Post on 17-Feb-2018
TESIS
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH
TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN
TANAH DI KOTA DENPASAR
LUH PUTU SURYANI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
TESIS
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH
TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN
TANAH DI KOTA DENPASAR
LUH PUTU SURYANI
NIM.0890561039
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH
TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN
TANAH DI KOTA DENPASAR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
LUH PUTU SURYANI
NIM.0890561039
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 16 SEPTEMBER 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH Dr.I Nyoman Suyatna, SH.MH
NIP. 195304011980031004 NIP. 195909231986011001
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K)
NIP.195604191983031003 NIP.195902151985102001
iii
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL 16 SEPTEMBER 2011
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1578/UN14.4/HK/2011 Tanggal 15 September 2011
Ketua : Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH
Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH
Anggota : 1. Prof.Dr.I Made Arya Utama, SH.MH
2. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH
3. I Gede Yusa, SH.MH
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : Luh Putu Suryani
NIM : 0890561039
Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/16 Mei 1967
Alamat : Jl. Hayam Wuruk Gg.XVII No.26 Denpasar
Telp. : (0361) 264635
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tidak menjiplak setengah atau sepenuhnya
tesis orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya dan apabila dikemudian hari ternyata tidak benar, maka saya
bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 5 September 2011
Hormat saya,
Luh Putu Suryani
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan perkenan-Nyalah maka tesis yang
berjudul ” Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka
Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” dapat terselesaikan. Tesis ini disusun dalam
rangka memenuhi kewajiban penulis untuk meraih gelar Magister Hukum pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa
adanya bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
dengan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM), sebagai Rektor Universitas
Udayana yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan S-2 di Universitas Udayana;
2. Ibu Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana yang memberi kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana;
3. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU, selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang juga memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Ilmu
Hukum di Universitas Udayana;
vi
4. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH, Pembimbing I dalam
penulisan tesis ini yang telah membimbing dan memberi arahan serta
semangat untuk menyelesaikan tesis ini;
5. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH, sebagai Pembimbing II yang telah
membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan tesis ini;
6. Bapak Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE.MS, Rektor Universitas Warmadewa
yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis;
7. Ibu NLM Mahendrawati, SH.M Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Warmadewa yang memberikan kesempatan belajar kepada penulis;
8. Seluruh Dosen dan Staf Tata Usaha Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Udayana, yang telah membantu kelancaran proses administrasi
selama mengikuti perkuliahan;
9. Suami dan Anak-anakku tercinta atas doa dan dorongan serta dukungan moril
dan materiil sejak awal kuliah sampai selesainya tesis ini;
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, baik secara
materi maupun pemaparannya, oleh karena itu saran dan masukan dari semua pihak
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum.
Denpasar , September 2011
Penulis
vii
RINGKASAN
Tesis ini berjudul Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalan
Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar. Penelitian ini diawali dengan adanya
kekaburan norma mengenai kewenangan dan mekanisme penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar. Kemudian dari hal tersebut dirumuskan
permasalahannya. Dalam mengkaji permasalahan tersebut dilakukan secara normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual dengan
landasan-landasan teoritis hukum administrasi negara. Penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Setelah bahan hukum terkumpul dilakukan
analisis melalui deskripsi, interpretasi, sistematisasi, dan argumentasi sampai
akhirnya dapat ditarisk suatu kesimpulan.
Dalam Bab II dibahas secara umum mengenai Karakteristik Tanah Terlantar.
Untuk lebih jelasnya dalam Bab ini diuraikan mengenai Hukum Tanah Nasional
yang ditinjau dari Perspektif Filosofis dan Perspektif Hukum. Dari Perspektif
Hukum dibahas mengenai pengertian tanah dalam hukum tanah, hak penguasaan atas
tanah, hak-hak atas tanah. Juga dibahas mengenai fungsi sosial hak atas tanah.
Kemudian dibahas mengenai Tanah Terlantar yang meliputi pengertian tanah
terlantar, kriteria tanah terlantar, kedudukan tanah terlantar.
viii
Pada Bab III, dibahas mengenai Kewenangan dan Mekanisme Penertiban
Tanah Terlantar.Dalam Bab ini diuraikan mengenai Kewenangan Penertiban Tanah
Terlantar yang menguraikan konsep kewenangan, organ yang berwenang dalam
penertiban tanah terlantar, ruang lingkup wewenang dalam penertiban tanah
terlantar.Kemudian dibahas mengenai Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar yang
menguraikan ruang lingkup obyek penertiban tanah terlantar, tata cara penertiban
tanah terlantar.
Selanjutnya dalam Bab IV dibahas tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar
Dalam Rangka Penatagunaan tanah di Kota Denpasar. Dalam Bab ini diuraikan
mengenai pelaksanaan pendayagunaan tanah terlantar, organ yang berwenang dalam
pendayagunaan tanah terlantar, penatagunaan tanah di Kota Denpasar,
pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.
Akhirnya pada Bab V yaitu bagian penutup, dikemukakan mengenai
kesimpulan yang dapat ditarik terhadap pembahasan permasalahan yang disampaikan.
Pada Bab ini juga disampaikan saran-saran yang kiranya dapat memberikan solusi
untuk mengatasi serta memberikan hasil yang diharapkan dalam penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.
ix
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar. Ada dua
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu kewenangan dan
mekanisme penertiban tanah terlantar serta pendayagunaan tanah terlantar dalam
rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan konseptual.Bahan hukum yang dipergunakan
dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tertier. Bahan hukum maupun informasi penunjang lainnya yang telah
terkumpul terlebih dahulu dilakukan deskripsi dengan menguraikan proposisi-
proposisi hukum kemudian diinterpretasikan untuk selanjutnya disistimatisasi,
dievaluasi untuk kemudian diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan
atas permasalahan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan penertiban tanah terlantar
merupakan kewenangan delegasi, dimana Presiden mendelegasikan kewenangannya
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan
penertiban tanah terlantar sesuai dengan ketentuan Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010.
Dalam pelaksanaan penertiban, dibentuk Panitia C yang berwenang melakukan
identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Mekanisme penertiban tanah
terlantar dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu inventarisasi tanah terindikasi
terlantar, identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, peringatan terhadap
pemegang hak, penetapan tanah terlantar. Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota
Denpasar, tanah-tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat
melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan umum negara harus
disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar.
Kata Kunci : Penertiban, Pendayagunaan, Tanah Terlantar, Penatagunaan Tanah
x
ABSTRACT
This research examines about the control and empowering abandon land in
land-use management in Denpasar City. There are 2 (two) main problems are
observed in this research, first: the authority and control mechanism of abandon land
and the second, the empowering of abandon land to land-use in Denpasar.
This research is the normative legal research, which uses the approach of
Statute and conceptual. Legal materials used in this research in the form of primary
legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The legal
materials and other supporting information that had been collected were described by
explaining legal proposition, to be interpreted, systematized, evaluated and analyzed
before giving the arguments in order to achieve conclusions for the problems.
The results showed that control of abandon land is the delegation of
authority, where the President delegates the authority to Head Of National Land
Authority Republic of Indonesia to conduct policing abandoned land in accordance
with the provisions of Article 17 Government Regulation Number 11 of 2010. On
the implementation of the control, Committee C created who responsibles to identify
and research the land which indicates abandon. The mechanism of controlling the
abandon land has been done through few steps those are inventory of land indicates
abandon, identification and research of land indicates abandon, warning the rights’
holders, ascertainment of abandon land. With regards to the land-use management in
Denpasar City; abandon lands empowered to be used for community interest through
agrarian reform; program country strategy and state general reserve which has to be
adjusted to the Layout Plan of Denpasar City Zone.
Key words: The Control, Empowering, Abandon Land, Land-use Management
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i
PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………………………………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ………………..………………………………………. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………………………………………iv
SURAT PERNYATAAN……………………………………………………………..v
UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………………… vi
RINGKASAN………………………………………………………………………viii
ABSTRAK…………………………………………………………………………. x
ABSTRACT………………………………………………………………………… xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………………... xi
BAB I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………....1
1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………12
1.3.Tujuan Penelitian ……………………………………………................13
1.3.1. Tujuan Umum……………………………………………………...13
1.3.2. Tujuan Khusus……………………………………………………..13
1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………..13
1.4.1.ManfaatTeoritis………………………………………………….....13
1.4.2.Manfaat Praktis…………………………………………………… 14
xii
1.5.Landasan Teoritis…………………………………………………….....14
1.6. Metode Penelitian………………………………………………….…..35
1.6.1. Jenis Penelitian………………………………………………… ..35
1.6.2. Jenis Pendekatan…………………………………………… .…..37
1.6.3. Sumber Bahan Hukum………………………………………… 37
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………………………….. ..38
1.6.5. Teknik Analisa Bahan Hukum………………………………… ..39
BAB II. KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR
2.1. Hukum Tanah Nasional …………………………………………...... 41
2.1.1.Perspektif Filosofis…………………………………………… 42
2.1.2. Perspektif Hukum …………………………………………… 45
2.1.2.1. Pengertian Tanah Dalam Hukum Tanah……………..... 45
2.1.2.2. Hak Penguasaan Atas tanah…………………………… 51
2.1.2.3. Hak-Hak Atas Tanah………………………………….. 61
2.1.3. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah……………………………62
2.2. Tanah Terlantar……………………………………………………….64
2.2.1. Pengertian Atau Konsep Tanah Terlantar…...…………………65
2.2.2. Kriteria Tanah Terlantar……………………………………….69
2.2.3. Kedudukan Tanah Terlantar……………………………….......73
xiii
BAB III. KEWENANGAN DAN MEKANISME PENERTIBAN TANAH
TERLANTAR
3.1. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar…………………….76
3.1.1. Konsep Kewenangan………………………………………......76
3.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar….84
3.1.3. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar………87
3.2. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar………………………….......90
3.2.1. Ruang Lingkup Obyek Penertiban Tanah Terlantar……….......90
3.2.2. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar……………………… 101
BAB IV. PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM
RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR
4.1. Pendayagunaan Tanah Terlantar…………………………………...117
4.1.1. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar…………… 117
4.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah
Terlantar………………………………………………………138
4.2. Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar………………………… 152
4.3. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Kaitannya Dengan
Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar ………………………….. 157
xiv
BAB V. PENUTUP
5.1. Simpulan ……………………………………………………………160
5.2. Saran………………………………………………………………. 161
DAFTAR PUSTAKA
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha
Esa serta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan lahan menjadikan tanah
sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan, sehingga terjadi peningkatan
permintaan akan tanah dan bangunan. Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan
menjadi sangat bernilai, sehingga orang yang memiliki tanah dan bangunan akan
sedapat mungkin mempertahankan hak milik atas tanahnya. Selain itu sebagai salah
satu faktor produksi, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam
kehidupan manusia, hal ini dapat dimaklumi bahwa manusia akan senantiasa
memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemukiman dan nantinya
untuk pemakaman.
Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan
sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi
sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga
memberikan penghidupan baginya.1 Tanah merupakan sumber hidup
dan kehidupan bagi manusia. Tanah mempunyai fungsi yang sangat
1 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.172
2
strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk
pembangunan. Karena ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan
kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan
kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga pengelolaannya harus
berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip dasar
itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945
menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebutkan
UUPA menyebutkan : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3)
disebutkan “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat (2) adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Hubungan yang bersifat abadi artinya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam
generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya. Oleh karena itu sumber daya
alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau ditelantarkan. Sehubungan
dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan
pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan
dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi
3
rakyat, terutama bagi golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian
kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan demikian penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas
tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah
dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan
pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun
penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak
produktif.
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan
yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak
yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak
pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya
ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-
ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya rasa keadilan dan
harmoni sosial.
Untuk itu perlu ditumbuhkan pengertian akan pentingnya arti penggunaan
tanah sesuai dengan kemampuan peruntukkannya, sehingga tercapai penggunaan
tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan antara
berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam mewujudkan kesejahteraan
4
rakyat.Tertib penggunaan tanah merupakan sarana untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna tanah secara optimal.2
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya
disebut RPJMN II Tahun 2010-2014, Buku II, Bab IX, sub 3 tentang Arah kebijakan
dan Strategi Pembangunan mengenai pertanahan dinyatakan :
Arah kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai sasaran pembangunan
pertanahan adalah “Melaksanakan pengelolaan pertanahan secara utuh dan
terintegrasi melalui Reforma Agraria, sehingga tanah dapat dimanfaatkan
secara berkeadilan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan turut
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Arah kebijakan tersebut ditempuh melalui strategi sebagai berikut :
(1) peningkatan penyediaan peta pertanahan dalam rangka legalisasi asset
dan kepastian hukum hak atas tanah;
(2) pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(P4T) termasuk pengurangan tanah terlantar;
(3) peningkatan kinerja pelayanan pertanahan;
(4) penataan dan penegakan hukum pertanahan serta pengurangan potensi
sengketa .
Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial, ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dapat
dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya
keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya.
2 Soetomo, 1986, Politik Dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional, Surabaya,
Indonesia, hal. 73.
5
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada
haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut
tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan
perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu
kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Dalam kehidupan masyarakat, tanah memegang peranan yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup mereka masing-masing. Oleh karena itu sebagian besar
kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah merupakan tempat tinggal bagi
manusia dimana mereka hidup dan merupakan sumber penghidupan bagi manusia
terutama bagi mereka yang penghidupannya dari usaha pertanian. Selain itu pula
tanah merupakan harta yang bersifat permanen, karena dicanangkan bagi kehidupan
mendatang serta tidak dapat diperbaharui.3 Oleh karena itu memerlukan penanganan
yang serius dan professional. Dengan meningkatnya pembangunan disegala bidang,
baik pertanian, pemukiman, perindustrian maka kebutuhan akan tanah semakin
meningkat pula. Dengan meningkatnya kebutuhan tanah semakin meningkat pula
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus segera diselesaikan.
Sementara itu Hiroyoshi Kano menyatakan bahwa menjelang akhir abad ke-
20 masalah tanah makin menjadi isu sentral bagi gerakan sosial di Indonesia.
3 Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung,
hal.1.
6
Hampir setiap hari dilaporkan dalam media massa adanya sengketa tanah sebagai
hasil dari perubahan-perubahan cepat dalam struktur ekonomi yang makin cepat sejak
pertengahan tahun 1980-an4. Dibandingkan dengan yang terjadi di masa lalu,
sengketa-sengketa yang terjadi saat ini tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan
untuk pertanian tetapi juga pada tanah yang digunakan untuk semua jenis
pembangunan seperti kehutanan, real estate, pariwisata, pertambangan, pembangunan
jalan, bendungan, kawasan industri serta lapangan golf. Demikian pula kebanyakan
dari sengketa tanah itu berkaitan dengan pertentangan hak dan kepentingan antara
penduduk lokal dengan kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras mencari
keuntungan komersial dari proyek-proyek tersebut.
Persoalan tanah yang secara potensial mesti memberikan nilai lebih bagi
peningkatan hasil-hasil pembangunan demi kesejahteraan masyarakat bangsa
Indonesia tidak dapat dilaksanakan atau diberikan oleh pemerintah karena tidak
semua bidang tanah dikuasai oleh Negara. Hanya sebagian saja tanah-tanah dikuasai
oleh Negara, selebihnya bidang-bidang tanah dikuasai oleh warga negara, orang-
perorangan maupun badan hukum.
Di dalam kepemilikan, penguasaan tanah baik sejengkal maupun sampai
berhektar-hektar sepanjang diusahakan, digunakan, dimanfaatkan secara baik dan
memberikan nilai tambah bagi tanah-tanah tersebut, pajak bagi negara sangatlah baik
sesuai dengan yang diharapkan di dalam UUPA. Tetapi dengan perkembangan dunia
4 Hiroyoshi Kano, 1997, Tanah dan Pajak Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan
Sejarah Perbandingan,dalam Tanah dan Pembangunan, Penyunting Noer Fauzi, Cetakan Pertama,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 31.
7
ekonomi dan kemajuan jaman global tidaklah sedikit yang telah menguasai tanah
berhektar-hektar tetapi tidak memanfaatkan tanah, mengolah tanah, membangun
diatas tanah tersebut sesuai dengan permohonan izin dan rencana proyek yang telah
dimiliki investor sampai bertahun-tahun.
Sekarang ini nilai guna tanah di Provinsi Bali, khususnya di Kota Denpasar
sungguh tinggi sekali. Tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa investasi yang
paling bermanfaat di Bali sekarang ini adalah tanah. Hal itu disebabkan oleh iklim
pariwisata yang kini sudah tidak bisa dikatakan sekedar meningkat tetapi terus
berkembang. Investor membeli tanah berhektar-hektar karena diperkirakan akan
mempunyai potensi positif di masa depan, tetapi tanah itu justru dibiarkan atau tidak
dimanfaatkan atau diusahakan. Ada ratusan hak atas tanah yang dikuasai investor
yang ditelantarkan dan mesti diambil langkah-langkah oleh Pemda agar segera dapat
dimanfaatkan sesuai dengan permohonan peruntukannya.5
Sebagai pelaksanaan reformasi di bidang pertanahan, masalah tanah terlantar
perlu mendapat penanganan segera oleh Kantor pertanahan dan Pemerintah Kota
Denpasar karena masalah ini sangat rumit jika melihat adanya estalasi dari harga-
harga tanah, jangan sampai tanah dijadikan barang komoditas ataupun spekulasi yang
bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Keberadaan tanah-tanah yang ditelantarkan dalam arti tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya di Kota Denpasar apabila
tidak dilakukan penertiban dan penatagunaan tanah akan membawa dampak yang
5 Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post, Tgl.18 Agustus,
hal. 6.
8
sangat merugikan seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, lingkungan,
kesehatan dan kesejahteraan. Kota Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali
dan sebagai tujuan kunjungan wisata akan kelihatan kumuh, tidak terawat, dan
terlihat tidak tertata dengan baik. Dalam penataan tanah - tanah yang ditelantarkan,
Pemerintah Kota Denpasar dapat mendorong pemegang hak untuk mengusahakan dan
memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian
haknya sehingga dapat mewujudkan visi misi kota Denpasar yang berwawasan
budaya.
UUPA dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa “ Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”, Pasal 10 mewajibkan para pemegang hak atas tanah
mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif, Pasal 15 mewajibkan kepada
pemegang hak atas tanah untuk memelihara, menambah, dan menjaga kelestarian
tanahnya. Hal ini juga diikuti dengan ketentuan sanksi yaitu pada Pasal 27 huruf a
angka 3, Pasal 34 huruf e, dan Pasal 40 huruf e yang menentukan bahwa semua hak
atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut
ditelantarkan.
