Post on 23-Oct-2021
81
PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI
KEPADA ANAK PEREMPUAN
DI MINANG KABAU DALAM PERSPEKTIF
PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN
DAN HUKUM ISLAM
Linda Firdawaty
Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung
Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung
Email: linda.firdawaty@radenintan.ac.id
Abstrak: Hukum Islam telah mengatur tentang pembagian harta warisan
dengan aturan yang sangat adil sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al-
Quran dan al-Hadist. Konsep adil menurut al-Qur’an adalah memberikan porsi
laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan, karena laki-laki mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar dari pada perempuan. Inilah
keadilan menurut ketentuan Allah. Adil dalam Islam bukan berarti sama banyak,
namun sesuai dengan kebutuhan atau porsi.
Perlindungan terhadap perempuan dalam Islam maupun dalam hukum positif
mencakup pemenuhan hak perempuan untuk mendapat perlakuan yang baik dan
wajar, hak mendapatkan mahar, nafkah, warisan, pendidikan, hak untuk berusaha
dan memperoleh hasil usahanya serta hak memilih pasangan hidup. Pewarisan
harta pusaka Tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau dalam perspektif
perlindungan terhadap perempuan mengandung makna bahwa hak waris anak
perempuan di Minangkabau telah mendapat perlidungan yang lebih baik, karena
di samping berhak memperoleh harta warisan dari orang tuanya (harta pusaka
rendah) juga mendapatkan hak terhadap harta pusaka tinggi. Hak atas harta
pusaka tinggi ini karena perempuan di Minangkabau merupakan sosok yag sangat
dimuliakan dan garis keturunana mengikuti garis ibu.
Ditinjau dari hukum Islam, pewarisan harta pusaka tinggi kepada anak perempuan
di Minangkabau hukumnya boleh dilakukan, karena tidak bertentangan dengan
hukum kewarisan Islam. Pemberian warisan kepada perempuan tersebut sangat
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman saat ini, karena perempuan
juga ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu,
pewarisan harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak diatur dalam fikih mawaris.
Fikih mawarist hanya mengatur tentang pembagian harta pusaka rendah yang
pembagiannya sesuai dengan ketentuan dalam ilmu faraidh. Sistem pewarisan
harta pusaka tinggi tidak bertentangan dengan hukum syara’ karena masalah harta
menyangkut hak hamba (mu’amalah), maka sesuai dengan kaidah ushul fikih
bahwa hukum asal perkara mu’amalah adalah boleh sepanjang tidak ada dalil yang
melarang. Karena harta pusaka tinggi tidak diatur dalam Alqur’an dan Hadits, maka
pewarisan harta pusaka tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau dibolehkan
karena tidak bertentangan dengan Syara’
82
Kata kunci, Harta Puska Tinggi, Minangkabau, Anak Perempuan, Hukum Islam
A. Pendahuluan
Islam mengajarkan bahwa kedudukan
laki-laki dan perempuan adalah sama,
sesuai dengan kewajiban dan hak yang
ditetapkan oleh syari’at. Pendapat
seorang mufassir Indonesia, Prof. Dr.
Hamka dalam bukunya yang berjudul
Kedudukan Perempuan dalam Islam,
buku ini diterbitkan ulang oleh Gema
Insani dengan judul Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan. Dalam
menguraikan Qs. An-Nisā’ [4]: 1
menyatakan bahwa, “Di dalam ayat
ini dipadukan antara jantan dengan
betina, dipertemukan antara laki-laki
dengan perempuan. Disadarkan mereka
bahwa meskipun terpisah, mereka pada
hakikatnya adalah satu.”1
Pria dan wanita wajib saling tolong-
menolong, amar maʻrūf nahi munkar,
wajib mendirikan shalat, wajib
mengeluarkan zakat, wajib menaati Allah
dan Rasul-Nya. Sedangkan hak mereka
adalah sama-sama mendapatkan pahala
atas amal perbuatan yang mereka
lakukan.
Hukum Islam telah mengatur tentang
pembagian harta warisan dengan
aturan yang sangat adil. Al-Quran dan
al-Hadist telah menetapkan secara rinci
bagian masing-masing ahli waris, baik
laki-laki ataupun perempuan mulai
dari bapak, ibu, kakek, nenek, suami,
istri, anak, saudara, dan seterusnya.
Hanya hukum waris yang diatur
secara rinci dalam al-Quran, sebab
waris merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dalam Islam
serta dibenarkan adanya oleh Allah
swt.
1 Prof. Dr. Hamka, Kedudukan
Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1996:3 dan Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan, Gema Insani,
2014, h. 4
Masyarakat adat Minangkabau adalah
bagian dari masyarakat adat yang
mempunyai cic-ciri yang khas, yang
menerapkan sistem kekerabatan matrilineal.
Sistem hukum adat Minangkabau yang
bercorak matrilineal ini berfalsafahkan
adat “basandi syara dan syara basandi
kitabullah” terus berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya.
