Post on 29-May-2018
PENGARUH MITOS HAJI PADA KEBERAGAMAAN
MASYARAKAT MUSLIM MODERN
KELURAHAN KARANG MULYA
TANGERANG - BANTEN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi (S. Sos)
Disusun Oleh:
Rianita Juniartri
NIM. 103032227727
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
ABSTRAK
Daerah Karang Mulya sebagai bagian dari Tangerang-Banten yang
beranjak menjadi Kota Metropolitan menyimpan banyak potensi dalam berbagai bidang. Kehidupan sosial, budaya, politik serta ekonominya telah
mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga ia menjadi daerah yang sangat menarik bagi masyarakat daerah lain untuk datang dan menetap.
Mereka berasal dari berbagai macam etnis di Indonesia. Masyarakat Karang Mulya merupakan masyarakat yang sudah
modern, yang telah mengedepankan pola pikir yang rasional, namun kepercayaan terhadap mitos-mitos, bahwa segala perilaku jamah haji akan
mendapat balasan, masih banyak dipercaya oleh kebanyakan masyarakat
Muslim Karang Mulya.
Mitos-mitos atau kepercayaan semacam itu memang telah
mengakar sangat kuat dalam benak kebanyakan umat Islam, bahkan dalam
benak masyarakat Muslim yang sudah modern sekalipun. Hal ini, sedikit -
banyak mempengaruhi perilaku kehidupan keagamaan masyarakat
Muslim. Sehingga, mendorong keinginan untuk meneliti fenomena ini
dengan pertanyaan yang akan terjawabpada kesimpulan penelitian.
Pertama, bagaimana pengaruh mitos haji pada kehidupan sosial keagaan
masyarakat Muslim modern? Selanjutnya, bagaimana pengaruh mitos haji
pada pemahaman keagamaan dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim
modern?
Dan untuk mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, maka penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan metode deskriftif dan
pendekatan kualitatif. Selain itu penelitian ini juga didukung oleh wawancara mendalam dan studi pustaka sehingga dari penelitian ini
dihasilkan bahwa, Mitos mempengaruhi Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim modern.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ”Pengaruh Mitos Haji pada Keberagamaan
Masyarakat Muslim Modern : Kelurahan Karang Mulya Karang Tengah-
Tangerang” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Februari
2009. skripsi ini telah diterima sebagai syaratuntuk memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Sosiologi Agama Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat program Strata Satu (S1).
Jakarta, 26 Februari 2009
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota
Anggota Drs. Bustamin, M.si Dra. Joharotul Jamilah, Msi.
Nip. Nip. 150 282 401
Penguji I Penguji II
Dra. Ida Rosyidah, MA. Dr. Masri Mansoer, MA
Nip. 150 243 267
Pembimbing
Dr. Hamid Nasuhi, MA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam,
yang telah memberikan segala rahmat-Nya bagi seluruh umat, sehingga kita selalu
sukses menjalani hidup dalam lindungan-Nya. Shalawat dan salam tercurah bagi
pahlawan umat, pembuka jalan terang dari kegelapan jahiliyah.
Dengan segala kekurangan dan kealpaan, penulis haturkan rasa syukur
yang tak terhingga kepada Allah SWT pemberi rahmat yang selalu menerangkan
hati dan pikiran penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang jauh
dari sempurna. Dan penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
dukungan dan motivasi dari banyak pihak, dalam bentuk bimbingan; baik moril
maupun materiil. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis ucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. M. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filasafat
serta seluruh staff akademik fakultas, pusat dan segenap civitas akademik
yang telah mengarahkan, membimbing dan melayani seluruh kebutuhan
administrative dan akademis penulis selama penulisan skripsi ini.
2. Hamid Nasuhi. Dosen Pembimbing Skripsi serta Pembantu Dekan I, yang
telah membimbing dan mengarahkan, serta membuka pikiran penulis,
sehingga skripsi ini dapat selesai.
3. Dra. Ida Rasyida, M.A., Ketua Jurusan Sosiologi Agama dan Dra.
Jauharatul Jamilah, M.A., Dosen Pembimbing Akademik dan sekretaris
jurusan sosiologi Agama, yang banyak membantu dan memudahkan dalam
hal yang berkaitan dengan akademik.
4. Ketua dan segenap staff Perpustakaan Utama serta Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, yang telah banyak membantu dalam memberikan dan
memudahkan diperolehnya bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini.
5. Keluarga tercinta : Ayahanda Drs. Simun Fach dan Ibunda Asmariah yang
tiada henti berdo’a dan berjuang dengan tetesan keringat untuk penulis,
adik-adikku: Lisa Marwiyah dan Restiana Widia, yang dalam
kesibukannya masing-masing, masih mau membantu penulis untuk
mencarikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Serta adik-adik
kecilku: Khaidah Rahma Putri yang sudah beranjak dewasa dan Ardan
Alfariz, yang ngegemesin dan selalu menghadirkan keceriaan dalam
rumah.
6. Sahabat-sahabatku di Sosiologi Agama 2003: Tuti dan Dyna, yang selalu
setia menemaniku dalam setiap keadaan,Uni Nita, Yoyo, Toto, Susi,
Rahmat, Ical, Nani, Joy, Seha, Haris, Yuni, Didink, Ira, Ria, Adhari, Roni,
Nadia, dan juga sahabatku di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, LANI dan
Rifqi, serta yang lainnya, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
7. Ibunda Binti Mahsunah, guruku tercinta dan Bapak Lubis serta, Dede
Badil, yang selalu menyayangiku dan mencintaiku, terima kasih karena
telah menerimaku sebagai salah satu bagian dari keluarga kalian.
8. Untuk Abang Syam, makasih ya bang dah mau dengerin segala keluh
kesah Rian dan gak pernah capek ngejawab segala pertanyaan yang
sebenarnya gak terlalu penting buat dijawab, dan juga segala perhatian dan
kasih sayang Abang buat Rian.
9. Sahabat-sahabatku yang banyak membantu, dan mendoakanku, Lani, Nur
Syamsiah, Rifqi dan Eray. Makasih Yah!!!
10. Bapak Lurah Karang Mulya dan Sekertaris Lurah, serta seluruh saff.
11. Seluruh informan : Drs. H. Farid Hadjiy, MM., Hj. Nurhayati, H. Rahmat
Hidayatullah, H. Syarif Oebaidillah, Syamsuri Baidowi, Atikah, Ahmad
Fachruroji, Siti Maysaroh dan seluruh masyarakat Muslim modern di
Karang Mulya serta sekitarnya, yang banyak memberikan informasi dan
inspirasi bagi penulis.
Akhirnya penulis berdo’a segala motivasi dalam bentuk moril dan materil
mendapat balasan yang tak ternilai dari Allah SWT. Amin.
Ciputat, 10 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………….................. i
DAFTAR ISI……………………………………………………................ iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………............ v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………….............. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah………………............... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………................ 6
D. Metode Penelitian……………………………………… 7
E. Sistematika Penulisan………………………………….. 9
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Agama dan Keberagamaan………….............................. 11
B. Pandangan Sosiologis Mengenai Mitos. ……………..... 18
C. Masyarakat Muslim Modern………………………….... 27
D. Mitos Haji…………………………………………….... 30
BAB III PROFIL OBYEK PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Demografis…………………..... 34
B. Perkembangan Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial
Keagamaan Masyarakat Kelurahan Karang
Mulya…………………………………………………... 36
BAB IV PENGARUH MITOS PADA KEBERAGAMAAN
MASYARAKAT MUSLIM MODERN
A. Beberapa Contoh Mitos Haji pada Masyarakat Karang
Mulya……………………………………....................... 42
B. Pengaruh Mitos pada Pemahaman Keagamaan
Masyarakat Karang Mulya…………………………....... 45
C. Pengaruh Mitos pada Perilaku Keagamaan Masyarakat
Karang Mulya …………………..................................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………….............. 58
B. Saran-saran……………………………………………... 59
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin............................ 34
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis................................. 35
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan............................................. 37
Komposisi Penduduk menurut Mata Pencaharian......................................... 39
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama.................................................... 40
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman modern seperti sekarang ini, nilai-nilai sosial disusun secara
horisontalisme, yang berarti bahwa manusia dijadikan titik orientasi dalam
penyusunan nilai-nilai sosial, dimana aspek-aspek mitologis, irrasional dan
emosional, disingkirkan dari nilai-nilai tersebut; yang dahulu bersifat baka dan
angker kini dinisbikan. 1
Makna mitos sudah dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Mitos
dianggap sebagai sesuatu yang mengandung klaim kebenaran, tetapi dinilai
bertentangan dengan realitas. Sejak timbulnya paham Rasionalisme pada abad ke-
17 dan ke-18, bahkan sejak Abad Pencerahan, pengetahuan yang dianggap sahih
(valid) tentang realitas hanyalah didasarkan pada penalaran (reasoning), baik
melalui proses induktif maupun deduktif.
Dalam rasionalisme, orang tidak bisa percaya begitu saja terhadap sesuatu.
Seorang itu percaya dengan dasar-dasar tertentu. Kepercayaan (belief) itu haruslah
masuk akal, yaitu bertalian secara logis (coherent), tidak mengandung kontradiksi
serta cocok atau sesuai (compatible) dengan pengetahuan manusia. Jika seseorang
percaya kepada sesuatu yang tidak masuk akal, karena mengandung unsur-unsur
1 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta : Kanisius, 1989), hal. 225.
yang saling bertentangan dan berbeda dengan ide yang terdapat pada manusia,
maka orang itu disebut irrasional.2
Rasionalisme dan empirisme yang penuh diwujudkan dalam sains yang
merupakan “lawan” dari mitos. Sains adalah prosedur tertentu untuk memperoleh
pengetahuan yang sahih. Suatu kepercayaan untuk pertama kali harus ditempatkan
sebagai proposisi atau kebenaran sementara, bahkan sebagai pendapat yang bisa
benar dan bisa salah. Untuk bisa diakui sebagai kebenaran ilmiah, proposisi harus
diuji secara sistematis melalui pengamatan, percobaan, dan penalaran yang logis
dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
Dalam teori konvensional, modernisasi dianggap mengandung implikasi
hubungan “zero-sun” modernitas dan tradisi. Artinya, munculnya modernisasi
dalam masyarakat akan melunturkan dan melenyapkan tradisi sama sekali.3 Dari
pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa keyakinan agama primitif seperti mitos
eksistensinya akan semakin pudar ataupun hilang, terganti dengan hal-hal yang
dapat dijelaskan secara ilmiah.
