Post on 07-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang.
Lingkungan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia dan
merupakan tempat di mana manusia menghabiskan masa hidup mereka, baik
sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk social. Lingkungan hidup
manusia tidak lepas dari peranan manusia itu sendiri dalam menjaga dan
melestarikannya. Bencana alam yang sering terjadi baik itu yang disebabkan oleh
alam itu sendiri yaitu dari dalam bumi (gempa tektonik, pergeseran lempeng, atau
sebesar tsunami) maupun dari dalam bumi (tumbukan meteor, jatuhan asteroid
dan sebagainya). Bencana alam juga tidak lepas dari akibat perbuatan manusia
sebagai makhluk hidup yang tinggal di atas permukaannya. Kegiatan atau
aktivitas keseharian manusia dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, juga secara tidak langsung memicu bencana alam (perang nuklir,
pemanasan global, polusi air/udara) dan bencan genetis-biologis lainnya.
Lingkungan semakin lama semakin rusak dan tercemar, akibat dari pada
kegiatan dan aktivitas tadi. Pengelolaan sebuah lingkungan yang terpadu dan
berkelanjutan seakan menjadi sebuah hal yang sangat sulit untuk direalisasikan
dalam kehidupan nyata akibat dari kesibukan dan pekerjaan. Sudah menjadi
kewajiban kita sebagai makhluk dengan kesadaran dan kecerdasan tinggi dalam
menyikapi hal ini. Pengelolaan lingkungan yang meliputi lingkungan di darat,
sungai/laut, dan udara mempunyai beberapa langkah-langkah penyelesaian yang
harus dilalui dalam pencapaiannya. Reboisasi dan reklamasi lahan adalah
sebagian kecil contoh dari langkah penyelesaian yang ditempuh manusia dalam
upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan yang terpadu dan berkelanjutan.
Dari uraian di atas maka penulis ingin mengangkat permasalahan yang berkaitan
dengan solusi permasalahan pengelolaan lingkungan yang baik dan benar.
II. Rumusan Masalah
1
Dalam penulisan makalah ini yang menjadi pokok permasalahan adalah
bagaimana mengupayakan pengelolaan lingkungan yang terpadu dan
berkelanjutan serta langkah-langkah apa yang bisa ditempuh dalam
merealisasikannya.
III. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pembelajaran khusus bagi semua pihak yang merasa bertanggung
jawab akan kelestarian dan keberlangsungan organisme dan ekosistem alam.
2. Sebagai bahan acuan penelitian bagi yang ingin meneliti lebih jauh tentang
masalah yang ingin dikaji.
3. Sebagai salah satu syarat dalam perolehan nilai akhir mata kuliah pengetahuan
lingkungan.
IV. Batasan Masalah
Pembahasan makalah ini hanya dibatasi pada cara pengelolaan
lingkungan yang baik dan benar dan cara-cara yang ditempuh dalam pengelolaan
dan pelestarian lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan.
V. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui pokok permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat tentang hambatan
yang dihadapi dalam usaha pelestarian lingkungan.
2. Memberikan masukan pada masyarakat umum dan mahasiswa pada khususnya
mereka yang menekuni disiplin bidang lingkungan.
3. Menambah wawasan mahasiswa khususnya jurusan teknik pertambangan Universitas
Nusa Cendana dalam merencanakan pelestarian lingkungan secara terpadu dan
berkelanjutan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
I. Landasan Teori
Krisis lingkungan saat ini sudah sampai pada tahap yang serius dan
mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan
bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern dewasa ini
sedang melakukan perusakan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap sistem
lingkungan yang menopang kehidupannya. Kerusakan lingkungan baik dalam
skala global maupun lokal termasuk di negara kita hingga saat ini sudah semakin
parah. Indikator kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh degradasi
lahan cukup nyata didepan mata dan sudah sangat sering kita alami seperti banjir
tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan (sedimentasi)
sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitasnya) yang
berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa daerah dinegara kita dan
beberapa negara lain. Polusi air dan udara, pemanasan global yang mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim dunia, mencairnya salju di wilayah kutub utara dan
selatan, kerusakan keragaman hayati, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan
serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah serius yang
sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan diplanet bumi ini.
Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir-akhir ini seperti
demam berdarah, flu burung hingga HIV, sebenarnya juga merupakan akibat
akibat dan dampak dari telah terjadinya gangguan kesetimbangan dan kerusakan
lingkungan fisik maupun non-fisik di permukaan bumi.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global
maupun nasional, jika dicermati, sebenarnya berakar dari pandangan manusia
tentang alam dan lingkungannya. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab
terhadap alam itulah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Sebagai contoh dalam lingkup lokal, pencemaran lingkungan yang terjadi di
Sumatera Utara oleh PT. Inti Indorayon Utama, kerusakan lingkungan dan
pencemaran di Irian Jaya oleh PT. Freeport Indonesia, serta kerusakan hutan
akibat penebangan yang illegal, merupakan contoh perbuatan manusia yang tidak
3
bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Manusia merupakan penyebab
utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan
jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya
eksploitasi intensif (berlebihan) terhadap sumberdaya alam yang akibatnya ikut
memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan.
Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan
hewan dan tumbuhan termasuk manusia. Orientasi hidup manusia modern yang
cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara
pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai
andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi
dunia saat ini. Cara pandang dikhotomis yang dipengaruhi oleh paham
antroposentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari
manusia dan bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran
besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan (White,,1967, Ravetz,1971,
Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan Naess, 1993). Cara pandang demikian telah
melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Disamping itu paham
materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi
telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam
lingkup global maupun lokal, termasuk di negara kita.
Naess (1993) salah seorang penganjur ekosentrisme dan deep ecology pernah
menyatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi
dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku
manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan
lingkungan dengan bantuan sain dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi
yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang
bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya
masyarakat secara luas. Dengan kata lain dibutuhkan perubahan pemahaman baru
tentang hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang akan bisa
melandasi perilaku manusia terhadap alam.
4
Agama terutama Islam sebenarnya mempunyai pandangan (konsep) yang sangat
jelas tentang hubungan manusia dengan alam ini. Islam merupakan agama yang
memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang
terhadap Tuhan. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya
merupakan manifestasi dari keimanan seseorang. Dalam Islam, menjaga alam dan
memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga dan memelihara kehidupan
di alam, dan hukumnya wajib bagi siapapun seperti wajibnya mendirikan sholat,
membayar zakat, berpuasa dibulan romadhan dan berhaji. Islam merupakan
agama yang amat peduli lingkungan (eco-friendly), baik lingkungnan alam
maupun lingkungan sosial. Konsep Islam tentang lingkungan ini ternyata
sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip etika lingkungan yang dikembangkan
oleh para ilmuwan lingkungan. Akan tetapi konsep (ajaran) Islam yang sangat
jelas ini tampaknya masih belum banyak dipahami apalagi dijadikan pedoman
dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya oleh sebagian besar umat
Islam yang jumlah nya tak kurang dari spertiga penduduk dunia. Hal ini ditandai
dari kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup nasional maupun
global, ternyata sebagian besar terjadi di lingkungan yang mayoritas penduduknya
muslim. Atau barangkali dalam hal ini disebabkan oleh terjadinya kesalahan
dalam pemahaman ajaran agama serta cara pendekatan yang dipilih oleh para
pemeluk Islam di negara kita khususnya dan juga umat islam pada umumnya ?.
Uraian singkat berikut merupakan upaya pencarian jawaban tersebut, sekaligus
merupakan sebuah upaya menggali kembali konsep (ajaran) Islam yang berkaitan
dengan hubungan antara manusia dengan alam, yang bisa menjadi landasan
terbangunnya konsep etika lingkungan. Konsep (ajaran) Islam ini diharapkan
bisa menjadi dasar pijakan moral dan spiritual (moral and spiritual base) dalam
upaya penyelamatan lingkungan sudah sangat kritis dewasa ini.
Upaya-upaya praktis penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan
sain dan teknologi rupanya tidak cukup untuk mengendalikan perusakan
lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Permasalahan lingkungan ternyata
bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi.
Permasalahan yang menyangkut lingkungan sangat komplek serta multi dimensi.
5
Oleh karena itu nilai-nilai agama (ad-diin) yang juga bersifat multi-dimensi bisa
digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Menurut Carter (1996) [[Community-Based Resource Management (CBRM)]]
didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat
pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan
sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada
di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Definisi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) berdasarkan Petunjuk
Pelaksanaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (COREMAP-LIPI, 1997) adalah
sistem pengelolaan sumberdaya (terumbu karang) terpadu yang perumusan dan
perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach)
berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
Sedangkan Nikijuluw (2002) mendefinisikan PBM sebagai suatu proses
pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdayanya (dalam bukunya Nikijuluw lebih menitikberatkan pada
pengelolaan perikanan) sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan
dan keinginan, tujuan serta aspirasinya.
II. Hubungan Manusia dengan Alam
Teologi dalam konteks hubungan manusia dengan alam ini dimaknai sebagai nilai
atau ajaran agama yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan, tidak
dimaknai sebagai suatu cabang atau bagian dari ilmu-ilmu agama terutama yang
membahas tentang ketuhanan. Makna bebas teologi dalam konteks ini adalah :
cara “menghadirkan” Tuhan dalam setiap aspek kegiatan manusia, termasuk
kegiatan manusia dalam berhubungan dengan alam, pemanfaatan sumberdaya
alam dan pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan adalah salah satu kegiatan sekaligus tugas manusia. Oleh
karena itu pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan hal ini adalah : Apakah
dalam melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya
alam, manusia telah “menghadirkan” Tuhan, atau sebaliknya Tuhan ditinggalkan
atau malah “dicampakkan“?. Dengan perkataan yang lain: Tuhan ada dimana
6
pada saat manusia melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan
sumberdaya alam ?.
Dalam bahasa yang lebih “akademis”, teologi bisa dimaknai sebagai sebuah
konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Ghoib” yang
menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam (lingkungannya). Jadi terdapat
tiga pusat perhatian dalam bahasan ini yakni : Tuhan, manusia dan alam yang
ketiganya merupakan “satu kesatuan” hubungan yang tidak hanya bersifat
fungsional, akan tetapi juga yang bersifat spiritual. Dengan demikian teologi
dapat dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak manusia yang
berkaitan dengan lingkungan hidupnya dengan mengintegrasikan aspek fisik
(alam) termasuk manusia dan yang non fisik (Yang Maha Menciptakan alam).
Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam
kesetimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:ar Ra’d: 8; al Qomar : 49 dan al
Hijr:19). Bumi yang merupakan planet dimana manusia tinggal dan
melangsungkan kehidupannya terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan
keragaman yang sangat besar dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur
dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus
merupakan bukti ke Mahakuasaan dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan
Pemelihara alam (Qs: Ta-Ha; 53-54). Dialah yang menentukan dan mentaqdirkan
segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka
tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan qadar Tuhan serta berserah diri
dan memujiNya (QS:an Nur:41).
Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empiric = bisa diamati dan
dirasakan) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia
dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supra-empirik. Alam sekaligus
merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan
Yang Maha Benar, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus
merupakan Sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan
dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana
pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan
7
dengan kebenaran (Q.S Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali
Imran:191-192). Oleh karena itu menurut pandangan Islam, alam mempunyai
eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku
tetap (qadar) bagi alam, yang dalam bahasa agama sering pula disebut sebagai
hukum Allah (sunnatullah). Sebagai contoh, batu hukumnya atau qadarnya adalah
benda padat, sedangkan air adalah benda cair. Batu tak akan pernah bisa berubah
menjadi benda cair kecuali kalau batu tersebut dihaluskan hingga menjadi partikel
yang sangat kecil dan dicampur dengan benda cair misalnya air. Inilah yang
dimaksud dengan hukum atau qadar Tuhan yang berlaku tetap. Sunnatullah ini
tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan tetapi juga bagi manusia.
Pandangan Islam tidak sama dengan pandangan kaum idealis yang menyatakan
bahwa alam adalah semu dan maya atau pancaran dari dunia lain yang tak konkrit
yang disebut dunia idea. Pandangan Islam tentang alam (lingkungan hidup)
bersifat menyatu (holistik) yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan
makhluk hidup (termasuk manusia). Masing-masing komponen mempunyai peran
dan kedudukan yang berbeda-beda akan tetapi tetap berada dalam koridor
rancangan atau disain Allah (sunantullah).
Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam,
keberadaan manusia di alam adalah saling mengisi dan melengkapi satu dengan
lainnya dengan peran yang berbeda-beda. Manusia mempunyai peran dan posisi
khusus diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni
sebagai khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi ( QS: Al An’am:165).
Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam
beberapa ayat al Qur’an dan Hadist Nabi yang intinya adalah :
1) Hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana
bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan (beriman kepada
Tuhan) melalui alam semesta, karena alam semesta adalah tanda atau ayat-ayat
Allah. Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah kecuali
kepada Allah yang Menciptakan alam.
2) Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala
sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang kehidupannya ini harus
8
dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan). Demikian pula tidak
diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam hanya untuk memenuhi kebutuhan
bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang
terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan
atau perubahan alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu sehingga
hak pemanfatatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
3) Hubungan pemeliharaan. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara
alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia akan tetapi bagi
semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya alam yang berlebihan dan mengabaikan asas konservasi sehingga
mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan
perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya
manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan alam ini dengan baik,
maka baginya tersedia ganjaran dari Allah swt.
Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, berhubungan pula dengan alam
sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini manusia
memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Tuhan (yakni:
alam adalah ayat-ayat kauniah Tuhan). Manusia juga memerlukan alam
(misalnya: papan, pangan, sandang, alat transportasi dan sebagainya) sebagai
sarana untuk beribadah kepada Allah swt. Hubungan manusia–alam ini adalah
bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia
adalah penguasa alam) sebagaimana pahamnya penganut antroposentrisme dan
kaum materialis. Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang
menciptakannya dan mengaturnya. Jadi alampun tunduk terhadap ketentuan atau
hukum-hukum atau qadar yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Memelihara
alam. Agar manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya,
manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang alam. Dengan demikian,
upaya manusia untuk bisa memahami alam dengan pengetahuan dan ilmu ini pada
hakekatnya merupakan upaya manusia untuk mengenal dan mamahami yang
Menciptakan dan Memelihara alam, agar bisa berhubungan denganNya.
Dalam pandangan Islam, manusia disamping sebagai salah satu makhluk Tuhan,
ia sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan dimuka bumi (Al An’am: 165).
9
Sebagai mahkluk Tuhan, manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba
(beribadah) kepada Penciptanya (al-Chaliq). Dalam penghambaan ini manusia
tidak diperkenankan (haram) untuk mengabdi kepada selain Allah. Pengabdian
atau penghambaan kepada selain Allah merupakan perbuatan syirk dan
merupakan dosa besar. Dalam pengabdian ini terkandung konsep tauhid (peng
Esaan) terhadap Tuhan. Dengan demikian, tauhid merupakan sumber nilai
sekaligus etika yang pertama dan utama dalam hubungan antara manusia, alam
dan Tuhan.