Falsafah adat tersebut mempunyai
makna bahwa adat yang atau kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku di tengah
masyarakat tidak boleh bertentangan
dengan syari’at. Akibatnya, segala sesuatu
perbuatan/kebiasaan masyarakat di Ranah
Minang (sebutan lain untuk daerah
Minangkabau) yang tidak sesuai
dengan Alquran tidak dapat disebut
adat.
Hukum adat Minangkabau yang dalam
perpektif masyarakatnya telah sesuai
dengan hukum Islam, sampai sekarang
masih menjadi perdebatan dari berbagai
kalangan, baik akademisi, hukum dan
social, bahkan masyarakat Minang sendiri.
Sebagian orang memandang bahwa
hukum adat Minangkabau yang berasaskan
sistem kekerabatan matrilineal, dianggap
tidak sejalan dengan hukum Islam
yang bersifat patrilinial.
Harato pusako tinggi merupakan
harta pusako kaum yang diwariskan
secara turun temurun dari beberapa
generasi berdasarkan garis keturunan
ibu. Harta pusaka tinggi diwarisi
secara kolektif oleh para ahli waris
dari beberapa generasi ke generasi
sebelumnya. Harta tersebut sampai
sekarang menjadi kabur asal usulnya.2
Pelaksanaan pembagian harta pusaka
tinggi menurut adat Minangabau
diserahkan kepada keturunan dari
2 Ibid., h. 216. Lihat Van Dijk,
Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung, 1960, h. 217 .
83
pihak ibu. Di samping harta pusaka
tinggi, di Minangkabau dikenal juga
harta pusaka rendah, yaitu harta
pencarian orang tua yang pembagian
warisannya dilaksanakan menurut
ketentuan hukum faraidh.
Keberadaan harta pusaka tinggi di
Minangkabau tidak diatur dalam Al-
Qur’an dan Hadits ataupun sumber
hukum Islam yang lain serta hukum
positif di Indonesia (Kompilasi Hukum
Islam). Adanya pertentangan yang sangat
mendasar mengenai pembagain harta
pusaka tinggi di Minangkabau dengan
system pembagian waris menurut hukum
Islam yang menganut asas bilateral,
menyebabkan penulis tertarik untuk
mengkaji bagaimana pewarisan harta
pusaka tinggi kepada anak perempuan
di Minangkabau dalam perspektif
perlindungan terhadap perempuan?
Dan bagaimana tinjauan hukum Islam
tentang pewarisan harta pusaka tinggi
kepada anak Perempuan di Minangkabau?
Penelitian ini termasuk jenis penelitian
hukum normative yaitu penelitian hukum
yang mengkaji norma atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat adat
Minangkabau dan menjadi acuan perilaku
bagi warganya. Adapun norma yang
berlaku adalah norma hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis.3 Selain itu
penelitian hukum ini bersifat penelitian
hukum deskriptif normatif yaitu penelitian
hukum yang bersifat pemaparan dan
bertujuan untuk memperoleh gambaran
(deskripsi) secara lengkap tentang
pewarisan harta pusaka tinggi kepada
anak perempuan di Minangkabau dalam
perspektif perlindungan terhadap perempuan
dan hukum Islam.
Sumber data dalam penelitian ini
adalah data kepustakaan, sedangkan
3 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan
Penelitian hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004, Cet. Ke-1, h.52
jenis data yang dibutuhkan adalah
data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari studi
kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum
atau referensi yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Studi
kepustakaan dilakukan terhadap bahan-
bahan hukum yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian yaitu tentang
hukum waris adat minangkabau menurut
adat yang berlaku, dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan, serta
hukum Islam. Data yang dibutuhkan
meliputi bahan hukum primer, sekunder
dan tersier.
Metode pengumpulan dan pengolahan
data (sekunder) dilakukan dengan
menggunakan studi pustaka, mengkaji
norma atau kaidah serta teori yang
ada pada literatur-literatur yang
relevan dengan pembahasan dengan
cara membaca, menyalin, mengutip,
dan menelaah bahan-bahan hukum
yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Data yang terkumpul selanjut
diolah, dengan cara memeriksa,
mengklasifikasi, merekonstruksi dan
sistematisasi data. Adapun Analisis
data dilakukan dalam bentuk analisis
kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan
data dalam bentuk kalimat yang tersusun
secara sistematis, lengkap, dan terperinci
menurut pokok bahasan yang telah
ditentukan,. Hasil analisis dan pembahasan
tersebut kemudian ditulis dalam bentuk
laporan penelitian yang mendeskripsikan
secara lengkap, jelas, dan sistematis.