Namun adapula ilmuwan yang menolak pendapat seperti itu. Seperti
pernyataan Karl Jasper seorang filsuf Jerman yang terkemuka, yang dikutip oleh
Dawam Rahardjo, bahwa mitos bukanlah sesuatu milik masa lampau, tetapi
menjadi ciri manusia sepanjang masa. 4
2 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan
Kebudayaan, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal 195. 3 Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis, (Jakarta :
CV. Rajawali, 1985), hal. XI. 4 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan
Kebudayaan, hal. 204.
Jhon Gardner, seorang cendikiawan Amerika yang pernah menjadi
Menteri Pendidikan dan Kesejahteraan pada pemerintahan Presiden J.F Kennedy,
pernah mengatakan.
“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika tidak percaya
kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban yang besar. Dan sekali lagi kepercayaan
kepada “sesuatu” itu melahirkan sesuatu yang secara umum disebut “agama”, yang sejauh pengalaman sebagian besar manusia, lebih banyak berdasarkan atau
berpusatkan pada legenda dan mitologi”. 5
Kehidupan manusia pada dasarnya dikuasai oleh mitos-mitos. Hubungan
antar manusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan oleh
manusia sendiri. Manusia adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu maka
manusia harus bisa hidup dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu, ditentukan
oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita menyukai atau
membenci yang terkandung dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya maka manusia
itu selalu memiliki prasangka tentang sesuatu yang berkaitan dengan mitos-mitos.
Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita.
Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang
kita hadapi. Banyak hal yang sukar untuk dipercayai berlakunya, tapi ternyata
berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan
ketakutan kita akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan sesuatu mitos,
bukan ketakutan akan keadaan yang sebenarnya.6
Dan meskipun agama sangat menghargai akal kritis, tetapi tiap agama
memiliki mitos yang menjadi sumber penggerak dan acuan ritual bagi
5 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Kemanusiaan dan Kemoderenan. (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). hal. xxiii 6 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama dan
Kebudayaan, hal. 199.
pemeluknya guna melakukan sakralisasi dan membangun makna atas tindakan
yang bersifat profan. mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan
dengan akal sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah atau empiris,
namun pengaruhnya amat kuat dalam menggerakan perilaku orang yang
mempercayainya.7
Setiap agama memiliki konsep dan keyakinan tentang tempat suci sebagai
“Pusat dunia”, sebuah poros penghubung antara langit-bumi antara dunia-akhirat,
antara yang sakral dan yang profan, antara hidup dan mati, antara manusia-Tuhan.
Bagi umat Islam, Ka’bah di Makkah diyakini sebagi “Rumah Tuhan”, jalan
terdekat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.8 Oleh karenanya, selama di sana,
jamaah haji tidak boleh berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi
berperilaku jahat.
Dalam persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat menghormati orang
suci atau para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang tidak boleh berbuat
sembarangan di kawasan makam para wali. Tampaknya persepsi semacam itu
kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji, karena Makkah dan
Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu harus lebih dihormati
dibanding makam wali.9
Dan dalam konteks haji, juga seakan sudah menjadi kepercayaan umum
bahwa apa yang dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang
bersangkutan. Jika perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi
7 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http://www.unisosdem.org.
Sumber ini diambil pada tanggal 07 Mei 2008. 8 Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”, http://www.unisosdem.org
9Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”, http//www.Undisclosed-
Recipient:;"@freelists.org . Sumber ini diambil pada tanggal 20 Agustus 2008.
jika sebaliknya berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus
menerima ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas.
Mitos-mitos atau kepercayaan semacam itu telah mengakar sangat kuat
dalam benak kebanyakan umat Islam, bahkan dalam benak masyarakat Muslim
yang sudah modern sekalipun. Hal ini, sedikit - banyak mempengaruhi perilaku
kehidupan keagamaan masyarakat Muslim. Sehingga berdasarkan latar belakang
diatas, penulis tertarik untuk memilih judul “Pengaruh Mitos Haji pada
Keberagamaan Masyarakat Muslim Modern” sebagai judul penelitian dalam
skripsi ini
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaruh mitos haji pada
kehidupan sosial masyarakat Muslim Modern. Penelitian ini dibatasi pada
sejauhmana mitos mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Muslim modern.
Selain itu pembahasan mitos haji pada penelitian ini juga dibatasi, hanya dengan
mitos pembalasan atau semacam karma yang akan diterima seseorang sesuai
dengan perbuatannya yang dilakukan sebelum melaksanakan atau ketika sedang
melaksanakan ibadah haji. Dan untuk lebih memperdalam penelitian ini, secara
geografis dibatasi pada masyarakat yang berada di wilayah Kelurahan Karang
Mulya Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Tangerang Propinsi Banten.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, Yaitu :
Bagaimana pengaruh mitos haji bagi kehidupan sosial keagamaan
masyarakat muslim modern?
Dan untuk lebih memperdalam analisis yang didapatkan dalam skripsi ini,
maka ditambahkan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana mitos haji mempengaruhi pemahaman keagamaan
masyarakat Muslim modern?
2. Bagaimana mitos haji mempengaruhi perilaku keagamaan masyarakat
Muslim modern.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh mitos pada kehidupan sosial
keagamaan masyarakat, khususnya masyarakat Muslim modern.
b. Mendeskripsikan pengaruh mitos haji pada pemahaman dan perilaku
keagamaan masyarakat Muslim modern.
2. Manfaat penelitian
a. Menambah wawasan sosial keagamaan, khususnya mengenai pengaruh
mitos dalam kehidupan sosial masyarakat muslim modern.
b. Untuk mengubah dan mengembangkan literatur-literatur yang sudah ada
sebelumnya.
c. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan aktifitas dan metode berpikir.
Aktifitas dan metode berpikir tersebut digunakan untuk memecahkan atau
menjawab suatu masalah. Umumnya penelitian dilakukan karena dorongan atau
rasa ingin tahu, sehingga semula masih belum diketahui dan dipahami menjadi
sebaliknya. Bila demikian halnya, dapat dikatakan bahwa yang disebut penelitian
ialah aktifitas dan metode berfikir yang menggunakan metode ilmiah secara
terancang dan sistematis untuk memecahkan atau menemukan jawaban sesuatu
masalah.10
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini jenis kualitatif dengan metode deskriptif, yakni metode yang
dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena
atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang
berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti, sedangkan pendekatan yang
dipakai adalah studi kasus.
Studi kasus dipakai karena diharapkan dapat menjelaskan fenomena sosial
yang ada di masyarakat secara mendalam dan murni, dalam hal ini fenomena
pengaruh mitos pada masyarakat Muslim modern yang ada di Kelurahan Karang
Mulya.
10
Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 3-4.
Dimana studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari,
menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya
secara natural tanpa adanya intervensi.11
2. Subyek Penelitian
Istilah subyek penelitian menunjuk kepada individu atau kelompok yang
dijadikan unit atau satuan khusus yang diteliti. Dalam penelitian ini subyeknya
adalah masyarakat Muslim yang berada di Kelurahan Karang Mulya.
3. Teknik pengumpulan data
a. Keputakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
menelaah dan membaca buku-buku, majalah, karya ilmiah, makalah, dan
lain-lain. Yang mengandung informasi berkaitan dengan masalah yang
dibahas, yang dihimpun dari berbagai tempat mulai dari perpustakaan
hingga situs internet.
b. Riset lapangan (Field Research) yang meliputi :
Wawancara mendalam (Indepth Interview), yaitu peneliti atau
petugas penelitian, melakukan “interview” dengan subjek informan
penelitian. Pertanyaan-pertanyaan kepada informan dikemukakan secara
lisan, berdasarkan pedoman wawancara. Informan yang diteliti sebanyak 5
orang yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji.
4. Istrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penulisan
skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam
11 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan Egon
Guba, (Yogyakarta : PT. Tirta Wacana Yogya, 2001), hal. 93.
pedoman wawancara hanya pokok, dan umumnya berbentuk pertanyaan terbuka
atau tak berstruktur.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah analisis
data kualitatif, artinya penelitian ini tidak menggunakan angka statistik, tetapi
berupa analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan
pandangan-pandangan penelitian skripsi ini. Dalam penelitian kualitatif, setiap
catatan lapangan (fieldnotes) yang dihasilkan dalam pengumpulan data, baik dari
hasil wawancara maupun dari hasil observasi, kemudian mereduksi (merangkum,
mengikhtisarkan, menyeleksi) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba
membuat ringkasan pada seriap kasus, berdasarkan kerangka teori dan pedoman
wawancara.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan pembahasan
yang dibutuhkan, dan disusun kedalam lima bab sebagai berikut :
1. Bab pertama (I) membahas tentang pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
2. Bab kedua (II) membahas mengenai kajian teori yang digunakan
sebagai rujukan dalam penelitian skripsi ini, yaitu : pertama, berisi
pembahasan mengenai Agama dan keberagamaan. Kedua, pandangan
sosiologis mengenai mitos. Ketiga, membahas mengenai masyarakat
Muslim modern. Keempat, membahas tentang mitos haji..
3. Bab ketiga (III) berisi profil daerah dan objek penelitian yang
mendeskripsikan kondisi geografis dan demografis daerah penelitian.
Selain itu, bab ini juga memberikan gambaran serta sedikit analis
mngenai perkembangan pendidikan, ekonomi, dan sosial keagamaan
masyarakat Kelurahan Karang Mulya.
4. Bab IV merupakan analisa mengenai pengaruh mitos pada kehidupan
sosial keagamaan masyarakat Muslim modern. Kemudian deskripsi
dan analisa mengenai pengaruh mitos pada pemahaman dan perilaku
keberagaman masyarakat Muslim modern yang berada di Karang
Mulya serta memberi beberapa contoh mitos haji pada masyarakat
Karang Mulya.
5. Bab kelima (V) berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saran-
saran, serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Agama dan Keberagamaan
1. Agama dalam Perspektif Sosiologis
Berdasarkan sudut pandang bahasa, “agama” berasal dari Bahasa
Sansekerta, “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Hal itu
mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur
kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya yang khusus, kata
agama dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris, religie dalam
Bahasa Belanda – keduanya berasal dari Bahasa Latin religio, dari akar kata
religure yang berarti mengikat.12
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Sosiologi tidak
pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai), ia “angkat tangan”
mengenai hakikat agama, baik atau buruknya agama-agama yang tengah
diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang
deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang
dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.13
Agama adalah gejala sosial yang umum dimiliki oleh seluruh masyarakat
yang ada didunia ini, tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam
kehidupan sosial suatu masyarakat. Agama juga dilihat sebagai unsur dari
12 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 13. 13
Hendropuspito, Sosiologi Agama , (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1983), hal.29.
kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lain, seperti kesenian,
bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dan sistem organisasi.14
Pengalaman akan sifat serba dua hidup manusia mendasari kepercayaan
agama, bahwa seluruh alam semesta diresapi dan dijiwai oleh suatu zat ilahi.
