Post on 01-Nov-2020
PENGGUNAAN METODE ISTIHSAN DALAM AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISHAH PADA FATWA DSN-MUI NOMOR: 73/DSN-
MUI/XI/2008 MENURUT PANDANGAN MAZHAB HANAFI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Syarat Mencapai Gelas Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Guntur Eka Arif Saputra
11150490000135
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGGTINAAN METODE ISTIHSAN DALAM AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISHAH PADA FATWA DSN-MUI NOMOR: 73IDSN-MUIDU2008
MEI\URUT PANDANGAN MAZH.AB HANIAFI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelas Sarjana Hukum (S.H)
OIeh;
Guntur Eka Arif Sanutra
1 1 1s0490000135
Pembimbing:
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
f)r. Moch. Bukhori Mdslim, M.A.
N[IP. 197 6062620090 1\0 13
PENGESAHAN PAI\ITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul "Penggunaan Metode Istihsan dalam Akad Musyarakah
Mutanaqishah pada Fatwa DSN-MUI Nomoor: 73IDSN-MUID02008 Menurut
Pandangan Mazhab Hanaff' yang ditulis oleh Guntur Eka Arif Saputra, NIM11150490000135, telah diajukan dalam dalam sidang skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum pada, 15 Januari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakart a, 20 Januari 2A20
Mengesahkan
i , - '':..
Dekaq Fafultas Syariah dan Hukum
Panitia Sidang:
Ketua A.M Hasan Ari. M.A. (.......M....................)NIP . 19751201 200501 1 005
Dr Abdurrauf, Lc.. M.A.NIP.l973l2l5 200501 I 00_
Sekretaris
Pembimbing Dr Moch. Bukhori Muslim" M.A. (... t . r......
NIP . 197 60626 200901 1 013
Penguji I : Dr. Hasanudin. M. AgNIP. 19610304 199503 1 001
Drs. Hamid Farihi. M.A.NrP. 19s811l9 198603 I 00 I
*tl/a;
. r r... '....)
Zl a6
44 .')
7*o'?4'Penguji II
TEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
2.
.1J.
Sicripsi ini hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di universitas Islam Negeri (ulN)S yarif Hidayatullah Jakarta.
'sernua sumber ymg saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri (urN)
S yarif Hidayatullah Jakarta.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karyaini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri rur$ Syarif Hidayatullah
Jakarta.
a Arif Saputra
I
i
ABSTRAK
Guntur Eka Arif Saputra. NIM 11150490000135. Penggunaan Metode
Istihsan Dalam Akad Musyarakah Mutanaqishah. Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penggunaan metode istihsan
pada Fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Akad
Musyarakah Mutanaqishah, penelitian ini juga meneliti bagaimana nilai
istihsan yang terkandung dalam akad tersebut. Metode penelitian dalam
skripsi ini adalah menggunakan metode library research (penelitian
kepustakaan) yang bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan falsafi,
yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada hasil penelitian ulama,
sarjana, cendikiawan dan para tokoh lainnya. Sumber data primer dalam
penelitian ini berupa pendapat Imam Abu Hanifah, Ulama Mazhab
Hanafiyah, Fatwa DSN-MUI, dan tokoh lain yang terkait dengan objek
penelitian ini yang kemudian dikumpulkan dan dianalisis oleh penulis.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa
pandangan ulama mazhab hanafi terhadap istihsan sebagai ijtihad hukum
banyak didukung sebagai hujjah oleh kalangan ulama lain seperti Ulama
Hanbali dan Maliki, oleh sebab itu keluar dari qiyas haramnya akad bay’
salaf, yang juga mengandung dua akad dalam satu transaksi dipandang
mengandung lebih besar tujuan demi mewujudkan kemaslahatan
dibandingkan dengan mengikuti qiyas, maka qiyas itu boleh ditinggalkan
dan yang dipakai adalah istihsan yang disandarkan pada maslahah dengan
meninggalkan dalil yang bisa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal
dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan
manusia.
Kata Kunci: Penggunaan Metode Istihsan, Musyarakah Mutanaqishah.
Fatwa DSN-MUI
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta
kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir
kuliah dengan judul “Penggunaan Metode Istihsan Dalam Akad Musyarakah
Mutanaqishah Pada Fatwa Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Menurut Mazhab
Hanafi”. Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H) bagi mahasiswa program S-1 di Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,
sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa
hormat penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua
pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama
kepada yang penulis hormati:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc. M.A, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. MA. M.A, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak AM. Hasan Ali, M.A, selaku Ketua Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A, selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. H. Moch. Bukhori Muslim, Lc. M.A, selaku Dosen Pembinbing
Akademik sekaligus Dosen Pembimbing skripsi saya yang telah
memberikan kritik, saran, bimbingan maupun arahan yang sangat berguna
dalam penyusunan skripsi ini
v
6. Teristimewa kepada kedua Orang Tua penulis (Alm.) Ahmad Arif, meski
penulis tidak dapat merasakan bimbingan serta kasih sayang seorang ayah
hingga dewasa tapi doa selalu teriring untuk Alm. Dan teruntuk ibu
tersayang Hj. Sunah, beliau ibu hebat yang merangkap tugas seorang ayah
sekaligus, tak pernah lelah memberi dukungan semangat, motivasi serta
dorongan moril dan materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
7. Tak lupa pula untuk Mochamad Galih Rakasiwi dan Galang Ta’jir
Muchtaraf selaku adik-adik penulis, yang banyak membantu dan
memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir kuliah.
8. Siti Nur Akmalia, perempuan yang penulis kagumi, selalu memberi
dukungan dan tak pernah henti memberi semangat terhadap penulis
apapun keadaan dan kondisi penulis. Dengannya penulis berharap untuk
dapat melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius.
9. Seluruh Teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah angkatan 2015, khususnya teman-teman HES D dan JOIN yang
tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, bersama kalian masa perkuliahan
yang dihadapi penulis terasa lebih mudah.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.
Jakarta, Januari 2020
Penulis,
v
iv
DAFTAR ISI
COVER
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING
SURAT PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN
ABSTRAK ........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah ........................................................................................ 5
D. Perumusan Masalah ......................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
F. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 6
G. Tinjauan Studi Terdahulu ................................................................................ 7
H. Kerangka Konsep .............................................................................................. 9
I. Metode Penelitian .............................................................................................. 14
J. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 16
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................................. 18
A. Istihsan ..... ....................................................................................................... .. 18
1. Pengertian Istihsan ...................................................................................... 18
2. Istihsan dalam Pandangan Imam Hanafi ................................................. 21
3. Macam-macam Istihsan Menurut Mazhab Hanafi .................................. 26
B. Gambaran Akad Musyarakah Mutanaqishah ................................................. 32
1. Pengertian Akad Musyarakah Mutanaqishah ........................................... 32
2. Landasan Hukum Musyarakah Mutanaqishah ......................................... 34
3. Rukun dan Syarat Musyarakah Mutanaqishah ........................................ 38
v
BAB III GAMBARAN UMUM FATWA DSN-MUI NOMOR: 73/DSN-
MUI/XI/2008 TENTANG AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH ..................... 43
A. Sekilas tentang Fatwa ....................................................................................... 43
1. Pengertian Fatwa ........................................................................................ 43
2. Dasar Hukum Fatwa ................................................................................... 44
B. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ..................................... 46
1. Sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia.................................................. 46
2. Dewan Syariah Nasional ............................................................................. 47
3. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional MUI ............................. 48
4. Sekilas tentang Fatwa DSN-MUI No: 73/DSN-
MUI/XI/2008/Tentang Akad Musyarakah Mutanaqishah ...................... 49
C. Metode Istimbath Hukum Fatwa DSN-MUI .................................................. 51
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 53
A. Kehujjahan Istihsan Menurut Mazhab Hanafi .............................................. 53
B. Analisis Penggunaan Metode Istihsan dalam Fatwa DSN-MUI
Nomor. 73/DSN/MUI/XI/2008 tentang Akad Musyarakah
Mutanaqishah menurut Mazhab Hanafi ....................................................... 54
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................................... 65
A. Simpulan ........................................................................................................... 65
B. Saran .................................................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 68
LAMPIRAN : Fatwa DSN-MUI Nomor. 73/DSN/MUI/XI/2008 tentang Akad
Musyarakah Mutanaqishah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bidang ekonomi khususnya perbankan syariah merupakan salah satu
lapangan Ijtihad yang menuntut jawaban-jawaban terhadap persoalan baru
dalam bidang ekonomi atau keuangan, dalam bidang ini muncul sederetan
bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya tidak pernah dijumpai pada masa
dahulu. Di indonesia sendiri tata aturan mengenai hukum perbankan atau
ekonomi islam diatur melalui Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia secara struktural berada dibawah MUI (DSN-MUI).1 Walaupun
sifat fatwa adalah anjuran dan tidak mengikat seperti peraturan perundang-
undangan, namun menjadi rujukan dalam mengetahui proses menjalankan
ekonomi sesuai dengan syariat islam.
Selain peraturan perundang-undangan, para praktisi ekonomi syariah,
masyarakat dan pemerintah juga membutuhkan Hukum Islam melalui Fatwa-
fatwa dari DSN-MUI yang berkenaan dengan ekonomi syariah untuk memuat
norma-norma dasar sebagai pedoman. Sedangkan operasionalnya secara rinci,
diserahkan kepada umat manusia sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
mereka. Dengan demikian, praktik ekonomi syariah sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan
tatanan sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, dan lain sebagainya.
Permasalah-permasalahan ekonomi yang muncul, jika dinisbatkan dengan
hukum Islam maka paling tidak terdapat dua kemungkinan jawaban sebagai
berikut :
1 Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI Tentang Pembentukan Dewan Pengawas Syariah
Nasional (DSN) No. Kep-75/MUI/II/1999.
2
1. Permasalahan-permasalahan yang jawabannya terdapat langsung
dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Permasalahan-permasalahan yang jawabannya tidak ditemukan
landasan syara’ yang eksplisit pada Al-Qur’an dan Sunnah
sehingga membutuhkan fatwa (jawaban yang menerangkan
kedudukan suatu persoalan) dari ulama yang memiliki otoritas
tentangnya.2
Terdapat rambu-rambu hukum Islam yang mengatur ketika manusia
melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rambu-rambu
hukum yang dimaksud tersebut ada yang bersifat pengaturan dari Al-qur’an
secara langsung, Al-hadits, peraturan perundang-undangan (Ijtihad kolektif),
ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, maqadish as-syariah, maupun
istilah-istilah lain dalam teori hukum islam. Namun cara manusia untuk
memenuhi kebutuhan dan cara mendistribusikan kebutuhan yang dimaksud
terkadang didasari filosofi yang berbeda antara seorang manusia dengan
manusia yang lainnya.
Kondisi seperti inilah yang tidak dapat dipertahankan ketika
kekuasaan islam semakin bertambah luas. Dengan terpencar-perncarnya para
Ulama, Ijma’ menjadi hal yang tidak memungkinkan lagi. Akhirnya masing-
masing Ulama melakukan istimbath sendiri. Maka lahirlah bermacam-macam
metode istimbath hukum seperti qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan
syar’u man qoblana. Metode-metode istimbath hukum itu saat ini menjadi
objek kajian ushul fiqih. 3
Hal ini terjadi akibat kelainan kepercayaan agama, ideologi, budaya
hukum, kepentingan politik yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
komunitas masyarakat. Selain itu, dalam hal tertentu antara suatu masyarakat
2 Yusuf Al-Qardawi, fatwa: Antara Ketelitian dan Kecerobohan, Alih Bahasa As’ad asin
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 5. 3 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h.3.
3
dengan masyarakat lainnya dalam melakukan aktifitas untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mempunyai unsur kesamaan bila menjadikan Al-qur’an
dan Al-hadits sebagai rambu-rambu dalam beraktifitas untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Rambu-rambu pengaturan dalam beraktifitas yang
dimaksud, baik dalam bentuk perbankan, jual beli, asuransi, gadai, hutang
piutang, maupun dalam bntuk lainnya dalam bidang hukum ekonomi atau
ekonomi syariah.4
Fatwa merupakan perkara penting yang memiliki banyak keutamaan
terkait penyelesaian masalah yang dihadapi oleh kalangan masyarakat, hukum
memberikan fatwa adalah fardhu kifayah. Karenanya, segala kemungkinan
kesalahan pembuatan fatwa harus dihindari. DSN-MUI sebagai lembaga yang
berwenang mengeluarkan fatwa di bidang hukum Islam.5 DSN-MUI
membutuhkan metode yang tepat dalam menentukan dan merespon hukum
dari suatu persoalan baru di bidang ekonomi syariah, salah satu metode yang
digunakan adalah dengan menggunakan metode istihsan.
Kedudukan istihsan sebagai metode pengambilan hukum sendiri
sebenarnya masih diperdebatkan oleh kalangan fuqaha hanafi dan fuqaha
syafi’i. Ulama Syafi’i telah menolak penggunaan istihsan sebagai sumber
hukum karna bukan di dasari oleh argumentasi yang diperoleh secara
langsung menurut nash al-Qur’an dan sunnah, sedangkan ulama Hanafi
menggunakan istihsan dalam perspektif penggunaan dalil yang lebih kuat
karna didasari urusan darurat yang ditujukan untuk memudahkan urusan
manusia.6 Selain itu juga di dalam ayat qur’an sudah disebutkan bahwa agama
itu bukan untuk menyusahkan manusia. Allah SWT berfirman (Q.S. 22: 78).
“dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
4 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah ( Sinar Grafika, Jakarta, 2008), h.1
5 https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/ (Lihat Tugas dan Fungsi DSN-MUI).
6 Muhammad Abu Zahra, Imam Syafi’i, Hayatuhu wa’asruhu wa Fikruhu Ara’uhu wa
Fiqhuhu, diterjemahkan oleh Abdul Syukur, dengan Judul, Imam Syafi’i; Biografi dan Pemikirannya
dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqh (Cet. II; Jakarta: Lentera, 2005), h.479
4
kesempitan”. Istihsan atau dalil hukum syara’ tidaklah didasarkan pada akal
semata, tetapi memilih alternatif dalil terkuat. Metode ini merupakan hasil
induksi dari berbagai ayat dan hadits yang diaplikasikan dalam merespon
persoalan-persoalan umat demi menghindari kesulitan dan merealisasikan
kemaslahatan. Dalam menerapkan metode tersebut, seorang mujtahid
hanyalah mengesampingkan kaidah umum atau qiyas karena ilatnya tidak
terdapat dalam persoalan yang dihadapi.7
munculnya keraguan terhadap kepastian hukum yang menjadi
persoalan ekonomi syariah yang ada di masyarakat salah satunya adalah
keluarnya Fatwa mengenai akad Musyarakah Mutanaqishah pada Fatwa
DSN-MUI NOMOR: 73/DSN-MUI/XI/2008. Musyarakah Mutanaqishah
merupakan akad yang baru muncul sejak perkembangan perbankan saat ini,
tidak ada pendapat ulama madzhab mengenai hukum akad ini serta nash tidak
menjelaskan secara langsung mengenai akad ini.