Upaya yuridis yang dilakukan pemerintah untuk menertibkan tanah yang
ditelantarkan, dalam arti belum dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian haknya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang diundangkan pada
tanggal 22 Januari 2010. Sebelumnya upaya secara yuridis untuk menangani tanah
terlantar telah dilakukan Pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
1998. Peraturan Pemerintah itu dimaksud untuk memperjelas kriteria tanah terlantar
9
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 UUPA yang menyebutkan tanah
ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya
atau sifat dan tujuan daripada haknya, bagaimana melakukan penilaian serta sanksi
terhadap pihak yang dipandang telah melakukan penelantaran tanah. Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 ini tidak dapat berjalan efektif karena tidak
jelasnya mengenai kriteria tanah terlantar, kewenangan dan mekanisme dalam
melakukan penertiban tanah terlantar. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 24 Tahun 2002. Dalam keputusan tersebut diatur mengenai kriteria tanah
terlantar, tata cara identifikasi tanah-tanah yang diduga ditelantarkan, namun
kenyataannya di lapangan penerapannya belum maksimal sesuai dengan yang
diharapkan. Walaupun telah ada instrumen hukumnya, namun pelaksanaan penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 mengatur tentang obyek
penertiban tanah terlantar, identifikasi dan penelitian, peringatan, penetapan tanah
terlantar, pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Dari sudut pandang
kaijian hukum normatif, terjadi kekaburan norma mengenai mekanisme kewenangan
dalam melakukan penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai pihak yaitu
Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa identifikasi dan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia. Kemudian dalam Pasal 5
ayat (2) ditentukan susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
10
terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur
oleh Kepala. Disamping itu ketentuan tentang pendayagunaan tanah negara bekas
tanah terlantar tidak diikuti dengan aturan yang mengatur mengenai mekanisme atau
prosedur pendayagunaan tanah terlantar, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat
(2) yang menentukan bahwa Peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala.
Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan
dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk
dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang
agraria. Dengan demikian penertiban tanah terlantar merupakan persoalan yang baru
berkembang sehingga belum banyak penelitian yang mengkaji persoalan tanah
terlantar.
Kelangkaan penelitian persoalan penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar ditunjukkan juga dari penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum baik
yang berkaitan dengan berbagai karya tulis berupa skripsi, tesis, disertasi maupun
buku ilmiah melalui media cetak dan elektronik yang ada di Universitas Udayana,
ternyata belum ada yang menelitinya. Dari hasil penelusuran ditemukan hal-hal
sebagai berikut :
Pertama, tesis atas nama Indra Ardiansyah, mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul “Akibat Hukum Bagi
Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Pengaturan Tanah Terlantar
11
(Studi Pada Wilayah Cisarua Kabupaten Bogor)” dengan permasalahannya : (1)
Bagaimana akibat hukum terhadap pemilik hak atas tanah yang diterlantarkan, (2)
Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak yang menguasai dan mengelola tanah
terlantar, (3) Bagaimana upaya penanggulangan penguasaan dan pemilikan tanah
yang diterlantarkan.
Kedua, tesis atas nama I Putu Agus Suarsana Ariesta, mahasiswa Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul “Penataan
Tanah Perkotaan Dalam Upaya Meningkatkan Daya Guna Dan Hasil Guna
Penggunaan Tanah Melalui Konsolidasi Tanah (Land Consolidation) Di Denpasar
Utara-Bali” dengan permasalahannya : (1) Bagaimana pelaksanaan konsolidasi
tanah ( land consolidation) Perkotaan di Kelurahan Tonja dan Desa Dangin Puri
Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, (2) Hambatan-hambatan apa yang
terjadi dan cara penyelesaiannya, (3) Manfaat apa yang diperoleh pemilik tanah
yang terkena konsolidasi tanah (land consolidation) dan Pemerintah Kota Denpasar.
Ketiga, disertasi atas nama Suhariningsih, mahasiswa Program Studi S3
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan judul “ Aspek Yuridis Tanah
Terlantar Dan Penyelesaiannya, Studi Terhadap Lahan HGU (Perkebunan) Terlantar
Di Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jawa Timur” dengan permasalahannya
: (1) Apakah asas hukum yang terkandung dalam konsep tanah terlantar menurut
hukum tanah nasional, (2) Bagaimanakah kejelasan konsep tanah terlantar dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan, (3) Apakah kendala-kendala yang dihadapi
Pemerintah dalam melakukan penertiban tanah terlantar HGU (perkebunan) di SWP
12
Jawa Timur, (4) Bagaimanakah penyelesaian masalah tanah terlantar HGU
(perkebunan) di SWP Jawa Timur.
Sedangkan tesis ini berjudul “Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” dengan
permasalahannya : (1) Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang
melibatkan berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, (2)
Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.
Dilihat dari judul dan kajian permasalahan tesis ini dengan tesis-tesis dan
disertasi yang sebelumnya mengkaji permasalahan dari sudut pandang yang berbeda
maka dapat disimpulkan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya,
sehingga penelitian tesis ini dapat dijamin keasliannya dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi isinya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka diajukan 2
(dua) masalah pokok yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :
a. Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan
berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
b. Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota
Denpasar.
13
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan
tujuan yang bersifat khusus.
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum
Administrasi, khususnya bidang Hukum Pertanahan, melalui pemahaman tentang
tanah terlantar.
1.3.2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek
normatifnya, tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang
dibahas yakni :
a. untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai kewenangan dan
mekanisme penertiban tanah terlantar.
b. untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai pendayagunaan
tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota Denpasar.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat
baik yang bersifat teoritis maupun praktis .
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Administrasi, khususnya pada bidang Hukum
Pertanahan yang berkaitan dengan tanah terlantar.
14
1.4.2. Manfaat Praktis.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
kepada Pemerintah, masyarakat, maupun peneliti sendiri. Adapun manfaat yang
dimaksudkan adalah sebagai berikut :
a. Bahan masukan bagi pemerintah dalam menjalankan kewenangan penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah.
b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan bahwa pada prinsipnya tanah harus dikerjakan sendiri, tanah
berfungsi sosial, tanah benar-benar dimanfaatkan sehingga tidak terjadi tanah-
tanah terlantar.
c. Bagi peneliti sendiri, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga
untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemanfaatan tanah
dalam rangka penatagunaan tanah sehingga tidak ada tanah tanah terlantar.
1.5. Landasan Teoritis.
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum,
konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, doktrin yang akan dipakai sebagai landasan
untuk membahas masalah penelitian.
Dalam pembahasan masalah penelitian ini akan digunakan beberapa teori,
konsep, asas dan pendapat-pendapat para ahli antara lain konsep Negara Hukum,
Teori Kewenangan, konsep Tindak Pemerintahan, Asas-asas Umum Pemerintahan
Yang Baik, konsep Penertiban, Pendayagunaan,Tanah Terlantar dan Penatagunaan
Tanah.
15
1.5.1. Konsep Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan “Indonesia adalah
Negara Hukum”. Mengenai landasan filosofis dari Negara Hukum Indonesia adalah
Pancasila.6 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
di wilayah Negara Indonesia.
Untuk dapat mengetahui bahwa suatu Negara dikatakan sebagai Negara
hukum dapat dilihat dari konstitusi Negara yang bersangkutan. K.C. Wheare
menyatakan “ what should a constitution contains? The very minimum, and minimum
to be rules of law “ ( isi minimum suatu konstitusi adalah tentang Negara
hukum)7.Selain itu Negara dikatakan sebagai Negara Hukum dapat dilakukan melalui
penelusuran pandangan ilmiah para ahli, yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri
suatu Negara Hukum. Friedrich Julius Stahl mengemukakan ciri-ciri Negara Hukum
yaitu :
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan
6 Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum
Pancasila, Cet.ke-1, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 2.
7 K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page.
33-34.
16
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.8
Melengkapi pandangan mengenai ciri-ciri Negara Hukum, Frans
Magnis Suseno mengemukakan ciri-ciri Negara Hukum sebagai berikut :
1. Asas Legalitas;
2. Kebebasan / kemandirian kekuasaan kehakiman;
3. Perlindungan Hak asasi manusia; dan
4. Sistem Konstitusi / hukum dasar.9
Sedangkan Negara Hukum menurut Joeniarto adalah kekuasaan Negara
dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat).
Lebih lanjut ditambahkan bahwa tujuan dari negara hukum adalah adanya
pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Disamping itu suatu negara dapat
dikatakan sebagai negara hukum perlu diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya
yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar beserta peraturan pelaksanaannya, dan
yang terpenting dalam praktek sudah dilaksanakan atau belum.10
A. Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapatnya Van Wijk dan
Konijnenbelt, di dalam suatu Negara Hukum dapat diketemukan adanya wawasan-
wawasan sebagai berikut :
a. pemerintahan menurut hukum ( wetmatigheid van bestuur), dengan bagian-
bagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas tentang
perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum ;
b. perlindungan hak-hak asasi;
8 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang,
Jawa Timur, hal. 42.
9 F. Magnis Suseno, 1991, Etika Politik, Prinsip - Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta, hal. 298-301.
10 Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.
8.
17
c. pembagian kekuasaan dengan bagian-bagiannya tentang struktur kewenangan
atau desentralisasi dan tentang pengawasan serta kontrol;
d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan.11
Negara Hukum yang dianut Negara Indonesia tidaklah dalam artian formal,
melainkan dalam artian material yang juga diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan
(Welfare State).12
Muchsan dalam kaitan ini menunjukkan bukti-
bukti Negara Indonesia sebagai Negara hukum dengan mengacu pada 2 (dua) hal yak
ni :
1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah Negara (sila kelima)
adalah keadilan sosial. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada
kesejahteraan dari pada warganya;
2. Dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan
pembentukan negara Indonesia, salah satunya adalah memajukan
kesejahteraan umum.13
Untuk mewujudkan adanya kesejahteraan rakyat, negara dan pemerintah
Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi
dituntut untuk turut serta secara aktif (proaktif) dalam semua aspek kehidupan dan
penghidupan rakyat. Konsekuensinya, lapangan pemerintahan yang diemban
pemerintah menjadi sangat luas. Lemaire mengemukakan Pemerintah mengemban
tugas “Bestuurszorg”14
yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Dengan semakin banyaknya campur tangan pemerintah / negara dalam
berbagai kehidupan masyarakat, bagi Negara hukum modern seperti Indonesia,
11 A. Hamid S, Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara , Suatu Studi Analisa
Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 311.
12 E..Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet.ke -4, FHPM
Univ. Negeri Padjajaran, Bandung, hal. 21-22.
13 Muchsan , 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 70.
14
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok - Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 40.
18
tindakan pemerintah tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan
atau perbuatan pemerintah / negara tersebut tidak menimbulkan konflik di kemudian
hari, sebagaimana disebutkan oleh Norbert Wiener bahwa “ Law may be defined as
the ethical control applied to communication, and to language as a form of
communication, esdecially when this normative aspect is under the control of some
authority sufficiently strong to give its decisions an effective social sanction”.15
Pada
pihak lain, John Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of
positive law, consistsin it’s imperative character. Law is conseived as a command of
the sovereign .16
Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa Negara dimana hakikat
dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah.Dari konsep tersebut diatas
dipandang perlu adanya suatu perlindungan oleh pemerintah terhadap masyarakat
melalui peraturan berupa hukum positif yang bersifat memaksa.
Secara normatif, campur tangan pemerintah dimaksud dituangkan ke dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut maka kekuasaan pemerintah
menjadi dibatasi di dalam bertindak dan sekaligus memberi pedoman bagi
masyarakat di dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Fungsi dari peraturan
perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Sudargo Gautama sebagaimana dapat
disimak dari pernyataannya yang mengemukakan “Peraturan-peraturan perundang-
15 Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society, Garden
City, New York, Page. 105.
16
H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press
Limited, London, Page.14.
19
undangan yang telah diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak
negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-
peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.17
Dalam pembidangan ilmu hukum, peraturan perundang-undangan yang
memberikan batas kekuasaan bertindak pemerintah dalam hubungannya dengan
rakyat merupakan obyek kajian hukum administrasi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Kirdi Dipoyudo yang menyatakan : “Negara pada hakikatnya adalah suatu kesatuan
sosial atau organisasi yang mengatur dan menertibkan hubungan-hubungan antara
para warganya dengan kekuasaan demi tercapainya kesejahteraan rakyat.”18
Ada
beberapa konsekuensi yang muncul dalam suatu negara hukum material atau negara
kesejahteraan, diantaranya adalah :
a. Semakin banyak tindakan pemerintahan yang dilakukan organ-organ
pemerintah;
b. Tugas-tugas Negara menjadi semakin kompleks;
c. Badan pembuat undang-undang mempunyai kecendrungan kurang mampu
mempertimbangkan situasi-situasi konkrit yang akan terjadi;
d. Badan-badan legislatif akan memberikan lebih banyak kebebasan kepada
pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan;
e. Dikaitkan dengan aspek perlindungan hukum bagi rakyat akan
memungkinkan lahirnya sengketa antara rakyat dan pemerintah sebagai akibat
kekosongan aturan hukum.
17 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal.3.
18
Kirdi Dipoyudo, 1981, Negara dan Ideologi Negara, Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta,
hal.3.
20
Dalam kaitannya dengan penelitian ini konsep negara hukum harus
dikedepankan, digunakan dalam rangka tindakan pemerintah dalam melakukan
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Dengan demikian konsep ini dapat
bermanfaat untuk melakukan klarifikasi dan pembenaran ilmiah dalam kaitan dengan
judul penelitian.
Asas-asas negara hukum sangat relevan sebagai landasan teoritis dalam
pembahasan ini karena pemerintah dalam melaksanakan tindakan penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar harus dilandasi aturan yang tegas berdasarkan
peraturan perundang-undangan sehingga tindakan pemerintah dapat dibenarkan
menurut hukum. Tujuannya, agar pemerintah dalam melakukan tindakan penertiban
dan pendayagunaan tanah-tanah yang ditelantarkan oleh masyarakat tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang maupun sewenang-wenang, maka pemerintah hendaknya
tidak diskriminatif, dengan hanya mementingkan sekelompok orang saja, adanya
peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga
negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang.
1.5.2. Teori Kewenangan
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan
pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum
yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat dari
21
Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga
Negara dalam menjalankan fungsinya.Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.19
Menurut Indroharto, kewenangan dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan
yang diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum.20
Philipus M. Hadjon mengemukakan ada 2
( dua) sumber untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun
dikatakan pula bahwa kadangkala mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam
memperoleh wewenang.21
Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam bukunya Indroharto yang berpendapat
bahwa cara perolehan wewenang pada hakikatnya melalui cara atribusi dan delegasi,
sebagaimana dapat disimak dari pendapat beliau :
Hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan
delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada
(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif)
kepada organ lain ; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh
atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan apapun, sebab
yang ada hanyalah hubungan internal, seperti menteri dengan
pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri,
sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap
19 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi
di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154.
20 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 68.
21 Philipus M . Hadjon, dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia
( Introduction to the Indonesia Administrative Law ), Cet. I, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, hal.128-129.
22
berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan secara teknis,
sedangkan menteri secara yuridis.22
Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang. Dalam Pasal 33 ayat (3)UUD
1945 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari kata dikuasai oleh Negara terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan
dilaksanakan oleh Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah
Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi dibentuklah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau
pertanahan sebagai bagian dari bumi.
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi
dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,
menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),
menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak
menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan
penguasaan daan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, dimana di bidang
eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan
kepada Menteri.23
22H.R. Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal .46.
23
Edy Ruchiyat, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi
Kedua, Alumni, Bandung, hal.11.
23
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak
menguasai negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat
hukum adat. Dengan demikian wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat
dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Pelimpahan wewenang di
bidang pertanahan menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut sepenuhnya
terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar
kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau masyarakat
hukum adat.
Menurut Budi Harsono, kewenangan negara berdasarkan Pasal 2 UUPA
meliputi bidang legislatif yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam
arti menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti
menyelesaikan sengketa tanah baik antar rakyat maupun antar rakyat dengan
Pemerintah.24
Senada dengan pendapat Budi Harsono, Imam Sutiknjo mengatakan bahwa
wewenang yang diperoleh dari hak menguasai Negara di tingkat pusat ada di tangan
Pemerintah. Wewenang tersebut sebagian dapat dilimpahkan kepada pejabat daerah
sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerahnya masing-masing guna membantu
kelancaran pembangunan daerah. Dalam prakteknya pelaksanaan tugas dan
wewenang di bidang keagrariaan dilakukan oleh instansi agraria di masing-masing
daerah atas nama kepala daerah.25
24 Budi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.273.
25 Imam Sutiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal.56-57.
24
Dengan demikian kewenangan dibidang pertanahan adalah kewenangan
Pemerintah Pusat, meskipun ada sebagian kewenangan yang didelegasikan kepada
pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota. Pelimpahan wewenang
Pemerintah di bidang pertanahan kepada pejabat daerah yang menjadi wakil
Pemerintah secara normatif hanya diberikan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah
Provinsi. Sedangkan Bupati dan Walikota selaku Kepala Daerah Kabupaten dan Kota
menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk sebagai
Wakil Pemerintah di Daerah. Kewenangan Bupati dan Walikota di bidang pertanahan
jika ditilik berdasarkan UUPA bersumber dari pelimpahan wewenang yang diberikan
oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah yang mendapat wewenang
berdasarkan delegasi dari Pemerintah Pusat.
Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UUPA maka kewenangan
menetapkan kebijakan pertanahan dilaksanakan oleh pemerintah Pusat dan
pelaksanaan kebijakan itu sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah
berdasarkan kewenangan delegasi. Kewenangan sangat relevan sebagai landasan
teori dalam pembahasan ini, karena keabsahan tindakan pemerintah dalam penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.5.3.Konsep Tindak Pemerintahan
Perwujudan tugas pemerintah dapat dilihat dari perbuatan atau tindakan
pemerintahan. Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Victor Situmorang
mengartikan tindakan pemerintahan adalah pemeliharaan kepentingan negara dan
rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan (prinsip
25
hierarki). Spontan artinya segera atas inisiatif sendiri menghadapi keadaan dan
keperluan yang timbul satu demi satu termasuk dalam bidangnya demi untuk
kepentingan umum. Dengan kata lain tidak menunggu perintah atasan serta atas
tanggungjawab sendiri.26
Van Wijk dan Konijnenbelt sebagaimana dikutip oleh Johanes Usfunan
membedakan tindakan pemerintahan sebagai berikut :
a. Keputusan Pemerintah yang berkaitan dengan perbuatan material.
b. Tindakan-tindakan hukum yang meliputi :
1. Tindakan hukum intern.
2. Tindakan hukum ekstern yang meliputi :
a. Tindakan hukum perdata ekstern .
b. Tindakan hukum publik ekstern yang meliputi :
1. Tindakan hukum publik ekstern yang banyak pihaknya.
2. Tindakan hukum publik ekstern yang bersifat sepihak meliputi :
a. Bersifat umum ( umum abstrak – umum konkrit )
b. Bersifat individual meliputi individual abstrak dan individual
konkrit.27
Sedangkan Philipus M. Hadjon memberikan gambaran lebih operasional,
dimana beliau menjabarkan tindak pemerintahan secara konkrit, seperti keputusan-
keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan tindakan hukum perdata
serta tindakan nyata.28
Mendasarkan pada berbagai pandangan diatas, maka dapat disimak bahwa
tindak pemerintahan adalah tindakan hukum publik yaitu segala tindakan dan
kewenangan alat-alat pemerintahan untuk menjalankan tugas atau fungsi
pemerintahan dengan menggunakan wewenang khusus atau tertentu yang dapat
26 Victor Situmorang, 1989, Dasar - Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina
Aksara, Jakarta, hal.100.