Dengan kata lain, asal usul agama harus kita cari pada diri kita sendiri, agama
tidak diturunkan atau diwahyukan, tetapi dilahirkan dari bawah. Bukan
kepercayaan akan Allah, roh-roh, atau totem yang menjadi permulaan agama,
melainkan the sense of the sacred (kepekaan bagi hal-hal suci). Orang yang
berkumpul dan mengalami suasana yang khusus, lalu dari interaksi mereka timbul
sejumlah kepercayaan, kewajiban dan larangan yang bercorak khusus juga sebab
berhubungan dengan alam balik alam ini.15
Agama sering dipandang sebagai pemecah belah. Karena agama sering
mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu. Isu-isu
keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering
menimbulkan sikap toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang
tertentu dan memisahkan yang lainnya.16Karena menurut Dahrendrorf, konflik
akan selalu ada di dalam masyarakat dalam bentuk proses sosial menuju ke
kehidupan berikutnya. Begitu juga dengan agama, sebagai fenomena sosial,
14
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 14. 15
K .J. Veeger, REALITAS SOSIAL : Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993)
hal. 158-159. 16 Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama : Suatu pengantar Awal, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1997), hal. 61.
agama juga mewakili kepentingan-kepentingan tertentu untuk kelompok atau
kelas tertentu dalam kaitan dengan kelangkaan sumber atau kekuatan.17
Sedangkan menurut teori fungsional, agama dipandang sebagai suatu
institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi
dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial.
Maka, dalam tinjauannya yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh
agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama (agama-
agama), cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan kesejahtraan
jasmani serta rohani) dapat terwujud.
Bagi Elizabeth K. Nothingham, agama telah menimbulkan khayalnya yang
paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar
biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang
paling sempurna dan juga perasaan takut serta ngeri. Meskipun perhatian kita
tertuju sepenuhnya kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat),
namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-
hari di dunia ini. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru
kedalam hati sanubari terhadap alam ghaib dan surga-surga telah didirikan di alam
tersebut. Namun demikian, agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu
adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.18
Adapun fungsi agama menurut Elizabeth K. Nothingham adalah sebagai
berikut :
17
Abdul Aziz M. A. Esai-Esai, Soiologi Agama, (Jakarta : Diva Pustaka,2003), hal. 55. 18 Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat “Suatu Pengantar Sosiologi
Agama”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 3.
a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan
sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan
kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat.
b. Agama mengkordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang
tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang
terpadu.
c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan yang memaksa
(dalam mengatur) tingkah laku manusia serta kekuatan yang
mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk.
2. Keberagamaan dan Segala Aspeknya
Kata keberagamaan berasal dari kata “ beragama”, kata beragama dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu antara lain :
a. Mengatur (memeluk) agama.
b. Beribadah, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama),
misalnya ia berasal dari keluarga yang taat “beragama”.19
Keberagamaan berarti pembicaraan mengenai perjalanan atau fenomena
yang menyangkut hubungan antara penganut dengan agamanya, atau suatu
keadaan yang ada di dalam diri seseorang (penganut utama) yang mendorong
untuk bertingkahlaku sesuai dengan agamanya. 20
Salah satu aspek dari keberagamaan adalah pemahaman agama. Dapat
dikatakan bahwa, pemahaman agama merupakan rangkaian proses berpikir dan
19
J. S. Badudu dan Sota Muhammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1994), cet. I, hal.11. 20 M. Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, (Yogyakarta : UGM
Press,1995), hal.44.
belajar. Dikatakan demikian karena untuk menuju kearah pemahaman perlu
diikuti dengan belajar dan berpikir. Pengetahuan dan pemahaman lahir sebagai
akibat proses belajar dan berpikir. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pemahaman
agama merupakan proses, perbuatan dari cara memahami agama yang dianut.
Keberagamaan dalam penelitian sosial keagamaan lebih dikenal dengan
religiusitas, yaitu lebih bersifat personal, melihat aspek-aspek yang berada di
dalam hati nurani. Jadi, lebih mengarah pada nilai-nilai keagamaan yang diyakini
oleh individu, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. 21
Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi yang dapat membedakan
perilaku keagaman masyarakat. Di dalam setiap dimensi tersebut terdapat
beragam kaidah dan unsur-unsur agama yang digolong-golongkan. Sehingga,
perilaku keagamaan dari individu atau kelompok masyarakat dapat
diidentifikasikan dan dinilai. Dan dimensi-dimensi tersebut adalah : dimensi
keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan, konsekuensi-konsekuensi.22
a. Dimensi keyakinan, dimensi ini meliputi : Pengharapan-pengharapan,
dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis
tertentu dan mengakui kebenaran-kebenaran doktrin tersebut. Isi dan ruang
lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi
dalam agama dan tradisi yang sama. Keanekaragaman keyakinan itu
seringkali terjadi.
21
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodelogi Penelitian Survei (Jakarta :
LP3ES, 1989), cet.ke-1, hal. 127. 22 Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. 295.
b. Dimensi praktik agama, dimensi ini mencangkup perilaku pemujaan,
ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari
dua aspek penting. Pertama, ritual yang berkaitan dengan seperangkat
upacara-upacara keagaman, perbuatan religius formal dan perbuatan-
perbuatan mulia yang diinginkan oleh semua agama agar dilakukan oleh
penganutnya. Kedua, berbakti atau ketaatan, hampir sama dengan ritual
akan tetapi akan memiliki perbedaan penting. Aspek komitmen ritual
sangat formal dan bersifat publik, tetapi disamping itu semua agama yang
dikenal mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi
personal yang relatif spontan, informal dan has pribadi.23
c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berhubungan dengan pengalaman-
pengalaman religius, yakni perasaan persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi
yang dialami oleh seorang pelaku atau suatu kelompok keagamaan (atau
suatu masyarakat) dianggap melibatkan semacam komunikasi. Betapapun
halusnya dengan suatu esensi mulia, yakni dengan Tuhan, realitas
tertinggi, ataupun kekuatan transendental.24
d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa
orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka. Dimensi ini berkaitan erat dengan
dimensi keyakinan, karena pengetahuan tentang sesuatu yang diyakini
23 Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 228. 24
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 228.
merupakan prasyarat yang diperlukan bagi penerimanya. Namun pada
praktiknya, keyakinan tidak selalu berasal dari pengetahuan, demikian
pula tidak semua pengetahuan agama dihubungkan dengan keyakinan
terhadap agama itu. Seseorang bisa saja memegang teguh suatu keyakinan
tanpa benar-benar memahaminya. Artinya, keyakinan itu dapat timbul atas
dasar pengetahuan yang dimiliki.
e. Dimensi konsekuensi, dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang
dari hari ke hari. Disini terkandung makna ajaran “kerja” dalam pengertian
teologis.25
Tradisi keagamaan adalah sesuatu yang menunjukkan kepada
kompleksitas pola-pola tingkah laku, sikap-sikap, dan kepercayaan atau keyakinan
yang berfungsi untuk menolak atau menaati suatu nilai penting (nilai-nilai) oleh
sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara berkesinambungan
selama periode-periode tertentu.26
Tradisi keagamaan termasuk kedalam pranata primer. Hal ini dikarenakan,
pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-
Tuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat
mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilai-
nilai yang hakiki, dengan demikian tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain
25
Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hal. 296. 26 Jalaluddin, Psyikologi Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-2,
hal.171.
didukung oleh masyarakat, juga memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai
luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat.27
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap
keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi
keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-
norma, pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian tradisi
keagamaan memberikan pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran
agama, sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang
hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan
bagian dari pernyataan diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya.
Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun
penilaian seseorang atau masyarakat terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan agama.
B. Pandangan Sosioligis Mengenai Mitos
1. Defenisi Umum Mitos
Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, secara harfiah diartikan
sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang: dalam pengertian yang lebih
luas dapat berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama. kata
27
Jalaluddin, Psyikologi Agama, hal.175.
mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas
mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos.28
Secara harfiah. mitos juga dibedakan menjadi 3 bentuk, yakni :
a. Mitos simbolis/spekulatif, yang menafsirkan secara simbolis tata
semesta alam atau tata masyarakat.
b. Mitos aetologis, yang dalam bentuk cerita menerangkan suatu praktek
(karangan/perintah, adat, dan sebagainya). Jung, dengan psikologi,
dalam satra Lev-Starauss dengan antropologi strukturalis
memperlihatkan bahwa mitos-mitos itu mempunyai arti yang sangat
dalam.
c. Dalam arti luas disamakan dengan sage, cerita legendaris mengenai
seorang cikal-bakal pahlawan dari zaman dahulu. 29
Didalam buku Ensiklopedia Indonesia disebutkan tiga golongan utama
mitos : mitos sebenarnya, yang merupakan daya-usaha sungguh-sungguh dan
imaginative untuk menerangkan gejala-gejala alam, dan sering menyangkut dewa-
dewa serta peristiwa adi kodrati yang terjadi jauh dimasa silam; cerita rakyat,
termasuk dongeng, adalah penuturan kisah-kisah dari masa sejarah yang
menyangkut kehidupan masyarakat; dan saga serta legenda, yang menceritakan
secara berbunga-bunga tentang tokoh masa lalu, baik yang pernah maupun tidak
pernah ada. Istilah mitologi juga diterapkan terhadap ilmu pengetahuan yang
mempelajari cerita-cerita tersebut diatas; daripadanya dapat dipikirkan tentang
hubungan kebudayaan dan situs arkeologi sejarah. Mitologi telah sangat
28 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (yogyakarta : Kanisius), hal. 147. 29
Dick Hartoko, B. Rahmanto, Pemandu Dunia Sastra (Yogyakarta : Kanisius, 1986) hal.
memperkaya kebudayaan dan terutama kesusastraan rakyat dunia. Di Eropa
mitologi klasik telah menjadi tema bagi para seniman dan sastrawan di zaman
Renaisans.30
Mitos juga diartikan sebagai uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu
yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, dan mengatasi
pengalaman manusia sehari-hari. Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam
dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu maka
studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore).31
Manusia mengembangkan dua cara berpikir dan memperoleh pengetahuan,
yaitu dengan mitos dan logos. Mitos adalah pengetahuan yang bersifat mistis,
memiliki obyek abstrak-supralogis, tidak berdasarkan fakta, dan ukuran
kebenarannya ditentukan oleh rasa. Mitos tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-
bukti rasional. Sedangkan logos sebaliknya. Ia adalah pemikiran rasional,
pragmatis, dan ilmiah. Logos terkait dengan fakta-fakta dan realitas eksternal
sehingga dapat dibuktikan secara empirik.32
Mitos pertama-tama dimengerti sebagai percobaan manusia untuk mencari
jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tentang alam semesta, termasuk
dirinya sendiri. Pertanyaan manusia tentang kejadian alam semesta itu sudah
dijawab tapi jawaban itu diberikan justru dalam bentuk mitos, artinya, suatu
bentuk penjelasan yang sama sekali meloloskan diri dari setiap kontrol pihak rasio
30
Hasan Shadily, dkk., Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1983),
hal. 2264. 31
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama
dan Kebudayaan, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal. 199. 32 H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali, 1987),
hal.231.
manusia. Jadi dalam pengertian itu mitos (muthos) dilawankan dengan logos (akal
budi, rasio). Maka secara lebih umum dapat dikatakan bahwa mitos itu adalah
keirasionalan atau takhyul atau khayalan, pendeknya sesuatu yang tak berada
dalam kontrol manusia dan rasio manusia.33
Mitos memang bukanlah sebuah keterangan yang gamblang, mudah
dimengerti (unequivocal). Tetapi mitos, menurut Karl Jasper, terdiri dari unsur-
unsur sebagai berikut. Pertama, mitos itu mengisahkan suatu cerita yang lebih
merupakan sesuatu yang diekspresikan dalam suatu pandangan yang intuitif
daripada dalam bentuk konsep yang universal. Mitos bersifat historis, baik dalam
bentuk maupun isinya. Ia bukan sesuatu yang samar-samar atau menyamar dibalik
jubah tentang suatu gagasan umum yang dapat dimengerti lebih baik dan langsung
secara intelektual. Ia lebih merupakan penjelasan asal-usul historis tentang sesuatu
dan bukannya tentang sesuatu yang dirasa perlu sebagai hukum-hukum universal.
