Post on 08-Jul-2016
description
A. Trigger
Mbah Kung dan Eyang Uti sudah menikah selama 47 tahun, keduanya berusia 66 tahun. Kedua
anaknya sudah menikah dan tinggal terpisah. Selama 9 bulan terakhir, Eyang Uti tidak bisa
mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon mereka. Kesehariannya, sebagian besar
aktifitas di rumah dibantu oleh Mbah Kung, bahkan untuk memilih bajunya pun tidak bisa. Untuk
berpakaian, Eyang Uti dibantu oleh Mbah Kung. Suatu sore, Mbah Kung meminta Eyang Uti untuk
membelikan roti di warung, namun setelah ditunggu 1 jam, Eyang Uti tidak kunjung pulang.
Tetangga mereka menemukan Eyang Uti terlihat gemetar, bingung dan berjalan tanpa tujuan
yang jelas. Saat diperiksa oleh perawat, kesadaran baik, afebril, skor MMSE 20/30, mempunyai
riwayat DM tipe 2, TD 160/100mmHg, N=80x/mnt, RR=18x/mnt, S=37,5oC, penampilan tidak rapi,
kancing baju tidak urut, rambut gimbal. Mbah Kung mengatakan kesulitan merawat Eyang Uti
dengan kondisi seperti ini. Dokter menginstruksikan pemberian anti kholinesterase, anti
hipertensi.
B. SLO (Student Learning Objective)
1. Definisi Alzheimer
2. Epidemiologi Alzheimer
3. Pathophysiology
4. Faktor resiko Alzheimer
5. Manifestasi klinis
6. Pemeriksaan diagnostik
7. Penatalaksanaan medis
8. Asuhan keperawatan Alzheimer
C. Analisis
1. Definisi Alzheimer
Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif
otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri.
( Suddart, & Brunner, 2002 )
Penyakit alzheimer merupakan degeneratif progresif dimana patologi primernya adalah
pembentukan plak neuritis disekeliling neuron dan turunnya kadar asetilkolin di otak. (Engram,
1999)
Alzheimer adalah proses degenerative yang terjadi pertama-tama pada sel yang terletak
pada dasar otak depan yang mengirim informasi ke korteks serebral dan hipokampus. Sel yang
terpengaruh pertama kali kehilangan kemampuannya untuk mengeluarkan asetilkolin lalu
terjadi degenerasi. Jika degenerasi ini mulai berlangsung, dewasa ini tidak ada tindakan yang
dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali sel-sel atau menggantikannya. (Kushariyadi,
2010)
Jadi Alzheimer merupakan gangguan degeneratif pada otak yang menyebabkan
kemampuan berfikir dan mengingat menurun.
Klasifikasi Alzheimer
a. Late onset Alzheimer
Ini adalah jenis yang paling umum dari penyakit alzheimer yang mempengaruhi sekitar
90% dari semua orang dengan penyakit Alzheimer. Serta mempengaruhi orang di atas
usia 65 dengan sekitar 50% dari semua orang yang berusia di atas 85 tahun. Penyakit ini
juga dikenal sebagai alzheimer sporadic. Sejauh ini para peneliti belum menemukan satu
faktor umum untuk menentukan perkembangan dari late onset alzheimer ini.
b. Early onset Alzheimer
Kondisi yang umum terjadi pada keadaan early onset alzheimer yaitu myoclonus yang
menyebabkan otot berkedut dan kejang. Penyakit ini umumnya menyerang kelompok
usia yang lebih muda.
c. Alzheimer familial
Ini adalah jenis yang sangat langka dari penyakit alzheimer yang mempengaruhi kurang
dari 1% dari penderita dan hampir dalam semua kasus itu menyerang orang-orang
muda, terutama di usia 40-an dan 50-an. Seperti namanya, jenis alzheimer ini
menyerang dalam satu keluarga. Keluarga-keluarga biasanya mewarisi gen dalam
kromosom-kromosom tertentu. Ketika ini terjadi sekitar 50% dari keturunan penderita
ini akan membawa kesalahan genetik dan mereka semua akan terus
mengembangkan/menurunkan Alzheimer.