27 Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,
Jakarta, hal.30.
28 Ibid, hal.33
26
menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi. Tindak pemerintahan
(berstuurshandeling) dapat digolongkan menjadi dua golongan, yakni tindak
pemerintahan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang
berdasarkan fakta atau tindakan materiil (feitelijke handeling). Tindak pemerintahan
yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua macam tindakan yaitu Tindakan
Hukum Privat dan Tindakan Hukum Publik. Tindakan hukum publik dapat dibagi
menjadi dua yaitu tindakan hukum publik yang bersegi satu atau sepihak dan
tindakan hukum publik yang bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan hukum
publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual. Tindakan hukum
publik sepihak yang bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau
regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum
publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan atau
beschikking .
Konsep tindak pemerintahan ini relevan dengan penelitian tesis, karena
tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
menimbulkan akibat hukum atau kewajiban bagi pemegang hak atas tanah agar
menggunakan, mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan
peruntukannya atau hak atas tanahnya hapus dan menjadi tanah negara.
1.5.4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma bagi
perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma
di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma hukum tidak tertulis yang
27
senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan
dalam menjalankan pemerintahan.
Donner dan Wiarda membagi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
ke dalam 5 (lima) macam yaitu :
1. Asas Kejujuran (fair play)
2. Asas Kecermatan (zorgvuldigheid)
3. Asas Kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk )
4. Asas Keseimbangan ( evenwicthtigheid )
5. Asas Kepastian Hukum ( rechts zakerheid )29
Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13 ( tigabelas) asas-asas umum
pemerintahan yang baik yaitu :
1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)
2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)
3. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)
4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation )
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of
competence )
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality)
7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play)
8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of
arbitrariness)
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar ( Principle of meeting raised
expectation )
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the
consequences of unneled decision )
11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the
personal way of life )
12. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently)
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )30
29 Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi
dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung , hal. 145.
30 Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hal. 28.
28
Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum,
selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang
bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi.
2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas
mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang
dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada.
3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak
cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga
negaranya.
4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap
keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang
cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan.
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek
wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam
undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang
berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas.
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan
pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama.
29
7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan
serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan.
8. Asas Keadilan dan Kewajaran, asas ini menghendaki pejabat tata usaha
Negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang
dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat.
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga
Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah.
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika
terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang
terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau
pengembalian nama baik.
11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki
pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi
negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi
setiap warga negara.
12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan
kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan
formal atau hukum tertulis.
30
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan
umum.
Tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga tindakan
pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat atau
pihak-pihak yang terkena tindakan tersebut.
1.5.4. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat
dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan ( atau tidak dipergunakan) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat.
Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun
bagi masyarakat dan negara.
Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum ( masyarakat ). UUPA memperhatikan
pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan
kebahagiaan bagi rakyat selurunya.
Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburan serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang
31
haknya melainkan menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi yang
mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu.31
1.5.5. Konsep Penertiban, Pendayagunaan, Tanah Terlantar dan Penatagunaan
Tanah
Penertiban berasal dari kata “tertib” yang menurut Pius Abdillah dan Danu
Prasetya dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berarti tertata dan terlaksana
dengan rapi dan teratur menurut aturan.32
Penertiban merupakan suatu tindakan
penataan yang diperlukan dalam suatu negara atau daerah. Penertiban tersebut
dilakukan dalam rangka mewujudkan kondisi negara atau daerah yang aman,
tenteram dan tertib dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan
kegiatan masyarakat yang kondusif.
Pendayagunaan berasal dari kata “daya guna” yang berarti kemampuan
mendatangkan hasil dan manfaat.33
Dengan demikian pendayagunaan berarti
kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu sehingga berhasil guna dan bermanfaat
untuk kepentingan masyarakat.
A.P. Parlindungan mengemukakan konsep tanah terlantar dengan merujuk
pada hukum adat yaitu sesuai dengan karakter tanah terlantar ( kondisi fisik ) yang
telah berubah dalam waktu tertentu ( 3,5 sampai 10 tahun ) maka haknya gugur,
31Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi pertama, Prenada
Media, Jakarta, hal.60.
32 Pius Abdillah,Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya,
hal.575.
33
Ibid, hal.80.
32
tanah kembali pada hak ulayat.34
Sudargo Gautama, menyatakan bahwa istilah
ditelantarkan diartikan antaranya keadaan jika tanah yang tak dipakai sesuai dengan
keadaannya, sifat atau tujuannya.35
Berdasarkan pendapat tersebut maka tanah
terlantar lebih mengarah pada kondisi fisik tanah yang sudah tidak produktif dan
tidak bertuan ( ditinggalkan oleh pemegang haknya).
Penjelasan Pasal 27 UUPA menentukan tanah ditelantarkan kalau dengan
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada
haknya. Dalam Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar dinyatakan bahwa obyek penertiban tanah terlantar
meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan
atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Dengan demikian tanah yang sudah hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Begitu pula tanah yang ada dasar
penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon
hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
persyaratan atau ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan
34 A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah ( Menurut Sistem
UUPA ), Mandar Maju, Bandung, hal.7
35 Sudargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang - Undang Pokok Agraria, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung Cet. Kesembilan, hal.136.
33
pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan / atau dalam izin /
keputusan / surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
Penertiban tanah terlantar dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar adalah proses penataan kembali tanah terlantar agar dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan negara. Penertiban tanah
terlantar dimaksudkan untuk mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta
pengendalian pemanfaatan tanah seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat,
kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4
Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar menentukan
Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar adalah pemanfaatan tanah negara
bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat,
melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara
lainnya. Tanah- tanah negara bekas tanah terlantar akan diperuntukkan untuk
kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan
cadangan negara lainnya. Reforma agraria merupakan kebijakan pertanahan yang
mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset
masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah yang dapat dilakukan
melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar. Program
strategis negara antara lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan
34
rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cadangan Negara
lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah,
pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan
pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan
umum.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah menentukan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola
pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan
yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk
kepentingan masyarakat secara adil. Penatagunaan tanah dimaksudkan untuk
mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan
masyarakat sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Kemudian dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah disebutkan penatagunaan tanah bertujuan untuk :
a. Mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi berbagai
kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah;
b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar sesuai
dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian
pemanfaatan tanah;
d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
ditetapkan.
35
Dengan demikian penertiban tanah-tanah terlantar dimaksudkan untuk menata
kembali agar penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat dilakukan
seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan Negara, kegiatan
pembangunan, tertib pertanahan dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang telah ditetapkan.
1.5. Metode Penelitian
Menurut Morris L Cohen dan Ken C Olson, “ Legal Researcht, is the
prosess of Finding of Law that govern activities in human society. It involves locating
both the rule which are enforced by the state and commentaries which explain or
analyze these rule “ ( Penelitian Hukum secara umum dapat diartikan suatu proses
dalam penemuan hukum dari aktivitas pemerintah di dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan peraturan perundang-undangan maupun
penegakannya oleh Negara dan memberikan penjelsan analisis undang-undang
tersebut ).36
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang terencana yang
dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.
Penelitianhukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
36 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama,Cet.Ke-1, Prenada Media,
Jakarta, hal. 29.
36
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi.37
Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis penelitian yakni penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam kaitan ini jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif . Penelitian hukum normatif, menurut
Sunaryati Hartono, merupakan penelitian yang monodisipliner yaitu penelitian yang
digunakan untuk mengetahui dan mengenal hukum, menyusun dokumen-dokumen
hukum, menulis makalah, menjelaskan atau menerangkan bagaimanakah hukumnya
mengenai peristiwa atau masalah tertentu, untuk mencari asas-asas hukum, teori-teori
hukum, dan sistem hukum terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas
hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional (yang baru). 38
Penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma yang berkaitan dengan
kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah
terlantar . Oleh karena itu penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian
hukum normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang
berkaitan dengan pokok permasalahan. Dengan kata lain, penelitian ini menekankan
kepada penelitian bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab masalah
yang berkaitan dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka
penatagunaan tanah. Dalam membahas pokok permasalahan akan didasarkan pada
hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum tersier.
37 Ibid, hal. 35.
38
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad
Ke-20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung, hal.140-141.
37
1.6.2.Jenis Pendekatan
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, menurut Johnny Ibrahim dapat
digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :39
1. Pendekatan Perundang-undangan ( statute approach )
2. Pendekatan Konsep ( conceptual approach )
3. Pendekatan Analitis ( analytical approach )
4. Pendekatan Perbandingan ( comparative approach )
5. Pendekatan Historis ( historical approach )
6. Pendekatan Filsafat ( philosophical approach )
7. Pendekatan Kasus ( case approach )
Pendekatan yang akan diterapkan untuk membahas permasalahan dalam
penelitian ini adalah melalui pendekatan perundang-undangan ( statute approach )
dan pendekatan konseptual ( conceptual approach ). Pendekatan perundang-
undangan diterapkan untuk mendapatkan ketentuan hukum yang melandasi tindakan
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah.
Pendekatan konseptual dilakukan untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan
dengan tanah terlantar, kriteria tanah terlantar, kewenangan dan tindakan dalam
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
1.6.3.Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dari
penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945,
UU No.5 Tahun 1960, UU No.32 Tahun 2004, PP No.16 Tahun 2004 , PP No.38
Tahun 2007, PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
39 Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua,
Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur, hal.300.
38
Terlantar, Kepres No. 34 Tahun 2003, Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006,
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar. Bahan hukum sekunder diperoleh dari bahan-bahan
bacaan di bidang Hukum Tata Negara, Hukum Adminstrasi Negara, Hukum
Pertanahan dan bahan-bahan bacaan yang lainnya yang berkaitan dengan penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka peñatagunaan tanah. Sedangkan
bahan hukum tersier berupa ensiklopedia, kamus hukum, serta dokumen-dokumen
penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan
dengan melakukan studi dokumentasi yakni dengan melakukan pencatatan terhadap
hal-hal yang relevan dengan masalah penelitian ini dengan menggunakan sistem
kartu.
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ada dua macam kartu yang
perlu dipersiapkan yaitu :
a. Kartu Kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta
sumber dari mana data tersebut diperoleh.
b. Kartu Bibliografi, dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang
dipergunakan. Kartu ini sangat penting dipergunakan pada waktu peneliti
menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian
yang ditulis atau disusunnya.40
40 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53.
39
1.6.5.Teknik Analisa Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis sebagai berikut :41
a. Deskripsi
b. Interpretasi
c. Konstruksi
d. Evaluasi
e. Argumentasi
f. Sistematisasi
Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual,dan
lain-lain.
Teknik Konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan
melakukan analogi dan pembalikan proposisi ( acontrario ).
Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
Teknik argumentasi tidak bias dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.Dalam
41Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi Magister
Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, hal. 13-14.
40
pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan
kedalaman penalaran hukum.
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang
sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
Dalam penelitian ini bahan hukum yang telah dikumpulkan berkenaan
dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar terlebih dahulu diolah dan
dianalisis secara sistematis berdasarkan deskripsi analisis yaitu penguraian proposisi-
proposisi hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji. Berdasarkan deskripsi
tersebut selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap
bahan hukum yang diperoleh kemudian diberikan argumentasi. Argumentasi hukum
sebagai hasil akhir yang merupakan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.
41
BAB II
KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR
2.1. Hukum Tanah Nasional
Dengan berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang terdapat
dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Hukum adat adalah hukum yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia serta merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli.
Hukum adat sebagai dasar dari pada Hukum Agraria adalah hukum adat yang sudah
disanneer yaitu hukum adat yang berlaku bagi golongan rakyat pribumi, yang
selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis, dan yang
mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi suasana keagamaan.
Hukum adat yang merupakan dasar bagi hukum agraria sudah mengalami
perubahan. Perubahan hukum adat yang menjadi dasar dari pada hukum agraria yang
baru harus memenuhi syarat-syarat :
a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan asas persatuan bangsa
b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia
c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
UUPA
d. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
e. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama.42
42
Mudjiono, 1997, Politik Dan Hukum Agraria, Edisi Pertama,Liberty , Yogyakarta, hal. 23.
42
2.1.1. Perspektif Filosofi
Dari segi filosofis, UUPA menginginkan suatu masyarakat yang berkeadilan
sosial. Keinginan tersebut timbul berdasarkan pengalaman pada masa penjajahan
dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah diambil
manfaatnya bukan untuk kepentingan rakyat.
Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945
sebagai sebuah negara, Indonesia telah menetapkan luas wilayah tertentu, rakyat yang
bergabung menjadi suatu bangsa yaitu Indonesia. Konstitusi negara yakni UUD 1945
menjadi hukum dasar bagi seluruh kebijakan di berbagai bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dengan demikian sebagai negara yang merdeka Indonesia mempunyai
kedaulatan untuk mengatur sendiri jalannya pemerintahan, kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta perekonomian demi kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Dalam
Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia yang merdeka ini
mempunyai falsafah Negara yang disebut Pancasila, dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan filosofi tersebut, pasal-pasal UUD 1945 telah memberi arah atau
petunjuk bagaimana kesejahteraan rakyat dapat dicapai, sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 sebagai berikut :
43
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
(4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, effesiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal-pasal ini diatur dalam undang-
undang.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan landasan bagi pengelolaan agraria
yang ada di wilayah Indonesia. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut pasal tersebut negara memegang peranan penting dalam hal
menguasai dan mempergunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya secara maksimal. Dalam hal ini tugas dan wewenang negara adalah untuk
memajukan kesejahteraan rakyat. Konsepsi ini sejalan dengan konsep negara
kesejahteraan (welfare state) yang dianut negara Indonesia. Sebagai Negara agraris
maka pemilikan tanah merupakan kebutuhan untuk memenuhi hak mereka untuk
mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Konsep penguasaan tanah oleh
negara serta konsep kepemilikan individu terpadu dalam tujuan yang sama yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Para ahli yang menyusun hukum tanah nasional (UUPA) menjelaskan
bahwa konsep hukum tanah nasional digali dari sumber Hukum adat, yaitu
44
Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan. Sifat
komunalistik religius ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan
bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional.” Kalau dalam hukum adat tanah ulayat merupakan
tanah bersama masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam rangka
Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah
bersama seluruh rakyat Indonesia. Unsur religius dapat dilihat dari pernyataan bahwa
bumi, air dan ruang angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Secara Religius dapat
dikatakan bahwa hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang
angkasa adalah hubungan yang memang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.43
Dengan demikian konsep ini mengandung pengertian bahwa tanah yang berada
diwilayah Indonesia ini merupakan modal atau asset bangsa yang sangat berharga,
dan kekayaan nasional sebagai perwujudan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
bangsa Indonesia secara turun-temurun dan tidak terputus. Hubungan antara tanah
dan manusia (bangsa Indonesia) bersifat abadi.
43 H. Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perpektif Negara Kesatuan,
Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta, hal. 20.
45
2.1.2. Perspektif Hukum
Pembahasan tanah dari perspektif hukum maksudnya adalah mengkaji tanah
dari sisi hukumnya saja bukan dari sisi yang lain. Hukum tanah bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu dari aspek
yuridisnya yaitu hak-hak penguasaan atas tanah.
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut
dengan Hukum tanah. Ketentuan-ketentuan hukum tanah meliputi pengertian tanah,
hak-hak penguasaan atas tanah dan hak-hak atas tanah.
2.1.2.1. Pengertian Tanah dalam Hukum Tanah
Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang
diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan
digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam hukum tanah sebutan “tanah”
dipakai dalam arti yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UUPA yaitu :
(1) Atas dasar menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4 ) UUPA, tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
46
Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA
adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah
dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya
pada tanah sebagai permukaan bumi saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan
juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang
ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah
bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang
ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya.
Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya,
dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan
yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.
Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada
diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas
kewajaran, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah :
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;
2. Keadaan bumi di suatu tempat;
3. Permukaan bumi yang diberi batas;
47
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu ( pasir, cadas, napal dan
sebagainya ).44
Berdasarkan pengertian etimologi di atas, dapat kita pahami bahwa tanah adalah
permukaan bumi dengan segala kandungan atau bahan yang ada didalamnya.
Andi Hamzah memberikan pengertian tanah dengan mengacu pada
pengertian agrarian seperti yang diatur dalam UUPA. Pasal 1 ayat (4) UUPA dalam
penjelasan umum menyatakan bahwa dalam pada itu hanya permukaan bumi saja
yaitu yang disebut tanah yang dapat dikuasai oleh seseorang. Jadi tanah adalah
permukaan bumi.45
Secara geologis-agronomis Iman Sudiyat menjelaskan bahwa tanah adalah
lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk menanami
tumbuh-tumbuhan. Itu sebabnya kemudian dikenal istilah tanah garapan, tanah
pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk
mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Kedalaman lapisan bumi (tanah)
adalah sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam. Secara
yuridis dikatakan bahwa tanah dikualifikasi sebagai permukaan bumi.46
Berbeda dengan pendapat Ter Haar BZN yang memandang tanah tidak dapat
dipisahkan dengan manusia yang mempunyai hubungan hidup antara sesama manusia
yang teratur sedemikian pergaulannya. Tanah dimana mereka berdiam, tanah yang
44 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta.
45 Andi Hamsah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.32.
46
Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat
Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hal.1
48
memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat
kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta leluhurnya. Pertalian yang terjadi
demikian inilah terasa sangat berakar dalam alam pikiran masyarakat (umat manusia)
terhadap tanah.47
I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat :
1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan.
2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh
anggotanya sekaligus member penghidupan kepada pemiliknya.
3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah
meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama beberapa
generasi sebelumnya.48
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah adalah
permukaan bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan
hidup dan kehidupan manusia perseorangan dan kelompok (ekonomi). Tanah sebagai
tempat tinggal atau kediaman, tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga
secara turun- temurun dan bersifat abadi.