Kedua, mitos lebih merupakan kisah dan visi yang kudus, dongeng tentang dewa-
dewa, daripada tentang realitas empiris. Ketiga, mitos adalah sesuatu yang
mewadahi makna-makna yang bisa diekspresikan dalam bahasa mitos. Tokoh-
tokoh mitos adalah simbol-simbol, dan karena sifatnya, tidak bisa diterjemahkan
kedalam bahasa lain. Mitos-mitos itu dapat dijangkau dalam elemen-lemen mitos
itu sendiri, tak bisa digantikan, bersifat unik. Mitos-mitos tak dapat ditafsirkan
secara rasional dan hanya dapat diinterpretasikan dengan mitos-mitos baru,
33
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta : PT Gramedia, 1982), hal 123.
dengan mentransformasikan mitos-mitos itu. Mitos-mitos itu saling
menginterpretasikan.34
Ernst Cassirer, sarjana terkemuka pengikut simbolisme yang dikutip oleh
Thomas. F.O. Dea, menyatakan bahwa mitos memahami dan menggambarkan
dunia sebagai yang “cair dan tidak tetap” lebih lanjut dia mengatakan :
“Dunia mitos adalah dunia yang dramatis – sebuah dunia tindakan,
kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan … Apapun yang dilihat atau
dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus – suasana gembira atau duka cita,
kesedihan, kegairahan, kegembiraan, atau defresi, disini kita tidak dapat
membicarakan “sesuatu sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak perlu
ditanggapi. semua objek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan, familiar atau
tidak, memikat dan menjemukan atau menjijikan atau menakutkan”.35
Melaui mitos manusia tidak hanya “menjelaskan” dunia mereka tetapi
secara simbolis juga menampilkannya kembali. Mitos mempunyai cara lain dalam
melihat dunia, suatu cara yang mengungkapkan kesatuannya bersama dengan
keterlibatan emosional manusia dan partisipasi didalamnya. Mitos adalah
ungkapan serius tentang pertalian dengan dunia. “Dalam mitos dan dengan
menggunakan citra mitos, terdapat dorongan yang berasal dari “luar”, komunalitas
subtansi yang meleburnya kedalam totalitas kedirian”.36
Penelitian antropologi pada mulanya memang menganggap mitos-mitos itu
sebagai produk mental pra-logis dan karena itu irrasional, namun antropologi
modern kemudian mengubah pandangannya. Mereka kemudian berpendapat
bahwa berbagai kepercayaan (mitos) yang nampaknya absurd itu akan dapat
dilihat sebagai masuk akal jika dilihat dari konteks budaya yang tepat.
34
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama
dan Kebudayaan, hal. 204. 35 Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama : Suatu pengantar Awal, hal. 80. 36
Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, hal. 81.
Sebenarnya, mitos merupakan penggambaran dari gejala yang alamiah. Tetapi,
gejala-gejala itu terjalin secara rumit dalam dongeng-dongeng sehingga
tersembunyi atau malahan hilang. Sebab itu maka terkadang mitos perlu
ditafsirkan. Dengan pendekatan baru itu maka mitologi bisa ditafsirkan semacam
ilmu pengetahuan dalam masyarakat pra-ilmiah. 37
Dalam pandangan ilmiah yang mutakhir, mitos ditafsirkan sebagai simbol-
simbol yang mengandung rasionalitas. Jika dalam sorotan ilmiah muktahir orang
melihat irrasionalitas pada mitos, maka pemahamannya hanyalah masalah
penerjemahan atau penafsiran yang tepat.
Sebagian orang memang menertawakan mitos-mitos lama maupun
modern. Tapi manusia ternyata tetap membutuhkan mitos. Jika ia terlepas dari
satu mitos, ia akan jatuh ke mitos lain. Mitos adalah semacam penuntun pikiran
manusia dengan cara membiarkan pikiran manusia lepas bebas dan berusaha
menangkap sesuatu yang sangat kabur, sangat jauh. Mitos, barangkali adalah
sesuatu ciri manusia yang paling khas. Makin tak masuk akal, makin tertarik
manusia untuk mengetahuinya dan menemukannya. Dengan cara itulah manusia
bisa maju dan berkembang. Mitos kerap kali adalah perintisnya.38
2. Fungsi Mitos
Legenda-legenda dan mitos-mitos diperlukan manusia sebagai penunjang
sistem nilai mereka. Semua itu memberi kejelasan tentang eksistensi manusia
dalam hubungannya dengan alam sekitarnya, sekaligus tentang hubungan yang
37
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama
dan Kebudayaan, hal. 200. 38 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama
dan Kebudayaan, hal. 207-208.
sebaik-baiknya antara sesama manusia sendiri dan antara manusia dengan alam
sekitarnya, serta dengan wujud Maha Tinggi. Manusia tidak dapat hidup tanpa
mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang kebenarannya
tidak perlu di pertanyakan lagi. Maka tidak ada kelompok manusia yang benar-
benar bebas dari mitologi. Dan karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja,
maka ia melahirkan sistem kepercayaan. 39
Jadi utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan.
Dan pada urutanya, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya
sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri yang memberi manusia kejelasan
tentang apa yang baik dan buruk (etika), yang mendasari seluruh kegiatannya
dalam menciptakan peradaban.40
Fungsi mitos dalam kehidupan religius masyarakat primitif adalah
mendalam dan penting. “Menghayati” sebuah mitos berarti memiliki pengalaman
religius murni, berbeda dengan pengalaman-pengalaman profan. karena apabila
seseorang melakukan tindakan para dewa secara simbolis dan secara pribadi
memberikan kesaksian atas peristiwa tersebut; ia lantas memasuki suatu dunia
yang diubah untuk para dewa, mahluk-mahluk supranatural dan karya-karya
mereka. Dengan demikian, orang tersebut menjadi semasa dengan peristiwa-
peristiwa asali, masa segala permulaan.41
39
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Kemanusiaan dan Kemoderenan, . (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). hal. xxii. 40
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Kemanusiaan dan Kemoderenan, hal. xxiii.
41
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius), hal. 150-151.
3. Mitos dan Agama
Meskipun agama sangat menghargai akal kritis, tetapi tiap agama memiliki
mitos yang menjadi sumber penggerak dan acuan ritual bagi pemeluknya guna
melakukan sakralisasi dan membangun makna atas tindakan yang bersifat profan.
mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal sehingga
kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah atau empiris, namun pengaruhnya
amat kuat dalam menggerakan perilaku orang yang mempercayainya.42
Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan
dan menyembah-Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing
manusia berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu masa ke masa
yang lain, maka agama menjadi berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama,
yaitu naluri untuk percaya kepada wujud Maha Tinggi tersebut. Keanekaragaman
agama itu lebih nyata akibat usaha manusia sendiri untuk membuat agamanya
lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya kepada
gejala-gejala yang secara nyata ada disekitarnya. Maka tumbuhlah legenda-
legenda dan mitos-mitos, yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang
kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu
dalam masyarakat.43
Mitos, dalam kaitannya dengan agama, menjadi penting karena bukan
semata-mata memuat kejadian-kejadian ajaib atau peristiwa-peristiwa mahluk
adikodrati, melainkan mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia,
42
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”. 43Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Kemanusiaan dan Kemoderenan.. hal. xxi.
yaitu memberikan dasar peristiwa awali mengenai masa lampau yang jaya untuk
diulangi lagi dimasa kini.
Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan
tertentu. Berperan sebagai peristiwa permulaan dalam suatu upacara atau ritus,
atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Karena mitologi
atau tradisi suci dari suatu masyarakat adalah kumpulan cerita yang terjalin dalam
kebudayaan mereka, yang menyuarakan keyakinan mereka, menentukan ritus
mereka, yang berlaku sebagai peta peraturan sosial maupun sebagai model tetap
dari tingkah laku moral mereka. Setiap mitos tentu saja memiliki isi literer karena
selalu berbentuk narasi. Akan tetapi, narasi ini bukan sekedar dongeng yang
menghibur ataupun pernyataan yang diberikan penganut agama. Mitos adalah
cerita sejati mengenai kejadian-kejadian yang bisa dirasa telah turut membentuk
dunia dan hakikat tindakan moral, serta menentukan hubungan ritual antara
manusia dengan penciptanya, atau dengan kuasa-kuasa yang ada.44
Mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial dari
berbagai sikap dan kepercayaan keagamaan. Mitos memang telah dianggap
sebagai filsafat “primitif”, bentuk pengungkapan pemikiran yang paling
sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan
kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah”. Tetapi
mitos juga merupakan jenis pernyataan manusia yang kompleks. Merupakan
44
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal.149-150.