2. Epidemiologi Alzheimer
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi
terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai
early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai
late onset.
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40
tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur:
4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi
penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada
kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000
terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan
jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit
alzheimer belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki.
Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari
beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin. (Japardi, 2002)
3. Pathophysiology
Faktor genetik, infeksi virus, lingkungan, imunologi, trauma
Kekusutan serabut neuron dan plak senilis
Hilangnya serat” kolinergik di korteks
Atropi otakPenurunan sel neuron kolinergik yang berproyeksi di hipokampus
Degenerasi neuron irreversible
Kelainan neuro transmitter
Asetilkolin menurun
Alzheimer
Penurunan daya ingat
Mudah lupa
Kesulitan melakukan aktivitas rutin
Defisit perawatan diri
Gangguan kognitif & perubahan intelektual
Penurunan dlm memutuskan sesuatu
Kehilangan kemampuan menyelesaikan masalah
Ketidakefektifan koping
Gangguan memori
Berpikir abstrak & pelupa
Disorientasi orang, tempat, waktu, lingkungan
Sindrom gangguan interpretasi lingkungan
Gangguan fungsi bahasa
Kesulitan berbahasa
Hambatan komunikasi verbal
Perubahan perilaku
Mudah tersinggung, curiga, depresi, apatis
Gangguan sensori persepsi
Risiko cedera
4. Faktor resiko Alzheimer
a. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan
melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga
penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol normal Pemeriksaan genetika DNA pada penderita
alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio
proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada
kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen
kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile
plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan
kelainan histopatologi pada penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit alzheimer
terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote.
Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer. Pada
sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus
kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan
menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
b. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer
yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi
reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang
bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob
disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut
mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
c. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon,
mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut
diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah
penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada
penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen,
fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino
glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga
kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
d. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha
protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan
terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita
tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan
pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.
e. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan
trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik,
dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
f. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai
peranan yang sangat penting seperti:
1. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter
dgn cara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer
didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan
transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan
postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis
superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline
merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd
penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan
cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang
normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat
mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit alzheimer.
2. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak
penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan
tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit
kortikal noradrenergik. Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan
otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik
neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi
noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
3. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio
hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada
penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
4. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil
acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada
nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat
bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada
posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal
serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi
NFT pada nukleus rephe dorsalis.
5. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal
MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan
sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada
penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais
sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus
basalis dari meynert.
(Japardi, 2002)
5. Manifestasi klinis
Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi 3
tahap, yaitu:
a. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun)
· Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari.
· Diorintasi : tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik.
· Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin.
· Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah
tersinggung,mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh
pasangannya tidak setia lagi/selingkuh.
b. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)
· Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi.
· Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi.
· Mengalami gangguan tidur.
· Keluyuran.
· Kesulitan mengenali keluarga dan teman(pertama-tama yang akan sulit untuk dikenali
adalah orang-orang yang paling jarang ditemuinya, mulai dari nama, hingga tidak
mengenali wajah sama sekali. Kemudian bertahap kepada orang-orang yang cukup jarang
ditemui).
c. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)
· Sulit / kehilangan kemampuan berbicara
· Kehilangan napsu makan, menurunya berat badan.
· Sangat tergantung pada caregiver/pengasuh.
· Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk.
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara
umum didapatkan :
atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior
frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap
utuh.
berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari :
1) Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi
protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya
demensia.
2) Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi
filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amiloid prekusor
protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque
ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan
sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual,
dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. densitas Senile plaque
berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan
senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
3) Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer
sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron
piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala,
nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel
noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe
dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
4) Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP ,
perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula.
5) Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus
cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal,
parietalis, oksipital. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.
b. Pemeriksaan neuropsikologik
Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya
gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi.
Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa
bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi,
kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa.
c. CT Scan
Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer
seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran
ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada
penyakit ini.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan
beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental.
d. MRI
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn
pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal
seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan
fissura sylvii.
MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan
penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
e. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit
alzheimer didapatka perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik.
f. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma O2,
dan glukosa didaerah serebral.
g. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
h. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan
laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti
pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat,
serologi sifilis, skrining antibody yang dilakukan secara selektif.
(Japardi, 2002)
7. Penatalaksanaan medis
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab da
patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C,
dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
a. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar
asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori
danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-
obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan
penderita alzheimer.
b. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan
thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase
(45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin
hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan
bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
c. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi
dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita
alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
d. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan
noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2
reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil
yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
e. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan
tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki
gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic
anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).
f. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan bantuan
enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan
aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2
gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki
atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
(Japardi, 2002)
8. Asuhan Keperawatan Alzheimer
Pengkajian
I. Identitas klien
Nama : Eyang Uti
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Status : menikah
Pendidikan terakhir : -
Pekerjaan : -
Agama : -
Suku/Bangsa : -/Indonesia
Alamat : -
Tgl. MRS : -
Tgl. Pengkajian : -
No. Register : -
II. Riwayat kesehatan
A. Keluhan utama : tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon
mereka, serta untuk memilih bajunya pun tidak bisa.
B. Riwayat penyakit sekarang : sebagian besar aktifitas rumah dibantu oleh Mbah
Kung, dan saat dijalan klien terlihat gemetar, bingung, dan berjalan tanpa tujuan
yang jelas.
C. Riwayat penyakit dahulu : DM tipe 2.
D. Riwayat penyakit keluarga : tidak dijelaskan dalam trigger.
III. Pola fungsional kesehatan
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
Gejala : Perlu bantuan/tergntung pada orang lain
Tanda : Tidak mampu mempertahankan penampilan, kebiasaan personal yang kurang.
2. Pola nutrisi/metabolik
Gejala : -
Tanda : -
3. Pola eliminasi
Gejala : -
Tanda : -
4. Pola aktivitas dan latihan
Aktifitas klien masih dibantu oleh orang lain.
5. Pola tidur dan istirahat
Gejala : -
Tanda : -
6. Pola persepsi-kognisi
Gejala : penurunan kognitif, perubahan tingkah laku, mudah lupa.
Tanda : lupa pada anak, tidak bisa memakai baju sendiri.
7. Pola persepsi diri-konsep diri
Gejala : -
Tanda : -
8. Pola seksualitas-reproduksi
Gejala : -
Tanda : -
9. Pola peran hubungan
Gejala : -
Tanda : -
10. Pola manajemen koping-stress
Gejala : -
Tanda : -
11. Sistem nilai dan keyakinan
Gejala : kepikunan atau kemunduran dalam berfikir merupakan hal yang wajar yang
dialami oleh mereka yang memasuki usia lanjut.
Tanda : membiarkan orang lanjut usia dengan keadan demikian (pikun)
IV. Pemeriksaan fisik
Penampilan umum
- Keadaan umum : tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon
mereka, tidak bisa memilih dan memakai baju, penampilan tidak rapi, kancing baju
tidak urut, rambut gimbal, afebril.
- Kesadaran : baik
- Tanda-tanda vital
TD : 160/100 mmHg
N : 80x/menit
RR : 18x/menit
S : 37,5°C
B1 (breathing)
- Inspeksi : apakah didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk
efektif, peningkatan produksi sputum, sesak napas, dan penggunaan otot bantu
napas.
- Palpasi : taktil premitus apakah seimbang kanan dan kiri.
- Perkusi : adakah suara resonan pada seluruh lapangan paru.
B2 (blood)
- Auskultasi : apakah terjadi hipotensi postural berkaitan dengan efek samping
pemberian obat dan juga gangguan pada pengatruan tekanan darah oleh system
saraf otonom.
B3 (brain)
- Inspeksi : tidak bisa memilih dan memakai baju, lupa nama anak-anaknya dan
nomor telepon mereka.
- Tingkat kesadaran : baik
- Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental : biasanya status mental klien mengalami perubahan yang
berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan
penurunan motorik baik jangka pendek maupun memori jangka panjang. Skor
MMSE 20/30.
- Pemeriksaan saraf kranial
*Nervus I : biasanya pada klien dengan penyakit Alzheimer tidak ada kelainan dari
fungsi penciuman.