Di era modern ini, permasalahan akad ini termasuk dalam masail
fiqhiyyah yang butuh untuk dibahas mengenai sumber hukumnya agar tidak
ada keraguan dalam aplikasinya pada kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu
diperlukan untuk menggali hukum akad ini dengan metode yang telah
dijelaskan oleh ulama terdauhulu dalam ilmu Ushul al-Fiqh. Metode Istihsan
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Malik merupakan metode penggalian
hukum yang relevan, yaitu dengan menerapkan yang terkuat diantara dua
dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial diantara
dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat umum.8
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, sangat penting
kiranya sebuah penelitian yang komprehensif terhadap Penggunaan Metode
7 Kasjim Salenda, Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbath Hukum, Jurnal al-
daulah Vol. 1/No.2/Juni 2013 h.13 8 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011) h.111
5
Istihsan dalam Fatwa DSN-MUI. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
meneliti dan menganalisis bagaimana kesesuaian Teori PENGGUNAAN
METODE ISTIHSAN DALAM AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISHAH PADA FATWA DSN-MUI NOMOR: 73/DSN-
MUI/XI/2008 MENURUT PANDANGAN MAZHAB HANAFI. Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan sekaligus bahan evaluasi
bagi para regulator hukum Islam dalam mengeluarkan hukum baru di bidang
ekonomi syariah, ter-khusus fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
Sehingga menghasilkan produk hukum ekonomi syariah yang berkuaitas
sekaligus maslahat bagi umat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang
dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:
1. Penyimpulan hukum mengenai penggunaan metode istihsan dalam akad
Musyarakah Mutanaqishah pada fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-
MUI/XI/2008 menurut pandangan mazhab hanafi
2. Nilai istihsan yang terkandung dalam akad Musyarakah mutanaqishah
pada fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas serta menjaga
kemungkinan penyimpangan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan
batasan dengan hanya fokus pada masalah kehujjahan dalam penggunaan
metode Istihsan menurut mazhab hanafi pada fatwa DSN-MUI mengenai akad
Musyarakah Mutanaqishah. Pada penelitian ini penulis membahas tentang
Penggunaan Metode Istihsan dalam Akad Musyarakah Mutanaqishah pada
Fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008, objek atau jenis hukum
lainnya tidak termasuk ke dalam penelitian ini.
6
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebarkan di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kehujjahan istihsan yang terkandung dalam fatwa DSN
Nomor: 73/DSN-MUI/2008 menrut para mazhab Hanafi?
2. Bagaimana penggunaan metode Istihsan yang dipakai MUI dalam
penerapan fatwa tentang Musyarakah Mutanaqisah Nomor: 73/DSN-
MUI/XI/2008 menurut mazhab hanafi?
E. Tujuan Peneliitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kehujjahan penerapan metode istihsan yang dipakai
oleh MUI pada Fatwa Musyarakah Mutanaqisah Nomor: 73/DSN-
MUI/XI/2008 menurut pandangan mazhab hanafi
2. Untuk mengetahui nilai-nilai maslahat istihsan yang terkandung pada akad
Musyarakah Mutanaqisah dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-
MUI/XI/2008
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pengetahuan
dan mengembangkan pikiran serta memperluas informasi tentang
penggunaan metode istihsan dan nilai istihsan pada akad Musyarakah
Mutanaqisah dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008
2. Manfaat praktisi
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan, saran dan masukan tentang masalah yang
perlu diadakan perbaikan dan kualitas pada Fatwa DSN-MUI
3. Masyarakat
7
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat, khususnya berkaitan dengan penggunaan metode istihsan
dalam menentukan suatu hukum dan bagaimana bentuk tanggung jawab
DSN-MUI sebagai lembaga yang berwenang memberikan fatwa terhadap
suatu hukum baru sebagai jawaban terhadap persoalan masyarakat.
G. Tinjauan Studi Terdahulu
Sebelum pelaksanaan penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan
peninjauan hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan materi
yang akan dibahas.
1. Penelitian oleh Sulistyowati Saputro (Skripsi, Fakultas Syariah,
Institut Agama Islam Negri Walisongo Semarang, 2008).9
Sulstyowati melakukan penelitian tentang “ Studi Analisis Terhadap
Istidlal Fatwa DSN-MUI Nomor: 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang
Obligasi Syariah Ijaroh ”
Skripsi ini membahas mengenai pemakaian sumber hukum
islam yang digunakan dalam fatwa obligasi syariah Ijarah. Bentuk
penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif
analisis, yaitu suatu metode analisis untuk memecahkan masalah yang
sedang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek
penelitian berdasarkan pada fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya. Pokok permasalahan pada skripsi ini adalah melihat
bagaimana penerapan sumber hukum dan penggunaan metode istidlal
yang digunakan oleh MUI dalam menerapkan Fatwa Nomor: 41/DSN-
MUI/III/2004 tentang obligasi syariah ijarah.
9 Sulistyowati Saputro, “Studi Analisis Terhadap Istidlal Fatwa DSN-MUI Nomor: 41/DSN-
MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syariah Ijaroh”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Agama Islam
Negri Semarang, 2008).
8
Persamaan pada penelitian penulis dengan skripsi tersebut
adalah pada kesamaan dalam mengkritisi metode penerapan fatwa
yang digunakan oleh DSN-MUI, lalu perbedaannya dengan penelitian
penulis terletak pada obyek penelitiannya dimana pada skripsi tersebut
Sulistyowati menganalisis metode istidlal yang digunakan pada Fatwa
Nomor: 41/DSN-MUI/III/2004 tentang obligasi syariah ijarah,
sedangkan penelitian penulis menggunakan metode istihsan.
2. Penelitian oleh Fika Nur Apriani (Skripsi, 2018). Fika melakukan
penelitian tentang “Perspektif Syariah terhadap Penerapan Jaminan
dalam Akad Musyarakah Mutanaqisah”.10
Dalam skripsi tersebut membahas tentang tinjauan hukum
islam yang digunakan terhadap penerapan sebuah jaminan dalam
pembiayaan rumah dengan akad Musyarakah Mutanaqisah di suatu
bank syariah, skripsi ini juga menjelaskan tentang pembiayaan
bermasalah yang kemudiaan pihak bank melakukan eksekusi pada
barang jaminan setelah nasabah melakukan penunggakan selama lebih
dari 90 hari dari tanggal jatuh tempo dan sudah tidak ada kesanggupan
dari nasabah untuk membayar, setelah sebelumnya nasabah yang
disertai dengaan diberi surat peringatan. Bentuk penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kembali (research)
yang berorientasi pada pencarian terhadap pengetahuan yang benar
(ilmiah) dan dari hasil pencarian tersebut digunakan untuk menjawab
permasalahan tertentu.
Persamaan pada penelitian penulis dengan skripsi tersebut
terdapat pada kesamaan dalam objek pembahasan yakni tinjauan
hukum pada akad musyarakah mutanaqisah, lalu perbedaannya
10
Fika Nur Apriani “Perspektif Syariah Terhadap Penerapan Jaminan dalam Akad
Musyarakah Mutanaqisah”. (Skripsi S-1, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).
9
dengan penelitian penulis adalah penggunaan metode yang digunakan,
penelitian metode istihsan pada akad musyarakah menjadi subjek yang
hendak diteliti oleh penulis.
3. Penelitian oleh Kasjim Salenda (jurnal yuridis, 2013). Kasjim Salenda
melakukan penelitian tentang “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya
dalam Istimbat Hukum”.11
Pokok permasalahan penelitian pada jurnal yang Kasjim
Salenda muat membahas tentang macam-macam bentuk, alasan
penggunaan dan keterlibatan metode istihsan dalam menyimpulkan
hukum. Bentuk penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah
dengan menggunakan metode deskriptif analisis.
Persamaan penelitian penulis dengan jurnal tersebut terdapat
pada kesamaan dalam pembahasan istihsan sebagai suatu metode
hukum yang digunakan dalam menentukan suatu ketentuan hukum,
lalu perbedaannya dengan penelitian penulis adalah terletak pada
penggunaan objek yang hendak diteliti, dimana penulis memilih
penggunaan metode Istihsan yang dilakukan oleh DSN-MUI dalam
menentukan suatu fatwa.
Dengan demikian berdasarkan kajian pustaka diatas, penulis
merasa yakin bahwa belum ada penelitian yang serupa atau sama
dengan judul yang penulis hendak teliti.
H. Kerangka Konsep
1. Kerangka Teori
Dalam menghadapi era globalisasi, pengembangan hukum dalam
mengiringi perkembangan ekonomi sangat diperlukan sebagai suatu
landasan hukum, terlebih apabila suatu permasalahan ekonomi tersebut
11
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”. (Jurnal
al-daulah, vol. 1, No. 2, 2013).
10
tidak terdapat secara rinci penjelasan hukumya dalam dalil al-Qur’an atau
Nash.
Akad Musyarakah Mutanaqishah pada Fatwa Nomor: 73/DSN-
MUI/XI/2008 menjadi sebuah dasar hukum yang digunakan dalam
melakukan kegiatan ekonomi syariah khususnya dalam transaksi yang
menggunakan akad kerjasama. Tapi seiring bertumbuh kembangnya
perekonomian dikalangan masyarakat, maka terdapat beberapa jenis akad
kerjasama, salah satunya adalah Musyarakah Mutanaqisah yang pada
dasarnya menggunakan beberapa akad gabungan (Hybrid contract)
sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat perihal
keabsahan dasar hukum terkait.
Demi meperoleh suatu kepastian hukum sebagai landasan yang
digunakan, maka MUI selaku lembaga yang memiliki wewenang untuk
menentukan fatwa harus menggunakan metode yang sesuai dengan kaidah
hukum islam.
Agar dapat memudahkan pemahaman dan tidak terjadi kekeliruan
dalam memahami judul skripi, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang
terdapat dalam judul ini sebaga berikut:
1. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap
sesuatu, sedangkan menurut istilah ulama Ushul al-fiqh
berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata)
kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar) atau dari hukum kulli
(umum) kepada istina’i (pengecualian), karena terdapat dalil yang
mementingan perpindahan. Apabila ada kejadian yang tidak
terdapat nash hukumnya, maka untuk menganalisisnya dapat
menggunakan 2 aspek yang berbeda yaitu12
, aspek yang nyata
12
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 2014), h.131
11
yang menghendaki suatu hukum tertentu dan aspek tersembunyi
yang menghendaki hukum lain.
2. Akad
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam
konteks transaksi, akad adalah janji, perjanjian, atau kontrak.13
3. Musyarakah Mutanaqishah
Musyarakah Mutanaqishah merupakan akad turunan dari akad
musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih. Sementara mutanaqishah berasal dari kata
yutanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti
mengurangi secara bertahap.14
4. Fatwa
Definisi fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: (1)
jawaban berupa keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti
(ahli tentang suatu masalah); dan (2) nasihat orang alim; pelajaran
baik; dan petuah.15
5. DSN-MUI
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan
syariah.
Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga independen yang
mewadahi para ulama atau cendikiawan islam untuk membimbing,
membina, dan mengayomi umat islam di Indonesia.16
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 14
Nadratuzzaman Hosen, Musyarakah Mutanaqishah, jurnal Al-Iqtishad, Vol. 1, N0. 2, Juli
2009, h. 47. 15
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h.240 16
Profil MUI, mui.or.id. diakses tanggal 11 Oktober 2019
12
6. Mazhab Hanafi
Yang dimaksud dengan mazhab adalah istilah dari bahasa Arab,
yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati. Sesuatu dikatakan
mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama islam, yang
dinamakan mazhab adalah metode yang dibentuk setelah melalui
pemikiran dan penelitian. Kemudia orang yang menjalaninya
menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasannya dan
bagiannya yang dibangun di atas prinsip-prinsip kaidah. Mazhab
ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu
Hanifah bin Nu’man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal
sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. 17
17
https://id.m.wikipedia.org (diakses pada 26 November 2019)
13
2. Kerangka Konseptual
di-qiyas-kan
berpindah dari Qiyas
Permasalahan ekonomi yang tidak terdapat
nash-nya dalam al-Qur’an dan Hadits
(Musyarakah Mutanaqishah)
Istihsan
Keharaman Musyarakah mutanaqishah
Haramnya jual beli salaf (bay’ wa salaf) yang mengandung dua
akad yang menyebabkan gharar (ketidakpastian) dan dapat
menimbulkan aniaya.
Sebab musyarakah mutanaqishah mengandung
kemaslahatan yang lebih besar
Ulama Hanafi
14
I. Metode penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilihat dari segi jenisnya termasuk ke dalam penelitian
kepustakaan (library research). Adapun dari segi sifatnya termasuk ke
dalam penelitian deskriptif analisis yaitu dengan cara memaparkan
pendapat seorang tokoh atau ahli, kemudian dilakukan analisis. Jadi
penelitian ini termasuk ke dalam kajian studi tokoh yaitu pengkajian
terhadap pemikiran/gagasan keseluruhannya atau sebagiannya.18
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan falsafi yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada hasil
penelitian ulama, sarjana, cendikiawan dan para tokoh lainnya.
2. Jenis Penelitian
Berdasarkan sumbernya, data dapat dibedakan menjadi data primer
dan sekunder. Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan
peneliti langsung dari pernyataan tokoh atau ahli yang menjadi objek
dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder adalah informasi yang telah
dikumpulkan oleh pihak lain. Dalam hal ini, peneliti tidak langsung
memperoleh data dari sumbernya, peneliti bertindak sebagai pemakai data.