pernyataan manusia yang dramatis,45
bukan hanya sebagai pernyataan yang
rasional.46
Banyak perdebatan yang mewarnai makna mitos, namun yang pasti
pemikiran mitologis tidak pernah lenyap dari lingkungan umat beragama. Banyak
dorongan yang membuat mitologi bertahan. Antara lain dorongan psikologis,
teologis, dan kepengapan politis sehingga mereka ingin keluar memasuki dunia
lain (beyond) yang aman bersama Tuhan. Pandangan kaum modern menganggap
perilaku seperti itu aneh dan primitif, sementara bagi mereka yang meyakininya
memandang masyarakat modern penuh kebodohan dan kesesatan. Dan biasanya
pemikiran mitologis ini menguat saat kehidupan sosial tengah mengalami krisis
sehingga tak ada lagi ruang yang ramah dan menentramkan.47
C. Masyarakat Muslim Modern
Modernisasi adalah perubahan nilai-nilai, perubahan cita-cita dan
orientasi. Jadi masyarakat yang modern, adalah masyarakat yang bisa
mengembangkan rasionalitas dan cara-cara berpikir yang baru dan masuknya
cara-cara itu kedalam setiap bidang kegiatan masyarakat. Modernisasi tentu saja
suatu perubahan yang dinamis, tetapi implikasinya tidak hanya mencangkup
lunturnya tradisionalisme, tak hanya ketakutan akan perubahan, tetapi juga
meliputi usaha mewujudkan perubahan-perubahan.48
45
Disebut sebagai pernyataan yang dramatis sebab melibatkan pikiran dan perasaan,
sikap dan sentiment. 46
Thomas. F.O.Dea, Sosiologi Agama: Suatu PengantarAwal, hal. 79. 47
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”. 48 H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali, 1987),
hal.231
Maka menjadi masyarakat modern juga berarti, masyarakat menyadari
bahwa sejarah itu bergerak kearah tujuan tertentu. Jadi kesanggupan orang atau
masyarakat untuk mengarahkan jalannya sejarah itulah artinya modern. Untuk
menjadi modern tidak berarti bahwa orang harus hidup dalam suatu lingkungan
tertentu. Tetapi berarti bahwa orang atau masyarakat harus hidup dalam
lingkungan yang dengan sengaja dipilih dan dibinanya dengan penuh kesadaran;
dan hal itu dimungkinkan dengan adanya teknologi. Dengan itu maka modernitas
tak terletak pada apa yang dipilih orang, tetapi pada kenyataan bahwa ia sanggup
memilih, karena ia dapat mempergunakan segala kemungkinan yang terbuka
baginya.49
Cak Nur, berpendapat bahwa modernisasi adalah suatu keharusan,
malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah
dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Menurutnya masyarakat Muslim modern
berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah (hukum Ilahi) yang
haq (sebab, alam adalah haq). Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam
hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern, manusia harus mengerti
terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Allah).50
Lebih lanjut Cak Nur mengatakan, bahwa masyarakat Muslim modern,
adalah sebagai masyarakat rasional yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral,
dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang Maha Esa. Perombakan
pola berpikir dan tata kerja baru yang tidak berdasarkan akliah (non-rasional),
digantikan dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah (rasional), harus
49
H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, hal.231. 50 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1998),
hal. 172-173.
dikedepankan dengan melakukan penemuan-penemuan mutakhir di bidang ilmu
pengetahuan dan sains teknologi.51
Modernisasi menyebabkan pola pikir masyarakat berubah yang pada
akhirnya berakibat pada perilaku agama masyarakat. Ritus-ritus yang selau rutin
dilaksanakan, baik yang wajib maupun sunah sejalan dengan perkembangan pola
pikir masyarakat berubah mengikuti kebutuhan dunia modern. Ritual yang
berkaitan dengan animisme, dinamisme ataupun hal-hal yang bersifat sinkretis
semakin luntur, bahkan hilang dalam tradisi masyarakat modern. Karena yang
dibutuhkan masyarakat modern adalah ritual yang dapat diterima oleh logika.
Menurut Niel J. Smelser, konsep “masyarakat modern” adalah konsep
yang hampir sama dengan konsep “pembangunan ekonomi”, tetapi lebih luas
jangkauannya – menunjukkan bahwa perubahan-perubahan tehnik, ekonomi dan
ekologi berlangsung dalam keseluruhan jaringan sosial dan kebudayaan yang ada
dimasyarakat. Dalam suatu Negara atau masyarakat yang baru menuju proses
modernisasi, akan timbul perubahan-perubahan besar yang mencangkup sebagai
berikut :
1. Dalam bidang politik. Sewaktu-waktu sistem kewibawaan suku dan
desa yang sederhana, digantikan dengan sistem-sistem pemilihan
umum, kepartaian, perwakilan dan birokrasi pegawai negeri .
2. Dalam bidang pendidikan. Masyarakat berusaha mengurangi
kebutahurufan dan meningkatkan keterampilan-keterampilan yang
membawa hasil ekonomi.
51
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 84.
3. Dalam bidang religi, sewaktu-waktu sistem-sistem kepercayaan
sekuler mulai menggantikan agama-agama tradisionalistis.
4. Dalam lingkungan keluarga. Unit-unit hubungan kekeluargaan yang
meluas akan hilang.
5. Dalam lingkungan stratifikasi. Mobilitas geografis dan sosial cendrung
untuk merenggangkan sistem-sistem hirarki yang sudah pasti dan
turun-menurun.52
Di sisi lain, adapula sosiolog yang berpendapat modernitas dan tradisi
dianggap saling meniadakan (Muttually Exclusive). Dalam masyarakat tradisional
pasti terdapat unsur-unsur modern dan begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa
hal, modernisasi dapat memperkuat unsur-unsur tradisi dan budaya tradisional.
Transportasi, komunikasi, radio dan televisi misalnya, dapat memperkuat unsur-
unsur tradisi dan memperluas jangkauan budaya tradisional dalam masyarakat.
Sebagai contoh, dalam masyarakat Jepang ada istilah Religi Tokugawa pada salah
satu pemerintahan, dimana pada masa itu religi dan struktur masyarakat Jepang
telah menyediakan landasan bagi keberhasilan modernisasi.53
D. Mitos Haji
Dalam konteks haji, seakan sudah menjadi kepercayaan umum bahwa apa
yang dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang bersangkutan.
Jika perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi jika
52
Myron Weiner (ed), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan , (Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 1984), hal. 60. 53
Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis, hal.xii.
sebaliknya berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus
menerima ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas. 54
Kasus-kasus pengalaman buruk seperti tersesat, kehilangan sandal,
kecopetan, ditipu orang atau terinjak dan sebagainya, selalu dikaitkan dengan
perilaku buruk yang dilakukan seseorang. Pengalaman buruk itu dipahami sebagai
tulah atau kuwalat atau pembalasan. Mitos semacam ini tampaknya berdampak
positif, sehingga seseorang takut melakukan perilaku buruk selama menunaikan
ibadah haji. Yang lebih menakutkan para jamaah adalah kalau mereka
mendapatkan pengalaman buruk, yang dianggap pula sebagai pembalasan sebagai
akibat dari amal atau perilaku buruk yang telah dilakukan selama di Tanah Air.
Menurut mitos itu, di Tanah Suci manusia akan menerima pembalasan semacam
yang terjadi Hari Pembalasan atau Hari Kiamat.55
Kepercayaan mitos di atas begitu mengakar dan diyakini hingga orang
yang mengalami musibah atau peristiwa buruk disana tidak berani
mengungkapkannya secara terbuka. Ini adalah aib diri dan berusaha ditutup rapat-
rapat.
Selain itu tidak sedikit pula cerita-cerita tentang pengalaman jamaah haji
yang merasa mendapat pertolongan gaib dari malaikat dalam wujud manusia
tinggi besar ketika mencoba mencium hajar aswad. Uluran pertolongan malaikat
itu memang bisa terjadi dimanapun, namun ada kesan bahwa malaikat lebih sering
ngejawantah di Tanah Suci. Masih banyak lagi hal-hal yang dikaitkan dengan
kegaiban yang religius dikisahkan selama menjalankan ibadah haji. Anggapan
54 Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”. 55
Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”.
semacam itu nyaris menjadi mitos, yang diyakini kebenarannya di kalangan
jamaah.
Persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat menghormati orang suci atau
para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang tidak boleh berbuat sembarangan
di kawasan makam para wali. Tampaknya persepsi semacam itulah yang
kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji, karena Makkah dan
Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu harus lebih dihormati
dibanding makam wali. Oleh karenanya, selama di sana, jamaah juga tidak boleh
berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi berperilaku jahat.56
Proses sakralisasi tersebut, merupakan sesuatu perilaku sosial budaya yang
sudah berlangsung lama sekali. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, terjadi pula
persepsi yang menyimpang di sekitar perilaku ritus yang kemudian dibakukan.
Persepsi menyimpang itu menjadi mitos, yang tidak gampang dihindari
Namun ada beberapa pertimbangan yang bisa digunakan untuk
menghindari mitos tersebut. Pertama, Hari Pembalasan hanya terjadi kelak di
Hari Kiamat. Kedua, mustahil Allah akan mempermalukan hamba-Nya yang
datang memenuhi panggilan-Nya, dan menjadi tamu. Sementara itu, kita tidak
boleh lupa bahwa pengalaman buruk seperti itu bisa saja di tempat lain, di negeri
lain, kapan saja. Terutama kalau kita berada di tempat keramaian umum.
Tetapi, pada dasarnya kehidupan manusia dikuasai oleh mitos-mitos.
Hubungan antar manusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan
oleh manusia sendiri. Manusia adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu
56
Abu Su’ud, “Mitos-itos Haji”.
maka manusia harus bisa hidup dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu,
ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita
menyukai atau membenci yang terkandung dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya
maka manusia itu selalu memiliki prasangka tentang sesuatu yang berkaitan
dengan mitos-mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala
tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu ditentukan
oleh mitos-mitos yang kita hadapi. Banyak hal yang sukar untuk dipercayai
berlakunya, tapi ternyata berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai
suatu mitos. Dan ketakutan kita akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan
akan sesuatu mitos, bukan ketakutan akan keadaan yang sebenarnya.57
Mitos-mitos semacam itu memang merupakan keyakinan yang tidak bisa
diterangkan dengan akal sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah-
empiris, namun pengaruhnya amat kuat dalam menggerakkan perilaku orang yang
mempercayainya. Karena sebuah mitos bisa berfungsi sebagai tali pengikat dan
memberi arah perjalanan hidup bagi yang meyakininya.58
57
Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama
dan Kebudayaan, hal. 199. 58
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”.
BAB III
PROFIL OBYEK PENELITIAN
KELURAHAN KARANG MULYA
A. Kondisi Geografis dan Demografis
Kelurahan Karang Mulya merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang Propinsi Banten. Karang Mulya .
Kelurahan Karang Mulya terletak pada jarak 4 km dari Ibukota Kota, 85 km dari
Ibukota Propinsi, dan hanya berjarak 1 km dari Ibukota Negara. Sebagai daerah
penyangga Jakarta, Kelurahan Karang Mulya merupakan daerah strategis yang
memiliki peranan penting, baik dalam hal ekonomi, pendidikan, politik, sosial,
budaya maupun bidang lainnya.