*Nervus II : hasil tes ketajaman penglihatan apakah mengalami perubahan sesuai
tingkat usia. Klien dengan penyakit alzheirmer mengalami penurunan
ketajaman penglihatan.
*Nervus III,IV,VI : Pada beberapa kasus penyakit Alzheimer biasanya tidak
ditemukan adanya kelainan pada nervus ini.
*Nervus V : apakah wajah simetris dan ada kelainan pada nervus ini.
*Nervus VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal atau tidak.
*Nervus VIII : Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan dengan
proses senilis dan penurunan aliran darah regional atau tidak.
*Nervus IX dan X : apakah didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang
berhubungan dengan perubahan status kognitif.
*Nervus XI: apakah ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapesius.
*Nervus XII: apakah lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada faskulasi. Indra pengecapan normal atau tidak.
- Sistem motorik
Palpasi : apakah tonus otot didapatkan meningkat.
Inspeksi : apakah keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan
karena adanya perubahan status kognitif dan ketidakoperatifan klien dengan
metode pemeriksaan.
- Pemeriksaan refleks
Pada tahap lanjut penyakit Alzheimer, sering didapatkan bahwa klien kehilangan
refleks postural, apabila klien mencoba untuk berdiri klien akan berdiri dengan
kepala cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong.
Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan (salah satunya ke depan
atau ke belakang) dapat menimbulkan sering jatuh.
- Sistem sensorik
Sesuai berlanjutnya usia, klien dengan penyakit Alzheimer mengalami penurunan
terhadap sensasi sensorik secara progresif. Penurunan sensorik yang ada
merupakan hasil dari neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif
dan persepsi klien secara umum.
B4 (Bladder)
- Inspeksi : Pada tahap lanjut, beberapa klien sering berkemih tidak pada tempatnya ,
biasanya yang berhubungan dengan penurunan status kognitif pada klien
Alzheimer. Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat progresif dan klien
mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril.
B5 (Bowel)
- Inspeksi : apakah pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan
nutrisi yang kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Karena penurunan aktivitas umum, klien sering mengalami konstipasi.
B6(Bone)
- Inspeksi : Pada tahap lanjut biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari. Adanya gangguan
keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan disebabkan karena
perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada seluruh gerakan akan memberikan
risiko pada trauma fisik bila melakukan aktivitas.
V. Data sosial
- Hubungan dengan lingkungan keluarga tidak terdapat masalah
- Mempunyai dua anak yang masing-masing sudah menikah dan tinggal terpisah
- Peran dalam keluarga sebagai istri
VI. Pemeriksaan penunjang
- CT Scan
- EEG
- Laboratorium darah
- MRI
- Pemeriksaan neuropsikologik
VII.Terapi
- Pemberian anti kholinesterase
- Pemberian anti hipertensi
Analisa data
Data pendukung Masalah keperawatan Etiologi
DO: TD 160/100 mmHg, N 80x/menit, afebril, penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.DS: usia 66 thn, tidak bisa memilih baju sendiri, untuk berpakaian dibantu.
Defisit perawatan diri Alzheimerpenurunan daya ingatmudah lupa kesulitan melakukan aktivitas rutin
DO: kesadaran baik, skor Sindrom gangguan Alzheimergangguan
MMSE 20/30.DS: usia 66 thn, tidak bisa mengingat anak & no. Telepon, gemetar, bingung, berjalan tanpa tujuan yang jelas.
interpretasi lingkungan memoriberpikir abstrak, pelupadisorientasi orang, waktu, tempat, lingkungan
DO: skor MMSE 20/30, riwayat DM tipe 2, TD 160/100 mmHg, N 80x/menit, RR 18x/menit, S 37,5°C.DS: usia 66 thn, tidak bisa mengingat nama anak & no. Telp, gemetar, bingung, berjalan tanpa tujuan yang jelas.
Risiko cedera Alzheimergangguan
memoriberpikir abstrak
disorientasi lingkungan,
tempat, waktu
Diagnosa keperawatan
1. Defisit perawatan diri b/d penurunan kognitif
2. Sindrom gangguan interpretasi lingkungan b/d demensia
3. Risiko cedera
Intervensi keperawatan
No. Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1. Defisit perawatan diri
Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, terdapat perilaku peningkatan dlm pemenuhan perawatan diri.