Data sekunder dibagi menjadi dua kelompok menurut sumbernya, yaitu
data internal yang tersedia di tempat penelitian dilakukan dan data
eksternal yang merupakan data perolehan dari pihak luar.19
a. Data Primer
Yaitu data yang diambil atau dikumpulkan langsung dari tokoh atau
ahli yang menjadi objek dalam penelitian ini. Sumber data primer
18
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998) cetakan ke-3, h.111. 19
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.69
15
tersebut adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Fatwa DSN-MUI, atau
tokoh lainnya yang menjadi objek penelitian ini.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari literatur kepustakaan dan dokumentasi
seperti buku, peraturan perundang-undangan, fatwa DSN-MUI, jurnal,
skripsi, dan internet baik dalam bentuk berita maupun data yang ada
dalam website resmi.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam
penelitian. Data yang terkumpul akan digunakan sebagai bahan analisis
dan pengujian hipotesis yang telah dirumuskan, teknik pengumpulan data
yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Studi Kepustakaan
Menurut Koentjaraningrat teknik kepustakaan merupakan cara
pengumpulan data bermacam-macam material yang terdapat diruang
kepustakaan, seperti koran, buku-buku, majalah, naskah, dokumen dan
sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat, 1983:
420).
Menurut Sugiyono, studi pustaka berkaitan dengan kajian
teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan
norma yang berkembng pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi
kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini
dikarenakan penelitian tidak terlepas dari literatur-literatur ilmiah
(Sugiyono, 2012)
Berdasarkan pengertian tersebut, maka studi pustaka dilakukan
dengan menelaah literatur terkait dengan tema yang penulis bahas
bersumber dari buku, peraturan perundang-undangan, fatwa DSN-
16
MUI, jurnal, skripsi maupun internet. Teknik ini dilakukan guna
memberi pemahaman terkait obyek yang dibahas.
2. Dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui
peninggalan tertulis berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku
tentang pendapat teori, dalil-dalil, atau buku-buku lain yang berkenaan
dengan masalah-masalah penyelidikan (Hadari Nawawi, 1991: 133).
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan,
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan,
kebijakan. Dokumen yang berbentuk foto, gambar hidup, sketsa, dan
lain sebagainya. Dokumen yang berbentuk karya, misalnya karya seni
yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain sebagainya
(Sugiyono, 2012: 240).
Berdasarkan pengertian teknik dokumentasi tersebut, maka
penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen berupa
biografi, naskah, buku, serta peraturan perundang-undangan
peninggalan terdahulu.
J. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan: Berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Tinjauan Studi Terdahulu, Kerangka Konsep, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II Kajian Pustaka: BAB ini berisikan teori-teori yang berhubungan
dengan penelitian ini.
17
BAB III Gambaran Umum: Bab ini menguraikan tentang objek penelitian
yang menjelaskan secara umum objek penelitian dan hal-hal yang berkaitan
dengan penelitian ini.
BAB IV Hasil Penelitian: Bab Berisikan tentang hasil dan analisa dari
penelitian yang dilakukan
BAB V Penutup: Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran yang dapat
diberikan dari hasil penelitian.
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
a. Istihsan secara umum
Kata Istihsan merupakan bentuk masdar yang mempunyai arti
menganggap baik sesuatu atau bisa juga diartikan memegang teguh
sesuatu yang baik dan menolak sesuatu yang bertentangan. Menurut
bahasa Istihsan diambil dari kata husn yang artinya sesuatu yang indah.1
Menurut istilah adalah berpaling dari dalil syariat yang sudah
ditetapkan atas suatu peristiwa atau perilaku menuju ke hukum yang
lainnya.2 Pengertian ini merupakan pendapat ulam Ushul secara umum.
Menurut Al-Karkhi, Ulama’ Ushul fiqh mazhab Hanafi, menyatakan
bahwa isitihsan adalah mereposisi hukum masalah tertentu dengan hukum
lain yang lebih kuat yang menuntut reposisi dari yang pertama.3
Sementara menurut Abu Hasan al-Bashri menyatakan, bahwa istihsan
adalah meninggalkan salah satu bentuk ijtihad yang tidak komprehensif
berdasarkan cakupan lafadznya untuk mengambil bentuk yang lebih kuat.4
Sedangkan pandangan Istihsan menurut Ibn Badran, ulama’ ushul fiqh
mazhab Hambali, menyatakan bahwa istihsan adalah dalil yang terkesan
dalam diri seorang mujtahid, tetapi sulit baginya untuk
mengungkapkannya dengan ungkapan yang pas.5
1 Louis Ma’ruf, al-Munjid il Laughah wal A‟lam, (Beirut: Dar al-Mashruq, 1986), h.134.
2 Khalid Ramdhan Husn, Mu‟jam Ushul Fiqih, (Bani Suwaif: al-Rawdhah, 1989), h.29.
3 As-Sarahsi, Ushul as-Sarahsi , (Dar al-Ma’rifah, Juz II) h. 200.
4 Abu Hasan al-Bashri, al-Mu‟tamad fii Ushul al-Fiqh, (al-Ma’had al-‘Alami al-Faransi,
Damaskus, juz II), h. 840 5 Ibn Badran, al-Madkhal, juz I, h. 291.
19
Namun, dipembahasan selanjutnya peneliti akan memaparkan lebih
rinci tentang bagaimana pemahaman dan pendapat Imam Hanafi mengenai
Istihsan agar pembaca dapat memahami serta mengamati konsep Istihsan
ini secara menyeluruh baik dari sisi pro dan kontranya.
b. Dasar Pertimbangan Istihsan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Istihsan berarti
berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari
yang sedang sebandingnya kepada hukum yang lain karena ada dasar
pertimbangan yang lebih penting yang menghendaki berpalingan.
Adapun dasar pertimbangan ulama dalam menetapkan hukum dengan
Istihsan adalah terwujudnya tujuan hukum yang hendak dicapai untuk
kepentingan umat, atau dengan perkataan lain yang ingin dicapai untuk
kepentingan umat, atau dengan pekataan lain yang menjadi dasar
pertimbangan Istihsan adalah terealisasi dan terpeliharanya kemaslahatan
dan kepentingan umat sebagai tujuan Syariat yang dalam istilah ushul fiqh
disebut Muqashidus Syariah.6
c. Pro dan Kontra Istihsan dikalangan Ulama Mazhab
Istihsan merupakan salah satu dalil yang diperselisihkan
penggunaannya oleh para ulama, ada yang menerimanya sebagai salah
satu hujjah dalam penetapan hukum islam dan ada pula yang
menentangnya.
Istihsan dapat digunakan sebagai hujjah. Pendapat ini dipegangi
oleh kalangan ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dalil yang
dipakai untuk menguatkan pendapat ini antara lain:
6 Husain Hamid Hasan, Nazhariyat al-Muslahat fil Fiqhi al-Islami. (Saudi: Darul Nahdhah al-
Arobiyat.t.t), h.242.
20
1. Firman Allah pada Q.S Az-Zumar, Ayat 55:
ق سبن ن ضه إى ب أ احبعا أحغ ل حشعش خ أ اىعزاة بغخت أحن بو أ
Menurut mereka, ayat ini menunjukan adanya perintah untuk
mengikuti yang terbaik, perintah dalam ayat ini menunjukan pada wajib
karena tidak ada hal lain yang memalingkannya dari makna wajib. Hal ini
menunjukan Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah pada Q.S Az-Zumar, Ayat 18:
أى ئل أى , الل ذا ئل اىز أحغ, أى ه فخبع اىق ع غخ الىببة اىز
Dalam ayat ini Allah memuji pada Hamba-hambanya yang
mendengar dan mengikuti perkataan terbaik, dan pujian tentu tidak
diujukan kecuali untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah.
3. Hadits Nabi SAW:
ب سا اىغي حغب ف عذا الل حغ
Dalam hadits ini menunjukan bahwa apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin, Maka hal itu juga baik disisi Allah SWT. Dan ini
menunjukan kehujjahan Istihsan.
Akan tetapi menurut ulama Syafi’i Istihsan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Syafi’i dalam dua
karyanya ar-Risalah dan al-Umm7 secara panjang lebar menjelaskan
alasan penolakannya terhadap istihsan. Diantara alasan yang digunakan
oleh imam Syafi’i adalah sebagai berikut:
1. Allah melarang adanya penetapan hukum kecuali dengan nash atau
yang diqiyaskan pada nash. Istihsan tidak termasuk kedua hal
tersebut, sehingga bisa dimasukkan pada kategori menetapkan
hukum dengan hawa nafsu yang terlarang, Allah berfirman pada
Q.S al-Maidah, Ayat 48:
7 Lihat lebih lengkap dalam Muhammad bin Idrus Asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Beirut: Darul
Fikri, 1309 H), I/25 juga dalam al-Umm, (Mesir: al-Bab al-Halabi, t.t) VII/309-311.
21
ضه الل ب أ ب ب اىحق ,فبحن ب جبءك ع اء ل حخبع أ
2. Rasulullah tidak pernah memberikan keputusan hukum dengan
dasar istihsan akan tetapi selalu menunggu turunnya wahyu.
Andaipun Nabi SAW menggunakan istihsan, pasti tidak akan salah
karena Nabi tidak pernah mengucapkan sesuatu berdasarkan pada
hawa nafsunya.
3. Dasar istihsan adalah akal, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini
antara alim dengan jahil. Kalau setiap orang boleh memakai
istihsan, tentunya setiap orang boleh membuat hukum untuk
dirinya sendiri.8
2. Istihsan dalam Pandangan Imam Hanafi
a. Biografi Singkat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah salah satu seorang imam yang ke-empat
dari Islam. Beliau terkenal sebagai seorang ahli dalam ilmu fiqih di
Negara Irak dan juga sebagai ketua kelompok pikir. Nama beliau dari
kecil adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Maham at-Taymi. Beliau
dilahirkan ditengah-tengah keluarga Bangsa Persia. Dilahirkan di kota
Kufah, kota yang terletak di Iraq, pada tahun 80 Hijriyah (699 M). Abu
Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa kerajaan Umawiyah
Pemerintahan Abbasiyah. Ayah beliau adalah keturunan dari Bangsa
Persia (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya
sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu, beliau bukan keturunan Bangsa
Arab asli, melainkan dari Bangsa Ajam (bangsa selain bangsa Arab).9
Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Abu
Hanifah dilahirkan dalam Islam. Bapaknya adalah seorang pedagang dan
8 Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh, h. 749
9 Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih, (Jakarta: Keira Publishing, 2017), h. 267.
22
salah satu keturunan dengan saudara Rasulullah Saw. Kakeknya Zauta
adalah suku (bani) Tamim. Sedangkan Ibu Hanifah tidak dikenal
dikalangan ahli-ahli sejarah tetapi walau bagaimanapun juga ia sangat
menghormati dan taat pada ibunya.
Dia juga hidup di waktu terjadi pergantian pemerintahan Umawiyah
pada raja Adhudh yang menyebabkan timbulnya fitnah dan kekacauan
dalam negeri. Serun kaum nasionalis Arab kelihatan dengan nyata dan
begitu juga unsur-unsur yang anti bangsa asing. Dalam hidupnya ia dapat
mengikuti bermacam-macam pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan baik di bidang ilmu politik maupun timbulnya agama baru.
Zaman ini memang terkenal dengan zaman politik agama dan ideologi
atau isme-isme.
Tekanan-tekanan yang kuat terhadap pemerintahan terjadi, sehingga
bermacam-macam hal telah timbul. Sering kedengaran isu-isu begitu juga
siksaan terhadap keluarga Rasulullah Saw. telah terjadi.10
Ia hidup dalam
masyarakat yang kacau balau disebabkan penduduk waktu itu terdiri dari
berbagai suku bangsa seperti Arab, asing (bukan Arab), Persia, dan
Romawi. Kehidupan yang eukun dan damai jauh sekali, pihak yang kaya
bertindak sesukanya dan penindasan dan perbudakan menjadi kebiasaan.
Ketika pemerintahan Abbasiyah ia juga dapat mengikuti perselisihan
hebat antara mereka yang pro Abbasiyah an yang pro Umawiyah. Dan
pada waktu itu muncullah bermacam-macam agama dan ideologi dari
penerjemahan buku-buku yang menyebabkan pertalian Islam dengan
falsafah Yunani tua lebih luas dan begitu juga dengan ideologi Persia dan
Hindu. Abu Hanifah hidup di Baghdad (ibukota Negara Irak) dimana
perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat. Keadaan tersebut
10
Ahmad Asy-Syurbani, Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab. (Jakarta: Amzah, 2008), h.13
23
menyebabkan Irak terkenal sebagai pusat suku-suku ahli pikir dan situasi
itu boleh juga banyak terpengaruh kepada paham-paham ali pikir tersebut.
Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia berperawakan sedang dan termasuk
orang yan mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus suaranya saat
bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang-
orang yang diinginkannya (menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah
berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa
dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan.
Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang bukanurusannya
(menurut Hamdan Putranya). Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-
baik serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk
ditempat duduk yang baik. Lantaran dari kesukaannya dengan bebauan
yang harum, sehingga dikenal orang ramai tentang baunya, sebelum
melihat kepadanya.
Abu Hanafi juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan
para kawan-kawannya yang baik-baik, tetapi tidak suka bergaul dengan
sembarangan orang. Berani menyatakan kebenaran kepada siapa pun
juga, tidak takut dicela atau pun dibenci orang, dan tidak pula gentr
bahaya bagaimanapun keadaannya.11
Pada waktu kecil Abu Hanifah
menghafal Al-Qur’an, seperti yang dilakukan anak-anak pada masa itu,
kemudian berguru kepada Imam Ashim salah seorang imam Qiro’ah
sab’ah. Keluarganya adalah keluarga pedagang sutera, oleh karena itu
tidaklah mengherankan apabila beliau sejak kecil sering mendampingi
ayahnya berdagang sutra dan kemudian beliaujuga menjadi seorang
pedagang.sampai pada suatu waktu beliau lewat di hadapan seorang Al-
Sya’bi salah seorang ulama besar di Kufah. Pertemuan Abu Hanifah
11
Ibid., h.14.
24
dengan Al-Sya’bi tersebut menyadarkan Abu Hanifah untuk
meninggalkan kegiatan berdagang dan memulai menutut ilmu.
Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin
Abu Sulaiman, saatu itu ia masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup
ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali
mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih
membutuhknnya. Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh
Hammad, seorang keluarga dekatnya telah wafat, sementara ia menjadi
salah satu ahli warisnya. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Basrah ia
meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar,
pemberi fatwa dan pengarah dialog.
