonomi internasional ke dalam sistem hukum nasional. Berkenaan
dengan apakah pasal-pasal yang diajukan dalam uji materi ini bertentangan atau
inkonstitusi maka itu adalah ranah kepakaran ahli Hukum Tata Negara.
67
Dalam sidang ini, ahli hendak menyampaikan pandangan ahli terkait
dengan pentingnya peranan Lembaga legislatif pada proses pembentukan
perjanjian ekonomi internasional. Beberapa kasus di beberapa negara
menunjukkan perubahan arah kebijakan dagang luar negeri setelah perjanjian
internasional disahkan tanpa melibatkan legislatif pada saat pra-negosiasi
sampai dengan penandatanganan perjanjian. Amerika mengesahkan Trade
Promotion Authority Act setelah menyadari ratifikasi NAFTA dalam sistem
hukum nasionalnya berdampak luas pada undang-undang lainnya. Kanada
mewajibkan parlemen untuk terlibat dalam pra-negosiasi dalam bentuk
konsultasi oleh eksekutif pada legislative dikarenakan beberapa perjanjian
dagang internasional berdampak pada petani, nelayan, peternak, dan
masyarakat Kanada.
Pada umumnya, kewenangan untuk melakukan hubungan internasional
termasuk membuat dan mengikatkan diri pada perjanjian internasional
merupakan hak dari Presiden atau Lembaga eksekutif. Presiden atau kepala
negara atau Lembaga eksekutif sepanjang diberikan mandat oleh Konstitusi
negaranya untuk membuat perjanjian internasional dengan pihak luar maka
setiap perjanjian yang dibuat adalah sah menurut konstitusi.
Dalam hal proses pembuatan perjanjian internasional sampai dengan
pelaksanaannya tidak ada kesepakatan yang berlaku sama pada setiap negara.
Hal ini merupakan kewajaran karena pemberlakukan perjanjian internasional
tunduk pada konstitusi masing-masing negara. Hal mendasar yang menjadi
parameter dan kesepakatan bersama negara-negara di dunia adalah Article 26
of the Vienna Convention on the Law of Treaties di mana negara-negara yang
saling mengikatkan diri wajib untuk melaksanakan perjanjian internasional
dengan itikad baik. Hal ini juga dinyatakan di dalam Article 13 of the United
Nations Declaration on the Rights and Duties of States, bahwa:
“Every State has the duty to carry out in good faith its obligations arising from treaties and other sources of international law, and it may not invoke provisions in its constitution or its laws as an excuse for failure to perform this duty.”
Beberapa perjanjian internasional memuat ketentuan khusus yang
mewajibkan para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut
agar melakukan tindakan lanjut untuk meratifikasi ke dalam sistem hukum
nasional mereka. Selain kewajiban hukum, ada keharusan praktis yang
68
memaksa negara untuk mematuhi kewajiban perjanjian internasionalnya.
Ketidakpatuhan negara atas kewajibannya dapat mengakibatkan pihak lain
menolak manfaat di bawah perjanjian itu dikarenakan tidak terpenuhinya
persyaratan itikad baik. Oleh karena itu, suatu negara tidak dapat menyatakan
dirinya telah gagal menjalankan norma-norma ekonomi internasional dengan
itikad baik hanya karena alasan bertentangan dengan konstitusi atau hukum
dinegaranya, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh perjanjian internasional
tersebut.
Untuk menghindari konflik dengan konstitusi ataupun dengan hukum
nasional, setiap negara memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam
praktiknya. Dalam hal ini, peranan legislatif menjadi krusial dalam proses
pembuatan perjanjian ekonomi internasional, khususnya perjanjian
perdagangan internasional yang berdampak luas. Keterlibatan legislative tidak
saja merupakan bentuk pengawasan atas kekuasaan yang dimiliki oleh
eksekutif dalam membuat perjanjian perdagangan dengan negara lain maupun
dengan organisasi internasional, tetapi juga bentuk peran aktif melindungi
kepentingan nasional. Berikut adalah beberapa praktik di negara-negara yang
keterlibatan Lembaga legislatifnya memiliki peranan yang sangat penting dalam
rangka melindungi kepentingan nasional tanpa melanggar norma-norma
ekonomi internasional yang telah disepakati.
Kanada merupakan salah satu dari sekian negara yang Lembaga
legislatifnya telah secara aktif terlibat dalam proses perjanjian perdagangan
internasional mulai dari negosiasi sampai dengan implementasi isi perjanjian
perdagangannya. Berdasarkan Konstitusi Kanada, Executive Branch memiliki
hak istimewa untuk melakukan negosiasi dan menandatangani perjanjian
dagang internasional, sedangkan Parlemen memiliki kekuasaan khusus untuk
mengesahkan undang-undang yang dibuat Executive Branch.
Pemerintah Kanada memiliki kewajiban untuk berkonsultasi dengan
parlemen sebelum mengembangkan agenda negosiasi perdagangan dengan
pihak lain. Dengan mendorong kesadaran publik dan pemahaman tentang
perdagangan internasional, serta partisipasi warga dalam konsultasi publik,
posisi parlemen sangat penting untuk pengembangan kebijakan perdagangan
yang mencerminkan kepentingan semua warga Kanada. Oleh karena itu,
69
Parlemen berfungsi sebagai instrumen kunci untuk berkontribusi pada
pengembangan dan penyempurnaan strategi perdagangan luar negeri Kanada.
Pada bulan Januari 2008, pemerintah federal Kanada mengumumkan
kebijakan baru untuk meningkatkan keterlibatan parlemen dalam proses
pengesahan perjanjian perdagangan dengan memastikan bahwa semua
perjanjian antara Kanada dan negara-negara lain atau dengan entitas
internasional diajukan kepada House of Commons sebelum dilakukan ratifikasi.
The House of Commons mendistribusikan teks lengkap dari perjanjian yang
disertai dengan sebuah memorandum yang menjelaskan isu-isu utama yang
dirundingkan, termasuk materi pokok, kewajiban utama, kepentingan nasional,
pertimbangan kebijakan, pertimbangan pemerintah federal-provinsi/teritorial,
masalah implementasi, dan deskripsi konsultasi yang dilakukan. House of
Commons memiliki waktu selama 21 hari untuk mempertimbangkan perjanjian
sebelum eksekutif menyatakan perjanjian berlaku efektif dengan ratifikasi.
Parlemen memiliki kewenangan untuk memperdebatkan perjanjian dan
mengesahkan, termasuk ratifikasi; namun, kewenangan semacam itu tidak
memiliki implikasi hukum. Pada kasus-kasus luar biasa, eksekutif dihadapkan
pada pilihan untuk segera meratifikasi perjanjian sebelum perjanjian
internasional dapat diajukan kepada Parlemen. Untuk melakukan hal ini,
eksekutif akan meminta persetujuan dari Perdana Menteri untuk meminta
pengecualian dan mengirimkan notifikasi kepada House of Commons bahwa
perjanjian tersebut secepat mungkin harus diratifikasi tanpa persetujuan
Parlemen.
Selain berkonsultasi dengan Parlemen, Pemerintah melakukan
konsultasi terintegrasi mulai dari pemerintahan federal sampai dengan
pemerintahan kota berkenaan dengan kebijakan negosiasi perdagangan
internasionalnya. Pemerintah Federal secara berkala mengadakan pertemuan
yang disebut dengan C-Trade untuk meninjau agenda perdagangan dan
melakukan konsultasi berkenaan dengan posisi Kanada dalam negosiasi
perjanjian perdagangan internasional. Hal ini memberikan kesempatan untuk
mendapatkan masukan dari pemerintah negara bagian dan pemerintah kota
tentang pandangan mereka terkait dengan klausul impor dan ekspor barang
dan/atau jasa, investasi dan penanaman modal asing, penyediaan barang dan
70
jasa oleh pemerintah, dan permasalahan kekayaan intelektual yang sejalan
dengan kepentingan dagang Kanada.
Contoh lain mengenai keterlibatan Legislatif adalah Amerika Serikat.
Konstitusi Amerika Serikat memberikan kewenangan Presiden untuk melakukan
perjanjian dagang dengan luar negeri dalam bentuk Treaty. Kewenangan ini
tunduk pada ketentuan di mana Presiden wajib meminta nasihat, melakukan
konsultasi, dan meminta persetujuan Senat dengan minimal 2/3 suara.
Ketentuan ini diatur di dalam Trade Promotion Authority Act (TPA). Pada
dasarnya, tujuan TPA adalah melakukan keseimbangan kembali kewenangan
melakukan perjanjian perdagangan dengan luar negeri antara Kongres dengan
Presiden. Disahkannya TPA berangkat dari kekhawatiran Kongres akan
kesepakatan pasar bebas regional antara Amerika Serikat, Kanada, dan
Meksiko yang tergabung dalam NAFTA. NAFTA menjadi perhatian karena
potensi dampaknya terhadap ekonomi Amerika Serikat dan karena cakupannya
yang luas dan dampaknya pada amandemen sejumlah undang-undang yang
diperlukan untuk menerapkannya.
TPA memberikan wewenang kepada Presiden dan U.S. Trade
Representative (atas nama Presiden) untuk menegosiasikan perjanjian sesuai
dengan mandat yang ditetapkan oleh Kongres. TPA memberikan Kongres
otoritas pengawasan yang signifikan di seluruh negosiasi untuk memantau
kepatuhan Presiden dan U.S. Trade Representative (USTR) terhadap perjanjian
dagang yang akan berlangsung. USTR berkewajiban untuk memberikan laporan
pada setiap anggota Kongres atas permintaan, yang memuat tentang informasi
terbaru tentang perkembangan negosiasi yang relevan. Permintaan anggota
Kongres tersebut juga harus dilengkapi dengan "materi terkait", termasuk
dokumen negosiasi yang bersifat rahasia.
Menurut ketentuan Pasal 104 and 105, TPA mewajibkan USTR untuk
berkonsultasi pada Kongres. Konsultasi ini dilakukan dalam bentuk pertemuan
dengan anggota Kongres untuk mendiskusikan prioritas utama yang harus
dinegosiasikan di dalam perjanjian perdagangan Amerika. Sebelum negosiasi
dilakukan, TPA juga mewajibkan Presiden untuk membuat laporan khusus yang
terdiri atas: laporan tentang dampak lingkungan, laporan kajian
ketenagakerjaan, laporan analisis perburuhan baik di dalam Amerika Serikat
maupun di negara yang menjadi mitra dagang internasional, laporan kesiapan
71
infrastruktur, laporan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan isi perjanjian
tersebut, dan laporan analisis dampak perjanjian pada negara-negara bagian.
Setelah negosiasi selesai, Kongres tidak dapat mengajukan amendemen
terhadap perjanjian internasional tersebut. Kongres wajib memberikan
persetujuannya untuk melakukan ratifikasi yang dipercepat (expedited
ratification) jika perjanjian disetujui oleh mayoritas suara di Kongres dan Senat.
Sistem kedua negara di atas menunjukkan keterlibatan aktif legislative
dalam proses perjanjian ekonomi internasional yang memiliki dampak luas pada
masyarakat negara-negara tersebut. Persiapan berjenjang yang dilakukan
kedua contoh negara di atas dilakukan untuk menghindari konflik antara hukum
nasional dengan norma-norma ekonomi internasional sebelum dan saat
perjanjian dinegosiasikan.
Indonesia, partisipasi legislative dalam proses perjanjian internasional
didasarkan pada Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa
pengikatan perjanjian internasional mensyaratkan adanya persetujuan melalui
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya, di dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa Menteri memberikan
pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan publik.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah mekanisme Konsultasi tersebut di atas
bersifat suka rela ataukah sebuah kewajiban bagi eksekutif. Tidak ada
penjelasan sampai di mana peranan DPR dalam konsultasi ini dan apa saja
yang menjadi materi konsultasi. Ketidakjelasan ini menunjukkan adanya
keterbatasan partisipasi legislatif dalam proses perjanjian internasional.
Lebih jauh, jika melihat ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan Internasional, bahwa Pemerintah Indonesia
perlu berkonsultasi dengan DPR setelah perjanjian internasional
ditandatangani. Pada saat konsultasi, baru akan akan diputuskan apakah
perjanjian perdagangan internasional perlu diratifikasi dalam bentuk undang-
undang yang membutuhkan persetujuan legislatif atau dapat dilaksanakan
langsung oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden. Dalam hal
persetujuan diperlukan, ada kemungkinan bahwa DPR tidak memberikan
persetujuannya dan perjanjian tersebut dibatalkan. Pemerintah Indonesia akan
72
menemukan lebih banyak kesulitan dalam merumuskan kebijakan, termasuk
mendapatkan persetujuan untuk perjanjian perdagangan internasional.
Ini membawa konsekuensi terhadap negosiasi perdagangan
internasional di masa depan. Undang-Undang Perjanjian Internasional
meningkatkan ketidakpastian seputar posisi Indonesia di berbagai bidang
komitmen dan kerja sama internasional. Mengacu kembali pada Article 26 of the
Vienna Convention on the Law of Treaties di atas bahwa setiap negara yang
telah sepakat mengikatkan dirinya dalam perjanjian internasional maka wajib
melaksanakan dengan itikad baik terlepas hal tersebut bertentangan dengan
konstitusi atau hukum nasionalnya, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.
Selain itu, Ahli juga memberikan keterangan dalam persidangan, yang
pokok-pokoknya adalah sebagai berikut:
- Keterlibatan parlemen di beberapa negara seperti Kanada dan Amerika
Serikat ketika membuat perjanjian internasional berfungsi sebagai
pengawasan dalam rangka checks and balances. Afrika Selatan dalam hal
ini mewajibkan persetujuan DPR atas semua perjanjian yang dibuat oleh
eksekutif dengan entitas internasional terlepas apakah perjanjian
internasional tersebut bersifat teknis atau prosedural yang Ahli tidak ketahui
tetapi secara umum berdasarkan konstitusi Afrika Selatan mewajibkan
adanya persetujuan DPR;
- Menurut Ahli, ketika ada ketidakjelasan mekanisme terkait dengan
mekanisme ratifikasi perjanjian internasional dalam UU PI yang
menyebabkan inkonstitusional maka disebut sebagai bentuk
inkonstitusional dari UUD 1945;
- Jika perjanjian internasional yang telah dibuat atau Indonesia telah
menandatangani perjanjian internasional tersebut maka perjanjian
internasional tersebut tetap. Disinilah pentingnya konsultasi kepada DPR
yang sifatnya wajib dilakukan oleh presiden sebelum menandatangani
perjanjian internasional tersebut, sehingga jika perjanjian sudah
ditandatangani dan kemudian baru dimintakan persetujuannya kepada DPR
maka akan melanggar prinsip itikad baik dalam hal negara yang
bersangkutan tidak mau melaksanakan perjanjian yang sudah
ditandatanganinya sendiri.
3. Boli Sabon Max
73
Perjanjian Internasional dan Hak Asasi Rakyat
Berbicara tentang perjanjian internasional bagi rakyat dan bangsa Indonesia
adalah berbicara tentang hal yang sangat penting, yang sangat berarti bagi rakyat
dan bangsa Indonesia seluruhnya. Bagi rakyat dan bangsa Indonesia, tidak ada
seorang manusia pun di bumi ini diciptakan secara sama dan sempurna, bahkan
anak kembar sekalipun. Pasti tiap-tiap orang mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Sifat dasar setiap manusia selalu berusaha untuk melengkapi
kekurangannya. Untuk itu, setiap manusia memerlukan manusia lain baik di dalam
negaranya sendiri maupun dengan manusia di negara lain untuk melengkapi
kekurangannya itu. Guna memenuhi kebutuhan dalam melengkapi kekurangan
rakyat dan bangsa Indonesia yang berkaitan dengan kelebihan manusia-manusia di
negara lain, maka rakyat dan bangsa Indonesia akan melakukan hubungan dengan
masyarakat di negara lain. Manusia Indonesia adalah manusia yang diciptakan
dalam keberadaan kebersaman dengan manusia lain (men are created in
togetherness which each other). Kebutuhan hubungan dengan masyarakat negara
lain inilah yang antara lain dicapai melalui perjanjian internasional, baik di bidang
hukum privat maupun di bidang hukum publik.
Kebutuhan rakyat dan bangsa Indonesia yang paling utama adalah
perlindungan terhadap hak asasinya, dalam hal ini hak asasi rakyat dan bangsa
Indonesia. Memang untuk itulah negara Indonesia ini didirikan dengan tujuan: (1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2)
memajukan kesejahteraan umum dan kesejahteraan individu; (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat tujuan tersebut
dijalankan untuk mencapai cita-cita negara Indonesia yaitu: merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur. Semua itu adalah perlindungan dan pemajuan
terhadap hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi rakyat dan bangsa Indonesia
seluruhnya.
Berbicara tentang hak asasi manusia pada zaman berkembangnya teori-teori
perjanjian masyarakat (contract social), orang yang pertama berbicara tentang hak
asasi manusia adalah John Locke (1632-1704), seorang filsuf Inggris. Ia
berpendapat bahwa sejak awal mula, masyarakat masih dalam status alamiah
(status naturalis) manusia sudah mempunyai hak asasi sehingga manusia
dinamakannya homo sapiens bukan homo hominilupus bellum omnium contra
74
omnes seperti kata Thomas Hobbes. Meskipun demikian, hak asasi itu selalu
dilanggar, tidak dilindungi oleh penguasa, oleh yang kuat terhadap yang lemah,
sehingga timbul gagasan untuk mendirikan organisasi negara guna melindungi hak
asasi manusia tersebut sebagai peralihan masyarakat dari status hidup alamiah
(status naturalis) ke status hidup perlindungan terhadap hak asasi manusia (status
civilis).
Terkait perlindungan hak asasi manusia tersebut, John Locke berpendapat
bahwa kekuasaan politik dalam negara harus dibagi antara pemerintah (kekuasaan
eksekutif), parlemen (kekuasaan yang menetapkan undang-undang), dan rakyat
(kekuasaan federatif) yang memutuskan tentang hal-hal yang sangat penting,
seperti perang dan damai. Kekuasaan rakyat yang adalah kekuasaan federatif
tersebut, oleh Magniz-Suseno dijelaskan bahwa yang dimasud oleh John Locke
dengan kekuasaan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan dengan
luar negeri. Dari pernyataan-pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa urusan
hubungan luar negeri bagi rakyat Indonesia melalui perjanjian internasional adalah
urusan yang sangat penting terkait perlindungan dan pemajuan hak asasi rakyat dan
bangsa Indonesia seluruhnya.
Oleh karena begitu pentingnya urusan hubungan luar negeri bagi rakyat
Indonesia, maka di dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen ditetapkan
bahwa: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” (kursif oleh
penulis). Setelah amandemen UUD 1945, ketentuan ini diubah menjadi 3 ayat, yaitu:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangn negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-
undang.
Rumusan tersebut di atas dapat dipahami bahwa betapapun dibedakan atas
dua macam perjanjian internasional, yaitu macam yang pertama adalah perjanjian
internasional antarnegara (rumusan ayat kesatu), dan macam yang kedua adalah
perjanjian internasional yang bukan antarnegara (rumusan ayat kedua), namun
75
keduanya harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan perkataan
lain bahwa semua perjanjian internasional, baik antarnegara maupun bukan
antarnegara, harus dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan
demikian maka ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1)
UU Nomor 24 Tahun 2000 yang membedakan ada perjanjian internasional yang
disahkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan ada pula yang
disahkan tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu melalui Keputusan
Presiden, adalah bertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945, sehingga pantas, layak,
dan adil dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pengertian persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya dipahami sesuai pengertian Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945 yaitu proses pembahasan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, sebelum ditandatangani Presiden
sebagai tanda pengesahan.
Pengesahan Perjanjian Internasional harus berdasarkan Cita Negara
Indonesia
Semua negara di dunia ini didirikan atas dua dasar yang utama, sebagaimana
disebut cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee). Cita negara yang
dimaksud adalah suatu daya yang sangat kuat yang mengandung hakikat terdalam
sebagai dasar dalam mendorong masyarakat tertentu untuk hidup bernegara,
artinya hidup di dalam suatu organisasi yang disebut negara. Sementara cita hukum
adalah suatu dasar hidup berhukum, maksudnya organisasi negara yang akan
didirikan itu bukanlah organisasi kekuasaan semata-mata, melainkan organisasi
kekuasaan yang berdasarkan hukum dan selalu dipantau oleh hukum selaku norma
kritik. Posisi cita hukum (rechtsidee) dibentuk sebagai konstruksi atas dasar cita
negara (staatsidee).
Berbicara tentang kedua hal itu, para Pendiri Republik Indonesia ini ketika
merancang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berusaha keras untuk
mencari kedua dasar itu dari keaslian Indonesia sendiri. Mereka gmereka mau
menghindari segala unsur kolonial. Mereka menamakan sistem yang digunakan
dalam UUD adalah “Sistem Sendiri,” sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo dan
Soekiman. Pandangan para pendiri negara Republik Indonesia tentang cita negara
Republik Indonesia sebagaimana diketahui antara lain, Bung Karno tentang Socio-
democratie yaitu demokrasi yang ada "sociale rechtvaardigheid"-nya dan
merupakan inti terdalam dari semua itu adalah gotong-royong, Bung Hatta tentang
76
demokrasi ekonomi yang disebutnya dengan istilah "negara pengurus, berdasarkan
gotong-royong, usaha bersama"; kemudian Supomo tentang kekeluargaan atau
negara integralistik. Menurut Hamid Attamimi bahwa para pendiri negara Republik
Indonesia ini telah berbulat pendapat untuk menetapkan cita negara integralistik
Indonesia atau cita negara persatuan sebagai cita negara yang tepat bagi bangsa
Indonesia. Akan tetapi sesungguhnya hal itu hanya pendapat Supomo, yang masih
ditentang oleh Sukarno. Sukarno setelah menguraikan lima dasar negara, yang
kemudian dapat diperas menjadi tiga dasar, dan dapat diperas lagi menjadi satu
dasar, yaitu gotong royong. Gotong royong ini adalah cita negara Indonesia, bukan
kekeluargaan (atau integralistik, atau persatuan), karena faham kekeluargaan
adalah faham yang statis, sedangkan faham gotong-royong adalah faham yang
dinamis. Demikian pula Mohammad Hatta berbeda pendapat dengan Supomo,
tentang faham persatuan atau integralistik. Menurut Mohammad Hatta bahwa
negara yang menganut faham persatuan atau collectivisme pun mengenal hak untuk
mengeluarkan perasaannya, sehingga ia mengusulkan agar di dalam undang-
undang dasar yang sedang disusun dimasukkan juga beberapa hak asasi
(grondrechten). Supomo tidak sependapat dengan itu, sehingga menolak
memasukkan grondrechten dalam undang-undang dasar demi menjaga kesatuan
sistem yang menurut Supomo dianut oleh undang-undang dasar yang sedang
disusun, yaitu sistem kekeluargaan. Jelas ketiga tokoh ini sepakat bahwa cita
negara Indonesia hanyalah gotong-royong, karena Sukarno tegas-tegas menyebut
"gotong-royong", Mohammad Hatta menyebut "gotong-royong dan usaha bersama",
Supomo menyebut "semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan".
Yang menjadi pertanyaan awal adalah apakah ada cita negara asli
Indonesia? Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa para pendiri negara Republik
Indonesia telah berbulat pendapat untuk menetapkan cita negara Indonesia adalah
cita negara integralistik atau cita negara persatuan sebagai cita negara yang tepat
bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi pendapat ini hanyalah mendukung pendapat
Soepomo selaku anggota BPUPK dan anggota PPKI sebagaimana telah diuraikan
di atas. Cita negara integralistik sebagai cita negara asli Indonesia bukan
kesepakatan dari para pendiri negara. Sukarno sendiri dengan tegas menolak
pendapat itu dengan mengatakan:
“... maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong! "Gotong-royong"
77
adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan ... Gotong-royong adalah pembanting-tulang bersama pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
Kutipan pendapat Sukarno ini secara jelas menganjurkan gotong-royong
sebagai cita negara Indonesia, dan menolak faham kekeluargaan (integralistik,
persatuan) karena beberapa alasan sebagai berikut: (1) gotong-royong adalah
faham keaslian Indonesia karena kata itu berasal dari kata Indonesia yang tulen
(asli); (2) dalam kata gotong-royong tersirat ada daya atau kemampuan, kekuatan
untuk usaha bersama demi kepentingan bersama; (3) gotong-royong adalah faham
yang dinamis, sebaliknya faham kekeluargaan adalah faham yang statis. Dalam
kaitan istilah dinamis ini, Drijarkara menulis bahwa dari kata benda dinamis dibentuk
kata sifat dinamika yang artinya: punya kekuatan, punya daya gerak. Daya gerak itu
disebut dinamika. Dinamika manusia berarti kekuatan yang bergerak dan
menggerakkan, guna menghidupkan kesatuan manusia dengan sesama dan
dunianya. Penulis berpendapat bahwa pengertian gotong-royong yang dinamis ini
relevan dengan konsep cita negara yaitu suatu daya yang membentuk negara,
sebagai hakikat terdalam dari negara.
Tentang kesepakatan bulat atas pokok-pokok gagasan Supomo mengenai
cita negara integralistik, atau cita negara persatuan, atau cita negara kekeluargaan
itu, A. Hamid S. Attamimi hanya mengangkat pendapat Bung Hatta sebagai anggota
Panitia Perancang UUD pada 15 Juli 1945 yang secara eksplisit mengatakan bahwa
pokok-pokok yang dikemukakan Supomo dapat disetujuinya. Akan tetapi jika
disimak baik-baik dan dipahami sungguh-sungguh kata-kata yang diucapkan Bung
Hatta, nyatalah bahwa justru Bung Hatta tidak setuju alias menolak gagasan
Supomo tersebut. Demikian kata-kata Bung Hatta:
“Paduka Tuan Ketua, sidang yang terhormat! Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Syusa Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar, saya setujui. Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-undang Dasar yang mengenai hak untuk mengeluarkan suara, yaitu bahwa nanti di atas Undang-undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum negara sebagai sekarang
78
ini mungkin timbul suatu keadaan "kadaver dicipline" seperti yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya kuatirkan. Tentang memasukkan hukum yang disebut "droits de l'homme et du citoyen", memang tidak perlu dimasukkan di sini, sebab itu semata-mata adalah syarat-syarat untuk mempertahankan hak-hak orang seorang terhadap kezaliman raja-raja di masa dahulu. Hak-hak ini dimasukkan dalam grondwet-grondwet sesudah Franse Revolutie semata-mata untuk menentang kezaliman itu. Akan tetapi kita mendirikan negara yang baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membarui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga-negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga-negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formuleringnya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat bisa dipergunakan oleh negara, apa lagi menurut susunan Undang-undang Dasar sekarang ini yang menghendaki kedaulatan rakyat yang kita ketemui di dalam majelis permusyawaratan rakyat dan penyerahan kekuasaan kepada Presiden, ialah Presiden jangan sanggup menimbulkan negara kekuasaan. Jadi bagaimanapun juga, kita menghargai tinggi keyakinan itu atas kemauan kita untuk menyusun negara baru, tetapi ada baiknya jaminan diberikan kepada rakyat, yaitu hak untuk merdeka berfikir. Memang ini agak sedikit berbau individualisme, tatapi saya katakan tadi bahwa ini bukan individualisme. Juga dalam colectivisme ada sedikit hak bagi anggota-anggota colectivisme, anggota-anggota dari keluarga itu untuk mengeluarkan perasaannya untuk mengadakan, menjadikan badan collectivisme itu dengan sebaik-baiknya. Usul saya ini tidak lain dan tidak bukan hanya menjaga supaya negara pengurus ini nanti jangan menjadi negara kekuasaan, negara penindas. Dasar yang kita kemukakan ialah dasar gotong-royong dan usaha bersama. Pendek kata dasar collectivisme. Sekianlah. (kursif oleh Penulis).”
Jika diperhatikan kata-kata yang dikursif di atas, kiranya tidak kurang dari tiga
alasan dapat disampaikan bahwa Bung Hatta tidak setuju dengan gagasan Supomo
mengenai cita negara Indonesia. Alasan pertama, tampak jelas bahwa betapapun
Bung Hatta secara eksplisit menyatakan "setuju" terhadap pokok-pokok pikiran
Supomo, akan tetapi kemudian disusul dengan kata "tetapi" maka hendaklah
dipahami dalam gaya bahasa Indonesia semacam itu satu-satunya maksud yang
dapat disimpulkan adalah tidak setuju, karena setiap "ya" yang disusul dengan
"tetapi", selalu diartikan sebagai "tidak". Kemudian gaya bahasa yang sebaliknya
digunakan oleh Bung Hatta ketika mengatakan "droits de l'homme et du citoyen"
79
tidak perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar, yaitu gaya bahasa "tidak"
- "tetapi", sehinga kesimpulannya adalah "ya", artinya Bung Hatta menghendaki agar
sebagian "droits de l'homme et du citoyen" dimasukkan ke dalam UUD yang sedang
dirumuskan itu. Alasan kedua, sebagai bukti Bung Hatta tidak menyetujui pendapat
Supomo tentang cita negara integralistik, atau cita negara persatuan, atau cita
negara kekeluargaan adalah Bung Hatta tidak satu katapun menyebut istilah itu,
melainkan sebaliknya menyampaikan pandangannya sendiri tentang cita negara
Indonesia ialah negara pengurus, negara yang berdasarkan gotong-royong dan
usaha bersama. Bahkan sampai tiga kali Bung Hatta mengulangi kata-kata negara
yang berdasarkan gotong-royong dan usaha bersama. Bung Hatta tidak menyebut
negara berdasarkan faham integralistik, atau persatuan, atau kekeluargaan. Alasan
ketiga bahwa justru Bung Hatta mengkhawatirkan implikasi gagasan Supomo bagi
timbulnya negara kekuasaan. Kekhawatiran akan timbulnya negara kekuasaan ini
bahkan sampai enam kali diulangi Bung Hatta, menunjukkan sesuatu yang
sungguh-sungguh serius bahwa gagasan Supomo tentang cita negara integralistik,
atau cita negara persatuan, atau cita negara kekeluargaan sangat mungkin
membawa implikasi negara kekuasaan sehingga tidak dapat disetujui seluruhnya,
setidak-tidaknya harus dimodifikasi dengan menambahkan unsur hak asasi manusia
di dalamnya. Perlu diketahui bahwa memasukkan unsur hak asasi manusia dalam
UUD 1945 bukanlah berarti menganut faham individualisme. Bung Hatta sendiri
dalam kutipan tersebut di atas secara tegas mengatakan memang agak sedikit
berbau individualisme, tetapi ini bukan individualisme, karena disadarinya sungguh-
sungguh bahwa faham individualisme dapat membawa implikasi tidak ada tempat
untuk partisipasi dan kontribusi individu bagi masyarakat dan negaranya bahkan
sebaliknya dapat terjadi individu hanya mengharapkan agar masyarakat dan
negaranya memenuhi tuntutan-tuntutannya. Ide dasar ini didukung oleh Bung Karno
dengan mengatakan:
“Buat apa grondwet menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan suara, hak kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada social recvaardigbrif keadilan sosial ... Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme dari padanya.”
Pendapat Bung Karno tersebut menegaskan bahwa pencantuman hak asasi
manusia di dalam UUD 1945 bukanlah penganut faham individualisme karena di
80
dalam UUD 1945 juga dicantumkan unsur-unsur keadilan sosialnya sebagai
partisipasi dan kontribusi dari rakyat bagi masyarakat dan negaranya. Dengan
demikian pandangan Bung Karno ini mengandung nilai keserasian antara nilai
integralistik dan nilai hak asasi manusia yang tampak antinomis. Hasil kompromi
yang dicapai oleh para pendiri Negara Republik Indonsia adalah menerima jalan
pikiran Bung Hatta sebagaimana kemudian dapat dibaca pada Pasal 28 UUD 1945.
Kecuali itu, ketentuan-ketentuan lain tentang hak asasi manusia pun dapat dibaca
pada Pasal 27 mengenai hak persamaan kedudukan, serta hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Pasal 29 tentang kebebasan beragama. Pasal 30 tentang
hak pembelaan negara, dan Pasal 31 tentang hak atas pendidikan. Bahkan pada
bagian Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dicantumkan hak atas kemerdekan.
Hasil kompromi juga menerima jalan pikiran Bung Karno dengan memasukkan
unsur keadilan sosial sebagaimana dicantumkan pada alinea keempat Pembukaan
UUD 1945, kemudian pada Bab XIV tentang kesejahteraan sosial, yang terdiri atas
Pasal 33 tentang perekonomian, dan Pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak
yang terlantar. Uraian ini sekaligus menunjukkan bahwa pendapat Hamid Attamimi
mengenai para pendiri Negara Republik Indonesia ini telah berbulat pendapat untuk
menetapkan cita negara Indonesia adalah cita negara integralistik, atau cita negara
persatuan, adalah tidak terbukti, sekurang-kurangya dua tokoh utama pendiri
negara ini, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta tidak menerima cita negara Indonesia
gagasan Supomo, melainkan memilih kesersian di antaranya. Titik keserasihan hasil
kompromi adalah gotong royong, yang di dalamnya terdapat unsur kekeluargaan,
unsur hak asasi manusia, dan unsur keadilan sosial.
Sejarah membuktikan bahwa baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun Supomo
meskipun berbeda pendapat tentang rumusan cita negara Indonesia, ada satu
pernyataan yang sama pada mereka tentang cita negara Indonesia yang asli ialah
cita negara gotong-royong. Supomo misalnya, betapapun berulang kali ia
mengatakan cita negara Indonesia yang asli adalah cita negara integralistik, dengan
ciri pemerintah sebagai kepala rakyat yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang
mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun sesuai hukum
tata negara adat desa-desa di Indonesia. Namun dalam persatuan itu, semua
golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan.
Pernyataan Bung Hatta dan Bung Karno sudah diutarakan di atas, bahwa negara
yang hendak didirikan adalah negara berdasarkan gotong-royong. Dengan demikian
81
gotong-royong adalah hakikat terdalam yang mempunyai dinamika, artinya memiliki
daya dorong untuk membentuk negara (staatsidee) yang oleh Supomo disebut
semangat gotong-royong. Daya dorong bukan terletak pada kekeluargaan, atau
persatuan, atau integralistik, melainkan terletak pada semangat gotong-royong yang
meliputinya; maka semangat gotong-royong itulah cita negara asli Republik
Indonesia. Itulah sebabnya maka Koentjaraningrat menulis: “Dengan singkat, apa
yang bisa kita ambil dari gotong royong untuk pembangunan kita sekarang ini
terutama adalah semangatnya”.
Semangat gotong royong, yang mengandung keserasian unsur
kekeluargaan, unsur hak asasi manusia, dan unsur keadilan sosial itulah hasil
kesepakatan menjadi hukum dasar Indonesia, karena hukum adalah resultante dari
berbagai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda. Hasil ini kemudian
dirumuskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, berbunyi:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.” Dengan pengertian “persetujuan” sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka semua undang-undang di Indonesia bukanlah produk
Presiden semata-mata, melainkan produk bersama secara gotong royong antara
Presiden dan DPR. Demikian pula setelah amandemen UUD 1945, cita negara
gotong royong, yang di mengandung keserasian unsur kekeluargaan, unsur hak
asasi manusia, dan unsur keadilan sosial, dipertegas kembali pada Pasal 20 ayat
(2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Lagi-lagi
hal ini membuktikan bahwa semua undang-undang di Indonesia bukanlah produk
Presiden semata-mata, atau produk DPR semata-mata, melainkan produk kerja
sama secara gotong royong antara Presiden dan DPR.
Kembali kepada pengesahan perjanjian internasional yang merupakan hal
yang sangat penting bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi rakyat dan bangsa
Indonesia seluruhnya, sudah selayaknya pula dibangun di atas cita negara
Indonesia yaitu gotong royong antara Presiden dan DPR. Oleh karena itu maka
ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 24
Tahun 2000 yang membedakan ada perjanjian internasional yang disahkan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan ada pula yang disahkan tanpa
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu melalui Keputusan Presiden, artinya
tidak berdasarkan cita negara Indonesia gotong royong antara Presiden dan DPR
82
hendaknya dnyatakan bertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945, maka pantas,
layak, dan adil dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Perjanjian Internasional Tunduk di Bawah Kedaulatan Negara
Betapapun kuatnya suatu perjanjian internasional yang mengikat para pihak,
selalu tunduk di bawah kedaulatan negara, karena kedaulatan selalu dan tetap ada
pada negara. Maka sepanjang sebuah perjanjian internasional itu belum atau tidak
disahkan oleh negara, maka perjanjian itu tidak berlaku bagi negara yang
bersangkutan. Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengesahan sebuah
perjanjian internasional harus diletakkan atas dasar cita negara (staatsidee)
Indonesia, yaitu gotong royong antara Presiden dan DPR.
Terjadinya negara menurut konsep hukum internasional, bukan lagi
mengikuti perkembangan masyarakat dari sederhana ke modern, melainkan
terjadinya negara di antara negara-negara lainnya yang sudah timbul terlebih
dahulu. Dengan demikian tahap-tahap penting yang harus dilewati adalah
proklamasi sebagai pernyataan sebuah negara baru terhadap negara-negara
lainnya bahwa dia sudah menjadi negara mandiri yang berdaulat ke dalam (internal)
maupun ke luar (external). Hal ini kemudian disusul dengan pengakuan de jure oleh
negara-negara berdaulat lainnya sebagai sesama warga dunia. Kedaulatan internal
yang dimaksud adalah supremasi dari pemerintah negara yang bersangkutan atas
semua individu dan kelompok di wilayah negaranya, sedangkan kedaulatan
eksternal adalah kemerdekaan penuh dari sebuah negara dalam hubungannya
dengan negara-negara lain sebagai anggota negara-negara sedunia. Dalam hal ini
saya setuju dengan pendapat C.F. Strong sebagai berikut:
“We have defined internal sovereignty as the supremacy of a person or body of
persons in the state over the individuals or associations of individuals within the area
of its jurisdiction, and external sovereignty as the absolute independence of one
state as a whole with reference to all other states.” (Kita sudah menggambarkan
kedaulatan internal sebagai supremasi dari seseorang atau sekelompok orang
dalam negara atas individu atau golongan di dalam area yurisdiksinya, dan
kedaulatan eksternal adalah kemerdekaan yang absolut dari satu negara secara
utuh dalam hubungannya dengan semua negara yang lain selaku warga dunia).
Atas dasar ini maka ketika Mochtar Kusumaatmadja mewakili Indonesia
dalam maslah gugatan organisasi buruh pekerja internasional, yang menganggap
Indonesia telah bertindak sebagai pedagang, bukan sebagai negara berdaulat (iuri
83
imperii) karena telah melakukan suatu “Commercial Activity” yang berdampak
melambungnya harga minyak, dengan tegas Mochtar menolak untuk hadir dalam
persidangan di Pengadilan Los Angelas. Alasan Mochtar berdasarkan asas “Par in
parem non habet jurisdictionnem,” (di antara sesama yang sama rata dan sama
tinggi tidak ada yang satu dapat mengadili yang lain). Asas ini sebelumnya telah
diadopsi dalam Foreign Sovereign Immunity Act (FSIA) di Amerika. Di dalam
peraturan itu dikatakan bahwa suatu negara yang merdeka dan berdaulat tidak
dapat digugat di hadapan pengadilan dari suatu negara. Jadi Indonesia tidak dapat
diadili di Amerika karena Indonesia dan Amerika adalah berdiri sama tinggi, duduk
sama rendah.
Dengan ini Ahli ingin menegaskan bahwa kedaulatan dalam arti kekuasaan
tertinggi dari semua organisasi di dunia ini, hanya satu-satunya organisasi yang
memiliki kedaulatan, baik internal maupun eksternal adalah negara. Secara
internasional, setiap negara yang telah mendapat pengakuan de jure dari negara-
negara lain di dunia ini, dengan sendirinya memilikai kedaulatan itu. Bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) UUD 1945]. UUD 1945 telah
menetapkan bahwa kedaulatan Indonesia terhadap pengesahan suatu perjanjian
internasional adalah melalui cita negara Indonesia, yaitu gotong royong antara
Presiden dan DPR, alias persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.
Dengan demikian seandainya suatu perjanjian internasional yang disepakati
dalam suatu pertemuan internasional yang dihadiri oleh menteri atau kuasa hukum
yang mewakili Indonesia, maka bagi Indonesia penandatanganan naskah perjanjian
internasional itu merupakan suatu “MOU (Memory of Understanding)” untuk
dilaporkan kepada Presiden, dan jika diperlukan untuk disashkan maka harus
dibahas bersama terlebih dahulu oleh Presiden dan DPR untuk mendapat
kesepakatan bersama mengenai perlu atau tidak perlu disahkan.
Hubungan kewenangan antara Presiden dan menteri atau kuasa hukum selaku
delegasi Indonesia untuk suatu pertemuan internasional, adalah hubungan
kewenangan mandat. Artinya Presiden sebagai CEO (Chief Executive Officer)
Negara Kesatuan Republik Indonesia melimpahkan kewenangannya melalui
mandat kepada menteri atau juru kuasa tertentu untuk mewakili Pemerintah
Indonesia menghadiri pertemuan internasional tertentu. Mandat adalah pelimpahan
84
kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab
dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (Pasal 1 angka 24 UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan). Ini berarti Presiden
selaku Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi melimpahkan kewenangannya
kepada menteri dan atau kuasa hukum tertentu selaku Pejabat Pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada
Presiden. Memang di dalam kabinet yang menganut sistem pemerintahan
presidensial, menteri adalah pembantu Presiden [Pasal 17 ayat (1) UUD 1945], yang
diangkat oleh Presiden [Pasal 17 ayat (2) UUD 1945] untuk melaksanakan sebagian
kewenangan Presiden yang dilimpahkan kepadanya [Pasal 17 ayat (3) UUD 1945],
yang pada gilirannya bertanggung jawab kepada Presiden. Manakala ada menteri
yang dinilai tidak dapat mempertanggungjawabkan kewenangan yang dilimpahkan
kepadanya, maka setiap saat menteri itu dapat diberhentikan oleh Presiden [Pasal
17 ayat (2) UUD 1945] karena kewenangan Presiden yang dilimpahkan kepada
menteri yang bersangkutan hanya sebatas mandat, tanggung jawab dan tanggung
gugat pemerintahan tetap berada di tangan Presiden.
Bahkan seandainya Presiden sendiri yang menghadiri pertemuan
internasional dan menandatangani suatu perjanjian internasional pun, perjanjian itu
tidak langsung sah dan berlaku di Indonesia karena belum merupakan hasil
kesepakatan bersama antar Presiden dan DPR sesuai cita negara (staatsidee)
Indonesia. Penandatanganan naskah perjanjian internasional itu hanya merupakan
suatu “MOU (Memory of Understanding)” untuk dibahas bersama antara Presiden
dan DPR guna mencapai kesepakatan bersama dan memutuskan sah atau tidak
perjanjian internasional itu berlaku sebagai hukum positif Indonesia. Dengan ini
hendak ditegaskan bahwa setiap perjanjian internasional hanya sah berlaku sebagai
hukum positif Indonesia jika sudah disepakati bersama oleh Presiden dan DPR.
Oleh karena itu maka ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11
ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 yang membedakan ada perjanjian internasional
yang disahkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan ada pula yang
disahkan tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu melalui Keputusan
Presiden, artinya tidak berdasarkan cita negara Indonesia gotong royong antara
Presiden dan DPR hendaknya dinyatakan bertentangan dengan Pasal 11 UUD
1945, maka pantas, layak, dan adil dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
85
Closing Statement
Berdasarkan uraian uraian tersebut di atas, maka Ahli hendak menutup
keterangannya dengan beberapa pernyataan berikut:
a) perjanjian internasional adalah perjanjian yang sangat penting dalam rangka
perlindungan dan pemajuan hak asasi rakyat dan bangsa Indonesia selurhnya,
maka pengesahan perjanjian internasional harus mendapat partisipasi dan
kontribusi dari rakyat selaku pemegang kedaulatan melalui wakilnya yang duduk
di Dewan Perwakilan Rakyat;
b) negara Indonesia mempunyai sistem sendiri, yaitu pengesahan perjanjian
internasional harus berdasarkan cita negara (staatsidee) Indonesia, yaitu
gotong royong antara Presiden dan Dewan, Rakyat yang di dalamya
mengandung keserasian antara unsur kekeluargaan, hak asasi manusia, dan
keadilan sosial, yang padanya cita hukum (rechtsidee) Indonesia yaitu
Pancasila dikonstruksikan;
c) Pasal 11 UUD 1945 mengatur dua macam perjanjian internasional, yaitu
perjanjian internasional antarnegara dan perjanjian internasional yang bukan
antarnegara, namun pengesahan keduanya harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, maka manakala ada undang-undang yang mengatur
pengesahan perjanjian internasional tanpa persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat adalah bertentangan dengan UUD 1945, sehingga berlaku asas hukum
lex superior derogate legi inferiori, maka ketentuan undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan mengikat;
d) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 2,
Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 11
UUD 1945, maka pantas, layak, dan adil dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
mengikat, dan dengan demikian tidak juga mempunyai kekuatan berlaku.
Selain itu, ahli juga memberikan keterangan dalam persidangan, yang pokok-
pokoknya adalah sebagai berikut:
- Terdapat 2 macam pengesahan, yaitu a) pengesahan perjanjian internasional
yang hanya dapat dilakukan dengan cara mengesahkannya menjadi hukum
positif Indonesia, dengan demikian, menurut ahli pengesahan ketika belum
dibawa ke Indonesia dan disahkan menjadi hukum positif maka hanya sekedar
MoU saja, ketika ingin disahkan menjadi hukum positif di Indonesia maka MoU
tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu; b) pengesahan
86
undang-undang adalah ketika undang-undang tersebut berlaku dengan melalui
tahapan-tahapan yang telah diketahui selama ini.
- Terkait dengan permasalahan praktis bahwa Indonesia setiap tahunnya
menandatangani 200 perjanjian internasional, bukan menjadikan alasan untuk
tidak mendapatkan persetujuan DPR. DPR tetap harus memberikan persetujuan
terhadap perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh pemerintah
bagaimanapun kondisinya karena itu merupakan tugas DPR.
- Indonesia dapat tidak tunduk dan taat kepada perjanjian internasional walalupun
merupakan bagian dari PBB. Ahli berpendapat bahwa menjadi anggota PBB
tidak serta-merta tunduk kepada setiap perjanjian internasional, jika Indonesia
bukan pihak dalam perjanjian internasional tersebut maka Indonesia tidak harus
tunduk pada perjanjian internasional tersebut, walaupun ketentuan Statuta
Mahkamah Internasional menentukan bahwa setiap Negara yang menjadi
anggota PBB maka dengan sendirinya menjadi bagian dari perjanjian
internasional tersebut.
4. Luthfiyah Hanim
- Perjanjian internasional terkait peningkatan dan perlindungan penanaman
modal selama ini disahkan dengan menggunakan perpres dengan asumsi
bahwa perjanjian tersebut tidak terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dalam
pelaksanaannya, hal ini terjadi pula dengan perjanjian internasional terkait
perdagangan;
- Bahwa senyatanya kedua perjanjian di atas tersebut dapat berdampak pada
keuangan negara sehingga dibutuhkan perubahan pengaturan menjadi undang-
undang;
- Yang pertama adalah Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman
Modal. Seperti kita ketahui bahwa penanaman modal asing itu adalah hal yang
penting dalam pengembangan ekonomi di negara-negara berkembang dan
sebagai kebanyakan negara-negara berkembang, seperti Indonesia itu adalah
negara yang banyak mengimpor atau membutuhkan investasi asing.
Sementara, negara-negara maju dalam hal ini, sekarang juga banyak negara-
negara atau beberapa negara berkembang juga menjadi pengekspor modal.
87
Dalam hal ini, Negara membuat aturan untuk meningkatkan minat investor agar
tetap berinvestasi di negaranya;
- Setidaknya terdapat dua jenis perjanjian investasi internasional, yaitu Bilateral
Investasi Treaty (BIT) dan Free Trade Agreement (FTA). Dan kritik dari dua
perjanjian tersebut adalah tidak adanya bukti yang cukup bahwa Negara yang
mengikuti perjanjian investasi aka nada kenaikan investasi asing atau
penanaman modal asing, selain itu berkurangnya ruang kebijakan karena harus
pada akhirnya pemerintah harus bernegosiasi dengan peraturan-peraturan yang
ditujukan untuk perlindungan investor asing, dalam BIT tidak seimbang antara
hak dan kewajiban investor dan pemerintah bahakan dapat dikatakan
pemerintah hampir tidak memiliki hak dan investor asing hampir tidak memiliki
kewajiban, dalam perjanjian ini juga tidak ada bentuk timbal-balik layaknya
sebuah perjanjian;
- Terkait dengan penyelesaian sengketa (dispute settlement) dapat dilakukan
dengan dua macam yaitu state to state dan investor state dispute settlement.
Salah satu contoh sengketa yang pernah terjadi antara Pemerintah dengan PT.