Kriteria hasil- Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri.-mngidentifikasi personal/keluarga yang dapat membantu.
- Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan ADL.
- Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
- Ajarkan dan dukung klien selama aktivitas.
- Modifikasi lingkungan.
- Konsul ke dokter terapi okupasi.
- Pengkajian dapat untuk antisipasi dan konsep rencana utk pemenuhan kebutuhan individual.
- Klien dalam keadan cemas dan tergantung. Hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien.
- Dukungan pada klien selama aktivitas kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan perawatan diri.
- Modifikasi lingkungan diperlukan untuk mengompensasi ketidakmampuan fungsi.
- Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus.
2.
3.
Sindrom gangguan interpretasi lingkungan
Risiko cedera
Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam, klien dapat beradaptasi dgn perubahan aktivitas sehari-hari dan lingkungan
Kriteria hasil-mengidentifika-si perubahan-mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan aktivitas kehidupan sehari-hari-membuat pernyataan yang positif tentang lingkungan yang baru. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien tidak mengalami cedera.
Kriteria hasil-Keluarga mengenali resiko potensial di lingkungan-mengidentifika-si tahap-tahap untuk memperbaiki-
- Jalin hubungan saling mendukung dengan klien.
- Kaji tingkat stressor (penyesuaian diri, perkembangan, peran keluarga, akibat perubahan status kesehatan).
-Tentukan jadwal aktivitas yang wajar dan masukan dalam kegiatan rutin.
- Atasi tingkah laku agresif dengan pendekatan yamg tenang.
- Berikan penjelasan dan informasi yang menyenangkan mengenai kegiatan/ peristiwa.
- Pertahankan keadaan tenang. Tempatkan dalam lingkungan tenang yang memberikan kesempatan untuk beristirahat.
- Kaji derajat kemampuan/kompetensi,munculnya tingkah laku yang impulsive dan penurunan persepsi-visual,bantu orang terdekat untuk mengidentifikasi resiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
- Hilangkan /minimalkan sumber bahaya dalam lingkungan.
- Hubungan menentukan kepercayaan dan kenyamanan.
-tingkat stressor dpt menentukan persepsi klien tentang kejadian dan tingkat serangan.
- Konsistensi mengurangi kebingungan dan meningkatkan rasa kebersamaan.
- Rasa diterima menurunkan rasa takut dan respon agresif.
- Menurunkan ketegangan, mempertahankan rasa saling percaya, dan orientasi.
-lingkungan tenang dpt digunakan utk memperoleh kendali terhadap perilaku dan emosinya.
- Pasien yang memperlihatkan tingkah laku impulsive menghadapi peningkatan resiko trauma kerena mereka kurang mampu mengendalikan perilaku/kegiatannya sendiri. Penurunan persepsi visual meningkatkan risiko terjatuh.
- Seseorang dengan gangguan kognitif dan gangguan persepsi merupakan awal untuk mengalami cedera sebagai akibat ketidakmampuan
nya.-
- Awasi klien secara ketat selama beberapa malam pertama.
- Anjurkan individu untuk meminta bantuan selama malam hari.
- Pertimbangkan penggunaan sistem alarm.
-Berikan gelang identifikasi yang memperlihatkan nama,nomor telepon,dan diagnose,jangan memposisikan dekat pintu keluar untuk tangga.
untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan yang dasar atau mengevaluasi keadaan tertentu.
- Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang membayakan keselamatan pasien.
- Suasana gelap dpt beresiko terjadinya cedera.
- Alarm mempermudah instruksi klien pada keadaan bahaya.
-Karena penurunan kemampouan verbal dan kebingungan,pasien mungkin tidak dapat menyebutkan alamat,nomor telepon dan sebagainya. Pasien mungkin ngeluyur dan ditangkap oleh polisi,yang memperlihatkan kebingungan,peka rangsang : mngkin mempunyai tingkah laku bermusuhan dan memperlihatkan kemiskinan pengambilan keputusan.