Saat Abu Hanifah menggantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani
oleh petanyaan yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar
sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian yang lain ia
tangguhkan. Ketika Syaikh Hammad datang dari Basrah ia segera
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60
pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah dan
berbeda pendapat dalam 20 jawaban. Dari peristiwa ini ia merasa bahwa
masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia memutuskan untuk
menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan
kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia
ketahui.12
b. Pengertian Istihsan menurut Mazhab Hanafi
Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan Istihsan tetapi ia
tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari Istihsan itu, karena
12
Ahmad Asy-Syurbani, Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah, 2008),
h.16-17.
25
banyak orang mengatakan bahwa ia hanya menetapkan hukum menurut
keinginannya saja tanpa memakai metode. Karena demikianlah arti yang
ditujukan oleh kata Istihsan itu.13
Bahkan banyak para fuqoha yang tidak
mengetahui hakikat Istihsan yang dipraktekan oleh Abu Hanifah. Dan
karena itu, menurut Husein Hamid Hassan berpeganganya Abu Hanifiah
kepada Istihsan menjadi sumber kritikan kepadanya.14
Setelah timbul kritikan-kritikan itu maka para sahabat dan murid abu
hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan Istihsan yang
banyak dilakukan oleh imam mereka. Mereka berusaha menjelaskan
bahwa sesungguhnya Istihsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syara’.
Sebagian ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Istihsan ialah qiyas yang wajib beramal dengannya, karena illatnya
didasarkan pada pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai hukum yang
lemah mereka namakan dengan qiyas dan yang mempunyai hukum yang
kuat dinamakan Istihsan. Istihsan ini seolah-olah satu macam cara
beramal dengan salah satu qiyas yang paling kuat dan ini disimpulkan
dari masalah-masalah yang ada dalam Istihsan menurut ketentuan
ketentuan fiqih mereka. Menurut Al-Karkhi yang dimaksud dengan
Istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu
masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain karena ada
suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan.15
Menurut Abu Zahrah16
definisi istihsan menurut Al-Kharki ini
merupakan definisi yang paling jelas menggambarkan hakikat istihsan
golongan Hanafiyah. Karena definisi ini mencakup semua jenis istihsan
13
Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 43 14
Husain Hamid Hassan, Nazhariyat al-Maslahat fil Fiqhi al-Islami, (Saudi: Darul Nahdhah
al-Arobiyat, t.tp), h.585. 15
Husain Hamid Hassan, Nazhariyat al-Maslahat , h.585.
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Beirut: Daarul Fikr Arobi, 1947), h. 262.
26
dan menunjukan kepada asas serta isinya, sebab asas istihsan itu adalah
penetapan hukum yang berbeda dengan kaidah umum, karena ada sesuatu
yang menjadikan keluar dari kaidah umum itu. karena menghasilkan
ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan kehendak syara’ daripada
tetap berpegang kepada kaidah itu. Maka berpegang pada istihsan
merupakan cara penetapan hukum yang lebih kuat dalam masalah
tersebut daripada berpegangan kepada qiyas. Definisi Al-Karkhi itu juga
menggambarkan bahwa istihsan itu bagaimanapun bentuk dan macamnya
secara relatif merupakan cara beramal dengan masalah juz‟iyyat dalam
berhadapan dengan kaidah kulliyat. Maka seorang faqih yang menempuh
cara istihsan dalam masalah juz‟iyyat itu sebenarnya supaya tidak
tenggelam dalam ketentuan qiyas yang pada satu hukum menghasilkan
ketentuan hukum yang kurang sesuai dengan jiwa dan maqashid Syariah.
3. Macam-Macam Istihsan menurut Mazhab Hanafi
Ulama Hanafi membagi Istihsan menjadi enam macam. Sebagaimana
dijelaskan oleh al-syatibi dalam kitabnya yang berjudul al-Muwaffaqat Fi
Ushul al-Syariah (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, 1975), adalah
sebagai berikut:
1) Istihsan bin nash (istihsan berdasarkan ayat dan hadits)
Istihsan dengan Nash seperti berpalingnya mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang
dikehendaki oleh Nash. Karena memang ada masalah atau peristiwa
yang termasuk atau tercakup dalam salah satu kaidah umum. Namun
pada masalah atau peristiwa tertentu ditemui dalil khusus yang
menghendaki pengecualian terhadap masalah tersebut dan menetapkan
hukum yang lain daripada hukum yang ada pada kaidah umum.
27
Contohnya ialah makan siang di bulan Ramadhan . menurut qiyas
dalam arti kaidah umum perbuatan itu merusak atau membatalkan
puasa karena telah cacat rukunnya yaitu rukun menahan diri. Sebab
menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa termasuk
rukun puasa. Dan sesuatu yang telah hilang rukunnya berati batal.
Akan tetapi jika makan di siang hari di bulan Ramadhan karena lupa,
dilakukan pemalingan. Pemalingan itu adalah pemalingan dari hukum
batalnya puasa yang dikehendaki oleh kaidah umum namun kepada
hukum yang dikehendaki oleh Nash.17
Nash disini adalah sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang berbunyi:
ع اب ششة قب ه: قب ه سعه الل صي الل عيى عي غ صب ئ فب مو
ا لله اغع عقب )سا اىجبعت الاىغبئ( ا ششة فيىخ ص فب
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Orang
berpuasa yang makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya. Karena Allah-lah yang telah memberinya
makan dan minum. (Hadist Riwayat jamaah kecuali an-nasa‟i).
Hadist ini menjelaskan bahwa orang yang makan atau minum
karena lupa tidak membatalkan puasanya. Begitu pula keadaan pada
setiap nash ada yang berbeda dengan kaidah-kaidah asal atau kaidah-
kaidah umum (al-qawwaid ammah) yang dihasilkan dengan cara
istimbat dari nash-nash syariat. Apabila ada nash yang berbeda dengan
kaidah umum itu maka digolongkan Hanafiyah berpegang kepada nash
yang juz’i dan cara yang demikian mereka menamakan Istihsan
dengan Nash.18
17
Abdul Aziz bin Aburrahman bin Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyri‟ al-Mukhtalaf fil Ijtihad
biha, (t.tp: Mu‟assasat al-Risalat, 1979), h,. 165-166. 18
Husain Hamid Hasan, Nazhariyat al-Maslahat, h.589.
28
2) Istihsan bil ijma‟ (istihsan yang didasarkan pada Ijma‟)
Istihsan dengan Ijma’ berarti meninggalkan qiyas baik qiyas
asal (qiyas ushuli) maupun kaidah umum yang di-istimbath-kan
(qa’idah ammah mustanbathah),19
Apabila ijma’ menetapkan hukum
yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas ini. Contoh
Istihsan dengan ijma’ ialah perjanjian untuk membuatkan suatu barang
(bai‟ salam). Perjanjian semacam itu tidak dibolehkan menurut qiyas,
demikian juga menurut kaidah asal atau kaidah umum. Karena
merupaka jual-beli tanpa barang.
Golongan Hanafiyah juga memberikan contoh Istihan macam
ini dengan Istihsan umat dalam hal pemakaian kamar mandi umum
tanpa kejelasan sewa dan lamanya masa pemakaian. Menurut qiyas,
perjanjian sewa-menyewa. Akan tetapi orang yang masuk itu tidak
mengetahui baik jumlah air yang diperjanjikan maupun lamanya tinggl
di kamar mandi sebagai masa sewa.20
Padahal dalam aturan sewa-
menyewa segala sesuatu seperti jumlah bayaran, lamanya masa
pemakaian, dan lain-lain harus disebutkan dengan jelas. Tidak
disebutkan dengan jelas jumlah sewa, lamyanya masa pemakaian
kamar mandi dan jumlah air yang dipergunakan tidak sah akan tetapi
secara Istihsan hal itu dibolehkan karena ijma’ umat dan sudah
menjadi „urf bagi kaum muslimin.
Dengan demikian sandara ijma’ itu adalah pemeliharaan
kemaslahatan manusia yang pokok atau kemaslahatan yang bersifat
kebutuhan, selama kebutuhan itu merupakan kebutuhan umum yang
19
Kaidah Umum yang diistimbathkan ialah kaidah yang buka ditetapkan dengan nash, akan
tetapi ditetapkan dengan ijtihad. Lihat Husain Hamid Hassan, Nazhariyat al-Maslahat, h. 859. 20
Husain Hamid Hassan, Nazhariyat al-Maslahat, h. 590.
29
menduduki tempat darurat. Oleh karena itu dasar Istihsan semacam ini
adalah kemaslahatan yang sesuai dengan kehemdak Syara’.21
3) Istihsan bil qiyasil khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi).
Sebelum dibahas Istihsan dengan Qiyas Khafi alangkah
baiknya kalau terlebih dahulu dibahas sedikit tentang qiyas, karena
Istihsan semacam ini mempunyai hubungan erat dengan qiyas.
Qiyas dalam fiqih Islam berarti menghubungkan dengan
masalah yang tidak ada hukumnya dalam nash dengan masalah yang
ditemukan hukumnya dengan nash, karena ada illat yang sama antara
keduanya. Jadi Istihsan dengan qiyas Khafi dilakukan karena adanya
pertentangan antara kedua qiyas.22
Golongan Hanafiyah memberikan contoh terhadap Istihsan ini
dengan tidak najisnya sisa minuman burung buas seperti burung elang,
burung gaurda dan burung gagak. Qiyas menetapkan najis terhadap
sisa minuman burung buas itu sebuah hukum yang ditetapkan dengan
mengqiyaskan kepada binatang buas dengan Illat bahwa daging
keduanya tidak boleh dimakan.
Illat di atas tidak terdapat pada burung buas, karena daging
burung itu meskipun najis tetapi najisnya tidak berhubungan dengan
air. Sebab burung tidak munum dengan mulut. Burung minum dengan
paruhnya yang tidak terdapat air liur padanya. Dengan demikian qiyas
tidak di perlakukan terhadap burung itu. Maka dikembalikan kepada
21
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 108 22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, h.264-265.
30
asal yang halal. Artinya sisa air yang diminum itu adalah halal sesuai
dengan hukum asalnya.23
4) Istihsan bil Maslahah (Istihsan berdasarkan kemaslahatan)
Ketentuan umum menetapkan bahwa buruh pabrik tidak
bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditas yang diproduksi
pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena
mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi
kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap acuh para
buruh dan sulitnya memercayai sebagian pekerja pabrik dalam
masalah keamanan produk, maka Ulama Mazhab Hanafi
mempergunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik tersebut, baik
disengaja maupun tidak disengaja.
Ulama Maliki sebagai salah satu kalangan yang mendukung
istihsan sebagai istinbat hukum juga mencontohkan dengan kebolehan
dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidan umum
(qiyas), seorang dilarang melihat aurat orang lain. Akan tetapi, dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk kepentingan
diagnosis atas penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang
tersebut, maka kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat
wanita yang berobat kepadanya.
5) Istihsan bil Urf (Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum)
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan
ijma‟, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan
23
Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Maslahat, h. 590-591.
31
banyak air dan lama pemandian itu dipergunakan oleh seseorang,
karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam ukuran
dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
6) Istihsan bid darurah (istihsan berdasarkan dengan keadaan darurat)
Bila qiyas menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa,
akan tetapi disana fuquha menemukan darurat yang menghendaki
ditetapkannya hukum lain yang berbeda dengan hukum kaidah umum,
maka penetapan hukum hukum seperti itu dinamakan Istihsan dengan
darurat.
Golongan Hanafiyah mengemukakakan contoh Istihsan macam
ini dengan masalah membersihkan sumur. Mereka mengatakan, apaila
jatuh suatu najis ke dalam sumur itu tidak mungkin dibersihkan,
karena setiap air yang dituangkan ke sumur untuk mensucikannya
akan menjadi najis dengan najis yang ada dalam sumur. Karena itu
fuqaha menetapkan bahwa sumur dapat dibersihkan dari najis dengan
menuangkan beberap timba air ke dalamnya.
Para fuqaha mengatakan sesungguhnya fatwa terhadap
masalah ini, sandaran atau dasarnya adalah Istihsan bukan qiyas.
Darurat itu sebagaimana diketahui adalah suatu kaidah yang tegas
dalam agama yang bukan hanya diambil dari satu nash dan bukan
berdasarkan hanya kepada suatu dasar tertentu akan tetapi disimpulkan
dari kympulan nash syariat melalui kasus-kasus yang melahirkan
ketentuan yang qoth‟i kepada dasar kaidah.24
24
Abdul Wahab Khalla, Ilmu Ushul Fiqih, h.90-94.
32
B. Gambaran Akad Musyarakah Mutanaqishah
1. Pengertian Akad Musyarakah Mutanaqishah
Secara bahasa musyarakah atau syirkah berarti al-ikhtilat atau
penggabungan atau pencampuran. Menurut ulama fiqih, syirkah secara
istilah adalah penggabungan harta untuk dijadikan modal usaha dan
hasilnya yang bisa berupa keuntungan atau kerugian dibagi bersama.25
Musyarakah mutanaqishah sendiri merupakan produk turunan dari akad
musyarakah.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan.26
Secara spesifik
bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
dagangan (trading asset), kewiraswastaan (entreprenuership), kepandaian
(skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset
(seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness)
dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.27
Musyarakah
(kemitraan) adalah dasar kedua dari konsep profit and Loss Sharing (PLS)
dalam perbankan islam.28
Berdasarkan Pedoman Standar akuntansi Keuangan (PSAK),
musyarakah terbagi menjadi dua yaitu:
a. Musyarakah Permanen
Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan
bagian dana setiap mitra ditentukan saat akad dan jumlahnya tetap
25
Naf’an Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 96. 26
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 183. 27
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), h. 83 28
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo
Revivalis, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 88.
33
hingga akhir masa akad (PSAK No. 106 par. 04). Di dalam
musyarakah permanen, bagian setiap mitra ditentukan sesuai akad dan
jumlahnya tetap sampai berakhirnya masa akad.29
b. Musyarakah Menurun/Musyarakah Mutanaqishah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tanggal 16 November 2008
tentang Musyarakah Mutanaqishah, yang dimaksud dengan
musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah yang
kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.30
Di dalam musyarakah menurun, bagian pemilik modal atau bank
dialihkan secara bertahap kepada mitra, sehingga bagian modal
pemilik dana atau bank akan menurun dan pada akhir masa akad, mitra
akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.31
Pada musyarakah mutanaqishah, pengembalian pokok
investasi bank oleh nasabah dilakukan sesuai dengan jadwal dan
jumlah yang ditentukan bersama pada saat akad musyarakah
dilakukan.32
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa musyarakah mutanaqishah adalah:
a. Merupakan produk turunan musyarakah, yang merupakan bentuk
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk kepimilikan suatu
barang.