Newmont;
- Permasalahan lain dengan adanya BIT antara lain adalah sebagai berikut:
1. Definisi mengenai investasi yang diatur dalam BIT sangat luas dan tidak
terbatas;
2. Bahwa dengan berlakunya BIT, negara dapat memberikan perlakuan yang
sama antara investor lokal dan investor asing. Memberikan perlakuan yang
sama ini dapat diartikan secara luas sekali dan terkadang justru perlakuan-
perlakuan yang diberikan pemerintah justru menguntungkan investor asing;
3. Jaminan untuk tidak melakukan ekspropriasi atau nasionalisasi, jaminan ini
biasanya diberikan kepada investor asing;
4. Prinsip wajar dan sesuai (fair and equitable treatment) yang diartikan luas dan
BIT dan kemudian investor asing dapat menggunakan prinsip tersebut sesuai
kondisi atau negara investor sendiri dan tidak selalu salam dengan prinsip
yang sesuai dengan yang ditentukan oleh host country;
5. Adanya larangan pengalihan dana atau pengaturan pengalihan dana
(repatriasi);
6. Adanya kebebasan menentukan pimpinan perusahaan bagi investor asing;
88
7. Adanya ketentuan kompensasi jika terjadi kerusuhan sosial atau mengalami
kerusakan;
8. Adanya ketentuan perpanjangan otomatis, sehingga jika pemerintah negara
Indonesia tidak memberikan notifikasi selama 6 sampai 12 bulan sebelum
masa perjanjian tersebut berakhir maka perjanjian BIT tersebut secara
otomatis diperpanjang;
- Mekanisme penyelesaian sengketa dalam BIT itu sendiri memiliki
permasalahan, seperti tidak transparan, adanya conflict of interest antara arbiter
dengan perusahaan yang berkonflik misalkan arbiter memiliki sahan di
perusahaan yang berkonflik. Salah satu gugatan investor asing kepada
Pemerintah Indonesia yang diajukan ke ICSD adalah Churchill Mining vs
Indonesia;
- FTA pun memiliki dampak negatif di dalam negera Indonesia sendiri antara lain
terjadinya kenaikan harga obat, akses pasien terhadap obat menjadi terbatas,
tidak terlindunginya akses hak-hak petani dan masih banyak lagi dampat buruk
dari FTA baik yang sedang dirundingkan maupun yang telah berlaku;
- Bahwa karena selama ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang
disahkan dengan perpres dan pada kenyataannya banyak sekali masalah dan
justru tidak menempatkan pemerintah sebagaimana mestinya, menurut Ahli
ketika potensi-potensi tersebut sudah terlihat merugikan keuangan negara maka
sudah seharusnya ada perubahan atau pembentukan undang-undang baru
terkait dengan perjanjian internasional tersebut.
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan keterangan ahli tertulis a.n
Ika Riswanti Putranti dan Arimbi Heroepoetri, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 26 April 2018 dan 21 Mei 2018, yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut:
a. Ika Riswanti Putranti
Atas petitum yang disampaikan oleh para Pemohon terhadap Undang-Undang a
quo selaku saksi ahli kami menyampaikan pandangan sebagai berikut:
1) Kata “Persetujuan” dalam Pasal 11 UUD 1945 merupakan perwujudan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD maka Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 yang merupakan pelaksanaan Pasal 11 merupakan
wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sesuai dengan UUD.
89
2) Kata “Persetujuan” juga merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan asas
demokrasi dalam negara hukum dimana dalam demokrasi penting untuk
menegakan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
3) Perjanjian internasional merupakan salah satu wujud pelaksanaan kewajiban
negara untuk ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial sehingga pembentukan perjanjian internasional harus
memperhatikan prinsip tersebut.
4) Persetujuan dalam pembentukan undang-undang sebagai bentuk pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan sesuai dengan undang-undang,
menggunakan prinsip demokrasi dan berdasarkan keadilan sosial kami perlu
sampaikan beberapa pendapat ahli dan risalah sidang dalam amandemen
terhadap UUD 1945, sebagai berikut:
a) Bahwa perjanjian internasional dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia baik yang dilakukan dengan negara maupun dengan aktor non
negara baik yang bersifat multilateral, plurilateral, ataupun universal
merupakan bentuk pelaksanaan dari mandat yang ada dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
“.........dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat...”.
b) Bahwa berdasarkan mandat dari pembukaan Undang-Undang Dasar
Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan
tugasnya ikut melaksanakan ketertiban dunia harus berdasarkan kepada
3 asas yaitu kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
c) Bahwa selanjutnya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
prinsip kedaulatan rakyat telah ditetapkan pada alinea keempat dan
tertuang dalam Ppasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Kedaulatan rakyat merupakan hal mendasar dalam
ketatanegaraan modern dan demokrasi. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie
gagasan kedaulatan rakyat meliputi gagasan demokrasi politik dan
ekonomi. Pasal 1 ayat (2) menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan
90
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.” Ketentuan
tersebut mengandung arti bahwa Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar.
d) Bahwa cita-cita kedaulatan rakyat merupakan penegasan dari sistem
kehidupan bangsa kita sendiri yang didasarkan atas musyawarah,
mufakat, dan gotong royong yang dipimpin oleh hasrat pengabdian
terhadap kepentingan bersama. Selanjutnya Cita-cita keadilan sosial
menghendaki terciptanya kemakmuran rakyat secara adil dan merata, dan
sebagai asas pokok dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
e) Bahwa konsep kedaulatan dalam proses pembentukan perjanjian
international merupakan bentuk distribusi kedaulatan kepada lembaga
tinggi negara yang mana Presiden dengan persetujuan DPR
menandatangani perjanjian internasiona. Konsep kedaulatan yang dalam
konteks perjanjian internasional ini disampaikan pada tanggal 17 Mei 2000
dilakukan Rapat PAH I BP MPR ke- 32 dengan agenda Mendengarkan
Usulan Fraksi Mengenai Perubahan Bab I UUD 1945. Rapat itu dipimpin
oleh Jakob Tobing. Pada kesempatan pertama, F-PDI Perjuangan melalui
juru bicaranya, Harjono mengemukakan usulan yang terkait dengan
konsep kedaulatan rakyat dan kedudukan MPR sebagai berikut:
… “Karena kedaulatan tidak lagi dilaksanakan dan diurut secara linear,
tetapi kedaulatan didistribusikan tidak hanya ke MPR tetapi juga
lembaga lembaga negara yang lain. Contohnya pada saat kita membuat
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Presiden bersama DPR.
Sebetulnya Presiden dengan DPR sudah melaksanakan juga
kedaulatan atas negara, yaitu pada saat melakukan penandatanganan
persetujuan dengan negara lain. Jadi maksudnya lembaga tinggi
negara. Tertinggi negara tidak kena lagi, kemudian kedaulatan itu di
distribusikan kepada lembaga negara yang lain. Oleh karena itu
bagaimana pelaksanaan distribusi kedaulatan rakyat itu, kita baru bisa
mengetahui kalau lengkap Undang-Undang Dasar ini. Kita pahami yang
kita ajukan itu, oleh karena itu bunyinya tadi “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang
Dasar ini”.
91
Selanjutnya menurut Menurut Dr. Sutoyo, S.H., M.Hum dalam artikel yang
berjudul "Konsep Kedaulatan Rakyat Dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945" :
“kedaulatan mempunyai dua makna, yaitu kedaulatan ke dalam dan
keluar. Kedaulatan ke dalam adalah kedaulatan suatu negara untuk
mengatur segala kepentingan rakyatnya tanpa campur tangan negara
lain. Sedangkan kedaulatan keluar adalah kedaulatan suatu negara
untuk mengadakan hubungan atau kerjasama dengan negara-negara
lain demi kepentingan bangsa dan negara. Kedaulatan keluar
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengadakan atau kerjasama
dengan negara lain. Hubungan dan kerjasama ini tentu saja untuk
kepentingan sosial. Didalam kedaulatan rakyat ada prinsip-prinsip
demokrasi dalam kekuasaan negara. Dimana rakyat berfungsi sebagai
pemegang kedaulatan negara dan pemerintah sebagai alat yang
ditentukan oleh rakyat untuk mengelola negara bagi kepentingan rakyat.
Kedaulatan rakyat yang diberlakukan di Indonesia adalah kedaulatan
rakyat yang berdasarkan Pancasila, yakni konsepsi kedaulatan yang
sesuai dengan budaya dan peradaban bangsa Indonesia. Kedaulatan
rakyat berdasarkan Pancasila, mengandung dua asas, yakni asas
kerakyatan dan asas musyawarah. Asas kerakyatan adalah asas
kesadaran akan cinta kepada rakyat, manunggal dengan cita–cita
rakyat, berjiwa kerakyatan, menghayati kesadaran senasib,
seperjuangan dan cita- cita bersama. Sedangkan asas musyawarah
untuk mufakat adalah asas yang memperhatikan aspirasi atau
kehendak seluruh rakyat Indonesia, baik melalui forum
permusyawaratan maupun aspirasi murni dari rakyat”.
f) Selanjutnya dalam tanggapan akhir F-PDI Perjuangan, melalui juru bicara
I Dewa Gede Palguna, menyampaikan tanggapan akhir sebagai berikut:
.....”bahwa kedaulatan rakyat harus dihormati, demokrasi harus dikembangkan, dan untuk itu mekanisme checks and balances harus ditegakkan membawa konsekuensi pada suatu pemikiran bahwa kedaulatan rakyat tidak hanya dijalankan oleh MPR, tetapi juga oleh lembaga negara lainnya .....dengan demikian, kedaulatan rakyat dilakukan oleh MPR, seluruh lembaga-lembaga negara, dan oleh rakyat sendiri sebagaimana diatur dalam UUD...”
92
g) Bahwa Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan Undang-Undang Dasar 1945
menurut F-PG, melalui juru bicara T.M. Nurlif dalam tanggapan akhir
merupakan wujud prinsip-prinsip demokrasi dan tegaknya asas kedaulatan
rakyat. Selanjutnya karena kedaulatan rakyat berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar maka semua kedaulatan
rakya yang ada di dalam berdemokrasi ini harus secara keseluruhan dan
utuh mendasar kepada Undang-Undang Dasar 1945.
h) Bahwa pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
i) Bahwa menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
j) Bahwa berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan materi muatan
yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
k) Bahwa menurut Penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian
internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-
Undang dengan persetujuan DPR.
l) Bahwa Pasal 2 Undang-Undang 24 Tahun 2000 menyatakan Menteri
memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional,
93
dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang
menyangkut kepentingan publik.
m) Bahwa Pasal 9 Undang-Undang 24 Tahun 2000 Pengesahan Perjanjian
Internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian internasional tersebut dan Pengesahan Perjanjian Internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang
atau keputusan presiden.
n) Bahwa Pasal 10 Undang-Undang 24 Tahun 2000 Pengesahan perjanjian
internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan
dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
5) Ketentuan terhadap jenis maupun bidang perjanjian internasional yang
memerlukan persetujuan parlemen sebenarnya juga dilakukan dibeberapa
negara salah satunya negara-negara anggota Uni Eropa. Seperti contohnya
konstitusi Prancis mengamanatkan bahwa kewenangan untuk berunding dan
meratifikasi traktat berada di tangan Presiden. Namun, traktat mengenai hal-hal
yang dianggap penting harus disetujui dan diratifikasi melalui undang-undang
yang disusun oleh parlemen. Yang dimaksud dengan hal-hal penting ialah
traktat perdamaian, traktat perdagangan, traktat atau perjanjian terkait dengan
organisasi internasional, atau traktat yang berhubungan dengan komitmen
finansial Prancis, perubahan wilayah negara, amandemen dari suatu
perundang-undangan, atau yang terkait dengan status perseorangan. Traktat
atau perjanjian yang demikian mulai berlaku jika dan hanya jika disetujui dan
diratifikasi oleh parlemen. Konstitusi Portugal mengamanatkan bahwa
kewenangan untuk meratifikasi traktat berada di tangan Presiden. Namun,
Assembly of the Republic atau Majelis Republik memiliki kewenangan untuk
menyetujui perjanjian internasional terkait hal-hal yang menjadi kuasa penuh
parlemen tersebut, yaitu perjanjian terkait aksesi negara ke dalam organisasi
94
internasional, perjanjian persahabatan, perjanjian damai, perjanjian pertahanan,
perjanjian militer, dan perjanjian-perjanjian lainnya yang disampaikan ke Majelis
Republik oleh Pemerintah. Hal-hal yang tidak disebutkan di atas menjadi
kewenangan Pemerintah untuk menyetujui.
6) Bahwa pengkategorian atau pengelompokan perjanjian internasional yang
didasarkan pada sifat dan dampak perjanjian internasional yang
mengkategorikan perjanjian perdagangan hanya merupakan perjanjian teknis
semata telah mengabaikan prinsip dasar kedaulatan dan prinsip keadilan sosial
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
7) Bahwa dibeberapa negara seperti Perancis dan negara anggota uni Eropa yang
lain perjanjian perdagangan dianggap perjanjian yang akan memberikan
dampak luas kepada masyarakat.
8) Bahwa isu mengenai defisit demokrasi dalam perjanjian internasional
khususnya perdagangan bebas telah menjadi perhatian dibeberapa negara
seperti Amerika serikat, Australia, New Zealand, Canada, Inggris, dan negara-
negara anggota uni Eropa sehingga mereka banyak melakukan perubahan
prosedur dalam proses negosiasi dan ratifikasi perjanjian dengan memberikan
ruang partisipasi dan meningkat peran parlemen sebagai control (check and
balance) untuk menghindari hal-hal yang dapat memberikan dampak yang tidak
sesuai dengan kepentingan nasional.
9) Bahwa perkembangan hukum internasional dan hubungan internasional yang
semakin kompleks mempengaruhi perkembangan hukum nasional dan segala
peraturan yang berlaku di bawahnya. Didalam era Mega FTA dimana negara-
negara didunia berlomba untuk mengikuti “parade perjanjian internasional”
dengan tujuan untuk mendapatkan apa disebut sebagai akses dan fasilitasi baik
dalam segi ekonomi, perdagangan, investasi, dan politik. Isu yang mengemukan
di kawasan Asia Pasifik saat ini adalah pembentukan dua blok dagang yang
mempunyai mega kekuatan baik dari sisi sumber daya maupun potensi pasar.,
yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Trans-Pacific
Strategic Partnership Agreement (TPP). Kedua skema FTA tersebut bersifat
interregional dan menerapkan standard yang sangat tinggi dalam perdagangan
barang maupun jasa. Mega FTAs secara komprehensif mengcover aktivitas
ekonomi dan perdagangan. Sehingga menuntut negara yang terlibat dalam
perjanjian tersebut untuk mematuhi standar yang diterapkan sehingga dapat
95
melakukan akses terhadap fasilitas yang disediakan dalam perjanjian.
Perjanjian perdagangan bebas atau FTA antara negara-negara di dalam satu
kawasan mulai berkembang dengan 1990. Pada 2012 WTO menerima 511
pemberitahuan perjanjian perdagangan bebas, terdiri dari 370 perjanjian
perdagangan bebas regional berdasarkan Pasal XXIV GATT 1947 atau GATT
1994, 36 di bawah Enabling Clause, dan 105 berdasarkan Pasal V dari GATS.
Ada 319 perjanjian yang sudah berlaku. Indonesia sebagai salah satu negara
anggota ASEAN terlibat dalam 8 perjanjian perdagangan bebas (data tahun
2014). Selanjutnya proliferasi rezim perdagangan bebas ini membawa efek yang
rumit dalam penyesuaian terhadap hukum internasional karena tumpang
tindihnya aturan dan tuntutan dalam kepatuhan terhadap rezim internasional.
Disisi lain “parade perjanjian internasional” yang dilakukan oleh negara
menimbulkan isu mengenai “pengawasan dan kontrol yang bersifat demokratis”
dalam proses negosiasi perjanjian perdagangan.
10) Bahwa ada perbedaan antara apa yang disebut dengan “perjanjian biasa” dan
traktat: sebuah perjanjian biasa mulai berlaku setelah ditandatangani oleh
perwakilan dari negara-negara anggota perjanjian tersebut; di sisi lain, traktat
mulai berlaku setelah diratifikasi. Perbedaan ini dibuat untuk memfasilitasi
cabang eksekutif yang memiliki hak tertentu dalam pernjanjian internasional
tanpa harus meminta “approval” parlemen.
11) Peran parlemen dalam mengesahkan perjanjian internasional dan traktat
menjadi bahasan penting di badan-badan parlemen di seluruh dunia, terutama
di era sekarang, di mana banyak urusan publik yang sekarang diatur oleh hukum
internasional dan di mana status organisasi internasional menjadi lebih kuat
sekarang. Proses ini membuat parlemen perlu terlibat lebih jauh dalam
penetapan kebijakan luar negeri dan dalam ratifikasi traktat.
12) Berikut praktek beberapa negara dalam mengatasi defisit demokrasi:
a) Berdasarkan penelitian yang dilakukan The Knesset - Research and
Information Center menunjukkan bahwa secara keseluruhan kebijakan luar
negeri dan penandatanganan traktat dan perjanjian internasional menjadi
hak utama dari cabang eksekutif. Bagaimanapun, di setiap negara,
parlemen memiliki sejumlah peran dalam menyetujui perjanjian
internasional dan traktat. Ada tiga bentuk peran parlemen yang berbeda dari
beberapa negara. Bentuk yang pertama ada kewajiban di mana parlemen
96
harus menyetujui semua traktat dan hanya beberapa perjanjian-perjanjian
tertentu (misalnya Ceko, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia,
Italia, Afrika Selatan, dan Swedia). Bentuk yang kedua persetujuan dari
parlemen diwajibkan untuk semua traktat dan perjanjian internasional
dengan beberapa pengecualian (misalnya Belanda dan Amerika Serikat).
Bentuk yang ketiga persetujuan dari parlemen tidak menjadi keharusan,
namun perjanjian dan traktat yang dimaksud harus diketahui oleh parlemen
sebagaimana diamanatkan oleh hukum nasional atau hukum kebiasaan
negara tersebut (misalnya Australia, Britania Raya, dan Selandia Baru).
b) Praktik Negara-negara dalam Demokratisasi Pembentukan Perjanjian
Internasional
Inggris
Diungkapkan oleh Dr. Holger Hestermeyer dengan contoh di Inggris,
dominannya peran kerajaan dan sedikitnya peran pemerintah ditambah
porsi pengaruh parlemen yang sangat dibatasi menimbulkan isu mengenai
defisiensi pengawasan yang secara demokratis terhadap perundingan,
penandatanganan, dan ratifikasi terhadap perjanjian internasional.
Beberapa pertanyaan muncul mengenai pentingnya pengawasan yang
demokratis dalam proses perjanjian internasional? Selanjutnya, bagaimana
seharusnya parlemen terlibat dalam memutuskan perjanjian internasional.
Parlemen Inggris tidak memiliki peran resmi dalam urusan traktat.
Namun, menurut praktik konstitusional yang dinamakan “The Ponsonby
Rule”, setiap traktat atau perjanjian internasional yang membutuhkan
ratifikasi dari Pemerintah wajib diserahkan pada Parlemen sekurang-
kurangnya 21 hari kerja sebelum ratifikasi sehingga Parlemen dapat
memberikan pendapat terkait traktat atau perjanjian internasional tersebut.
Diasumsikan bahwa dalam tiga pekan tersebut diadakan debat terkait
traktat-traktat yang penting atau kontroversial. Sejalan dengan aturan
tersebut, Pemerintah harus melaporkan kepada Parlemen mengenai setiap
pernjanjian, kewajiban, dan pemahaman yang memerlukan tindakan negara
dalam situasi tertentu. Selain itu, terdapat kebiasaan di mana traktat yang
memiliki dampak langsung terhadap anggaran negara harus mendapatkan
“consent” Parlemen. Ini terkait dengan perjanjian-perjanjian bilateral yang
dirancang untuk mencegah pemajakan ganda. Pada bulan Oktober 2000,
97
Pemerintah Inggris mengadopsi sejumlah rekomendasi dari Parliament’s
Procedure Committee Report terkait dengan “Parliamentary Scrutiny of
Treaties”. Pemerintah menyerahkan salinan dari setiap traktat kepada
Komite sebagai pengawas sebagaimana yang sudah diserahkan kepada
Parlemen dan ditambahi dengan penjelasan-penjelasan. Komite tersebut
memiliki kewenangan untuk membuat salinan dan menyerahkannya kepada
komite yang lain. Komite tersebut memiliki waktu 21 hari untuk memeriksa
traktat tersebut dan Pemerintah berhak untuk memberikan “consent” untuk
memperpanjang batas waktu tersebut.
Amerika Serikat
Selanjutnya Dr. Hestemeyer memberikan contoh proses demokratisasi
dan transparansi dalam pembentukan dan pengesahan perjanjian
internasional di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Kongres memainkan
peran penting sehubungan dengan perjanjian perdagangan. Secara
konstitusional Pasal I Bagian 8 memberi Kongres kekuatan "untuk mengatur
perdagangan dengan negara-negara asing". Namun, menurut Pasal II
Bagian 2, Presidenlah yang memiliki kekuasaan untuk membuat perjanjian
"dengan saran dan persetujuan Senat ... dengan syarat dua pertiga dari
Senator hadir dengan persetujuan".
Untuk perjanjian perdagangan, telah menjadi persyaratan de-facto
bagi Kongres untuk meloloskan suatu undang-undang yang memberikan
wewenang kepada “Trade Promotion Authority” di bawah Presiden.
Undang-undang tersebut menetapkan tujuan yang perlu dicapai dalam
proses kesepakatan perdagangan dan juga menentukan prosedur yang
perlu diikuti dalam negosiasi, seperti persyaratan konsultasi bagi Perwakilan
Perdagangan Amerika Serikat, yaitu kantor pemerintah yang bertanggung
jawab atas negosiasi, dengan Kongres. Kongres menentukan tujuan
negosiasi perdagangan, diperbarui secara konstan dan menyetujui
kesepakatan apa pun yang dihasilkan dari negosiasi, dalam voting. Dengan
demikian, sistem AS menawarkan pengawasan demokratis atas mandat
negosiasi dengan voting di parlemen dan keterlibatan parlemen dalam
proses negosiasi. Keterlibatan parlemen dalam mandat sebagai bentuk
persetujuan parlemen untuk negosiasi, memperkuat posisi negosiator dan
memastikan bahwa parlemen telah berkomitmen pada negosiasi. Ditambah
98
konsensus bipartisan untuk memastikan bahwa perubahan pemerintah tidak
akan mempengaruhi negosiasi. Keterlibatan parlemen juga merupakan
salah satu aspek untuk memastikan proses negosiasi yang efektif dan dapat
dipertanggungjawabkan secara demokratis. AS mencoba untuk
memastikan bahwa suara industri, dan juga masyarakat sipil, terdengar
dalam negosiasi.
Jerman
“Basic Law” Jerman membedakan antara “competencies of
negotiation” atau kompetensi perundingan dan adopsi traktat internasional.
Sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) Basic Law, Pemerintah Jerman memiliki
kewenangan penuh untuk melakukan perundingan traktat internasional.
Parlemen Jerman atau Bundestag memiliki kewenangan untuk
mengadopsi traktat yang sudah dirundingkan oleh Pemerintah dan
mentransformasinya ke dalam sistem hukum domestik sesuai dengan Pasal
59 ayat (2) Basic Law. Tidak ada kewajiban bagi Bundestag dalam
perundingan traktat secara umum, kecuali dalam hal pengawasan tidak
langsung.
Sehubungan dengan hal-hal yang terkait Uni Eropa, Bundestag dan
negara-negara bagian melalui Bundesrat berpartisipasi dalam menentukan
hal-hal terkait Uni Eropa sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) Basic Law.
Sebaliknya, Pasal 23 ayat (2) Basic Law mengamanahkan “prior
involvement” yang lebih tinggi kepada Bundestag terkait Uni Eropa, dalam
artian Pemerintah harus menginformasikan kepada Bundestag dan
Bundesrat secara menyeluruh dan sedini mungkin.
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman atau Bundesverfassungsgericht
memilik yurisprudensi terkait dengan hak Bundestag untuk diberikan
informasi mengenai “European Stability Mechanism”. Dijelaskan bahwa
Bundestag wajib diberikan informasi sedemikian rupa sehingga Bundestag
bisa memberikan pertimbangan dalam proses pembuatan kebijakan yang
dilakukan Pemerintah secara efektif dan sedini mungkin. Lebih lanjut, dalam
kasus di mana terjadi perundingan yang lebih lama dari biasanya,
Bundesverfassungsgericht tidak serta merta membiarkan Pemerintah untuk
memberikan informasi kepada Bundestag hanya ketika perundingan sudah
berakhir. Pemerintah diwajibkan untuk memberikan informasi ketika
99
perundingan sedang berjalan sehingga Bundestag dapat melaksanakan
haknya untuk berpartisipasi secara efektif terhadap proses perundingan.
Tidak ada praktik semacam “Informal Role of the German Parliament
in International Treaty Negotiations”. Sampai taraf tertentu, anggota komite
bisa saja memiliki peran tidak langsung dalam perundingan traktat dalam
kapasitas bertukar pandangan dengan perwakilan Pemerintah. Namun,
dampak dari komunikasi informal tersebut tidak diketahui dengan pasti.
Hak Parlemen atas Informasi
Tidak ada aturan dalam Basic Law Jerman yang mengatur hak
Bundestag atas informasi mengenai proses perundingan yang dilakukan
oleh Pemerintah (lebih-lebih hak untuk mengubah proses tersebut). Namun,
untuk mencegah penolakan terhadap traktat dalam tahap ratifikasi oleh
Parlemen [Pasal 59 ayat (2) Basic Law], Pemerintah secara rutin
memberikan informasi kepada Parlemen – lebih khususnya komite-komite
yang bertanggung jawab – sedini mungkin terkait proses perundingan.
Komite-komite yang paling sering menerima informasi mengenai proses
perundingan traktat yang sedang berlangsung biasanya ialah “Committee
on Foreign Affairs”, “Committee on Human Rights and Humanitarian Aid”,
“Committee on Economic Cooperation and Development”, dan “Committee
on Legal Affairs”. Lebih dari itu, Pemerintah juga memiliki kewenangan
penuh untuk memberikan informasi kepada “Commitee on Foreign Affairs”
dalam tahap perundingan traktat. Keputusan ini bergantung pada
pertimbangan yang berbeda-beda, misalnya apakah proses memberikan
informasi ini dapat membeberkan taktik atau posisi negosiasi yang dapat
melemahkan daya tawar Pemerintah.
Prosedur Parlemen dalam Pengolahan Informasi yang Diterima
Komite berhak mengajukan pertanyaan kepada anggota Pemerintah
yang menyajikan informasi tentang negosiasi traktat, untuk mendiskusikan
implikasi politik selama pertemuan dan untuk mempertimbangkan kembali
topik-topik tertentu pada tahap selanjutnya. Di akhir perundingan, komite
biasanya memberikan rekomendasi pada sidang paripurna (lihat pertanyaan
6 di bawah).
Pengaruh Parlemen terhadap Perundingan Traktat Internasional
100
Parlemen Jerman tidak dapat mengajukan amandemen pada suatu
traktat Internasional ketika perundingan telah ditutup secara resmi (lihat
Aturan 82 (2) Aturan Prosedur Bundestag Jerman). Dalam perkara di mana
negosiasi tertunda, komite yang kompeten dapat memberikan rekomendasi
pada sidang paripurna Parelemen. Meskipun rekomendasi ini tidak
mengikat namun dapat memberikan pengaruh politik yang cukup besar
karena rekomendasi ini dapat mengarahkan proses pengambilan keputusan
dalam sidang paripurna. Oleh karena itu, Pemerintah memiliki kepentingan
yang kuat untuk memastikan perjanjian komite yang kompeten pada tahap
awal.
Sebagai instrumen lebih lanjut untuk menegaskan pengaruh pada
perundingan traktat yang sedang berlangsung, komite yang kompeten dapat
mengirimkan surat kepada Pemerintah untuk menjelaskan pandangan
politik dan hukumnya pada masalah yang dinegosiasikan.
Tidak Ada Hak Parlementer untuk Mengajukan Keberatan terhadap
Perjanjian Internasional dalam Perundingan.
Parlemen Jerman tidak dapat menolak traktat internasional yang
sedang dirundingan. Parlemen hanya dapat menolak perjanjian yang telah
dihentikan. Jika tidak ada kesepakatan untuk meratifikasi traktat yang
dirundingkan sesuai dengan Pasal 59 (2) Undang-Undang Dasar Presiden
Federal (Bundespräsident) tidak akan mengajukan approval resmi dari
traktat tersebut kepada mitra perundingan lainnya sehingga traktat itu tidak
akan berlaku.
Ratifikasi Perjanjian Internasional di Jerman
Setiap traktat internasional yang akan diratifikasi di Jerman sesuai
dengan Pasal 59 (2) Basic Law, harus mendapat approval oleh Bundestag
dan Bundesrat (Vertagsgesetz atau Ratifikationsgesetz). Proses legislatif
sama dengan hukum lainnya: setelah presentasi kepada paripurna, draf
proposal dirujuk kepada komite yang bertanggung jawab dalam
musyawarah. Setelah musyawarah (dan, jika diperlukan, sidng para ahli),
komite membuat rekomendasi draf proposal. Jika musyawarah menyangkut
proposal penting atau kontroversial, biasanya diskusi juga diadakan secara
intensif didalam berbagai kelompok parlemen dan komite koalisi
(Koalitionsausschuss). Di akhir prosedur, draf proposal kembali disajikan
101
dalam sidang paripurna. Paripurna hanya dapat mengadopsi atau menolak
proposal en bloc, yaitu tidak dapat mengadopsinya secara prinsip dan hanya
objek pada bagian tertentu (atau bahkan mengubahnya).
Status Hukum dari Traktat Ratifikasi
Traktat yang telah diratifikasi memiliki status sukum di bawwah Basic
Law Jerman. Namun tidak secara otomatis menjadi bagian dari hukum
domestik Jerman karena Jerman mengikuti sistem dualistik. Traktat menjadi
bagian dari sistem hukum setelah Ratifikationsgesetz mulai berlaku.
Efektivitas Peran Parlemen dalam Perundingan Perjanjian Internasional
Ketika membahas mengenai ratifikasi perjanjian internasional,
Parlemen Jerman, sejauh ini, hampir selalu memberikan “consent”–nya
untuk meratifikasi traktat internasional sesuai dengan Pasal 59 (2) Basic
Law. Hanya ada satu traktat internasional yang tidak diratifikasi oleh
Parlemen Jerman; traktat yang dirundingkan pada tahun 1962 oleh
Pemerintah Perancis terkait dengan Mundatwald (daerah di wilayah Jerman
Selatan Palatinate) yang mana harus diserahkan kepada Perancis.
Setelah diskusi intensif, Komite Urusan Luar Negeri memutuskan
untuk meolak ratifikasi dari traktat dan, dengan demikian, tidak menyajikan
draf proposal Ratifikationsgesetz kepada paripurna Parlemen Jerman.
Italia
Adapun pembentukan traktat dan perjanjian (hukum internasional
konvensional), Konstitusi menyajikan hanya dalam pasal 80 bahwa “Kamar
Parlemen mengesahkan dengan undang-undang ratifikasi traktat yang
bersifat politis, atau menyediakan untuk arbitrase atau peradilan
penyelesaian sengketa, atau melibatkan variasi dalam wilayah negara atau
beban pada keuangan negara atau modifikasi dalam hukum perundang-
undangan”.
Lebih lanjut, dalam Pasal 87 Konstitusi menetapkan bahwa: “Presiden
Republik... meratifikasi traktat internasional, setelah disahkan oleh Dewan,
jika Konstitusi mewajibkannya.” Melalui ketentuan ini, para penyusun
Konstitusi hendak mengakhiri praktik lama traktat rahasia seperti Traktat
Tiga Aliansi dan Traktat London. Lebih dari itu, prinsip-prinsip konstitusional
yang baru dimaksudkan untuk membuat beberapa perubahan dalam aturan
102
sebelumnya dari Italia yang monarkis; tetapi sejauh mana perubahannya,
tetap terbuka untuk argumen.
Misalnya, mungkin diperdebatkan, asumsi bahwa ketentuan Pasal 80
dan Pasal 87 harus diambil dalam arti harfiahnya, bahwa Konstitusi
mengimplikasikan prinsip-prinsip semacam ini, sangat berinovasi vis-i-vis
hukum lama:
a. Karena istilah ‘traktat’ harus diambil untuk mengacu pada semua jenis
perjanjian internasional, Pasal 87 mengharuskan Italia untuk
menyimpulkan semua perjanjiannya dalam bentuk yang membuat tanda
tangan dan ratifikasi berbeda dan membuat perjanjian internasional
mengikat dan hanya berlaku setelah ratifikasi.
b. Aturan bahwa Presiden meratifikasi perjanjian adalah penerapan
khusus dari gagasan perannya sebagai "penjamin" Konstitusi dan
legalitas. Semua perjanjian internasional harus diserahkan kepada
Presiden sebelum ratifikasi sehingga ia dapat memeriksa bahwa
mereka tidak bertentangan dengan Konstitusi dan undang-undang.
c. Negosiasi dan penandatanganan perjanjian adalah milik pemerintah,
sementara ratifikasi hanya dapat terjadi setelah Presiden menentukan
keabsahannya. Ini berlaku untuk semua traktat. Tetapi sehubungan
dengan perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 80, ada kondisi
tambahan karena mereka secara sah disimpulkan dari sudut pandang
Konstitusi Italia. Setelah traktat ditandatangani, dan sebelum
diberlakukan pada hukum internasional melalui ratifikasi, Parlemen
harus “consent” pada traktat tersebut. Secara khusus, frase "traktat oleh
politik" harus diambil pada nilai nominalnya. Dan karena hampir semua
traktat internasional memiliki implikasi politik, Parlemen akan menikmati
semacam veto pencegahan pada hampir semua keterlibatan
internasional di mana Italia memasuki.
Konstitusi Itali menetapkan bahwa ratifikasi dari Parlemen dibutuhkan
hanya untuk traktat-traktat sebagai berikut: traktat mengenai politik, traktat
yang menjabarkan mengenai pengaturan arbitrasi atau keputusan, traktat
yang membutuhkan perubahan dari wilayah Negara, traktat yang
melibatkan obligasi finansial, atau traktat-traktat yang melibatkan
103
amandemen legislatif. Ratifikasi dari traktat-traktat ini berlaku sesuai dengan
hukum pada prosedur yang biasanya.
New Zealand
Berdasarkan pada Konstitusi Belanda 1983, dibutuhkan approval dari
Dewan Negara Parlemen Belanda untuk bergabung dalam perjanjian-
perjanjian ataupun keluar dari perjanjian-perjanjian tersebut. Prosedur
dalam memberikan approval, dan kasus-kasus di mana approval tidak
diperlukan, telah dijelaskan dalam hukum. Dalam hal ini, Konstitusi
membolehkan approval dalam artian “tacit consent”.
Konstitusi ini juga menetapkan bahwa ketentuan-ketentuan dari suatu
perjanjian yang berkontradiksi dengan Kontitusi, atau cenderung
berkontradiksi dengannya, harus disetujui oleh setidaknya dua per tiga dari
total partisipan dalam pemilihan, pada Dewan Negara pertama dan kedua.
Seperti yang telah dikatakan di atas, Konstitusi mengesahkan pihak yang
berwenang dalam legislatif untuk mendasarkan prosedur approval pada
hukum, dan kasus-kasus di mana approval oleh Dewan Negara tidak
dibutuhkan. Tetapi hukum ini belum diberlakukan. Sementara itu, maka
pengaturan dari Konstitusi 1972 tetap berlaku. Pengaturan ini mencakup
sebagai berikut: Mengenai prosedur pemberian approval, sebelum
perjanjian-perjanjian diratifikasi, Pemerintah harus menyampaikan
sebelumnya di hadapan dua Dewan Negara untuk approval. Approval dari
Dewan Negara dapat diberikan secara eksplisit maupun implisit (i.e. “tacit
consent”). Jika dalam waktu 30 hari sejak perjanjian disampaikan pada
Dewan Negara tidak ada permintaan yang disampaikan oleh salah satu dari
Kamar Parlemen, atau setidaknya satu per lima daru anggota tiap Kamar
Parlemen, hingga menyebabkan diperlukannya approval eksplisit dari
Dewan Negara, maka hal ini dianggap sebagai approval implisit. Dalam
kasus lainnya di mana approval eksplisit dibutuhkan, maka harus diberikan
sesuai dengan hukum oleh Dewan Negara.
Konstitusi 1972 menjelaskan perjanjian-perjanjian mana saja yang
tidak membutuhkan approval dari Dewan Negara. Hal ini meliputi perjanjian-
perjanjian yang berhubungan dengan implementasi dari perjanjian yang
telah disetujui oleh Dewan Negara, selama hukum yang menyetujui
perjanjian tersebut tidak menyatakan sebaliknya; sebuah perjanjian yang
104
tidak menentukan kewajiban finansial yang signifikan pada negara, dan
ditandatangani dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun; sebuah
perjanjian mendesak, mengenai kepentingan negara yang perlu untuk
segera diberlakuan tanpa penundaan, sebelum disetujui oleh Dewan
Negara (perjanjian seperti ini akan disampaikan, dalam kegiatan apapun,
untuk mendapat approval Dewan Negara, tanpa penundaan).
Republik Ceko
Berdasarkan pada Konstitusi Ceko, “consent” dari Poslanecka
Snemovna (parlemen Ceko) dibutuhkan untuk meratifikasi perjanjian-
perjanjian internasional mengenai subjek-subjek sebagai berikut: perjanjian
mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat, perjanjian-perjanjian damai,
persekutuan atau perjanjian politik manapun, perjanjian di mana Republik
Ceko akan bergabung dalam organisasi internasional, perjanjian mengenai
ekonomi, atau perjanjian mengenai isu-isu lainnya yang membutuhkan
pengaturan hukum.
Berdasarkan pada Rules of Procedure, Poslanecka Snemovna
mendebatkan perjanjian-perjanjian internasional yang membutuhkan
ratifkasi, sebelum diratifikasi, atau ketika keluar dari perjanjian-perjanjian
tersebut.
Mengenai prosedur, adalah perlu untuk memberikan Poslanecka
Snemovna setidaknya satu salinan dari perjanjian versi orisinil, dan satu
salinan terjemahan ke dalam bahasa Ceko. Instruksi-instruksi dari Rules of
Procedures yang berlaku pada perdebatan mengenai rancangan undang-
undang, juga berlaku pada perdebatan mengenai perjanjian internasional
(dengan pengecualian pada beberapa artikel). Setelah perdebatan
perjanjian pada pembacaan pertama, Komite yang menyampaikan
perjanjian tersebut harus memberi tahu Presiden dari Poslanecka
Snemovna mengenai apakah Poslanecka Snemovna memutuskan untuk
merekomendasikan bahw Kamar Parleme memberikan “consent” pada
ratifikasi perjanjian tersebut. Presiden maka harus memastikan bahwa
keputusan-keputusan Komite diberikan kepada para anggota dari
Poslanecka Snemovna setidaknya 24 jam, sebelum debat di pembacaan
kedua.
105
Sebuah debat parlementer akan dilakukan pada perjanjian dan
berdasarkan pada rekomendasi Komite, dimana Poslanecka Snemovna
akan memutuskan mengenai pemberian “consent” untuk meratifikasi
perjanjian tersebut setelahnya.
New Zealand
Berdasarkan pada Rules of Procedure dari House of Representatives,
Pemerintah memiliki obligasi untuk menyampaikan traktat-traktat berikut ini
pada Kamar Parlemen: traktat yan membutuhkan ratifikasi, approval,
pencapaian atau penerimaan, dan penarikan dari traktat tersebut; traktat
yang melalui prosedur-prosedur ini secara mendesak, sesuai dengan
beberapa kepentingan nasional; traktat bilateral mengenai kepentingan
sentral, yang tidak membutuhkan ratifikasi, approval atau penerimaan
dalam arti tertentu, di mana Menteri Luar Negeri dan Perdagangan
memutuskan harus untuk disampaikan pada House of Representatives.
Traktat ini harus disampaikan pada Parlemen dengan didampingi oleh
sebuah “analisis kepentingan nasional”, yang berfungsi sebagai latar
belakang dari permintaan tersebut, dan perincian mengenainya. Traktat dan
analisis kepentingan nasional ini diberikan kepada Komite Urusan Luar
Negeri, Pertahanan dan Perdagangan (Hereinafter – “Komite Urusan Luar
Negeri”), yang akan memeriksa mereka atau diberikan kepada komite
lainnya untuk diperiksa. Jika Komite Urusan Luar Negeri tidak mampu untuk
bersidang dalam kurun waktu tujuh hari sejak traktat tersebut disampaikan,
dan subyek yang dibahas dalam traktat tersebut secara jelas merupakan
kompetensi dari komite lainnya, maka Juru Bicara dari House of
Representatives akan memberikan traktat tersebut pada komite lainnya
untuk diperiksa dan melaporkannya pada Kamar Parlemen. Komite harus
mempertimbangkan apakah perlu melibatkan House of Representatives
pada beberapa aspek dari traktat ini. Komite harus menambahkan analisis
kepentingan nasional sebagai lampiran pada laporannya.
Irlandia
Konstitusi Irlandia menetapkan bahwa wewenang mengenai urusan
luar negeri dari Irlandia berada di tangan Pemerintah, tetapi perjanjian
internasional akan berubah menjadi bagian dari hukum negara tersebut,
berdasarkan pada keputusan dari parlemen.
106
Berdasarkan pada Konstitusi, Pemerintah berkewajiban untuk
memberitahukan seluruh perjanjian internasional yang telah diikuti oleh
Parlemen. Sebagai tambahan, negara tidak diperbolehkan untuk bergabung
dalam perjanjian internasional manapun yang melibatkan pengeluaran dari
dana publik, kecuali Parlemen telah menyetujui kondisi dari Perjanjian. Dua
kewajiban ini tidak berlaku pada perjanjian atau traktat yang bersifat teknis
atau administratif.
Setelah traktat telah dijabarkan di hadapan Parlemen setelah jangka
waktu tertentu, tanpa ada penolakan yang diterima, hal ini dipandang
sebagai “tacit consent”’.
13) Dampak luas dari perjanjian internasional dapat dilihat dari beberapa klausul
perjanjian seperti HAKI, SPS, cumulation of origin, fasilitasi perdagangan,
lingkungan, HAM, food safety, energy security, teknologi informasi, investasi,
penyelesaian sengketa, anti money laundering, mata uang bahkan transnational
organized crime seperti crimes related trade dan terorisme serta pasal-pasal
yang juga memberi dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap
sektor strategis nasional seperti pertanian, perikanan, kehutanan, dan infant
industri.
14) Pandangan perjanjian perdagangan internasional hanya merupakan perjanjian
bersifat teknis ini harus dirubah dan perlu dilakukan kajian lebih dalam lagi
karena masuknya Indonesia kedalam sebuah perjanjian perdagangan
internasional seperti perdagangan bebas maupun sistem multilateral, bilateral,
pluriteral yang lain harus tetap mempertimbangkan kepentingan nasional,
development needs, kedaulatan nasional, dan keadilan sosial sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar.
15) Untuk itu menurut pandangan ahli saya bahwa Pasal 11 UUD 1945 merupakan
perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-
Undang Dasar. Selanjutnya Pasal 11 UUD 1945 juga merupakan perwujudan
dari amanat pembukaan Undang-Undang Dasar dimana negara republik
Indonesia sebagai warga dunia yang baik ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berlandaskan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehingga UU Nomor
24 Tahun 2000 merupakan wujud pengaturan dan pelaksanaan Pasal 11 UUD
1945 sehingga Pasal 2, 9, 10, 11 UU Nomor 24 tidak boleh bertentangan dengan
Pasal 11 UUD 1945.
107
16) Bahwa pengkategorian perjanjian internasional yang dianggap memberikan
dampak luas harus tetap memperhatikan amanat pembukaan UUD 1945
mengenai keadilan sosial, prinsip demokrasi, dan kedaulatan rakyat.
b. Arimbi Heroepoetri
Lembaga-lembaga Keuangan Internasional seperti Bank Dunia (World
Bank/WB), Dana Moneter Internasional (Intermational Monetary Fund/IMF) dan
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menerapkan sistem
keanggotaan, sehingga negara-negara anggota dapat memberi pinjaman (kreditur),
ataupun menerima pinjaman (debitur). Indonesia telah menjadi anggota WB/IMF
sejak tahun 1954 (walaupun di tengah jalan sempat menarik diri melalui UU Nomor
1 Thn 1966, kemudian kembali menjadi anggota melalui UU Nomor 9 Tahun 1966).
Demikian juga dengan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB),
Indonesia telah menjadi anggota ADB sejak tahun 1966 melalui UU no. 8 Thn 1966.
Sejak itu WB telah memberikan pinjaman sebesar 221,57 triliun untuk 567 proyek,
dan ADB sebesar 3.524,63 juta USD (Rp. 47,65 triliun) untuk 920 proyek ke
Indonesia. Pinjaman dari Bank Dunia dan ADB turut menyumbang pada akumulasi
utang luar negeri Indonesia yang mencapai 382,26 miliar Rp.5,2 triliun (per Juli
2017).
Selama hampir 20 tahun belakangan ini, Ahli terlibat aktif dalam melakukan
pemantauan beberapa proyek dan kebijakan yang didanai dari WB, IMF dan ADB.
Tidak semuanya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Berangkat
dari pengalaman Indonesia yang melakukan pembangunan bertumpu pada utang,
adalah lemahnya akuntabilitas sang pemberi utang terhadap keberhasilan proyek.
Contoh-contoh proyek gagal, seperti dam Kedungombo (1989) yang dibiayai Bank
Dunia dan Exim Bank Jepang (total 181,2 Juta USD), menimbulkan dampak sosial
dan ekologi karena menenggelamkan 37 desa di Jawa Tengah. Irigasi yang dibiayai
ADB melalui proyek Bali Irrigation Sector Project (BIP) di tahun 1978 dengan utang
108,9 juta USD ternyata merusak sistem subak di Bali. Program ini menggabungkan
subak-subak yang dahulu mengurus irigasi secara mandiri dan demokratis menjadi
dalam kesatuan irigasi baru yang hierarkis, akibatnya malah menimbulkan konflik
horizontal diantara pemakai irigasi. Ini diakui sendiri oleh ADB, ketika melakukan
PPA (Project Performance Audit) di tahun 1992. Ataupun proyek legislasi UU
Sumber Daya Air (UU No. 7 Thn 2004) yang dibiayai Bank Dunia yang akhirnya
108
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (2013), karena bertentangan dengan Pasal 33
konstitusi.
Tahun 2009 salah satu temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah adanya kejanggalan dalam pengelolaan
utang luar negeri. "Ada perbedaan antara data hutang luar negeri. Di Depkeu itu Rp
450 triliun, sedangkan data di BI 443 triliun," ujar Wakil Ketua KPK Haryono Umar,
Rabu (18/2/2009). Dalam pemeriksaannya BPK menemukan dari tahun 1967 hingga
2005, hanya 44 persen hutang luar negeri yang dimanfaatkan. Sedangkan 56
persen lagi tidak jelas pemanfaatannya. "Kita ingin melihat 2.214 loan dan program
loan ini karena makin lama hutang yang dibayar makin lama makin tinggi,"
ungkapnya. KPK pun akan memanggil Bapenas, BI, dan BUMN-BUMN yang
menggunakan kredit luar negeri, untuk meminta klarifikasi dari tiga instansi di atas.
KPK akan mengecek apakah kejanggalan dalam hutang luar negeri ini hanya
masalah kesalahan administrasi saja, atau ada persoalan hukum. KPK juga
menyesalkan soal "Tidak ada borrowing strateginya. Belum jelas pemanfaatannya
untuk apa, sudah meminjam ke luar negeri," jelas Haryono. Namun sampai
sekarang, rencana KPK tersebut belum terdengar lagi bagaimana realisasinya.
Pada tahun 2015, Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 171 Tahun
2015 tentang Pengesahan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), resmi
menjadi anggota AIIB. Dengan demikian, Indonesia mendapat utang dari AIIB untuk
beberapa proyek, antara lain untuk pembangunan Dam sebesar 300 juta USD.
Menurut hemat saya, ini tindakan yang mengabaikan aspek keefektifan, dan
kemaslahatan penggunaan utang yang hanya bertumpu kepada mekanisme
pengawasan di tingkat eksekutif.
Perikatan internasional antara Indonesia dengan WB, IMF dan ADB saja
masih menimbulkan masalah karena keterbatasan DPR untuk menjalankan fungsi
pengawasannya, apalagi sebuah perikatan internasional yang didasari dengan
Peraturan Pemerintah seperti yang terjadi dengan keanggotaan Indonesia dalam
AIIB.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden
memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal
11 April 2018, yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 5 April 2018, dan
109
keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 16
April 2018, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut:
I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON
Bahwa pada pokoknya Pemohon mengajukan Permohonan pengujian materiil
ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) UU PI bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2 UUPI:
“Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut
kepentingan publik.”
Pasal 9 ayat (2) UUPI:
“Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Pasal 10 UUPI:
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
pembentukan kaidah hukum baru;
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pasal 11 ayat (1) UUPI:
“Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden”. karena
menurut para Pemohon ketentuan-ketentuan a quo telah bertentangan dengan
ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
110
Terhadap Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D UUD 1945, yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon,
Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang.
2. Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 kerugian hak ditentukan dengan
lima syarat yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan
oleh UU 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
111
3. Bahwa pengujian kelima syarat tersebut terhadap posita para pemohon adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa para pemohon mendalilkan hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang diberikan UUD 1945 adalah Pasal 11 ayat (2) UUD
1945 dan Pasal 28D UUD 1945;
b. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mengatur mengenai kewenangan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan khususnya dalam
hal membuat perjanjian internasional dan kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menyetujui suatu perjanjian internasional.
c. Bahwa lebih lanjut Para Pemohon mendalilkan kerugian konstitusionalnya
berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yang mana pasal a quo
mengatur mengenai Presiden dalam proses pembentukan suatu
penjanjian internasional, bukan mengatur hak konstitusional para
Pemohon baik sebagai perorangan warga Negara Indonesia, maupun
sebagai badan hukum privat. Dengan demikian para pihak dalam perkara
a quo tidak memiliki legal standing karena bukan merupakan pihak yang
terlibat dalam pembuatan Perjanjian Internasional. Selain itu, Pemerintah
juga berpandangan bahwa Para Pemohon tidak dapat membuktikan
adanya causa verband (sebab akibat) yang menegaskan bahwa hak
konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya UU a quo.
d. Pemerintah berpendapat Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur
mengenai prosedur pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
yang hanya terkait dengan pengejawantahan kewenangan konstitusional
Pemerintah dan DPR dan bukan mengatur hak konstitusional warga
negara, sehingga adalah keliru dan tidak tepat jika para Pemohon
menggunakan Pasal 11 ayat (2) sebagai batu uji mengingat tidak ada
kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon didasarkan pada pasal
a quo.
e. Para Pemohon juga mendalilkan kerugian konstitusionalnya berdasarkan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat Pemerintah jelaskan bahwa pasal-
pasal yang diuji justru memberikan kepastian hukum dengan memberikan
pengaturan mengenai pelaksanaan pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, justru malah akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan juga kekosongan hukum apabila petitum Para Pemohon
112
dikabulkan, terlebih lagi ketentuan yang diuji berlaku sama untuk semua
warga Negara Indonesia, sehingga tidak ada diskriminasi apalagi
pembedaan perlakuan dalam ketentuan a quo.
f. Bahwa selanjutnya Para Pemohon juga mendalilkan kerugian
konstitusionalnya yang pada pokoknya antara lain sebagai berikut: “Bahwa
dengan berlakunya Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 UU
PI, akan merugikan Pemohon VIII karena tidak adanya keterlibatan dan
kontrol masyarakat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional yang menyangkut ekonomi, perdagangan dan
kerjasama perlindungan penanaman modal yang dapat merugikan
perikehidupan masyarakat petani, melemahkan demokrasi, memudarnya
keahlian petani, rusaknya ekosistem pertanian pangan dan iklim, ekonomi
petani, dan ancaman regenerasi petani selaku produsen pangan” (vide
salinan perbaikan para Pemohon halaman 21-22) serta dalil kerugian
konstitusional para Pemohon yang antara lain pada pokoknya menyatakan
sebagai berikut: “Bahwa Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV
sebagai warga negara Indonesia telah dirugikan hak konstitusionalnya
berupa meniadakan hak konstitusional Pemohon X sampai dengan
Pemohon XIV untuk memberikan aspirasinya melalui DPR RI sebagai
lembaga perwakilan yang mewakili dan menyuarakan kepentingan rakyat
Indonesia serta terjadinya ketidakpastian hukum yang menyebabkan
meningkatnya jumlah garam impor yang beredar di pasaran Indonesia
sehingga merugikan para Pemohon untuk memenuhi dan meningkatkan
kesejahteraannya”, (vide salinan perbaikan Permohonan para Pemohon
halaman 24) Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada
kepentingan nasional, Pemerintah Republik Indonesia melakukan
berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional dengan
negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subyek hukum
internasional lain. Perkembangan dunia yang ditandai dengan
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara.
Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin
meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam
113
beragam bentuk perjanjian internasional. Pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional melibatkan berbagai lembaga negara dan
lembaga pemerintah berikut perangkatnya. Agar tercapai hasil yang
maksimal, diperlukan adanya koordinasi di antara lembaga-lembaga
yang bersangkutan. Untuk tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas dan
menjamin kepastian hukum atas setiap aspek pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional. Pengaturan mengenai
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang ada
sebelum disusunnya undang-undang ini tidak dituangkan dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang jelas sehingga dalam praktiknya
menimbulkan banyak kesimpang-siuran.
2. Pengaturan sebelumnya hanya menitikberatkan pada aspek
pengesahan perjanjian internasional. Oleh karena itu, diperlukan
adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mencakup aspek
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional demi kepastian
hukum. Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional merupakan
pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945 yang memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 UUD 1945
bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk
itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang secara
tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif
dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta
aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang
dinamis antara kedua lembaga tersebut.
3. Bahwa peran DPR dalam pembentukan perjanjian internasional
sebagaimana amanat Pasal 11 UUD 1945 tersebut di atas justru
tercermin di antaranya dalam Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan
Pasal 11 UU PI yang diuji oleh Para Pemohon, sehingga adalah sangat
tidak tepat dan keliru jika Para Pemohon mendalilkan tidak adanya
keterlibatan dan kontrol masyarakat serta meniadakan hak
konstitusional Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV untuk
memberikan aspirasinya melalui DPR RI, mengingat sangat terang
114
benderang justru pasal-pasal a quo yang diuji memberikan pengaturan
yang jelas dan tegas mengenai peran dan mekanisme persetujuan
DPR dalam pembuatan perjanjian internasional sebagaimana amanat
Pasal 11 UUD 1945. Lebih lanjut Pemerintah sampaikan bahwa pasal-
pasal yang diuji juga sama sekali tidak menghalangi warga Negara
untuk menyampaikan aspirasinya kepada DPR, bahwa tidak ada satu
pasal pun dalam UU PI yang merintangi, menghambat, menghalangi,
dan/atau melarang warga negara termasuk para Pemohon untuk
menyampaikan aspirasinya terkait perjanjian internasional kepada
DPR apalagi sampai merugikan Para Pemohon untuk memenuhi dan
meningkatkan kesejahteraannya.
4. Bahwa peran dan keterlibatan DPR semakin tercermin ketika kita
membaca Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU a quo yang memberikan
hak kepada DPR untuk meminta pertanggungjawaban atau
keterangan Pemerintah (bahkan) untuk perjanjian-perjanjian yang
sifatnya teknis. Penjelasan Pasal ini menegaskan bahwa apabila
dipandang merugikan kepentingan nasional, pejanjian internasional
tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR. Dengan demikian,
alih-alih mengabaikan peran DPR, UU PI justru telah memberikan
ruang yang begitu luas bagi DPR dalam pembuatan, pengesahan
bahkan pemberlakuan perjanjian internasional.
5. Bahwa meskipun UU PI telah memberikan peran yang luas kepada
DPR, namun dalam perspektif ilmu konstitusi, kekuasaan membentuk
Perjanjian Internasional (capacity to make treaties) tetap masuk dalam
kewenangan kekuasaan eksekutif. Sejalan dengan itu, para perumus
UUD 1945 beserta Perubahannya dengan tepat telah menempatkan
pengaturan mengenai kekuasaan membuat Perjanjian Internasional ini
dalam Pasal 11 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Bab
III ini mengatur hal-hal mengenai Presiden baik sebagai kepala negara
maupun kepala pemerintahan. Kekuasaan membuat perjanjian
internasional, bersama-sama dengan kekuasaan lain seperti
menyatakan perang dan membuat perdamaian merupakan
kewenangan Pemerintah.
115
g. Bahwa Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”, oleh karena itu tanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan termasuk di dalamnya pilihan pengaturan mengenai
mekanisme pembuatan perjanjian internasional sepanjang mampu
memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah dalam melakukan
hubungan dan kerja sama internasional dalam rangka mencapai tujuan
Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
social, maka hal tersebut merupakan pilihan hukum (legal policy) dari
Pemerintah bersama DPR sebagai pembentuk UU dan pilihan kebijakan
yang demikian tidaklah dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenang-
wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat uu
(detournement de pouvoir).
h. Bahwa walaupun berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Para Pemohon mendalilkan dalam kedudukannya sebagai perorangan
warga negara Indonesia dan sebagai badan hukum adalah pihak yang
dapat saja mengajukan permohonan pengujian UU, namun sekali lagi
Pemerintah sampaikan bahwa tidak terdapat kerugian konstitusional yang
dialami oleh para Pemohon.
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka dalil para Pemohon atas hak dan/atau
kewenangan konstitusional pada Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 adalah tidak berdasar dan/atau keliru, sehingga Pemerintah berpendapat para
Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan adalah
tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard).
116
III. PENJELASAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN
OLEH PARA PEMOHON
1. Mengingat persidangan ini bersifat terbuka untuk umum, maka Pemerintah
akan menggunakan kesempatan persidangan ini dengan sebaik-baiknya
utamanya untuk menjelaskan dan meluruskan pemahaman pemohon dan
masyarakat luas pada umumnya terkait prosedur dan tata cara pengikatan
negara terhadap suatu perjanjian internasional. Penjelasan ini sekaligus
diharapkan dapat menambah khazanah akademik dan yurisprudensi terkait
hubungan antara disiplin ilmu hukum tata negara dan ilmu hukum
internasional.
2. Sebelum memasuki pokok materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
yang diuji dalam Mahkamah yang mulia ini, perkenankan kami terlebih dahulu
memberikan penjelasan umum mengenai latar belakang dan kronologi lahirnya
Undang-Undang a quo. Penjelasan ini diharapkan dapat menjawab sebagian
besar persoalan yang dipermasalahkan oleh Pemohon khususnya tentang
batu uji Pasal 11 ayat (2) serta pemahaman tentang “pengesahan” yang selalu
diperhadapkan dengan “persetujuan DPR”.
3. Undang-Undang a quo adalah pengejawantahan dari kebiasaan internasional
yang telah dituangkan dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian
Internasional. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969
tersebut telah berlaku secara universal dan dijadikan pedoman bagi
masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian
internasional.
4. Jika Konvensi Wina 1969 mengatur tentang wilayah hukum internasional maka
Undang-Undang a quo pada hakikatnya adalah mengatur wilayah hukum
nasional khususnya aspek-aspek domestik dari pembuatan perjanjian
internasional oleh Indonesia yakni norma hukum tatanegara dan administrasi
negara yang berdimensi luar negeri (Außenstaatsrecht). UU ini mengatur
tentang kewenangan organ-organ negara khususnya pemerintah serta
prosedur internal Indonesia dalam rangka membuat dan mengikatkan diri pada
perjanjian internasional.
5. Undang-Undang a quo dibentuk sebagai norma operasional dari Pasal 11 UUD
1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan: “Presiden dengan persetujuan
117
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain”.
6. Mengingat ketentuan Pasal 11 UUD 1945 sangat singkat dan tidak terdapat
keterangan lebih jauh dalam penjelasannya maka sebelumnya pemerintah
berupaya menjabarkanya melalui Surat Presiden Republik Indonesia No.
2826/HK/60 tertanggal 22 Agustus 1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia mengenai Pembuatan Perjanjian-Perjanjian
dengan Negara lain.
7. Surat tersebut pada intinya adalah pandangan dari pihak Pemerintah dalam
rangka menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama antara
Pemerintah dan DPR terkait dengan perjanjian-perjanjian apa saja yang perlu
mendapat persetujuan DPR sebelum dilakukan pengesahan (ratifikasi/aksesi)
oleh Presiden. Menurut Surat ini, tidak semua perjanjian harus mendapat
persetujuan DPR. Butir 2 Surat dimaksud menyatakan:
Menurut pendapat Pemerintah perkataan “perjanjian” di dalam Pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan Negara Asing, tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk Traktat atau Treaty. Jika tidak diartikan sedemikian maka Pemerintah akan tidak mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.
8. Selanjutnya Surat Presiden tersebut merumuskan kriteria tentang perjanjian
apa saja yang perlu mendapat persetujuan DPR yakni perjanjian yang
terpenting saja yang berdasarkan muatan materinya berisi:
a. Soal-soal politik atau soal-soal yang mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian -perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas;
b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi politik luar negeri negara; dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang .
c. Soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem peraturan perundang-undangan kita (Indonesia) harus diatur dengan Undang-Undang, seperti soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman.
118
9. Butir 4 Surat Presiden tersebut selanjutnya menyatakan:
Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut diatas Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan sebelumnya disyahkan oleh Presiden, ialah perjanjian-perjanjian yang lazim berbentuk Treaty yang mengandung materi sebagai berikut:
Butir 4 Surat ini secara jelas membedakan antara “persetujuan DPR” di satu
pihak dengan “disyahkan” di pihak lain. Dalam hal ini tergambar bahwa
kewenangan DPR adalah memberikan persetujuan sedangkan kewenangan
Presiden adalah melakukan pengesahan setelah diperoleh persetujuan DPR.
10. Walaupun DPR tidak pernah menjawab Surat Presiden tersebut, Surat
Presiden tersebut sebelum adanya Undang-Undang a quo telah berlaku
sebagai pedoman bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia. Setelah dipraktikan selama
kurang lebih 40 tahun, Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/60
dipandang sudah tidak relevan lagi, yang dalam bahasa konsideran
menimbang Undang-Undang a quo huruf c adalah “…tidak sesuai lagi dengan
semangat reformasi…” sehingga kemudian dirasa penting untuk
menyempurnakan Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/60 guna
menciptakan kepastian hukum dengan menuangkannya dalam Undang-
Undang a quo.
11. Selanjutnya Undang-Undang a quo menulis kembali semangat seperti yang
tertuang dalam Surat Presiden tersebut dengan menyempurnakan kriteria
perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR sesuai dengan
perkembangan pada saat itu. Dalam Pasal 10 Undang-Undang a quo
dirumuskan bahwa perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR adalah
Perjanjian yang berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
119
12. Setelah Undang-Undang a quo berlaku pada tahun 2000, pada tahun 2001 dan
tahun 2002 telah dilakukan Amandemen ke-3 dan ke-4 terhadap UUD 1945
yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.****)
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.***)
13. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 pada hakikatnya mengatur kembali soal kriteria
perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Namun berbeda
dengan apa yang dipahami oleh Pemohon, “perjanjian internasional lainnya”
seperti yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) adalah perjanjian selain
dengan negara [seperti yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)], yakni
perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dengan organisasi-organisasi
internasional. Hal ini secara jelas tercermin dalam risalah pembahasan
amandemen ke-3 dan ke-4 UUD 1945 yang waktu itu dipicu oleh kontroversi
Letter of Intent dengan IMF tahun 1998 menyusul krisis moneter pada waktu
itu. Dalam perdebatan di MPR mengenai Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 ayat
(2) UUD 1945 diperoleh pemahaman bahwa kedua ayat tersebut pada
dasarnya mengatur jenis perjanjian yang berbeda. Pasal 11 ayat (1) membuat
perjanjian dengan negara lain maka Pasal 11 ayat (2) membuat perjanjian
selain dengan negara lain (misalnya perjanjian dengan organisasi
internasional). Anggota MPR dari F-PDIPerjuangan, Soewarno menyatakan:
“perjanjian internasional lainnya, artinya bukan yang tercantum pada ayat (1).”
(vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara
Terbitan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Halaman 626).
Selanjutnya Jacob Tobing pada Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR Ke-5,
8 November 2001 yang dipimpinnya dengan salah satu agendanya tentang
pengesahan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945, memberikan narasi
mengenai rancangan perubahan ketiga UUD 1945 yang merupakan hasil
120
pembahasan dari tim perumus, berikut pemaparannya terkait dengan Pasal
11, khususnya mengenai ‘perjanjian internasional lainnya’ yaitu: “Kemudian
Pasal 11. Ini adalah sebenarnya apa yang ada di dalam Undang-Undang
Dasar yang asli, yang mengatur perjanjian dengan negara lain. Sekarang oleh
karena perkembangan dunia internasional sedemikian rupa, bisa saja
perjanjian dengan IMF atau dengan WTO, atau dengan badan-badan
internasional lainnya menyebabkan harus ada perubahan undang-undang di
dalam negeri atau menyebabkan hal-hal yang sangat berat bagi..., atau
membebani rakyat, itu harus dengan persetujuan DPR. (vide Naskah
Komprehensif Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Terbitan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Halaman 631-632).
Lebih lanjut, DR. Harjono, S.H., MCL dalam tulisannya berjudul: “Perjanjian
Internasional dalam Sistem UUD 1945” yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris
Volume 4, Januari – April 2012 membenarkan penafsiran bahwa perjanjian
internasional lainnya yang dimaksud disini adalah subjek hukum internasional
lainnya selain Negara. Yang bersangkutan menulis: “…Pasal 11 ayat (2)
menggunakan istilah perjanjian internasional lainnya, yang maksudnya di luar
yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa
yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya. Pengertian “yang lain
“tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan
negara lain”. Dengan demikian termasuk dalam pengertian perjanjian
internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan subyek hukum
internasional lain selain negara”.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
cakupan subjek pembuat perjanjian internasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah diejawantahkan dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo yang mengatur mengenai subjek-subjek
dalam perjanjian internasional yaitu perjanjian dengan negara, organisasi
internasional atau subjek hukum internasional lain.
14. Selanjutnya setelah amandemen UUD 1945 tersebut, terdapat dinamika yang
cukup pesat dalam hubungan internasional yang antara lain ditandai dengan
munculnya perjanjian-perjanjian perdagangan yang semakin membuka akses
121
pasar. Pada masa diundangkannya Undang-Undang a quo, perjanjian-
perjanjian perdagangan masih bersifat teknis dan administratif. Namun pasca
berdirinya organisasi perdagangan dunia (WTO) dan maraknya liberalisasi
perdagangan mengakibatkan perjanjian-perjanjian ini menjadi semakin bersifat
substantif dan dapat mempengaruhi pasar domestik.
15. Pesatnya liberalisasi perdagangan ini mengakibatkan kriteria perjanjian yang
harus mendapat persetujuan DPR, seperti yang dirumuskan pada Pasal 10
Undang-Undang a quo tidak memadai lagi. Untuk itu Pemerintah dan DPR
pada saat pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan sepakat untuk menambah kriteria baru sehingga di dalam
Undang-Undang tersebut memasukkan perjanjian perdagangan sebagai
perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR. Penambahan kriteria ini
dituangkan dalam Pasal 82, 83, dan 84 Undang-Undang tersebut yang
memuat mekanisme persetujuan DPR terhadap pembuatan dan pengesahan
perjanjian perdagangan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah.
16. Dari uraian diatas seyogianya sudah dapat menjawab persoalan yang
dimohonkan oleh Pemohon. Namun Pemerintah ingin menjawab secara rinci
materi yang dimohonkan untuk mendapatkan pengujian oleh Mahkamah
Konstitusi sbb:
17. Terhadap dalil para Pemohon yang antara lain pada pokoknya menyatakan
bahwa “Pasal 2 UU PI bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
karena telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa
“berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik” (vide
salinan perbaikan permohonan para Pemohon halaman 25 huruf E angka I),
Pemerintah berpendapat:
a. Bahwa Para Pemohon dalam memahami Pasal 2 UU a quo harus sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan isi UU a quo, para
Pemohon hanya memahami pasal dimkasud secara parsial tidak melihat
sebagai bagian yang terintegrasi dengan Pasal Pasal lainnya. Artinya
Pasal 2 UU PI merupakan langkah awal dari pembuatan dan pengesahan
suatu perjanjian internasional, namun perlu para Pemohon cermati bahwa
pada Pasal-Pasal selanjutnya jelas terlihat langkah langka apa saja yang
harus diambil dalam rangka pembuatan dan penyusunan suatu perjanjian
internasuional. Misalnya pada Pasal 4 ayat (1) “Pemerintah Republik
122
Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau
lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain
berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”, selanjutnya pada
Pasal 5 ayat (1) “Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun nondepartemen, ditingkat pusat dan daerah, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih
dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut
dengan Menteri”, selanjutnya pada ayat (2) Pemerintah juga harus
membuat pedoman delegasi RI, kemudian pada Pasal 6 “Pembuatan
perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan,
perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan”, dan selanjutnya
Pasal 10 dan Pasal 11 UU a quo yang mengatur bahwa untuk masalah
politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia,
kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan
hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan/atau hibah luar
negeri, harus melalui tahapan pengesahan dengan UU, dengan demikian
seharusnya para Pemohon dapat memahami bahwa pembuatan dan
pengesahan suatu perjanjian internasional, tidak hanya berhenti hanya
pada Pasal 2 UU a quo, sehingga memahami Pasal 2 UU a quo sebagai
satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Pasal-Pasal
berikutnya dalam UU PI. Pemerintah berpandangan bahwa Para Pemohon
telah membaca UU a quo secara parsial sehingga bukan hanya telah
menimbulkan kebingungan tapi juga berakibat pada adanya kekeliruan
tafsir. Dalam pandangan Pemerintah, Pasal 2 UU PI harus dibaca secara
satu kesatuan dengan Pasal 10 dan Pasal 11 UU a quo. Dua pasal terakhir
dengan tegas dan jelas menjelaskan keterlibatan DPR dalam pembuatan
dan pengesahan internasional.
b. Bahwa sesuai konstruksi Pasal 10 dan Pasal 11 UU PI di atas, kiranya
perlu dipahami bahwa frasa “konsultasi dengan DPR” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 UU PI tidak dapat dipertentangkan dengan kata
“persetujuan” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Proses konsultasi disini
dapat dimaknai sebagai proses keterlibatan DPR dalam seluruh rangkaian
123
tahapan pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional yang dapat
berupa forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau bentuk konsultasi
lainnya sesuai Tata Tertib DPR. Sementara frase “persetujuan” didalam
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 lebih terkait dengan mekanisme pengesahan
yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 UUPI.
c. Bahwa jika menyimak kronologis lahirnya UU a quo seperti yang diuraikan
diatas, maka jelas terlihat bahwa Pasal 2 adalah mekanisme konsultasi
yang sebelumnya tidak diatur oleh Surat Presiden Nomor 2826 Tahun
1960. Mekanisme konsultasi ini merupakan mekanisme yang ditambahkan
pada UU a quo untuk memperkuat peran DPR yang sebelumnya tidak ada
dalam Surat Presiden dan praktik pada masa itu. Sehingga selain
mekanisme ‘persetujuan DPR’, UU a quo menambahkan satu lagi
kewenangan DPR yakni mekanisme konsultasi.
d. Karena mekanisme ini adalah tambahan kewenangan DPR yang
sebelumnya tidak ada, maka Para Pemohon menjadi keliru jika Pasal 2 ini
diartikan sebagai ‘meniadakan’ mekanisme ‘persetujuan DPR”.
Mekanisme ‘persetujuan DPR’ tetap ada dan tidak diatur dalam Pasal 2
UU a quo, melainkan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 UU a quo. Dua
pasal terakhir dengan tegas dan jelas menjelaskan keterlibatan DPR
dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.
e. Dengan demikian dapat dimaknai konsultasi sebagai bagian dari struktur
demokratik dalam pembuatan perjanjian internasional mensyaratkan
partisipasi aktif DPR sebagai perwakilan dari rakyat. Konsultasi kepada
parlemen memiliki manfaat luas yang lebih dari sekedar setuju atau tidak
setuju yaitu dalam melakukan identifikasi keberagaman aspirasi yang
muncul. Dengan demikian mekanisme itu akan membuat sebuah kondisi
perdebatan konstruktif pada saat pembahasan perjanjian internasional
dimintakan persetujuannya kepada DPR. Melalui mekanisme ini pula DPR
dapat berperan sebagai penghubung atas aspirasi yang berkembang di
dalam masyarakat yang mungkin saja belum terakomodir oleh lembaga
eksekutif dalam pembuatan perjanjian internasional.
f. Persoalan yang dihadapi Para Pemohon sehingga keliru memaknai Pasal
2 UU a quo mungkin disebabkan oleh kerancuan pemohon dalam
memaknai arti “pengesahan” pada Pasal 10 UU a quo. Para Pemohon
124
secara keliru berasumsi bahwa frasa “persetujuan” pada Pasal 11 (2) UUD
1945 tidak terkait dengan Pasal 10 Undang-Undang a quo. Namun
sayangnya, Para Pemohon terlalu cepat berspekulasi bahwa Pasal 2 UU
a quo adalah norma yang relevan untuk mengimplementasikan frasa
“persetujuan” dimaksud. Perihal kerancuan ini akan dijelaskan lebih lanjut
dalam materi Pasal 10 UU a quo pada bagian berikutnya.
g. Mengingat terdapat kekeliruan pamaknaan Pasal 2 UU a quo maka
Pemerintah merasa tidak perlu membahas satu persatu dalil yang diajukan
para Pemohon perihal Pasal ini.
h. Namun Pemerintah perlu menjelaskan bahwa sekalipun hasil konsultasi
dengan DPR tidak mengikat, namun dalam praktiknya sangat dihormati
oleh Pemerintah. Rekomendasi DPR dalam mekanisme konsultasi, yang
biasanya dilakukan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau bentuk
konsultasi lainnya sesuai Tata Tertib DPR tetap diperhatikan dan ditaati
oleh Pemerintah. Sebagai contoh, Pemerintah tidak melanjutkan
pengesahan Perjanjian Pertahanan RI-Singapura 2007 karena hasil
konsultasi dengan DPR mengindikasikan penolakan atas perjanjian ini.
Penghentian proses perjanjian ini justru menggunakan mekanisme Pasal
2 bukan mekanisme Pasal 10 Undang-Undang a quo.
i. Berdasarkan uraian di atas maka permohonan para Pemohon agar
Mahkamah menyatakan Pasal 2 ini tidak mempunyai kekuatan mengikat
akan mengurangi dan bahkan menggerogoti kewenangan DPR yang
sudah berfungsi secara efektif. Permohonan ini justru bertolak belakang
dari niat para Pemohon untuk memperkuat peran DPR. Namun situasi
anomali ini dapat dipahami karena Para Pemohon bertolak dari premis
atau pemaknaan yang keliru sehingga hasil yang diharapkan justru
menjadi terbalik.
j. Pemerintah berpendapat bahwa walaupun Peran DPR pada dasarnya
adalah menyetujui perjanjian internasional yang dibuat Pemerintah melalui
pengesahan sesuai mekanisme Pasal 10 UU PI, DPR juga memiliki peran
untuk mengevaluasi perjanjian Internasional yang sifatnya teknis dan
disahkan dengan Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 11
ayat (2) UUPI.
125
k. Bahwa dalil yang dinyatakan oleh para Pemohon dimana mereka
mempermasalahkan minimnya peran DPR dalam pembuatan dan
pengesahan Perjanjian Internasional, adalah tidak relevan. Jika demikian
adanya, maka anggota DPR sebagai cabang kekuasaan yang membentuk
Undang-Undang, dapat melakukan perbaikan atas UU tersebut melalui
proses legislative review.
l. Bahwa dengan demikian seandainya permohonan terkait Pasal 2 a quo
dikabulkan, maka hal tersebut justru akan semakin menghilangkan peran
DPR dalam pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional.
18. Terhadap dalil para Pemohon yang antara lain pada pokoknya menyatakan
“bahwa frasa “pengesahan dengan undang-undang atau keputusan presiden”
berarti menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dalam akhir
penyusunan dan/atau pembuatan perjanjian internasional dan menjadikan
DPR hanya dimaknai sekedar lembaga memberikan stempel pengesahan saja
terhadap sebuah perjanjian internasional yang akan diikatkan oleh Pemerintah
Indonesia” (vide salinan perbaikan permohonan Para Pemohon halaman 35
angka 67) serta dalil Para Pemohon yang menyatakan “bahwa dikarenakan
Pasal 9 ayat (2) UU a quo telah mereduksi makna dari frasa dengan
“persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” menjadi “pengesahan melalui
undang-undang ataupun keputusan presiden”, maka Pasal 9 UU a quo telah
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945” (vide salinan perbaikan
Para Pemohon halaman 35 angka 68), Pemerintah berpendapat:
a. Dalil para Pemohon tersebut di atas dibayangi oleh kekeliruan para
Pemohon tentang makna “pengesahan” pada UU a quo serta kekeliruan
para Pemohon atas peran sebenarnya dari DPR dalam proses
pembuatan perjanjian.
b. Seperti telah diuraikan di atas, dalam proses pengikatan diri terhadap
suatu perjanjian, proses ‘persetujuan DPR’ dengan proses “pengesahan”
adalah dua proses yang terpisah namun tersambung. Pembedaan ini
sangat jelas tertera dalam Surat Presiden Nomor 2826/1960 maupun
dalam Undang-Undang a quo. Dalam Surat Presiden terdapat kalimat
...“perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan sebelumnya disyahkan
126
oleh Presiden,... Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) UU a quo, pengertian
“pengesahan” didefinisikan secara khusus sebagai perbuatan hukum
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification), aksesi (accession), dan penerimaan (acceptance).
c. Pengertian “pengesahan” baik pada Surat Presiden maupun UU a quo
adalah sama yakni perbuatan hukum Presiden untuk mengikatkan diri
pada suatu perjanjian, yang lazimnya dituangkan dalam bentuk
“instrument of ratification” yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri.
Perbuatan hukum ini bukan perbuatan hukum oleh DPR melainkan oleh
Presiden. Perbuatan hukum DPR adalah memberikan “persetujuan”
sehingga menjadi basis konstitusional bagi Presiden untuk melakukan
pengesahan dimaksud. Presiden tidak mungkin melakukan pengesahan
jika tidak mendapat persetujuan DPR.
d. Para Pemohon mengalami kesulitan untuk menemukan dan untuk
mempertanyakan di mana istilah “persetujuan DPR” dalam UU a quo.
Pertanyaan ini dapat dijelaskan melalui pendekatan historis dan praktik
ketatanegaraan sebelum lahirnya UU a quo ini, yaitu:
1) Produk persetujuan DPR pada era sebelum terbitnya UU a quo itu
adalah dalam bentuk UU (yang meratifikasi perjanjian dimaksud)
sehingga pembuatan UU selama ini dimaknai sebagai bentuk
persetujuan DPR. Tradisi ini mewarisi sistem hukum Belanda yang
sampai saat ini tetap menggunakan UU sebagai bentuk persetujuan
DPR.
2) Mengingat dalam praktiknya UU dimaknai sebagai “persetujuan
DPR” maka UU a quo cenderung menggunakan istilah “pengesahan
dengan UU” ketimbang menggunakan istilah “persetujuan DPR”.
Namun dalam hal ini perlu ditekankan bahwa istilah “pengesahan
dengan UU” tidak sama dengan istilah “pengesahan” itu sendiri
karena istilah “pengesahan” telah didefinisikan secara khusus
dalam Pasal 1 ayat (2) UU a quo. Menurut Pemerintah istilah
“pengesahan dengan UU” dalam UU a quo harus diartikan sebagai
“persetujuan DPR”, yakni prosedur internal untuk menyetujui
127
Presiden melakukan prosedur eksternal dalam bentuk
“pengesahan” per definisi UU a quo.
e. Pemerintah menyadari bahwa pengertian “pengesahan” khususnya
istilah “pengesahan dengan UU” mengalami kerancuan dalam
pemahaman publik dan bahkan menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi
dalam PUU UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam
ASEAN (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011).
Sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah
berpendapat bahwa UU yang mengesahkan suatu perjanjian bukan
dimaksudkan untuk mengesahkan perjanjian tersebut menjadi berlaku,
karena pemberlakuan suatu perjanjian tergantung pada syarat yang
ditetapkan oleh perjanjian itu sendiri dan bukan ditetapkan oleh UU
negara yang hendak meratifikasinya. Oleh sebab itu Pemerintah
berpendapat bahwa UU yang mengesahkan harus dimaknai sebagai
“persetujuan DPR” kepada Presiden untuk melakukan “pengesahan”
dalam rangka pemberlakuan perjanjian dimaksud sesuai dengan yang
disyaratkan oleh perjanjian itu.
f. Dari uraian di atas maka dalil para Pemohon bahwa istilah “pengesahan”
telah mereduksi istilah “persetujuan DPR” adalah tidak berdasar sama
sekali.
g. Dalil berikutnya dari para Pemohon bahwa istilah “pengesahan” telah
menempatkan DPR hanya dalam bagian akhir penyusunan perjanjian
internasional dan sebagai lembaga memberikan stempel pengesahan
saja, juga mencerminkan pemahaman yang tidak lengkap tentang praktik
internasional dalam pembuatan perjanjian internasional. Jika maksud dari
Para Pemohon dengan dalil ini adalah bahwa DPR harus terlibat dari
proses penjajagan sampai ke proses pemberlakuannya, maka dalil ini
bukan hanya tidak praktis namun juga tidak berakar dalam teori.
h. Proses pembuatan perjanjian adalah proses yang panjang dan kompleks
yang lazimnya dimulai dari penjajagan, perundingan, perumusan teks,
penerima teks dan pemberlakuannya. Dari sisi praktik, tidak mungkin
DPR terlibat dalam keseluruhan proses ini dan tidak ada negara yang
pernah melibatkan parlemen-nya untuk keseluruhan proses ini. Proses
128
penjajagan, perundingan dan perumusan teks misalnya dilakukan
dengan proses perundingan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk
pengajuan draft, tanggapan terhadap draft, dan kompromi terhadap draft
perjanjian. Keterlibatan DPR dalam proses ini justru menimbulkan
pertanyaan tentang bagaimana DPR yang berjumlah 560 anggota
mengambil keputusan untuk setuju atau tidak setuju terhadap pasal demi
pasal perjanjian yang sedang dalam proses perundingan.
i. Pemerintah menyayangkan bahwa dengan dalil-dalil yang tidak akurat ini,
Para Pemohon justru ingin meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal
9 ayat (2) UU a quo ini tidak memiliki kekuatan mengikat. Jika Pasal ini
ditiadakan maka negara akan kembali pada persoalan yang lahir pada
tahun 1960 sebelum lahirnya Surat Presiden Nomor 2826, yakni semua
perjanjian harus mendapat persetujuan DPR. Dapat dibayangkan bahwa
pertumbuhan jumlah perjanjian pada tahun 1960 saja telah menyulitkan
Pemerintah jika semua harus melalui DPR, apalagi saat ini di mana
jumlah perjanjian yang dibuat sudah mencapai lebih kurang 200 naskah
per tahun.
j. Dalam hal ini Pemerintah dapat memastikan bahwa ketiadaan Pasal 9
ayat (2) ini akan mengakibatkan terhambatnya pemerintahan di bidang
perjanjian internasional. Selain itu jika Pasal ini dicabut maka akan lahir
ketidakpastian hukum karena UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan menganut sistem adanya perjanjian yang tidak
memerlukan persetujuan DPR.
k. Secara historis dan teoritis, kewenangan membuat perjanjian
internasional pada awalnya adalah kewenangan eksklusif dari Raja
(eksekutif). Pendekatan ini juga dianut oleh UUD 1945 beserta
Perubahannya. UUD 1945 menempatkan pengaturan mengenai
kekuasaan membuat Perjanjian Internasional ini dalam Pasal 11 Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Bab III ini mengatur hal-hal
mengenai Presiden baik sebagai kepala negara maupun kepala
pemerintahan.
129
l. Dengan demikian apabila permohonan para Pemohon untuk menyatakan
tidak berlaku Pasal 9 UU a quo dikabulkan akan menimbulkan beberapa
akibat antara lain:
i. Ketiadaan prosedur internal dalam pengesahan perjanjian
internasional.
ii. DPR harus menangani semua perjanjian internasional.
iii. Menghilangkan praktik ketatanegaraan yang selama ini sudah
berjalan dengan baik,
iv. Mengarah kepada kekosongan hukum.
19. Terhadap dalil para Pemohon yang antara lain pada pokoknya menyatakan
“bahwa perjanjian internasional di luar ketentuan Pasal 10 UU a quo disahkan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yaitu Keputusan Presiden (sekarang Peraturan Presiden) tanpa harus melalui
Dewan Perwakilan Rakyat” (vide salinan perbaikan permohonan Para
Pemohon halaman 36 angka 73) serta dalil Para Pemohon yang menyatakan
“bahwa karena perjanjian internasional yang dapat disahkan dengan undang-
undang telah dibatasi sebagaimana ketentuan Pasal 10 undang-undang a quo,
lalu bagaimana dengan perjanjian internasional yang juga berakibat secara
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat akan tetapi diluar ketentuan Pasal
10 UU a quo?” (vide salinan perbaikan permohonan para Pemohon halaman
37 angka 75), Pemerintah berpendapat bahwa:
a. Pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk membentuk
materi muatan dalam peraturan perundang-undangan dalam instrumen
hukum berupa undang–undang (UU). Kewenangan dimaksud tidaklah
sewenang–wenang, melainkan harus mewujudkan kesesuaian antara
undang-undang dengan kepastian hukum.
b. Dalam perspektif positivisme, Hans Kelsen menciptakan teori
hierarki/jenjang norma (Stufenbau Theori), Hans Nawiasky menciptakan
teori hierarki jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufenordnung der
Rechtsnormen). Gagasan Hans Kelsen yang disempurnakan Hans
Nawiasky pada pokoknya menyatakan bahwa suatu norma hukum yang
lebih rendah, dalam pembentukannya harus mengacu kepada norma
hukum yang lebih tinggi. Adapun norma yang lebih tinggi harus menjadi
130
acuan/dasar bagi pembentukan norma yang lebih rendah. Semakin tinggi
posisi suatu norma maka sifatnya akan lebih abstrak, sementara norma
yang semakin rendah bersifat semakin teknis.
c. Merujuk pada teori tersebut, UUD 1945 diposisikan sebagai “norma
perintah”, sementara norma UU diposisikan sebagai “norma pelaksana”.
Sebagai norma pelaksana maka UU harus bersifat lebih teknis dan lebih
sempit cakupannya dibandingkan dengan UUD 1945.
d. Ketika norma hukum yang lebih tinggi mendelegasikan pengaturan
kepada norma hukum yang lebih rendah, atau jika norma hukum yang
lebih tinggi tersebut tidak mengatur sama sekali, maka pembuat UU dapat
membuat suatu kebijakan hukum bersifat terbuka “open”. Dalam konteks
peraturan perundang-undangan berbentuk UU, kebijakan pembentukan
UU dikatakan bersifat terbuka ketika UUD 1945 sebagai norma hukum
yang lebih tinggi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas
mengenai apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh UU.
e. Pada prinsipnya, materi muatan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengatur
secara umum mengenai keberadaan persetujuan DPR, sedangkan Pasal
11 ayat (3) UUD 1945, mengamanatkan adanya pengaturan lebih lanjut
yang kemudian diatur dalam Undang-Undang a quo. Dengan kata lain,
UUD 1945 telah mendelegasikan sepenuhnya kepada pembentuk UU
untuk mengatur lebih lanjut bagaimana bentuk dan model persetujuan
DPR serta kriteria lebih lanjut perjanjian internasional yang membutuhkan
persetujuan DPR. Dengan demikian, kebijakan pembentuk undang-
undang dalam hal ini merupakan implementasi dari open legal policy.
f. Dengan demikian, UUD 1945 telah memberikan mandat kepada
pembentuk UU untuk mengatur suatu materi lebih lanjut mengenai
pembuatan perjanjian internasional namun tidak memberikan batasan
pengaturan materinya. Dalam arti, UUD 1945 tidak menentukan bentuk
dan model persetujuan DPR, sehingga dapat disimpulkan bahwa
penentuan terhadap bentuk dan model persetujuan serta kriteria lebih
lanjut mengenai pembuatan perjanjian internasional yang membutuhkan
persetujuan DPR merupakan kebebasan bagi pembentuk UU (open legal
policy). Dengan demikian, kriteria lebih lanjut mengenai materi perjanjian
131
internasional yang membutuhkan persetujuan DPR merupakan
kewenangan pembentuk UU.
g. Sama halnya dengan penentuan bentuk dan model persetujuan DPR,
ketentuan lebih lanjut untuk menjabarkan secara konkret kriteria
perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR adalah
kewenangan pembentuk UU a quo. Dalam UU a quo, kriteria tersebut
dijabarkan lebih konkret dalam Pasal 10 UU a quo dengan mengacu pada
kriteria umum yang sediakan oleh UUD 1945. Dengan demikian, Pasal
10 UU a quo merupakan delegated norms yang konstitusional.
h. Secara historis, penentuan kriteria tersebut dituangkan dalam Surat
Presiden Nomor 2826/HK/60 dengan menyebutkan materi apa saja yang
menjadi ruang lingkup perjanjian internasional yang membutuhkan
persetujuan DPR. Dengan logika yang sama, pembentuk UU a quo
menyempurnakan kriteria dimaksud dengan memperhatikan dinamika
kepentingan nasional serta perkembangan perjanjian internasional pada
masa itu.
i. Namun perlu pula ditekankan bahwa persoalan penetapan ‘kriteria’
perjanjian apa yang harus mendapat persetujuan parlemen ini adalah
persoalan umum yang terjadi di semua sistem hukum negara dan akan
berkembang dinamis seiring dengan dinamika hukum nasional masing-
masing. Namun semua negara pada umumnya menerapkan bahwa tidak
semua perjanjian harus mendapatkan persetujuan DPR sehingga
diperlukan penetapan kriteria. Penetapan kriteria akan berbeda dari satu
negara dengan negara lainnya karena sangat tergantung pada politik
hukum negara dimaksud. Beberapa negara menerapkan kriteria
berdasarkan bidang materi perjanjian (politik, ekonomi, Hankam, dll),
sedangkan beberapa negara berdasarkan dampak perjanjian, dan
beberapa negara lain mendasarkan pada pembagian kewenangan
eksekutif dan legislatif.
j. Sistem hukum Indonesia juga mengalami dinamika perihal kriteria ini.
Sejak Surat Presiden Nomor 2826/1960, kriteria yang diberlakukan oleh
Indonesia telah mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika yang
berkembang, yakni:
132
a. UUD 1945 tidak mengatur tentang perjanjian internasional yang
dibuat oleh Indonesia dengan subjek lain selain negara, misalnya
organisasi internasional. Pasca krisis moneter 1998, terdapat
tuntutan agar perjanjian dengan organisasi internasional harus diatur
dan ditetapkan kriterianya. Kebutuhan ini melahirkan amandemen
Pasal 11 UUD 1945 yang melahirkan Pasal 11 ayat (2), yang pada
intinya menetapkan kriteria baru untuk perjanjian yang dibuat dengan
organisasi internasional yang perlu mendapatkan persetujuan DPR
yakni “yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat” (kriteria berdasarkan dampak perjanjian).
b. Perjanjian perdagangan berdasarkan kriteria UU a quo tidak
termasuk pada perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan
DPR. Namun pesatnya liberalisasi perdagangan yang dituangkan
dalam perjanjian jenis ini juga telah mendorong penyempurnaan
kriteria sehingga pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan telah memasukkan perjanjian perdagangan sebagai
perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR (kriteria berdasarkan
bidang materi perjanjian).
k. Dari uraian di atas maka tergambar dengan jelas bahwa soal kriteria ini
bukanlah soal yang statis namun dinamis. Pemerintah dan DPR selalu
mencermati dinamika perjanjian internasional serta implikasinya terhadap
Indonesia. Melalui kebijakan terbuka (open legal policy), pembentuk UU
akan selalu menyempurnakan kriteria ini. Saat ini Pemerintah sedang
mengevaluasi soal kriteria ini dalam rangka Amandemen UU a quo.
Namun kekhawatiran Pemohon tentang perjanjian perdagangan, yang
oleh UU a quo tidak termasuk perjanjian yang mengharuskan persetujuan
DPR, telah diakomodasi dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan seperti yang diuraikan di atas.
l. Pemohon dalam hal ini pada intinya mempersoalkan tentang kriteria ini
dan mempertanyakan tentang kebijakan Pembentuk UU a quo yang tidak
memasukkan perjanjian tertentu ke dalam kriteria Pasal 10 UU a quo.
Sehubungan dengan itu, sesuai dengan Putusan MK Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008, dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat
133
membatalkan UU atau sebagian normanya jika norma tersebut
merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai
open legal policy oleh pembentuk UU. Posisi yang demikian yang juga
ditegaskan melalui Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005, sepanjang
pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan
pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitan ini, maka
pembentuk Undang-Undang dalam penyusunan Pasal 10 dan Pasal 11
ayat (1) UU a quo beserta penjelasannya pada dasarnya tidak melakukan
perbuatan yang melampaui kewenangan, atau melakukan
penyalahgunaan wewenang dan tindakan yang bertentangan dengan
UUD 1945.
m. Sesuai dengan penjelasan diatas, maka permohonan para Pemohon
agar Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) UU a quo dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak tepat karena penetapan
kriteria pada dasarnya merupakan open legal policy yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
n. Dalam kaitan ini Pemerintah ingin mengungkapkan fakta bahwa petitum
para Pemohon justru mereduksi kewenangan DPR, karena jika
permohonan ini disetujui oleh Mahkamah, maka kriteria Pasal 10 UU a
quo akan terkurangi menjadi hanya sepanjang frasa “berakibat secara
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat”.
o. Dalam praktik penerapan kriteria Pasal 10 UU a quo, Pemerintah secara
konsisten telah menerapkan frasa “apabila berkenaan dengan” masalah
politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; dst. Dalam hal
ini Pemerintah akan meminta persetujuan DPR jika perjanjian tersebut
berkenaan dengan masalah yang tertera pada kriteria dalam Pasal 10 UU
a quo tanpa melihat apakah perjanjian itu “berakibat secara luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat”. Sebagai contoh, semua perjanjian
pertahanan akan selalu dimintakan persetujuan DPR sekalipun perjanjian
tersebut tidak “berakibat secara luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat”. Demikian juga perjanjian-perjanjian lainnya yang masuk dalam
kriteria Pasal 10 UU a quo.
134
p. Dengan petitum yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka Pemerintah
justru akan diberikan diskresi yang lebih luas sehingga akhirnya tidak
semua perjanjian pertahanan dan lain-lainnya harus mendapatkan
persetujuan DPR. Situasi ini justru mengurangi kriteria Pasal 10 UU a quo
dan dalam hal ini Pemerintah berkeyakinan bahwa bukan situasi ini yang
diharapkan oleh para Pemohon. Pemerintah juga berkeyakinan bahwa
anomali ini disebabkan oleh titik tolak yang keliru tentang makna batu
ujinya yakni Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
q. Sebelum menutup bagian ini, Pemerintah ingin pula menguak adanya
kontradiksi antara petitum Pemohon terhadap Pasal 9 ayat (2) dan Pasal
11 ayat (1) UU a quo dengan Pasal 10 UU a quo. Pada petitum 2.2 dan
2.4 yakni terhadap Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU a quo, para
Pemohon pada dasarnya ingin menghapus soal ‘kriteria’ sehingga
dengan dicabutnya pasal-pasal tersebut tanpa sengaja melahirkan suatu
norma baru bahwa “semua perjanjian internasional” harus mendapat
persetujuan DPR. Namun dilain pihak, pada petitum 2.3, yakni terhadap
Pasal 10 UU a quo, Para Pemohon justru sebaliknya ingin
mempertahankan adanya kriteria, yakni kriteria “berakibat secara luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat” untuk semua perjanjian
internasional. Permohonan penghapusan adanya “kriteria” di satu petitum
dan tetap mempertahankan “kriteria” di petitum lainnya, mengakibatkan
apa pun petitum yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan
melahirkan kontradiksi hukum.
20. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang pada pokoknya antara lain
menyatakan “Adanya perjanjian pinjaman yang hanya disahkan dengan
Peraturan Presiden yaitu perjanjian terkait dengan keikutsertaan Indonesia
sebagai anggota Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang telah
disahkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 171 Tahun 2015”
(vide salinan perbaikan Permohonan para Pemohon halaman 42 angka 91)
serta dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa “Perjanjian AIIB bukan
sekedar perjanjian teknis prosedural, tetapi menyangkut keterikatan Indonesia
dengan utang luar negeri karena setelah Indonesia bergabung dengan AIIB,
Pemerintah dinyatakan telah menandatangani loan agreement dengan AIIB
senilai 406 juta dollar AS untuk pembangunan regional infrastruktur dan 300
135
juta dollar AS untuk pembangunan bendungan” (vide salinan perbaikan
Permohonan Para Pemohon halaman 42 angka 92), Pemerintah berpendapat:
a. Para Pemohon membangun dalil yang menggambarkan adanya
pertentangan antara Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 28D (1) UUD 1945
namun tidak melakukan permohonan kepada Mahkamah untuk
mencabut Pasal tersebut. Sehubungan dengan itu Pemerintah tidak akan
menyampaikan secara panjang lebar bagian ini dan hanya menjelaskan
beberapa persoalan yang diangkat oleh para Pemohon.
b. Para Pemohon telah keliru memahami Articles of Agreement AIIB yang
ditandatangani oleh Pemerintah dengan menganggap perjanjian tersebut
sebagai bentuk keterikatan Indonesia dengan perjanjian hutang luar
negeri. Pemerintah menegaskan bahwa perjanjian AIIB bukan
merupakan perjanjian pinjaman, melainkan perjanjian pendirian
organisasi internasional (pendirian bank) yang bersifat prosedural.
c. Data yang disampaikan Pemohon perlu dikoreksi, besaran Loan
Agreement yang telah ditandatangani Pemerintah dengan AIIB bukan
sebagaimana yang didalilkan Pemohon, melainkan dengan uraian
sebagai berikut: sebesar USD 216.5 juta untuk National Slum Upgrading
Program, USD 125 juta untuk Dam Operational Improvement and Safety
Project, dan sebesar USD 100 juta untuk Regional Infrastructure
Development Fund Project.
d. Pengesahan Article of Agreement AIIB sejalan dengan pengesahan
pembentukan Bank lainnya seperti pengesahan Agreement Establishing
The International Islamic Trade Finance Corporation (Persetujuan
Pendirian Korporasi Pembiayaan Perdagangan Islam Internasional) yang
disahkan dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2016 dan
Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2017 tentang pengesahan Articles
of Agreement of The Islamic Corporation For The Insurance of Investment
and Export Credit (Pasal Persetujuan Korporasi Islam untuk Asuransi
Investasi dan Kredit Ekspor). Agreement tersebut bukan perjanjian
pinjaman dan/atau hibah luar negeri, melainkan perjanjian pendirian
organisasi internasional (pendirian korporasi pembiayaan) sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.
136
e. Menimbang adanya kekeliruan dalam memahami perjanjian
pembentukan AIIB maka Pemerintah merasa tidak perlu untuk
membahas dalil-dalil lainnya yang terkait.
f. Selebihnya Pemerintah berpendapat bahwa dalil para Pemohon yang
mempertentangkan Pasal 10 UU a quo dan Pasal 28D (1) UUD 1945
tidak berdasar menurut hukum dan cenderung melakukan loncatan
kesimpulan (jumping into a conclusion).