Dalam Black’S Law Dictionary disebutkan tanah (land) diartikan dalam dua
arti yaitu :
a. An immovable and indestructible three-dimensional area consisting of a
portion of the earth’s surface, the space above and below the surface and
everything growing on or permanently affixed to it;
b. An estate or interest in real property.49
47 Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng Soebakti
Poesponoto, PT. Pradnya Paramita,hal. 71-73
48 I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 224-225
49
Dengan demikian tanah berarti :
a. area tiga dimensi yang tidak dapat dipindahkan dan yang tidak dapat
dihancurkan yang terdiri atas bagian di atas permukaan tanah, ruang di
atasnya dan bagian yang berada di bawah permukaan tanah dan segala
sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terikat secara permanen )
b. sebuah perumahan atau keuntungan dari kepemilikan lahan dan bangunan.
Sejalan dengan hal tersebut, Peter Butt yang dikutip dalam buku Ida Nurlinda
memberi pemahaman yang lebih luas terhadap pengertian tanah (land), bahwa the
word “land” is not only the face of the earth, but everything under it or over it.50
Jadi kata tanah tidak hanya berarti permukaan tanah, tetapi segala sesuatu di atas dan
di bawahnya.
Sementara itu, National Land Code of Malaysia memberikan pengertian yang
luas terhadap tanah (land), yaitu termasuk ke dalam pengertian land adalah :
a. That surface of the earth and all substances forming that surface;
b. The earth below the surface and all substances there in;
c. All vegetation and other natural product, whether or not requiring the
periodical application of labour to their production and whether on or
below the surface;
d. All things attached to the earth or permanently fastened to anything
attached to the earth, whether on or below the surface ; and
e. Land covered by water 51.
Berdasarkan National Land Code of Malaysia yang termasuk kedalam
pengertian tanah adalah :
49 Black’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West
Publishing, Minnesota. Page. 67.
50 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT.
Raja Grafindo Persada, hal.36.
51Boedi Harsono, op.cit. hal.21.
50
a. Permukaan dari bumi dan semua substansi yang membentuk permukaan
tersebut;
b. Bagian bawah permukaan dan segala sesuatu didalamnya;
c. Semua vegetasi dan produk alami baik yang memerlukan proses pengerjaan
secara periodik maupun yang tidak, di atas maupun di bawah permukaan
tanah;
d. Segala sesuatu yang melekat di bumi atau terikat secara permanen pada
apapun yang menmpeldi bumi, di atas maupun di bawah permukaan bumi;
dan
e. Tanah yang tertutupi oleh air.
Pasal 4 Land Titles Act Singapura 1993 juga mendefinisikan land secara luas,
yaitu sebagai berikut :
The surface of any defined parcel of the earcth, and all substances
thereunder, and so much of the column of air above the surface as is
reasonably necessary for the proprietor’s use and enjoyment, and includes
any estate or interest in land all vegetation growing thereon and structures
affixed thereto or any parcel of airspace or sub-terranean space held apart
from the surface of the land as shown in an approved plan subject to any
provisios to the contrary the proprietorship of land includes natural rights to
air, light, water and support and the right of access to any highway on which
the land abuts. 52 ( Banyak kolom udara di atas permukaan yang penting
untuk keperluan dan kenyamanan “propietor” dan juga termasuk beberapa
lahan atau semua tanaman yang dikembangbiakkan di atas dan struktur yang
disertakan bersamanya atau beberapa bagian berupa tempat udara atau tempat
subteranian di buat terpisah dari permukaan tanah seperti yang terlihat di
sebuah perencanaan yang sudah disetujui dimana mengacu pada beberapa
penyediaan terhadap perbedaan hubungan antar propietor lahan termasuk hak
atas udara, cahaya, air dan hak untuk mengakses ke segala lahan yang
letaknya bersebelahan).
Berdasarkan pemaparan diatas ada persamaan hakiki tentang pengertian tanah
dalam arti yuridis adalah permukaan bumi. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 4 ayat
(1) jo Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyebutkan :
- Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
52Ibid.
51
bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum.
- Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
2.1.2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik dan
dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik.53
Dalam arti fisik
secara nyata pemegang hak menguasai tanah ( tanah dalam penguasaan).
Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi oleh “hak” yang dilindungi oleh hukum dan
umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik
tanah yang menjadi haknya.
Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan
untuk menguasai tanah haknya secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya
dilakukan pihak lain, misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak
lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai pihak
lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya
berhak menuntut diserahkannya kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian
penguasaan dan menguasai tersebut di atas dipakai dalam aspek perdata.
53Urip Santoso, 2005, op. cit, Jakarta, hal.73.
52
Pengertian penguasaan dan menguasai dalam aspek publik tercermin dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dalam UUPA dirumuskan dalam Pasal 2
UUPA yang menyatakan :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur;
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
UUPA menetapkan tata jenjang /hierarki hak-hak penguasaan atas tanah
dalam Hukum Tanah Nasional yaitu :
1. Hak Bangsa,
2. Hak menguasai dari Negara,
3. Hak ulayat masyarakat Hukum Adat,
4. Hak-hak perorangan/individual yaitu :
53
a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang
disebut dalam Pasal 16 dan 53 UUPA.
b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan yang disebut dalam Pasal
49 UUPA.
c. Hak jaminan atas tanah yang disebut “hak tanggungan” sebagaimana
disebut dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA.
Hak penguasaan atas tanah dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Hak Bangsa
Hak Bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi :
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa
Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang
angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat
abadi.
Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber
padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas
kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah
bersama yang dipunyainya. Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak
pemilikan dalam pengertian yuridis, maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik
perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan
54
memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada
Negara. Yang menjadi subyek Hak Bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang
masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-generasi terdahulu,
sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Tanah Hak Bangsa meliputi semua
tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hak Bangsa merupakan
hubungan hukum yang bersifat abadi artinya selama rakyat Indonesia yang bersatu
sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
2. Hak Menguasai Dari Negara
Pengertian “ dikuasai “ negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan baik penjelasan umum
maupun penjelasan pasal demi pasal. Hal ini memungkinkan hak menguasai Negara
itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandang dan
kepentingan yang menafsirkan. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 tersebut diatas, berarti hak menguasai Negara meliputi semua tanah,
tanpa terkecuali.
Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung
antara Negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut:
1. Negara sebagai subyek, yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga
dengan demikian hubungan antara Negara dan tanah itu mempunyai sifat
privat-rechtelijk. Hak Negara terhadap tanah sama dengan hak
perseorangan dengan tanah.
2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi
sebagai Negara. Dengan demikian, Negara sebagai badan kenegaraan,
55
sebagai badan yang publiekrechtelijk. Dalam hal ini Negara tidak
mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan.
3. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai subyek
perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai Negara, yang
memiliki akan tetapi sebagai Negara yang menjadi personifikasi tentang
rakyat seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini Negara tidak terlepas dari
rakyat, Negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuan-
kesatuan rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk,
yaitu :
a. Betul memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau
b. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya. 54
Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan antara
negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak
menguasai negara adalah bentuk hubungan yang ketiga. Hubungan tersebut adalah
hubungan yang bersifat abadi. Dalam arti, bahwa selama bangsa Indonesia masih ada
dan selama bumi, air dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan
terputus oleh kekuasaan apapun.
Sejalan dengan pendapat Notonagoro, Iman Soetiknjo pun sependapat bahwa
hak menguasai negara masuk ke dalam bentuk hubungan negara sebagai personifikasi
seluruh rakyat, karena jika ditinjau dari sudut perikemanusiaan, hal itu sesuai dengan
sifat mahluk sosial. Dengan demikian Negara mempunyai dua hak yaitu sebagai
berikut :
1. Hak Communes, apabila Negara sebagai personifikasi yang memegang
kekuasaan atas tanah dan sebagainya.
2. Hak Imperium, apabila Negara memegang kekuasaan tentang pemakaian
tanah saja.55
54 Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina
Aksara, Jakarta, hal. 101.
56
Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2)
UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa
Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
Atas dasar kewenangan tersebut, maka ke dalam, negara dapat
melakukan :
a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis,
dan sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga
harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat
( Pasal 14 ayat (2) UUPA ).
b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
dapat diberikan dan dipunyai oleh perorangan ( baik sendiri maupun
bersama-sama ) atau badan hukum ( Pasal 4 UUPA ). Hal ini berarti
bahwa bagi perorangan atau badan hukum tertentu dimungkinkan
mempunyai hak milik privat atas tanah.
c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan
tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki
atau dikuasai perorangan ( Pasal 7 dan 17 UUPA ), mengingat tiap-tiap
Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya ( Pasal 9 ayat (2) UUPA
).
d. Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai
suatu hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa
perkecualian ( Pasal 10 UUPA ). Hal ini untuk menjaga jangan sampai
ada tanah absentee.
e. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa
semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya
55 Iman Soetiknjo, op.cit. hal.20.
57
merupakan kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (
Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA ).
f. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak
guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 16 UUPA.
g. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan ( Pasal 46 UUPA )
dan penggunaan air dan ruang angkasa ( Pasal 47 dan 48 UUPA ).
h. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air
dan ruang angkasa ( Pasal 8 UUPA ).
i. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk
menjamin kepastian hukum ( Pasal 19 UUPA ). 56
Dalam hal wewenang ke luar, Negara dapat melakukan :
a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan
ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi ( Pasal 1 ayat (3) UUPA ). Hal
ini berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun.
b. Menegaskan bahwa orang asing ( bukan WNI ) tidak dapat mempunyai
hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah
Indonesia ( Pasal 21 UUPA ).57
Dalam kaitannya dengan kewenangan, negara bukanlah “ pemilik “
sumber daya agraria yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, melainkan hanya
sebagai “penguasa“. Kalaupun negara hendak dikatakan sebagai “pemilik “ maka
harus dipahami dalam konteks hukum publik ( Publiekrechtstelijk ), bukan sebagai
pemilik ( eigenaar ) dalam pengertian yang bersifat keperdataan
( privaatrechtstelijk ). Artinya, negara memiliki kewenangan secara yuridis formal
sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan pengendali kegiatan-kegiatan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya
agraria lainnya.
56Iman Soetikjno, op.cit. hal. 51
57
Iman Soetikjno, op.cit. hal.52
58
Negara memperoleh kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan ruang
angkasa karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat diselesaikan sendiri oleh
masyarakat. Kewenangan negara untuk menyelesaikan kepentingan masyarakatnya,
menurut Maria Sumardjono dibatasi oleh dua hal, sebagai berikut :
1. Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal
yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-
hak dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
2. Pembatasan yang bersifat substantif. Pembatasan ini berkaitan dengan
pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuannya.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat ( 3 ) UUPA, semua aturan agraria harus
ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ruang
lingkup pengaturannya dibatasi Pasal 2 ayat (2) UUPA .58
Bagir Manan memaknai ketentuan Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945 dengan dua
aspek kaidah yang terkandung didalamnya yaitu kaidah “ hak menguasai negara “
dan kaidah “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua aspek
kaidah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu
kesatuan sistemik. “Hak menguasai negara merupakan instrument ( bersifat
instrumental ), sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,”
merupakan tujuan. Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.59
Dari pendapat tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa timbulnya istilah
“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan konsekuensi
logis dari adanya istilah “dikuasai negara.” Kewenangan untuk menguasai sumber
58 Maria S.W. Soemarjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta, hal. 6-7.
59 Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal. 231.
59
daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka mewujudkan sebesar-
besar kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan sosial masyarakat
Indonesia yang menjadi tujuan negara. Keterkaitan antara kaidah “hak
menguasai negara” dengan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan menimbulkan
kewajiban negara sebagai berikut :
a. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam
dan diatas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung
oleh rakyat.
c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses
terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya 60
Ketiga aspek tersebut diatas harus menjadi arahan atau acuan dalam
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan. Pasal 3
UUPA hanya menyatakan bahwa :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang memurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
60 Ida Nurlinda, op.cit. hal.63.
60
Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan
kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama
penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.61
Secara teknis yuridis, Sumardjono mengatakan hak ulayat merupakan hak
yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa
wewenang atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya, dengan
daya laku baik ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat itu.62
Dengan demikian hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang
keberadaannya tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masyarakat hukum adat
itu sendiri, karena meskipun hak ulayat merupakan hak suatu komunitas masyarakat
hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya pihak lain di luar komunitas
tersebut untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut, dengan berbagai persyaratan. Hak
ulayat suatu masyarakat hukum adat, berisi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah ( untuk pemukiman,
bercocok tanam ), persediaan tanah ( pembuatan pemukiman/
persawahan baru ), dan pemeliharaan tanah;
b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (
membe rikan hak tertentu pada subyek tertentu );
c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah. 63
Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanah dan wilayahnya adalah hubungan menguasai,
61 Boedi Harsono, op.cit. hal.283.
62
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan
Implementasi, Cet. Pertama, Kompas, Jakarta, hal.55.
63 Ibid, hal .71.
61
bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara Negara
dengan tanah menurut Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945.
4. Hak-Hak Individual :
a. Hak-hak atas tanah ( Pasal 4 ) :
- Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang
diberikan oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh
Negara ( Pasal 16 )
- Sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh
pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,
Hak Sewa ( Pasal 37, 41, dan 53 ).
b. Wakaf ( Pasal 49 )
c. Hak jaminan atas tanah; Hak Tanggungan ( Pasal 25, 33, 39, 51 UUPA ).
Berdasarkan urutan hak penguasaan tanah tersebut di atas, maka Hak
Bangsa merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi, sehingga hak-hak yang
lainnya bersumber pada Hak Bangsa. Hak Bangsa dipakai sebagai dasar bagi
pemberian hak-hak atas tanah yang lainnya.
2.1.2.3. Hak-Hak Atas Tanah
Ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu
“Atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
62
Hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai negara atas tanah dapat
diberikan kepada perseorangan baik Warga Negara Indonesia maupun warga negara
asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum
privat maupun badan hukum publik.
Hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang bunyinya
sebagai berikut :
“Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah :
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara,
sebagai yang disebut dalam Pasal 53.
Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1)
yang bunyinya sebagai berikut :
“Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan
hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya dalam waktu singkat.”
2.1.3. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Hal ini merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas
63
tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-
hak atas tanah menurut konsepsi hukum adat yang mendasari konsepsi Hukum Tanah
Nasional.
Tidak hanya Hak milik, tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,
demikian ditegaskan dalam Penjelasan pasal 6 UUPA tersebut. Dalam Penjelasan
Umum, fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut disebut sebagai dasar yang keempat
dari Hukum Tanah Nasional. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan : “Ini
berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dibenarkan,
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan ( atau tidak dipergunakan ) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi ketentuan
tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali
oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan-
kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan
haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok :
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya ( Pasal 2 ayat
3).64
Berdasarkan fungsi sosial hak atas tanah tersebut, maka tanah yang dihaki
seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja, tetapi
64 Boedi Harsono, op.cit. hal.299
64
juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak saja
yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan
kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan
yang mempunyai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan,
peruntukan dan penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA.
Dengan menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah terpenuhilah fungsi sosialnya. Kepentingan umum harus diutamakan
daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi
penyelenggaraan berkehidupan bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian juga
tidak boleh diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh
hukum. Jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu,
hingga mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan ganti kerugian.
2.2. Tanah terlantar
Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan
dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk
dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang
agraria. UUPA merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan
peraturan-peraturan pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan.
Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk
diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan
65
kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus
dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan
pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai
dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian
haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya
atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada
maksud agar tidak menelantarkan tanah.
2.2.1. Pengertian atau Konsep Tanah Terlantar
Menurut J.J.H. Bruggink, Het begrip is datgene dat in ons denken ontstaat als
de betekems van het woord, gezien de verwijzing van dat woord naar een bepaald
object of person. Hierboven is nog eens gezegd dat die betekenis afhangt van zowel
de talige als de buiten-talige contekst.65
Pengertian adalah apa yang timbul dalam
pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada
obyek tertentu atau orang tertentu. Jadi bergantung pada baik konteks kebahasaan
maupun bukan kebahasaan.
Sebelum menjelaskan konsep tanah terlantar perlu dipahami pengertian
konsep sebagaimana dijelaskan oleh Radbruch. Ia mengemukakan pendapatnya yang
berkaitan dengan konsep hukum sebagai berikut :
“Terdapat dua jenis konsep hukum yakni konsep hukum yang yuridis relevan (
legally relevant concepts ) dan konsep hukum asli ( genuine legal concepts ).
Konsep yuridis relevan adalah konsep hukum yang merupakan komponen aturan
hukum, khususnya konsep yang digunakan untuk mendapatkan situasi fakta
dalam kaitannya dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan dengan
interpretasi misalnya konsep fakta seperti benda, membawa pergi, atau
65 J. J. H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Deventer,
Kluwer, Page. 40.
66
mengambil. Sedangkan konsep hukum adalah konsep konstruktif dan sistematis
yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum, misalnya konsep hak,
kewajiban, hubungan hukum dan sebagainya”. 66
Satjipto Rahardjo, mengemukakan pentingnya sebuah konsep digunakan
untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan
hukum.67
Dengan demikian konsep-konsep hukum yang dipakai hendak merumuskan
pengertian-pengertian yang tercakup di dalamnya atau digunakan untuk
menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum.
Konsep tanah terlantar dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian tanah
terlantar .
1. Menurut UUPA.
Pengertian tanah terlantar tidak ditemukan dalam UUPA. Dalam UUPA
disebutkan bahwa hak atas tanah akan berakhir atau hapus karena tanahnya
ditelantarkan. Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar
dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena
ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :
“Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.
2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).
66 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian
tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandar Maju, Bandung, hal. 154.
67 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung,
hal. 311-312.
67
3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak
atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Artinya ada unsur
kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya
atau sifat dan tujuan daripada haknya.
2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan karena
dilatarbelakangi semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan karena
tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu dalam
Menimbang pada huruf b disebutkan , “bahwa dalam kenyataannya masih terdapat
bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang
tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam
ketentuan Menimbang huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UU
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hak atas tanah hapus
dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan.
Pasal 1 ayat (5) PP No. 36 Tahun 1998 menyatakan, “Tanah terlantar adalah
tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan,
atau pihak yang telah memperoleh dasar penguaasaan atas tanah tetapi belum
memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku .” Selanjutnya pengertian tanah terlantar diulang kembali dalam Pasal 3 yang
menyatakan : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja
68
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik “.
Apabila diperhatikan, ternyata banyak pengertian yang diberikan oleh PP
No.36 tahun 1998 untuk menyatakan sebidang tanah adalah terlantar. Jika di
inventarisasi sebagai berikut :
a. Tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai peruntukannya
menurut RTRW yang berlaku.
b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya.
c. Tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian
yang baik sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
d. Tanah sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
3. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Tanah yang sudah
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak
dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai
tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan
yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan
69
pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat
yang berwenang.