29
Kautsan Riza Salman, Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah, (Jakrta:
Akademia Permata, 2012), h.247. 30
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012),
h. 249 31
Slamet Wiyono dan Taufan Maulamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), h. 203. 32
Rizal Yaya, Aji ErlanggaMartawireja, Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syariah
Teori dan Praktik Kontemporer, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), h. 145.
34
b. Kepemilikan salah satu pihak terhadap barang secara bertahap akan
berkurang sedangkan hak kepemilikan pihak lainnya bertambah.
c. Perpindahan porsi kepemilikan kepada salah satu pihak terjadi
melalui mekanisme pembayaran.33
2. Landasan Hukum Musyarakah Mutanaqishah
Dalam musayarakah mutanaqishah ini ada beberapa dasar hukum yang
menjadi landasan implementasi akad musyarakah mutanaqishah ini. Dasar
hukum dari musyarakah mutanaqishah ini adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
1) QS. Shad ayat 24
اىخيطبء ىبغ بعع مثشا إ عبج ل بغؤاه عجخل إى قبه ىقذ ظي
بعط ب عي د أ دا ظ ب قيو بىحبث يا اىص ع ا آ إل اىز
أبة خش سامعب فخب فبعخغفش سب
“Daud berkata: “Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan
kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-
orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman ini”.
Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya., maka ia
meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat.”34
2) QS. Al-Maidah ayat 1
ن عي ب خي إل عب ت ال ب فا ببىعقد أحيج ىن ا أ آ ب اىز ش ب أ غ
الل إ حش خ أ ذ حي اىص ب شذ حن
33
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012),
h. 250. 34
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2010), h.
437
35
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.”35
b. Hadits
1) Hadits Riwayat Abu Daud dan Abu Hurairah.
عي: قبه قبه: قبه سعه الل صي الل عي ع الل شة سظ أب ش ع
حعبى: أب ثبىث الل خشجج ب صبحب، فئرا خب أحذ خ ب ى ن ش اىش
ب ب
صحح اىحبم د ا أب دا س
“Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua
orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak
mengkhianati yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat,
Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan
oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).”36
2) Hadits Riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani. Nabi
Muhammad SAW bersabda:
اى يح جبئض ب ب اىص أحو حشا حلال أ إل صيحب حش غي
35
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2010), h.
106 36
Muhammad Abdul Aziz Al-Kholidi, Sunan Abi Dawud, Juz III, (Beirut Lebanon: Dar al-
kotob al-ilmiyah, 1996), h. 462.
36
“Perdamaian diantara kaum muslimin itu boleh, kecuali
perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau
menghalalkan sesuatu yang haram.”37
c. Pendapat Ulama
1) Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni juz 5 halaman 173:
ش يل غ شخش جبص، ل ن ت شش حص ن ش اشخش أحذ اىش ى
“apabila salah satu dari yang bermitra (syarik) membeli
porsi (bagian, hishah) dari syarik yang lainnya, maka hukumnya
boleh, karena sebenarnya ia membeli untuk pihak lain.”38
2) Ibn Abidin dalam kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 365:
جبص ن ىشش ص، ل ج ب خ لج ف اىببء حص ن ش ببع أحذ اىش ى
“Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (Syarik)
dalam kepemilikan suatu bangunan menjual porsi (hishah) nya
kepada pihak lain, maka hukumnya tidak boleh, sedangkan jika
menjual porsinya tersebut kepada syariknya, maka hukumnya
boleh”.39
37
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz VI, Penerjemah: Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),
h. 289-290. 38
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz V, (Beirut, Lebanon: Daar al-kotob al-Ilmiyah), h. 173. 39
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Semarang: Erlangga,
2014), h. 407.
37
3) Pendapat Wahbah Zubaili dalam Kitab Al-Muamalah Al-
Maliyah Al-Muasirah
بدب عت لعخ ش عت ف اىش شش شبسمت اى ل -ز ي ت ببىخ خ مبلإجبسة اى
د ى شمت إرا عذ خ ف اىش ع ى حص ب بأ ن ل ىشش اىب عذ خبعي ق
به، بشأط اى اىطشفب ث غب ، ح دب حعذ ششمت عب ج أثبء ف
ع شش ل بئداسة اى ش ي اىش ل ع ض اىب ف
خ صشف حص ع اى خبء اىششمت ب بعذ ا جضئب، ببعخببس زا ب أ ل مي ش ىيش
شمت غخقلا، ل صيت ى بعقذ اىش اىعقذ عقذا
"Musyarakah mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah,
karena sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik bersandar
pada janji dari Bank kepada mitra (nasabah) nya bahwa Bank akan
menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam Syirkah apabila
mitra telah membayar kepada Bank harga porsi Bank tersebut.
Di saat berlangsung, Musyarakah mutanaqishah tersebut
dipandang sebagai Syirkah 'Inan, karena kedua belah pihak
menyerahkan kontribusi ra'sul mal, dan Bank mendelegasikan
kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah
selesai Syirkah Bank menjual seluruh atau sebagian porsinya
kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan
secara terpisah yang tidak terkait dengan akad Syirkah."40
4) Kamal Taufiq Muhammad Hathab dalam jurnal Dirasat
Iqtishadiyyah, Muharram 1434 jilid 10, volume 2, halaman 48:
ظ اىب ج عخب شبسمت بطب اى ث إ ح ششاء ب حعبش ع ع، ىن
شمبء اىخخبسج إرا أساد أحذ اىش ه، فئ الص أصو شبع ف ت عي اى حص
ش، ب ىيغ خينب إ ا بئعت اىخ خ اىش ع حص ب شمت، ف اىش ب إى ببق إ
شمت ف اىش ش غخ شمبء اى اىش
40
Wahbah Zuhaili, Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muasirah, (Beirut, Lebanon: Daar al-kotob
al-Ilmiyah), h. 436-437.
38
“Mengingat bahwa sifat (tabiat) musyarakah merupakan jenis
jual beli, karena musyarakah dianggap sebagai pembelian suatu
porsi (hishah) secara musya‟ (tidak ditentukan batas-batasnya) dari
sebuah pokok, maka apabila salah satu mitra (syarik) ingin
melepaskan haknya dari syirkah, maka ia menjual hishah yang
dimilikinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada syarik
lainnya yang tetap melanjutkan muyarakah tersebut.”41
3. Rukun dan Syarat Musyarakah Mutanaqishah
Tidak berbeda dengan akad-akad yang lainnya. Akad musyarakah
mutanaqishah juga memiliki rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaannya. Semua rukun dan ketentuan yang ada di dalam
akad musyarakah sebagaimana Fatwa DSN-MUI Nomor 8 tahun 2000
Tentang Pembiayaan Musyarakah berlaku juga pada musyarakah
mutanaqishah. Menurut T.M Hasby Ash-Shaddiqy ada empat komponen
dalam suatu akad yaitu al-„aqidain, mahall al-„aqd, maudhu„ „al-aqd,
sighat al-„aqd. Keempat komponen tersebut merupakan unsur yang harus
dipenuhi dalam suatu akad.42
1) Al-„aqidain
Al-„aqidain atau subjek akad adalah para pihak yang
melakukan akad. Pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu yaitu
berupa akad, maka dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum.
Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum adalah mereka
sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban.
Dalam akad musyarakah, pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi musyarakah harus cakap hukum, serta berkompeten dalam
41
Kamal Taufiq Muhammad Hathab, Dirasat Iqtishadiyyah Islamiyyah, Jilid 10, Vol.II,
(Juenal, Muharram 1434), h. 48. 42
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 99-
100
39
memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Para mitra harus
memperhatikan hal-hal yang terkait dengan ketentuan syar’i transaksi
musyarakah. Berdasarkan fatwa DSN Nomor 8 Tahun 2000
disebutkan bahwa setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan
serta setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. Setiap mitra
memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis
normal. Dalam hal pengelolaan aset, setiap mitra memberi wewenang
kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing
dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas
musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. Kendati demikian
seorang mitra tidak diizinkan menginvestasikan dana untuk
kepentingannya sendiri.43
2) Mahall al-„aqd
Mahall al-„aqd atau objek akad adalah sesuatu yang dijadikan
objek dari suatu akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang
ditimbulkan. Syarat yang harus dipenuhi dalam mahall al-„aqd yaitu
sebagai berikut:
1. Objek akad telah ada saat akad dilangsungkan
2. Objek akad dibenarkan oleh syari’ah. Benda-benda yang menjadi
objek akad harus memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.
3. Objek akad harus jelas dan diketahui oleh „aqd. Hal ini bertujuan
agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak yang dapat
menimbulkan sengketa.
43
Rizal Yaya, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syariah
Teori dan Praktik Kontemporer Berdasarkan PAPSI 2013, (Jakarta: Salemba Empat, 2016), h. 137-
138
40
4. Objek akad dapat diserahterimakan, maksudnya bahwa objek akad
dapat diserahkan pada saat akad terjadi atau pada waktu yang telah
disepakati oleh para pihak yang melakukan akad.
Berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 8 Tahun 2000 dalam
akad musyarakah, objek akad musyarakah meliputi tiga aspek yaitu:44
a) Modal
1. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
nilainya sama. Modal dapat terdiri atas aset perdagangan seperti
barang-barang, properti dan sebagainya. Jika modal berbentuk
aset harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati
oleh para mitra.
2. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah
kepada pihak lain kecuali atas dasar kesepakatan.
3. Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,
LKS dapat meminta jaminan.
b) Kerja
1. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah, akan tetapi kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Keudukan masing-masing
dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
44
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 337-338.
41
c) Keuntungan dan kerugian
1. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian musyarakah.
2. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional
atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang
ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentase itu diberikan
kepaadanya.
4. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
akad.
5. Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
3) Maudhu„ al-„aqd
Maudhu„ al-„aqd merupakan tujuan atau motif dari akad yang
dilkakuan. Terdapat beberapa syarat agar tujuan dari sebuah akad itu
dipandang sah dan mempunyai akibat hukum yaitu:
a) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-
pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
b) Tujuan harus berlangsung selama dimulainya akad sampai pada saat
akad tersebut berakhir.
c) Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’
4) Sighat al-‟aqd
Sighat al-‟aqd atau ijab dan kabul merupakan suatu ungkapan
yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak
pertama untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan melakukan
42
sesuatu. Sementara kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak
kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama
Ijab dan kabul dalam transaksi musyarakah harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad). Akad penerimaan dan penawaran yang
disepakati harus secara eksplisit menunjukan tujuan kontrak. Akad
selanjutnya dituangkan secara tertulis melalui korespondensi atau
dengan menggunakan cara yang lazim dalam suatu masyarakat bisnis.45
45
Rizal Yaya, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurrahim, Akuntansi Perbankan Syariah
Teori dan Praktik Kontemporer Berdasarkan PAPSI 2013, (Jakarta: Salemba Empat, 2016), h.139.
43
BAB III
GAMBARAN UMUM FATWA DSN-MUI NOMOR: 73/DSN-MUI/XI/2008
TENTANG AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH
A. Sekilas Tentang Fatwa
1. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa arab yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi
yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama sebagai tanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak
mempunayai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti
isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.1
Secara terminologis, menurut Wahbah al-Zuhaili fatwa didefinisikan:
Jawaban atas pertanyaan mengenai hukum syariat yang sifatnya tidak mengikat.
Sedangkan menurut Yusuf al-Qardhawi, Fatwa diartikan sebagai sebuah
keterangan atau ketentuan hukum syara‟ dari suatu permasalahan sebagai jawaban
dari suatu pertanyaan, baik yang bertanya itu jelas identitasnya maupun tidak baik
secara personal maupun kolektif.2
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, al-Fatwa berarti petuah, penasehat,
jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.3 Sedangkan dalam istilah
ushul fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang Mujtahid atau
Faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dalam
suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa
bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi
1 Rachma Taufik Hidayat dkk., Almanak Alam Islam, (Pustaka Jaya: Jakarta 2000), h. 21
2 Yusuf Qardawi, al-Fatwa Baina al-Indibad aw al-Tasayyub, (Mesir: Maktabah
Wahbah,1997), h. 5 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 1993), h. 6
44
fatwa dalam istilah ushul fiqh disebut mufti dan pihak yang meminta fatwa
disebut al-mustafti.
2. Dasar Hukum Fatwa
a. Al-Quranul Karim
Firman Allah Swt. QS. Surah An-Nisa ayat 127;4
ه ويستفتىك في انساء قم تي ل تؤتىه ه ويا يتهى عهيكى في انكتاب في يتايى انساء انله يفتيكى فيه الله
تقىيىا نهيتايى ت وأ انىندا ي ستضعفي ه وان كحىه ت أ ه وتزغثى ويا تفعهىا انقسظ يا كتة نه
ا ته عهي كا ه الله خيز فئ ي
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita, Katakanlah:
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan
kepadamu dalam Al-Qur‟an (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang
masih dipandang lemah dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus
anak-anak yatim secara adil, dan kebjikan apa saja yang kamu kerjakan,
Maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.”
Kemudian Firman Allah Swt. QS. Ash-Shaffat ayat 11:5
لسب طي خهقا إها خهقاهى ي فاستفتهى أهى أشد خهقا أو ي
“Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik mekah):
“apakah mereka yang telah kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami
ciptakan itu?” sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah
liat.”
4 Departemen Agama, Al-Qur‟an dan terjemah, (Bandung: Syamil Al-Quran, 2007), h. 98
5 Ibid., h. 446
45
b. Hadits Nabi
Terminologi fatwa yang ada di dalam Al-Quran juga terdapat di dalam
hadis-hadis Rasulullah SAW yang mana digunakan sebagai jawaban
Rasulullah SAW atas berbagai kejadian, peristiwa, kasus ataupun
permasalahan yang terjadi kala itu. Diantara hadis Nabi yang menguatkan
adanya fatwa pada masa Nabi yaitu hadis sebagai berikut:
ى ياتت وعهيها ذر صم اللالل ع ات عثاس ا سعد ت عثا دج استفتى رسىل ا ه أي عهيه وسهى فقا ل إ
هاالل صم االل فقال رسىل ا عهيه وسهى اقضه ع
Artinya: Dari ibnu abbas r.a bahwa Sa‟ad Bin „Ubadah r.a Minta Fatwa
kepada Nabi SAW., Yaitu dia mengatakan; sesungguhnyaa ibuku meninggal
dunia padahal beliau mempunyai kewajiban nadzar yang belum
ditunaikanya? Lalu Rasulullah SAW. Menjawab: “tunaikan nadzar itu atas
nama ibumu”. (HR. Abu Daud dan Nasai).6
Begitu pula dengan hadits mengenai mandi junub yakni pada hadits
berikut yang artinya: “berkata Tsauban: Mintalah fatwa dari Rasulullah SAW
tentang mandi sehabis junub, Rasulullah SAW bersabda: “Adapun seorang
lelaki, maka ia harus menguraikan rambutnya, lalu membasuhnya sampai ke
ujung pangkal rambutnya. Adapun seorang perempuan, tidaklah ia
menggosok rambutnya, cukup guyurkan air dari atas kepalanya sebanyak tiga
kali guyuran secukupnya.” (HR. Abu Daud).7
6 Mu‟ammal Hamidy, Imron AM dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar, Himpunan
Hadis-hadis Hukum, Jilid 6, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 597-598. 7 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, buku IV, (Jakarta: Pustaka Azam, 2000),
h. 779.