B. Pembahasan
1. Hak dan Kedudukan Perempuan
dalam Hukum Kewarisan Islam
Hukum Islam telah mengatur dan
menerangkan ketentuan tentang
pembagian harta warisan dengan
aturan yang sangat adil sesuai
dengan ketentuan yang terdapat
84
dalam al-Quran dan al-Hadist. Dalam
al Qur’an telah ditetapkan dengan
rinci bagian masing-masing ahli
waris baik laki-laki ataupun perempuan
mulai dari bapak, ibu, kakek, nenek,
suami, istri, anak, saudara, dan
seterusnya. Dalam hadits pun diatur
tentang ketetapan hukum waris. Hanya
hukum waris yang dijelaskan secara
terperinci dalam al-Quran, sebab
waris merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dalam
Islam serta dibenarkan adanya oleh
Allah Swt. sebagaimana Firman
Allah :
“Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu, yaitu bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari
dua maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. Jika
anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta.
Dan untuk dua ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkannya, jika
yang meninggal itu mempunyai
anak. Jika orang yang meniggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga, jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya seperenam. Pembagian-
pembagian tersebut di atas sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”(QS.Annisa
(4) : 11)4
Penafsiran tentang surat an-Nisa
ayat 11 sebagaimana dikemukakan
Ibnu Katsir bahwa “Allah telah
menjadikan bagian kaum laki-laki sama
dengan dua bagian orang perempuan.
Yang demikian itu disebabkan karena
kaum laki-laki membutuhkan tanggung
jawab nafkah, kebutuhan serta beban
perdagangan, usaha, dan resiko tanggung
jawab, maka sesuai sekali jika ia
diberikan dua kali lipat daripada
yang diberikan kepada wanita.”5
Dapat dipahami bahwa pembedaan
besarnya bagian anak perempuan dan
laki-laki ini berdasarkan pertimbangan
bahwa tanggung jawab laki-laki
lebih besar dari pada perempuan.
Islam mewajibkan laki-laki memberikan
sesuatu sebagai mahar kepada istrinya.
Semua kebutuhan hidup istri dan
anak-anaknya menjadi tanggung
jawab suami. Artinya suami harus
bekerja dengan giat dan menyediakan
semua biaya kehidupan keluarganya.
Sedangkan istri tidak wajib bekerja
ataupun membiayai kehidupan
keluarganya. Hingga apabila dia
mempunyai harta, dia tidak harus
mengeluarkan biaya kehidupan.
Tetapi dia bisa menyimpannya
untuk dirinya dan semua harta
yang dia peroleh sendiri baik hasil
bekerja atau mahar atau hibah
(pemberian) atau warisan atau setiap
jalan yang halal lainnya. Sementara
suami menurut pandangan syariat
dan hukum harus memenuhi semua
biaya kehidupan dirinya dan istrinya
serta semua anggota keluarganya.
4 Lihat Terjemahan surat Annisa (4)
ayat 11 5 Syaikh Shafiyyurrahman al-
Mubarakfuri, Shohih Tafsir Ibnu Katsir Jilid
2, Pustaka Ibnu Katsir , 2015, h..440
85
Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-
laki itu adalah pemimpin bagi
kaum perempuan, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” (QS.
An-Nisa : 32)
Imam Ridha As berkata, warisan
perempuan hanya separuh dari warisan
laki-laki disebabkan saat perempuan
menikah, dia mengambil harta dari
laki-laki berupa mahar sebagai suatu
kewajiban laki-laki. Oleh karena
itulah warisan laki-laki lebih banyak
dari perempuan. Di samping itu,
perempuan sebagai istri mendapat
nafkah dari laki-laki. Sedangkan
perempuan (istri) tidak mempunyai
kewajiban memberi nafkah kepada
keluarga, bahkan suami yang
memenuhi kebutuhan isteri. Oleh
karena cukup adil jika bagian
warisan laki-laki lebih banyak.
Namun, jika dicermati ketentuan
Alqur’an dan Hadits serta praktek
pembagian waris, hasil penelitian
Prof. Dr. Salahudin Sultan, guru besar
Syari’ah Fakultas Darul Ulmu, Universitas
Khairo, membuktikan bahwa tidak
selamanya perempuan mendapat
hak waris lebih sedikit dari laki-
laki. Menurutnya hanya dalam empat
keadaan perempuan mewarisi setengah
dari bagian laki-laki, sementara terdapat
30 kasus perempuan mendapat sama
dengan laki-laki bahkan lebih banyak
dari laki-laki 6
6 Salhudin Sultan, Mirasul Mar’ahwa
Qadiyyatul –Musawat, Kairo, Nahdah Misr,
2004. h.
2. Hak dan Kedudukan Perempuan
dalam Hukum Kewarisan Adat
Minangkabau
Perempuan dalam adat Minang
memiliki kedudukan yang sangat
penting. Perempuan Minang sangat
diagung-agungkan oleh masyarakatnya.
Keberadaan perempuan sangat
diharapkan. Tingginya kedudukan
perempuan ini dilambangkan sebagai
“limpapeh rumah nan gadang,
sumarak anjuang nan tinggi, dsb.7
Wanita dewasa dipanggil sebagai
Bundo Kanduang. Panggilan Bundo
Kanduang bukan sekadar istilah,
tapi merupakan penggilan penghormatan.