Secara geografis Karang Mulya berada 25 m di atas permukaan laut,
dengan curah hujan 4, 583 mm/tahun dan tofografi rendah dengan suhu rata-rata
27 derajat celcius-35 derajat celcius. Wilayah Karang Mulya terbagi menjadi 13
Rw dan 56 Rt.
Tabel I
No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
1
2
Laki-laki
Perempuan
7.268
6.642
52 %
48 %
Jumlah 13.910 100 %
Sumber : Buku Monografi Kelurahan Karang Mulya 2008
Seperti yang terlihat pada tabel diatas, daerah ini di huni oleh 13.969 jiwa,
dimana jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan,
yang terdiri dari 7.300 jiwa laki-laki dan 6.669 perempuan.
Sejalan dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka
semakin berkembang pula kehidupan penduduk Kelurahan Karang Mulya, baik
dalam bentuk fisik maupun non fisik Sehingga banyak menarik penduduk dari
daerah lain untuk datang ke daerah ini, khususnya penduduk pedesaan yang
memiliki beragam tujuan dan asal yang berbeda pula. Sehingga Kelurahan Karang
Mulya menjadi sangat majemuk dalam hal etnis khususnya.
Tabel II
Komposisi Jumlah Penduduk berdasarkan Suku / etnis
No Suku / etnis Frekuensi Presentase
1
2
3
4
5
6
7
Betawi
Jawa
Sunda
Sumatera
Cina / Keturunan
Lampung
Kalimantan
6.020
3.084
2.692
761
633
371
346
44,8 %
22,6 %
18,2 %
5,0 %
4,0 %
2,8 %
2,6 %
13.910 100 %
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya
Wilayah Karang Mulya sebagian besar dihuni oleh penduduk asli, yang
merupakan etnis Betawi. Letaknya yang hanya berjarak 1 km dari Ibu Kota
Negara dan juga sebagai daerah penyangga Ibukota, perekonomian Kelurahan
Karang Mulya pun terbilang sudah maju, ini ditandai dengan merebaknya
berbagai mini market, rumah sakit, pabrik-pabrik berskala kecil dan besar, serta
fasilitas umum lainnya sangat mudah dijumpai di Kelurahan Karang Mulya.
Dengan adanya berbagai fasilitas umum tersebut, baik langsung ataupun tidak
langsung membantu mengembangkan perekonomian masyarakat asli Karang
Mulya, dan tentunya juga menarik masyarakat dari luar daerah untuk tinggal dan
menetap di Karang Mulya. Ini terbukti dengan banyaknya warga pendatang dari
daerah lain yang datang dan menetap di Kelurahan Karang Mulya.
B. Perkembangan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial Keagamaan
Masyarakat Kelurahan Karang Mulya.
Dalam hal pendidikan, tidak seperti pada keadaan dua puluh tahun yang
lalu, perkembangan pendidikan pada masyarakat Karang Mulya mengalami
kemajuan yang sangat signifikan. Masyarakat Karang Mulya yang kebanyakan
etnis betawi, mulai menyadari akan pentingnya pendidikan.
Kesadaran akan pendidikan masyarakat Karang Mulya yang semakin baik,
di tunjang juga dengan semakin baiknya ketersediaan sarana prasarana pendidikan
di Kelurahan Karang Mulya. baik yang tercatat di Kelurahan maupun tidak. Dari
catatan isian potensi kelurahan tercatat, 1 buah bangunan Play Group, 4 buah TK,
3 SD, dan 1 buah; SMP; SMU.
Tabel III
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Frekuensi Presentase
1
2
3
4
5
6
Taman Kanak-kanak
SD
SMP
SMU
Diploma
Strata I
921
1.969
1.092
3.067
317
521
12 %
25 %
14 %
38,3 %
4,2 %
6,4 %
Jumlah 8.017 100 %
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya
Berdasarkan pengamatan penulis, motivasi masyarakat asli Karang Mulya,
yakni beretnis betawi, dalam bidang pendidikan kini semakin besar. Hal ini
terlihat dari semakin banyaknya Masyarakat Karang Mulya, yang bersekolah
sampai keperguruan tinggi, bahkan keperguruan tinggi negeri. Sementara rata-rata
tingkat pendidikan masyarakat Karang Mulya saat ini adalah SMU dengan
prosentase mencapai 38,3 %.
Kini para orang tua sangat bersemangat menyekolahkan anak-anak mereka
sampai ke jenjang yang tinggi. Bahkan pekerjaan mereka sebagai buruh, petani,
atau pembantu rumah tangga bukan menjadi halangan mereka untuk
menyekolahkan anak-anak mereka. Karena mereka menyadari dengan memiliki
pendidikan yang tinggi, di harapkan anak-anak mereka kelak berhasil dalam
mencapai cita-cita mereka, yang tentunya akan meningkatkan derajat mereka
dalam kehidupan sosial masyarakat., sekalipun mereka sebagai orang tua tidak
memiliki pendidikan yang tinggi. Bahkan minat belajar anak-anaknya pun tinggi.
Dalam waktu satu hari, mereka bukan hanya sekolah formal, melainkan juga
belajar di sekolah agama non-formal dan mengikuti les-les tambahan seperti
Bahasa Inggris, komputer, voli dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat Karang Mulya tidak mengalami
kendala dalam berinteraksi. Beragamnya etnis di Kelurahan Karang Mulya tidak
menghalangi mereka saling berinteraksi. Sampai saat ini tidak ada dalam catatan
kriminal di kelurahan mengenai tindak kekerasan ataupun benturan fisik serta
pemikiran yang berlatar belakang etnis. Masyarakat Karang Mulya, baik
penduduk asli maupun pendatang hidup saling berdampingan. Masyarakat modern
sering dikatakan sebagai masyarakat yang individualis, namun masyarakat Karang
Mulya yang merupakan masyarakat modern, masih kuat memegang budaya
gotong royong. Dalam berbagai acara yang bersifat individual maupun kolektif,
seluruh masyarakat saling membantu.
Kebanyakan dari masyarakat Karang Mulya, bekerja dalam bidang
pertanian. Mereka membudidayakan tanaman hias. Namun tidak seperti sistem
pertanian di desa, pertanian di daerah Karang Mulya lebih teratur dan dikemas
secara modern. Pemasaran atau penjualannya juga dilakukan dengan cara yang
modern, seperti dengan mengikuti pameran-pameran tingkat daerah ataupun
pameran tingkat nasional.
Tabel IV
Komposisi penduduk menurut mata pencaharian
No Mata Pencaharian Frekuensi Presentase
1
2
3
4
5
6
7
8
Karyawan
a. Pegawai Negeri Sipil
(PNS)
b. TNI / POLRI
c. Buruh / Swasta
Wiraswata / Pedagang
Tani
Pertukangan
Jasa
Buruh Tani
Pemulung
Pensiunan
1.532
61
1.404
1.071
2.914
176
465
26
13
1.130
17,4%
1 %
16 %
12,2 %
33 %
2 %
5,3 %
0,3 %
0,1 %
13 %
Jumlah 8.792 100 %
Sumber : Buku Monografi 2008 dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang
Mulya
Walaupun begitu, dalam melakukan mobilitas ekonomi, masyarakat
Karang Mulya, memiliki pilihan pekerjaan yang cukup variatif dengan frekuensi
yang beragam pula, seperti yang terlihat dalam tabel diatas. Ini tidak lain karena
Kelurahan Karang Mulya adalah daerah yang strategis, memiliki banyak peluang
bagi penduduknya untuk melakukan mobilitas ekonomi. Meskipun tidak semua
sarana; prasarana dan lokasi perekonomian berada di sini, yakni kebayakan di
daerah Kecamatan Ciledug, namun cukup menguntungkan bagi penduduknya,
karena secara geografis Kelurahan Karang Mulya bertetangga dengan Kecamatan
Ciledug. Selain itu jarak Kelurahan Karang hanya berkisar 1 km dengan Ibu Kota
Negara. Ini memudahkan masyarakat mencapai atau mendapatkan segala fasilitas
yang ada di kota yang mungkin tidak ada di daerah Karang Mulya.
Sedangkan kondisi Sosial Keagamaan Mayarakat Karang Mulya,
mayoritas agama penduduk adalah Agama Islam. Jumlah pemeluk Agama Islam
mencapai 9.259 orang dengan posisi atau sekitar 68 %, berikutnya Katholik,
Protestan, Hindu dan Budha. Hal ini juga terlihat dari jumlah Masjid dan Mushola
yang cukup banyak. Dalam satu kampung terdapat satu masjid dan Mushola.
Tabel V
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Frekuensi Presentase
1
2
3
4
5
Islam
Katholik
Protestan
Hindu
Budha
10.800
829
809
689
783
78 %
6 %
6 %
5 %
5 %
Jumlah 13.910 100 %
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan Karang Mulya
Kehidupan beragama masyarakat Karang Mulya sudah banyak
terakulturasi dengan kehidupan modern. Modernisasi menyebabkan pola pikir
masyarakat berubah yang pada akhirnya berakibat pada perilaku agama
masyarakat. Ritus-ritus yang selalu rutin dilaksanakan, baik wajib maupun
sunnah, sejalan dengan perkembangan pola pikir masyarakat ikut berubah
mengikuti kebutuhan dalam dunia modern.
Namun antara pemeluk agama terjalin kerukunan antar umat beragama.
Masyarakatnya bersikap solidaritas dan toleransi yang amat kuat antara agama
yang lain, ini terbukti bahwa dikampung ini tidak pernah terjadi konflik antar
pemeluk beragama. Itu dikarenakan masyarakat Karang Mulya adalah masyarakat
yang sejak dulu sudah terbiasa dengan segala perbedaan, karena banyak
disinggahi orang asing.
BAB IV
PENGARUH MITOS HAJI PADA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT
MUSLIM MODERN
A. Pemahaman Terhadap Rukun Islam yang Kelima
Dalam menilai pengaruh mitos haji pada keberagamaan seseorang perlu
dilihat dari pemahamannya mengenai rukun Islam yang kelima. Haji merupakan
ibadah serta rukun agama Islam kelima, yang merupakan salah satu dari rukun
yang lima jumlahnya. Kelima rukun tersebut adalah syahadat, shalat, puasa, zakat,
dan haji, yang kesemuanya mempunyai kedudukan sama, yaitu wajib, meskipun
tetap dikaitkan dengan kondisi yang berbeda.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh NH : “Ibadah haji merupakan
kewajiban Umat Islam yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji, dalam
rangka melengkapi ibadahnya sebagai mahluk Tuhan”. 59
Sedangkan AM mengungkapkan bahwa rukun Islam yang kelima adalah,
melaksanakan ibadah haji jika mampu secara lahir dan batin. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh AM: ”Melaksanakan ibadah haji jika mampu secara lahir dan
batin”.