46
B. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
1. Sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H. yang
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M.8 di Jakarta sebagai hasil Munas
I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 12-18 Rajab
1395 H atau bertepatan dengan tanggal 21-27 Juli 1975 di balai sidang
Jakarta. Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang
diangkat oleh menteri Agama dengan Surat Keputusan No. 28 tanggal 1
Juli 1975, yang diketuai oleh Letjen. Purn. H. Soedirman dan Tim
Penasehat yang terdiri dari Prof. Dr. Hamka, K. H. Abdullah Syafe‟i dan
K. H. Syukri Ghazali.9
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran kolektif
pimpinan umat islam bahwa negara Indonesia memerlukan suatu landasan
kokoh bagi pembangunan masyarakat yang maju yang berakhlak. Oleh
karena itu, keberadaan para ulama dan cendekiawan muslim seperti ini
sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa dan bagi berkembangnya
hubungan harmonis antara berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh
rakyat Indonesia.
Pada tanggal 24 Mei 1975, presiden Soeharto menyatakan dengan
menekankan akan pentingnya sebuah majelis ulama setelah menerima
kunjungan dari Dewan Masji Indonesia. Akhirnya pada tanggal 21-27 Juli
1975 digelarlah sebuah konferensi ulama nasional, yang pesertanya terdiri
dari utusan atau wakil majelis ulama daerah yang baru berdiri, pengurus
pusat organisasi Islam, sejumlah ulama independen, dan empat wakil dari
ABRI. Konferensi ulama tersebut menghasilkan sebuah deklarasi yang
ditanda tangani oleh lima puluh tiga peserta yang hadir, deklarasi tersebut
8 Muhammad Atho Madzhar, Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS 1993), hal 63. Lihat pula
http://mui.or.id/mui /tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, diakses pada tanggal 9 Desember 2019. 9 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), h. 13.
47
menyatakan berdirinya sebuah organisasi atau kumpulan para ulama
dengan sebutan Majelis Ulama Indonesia ( MUI).10
2. Dewan Syariah Nasional MUI
Dewan Syariah Nasional MUI adalah lembaga independen dalam
mengeluarkan fatwa sebagai rujukan yang berhubungan dengan masalah
ekonomi, keuangan, dan perbankan.11
Pembentukan Dewan Syariah
Nasional dilatar belakangi dengan keberadaan regulasi yang mengatur
mengenai ekonomi syariah baik sejak UU Perbankan Tahun 1992 hingga
1998, dirasa perlu dan pentingnya suatu lembaga yang dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai ekonomi syariah, dimana
jawaban tersebut akan dijadikan landasan dalam melaksanakan kegiatan
ekonomi syariah.12
Latar belakang tersebut akhirnya dibahas dalam Lokakarya Ulama
tentang Reksa Dana Syariah pada tanggal 20-30 Juli 1997 yang juga pada
saat bersamaan membahas tentang pandangan syariah terhadap reksa dana.
Hasil dari lokakarya tersebut adalah merekomendasikan untuk membuat
suatu lembaga sebagai wadah atas kebutuhan para praktisi ekonomi.13
Artinya memang awal pembentukan DSN pada tahun 1997 sebagaimana
diungkapkan oleh Muhammad Syafi‟i Antonio,14
namun SK
pembentukannya disahkan oleh MUI dua tahun berselang, yakni pada
tanggal 10 Februari 1999 dengan SK MUI No. Kep-754/MUI/II/1999.15
10
Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman Penyelenggaraan Organisasi MUI,
(Jakarta: Sekretariat MUI, 2002), hal. 7. 11
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 206. 12
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional, h.119. 13
Ibid., h. 120 14
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, h. 32. 15
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional, h. 120.
48
3. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional MUI
Tugas dan wewenang termuat dalam lampiran II SK MUI No. Kep-
754/MUI/II/1999 tentang pembentukan Dewan Syariah Nasional. Tugas
DSN adalah sebagai berikut:
a) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
b) Mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan keuangan.
c) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
d) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.16
Sedangkan wewenang Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebagai
berikut:
a) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah
dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak terkait.
b) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau
peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti
kementrian keuangan dan bank Indonesia.
c) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-
nama yanga akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu
Lembaga Keuangan Syariah.
d) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
e) Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
16
Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: Erlangga, 2014), h.
5.
49
f) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.17
4. Sekilas tentang Fatwa DSN-MUI No: 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang
Akad Musyarakah Mutanaqishah.
Fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Akad
Musyarakah Mutanaqishah sendiri dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia untuk memberikan ketentuan hukum terkait akad musyarakah
mutanaqishah. Fatwa tersebut disahkan di Jakarta pada tanggal 14
November 2008 dan ditandatangani oleh DR. K.H, M.A. Sahal Mahfudhi
selaku ketua Majelis Ulama Indonesia saat itu, dalam Fatwa tersebut
Majelis Ulama Indonesia memutuskan beberapa ketentuan yang termuat
didalamnya, antara lain sebagai berikut:18
a) Ketentuan umum
1. Musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah
yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak
(syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
pihak lainnya.
2. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah
(musyarakah).
3. Hishah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan
musyarakah yang bersifat musya‟.
4. Musya‟ adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan
musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat
ditentukan batas-batasnya secara fisik.
b) Ketentuan Hukum
17
Ahmad Ifham Sodikin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 52. 18
Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2008), h. 4-6.
50
Hukum musyarakah mutanaqishah adalah boleh
c) Ketentuan Akad
1. Akad musyarakah mutanaqishah terdiri dari akad
musyarakah/syirkah dan Ba‟i (jual beli)
2. Dalam msuyarakah mutanaqishah berlaku hukum sebagaimana
yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para mitranya memiliki
hak dan kewajiban, diantaranya:
a. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan
pada saat akad.
b. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang
disepakati pada saat akad.
c. Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
3. Dalam akad musyarakah mutanaqishah, pihak pertama (syarik)
wajib berjanji untuk menjual seluruh hishah-nya secara
bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.
4. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan
sesuai kesepakatan.
5. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishah LKS
beralih kepada syarik lainnya (nasabah).
d) Ketentuan Khusus
1. Aset musyarakah mutanaqishah dapat di-ijarah-kan kepada
syarik atau pihak lain.
2. Apabila aset musyarakah menjadi obyek ijarah, maka syarik
(nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan ujrah yang
disepakati.
3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan
kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah
51
keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan
sesuai kesepakatan para syarik.
4. Kadar/ukuran bagian/porsi kepemilikan aset musyarakah
syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik
(nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad.
5. Biaya perolehan aset musyarakah menjadi beban bersama
sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban
pembeli.
C. Metode Istimbath Hukum Fatwa DSN-MUI
Pedoman Fatwa MUI ditetapkan dalam surat keputusan MUI Nomor:
U-596/MUI/X/199719
, dalam surat keputusan tersebut, terdapat tiga bagian
proses utama dalam menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum penetapan
fatwa, prosedur penetapan fatwa dan teknik dan kewenangan organisasi dalam
penetapan fatwa. Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam
Pasal 2 (1 dan 2). Pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada
adillat al-ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat.
Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-Qur‟an,
Hadits, Ijma‟, Qiyas, dan dalil-dalil lainnya.
Sedangkan prosedur-prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan
langkah-langkah berikut:
1. Setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat
komisi untuk mengetahui subtansi dan duduk masalahnya.
2. Dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan
masalah yang akan di fatwakan untuk di dengarkan pendapatnya
untuk dipertimbangkan.
19
Surat Keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
52
3. Setelah ahli didengar dan dipertimbangkan Ulama melakukan
kajian terhadap pendapat para Imam Mazhab dengan Fuqaha
dengan memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai
cara Istidlal-nya dan kemaslahatannya bagi umat. Apabila
pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki
pendapat, komisi bisa menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
4. Jika Fuqaha memiliki ragam pendapat komisi melakukan pemilihat
pendapat melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk
difatwakan.
5. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang memuaskan. Komisi
bisa melakukan ijtihad jama‟i menggunakan al-Qawaid al-
Fiqhiyyat.20
Teknik berfatwa yang dilakukan oleh MUI adalah rapat komisi dengan
menghadirkan ahli yang diperlukan dalam membahas suatu permasalahan
yang akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan apabila ada pertanyaan atau
permasalahan itu sendiri berasal dari perintah, lembaga sosial kemasyarakatan
maupun MUI sendiri.21
20
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, h. 170 21
Jaser „Audah, Al-Maqasid untuk pemula, (Yogyakarta: Suka press, 2013), h. 15
53
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kehujjahan Istihsan Menurut Mazhab Hanafi
Menurut golongan Hanafiyah, Istihsan itu bisa menjadi dalil syara‟
Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang
ditetapkan oleh qiyas atau umum Nash. Tegasnya menurut merekan
Istihsan dapat dijadikan dalil (hujjah). Untuk mendukung kehujjahan
Istihsan, golongan Hanafiah mengemukakan alasan atau Dalil dari Al-
Qur‟an, Sunnah, dan Ijma‟. Dalil dari Al-Qur‟an yang mereka
keumukakan adalah:
a. Surat Al-Zumar (39) ayat 18 yang berbunyi:
ل ي ست معن انذيه ف ي تبعن انق ى ئك ,أ حس امانذيه أن ذ مأنال نب بة,الل ئك أن
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah
diberi Allah petunjuk dari mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal”.
b. Surat Al-Zumar (39) ayat 55 yang berbunyi:
أ اةب غت ت ذ بكممهق بمأ ني أتي كمانع إن يكممهر بأوزل م ه اتبعاأ حس ت شعزن وتمل
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan
tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.
Ayat pertama, menurut mereka memuji orang-orang yang
mengikuti pendapat paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan
untuk mengikuti yang paling baik dri apa yang diturunkan Allah Swt.
54
Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadist yang
berbunyi:
مبرايانمسهمنحسىبفعىذاللحسه
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, Maka hal itu juga
baik disisi Allah SWT.”
Adapun Ijma‟ yang mereka jadikan alasan adalah ijma‟ ulama
terhadap masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan
lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang dipergunakan.1
B. Analisis Penggunaan Metode Istihsan dalam Fatwa DSN-MUI
Nomor: 73/DSN/MUI/XI/2008 tentang Akad Musyarakah
Mutanaqishah menurut Mazhab Hanafi
Musyarakah Mutanaqishah merupakan akad yang baru muncul
sejak perkembangan perbankan saat ini. Tidak ada pendapat ulama‟
mazhab mengenai hukum akad ini serta nash tidak menjelaskan secara
langsung mengenai akad ini. Di era modern ini, permasalahan akad
termasuk ke dalam masail fiqhiyyah yang butuh untuk dibahas
mengenai sumber hukumnya agar tidak ada keraguan dalam
aplikasinya dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan
untuk menggali hukum akad ini dengan metode yang telah dijelaskan
oleh ulama terdahulu dalam ilmu Ushul al-Fiqh. Dalam membahas
musyarakah mutanaqishah, metode istihsan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Malik merupakan metode penggalian hukum
yang relevan, yaitu dengan menerapkan yang terkuat diantara dua
dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial
dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.2
1 Usman, Istihsan Pembaharuan Hukum Islam, h. 63.
2 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), h. 111
55
Sampai saat ini satu-satunya peraturan yang mengatur mengenai
pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah ini hanya terdapat dalam
Fatwa DSN NO: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang akad Musyarakah
Mutanaqishah. Berdasarkan ketentuan fatwa yang terdapat dalam
Fatwa DSN NO: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang akad Musyarakah
Mutanaqishah berakhirnya akad pembiayaan Musyarakah
Mutanaqishah adalah ketika syarik (nasabah) telah mengambil alih
seluruh porsi kepemilikan yang dimiliki oleh Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) atas aset bersama tersebut. Ketika nasabah telah
mengambil alih porsi kepemilikan yang dimiliki oleh LKS dan telah
terjadi pengalihan seluruh porsi kepemilikan kepada nasabah maka
akad pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah telah berakhir.3
Akad Musyarakah Mutanaqishah jika ditinjau dari hukum fiqih,
akad Musyarakah Mutanaqishah pada dasarnya menggunakan
beberapa akad gabungan (hybrid contract). Dan adapun hadits yang
menerangkannya yaitu dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dalam
kitabnya Musnad, dari Abdullah bin Mas‟ud bahwa Rasulullah
Saw melarang dua akad dalam satu transaksi. Rasulullah SAW
bersabda:
ت ت يهفيب يع هب يع و ىع هم س ه ي هىاللع ص انىبي أ ن
“Nabi telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”4
Dan dalam riwayat lain Nabi bersabda:
ة احذ فق ت فق ت يهفيص هص سلاللصهىاللعهيسهمع و ىر
“Rasulullah telah melarang dua transaksi dalam satu transaksi”
3 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, No. 73/DSN-MUI/XI/2008.