Bundo kanduang melambangkan
seorang ratu dari kerajaan Minangkabau
yang mendampingi ninik mamak
dalam acara seremony. Bundo kandung
juga merupakan salah satu unit
lembaga dalam kerapatan adat. 8Wanita dengan sebutan Bundo
Kanduang bukan hanya dinilai
dari penampilan fisik saja, tapi juga
kepribadiannya. Perempuan yang
diberi julukan ini harus mempunyai
kepibadian yang baik, sopan santun
dan memahami tatanan adat yang
berlaku. Selanjutnya wanita wajib
berpakaian secara pantas.9 Oleh karena
itu, kaum ibu merupakan warga
masyarakat yang sangat besar fungsi
dan peranannya dalam hidup ini,
mereka juga dilambangkan sebagai
sosok yang amat mulia dan filosofis.
Wanita di Minangkabau mempunyai
hak suara dan pendapatnya mendapat
perhatian dan selalu diutamakan.
Wanita merupakan pewaris harta
7 8 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo,
Tambo Alam Minangkabau, Tatanan Warisan
Nenek Moyang Orang Minang, Bukittinggi,
Kristal Multi Media, 2015, h. 351-352 9
86
keluarga dan pembawa nama keluarga.
Garis keturunan mengikuti garis
keturunan ibu, bukan dari pihak
bapak. Selain itu rumah-rumah gadang
dengan ukiran yang indah di
Minangkabau adalah milik wanita
Minang. Penerapan sistem kekerabatan,
pengelolaan harta pusaka, rumah gadang
dan pelaksanaan perkawinan juga
dilaksanakan oleh kaum wanita.
Penyelenggaraan sistem kekerabatan
dilengkapi dengan dukungan ekonomi
yang bersumber dari pengelolaan
harta pusaka dan sebuah tempat kediaman
yang disebut “rumah gadang”.
Pusako tinggi adalah milik kaum
secara turun temurun. Menurut sistem
matrilineal seperti sawah, ladang,
rumah gadang dan lainnya. Harta
pusako dimanfaatkan oleh perempuan
dalam kaumnya. Hasil sawah dan
ladang menjadi bekal hidup
perempuan dengan anak-anaknya.
Rumah gadang menjadi tempat
tinggalnya. Laki-laki/mamak berhak
untuk mengatur harta pusaka, tetapi
tidak berhak untuk memilikinya.
Oleh karena itu, laki-laki punya
hak terhadap pusako kaum, tetapi
dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Pewarisan harta pusaka tinggi
mempunyai hubungan yang erat
dengan sistem kekerabatan matrilineal
yang menjadi tata cara pelaksanaan
kewarisan tersebut adalah: “adaik
nan sabana adaik” (adat yang sebenarnya
adat). Yang harus dijalankan, artinya
pewarisan harta mengikuti garis
keturunan pihak ibu atau perempuan,
serta kewenangan untuk mengatur
harta pusaka tinggi dipegang oleh
perempuan yang tertua dalam
garis keturunan ibu yang disebut
Amban Paruik (suatu keluarga besar
atau famili) serta yang bertugas
untuk melindungi, memelihara, dan
mengembangkan harta pusaka tinggi
ini di bawah wewenang Mamak
Penghulu atau mamak kepala suku
Minangkabau.10
Pewarisan harato pusako tinggi
ini merupakan sistem kewarisan
kolektif yaitu sistem kewarisan
peninggalan harta pusaka tinggi
yang teruskan dan dialihkan
kepemilikannya dari pewaris kepada
ahli waris sebagai kesatuan yang
tidak terbagi-bagi penguasaan dan
kepemilikannya. Maksudnya adalah
setiap ahli waris berhak untuk
mengusahakan, menggunakan, dan
mendapatkan hasil dari harta
peninggalan itu11 serta adanya aturan
bahwa tidak semua harta peninggalan
dapat dibagi-bagi. Tanah atau barang
pusaka lainnya tetap merupakan
harta famili bersama- sama dalam
adat suku Minangkabau
Sebagai penerima hak waris harta
pusaka tinggi, perempuan di
Minangakabau wajib menjaga harta
pusaka tersebut agar tetap utuh
untuk menjaga keutuhan kaum
kerabat, sebagaimana diajarkan
falsafah alam dan hukum adat.
Harta pusaka mempunyai fungsi
sosial yang berada dalam penguasaan
kaum wanita.
Bila diperhatikan keseluruhannya
menyangkut kepentingan masyarakat
suku Minangkabau, wajar bila harta
yang dipergunakan diambil dari
harta pusaka tinggi yang menjadi
milik masyarakat tersebut. Dalam
tahap pertama dengan segala usaha
dicoba mengusahakan sendiri atas
10 Amir Syarifuddun. Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam Dalam
Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta:
Gunung Agung, 1984, h. 226.