Dengan demikian tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar
penguasaannya yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak
dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya.
2.2.2. Kriteria Tanah Terlantar
Kriteria tanah terlantar dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsur-
unsur yang ada dalam tanah terlantar. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah
terlantar :
1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Adanya tanah hak yang diusahakan atau tidak (obyek).
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau
kesuburannya tidak terjaga.
4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.
5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
6. Status tanah kembali kepada Negara.
Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka
kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah
terlantar dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran
terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah.
Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara
70
itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Dengan demikian kriteria
tanah terlantar adalah :
1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Harus ada tanah hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan
lain-lain ) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan
tanahnya menurun.
3. Harus ada jangka waktu tertentu.
4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Berdasarkan konsep tanah terlantar yang diatur dalam Penjelasan Pasal 27
UUPA yang menyatakan : Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya,
maka kriteria tanah terlantar dalam UUPA kurang jelas atau masih kabur karena
hanya ditentukan subyek hak/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ), dan ada perbuatan yang mengakibatkan tanah
menjadi terlantar, sedangkan jangka waktunya tidak ditentukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 kriteria tanah terlantar
diatur dalam Bab III, yang dibagi menjadi tiga bagian :
Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai meliputi :
Pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak
71
dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”
Pasal 4 yang menyatakan bahwa :
“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan
untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan
peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu
permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”
Pasal 5 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah
itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang
baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah
tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Pasal 6 menyatakan bahwa :
(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah
menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak
diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah
dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka
hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :
Pasal 7 yang menyatakan behwa :
(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila
kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak
dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian
pelimpahan kewenangan tersebut.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian
bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
72
Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi :
Pasal 8 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas
tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang
telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak
dipelihara dengan baik.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar,
maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria tanah
terlantar masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan jangka waktu
tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut
ditentukan subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan ), adanya perbuatan yang
dapat mengakibatkan tanah menjadi terlantar
Dalam Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
ditentukan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,
atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaannya. Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2010 dinyatakan bahwa identifikasi dan penelitian dilaksanakan : terhitung
mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan
atas tanah dari pejabat yang berwenang.
73
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan kriteria tanah
terlantar meliputi, subyek/ pemegang hak atas tanah, obyek hak atas tanah ( Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan),
adanya perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar, jangka waktunya terhitung 3
(tiga) tahun sejak diterbitkannya sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/ keputusan/ surat dasar penguasaan
tanah dari pejabat yang berwenang.
2.2.3. Kedudukan Tanah Terlantar
Berdasarkan tata jenjang / hierarki hak-hak penguasaan atas tanah, hak
menguasai dari negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi
wewenang kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan dan peruntukan
tanah, yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/ individu atau
Badan hukum berupa hak-hak atas tanah.
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum
dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk
mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar
tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap
hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau
larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan tanahnya. Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai
oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu :
74
1. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan
ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi ( Pasal
4 ayat (2) UUPA ).
2. Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk
kepentingan pertanian dan atau untuk mendirikan bangunan, wewenang pada
tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,
wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya
untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan,
atau perkebunan.68
Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA menyebutkan “Setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan.” Kemudian Pasal 15 menyebutkan “Memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah
kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.”
Hak-hak atas tanah disamping memberikan wewenang kepada pemegang
haknya untuk menggunakan tanahnya, juga menentukan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pemegang haknya. Pemegang hak atas tanah agar menggunakan,
68 Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas
Terbuka, Jakarta, hal. 45.
75
mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan pemberian haknya
sehingga tidak menelantarkan tanahnya.
Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e yang
menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara
apabila tanah tersebut ditelantarkan. Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika
dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya
kewajiban tersebut atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh pemegang hak yang
bersangkutan.69
Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut
bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan
dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak atas tanah primer,
maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.70
Jadi dapat dikatakan bahwa kedudukan tanah terlantar akhirnya menjadi
tanah negara atau kembali dalam hak penguasaan negara. Selanjutnya dapat
diserahkan kepada subyek lain untuk segera diberdayakan kembali atau diusahakan
kembali.
69 Boedi Harsono, op.cit, hal.339.
70
Ibid.
76
BAB III
KEWENANGAN DAN MEKANISME PENERTIBAN
TANAH TERLANTAR
3.1. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar
3.1.1. Konsep Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata “wenang” yang artinya adalah hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk
bertindak sehingga kewenangan berarti kekuasaan untuk membuat/melakukan
sesuatu. 71
Menurut Juanda, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu
kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-Undang, yang disebut
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. Sedangkan
wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik,
misalnya wewenang menandatangani surat izin dari seorang pejabat atas nama
Menteri atau Gubernur, sedangkan kewenangannya tetap berada ditangan Menteri
atau Gubernur, sehingga dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang. Jadi di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. 72
Dari segi praktis, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan
dengan istilah Belanda “bevoegdheid”. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
kalau dikaji secara cermat ada sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau
71 W.J.S. Poerwadaminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hal.1130.
72 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal.271.
77
kewenangan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaannya terletak dalam karakter
hukumnya. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik
maupun dalam konsep hukum privat. Sedangkan istilah wewenang atau kewenangan
selalu digunakan dalam konsep hukum publik.73
Kadangkala istilah wewenang dikaitkan dengan suatu kekuasaan hukum
(rechtskracht). Terkait dengan kekuasaan hukum maka ada dua hal yang perlu
dicermati yaitu : berkaitan dengan keabsahan suatu tindak pemerintahan dan
kekuasaan hukum. Suatu tindak pemerintahan dianggap sah jika dapat diterima
sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum, dan suatu tindak pemerintah mempunyai
kekuasaan hukum jika dapat mempengaruhi pergaulan hukum.74
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa kewenangan itu diperoleh melalui
tiga (3) cara yaitu :
a. Atribusi adalah wewenang untuk membuat keputusan yang langsung
bersumber kepada Undang-undang dalam arti materiil. Dari pengertian
tersebut nampaknya kewenangan yang didapat melalui cara atribusi oleh
institusi pemerintah merupakan kewenangan asli.
b. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat
pemerintahan kepada pihak lain dalam artian adanya perpindahan dari
pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris).
c. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan dalam artian
memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama
pejabat yang memberi mandat dan tanggung jawab ada pada pemberi mandat,
bukan merupakan tanggungjawab mandataris.75
Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ
tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang
73 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro
Justitia, Jakarta, hal.91.
74 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Hukum Administrasi, Laksbang, Prescindo,
Yogyakarta, hal. 59.
75 Philipus M. Hadjon I, loc.cit.
78
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang
ditetapkan dalam konstitusi atau UUD. Dalam atribusi terjadi pemberian wewenang
baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang
baru. Kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan adalah
kewenangan asli, karena kewenangan baru itu sebelumnya tidak dimiliki oleh organ
pemerintah yang bersangkutan.
Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat suatu keputusan oleh
pejabat pemerintah (delegans) kepada pihak lain (delegataris) dan wewenang itu
menjadi tanggungjawab dari delegataris. Syarat-syarat delegasi adalah :
1. Harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah diserahkan;
2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya
dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-
undangan;
3. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki kepegawaian,
tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans
berhak meminta penjelasan pelaksanaan wewenang tersebut;
5. Merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya bahwa delegans
memberikan intruksi tentang pengaturan wewenang tersebut.76
Dengan demikian pada delegasi selalu didahului oleh atribusi wewenang,
sehingga menurut Indroharto, “ penerima wewenang atas dasar delegasi (delegataris)
dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli
(delegans) kepada organ atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) lainnya. Pelimpahan
wewenang ini disebut dengan sub delegasi “.77
76Philipus M. Hadjon,I, op.cit. hal.123
77
Indroharto, op.cit. hal. 66.
79
Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan
(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberi mandat
(mandans). Dalam pelimpahan wewenang secara mandat tidak perlu adanya
peraturan perundang-undangan yang melandasi, karena mandat merupakan hal rutin
dalam hubungan intern. Dengan demikian dalam pelimpahan wewenang ini
tanggungjawab tidak berpindah kepada mandataris, tetapi tanggungjawab tetap
berada pada pemberi mandat.
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan bagian yang sangat
penting dalam Hukum Administrasi Negara, karena pemerintah baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan
pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku
sehingga bersifat sah. Kewenangan dapat dilihat pada konstitusi Negara yang
memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara dalam menjalankan
fungsinya.78
Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang
pemerintahan dibedakan antara lain :
a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, dalam Negara Republik
Indonesia di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan
DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan undang-undang, dan
di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan
Peraturan Daerah;
b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar
pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah
dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.79
78 H. Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang
Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya, hal. 14.
79 H.R. Ridwan, op.cit. hal.73.
80
SF. Marbun dan Mahmud MD, menyatakan cara untuk memperoleh
kewenangan ada dua yaitu : Pertama, kewenangan atas inisiatif sendiri berarti bahwa
pemerintah (Presiden) tanpa harus dengan persetujuan DPR diberi kewenangan untuk
membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya setingkat dengan Undang-
Undang bila keadaan terpaksa. Kedua, kewenangan atas delegasi berarti kewenangan
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah Undang-
Undang.80
Sedangkan H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt dalam bukunya H.R.
Ridwan mendefinisikan atribusi, delegasi dan mandat sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan
een bestuursorgaan ( atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah ).
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan
een ander, ( delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya ).
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen
door een ander, ( mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan
kewenangannya itu dijalankan oleh organ lain atas namanya ).81
Jika dikaitkan dengan wewenang untuk membentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia, maka yang dapat diklasifikasikan sebagai pembentuk undang-
undang orisinil adalah : MPR sebagai pembentuk konstitusi, DPR bersama
Pemerintah yang melahirkan undang-undang, Kepala daerah bersama dengan DPRD
melahirkan Peraturan Daerah. Sedangkan yang diklasifikasikan sebagai pembentuk
undang-undang yang diwakilkan adalah Presiden yang berdasarkan pada suatu
80 SF. Marbun & Mahmud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, hal.55.
81 H.R. Ridwan, op.cit. hal.74
81
ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana
diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau pejabat Tata
Usaha Negara. Dalam hal ini Presiden mendapat kewenangan delegasi dari Badan
Legislatif untuk membuat suatu undang-undang yang berlaku khusus dalam bidang
administratif untuk menjalankan pemerintahan, karena undang-undang yang dibuat
oleh Badan Legislatif pada dasarnya bersifat umum. Hal ini sejalan dengan
pernyataan dari Jay A. Sigler yang menyatakan : “ Legislative bodies often
delegate considerable power to Administrative agency to effect the purposes of
statutes. This has given rise to administrative policies, since statutes are often quite
general “.82
Jadi atribusi menunjuk kepada kewenangan asli sedangkan delegasi dan
mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan oleh Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara
atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Perbedaan antara
kewenangan berdasarkan delegasi dan mandat menurut Philipus M. Hadjon adalah
terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggungjawab dan tanggung gugatnya serta
kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.83
Dilihat dari prosedur pelimpahannya, pada delegasi terjadi pelimpahan
wewenang dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya
yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada mandat,
82 Jay A. Sigler, 1977, The Legal Sources Of Public Policy, DC. Heath and Compay,
Lexington Massachusetts, Toronto, Page. 27.
83 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994,
hal.8.
82
pelimpahan wewenang umumnya terjadi dalam hubungan rutin antara bawahan
dengan atasan. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugatnya, pada
delegasi tanggunjawab dan tanggung gugat beralih pada penerima delegasi
(delegataris), sedangkan pada mandat tetap pada pemberi mandat (mandans).
Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak menggunakan
kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang (delegans) tidak
dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan
berpegang pada asas contrarius actus, sedang pada mandat pemberi mandat
(mandans), setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan.
Wewenang terdiri sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu :
1. Pengaruh,
2. Dasar Hukum,
3. Konformitas hukum.84
Komponen pengaruh dalam wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku
subyek hukum. Sedangkan komponen dasar hukum dari wewenang dimaksudkan
bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen
konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar
umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus untuk jenis wewenang tertentu.
Suwoto Mulyo Sudarmo, mempergunakan istilah kekuasaan untuk
kewenangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian kekuasaan dapat dilakukan
melalui tiga macam yaitu :
84 Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII September
1997, hal. 2.
83
1. Melalui pengakuan kekuasaan (Attributie)
Perolehan kekuasaan dengan cara attributive menyebabkan terjadinya
pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi
ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara attributive bersifat
asli.
2. Melalui Pendelegasian Kekuasaan (Delegatie)
Pada pendelegasian kekuasaan delegetaris melaksanakan kekuasaan atas
nama sendiri dan dengan tanggungjawab sendiri.
3. Melalui Pemberian Kuasa (Mandaatsverlening)
Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaaan, namun berbeda dengan
delegasi. Pihak yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak bertindak
atas nama sendiri, karena itu tidak memiliki tanggung jawab sendiri. 85
Dengan demikian kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum tertentu berdasarkan ketentuan dalam peraturan yang telah
ditetapkan baik oleh legislatif maupun eksekutif. Pemerintah dalam menjalankan
fungsinya dapat melakukan berbagai macam perbuatan hukum. Perbuatan hukum
pemerintah yang bersifat mengatur itu haruslah sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Keabsahan perbuatan pemerintah itu memiliki
tiga fungsi yaitu :
1. Bagi aparat pemerintah, asas keabsahan berfungsi sebagai norma
pemerintahan (bestuurnormen).
2. Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan untuk mengajukan
gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden).
3. Bagi Hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak
pemerintahan (toetsingsgronden).
85 Suwoto Mulyo Sudarmo, 1999, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 39.
84
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa dalam
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, kewenangan merupakan
konsep inti dalam rangka hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat.
3.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-
besar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh Negara” terlihat bahwa
kewenangan dibidang pertanahan dilaksanakan oleh negara yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang
bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yang
mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi
dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,
menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),
menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak
menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan
penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang
eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan
kepada Menteri.86
86 Edy Ruchiyat, loc.cit.
85
Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah,
penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan di bidang
pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat
didasarkan pada beberapa hal, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan
kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia. Kedua, seluruh bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Ketiga, hubungan antara bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa adalah bersifat abadi. Dengan demikian kewenangan
untuk mengurus bidang pertanahan ada pada Negara yang dalam pelaksanaannya
dilakukan Pemerintah Pusat.
Kewenangan yang ada pada pemerintah adalah sebagai dasar dalam
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan yang artinya setiap penyelenggaraan
kenegaraan harus memiliki legitimasi yaitu adanya kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang. Konsep ini sesuai dengan konsep Negara Hukum dimana setiap
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus ada aturan yang mengaturnya.
Wewenang ini sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah
adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah untuk dapat
menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi wewenang. Adanya
pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan
yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya
haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan
pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan
86
dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Ketentuan yang dapat ditafsirkan secara
berbeda-beda disebut dengan istilah norma kabur, sehingga lingkup kewenangan
yang diaturnyapun menjadi tidak jelas. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan
oleh J.J.H Bruggink, yaitu “ Vage begrippen, Dit zijn begrippen waarvan de inhoud
niet precies te bepalen is, zodat ook de omvang onduidelejk “ 87
( pengertian yang
kabur adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara pasti, sehingga
lingkupannya tidak jelas).
Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari
pemerintah ( Presiden ) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa
: “ Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar
dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden “.
Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Susunan
keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi
terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat ketentuan
tersebut terjadi kekaburan norma karena instansi terkait yang dimaksud tidak jelas.
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No.11 Tahun 2010 dikeluarkan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010,
dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang terdiri dari
87 Bruggink, J.J.H, op.cit. hal. 438
87
Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan
tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian
tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun
2010, Susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :
a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah
b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan
Masyarakat, merangkap anggota
c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan
tanahnya
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya.
4. Kepala Kantor Pertanahan.
Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah
terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan,
Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang
bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah
yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan
kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
3.1.3. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar.
Berdasarkan pada PP No. 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4
Tahun 2010 organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah Panitia C
yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi
88
yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Adapun wewenang yang dimiliki adalah :
A. Panitia C
Berdasarkan Pasal 7 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 11 Peraturan Kepala
BPN No. 4 Tahun 2010 Panitia C memiliki wewenang untuk melakukan:
1. Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :
a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;
b. Mengecek buku tanah dan / atau warkah dan dokumen lainnya untuk
mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana dan tahapan
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
c. Meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan
Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan
atau menyampaikan data yang diperlukan;
d. Melaksanakan pemeriksaan fisik;
e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta
pertanahan;
f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
h. Melaksanakan sidang Panitia; dan
i. Membuat berita acara.
2. Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan Berita Acara kepada
Kepala Kantor Wilayah.
B. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional berwenang :
1. Memberikan peringatan kepada Pemegang Hak yang telah menelantarkan
tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan
oleh Panitia C. Berdasarkan Pasal 8 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 14
Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 dinyatakan :
(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar,
maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan
peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka
89
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan,
menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau sesuai izin / keputusan / surat sebagai dasar
penguasaannya.
(2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan
tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan
pertama.
(3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan
ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua.
2. Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. Ketentuan
ini diatur dalam Pasal 8 ayat (6) yang menyatakan bahwa : Apabila Pemegang
Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3), Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan
tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.
C. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk membuat
keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala
Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 PP No.11 Tahun 2010 dan
Pasal 19 Perraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN
No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa :
(1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala
Kantor Wilayah;
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas
tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa
tanah dimaksud dikuasai langsung oleh Negara.
90
3.2. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar
3.2.1. Ruang Lingkup Obyek Penertiban Tanah Terlantar
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar
hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk
diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus
dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan
pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai
dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian
haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya
atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada
maksud agar tidak menelantarkan tanah.
Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena
ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :
“Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.
91
2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).
3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak atas
tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Ruang lingkup tanah terlantar
berdasarkan UUPA meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan daripada haknya.
Dalam rangka mencegah terjadinya tanah-tanah yang ditelantarkan
pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998
menyatakan, “Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak
atas tanah, pemegang hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguaasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku .” Selanjutnya Pasal 2 menyatakan
bahwa : “Peraturan Pemerintah ini mengatur tanah terlantar yang dikuasai dengan
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak
Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum
diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 ruang lingkup tanah
terlantar dibagi menjadi tiga bagian :
92
Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai meliputi :
Pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak
dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”
Pasal 4 yang menyatakan bahwa :
“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan
untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan
peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu
permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”
Pasal 5 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah
itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang
baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah
tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Pasal 6 menyatakan bahwa :
(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah
menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak
diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah
dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka
hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
93
Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :
Pasal 7 yang menyatakan behwa :
(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila
kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak
dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian
pelimpahan kewenangan tersebut.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian
bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi :
Pasal 8 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas
tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang
telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak
dipelihara dengan baik.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar,
maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Berdasarkan PP No. 36 Tahun 1998 ruang lingkup obyek penertiban tanah
terlantar adalah tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh
dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dengan sengaja tidak dipergunakan
oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau
tidak dipelihara dengan baik. Obyek penertiban tanah terlantar yang diatur dalam PP
No. 36 Tahun 1998 hanya perbuatan yang dengan sengaja tidak mempergunakan
tanahnya sesuai dengan keadaannya dan sifat serta tujuan pemberian haknya,
sedangkan bagaimana jika pemegang hak tidak dengan sengaja tidak mempergunakan
94
tanahnya, apakah menjadi obyek penertiban atau tidak. Ketentuan ini tidak diatur
dalam peraturan pemerintah tersebut.