4 Imam Malik ibn Anas, Al-Muwaththa‟, j. 2, h. 663
56
Suatu tansaksi yang diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga
terjadi ketidak pastian (gharar) mengenai akad mana yang digunakan
(berlaku), dalam terminology fiqh, hal ini disebutkan dengan
Shafqatain fil Al- Shafqah. Adiwarman karim menyatakan bahwa ada
tiga faktor yang melandasi adanya Shafqatain fil Al- Shafqah yaitu:5
1. Objeknya sama
2. Pelakunya sama
3. Jangka waktunya sama
Jika salah satu faktor tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan
sebagai Shafqataini fii al-Shafqah. Musyarakah mutanaqishah sendiri
bukan hanya terdiri dari dua akad namun tiga bahkan lebih jika suatu
saat nanti perkembangan zaman menuntutnya seperti itu. musyarakah
mutanaqishah ini merupakan multi akad. Multi akad yang jatuhnya
akan ke riba, Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang
berbeda hukumnya, seperti antara akad Qardh dan Ijarah.6
Musyarakah mutanaqishah jika diqiyaskan dengan hadits tersebut,
maka jelas hukumnya dilarang oleh nash syara‟ sebab musyarakah
mutanaqishah terdiri dari beberapa akad dalam satu transaksi
diantaranya, musyarakah, ijarah serta jual beli. Hal ini tidak
diperbolehkan dalam islam, sebab ini menimbulkan kesamaran atau
gharar mengenai akad mana yang berlaku, syarat serta rukun apa
yang harus berlaku di dalamnya. Berdasarkan hadits tersebut muncul
keraguan bahwa adanya musyarakah mutanaqishah yang terdiri dari
5 Adiwarman Karim, Bank Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 7
6 Agustianto,“Hybrid Contract dalam Keuangan Syariah”.
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/09/24/hybrid-contract-dalam-keuangan-syariah/
diakses tanggal 18 februari 2012 lihat juga Al-„Imrani, Al-‟uqud al-Maliyah al-Murakkabah,h.
181-182.
57
beberapa akad menimbulkan gharar sehingga dapat berdampak pada
teraniayanya salah satu pihak sebagaimana dijelaskan dalam Surat
Shad Ayat 24. Jika hal ini terjadi tentu saja syara‟ tidak
memperbolehkan akad ini. Tetapi jika menggunakan metode istihsan
yaitu mengutamakan tujuan syara‟ (maqashid syariah), maka akan
mengandung lebih besar kemaslahatan dibandingkan dengan
mengikuti qiyas.
Musyarakah mutanaqishah jika diqiyaskan pada hadits tersebut
maka hukumnya tidak boleh menurut syara‟ sebab ada beberapa akad
dalam satu transaksi, padahal kombinasi akad di zaman sekarang
adalah menjadi keniscayaan. Dua akad dalam satu transaksi saja tidak
boleh menurut hadits tersebut lalu bagaimana dengan beberapa akad
yang terkandung. Hanya saja permasalahannya, literatur ekonomi
syariah yang ada di indonesia sudah lama mengembangkan teori
bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi (two
in one). Artinya, kontrak yang mengandung two in one terlarang
dalam syariah. Larangan tersebut kemudian digeneralisasikan untuk
seluruh kontrak, sehingga setiap kontrak yang mengandung dua akad
atau lebih dipandang bertentangan dengan syariah.
Berikut ini metode istimbath hukum istihsan pada akad
musyarakah mutanaqishah dalam Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-
MUI/XI/2008 menurut Mazhab Hanafi :
58
di-qiyas-kan
berpindah dari qiyas
Hukum asal
Musyarakah
mutanaqishah
ه سلاللصهىاللعهيسهمع و ىر
ة احذ فق ت فق ت يهفيص ص
هى ص انىبي ت يهأ ن هب يع و ىع هم س ه ي اللع
ت فيب يع
Haramnya jual beli salaf
(bay‟ wa salaf)
Illat-nya
Mengandung dua akad yang
menyebabkan ketidakpastian
(gharar), dan dapat
menimbulkan aniaya dan
kedhaliman antar pihak
Mengandung lebih dari
dua akad yang dapat
menyebabkan
ketidakpastian (gharar)
atau dapat menimbulkan
aniaya/kedhaliman antar
pihak
Keharaman Musyarakah
Mutanaqishah
QIYAS
ISTIHSAN (bi al-Mashalah)
Karna Musyarakah Mutanaqishah mengandung kemaslahatan
yang lebih besar
Mashlahat hajiyyah (kebutuhan sekunder)
Menghilangkan kesulitan dalam kehidupan masyarakat
khususnya dalam bidang perdagangan
Pengembangan kegiatan transaksi dan produk Lembaga
Keuangan Syariah
Kebolehan Musyarakah Mutanaqishah
H
A
R
A
M
B
O
L
E
H
59
Diterangkan bahwa bay‟ salaf merupakan akad yang
menggabungkan akad bay‟ (jual beli) dengan salaf (pinjaman) dalam
satu transaksi objek, Rasulullah SAW melarang akad ini karena
mengandung gharar (ketidakpastian).7 Musyarakah mutanaqishah
jika diqiyaskan dengan bay‟ salaf maka hukumnya haram, sebab
mempunyai illat yang sama yaitu dapat menimbulkan gharar karena
akad ini mengandung beberapa akad yang berakibat ketidakpastian
rukun serta syarat mana yang harus dipenuhi. Apalagi Allah telah
berfirman dalam Q.S. Shad Ayat 24:
ك ن ق ذق بل الظ ه م تك بسؤ إن ىو عج بج إن,وع ثيزا ه ىب عضمن ي بغيانخه ط بءمه ك ب عض ع إل
ىاانذيه مهاآم ع بث بنح ق هيم انص ب ظ ه,مم د ا بد ف بست غف ز ف ت ىبيأ وم ب زر خ اكعب ر
أ و بة
Kebanyakan orang yang berkongsi (syirkah) mendzalimi para
pihak yang lain, lalu bagaimana jika musyarakah digabung dengan
akad lain, ini menimbulkan peluang bagi para syarik untuk
mendzalimi pihak lainnya.
Berdasarkan atas istihsan bil maslahah, keluar qiyas dipandang
mengandung lebih besar kemaslahatan dibandingkan dengan
mengikuti qiyas, maka qiyas itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai
adalah istihsan yang disandarkan pada maslahah dengan
meninggalkan dalil yang bisa digunakan, dan untuk selanjutnya
beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan
kemaslahatan manusia.8
Imam Malik yang juga satu pandangan dengan Imam Hanafi soal
kehujjahan istihsan berpendapat yaitu mengutamakan tujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-
7 Agustianto, Inovasi,
8 Rahmat Dahlah, Ushul, h. 144
60
bahaya secara khusus, sebab dalil umum menghendaki dicegahnya
bahaya tersebut. Dalil umum tersebut jika dipertahankan dapat
mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh
dalil umum itu.9 Hadits tersebut merupakan dalil umum yang berlaku
bagi setiap transaksi yang mengandung dua akad atau lebih sebab
dapat menimbulkan gharar yang dapat merugikan masyarakat. Qiyas
pada dalil umum tersebut dianggap tidak dapat mengoptimalisasi
maslahat sedangkan istihsan sebagai koreksi dari qiyas dengan tujuan
mendatangkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan syara‟ (maqashid
as-syariah). Keluar dari dalil umum tersebut dan beramal dengan dalil
syara‟ yang lain yaitu berupa maslahat dianggap lebih sesuai dengn
tujuan syara‟ atas akad musyarakah mutanaqishah tersebut.
Tidak ada halangan beramal dengan dengan mashlahat itu
meskipun bertentangan dengan dalil umum atau qiyas, karena yang
bertentangan dengan dalil umum atau qiyas ini adalah mashlahat yang
juga merupakan dalil syara‟. Mashlahat menurut Malikiyah adalah
mashlahat yang merujuk kepada dasar yang qath‟i yang diambil dari
induksi nash-nash syara‟ atau mashlahat yang mula‟imat (sesuai)
yang dibenarkan oleh nash-nash syara‟ bukan didukung oleh
mashlahat gharibah.10
Adanya mashlahah yang perlu lebih diperhatikan, menjadikan
musyarakah mutanaqishah diperbolehkan dalam syara‟ sebab adanya
mashlahah tersebut masuk dalam level dharuriyyah dan ada kalanya
masuk level hajiyyah. Dalam prakteknya musyarakah mutanaqishah
bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan barang konsumsi,
pengadaan rumah atau barang properti lainnya.11
Kebutuhan ini
kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat
9 Iskandar Usman, Istihsan, h.20., lihat juga As-Syatibi, Al-Muwafaqat, h.207.
10 Ibid., h. 31
11 Ascarya, Akad Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), h. 127
61
dharury (darurat), namun merupakan kebutuhan sekunder yang jika
tidak dipenuhi akan timbul beberapa kesulitan. Bentuk
kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan
pokok yang lima, tetapi secara tidak langsung menuju ke arah
tersebut.12
Misalnya membeli rumah untuk menjaga jiwa, namun
membeli rumah dalam hal ini bukan masalah dharury sebab biasanya
seseorang membeli rumah dengan bekerja sama dengan LKS
(Lembaga Keuangan Syariah) merupakan orang yang sudah mampu
memiliki rumah yang sederhana namun membutuhkan rumah yang
lebih layak lagi.
Beberapa pertimbangan kemaslahatan dalam musyarakah
mutanaqishah diantaranya untuk menghilangkan kesukaran dan
kesulitan jalannya kehidupan manusia khususnya dalam bidang
perdagangan. Sebab manusia merupakan makhluk sosial yang dalam
memenuhi kebutuhannya dibutuhkan bantuan dari pihak lain, seiring
berkembangnya zaman maka barang-barang semakin melonjak
sedangkan kebutuhan turut meningkat, banyak masyarakat yang
terjebak dalam kredit macet bahkan beberapa diantaranya meminjam
kepada rentenir untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini
tentu saja membahayakan hidup mereka. Untuk menghindari hal ini,
maka Lembaga Keuangan Syariah berusaha mengatasi kebutuhan
masyarakat dengan pola kerjasama salah satunya dengan akad
musyarakah mutanaqishah.
Pengembangan kegiatan transaksi dan produk Lembaga Keuangan
Syariah juga merupakan salah satu pertimbangan mashlahah yang
diperhatikan, jika Lembaga Keuangan Syariah terpaku pada ketentuan
umum syara‟ tanpa melakukan beberapa inovasi maka perekonomian
Islam bisa kalah saing dengan perekonomian konvensional yang
12
Amir Syarifuddin, Ushul, h. 349
62
berakibat pada terjerumusnya mereka kepada pembiayaan dengan
sistem bunga yang mengandung riba di dalamnya.
Perkembangan pada zaman modern ini menjadikan transaksi
keuangan serta bisnis semakin kompleks, bisnis semakin bergerak
maju dan rasanya sangat sulit diwujudkan dalam sebuah kontrak atau
akad simpel yang hanya mengandung satu ketentuan akad saja,
misalnya hanya akad syirkah atau ijarah saja. Oleh sebab itu
dibutuhkan design kontrak akad dalam bentuk kombinasi beberapa
akad yang disebut hybrid contract (multi akad), karna bentuk akad
tunggal sudah tidak mampuh meresponi transaksi keuangan
kontemporer.
Melihat dari kebutuhan masyarakat, maka dicarilah alternatif
dalam kebolehan menggunakan hybrid contract ini, termasuk salah
satunya akad musyarakah mutanaqishah yang merupakan
percampuran akad syirkah dengan ijarah yang mutanaqishah atau jual
beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran
akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah
mutanaqishah. Musyarakah mutanaqishah merupakan hybrid contract
yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru.13
Musyarakah mutanaqishah, jika dilihat dari segi pemenuhan
rukun-rukun serta syarat-syarat maka sudah memenuhi beberapa
ketentuan umum dalam syirkah, meliputi pencampuran modal, dalam
usaha tertentu dan ada pembagian hasilnya. Ini adalah poin penting
dalam syirkah. Dalam hal ini para syarik sama-sama mengeluarkan
modalnya namun dalam musyarakah mutanaqishah jumlah nominal
modalnya tidak sama, karena tujuan dari musyarakah mutanaqishah
ini umtuk menalangi masyarakat atau pihak yang butuh suntikan dana
13
Agustianto, Hybrid Contract dalam Keuangan syariah.
http://ekonomi.kompasiana.com./moneter/2011/09/24/hybrid-contract-dalam-keuangan-syariah/
diakses pada tanggal 23 desember 2018
63
dalam sebuah proyek atau pengadaan rumah. Oleh sebab itu porsi
modal salah satu pihak lebih besar daripada yang lainnya, maka dalam
jenisnya musyarakah mutanaqishah ini dapat dikategorikan sebagai
syirkah „inan yang dalam pelaksanaannya tidak ada pendapat ulama
yang mengharamkannya.
Akad musyarakah mutanaqishah pada hakikatnya merupakan akad
kepercayaan artinya dalam pelaksanaan kontrak ini para syarik harus
saling percaya serta sama-sama menaati kesepakatan yang telah
mereka buat. Hal ini diperbolehkan karena dianggap mendatangkan
manfaat bagi masyarakat dan memudahkan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, seandainya konsep istihsan ini tidak
diterapkan di masyarakat maka mereka akan banyak mendapati
kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan syariat islam tidak
diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi lebih mudah
dalam mengarungi persoalan hidup ini, seperti dalam keterangan
firman Allah14
:
ب م م ع ه يكمج ج مهانذيهيفع ز ح
dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan.
Ayat tersebut menunjukan bahwa tujuan penetapan syara‟ ialah
kemaslahatan bagi umat manusia dalam menjalani dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Semakin berkembang pengetahuan manusia
serta semakin majunya teknologi saat ini, maka kebutuhan manusia
manusia akan semakin meningkat pula. Oleh sebab itu nash-nash al-
Qur‟an dan hadits yang tidak pernah bertambah, sudah seharusnya
sesuai dengan kebutuhan umat dengan melakukan beberapa metode
penggalihan hukum islam yang telah dijelaskan oleh beberapa ulama‟
14
Q.S. Al-Hajj (22): 78.
64
Ushul fiqh, salah satunya adalah dengan menggunakan metode
istihsan sebagai istimbath hukum.
65
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang sudah diteliti
dan dianalisis berdasarkan bahan pustaka yang ada maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep kehujjahan istihsan menurut Ulama Mazhab Hanafi
sesungguhnya tidak keluar dari dalil syara’, sebagian ulama
Hanafiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Istihsan
ialah qiyas yang wajib beramal dengannya, karena illat-nya
didasarkan pada pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai
hukum yang lemah mereka namakan dengan qiyas dan yang
mempunyai hukum yang kuat dinamakan Istihsan. Istihsan ini
seolah-olah satu macam cara beramal dengan salah satu qiyas yang
paling kuat dan ini disimpulkan dari masalah-masalah yang ada
dalam Istihsan menurut ketentuan ketentuan fiqih mereka. Yang
dimaksud dengan Istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid
dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya
kepada hukum yang lain karena ada suatu pertimbangan yang lebih
utama yang menghendaki perpalingan.