11 Hilman Hadikusuma, Hukum
Waris Adat, Pt Alumni, Bandung, 1989, h. 26
87
kebutuhan masyarakat yang dibutuhkan,
bila tidak memungkinkan, sedangkan
kebutuhan sudah sangat mendesak
maka berlakulah pepatah “Tidak
Kayu Jenjang dikeping, Tidak
Emas Bungkal Diasah”, artinya
adat membenarkan harta Pusaka
Tinggi itu dikurangi secara gadai
atau dijual dengan tata cara yang
dibenarkan oleh adat suku
Minangkabau.12
Proses peralihan harta pusaka
tinggi dilakukan melalui pewarisan
yang terus menerus yakni dengan
cara saat pewaris telah meninggal
dunia maka mamak Kapalo Waris
meneruskan kedudukan atau jabatan
adat, kewajiban dan hak-hak, serta
harta kekayaan yang ditinggal oleh
pewaris jatuh kepada ahli warisnya
yaitu kamanakan.13 Semua harta
yang bergerak dan yang tidak
bergerak seperti Tanah, Rumah
Gadang merupakan harta pusaka
tinggi dalam suku Minangkabau.
Dalam hukum kewarisan harta ini
tidak diberlakukan hukum Faraid
sebagaimana mestinya. Harta pusaka
tinggi seperti tanah dan rumah
diberikan hanya kepada anak perempuan
tanpa menghiraukan bagian anak
laki-laki.
Dalam pengaturan pewarisan pusako,
semua harta yang akan diwariskan
harus ditentukan dulu kedudukannya.
Kedudukan harta pusako ini terbagi
dalam pusako tinggi dan pusako
randah.14Adapun terhadap harta
12 Dt. Maruhun Batuah dan D.H.
Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan
Adat Minangkabau, Pusaka Asli Universitas
Andalas Padang, 1978, h. 236. 13Ibid., h. 45-46. 14A. A Navis, Alam Takambang Jadi
Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
Jakarta, Grafiti Press, 1984, h. 163
pusaka rendah, maka pembagiannya
dilakukan menurut hukum faraid,
bahwa anak laki dan perempaun
sama-sama mendapatkan bagian
dari warisan kedua orang tuanya,
hanya bagian anak laik-laki mendapat
dua kali bagian dari anak perempaun.
3. Pewarisan Harta Pusaka Tinggi
kepada Anak Perempuan di
Minangkabau dalam Perspektif
Perlindungan terhadap Perempuan
Perlindungan Islam terhadap hak-
hak perempuan mencakup pemenuhan
hak untuk mendapat perlakuan yang
baik dan wajar, hak mendapatkan
mahar, nafkah, warisan, pendidikan,
hak untuk berusaha dan memperoleh
serta hak memilih pasangan hidup.
Sedangkan perlindungan terhadap
perempuan dalam hukum positif
mencakup hak perdata dan pidana.
Hak perdata meliputi perlindungan
dalam hukum keluarga berupa hak
memilih pasangan hidup, hak mahar,
nafkah, perlakuan baik dalam anggota
keluarga, hak mendapatkan harta
warisan, hak untuk bekerja dan
mendapatkan hasil usahanya, hak
atas kepemilikan suatu benda.
Dalam aspek hukum pidana, hak
perempuan mencakup untuk memperoleh
perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia sebagai upaya memberikan
perlindungan agar tidak terjadi
kekerasan terhadap perempuan, yang
dapat berupa pelanggaran terhadap
a. Hak atas kehidupan
b. Hak atas persamaan
c. Hak atas kemerdekaan dan
keamanan pribadi
d. Hak atas perlindungan yang sama
di muka umum
e. Hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan fisik maupun mental
yang sebaik-baiknya
88
f. Hak atas pekerjaan yang layak
dan kondisi kerja yang baik
g. Hak untuk pendidikan lanjut
h. Hak untuk tidak mengalami
penganiayaan atau bentuk
kekejaman lain, perlakuan atau
penyiksaan secara tidak manusiawi
yang sewenang-wenang.
Dari semua hak tersebut dapat
dirangkum bahwa perempuan berhak
untuk menikmati dan memperoleh
perlindungan hak asasi manusia
dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil, dan bidang-
bidang lainya.
Pewarisan harta pusaka Tinggi
kepada anak perempuan di
Minangkabau dalam perspektif
perlindungan terhadap perempuan
berarti bahwa pewarisan kepada
anak perempuan di Minangkabau
memberikan porsi perlindungan
yang sangat tinggi kepada kaum
perempuan, karena perempuan di
Mingakabau, di samping berhak
memperoleh harta warisan dari
orang tuanya (harta pusaka rendah)
juga mendapatkan hak mngelola
harta pusaka tinggi. Pemberian hak
atas pusaka tinggi kepada kaum
perempuan di Minangkabau karena
permpuan merupakan sosok yang
sangat di muliakan. Tingginya kedudukan
perempuan ini dilambangkan sebagai
“limpapeh rumah nan gadang,
sumarak anjuang nan tinggi.
Adapun fungsi harta pusaka
tinggi dalam kaum adalah agar
keluarga besar kaum tidak melarat
dan mempunyai bekal ketika ahli
waris meninggal, “Ganggam bauntuak”,
hiduik bapangadok”.15 Harta pusaka
tinggi juga berfungsi membentengi
tanah-tanah Minang dari penguasaan
15
orang-orang dari luar Minang. Namun
tujuan baik untuk kemaslahatan ini
tidak boleh mengabaikan syara’
(syari’at Islam) yang menjadi
landasan adat Minangkabau.