Masih banyaknya bidang-bidang tanah yang ditelantarkan dan PP No.36
Tahun 1998 tidak dapat diterapkan maka Pemerintah mengeluarkan PP
No.11 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 dinyatakan
bahwa : “ Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak
oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Berdasarkan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, ruang lingkup obyek penertiban
tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Hak Pengelolaan dan atau dasar penguasaan atas tanah.
1. Hak Milik
Pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA sebagai
berikut : Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi social hak atas tanah (
Pasal 6 ). Dengan demikian sifat-sifat hak milik adalah :
a. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena
hukum dari seorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris.
b. Terkuat artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara
hak-hak yang lain atas tanah.
95
c. Terpenuh artinya artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat
digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
d. Dapat beralih dan dialihkan.
e. Dapat dibebani kredit dengan dibebani hak tanggungan.
f. Jangka waktu tidak terbatas.
Hak milik hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia, seperti apa
yang dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Selain itu dalam ayat (2)
disebutkan bahwa badan hukum juga dapat memiliki hak milik, sebagaimana
ditentukan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 yaitu :
1. Bank-bank Negara misalnya : Bank Indonesia, Bank Dagang Negara,
Bank Negara Indonesia 1946.
2. Koperasi Pertanian.
3. Badan-badan sosial.
4. Badan-badan keagamaan.
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang
25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan yang luasnya paling
sedikit 5 Hektare dengan ketentuan bila luasnya 25 Ha atau lebih, harus memakai
investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, dapat beralih dan
dialihkan pada pihak lain (Pasal 28 UUPA), serta dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 33 UUPA). Sifat-sifat Hak Guna Usaha
adalah :
96
a. Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah Negara untuk keperluan
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
b. Jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 25
tahun.
c. Luas minimum 5 Hektare jika luasnya lebih dari 25 Ha, harus
mempergunakan teknik perusahaan yang baik.
d. Dapat beralih dan dialihkan.
e. Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.
Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna
Usaha adalah :
a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan-badan Hukum yang didirikan dan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
3. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama
30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain (Pasal 35), serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hak Tanggungan (Pasal 39). Dengan demikian sifat-sifat Hak Guna
Bangunan adalah :
a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan
miliknya sendiri, Tanah Negara atau tanah milik orang lain.
b. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.
97
c. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1), yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan
adalah :
a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia.
4. Hak Pakai
Berdasarkan pada Pasal 41 UUPA Hak Pakai adalah Hak untuk
menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Hak Pakai
dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu dan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian
jasa berupa apapun. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsure-unsur pemerasan. Jadi sifat-sifat Hak Pakai adalah :
a. Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian.
b. Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun si pemilik tanah.
c. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
98
d. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun.
e. Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin
Pejabat yang berwenang, apabila mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila
mengenai tanah milik.
f. Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang.
g. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
pemerasan.
Sesuai dengan Pasal 42 UUPA yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah :
a. Warga Negara Indonesia.
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia.
d. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
5. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah Hak Penguasaan atas tanah Negara, dengan maksud
disamping untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang, juga oleh pihak Pemegang
memberikan sesuatu Hak kepada pihak ketiga. Kepada Pemegang Hak diberikan
wewenang untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
99
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dengan
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberian hak atas bagian-
bagian tanah tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang.
d. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan / atau wajib tahunan.
Dengan demikian sifat-sifat Hak Pengelolaan adalah :
1. Hak penguasaan atas tanah Negara.
2. Untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang dan sebagian atas tanah
tersebut diberikan kepada pihak ketiga sesuatu Hak.
3. Kepada si Pemegang Hak diberikan beberapa wewenang termasuk dapat
menerima uang pemasukan dan / atau wajib tahunan.
4. Setelah jangka waktu Hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga
berakhir maka tanah dimaksud kembali kedalam penguasaan sepenuhnya dari
Pemegang Hak Pengelolaan yang bebas dari Hak tanggungan.
5. Apabila sebagian dari Hak Pengelolaan itu diberikan dengan Hak Milik
kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya Hak Milik tersebut lepas dari
Hak Pengelolaan dan / atau hapus, sejak Hak Milik tersebut didaftarkan pada
Kantor Agraria Kabupaten setempat.
Sedangkan yang dapat diberikan Hak Pengelolaan adalah :
a. Departemen-departemen dan Instansi Pemerintah.
b. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah
dan / atau Pemerintah Daerah yang bergerak dalam kegiatan usaha Perusahaan
Industri ( Industri Estate) dan Pelabuhan.
100
Apabila disimak ketentuan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010 yang mengatur
obyek penertiban tanah terlantar, maka tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan
yang berbentuk Badan Hukum atau yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi
obyek penertiban tanah terlantar, karena Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan
atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, begitu juga tanah yang dikuasai
pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun
belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dikecualikan atau
tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3
yang menyatakan bahwa : “Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a. Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang
secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya; dan
b. Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung
dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah
yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya.
Dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar didasarkan pada alasan karena
Pemegang Hak perseorangan tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi, untuk
mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat
dari pemberian haknya. Begitu juga karena keterbatasan anggaran Negara / daerah
101
untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dari pemberian haknya.
Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan,
dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian
haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan
Pemerintah Kota Denpasar, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar
di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar
diluas jalan utama kota seperti di Jalan Sudirman, Jalan Diponegoro, Jalan Hayam
Wuruk. Bukan hanya lahan yang mangrak, bangunan yang sudah ada juga ada yang
mangkrak. Hal ini terjadi dikawasan Taman Bali Festival Padanggalak Kesiman.88
Kondisi ini dapat membuat kawasan ibu kota provinsi daerah tujuan wisata
internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata
dengan baik. Dari banyaknya lahan atau tanah yang terbengkalai atau terindikasi
terlantar ini, kebanyakan berstatus Hak Guna Bangunan..
3.2.2. Tata Cara Penertiban tanah Terlantar
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum
dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk
mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar
tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap
hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau
larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
88 Bali Post, 2011, Lahan Mangkrak Rusak Wajah Denpasar, Bali Post tanggal 11 Maret,
hal.7
102
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan tanahnya. Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA
menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri
secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Kemudian Pasal 15
menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang
ekonomi lemah.” Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e
yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan
negara apabila tanah tersebut ditelantarkan.
Tanah hak milik, tanah hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, hak pakai,
dan hak pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah tidak diusahakan, tidak
dipergunakan atau tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya, atau ditelantarkan maka hak atas tanahnya
tersebut akan hapus dan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara, yang artinya
tanah tersebut menjadi tanah negara kembali. Secara yuridis hak atas tanah menjadi
hapus jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak
dipenuhinya kewajiban tersebut atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh
pemegang hak yang bersangkutan. Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan
keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru
103
menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-
hak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.89
Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah diberikan
kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap pemegang hak yang
menelantarkan tanahnya. Tindak pemerintahan dalam hukum administrasi
digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak pemerintahan berdasarkan hukum
(rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (feitelijke
handeling). Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua
macam tindakan yaitu tindakan hukum privat dan tindakan hukum publik. Tindakan
hukum publik dibedakan menjadi dua yaitu tindakan hukum publik bersegi satu atau
sepihak dan tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan
hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual.Tindakan
hukum publik sepihak bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau
regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum
publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan atau
beschikking.
Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil
tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara untuk diterapkan secara nyata dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap
kewajiban yang lahir dari suatu hubungan Hukum Tata Usaha Negara maupun pada
pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang. Badan atau Pejabat TUN
berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya putusan
89 Boedi Harsono,op.cit, hal.339.
104
pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan, tentunya
pihak yang bersangkutan harus diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa
akan dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan penetapan tertulis yang
dapat digugat keabsahannya.90
Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban harus berisi antara
lain :
- Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturan
yang dilanggar disebutkan.
- Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apa
yang harus dilakukan.
- Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.
- Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benar-
benar dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan
penertiban, maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian.
Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar;
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
90 Indroharto, op.cit. hal.239.
105
c. Peringatan terhadap pemegang hak;
d. Penetapan tanah terlantar.
a. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar
Informasi tanah terindikasi terlantar diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan
dinas / instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau pemegang hak.
Inventarisasi tanah terindikasi terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, tanah yang telah memperoleh
dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak diterbitkan izin / keputusan /
surat dasar penguasaan tanah tersebut. Kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan
melalui:
1. Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar meliputi data
tekstual dan data spasial.
a. Data tekstual meliputi nama dan alamat pemegang hak, nomor dan tanggal
keputusan pemberian hak, nomor, tanggal dan berakhirnya sertifikat, letak
tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar.
b. Data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan
koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar.
2. Pengelompokan data tanah terindikasi terlantar yang telah terhimpun menurut
wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan tanah.
3. Merekapitulasi data hasil inventarsasi menjadi basis data tanah terindikasi
terlantar.
106
c. Identifikasi dan Penelitian
Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan
identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian dilakukan 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya sertipikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai, serta tanah yang telah memperoleh izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas
tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan
tersebut. Kakanwil BPN menetapkan target tanah hak yang terindikasi terlantar,
dengan mempertimbangkan lamanya tanah tersebut ditelantarkan dan / atau luas
tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan
penelitian, Kakanwil BPN menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar
yang meliputi :
1. Verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah;
2. Mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk
mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila
pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak
ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap
dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data;
4. Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dengan menggunakan tehnologi yang ada;
5. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta
pertanahan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik;
107
6. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut
permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian
dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang;
7. Menyususn laporan hasil identifikasi dan penelitian;
8. Kakanwil BPN memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak yang
akan dilakukan identifikasi dan penelitian sesuai dengan alamat atau domisili
pemegang hak;
9. Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat atau domisilinya, maka
pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di
lokasi tanah yang bersangkutan, bahwa tanah tersebut sedang dalam tahap
identifikasi dan penelitian oleh Kakanwil BPN.
Setelah data hasil identifikasi dan penelitian dinilai cukup sebagai bahan pengambilan
keputusan upaya penertiban, Kakanwil membentuk Panitia C yang terdiri dari unsur
Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan
dengan peruntukan tanah yang bersangkutan. Susunan keanggotaan Panitia C terdiri
dari :
a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah
b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan
Pemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota
c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
2. Dinas/instansi Provinsi yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya
108
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan
dengan peruntukan tanahnya
4. Kepala Kantor Pertanahan
Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan konsep laporan hasil
identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Kakanwil BPN, dan apabila
diperlukan Panitia C dapat melakukan pengecekan lapangan. Panitia C
menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara
kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.
d. Peringatan
Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia
C ( Berita Acara Panitia C) disimpulkan terdapat tanah yang diterlantarkan, Kepala
Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada pemegang hak dan sekaligus
memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan tersebut, pemegang hak mengusahakan,
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Dalam surat peringatan pertama,
disebutkan hal-hal konkrit yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat
dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan
peringatan tersebut. Tindakan konkrit yang harus dilakukan pemegang hak antara
lain :
a. Mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan
atau sifat dan tujuan pemberian haknya;
109
b. Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan perubahan
hak atas tanah kepada Kepala sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c. Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah
mengusahakan, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan
izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang.
Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah
memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan
pertama, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu
yang sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan
peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada akhir peringatan kedua, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis
ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan
peringatan kedua. Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang
hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala
setiap 2 (dua) mingguan kepada Kakanwil BPN dengan tembusan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi
lapangan oleh Kanwil BPN pada setiap akhir peringatan.
d. Penetapan Tanah terlantar
Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi,
masih terdapat tanah yang diterlantarkan (berarti pemegang hak tidak mematuhi
peringatan tersebut), maka Kepala Kanwil BPN mengusulkan kepada Kepala BPN
110
RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud
tidak mematuhi peringatan, adalah apabila :
1. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan
tujuan pemberian hak;
2. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan Surat Keputusan hak
atau dasar penguasaan tanah;
3. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak
atau dasar penguasaan tanah;
4. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan Surat
Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah;
5. tidak ada tindak-lanjut penyelesaian pembangunan.
6. tanah dasar panguasaan telah digunakan tetapi belum mengajukan
permohonan hak.
Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam kondisi status
quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar. Artinya terhadap tanah tersebut tidak
dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah. Kepala BPN RI menerbitkan Keputusan
Penetapan Tanah Terlantar atas usul Kakanwil BPN, sekaligus memuat hapusnya hak
atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung
oleh negara. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu
1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak. Apabila tanah terlantar
tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus
dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan
tetapi hapusnya hak tanggungan tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau
111
utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum
tersebut bersifat keperdataan. Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan
tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi
atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan,
maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan
pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah.
Keputusan Penetapan tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI
merupakan tindakan hukum publik sepihak, sehingga agar tidak menimbulkan
kerugian bagi pemegang hak atas tanah maka sebelum keputusan itu ditetapkan perlu
diperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma bagi
perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma
di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma hukum tidak tertulis yang
senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan
dalam menjalankan pemerintahan.
Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13 ( tigabelas) asas-asas umum
pemerintahan yang baik yaitu :
1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)
2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)
3. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)
4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation )
112
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of
competence )
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality)
7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play)
8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of
arbitrariness)
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar ( Principle of meeting raised
expectation )
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the
consequences of unneled decision )
11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the
personal way of life )
12. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently)
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )91
Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum,
selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang
bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi.
2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas
mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang
dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada.
3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak
cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga
negaranya.
4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap
keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang
cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan.
91 Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit, hal. 28.
113
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek
wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam
undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang
berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas.
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan
pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama.
7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan
serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan.
8. Asas Keadilan dan Kewajaran, asas ini menghendaki pejabat tata usaha
Negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang
dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat.
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga
Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah.
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika
terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang
terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau
pengembalian nama baik.
11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki
pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi
114
negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi
setiap warga negara.
12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan
kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan
formal atau hukum tertulis.
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan
umum.
Secara yuridis asas-asas umum pemerintahan yang baik dituangkan dalam UU
No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme. Asas-asas Penyelenggaraan Negara terdiri dari :
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas;
7. Asas Akuntabilitas.
Dalam melakukan tindakan penertiban tanah terlantar pemerintah harus
memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu asas bertindak
cermat, dan asas keseimbangan. Asas kecermatan berkaitan dengan tindakan dalam
melakukan identifikasi dan penelitian tanah terlantar yang meliputi : nama,dan alamat
115
pemegang hak ; letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan
fisik tanah yang dikuasai pemegang hak, dan keadaan yang menyebabkan tanah
terlantar. Asas keseimbangan terkait dengan pemberian sanksi atas pelanggaran yang
dilakukan. Dalam mengeluarkan keputusan penetapan tanah terlantar harus
dipertimbangkan berapa luas tanah yang tidak dimanfaatkan, dan berapa luas tanah
yang dimanfaatkan sehingga dalam penetapan sanksinya ada keseimbangan terhadap
kewajiban yang dilanggar apalagi bila disimak ketentuan PP No 11 Tahun 2010 tidak
mengatur tentang ganti rugi yang diperoleh pemegang hak yang tidak dapat
melaksanakan kewajibannya. Dalam PP No 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala
BPN No.4 Tahun 2010 pasal 20 dinyatakan : Sebagai bahan pertimbangan dalam
Penetapan tanah terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah
hak/dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai
berikut:
1. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100%
diterlantarkan;
2.sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% – < 100% diterlantarkan,
dan
3. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan.
Apabila seluruh hamparan tanah yang ditelantarkan maka keputusan
penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas tanah
tersebut. Jika sebagian hamparan yang ditelantarkan maka keputusan penetapan tanah
terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas tanah tersebut, dan selanjutnya
kepada bekas pemegang hak diberikan kembali sebagian tanah yang benar-benar
116
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian
haknya, dengan melalui prosedur permohonan hak atas tanah. Terhadap tanah yang
ditelantarkan kurang dari atau sama dengan 25 (dua puluh lima ) persen maka
keputusan penetapan tanah terlantar diberlakukan hanya terhadap tanah yang
ditelantarkan dan pemegang hak dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang
tanah tersebut.
Dengan demikian akibat hukum dari pemegang hak atas tanah yang tidak
melaksanakan kewajibannya, hak atas tanahnya akan hapus dan jatuh ketangan
negara, dan tanahnya langsung dikuasai negara.
117
BAB IV
PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA
PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR
4.1. Pendayagunaan Tanah terlantar
4.1.1. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah
negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan Pasal 15 PP No. 11
Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan
masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan
Negara lainnya. Dengan demikian pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar
adalah pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan
pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan
untuk cadangan negara lainnya.
1. Reforma Agraria
Istilah pembaharuan agraria (agrarian reform) dalam arti rekstruturisasi
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski
dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda tergantung pada jaman dan Negara tempat
terjadinya pembaharuan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap Negara
118
mempunyai struktur agraria dan sistem politik yang berbeda-beda meskipun ada
beberapa persamaan yang mendasar dalam pembaharuan agraria itu.
Gunawan Wiradi dalam bukunya Ida Nurlinda menyatakan pada intinya
pembaharuan agraria adalah upaya perubahan struktural yang mendasarkan diri pada
hubungan-hubungan intra dan antar subjek-subjek agraria dalam kaitan akses
(penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria. Namun secara konkret,
pembaharuan agraria diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan
tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang
memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya.92
Pengertian pembaharuan agraria tidak hanya terbatas pada aspek landreform
semata, tetapi mencakup juga penataan hubungan-hubungan produksi (penyakapan,
kelembagaan) dan pelayanan pendukung pertanian secara umum. Dalam tataran
implementasi, pembaharuan agraria sering dipadankan dengan landreform. Pada
intinya, landreform diartikan sebagai restrukturisasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam praktek Elias H. Turma dalam buku Ida
Nurlinda berpendapat bahwa konsep landreform telah diperluas cakupannya dengan
menekankan peran strategis dari tanah untuk pertanian dan pembangunan.93
Maria Sumardjono menyatakan bahwa pada intinya pembaharuan agraria
merupakan :
a. Suatu proses yang berkesinambungan;
b. Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;
92 Ida Nurlinda, op.cit. hal. 77.
93
Ida Nurlinda,op.cit. hal. 78
119
c. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan
hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumberdaya alam /agraria,
serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 94
Dari rumusan yang demikian luas tampak bahwa konsep pembaharuan
agraria bukanlah semata- mata konsep redistribusi tanah, tetapi merupakan sebuah
konsep pembanguan yang bertujuan untuk pemerataan pendapatan dan keadilan
sosial.