2. Penggunaan metode istihsan dalam Fatwa DSN-MUI NOMOR:
73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Akad Musyarakah Mutanaqishah
menurut Mazhab Hanafi adalah hukumnya boleh demi
kemaslahatan umat, karna mengutamakan tujuan syara’ (maqashid
syariah), maka dipandang mengandung lebih besar kemaslahatan
dibandingkan dengan mengikuti qiyas. Berdasarkan atas istihsan
bil maslahah, keluar qiyas dipandang mengandung lebih besar
kemaslahatan dibandingkan dengan mengikuti qiyas, maka qiyas
itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah istihsan yang
disandarkan pada maslahah dengan meninggalkan dalil yang bisa
66
digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena
didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.
3. Penggunaan metode istihsan yang dipakai pada akad musyarakah
mutanaqishah dalam fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/2008
adalah isitihsan Istihsan bil Maslahah. Yaitu Istihsan berdasarkan
kemaslahatan, karna penggunaan akad musyarakah mutanaqishah
dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan dianggap memiliki lebih
banyak kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat.
4. Manfaat dan nilai istihsan yang terkandung dalam fatwa DSN
Nomor: 73/DSN-MUI/2008 adalah kemaslahatan dalam
menjalankan kegiatan ekonomi, menghilangkan kesulitan dalam
bidang perdagangan, dan Pengembangan kegiatan transaksi dan
produk Lembaga Keuangan Syariah, karna dalam akad
musyarakah mutanaqishah memiliki unsur kebersamaan dan
keadilan dalam menjalankan kerjasama antar mitra usaha, baik
dalam berbagi keuntungan dan menanggung resiko kerugian,
sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset
(barang) atau modal.
B. Saran
Berdasarkan simpulan penelitian seperti yang telah diuraikan
diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah atau regulator penyusun peraturan perundang-
undangan mengenai persoalan ekonomi syariah di Indonesia, terlebih
kurangnya regulasi yang mengatur dan mengawasi permasalahan
ekonomi syariah seperti pada akad musyarakah mutanaqishah yang
hanya terdapat dalam Fatwa DSN-MUI, agar persoalan mengenai
ekonomi syariah lebih terproteksi, mengingat agama islam yang
menjadi kepercayaan mayoritas masyarakat Indonesia.
2. Kepada peneliti hukum islam, khususnya para mahasiswa, agar dapat
meningkatkan pengkajian terhadap pemikiran hukum (konsep ijtihad)
67
Imam Hanafi untuk dikembangkan pada masa sekarang ini dalam
menemukan konsep (rumusan) yang bisa dijadikan solusi terhadap
perkembangan hukum dan persoalan yang timbul seiring
berkembangnya zaman.
3. Kepada para peneliti, karna skripsi ini masih memiliki keterbatasan
dan kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi
pengambilan data sehingga penulis harapkan dikemudian hari dapat
menindak lanjuti penelitian ini, khususnya mengenai konsep istihsan
yang ditawarkan oleh mazhab Hanafi, agar dapat dipahami dengan
baik dan benar dan pada akhirnya akan ditemukan suatu rumusan yang
bisa digunakan pada masa sekarang ini dalam menjawab permasalahan
yang timbul.
68
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah ( Sinar Grafika, Jakarta, 2008).
Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, Panduan Hukum Islam, buku IV, (Jakarta: Pustaka
Azam, 2000).
Al-Qardhawi, Yusuf, fatwa: Antara Ketelitian dan Kecerobohan, Alih Bahasa As’ad
asin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
Antonio, Muhammad Syafii, Bank Syariah dari Teori ke Praktek 20 Tahun Majelis
Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995).
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008)
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011) .
Asy-Syurbani, Ahmad, Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab. (Jakarta: Amzah,
2008).
Barlinti, Yeni Salma, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,
2010).
Hamidy, Mu’ammal, Imron AM dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar,
Himpunan Hadis-hadis Hukum, Jilid 6, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
Hassan, Husain Hamid, Nazhariyat al-Maslahat fil Fiqhi al-Islami, (Saudi: Darul
Nahdhah al-Arobiyat, t.tp).
Hidayat, Rachmat Taufik dkk., Almanak Alam Islam, (Pustaka Jaya: Jakarta 2000).
69
Jum’ah, Ali, Sejarah Ushul Fiqih, (Jakarta: Keira Publishing, 2017).
Karim, Adiwarman, Bank Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009).
Khalid, Ramdhan Husn, Mu’jam Ushul Fiqih, (Bani Suwaif: al-Rawdhah, 1989).
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 2014).
Ma’ruf Louis, al-Munjid il Laughah wal A’lam, (Beirut: Dar al-Mashruq, 1986).
Madzhar Muhammad Atho, Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS 1993)
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Semarang:
Erlangga, 2014).
Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014).
Nasir, Mohammad, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998)
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Juz VI, Penerjemah: Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009).
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Juz V, (Beirut, Lebanon: Daar al-kotob al-Ilmiyah).
Saed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Neo Revivalis, (Jakarta: Paramadina, 2004).
Salman, Kautsan Riza, Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah,
(Jakarta: Akademia Permata, 2012).
Sekretariat MUI, Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman
Penyelenggaraan Organisasi MUI, (Jakarta: 2002).
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek
Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014).
70
Sodikin, Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009).
Syafi’ie, Rachmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2012).
Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian Buku Panduan Mahasiswa
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Wiyono, Slamet dan Taufan Maulamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013).
Yaya, Rizal, dkk , Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer,
(Jakarta: Salemba Empat, 2014).
Yaya, Rizal, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer
Berdasarkan PAPSI 2013, (Jakarta: Salemba Empat, 2016).
Zahra, Muhammad Abu, Imam Syafi’i, Hayatuhu wa’asruhu wa Fikruhu Ara’uhu wa
Fiqhuhu, diterjemahkan oleh Abdul Syukur, dengan Judul, Imam Syafi’i;
Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqh (Cet. II;
Jakarta: Lentera, 2005).
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, (Beirut: Daarul Fikr Arobi, 1947).
Zuhaili, Wahbah, Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muasirah, (Beirut, Lebanon: Daar al-
kotob al-Ilmiyah).
71
JURNAL DAN SKRIPSI
Salenda, Kasjim, Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum,
Jurnal al-daulah Vol. 1/No.2/Juni 2013.
Hosen, Nadratuzzaman, Musyarakah Mutanaqishah, jurnal Al-Iqtishad, Vol. 1, N0.
2, Juli 2009.
Kamal Taufiq Muhammad Hathab, Dirasat Iqtishadiyyah Islamiyyah, Jilid 10, Vol.II,
(Jurnal, Muharram 1434).
Fika Nur Apriani “Perspektif Syariah Terhadap Penerapan Jaminan dalam Akad
Musyarakah Mutanaqisah”. (Skripsi S-1, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).
Sulistyowati Saputro, “Studi Analisis Terhadap Istidlal Fatwa DSN-MUI Nomor:
41/DSN-MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syariah Ijaroh”. (Skripsi S-1
Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negri Semarang, 2008).
KAMUS
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA
Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI Tentang Pembentukan Dewan Pengawas
Syariah Nasional (DSN) No. Kep-75/MUI/II/1999.
Surat Keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 Tentang Pedoman Penetapan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, No. 73/DSN-MUI/XI/2008.
WEBSITE
72
http://ekonomi.kompasiana.com./moneter/2011/09/24/hybrid-contract-dalam-
keuangan-syariah/
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui.html
https://id.m.wikipedia.org
DEWAN SYARI’AH NASIONAL FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 73/DSN-MUI/XI/2008
Tentang
MUSYARAKAH MUTANAQISAH
بسم االله الرحمن الرحيم
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa pembiayaan musyarakah memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset (barang) atau modal;
b. bahwa kepemilikan aset (barang) atau modal sebagaimana dimaksud dalam butir a dapat dilakukan dengan cara menggunakan akad musyarakah mutanaqisah;
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah mutanaqisah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT.:
a. QS. Shad [38]: 24:
وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض، إلا الذين آمنوا …ما هل مقليات والحملوا الصعو…
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
b. QS. al-Ma’idah [5]: 1:
…ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
2. Hadis Nabi
a. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
Fatwa Musyarakah Mutanaqisah 2
Dewan Syariah Nasional MUI
أنا ثالث الشريكين ما لـم يخـن أحـدهما : إن االله تعالى يقول من تجرخ هاحبا صمهدان أحفإذا خ ،هاحباصنهميب.
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
b. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حرامـا رل حأح لالا أوح مرطا حرإلا ش وطهمرلى شون علمسالماوام.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu sebagaimana disebutkan oleh al-Sarakhsiy dalam al-Mabsuth, juz II, halaman 151.
4. Ijma’ Ulama atas bolehnya musyarakah sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz V, halaman 3 dan al-Susiy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz VI, halaman 153.
5. Kaidah fiqh:
.الأصل فى المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : 1. Pendapat Ulama
a. Ibnu Qudamah, al-Mughni,(Bayrut: Dar al-Fikr, t.th), juz 5, hal. 173:
ري شترى أحد الشريكين حصة شريكه منه جاز، لأنه يـشت ولو ا .ملك غيره
Apabila salah satu dari dua yang bermitra (syarik) membeli porsi (bagian, hishshah) dari syarik lainnya, maka hukumnya boleh, karena (sebenarnya) ia membeli milik pihak lain.
b. Ibn Abidin dalam kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 365:
Fatwa Musyarakah Mutanaqisah 3
Dewan Syariah Nasional MUI
هكيرشلو ،زوجي لا بينجلأ هتصح اءنبال يف نيكيرالش دحأ اعب ولجاز.
Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (syarik) dalam (kepemilikan) suatu banguan menjual porsi (hissah)-nya kepada pihak lain, maka hukumnya tidak boleh; sedangkan (jika menjual porsinya tersebut) kepada syarik-nya, maka hukumnya boleh.
c. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muasirah, hal. 436-437:
ـادمتع لا ةعير الـش يف ةعورش م ةكارشم ال ههذ ـلإاك-ا ه جةار ـب ي نأ ب هكيرش ل كنب ال ن م دعى و ل ع _كيلمالت ب ةيهتنمال يـ ع ه ل . له قيمتهاددا سذ إةكر الشي فهتصح
ء وجودها تعد شركة عنان، حيث يساهم الطرفـان وهي في أثنا .برأس المال، ويفوض البنك عميله الشريك بإدارة المشروع
يا، وبعد انتهاء الشركة يبيع المصرف حصته للشريك كليا أو جزئ .باعتبار هذا العقد عقدا مستقلا، لا صلة له بعقد الشركة
“Musyarakah mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah, karena –sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi-al-Tamlik—bersandar pada janji dari Bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam Syirkah apabila mitra telah membayar kepada Bank harga porsi Bank tersebut.
Di saat berlangsung, Musyarakah mutanaqishah tersebut dipandang sebagai Syirkah ‘Inan, karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan Bank mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai Syirkah Bank menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad Syirkah.”
c. Kamal Taufiq Muhammad Hathab dalam Jurnal Dirasat Iqtishadiyyah Islamiyyah, Muharram 1434, jld. 10, volume 2, halaman 48:
وا تنهع، لكوويس البجن من ا هيتهعكة بطبيارشث إن الميح ربع ادإذا أر هل، فإنوالأص ل منأص اع فيشلى المة عاء حصشر نع
Fatwa Musyarakah Mutanaqisah 4
Dewan Syariah Nasional MUI
فهو يبيع حصته الشائعة التي أحد الشركاء التخارج من الشركة، اقي الشا إلى بإمر، ويا للغا إملكهتكةامرفي الش نيمرتسكاء المر.
Mengingat bahwa sifat (tabiat) musyarakah merupakan jenis jual-beli --karena musyarakah dianggap sebagai pembelian suatu porsi (hishshah) secara musya’ (tidak ditentukan batas-batasnya) dari sebuah pokok-- maka apabila salah satu mitra (syarik) ingin melepaskan haknya dari syirkah, maka ia menjual hishshah yang dimilikinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada syarik lainnya yang tetap melanjutkan musyarakah tersebut.
d. Nuruddin Abdul Karim al-Kawamilah, dalam kitab al-Musyarakah al-Mutanaqishah wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah, (Yordan: Dar al-Nafa’is, 2008), hal. 133:
دأح ربتعة ياقصنتكة المارشل بأن المة إلى القواسرلت الدصوتحيث إن التمويل بشكلها العام، مشاركةالأنواع التمويل ب
عتاع موأنن بكوي اما العكلهكة بشارشار بالمتبباعلفة، وتخمة ودد صفقة تمويل :استمرارية التمويل فهو تقسم إلى ثلاثة أنواع
.واحدة، وتمويل مشاركة ثابتة، وتمويل مشاركة متناقصةStudi ini sampai pada kesimpulan bahwa Musyarakah Mutanaqisah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat bahwa pembiayaan musyarakah dengan bentuknya yang umum terdiri atas beberapa ragam dan macam yang berbeda-beda. Dilihat dari sudut “kesinambungan pembiayaan” (istimrariyah al-tamwil), musyarakah terbagi menjadi tiga macam: pembiayaan untuk satu kali transaksi, pembiayaan musyarakah permanen, dan pembaiayaan musyarakah mutanaqishah.
2. Surat permohonan dari BMI, BTN, PKES dan lain-lain.
3. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Jumat, tanggal 15 Zulqa’dah 1429 H./ 14 Nopember 2008.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA MUSYARAKAH MUTANAQISAH Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
a. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak
Fatwa Musyarakah Mutanaqisah 5
Dewan Syariah Nasional MUI
(syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya;
b. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah).
c. Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya’.
d. Musya’ )ع���( adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.
Kedua : Ketentuan Hukum Hukum Musyarakah Mutanaqisah adalah boleh.
Ketiga : Ketentuan Akad 1. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdiri dari akad Musyarakah/
Syirkah dan Bai’ (jual-beli).
2. Dalam Musyarakah Mutanaqisah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, di antaranya: a. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan
pada saat akad. b. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang
disepakati pada saat akad. c. Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
3. Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.
4. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai kesepakatan.
5. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya (nasabah).
Keempat : Ketentuan Khusus 1. Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik
atau pihak lain.
2. Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.
4. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad;
Fatwa Musyarakah Mutanaqisah 6
Dewan Syariah Nasional MUI
5. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli;
Kelima : Penutup 1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 15 Zulqa’dah 1429 H
14 Nopember 2008 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris, DR. K.H. M.A. SAHAL MAHFUDH DRS. H.M. ICHWAN SAM