Adapun tujuan pewarisan harta
pusaka tinggi kepada kaum perempuan
di Minangkabau adalah :
a. Terpeliharanya kehidupan suku
Minangkabau, khususnya perempuan
dari terbuang dari kampungnya
sendiri. Ketika keluarganya tidak
mampu secara ekonomi atau
bercerai dari suaminya, maka tanah
pusaka dapat menjadi penopang
kehidupannya dan menjauhkan
dari perbuatan meminta-minta.
b. Terpeliharanya tanah kaum muslimin,
agar tidak beralih kepada selain
muslim. Tiada penguasaan mutlak
atas sesorang utuk menguasai
berjuta-juta hektar tanah.
Sehingga tidak ada monompoli
atas tanah di Minangkabau kecuali
tanah hanya milik masyarakat
adat. Hal ini mengacu kepada
ijtihad Umar bin Khatab dalam
mengembalikan tanah rampasan
di Irak dan Iran kepada penduduk
dan mewajibkan membayar kharaj
dan jizyah atas jaminan keamanan.
c. Terpeliharanya system kekerabatan
dan silaturrahmi antara kaum di
Minangkabau. Di mana setiap
peralihan dan alih fungsi tanah
memerlukan musyawarah bersama
datuk (kepala kaum), niniak mamak
dan juga bundo kanduang (pihak
ibu)
4. Tinjauan hukum Islam tentang
pewarisan harta pusaka tinggi
kepada anak Perempuan di
Minangkabau
Melihat konteks kehidupan saat
itu, porsi yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan lebih masuk
89
akal dan kontekstual, karena laki-
laki memiliki kewajiban menanggung
istri dan keluarganya. Kondisi yang
berbeda saat ini di mana antara
kewajiban laki-laki sebagai suami
dan perempuan sebagai istri akan
berpengaruh pada perbedaan beban
dan jatah yang diberikan kepada
mereka. Atas dasar ini, kita berandai-
andai apabila terjadi di masyarakat
suatu Negara bahwa yang menjadi
pemimpin dalam keluarga adalah
wanita, sedang laki-laki hanya sebagai
pelengkap semata, maka dengan
menggunakan teori Abu Yusuf
pembagian waris dalam masyarakat
seperti itu adalah bahwa wanita
mendapat bagian dua kali lipat dari
bagian laki-laki.
Abu yusuf
berpendapat, jika suatu nash berasal
dari adat istiadat atau tradisi dan
adat itu kemudian berubah (datang
adat baru), maka gugur hukum
nash itu.
Konsep modernisasi yang ditawarkan
oleh Qasim Amin, bila diterapkan
pada ketentuan-ketentuan kadar
pembagian harta warisan dalam
al-Qur‟an, maka ketentuan anak pria
berhak mendapat dua kali pembagian
anak wanita hanya relevan dengan
masyarakat yang kulturnya sama
dengan kultur masyarakat masa
ayat ini diturunkan. Kondisi yang
terjadi dalam masyarakat waktu
al-Qur’an diturunkan adalah tanggung
jawab memberi nafkah dipikul oleh
pihak laki-laki. Oleh karena itu,
wajar apabila bagian anak laki-laki
lebih besar daripada bagian anak
perempuan dari harta peninggalan
orang tua.
Ketentuan seperti itu sudah tidak
lagi cocok untuk diterapkan terhadap
masyarakat di mana soal tanggung
jawab memberi nafkah bukan hanya
dipikul oleh pihak laki-laki. Kondisi
sekarang sudah berbeda, di mana
laki-laki dan perempuan memiliki
peran dan tugas yang sama dalam
keluarga, hak dan kewajibannya,
tentunya menyamakan bagian laki-
laki dan perempuan karena kewajiban
dan beban mereka sudah sama tidak
bisa dipandang sebagai pelanggaran
ayat-ayat Allah, tapi sebagai pengakuan
dan pemenuhan. Karena Allah
menginginkan pengakuan terhadap
hak perempuan dan mengakhiri
dominasi laki-laki yang sebelumnya
tanpa batas.