21. Sebagai penutup, Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
a. Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “ketentuan lebih lanjut
tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang” pada
dasarnya merupakan aturan pendelegasian yang bersifat open legal
policy untuk mengatur mekanisme pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional.
b. Bahwa Para Pemohon bertitik tolak dari pemahaman dan pemaknaan
yang keliru tentang batu uji Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan UU a quo
sehingga menghasilkan kesimpulan dan bahkan permohonan petitum
yang justru bertentangan dengan niat awal dari Para Pemohon untuk
memperkuat peran DPR.
c. Ketidakakuratan para Pemohon dalam memahami konsepsi dasar yang
melatarbelakangi Pasal demi Pasal yang dipersoalkan telah melahirkan
Petitum yang berpotensi mereduksi kewenangan DPR dan bahkan
melahirkan saling pertentangan antara petitum yang satu dengan petitum
yang lain dengan uraian sebagai berikut:
i. Apabila petitum para Pemohon 2.1 dikabulkan (vide Petitum para
Pemohon angka 2 sub (2.1) “yang memohon agar Majelis Hakim
Konstitusi menyatakan Pasal 2 UU a quo bertentangan dengan
UUD 1945”), maka Pemerintah tidak diwajibkan lagi melakukan
konsultasi dengan DPR yang akibatnya kewenangan DPR menjadi
terkurangi.
ii. Apabila petitum para Pemohon 2.2. dan 2.4 dikabulkan (vide
Petitum Para Pemohon angka 2 sub (2.2) dan Petitum 2 sub 4 yang
memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 9 ayat
(2) dan Pasal 11 ayat (1) UU a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya), maka:
137
1) tidak ada lagi kriteria perjanjian yang tidak memerlukan
persetujuan DPR. Dalam hal ini Pasal 11 ayat (1) UUD 1945
akan diterapkan secara harfiah bahwa semua perjanjian harus
mendapat persetujuan DPR.
2) Dengan ketiadaan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU a
quo maka Petitum para Pemohon 2.3 tidak relevan lagi.
d. Apabila Petitum Para Pemohon 2.3. dikabulkan (vide Petitum Para
Pemohon angka 2 sub (2.3) yang memohon agar Majelis Hakim
Konstitusi menyatakan Pasal 10 UU a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara” dimaknai terbatas pada kriteria: a) masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau
hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e)
pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar
negeri)”, maka Petitum para Pemohon 2.2 dan 2.4 yang menghapus
kriteria tersebut harus ditolak karena akan melahirkan pertentangan
dengan Petitum para Pemohon 2.3 yang masih mempertahankan kriteria.
IV. PETITUM
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat
diterima (niet onvankelijk verklaard);
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan; dan
3. Menyatakan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
138
Selanjutnya Pemerintah menyampaikan keterangan tambahan sebagai
jawaban Pemerintah atas pertanyaan yang disampaikan oleh Majelis Hakim
Konstitusi pada persidangan tanggal 5 April 2018 sebagai berikut:
I. PERTANYAAN DARI MAJELIS HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
a. Hakim I Dewa Gede Palguna menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1) Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Wina 1969.
Bagaimana posisi Indonesia terhadap Konvensi Wina? Apakah
Indonesia memperlakukannya sebagai bagian dari hukum kebiasaan
internasional? Karena kita tahu Konvensi Wina tahun 1969 itu adalah
semacam kodifikasi dari kebiasaan-kebiasaan internasional, yang
diterima sebagai bagian dari sumber hukum internasional. Dan materi
dari Undang-Undang tentang Pembuatan Perjanjian Internasional
segaris dengan materi yang terdapat dalam Konvensi Wina tahun
1969, dalam konteks perjanjian antarnegara sebagaimana ruang
lingkup perjanjian internasional.
2) Negara bukan hanya mengadakan perjanjian dengan antarnegara
saja, tapi juga mungkin dengan organisasi internasional atau bahkan
subjek hukum internasional yang lain. Prosedur yang berlaku dalam
pengesahan perjanjian internasional yang diatur dalam undang-
undang ini, apakah mutatis mutandis berlaku untuk perjanjian
internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan subjek hukum
internasional yang lain?
3) Bagaimana posisi Pemerintah dalam memahami Undang-Undang
tentang Pembuatan Perjanjian Internasional ini, apakah semangatnya
adalah bahwa seluruh perjanjian internasional harus diketahui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Apa saja bentuk perjanjian yang
perlu diberitahukan kepada DPR? Dan apa saja yang cukup dengan
pemberitahuan dari Pemerintah? Dalam kaitan ini bagaimana
mekanisme pemberitahuan untuk perjanjian yang tidak memerlukan
persetujuan DPR? Apakah disampaikan lebih awal, sebelum
keputusan Presiden itu dibuat? Ataukah setelah keputusan itu,
sehingga hanya semacam tembusan saja? Sebagai contoh agreement
yang bersifat teknis, yang tidak menyangkut persoalan-persoalan
139
politik itu gimana? Apakah setelah Presiden menandatangani itu
kemudian baru diberitahukan kepada DPR atau ada proses awal
konsultasi dulu? Bagaimana prosedur pernjanjian yang sifatnya
technical agreement, apakah prosedurnya memang setelah Presiden
menandatangani baru kemudian diberitahukan ataukah sebelumnya
sudah ada semacam konsultasi.
4) Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia terhadap perkembangan baru
dalam hukum internasional yang disebut sebagai international
regulatory regime yang bukan merupakan agreement atau treaty?
(Catatan: Majelis hakim juga menanyakan pandangan Pemerintah
tentang persetujuan terhadap perjanjian internasional yang diberikan
pada tahap akhir yang merupakan bagian dari pengesahan melalui
undang-undang mengingat undang-undang membutuhkan
persetujuan DPR. Penjelasan ini diperlukan mengingat hakim
memandang dengan hal-hal yang disampaikan Pemohon).
5) Indonesia dalam posisi negara yang menganut paham dualis, dalam
hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional. Jadi, tidak
monis. Tidak serta-merta terikat dalam suatu perjanjian internasional.
Majelis Hakim ingin mendapatkan gambaran mengenai contoh negara
dengan posisi yang sama dengan Indonesia untuk perbandingan. Di
negara tersebut, bagaimana penuangan ratifikasinya di dalam hukum
nasionalnya terhadap perjanjian internasional?
b. Hakim Saldi Isra menyampaikan pokok pertanyaan apakah Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini masih konstitusional mengingat terdapat
perubahan aturan konstitusi yang terkait perjanjian internasional setelah
lahirnya UU a quo?
c. Hakim Arief Hidayat menyampaikan pokok pertanyaan mengenai sikap
Pemerintah terkait dengan perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pihak
swasta atau lembaga negara non-eksekutif?
II. PENJELASAN PEMERINTAH TERHADAP PERTANYAAN HAKIM
KONSTITUSI
A. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim I Gede Dewa Palguna
140
1. Terkait pertanyaan mengenai posisi RI terhadap Konvensi Wina 1969
tentang Perjanjian Internasional, Pemerintah berpandangan sebagai
berikut:
a. Pemerintah berpendapat bahwa Konvensi Wina 1969 adalah
kodifikasi dari norma kebiasaan internasional kecuali norma-norma
yang bersifat prosedural seperti keharusan penyelesaian sengketa
melalui pihak ketiga.
b. Karena karakternya sebagai hukum kebiasaan internasional, dan
Indonesia tidak melakukan penolakan (persistent objection), maka
norma Konvensi mengikat Indonesia dengan atau tanpa menjadi
pihak pada Konvensi.
c. Terikatnya Indonesia pada norma kebiasaan Konvensi ini telah
dikonfirmasi oleh Mahkamah Internasional dalam perkara Sipadan
dan Ligitan tahun 2002. Mahkamah menyatakan bahwa Indonesia
sekalipun bukan pihak pada Konvensi telah terikat pada Konvensi
Wina tahun 1969 Pasal 31-33 tentang Penafsiran.
d. Mahkamah Konstitusi juga telah menggunakan Konvensi Wina
Tahun 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) dalam
Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 yang
menyatakan sebagai berikut:
“Berhubung para Pemohon menekankan keikutsertaan Indonesia
dalam perjanjian internasional, in casu International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR), yang menurut para Pemohon
menghendaki dihapuskannya pidana mati, maka untuk mengetahui
ada-tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional yang lahir
dari perjanjian internasional, ketentuan yang harus dijadikan rujukan
pertama adalah ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi
Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969, selanjutnya disebut
Konvensi Wina 1969), yang khusus berlaku bagi perjanjian
internasional negara dengan negara”.
Dalam kaitan tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa pendapat
Mahkamah Konstitusi tersebut telah memperkuat posisi Pemerintah
141
yang mengakui Konvensi Wina 1969 sebagai hukum kebiasaan
internasional yang diakui oleh sistem hukum nasional.
e. Dengan demikian sekalipun di kemudian hari Indonesia hendak
meratifikasi Konvensi Wina 1969 ini maka ratifikasi dimaksud tidak
akan mengubah sifat mengikat Konvensi Wina 1969 sebagai hukum
kebiasaan internasional terhadap Indonesia.
f. Namun demikian, tidak semua norma Konvensi Wina 1969 sudah
berkarakter hukum kebiasaan internasional, khususnya Pasal 66
tentang Penyelesaian Sengketa. Pemerintah masih berkeberatan
dengan prosedur memaksa dari pasal ini yakni mewajibkan negara
untuk menggunakan mekanisme pihak ketiga yakni Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Posisi Indonesia saat ini
adalah menyelesaikan setiap sengketa melalui konsultasi dan
negosiasi dan hanya menggunakan pihak ketiga jika disepakati oleh
para pihak melalui perjanjian tersendiri.
2. Terkait pertanyaan mengenai prosedur pengesahan perjanjian internasional
UU a quo apakah diberlakukan mutatis mutandis terhadap perjanjian yang
dibuat oleh Indonesia dengan organisasi internasional dan subjek hukum
internasional lainnya, Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo adalah, “Pemerintah Republik
Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau
lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain
berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.”
b. Sehubungan dengan itu, perjanjian internasional per definisi Pasal 1 ayat
(1) juncto Pasal 4 UU a quo mutatis mutandis diberlakukan pula pada
perjanjian negara dengan organisasi internasional dan negara dengan
subjek hukum internasional lainnya.
c. Dari catatan Pemerintah, Indonesia belum pernah membuat perjanjian
internasional dengan subjek hukum internasional lainnya.
3. Terkait pertanyaan mengenai mekanisme pemberitahuan kepada DPR
untuk perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan DPR, Pemerintah
berpendapat sebagai berikut:
142
a. Pasal 11 ayat (2) UU a quo mewajibkan Pemerintah menyampaikan
salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian
internasional kepada DPR untuk dievaluasi. Pemerintah selalu
menyampaikan salinan ini kepada DPR setelah diterbitkannya peraturan
presiden untuk pengesahan perjanjian dimaksud.
b. Penjelasan Pasal 11 ayat (2) tersebut menyatakan:
“Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap
Pemerintah, walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan
perjanjian internasional tersebut karena pada umumnya pengesahan
dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi perjanjian
internasional di bidang teknis. Di dalam melaksanakan fungsi dan
wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta pertanggung-
jawaban atau keterangan Pemerintah mengenai perjanjian internasional
yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional,
perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
c. Selain melalui penyampaian salinan setiap Keputusan Presiden
berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU a quo, Pemerintah juga aktif
melakukan mekanisme konsultasi berdasarkan Pasal 2 UU a quo. Dalam
rapat-rapat rutin Pemerintah dengan DPR khususnya dengan Komisi I,
sering dibahas tentang perjanjian-perjanjian internasional baik yang
sedang dirundingkan maupun yang sudah ditandatangani Pemerintah.
Komisi I juga sering mempertanyakan mengenai status implementasi
perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Indonesia.
d. Selain itu, pada Rapat Komisi I DPR dengan Menteri Luar Negeri,
terdapat pula praktik yang sudah dilembagakan yakni Menteri Luar
Negeri melaporkan setiap hasil pertemuan tingkat tinggi (Presiden)
maupun tingkat menteri dengan negara-negara lain, yang juga
mencakup tentang perjanjian-perjanjian yang dihasilkan dari pertemuan
tersebut.
e. Menurut Pemerintah mekanisme konsultasi ini sudah berjalan dengan
baik, sebagai contoh:
Dalam RDP Komisi I DPR dengan Kemenlu dan Kemendag tanggal
31 Agustus 2015, Mendag melakukan konsultasi dengan DPR terkait
143
rencana pengesahan First Protocol to Amend the Agreement
Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade
Area (AANZFTA) dan Agreement on Trade in Service under the
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
between the ASEAN and the Republic of India (AIFTA).
Dalam RDP Komisi I DPR dengan Menlu tanggal 31 Januari 2018,
Menlu menyampaikan rencana penyelesaian berbagai perjanjian
dibidang ekonomi, antara lain Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP), Indonesia-Chile Comprehensive Economic
Partnership Agreement (CEPA), ASEAN-Hong Kong Free Trade Area
(FTA), Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-European Free Trade
Association (EFTA) CEPA, Indonesia-Uni Eropa CEPA, Indonesia-
Turki CEPA, dan sebagainya. Pada rapat ini juga Menlu atas
pertanyaan Komisi 1 DPR menjelaskan hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan perjanjian internasional.
4. Terkait pertanyaan mengenai posisi Pemerintah terhadap perkembangan
International Regulatory Regime, Pemerintah berpendapat sebagai
berikut:
a. Perihal International Regulatory Regime, atau sering juga disebut
sebagai proliferasi norma-norma administrasi internasional
(international administrative norms) telah menjadi perhatian
Pemerintah dalam hal ini Kemenlu. Norma-norma ini biasanya lahir
bukan dalam bentuk treaty namun dalam format keputusan-keputusan
lembaga internasional yang Indonesia aktif menjadi anggota, termasuk
dalam hal ini G20 dan World Bank. Sebagai contoh:
1) Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and
banking systems yang dikeluarkan oleh Bank for International
Settlements. Basel III adalah an internationally agreed set of
measures yang dikembangkan oleh the Basel Committee on
Banking Supervision untuk merespon krisis finansial 2007-2009.
The measures yang dibuat dimaksudkan untuk memperkuat
regulasi, pengawasan dan manajemen resiko perbankan. Bank
Indonesia dalam hal ini adalah anggota dari Bank for International
Settlements.
144
2) Policy Measures to Address Systemically Important Financial
Institutions yang dikeluarkan Financial Stability Board (FSB) – G-
20 tanggal 4 November 2011. Policy measures tersebut dibuat
berdasarkan endorsement G-20 Leaders (Cannes Summit - 2011)
untuk mengantisipasi risiko dalam sistem keuangan global.
Indonesia adalah anggotanya.
Kedua contoh tersebut pada dasarnya masih bersifat guidance bagi
penyusun kebijakan. Esensi dari International Regulatory Regime
tersebut dituangkan dalam peraturan/kebijakan domestik tanpa
merujuk kepada instruments dimaksud.
b. Karena norma ini tidak lahir dari treaty maka menurut Pemerintah isu
ini berada diluar rezim hukum perjanjian internasional. Posisi ini juga
dianut oleh negara-negara lain. Isu ini masih belum diatur secara
memadai dalam hukum nasional Indonesia.
c. Selain itu, beberapa organisasi internasional seperti International
Maritime Organization (IMO), International Labour Organization (ILO),
dan Food and Agriculture Organization (FAO) telah mengeluarkan
berbagai keputusan yang mengandung berbagai norma administratif
yang dipatuhi oleh Indonesia. Terhadap norma-norma ini lazimnya
Pemerintah melakukan legislasi nasional untuk menjadikannya norma
mengikat di Indonesia.
d. Selain norma administratif, terjadi pula proliferasi norma substantif
yang lahir dari keputusan organisasi internasional. Salah satu contoh
yang menonjol dewasa ini adalah apakah hukum nasional Indonesia
wajib mematuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang
melibatkan penegakan hukum di wilayah Indonesia tanpa basis
Undang Undang Pidana nasional. Beberapa Resolusi DK PBB
mengharuskan negara untuk mengambil tindakan-tindakan hukum
terhadap negara-negara yang terkena embargo, termasuk penahanan
kapal berbendera negara tersebut. Di satu pihak, Indonesia terikat
pada Resolusi ini namun di lain pihak penegak hukum Indonesia
mengalami kesulitan prosedural untuk mencantumkan Resolusi DK
PBB sebagai dasar penahanan kapal karena perihal tersebut tidak
diatur oleh hukum acara pidana Indonesia.
145
e. Pemerintah sedang melakukan pengkajian terhadap persoalan ini
khususnya tentang perlu tidaknya suatu undang-undang tersendiri
yang mengatur tentang kekuatan mengikat setiap keputusan-
keputusan lembaga internasional dalam hukum nasional Indonesia.
Beberapa negara telah mengeluarkan International Organizations Act
atau UN Act untuk mengatur persoalan ini.
f. Untuk mengantisipasi hal ini, maka Pemerintah dalam hal ini Kemenlu
selalu mengingatkan para Delegasi RI untuk mencermati setiap
norma-norma yang lahir melalui mekanisme lembaga internasional ini
dan melakukan verifikasi apakah sejalan dengan hukum nasional. Jika
tidak sejalan maka biasanya dilakukan terlebih dahulu penyesuaian
pada legislasi nasional sebelum Indonesia menyetujui lahirnya norma-
norma tersebut.
5. Terkait pertanyaan mengenai apakah Indonesia dualist, dan contoh negara
yang sama dengan Indonesia, Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
a. Sekalian di luar konteks perkara yang sedang di uji dalam persidangan
ini, pertanyaan ini sangat relevan sekali karena telah menjadi
perdebatan akademis di Indonesia pada era 1990-an pada saat
mempersoalkan direct applicability dari 1958 New York Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Masalah
ini muncul kembali sejak tahun 2006 dan telah menjadi materi disertasi
dari beberapa Doktor hukum di Indonesia. Perdebatan akademis ini
sendiri telah menjadi perdebatan klasik dan akan terus diperdebatkan
seiring dengan dinamika hubungan hukum nasional dan hukum
internasional itu sendiri.
b. Dari pengamatan Pemerintah, mengingat kompleksitas persoalan ini,
maka perdebatan akademis juga, seperti halnya di negara-negara lain,
masih mengalami kerancuan karena para pakar sendiri tanpa sengaja
belum seragam mengartikan apa yang dimaksud dengan monisme dan
dualisme khususnya dalam perspektif hukum nasional Indonesia.
c. Beberapa negara menganut sistem yang berbeda. Negara-negara
Inggris, Australia, Singapura yang menganut sistem common law, pada
umumnya menganut dualisme dalam menyikapi perjanjian internasional.
Karena memisahkan secara tegas hukum nasional dan hukum
146
internasional, maka semua perjanjian internasional menurut sistem
dualis ini hanya berlaku pada level hukum internasional dan tidak
langsung berlaku dalam hukum nasional. Untuk berlaku dalam hukum
nasional maka perjanjian itu harus ditransformasi kedalam UU nasional
dan berdasarkan UU nasional ini maka norma perjanjian dalam
karakternya sebagai norma UU berlaku dalam hukum nasional. Dalam
tradisi dualisme, semua perjanjian biasanya di copy paste kedalam
format UU, kecuali jika UU nasionalnya sudah cukup memadai. Ciri
esensial dari dualisme adalah, bukan norma perjanjian yang diterapkan
oleh hukum nasional, melainkan norma UU-nya. Jika perjanjian sudah
berakhir, tidak otomatis norma UU-nya juga berakhir.
d. Negara-negara hukum kontinental seperti Belanda dan Perancis
menganut monisme. Karena menganut bahwa kedua sistem hukum ini
adalah satu kesatuan (monisme) maka Perjanjian yang sudah berlaku
bagi negara tersebut secara otomatis berlaku di dalam sistem hukum
nasionalnya. Pada prinsipnya tidak dibutuhkan legislasi nasional untuk
memberlakukan norma perjanjian dimaksud. Namun dalam sistem
monisme, terdapat komplikasi sehubungan dengan lahirnya perjanjian
yang bersifat non-self executing. Karena karakter normanya, maka
perjanjian jenis ini harus diejawantahkan dalam hukum nasional.
Misalnya, Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 memuat beberapa kewajiban
negara untuk menjadikan perbuatan money laundering sebagai delik
pidana. Konvensi tidak mungkin melahirkan delik pidana ini, sehingga
untuk seseorang dapat dipidana akibat perbuatan ini maka delik ini harus
terlebih dahulu diejawantahkan dalam hukum nasional, yakni UU Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
e. Belanda yang dikenal sebagai penganut monisme murni memaknai UU
untuk menyetujui suatu perjanjian hanya dimaknai sebagai bentuk formal
persetujuan DPR, bukan sebagai UU yang memberlakukan perjanjian itu
kedalam hukum nasional. UU ini dimaknai sebagai UU dalam arti formal
(wet in formele zijn). Sedangkan pemberlakuan perjanjian tersebut
kedalam hukum nasional ditentukan oleh perjanjian itu sendiri dalam arti
147
jika perjanjian itu berlaku berdasarkan hukum internasional maka
otomatis berlaku dalam sistem hukum nasional.
f. Jerman juga mengikuti sistem ini namun akibat perdebatan monis-dualis,
Jerman mengambil jalan tengah yang sering disebut dengan
vollzugsbefehl (order of execution), yaitu UU yang mengesahkan suatu
perjanjian bersifat ganda, di satu pihak UU ini berfungsi sebagai ekspresi
formal persetujuan DPR (elemen monis), namun di lain pihak UU ini juga
menjadi perintah untuk mengeksekusi perjanjian itu dalam hukum
nasional (elemen dualis). Untuk mengkonsiliasi kedua kutub ini maka UU
sebagai ekspresi formal mulai berlaku pada saat UU tersebut
diundangkan, namun sebagai perintah untuk eksekusi kedalam hukum
nasional, UU itu berlaku pada saat perjanjian tersebut berlaku.
g. Dalam praktiknya Pemerintah tidak terlalu melakukan dikotomi terhadap
kedua school of thoughts ini namun secara historis Indonesia mewarisi
tradisi hukum Belanda. Hal ini tercermin dari pandangan para ahli hukum
di era awal kemerdekaan, seperti Prof. Utrecht yang secara tegas
menyatakan bahwa Indonesia menganut monisme primat hukum
internasional yang ditandai oleh pidato Perdana Menteri RIS Mohammad
Hatta pada tanggal 11 Agustus 1950. Dalam pidato ini, Hatta
menyatakan “Berdasarkan anggapan-anggapan yang diterima dalam
pergaulan antara negara-negara, maka traktat itu lebih tinggi daripada
Undang-Undang Dasar.”
h. Namun dapat dipastikan bahwa semangat pembuatan UU a quo, para
perumus dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Mochtar Kusumaatmadja,
yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri, yang dalam bukunya
“Pengantar Hukum Internasional”, secara jelas menggambarkan bahwa
Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan
menyarankan agar di kemudian hari pilihan politik hukum yang diambil
adalah aliran ini.
i. Apa yang dilakukan oleh Indonesia tentang perjanjian internasional sejak
kemerdekaan pada umumnya mengikuti praktik Belanda, yakni
persetujuan DPR dituangkan dalam format undang-undang dan
berdasarkan undang-undang ini Presiden melakukan ratifikasi.
148
j. Sekalipun tidak mempersoalkan dikotomi kedua aliran ini, namun
terdapat praktik yang dilakukan Indonesia yang mungkin terkait dengan
kedua aliran ini adalah sbb:
1) Setiap perjanjian internasional mulai berlaku terhadap Indonesia
pada saat perjanjian itu mulai berlaku, bukan pada saat berlakunya
UU yang mengesahkannya. Contoh, Konvensi Hukum Laut PBB
(UNCLOS) 1982 diberlakukan oleh Indonesia pada saat berlakunya
Konvensi ini yakni tanggal 16 November 1994, bukan pada tanggal
31 Desember 1985 pada saat berlakunya UU Nomor 17 Tahun 1985
yang mengesahkan UNCLOS 1982.
2) Indonesia memberlakukan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan
Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan
Kekonsuleran secara langsung setelah mengesahkan melalui UU
Nomor 1 Tahun 1982 tanpa harus ditransformasikan terlebih dahulu
dalam hukum nasional. Para diplomat dan konsul asing di Indonesia
menikmati kekebalan dan keistimewaan dari Konvensi ini dan bukan
dari hukum nasional.
3) Dalam memberlakukan konvensi-konvensi HAM, Pemerintah pada
dasarnya merujuk pada norma konvensi dalam karakternya sebagai
norma perjanjian internasional, bukan dalam karakternya sebagai
norma UU yang mengesahkannya.
B. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim Saldi Isra
Terkait pertanyaan mengenai apakah UU a quo masih tetap konstitusional
dengan adanya Amandemen Pasal 11 UUD 1945, Pemerintah berpendapat
sebagai berikut:
a. Dari sisi kronologis memang perubahan Pasal 11 UUD 1945 terjadi
setelah lahirnya UU a quo. Namun Pemerintah berpandangan bahwa
perubahan ini tidak mengakibatkan UU a quo menjadi tidak
konstitusional mengingat materi yang diubah dalam Pasal 11 UUD 1945
hanya merupakan penambahan elemen untuk perjanjian internasional
yang dibuat dengan organisasi internasional.
b. Sebelum amandemen, perjanjian yang dikenal oleh Pasal 11 UUD 1945
adalah perjanjian antara negara saja, tidak termasuk perjanjian dengan
subjek hukum internasional lainnya. Akibat kontroversi Letter of Intent
149
(LOI) Pemerintah RI dengan IMF tahun 1998, maka organisasi
internasional sebagai subjek perjanjian dimasukkan dalam Pasal 11
UUD 1945 sebagai ayat (2) dalam kualifikasi “perjanjian internasional
lainnya”. Di lain pihak, perjanjian dengan organisasi internasional sudah
menjadi objek pengaturan UU a quo. Dengan demikian, Pemerintah
berpandangan bahwa penambahan ayat (2) pada Pasal 11 UUD 1945
ini justru memperkuat dan memberi basis konstitusional baru bagi UU a
quo.
C. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim Arief Hidayat
Terkait pertanyaan mengenai status Perjanjian oleh Non-Eksekutif dan
antara Pemerintah dengan Swasta, Pemerintah berpendapat sebagai
berikut:
a. Pasal 11 UUD 1945 dan UU a quo mengatur tentang perjanjian seperti
yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 on the Law of Treaties.
Rezim hukum ini tidak mencakup perjanjian-perjanjian lain yang
pihaknya bukan oleh negara/subjek hukum internasional, dan hukum
yang menguasainya bukan hukum internasional. Pemahaman ini
sudah dikonfirmasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
36/PUU-X/2012 terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas sehingga akhirnya Mahkamah memutuskan bahwa Kontrak
Kerjasama (KKS) Migas bukan termasuk perjanjian internasional
seperti yang dimaksud Pasal 11 UUD 1945 (Para 3.19).
b. Dalam kaitan ini, prosedur UU a quo hanya diterapkan terhadap
perjanjian-perjanjian sesuai dengan kriteria UU, yakni (i) Dibuat oleh
negara dan subjek hukum internasional lainnya, (ii) governed by
international law. Perjanjian-perjanjian lainnya, sekalipun dilakukan
oleh negara namun bersifat perdata atau atau yang tunduk pada suatu
hukum nasional tertentu, dikelola menurut mekanisme tersendiri oleh
Kementerian/Lembaga terkait. Misalnya perjanjian pembelian
tanah/bangunan oleh negara asing untuk kebutuhan kedutaan
besarnya, tunduk pada hukum pertanahan Indonesia dan melibatkan
Pemerintah DKI dan Badan Pertanahan Nasional.
c. Khusus tentang perjanjian yang dibuat oleh lembaga “non-eksekutif”,
misalnya antara Mahkamah Konstitusi atau antara Parlemen dan
150
lembaga negara lainnya, Pemerintah berpendapat bahwa sekalipun
perjanjian ini dibuat oleh lembaga negara “non-eksekutif’ namun materi
yang diperjanjikan adalah bidang kewenangan eksekutif. Dalam hal ini
sekalipun perjanjian tersebut ditandatangani Ketua lembaga negara
tersebut, namun perannya adalah sebagai Chief of Administration dari
lembaga itu. Kerjasama yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ini
masih pada tahap kerjasama administrasi, pengembangan kapasitas,
pertukaran informasi yang pada hakekatnya berada pada tugas pokok
dan fungsi dari kesekretariatan jenderal lembaga dimaksud.
d. Dalam konteks Mahkamah Konstitusi misalnya, peran Ketua MK
sebagai Chief of Administration diatur dalam Perpres No. 49 Tahun
2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi. Pasal 1 ayat (2) Perpres a quo mengatur bahwa
‘Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal adalah aparatur negara yang
menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi’. Dari rumusan
Pasal tersebut nampak jelas bahwa Sekretaris Jenderal dan Panitera
bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan
demikian, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga
bertindak sebagai penanggung jawab umum administrasi negara di
lingkungan Mahkamah Konstitusi.
e. Fungsi sebagai Chief of Administration ini juga dilakukan oleh
pimpinan lembaga negara non-eksekutif lain seperti Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3)
mengejawantahkan fungsi pimpinan DPR sebagai Chief of
Administration ini antara lain dengan menyatakan bahwa Pimpinan
DPR ‘turut dalam penyusunan rencana anggaran’ (Pasal 86 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014). Selanjutnya dalam Peraturan DPR
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib juga dijelaskan kembali
fungsi dan tugas dari pimpinan DPR sebagai chief of administration,
yakni ‘mengawasi pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan
151
oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh Badan Urusan Rumah
Tangga’ (Pasal 30).
f. Dalam kaitan ini, praktik Indonesia masih menempatkan perjanjian
semacam ini sebagai perjanjian internasional sehingga
memberlakukan pula UU a quo tentang Perjanjian Internasional dalam
proses pembuatannya. Argumen yang dikembangkan adalah bahwa
kewenangan ini masih berada pada kewenangan Pemerintah RI
(Kesekjenan Lembaga Negara).
g. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh lembaga non-eksekutif pada
dasarnya adalah kerja sama pertukaran informasi, capacity building,
saling kunjung, dan lainnya seperti:
1) Memorandum of Understanding on Co-Operation between The
Constitutional Court of The Republic of Indonesia and The
Constitutional Council of The Kingdom of Morocco (2010)
2) Memorandum Saling Pengertian antara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Dewan Konstitusi Republik Rakyat
Demokratik Aljazair (2015)
3) Memorandum of Understanding between the House of
Representatives of the Republic of Indonesia and the Parliament of
the Republic of Vanuatu on the Establishment of Parliamentary
Friendship Groups (2015)
4) Memorandum of Understanding between Authority for Fair
Competition and Consumer Protection, Government Regulatory
Agency of Mongolia and Commission for the Supervision of
Business Competition (KPPU) Republic of Indonesia on
Strengthening Cooperation in Competition Law and Policy
Development (2017)
Bahwa untuk memperkuat keterangannya, Presiden kemudian
mengajukan ahli a.n Bagir Manan dan Hikmahanto Juwana, yang keterangan
tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 Juni 2018 dan
didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 25 Juni 2018, yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bagir Manan
152
Sebelum secara khusus, menyampaikan beberapa catatan atas Pasal-pasal
yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak-
hak konstitusional Pemohon, ahli terlebih dahulu menyampaikan beberapa catatan
pendahuluan yang relevan, dan karena itu perlu dipertimbangkan oleh Majelis dalam
memutus permohonan para Pemohon.
Pertama; tentang status hubungan internasional suatu negara.
Telah lama diketahui dan diajarkan, baik dalam Ilmu Negara Umum (Algemene
Staatsleer), Ilmu Hukum (Rechtswetenschap, Science of Law), maupun Ilmu Politik
(Political Science), bahwa salah satu ciri negara adalah “melakukan hubungan
(dengan) luar negeri (to take into relationship with other states). Ciri ini ditambah
beberapa syarat lain yang secara hukum mendudukkan negara sebagai subyek
hukum internasional. Ciri ini secara inherent memungkinkan suatu satuan
kenegaraan, meskipun masih di bawah kekuasaan negara lain atau subyek hukum
internasional lain, menjadi pihak dalam hubungan internasional. Hindia Belanda
(Indonesia di masa kekuasaan kolonial Belanda), diakui - setidak-tidaknya oleh
pihak-pihak tertentu sebagai subyek hukum internasional, karena itu menjadi pihak
atau turut serta, di luar negara induk (Kerajaan Belanda), dalam sejumlah perjanjian
internasional. Hak melakukan hubungan internasional ini secara doktriner
dipandang sebagai ciri “memiliki kedaulatan”, karena itu dalam pelajaran (secara
akademik) ada juga yang menyebutkan, hubungan internasional merupakan ciri
atau tanda kedaulatan cq. kedaulatan keluar.
Kedua; kedaulatan keluar dalam perspektif pemisahan/pembagian kekuasaan,
khususnya dalam perspektif kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Baik secara historis, konstitusional, maupun praktik, kekuasaan hubungan luar
negeri secara asasi adalah “the original power” yang ada di tangan pemegang
kekuasaan eksekutif cq Kepala Negara (Raja, Ratu, Presiden, Kaisar atau nama
jabatan lain yang melekat sebagai Kepala Negara seperti “Führer” pada masa
pemerintahan Nazi di Jerman).
Hakim Agung Amerika Serikat Sutherland dalam suatu putusan yang diterima
secara aklamasi oleh seluruh anggota Majelis menyatakan:
“The President alone has the power to speak or listen as a representative of the nation … As Marshall said in his great argument of March 7, 1800 in the House of Representatives, “The President is the sole organ of the nation in its external relations, and the sole representative with foreign nations”.
153
Demikian pula Blackstone (commentaries) dari Inggris menyatakan:
“What is done by royal authority, with to foreign power is the act of whole
nation”.
Original power menunjukkan semua inisiatif untuk menciptakan, memasuki, turut
serta, atau keluar dari suatu hubungan internasional semata-mata berasal dari
keputusan pemegang kekuasaan eksekutif, seperti membuka, tidak membuka, atau
mengakhiri hubungan diplomatik, semata-mata ditentukan oleh inisiatif kekuasaan
eksekutif. Begitu pula keputusan membuat, turut serta, atau mengundurkan diri dari
suatu perjanjian internasional (treaties atau executive agreements), semata-mata
atas inisiatif pemegang kekuasaan eksekutif. Demikian pula “war power” - apalagi
dikaitkan dengan “commander in-chief” - sepenuhnya ada pada kekuasaan
eksekutif.
Bagaimana hal-hal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, yang
menyebutkan: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
Khusus untuk “perjanjian internasional” lebih dirinci dalam Pasal 11 ayat (2):
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara “a contrario”
ketentuan Pasal 11 ayat (2) menunjukkan “Presiden mempunyai kekuasaan
membuat perjanjian internasional yang tidak menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan
tidak mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang”. Perjanjian
internasional yang dibuat Presiden tanpa memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, lazim disebut “executive agreement”. Dengan rumusan yang
dimulai dengan kata “Presiden dan dimungkinkannya Presiden membuat perjanjian
internasional yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
merupakan pengakuan konstitusional bahwa Presiden (eksekutif) merupakan
pemegang dan pelaksana utama dalam membuat perjanjian internasional atau
hubungan internasional pada umumnya. Kalau demikian, apa fungsi “persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”?
Meskipun persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk perjanjian internasional
tertentu, khususnya yang diatur Pasal 11 ayat (2) merupakan suatu kemestian,
154
tidaklah menunjukkan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan legislatif
dalam perjanjian internasional. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat hanya
sebagai bentuk “checks and balances”. Hal ini ditunjukkan, tidak semua hak-hak
Dewan Perwakilan Rakyat melekat dalam membuat perjanjian internasional. Dewan
Perwakilan Rakyat tidak memiliki hak-hak paling utama sebagai kekuasaan
legislatif, seperti hak inisiatif dan hak amandemen dalam perjanjian internasional.
Bagaimana dengan “bentuk undang-undang” terhadap perjanjian internasional yang
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat?
Memberi bentuk undang-undang (wet in formeele zin) perjanjian internasional yang
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat semata-mata tumbuh berdasarkan praktik
ketatanegaraan. Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak menyebut undang-undang
sebagai bentuk hukum perjanjian internasional yang disetujui DPR.
Di negara-negara lain, seperti dalam lingkungan Uni Eropa, masalah perjanjian
internasional secara hirarkis ditempatkan di atas UUD. Di Amerika Serikat,
perjanjian internasional (treaty) secara konstitusional digolongkan sebagai “the
supreme law of the land”. Tetapi berdasarkan prinsip: “tidak boleh ada ketentuan,
keputusan, atau tindakan bertentangan dengan UUD, Mahkamah Agung Amerika
Serikat menetapkan, perjanjian internasional sederajat dengan undang-undang.
Ketiga; karakteristik UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
ditinjau dari penggolongan undang-undang.
Salah satu pelajaran baku dalam Ilmu Hukum adalah membedakan antara: “undang-
undang formal” (formeel wet, formal legislation), dan “undang-undang materil”
(materiel wet, substantive legislation). Selain itu dikenal pula perbedaan antara
“undang-undang dalam arti formal” (wet in formeele zin), dan “undang-undang dalam
arti materil” (wet in materiële zin, law in substantive sense). Membedakan antara
“undang-undang formal” dengan “undang-undang materil” penting - terutama dalam
judicial review - sebagai salah satu cara menentukan ada atau tidak ada “standing”.
Keterangan di bawah ini dibatasi pada “undang-undang formal” dan “undang-
undang materil”. Undang-undang formal (formeel wet, formal legislation) adalah
undang-undang dalam arti formal (wet in formeele zin) yang tidak mengikat umum
artinya suatu undang-undang, tetapi tidak melahirkan hak dan atau kewajiban pada
perorangan. Sebaliknya, undang-undang materil (materiel wet) adalah undang-
undang dalam arti formal yang mengikat umum, artinya menimbulkan hak dan
155
kewajiban pada perorangan. Yang lazim dijadikan contoh undang-undang formal
adalah UU APBN.
Bagaimana dengan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional secara substantif
“hanya” mengatur tata cara membuat, memasuki atau turut serta dalam perjanjian
internasional baik perjanjian bilateral atau multilateral. Tata cara ini lebih dibatasi,
yaitu “hanya” mengatur hak dan kewajiban Presiden (Pemerintah) dan Dewan
Perwakilan Rakyat ketika (akan) membuat, memasuki, atau turut serta dalam
perjanjian internasional. Hak dan kewajiban itu pun hanya berlaku pada saat ada
aktivitas (proses) membuat, memasuki, atau turut serta dalam perjanjian
internasional. Selama tidak ada aktivitas (proses) membuat, memasuki, atau turut
serta dalam perjanjian internasional, hak dan kewajiban tidak berlaku. Dengan
ungkapan yang sederhana, ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional mengatur “seandainya” (as if) ada aktivitas (proses)
membuat, memasuki, atau turut serta dalam perjanjian internasional. UU No. 24
Tahun 2000 bukannya undang-undang yang mengikat umum atau mengikat
perorangan (bukan undang-undang materil).
Selanjutnya ahli akan menyampaikan keterangan mengenai Pasal-pasal
dalam UU No. 24 Tahun 2000 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD
1945.
1. Pasal 2.
“Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional,
dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang
menyangkut kepentingan publik”.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2000, bertentangan
dengan Pasal 11 UUD 1945 karena “mengganti frasa dengan persetujuan DPR”
dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang menyangkut
kepentingan publik”.
Persoalan hukumnya, yaitu antara kata “berkonsultasi” dengan kata
“persetujuan”.
Pasal 11 UUD 1945 menggunakan ungkapan: “Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
156
Undang Dasar”. Presiden adalah “the real executive dan merupakan “the single
executive”. Presidenlah yang mempunyai hubungan “checks and balances”
dengan Dewan Perwakilan Rakyat, karena itu “persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat” menunjukkan hubungan “checks and balances” dengan Presiden,
bukan dengan Menteri. Dalam hal “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap perjanjian internasional” bukan hanya mengandung makna Presiden
“diperbolehkan” mengesahkan - menjadi undang-undang, tetapi Presiden
“diperbolehkan” melakukan ratifikasi sebagai bukti bagi negara atau negara-
negara peserta lain bahwa Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian
internasional tersebut.
Menteri, menurut UUD 1945, adalah pembantu Presiden. Menteri bekerja untuk
Presiden. Menteri tidak dalam hubungan “checks and balances” dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Hubungan Menteri dengan Dewan Perwakilan Rakyat
hanya bersifat konsultatif, bukan untuk memperoleh persetujuan. Hanya
Presiden yang memperoleh atau tidak memperoleh persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Hasil konsultasi akan dilaporkan kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan membuat, memasuki, atau turut serta dalam perjanjian
internasional. Presidenlah yang akan menentukan atau memutuskan pengajuan
naskah perjanjian internasional untuk memperoleh persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Pasal 9 ayat (2)
“Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden”.
Menurut Pemohon, frasa: “Pengesahan … dilakukan dengan undang-undang”
mengandung makna hanya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Menurut ketentuan tentang peraturan perundang-undangan, wewenang
mengesahkan RUU yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat berada di
tangan Presiden untuk menjadi undang-undang. Selanjutnya, undang-undang
yang telah disahkan tersebut dimuat dalam Lembaran Negara untuk diketahui
umum. Dengan perkataan lain: “pengesahan merupakan syarat RUU yang telah
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang”. Demikian
pula pengesahan oleh Presiden, perjanjian internasional yang telah disetujui
Dewan Perwakilan Rakyat menjadi syarat perjanjian internasional menjadi
undang-undang. Tentu saja, Presiden hanya mengesahkan perjanjian
157
internasional menjadi undang-undang setelah mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
3. Pasal 10
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. pembentukan kaidah hukum baru;
6. perjanjian dan/atau hibah luar negeri.
Menurut Pemohon, pada pokoknya, ketentuan Pasal 10 (supra) merupakan
pembatasan terhadap perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-
undang atau memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Memang benar, secara gramatikal, ketentuan tersebut dapat diartikan sebagai
membatasi (pembatasan) perjanjian internasional yang disahkan dengan
undang-undang atau memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Benar pula pendapat Pemohon bahwa masih didapati berbagai obyek perjanjian
internasional lain yang, misalnya, akan berakibat pada beban anggaran negara
atau menimbulkan kewajiban-kewajiban lainnya atau mempunyai dampak
politik, dan lain-lain. Tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek berikut:
Pertama; suatu ketentuan hukum tidak hanya diberi makna secara gramatikal.
Hukum itu bukan sekedar “bunyi”, tetapi suatu “pengertian” (begrippen,
concept). Kita mengenal berbagai pendekatan untuk memberikan pengertian
atau makna yang tepat suatu kaidah melalui penafsiran, konstruksi, analogi, dan
lain-lain. Penafsiran suatu kaidah hukum tidak hanya secara gramatikal, tetapi
dapat juga menggunakan, misalnya “contemporary interpretation atau
penafsiran sosiologis” agar suatu kaidah hukum tetap merupakan “the living
norms” yang sesuai dengan kelaziman yang hidup dan berkembang, baik dalam
hubungan domestik atau internasional.
Kedua; pada bagian lain keterangan ini (supra) telah dikemukakan, dalam
praktik atau kelaziman yang berlaku, dikenal “executive agreements” yang tidak
memerlukan persetujuan (advise and consent) dari badan perwakilan rakyat
158
(atau salah satu kamar badan perwakilan rakyat). Dengan demikian, tidak akan
mungkin menentukan semua perjanjian internasional harus disahkan dengan
undang-undang (memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat).
Ketiga; perjanjian internasional adalah hasil kesepakatan antara negara-negara
pihak, baik bilateral atau multilateral. Kelaziman atau praktik yang berlaku pada
negara pihak akan menentukan suatu objek perjanjian internasional perlu atau
tidak perlu disahkan dengan undang-undang (memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat). Tidak kurang penting, yaitu kelaziman hukum internasional
itu sendiri.
Keempat; hubungan internasional cq perjanjian internasional pada dasarnya
dijalankan atas dasar “diskresi”, bahkan “prerogatif” dalam makna kebebasan
untuk mempertimbangkan membuat atau tidak membuat, memenuhi atau tidak
memenuhi, turut serta atau tidak turut serta dalam suatu perjanjian internasional.
Demikian pula, diskresi untuk mempertimbangkan perlu atau tidak perlu
disahkan dengan undang-undang (memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat).
Berdasarkan aspek-aspek di atas, ketentuan enumeratif tentang perjanjian
internasional yang disahkan dengan undang-undang (memerlukan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat), tidak berarti tidak ada peluang pelanggaran
sehingga mencakup obyek-obyek yang lebih luas. Praktik ketatanegaraan di
manapun di dunia ini, baik melalui praktik ketatanegaraan atau putusan hakim
dapat terjadi perluasan atau penyempitan makna suatu kaidah hukum. Segala
sesuatu tergantung pada tatanan hidup bernegara, seperti demokrasi, negara
hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak warga cq. hak asasi warga yang
semuanya akan menumbuhkan suatu penyelenggaraan negara yang
bertanggung jawab (responsible government) dalam makna tanggung jawab
pada kepentingan rakyat.
4. Pasal 11 ayat (1).
“Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden”.
Menurut Pemohon, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD
1945, yang berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan
159
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”.
Telah dikemukakan, dalam praktik di manapun di dunia ini dikenal “executive
agreement”. Dengan demikian, eksistensi perjanjian internasional yang hanya
disahkan dengan keputusan presiden, baik dalam praktik (maupun doktrin)
sesuatu yang telah diterima secara universal.
Persoalannya: “Bagaimana menjamin secara hukum, agar pengesahan
perjanjian internasional dengan keputusan presiden (tanpa memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat) tidak melampaui ketentuan Pasal 11
ayat (2) UUD 1945?
Dalam keterangan terhadap Pasal 10 (supra) telah dicatat aspek-aspek yang
lazim menjadi dasar [di luar ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945] untuk
menentukan suatu perjanjian internasional disahkan dengan undang-undang
atau dengan keputusan presiden. Bahkan, mungkin menjadi “unreasonable”
kalau dianut pendirian seolah-olah segala sesuatu yang “diasumsikan” atau
sekedar menurut “logika”, termasuk hal-hal yang, misalnya dianggap akan
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga
perlu disahkan menurut undang-undang (memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat). Dalam kaitan ini perlu dicatat keterangan Hakim Agung
Amerika Serikat Oliver Wendell Holmes yang mengatakan: “The life of the law
has not been logic; it has been experience”. Dalam ungkapan yang lebih lunak
mungkin dapat dipergunakan ungkapan: “hukum tidak sekedar rumusan logis
(logik), tetapi juga pengalaman (experience). Dalam bidang hukum
ketatanegaraan, kita mengenal praktik ketatanegaraan (konvensi
ketatanegaraan) yang tumbuh dalam perjalanan pengalaman praktik bernegara.
Selanjutnya ahli memberikan keterangan tambahan dalam
persidangan, yang keterangannya adalah sebagai berikut:
UUPI adalah undang-undang yang mengatur segala sesuatu terkait dengan
perjanjian internasional, karena itu undang-undang ini termasuk dalam
undang-undang formil;
Undang-Undang Formil (formele wet) adalah undang-undang yang
mengatur hal tertentu dan tidak melahirkan hak serta kewajiban, sebagai
contoh adalah UU APBN yang hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi
penyelenggara pemerintahan saja;
160
Terkait dengan layak atau tidaknya pengujian UUPI maka dapat dilihat
dengan 2 hal, yaitu pengujian UU merupakan hak warga negara yang tidak
dapat dibatasi; kelayakan tersebut merupakan pandangan hakim konstitusi
dalam memutus layak atau tidaknya.
Terkait dengan tindakan presiden dapat berupa diskresi atau prerogatif
pada beberapa negara modern tidak dapat dengan mudah diketahui
batasan-batasan antara dua jenis tindakan tersebut karena semakin modern
negara tersebut maka kewenangan presiden semakin tidak dapat dibatasi.
Pembatasan secara mudahnya dapat dilihat dalam konstitusi negara itu
sendiri, ada beberapa tindakan yang telah jelas merupakan kewajiban
konstitusi dan secara jelas disebutkan dalam UUD 1945 sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa tersebut adalah prerogatif presiden, sebagai contoh
adalah perombakan kabinet;
Pasal 10 UU PI dapat dilihat secara luas maupun sempit jika dilihat dari
praktik ketatanegaraan selama ini. Misalkan ketika mendefinisikan
“mempunyai dampak politik” maka tidak dapat dengan mudah ditentukan
perjanjian internasional yang seperti apa yang dapat dikategorikan
“mempunyai dampak politik” secara keseluruhan sehingga kriteria tersebut
ditentukan dengan melihat pada praktik-praktik ketatanegaraan selama ini
yang dilakukan dengan mendasarkan pada general principles of justice.
Dalam hal seperti itu maka diperlukan diskresi baik dari kepala negara;
Ada 3 prinsip diskresi (the three principles of descretion) yang harus
dipenuhi untuk mencegah menjadi tindakan sewenang-wenang:
1. Adanya kewenangan untuk melakukan tindakan hukum (diskresi);
2. Tujuan dari tindakan hukum (diskresi) tersebut dibenarkan oleh hukum;
3. Tindakan hukum (diskresi) tersebut dilakukan berdasarkan hukum.
Cara lain agar diskresi Presiden atau pemerintah tidak melanggar konstitusi
salah satunya adalah melalui mekanisme interpelasi DPR bahkan
mekaniske impeachment pun dapat digunakan oleh DPR.