Sebagai wakil Allah, maka manusia harus bisa merepresentasikan peran Allah
terhadap alam semesta termasuk bumi seisinya antara lain memelihara (al rab)
dan menebarkan rakhmat ( rakhmatan) di alam semesta. Oleh karena itu
kewajiban manusia terhadap alam dalam rangka pengabdiannya kepada Allah swt
adalah melakukan pemeliharaan terhadap alam (termasuk pemeliharaan kehidupan
diri = hifdzun nafs) untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di alam. Untuk
mempertahankan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia diperkenankan oleh
Tuhan untuk memanfaatkan segala sumberdaya alam secara wajar (sesuai dengan
kebutuhan) dan bertanggungjawab. Segala sikap, perilaku atau perbuatan manusia
(lahir dan batin) yang berkaitan dengan pemeliharaan alam harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan setelah kehidupan dunia ini berakhir.
Islam melarang pemanfaatan alam (sumberdaya alam) yang melampaui batas atau
berlebihan atau isyraf (Al An’am: 141-142). Pemanfaatan (eksploitasi)
sumberdaya alam yang berlebihan akan menguras sumberdaya alam yang
bersangkutan hingga habis tak tersisa, sehingga hak-hak untuk memanfaatkan
sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang terabaikan. Hal ini merupakan
perbuatan pelanggaran terhadap hukum atau ketetapan Tuhan sekaligus
pelanggaran amanah, sehingga merupakan perbuatan dosa besar pula. Dalam aras
praktis untuk menjaga kemanfaatan dan kelestarian alam (fungsi manfaat dan
reproduksi), misalnya Rasulullah Muhammad SAW melarang memetik buah
sebelum matang (ripe) dan siap dikonsumsi, melarang memetik bunga sebelum
mekar dan menyembelih hewan ternak yang masih kecil dan belum berumur. Nabi
juga mengajarkan agar manusia selalu bersahabat sekalipun terhadap makhluk
yang tak beryawa. Istilah “penaklukan” atau “penguasaan” alam seperti yang
10
dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik tidak dikenal
dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak untuk menguasai dan
mengatur alam adalah Yang Maha menciptakan dan Maha Mengatur yakni Rab al
alamiin.
Khatimah
Konsep hubungan manusia dengan alam sebagaimana telah dikemukakan di
muka mengandung makna bahwa perlindungan dan pemeliharaan alam
merupakan kewajiban asasi manusia yang telah dipilh oleh Tuhan sebagai wakil
Tuhan di muka bumi. Konsep tersebut mengandung pula makna penghargaan dan
penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan
di alam, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua
makhluk. Konsep tersebut menunjukkan pula bahwa etika (akhlak) harus menjadi
landasan setiap perilaku (penalaran dan tindakan) manusia. Konsep hubungan
manusia dengan alam tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu pilar
syari’ah Islam. Syari’ah yang bermakna lain as-syirath adalah sebuah “jalan”
yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang
keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk
mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (ajaran) pokok Islam yakni tauhid,
khilafah dan amanah. Tujuan tertinggi dari sistem pusat nilai ini adalah
kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah) universal (seluruh makhluk) saat ini
(dunia) dan di masa depan (akhirat).Wallahu a’lam
III. Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka
akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan over-exploitation dan kurang
memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat
meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bias menimbulkan ancaman
kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air
bersih, banjir, longsor, dan sebagainya.Kegagalan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen
perangkat dan pelaku pengelolaan.
11
1. Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) sebagai bagian dari
kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan
lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan (lag of policy) terindikasi terjadi
akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan
kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan
SDA dan lingkungan. Artinya bahwa, kebijakan tersebut membuat ‘blunder’
sehingga lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia
internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu
lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya.
Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan
lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi
masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran
yang harus dilindungi. Contoh menarik adalah kebijakan penambangan pasir
laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan
peluang investasi terlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain telah
menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung
oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak
langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi
gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisir yang bersifat
dinamis.
2. Kedua adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari
kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan
mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat (lag
of community) terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat
menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya
kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan
melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin
memperburuk bargaining position masyarakat sebagai pengelola lokal dan
pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat
melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh
kurang perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasi eksternalitas
12
dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik
yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan
terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi
minyak yang tersembunyi, dan sebagainya.
3. Ketiga adanya kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai bagian
kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya
perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan
pemerintah (lag of government) terjadi akibat kurangnya kepedulian
pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang
dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait
(stakeholders). Dalam hal ini, seringkali pemerintah melakukan
penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada secara parsial dan kurang
terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existence antar variabel
lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel
menjadi terabaikan. Misalnya saja, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan
abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara
jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun
secara jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin
lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan
laut yang bersifat dinamis.
III. Pentingnya Mengelola Lingkungan Pesisir dan Laut
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air
asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
13
Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis
pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi)
untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.
Kedua definisi wilayah pesisir tersebut di atas secara umum memberikan
gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi di
wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata,
pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar
terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove,
padang lamun dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika
tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya
yang terdapat di wilayah pesisir.
Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian
terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir dan
laut. Dewasa ini, pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyallir terbukti
memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka
menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi.
Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya bentuk-bentuk
pengelolaan lain yang lebih aplikatif (applicable) dan adaptif (acceptable). Salah
satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan efektifitas
dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat
(community based management).
Komunitas/masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan
yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan dalam hal-hal
tersebut menyebabkan terdapatnya perbedaan pula dalam praktek-praktek
pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, dalam proses pengelolaan lingkungan
perlu memperhatikan masyarakat dan kebudayaannya, baik sebagai bagian dari
subjek maupun objek pengelolaan tersebut. Dengan memperhatikan hal ini dan
tentunya juga kondisi fisik dan alamiah dari lingkungan pesisir dan laut, proses
14
pengelolaannya diharapkan dapat menjadi lebih padu, lancar dan efektif serta
diterima oleh masyarakat setempat.
Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih memandang
situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat disesuaikan
dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan
untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat
dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin
memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan
pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi setempat.
Yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh
suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan.
Segenap gambaran wacana tersebut di atas secara umum memberikan cermin
bagaimana sebuah pengelolaan yang melibatkan unsur masyarakat cukup penting
untuk dikaji dan diujicobakan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan ini lebih
dikenal dengan istilah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau community
based management (CBM).
Menurut Carter (1996) [[Community-Based Resource Management (CBRM)]]
didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat
pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan
sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada
di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya
dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan
dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dan
lingkungan yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan
kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat
keputusan demi kesejahteraannya.
Definisi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) berdasarkan Petunjuk
Pelaksanaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (COREMAP-LIPI, 1997) adalah
sistem pengelolaan sumberdaya (terumbu karang) terpadu yang perumusan dan
15
perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach)
berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
Sedangkan Nikijuluw (2002) mendefinisikan PBM sebagai suatu proses
pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdayanya (dalam bukunya Nikijuluw lebih menitikberatkan pada
pengelolaan perikanan) sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan
dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. Lebih lanjut Nikijuluw (2002)
mengemukakan bahwa PBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada
masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya
menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat
(PBM/CBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif
dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya.
Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan,
serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Lebih lanjut Carter (1996) mengemukakan bahwa konsep pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki
beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) mampu merefleksikan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan
manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu
meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif
terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan
stabilitas dan komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola
secara berkelanjutan.
Namun demikian, dalam perkembangannya konsep pengelolaan berbasis
masyarakat (CBM) mengalami perubahan dengan dikembangkannya satu konsep
yang disebut “Co-Management”. Dalam konsep “Co-Management” ini
pengelolaan lingkungan pesisir dan laut tidak hanya melibatkan unsur masyarakat
16
lokal saja tapi juga melibatkan unsur pemerintah. Hal tersebut dilakukan untuk
mengurangi adanya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan di wilayah pesisir
dan lautan.
Perlu ditegaskan bahwa dalam konsep Co-Management, masyarakat lokal
merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan,
sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
masih murni oleh masyarakat (CBM) menjadi embrio dari penerapan konsep Co-
Management tersebut. Bahkan secara lebih tegas Gawell (1984) dalam White et al
(1994) menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan yang berhasil (dalam studi Gawell adalah ekosistem terumbu karang)
tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna (the users) dari sumberdaya
alam dan lingkungan tersebut.
Selanjutnya Pomeroy and Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-
Management akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi,
maka Co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk
menyelesaikan seluruh permasalahan dari pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai
untuk situasi dan lokasi tertentu. Penerapan Co-management yang baik dan sukses
memerlukan waktu, biaya dan upaya bertahun-tahun.
Pomeroy dan Williams (1994) mengemukakan sembilan kunci kesuksesan dari
model Co-Management, yaitu (i) batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi, (ii)
kejelasan keanggotaan, (iii) keterikatan dalam kelompok, (iv) manfaat harus lebih
besar dari biaya, (v) pengelolaan yang sederhana, (vi) legalisasi dari pengelolaan,
(vii) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (viii) desentralisasi dan
pendelegasian wewenang, serta (ix) koordinasi antara pemerintah dengan
masyarakat.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa peran pemerintah dan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan seoptimal mungkin harus seimbang,
terkoordinasi dan tersinkronisasi. Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah
mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat,
17
termasuk mendukung pengelolaan sumberdaya dan lingkungan demi sebesar-
besarnya kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga
mempunyai tanggung jawab dan turut berperanserta untuk menjaga kelestarian
dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan.
IV. Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut
Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut perlu dilakukan secara
hati-hati agar tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat bahwa subjek dan objek
penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan masyarakat pesisir, dimana
mereka juga mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi terhadap ketersediaan
sumberdaya di sekitar, seperti ikan, udang, kepiting, kayu mangrove, dan
sebagainya, maka penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang
berbasis masyarakat menjadi pilihan yang bijaksana untuk diimplementasikan.
Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat
diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan
karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan
mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan
pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah
terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya.
Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan
[[participatory management planning]], dimana pola pendekatan perencanaan dari
bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi
sinergi diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar implementasi sebuah
pengelolaan berbasis masyarakat.
Tujuan umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis
masyarakat dalam hal ini meminjam definisi COREMAP-LIPI (1997) yang
menyebutkan tujuan umum pengelolaan berbasis masyarakat, COREMAP dalam
hal ini mengambil ekosistem terumbu karang sebagai objek pengelolaan. Oleh
18
karena itu, tujuan penanggulangan kerusakan pesisir dan laut berbasis masyarakat
dalam hal ini adalah memberdayakan masyarakat agar dapat berperanserta secara
aktif dan terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan
lokal untuk menjamin dan menjaga kelestarian pemanfaatan sumberdaya dan
lingkungan, sehingga diharapkan pula dapat menjamin adanya pembangunan yang
berkesinambungan di wilayah bersangkutan.