Menurut Elias H. Tuma, konsep operasional antara landreform dan
pembaharuan agraria sama saja, yaitu mencakup lima bentuk pembaharuan yaitu :
a. Pembaharuan diarahkan pada struktur pemilikan tanah dan ketentuan-
ketentuan penguasaan;
b. Redistribusi kepemilikan tanah dari individu yang satu kepada individu yang
lain, dari individu kepada kelompok/komunitas yang lebih besar, atau dari
suatu kelompok kepada individu-individu;
c. Penataan skala usaha pertanian dengan cara memperbesar atau memperkecil
skala operasinya;
d. Perbaikan pola budidaya pertanian dari segi teknis untuk mempengaruhi
produktivitasnya secara langsung;
e. Perbaikan pada aspek diluar wilayah pertanian, seperti kredit, pemasaran dan
pendidikan.95
Secara normatif, Pasal 2 Tap MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyatakan bahwa “ Pembaharuan
Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
94 Maria S.W. Sumardjono, op.cit. hal.2.
95
Ida Nurlinda, op.cit, hal.80
120
Dari pemahaman diatas, tampak bahwa pembaharuan agraria ditujukan untuk
merestrukturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria agar lebih
berkeadilan, berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat dalam upaya mewujudkan
negara kesejahteraan (welfare state), karena dalam negara kesejahteraan, negara harus
mengutamakan kepentingan rakyat (umum), turut secara aktif dalam pergaulan sosial
sehingga kesejahteraan sosial semua orang tetap terpelihara.
Sumber daya agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri.
Oleh karena itu harus dimanfaatkan secara optimal untuk generasi mendatang
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang berdasarkan
Pancasila.
Pemanfaatan sumber daya agraria yang menggunakan asas sentralisasi
banyak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketidakadilan dalam
penguasaan, pemilikan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.
Untuk mengatasi semua permasalahan itu diperlukan adanya deregulasi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria yang
adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi,
terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi, dan peran serta masyarakat .
Pembaharuan agraria sebagai upaya untuk merestrukturisasi aspek
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria
lainnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor IX tahun 2001
merupakan komitmen politik awal di bidang pertanahan dan sumber daya
121
agraria lainnya untuk mereformasi (merestrukturisasi) berbagai peraturan dan
kebijakan yang terkait dengannya. Restrukturisasi perlu dilakukan karena selama ini
telah terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dan pada akhirnya menimbulkan konflik, disamping terjadinya
penurunan kualitas lingkungan.
Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian,
dan perlindungan hukum serta keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung
di darat, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan agraria, diperlukan prinsip-
prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-
prinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-
hal pokok yang menjadi tujuan pembaharuan agraria.
UUPA telah menggariskan prinsip-prinsip reforma agraria :
1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2
ayat 1). Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan
makmur ( Pasal 2 ayat 3);
122
2. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6);
3. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7);
4. Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan
2. Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk
mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya
(Pasal 9 ayat 1 dan 2);
5. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10);
6. Menjamin perlindungan terhadap kepentingan ekonomi yang lemah;
7. Usaha bersama dalam lapangan agraria dalam bentuk koperasi dan gotong
royong (pasal 12);
8. Pemerintah berkewajiban mengelola sumber-sumber agraria agar
mempertinggi produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin bagi
warganegara derajat hidupnya sesuai dengan martabat manusia (Pasal 13);
9. Pemerintah dalam lapangan agraria mencegah adanya monopoli;
10. Pemerintah memajukan kepastian dan jaminan social termasuk di bidang
perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria;
11. Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan,
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya;
12. Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban semua pihak (Pasal 15).
Menurut Maria S.W. Sumardjono, prinsip-prinsip dasar pembaharuan agraria
tersebut adalah :96
a. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber daya agraria
merupakan hak ekonomi setiap orang;
b. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum
setempat (pluralisme);
c. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
(keadilan gender,keadilan dalam suatu generasi dan antar generasi, serta
pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraris
yang menjadi ruang hidupnya);
d. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; bahwa
hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi ruang yang
96 Sumardjono, op.cit, hal.96
123
bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat
yang lebih luas;
e. Penyelesaian konflik pertanahan;
f. Pembagian tanggungjawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan
manajemen sumber-sumber agraria;
g. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan;
h. Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan
sumber-sumber agraria;
i. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria;
j. Pembiayaan program-program agraria.
Tidak jauh berbeda dari prinsip-prinsip tersebut di atas , ketentuan Pasal 4
Ketetapan MPR RI Nomor : IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, menetapkan prinsip-prinsip pembaharuan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam sebagai berikut :
1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman
dalam unifikasi hukum;
4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia;
5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi
partisipasi rakyat;
6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatannya, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;
7. Memelihara keberlanjutan yang dapat member manfaat yang optimal, baik
untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tamping, dan daya dukung lingkungan;
8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat;
9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan, dan
antar daerah dalam pelaksanaan pembaharuan agraria, dan pengelolaan
sumber daya alam;
10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat, dan
keanekaragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,
daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat,
dan individu;
124
12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan alokasi, dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya
alam.
Atas dasar prinsip-prinsip pembaharuan agraria tersebut, maka arah kebijakan
pembaharuan agraria adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antar sector demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip pembaharuan agraria;
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat;
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi, dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip diatas;
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban
pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang
berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi;
f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan
program pembaharuan agrariadan penyelesaian konflik-konflik sumber daya
agraria yang terjadi.
Sedangkan arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah :
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam
rangkaian sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan pada prinsip-
prinsip tersebut diatas;
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai
potensi pembangunan nasional;
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya, dan mendorong terwujudnya tanggungjawab
sosial untuk menggunakan tehnologi ramah lingkungan termasuk tehnologi
tradisional;
125
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam
dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber
daya alam tersebut;
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik pada masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip diatas;
f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan;
g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi kepentingan
masyarakat, dan kondisi daerah maupun nasional.
Dengan demikian reforma agraria dimaksudkan untuk merestrukturisasi aspek
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria
lainnya. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No.11 Tahun 2010, Reforma agraria
merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum
pertanahan serta penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah
sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor IX /MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UUPA.
Penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah dapat dilakukan
melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.
Menurut Arie Sukanti Hutagalung, redistribusi tanah adalah pembagian
tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan telah ditegaskan menjadi obyek
landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat
ketentuan PP No.224 Tahun 1961.97
Dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan
97Arie Sukanti Hutagalung, 1985, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana
ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah, CV. Rajawali, Jakarta, hal.57.
126
sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan
merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan
pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.
Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah negara bekas tanah
terlantar melalui pendistribusian tanah negara merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Melalui reforma
agraria tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dalam pendayagunaannya dapat
dibagikan kepada masyarakat. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar
memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya para petani penggarap untuk
memanfaatkan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut.
2. Program Strategis Negara
Menurut PP No. 11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah terlantar melalui
Program Strategis Negara adalah untuk pengembangan sektor pangan, energi, dan
perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
a. Sektor Pangan
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa :
(1) Perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandiriaan serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pangan merupakan hak yang paling mendasar dari warganegara serta salah
satu unsur dari kekuatan nasional dalam politik antar bangsa. Untuk itu sangat
127
diperlukan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan
negara. Sebagai hak dasar, pangan merupakan hak asasi manusia dimana Negara
memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan
masyarakat. Pasal 45 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan
bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan.
Jika peranan negara ini dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, maka produksi
pangan adalah cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, di
dalam penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai “Produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-
anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang perorang. Sebab itu, perekonomian disusun bersama berdasar asas
kekeluargaan “.
Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, mengandung pengertian
bahwa hak menguasai negara bukan dalam makna Negara memiliki, tetapi dalam
pengertian bahwa Negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan
pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.
Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan sebagai bagian program strategis negara. Untuk mewujudkan
ketahanan pangan, program yang perlu diperkuat adalah pembangunan sektor
pertanian. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional
adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diarahkan
128
pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta bertujuan untuk
meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
petani.
Terkait pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui program
strategis Negara di sektor pangan, pemerintah menetapkan wilayah pengembangan
budidaya tanaman untuk memperkuat pembangunan sektor pertanian dalam
mewujudkan ketahanan pangan.
b. Sektor Energi
Sumber daya energi sebagai kekayaan alam merupakan anugerah Tuhan Yang
Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, sumber daya energi
merupakan sumber daya alam yang strategis dan sangat penting bagi hajat hidup
rakyat banyak terutama dalam peningkatan kegiatan ekonomi, kesempatan kerja, dan
ketahanan nasional maka sumber daya energi harus dikuasai Negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan
pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional,
optimal dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan
Negara Indonesia. Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan energi yang
dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam
pelaksanaannya harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup. Mengingat arti penting sumber daya energi, pemerintah perlu menyusun
129
rencana pengelolaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang
berdasarkan kebijakan pengelolaan energi jangka panjang.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi mendefinisikan
Pengelolaan energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan
pemanfaatan energi serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi sumber daya
energi. Dalam Pasal 19 ayat (2) dinyatakan bahwa masyarakat, baik secara
perorangan maupun kelompok, dapat berperan dalam hal penyusunan rencana umum
energi nasional dan rencana umum energi daerah serta pengembangan energi untuk
kepentingan umum. Selain UU No. 30 Tahun 2007 tentang energi, terdapat pula
sejumlah peraturan perundangan sektoral yang terkait yaitu UU No.30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan
pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tenaga listrik sebagai
salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai peranan penting bagi
Negara dalam mewujudkan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Mengingat arti penting tenaga listrik bagi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat
(2) UUD 1945, Undang-undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga
listrik dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah.
130
Disamping ketenagalistrikan, mineral dan batubara sebagai sektor energi juga
memegang peranan penting bagi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam
bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu
dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar kemakmuran
rakyat secara berkelanjutan.
Sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam rangka mencapai
kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, pemanfaatan tanah negara bekas tanah
terlantar bagi program strategis Negara sektor energi dapat dilakukan dengan
menetapkannya sebagai wilayah pertambangan rakyat yang dapat dimanfaatkan
sebagai tempat dilakukannya kegiatan usaha pertambangan rakyat.
c. Perumahan Rakyat
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam UUD
1945, dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah
dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan
social berdasarkan Pancasila.
Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan
131
peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman
tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari
itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk
memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati dirinya.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan
pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang
dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan pemukiman harus
ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannnya harus dikelola dan dikendalikan
oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaataannya dapat menjangkau
masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan
sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.
Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan pemukiman,
perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan
pengelolaannya. Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan
perumahan dan pemukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan,
pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian
dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang,
pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan komponen, jasa konstruksi
132
dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta
peraturan perundang-undangan.
Pembangunan perumahan dan pemukiman harus mencerminkan perwujudan
manusia seutuhnya dan peningkatan kualitas manusia , meniadakan kecemburuan
sosial dan secara positif menciptakan perumahan dan pemukiman yang
mencerminkan kesetiakawanan serta keakraban sosial. Pembangunan perumahan dan
pemukiman harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan
kemampuan masyarakat serta berwawasan lingkungan.
Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia, yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk
melindungi diri dari cuaca, iklim dan ganguan lainnya. Selain itu rumah berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal untuk mengembangkan kehidupan dan
penghidupan keluarga. Perumahan dan pemukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana
kehidupan semata, akan tetapi merupakan proses berfikir dalam menciptakan ruang
kehidupan untuk kehidupan masyarakat. Dengan demikian rumah dan pemukiman
mempunyai peranan yang sangat strategis untuk mewujudkan pembangunan nasional
yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.
Pembangunan perumahan oleh pemerintah dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan khusus antara lain transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana dan
pemukiman yang terpencar-pencar dan pembangunan rumah dinas. Sedangkan
pembangunan perumahan oleh badan-badan sosial atau keagamaan antara lain untuk
menampung orang lanjut usia (jompo) dan yatim piatu.
133
Obyek dari pembangunan perumahan dan pemukiman berdasarkan Pasal 32
UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman antara lain :
1. Tanah yang langsung dikuasai Negara;
2. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
3. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang pendayagunaan tanah
terlantar yang diatur dalam PP No.11 Tahun 2010, maka tanah-tanah negara bekas
tanah terlantar dapat didayagunakan dalam pembangunan sektor perumahan dan
pemukiman rakyat yang merupakan program strategis negara. Penyediaan tanah
untuk perumahan dan pemukiman melalui penggunaan tanah negara, selain ditujukan
untuk penyediaan kaveling tanah dengan penerapan subsidi silang, juga ditujukan
sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan. Penerimaan hasil
pengusahaan tanah negara tersebut digunakan untuk penyediaan tanah di lokasi lain
sehingga selalu tersedia cadangan tanah negara dalam jumlah yang memadai untuk
pembangunan perumahan dan pemukiman pada waktu yang akan datang.
3. Cadangan Negara
Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah Negara Bekas
tanah terlantar sebagai cadangan Negara diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah
akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang
terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
134
Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi
yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai Negara dengan tujuan untuk
kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 di lapangan
agraria (kekayaan alam), UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki
fungsi sosial. Artinya pemanfaatan tidak hanya memberi manfaat bagi pemiliknya,
tetapi juga masyarakat sekelilingnya dan tidak boleh merugikan kepentingan umum.
Pasal 7 UUPA menegaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan
umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Kemudian dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Artinya dengan
alasan kepentingan umum Negara dapat mengambil alih tanah-tanah masyarakat
maupun swasta.
Tanah-tanah negara bekas tanah terlantar sebagai cadangan negara selain
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan
pemerintah, dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk pertahanan
dan keamanan. Menurut Pasal 1 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,
disebutkan bahwa sistem pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat
semesta yang melibatkan seluruh warganegara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
135
secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Yang
dimaksud sumber daya nasional termasuk di dalamnya adalah sumber daya manusia,
sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah potensi yang
terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat
didayagunakan untuk kepentingan pertahanan Negara.
Dengan demikian sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia,
sumber daya alam dan buatan, dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan
pertahanan negara termasuk tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dapat
dialokasikan untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan.
Tanah negara bekas tanah terlantar yang diperuntukkan sebagai tanah
cadangan negara dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah akibat adanya
bencana alam. Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan
terletak digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra
dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain
posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis,
hgidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan
frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis,
terpadu, dan terkoordinasi.
Dalam UU No. 24 Tahun 2009, Penanggulangan Bencana merupakan salah
satu bagian dari pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan
bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Untuk
melaksanakan penanggulangan bencana, pemerintah (Badan Penanggulangan
136
Bencana) mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat
tanggap darurat, dan pasca bencana (Pasal 16 UU No.24 Tahun 2009 ).
Proses penanggulangan bencana memiliki keterkaitan erat dengan
pemanfaatan tanah. Pasal 32 UU No.24 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah dapat menetapkan daerah
rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman dan/atau mencabut atau
mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda.
Keterkaitan kebijakan penanggulangan bencana dengan pemanfaatan dan
penggunaan tanah adalah dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam tahap
rehabilitasi, akan dilakukan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Dalam tahap
rekonstruksi, akan dilakukan pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan bangkitnya
peranserta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana. Berdasarkan hal tersebut, maka tanah negara bekas tanah terlantar
memungkinkan untuk dialokasikan atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutahan
tanah untuk penanggulangan bencana khususnya dalam hal relokasi.
137
Walaupun melalui kebijakan pendayagunaan tanah negara bekas tanah
terlantar, pemerintah dapat memanfaatkan tanah terlantar untuk kebutuhannya namun
dalam prosesnya harus tetap merujuk pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 disebutkan bahwa
Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila
berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.
Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah terlantar melalui reforma
agraria, program strategis Negara, dan untuk cadangan Negara merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan keadilan terhadap tanah bagi orang Indonesia. Yang
menjadi persoalan sekarang adalah masyarakat yang dapat memanfaatkan tanah
Negara bekas tanah terlantar tersebut. Dalam Pasal 15 ayat (2) PP No.11 Tahun 2010
dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar sebagimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala”. Kalau disimak ketentuan tersebut
terdapat kekaburan dalam pelaksanaan pendayagunaan tanah Negara bekas tanah
terlantar karena peruntukan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah terlantar
melalui reforma agraria, program strategis Negara dan cadangan umum Negara
ditentukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan
tatacara pendayagunaan tanah terlantar tersebut kurang jelas sehingga tanah-tanah
terlantar belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
138
4.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah Terlantar
Wewenang sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah
adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah untuk dapat
menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi wewenang. Adanya
pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan
yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya
haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan
pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-
besar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh Negara” terlihat bahwa
kewenangan dibidang pertanahan dilaksanakan oleh negara yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang
bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yang
mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.
Selanjutnya kewenangan Negara menguasai bidang pertanahan diatur dalam
Pasal 2 UUPA yang berbunyi :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini member
wewenang untuk :
139
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi
dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,
menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),
menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak
menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan
penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang
eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau
didelegasikan kepada Menteri.98
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut
digunakan oleh pemerintah selaku wakil negara untuk menyelenggarakan dan
mengatur masalah-masalah agraria dengan mengeluarkan berbagai peraturan baik
yang dikeluarkan oleh presiden maupun yang dikeluarkan oleh Kepala Badan
98 Edy Ruchiyat, loc.cit.
140
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) yang pelaksanaannya dapat
didelegasikan kepada menteri-menteri. Hal ini berhubungan dengan ketentuan bahwa
untuk mencapai kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Kewenangan pendayagunaan tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 11
Tahun 2010 merupakan kewenangan delegasi dimana Presiden mendelegasikan
kewenangannya kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan
pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar untuk kepentingan
masyarakat.Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 tahun 2010 yang
menyatakan bahwa pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah
negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan
kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP No.11 Tahun 2010
dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh
Kepala.Kalau disimak ketentuan tersebut maka yang berwenang dalam
pendayagunaan tanah terlantar adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai dari negara tersebut
diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.Dengan
ketentuan pasal ini daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus bidang
pertanahan. Kemudian diterbitkan Kepres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
141
Nasional di Bidang Pertanahan yang menentukan bahwa penyerahan sebagian
kewenangan pemerintah dibidang pertanahan kepada pemerintah daerah
Kabupaten//Kota. Adapun kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah
kabupaten /kota meliputi sembilan jenis kewenangan yaitu :
1. Pemberian ijin lokasi;
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee;
6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak ulayat;
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
8. Pemberian ijin membuka tanah; dan
9. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
Kemudian dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
ditentukan bahwa daerah berwenang untuk mengarur dan mengurus bidang
pertanahan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib. Untuk menjabarkan
pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan UU No.32 Tahun 2004 diterbitkan PP
No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Lampiran PP No.38 Tahun 2007 huruf I disebutkan perincian kewenangan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam bidang pertanahan.