Tindakan hukum diskresi dalam praktik ketatanegaraan disebut juga political
ethics atau constitutional ethics, yang berarti adalah tindakan berupa etika
saja namun memiliki kekuatan untuk menggeser konstitusi. Sebagai
contohnya, dalam konstitusi parlementer seorang kepala negara dapat
menolak untuk mengesahkan undang-undang, namun dalam praktik
161
ketatanegaraan hal tersebut tidak ada karena kepala negara tidak pernah
menolak dengan alasan karena keputusan parlemen merupakan kehedak
dari rakyat banyak;
Political Question Doctrine mulai ada ketika praktik judicial review terhadap
undang-undang, hal tersebut dibutuhkan sebagai self restraint dengan
tujuan untuk menghindari lembaga peradilan bertindak menjadi lembaga
legislatif atau melakukan proses politicking. Sehingga segala tindakan atau
kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat merupakan
kehendak dari rakyat maka haruslah dihormati kecuali apabila secara nyata
bertentangan dengan UUD 1945. Pembatasan yang dimaksud jika terkait
dengan pengujian undang-undang adalah berkaitan dengan pelanggaran
terhadap individual rights;
Kewenangan untuk memberikan persetujuan atau tidak Perjanjian
Internasional merupakan original power Presiden. Adanya advise and
consent dari DPR pun sebenarnya adalah bentuk checks and balances
legislatif kepada eksekutif. Sehingga ketika Perjanjian Internasional tersebut
akan diratifikasi maka sebaiknya Presiden atau Pemerintah melakukan
konsultasi terlebih dahulu sebelum menyetujui atau tidak untuk meratifikasi
Perjanjian Internasional tersebut. Konsultasi menurut ahli adalah penting
sebelum menuju ke proses selanjutnya yaitu persetujuan;
Mekanisme partisipasi rakyat dalam hal memberikan masukan terhadap
proses ratifikasi Perjanjian Internasional dapat dilakukan dalam bentuk
preventif dan represif
2. Hikmahanto Juwana
Pengertian Frasa “Perjanjian Internasional Lainnya”
Dalam kesempatan ini ahli ingin mengulang kembali pendapatnya pada uji materi
terhadap Undang-undang Perjanjian Internasional (selanjutnya disingkat “UU PI”) di
depan Mahkamah ini dengan Nomor Perkara 20/PUU-V/2007 bahwa Pasal 11 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat “UUD
1945”) yang menyebutkan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya …” dimana kata “lainnya” dalam frasa “perjanjian internasional lainnya”
menurut pendapat saya merupakan perjanjian internasional antara Indonesia
sebagai negara dengan subyek hukum internasional selain negara.
162
Ketika itu ahli mengatakan, “Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kata
perjanjian internasional lainnya ini merujuk pada mitra negara, negara RI sebagai
subjek hukum internasional untuk membuat perjanjian dengan subjek hukum
internasional selain negara. Dalam konteks demikian dan diakui oleh hukum
internasional yang dapat menjadi mitra negara dalam membuat perjanjian
internasional adalah organisasi internasional, Vatikan Suci, Palang Merah
Internasional, dan kemudian belligerent.”
Dengan demikian dalam pandangan ahli adalah kurang tepat jika frasa “perjanjian
internasional lainnya” dimaknai sebagai perjanjian internasional diluar dari apa yang
diatur dalam Pasal 10 UU PI.
Pasal 10 UU PI menyebutkan, “Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: (a) masalah politik, (b)
perdamaian, (c) pertahanan, dan keamanan negara; (d) perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; (e) kedaulatan atau hak
berdaulat negara; (f) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (g) pembentukan
kaidah hukum baru; (h) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”
Mengapa Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dimunculkan? Alasannya sederhana, karena
Pasal 11 UUD 1945 versi asli hanya menyebut Negara, tidak subyek hukum
internasional selain negara.
Pasal 11 UUD 1945 sebelum diamandemen menyebutkan, “Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat … membuat … perjanjian dengan negara
lain.”
Dari Pasal 11 UUD 1945 versi asli tersebut jelas sama sekali tidak menyebut subyek
hukum internasional selain negara.
Padahal dalam UU PI yang lahir sebelum adanya Amandemen Ketiga UUD 1945
secara tegas dalam Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pemerintah Republik
Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih,
organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan
kesepakatan; …”
Dengan demikian UU PI secara progresif telah mengekspisitkan subyek hukum
internasional selain negara yaitu “organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain.”
Oleh karenanya untuk mengakomodasi subyek hukum internasional selain negara
dilakukanlah amandemen atas Pasal 11 UUD 1945 sehingga secara komprehensif
163
Pasal 11 UUD 1945 menentukan Presiden tidak hanya membuat perjanjian dengan
negara lain, tetapi juga dengan subjek hukum internasional selain negara.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa dalam Pasal 11 ayat 2 terdapat frasa, “yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang”?
Dalam pandangan ahli, hal ini tidak terlepas dari pengalaman buruk Indonesia ketika
Presiden menandatangani Letter of Intent (selanjutnya disingkat “LoI”) yang
ditujukan kepada International Monetary Fund (IMF) pada tanggal 31 Oktober 1997.
Ketika itu Indonesia dalam kondisi yang sangat membutuhkan likuiditas karena
terjadinya krisis moneter.
Sementara IMF mempunyai sejumlah kepentingan yang diantaranya merupakan
kepentingan negara anggotanya. Saat itu bank-bank asing selaku kreditur
menghadapi masalah karena piutang mereka tidak terbayarkan oleh debitur
Indonesia. Para debitur ini memberi alasan tidak dapat membayar hutang mereke
ke kreditur asing karena pemerintah dianggap gagal menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah dengan Dolar.
Akibatnya kreditur asing tidak memiliki jalan untuk keluar dari permasalahan yang
dihadapi di Indonesia, kecuali mempailitkan debitur Indonesia. Sayangnya
mekanisme yang diatur dalam UU Kepailitan peninggalan masa Belanda tahun 1905
tidak luwes dan sangat memakan waktu. Oleh karenanya UU tersebut perlu untuk
diamandemen.
Amandemen inilah yang diminta oleh IMF dan disetujui oleh pemerintah Indonesia
yang termuat dalam LoI. Tidak heran bila amandemen UU Kepailitan awalnya
menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yaitu
Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang ditetapkan pada tanggal 22 April 1998.
Perpu ini dalam hitungan bulan kemudian ditetapkan menjadi UU setelah mendapat
persetujuan pada tanggal 9 September 1998. Berdasarkan UU Kepailitan yang telah
diamandemen tahun 1998 maka untuk mempailitkan debitur sangat mudah,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 yaitu, “Debitur yang mempunyai dua atau
lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang…”
(untuk pembahasan lebih komprehensif terkait masalah ini telah saya tuangkan
dalam tulisan dalam suatu jurnal dengan judul “Reform of Economic Laws and Its
164
Effects on the Post-Crisis Indonesian Economy” dimuat dalam Jurnal The
Developing Economies, XLIII-1 (March 2005): 72–90 yang dapat diakses versi online
di:http://www.ide.go.jp/library/English/Publish/ Periodicals/De/pdf/05_01_04.pdf)
Berbekal pengalaman pahit ini, agar di masa depan tidak terulang kembali, perumus
amandemen ketiga UUD 1945 memasukkan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan
frasa, “yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang.”
Presiden sebagai Organ yang Memegang Kekuasaan untuk Membuat
Perjanjian Internasional
Pertama perlu dipahami bahwa kekuasaan untuk membuat Perjanjian Internasional
dari perspektif trias politika berada di tangan Presiden selaku Kepala Pemerintahan.
Mengapa demikian?
Alasan yang mendasari hal ini karena dalam suatu entitas abstrak seperti negara
maka menjadi pertanyaan siapakah yang dapat mewakili entitas tersebut ketika
berhubungan atau berinteraksi dengan entitas lain. Ini tentu berkaitan dengan
organ-organ yang ada dalam entitas abstrak tersebut, terutama bila jumlah organ
dari entitas tersebut lebih dari satu.
Sebuah Kerajaan dimana Raja memiliki kekuasaan yang absolut maka Raja itulah
yang berhak mewakili Kerajaan ketika berinteraksi dengan Kerajaan atau negara
lain.
Namun bila sebuah negara tidak lagi mengenal kekuasaan absolut di tangan Raja
dan menganut trias politika, bahkan cabang kekuasaan begitu banyak tentu menjadi
masalah siapa organ yang berhak untuk berhubungan dan berinteraksi dengan
negara lain.
Di kebanyakan negara, organ yang memiliki kewenangan untuk mewakili suatu
negara saat berinteraksi dengan negara lain adalah Kepala Pemerintahan, baik
organ itu disebut sebagai Presiden, Perdana Menteri atau penyebutan lainnya.
Berdasarkan Konstitusi Indonesia Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah
organ yang paling berhak mewakili Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945. Ada tiga kewenangan Presiden yang termaktub
dalam Pasal 11 ayat (1) saat berinteraksi dengan negara lain. Tiga kewenangan itu
adalah: (a) ketika Indonesia berperang dengan negara lain; (b) ketika Indonesia
165
mengadakan perdamaian dengan negara lain; dan (c) ketika Indonesia membuat
perjanjian internasional dengan negara lain.
Kalaupun ada frasa dalam Pasal 11 ayat (1) yang menentukan, “dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat” maka persetujuan DPR dimunculkan agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh Presiden dalam melaksanakan
kewenangannya. Ini mengingat lembaga kepresidenan yang berbeda dengan DPR,
MA dan lembaga negara lainnya, hanya diisi oleh satu orang, yaitu yang menjabat
sebagai Presiden. Oleh karenanya kondisi ini sangat rentan untuk disalah-gunakan.
Kekuasaan asli (original power) dari Presiden untuk mewakili negara dalam tiga
kapasitas tersebut diatas sangat dipahami oleh perumus konstitusi maupun
perumus dari amandemen konstitusi. Tidak heran bila Pasal 11 ayat (1) UUD 1945
tidak mengalami amandemen.
Bila dikontraskan dengan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, tentu ini
sangat berbeda.
Sebagaimana diketahui berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum
mengalami amandemen maka, “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan membentuk Undang-undang tidak lagi
ada ditangan Presiden. Kekuasaan tersebut telah beralih ke tangan DPR
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut
menentukan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.”
Sementara Presiden hanya diberi hak inisiatif untuk mengajukan Undang-undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandeman.
Pasal tersebut menentukan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-
undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”
Keharusan Presiden Mendapat Persetujuan dari DPR dalam Membuat
Perjanjian Internasional
Perlu dipahami di dunia yang telah meng-global negara tidak mungkin hidup secara
terisolasi. Suatu negara membutuhkan negara lain untuk melakukan berbagai
kegiatan, mulai dari perdagangan, memerangi kejahatan lintas negara hingga
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh dunia secara bersama-sama.
Disisi lain dengan adanya kedaulatan di masing-masing negara maka tidak ada
satupun entitas yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari negara.
166
Oleh karenanya berbagai kegiatan antar negara perlu tidak didasarkan pada
hubungan yang subordinatif, tetapi koordinatif. Untuk menguatkan hubungan
koordinatif ini negara-negara menuangkan dalam suatu perjanjian internasional.
Dalam praktik proses pembentukan perjanjian internasional biasanya diinisiasi oleh
suatu negara. Di dalam negara itupun proses tidak dilakukan oleh Kepala
Pemerintahan melainkan oleh para pembantu dan jajaran birokrasinya. Praktek ini
dilakukan meski dalam konstitusi sebuah negara disebutkan bahwa Kepala
Pemerintahan memegang kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional.
Perjanjian internasional bisa dinegosiasikan oleh jajaran dalam pemerintahan yang
lebih rendah dari Kepala Pemerintahan. Dalam hukum internasional siapapun
pejabat yang memiliki kedudukan yang lebih rendah dari Kepala Pemerintahan
dapat secara sah mewakili sebuah negara sepanjang pejabat tersebut memiliki
Kuasa Penuh (Full Powers).
Kuasa Penuh ini merupakan pendelegasian Kepala Pemerintahan kepada pejabat
tertentu, apakah menteri atau pejabat dibawahnya. Menteri yang mendapat
pendelegasian pun tidak harus menteri luar negeri.
Di Indonesia, Kuasa Penuh ini diatur dalam UU PI. Kuasa Penuh diistilahkan
sebagai ‘Surat Kuasa’. Pasal 7 ayat (1) UU PI menyebutkan, “Seseorang yang
mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau
menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian
internasional, memerlukan Surat Kuasa.”
Menurut UU PI Surat Kuasa ini tidak diperlukan apabila yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia adalah Presiden atau Menteri Luar Negeri sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (2) UU PI. Pasal tersebut menentukan, “Pejabat yang tidak
memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 adalah:
(a) Presiden, dan (b) Menteri.” Adapun yang dimaksud Menteri disini berdasarkan
Pasal 1 angka (9) adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar
negeri dan politik luar negeri.
Dalam Vienna Convention on Treaties 1969, Full Powers sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf (c). Full Powers didefinisikan sebagai, “… a document
emanating from the competent authority of a State designating a person or persons
to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty,
for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing
any other act with respect to a treaty.”
167
Menjadi persoalan apabila para pejabat yang menerima Surat Kuasa melakukan
perundingan dan kemudian menyepakati teks suatu perjanjian internasional, bahkan
menandatanganinya, apakah semua perjanjian internasional yang akan diikuti harus
mendapat persetujuan dari DPR?
Pertanyaan ini muncul mengingat substansi perjanjian internasional mengatur
beragam isu. Ada masalah yang berkaitan dengan haluan negara, ada isu yang
akan membebani keuangan negara hingga isu-isu yang sangat teknis. Teknis disini
tidak berarti tidak atau kurang penting, karena semua perjanjian internasional
sebagai dokumen hukum harus dianggap penting. Isu bersifat teknis karena
memang dari sifatnya bukan hal yang mendasar atau fundamental.
Di samping itu ada perjanjian internasional yang disepakati oleh para pembentuknya
memerlukan proses pengesahan (ratification) dalam negeri. Artinya setelah
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka perjanjian internasional tersebut
tidak langsung efektif berlaku.
Di banyak negara, tidak semua perjanjian internasional harus disetujui oleh lembaga
legislatif. Di samping akan memberi beban yang terlalu banyak pada lembaga
legislatif, juga birokrasi akan menjadi panjang, bahkan berimplikasi pada biaya.
Intinya adalah tidak akan realistis bila semua perjanjian internasional harus dibawa
ke lembaga legislatif untuk mendapat persetujuan. Bila ini terjadi maka akan
menjadikan Kepala Pemerintahan tidak lincah dalam melakukan hubungan dengan
negara lain.
Oleh karenanya pengkatagorian perjanjian internasional pun dilakuan.
Pengkatagorian tidak dilakukan atas dasar penting atau tidak penting.
Pengkatagorian dilakukan berdasarkan mana perjanjian internasional yang akan
mempengaruhi secara fundamen suatu negara. Disinilah kemudian di setiap negara
dilakukan penafsiran tentang apa yang dianggap fundamen bagi suatu negara.
Di Indonesia, pengkatagorian pun dilakukan. Pada tahun 1960 Presiden menyurati
Ketua DPR dengan suratnya bernomor 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960
(selanjutnya disingkat “Surat 2826”). Dalam angka (2) surat tersebut, disampaikan
bahwa:
“Menurut pendapat Pemerintah perkataan "perjanjian" di dalam pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan Negara lain, tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty. Jika tidak diartikan, maka Pemerintah akan tidak mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan
168
sewajarnya karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil-kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian sensitifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusionil yang lancar.”
Selanjutnya disimpulkan bahwa perjanjian internasional yang perlu mendapatkan
persetujuan dari DPR, sebagaimana tertuang dalam angka (4) Surat 2826 adalah:
Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian, yang harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden, ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut:
a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negari Negara; dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang.
c. Soal-soal yang menurut Undang-undang Dasar atau menurut sistim perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman.
Surat Presiden 2826 telah menjadi pedoman selama bertahun-tahun, bahkan
dikatagorikan sebagai konvensi ketatanegaraan. Keberadaan Surat 2826 berakhir
dengan pengaturan dalam Pasal 10 UU PI.
Perjanjian Internasional yang Pengesahannya Dilakukan dengan
Keputusan/Peraturan Presiden
Pasal 11 ayat (1) UU PI menyebutkan, “Pengesahan perjanjian internasional yang
materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan
dengan keputusan presiden.” Berdasarkan pasal ini tentu muncul pertanyaan,
“Mengapa ada perjanjian internasional yang pengesahannya dilakukan dengan
Keputusan/Peraturan Presiden?” Ada dua jawaban untuk hal ini.
Pertama, adanya keharusan dalam perjanjian internasional untuk dapat berlaku
secara efektif perlu adanya dokumen pengesahan (document of ratification).
Sebagaimana diketahui ada perjanjian internasional yang berlaku segera setelah
ditandatangani, namun ada pula perjanjian internasional yang mensyarakatkan
disampaikannya dokumen pengesahan sebelum dinyatakan berlaku.
169
Bila suatu perjanjian internasional mensyaratkan dokumen pengesahan sementara
perjanjian internasional tersebut tidak masuk katagori yang diatur dalam Pasal 10
UU PI yang mewajibkan untuk mendapat pengesahan dari DPR, apakah ini menjadi
suatu kebuntuan?
Kebuntuan tidak terjadi karena diselesaikan dengan adanya Pasal 11 ayat (1) UU
PI. Dokumen pengesahan tetap ada meski pengesahan tidak dilakukan oleh DPR.
Alasan kedua mengapa perlu adanya pengesahan berupa Keputusan/Peraturan
Presiden adalah karena hampir seluruh perjanjian internasional, sebagaimana telah
disampaikan, tidak diinisiasi atau dimunculkan oleh Kepala Pemerintahan. Para
pembantu Kepala Pemerintahan, Menteri dan pejabat dibawahnya, yang
menginisiasi suatu perjanjian internasional.
Dalam rangka untuk memastikan bahwa Kepala Pemerintahan menyetujui apa yang
diinisiasi, dirundingkan dan disepakati oleh mereka yang mendapat mandat Kuasa
Penuh, Kepala Pemerintahan perlu memberi pengesahan. Dalam konteks di
Indonesia Kepala Pemerintahan adalah Presiden dan karenanya Presiden pun
dapat melakukan pengesahan. Oleh karenanya tidak hanya DPR yang dapat
melakukan pengesahan.
Perlu dipahami sebagai dokumen pengesahan yang disampaikan oleh pemerintah
Indonesia kepada negara lain atau ditempat penyimpanan (deposit) tidak
disampaikan fisik dari Undang-undang atau Keputusan/Peraturan Presiden tentang
Pengesahan, melainkan berupa surat dari Menteri Luar Negeri yang menyatakan
bahwa perjanjian internasional tertentu telah mendapat pengesahan dari otoritas
yang berwenang.
Ini yang diatur dalam Pasal 14 UU PI. Pasal ini menyebutkan, “Menteri
menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Pemerintah Republik
Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara
pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi
internasional.”
Konsultasi ke DPR
Dalam Pasal 2 UU PI disebutkan bahwa, “Menteri memberikan pertimbangan politis
dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.”
170
Ketentuan Pasal 2 ini berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Luar
Negeri berkaitan dengan perjanjian internasional. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya pemegang kekuasaan dalam membuat perjanjian internasional
berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 adalah Presiden.
Dalam konteks Presiden sebagai wakil dari Pemerintah Republik Indonesia ketika
berhadapan dengan negara lain atau subyek hukum internasional selain negara dan
akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional maka Presiden perlu
diberikan berbagai pertimbangan.
Disinilah peran penting dari Menteri Luar Negeri berdasarkan Pasal 2 UU PI dimana
Menteri Luar Negeri mempunyai tugas memberi pertimbangan politis dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional…”
Lebih lanjut Pasal 2 UU PI juga memberikan rambu-rambu yaitu bila sejak awal telah
diketahui bahwa perjanjian internasional yang akan diikuti oleh Negara Republik
Indonesia ternyata menyangkut kepentingan publik, maka Menteri Luar Negeri
mempunyai kewajiban untuk berkonsultasi dengan DPR. Ini dituangkan dalam Pasal
2 UU PI di frasa, “dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
hal yang menyangkut kepentingan publik.”
Istilah untuk Perjanjian Internasional
Dalam angka (3) Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 disebutkan sebagai berikut:
Untuk menjamin kelancaran di dalam pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai tertera di dalam pasal 11 Undang-undang Dasar, Pemerintah akan menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja (treaties), yang diperincikan di bawah, sedangkan perjanjian lain (agreements) akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui.
Mencermati apa yang disampaikan oleh pemerintah tersebut seolah ada
pembedaaan antara treaties dan agreements. Adapan perjanjian internasional yang
masuk dalam katagori treaties adalah perjanjian-perjanjian (internasional) yang
terpenting. Sementara perjanjian internasional yang masuk dalam katagori
agreements adalah perjanjian lain (namun bukan perjanjian yang kurang atau tidak
penting).
171
Ada dua isu yang saya ingin sampaikan dalam kesempatan ini. Pertama adalah isu
penamaan atau penggunaan istilah treaties and agreements. Isu kedua yang
berkaitan kata ‘lain’ dalam frasa ‘perjanjian lain’.
Pembedaan antara treaties dan agreements sebagaimana dinyatakan dalam Surat
Presiden Nomor 2826/HK/1960 dalam pandangan ahli tidaklah tepat.
Perjanjian internasional tidak seharusnya dilihat dari penamaan atau istilah yang
digunakan untuk menentukan penting atau yang lain. Penamaan atau istilah atas
suatu perjanjian internasional hanyalah suatu kesepakatan saat sebuah perjanjian
internasional dirancang.
Terlebih lagi dalam situasi suatu negara melakukan aksesi atas suatu perjanjian
internasional dengan nama tertentu maka negara tersebut tidak memiliki kendali
untuk menentukan nama atau istilah yang digunakan bagi perjanjian internasional.
Nama atau istilah yang digunakan atas suatu perjanjian internasional tidak
merupakan instrumen untuk menentukan mana yang penting dan mana yang
lainnya dari suatu perjanjian internasional.
Untuk mengetahui mana yang penting dan mana yang lainnya harus dilihat dari
substansi atau materi muatan yang diatur dalam perjanjian internasional. Sebagai
contoh meski digunakan istilah Agreement namun Agreement Establishing the
World Trade Organization merupakan suatu perjanjian internasional yang disahkan
dengan Undang-undang. Demikian pula dengan sejumlah perjanjian internasional
yang menggunakan istilah Convention atau Covenant banyak yang disahkan
dengan Undang-undang, seperti Convention on the Law of the Sea atau
International Covenant on Civil and Political Rights.
Intinya penamaan atau penggunaan istilah atas suatu perjanjian internasional tidak
mempengaruhi mana yang harus disahkan oleh DPR. Faktor yang mempengaruhi
adalah substansi atau materi muatan yang diatur dalam perjanjian internasional.
Selanjutnya perkenankanlah ahli menyampaikan pandangan terkait kata ‘lain’ dalam
frasa ‘perjanjian lain.’ Ahli ingin membahas hal ini karena kemungkinan frasa
‘perjanjian lain’ dikaitkan dengan penafsiran dari Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang
menggunakan frasa ‘perjanjian internasional lainnya’.
Frasa ‘perjanjian lain’ dalam Surat 2826 tidak seharusnya dipadankan dengan frasa
‘perjanjian internasional lainnya’ dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Dua frasa ini
mengandung dua hal yang berbeda dan seharusnya mendapatkan penafsiran yang
berbeda pula.
172
Frasa ‘perjanjian internasional lainnya’ dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
sebagaimana telah ahli sampaikan di awal Keterangan ini mengacu pada perjanjian
internasional yang dibuat dengan subyek hukum internasional selain negara.
Sementara ‘perjanjian lain’ dalam Surat 2826 merupakan pembedaan mana yang
harus mendapat pengesahan oleh DPR dan mana yang hanya untuk diketahui oleh
DPR.
Pelibatan/Partisipasi Masyarakat dalam Keikutsertaan Indonesia dalam suatu
Perjanjian Internasional
Apakah dengan tidak adanya persetujuan dari DPR maka masyarakat kehilangan
kesempatan untuk tidak dilibatkan atau berpartisipasi dalam keikutsertaan Indonesia
dalam suatu perjanjian internasional? Tentu jawabannya adalah tidak.
Pelibatan masyarakat dalam suatu perjanjian internasional tidak selalu berkorelasi
dengan adanya ‘persetujuan’ dari DPR.
Pelibatan masyarakat bisa melalui forum-forum diskusi baik yang diselenggarakan
oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi bahkan yang diinisiasi oleh
kementerian yang memiliki suatu kepentingan atas perjanjian internasional.
Pelibatan tidak hanya ketika suatu perjanjian internasional dirundingkan atau pada
saat akan disahkan, tetapi sejak awal mula perjanjian internasional dibutuhkan
namun belum ada teksnya.
Harus diakui pelibatan masyarakat saat ini memang belum dilakukan secara masif
apalagi menjadi komponen yang perlu dipertimbangkan mengingat pada masa
lampau bila berkaitan dengan masalah-masalah hubungan internasional
masyarakat menganggap sebagai masalah pemerintah.
Namun di era sekarang tentu cara berpikir demikian telah usang. Banyak isu dalam
suatu perjanjian internasional dimana masyarakat perlu didengar suaranya.
Disinilah pentingnya pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan diberi
kesempatan yang luas untuk memberikan pandangan-pandangannya.
Namun ahli berpendapat bahwa kesempatan yang diinginkan oleh masyarakat dan
dilakukan oleh pemerintah tidak seharusnya dilakukan dengan pembatalan
sejumlah frasa dalam UU PI. Pembatalan sejumlah frasa justru akan mengubah
secara fundamental konstruksi prosedur dan proses suatu perjanjian internasional
sejak diwacanakan hingga pada akhirnya diikuti, bahkan Indonesia keluar dari suatu
perjanjian internsional.
173
Pelibatan masyarakat dalam keikutsertaan Indonesia dalam suatu perjanjian
internasional perlu diatur. Pengaturan bisa dilakukan saat UU PI dilakukan
amandemen.
Namun ini semua tidak berarti tanpa pasal yang mengatur pelibatan masyarakat,
pemerintah menutup kemungkinan pelibatan masyarakat dalam suatu perjanjian
internasional. Pemerintah modern yang transparan dalam menghadapi masyarakat
yang sadar akan pentingnya hubungan internasional bagi mereka dan well-informed
terhadap isu-isu global sudah sewajarnya untuk memberi ruang bagi pelibatan
masyarakat dan membangun terus kapasitas masyarakat untuk terlibat.
Selanjutnya Ahli memberikan keterangan tambahan dalam persidangan,
yang keterangannya adalah sebagai berikut:
- Terdapat setidaknya 2 macam perjanjian internasional dilihat dari
keberlakuannya, yaitu perjanjian yang self executing dan perjanjian yang non
self executing. Perjanjian internasional yang termasuk dalam self executing
misalnya treaty contract terkait dengan perjanjian perbatasan antara Indonesia
dengan Malaysia, Indonesia dengan Filipina, Indonesia dengan Singapura,
apabila treaty contract tersebut telah disepakati dan ada pertukaran dokumen
ratifikasi antar para pihak dalam perjanjian tersebut maka seharusnya saat itu
juga sudah berlaku ke hukum domestik masing-masing tanpa perlu menunggu
adanya peraturan hukum nasional. Sedangkan yang termasuk perjanjian
internasional non self executing adalah norma dalam perjanjian internasional
yang harus diterjemahkan ke dalam hukum domestic atau hukum nasional,
misalkan UN Convention Againts Corupption (UNCAC) yang menentukan
bahwa negara yang sudah meratifikasi maka sudah harus memipiliki definisi
korupsi yang sama sehingga dengan demikian hal-hal yang diatur dalam
UNCAC kemudian coba diterjemahkan kedalam peraturan perundang-
undangan nasional seperti KUHP agar pengaturan mengenai korupsi sama
dengan yang dimaksud dalam UNCAC.
- Yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya dalam Pasal 11 ayat (2)
UUD 1945, menurut ahli adalah perjanjian internasional antara negara dengan
subjek hukum internasional selain negara dan dianggap penting. Dengan
demikian, maka menurut Ahli, batu uji yang digunakan oleh para Pemohon
adalah tidak tepat karena sebenarnya Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tidak
membicarakan mengenai perjanjian internasional tersebut penting atau tidak
174
penting tetapi justru mengenai perjanjian internasional antara negara dengan
subjek hukum internasional selain negara;
- Menurut ahli, yang dapat menilai perjanjian internasional tersebut penting atau
tidak adalah merupakan wilayah Presiden. Karena Presiden ketika berkonsultasi
dengan DPR terkait perjanjian internasional tersebut didahului dengan telaahan
dari Presiden sendiri. Konsekuensi dari kesalahan Presiden dalam menilai
perjanjian internasional tersebut, misalkan saja dari perjanjian internasional
yang penting tetapi dinilai tidak penting, maka ada proses impeachment.
Dengan proses seperti itu, kemudian penilaian penting dan tidak penting pada
akhirnya diserahkan kepada kementerian terkait;
- Partisipasi masyarakat dalam hal ini sebenarnya dapat dilakukan dan difasilitasi
melalui LSM, atau setiap kementerian mengadakan kegiatan yang dapat
memberi ruang partisipasi publik tersebut. Bahkan keberadaan Mahkamah
Konstitusi memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan ketika
undang-undang yang merupakan hasil ratifikasi sebuah perjanjian internasional
pada kenyataannya justru merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Bahwa selain keterangan ahli yang didengar dalam persidangan,
Presiden pun mengajukan keterangan ahli lain a.n Abdul Kadir Jailani dan Eddy
Pratomo, yang diajukan secara tertulis dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 26 Juli 2018, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Abdul Kadir Jailani
1. Keterangan ini disampaikan hanya sebatas mengenai salah satu Petitum
Pemohon dalam perkara a quo yang menegaskan bahwa Pasal 10 UU
PI bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 (Petitum 2.3).
2. Pemohon berpandangan bahwa Pasal 10 UU PI bertentangan dengan
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa "menimbulkan akibat yang
luas don mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara don perubahan atau pembentukan undang-undang"
dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian,
pertahanan dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan
batas wilayah Negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak
berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e)
175
pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar
negeri.
3. Menurut hemat kami, pandangan Pemohon tersebut tidak didukung oleh
argumentasi hukum yang memadai. Sehubungan dengan hal itu, kami
akan menyampaikan beberapa fakta hukum yang kiranya dapat menjadi
pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan
perkara a quo, yaitu sebagai berikut:
a) Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah suatu norma baru yang dibentuk
khusus untuk mengatur pembuatan perjanjian internasional oleh
Indonesia dengan Organisasi lnternasional, dan keberadaannya tidak
mempengaruhi konstitusionalitas Pasal 10 UU Pl;
b) Perjanjian Perlindungan lnvestasi (PPI) yang dibuat dengan "negara
lain" tidak termasuk dalam perjanjian internasional yang harus
disahkan dengan undang- undang sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 10 UU Pl.
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah suatu norma baru yang dibentuk
khusus untuk mengatur pembuatan perjanjian internasional oleh
Indonesia dengan Organisasi lnternasional, dan keberadaannya tidak
mempengaruhi konstitusionalitas Pasal 10 UU Pl.
4. UU PI diundangkan pada tanggal 23 Oktober 2000 sebelum Perubahan
Ketiga terhadap Pasal 11 UUD 1945 dilakukan. Pembentukan UU P I
dimaksudkan sebagai pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945 dengan
mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif dalam
pembuatan dan pengesahan perjanjian (vide: Bagian Umum Penjelasan
UU PI).
5. Meskipun Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur pembuatan perjanjian
internasional dengan "negara lain", Pasal 4 ayat (1) UU PI memberi
kewenangan kepada Pemerintah untuk membuat perjanjian internasional
dengan Organisasi lnternasional dan subyek hukum internasional
lainnya. Dengan demikian, semua ketentuan mengenai pembuatan
perjanjian internasional dengan negara lain dalam UU PI diterapkan
secara mutatis mutandis terhadap pembuatan perjanjian perjanjian
internasional dengan Organisasi lnternasionaldan subyek hukum
internasional lainnya (Sebagai catatan: di tingkat hukum internasional,
176
perjanjian internasional yang dibuat antar negara diatur dalam 1969
Vienna Convention on Law of Treaties dan perjanjian internasonal yang
dibuat oleh Organisasi lnternasional diatur dalam 1986 Vienna
Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizational).
6. Situasi tersebut berubah dan menjadi berbeda setelah Perubahan Ketiga
terhadap UUD 1945 yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR pada
tanggal 1-9 November 2001. Ketentuan Pasal tersebut berubah menjadi
berbunyi:
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian denqan
negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbu/kan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
7. Frase "perjanjian internasional lainnya" dalam Pasal 11 ayat (2) UUD
1945 secara jelas menunjukkan bahwa ketentuan tersebut mengatur
perjanjian internasional yang "berbeda" dengan perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah dengan "negara lain" sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat
(1) UUD 1945.
8. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 merupakan suatu norma baru yang
secara khusus mengatur kriteria-kriteria perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah dengan "Organisasi lnternasional" yang memerlukan
persetujuan DPR. Pemahaman bahwa frase "perjanjian internasional
lainnya" sepatutnya difahami sesuai maksud perumus Perubahan Ketiga
UUD 1945. Beberapa anggota MPR yang terlibat langsung dalam
Perubahan Pasal 11 UUD1945 menyatakan bahwa frase "perjanjian
internasional lainnya" merujuk pada badan atau Organisasi lnternasional.
9. Konsekuensi yuridis pemberlakuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah
dikeluarkannya perjanjian internasional dengan "Organisasi lnternasional"
177
dari ruang lingkup penerapan Pasal 10 UU Pl. Dengan demikian, kriteria
perjanjian internasional dengan "Organisasi lnternasional" yang
memerlukan persetujuan DPR sepenuhnya ditentukan oleh Pasal 11 ayat
(2) UUD 1945, yaitu perjanjian yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat..
10. Meskipun demikian, kriteria-kriteria perjanjian dalam Pasal 10 UU Pl masih
tetap berlaku walaupun terbatas hanya terhadap perjanjian internasional
yang dibuat dengan "negara lainnya" sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) UUD 1945. Situasi ini berbeda dengan keadaan sebelum
diberlakukannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dimana Pasal 10 UU Pl
berlaku untuk perjanjian internasioal yang dibuat baik dengan "negara lain"
maupun dengan "Organisasi lnternasional" sebagaimana dijelaskan dalam
butir 5.
11. Penetapan kriteria atau klafisikasi perjanjian internasional dalam Pasal 10
UU Pl juga tidak bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a. Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 secara tegas memandatkan pembentukan
suatu undang-undang yang memuat ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional;
b. Berdasarkan mandat tersebut, pembentuk undang-undang memiliki
kewenangan untuk menciptakan suatu norma baru untuk menerapkan
ketentuan Konstitusi tersebut sepanjang prosedur pembentukan dan
materi muatan norma tersebut sejalan dengan UUD 1945;
c. Materi muatan Pasal 10 UU PI juga pada dasarnya merupakan
panduan praktis bagi pelaksanaan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.
12. Dari perspektif teoritis, pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Hans
Ke I sen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law & State yang
pada pokoknya menjelaskan bahwa setiap norma dapat diciptakan
berdasarkan prosedur dan materi muatannya sejalan dengan ketentuan
norma yang lebih tinggi. Hans Kelsen bahkan menegaskan bahwa:
"... Most legal acts are acts of both creation and law application. With each of these legal acts, the higher-level norm is applied and a lower level norm is created... "
178
13. Atas dasar itu, fakta- fakta hukum tersebut di atas menguatkan argumentasi
Pemerintah yang secara khusus menekankan bahwa:
"... UUD 1945 telah memberi mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur suatu materi lebih lanjut mengenai pembuatan perjanjian internasional namun tidak memberikan batasan pengaturan materinya. Dalam arti, UUD 1945 tidak menentukan bentuk don model persetujuan DPR, sehingga dapat disimpulkan bahwa penentuan terhadap bentuk don model persetujuan serta kriteria lebih lanjut mengenai pembuatan perjanjian internasional yang membutuhkan
14. Di samping hal-hal tersebut di atas, disampaikan pula beberapa hal penting
lainnya yang perlu diperhatikan untuk memperkuat argumentasi tentang
konstitusionalitas Pasal 10 UU Pl, yaitu:
a. Penetapan kriteria atau klasifikasi perjanjian internasional dalam Pasal
10 UU PI juga dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan
keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan
undang-undang (vide Penjelasan Pasal 10 UU Pl);
b. Kriteria atua klasifikasi perjanjian internasional tersebut pada dasarnya
bersifat dinamis dan dapat disesuaikan menurut perkembangan dan
tantangan hukum ketatanegaraan melalui perubahan UU PI di masa
mendatang;
c. Penetapan kriteria perjanjian tertentu yang memerlukan persetujuan
parlemen merupakan praktek konstitusional yang terjadi di banyak
Negara.
15. Meskipun demikian, kami menyadari adanya persoalan hukum lain
berkaitan dengan kriteria pengesahan perjanjian internasional yang
memerlukan persetujuan DPR. Persoalan ini muncul dari pengaturan
mengenai kewenangan DPR dalam Pasal 71 huruf h Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor
2 Tahun 2018 (UU MD3). Ketentuan Pasal tersebut menegaskan bahwa:
Memberi persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang
menimbulkan akibat luas don mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban
16. Dengan memperhatikan rumusannya, Pasal tersebut dapat diterapkan
dalam konteks pembuatan perjanjian internasional dengan negara lain atau
179
organisasi internasional. Dengan demikian, meskipun substansinya sangat
berbeda, Pasal 10 UU PI dan Pasal 71 huruf h UU MD3 juga mengatur hal
yang sama, yaitu mengatur kriteria perjanjian internasional dengan negara
lain yang memerlukan persetujuan DPR.
17. Dengan kata lain, saat ini terdapat dua macam kriteria hukum yang
berbeda satu sama lain untuk menentukan perjanjian internasional dengan
negara lain yang memerlukan persetujuan DPR. Pasal 10 UU PI
menggunakan kriteria-kriteria berdasarkan materi perjanjiannya.
Sedangkan Pasal 71 huruf h UU MD3 menerapkan kriteria-kriteria
berdasarkan kualifikasi dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian-perjanjian
tersebut.
18. Menurut hemat kami, hal ini merupakan salah satu persoalan hukum
ketatanegaraan yang berkaitan dengan proses pembuatan perjanjian
internasional. Meskipun persoalan hukum tersebut tidak berkaitan langsung
dengan perkara a quo, kami melihat ada beberapa pertanyaan hukum yang
mungkin juga relevan untuk dijadikan bahan pertimbangan Majelis Hakim,
yaitu antara lain:
a. Bagaimana hubungan ketentuan Pasal 10 UU P I dengan Pasal 71
huruf h UU MD3?;
b. Apakah asas lex posterior derogate legi priori (dalam peraturan
perundangan yang sederajat, peraturan perundangan yang paling baru
menghapuskan berlakunya peraturan perundangan yang lebih lama)
dapat diterapkan untuk menjelaskan hubungan ketentuan Pasal 10 UU
PI dengan Pasal 71 huruf h UU MD3?;
Perjanjian Perlindungan lnvestasi (PP/) yang dibuat dengan "negara
lain" tidak termasuk dalam perjanjian internasional yang harus
disahkan dengan undang-undang sebagaimana yang dimaksuddalam
Pasal 10 UU Pl
19. Untuk membuktikan inkonstitusionalitas Pasal 10 UU PI, berpandangan
bahwa PPI tidak termasuk perjanjian internasional yang menyangkut
persoalan prosedural dan teknis, sehingga seharusnya disahkan dengan
undang-undang. Menurut Pemohon, PPI menyangkut ketentuan yang di
dalamnya berisi kewajiban Indonesia untuk tidak melakukan hal-hal yang
180
merugikan investor asing, seperti tindakan diskriminasi, tindakan
nasionalisasi, serta tindakan pengamanan terhadap investor asing. Jika
Indonesia melanggar maka Indonesia dapat digugat di arbitrase
internasional. Dengan demikian, PPI merupakan Perjanjian yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan
pembentukan atau perubahan undang-undang sebagaimana dikehandaki
oleh Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
20. Untuk memperkuat argumentasinya tersebut, Pemohon merujuk pada
tulisan kami yang berjudul Indonesia's Perspective on Review on
International Agreement dalam buku Rethinking Bilateral Investment
Treaties: Critical Issues and Policy Choices yang diterbitkan secara
bersama sama oleh Both Ends, Madhyam dan SOMO pada tahun 2016 di
Belanda dan lndia..
21. Pemohon secara umum menyoroti penjelasan kami mengenai latar
belakang peninjauan kembali PPI yang telah dibuat oleh Pemerintah
Indonesia. Dalam Tulisan tersebut kami menjelaskan latar belakang
peninjauan kembali tersebut sebagai berikut:
"The rationales for the review conducted by Indonesia are essentially
similar to the rationales for reviews undertaken by other countries.
First, the review has been undertaken to strike a balance between
investor protection and national sovereignty, as indicated by Mrs.
Retno Marsudi in her opening remarks at the Regional Interactive
Meeting on the Development of Investment Treaty Models hosted by
the Ministry of Foreign Affairs, International Institute for Sustainable
Development (I/SD) and United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD).
Second, most provisions of the existing/IA are outdated, as they
grant extensively broad protections and rights for foreign investors,
leaving the host state with little to no policy space to implement its
own development goals. Indonesia also believes that the current
regime of I/As does not grant sufficient space for sustainable
development. Therefore, a general modernization is needed to
181
update the existing outdated I/As in order to preserve the right for
states to exercise their regulatory and policy space.
Third, one of Indonesia's greatest concerns regarding I/As is the
provision of the Investor-State Dispute Settlement {ISDS}, which has
increased Indonesia's exposure to investor claims in international
arbitration. To Indonesia, ISDS provisions seem to be problematic and
their benefits are far from clear. They also create uneven playing
fields between national and foreign corporations. It is expected that
the inclusion of ISDS provisions will be a highly contentious issue in
the ratification process.
To date, Indonesia has been involved in at least six ISDS cases. In
comparison to other Association of South-East Asian Nations
{ASEAN} countries, Indonesia has the highest number of international
arbitration cases. The decision to undertake the review was
particularly encouraged by a billion-dollar lawsuit by the UK-listed
Churchill Mining and a frivolous claim arising from a bailout following
the collapse of a private bank (Rafat Ali Rizvi v. Indonesia). Because
of this, Indonesia's then• President, Mr. Susi/a Bambang Yudhoyono,
stressed that the Government will not let multinational companies do
as they please with their international back-up and put pressure on
developing countries such as Indonesia.
Similarly, Jan Knoerich and Axel Berger, in their seminal work
Friends or Foes? Interactions Between Indonesia's International
Investment Agreements and National Investment Law, held that,
because the ISDS clause is being invoked by foreign investors with
increased frequency, I/As are beginning to have serious
repercussions for developing countries, particularly for Indonesia.
Fourth, the provisions in IIAs may potentially override national
legislation. Moreover, the decisions of international arbitration may
possibly supersede thedecisions of domestic courts. These two
considerations are well-founded considering that the current IIAs
regime has sometimes appeared to be superior to national law,
182
which will raise questions of the law applicable for either the investors
or the host states.
From the aforementioned rationales of the review, it can be safely
assumed that Indonesia has not lost faith in I/As in general. Indonesia
merely intends to modernize and renegotiate its I/As with a view to
providing greater capacity to regulate in the public interest. For that
purpose, excessive benefits to foreign investors that may prejudice
Indonesia's policy space need to be reexamined. The new investment
regime should aim to foster investments that do not only reap benefits
for the host state but also contribute to the overall development of
that particular state. Such review processes also include the need
to place procedural and substantive restraints on foreign investors
from lodging international claims against Indonesia. '
22. Tulisan kami tersebut pada pokoknya merupakan suatu analisa kritis
mengenai PPI yang sejalan dengan berbagai pandangan pakar hukum
investasi internasional, sehingga mendorong banyak negara melakukan
peninjauan kembali terhadap PPI yang telah mereka buat. Para pakar
tersebut melihat sebagian besar ketentuan PPI dianggap telah memberikan
hak-hak yang terlampau luas kepada investor asing sehingga dapat
mempengaruhi kapasitas dan kemandirian negara dalam mengatur
kebijakan strategi pembangunan nasionalnya. Aikaterini Titi, seorang pakar
hukum investasi internasional, mengatakan ketentuan-ketentuan PPI dapat
mempengaruhi pemenuhan hak dan keberpihakan terhadap kepentingan
negara untuk "mengatur" (right to regulate/regulatory interest di bidang-
bidang tertentu yang strategis (misalnya keamanan, ketertiban umum,
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lingkungan hidup,
ketenagakerjaan, kebudayaan nasional dan kemampuan untuk
menyelesaikan suatu krisis ekonomi). Meskipun demikian, kami tetap
berpandangan bahwa PPI tidak termasuk dalam perjanjian internasional
yang harus disahkan dengan undang- undang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 UU Pl. Oleh karena itu, rujukan Pemohon pada Tulisan
kami tersebut tidak dapat digunakan untuk mendukung argumentasi
Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 10 UU Pl.
183
23. Meskipun PPI dapat mempengaruhi kebebasan negara untuk mengambil
kebijakan nasional dan membuka kemungkinan gugatan swasta terhadap
negara di depan arbitrasi internasional, pengesahan PPI tidak harus
dilakukan dengan undang-undang. Pandangan ini didasarkan pada
pertimbangan -pertimbangan sebagai berikut:
a. Praktik pengesahan dengan PPI dengan "Keputusan
Presiden"I"Peraturan Presiden" telah dilakukan sejak pertama kali
pembuatan PPI pada tahun 1968 (catatan: hanya 12 dari 71 PPI yang
dibuat Pemerintah setelah berlakunya UU Pl tanggal 23 Oktober 2000).
Meskipun semua PPI tersebut disahkan dengan Keputusan
Presiden/Peraturan Presiden, Pemerintah dan DPR melalui Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak
mempersoalkan praktek pengesahan dan bahkan menegaskan kembali
keberlakuan semua PPI yang dibuat sebelum tanggal 26 April 2007
(vide Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal)
b. Materi muatan PPI tidak berkaitan langsung dengan kriteria yang telah
ditentukan di Pasal 10 UU Pl, yaitu
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
pembentukan kaidah hukum baru;
pinjaman dan/atau hibah luar negeri;
c. Materi muatan PPI tidak berkaitan langsung dengan persoalan
"kedaulatan atau hak berdaulat" sebagaimana diatur dalam Pasal 10
UU Pl. Dalam praktik frase "kedaulatan atau hak berdaulat" dalam
Pasal tersebut difahami hanya dalam konteks "kewilayahan".
Penafsiran ini didasarkan pertimbangan bahwa frase tersebut hanya
relevan dalam konteks wilayah laut, dimana frase "Kedaulatan dan hak
berdaulat" lazimnya digunakan untuk menjelaskan kewenangan negara
di Laut Wilayah atau Zona Ekonomi Ekslusif dan Landas Kontinen
184
sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut)
yang telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985).
d. Pembatasan kewenangan negara untuk mengambil kebijakan nasional
dalam suatu PPI merupakan suatu konsekuensi logis dari pembuatan
suatu perjanjian internasional, sepanjang pembatasan tersebut
diperlukan untuk mencegah tindakan sewenang- wenang oleh negara.
Sebagaimana diketahui, setiap pembuatan perjanjian internasional,
termasuk PPI, pada pokoknya dimaksudkan untuk menyepakati norma
- norma hukum internasional yang akan mengontrol dan membatasi
kewenangan negara dalam melakukan hubungan internasional.
Pembatasan terhadap kewenangan tersebut dapat dibenarkan karena
hakekatnya kewenangan negara tersebut "bukan tidak terbatas".
Negara dapat bertindak apa saja sepanjang bukan merupakan abuse
of power. Tindakan negara seperti itu pada gilirannya dapat merugikan
kepentingan suatu negara dalam rangka menarik investasi asing
dengan memberikan komitmen perlindungan terhadap investor asing.
Oleh karena itu, Jonathan Bonnaticha mengatakan:
"the use of this unqualified conception of sovereignty as a basis for normative critique is problematic. It is self-evident that investment treaties place limits on host state' sovereignty, in the sense that they require states to compensate investors for otherwise permissible exercises of governmental power. The same could be said for any rule of international law.
e. Materi PPI pokoknya merupakan penegasan kembali atau penjabaran
lebih jauh mengenai komitmen-komitmen Indonesia yang sudah
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Fakta ini dapat disimpulkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penamanan
Modal secara khusus mengakui hak-hak istimewa yang diberikan
kepada investor asing berdasarkan suatu PPI;
Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang dimaksud mengatur kemungkinan
penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan investor asing
185
melalui arbitrase internasional berdasarkan kesepakatan para pihak
yang lazimnya dituangkan dalam salah satu ketentuan PPI.
Pasal 36 Undang-Undang tersebut mewajibkan agar setiap PPI
yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia disesuaikan dengan
undang-undang dimaksud. Sedangkan menurut Pasal 35 Undang-
Undang dimaksud PPI yang sudah disetujui Pemerintah tetap
berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
24. Selanjutnya, seperti disampaikan dalam butir-butir sebelumnya, argumentasi
pemohon yang mengkait PPI dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 juga
kurang tepat. Mengingat ketentuan tersebut pada dasarnya hanya mengatur
kriteria perjanjian internasional yang dibuat Pemerintah dengan "Organisasi
lnternasional", Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tidak dapat diterapkan terhadap
PPI yang lazimnya dibuat dengan negara lain. Ketentuan dalam Pasal
tersebut seyogyannya hanya dapat diterapkan terhadap PPI yang dibuat oleh
Pemerintah dengan suatu organisasi "Organisasi lnternasional", misalnya
dengan Uni Eropa.
2. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A.
A. Pendahuluan
Setelah mencermati butir-butir permohonan pemohon, keterangan
Pemerintah dan keterangan saksi-saksi dari pihak pemohon, ahli ingin mengajukan
pandangan bahwa substansi uji materi pada dasarnya lebih terkait dengan diskursus
bagaimana menempatkan partisipasi rakyat dalam proses pembuatan perjanjian
internasional ketimbang isu konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar.
Namun demikian, ahli juga melihat adanya kesulitan dan ketidakjelasan
permohonan Pemohon dalam menempatkan dimensi partisipasi rakyat tersebut.
Apakah yang dimaksud disini adalah menguatkan peran DPR dalam proses
pembuatan perjanjian internasional yang berarti juga menguatkan peran rakyat.
Atau menguatkan mekanisme non kelembagaan dimana rakyat baik secara individu
maupun berkelompok dapat berpartisipasi dalam pembuatan perjanjian
internasional. Namun, demikian ahli mencoba memahami permohonan ini sesuai
kedua konteks tersebut, baik partisipasi DPR maupun partisipasi rakyat non
186
kelembagaan DPR baik secara individu maupun kelompok dalam pembuatan
perjanjian internasional.
B. Pandangan hukum terhadap Dalil Pertama Pemohon
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena telah mengganti frase
“dengan persetujuan DPR” dengan frase “berkonsultasi dengan DPR dalam
hal menyangkut kepentingan Publik”.
Penjelasan Ahli:
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI)
menurut pandangan saya harus dipahami secara holistik sesuai sejarah hukum.
UUPI ditetapkan untuk memberikan landasan hukum prosedural untuk
melaksanakan Pasal 11 UUD 1945 baik sebelum ataupun setelah amandemen.
Sehingga ketika kita harus menilai apakah Pasal 2 UU PI bertentangan dengan
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 atau bahkan keseluruhan ketentuan Pasal 11 UUD
1945, memahaminya pun harus secara holistik terutama apabila dikaitkan dengan
isu partisipasi rakyat dalam pembuatan perjanjian internasional.
Pertama, yang harus ditinjau adalah siapakah di lingkup negara yang memiliki
kewenangan untuk membuat perjanjian internasional (treaty making power).
Jawaban langsung yang bisa disampaikan disini dalam lingkup Indonesia adalah
kekuasaan eksekutif yang dalam hal ini dicerminkan melalui kekuasaan Presiden.
Mengapa Presiden?
Marilah kita bersama-sama mencermati Pasal 11 UUD 1945, khususnya
Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen yang pada intinya menggariskan:
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Pasal ini secara struktur diletakan di Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan
Negara (executive power) yang berada di tangan Presiden. Konstitusi mengakui
bahwa Presiden sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan untuk
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Sehingga kewenangan membuat perjanjian dengan negara lain pada dasarnya
adalah kewenangan eksekutif.
187
Secara semantik ketentuan Pasal 11 UUD 1945 mirip dengan ketentuan
Pasal 13 Konstitusi Meiji (1890) yang terjemahan bahasa Inggrisnya berbunyi “The
Emperor declares war, makes peace, and concludes treaties”.
Secara struktur, kewenangan Kaisar untuk menyatakan perang, membuat
perdamaian dan membuat perjanjian internasional berada dibawah Bab mengenai
Kaisar (Emperor). Sehingga secara struktur terdapat kemiripan yang mencerminkan
bahwa kewenangan membuat perjanjian internasional adalah kewenangan asli
eksekutif yang dalam konteks Jepang pada waktu itu berada ditangan Kaisar dan
dalam konteks Konstitusi Indonesia berada ditangan Presiden.
Mengingat UUD 1945 menganut paham demokrasi, maka kewenangan asli
membuat perjanjian internasional tersebut, kemudian dibagi dengan DPR, sehingga
dalam konteks Indonesia ditambahkan dengan kata “persetujuan DPR”. Namun
demikian disadari, bahwa UUD 1945 ataupun risalah pembuatan UUD 1945 tidak
mengungkap kapan persetujuan DPR diberikan, apakah sebelum atau sesudah
suatu perjanjian internasional telah disepakati atau ditandatangani oleh Presiden
(Eksekutif). Sesuai praktik pembuatan perjanjian internasional selama Republik
Indonesia berdiri, “persetujuan DPR” selalu diletakkan setelah selesainya proses
perundingan atau setelah Presiden (Eksekutif) menyepakati atau menandatangani
suatu perjanjian internasional, yaitu sebelum proses pengikatan (consent to be
bound).
Praktik ini dikuatkan dengan implementasi Surat Presiden RI kepada Ketua
DPRGR Nomor 2826 Tahun 1960 yang menempatkan praktik persetujuan DPR
pada tahap akhir sebelum negara melakukan pengikatan terhadap perjanjian
internasional. Penempatan proses “persetujuan DPR” pada tahap akhir kiranya
dapat dipahami sebagai pengejawantahan prinsip pembagian kekuasaan (division
of power) yang dianut oleh UUD 1945 dimana pembuatan perjanjian internasional
adalah kewenangan asli Presiden. Namun mengingat DPR memiliki kewenangan
legislasi, persetujuan DPR sesuai konstruksi pembagian kekuasaan UUD 1945
harus dicerminkan dalam bentuk proses legislasi. Sehingga tidak mengherankan
apabila bentuk persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional dituangkan dalam
bentuk legislasi yaitu pengesahan dengan Undang Undang.
Penempatan proses persetujuan DPR pada tahap akhir pembuatan
perjanjian internasional, yaitu sebelum Presiden (eksekutif) melakukan proses
pengikatan terhadap perjanjian internasional pada dasarnya juga mencerminkan
188
demokratisasi dalam proses pembuatan perjanjian internasional. Rakyat melalui
DPR diberikan kewenangan untuk “setuju” atau “tidak setuju” terhadap suatu
perjanjian internasional.
Ahli juga menyadari bahwa Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
merumuskan ketentuan Pasal tersebut dengan kata “membuat” perjanjian dengan
negara lain/perjanjian internasional. Apabila ketentuan dimaksud dihadapkan
dengan UUPI secara holistik, maka kata “membuat” dapat ditafsirkan mencerminkan
keseluruhan proses pembuatan perjanjian internasional dari tahap perencanaan,
perundingan hingga pengikatan. Namun mengingat kewenangan DPR dalam
konteks pembagian kekuasaan antara lembaga Pemerintah adalah legislasi, maka
keterlibatan DPR haruslah pada tahap yang tidak terkait dengan kewenangan
eksekutif yang kemudian dicerminkan dalam proses persetujuan DPR dalam bentuk
produk legislasi.
Sesuai dengan diatas, maka struktur UUPI membagi kewenangan dalam
proses “membuat” perjanjian internasional atas dua, yaitu proses “pembuatan” dan
“pengesahan”. Proses “pembuatan” mencerminkan mekanisme operasionalisasi
pelaksanaan kewenangan asli Presiden (eksekutif), sedangkan proses
“pengesahan” mencerminkan operasionalisasi pelaksanaan kewenangan DPR
untuk memberikan “persetujuan” terhadap perjanjian internasional yang “dibuat”
oleh Presiden. Dengan demikian, UUPI pada dasarnya berupaya mencerminkan
operasionalisasi prinsip pembagian kekuasaan Presiden dan DPR yang dikandung
dalam UUD 1945 terhadap perjanjian internasional.
Sehubungan dengan seluruh penjelasan diatas, adanya frase “berkonsultasi
dengan DPR” pada Pasal 2 UUPI pada dasarnya tidak bertentangan dengan kata
“persetujuan DPR” dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2) UUD 1945 mengingat
konteks kedua frase tersebut berbeda sehingga tidak bisa dilawankan. Hal ini
mengingat kata berkonsultasi terkait dengan operasionalisasi kewenangan eksekutif
dalam UUPI dalam proses pembuatan perjanjian internasional, sedangkan kata
“persetujuan DPR” seharusnya lebih terkait dengan ketentuan UUPI dalam tahap
pengesahan dimana kewenangan lembaga legislatif ditempatkan.
Untuk itu kiranya Pasal 2 UUPI tidak memiliki isu konstitusionalitas terhadap
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan bahkan juga ayat (1) Pasal 11 UUD 1945. Adanya
ketentuan Pasal 2 UUPI yang membolehkan Menlu (Eksekutif) yang mencerminkan
189
kewenangan Presiden untuk membuat perjanjian internasional untuk “berkonsultasi”
dengan DPR kiranya perlu disambut baik sebagai pencerminan nilai demokratisasi
kewenangan lembaga negara. Secara prinsip, Pasal tersebut telah memperluas
kewenangan DPR untuk adanya mekanisme “konsultasi” antara pemerintah dan
DPR dalam pembuatan perjanjian internasional. Apabila Pasal 2 UUPI dihapuskan,
saya berpandangan bahwa justru hal tersebut akan membatasi keterlibatan DPR
dalam “membuat” perjanjian internasional hanya dalam tahap
“persetujuan”/“pengesahan” perjanjian internasional.
Sekiranya kedepan, terdapat keinginan untuk memperluas mekanisme
konsultasi tersebut yang berujung pada perluasan kewenangan DPR, maka kami
berpandangan bahwa hal tersebut bisa saja dilakukan melalui mekanisme legislasi.
Misal dengan proses revisi UUPI atau amandemen Pasal 11 UUD 1945.
C. Pandangan hukum terhadap Dalil Kedua Pemohon
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini dikarenakan pada intinya:
Bahwa frase “pengesahan dengan undang-undang atau keputusan
presiden” berarti menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dalam
tahap akhir penyusunan dan/atau pembuatan perjanjian internasional dan
menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dimaknai sekedar lembaga
memberikan stempel pengesahan saja terhadap sebuah perjanjian
internasional yang akan diikatkan oleh Pemerintah Indonesia.
Penjelasan Ahli:
Sebagaimana pandangan ahli terhadap dalil pertama Pemohon bahwa UUD 1945
pada dasarnya dibangun atas dasar logika pembagian kekuasaan (division of
power), maka persetujuan DPR dapat diartikan sebagai stempel pengesahan
DPR. Ahli kira tidak ada yang salah dari konteks DPR sebagai lembaga stempel
mengingat adanya logika pembagian kekuasaan. Yang harus dipahami adalah
walaupun DPR sebagai lembaga stempel, tidak berarti DPR harus “selalu
memberikan persetujuan” atas suatu perjanjian internasional yang diajukan oleh
Presiden (Eksekutif) untuk disahkan. DPR dapat pula “tidak setuju” terhadap
suatu perjanjian internasional, sebagaimana contoh yang diberikan pemerintah
190
dalam keterangannya dalam Judicial Review ini terkait Defence Cooperation
Agreement RI-Singapura yang ditolak DPR untuk disahkan.
Sepanjang DPR dapat menempatkan dirinya secara proporsional sesuai dengan
kewenangannya, maka kewenangan sebagai “lembaga stempel” justru akan
menjadi mekanisme kontrol DPR terhadap Presiden terkait pelaksanaan
kewenangan eksekutif yang terkait dengan perjanjian internasional. Dengan
demikian, DPR dapat “mengontrol” kewenangan eksekutif Presiden sekiranya
DPR berpandangan suatu perjanjian internasional yang diajukan untuk
memperoleh persetujuan DPR dipandang merugikan negara (rakyat).
Selanjutnya terkait Pasal 9 ayat (2) UUPI yang berkaitan dengan pembagian
adanya perjanjian yang disahkan dengan undang-undang atau keputusan
Presiden, ahli berpandangan bahwa kiranya hal ini mencerminkan pembagian
perjanjian internasional yang penting dan tidak penting sesuai dengan praktik
yang dibangun berdasarkan Surat 2826 tahun 1960. Pertanyaannya apakah
mekanisme pembagian tersebut konstitusional apabila dihadapkan dengan Pasal
11 ayat (2) UUD 1945, maka ahli kira pembagian tersebut tidak memiliki
permasalahan konstitusionalitas.
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 berbunyi:
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sesuai bunyi dari Pasal tersebut kiranya dapat dimaknai bahwa ada perjanjian
yang tidak menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Selain
itu, pasal tersebut dapat juga dimaknai bahwa terdapat perjanjian internasional
yang diidentifikasi tidak terkait dengan beban keuangan negara dan tidak
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang yang tidak
memerlukan persetujuan DPR.
Sehingga dengan demikian, pembagian perjanjian internasional yang
memerlukan persetujuan DPR yang dalam bahasa Pasal 9 ayat (2) disahkan
dengan undang-undang, serta perjanjian internasional yang tidak memerlukan
persetujuan DPR disahkan melalui Keputusan Presiden (Peraturan Presiden)
pada dasarnya dimungkinkan diatur demikian dan kiranya tidak bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
191
Latar belakang adanya pembagian ketentuan ini kiranya telah dibahas lengkap
oleh Pemerintah dalam keterangannya, khususnya latar historis Pasal 9 ayat (2)
yang merupakan pencerminan pembagian perjanjian yang dapat diajukan ke DPR
dan yang tidak sesuai Surat Presiden Nomor 2826 tahun 1960.
D. Pandangan hukum terhadap Dalil Ketiga dan Keempat Pemohon
Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Penjelasan Ahli:
Sebagaimana ahli telah sampaikan diawal, bahwa permohonan pemohon pada
dasarnya lebih terkait dengan isu partisipasi publik (DPR) dalam pembuatan
perjanjian internasional. Secara lebih spesifik pemohon berpandangan bahwa
perjanjian-perjanjian yang terkait bidang penanaman modal, perjanjian
penghindaran pajak berganda, perjanjian perdagangan bebas seharusnya
dikategorikan dalam perjanjian yang harus disahkan dengan Undang-Undang
sesuai dengan Pasal 10 UU PI karena memiliki dampak luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Pengesahan perjanjian-perjanjian tersebut menggunakan undang-undang
dimaksudkan oleh Pemohon agar perjanjian-perjanjian dengan kategori tersebut
memperoleh persetujuan DPR.
Namun demikian, sesuai petitum pemohon yang meminta agar Pasal 10 dan
Pasal 11 ayat (1) UU PI dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan maksud
agar perjanjian bidang penanaman modal, perjanjian penghindaran pajak
berganda dan perjanjian perdagangan bebas memperoleh persetujuan DPR
berdasarkan batu uji Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang dapat mencakup ketiga
jenis perjanjian tersebut sebagai perjanjian yang menimbulkan dampak luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat, kiranya akan menimbulkan komplikasi
prosedural tersendiri. Hal ini mengingat Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 pada
dasarnya mengatur mengenai “perjanjian internasional lainnya” yang
menimbulkan dampak luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat.
Pada keterangan pemerintah yang disampaikan dalam Sidang Judicial Review ini
terkait dengan maksud frase “perjanjian internasional lainnya” dalam Pasal 11
ayat (2) UUD 1945, ahli dapat menyetujui pandangan pemerintah bahwa
“perjanjian internasional lainnya” diidentifikasi sebagai perjanjian antara negara
192
(Indonesia) dengan organisasi internasional. Ahli juga memiliki pemahaman yang
sama dengan Pemerintah bahwa Pasal 11 ayat (2) dirumuskan untuk
mengantisipasi jenis perjanjian internasional seperti perjanjian antara Pemerintah
dengan International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1998.
Namun demikian, secara semantik Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dapat juga
diartikan berbeda, yaitu sebagai perjanjian apa saja yang “menimbulkan dampak
luas”. Penafsiran semantik ini akan menimbulkan persoalan apakah berarti
seluruh perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) tidak memiliki
kualifikasi “menimbulkan dampak luas”? Atau apakah Pasal 11 ayat (1) harus
diterapkan pula kualifikasi “menimbulkan dampak luas” sesuai Pasal 11 ayat (2)
UUD 1945? Apabila penafsiran semantik digunakan, maka sebenarnya menjadi
tidak jelas maksud dari “perjanjian internasional lainnya” sebagaimana Pasal 11
ayat (2), apakah ini merujuk pada pihak pada perjanjian selain negara? Atau
merujuk pada kualifikasi perjanjian yang “menimbulkan dampak luas”?
Selanjutnya ahli tidak akan mengangkat isu konsistensi antara UUPI, khususnya
Pasal-Pasal yang dimaksud pemohon dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang
sudah dijelaskan oleh Pemerintah. Pada akhir bagian ini, ahli hanya ingin
menggarisbawahi bahwa mungkin saja terdapat hal-hal yang perlu disesuaikan
antara Pasal 10 dan Pasal 11 UU PI dengan Pasal 11 UUD 1945. Namun isu
kesesuaian tersebut bisa saja bukan merupakan isu konstitusionalitas. Hal ini bisa
saja terjadi karena adanya perbedaan dimensi waktu antara lahirnya UUPI
dengan lahirnya Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Untuk itu ahli berpandangan,
sekiranya terdapat rencana untuk melakukan revisi terhadap UUPI, Pemerintah
dan DPR dapat bekerja sama melalui proses legislasi untuk menyesuaikan
maksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 10 dan Pasal 11 UUPI guna
mengklarifikasi cakupan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 di dalam UUPI.
E. Komentar terhadap kutipan Pemohon terhadap buku Ahli Pemerintah
Sebagaimana dimaklumi bersama, pemohon dalam berkas perbaikan permohonan
perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 telah mengutip tulisan saya dalam buku berjudul:
“Hukum Perjanjian Internasional: Dinamika dan Tinjauan Kritis terhadap Politik
Hukum Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 2016. Adapun elemen yang dikutip
oleh pemohon tercermin dalam butir-butir permohonan paragraf 43, 49 dan 50.
Penjelasan kutipan pada paragraf 43:
193
“Bahwa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pembuatan perjanjian
internasional oleh Indonesia menjadi sangat penting. Disebutkan bahwa: “perlu
diingat ketika membuat suatu perjanjian internasional pada dasarnya kita telah
memberikan sebagian “kedaulatan kita”. Oleh karena itu, “persetujuan” Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat menjadi sangat penting.
Apalagi terkait dengan perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat (Hukum Perjanjian Internasional: Dinamika dan
Tinjauan Kritis terhadap Politik Hukum Indonesia” halaman 512).”
Kiranya benar bahwa ahli berpandangan bahwa DPR sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat perlu terlibat dalam proses persetujuan terhadap perjanjian
internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat,
yang kemudian ahli hubungkan pada akhir tulisan buku ahli dengan pentingnya
untuk melakukan revisi terhadap UU PI agar dimensi prosedural UUPI dapat
mencerminkan situasi tersebut dan melakukan amandemen terhadap UUD 1945
terhadap ketentuan pembuatan perjanjian internasional sebagai cerminan untuk
memperjelas politik hukum/kedudukan perjanjian internasional di dalam hukum
nasional.
Ahli memahami bahwa saat ini Pemerintah sedang menyiapkan proses revisi UUPI
dengan maksud menyempurnakan kategorisasi perjanjian internasional yang perlu
memperoleh persetujuan DPR yang ahli percaya akan mempertimbangkan pula
cakupan perjanjian apa saja yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat. Revisi tersebut juga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan peraturan perundang-undangan yang timbul belakangan setelah UU
PI yang juga mengatur aspek perjanjian internasional seperti UU Perdagangan dan
UU MD3. Untuk itu kami berpandangan mungkin dalam Judicial Review ini
Mahkamah dapat memberikan pandangan atau penafsiran yang mendorong revisi
UU PI ketimbang menetapkan hanya sekedar penolakan atau penerimaan terhadap
permohonan Pemohon yang kiranya perlu diakui tidak memiliki masalah
konstitusionalitas.
Penjelasan kutipan pada paragraf 49 dan 50:
“ (49.) Bahwa memperhatikan fakta sejarah mengenai pelaksanaan politik luar
negeri khususnya mengenai pemberlakuan perjanjian internasional di Australia
(Hukum Perjanjian Internasional: Dinamika dan Tinjauan Kritis terhadap Politik
Hukum Indonesia” halaman. 326).
194
(50.) Bahwa Konstitusi Australia mengatur kewenangan pembuatan perjanjian
internasional sebagai kewenangan eksekutif. Hal ini juga serupa dengan di
Indonesia. Namun, pada tahun 1995 muncul kritik terhadap Pemerintah Australia
mengenai praktik dan proses pembuatan perjanjian internasional di Australia yang
dinilai kurang demokratis, karena tidak melibatkan parlemen. Lalu pada tanggal 2
Mei 1996, Pemerintah Commonwealth Australia di depan Parlemen menanggapi
kritik tersebut dengan menawarkan beberapa proses yang dimaksud untuk
menjamin suatu proses demokratis yang terbuka dalam pembuatan perjanjian
internasional. Proses-proses yang ditawarkan seperti:
Pertama: Perjanjian akan disampaikan kepada kedua kamar parlemen paling tidak
15 hari sidang sebelum Pemerintah mengambil langkah mengikatkan diri secara
hukum (treaty action), dengan pengecualian yang dilakukan terhadap perjanjian
yang dinilai bersifat segera dan sensitif.
Kedua: perjanjian akan disampaikan kepada parlemen disertai dengana analisis
tentang kepentingan nasional yang merangkum latar belakang perlunya
keikutsertaan Australia pada perjanjian internasinal tersebut, termasuk untung rugi
serta dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian internasional.
Ketiga: Pemerintah mengusulkan pendirian komite bersama parlemen mengenai
perjanjian internasional untuk mempertimbangkan perjanjian internasional dan
analisis kepentingan nasional yang disampaikan kepada parlemen.
Keempat: pemerintah juga mendukung pembentukan Dewan Perjanjian
Internasional (treaties council) sebagai bagian dari Dewan Pemerintah Australia
yang berfungsi sebagai badan penasihat.
Kelima: perjanjian internasional dapat diakses tanpa biaya oleh setiap individu atau
kelompok kepentingan.
Seluruh pilar reformasi 1996 yang ditawarkan tersebut diatas diterima oleh
parlemen. Untuk mendukung reformasi 1996, DFAT mendirikan sekretariat
perjanjian internasional dengan tugas memantau dan mengadministrasikan jalannya
reformasi.”
Penjelasan Ahli:
Ahli kira Pemohon mengutip aspek reformasi 1996 oleh DFAT Australia mengenai
prosedur pembuatan perjanjian internasional pada dasarnya karena adanya dimensi
penguatan peran parlemen dalam proses pembuatan perjanjian internasional. Saya
195
mengangkat contoh itu dengan maksud agar apabila terdapat rencana untuk
melakukan revisi UUPI kedepan, dapat pula mempertimbangkan dimensi
demokratisasi khususnya penguatan peran Parlemen dalam menyetujui suatu
perjanjian internasional. Dari contoh tersebut pun saya kira Pemerintah Australia
juga menganut kategorisasi perjanjian mana saja yang perlu dibawa ke parlemen
dan mana yang tidak.
Contoh tersebut kiranya tidak memuat mekanisme penampungan aspirasi langsung
dari publik karena hanya menyangkut mekanisme antar lembaga negara. Apabila
yang dimaksud pemohon mencakup pula penampungan aspirasi publik secara
langsung, contoh Australia kurang relevan. Namun demikian bukan berarti,
penampungan aspirasi publik secara langsung tidak dimungkinkan. Pemerintah
sebagai perunding perjanjian internasional dapat saja membuat mekanisme yang
membuka masukan publik atas suatu perjanjian internasional melalui forum seminar
atau workshop. Ataupun konsultasi dengan stakeholders. Namun demikian, tidak
semua informasi rinci dalam perundingan dapat dibagikan ke publik, mengingat
dimensi rahasia dari dokumen-dokumen perundingan. Oleh karena itu, Pemerintah
berdasarkan kewenangan yang dimiliki, memiliki diskresi untuk memilih informasi
yang dapat dibagikan ke publik terkait perjanjian internasional yang masih dalam
tahapan perundingan.
Untuk penyempurnaan mekanisme koordinasi/konsultasi antar lembaga negara
mengenai pembuatan perjanjian internasional, model yang ditawarkan Australia
kiranya dapat saja dijadikan referensi. Termasuk dalam konteks revisi UUPI apabila
kedepan ini dikehendaki oleh Pemerintah dan DPR. Dengan demikian “deal”-nya
harus dilakukan antara Pemerintah dan Parlemen. “Deal” bagaimana kedua
lembaga negara tersebut mendifinisikan konteks pembagian kekuasaan dan
pembagian peran terkait kewenangan pembuatan perjanjian internasional sesuai
UUD 1945.
Terkait dengan penampungan aspirasi publik, apabila nantinya terdapat agenda
revisi terhadap UU PI, pembentukan mekanisme sosialisasi dan penampungan
masukan dari publik dapat saja dimasukan kedalam materi revisi. Namun tentunya
dengan mempertimbangkan aspek-aspek sebagaimana disebutkan diatas.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat memberikan keterangan tertulis bertanggal 6 Juni 2018, yang diterima di
196
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juni 2018, yang pada pokoknya sebagai
berikut:
A. KETENTUAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG DIMOHONKAN
PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945
Para Pemohon dalam permohonan mengajukan pengujian Pasal 2, Pasal
9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional yang
dianggap bertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945. Bahwa isi ketentuan pasal-
pasal a quo adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2
“Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional,
dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang
menyangkut kepentingan publik”.
2. Pasal 9 ayat (2)
“Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden”.
3. Pasal 10
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri;”
4. Pasal 11 ayat (1)
“Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.”
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP
PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL A QUO
UU PERJANJIAN INTERNASIONAL
197
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan
pasal-pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang
pada intinya sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon I dan Pemohon VIII mendalilkan telah dirugikan ataupun
berpotensi dirugikan karena tidak adanya keterlibatan dan kontrol rakyat
dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
yang menyangkut ekonomi, perdagangan, dan kerjasama perlindungan
penanaman modal, serta penghindaran pajak berganda yang menimbulkan
dampak luas bagi kehidupan rakyat akibat tidak melalui persetujuan DPR RI
yang adalah representasi rakyat.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 12-13, 21)
2. Bahwa Pemohon II mendalilkan sulitnya mewujudkan tujuan membela korban
pelanggaran ham yang disebebkan Perjanjian Internasional, pendirian
organisasinya akibat pemberlakuan UU Perjanjian Internasional karena tidak
kuatnya DPR RI dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana
mandat UUD NRI Tahun 1945.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 14)
3. Bahwa Pemohon III dan Pemohon IV mendalilkan tidak bisa
memperjuangkan kepentingan petani anggotanya dalam perjanjian
internasional dalam mekanisme di DPR RI yang dalam Undang-Undang a
quo hanya berfungsi untuk konsultasi dan pengesahan perjanjian
internasional yang dibuat oleh pemerintah, dimana DPR RI seharusnya dapat
membuka ruang aspirasi masyarakat khususnya petani, nelayan tradisional,
perempuan dan masyarakat adat anggota Pemohon III dan Pemohon IV.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 15)
4. Bahwa Pemohon V mendalilkan kerugiannya dengan berbagai perjanjian-
perjanjian internasional yang terlahir setelah lahirnya Undang-Undang a quo
utamanya di sektor pertanian, agraria dan perkebunan yang merugikan
anggota petani Pemohon V karena perjanjian-perjanjian tersebut
menyebabkan derasnya arus impor produk-produk pertanian.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 17)
5. Bahwa Pemohon VI mendalilkan pemberlakukan pasal-pasal a quo telah
menimbulkan kerugian konstitusional karena perjanjian-perjanjian
198
internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden tanpa adanya
keterlibatan masyarakat pesisir khususnya nelayan, pembudidaya ikan,
perempuan nelayan, masyarakat adat pesisir, dan petambak garam sehingga
perjanjian internasional yang disahkan itu berdampak merugikan Pemohon
VI dan masyarakat pesisir.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 18)
6. Bahwa Pemohon VII mendalilkan perempuan petani kehilangan perannya
dan terpinggirkan dari sektor pertanian sehingga banyak yang akhirnya
terpaksa bekerja sebagai buruh migran tanpa perlindungan yang memadai
dan terlanggar hak-hak sebagai perempuan. Selain itu adanya ketidakpastian
hukum dalam Undang-Undang a quo yang menghambat tujuan dari
organisasi Pemohon VII dalam melindungi hak-hak perempuan di sektor
pertanian, nelayan dan buruh dalam perjanjian-perjanjian internasional.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 20)
7. Bahwa Pemohon IX mendalilkan akibat permberlakuan pasal-pasal a quo
khususnya di sektor pertanian, agraria, pangan dan kelapa sawit
menyebabkan para anggota petani Pemohon IX menjadi tidak berdaulat
dalam menentukan kesejahteraannya terutama dalam perjanjian
internasional tentang P4M antara Indonesia dengan India yang disahkan
melalui Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2003.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 22)
8. Bahwa Pemohon X sampai Pemohon XIV telah dirugikan hak
konstitusionalnya berupa meniadakan hak konstitusional untuk ikut
memberikan aspirasinya melalui DPR RI serta terjadinya ketidakpastian
hukum yang menyebabkan meningkatnya jumlah garam impor yang beredar
di pasaran Indonesia, sehingga merugikan para Pemohon untuk memenuhi
dan meningkatkan kesejahteraannya.
(vide Perbaikan Permohonan hal. 24)
Bahwa pasal-pasal a quo oleh para Pemohon dianggap bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berketentuan
sebagai berikut:
1. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
199
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
“Setiap orang yang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Para Pemohon
dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagai berikut:
1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
2. Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya:
2.1. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
185;
2.2. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 185;
2.3. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
185. sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”
dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian,
pertahanan dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau
hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e)
pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar
negeri;
2.4. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional beserta penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185;
200
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam
permohonan a quo, DPR RI dalam penyampaian keterangannya terlebih dahulu
menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yang
menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas penjelasannya bahwa “yang dimaksud
dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) ini
menegaskan bahwa hak-hak yang secara eksplisit diatur di dalam UUD 1945
saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu menurut UU
Mahkamah Konstitusi agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi;
201
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah
memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat
(vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu
sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik/khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara
pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi
kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Terhadap kedudukan
hukum (legal standing) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan
sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon I dan Pemohon VIII merupakan badan hukum privat yang
harus dapat membuktikan terlebih dahulu terkait kerugian konstitusionalnya
sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Dalam permohonannya,
Pemohon I dan Pemohon VII tidak menguraikan secara detail adanya
kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional organisasinya
sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji. DPR RI sebagai representasi rakyat terlibat dan melakukan kontrol
terhadap setiap proses pembuatan perjanjian internasional melalui forum
202
konsultasi dengan Menteri Luar Negeri. Sehingga kepentingan hukum
Pemohon I dan Pemohon VIII sudah terpenuhi dan tidak memiliki kerugian
konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal a quo.
b. Bahwa Pemohon II merupakan badan hukum privat yang harus dapat
membuktikan terlebih dahulu terkait kerugian konstitusional yang dialami oleh
organisasi Pemohon II sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo.
Tujuan pendirian organisasi Pemohon II untuk membela korban pelanggaran
HAM dapat dilakukan dengan mekanisme advokasi yang sudah diatur melalui
peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga kepentingan hukum
Pemohon II sudah terpenuhi dan tidak memiliki kerugian konstitusional
dengan berlakunya pasal-pasal a quo.
c. Bahwa Pemohon III dan Pemohon IV merupakan badan hukum privat yang
harus dapat membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan
kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi
Pemohon III dan Pemohon IV sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal
a quo. Organisasi Pemohon III dan Pemohon IV yang mewakili kepentingan
petani, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat adat sudah diwakili
oleh DPR RI sebagai representasi rakyat Indonesia. Sehingga kepentingan
hukum Pemohon III dan Pemohon IV sudah terpenuhi dan tidak memiliki
kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal a quo. Selain itu,
Pemohon III dan Pemohon IV tidak menunjukkan adanya perjanjian
internasional yang telah disahkan dan berdampak merugikan secara
langsung terhadap organisasi Pemohon III dan Pemohon IV sehingga dalil
yang diajukan hanya berdasarkan asumsi saja.
d. Bahwa Pemohon V merupakan badan hukum privat yang harus dapat
membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian
konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon V
sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Pemohon V belum
menunjukkan adanya perjanjian internasional pasca disahkannya UU
Perjanjian Intenasional dan berdampak merugikan secara langsung
organisasi Pemohon V sehingga dalil yang diajukan hanya berdasarkan
asumsi saja. Jika memang terdapat kerugian konstitusional bagi Pemohon V,
maka hal tersebut bukan materi yang dijamin melalui Pasal 11 ayat (2) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga permohonan a quo hanya
203
kekhawatiran Pemohon V semata karena perjanjian internasional bidang
pertanian dan agraria tidak harus memerlukan persetujuan DPR RI. Kerugian
Pemohon V bukanlah karena alasan konstitusional sehingga tidak ada
kepentingan hukum karena bukan mengatasnamakan rakyat.
e. Bahwa Pemohon VI merupakan badan hukum privat yang harus dapat
membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian
konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon VI
sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Pemohon VI tidak
menyebutkan adanya Keputusan/Peraturan Presiden yang secara langsung
berdampak merugikan Pemohon VI dan masyarakat pesisir. Pemohon VI
juga tidak menjelaskan letak perlindungan kepastian hukum yang tidak
dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
f. Bahwa Pemohon VII merupakan badan hukum privat yang harus dapat
membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian
konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon VII
sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Pemohon VII tidak
menyebutkan contoh hak-hak perempuan yang terlanggar di sektor pertanian
sehingga bekerja menjadi buruh migran tanpa perlindungan yang memadai,
hal ini menjadi kabur karena Pemohon VII juga mendalilkan pasal-pasal a quo
menghambat tujuan organisasi pemohon.
g. Bahwa Pemohon IX merupakan badan hukum privat yang harus dapat
membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian
konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon IX
sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Bahwa perjanjian
internasional tentang P4M antara Indonesia dan India disahkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2003 yang tidak memerlukan
persetujuan DPR karena Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menghendaki
perjanjian internasional sektor pertanian, agraria, pangan dan kelapa sawit
untuk diatur selain dengan undang-undang.
h. Bahwa Pemohon X sampai Pemohon XIV merupakan perorangan warga
negara Indonesia yang juga belum mengkonstruksikan secara jelas letak
kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai
akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Dengan demikian, hal yang
dimohonkan para Pemohon adalah sesuatu yang belum dibuktikan
204
kerugiannya bersifat spesifik atau aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya
pasal-pasal a quo.
i. Bahwa terhadap syarat ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan
pengujian, DPR RI juga berpandangan bahwa para Pemohon tidak dapat
membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo yang
dimohonkan pengujian. Bahwa kerugian yang dialami para Pemohon,
sesungguhnya bukanlah akibat langsung dari berlakunya pasal a quo, namun
kerugian tersebut muncul berdasarkan anggapan para Pemohon bahwa
dengan berlakunya pasal a quo menjadikan tujuan perkumpulannya menjadi
tidak terlaksana. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada
prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point
d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah
merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary
interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara
langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat
konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan
hukum yang menyangkut hajat hidup orang banyak (public interest law) di
mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak
sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara
langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk
memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak
publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan
Politik.
j. Bahwa terhadap syarat ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi. DPR RI memberikan pandangan bahwa Para Pemohon
tidak memiliki legal standing, sebagaimana telah dijelaskan secara rinci oleh
DPR RI dari nomor 1-4 yang menanggapi legal standing Para Pemohon di
atas. Tidak ada kerugian hak konstitusional Para Pemohon dari
pemberlakuan pasal-pasal a quo, sehingga tidak ada dasar bagi pengujian
pasal-pasal a quo. Sesungguhnya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo
sama sekali tidak menghalangi hak dan kerugian konstitusional Para
205
Pemohon sebagai warga Negara, sehingga apabila pasal-pasal a quo
diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat maka tidak memberikan pengaruh apapun terhadap Para
Pemohon.
DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang
pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
menurut Mahkamah:
...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection).
Syarat adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September
2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-akibat (causal
verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI
berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51
ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta
tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam
permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau
kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan
atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
206
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian
konstitusional.
2. Pengujian Materiil atas Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11
ayat (1) UU Perjanjian Internasional terhadap UUD 1945.
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, DPR RI
berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut:
a. Pandangan Umum
1) Bahwa tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4
UUD 1945 yaitu, “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Pancasila;
2) Bahwa Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan
”kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”. Hal tersebut mengandung makna bahwa Undang-
Undang Dasar adalah merupakan sumber hukum tertulis tertinggi dalam
hierarki perundang-undangan yang menjadi sumber hukum bagi setiap
komponen bangsa untuk menjalankan kedaulatannya berupa
pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahwa DPR RI berdasarkan UUD 1945
adalah lembaga negara yang merupakan representasi rakyat yang
diberikan kedualatan/kekuasaan oleh UUD 1945 untuk membuat undang-
undang.
207
3) Bahwa UU Perjanjian Internasional disahkan pada tanggal 23 Oktober
2000 sebagai peraturan pelaksana Pasal 11 UUD 1945 yang belum
pernah diamandemen. Namun pada amandemen ketiga pada tanggal 10
November 2001, Pasal 11 UUD 1945 diubah dengan menambahkan ayat
(2) dan ayat (3) sebagaimana berikut:
(1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (amandemen ketiga)
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undangundang.” (amandemen ketiga)
4) Bahwa UU Perjanjian Internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11
Undang UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden
untuk membuat kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan
Pasal 11 UUD 1945 bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran
lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan
yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan
legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan
yang dinamis antara kedua lembaga tersebut.
b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan
1) Bahwa istilah perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 UUD 1945 harus ditafsirkan dengan mengkaitkan kewenangan
Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya dengan politik luar
negeri dan berhubungan dengan negara lain. Apabila dikaitkan dengan
wewenang tradisional kepala negara seperti menyatakan perang,
membuat perdamaian serta membuat perjanjian internasional (hak-hak
prerogatif) dimana hal-hal ini adalah dalam hubungannya dengan negara
lain.
208
2) Bahwa Perjanjian Internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
UUD 1945 adalah instrumen yang selama ini dikenal dalam hukum tata
negara dan hukum internasional sesuai dengan Konvensi Winna tahun
1969 dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Istilah Perjanjian
Internasional yang digunakan dalam Konvensi Winna adalah Treaty.
Pasal 1 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of
Treaties) mendefinisikan ruang lingkup dari Konvensi ini adalah berlaku
untuk treaties between states. Selanjutnya dalam Pasal 2 treaty diartikan
sebagai: Treaty means an international agreement concluded between
states in written form and governed by international law, whether
embodied in a single instrument or in two or more related instruments and
whatever its particular designation. Disamping itu dalam Pasal 1
Konvensi Winna tahun 1986 ditegaskan bahwa lingkup dari perjanjian
internasional adalah perjanjian antara satu atau lebih negara dan satu
atau lebih organisasi internasional, dan perjanjian antar organisasi
internasional.
3) Bahwa sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU Perjanjian Internasional yang
merupakan amanat Pasal 11 ayat (3) UUD 1945, diperoleh definisi
tentang perjanjian internasional yaitu: Perjanjian dalam bentuk dan nama
tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) UU Perjanjian Internasional,
disebutkan elemen-elemen dari perjanjian internasional adalah:
a) Dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subjek hukum
internasional lainnya;
b) Diatur oleh hukum internasional; dan
c) Menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
4) Bahwa Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (selanjutnya
disebut Konvensi Wina 1969) dianggap sebagai induk hukum perjanjian
internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat
ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai
perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai
perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga
pengunduran diri negara dari suatu perjanjian internasional.
209
5) Bahwa sebelum keberadaan Konvensi Wina 1969, perjanjian
internasional antar negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional
yang berbasis pada praktek negara dan keputusan-keputusan
Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional
maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai
perwujudan dari opinion juris).
6) Bahwa sebelum masyarakat internasional mengikatkan diri pada
Konvensi Wina 1969, perjanjian antar negara baik bilateral maupun
multilateral diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas
seperti, good faith, pacta sunt servanda, dan perjanjian tersebut
terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya.
7) Bahwa setiap negara punya kedaulatan hukum yang dicantumkan dalam
setiap konstitusi negaranya, dalam hal ini Indonesia mencantumkan
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Dengan demikian, Indonesia mengatur sendiri hukum formil perjanjian
internasional yang menimbulkan kewajiban secara internasional dan
ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yaitu melalui undang-undang atau
keputusan/peraturan presiden.
8) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan Konvensi Wina
1969 telah menjadi hukum kebiasaan Internasional meskipun Indonesia
tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 ke dalam hukum nasional (Vide
Perbaikan Permohonan hal. 4-5), DPR RI memberikan pandangan
bahwa dalam hukum Romawi dikenal asas “pacta tertiis nec nocent nec
prosunt” dimana suatu konvensi atau perjanjian tidak memberi hak dan
kewajiban pada pihak ketiga (negara bukan pihak, yang tidak atau belum
meratifikasi). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 34 Konvensi
Wina 1969 yang menyatakan:
“A treaty does not create either obligations or rights for a third state
without its consent”
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara non-peserta dan tidak
meratifikasi Konvensi Wina 1969 tidak terikat dan tidak wajib untuk tunduk
pada perjanjian internasional tersebut.
210
9) Bahwa dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar negara
tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian
yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara
anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada consent dari seluruh
negara anggota Konvensi Wina 1969 tersebut, tidak seperti kebiasaan
internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru.
Dengan demikian, Konvensi Wina 1949 mengikat kepada para negara
pesertanya dan perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara non-
peserta Konvensi Wina 1969 tetap dilakukan berdasarkan asas-
asas good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk
atas consent dari negara-negara di dalamnya.
10) Bahwa sebelum diundangkannya UU Perjanjian Internasional, ketentuan
mengenai pengesahan perjanjian internasional di Indonesia diatur
dengan Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus
1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi
pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional, yaitu
pengesahan melalui undang-undang dan keputusan presiden,
bergantung kepada materi yang diaturnya (vide Penjelasan Umum UU
Perjanjian Internasional hal. 2). Dalam ketentuan tersebut belum memuat
materi tentang pembuatan perjanjian internasional sehingga undang-
undang a quo dibuat untuk mengatur materi perjanjian internasional mulai
dari proses pembuatan hingga pengesahannya. Sedangkan dalam UU
Perjanjian Internasional telah lengkap pengaturan tentang:
a) Pengesahan perjanjian internasional
b) Pemberlakuan perjanjian internasional
c) Penyimpanan perjanjian internasional
d) Pengakhiran perjanjian internasional
e) Serta ketentuan peralihan dan penutup
11) Bahwa dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tersebut dinyatakan
bahwa:
a) Kata "perjanjian" dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak mengandung arti
segala perjanjian dengan negara lain, tetapi hanya perjanjian-
perjanjian yang terpenting yang mengandung soal-soal politik dan
211
yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty. Jika tidak
diartikan demikian, maka Pemerintah tidak mempunyai cukup
keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional
dengan sewajarnya karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun
mengenai soal-soal yang kecil-kecil harus diperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari DPR RI, sedangkan hubungan internasional saat
ini membutuhkan tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang
membutuhkan prosedur konstitusionil yang lancar.
b) Untuk menjamin kelancaran di dalam pelaksanaan kerjasama antara
Pemerintah dan DPR RI sebagaimana tertera di dalam Pasal 11 UUD
1945, Pemerintah akan menyampaikan kepada DPR RI untuk
memperoleh persetujuan DPR RI hanya perjanjian-perjanjian yang
terpenting saja (treaties), sedangkan perjanjian lain (agreements) akan
disampaikan kepada DPR RI hanya untuk diketahui.
c) Pasal 11 UUD 1945 tidak menentukan bentuk juridis dari persetujuan
DPR RI, sehingga tidak ada keharusan bagi DPR RI untuk
mengesahkan dengan undang-undang.
d) Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas
Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus
disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan
sebelumnya disahkan oleh Presiden, ialah perjanjian-perjanjian yang
lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut:
Perjanjian tentang politik atau yang dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri negara seperti perjanjian-perjanjian
persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi),
perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan
tapal batas.
Perjanjian tentang kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman
uang yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negari negara.
Perjanjian yang harus diatur dengan undang-undang menurut UUD
1945 dan peraturan perundang-undangan lain, seperti menyangkut
kewarganegaraan dan kehakiman.
212
e) Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang
lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada DPR RI
hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden.
Dengan demikian sebelum berlakunya UU Perjanjian Internasional,
DPR RI hanya berwenang untuk memberikan persetujuan perjanjian
internasional yang berbentuk treaty terkait materi-materi penting politik
dan hal-hal lain yang lazim diatur dengan treaty. Sedangkan perjanjian
internasional yang berbentuk agreement hanya disampaikan kepada
DPR RI untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden.
12) Bahwa hadirnya UU Perjanjian Internasional adalah untuk menggantikan
Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 yang hanya mengatur pada proses
pengesahan perjanjian Internasional, dan mengatur ketentuan-ketentuan
terkait proses pembuatan perjanjian Internasional.
13) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 2 UU
Perjanjian Internasional telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR”
dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan frasa “berkonsultasi dengan
DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”, DPR RI memberikan
pandangan bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
merupakan wilayah kekuasaan eksekutif, bahkan sebagai kekuasaan
eksklusif (exclusive power) eksekutif dalam hal ini Presiden atau
Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden, dimana
yang memegang peranan penting adalah Presiden yang dalam hal ini
diwakili oleh Menteri yang dalam pembuatan perjanjian internasional,
berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip
persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
14) Bahwa Pasal 2 UU Perjanjian Internasional menyebut subjeknya adalah
Menteri (dalam hal ini adalah Menteri Luar Negeri) yang sesuai dengan
tugas dan fungsinya untuk memberikan pendapat dan pertimbangan
politis dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional
berdasarkan kepentingan nasional. Sebagai pelaksana hubungan luar
negeri dan politik luar negeri, Menteri juga terlibat dalam setiap proses
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, khususnya dalam
mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
213
melaksanakan prosedur pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional.
15) Bahwa sebagai perwakilan rakyat, keterlibatan DPR yaitu dengan
keharusan berkonsultasi dengan DPR untuk hal-hal yang menyangkut
kepentingan publik. Konsultasi dengan DPR diperlukan pada saat
pembuatan perjanjian internasional saja, sementara persetujuan DPR
dibutuhkan pada saat perjanjian internasional diratifikasi. Upaya untuk
perlindungan masyarakat dalam hal ini hanya ada untuk upaya preventif
yaitu berupa adanya pedoman delegasi yang dibuat oleh DPR dan
kementerian terkait sebelum delegasi ikut berunding dalam pembuatan
perjanjian internasional.Dengan demikian, Menteri dalam memberikan
pendapat dan pertimbangan politisnya melakukan konsultasi dengan
DPR RI. Kemudian hasil konsultasi tersebut menjadi dasar pertimbangan
Presiden dalam membuat dan menandatangani perjanjian internasional.
Sehingga Pasal 2 UU Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
16) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 9 ayat (2)
UU Perjanjian Internasional telah mengganti frasa “persetujuan DPR”
dengan frasa “pengesahan dengan Undang-Undang” sehingga
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 (vide Perbaikan
Permohonan hal. 32), DPR RI memberikan pandangan bahwa dalam
Pasal 11 UUD 1945 memang diatur bahwa dalam hal Presiden membuat
perjanjian internasional, perlu ada persetujuan DPR RI. Akan tetapi, tidak
semua perjanjian internasional membutuh persetujuan DPR RI. Adapun
yang memerlukan persetujuan DPR adalah:
a) Perjanjian internasional dengan negara lain sebagaimana tercantum
dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, sehingga setiap perjanjian
internasional yang dibuat oleh Presiden dengan negara lain baik
bilateral maupun multilateral harus mendapatkan persetujuan DPR RI.
b) Perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal
11 ayat (2) UUD 1945. Perjanjian internasional lainnya disini artinya
214
perjanjian dengan subjek hukum internasional lainnya, contohnya
dengan organisasi internasional.
c) Selanjutnya, Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa
ketentuan mengenai perjanjian initernasional ini diatur dengan
Undang-Undang. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, Undang-
Undang yang dijadikan rujukan adalah UU Perjanjian Internasional.
17) Bahwa Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 harus diartikan tidak terpisah dengan
pasal sebelumnya yang menekankan pada perjanjian internasional yang
dilakukan Indonesia dengan negara lain, sehingga yang dimaksud
“perjanjian internasional yang lainnya” adalah perjanjian internasional
yang dilakukan Indonesia, selain dengan subyek negara lain artinya
perjanjian internasional yang dilakukan oleh subyek hukum internasional
lainnya, yaitu organisasi internasional. Frasa “yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang” adalah kriteria bagi perjanjian
internasional yang dilakukan oleh Indonesia dengan organisasi
internasional yang harus mendapatkan persetujuan DPR RI. Adapun
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara
lain sudah jelas disebutkan dalam ayat (1) harus mendapatkan
persetujuan DPR RI.
18) Bahwa Penjelasan UU Perjanjian Internasional menyatakan Perjanjian
internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap
perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan
dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau
subjek hukum internasional lain. Sebelum perjanjian internasional ini
berlaku dan mengikat di Indonesia, perjanjian internasional itu perlu
disahkan. Yang dimaksud “Pengesahan”, menurut Pasal 1 angka 2 UU
Perjanjian Internasional, adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri
pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification),
aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan
(approval).
19) Bahwa lebih lanjut Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional
menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan
215
dengan undang-undang atau keputusan presiden. Penjelasan Pasal 9
ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa:
- Pengesahan perjanjian internasional dengan undang-
undang memerlukan persetujuan DPR RI;
- Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan
keputusan presiden (Keppres), cukup diberitahukan saja kepada DPR
RI.