Tujuan khusus penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir laut berbasis
masyarakat juga didefinisikan dengan meminjam tujuan program PBM yang
dikembangkan COREMAP (1997). Tujuan khusus penanggulangan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dalam hal ini dilakukan untuk (i)
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi
kerusakan lingkungan; (ii) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan
serta dalam pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara
terpadu yang sudah disetujui bersama; (iii) membantu masyarakat setempat
memilih dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan;
dan (iv) memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan
upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis
masyarakat.
Tujuan program yang dikemukakan COREMAP-LIPI (1997) dinilai sejalan
dengan pemikiran McAllister (1999) yaitu bahwa di dalam penelitian secara
partisipatif untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
berbasis masyarakat seringkali terfokus pada pengembangan, transformasi atau
penguatan kelembagaan masyarakat, sehingga proses identifikasi kelembagaan
lokal yang ada dan menganalisisnya untuk mengetahui sejauh mana kelembagaan
tersebut berhubungan dengan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan.
(1) Persiapan
Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan, yaitu
(i) sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan lokal yang
19
ada, (ii) pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan (iii) penguatan
kelompok kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja baru.
(2) Perencanaan
Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut berbasis
masyarakat ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan efektif, yaitu (i)
proses perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai dari luar, (ii)
merupakan perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan masyarakat lokal, (iii)
berorientasi pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat kesiapannya, (iv) memiliki
tujuan dan luaran yang jelas, (v) memiliki kerangka kerja yang fleksibel bagi
pengambalian keputusan, (vi) bersifat terpadu, dan (vii) meliputi proses-proses
untuk pemantauan dan evaluasi.
(3) Persiapan Sosial
Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka
masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat (i) mengutarakan aspirasi
serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang
merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (ii) mengetahui keuntungan dan
kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang
dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan
lingkungan yang dihadapi, dan (iii) berperanserta dalam perencanaan dan
pengimplementasian rencana tersebut.
(4) Penyadaran Masyarakat
Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran, yaitu (i)
penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta manfaat
penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) penyadaran tentang konservasi, dan
(iii) penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan
kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksana.
(5) Analisis Kebutuhan
20
Untuk melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah pelaksanaannya,
yaitu: (i) PRA dengan melibatkan masyarakat lokal, (ii) identifikasi situasi yang
dihadapi di lokasi kegiatan, (iii) analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman, (iv) identifikasi masalah-masalah yang memerlukan tindak lanjut, (v)
identifikasi pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan di masa depan,
(vi) identifikasi kendala-kendala yang dapat menghalangi implementasi yang
efektif dari rencana-rencana tersebut, dan (vii) identifikasi strategi yang
diperlukan untuk mencapai tujuan kegitan.
(6) Pelatihan Keterampilan Dasar
Pelatihan keterampilan dasar perlu dilakukan untuk efektivitas upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan, yaitu (i) pelatihan mengenai perencanaan
upaya penanggulangan kerusakan, (ii) keterampilan tentang dasar-dasar
manajemen organisasi, (iii) peranserta masyarakat dalam pemantauan dan
pengawasan, (iv) pelatihan dasar tentang pengamatan sumberdaya, (v) pelatihan
pemantauan kondisi sosial ekonomi dan ekologi, dan (vi) orientasi mengenai
pengawasan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan dan pelestarian sumberdaya.
(7) Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir
dan Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan
Terdapat lima langkah penyusunan rencana penanggulangan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu: (i) mengkaji
permasalahan, strategi dan kendala yang akan dihadapi dalam pelaksanaan upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) menentukan sasaran dan tujuan
penyusunan rencana penanggulangan, (iii) membantu pelaksanaan pemetaan oleh
masyarakat, (iv) mengidentifikasi aktivitas penyebab kerusakan lingkungan, dan
(v) melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan serta dalam pemantauan
pelaksanaan rencana tersebut.
(8) Pengembangan Fasilitas Sosial
21
Terdapat dua kegiatan pokok dalam pengembangan fasilitas sosial ini, yaitu: (i)
melakukan perkiraan atau analisis tentang kebutuhan prasarana yang dibutuhkan
dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, penyusunan rencana
penanggulangan dan pelaksanaan penanggulangan berbasis masyarakat, serta (ii)
meningkatkan kemampuan (keterampilan) lembaga-lembaga desa yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan langkah-langkah penyelamatan dan
penanggulangan kerusakan lingkungan dan pembangunan prasarana.
(9) Pendanaan
Pendanaan merupakan bagian terpenting dalam proses implementasi upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, peran pemerintah selaku
penyedia pelayanan diharapkan dapat memberikan alternatif pembiayaan sebagai
dana awal perencanaan dan implementasi upaya penanggulangan. Namun
demikian, modal terpenting dalam upaya ini adanya kesadaran masyarakat untuk
melanjutkan upaya penanggulangan dengan dana swadaya masyarakat setempat.
Kesembilan proses implementasi upaya penanggulangan pencemaran laut tersebut
di atas tidak bersifat absolut, tetapi dapat disesuaikan dengan karakteristik
wilayah, sumberdaya dan masyarakat setempat, terlebih bilamana di wilayah
tersebut telah terdapat kelembagaan lokal yang memberikan peran positif bagi
pengelolaan sumberdaya dan pembangunan ekonomi masyarakat sekitarnya.
V. Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan Wilayah Pesisir untuk
Kepariwisataan Alam
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2.
Bangsa Indonesia telah memanfaatkan wilayah pesisir yang kaya dan beragam
sumber dayanya sejak berabad-abad lamanya. Wilayah pesisir Indonesia terkenal
dengan kekayaan dan kenekaragaman sumber daya alamnya. Indonesia memiliki
kekayaan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia karena adanya ekosistem
pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang sangat
luas dan beragam.
22
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara daratan
dan lautan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan
air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua.
Namun, untuk kepentingan pengelolaan adalah kurang penting untuk menetapkan
batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku. Penetapan batas-batas suatu
wilayah pesisir lebih berarti bila didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem pesisir beserta segenap sumber daya yang
ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri.
Wisata Alam adalah bentuk rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi
sumber daya alam dan ekosistemnya, baik dalam bentuk asli maupun setelah ada
perpaduan dengan daya cipta manusia. Objek wisata alam adalah alam beserta
ekosistemnya, baik asli maupun setelah adanya perpaduan dengan daya cipta
manusia, yang mempunyai daya tarik untuk diperlihatkan dan dikunjungi
wisatawan.
(1) Pembangunan Terpadu Sumber Daya Wilayah Pesisir
Ekosistem pesisir memiliki peran strategis dan prospek yang cerah bagi
pembangunan nasional. Namun, selama ini pola pembangunan sumber daya ini
bersifat tidak optimal dan berkelanjutan. Salah satu faktor penyebab yang utama
adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir yang
dijalankan secara sektoral dan terpilah-pilah. Perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan sumber daya pesisir yang tidak dilakukan secara terpadu
dikhawatirkan hanya akan merusak sumber daya tersebut karena karakteristik dan
dinamika alamiah ekosistem pesisir secara ekologis saling terkait satu sama lain.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber
daya, dan kegiatan pemanfaatan guna mencapai pembangunan wilayah pesisir
secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan informasi tentang potensi
pembangunan yang dapat dikembangkan di suatu wilayah pesisir beserta
permasalahan yang ada, baik aktual maupun potensial.
23
(2) Prospek Wilayah Pesisir untuk Kepariwisataan Alam
Secara garis besar potensi pembangunan di wilayah pesisir dan lautan terdiri dari
tiga kelompok, yakni (1) sumber daya dapat pulih, (2) sumber daya tak dapat
pulih, dan (3) jasa-jasa lingkungan. Sumber-sumber daya dapat pulih antara lain
seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, sumber
daya perikanan laut, serta bahan-bahan radioaktif. Sumber-sumber daya tak dapat
pulih meliputi seluruh mineral dan geologi, sedangkan yang dimaksud dengan
jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat
rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana
pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penampung limbah,
pengatur iklim, kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan serta
fungsi ekologis lainnya.
Pengembangan kegiatan pariwisata di wilayah pesisir secara ideal dapat
menciptakan saling keterkaitan dan saling menjaga secara harmonis antara unsur-
unsur lingkungan fisik, sosial dan ekonomi. Kegiatan ini dapat meningkatkan
devisa negara, memperluas lapangan kerja, mendorong pengembangan jenis usaha
baru, serta diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
konservasi sumber daya alam.
(3) Permasalahan Lingkungan di Daerah Pariwisata Wilayah Pesisir
Tantangan mendasar bagi perencana dan pengelola wilayah pesisir adalah
bagaimana memfasilitasi pembangunan ekonomi, dan pada saat yang sama,
meminimalkan dampak negatif dari segenap kegiatan pembangunan dan bencana
alam sesuai daya dukung lingkungan pesisir, sehingga pembangunan ekonomi
dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pertanyaan pengelolaan yang
senantiasa dihadapi oleh para perencana, pengambil keputusan, dan pelaksana
pembangunan wilayah pesisir untuk kepariwisataan alam, antara lain berupa:
Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti mengelola
segenap kegiatan pembangunan yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar
total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem
alamiah termasuk wilayah pesisir memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan
24
manusia yaitu (1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3)
penyedia sumber daya alam, dan (4) penerima limbah.
Berdasarkan keempat fungsi ekosistem ini, secara ekologis terdapat tiga
persyaratan yang menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu (1)
keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan.
Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan
hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus
pula dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Ketika wilayah pesisir
dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan
bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas daya
asimilasinya. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan daya asimilasi adalah
kemampuan ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu
sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang
tidak dapat ditoleransi. Kemudian bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai
penyedia sumber daya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumber daya yang
dapat pulih adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya
untuk memulihkan pada suatu periode tertentu. Sedangkan pemanfaatan sumber
daya pesisir yang tidak dapat pulih harus dilakukan dengan cermat, sehingga
efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.
Kegiatan di daerah pariwisata dan rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis
yang khusus, dibandingkan dengan kegiatan ekonomi lain, mengingat bahwa
keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah pesisir
dibangun untuk tempat rekreasi, biasanya fasiltas-fasilitas pendukung lainnya juga
berkembang pesat. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan pariwisata di
wilayah pesisir hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk diantaranya
inventarisasi dan penilaian sumber daya yang cocok untuk pariwisata, perkiraan
tentang berbagai dampak terhadap lingkungan pesisir, hubungan sebab dan akibat
dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk
masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya.
Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian
lingkungan. Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan
pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata,
25
terutama bila di dekatnya dibangun penginapan, toko, pemukiman, dan
sebagainya yang membahayakan atau mengganggu keutuhan dan keaslian
lingkungan pesisir tersebut. Oleh karena itu inventarisasi dan persiapan daerah
pengelolaan harus mendahului pengembangan dan pembangunan agar kelestarian
lingkungan pesisir dapat terjamin.
26
BAB III
PENUTUP
(1) Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa usaha
pelestarian lingkungan khususnya pada daerah pesisir pantai masih mengalami
kendala ringan yang perlu disadari masyarakat dan aparat pemerintah. Kerusakan
ekosistem pesisir juga disebabkan oleh kurang meratanya pendanaan pemerintah
terhadap sarana dan prasarana pada tempat wisata pesisir pantai pada pulau-pulau
di luar pulau jawa. Animo masyarakat juga berpengaruh besar terhadap
pelestarian lingkungan pesisir pantai, dengan kurangnya ketrampilan dasar yang
dimiliki oleh masyarakat. Kurangnya nilai-nilai penyadaran yang meliputi: i)
penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta manfaat
penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) penyadaran tentang konservasi, dan
(iii) penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan
kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksana. Berdasarkan
indikasi permasalahan berkurangnya seperti diuraikan di atas, Balai Konservasi dan
Perlindungan Lingkungan Hidup Republik Indonesia telah berupaya untuk mencoba
mengantisipasi, mengatasi dan mengendalikan kerusakan pesisir pantai di Indonesia
melalui beberapa program pengelolaan dan pengendalian kerusakan pesisir dan laut
yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000 sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Mengingat perbaikan ekosistem kawasan pesisir dan laut tidak bisa dilaksanakan
secara parsial tetapi harus sinergis dan melibatkan pelbagai kelompok masyarakat
pesisir dan pelaku pembangunan lainnya agar pengelolaan pesisir dapat terintegrasi
dengan baik dan berkelanjutan.
(2) Saran
Dalam pemaparan makalah ini, sebaiknya dilakukan studi lapangan agar
pemakalah lebih memahami permasalahan yang dihadapi. Selain itu studi
lapangan juga sangat bermanfaat dalam pengambilan data yang valid.
27
1. Penyusunan Tata Ruang Wilayah Pesisir secara terpadu;
Dalam hal ini ditentukan dan ditetapkan zonasi-zonasi tertentu di wilayah
pesisir sebagaimana fungsi wilayahnya, antara lain zona preservasi, zona
konservasi dan zona pemanfaatan intensif.
2. Pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir
Program ini bertujuan untuk mengantisipasi, mencegah serta mengendalikan
potensi pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut. Perkembangan
industri, perikanan, perdagangan dan pemukiman di pantai utara serta
pertumbuhan wisata dan perikanan di selatan berpotensi menimbulkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Abrasi yang terjadi di wilayah pesisir
utara pada umumnya terjadi akibat perubahan peruntukan lahan di kawasan
tersebut dimana hanya sedikit kawasan pesisir utara yang stabil yaitu 13 % di
pulau Jawa dan 22 % di pulau Sumatera. Oleh sebab itu penanganan abrasi di
pesisir utara lebih diarahkan kepada pengendalian perubahan fungsi lahan.
Sedangkan akresi umumnya terjadi di sekitar muara sungai akibat pasokan
sedimen dari darat dan diendapkan di sepanjang pantai. Untuk itu konsep
pengelolaan melalui pendekatan DAS harus ditingkatkan. Sedangkan di
wilayah pesisir selatan Jawa, permasalahan abrasi lebih disebabkan oleh
aktivitas pertambangan sehingga sangat penting untuk diterapkan kegitan
pertambangan berwawasan lingkungan.
3. Penataan dan pengendalian kegiatan pertambangan di wilayah pesisir;
Kegiatan pertambangan yang marak di era otonomi daerah untuk meningkatkan
pendapatan daerah telah menyebabkan terjadinya potensi permasalahan
lingkungan hidup yang semakin meningkat.
4. Pengembangan pendidikan lingkungan berbasis masyarakat dan penguatan
peran kelembagaan lokal dalam meningkatkan kemampuan partisipasi
masyarakat.
28
5. Penguatan instrumen penegakan hukum sebagai upaya legal pengelolaan pesisir
dan laut.
29
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, Rokhmin, dkk, 2004, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, Jakarta: PT. Pradnya Paramita
Fadeli, Chafid, 2001, Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan
Alam,Yogyakarta: Liberty
http://komitmenku.wordpress.com/ 2008/05/13 kerusakan-lingkungan-pesisir-dan-
laut
http://komitmenku.wordpress.com /2008/05/13/ pelibatan-masyarakat-dalam-
penanggulangan-kerusakan-pesisir-dan-laut
Slamet Ryadi. 2003. Pelestarian Hutan Bakau di Indonesia, Suatu Studi Kasus.
Surabaya : Airlangga University Press.
www.id.wikipedia.org./wiki/berkas/hutan_bakau. Hutan Bakau, diakses Pebruari
2008.
Purwadarminta, W. 1979. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai
Pustaka.
30
31
32