Sama halnya dengan AM, FH juga mengungkapkan bahwa rukun Islam
yang kelima merupakan kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh FH: ”Rukun Islam yang kelima itu adalah kewajiban
59
Wawancara Pribadi dengan NH, Tangerang, 22 Agustus 2008.
untuk beribadah haji, yang dilakukan oleh umat Islam yang mampu secara faedah
dan material”.
Sedangkan SO memahami, bahwa pelaksanaan ibadah haji adalah
gambaran kecil dari keadaan manusia di hari pengadilan. “Haji itu merupakan
gambaran kecil keadaaan kita waktu di akhirat nanti”.60
Secara eksplisit ibadah haji juga dikaitkan dengan yang disebut
pengalaman ruhani atau pengalaman religius. Persepsi semacam itu menyebabkan
adanya anggapan bahwa tidaklah bermakna haji seseorang kalau tidak dikaitkan
dengan berbagai keajaiban yang dialami selama melaksanakan ibadah.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh RH : “Ibadah haji merupakan suatu
ibadah yang dilaksanakan dalam rangka menyempurnakan ibadah dan mensucikan
diri, maka dari itu, hal-hal aneh yang dirasakan saat ibadah haji pasti ada sebagai
balasan dari Allah untuk membersihkan dari hal-hal buruk yang pernah kita
lakukan”.61
Melihat pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa seluruh informan sudah
mengenal konsep rukun Islam yang kelima dengan baik dan pemahaman terhadap
rukun Islam yang kelima seluruh informan, tidak hanya terbatas pada interpretasi
atau pengamalan saja, tetapi mereka juga mampu menjelaskan apa yang dipahami
tentang rukun Islam yang kelima.
60
Wawancara Pribadi dengan SO, Tangerang, 20 Agustus 2008.
61
Wawancara pribadi dengan RH, Tangerang, 30 Agustus 2008.
B. Pengaruh Mitos Haji pada Pemahaman Keagamaan Masyarakat
Muslim Modern.
Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan
tertentu. Berperan sebagai peristiwa permulaan dalam suatu upacara atau ritus,
atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Mitos juga turut
membentuk hakikat tindakan moral, serta menentukan hubungan ritual antara
manusia dengan penciptanya, atau dengan kuasa-kuasa yang ada.62
Sedangkan dalam pandangan lain mengatakan, keberagamaan yang berciri
mitologis bisa melahirkan sikap radikal yang muncul dalam dua bentuk
paradoksal. Pertama, radikalisme eskapis, berusaha melepaskan kehidupan
duniawi, hidup bertapa, membebaskan diri dari berbagai kenikmatan duniawi
yang dianggap racun dan bersifat maya. Kedua, membangun komunitas eksklusif
sebagai wadah dan idendtitas kelompok. yang menganggap dunia sekitarnya
dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan.63
Terlepas dari beragamnya pandangan tentang fungsi mitos dalam sebuah
agama, yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah pengaruh mitos
terhadap keberagamaan masyarakat Muslim, dalam hal ini masyarakat Muslim
modern, yang telah mengedepankan pola pikir dan tata kerja yang berdasarkan
rasionalitas serta menyingkirkan unsur-unsur irrasional seperti mitos dalam
penyusunan nilai-nilai sosial mereka.
Dalam bab II telah diuraikan beberapa contoh mitos-mitos haji. Kasus-
kasus seperti tersesat, kehilangan sandal, kecopetan, ditipu, terinjak, ataupun
62 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal.149-150. 63
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”.
mendapat pertolongan secara gaib dari malaikat dalam wujud manusia dan lain
sebagainya, banyak dialami oleh para jama’ah haji.
Dalam penelitian ini, seluruh informan mengaku pernah mendengar,
melihat ataupun mengalami secara langsung kejadian-kejadian tersebut, walaupun
kejadian-kejadiannya tidak sama seperti yang telah diungkapkan dalam paragraf
sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan ketika sedang
melaksanakan ibadah haji dialami sendiri oleh beberapa informan yang telah
melaksanakan ibadah haji, diantaranya FH, NH, dan RH.
FH mengungkapkan bahwa ia pernah tersesat ketika ia hendak pulang dari
Masjid Nabawi, menurut FH, penyebabnya adalah karena terbersit dalam
benaknya sedikit kesombongan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh FH : ” Pada
waktu di Masjid Nabawi, ada seorang ibu sesama petugas haji yang jatuh sakit.
Ibu itu bertanya kepada saya: “Bapak bisa pulangkan tanpa saya?”. Saya merasa
disepelekan, padahal saya adalah seniornya. Dan ketika saya hendak pulang, saya
lupa jalan pulang dan tersesat.”64
Kejadian tersebut dipahami AF sebagai pembelajaran, sebagaimana yang
diungkapkan oleh FH: “Saya menganggap kejadian-kejadian itu sebagai
pembelajaran, karena kedekatan orang mukmin terhadap Allah SWT pada saat
haji, sehingga kejadian sekecil apapun diamati-NYa”.
Pengalaman yang tidak menyenangkan juga dialami oleh NH, kaki kiri NH
bengkak hingga ia pulang dari melaksanakan ibadah haji, menurut NH kejadian
64
Wawancara Pribadi dengan AF, Tangerang, 26 Agustus 2008.
ini karena ia menendang botol bekas air minum ketika sedang berjalan pulang dari
Masjid. “...waktu saya sedang berjalan pulang dari masjid, saya iseng menendang
botol bekas minuman yang sudah tidak ada isinya, saat itu juga kaki kiri saya
bengkak hingga saya pulang haji. Padahal saya menendang botol itu tidak keras.
Menurut NH, peristiwa aneh yang terjadi pada dirinya, memang
mempengaruhi kehidupan religiusnya, terutama dalam hal keimanan kepada Allah
SWT. Sebagaimana yang diungkapkan oleh NH: ”Hal-hal seperti itu memang
mempengaruhi kehidupan religius saya, terutama dalam hal keimanan kepada
Allah SWT, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan
Maha Kuasa”.
Tidak jauh berbeda dengan FH dan NH, RH juga mengalami pengalaman
yang tidak menyenangkan terkait dengan perilakunya sebelum melaksanakan
ibadah haji, RH selalu mencium bau kotoran kucing ketika sedang berada di
Tanah Suci, menurutnya ini terjadi karena ia sangat membenci kucing dan selalu
bersikap kasar terhadap kucing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh RH: “Saya
selalu mencium bau kotoran kucing, padahal orang-orang disekitar saya tidak
mencium bau apapun. Mungkin ini terjadi karena saya sangat membenci kucing
dan selalu bersikap kasar terhadap kucing”.
Kejadian yang dialami oleh RH, memberinya pemahaman bahwa ia harus
memperlakukan semua mahluk ciptaan Tuhan dengan baik.”...Saya jadi lebih
memahami, bahwa kita harus berbuat baik dengan setiap mahluk ciptaan Allah.”
Kejadian yang dialami oleh para informan diatas, diyakini oleh mereka
sebagai balasan dari perilaku mereka yang kurang baik. Pengalaman buruk itu
dipahami juga sebagai tulah, kuwalat atau pembalasan.
Dari pernyataan-pernyataan para informan diatas menggambarkan, bahwa
peristiwa-peristiwa aneh (gaib) yang menimpa para jamaaah haji selalu dikaitkan
dengan perilaku para jamaah haji. sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Su’ud,
dalam konteks haji, memang sudah menjadi kepercayaan umum bahwa apa yang
dialami di tanah suci adalah ‘cermin kehidupan’ orang yang bersangkutan. Jika
perjalanan hajinya mulus, pertanda ia orang “baik-baik”, tetapi jika sebaliknya
berarti dia adalah “pendosa”. Dan salah satu konsekuensinya harus menerima
ganjaran yang setimpal secara tulus-ikhlas.65
Berbeda dengan FH, NH, dan RH, yang mempunyai pengalaman yang
tidak menyenangkan ketika sedang melaksanakan ibadah haji, SO justru
mengalami pengalaman yang menyenangkan. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh SO: ”ditanah suci pengalaman saya yang paling berbekas adalah saat saya
thawaf. Ketika semua orang saling berdesakan saya merasakan jalan saya longgar
sekali, seolah-olah jalan dibukakan untuk saya.”66
Menurut SO, kejadian aneh (gaib) yang dialaminya merupakan sesuatu
yang ingin diperlihatkan oleh Allah SWT, bahwa segala perilaku manusia pasti
akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. ”kejadian aneh yang saya alami,
merupakan sesuatu yang ingin diperlihatkan oleh Allah SWT, bahwa segala
65 Abu Su’ud, “Mitos-mitos dalam Haji”. 66
Wawancara Pribadi dengan SO, Tangerang, 20 Agustus 2008.
perbuatan yang kita lakukan pasti akan mendapat balasan dari Allah SWT dan
agar kita tidak menyimpang dari ajaran Allah SWT.”
Sedangkan AM tidak mengalami kejadian yang aneh ketika sedang
melaksanakan ibadah haji, namun ia melihat sesuatu yang aneh ketika berada di
Makkah. Ia memperhatikan burung dara yang terbang disekitar Ka’bah namun
menurut AM tak ada satupun burung yang terbang diatas Ka’bah. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh AM: ”Di Makkah banyak burung-burung dara yang
berterbangan, namun saya memperhatikan tak ada satupun burung dara yang
terbang di atas Ka’bah. Dan saya perhatikan itu berkali-kali”.67
Menurut AM, hal-hal tersebut membuatnya yakin bahwa Allah Maha
Kuasa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AM: ” Masalah-masalah peristiwa
yang ajaib itu adalah masalah yang tersurat tapi tidak tersirat. Kejadian yang
banyak dialami tapi tidak ada dalam buku. Hal-hal seperti itu membuat kita yakin
bahwa Allah Maha Kuasa.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
mitos-mitos haji turut mempengaruhi pemahaman keagamaan seluruh informan,
serta memberi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan kepada mereka. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa keyakinan terhadap mitos turut membentuk
pemahaman dan kesadaran beragama. Sebagaimana yang dikatakan Nurcholis
Madjid, karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja, maka ia melahirkan
sistem kepercayaan. Jadi utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem
kepercayaan. Dan pada urutannya, utuhnya sistem kepercayaan akan
67
Wawancara Pribadi dengan AM, Tangerang 20 Februari 2009.
menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri yang memberi
manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika). Karena itu tidak ada
manusia yang benar-benar terbebas dari mitos.68
C. Pengaruh Mitos Haji pada Perilaku Keagamaan Masyarakat Muslim
Modern.
Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi yang dapat membedakan
perilaku keagaman masyarakat. Di dalam setiap dimensi tersebut terdapat
beragam kaidah dan unsur-unsur agama yang digolong-golongkan. Sehingga,
perilaku keagamaan dari individu atau kelompok masyarakat dapat
diidentifikasikan dan dinilai. Dan dimensi-dimensi tersebut adalah : dimensi
keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan, konsekuensi-konsekuensi.69
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dimensi pengetahuan terhadap
rukun Islam yang kelima dan pengalaman untuk mengukur pengaruh mitos pada
perilaku keagamaan masyarakat Muslim modern.
Pengalaman-pengalaman aneh (gaib) para informan ketika sedang
melaksanakan ibadah haji, turut membentuk pemahaman dan kesadaran beragama
para informan, karena mitos-mitos tersebut memberi nilai-nilai dan norma-norma
keagamaan kepada mereka. Dan pada urutannya turut mempengaruhi perilaku
keagamaan mereka, karena sistem nilai yang ada pada mitos, yang memberi
68
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Kemanusiaan dan Kemoderenan, hal. xxiii. 69 Roland Robetson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. 295.
manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika). Karena itu tidak ada
manusia yang benar-benar terbebas dari mitos.
Mitos merupakan keyakinan yang tidak bisa diterangkan dengan akal
sehingga kebenarannya sulit dibuktikan secara ilmiah-empiris, namun
pengaruhnya amat kuat dalam menggerakanperilaku orang yang
mempercayainya. Karena sebuah mitos bisa berfungsi sebagai tali pengikat dan
memberi arah perjalanan hidup bagi yang meyakininya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh FH; “Kejadian itu sedikit-banyak
memang mempengaruhi perilaku saya, saya jadi lebih berhati-hati dalam bersikap
dan lebih baik dalam berperilaku”.
Sedangkan NH yang juga mendapat pengalaman yang tidak
menyenangkan ketika sedang melaksanakan ibadah haji, mulai merubah
perilakunya, kini ia takut menendang botol bekas minuman atau membuang
sampah sembarangan, terutama ketika ia sedangberibadah haji. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh NH: “saat kita sedang beribadah haji hati kita harus bersih,
jangan sampai melakukan hal yang kurang baik, walaupun hanya sekedar
menendang botol bekas air.
Tidak jauh berbeda, dengan FH dan NH, peristiwa aneh yang terjadi pad
RH juga mempengaruhi perilaku RH,menurut RH, ia kini lebih bersikap baik
kepada kucing, yang merupakan hewan, yang sangat ia benci. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh RH: “…Sikap saya sama kucing dan mahluk lainnya jadi lebih
baik. Walaupun saya tetap gak suka sama kucing, tapi sekarang saya gak kasar
lagi sama kucing”.
Dilihat dari pernyataan informan diatas dapat dikatakan bahwa, keyakinan
ketika beribadah haji, segala perilaku jama’ah haji akan mendapatkan balasan dari
Tuhan Yang Maha Esa, tampaknya berdampak positif, sehingga seseorang takut
melakukan perilaku buruk selama menunaikan ibadah haji.
Setiap agama memiliki konsep dan keyakinan tentang tempat suci sebagai
“Pusat dunia”, sebuah poros penghubung antara langit-bumi antara dunia-akhirat,
antara yang sakral dan yang profan, antara hidup dan mati, antara manusia-Tuhan.
Bagi umat Islam, Ka’bah di Makkah diyakini sebagi “Rumah Tuhan”, jalan
terdekat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.70
Oleh karenanya, selama di sana,
jamaah haji tidak boleh berperilaku sembrono atau sembarangan, apalagi
berperilaku jahat.
Menurut Abu Su’ud, dalam persepsi orang dari budaya Jawa yang sangat
menghormati orang suci atau para wali, menimbulkan keyakinan bahwa orang
tidak boleh berbuat sembarangan di kawasan makam para wali. Tampaknya
persepsi semacam itu kemudian diterapkan selama menunaikan ibadah haji,
karena Makkah dan Madinah merupakan Tanah Suci atau Haramain, yang tentu
harus lebih dihormati dibanding makam wali.71
Sedangkan menurut SO adanya kejadian tersebut mengingatkannya untuk
selalu menjalankan segala perintah Allah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
SO: ”Adanya kejadian tersebut, mengingatkan saya untuk selalu menjalankan
segala perintah Allah dengan baik dan tentunya lebih baik lagi dalam
berperilaku”.
70
Komaruddin Hidayat, “Mitologi dan Radikalisme Agama”. 71 Abu Su’ud,” Mitos-mitos dalam Haji”.
Tidak jauh berbeda dengan SO, menurut pengamatan penulis kini AM,
lebih khusyu dalam menjalankan ibadahnya. Kini bukan hanya ibadah wajib saja
yang selalu dikerjakan oleh AM, tetapi ibadah-ibadah yang sunnah juga selalu
dikerjakan oleh AM.
AM mengungkapkan bahwa ia kini ingin selalu berdekatan dengan Tuhan
dengan menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh AM: ”yang saya rasakan sekarang saya selalu ingin berdekatan
dengan Allah SWT. Tentunya dengan selalu menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhkan segala laranga-Nya”.
Menurut Dawam Rahardjo, hal ini disebabkan karena pada dasarnya
kehidupan manusia dikuasai oleh mitos-mitos. Hubungan antar manusia dengan
sendirinya dikuasai oleh mitos yang diciptakan oleh manusia sendiri. Manusia
adalah mahluk pencipta mitos. Dan karena itu maka manusia harus bisa hidup
dengan mitos. Sikap kita terhadap sesuatu, ditentukan oleh mitos yang ada dalam
diri kita. Mitos menyebabkan kita menyukai atau membenci yang terkandung
dalam mitos tersebut. Itulah sebabnya maka manusia itu selalu memiliki
prasangka tentang sesuatu yang berkaitan dengan mitos-mitos. Kita hidup dengan
mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian
kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hadapi. Banyak hal
yang sukar untuk dipercayai berlakunya, tapi ternyata berlaku hanya karena
penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan ketakutan kita akan sesuatu
lebih disebabkan karena ketakutan akan sesuatu mitos, bukan ketakutan akan
keadaan yang sebenarnya.72
Hal di atas menggambarkan bahwa, pengalaman-pengalaman gaib yang
dialami para jamaah haji oleh sekelompok orang diceritakan dan dipelihara juga
diteruskan secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu. Perasaan-
perasaan yang bersifat mistik tersebut sulit berubah karena selain didukung oleh
masyarakat, juga karena memuat unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang
berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam mitos itulah
yang kemudian mempengaruhi perilaku keagamaan seseorang.
72 Dawam Rahardjo, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam Agama
dan Kebudayaan, hal. 199.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan secara mendalam pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis menyimpulkan bahwa:
1. Masyarakat Muslim modern di wilayah Kelurahan Karang Mulya
Kecamatan Karang Tengah masih meyakini kebenaran mitos-mitos
haji, dalam hal ini mitos haji seputar pembalasan atas perilaku
jama’ah haji ketika berada di Tanah Air maupun perilaku jama’ah
haji saat sedang melaksanakan ibadah haji.
2. Keyakinan mereka terhadap mitos-mitos haji tersebut, kemudian
turut mempengaruhi pemahaman keagamaan mereka. Mitos
pembalasan haji tersebut, dipahami oleh mereka sebagai salah satu
wujud dari Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan, serta memberi
mereka pemahaman untuk tidak melakukan perbuatan yang
menyimpang dari ajaran Allah SWT.
3. Pemahaman keagamaan itulah yang kemudian menggerakan
perilaku keagamaan mereka, seperti tidak melakukan perilaku
buruk kepada orang lain maupun kepada mahluk lainnya, ketika
mereka masih di Tanah air ataupun selama mereka sedang
menunaikan ibadah haji.
B. Saran-saran
Dari akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis sampaikan kepada
pihak-pihak tertentu, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kepada birokrasi pemerintahan, yang mengurusi segala keperluan jamaah
haji, ada baiknya memperbaiki segala birokrasi yang sudah ada sekarang,
agar kejadian-kejadian buruk yang sering menimpa para jamah haji dapat
diminimalisir.
2. Kepada para guru ngaji dan para ulama, dalam menyampaikan cermahnya
perlu diisi mengenai mitos-mitos haji yang seharusnya tidak perlu
ditakutkan dan dilakukan, yang bertujuan untuk memelihara kemurnian
perilaku ibadah haji agar tidak tercampur dengan perilaku mitos.
3. Bagi masyarakat Muslim modern, ada baiknya lebih rasional dalam
menanggapi mitos-mitos pembalasan atas perilaku jamaah haji, agar tidak
terjadi persepsi yang menyimpang di sekitar perilaku ritus yang kemudian
dibakukan atau disyariatkan menjadi rangkaian ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul, Esai-Esai, Soiologi Agama, Jakarta : Diva Pustaka, 2003. Badudu, J.S dan Zain, Sota Muhammad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, yogyakarta : Kanisius, 2003.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B Pemandu Dunia Sastra Yogyakarta : Kanisius, 1986.
Djamaluddin, M., Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, Yogyakarta : UGM
Press,1995.
Eugene Smith, Donald, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analisis,
Jakarta : CV. Rajawali, 1985.
Faisal, Sanafiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
F.O.Dea, Thomas ., Sosiologi Agama : Suatu pengantar Awal, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1997.
Hidayat, Komaruddin, “Mitologi dan Radikalisme Agama”,
http://www.unisosdem.org . Sumber ini diambil pada tanggal 07 Mei 2008.
Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta : Kanisius, 1989.
Jalaluddin, Psyikologi Agama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000. Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1998.
Myron, Weiner, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1984.
Mukti Ali, H.A., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali,
1987
Rahardjo, Dawam, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitos dalam
Agama dan Kebudayaan, Jakarta : Paramadina, 1996.
Robetson, Roland, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 1995.
Shadily, Hasan. dkk., Ensiklopedia Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru-Vanhoeve,
1983.
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan
Egon Guba, Yogyakarta : PT. Tirta Wacana Yogya, 2001.
Su’ud, Abu, “Mitos-mitos dalam Haji”, http//www.Undisclosed-
Recipient:;"@freelists.org . Sumber ini diambil pada tanggal 20 Agustus
2008. Singarimbun, Masri dan , Effendi, Sofyan, Metodelogi Penelitian Survei, Jakarta :
LP3ES, 1989.
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta : PT Gramedia, 1982.
Veeger, K.J., REALITAS SOSIAL : Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan
Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1993. Wawancara Pribadi dengan AM, Tangerang, 20 Februari 2009.
Wawancara Pribadi dengan FH, Tangerang, 26 Agustus 2008. Wawancara Pribadi dengan NH, Tangerang, 22 Agustus 2008.
Wawancara pribadi dengan RH, Tangerang, 30 Agustus 2008 Wawancara Pribadi dengan SO, Tangerang, 20 Agustus 2008.