Bahwa setelah diundangkannya UU Perjanjian Internasional, negara lain
atau badan internasional tidak lagi ddilakukan dengan Keputusan
Presiden tapi dengan Peraturan Presiden sehingga persetujuan DPR RI
diberikan pada saat perjanjian internasional akan disahkan menjadi
undang-undang, bukan sebelum penandatanganan perjanjian
internasional.
20) Bahwa prosedur pembuatan undang-undang dan perjanjian internasional
memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimulai dari pembentukan
awal bahwa jika pembuatan undang-undang melalui proses pra legislasi
yang membutuhkan pengkajian RUU dan dibahas oleh lembaga legislatif
negara itu sendiri. Sedangkan untuk pembuatan perjanjian internasional
dibentuk secara bersama-sama oleh negara lain. Bentuk pengesahan
perjanjian internasional ke dalam undang-undang hampir sama dengan
pengesahan suatu Rancangan Undang-Undang ke Undang-Undang,
namun jika pengesahan perjanjian internasional peran DPR RI disini
hanya dapat menyetujui atau menolak pengesahan yang merupakan
bentuk dari fungsi DPR RI yang melakukan check and balances terhadap
Presiden. Beda halnya dengan peran DPR RI dalam Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945 yang merupakan peran legislatif DPR RI untuk membuat
undang-undang. Oleh karena itu bentuk undang-undang pengesahan
perjanjian internasional bukanlah undang-undang dalam bentuk produk
legislasi.
21) Bahwa pengesahan perjanjian internasional berbentuk Keputusan
Presiden atau Peraturan Presiden yaitu mayoritas perjanjian
internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden atau Peraturan
Presiden merupakan perjanjian billateral. Beda halnya dengan undang-
undang yang notabene meratifikasi atau mengesahkan perjanjian
216
internasioal yang sifatnya multilateral. Hanya perjanjian-perjanjian yang
penting/treaty yang disampaikan kepada DPR RI sedangkan perjanjian
lain /agreement akan disampaikan kepada DPR RI hanya untuk
diketahui. Dalam pasal ini tidak menentukan bentuk yuridis persetujuan
DPR RI. Oleh karena itu tidak ada keharusan bagi DPR RI untuk
memberikan persetujuanya dalam bentuk undang-undang.
22) Bahwa pengesahan pada hakikatnya adalah the international act so
named whereby a State establishes on the international plane its consent
to be bound by a treaty yang diwujudkan melalui penerbitan instrument of
ratification/accession oleh Menteri Luar Negeri. Pengesahan ini harus
dilihat sebagai proses yang menginkorporasi materi Perjanjian
Internasional ke dalam hukum nasional. Selain itu pengesahan dilakukan
dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden harus dilihat sebagai
mekanisme internal hukum ketatanegaraan untuk memberikan landasan
hukum bagi Pemerintah (Menteri Luar Negeri) untuk mengikatkan
Indonesia pada perjanjian. Dalam hal ini, Undang-Undang/Peraturan
Presiden dimaksud adalah instrumen yang memiliki efek prosedural
bukan efek normatif.
23) Bahwa perbedaan bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan
undang-undang syaratnya memenuhi kriteria materi muatan yang dapat
disahkan dengan undang-undang dan Peraturan Presiden adalah pada
materi muatannya. Dibentuk dengan Perpres jika dalam perjanjian
internasional disyaratkan adanya pengesahan sebelum berlakunya
perjanjian tersebut, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan
memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi
perundang-undangan nasional sesuai dengan materi muatan Peraturan
Presiden sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan
juga selain materi yang diatur dalam Undang-Undang sebagaimana
tercantum dalam Pasal 11 UU Perjanjian Internasional dan
penjelasannya. Untuk ciri khususnya, Peraturan Presiden biasanya jika
perjanjian tersebut perjanjian bilateral, sedangkan untuk undang-undang
biasanya adalah perjanjian multilateral.
24) Bahwa dalam skema pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional dalam UU Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut:
217
Berdasarkan bagan tersebut telah jelaslah perbedaan antara
pengesahan dan persetujuan perjanjian Internasional dalam UU
Perjanjian Internasional. Pengesahan atas perjanjian internasional
dilakukan dengan 4 cara yang memiliki konsekuensi hukum mengikat
para pihak dalam hukum internasional. Kemudian untuk menjadikan
perjanjian internasional tersebut menjadi hukum nasional, maka
dilakukan dengan persetujuan DPR RI melalui Undang-Undang atau
persetujuan Presiden dengan Keputusan Presiden. Dalam hal
persetujuan DPR RI melalui undang-undang, praktik hukum nasional
selama ini menggunakan mekanisme ratifikasi. Dengan demikian,
frasa “pengesahan dengan Undang-Undang” adalah sebuah bentuk
persetujuan DPR RI atas suatu perjanjian internasional. Sehingga
Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan
UU Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
25) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 UU
Perjanjian Internasional yang membatasi pengesahan melalui undang-
undang hanya terbatas pada masalah politik, perdamaian, pertahanan,
dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
Pembuatan
Pengesahan
Proses Menjadi Hukum Nasional
Penyetujuan
Penerimaan
Aksesi
Ratifikasi
Hukum Internasional Mengikat Para Pihak
Presiden / lembaga negara/ pemerintahan dengan subjek hukum internasional lainnya
Presiden dengan negara lain
Persetujuan DPR RI
Presiden Kepres
UU
218
negara Republik Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak
asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru;
pinjaman dan/atau hibah luar negeri adalah bertentangan dengan Pasal
11 ayat (2) UUD 1945 (vide Perbaikan Permohonan hal. 35), DPR RI
memberikan pandangan bahwa pengaturan materi yang hanya bisa
dilakukan melalui undang-undang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU 12 Tahun 2011) yang menyatakan bahwa materi muatan
yang harus diatur dengan undang-undang yaitu:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945.
b. Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.
c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu.
d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. dan/atau
e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pasal 10 ayat (1) huruf c UU 12 Tahun 2011 mengatur hanya perjanjian
internasional tertentu yang dapat disahkan menjadi undang-undang yang
kemudian kata “tertentu” tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 10
UU Perjanjian Internasional. Ketentuan dalam kedua undang-undang
tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 11 ayat (2) UUD
1945.
26) Bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyebut frasa
“akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat” hanya terkait
pada adanya beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang. Jika tidak mengandung
unsur-unsur tersebut seperti yang didalilkan Para Pemohon, seperti
Trans-Pacific Economic Partnership Agreement dan Comprehensive
Economic Partnership Agreement (CEPA), maka tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
27) Bahwa dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional
dinyatakan bahwa materi perjanjian internasional diluar Pasal 10 UU
Perjanjian Internasional yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan,
pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama
219
perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat
teknis dilakukan pengesahan ratifikasinya dengan Keputusan Presiden.
Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional
sudah sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
28) Bahwa ketentuan dalam pasal a quo merupakan original intent para
pembentuk undang-undang sebagai suatu open legal policy. DPR RI
mengutip pertimbangan putusan angka [3.17] dalam Putusan MK Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “Menimbang bahwa
Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal kontitusi tidak
mungkin untuk membatalkan Undang-undang atau sebagian isinya,
jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka
yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-
undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-undang dinilai
buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang
dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau
produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas,
rasionalitas dan ketidakadilan yang intorable.”
29) Bahwa pandangan hukum MK tersebut, sejalan dengan Putusan MK
Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan:
“...sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang
melampaui kewenangan pembentuk Undang-undang, tidak
merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata
bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian
tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.” Oleh karena itu, pasal a quo
selain merupakan norma yang telah umum berlaku, juga merupakan
pasal yang tergolong sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk
undang-undang (open legal policy). Pasal a quo juga merupakan delegasi
kewenangan langsung dari konstitusi, yaitu dari Pasal 20 dan Pasal 20A
UUD 1945. Dengan demikian, perlu kiranya Pemohon memahami bahwa
terkait hal yang dipersoalkan oleh Pemohon bukan merupakan objectum
litis bagi pengujian undang-undang, namun merupakan kebijakan hukum
terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy).
30) Bahwa Para Pemohon mendalilkan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional
yang membatasi pengesahan melalui undang-undang bertentangan
220
dengan Pasal 28D ayat 1) UUD 1945. (vide Perbaikan Permohonan hal.
41)
31) Bahwa sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 69 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU
MD3) ditentukan bahwa DPR RI memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
32) Bahwa fungsi legislasi DPR RI dilaksanakan sebagai perwujudan DPR RI
selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sehingga
Dalam hal perjanjian internasional, DPR RI menjalankan fungsi legislasi
sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dalam
memberikan persetujuan atas pengesahan perjanjian Internasional
melalui undang-undang dalam mekanisme ratifikasi.
33) Bahwa selanjutnya dalam Pasal 71 huruf h UU MD3 juncto Pasal 6 huruf
a Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
(selanjutnya disebut Peraturan Tatib DPR RI) dijelaskan bahwa
kewenangan DPR RI hanya sebatas memberikan persetujuan atas
perjanjian internasional,
“memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.”
34) Bahwa selanjutnya DPR RI menjalankan fungsi pengawasan terhadap
jalannya pelaksanaan undang-undang ratifikasi perjanjian internasional
oleh pemerintah.
35) Bahwa dalam Penjelasan Umum hal 1 UU Perjanjian Internasional telah
tegas disebutkan bahwa Pasal 11 UUD 1945 memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini selanjutnya diatur dengan
Pasal 4 ayat (1) UU Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa
kewenangan pembuatan perjanjian internasional ada di pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
“Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak
221
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.”
Dengan demikian, kewenangan pemerintah membuat perjanjian
internasional adalah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat
dicampuri dengan kewenangan DPR RI sebagai pemegang kekuasaan
legislatif.
36) Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak boleh dilepaskan dari ketentuan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 untuk memastikan hak warga
negaranya mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hukum
Indonesia telah mengatur secara detail dan hati-hati dalam setiap
peraturan yang dapat mengikat Indonesia dengan perjanjian yang dapat
menimbulkan kewajiban Internasional agar tidak mengurangi dan
menyalahi hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dengan pengulangan ketentuan yang sama dari Pasal 11
ayat (2) UUD 1945, pasal-pasal a quo, Pasal 71 huruf h UU MD3 dan
Pasal 6 huruf a Peraturan Tatib DPR RI. Dengan demikian, Pasal 10 UU
Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
37) Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012
menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (UU Migas) tergolong ke
dalam konstruksi perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara haruslah mendapatkan persetujuan DPR. Perjanjian
Internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah
instrumen yang selama ini dikenal dalam hukum tata negara dan hukum
internasional sesuai dengan Konvensi Winna tahun 1969 dan tahun 1986
tentang Perjanjian Internasional. Subjek hukum dalam perjanjian
internasional (treaty) adalah negara (state) dan subjek hukum dalam
perjanjian internasional Iainnya adalah organisasi internasional.
Sedangkan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi yang bersifat
perdata dan governed by national. Sesuai dengan Pasal 1 huruf a
222
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(UU Nomor 24 Tahun 2000) yang merupakan amanat Pasal 11 ayat (3)
UUD 1945, diperoleh definisi tentang perjanjian internasional yaitu:
Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam
hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Bahwa sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD juncto Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR
RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka hak-hak para
anggota DPR telah terpenuhi pada saat penyusunan rancangan UU
Migas dengan disetujuinya materi muatan Pasal 11 ayat (2) UU Migas.
Sehingga Pasal 11 ayat (2) UU Migas sama sekali tidak mengingkari
kedaulatan rakyat Indonesia, sebaliknya ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU
Migas telah memberikan penegasan dan/atau kepastian hukum kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi lembaga negara yang
mewakili kepentingan rakyat Indonesia. Pada sisi lain ketentuan Pasal 11
ayat (2) UU Migas juga telah memberikan batasan yang tegas kepada
Pemerintah untuk melaksanakan kontrak-kontrak internasional antara
Pemerintah dan international company.
38) Bahwa terkait dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo, bahwa
sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, perjanjian
internasional seharusnya berwadah hukum keputusan presiden karena
presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain.
Dengan adanya klausula persetujuan DPR RI dalam Pasal 11 UUD 1945
tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional
adalah undang-undang, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri
yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-
Undang. Perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat
dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat
sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk
undang-undang, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber
hukum di luar sumber hukum undang-undang.
c. Latar Belakang Pembahasan UU A Quo
223
Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis,
sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar
belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang-
undang a quo sebagai berikut:
1) Raker ke-2 (05 Juli 2000) RUU Perjanjian Internasional
a) F-PG (Slamet Efendy Yusuf)
Menteri disini juga harus definitif, jadi kalau memang ayat (1), ayat (2),
dan seterusnya pada Pasal 1 dan Pasal 2 tidak perlu penjelasan
posision saja di ketentuan umum. Tetapi menteri ini adalah definisi, jadi
angkat saja apa saja yang di penjelasan menjadi frasa sehingga nanti
tidak perlu penjelasan. Karena apa nanti di bawah itu kita akan terus
menerus ketemu dengan kata menteri. Dan yang dimaksud dengan
menteri disini adalah yang berurusan dengan masalah-masalah luar
negeri. Jadi kita definisikan saja, maksud menteri disini adalah Menteri
Luar Negeri atau menteri yang berurusan dengan luar negeri dan
sebagainya.
b) Pemerintah
Jadi definisi menteri itu adalah di ayat (1) butir 9 definisinya. Lalu
pengaturannya itu adalah di misalnya disini agar menteri memberi
pertimbangan politis itu di ketentuan umum Pasal 2 lalu menteri akan
disebut beberapa kali di dalam pasal-pasal selanjutnya. Menterinya itu
adalah Menteri Luar Negeri tapi menteri yang saya jelaskan tadi lazim
di peraturan perundang-undangan kita menteri itu disebutkan menteri
tapi bukan Menteri Pendidikan, Menteri Pertahanan Keamanan karena
itu sebagai contoh dua mengapa tadi kita sebutkan cukup menteri tadi
yang embel-embel yang bertanggung jawab masalah apa. Karena di
Kabinet kita sekarang tidak mempunyai Menteri Pertahanan dan
Keamanan, yang ada Menteri Pertahanan, Keamanannya hilang.
Kemudian tadi Menteri Kebudayaan dulu Mendikbut, walaupun Dirjen
Kebudayaan masih disitu tetapi sebutannya Mendiknas sekarang. Jadi
itulah definisi menteri itu ada di Pasal 1 butir 9, tetapi mengenai
ketentuan-ketentuannya ada di Pasal 2 dan beberapa pasal
selanjutnya.
c) F-PKB (Effendi Choiri)
224
Karena begini begitu Pasal 2 menyebut soal Menteri memberikan
pertimbangan politis artinya salah satu fungsi sebutkan disini
kemmudian setelah itu tidak disebut akan cukup sekali disebut dan
untuk selanjutnya sudah jelas sehingga tidak menyebut berulang-
ulang.
2) Raker ke-3 (06 Juli 2000) RUU Perjanjian Internasional
a) F-TNI/POLRI (Sri Hardjendro)
Pada Pasal 9 ini kalau kita banyak baca ayat (1) Pasal 9 demikian pula
nantinya. Saya mohon izin untuk sekaligus ayat (2) nantinya sudah
terwadai di Pasal 10 dan Pasal 11 sehingga sebenarnya Pasal 9 ini
tidak perlu dibuat lagi menjadi pasal tersendiri karena materinya atau
substansinya sudah terwadai pada Pasal 10 dan Pasal 11 ini saran
dari F-TNI/POLRI Pasal 9 dihapus.
b) Pemerintah/Staf Ahli
Disini ingin saya jelaskan bahwa pasal ini pada dasarnya mengatur
masalah pengesahan, kepentingan umum atau nasional. Memang
selalu menjadi dasar perrtimbangan dalam pembuatan dan
pengesahan Perjanjian Internasional. Dari bunyi ayat (1) Pasal 9 ini
yang ingin diatur adalah bbahwa Pemerintah kita Indonesia hanya
akan mengesahkan Perjanjian Internasional. Sepanjang itu
dipersalahkan atau diminta oleh Perjanjian Internasional yang akan
disahkan atau yang kita ingin menjadi pihaknya. Jadi apabila di
Perjanjian Internasional tidak ada persyaratan pengesahan tentu tidak
akan disahkan. Jadi ini yang menjadi dasar dan kemudian yang ini bisa
dilanjutkan dengan Pasal yang berikutnya. Jadi pasal berikutnya itu
kita menyalahkan cara pengesahan itu bisa dilakukan dengan dua cara
yaitu: dengan UU apabila pengesahan itu memerlukan persetujuan
dari DPR dan dilakukan dengan KEPRES. Apabila tidak memerlukan
persetujuan DPR namun pemberitahuan atau laporan kepada DPR
bahwa Pemerintah telah melakukan pengesahan terhadap Perjanjian
Internasional. Dan ini sekaligus menjawab usulan dari F-TNI/POLRI
yang menghapuskan Pasal 9 ini. Karena memang isinya tidak sama
dengan Pasal 10 di Pasal 10.
225
Disini disebutkan bahwa pengesahan perjanjian dilakukan dengan UU
apabila materinya menyangkut hal-hal yang ditetapkan disini A sampai
D. dan Pasal 11 yang tidak diatur oleh Pasal 10 ada yang tidak
memerlukan pengesahan dengan UU akan dilakukan pengesahan
dengan KEPRES. Mengenai usulan dari F-PBB untuk mengubah isi
ayat ini sehingga berbunyi pengesahan Perjanjian Internasional
meliputi hal-hal yang diurekan secara Yudikatif pada Pasal 10 UU ini.
Pada hematnya kurang relefan karena Pasal ini hanya dibuat untuk
mengatur apakah Perjanjian Internasional itu mensyaratkan dilakukan
satu pengesahan atau tidak. Sedangkan pengesahannya itu dengan
UU atau dengan Keppres diatur oleh Pasal 10 dan Pasal 11.
c) F-PDKB (Prof. DR. Astrid S. Susanto)
Jadi sebetulnya ini ada sedikit kaitannya dengan tadi yang diatas itu
yang hampir sama. Dan juga terkait apa yang akan dibicarakan tadi
pertama saya melihat kurang adanya kriteria yang bisa mengatakan
apa yang harus diundangkan dan apa yang Keppres. Apakah perlu
dibuat sesuai dengan rangking dari chaise agreement yang dibuat,
saya tidak tahu untuk memudahkan DPLU kalau mungkin bisa
dikatakan apa yang perlu Keppres apa yang harus UU berdasarkan
soal agreement mungkin itu bisa diperkeppres begitu bukan hanya
dengan kata atau karena itu sebetulnya yakni mengulang lagi seperrti
tadi sebetulnya mengenai pperan dari DPR dalam perjanjian itu, mau
diselipkan bagaimana tidak bisa saja hanya implisit tidak ada tetapi
atau saja ada sebagaimana yang kita bicarakan dengan kemungkinan
diselip disana-disini atau diselip sebagai penjelasan itu.
d) Pemerintah
Ada tambahan yang bagian penjelasan Pasal 9 ayat (2) yang sudah
kita berikan pengesahan dengan UU memerlukan persetujuan DPR,
pengesahan dengan Keppres selanjutnya diberitahukan kepada DPR.
Selanjutnya ada tambahan sedikit, untuk memberikan informasi
kepada Ibu Astrid, di dalam ayat (2) Pasal 9 ini, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) UU atas keputusan Presiden ini kemudian
226
dijabarkan didalam Pasal 10 dan Pasal 11 dimana perjanjian
internasional yang memerlukan persetujuan DPR yang dilakukan
dengan UU adalah yang materinya yang menyangkut berkenan
dengan politik, perdamaian, pertahanan, keamanan negara, kemudian
juga perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
Indonesia, kedaulatan, daulat negara hak asasi negara dan
pembentukan kaidah hukum internasional baru. Pembentukan hukum
internasional baru memang diperlukan karena seperti yang kita ketahui
konpensi-konpensi yang kaidah hukum yang baru itu ada kalanya
diperaturan perundang-undangan nasional kita belum ada atau belum
diangkat atau mungkin sudah ada tapi perlu disesuaikan dengan
kondisi baru yang ada dikonpensi itu, oleh karena itu memang
pengesahan perjanjian internasional itu sangat penting artinya bagi
negara karena khususnya dalam implementasinya kalau kita sudah
menjadi pihak dari perjanjian internasional tentu kita ingin juga
mengimplementasikannya secara baik dan benar, dan itu bisa
dilakukan dengan peraturan perundang-undangan harus dilakukan
apabila belum dilakukan atau atau diperbaikan apabila memang
diperbaiki dan sebagainya.
e) F-PDI (Pataniari S.)
Kami mohon usul yang dari Pemerintah mengenai penjelasan Pasal 9
ayat (2) yang tambahan, tolong redaksinya nanti bisa disesuaikan
dengan ini Pasal 20 UUD 1945, karena kekuasaan menurut UU bukan
Presiden. DPR jadi semua nanti redaksi ini kan, tim perumus
menyesuaikan dengan UUD 1945, supaya siapa yang mempunyai
wewenang.
Kami banyak usul perubahan yaitu pada huruf (A) agar dibuat
penjelasan tentang pertahanan TNI dan keamanan dalam negeri
POLRI, karena sudah ada pemisahan antara POLRI dan TNI. Ini terkait
dengan nanti masalah-masalah mungkin ada masalah narkotik dan
sebagainya mungkin kewenangan POLRI supaya ini bisa dipisahkan.
Yang berikutnya untuk huruf (C) Mohon dijelaskan apa perbedaan
dengan kedaulatan dan hak berdaulat. Pada huruf (D) Materi dapat
diganti menjadi (D) Penerapan terdapat krisi universal hak manusia
227
dan lingkungan hidup. Kemudian saya mengusulkan tambahan butir F,
G, H dan yang baru 4 hal ini sekaligus menjawab beberapa hal yang
dipersoalkan oleh teman-teman dari fraksi-fraksi lain yang saling
terjadi yaitu banyak hal-hal yang menyangkut kepentingan warga
negara yang selama ini tidak ditangani secara konsitusi. Untuk itu
mengusulkan tambahan butir (F) Kepentingan umum yang
dipertanggungjawaban oleh rakyat ini harus dengan UU. Kemudian (g)
Perjanjian dengan badan Internasional yang mengakibatkan beban
keuangan secara langsung maupun tidak langsung kepada warga
negara artinya pengalaman kita sekarang mempunyai utang yang
menanggung semua warga negara. Kemudian (a) Perjanjian pada
badan Internasional yang mengakibatkan dilakukannya perubahan
terhadap UU Nasional yang berkenan dengan Wewenang Lembaga
Negara. (i) Perjanjian badan Internasional yang menyangkut daerah
dan data penduduk kami di kamar belakang bahwa beberapa hal yang
menjadi ancaman atau gangguan terhadap ektensi negara kesatuan
saat ini. Kalau seperti ini segera tidak hanya oleh Pemerintah sendiri
tapi berkaitan dengan undang-undang DPR.
f) F-PG (Ibrahim Ambong)
Jadi yang pertama yang sudah tertera disini mengenai perlunya
dicantumkan yang berkenaan dengan pinjaman atau bidang luar
negeri memang sejak awal ini dalam pandangan fraksi-fraksi ini pada
waktu PU semuanya menanggapi tidak pernah disinggung-singgung.
Walaupun Pemerintah sudah memberikan penjelasan, tapi
penjelasan-penjelasan tersebut bisa dikatakan ataupun dipahami
mungkin juga belum jelas. Jadi selama bertahun-tahun, puluhan tahun
bahkan sejak merdeka kita tidak pernah mempersoalkan ini. Barulah
kali ini persoalan pinjaman atau tahage perlu dicantumkan secara jelas
walaupun memang kritik tersebut telah muncul, tapi aturannya tidak
ada. Jadi sepakat saja agar ini masuk menjadi butir (g) karena ini
dimana-mana sudah menjadi isu global apa yang terjadi di negara lain
menyentuh disini apa yang terbakar di Kalimantan atau Sumatera
menyentuh Malaysia atau Singapura yaitu mengenai pembakaran
hutan.
228
g) F-PPP (A. Karmani)
Kami ingin menambahkan masalah-masalah yang bersangkutan
dengan ekonomi, keuangan, sosial, dan lain-lainnya. Karena memang
masalah-masalah yang pemandangan umum yaitu mengenai masalah
kehidupan pekerja yang sekarang ini memang sangat dominan
permasalahannya di lingkup hubungan internasional oleh karena itu
kita ingin usulkan untuk tambah dengan butir f yaitu masalah ekonomi,
keuangan, sosial.
h) F-PDKB (Prof. Astrid S)
Sebenarnya ini kalau kita lihat maksud kami mempunyai dua masalah,
satu masalah biasa masalah Bahasa, tetapi yang kedua yang ingin
tambahkan sebetulnya tadi sudah disebut masalah ekonomi yang…
zaman dan seterusnya itu ditambahkan sebagai salah satu poin disini
disebut a yang agak menyinggung lagi masalah butir-butir khusus
yakni mengenai masalah hak asasi manusia disebut sebagai perlu
diperhatikan Pasal 10, kalau bisa ya ini juga masalah Bahasa dan
perasaan Bahasa lagi ditambahkan istilah warga negara Indonesia itu,
tapi yang lebih penting lagi itu penambahan kalau bisa apabila terjadi
perubahan internasional, kaidah-kaidah internasional yang dikaitkan
kepada Republik Indonesia agar supaya tidak bertentangan dengan
falsafah hidup dan kepentingan bangsa kalau bisa, jadi ini kaidah-
kaidah jadi abstrak banget itu ya umpamanya saja seperti dahulu di
Beijing, keputusannya adalah mengenai families and families, saya
kira masalah begitulah yang harus dibicarakan bahkan dengan itu saya
mohon mungkin dipertimbangkan bisa dimasukkan apa tidak yang
menyangkut masalah kaidah-kaidah yang hakiki.
i) Pemerintah/Staf Ahli
Ada dua tanggapan dari pemerintah yang pertama sebagaimana
kemarin telah disampaikan oleh teman-teman dari Departemen
Keuangan menyangkut tambahan atau diperrtimbangkannya
tambahan butir pinjaman luar negeri, pada prinsipnya sebagaimana
yang kita dengar kemarin pinjaman keuangan dari luar negeri
memerlukan penanganan yang khusus yang sifatnya teknis dan
memerlukan kecepatan dalam proses, mekanisme persetujuan DPR
229
yag terkadang makan waktu bagi departemen keuangan hal itu bisa
menghambat proses pinjaman itu sendiri, namun dalam hal ini
Departemen Keuangan, Bapppenas, dan BI tengah menyusun RUU
Pinjaman Luar Negeri yang mencakup mekanisme persetujuan oleh
DPR, kalau toh ini akan ditambah maka mungkin yang bisa
dipertimbangkan adalah butir f, jadi berbunyi sebagai berikut masalah
ekonomi yang dapat menimbulkan dampak politis. Di butir e ini ada
pembentukan kaidah hukum baru, hukum internasional baru
barangkali kalau kita menggunakan hukum baru saja akan mencakup
seluruh hukum-hukum baru, jadi apakah itu nanti hukum internasional
yang kemudian didalam peraturan perundang-undangan kita menjadi
hukum nasional termasuk juga di masalah lingkungan hidup pada
dasarnya konpensi-konpensi yang dihasilkan apakah itu di HFO
(International Maritime Organisation) yang mengatur masalah polisi di
laut atau konpensi-konpensi lain yang di lingkungan Unite atau UN
masalah lingkungan juga ada, tapi pada dasarnya semua bisa
ditampung di dalam butir e yaitu pembentukan kaidah hukum mungkin
internasionalnya dicoret hukum baru, sehingga ini menampung segala
macam hukum internasional maupun nasional dan juga yang semua
diatur oleh berbagai konpensi-konpensi termasuk mengenai
lingkungan hidup. Kemudian perjanjian dengan badan-badan
internasional yang mengakibatkan beban keuangan negara secara
langsung, maupun langsung kepada warga negara, barangkali ini yang
dimaksudkan tadi pinjaman luar negeri itu kemudian Pemerintah sudah
mengajukan sesuatu usulan yang bunyinya tadi masalah ekonomi
yang dapat menimbulkan dampak politis. Kemudian perjanjian dengan
badan-badan internasional yang diakibatnya dilakukan perubahan
dlaam perundang-undangan internasional yang berkaitan dengan
wewenang lembaga negara, ini yang tadi tidak sebetulnya ditampung
di huruf e tadi pembentukan kaidah hukum baru. Yang jelas ingin kami
gambarkan didalam Pasal 10 hukum ini sebetulnya tidak terlalu tapi
yang pokok-pokok yang penting kita anggap betul-betul penting dan
harus mendapat persetujuan DPR adalah mengenai masalah politik,
perdamaian, pertahanan keamanan dan kebetulan karena pertahanan
230
dan keamanan disini dibelakangnya keamanan pakai dan sebetulnya
bukan menjadi satu tapi pertahanan bisa digunakan dengan
keamanannya. Lalu perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara RI ini saya kira perlu dicantumkan karena kita juga
membayangkan di waktu yang akan datang apabila proyek penegasan
perbatasan kita di Kalimantan yang sekarang kita mempunyai
konpensi 1891 mengenai perbatasan darat di Kalimantan itu, sedang
diadakan penegasan perbatasan. Mengenai masalah kedaulatan dan
hak berdaulat tadi ada pertanyaan dari F-PDIP, kedaulatan ini adalah
yang menyangkut masalah wilayah, sedang hak berdaulat saya ambil
contoh hak wilayah zona ekonomi eksklusif dan landas continen
merupakan wilayah dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat, dan
artinya wilayah tersebut bukan wilayah kedaulatan kita karena itu diluar
laut teritorial tapi kita mempunyai hak berdaulat karena kita bisa
mengeksploatir sumber-sumber daya alam hayati dan non hayati yang
ada di landas continen maupun di zona ekonomi exclusif. Namun
demikian kami bersifat fleksibel untuk bisa akomodatif dengan DPR
kecuali untuk pasal-pasal yang sifatnya teknis, jadi kami menganggap
bahwa hal-hal yang kita cantumkan disini adalah hal yang memang
pokok yang perlu mendapatkan persetujuan DPR.
j) F-PG (Hanny Bone Z)
FPG tidak akan mencabut ini bahkan kami ingin mempertegas,
pertama pengertian untuk diketahui ini orang bisa menafsirkan bahwa
ini sekedar untuk diketahui, bahwa DPR itu adalah sekedar stempel
dari Pemerintah masih akan berkembang kembali. Oleh karena itu juga
kami tetap ingin menambahkan bahwa peran dari DPR ini bukan hanya
sekedar mengetahui tetapi juga untuk mengevaluasi, untuk
mengontrol, untuk mengkritisi, apa yang sudah dilakukan oleh
Pemerintah, jadi oleh karena itu tetap kami menambahkan disini untuk
pengertian, untuk mengetahui ini ditambahkan dan untuk dievaluasi.
Jadi bunyi ayat ini komplitnya adalah “Pemerintah RI menyampaikan
Salinan setiap keputusan Presiden yang mengesahkan suatu
perjanjian internasional kepada DPR untuk diketahui dan dievaluasi”.
k) Pemerintah/Staf Ahli
231
Bahwa maksud dari pasal ini adalah untuk melaporkan kepada DPR
bahwa Pemerintah telah mengesahkan berbagai perjanjian-perjanjian
yang pada umumnya adalah non teknis, adalah wewenang dari DPR
apakah akan dievaluasi atau dianggap bahwa itu tidak seyogyanya
dilakukan dengan Keppres mau ditingkatkan tentu bisa saja, hanya
kalau sudah diputuskan sebagai satu pihak itulah yang perlu menjadi
pertimbangan DPR, karena tadi yang menjadi kensen adalah konpensi
yang diratifikasi dengan Keppres yang mungkin itu bisa ditingkatkan
dengan UU dan itu memang terjadi di masa lampau dimana konpensi
mengenai Hak Anak yang juga menurut kami dari Deplu seyogyanya
dengan UU tapi dilakukan dengan Keppres itu tentu masalahnya
adalah masalah kalau dengan UU maka peraturan perrundang-
undangan yang akan dirubah itu sudah tidak ada masalah karena
pengesahan melalui UU sehingga diperlukan peraturan perundang-
undangan yang setingkat juga, dan kalau Keppres itu ada
ketidakseimbangan, jadi masalahnya sebetulnya masalah hukum
ketatanegaraan, tapi kami tidak ada keberatan kalau memang akan
dimasukkan untuk dievaluasi, bahwa ini ada satu UU yang mengatur
demikian tentu DPR memang akan melakukan evaluasi yang diminta
oleh UU ini, tapi kami serahkan kepada DPR untuk dimasukkan atau
tidak kami tidak ada keberatan untuk memasukkan ini.
Melalui ketentuan ayat ini DPR dapat melakukan pengawasan
terhadap Pemerintah walaupun tidak diminta persetujuan sebelum
pembuatan perjanjian internasional tersebut karena pada umumnya
pengesahan dengan Keppres hanya dilakukan bagi perjanjian
internasional di bidang teknis. Apabila dipandang merugikan
kepentingan nasional perjanjian internasional tersebut dapat saja
dibatalkan atas permintaan DPR.
l) F-PDKB (Prof. Astrid S)
Jadi dengan berpangkal tolak pada penjelasan yang luar biasa tadi
yang dirumuskan oleh Deplu untuk Pasal 11 ayat (1) saya kira secara
inplisit dan substansial suudah tercakup, sehingga dengan demikian
kami cabut.
m) Pemerintah
232
Jadi di Pasal 10 dan 11, 9, 10, 11 kita atur bahwa pengesahan
perjanjian internasional dapat dilakukan dengan UU apabila
menyangkut materi yang pokok-pokok tadi yang penting dan apabila di
luar UU akan dilakukan oleh Keputusan Presiden. Jadi kami
menganggap pengesahan dengan Keputusan Presiden ini masih perlu
dilakukan, karena usulan PDKB sudah dicabut demikian juga PDI
Perjuangan.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar
kiranya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tetap memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Pemohon
bertanggal 20 Desember 2017, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 20
Desember 2017, yang pada pokoknya Pemohon tetap pada pendiriannya;
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
233
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076),
Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah
permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4012, selanjutnya disebut UU 24/2000) terhadap UUD
1945 maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
234
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September
2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU
MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan dalam permohonan a quo
adalah Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, serta Pasal 11 ayat (1) dan
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000, yang rumusannya masing-masing
sebagai berikut:
235
Pasal 2 UU 24/2000:
Menteri memberi pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.
Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000:
(1) … (2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau dengan keputusan keputusan presiden.
Pasal 10 UU 24/2000:
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000:
(1) Pengesahan pernjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.
(2) …
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000:
Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta pengesahan yang bersifat teknis.
2. Bahwa Pemohon I, Indonesia for Global Justice (Indonesia untuk Keadilan
Global), mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat yang berbentuk
perkumpulan dan didirikan berdasarkan Akta Nomor 34 Notaris dan PPAT H.
236
Abu Jusuf, S.H., bertanggal 22 April 2002 juncto Akta Nomor 9 Notaris Dian
Fitriana, S.H., M.Kn, bertanggal 10 Februari 2012, yang dalam hal ini diwakili
oleh Rachmi Hertanti selaku Direktur Eksekutif yang berdasarkan Pasal 9 angka
(6) AD/ART Pemohon I berhak dan berwenang mewakili perkumpulan di dalam
dan di luar pengadilan.
Menurut Pasal 6 AD/ART Pemohon I dikatakan bahwa tujuan Perkumpulan a
quo (Pemohon I) adalah (1) Berkembangnya kesadaran kritis masyarakat
terhadap globalisasi; (2) Adanya kebijakan lokal, nasional dan global yang
melindungi, menghargai nilai-nilai hidup dan kehidupan; (3) Adanya tatanan
dunia baru yang berazaskan (sic!) pluralisme, keragaman, keberlanjutan dan
keadilan.
Untuk mendukung tujuan dimaksud, Pemohon I melakukan aktivitas riset,
advokasi, pendidikan, pengembangan jaringan kerja, dan kegiatan-kegiatan lain
yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Menurut Pemohon I, pengajuan pengujian terhadap Undang-Undang a quo
adalah sejalan dengan tujuan angka (2) di atas guna memastikan adanya
kontrol dan keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, khususnya perjanjian yang berdampak luas terhadap
kehidupan rakyat sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Dengan uraian demikian, setelah memeriksa AD/ART Pemohon I, khususnya
yang berkait dengan tujuan didirikannya Perkumpulan dan aktivitas
Perkumpulan serta pihak yang berhak mewakili Pemohon I dalam konteks
permohonan a quo, Mahkamah berpendapat Pemohon I memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo karena
pengajuan Permohonan a quo relevan dengan tujuan dan aktivitas
Perkumpulan dan diwakili oleh pihak yang berhak bertindak untuk dan atas
nama Perkumpulan (Pemohon I);
3. Bahwa Pemohon II, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice
(IHCS), mendalilkan dirinya sebagai Organisasi, yang dalam hal ini diwakili oleh
Henry David Oliver selaku Ketua Eksekutif berdasarkan Pasal 21 angka (4)
AD/ART yang menyatakan bahwa Ketua Eksekutif berhak dan berwenang
mewakili dan atau menunjuk kuasanya untuk mewakili organisasi di muka
hukum baik di Pengadilan maupun lembaga hukum lainnya, tanpa menjelaskan
237
apakah Organisasi dimaksud telah berbadan hukum atau tidak melainkan hanya
dikatakan didirikan berdasarkan Akta Nomor 16 Notaris Ny. Nurul Muslimah
Kurniati, S.H., bertanggal 16 Februari 2008. Oleh karena itu, sesuai dengan
ketentuan dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, Mahkamah akan
memperlakukannya sebagai sekelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama.
Berdasarkan Pasal 7 Akta Notaris dimaksud diterangkan bahwa tujuan
Organisasi adalah bertugas, di antaranya di tingkat nasional, untuk “terciptanya
negara yang demokratis yang menghormati, memenuhi, dan melindungi hak
asasi manusia serta mewujudkan keadilan sosial bagi warganya.” Sementara
itu, dalam Pasal 9 Akta Notaris dimaksud dikatakan, antara lain, bahwa fungsi
Organisasi (Pemohon II) adalah membela korban pelanggaran hak asasi
manusia melalui advokasi litigasi dan non-litigasi.
Dengan uraian demikian, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
AD/ART Pemohon II, khususnya yang berkait dengan tujuan didirikannya
Perkumpulan dan aktivitas Perkumpulan serta pihak yang berhak mewakili
Pemohon II dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah berpendapat
Pemohon II memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon
dalam Permohonan a quo karena pengajuan Permohonan a quo relevan
dengan tujuan dan aktivitas Perkumpulan dan diwakili oleh pihak yang berhak
bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan (Pemohon II);
4. Bahwa Pemohon III, Serikat Petani Indonesia (SPI), mendalilkan diri sebagai
organisasi massa petani yang didirikan dengan Akta Notaris Nomor 3 Notaris
Reno Yanti bertanggal 6 Juli 2000 dan Akta Notaris Nomor 18 bertanggal 14
April 2008 Notaris Ny Soetati Mochtar, S.H., yang dalam hal ini diwakili oleh
Henry Saragih selaku Ketua Umum Badan Pelaksana Pusat.
Berdasarkan Pasal 8 Anggaran Dasarnya, organisasi ini bertujuan, pada intinya,
menciptakan tatanan agraria yang adil dan beradab. Guna mencapai tujuan itu,
Pemohon III secara terus-menerus melakukan pendampingan dan advokasi
hak-hak petani, peternak, dan nelayan serta penguatan organisasi tani dalam
rangka menghadapi perjanjian perdagangan internasional dan liberalisasi
sektor pertanian. Pemohon III menganggap tidak bisa memperjuangkan
kepentingan petani anggotanya dalam perjanjian internasional melalui
mekanisme DPR karena, berdasarkan Undang-Undang a quo, DPR hanya
238
berfungsi untuk konsultasi dan pengesahan perjanjian internasional, bukan
memberi persetujuan. Karena alasan itulah, Pemohon III mengajukan
permohonan a quo.
Berdasarkan uraian di atas, oleh karena Pemohon III bukan badan hukum
maka, dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK,
Mahkamah dapat mengkualifikasikannya sebagai kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama. Dalam konteks itu, dengan merujuk pada
Anggaran Dasar Pemohon III, pengajuan permohonan a quo relevan dengan
tujuan didirikannya Organisasi SPI (Pemohon III) dan aktivitas yang dilakukan
untuk mencapai tujuan itu. Namun, setelah Mahkamah memeriksa dengan
saksama AD/ART Pemohon III, Mahkamah tidak menemukan ketentuan yang
mengatur mengenai siapa yang berhak untuk dan atas nama Pemohon III. Oleh
karena itu, Mahkamah tidak memperoleh keyakinan apakah Saudara Henry
Saragih selaku Ketua Umum Badan Pelaksana Pusat berhak bertindak untuk
dan atas nama Pemohon III dalam kaitan dengan pengajuan permohonan a
quo. Karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon III tidak memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo.
5. Bahwa Pemohon IV, Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), mendalilkan
dirinya sebagai badan hukum Yayasan yang didirikan berdasarkan Akta Notaris
Nomor 03 tanggal 18 April 2006 oleh Notaris Joyce Karnadi, S.H. dalam hal ini
diwakili oleh Dwi Astuti selaku Ketua Pengurus. Pasal 16 ayat (5) AD/ART
Pemohon IV menyatakan pada intinya bahwa Pengurus berhak mewakili
Yayasan di dalam dan di luar Pengadilan tentang segala kejadian. Sementara
itu, berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Berita Acara Rapat Gabungan
Organ Yayasan Bina Desa Sadajiwa Nomor 32 bertanggal 29 November 2010
yang dibuat di hadapan Notaris Agus Madjid, S.H., menetapkan Dwi Astuti
sebagai Ketua Pengurus Yayasan Bina Desa Sadajiwa. Dengan demikian, Dwi
Astuti berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon IV dalam permohonan
a quo.
Selanjutnya, setelah Mahkamah memeriksa AD/ART Pemohon IV telah ternyata
bahwa maksud dan tujuan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Pemohon IV), pada
intinya, adalah melakukan kegiatan sosial dan kemanusiaan dalam arti luas
khususnya bagi masyarakat pedesaan, khususnya petani, nelayan tradisional,
perempuan, dan masyarakat adat. Pemohon IV menganggap berlakunya
239
Undang-Undang a quo menghalangi tujuan pendirian Pemohon IV dimaksud,
khususnya dalam memberi masukan kepada DPR dalam proses pembuatan
perjanjian internasional.
Berdasarkan uraian di atas, Mahkamah berpendapat bahwa pengajuan
permohonan a quo relevan dengan maksud dan tujuan didirikannya Yayasan
Bina Desa Sadajiwa (Pemohon IV) dan Pemohon IV diwakili oleh pihak yang
berdasarkan AD/ART Pemohon IV berhak bertindak untuk dan atas nama
Pemohon IV sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon IV memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam Permohonan a quo.
6. Bahwa Pemohon V, Aliansi Petani Indonesia (API), mendalilkan dirinya sebagai
organisasi yang didirikan tanggal 5 Agustus 2005 berdasarkan Akta Notaris
Nomor 10 Notaris Agus Madjid, S.H., oleh karena itu, dengan mengacu pada
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, Mahkamah akan memperlakukan
Pemohon V, yang dalam hal ini diwakili oleh Muhammad Nur Uddin selaku
Sekretaris Jenderal, sebagai kelompok orang yang memiliki kepentingan sama.
Dengan merujuk pada Pasal 12 Akta Pendirian Pemohon V, yaitu Tujuan Sosial
Ekonomi didirikannya API (Pemohon V), Mahkamah menilai tujuan dimaksud
ada relevansinya dengan pengajuan Permohonan a quo. Namun, oleh karena
Pemohon V sama sekali tidak menjelaskan siapa yang berhak bertindak untuk
dan atas nama Pemohon V, Mahkamah tidak memperoleh keyakinan apakah
Saudara Muhammad Nur Uddin selaku Sekretaris Jenderal berhak bertindak
untuk dan atas nama Pemohon V. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat
Pemohon V tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon
dalam Permohonan a quo;
7. Bahwa Pemohon VI, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang
dalam hal ini diwakili oleh Susan Herawati Romica selaku Sekretaris Jenderal.
Namun, sebelum mempertimbangkan lebih jauh kedudukan hukum Pemohon
VI, terlebih dahulu Mahkamah memberikan catatan bahwa dalam uraian
Permohonan di halaman sebelumnya (halaman 2), yang disebut sebagai
Pemohon VI adalah Solidaritas Perempuan, bukan KIARA, tetapi di halaman
Permohonan selanjutnya (halaman 18) yang diterangkan sebagai Pemohon VI
adalah KIARA. Sebagai catatan tambahan lainnya, di halaman 2 Permohonan,
singkatan KIARA merujuk pada Perkumpulan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan
240
Perikanan, sedangkan di halaman 18 singkatan KIARA merujuk pada Koalisi
Rakyat Untuk Keadilan Perikatan, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah
Pemohon VI ini “Perkumpulan” ataukah hanya organisasi non-pemerintah (yang
tidak berbentuk perkumpulan). Demi menghindari kekacauan yang disebabkan
oleh tidak konsistennya Pemohon dalam menerangkan identitasnya maka yang
akan dipertimbangkan kedudukan hukumnya sebagai Pemohon VI dalam
Permohonan a quo adalah KIARA dalam pengertian semata-mata sebagai
organisasi non-pemerintah yang dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 51
ayat (1) huruf a UU MK oleh Mahkamah akan diperlakukan sebagai kelompok
orang yang memiliki kepentingan sama.
Pemohon VI mendalilkan dirinya sebagai organisasi non-pemerintah didirikan
tanggal 13 Maret 2009 berdasarkan Akta Notaris Nomor 29 Notaris Haji Dana
Sasmita, S.H. yang menaruh perhatian terhadap dinamika isu kelautan,
perikanan, dan nelayan yang berkaitan dengan perdagangan bebas dan
liberalisasi sektor perikanan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7 dan Pasal 8 Anggaran Dasar Pemohon VI. Namun, setelah Mahkamah
memeriksa dengan saksama, tidak terdapat uraian yang menerangkan siapa
yang berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon VI, apakah hak demikian
dimiliki oleh Susan Herawati Romica selaku Sekretaris Jenderal KIARA ? Oleh
karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon VI tidak memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo;
8. Bahwa Pemohon VII, Solidaritas Perempuan, mendalilkan dirinya sebagai
Perkumpulan yang didirikan tanggal 1 April 1993 dan tercatat di Akta Notaris
Gde Kertayasa, S.H. dengan Nomor 29 bertanggal 17 Januari 1994, yang dalam
hal ini diwakili oleh Puspa Dewy selaku Ketua Badan Eksekutif. Namun,
sebelum mempertimbangkan lebih jauh kedudukan hukum Pemohon VII,
Mahkamah hendak memberikan catatan bahwa di halaman 6 Permohonan,
yang disebut sebagai Pemohon VII adalah Perkumpulan Koalisi Rakyat Untuk
Keadilan Perikanan (KIARA), namun di halaman 19 Permohonan, yang
diterangkan sebagai Pemohon VII adalah Perserikatan Solidaritas Perempuan.
Selain itu, juga terdapat inkonsistensi. Di halaman 2 Permohonan, singkatan SP
digunakan untuk merujuk pada Solidaritas Perempuan, sementara itu di
halaman 19 Permohonan, singkatan yang sama digunakan untuk merujuk
Perserikatan Solidaritas Perempuan. Oleh sebab itu, dalam pertimbangan
241
berikut, Mahkamah akan mengartikan singkatan SP untuk Pemohon VII sebagai
singkatan dari Perserikatan Solidaritas Perempuan.
Selanjutnya, Mahkamah mempertimbangkan bahwa oleh karena Pemohon VII
(SP) tidak mendalilkan dirinya sebagai badan hukum melainkan sebagai
organisasi non-pemerintah maka, dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 51
ayat (1) huruf a UU MK, Mahkamah akan memperlakukan Pemohon VII sebagai
kelompok orang yang memiliki kepentingan sama.
Setelah Mahkamah memeriksa secara cermat uraian Pemohon VII, baik dengan
asas maupun tujuan pendiriannya, Mahkamah tidak menemukan adanya
relevansi dari asas dan tujuan tersebut dengan pengajuan Permohonan a quo.
Pemohon VII hanya menguraikan asas perserikatan (SP, Pemohon VII) dengan
uraian, “perserikatan ini berasaskan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi
Perempuan (HAP) yang utuh dan bersifat universal”, sedangkan dalam
uraiannya mengenai tujuan perserikatan (SP, Pemohon VII) dikatakan,
“Perserikatan ini bertujuan untuk mewujudkan tatanan sosial yang demokratis,
dengan prinsip-prinsip keadilan, keutuhan ekologis, menghargai keberagaman,
menolak diskriminasi dan kekerasan, dengan berdasarkan pada sistem
hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, dimana keduanya dapat
berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik secara adil”. Dengan demikian, konteks dari asas maupun tujuan SP
(Pemohon VII) adalah lebih menekankan pada kesetaraan hubungan laki-laki
dengan perempuan dalam aktivitasnya sehingga terlalu jauh relevansinya
dengan pengajuan Permohonan a quo. Selain itu, Mahkamah juga tidak
menemukan penjelasan dalam uraian Pemohon VII perihal siapa yang berhak
bertindak untuk dan atas nama Pemohon VII sehingga Mahkamah tidak
memperoleh keyakinan apakah Saudara Puspa Dewy selaku Ketua Badan
Eksekutif berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon VII dalam pengajuan
Permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon VII tidak
memiliki kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam
Permohonan a quo;
9. Bahwa Pemohon VIII, Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and
Democracy (FIELD), yang dalam hal ini diwakili oleh Widyastama Cahyana
selaku Direktur Eksekutif, mendalilkan dirinya sebagai “organisasi” yang tercatat
di Akta Notaris Zarkasyi Nurdin, S.H. dengan Akta Nomor 1 Notaris DRS.