Akal sehat hendaklah mempertimbangkan
bagaimana merumuskan ketentuan
baru yang sesuai dengan kultur
masyarakatnya. Dalam merumuskan
ketentuan baru itu yang harus
dipedomani adalah ruh syari’at
atau pesan-pesan moral seperti
nilai-nilai keadilan, meskipun akan
berakibat terabaikannya ketentuan-
ketentuan nash dalam bunyi teks
ayat-ayat al-Qur’an. Ketentuan
dalam bunyi teks itu memerlukan
pembahasan lebih lanjut tentang
kemungkinannya dikaitkannya dengan
tugas laki-laki dalam hal memberi
nafkah. Artinya, relevansi ketentuan
teks ayat itu perlu dikaji lebih jauh
ketika dihadapkan kepada masyarakat di mana soal tanggung jawab nafkah-
menafkahi bukan lagi atau tidak
hanya dipikul oleh pihak laki-laki,
demi keadilan yang merupakan
salah satu tujuan dari syari’at Islam
diturunkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dipahami bahwa pemberian hak
terhadap harta pusaka tinggi di
Minangakabau kepada perempuan
telah memenuhi tuntutan perkemabangan
zaman saat ini, di mana tanggung
jawab terhadap kebutuhan kelaurga
90
tidak hanya ditanggung oleh laki-
aki semata, namun perempuan juga
telah mengambil bagian dalam
memenuhi kewajiban tersebut. Jadi
pemberian hak harta pusaka tinggi
kepada anak perempuan di
Minangkabau sangat sesuai dengan
struktur budaya masyarakat saat ini.
Di samping itu, bahwa sistem
pewarisan harta pusaka tinggi di
Minangkabau merupakan tatanan
yang tidak diatur dalam hukum
Islam. Hukum Islam hanya mengatur
tentang pembagian harta pusaka
rendah (harta pencarian suami isteri)
yang wajib dibagikan kepada semua
ahli waris. Oleh karena itu, system
pewarisan harta pusaka tinggi di
Minangkabau tidak bertentangan
dengan ketentuan syara’, karena
masalah harta menyangkut hak hamba
(mu’amalah), jika kita mengacu
kepada kaidah ushul fikih bahwa
hukum asal perkara mu’amalah
adalah boleh sepanjang tidak ada
dalil yang melarang. Karena harta
pusaka tinggi tidak diatur dalam
Alqur’an dan Hadits, maka pewarisan
harta pusaka tinggi kepada anak
perempuan di Minangkabau dibolehkan
karena tidak bertentangan dengan
Syari’at Islam.
C. Kesimpulan
1. Perlindungan terhadap perempuan
dalam Islam mencakup pemenuhan
hak untuk mendapat perlakuan
yang baik dan wajar, hak
mendapatkan mahar, nafkah,
warisan, pendidikan, hak untuk
berusaha dan memperoleh serta
hak memilih pasangan hidup.
Pewarisan harta pusaka Tinggi
kepada anak perempuan di
Minangkabau dalam perspektif
perlindungan terhadap perempuan
bahwa, pemberian waris kepada
anak perempuan di Minangkabau
memberikan porsi perlidungan
yang lebih tinggi kepada kaum
perempuan, karena di samping
berhak memperoleh harta warisan
dari orang tuanya (harta pusaka
rendah) juga mendapatkan hak
terhadap harta pusaka tinggi.
Hak atas harta pusaka tinggi ini
karena perempuan di Minangkabau
merupakan sosok yag sangat di
muliakan.
2. Pewarisan harta pusaka tinggi
kepada anak Perempuan di
Minangkabau ditinjau dari hukum
Islam telah memenuhi tuntutan
perkembangan zaman saat ini, di
mana perempuan juga ikut berperan
dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Berbeda dengan masa al Qur’an
diturunkan, kewajiban memenuhi
tanggung jawab terhadap rumah
tangga hanya dibebankan kepada
suami. Di samping itu, pewarisan
harta pusaka tinggi di Minangkabau
merupakan tatanan yang tidak
diatur dalam hukum Islam. Hukum
Islam hanya mengatur tentang
pembagian harta pusaka rendah
(harta pencarian suami isteri) yang
wajib dibagikan kepada semua ahli
waris. Oleh karena itu, system
pewarisan harta pusaka tinggi di
Minangkabau ini tidak bertentangan
dengan ketentuan syara’, karena
masalah harta menyangkut hak
hamba (mu’amalah), jika mengacu
kepada kaidah ushul fikih bahwa
hukum asal perkara mu’amalah
adalah boleh sepanjang tidak ada
dalil yang melarang. Karena harta
pusaka tinggi tidak diatur dalam
Alqur’an dan Hadits, maka pewarisan
harta pusaka tinggi kepada anak
perempuan di Minangkabau dibolehkan
karena tidak bertentangan dengan
Syara’
91
D. Daftar Pustaka
A. A Navis, Alam Takambang Jadi
Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, Jakarta, Grafiti
Press, 1984
Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu
Fiqih ( Al- Qawa’idul Fiqhiyyah),
Kalam Mulia, 2013
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan
Penelitian hukum, : Citra Aditya
Bakti, Bandung , 2004, Cet.