242
Zarkasyi Nurdin, S.H., bertanggal 1 Juni 2001. Setelah Mahkamah memeriksa
dengan saksama permohonan dan alat bukti [vide permohonan para Pemohon
dan bukti P-10], bahwa maksud dan tujuan dari organisasi tidak memiliki
relevansinya dengan permohonan a quo. Selain itu, dalam permohonan maupun
Anggaran Dasar Pemohon VIII tidak ditemukan siapa yang berhak bertindak
untuk dan atas nama Pemohon VIII, termasuk untuk mengajukan Permohonan
a quo, sehingga timbul keragu-raguan pada Mahkamah apakah Widyastama
Cahyana selaku Direktur Eksekutif berhak bertindak untuk dan atas nama
Pemohon VIII. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon VIII tidak
memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
Permohonan a quo;
10. Bahwa Pemohon IX, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), yang dalam hal ini
diwakili oleh Mansuetus Alsy Hanu selaku Ketua Badan Pengurus, mendalilkan
dirinya sebagai perkumpulan. Pemohon IX menerangkan bahwa tujuan
pendiriannya, berdasarkan Pasal 6 AD/ART-nya, adalah mewujudkan petani
kelapa sawit yang mandiri, berdaulat, bermartabat dan sejahtera [vide bukti P-
11]. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut, menurut
Pasal 7 AD/ART-nya, diterangkan bahwa Pemohon IX melakukan kegiatan,
antara lain, promosi untuk menguatkan posisi petani kelapa sawit dan advokasi
berbagai persoalan petani kelapa sawit. Sementara itu, dalam menerangkan
relevansinya dengan Permohonan a quo, Pemohon IX menerangkan bahwa
keberadaan Undang-Undang a quo merugikan Pemohon IX karena mengancam
kedaulatan petani kelapa sawit. Pemohon IX mencontohkan perjanjian
Indonesia dengan India yang disahkan dengan Keppres Nomor 93 Tahun 2003
yang dianggap mengancam keberlanjutan kehidupan petani sehingga tidak bisa
mandiri di bidang ekonomi dan pangan. Dengan uraian demikian, Mahkamah
berpendapat bahwa terdapat korelasi sekaligus relevansi diajukannya
Permohonan a quo dengan tujuan maupun kegiatan atau program-program
Pemohon IX. Namun, Pemohon IX tidak menerangkan, menurut AD/ART-nya,
siapa yang berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon IX, apakah
Saudara Mansuetus Alsy Hanu selaku Ketua Badan Pengurus memiliki hak itu?
Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat Pemohon IX tidak memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo;
243
11. Bahwa Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV (Amin Abdullah, Mukmin,
Fauziah, Baiq Farihun, dan Budiman), menerangkan dirinya sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang semuanya berprofesi sebagai
petambak garam. Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV menganggap hak
konstitusionalnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia dirugikan oleh
berlakunya Undang-Udang a quo, yaitu hak untuk ikut memberikan aspirasi
kepada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dan berakibat meningkatnya
jumlah garam impor sehingga merugikan hak-hak mereka untuk memenuhi dan
meningkatkan kesejahteraan.
Dengan uraian demikian, dalam menilai kedudukan hukum Pemohon X sampai
dengan Pemohon XIV, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan bahwa
undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah
undang-undang yang bersangkut-paut dengan pembuatan perjanjian
internasional. Sementara itu, bilamana negara telah menyatakan diri terikat
dalam suatu perjanjian internasional dan perjanjian internasional itu telah
dimplementasikan ke dalam (dan dijadikan bagian dari) hukum nasional maka
warga negara pun terikat oleh isi perjanjian internasional itu, bukan hanya
negara. Dengan kata lain, implementasi ke dalam hukum nasional dari suatu
perjanjian internasional menjadikan perjanjian internasional mengikat
sebagaimana halnya undang-undang. Adapun norma undang-undang yang
dipersoalkan adalah berkait dengan kewenangan DPR dalam proses
pembuatan perjanjian internasional dimaksud, sementara DPR adalah
representasi rakyat di lembaga perwakilan. Oleh karena itu, meskipun Pemohon
X sampai dengan Pemohon XIV sebagai perseorangan warga negara Indonesia
tidak secara eksplisit menyebut hak konstitusionalnya yang dianggapnya
dirugikan dimaksud melainkan hanya mengaitkan konteksnya dikaitkan dengan
tidak maksimalnya pelaksanaan kewenangan DPR dalam pembuatan perjanjian
internasional sehingga, menurut Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV,
impor garam meningkat dan hal itu dinilai menghambat hak mereka untuk
memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan sebagai petani garam. Terlepas
dari benar atau tidaknya anggapan Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV
perihal apakah peningkatan jumlah garam impor dimaksud berkait langsung
dengan keberlakuan suatu perjanjian internasional, Mahkamah menilai, secara
kontekstual, penalaran demikian dapat diterima sehingga Mahkamah
244
berpendapat Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai dengan
angka 15 di atas, telah ternyata bahwa hanya Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV,
Pemohon X sampai dengan Pemohon XIV yang memiliki kedudukan hukum untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili
Permohonan a quo dan sebagian dari Pemohon (yang selanjutnya disebut para
Pemohon) memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
Permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok
permohonan.
Pokok Permohonan
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 2, Pasal
9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000, para Pemohon
mengemukakan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan
para Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan
ini):
A. Bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 2 UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal
11 ayat (2) UUD 1945 karena telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR”
dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan
publik”, dengan argumentasi yang pada intinya:
1) para Pemohon memulai argumentasinya dengan membandingkan atau
menghubungkan rumusan Pasal 2 UU 24/2000 dengan rumusan Pasal 11
ayat (2) UUD 1945 serta mengutip pengertian Treaty dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (selanjutnya disebut
Konvensi Wina 1969) dan membandingkannya dengan definisi “Perjanjian
Internasional” dalam UU 24/2000 dan Penjelasan Umum Undang-Undang a
quo tanpa memuat penjelasan mengenai maksud memperbandingkan dan
menghubung-hubungkan tersebut. Namun, para Pemohon menegaskan
bahwa Konvensi Wina 1969 telah menjadi hukum kebiasaan internasional
sehingga meskipun Indonesia tidak meratifikasinya, Indonesia tetap terikat
245
kepadanya ketika secara sukarela ikut mempraktikkan dan menerima
kebiasaan itu sebagai hukum (opinio juris) tanpa pernah melakukan
penolakan secara konsisten (persistent objection);
2) kekuasaan Presiden dalam membuat dan mengikatkan Indonesia dalam
perjanjian internasional itu terbatas, di mana untuk kategori perjanjian
internasional tertentu, persetujuan DPR diperlukan sebelum perjanjian itu
mengikat Indonesia;
3) rumusan Pasal 3 UU 24/2000 yang memuat bagaimana cara negara
mengikatkan diri kepada perjanjian internasional adalah penulisan ulang
ketentuan dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969, namun Undang-Undang a
quo menggunakan istilah tersendiri yakni “pengesahan” untuk menunjukkan
cara negara menyatakan terikat kepada suatu perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969 tersebut,
sehingga Undang-Undang a quo menghendaki setiap perjanjian internasional
yang pernyataan pengikatannya dilakukan menurut cara sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969 adalah perjanjian internasional yang
mengharuskan pengesahan;
4) Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mempersyaratkan adanya persetujuan DPR
dalam pengikatan terhadap suatu perjanjian internasional, sementara Pasal
2 UU 24/2000 menyatakan Menteri berkonsultasi dengan DPR, pertanyaan
kemudian adalah bagaimana jika DPR tidak setuju dengan perjanjian
internasional itu, karena kewenangan DPR dalam Pasal 2 UU 24/2000
tersebut hanya terbatas memberikan konsultasi. Frasa “berkonsultasi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 2 Undang-Undang a quo tidak
menjelaskan kekuatan mengikat pelaksanaan konsultasi tersebut, padahal
DPR adalah pihak yang memiliki kewenangan memberikan persetujuan;
5) Undang-Undang a quo tidak memuat satu pun klausul “persetujuan oleh
DPR”, yang ada hanya tindakan pengesahan dalam bentuk undang-undang
yang memerlukan persetujuan DPR. Pasal 2 UU 24/2000 menghilangkan
frasa “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan menggantinya dengan
frasa “dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” Berarti, DPR
hanya terlibat ketika perjanjian itu telah diterima oleh pemerintah tanpa
melalui persetujuan DPR;
246
6) hilangnya makna “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” berarti
menghilangkan hak warga negara (melalui peran DPR) sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat untuk menyatakan pendapatnya tentang suatu perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945;
7) para Pemohon kemudian membandingkan dengan peran Parlemen Australia
dalam praktik pembuatan perjanjian internasional negeri itu dan
menyimpulkan bahwa persetujuan Parlemen Australia dalam pembuatan
perjanjian internasional merupakan proses demokrasi yang melibatkan
partisipasi publik. Menurut para Pemohon, hal serupa seharusnya dilakukan
di Indonesia dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
B. Bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000 bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan mengemukakan argumentasi yang
pada intinya:
1) Undang-Undang a quo mengganti frasa “persetujuan DPR” dalam Pasal 11
ayat (2) UUD 1945 dengan frasa “pengesahan dengan Undang-Undang”
sehingga berarti DPR hanya terlibat pada bagian akhir penyusunan perjanjian
internasional;
2) para Pemohon kemudian melakukan tinjauan historis terhadap rumusan
dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan di mana atas dasar
rumusan itu kemudian Presiden melalui Surat Nomor 2826/HK/60 perihal
persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 (sebelum perubahan) itu
ditafsirkan bahwa agar pemerintah memiliki keleluasaan bergerak dalam
menjalankan hubungan internasional maka tidak semua perjanjian
internasional diperlukan persetujuan DPR melainkan hanya terhadap
perjanjian internasional yang disebut treaty saja, yaitu yang menyangkut soal-
soal politik yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara dan
soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem
perundang-undangan harus diatur dengan undang-undang. Surat inilah yang
kemudian oleh Presiden dan DPR dijadikan sebagai pedoman dalam
menafsirkan Pasal 11 UUD 1945 dan tahun 2000 terbitlah UU 24/2000
sehingga praktik yang sudah berjalan sebelumnya memperoleh landasan
yuridis yang lebih kuat. Undang-Undang a quo meneguhkan perjanjian
internasional yang memerlukan persetujuan DPR dan yang tidak;
247
3) Pasal 11 UUD 1945 menggunakan istilah “persetujuan”, sementara Undang-
Undang a quo menggunakan istilah “pengesahan” sehingga DPR berubah
perannya dari yang seharusnya menyetujui atau menolak tindakan
pemerintah yang mengikatkan diri kepada suatu kesepakatan internasional
menjadi hanya pembuat pernyataan pengikatan (consent to be bound)
melalui suatu undang-undang atau bentuk lainnya. Menyatakan terikat
kepada suatu perjanjian internasional adalah tugas atau pekerjaan
pemerintah yang dilakukan dengan mendepositkan atau mempertukarkan
apa yang disebut instrumen ratifikasi. Kata “pengesahan” seharusnya tidak
ada dan tidak bisa menggantikan kata “persetujuan”. Tindakan persetujuan
atau penolakan DPR adalah perbuatan dalam lingkup hukum nasional yang
diatur dalam hukum nasional, sedangkan pernyataan pengikatan yang
dilakukan oleh pemerintah (dengan persetujuan DPR) adalah perbuatan yang
dilakukan berdasarkan hukum internasional. Karena itu, frasa “pengesahan
perjanjian internasional dengan undang-undang atau keputusan presiden”
tidak seharusnya ada melainkan seharusnya “persetujuan oleh DPR”
sebagaimana disebut dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Frasa
“pengesahan dengan undang-undang atau keputusan presiden” berarti
menempatkan DPR hanya dalam akhir penyusunan dan/atau pembuatan
perjanjian internasional.
C. Bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 10 UU 24/2000 bertentangan dengan
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” dalam
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut dimaknai hanya terbatas pada kategori: a)
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan
atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e)
pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”,
dengan argumentasi yang pada intinya:
1) jika pengesahan perjanjian internasional yang disahkan melalui bentuk
undang-undang dimaknai oleh pembuat undang-undang sebagai perjanjian
internasional yang harus dengan persetujuan DPR, Pasal 10 UU 24/2000
telah memberikan pengaturan mengenai kategori perjanjian internasional
248
yang dapat disahkan dengan undang-undang dan perjanjian internasional
yang di luar Pasal 10 UU 24/2000 disahkan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu Keputusan Presiden
(sekarang Peraturan Presiden) tanpa harus melalui persetujuan DPR.
Pembatasan atau pengkategorian demikian telah mengabaikan perjanjian
internasional lainnya, di luar Pasal 10 UU 24/2000, yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, misalnya perjanjian internasional menyangkut kerjasama di
bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, teknik, perdagangan, kebudayaan,
pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan
penanaman modal;
2) para Pemohon kemudian memberikan catatan sekaligus contoh mengenai
perjanjian internasional di bidang perdagangan yang sudah melampaui
praktik tradisional yang hanya mengatur kegiatan ekspor dan impor saja.
Intinya, dengan contoh-contoh dan pengalaman Indonesia dalam
menghadapi gugatan yang berasal dari keterikatannya dalam perjanjian-
perjanjian internasional, para Pemohon hendak menegaskan bahwa
pengkategorian yang diatur dalam Pasal 10 UU 24/2000 tidak mencukupi
untuk memaknai perjanjian internasional yang “menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 10 UU 24/2000 juga bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang”
dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d)
hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f)
pinjaman dan/atau hibah luar negeri”, dengan argumentasi yang pada intinya
bahwa ketidakselarasan pengaturan mengenai kualifikasi pengesahan perjanjian
internasional melalui undang-undang dan melalui Keputusan Presiden (sekarang
249
Peraturan Presiden) telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam kaitan ini,
para Pemohon mencontohkan ratifikasi dengan Peraturan Presiden (pada tahun
2015) terhadap perjanjian pembentukan AIIB (Asian Infrastructure Investment
Bank).
D. Bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 11 ayat (1) beserta Penjelasan Pasal 11
ayat (1) UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, dengan argumentasi yang pada intinya bahwa oleh karena Pasal
11 ayat (1) UU 24/2000 dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 merupakan
suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 UU 24/2000, sementara itu
Pasal 10 UU 24/2000 menurut para Pemohon adalah bertentangan dengan Pasal
11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka Pasal 11 ayat (1) dan
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 juga bertentangan dengan Pasal 11
ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, para Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-15.
[3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa secara saksama
permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan para Pemohon, keterangan
Presiden, keterangan DPR, keterangan ahli para Pemohon dan ahli Presiden,
kesimpulan para Pemohon dan Presiden.
[3.10] Menimbang bahwa setelah mendengar permohonan para Pemohon,
memeriksa bukti-bukti yang diajukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.8],
serta mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana diuraikan pada Paragraf
[3.9], sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil para Pemohon, dalam
memahami Permohonan a quo, Mahkamah memandang penting untuk terlebih
dahulu menjelaskan konstruksi pemikiran berikut.
Bahwa pada era global dewasa ini, secara empirik, setiap negara adalah
bagian dari masyarakat internasional yang hidup saling bergantung satu sama lain.
Tak ada satu negara pun di dunia, termasuk Indonesia, yang mampu bertahan hidup
dengan mengisolasi diri tanpa sama sekali berhubungan dengan negara-negara
lainnya. Dengan kata lain, keberadaan masyarakat internasional (yaitu masyarakat
yang beranggotakan terutama negara-negara merdeka dan berdaulat itu) bukan lagi
250
hanya fiksi yang dibutuhkan sebagai titik tolak argumentasi dalam memberikan
landasan sosiologis bagi ada dan berlakunya hukum internasional melainkan telah
merupakan realitas. Karena masyarakat internasional telah merupakan realitas
maka hukum internasional pun (sebagai bidang hukum yang berlaku bagi dan/atau
dalam masyarakat internasional) harus diterima sebagai realitas. Dalam realitas itu,
perjanjian internasional memegang peran penting karena merupakan salah satu
sumber primer hukum internasional. Sumber primer bukan semata-mata dalam
pengertian bahwa perjanjian internasional adalah sumber yang pertama-tama akan
dirujuk oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam memutus
perkara konkret yang sedang ditanganinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat
(1) huruf a Statuta Mahkamah Internasional, tetapi juga dalam pengertian bahwa
sejak abad ke-20 perkembangan hukum internasional lebih banyak diarahkan oleh
perjanjian-perjanjian internasional, tidak lagi oleh kebiasaan-kebiasaan
internasional sebagaimana terjadi pada era sebelumnya. Oleh karena itu, bagi
Indonesia, berperan dalam pembentukan perjanjian internasional di samping
sebagai tuntutan kebutuhan sekaligus juga turut memberi arah perkembangan
hukum internasional. Misalnya, untuk menyebut satu contoh, dalam perkembangan
hukum laut internasional di mana Indonesia sejak pertengahan abad ke-20 telah
turut aktif berperan membentuk sekaligus memberi arah lahirnya sejumlah konsep
mendasar dalam bidang hukum laut yang telah diterima sebagai bagian dari kaidah
hukum internasional positif di bidang hukum laut sebagaimana tercermin dalam
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UN Convention on the Law of the Seas,
UNCLOS), misalnya konsep negara kepulauan (archiplegic state), zona ekonomi
eksklusif (economic exclusive zone), landas kontinen (continental shelf), dan lain-
lain. Demikian pula halnya peran Indonesia dalam bidang-bidang atau bagian-
bagian hukum internasional lainnya. Dengan uraian demikian, keterlibatan atau
keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional tidak tepat jika dinilai seolah-
olah Indonesia hanya sekadar mengikuti arus atau fenomena yang berkembang
dalam masyarakat internasional;
Bahwa keterlibatan dan/atau keterikatan Indonesia dalam perjanjian
internasional, selain merupakan tuntutan kebutuhan yang tak terhindarkan sebagai
anggota masyarakat internasional, adalah juga bagian tak terpisahkan dari upaya
untuk turut serta menciptakan dan memelihara ketertiban dunia. Pembukaan UUD
1945 alinea keempat menyatakan, antara lain, “Untuk membentuk Pemerintah
251
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia ... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”. Berdasarkan rumusan
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat itu telah jelas bahwa “ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia” adalah salah satu amanat konstitusi yang ditujukan
kepada Pemerintah Negara Indonesia. Ketertiban dunia yang oleh Pembukaan UUD
1945 diamanatkan untuk turut dilaksanakan oleh Pemerintah Negara Indonesia itu
adalah ketertiban dunia yang dilandasi oleh atau didasarkan atas kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan kata lain, secara a contrario,
Pemerintah Negara Indonesia wajib menentang (atau setidak-tidaknya tidak boleh
ikut serta dalam) upaya-upaya yang mengatasnamakan ketertiban dunia namun
bertentangan dengan tiga landasan di atas (kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial). Sarana untuk menciptakan, mempertahankan, atau melaksanakan
ketertiban dunia itu, salah satunya, adalah perjanjian internasional. Dengan
demikian, bagi Indonesia, melibatkan diri dalam perjanjian internasional adalah
bagian dari upaya mencapai tujuan bernegara yang pemenuhannya, berdasarkan
Konstitusi, diamanatkan kepada Pemerintah Negara Indonesia.
Bahwa proses pembuatan perjanjian internasional melibatkan dua bidang
hukum, yaitu hukum nasional (khususnya hukum tata negara) dan hukum
internasional yang keduanya berjalan secara sendiri-sendiri atau terpisah namun
dalam hal tertentu terdapat keterkaitan. Dalam konteks Indonesia, secara
konstitusional (hukum tata negara), berkenaan dengan perjanjian internasional,
Pasal 11 UUD 1945 menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Dengan rumusan demikian, secara sistematis, Pasal 11 UUD 1945
membedakan antara perjanjian internasional antarnegara dan perjanjian
internasional antara negara (in casu Indonesia) dengan subjek hukum internasional
lain selain negara. Hal ini sejalan dengan praktik maupun kaidah hukum
252
internasional yang berlaku hingga saat ini yang membedakan antara perjanjian
internasional antara negara dengan negara, perjanjian internasional antara negara
dengan subjek hukum internasional lain selain negara, dan perjanjian internasional
antar-sesama subjek hukum internasional bukan negara.
Bahwa dalam lapangan hukum internasional, pengaturan tentang
perjanjian internasional antarnegara berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention
on the Law of Treaties, selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969). Hal itu ditegaskan
dalam Pasal 1 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan, “The present Convention
apllies to treaties between States.” Selain itu, berdasarkan Pasal 2 ayat (1),
Konvensi Wina 1969 juga tidak berlaku terhadap persetujuan internasional
antarnegara yang bentuknya tidak tertulis. Sedangkan untuk perjanjian internasional
antara negara dengan organisasi internasional atau antar-sesama organisasi
internasional diatur dalam Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of
Treaties between and International Organizations or between International
Organizations, selanjutnya disebut Konvensi Wina 1986). Hal itu ditegaskan dalam
Pasal 1 Konvensi Wina 1986 yang menyatakan, “The present Convention apllies to:
(a) treaties between one or more States and one or more international organizations,
and (b) treaties between international organizations.” Konvensi Wina 1986, dalam
Pasal 3-nya, menegaskan bahwa Konvensi ini tidak berlaku: (i) terhadap
persetujuan internasional di mana satu atau lebih Negara, satu atau lebih organisasi
internasional dan satu atau lebih subjek hukum internasional selain negara atau
organisasi internasional merupakan pihak; (ii) terhadap persetujuan internasional di
mana satu atau lebih organisasi internasional dan satu atau lebih subjek hukum
internasional selain negara atau organisasi internasional merupakan pihak; (iii)
terhadap persetujuan internasional yang bentuknya tidak tertulis antara satu atau
lebih negara dan antara satu atau lebih organisasi internasional, atau
antarorganisasi internasional.
Dengan demikian, baik Konvensi Wina 1969 maupun Konvensi Wina
1986 secara implisit mengakui adanya persetujuan internasional tidak tertulis, baik
yang dibuat antarnegara atau antara negara dengan organisasi internasional
maupun antarsesama organisasi internasional. Namun, hal itu berada di luar ruang
lingkup pengaturan kedua Konvensi tersebut. Dengan kata lain, secara implisit,
253
pengaturan terhadap persetujuan internasional dalam bentuk tidak tertulis itu
diserahkan kepada praktik yang berlaku di luar ketentuan kedua Konvensi di atas.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dalam Paragraf [3.10] di
atas, dalam hubungannya dengan Permohonan a quo, bagaimanakah ketentuan
dalam Pasal 11 UUD 1945 harus ditafsirkan jika dikaitkan konteksnya dengan
berlakunya ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang telah diterima
secara universal dalam pergaulan internasional antarsesama anggota masyarakat
internasional. Persoalan demikian menjadi penting dijadikan titik tolak mengingat
adanya dua kebutuhan hukum yang sama-sama harus dipenuhi, yaitu, di satu pihak,
tidak mungkinnya Indonesia mengisolasi diri dari pergaulan internasional dengan
mengabaikan ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pergaulan
internasional, dalam hal ini ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam
pembuatan perjanjian internasional; dan di lain pihak, kebutuhan untuk tetap
menegaskan keberadaan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat dalam
kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat internasional sesuai dengan sifat
hakikat hukum internasional sebagai tertib hukum koordinatif (coordinative legal
order).
Dengan mengingat kedua kebutuhan hukum yang saling berkait itu maka,
dalam hubungannya dengan permohonan a quo, pertanyaan-pertanyaan yang
harus dipertimbangkan lebih jauh oleh Mahkamah adalah:
(1) apakah terhadap setiap perjanjian internasional, baik perjanjian internasional
antarnegara maupun perjanjian internasional lainnya yang melibatkan
Indonesia sebagai negara pihak (state party), senantiasa membutuhkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
(2) mengingat proses pembuatan atau pembentukan perjanjian internasional itu
terdiri atas beberapa tahap, pada tahapan mana persetujuan DPR tersebut
harus diberikan.
Berkenaan dengan pertanyaan (1): apakah terhadap setiap perjanjian
internasional, baik perjanjian internasional antarnegara maupun perjanjian
internasional lainnya yang melibatkan Indonesia sebagai negara pihak (state party),
senantiasa membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan mengingat semangat Pembukaan
254
UUD 1945 serta hakikat kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden serta
pada saat yang sama memerhatikan pula secara saksama praktik negara-negara
berdaulat yang ada dan berlaku hingga saat ini, baik yang menganut konstitusi
tertulis maupun yang menganut konstitusi tidak tertulis, keterlibatan parlemen atau
lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk pemberian persetujuan dalam proses
pembuatan perjanjian internasional pada umumnya tidaklah berlaku terhadap
semua perjanjian internasional melainkan hanya terhadap perjanjian internasional
yang dianggap penting saja. Sedangkan untuk perjanjian internasional lainnya,
misalnya perjanjian-perjanjian yang bersifat teknik atau administratif (sekadar untuk
menyebut contoh), persetujuan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat tidak
dibutuhkan. Adapun perihal mana perjanjian internasional yang dianggap penting,
di negara-negara yang menganut konstitusi tidak tertulis hal itu ditentukan
berdasarkan hukum kebiasaan yang berlaku berdasarkan praktik di negara yang
bersangkutan, sedangkan di negara-negara yang menganut konstitusi tertulis hal itu
ditentukan dalam konstitusinya dan/atau dalam pengaturan lebih lanjut dalam
hukum positifnya.
Secara umum, perjanjian internasional yang dianggap penting adalah
perjanjian-perjanjian yang memiliki dimensi politik yang bersangkut paut dengan
kedaulatan negara, di antaranya perjanjian-perjanjian yang memengaruhi batas
wilayah negara; yang memengaruhi hubungan federasi dengan negara bagian (di
negara-negara yang berbentuk federal atau serikat); yang memengaruhi beban
keuangan negara yang harus ditanggung oleh rakyat; yang memengaruhi
perimbangan atau pembagian kekuasaan raja/atau ratu dengan parlemen (di
negara-negara yang berbentuk kerajaan); yang memiliki dampak luas sehingga
dibutuhkan pembentukan undang-undang baru. Contoh-contoh tersebut tentu dapat
bertambah sesuai dengan kebutuhan atau pertimbangan masing-masing negara.
Adapun untuk perjanjian internasional lainnya, lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen pada umumnya cukup dengan menerima pemberitahuan.
Dengan demikian, bahkan untuk perjanjian antarnegara pun, menurut
praktik yang umum berlaku hingga saat ini, tidak selalu dipersyaratkan adanya
persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen jika perjanjian demikian tidak
dianggap penting menurut negara yang bersangkutan. Misalnya perjanjian
internasional antar negara yang hanya bersifat teknis atau administratif atau
perjanjian yang hanya merupakan pengaturan teknis-administratif lebih lanjut dari
255
perjanjian (penting) yang dibuat sebelumnya sehingga tidak dianggap sebagai
perjanjian tersendiri.
Praktik sebagaimana diuraikan di atas dapat diterima oleh penalaran yang
wajar sebab eksekutif sebagai pemegang dan sekaligus penanggung jawab
kekuasaan pemerintahan di negara-negara modern membutuhkan keleluasaan
bergerak yang cukup yang dalam konteks pembuatan perjanjian internasional
dengan keleluasaan bergerak yang cukup itu memungkinkannya untuk
melaksanakan pemerintahan secara efektif tanpa di satu pihak mengganggu atau
menghambat negara yang diwakilinya dalam pergaulan internasional dan di pihak
lain pada saat yang sama tanpa mengorbankan kedaulatan negara. Dalam konteks
Indonesia, praktik demikian juga telah menjadi praktik yang diterima sejak sebelum
lahirnya UU 24/2000, yaitu sejak praktik pembuatan perjanjian internasional masih
berpedoman pada Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960. Bahkan, secara esensial,
lahirnya UU 24/2000 sesungguhnya merupakan penegasan dalam bentuk undang-
undang terhadap praktik yang telah berlangsung lama dan diterima tersebut.
Penegasan dalam bentuk undang-undang dibutuhkan sebab terlepas dari
penerimaannya dalam praktik “bentuk hukum” yang bernama “Surat Presiden” itu
menimbulkan persoalan dalam hierarki peraturan perundang-undangan, lebih-lebih
apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 yang
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai (pembuatan) perjanjian
internasional dalam undang-undang, meskipun ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUD
1945 baru lahir kemudian, yaitu setelah dilakukan perubahan UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, secara
sistematis, Pasal 11 UUD 1945 haruslah ditafsirkan bahwa: pertama, dengan
penegasan melalui frasa “perjanjian internasional lainnya” dalam Pasal 11 ayat (2)
UUD 1945 berarti UUD 1945 menegaskan bahwa perjanjian antarnegara atau
“perjanjian dengan negara lain”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
UUD 1945, bukanlah berada di luar pengertian perjanjian internasional melainkan
termasuk ke dalam pengertian perjanjian internasional. Penegasan dalam
peristilahan demikian dibutuhkan mengingat, dalam lapangan hukum internasional,
perjanjian internasional antarnegara dan perjanjian internasional antara negara
dengan subjek hukum internasional lain yang bukan negara tunduk pada
pengaturan yang berbeda. Perjanjian internasional antarnegara diatur oleh
Konvensi Wina 1969, sedangkan perjanjian internasional lainnya, yaitu perjanjian
256
internasional antara negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang bukan
negara (termasuk perjanjian internasional antarsesama subjek hukum internasional
lainnya yang bukan negara) diatur dalam Konvensi Wina 1986; kedua, tidak semua
perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden mempersyaratkan adanya
persetujuan DPR melainkan hanya perjanjian-perjanjian internasional yang
memenuhi persyaratan umum yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945,
yaitu perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Dengan demikian,
secara a contrario, meskipun perjanjian yang dibuat itu adalah perjanjian
antarnegara, jika tidak menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang, persetujuan DPR tidak dipersyaratkan; ketiga,
perihal dalam hal apa atau dalam keadaan bagaimana suatu materi perjanjian
internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, hal itu tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai
secara kasuistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum
secara nasional maupun internasional.
Terhadap pertanyaan (2): pada tahapan mana persetujuan DPR tersebut
harus diberikan, Mahkamah mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, harus
dibedakan, di satu pihak, antara persetujuan DPR dengan persetujuan untuk terikat
dalam suatu perjanjian internasional (consent to be bound by a treaty) dan, di lain
pihak, antara persetujuan untuk terikat dengan pengesahan perjanjian internasional.
Kedua, “tahapan” yang dimaksud dalam hal ini adalah tahapan pembuatan
perjanjian internasional dalam konteks hukum nasional, bukan dalam konteks
hukum internasional. Ketiga, harus dibedakan antara pengesahan perjanjian
internasional menurut hukum internasional dan pengesahan perjanjian internasional
menurut hukum nasional.
Dalam hubungannya dengan persoalan pertama, sebagaimana telah
dipertimbangkan sebelumnya, persetujuan DPR dipersyaratkan adalah terhadap
perjanjian-perjanjian internasional yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Sedangkan persetujuan untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional adalah berkait dengan jenis perjanjian internasional
257
berdasarkan tahapannya. Tahapan yang dimaksud di sini adalah tahapan menurut
hukum internasional, bukan tahapan menurut hukum nasional, sebagaimana akan
dipertimbangkan berikutnya. Menurut hukum internasional, in casu Konvensi Wina
1969, berdasarkan tahapannya, ada perjanjian internasional yang terdiri atas dua
tahapan, yaitu tahapan perundingan (negotiation) dan tahapan penandatanganan
(signature). Dalam perjanjian internasional jenis ini, tahapan penandatangan adalah
sekaligus sebagai pernyataan untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional
(consent to be bound by a treaty). Sementara itu, ada pula jenis perjanjian
internasional yang terdiri atas tiga tahap, yaitu tahapan perundingan (negotiation),
tahapan penandatanganan (signature), dan tahapan pengesahan (ratification).
Berbeda dari perjanjian internasional yang terdiri atas dua tahapan, dalam perjanjian
internasional yang terdiri atas tiga tahapan maka tahapan penandatanganan
(signature) bukan berfungsi sebagai pernyataan untuk terikat melainkan sebagai
semacam pernyataan bahwa wakil para pihak dalam perundingan itu telah mencapai
kata sepakat mengenai masalah-masalah yang dirundingkan. Sedangkan agar
perjanjian (yang telah ditandatangani) itu mengikat para pihak masih diperlukan satu
tahap lagi yaitu tahap pengesahan (ratification). Untuk melaksanakan tahapan ini,
wakil para pihak akan mengajukan perjanjian itu kepada pemerintahnya masing-
masing untuk diratifikasi atau disahkan. Perihal bagaimana ratifikasi itu akan
dilaksanakan, hal itu diserahkan kepada hukum nasional masing-masing pihak.
Dengan demikian, dalam perjanjian internasional yang terdiri atas tiga tahapan,
ratifikasi atau pengesahan adalah salah satu cara untuk menyatakan terikat pada
suatu perjanjian internasional (consent to be bound by a treaty). Dalam hubungan
inilah terdapat keterkaitan antara persetujuan untuk terikat dalam suatu perjanjian
internasional dengan pengesahan perjanjian internasional menurut hukum nasional
masing-masing pihak, yaitu bahwa dalam perjanjian internasional yang terdiri atas
tiga tahapan, suatu negara menyatakan dirinya sah terikat dalam suatu perjanjian
internasional apabila telah meratifikasi perjanjian internasional itu sesuai dengan
prosedur atau tata cara yang berlaku menurut hukum nasionalnya, sehingga ada
kemungkinan suatu negara turut menjadi penandatangan suatu perjanjian
internasional namun tidak terikat oleh perjanjian internasional itu karena tidak
meratifikasinya. Dengan demikian, maksud persetujuan DPR pada Pasal 11 ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945 adalah perjanjian internasional yang proses
pembentukannya melalui 3 tahapan. Dalam hubungan ini Mahkamah penting
258
menegaskan bahwa menurut Konvensi Wina 1969 pernyataan untuk terikat dalam
suatu perjanjian internasional dapat dilakukan melalui penandatanganan
(signature), ratifikasi (ratification), pertukaran dokumen yang melahirkan suatu
perjanjian internasional (exchange of instruments constituting a treaty), penerimaan
atau akseptasi (acceptance), persetujuan (approval), aksesi atau pernyataan turut
serta (accession), atau melalui cara lain yang disepakati (any other means if so
agreed). Hal ini ditegaskan pula dalam UU 24/2000, Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal
15 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) UU 24/2000 menyatakan, “Penandatanganan suatu
perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah perjanjian internasional
tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan
diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak”. Pasal 15 ayat (1) UU
24/2000 menyatakan, “Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan
undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat
membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain
sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut”.
Berkenaan dengan persoalan kedua, yaitu pembedaan antara pengertian
tahapan pembuatan perjanjian internasional menurut hukum internasional dan
tahapan dalam pengertian hukum nasional, sebagaimana telah disinggung di atas,
tahapan dalam pengertian hukum internasional adalah bergantung pada jenis
perjanjiannya, yaitu perjanjian internasional yang terdiri atas dua tahapan dan
perjanjian internasional yang terdiri atas tiga tahapan. Sementara tahapan menurut
hukum nasional, hal itu bergantung pada hukum nasional masing-masing pihak
(negara). Dalam konteks Indonesia, tahapan dimaksud adalah sebagaimana diatur
mulai dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 UU 24/2000.
Sementara itu, berkenaan dengan persoalan ketiga, yaitu pembedaan
antara pengesahan perjanjian internasional menurut hukum internasional dan
pengesahan perjanjian internasional menurut hukum nasional, pengesahan menurut
hukum internasional (Konvensi Wina 1969) selain merupakan tahapan pembuatan
perjanjian internasional (yaitu dalam hal perjanjian internasional yang terdiri atas tiga
tahapan) juga merupakan pernyataan untuk terikat dalam suatu perjanjian
internasional. Sedangkan pengesahan perjanjian internasional menurut hukum
nasional, dalam konteks Indonesia, adalah merujuk pada tindak lanjut dari perjanjian
internasional yang mempersyaratkan adanya pengesahan di mana pengesahan itu
259
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden (Pasal 9 UU 24/2000,
saat ini dengan Peraturan Presiden yaitu setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
Artinya, pengesahan menurut hukum internasional baru memiliki arti sebagai
pernyataan untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional (dan baru mengikat
pihak-pihak, in casu negara) apabila telah dilakukan pengesahan di tingkat nasional,
terlepas dari apa pun bentuk hukum pengesahan di tingkat nasional tersebut yang
sepenuhnya merupakan kewenangan hukum nasional pihak-pihak dalam perjanjian
internasional yang bersangkutan.
Setelah mendapat kejelasan mengenai hal-hal mendasar di atas,
persoalan sesungguhnya tidak terletak pada tahapan mana persetujuan DPR
diberikan. Persoalan mendasarnya adalah terletak pada perjanjian internasional
yang bagaimana yang memerlukan persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yaitu perjanjian internasional yang lazimnya dalam
proses pembentukannya melalui tiga tahapan (perundingan, penandatangan, dan
pengesahan).
Pasal 2 UU 24/2000 menyatakan, “Menteri memberikan pertimbangan
politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.” Adanya
tahapan di mana pemerintah (melalui Menteri) berkonsultasi dengan DPR dalam
pembuatan perjanjian internasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU
24/2000 tersebut, secara implisit berarti bahwa pada tahapan ini telah dapat
diketahui bagaimana pendapat DPR mengenai substansi sesuatu yang akan
diperjanjikan. Menurut penalaran yang wajar, dalam tahap ini telah dapat diketahui
apakah DPR berpendapat bahwa suatu substansi perjanjian internasional termasuk
ke dalam perjanjian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 atau tidak. Hal ini penting karena akan sangat
menentukan bagi Menteri (in casu menteri yang bertanggung jawab di bidang
hubungan luar negeri dan politik luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 9 UU 24/2000) dalam merumuskan atau menetapkan posisi Pemerintah
Indonesia dalam perundingan yang selanjutnya akan dijadikan pedoman delegasi
yang mewakili Indonesia dalam perundingan dimaksud, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU 24/2000 yang menyatakan:
260
(1) …
(2) Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.
(3) Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut:
a. latar belakang permasalahan;
b. analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
(4) …
Artinya, meskipun UUD 1945 tidak menentukan adanya bentuk hukum tertentu
untuk persetujuan DPR dimaksud, menurut penalaran yang wajar, ada atau tidaknya
persetujuan DPR tersebut telah dapat diketahui dari hasil pelaksanaan tahapan
konsultasi dimaksud dan hal itu pada akhirnya akan tercermin dari disahkan atau
tidaknya suatu perjanjian internasional, di mana untuk perjanjian internasional yang
tunduk pada persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD
1945 mempersyaratkan pengesahan dalam bentuk undang-undang, sebagaimana
dituangkan ke dalam Pasal 10 UU 24/2000.
Dalam praktik yang berlangsung selama ini, sebagaimana diterangkan
Presiden (Pemerintah) dalam persidangan, dalam konsultasi tersebut DPR akan
memberikan rekomendasi. Meskipun bentuknya hanya rekomendasi, yang secara
hukum tidak mengikat, namun rekomendasi tersebut dalam praktik sangat dihormati
oleh Pemerintah. Contohnya, Pemerintah tidak melanjutkan pengesahan perjanjian
Pertahanan RI-Singapura 2007 karena hasil konsultasi dengan DPR
mengindikasikan penolakan terhadap perjanjian ini di mana proses penghentian itu
dilakukan dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU
24/2000.
Praktik demikian semakin memperjelas bahwa mekanisme konsultasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000 sekaligus merupakan mekanisme
untuk mengetahui ada atau tidaknya persetujuan DPR terhadap suatu substansi
perjanjian internasional. Dengan demikian, mekanisme konsultasi tersebut juga
sekaligus berarti proses untuk mempertemukan pandangan antara Presiden
(pemerintah) dan DPR perihal apakah suatu substansi perjanjian internasional
261
tertentu merupakan perjanjian yang termasuk ke dalam kategori Pasal 11 ayat (2)
UUD 1945 atau tidak. Dengan demikian, kualifikasi substansi perjanjian
internasional yang disepakati oleh pemerintah dan DPR berdasarkan hasil rapat
konsultasi dengan DPR, dapat menjadi alasan DPR untuk menolak memberikan
persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang akan mengesahkan
perjanjian internasional dimaksud.
Menurut Mahkamah, karena UUD 1945 tidak mengharuskan adanya
bentuk hukum tertentu bagi pernyataan persetujuan DPR terhadap substansi suatu
perjanjian internasional yang termasuk ke dalam kriteria Pasal 11 ayat (2) UUD
1945, bentuk hukum berupa rekomendasi sebagaimana yang dipraktikkan selama
ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, praktik demikian justru
memenuhi dua kebutuhan hukum sekaligus. Pertama, mekanisme demikian
memberikan keleluasaan bergerak kepada Presiden dalam melaksanakan fungsi-
fungsi pemerintahannya, dalam hal ini fungsi pemerintahan yang berkait dengan
masalah-masalah hubungan internasional dengan tetap menempatkan kepentingan
nasional Indonesia sebagai titik tolak namun pada saat yang sama juga
mempertimbangkan kaidah-kaidah yang telah diterima secara universal oleh
masyarakat internasional. Kedua, melalui mekanisme konsultasi tersebut fungsi
pengawasan DPR juga terpenuhi tanpa menghambat keleluasaan bergerak
Presiden. Tanpa adanya mekanisme konsultasi demikian akan sulit, bahkan tidak
mungkin, untuk menentukan apakah suatu perjanjian internasional akan disahkan
dengan undang-undang atau dengan keputusan presiden (saat ini dengan
Peraturan Presiden). Adapun perihal pada tahapan mana mekanisme konsultasi
tersebut dilaksanakan, hal itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang
untuk merumuskannya dengan menyelaraskannya dengan kebutuhan dan praktik
yang berlaku secara universal sebagaimana diatur dalam kaidah-kaidah hukum
internasional, khususnya Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. UUD 1945
hanya menentukan bahwa untuk perjanjian internasional tertentu dipersyaratkan
adanya persetujuan DPR.
[3.12] Menimbang bahwa, setelah mempertimbangkan hal-hal penting
sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.10] dan Paragraf [3.11] sesungguhnya
dengan sendirinya telah menjawab dalil-dalil para Pemohon. Namun demikian,
262
secara spesifik Mahkamah tetap akan memberikan pertimbangannya terhadap dalil-
dalil para Pemohon sebagai berikut:
A. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 2 UU 24/2000
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 karena telah mengganti frasa
“dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal
menyangkut kepentingan publik” dengan argumentasi sebagaimana diuraikan
pada huruf A Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat, sebagaimana telah
dipertimbangkan dalam Paragraf [3.11], mekanisme konsultasi yang diatur
dalam Pasal 2 UU 24/2000 justru dibutuhkan untuk mengetahui apakah
substansi suatu perjanjian internasional menurut Pasal 11 UUD 1945 tergolong
ke dalam perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak. Tanpa
adanya mekanisme tersebut akan menyulitkan Pemerintah dalam merumuskan
posisinya dalam perundingan padahal penentuan posisi demikian sangat
penting karena akan dijadikan pedoman oleh delegasi Indonesia dalam proses
perundingan suatu perjanjian internasional. Dengan demikian, Mahkamah
berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
inkonstitusionalitas Pasal 2 UU 24/2000 adalah tidak beralasan menurut hukum.
B. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi
sebagaimana diuraikan pada huruf B Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat
bahwa tahapan pengesahan perjanjian internasional yang diatur dalam Pasal a
quo adalah berkait langsung dengan kategori suatu perjanjian internasional,
yaitu apakah perjanjian internasional itu tergolong ke dalam kategori perjanjian
internasional yang mempersyaratkan adanya persetujuan DPR atau tidak.
Tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) juga merupakan konsekuensi
dari suatu perjanjian internasional yang mempersyaratkan adanya pengesahan
(ratifikasi) sebagai pernyataan untuk terikat (consent to bound) pihak-pihak yang
menjadi peserta dalam perjanjian internasional yang bersangkutan. Dengan
demikian, tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) terhadap suatu
perjanjian internasional adalah sekaligus sebagai instrumen yang menjadikan
suatu perjanjian internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Sementara
itu, oleh karena menurut UUD 1945 tidak seluruh perjanjian internasional
mempersyaratkan adanya persetujuan DPR maka hanya perjanjian
263
internasional yang mempersyaratkan persetujuan DPR itulah yang
pengesahannya dilakukan dengan undang-undang. Secara a contrario berarti
untuk pengesahan perjanjian internasional lainnya tidak dipersyaratkan adanya
bentuk hukum tertentu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat dalil para
Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 9 ayat (2) UU
24/2000 adalah tidak beralasan menurut hukum.
C. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 UU 24/2000
bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa
“menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut
dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan
batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat
negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah
hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”, dengan argumentasi
sebagaimana diuraikan pada huruf C Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah terlebih
dahulu menegaskan bahwa tidak terdapat frasa “menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang” dalam rumusan Pasal 10 UU 24/2000. Namun demikian, Mahkamah
dapat memahami maksud para Pemohon yaitu bahwa norma yang dirumuskan
dalam Pasal 10 UU 24/2000 tersebut adalah berkait dengan frasa “menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
UUD 1945 dan karena itulah maka pengesahan terhadap perjanjian-perjanjian
demikian dilakukan dengan undang-undang.
Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohona a quo Mahkamah
berpendapat bahwa, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf
[3.11], persoalan apakah suatu perjanjian internasional tergolong ke dalam
perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak baru dapat diketahui
dalam mekanisme konsultasi dengan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 2
264
UU 24/2000, maka rumusan norma dalam Pasal 10 UU 24/2000 telah
menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian internasional yang
disebutkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 itulah yang tergolong ke dalam
perjanjian demikian. Sementara itu, perkembangan yang terjadi dalam
pergaulan internasional yang makin intens sehingga membuat sesama anggota
masyarakat internasional makin saling bergantung satu sama lain dalam
pemenuhan kebutuhannya, dalam batas penalaran yang wajar, akan sangat
berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia. Dalam
kesalingtergantungan demikian sangat terbuka kemungkinan bahwa hal-hal
yang di masa lalu tidak terlalu berdampak terhadap kepentingan dan kebutuhan
nasional Indonesia, di masa yang akan datang sangat mungkin membawa
dampak serius. Oleh karena itu, dengan tetap mempertimbangkan secara
saksama keleluasaan yang cukup bagi Presiden untuk dapat secara efektif
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahannya, rumusan norma yang tertuang
dalam Pasal 10 UU 24/2000 tidak akan mampu menjawab kebutuhan dan
ketidakmampuan menjawab kebutuhan demikian bukan sekadar persoalan
teknis-administratif melainkan berkait langsung dengan pemenuhan amanat
Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon
sepanjang berkenaan dengan Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut
hukum.
D. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 ayat (1) beserta
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat
(2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi sebagaimana
diuraikan pada huruf D Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah berpendapat oleh
karena dalil para Pemohon a quo berkorelasi dengan dalil para Pemohon
tentang inkonstitusionalitas Pasal 9 maka pertimbangan Mahkamah
sebagaimana diuraikan pada huruf B di atas berlaku pula terhadap dalil para
Pemohon a quo, termasuk persoalan kepastian hukum yang dijadikan
argumentasi para Pemohon. Sementara itu, meskipun dalil para Pemohon a quo
seolah-olah berkait dengan Pasal 10 UU 24/2000, namun oleh karena
pertimbangan Mahkamah terhadap inkonstitusionalitas Pasal 10 bukan
berkenaan dengan bentuk hukum pengesahan suatu perjanjian internasional
melainkan hanya berkenaan dengan jenis-jenis perjanjian internasional yang
mempersyaratkan persetujuan DPR maka pertimbangan Mahkamah terhadap
265
inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 24/2000 tidak ada relevansinya dengan dalil
para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan
Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000. Oleh karena itu, dalil para Pemohon sepanjang
berkenaan dengan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU
24/2000 tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut hukum
sedangkan dalil para Pemohon untuk selain dan selebihnya adalah tidak beralasan
menurut hukum.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon
XII, Pemohon XIII, dan Pemohon XIV memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pemohon selebihnya tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.4] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
266
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Menyatakan permohonan Pemohon III, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII,
Pemohon VIII, dan Pemohon IX tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon X,
Pemohon XI, Pemohon XII, Pemohon XIII, dan Pemohon XIV untuk sebagian;
3. Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4012) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-
jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai
dengan huruf f dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan
DPR sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya
dilakukan dengan undang-undang;
4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, I
Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Enny
Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai
Anggota, pada hari Senin, tanggal delapan, bulan Oktober, tahun dua ribu
delapan belas, dan pada hari Senin, tanggal sembilan belas, bulan November,
tahun dua ribu delapan belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua, bulan
November, tahun dua ribu delapan belas, selesai diucapkan pukul 15.25 WIB,
oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap
Anggota, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny
Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai
Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti,
267
serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Aswanto
ttd.
I Dewa Gede Palguna
ttd.
Saldi Isra
ttd.
Arief Hidayat
ttd.
Enny Nurbaningsih
ttd.
Manahan M.P. Sitompul
ttd.
Suhartoyo
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Dian Chusnul Chatimah