Ke-1
Abd Latif Wahid, Materi Kuliah Fikih
Mawaris A, Banjarmasin,
Departemen Agama IAIN
Antasari Fakultas Syariah, 2003
Ahmad Ali, Mengauk Teori Hukum
(legal Teori) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) , Kencana,
2009
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris
Islam, Yogyakarta: UII Press,
2004
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir
Al Maraghi, Beirut, Darul
Fiqr, 1973
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia, cet. IV, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,
2000
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan
Islam, Jakarta: Prenada Media,
2004
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Gunung
Agung, Jakarta, 1984
Al-Zuhaili, Al-Tafsir wa al-Munir …, jilid
4, h. 283, Syalabi>, Ahkam
al- Mawa>
---------, Hukum Kewarisan Islam,
Kencana, 2004
Dt. Maruhun Batuah dan D.H. Bagindo
Tanameh, Hukum Adat dan
Adat Minangkabau, Pusaka
Asli Universitas Andalas
Padang, 1978.
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia
dalam Perspektif Islam, Adat
dan BW, Refika Aditama,
Bandung, 2013
Eman Suparman, Intisari Hukum
Waris Indonesia, Bandung:
PT Bandar Maju, 1995
A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata, terj. M. Isa Arief,
Jakarta, Intermasa, 1979
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-
Malibary, Fath al- Mu’in Bi
Sarh Qurrah al-Uyun,
Hamka, Kedudukan Perempuan dalam
Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1996:3 dan Buya Hamka
Berbicara tentang Perempuan,
Gema Insani, 2014
Hazairin, hendak ke mana hukum
Islam , Tintamas, Jakarta, 1976
--------, Hukum Kewarisan bilateral
menurut Qur’an dan Hadits,
cet VI, Jakarta, Tintamas,
1982
--------, Tujuh Srangkai tentang
Hukum, Bina Aksara, 1985
92
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral
menurut AlQur'an. Jakarta,
Tintamas, 1988
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris
Adat, Alumni Bandung, 1989
---------, Lihat Van Dijk, Pengantar
Hukum Adat Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung, 1960
H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris
Islam, Bandung, Aditama, 2006
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan (Relasi
Jender Menurut Tafsir Al-
Sya’rawi), Jakarta: PT Teraju
Mizan, 2004
Khairuddin Nasution, Isu-isu Kontemporer
Hukum Islam, Yogyakarta,
Suka Pres, 2007
Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan
dan Warisan di Dunia Muslim
Modern Yogyakarta: ACAdeMIA,
2012
K.NG. Soebekli Poesponoto, Azas
dan Susunan Hukum Adat,
Jakarta, Pradnya Paramita,
1960
Lailah Ibrahim Abū al-Majd, al-
Mar’ah baina al-Yahūdiyyah
wa al-Islām, al-Dār al-
Tsaqāfiyyah, Kairo, 2007
M, Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani,
Bulug al-Marram Fi Adillati
al-Ahkam, Daar al- Kutub al-
Ijtimaiyah, Bairut, Libanon,
tth,
Masyhur Efendi dan Taufani S. Evandri,
HAM dalam Dinamika /Dimensi
Hukum, Politik, Ekonomi
dan Sosial, Ghalia Indonesia,
2010
Mohammad Musa, Titi Nurfitri,
Metodologi Penelitian,
Jakarta : Fajara Agung, 1997
Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat,
Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat,
Refika Aditama, 2009
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar
(Grand Theory) Dalam
Hukum, Kencana, 2013
Rida,, Tafsir al-Manar, jilid 4, Al-Jalidi,
Ahkam al-Mirats
R. Santoso Pudjosubroto, Masalah
Hukum Sehari-hari,
Yogyakarta: Hien Hoo Sing,
1964
Salahudin Sultan, Mirasul Mar’ahwa
Qadiyyatul –Musawat,
Kairo, Nahdah Misr, 2004
Sayuti Thalib, Hukum Waris Islam di
Indonesia, Jakarta, Bina
Aksara, 1982
Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah
Penyusunan Kompilasi
Hukum Islam Indonesia,
Surabaya: Arkola, 1997
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum
Adat, Penerbitan Universitas,
1966
Suriyaman Mustari Pide, Hukum
Adat, Dahulu, Kini dan akan
datang. Kencana, 2014
93
Syaikh Shafiyyurrahman al-
Mubarakfuri, Shohih Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka
Ibnu Katsir , 2015
Syekh al-Imam Muhammad bin Ali
bin Muhammad Asy
Syaukani, Nail al–Autar Min
Ahadisi Sayyidi al-Ahyar
Sarh Muntaqa al-Akhbar,
juz 4, Beirut Libanon:
Daar al-Qutub al- Ilmiah,
1973
Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Warisan di Indonesia,
Bandung: Vorkink. van
Hoeve,'s Granvenhage
Yusirwan, Hukum Keluarga,
Kareakteristik dan Prospek
Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat
Matrilineal Minangkabau,
Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2013
Zusiana Elly Triantini, Hak-Hak
Perempuan dalam
Perkawinan (Studi
Komparatif Pemikiran An-
Nawawi Al-Bantani dan
Masdar Farid Mas’udi,
2012.
Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, Al-
Maktabah al-Syamilah
upgrade 3.59, Kairo, Dar al-
Ma'rifah, t.t.
http://budokanduangwordpress.com/t
entang harato-pusako-tinggi,
Azmi Dt.Bagindo,21 Juli
2009, diakses 8 Oktober
2017