Adapun perincian kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan
menurut lampiran PP No.38 Tahun 2007 meliputi :
A. Sub. Bidang : Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria ijin lokasi.
2. Pemberian ijin lokasi lintas provinsi.
142
3. Pembatalan ijin lokasi atas ususlan pemerintah provinsi dengan
pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi.
4. Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
B. Sub. Bidang : Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.
3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
C. Sub. Bidang : Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan.
2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan
penanganan sengketa tanah garapan.
D. Sub. Bidang : Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah
untuk Pembangunan yang meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan.
2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian
ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
E. Sub. Bidang : Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti
Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
2. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform nasional.
3. Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan
penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee.
F. Sub. Bidang : Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan
dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
G. Sub. Bidang : Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong yang
meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan
penyelesaian tanah kosong.
2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan
pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
143
H. Sub. Bidang : Ijin Membuka Tanah, yang meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian ijin
membuka tanah.
2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin
membuka tanah.
I. Sub. Bidang : Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota yang
meliputi :
1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
2. Pembinaan, pengendalain dan monitoring terhadap pelaksanaan
perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
Dari perincian kewenangan sebagaimana tersebut diatas terlihat bahwa isi
kewenangan Pemerintah Pusat adalah pada tataran pembuatan kebijakan dan
pengaturan /regulasi yang meliputi sembilan sub. Bidang tersebut.
Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di bidang pertanahan sesuai
dengan Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, yang meliputi 9 sub. Bidang yaitu :
A. Sub. Bidang Ijin Lokasi, yang meliputi :
1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan;
2. Kompilasi bahan koordinasi;
3. Pelaksanaan rapat koordinasi;
4. Pelaksanaan peninjauan lokasi;
5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis
pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait;
6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang
diterbitkan;
7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi;
8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat keputusan
ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota;
9. Monitoring dan pembinan perolehan tanah.
B. Sub. Bidang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, yang meliputi :
1. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota;
2. Penetapan lokasi;
3. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
4. Pelaksanaan penyuluhan;
144
5. Pelaksanaan inventarisasi;
6. Pembentukan tim penilai tanah;
7. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah;
8. Pelaksanaan musyawarah;
9. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian;
10. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian;
11. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian;
12. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
C. Sub. Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, yang meliputi :
1. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota;
2. Penerimaaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan;
3. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa;
4. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan;
5. Koordinasi dengan instansi terkait untuk meneyapkan langkah-langkah
penanganannya;
6. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk
mendapatkan kesepakatan para pihak.
D. Sub. Bidang penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk
Pembangunan, yang meliputi :
1. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan;
2. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah
untuk pembangunan.
E. Sub. Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti
Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi :
1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi;
2. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee;
3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti
kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
F. Sub. Bidang Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi :
1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota;
2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian;
3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat;
4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah
ulayat;
5. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
G. Sub. Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong, yang meliputi :
1. Penyelesaian masalah tanah kosong;
2. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
H. Sub. Bidang Ijin Membuka Tanah, yang meliputi :
1. Penyelesaian permasalahan pemberian ijin membuka tanah;
2. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah (tugas
pembantuan).
145
I. Sub. Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, yang
meliputi : Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota.
Apabila disimak kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dalam
mengurus pertanahan sebagaimana disebutkan dalam lampiran PP No. 38 Tahun
2007 tersebut, maka dapat dikatakan Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan yang
bersifat lintas kabupaten/kota.
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus bidang
pertanahan ditentukan secara rinci dalam Lampiran PP No.38 Tahun 2007 yang
meliputi 9 Sub. Bidang, yaitu :
A. Sub. Bidang Ijin Lokasi, yang meliputi :
1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan;
2. Kompilasi bahan koordinasi;
3. Pelaksanaan rapat koordinasi;
4. Pelaksanaan peninjauan lokasi;
5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis
pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait;
6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang
diterbitkan;
7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi;
8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat keputusan
ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota;
9. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.
B. Sub. Bidang Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum, yang meliputi :
1. Penetapan lokasi;
2. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
3. Pelaksanaan penyuluhan;
4. Pelaksanaan inventarisasi;
5. Pembentukan tim penilai tanah;
6. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah;
7. Pelaksanaan musyawarah;
8. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian;
146
9. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian;
10. Penyesuaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian;
11. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
C. Sub. Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, yang meliputi :
1. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan;
2. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa;
3. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan;
4. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah
penanganannya;
5. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk
mendapatkan kesepakatan para pihak.
D. Sub. Bidang Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk
Pembangunan, yang meliputi :
1. Pembentukan tim pengawasan pengendalian;
2. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan.
E. Sub. Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti
Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang
meliputi :
1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan secretariat panitia;
2. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk
penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
3. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara;
4. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai
obyek landreform berdasarkan hasil sidang panitia;
5. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia;
6. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta
ganti kerugian.
F. Sub. Bidang Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi :
1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota;
2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian;
3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat;
4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah
ulayat;
5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
6. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
147
G. Sub. Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong, yang meliputi :
1. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman
pangan semusim;
2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat
digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain
berdasarkan perjanjian;
3. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan
semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat;
4. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak
yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh Kepala
Desa/Lurah dan Camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim
panen;
5. Penanganan yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian.
H. Sub. Bidang Ijin Membuka Tanah, yang meliputi :
1. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan;
2. Pemeriksaan lapangan dengan memperhatikan kemampuan tanah, status
tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.
3. Penerbitan ijin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan
teknis dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
4. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah (tugas
pembantuan).
I. Sub. Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, yang
meliputi :
1. Pembentukan tim koordinasi tingkat Kabupaten/Kota;
2. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari :
a. Peta pola penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta
persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat;
b. Rencana tata ruang wilayah;
c. Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana
pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.
3. Analisa kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis
dari instansi terkait;
4. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah;
5. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak penggunaan
tanah dengan instansi terkait;
6. Konsultasi politik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana
letak kegiatan penggunaan tanah;
7. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah;
8. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta
dan penjelasannya dengan keputusan Bupati/Walikota;
9. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada
instansi terkait;
148
10. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah
berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kewenangan bidang
pertanahan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana
disebutkan dalam lampiran PP No.38 Tahun 2007 hanya bersifat teknis belaka.
Dalam Pasal 2 Kepres No.34 tahun 2003, dinyatakan bahwa sebagian
kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Pertanahan dilimpahkan kepada daerah.
Pemerintah melalui Kepres No.34 Tahun 2003 telah menentukan pembagian
kewenangan BPN (Pemerintah) beserta ruang lingkup tugasnya dengan Pemerintah
Daerah dalam bidang pertanahan yaitu :99
1. Wewenang BPN Pusat meliputi :
a. Pengaturan penyelenggaraan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah.
b. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan tanah.
c. Pengurusan hak atas tanah.
d. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan tanah.
2. Wewenang Kantor Wilayah BPN Provinsi meliputi :
a. Perencanaan tata guna tanah dan tata ruang provinsi.
b. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan tata guna tanah dan tat ruang
c. Pengawasan, pengendalian, dan penetapan pedoman pelaksanaan
landreform.
d. Penetapan dan pengurusan hak atas tanah.
e. Pengukuran dan pendaftaran tanah.
3. Wewenang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota meliputi :
a. Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang.
b. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah (landreform)
c. Penyelenggaraan pengurusan hak atas tanah
d. Penyelenggaraan pendaftaran tanah.
e. Penyelenggaraan pengukuran tanah.
4. Wewenang Pemerintah Daerah dibidang pertanahan meliputi :
a. Pengaturan penguasaan tanah dan tata ruang
99 Suriansyah Murhaini, op.cit, hal.114
149
b. Hal-hal yang berkaitan dengan tanah.
c. Hal-hal yang berkaitan dengan keuangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tersebut,
keberadaan BPN sangat mutlak dalam pengaturan dan pengurusan di bidang
pertanahan. Eksistensi BPN semakin kuat dengan dikeluarkannya Perpres No. 10
Tahun 2006 tentang BPN, yang dalam Pasal 2 nya menyebutkan bahwa Badan
Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Ada beberapa alasan yang menjadi
pertimbangan bagi Pemerintah untuk tetap mempertahankan BPN dalam mengurus
bidang pertanahan adalah :
a. Bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang
bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia;
b. Bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia,
karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga
keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.100
Dari alasan tersebut, Pemerintah menganggap bahwa bidang pertanahan adalah
merupakan urusan pemerintahan yang bersifat nasional karena menyangkut
kepentingan bangsa dan negara. Kemudian dalam Pasal 3 Perpres No. 10 Tahun
2006 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
100Suriansyah Murhaini, op.cit. hal.116
150
b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-
wilayah khusus;
i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah
bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan,dan di bidang
pertanahan;
m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang
pertanahan;
o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau badan
hukum dengan tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Selanjutnya ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengurus bidang
pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Kepres No. 34 Tahun 2003 dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang, meliputi :
a. Ijin lokasi, pengaturan persediaan dan peruntukan;
b. Penyelesaian tanah garapan;
c. Wide occupatie, penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak berhak;
d. Penyelesaian ganti rugi dalam pengadaan tanah;
e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;
f. Penyelesaian tanah terlantar;
g. Pemanfaatan lahan tidur;
h. Pengaturan reklamasi;
151
i. Penetapan obyek, subyek redistribusi landreform tanah kelebihan
absentee;
j. Penetapan harga dasar tanah;
k. Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
2. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah, meliputi :
a. Penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan;
b. Ijin mendirikan bangunan;
c. Ijin usaha;
d. Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal;
e. Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan;
f. Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun.
3. Hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, meliputi :
a. Mendapatkan bagian dari uang pemasukan ddari pemberian hak atas tanah
sebesar 80% dari total pemasukan;
b. Mendapatkan bagian dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah
dimana BPHTB serta PPh diperoleh, sedangkan sebesar 20%
didistribusikan/dibagikan kembali kepada daerah-daerah lain sebagai
subsidi silang secara merata. 101
Jadi terkait dengan kebijakan pertanahan secara nasional, dihubungkan
dengan fungsi BPN dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibidang pertanahan serta ruang lingkup kewenangan bidang pertanahan yang
diserahkan kepada daerah baik berdasarkan ketentuan Kepres No. 34 Tahun 2003
maupun dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal
yang menyangkut kebijakan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, sedangkan
kewenangan Pemerintah Daerah hanyalah mengenai masalah teknis operasional
pertanahan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang pertanahan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu oleh Pemerintah Pusat.
Berdasarkan pada Pasal 2 Kepres No. 34 Tahun 2003, pasal 3 Peraturan
Presiden No. 10 Tahun 2006, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, dikaitkan dengan
101Suriansyah Murhaini, op.cit. hal 125.
152
kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar yang
diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010, maka organ yang berwenang dalam
pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia dalam hal penetapan kebijakan pendayagunaan tanah terlantar.
Sedangkan pemerintah daerah berwenang dalam inventarisasi dan identifikasi tanah
terlantar yang akan didayagunakan atau dimanfaatkan untuk reforma agraria, program
strategis Negara, dan cadangan Negara lainnya.
4.2. Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia yang
dikuasai oleh Negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak baik yang telah
dikuasai atau dimiliki oleh orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat
hukum adat dan atau badan hukum maupun yang belum diatur dalam hubungan
hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berbagai bentuk hubungan
hukum dengan tanah yang berwujud hak-hak atas tanah memberikan wewenang
untuk menggunakan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan haknya berdasarkan
persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaannya.
Tanah adalah unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan
penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung komitmen untuk
menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam kerangka kebijakan
pertanahan yang berlandaskan UUPA. Dalam Pasal 14 UUPA disebutkan bahwa :
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3),
Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) pemerintah dalam ranga
Sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya :
153
a. Untuk keperluan Negara;
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan
dan lain-lain kesejahteraan;
d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan sera sejalan dengan itu;
e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan
mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah
mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, serta ruang
angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UUPA dan ketentuan UU No.24 Tahun
1992 yang telah diganti dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
maka dalam rangka pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah
yang disebut juga pola pengelolaan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Rusmadi Murad, menyatakan penatagunaan tanah adalah serangkaian
kegiatan penataan, peruntukkan, penggunaan dan penyelesaian tanah secara
berkesinambungan dan teratur berdasarkan asas manfaat, lestari, optimal, seimbang
dan serasi.102
Dalam rangka penatagunaan tanah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam Pasal 1 angka 1 PP No.16 Tahun
2004 disebutkan bahwa : Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pegelolaan
tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang
berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang
102 Rusmadi Murad, 1997, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek, Mandar
Maju, Bandung, hal.3.
154
terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil.
Dalam kaitan dengan penataan ruang dan administrasi pertanahan sesuai
dengan Pasal 3 PP No.16 Tahun 2004 penatagunaan tanah bertujuan untuk :
a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai
kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana tata Ruang
Wilayah;
b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai
dengan arahan fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah;
c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan,dan
pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian
pemanfaatan tanah;
d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
ditetapkan.
Penatagunaan tanah merupakan kebijakan dan kegiatan di bidang pertanahan
yang bertujuan mengatur dan mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum
atas tanah bagi masyarakat.
Penatagunaan tanah dilaksanakan berdasarkan pada asas keterpaduan,
berdayaguna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Dalam penjelasan Pasal 2 PP No.16
Tahun 2004 disebutkan maksud dari pada asas tersebut adalah :
a. Keterpaduan adalah bahwa penatagunaan tanah dilakukan untuk
mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan.
b. Berdayaguna dan berhasilguna adalah bahwa penatagunaan tanah harus dapat
mewujudkan peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang. c. Serasi, selaras dan seimbang adalah bahwa penggunaan tanah menjamin
terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hak dan
155
kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau kuasanya sehingga
meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau pemanfaatan
tanah. d. Berkelanjutan adalah bahwa penggunaan tanah menjamin kelestarian fungsi
tanah demi memperhatikan kepentingan antargenerasi.
e. Keterbukaan adalah bahwa penatagunaan tanah dapat diketahui oleh seluruh
lapisan masyarakat. f. Persamaan, keadilan dan perlindungan hukum adalah bahwa dalam
penyelenggaraan penatagunaan tanah tidak mengakibatkan diskriminasi antar
pemilik tanah sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan
memanfaatkan tanah.
Penatagunaan tanah meliputi kebijakan penatagunaan tanah dan
penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dikawasan lindung dan kawasan
budidaya sebagai pedoman umum penggunaan tanah di daerah.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam penatagunaan tanah yang diatur
dalam PP No.16 Tahun 2004, maka penatagunaan tanah di Kota Denpasar
diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 tahun 1999 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah kota Denpasar, maka kegiatan penatagunaan tanah
diarahkan pada kegiatan penatagunaan tanah di kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Di kawasan lindung penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kawasan
Suaka Alam dan Cagar Budaya serta kawasan perlindungan setempat. Kawasan
budidaya terdiri dari kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya non
pertanian. Kawasan budidaya pertanian sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau
Kota (RTHK), meliputi : Kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah; kawasan
pertanian tanaman pangan lahan kering; kawasan pertanian tanaman tahunan;
156
kawasan peternakan; kawasan budidaya perikanan. Kawasan budidaya non pertanian
terdiri dari : kawasan pemukiman; kawasan industri kecil; kawasan pariwisata;
kawasan pertambangan; kawasan Hankam/militer; kawasan prasarana perdagangan
dan jasa; kawasan prasarana transportasi; kawasan prasarana sosial.
Dengan adanya penatagunaan tanah-tanah di Kota Denpasar diharapkan dapat
terciptanya catur tertib pertanahan yang meliputi :
1. Tertib Hukum Pertanahan
Untuk menumbuhkan kepastian hukum pertanahan sebagai perlindungan
terhadap hak-hak atas tanah dan penggunaannya, agar terdapat ketentraman
masyarakat dan mendorong gairah membangun.
2. Tertib Administrasi Pertanahan
Untuk menciptakan suasana pelayanan di bidang pertanahan agar lancar,
tertib, murah, cepat dan tidak berbelit-belit dengan berdasarkan pelayanan
umum yang adil dan merata.
3. Tertib Penggunaan Tanah. Tanah harus benar-benar digunakan sesuai dengan
kemampuannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3))
dengan memperhatikan kesuburan dan kemampuan tanah.
4. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
Merupakan upaya untuk menghindarkan kerusakan tanah, memulihkan
kesuburan tanah dan menjaga kualitas sumber daya alam, pencegahan
pencemaran tanah yang dapat menurunkan kualitas tanah dan lingkungan
hidup baik karena alam atau tingkah laku manusia.
157
4.3. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Kaitannya Dengan
Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar
Pembangunan yang dilaksanakan di Kota Denpasar semakin pesat dan
kompleks, sehingga kebijakan pemerintahan Kota Denpasar ke depan diarahkan
untuk mewujudkan pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan budaya yang
dijiwai Agama Hindu dan dilandasi Tri Hita Karana.
Melihat kondisi fisik dan potensi Kota Denpasar tersebut maka peranan tanah
sangatlah besar sekali dalam kehidupan ini. Penanganan masalah pertanahan bukan
hanya teknis, yuridis, administrasi saja melainkan juga menyangkut aspek sosial,
politik dan hankam sehingga penanganannya tetap berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu pelayanan di bidang pertanahan lebih ditingkatkan secara
profesionalisme sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Badan Pertanahan
Nasional yaitu memberikan pelayanan pendaftaran tanah yang cepat dan terjamin
kepastian hukum menuju Catur Tertib Pertanahan yaitu Tertib Hukum Pertanahan,
Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan
Tanah dan Lingkungan Hidup.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan
hukum, instansi pemerintah yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sehingga berdayaguna dan berhasil guna
serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dewasa ini banyak bidang-bidang
tanah di Kota Denpasar yang menunggu dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata
158
Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong atau terlantar, sehingga tidak
memberikan manfaat apapun bagi masyarakat.
Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan,
dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian
haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan
Pemerintah Kota Denpasar, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar
di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar
diruas jalan utama kota. Kondisi ini dapat membuat kawasan ibukota provinsi daerah
tujuan wisata internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan
tidak tertata dengan baik.
Berdasarkan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, PP No. 11 Tahun 2010,
Pemerintah Kota Denpasar dapat memanfaatkan tanah-tanah kosong atau tanah
terlantar. Tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar sesuai dengan Pasal 15 ayat (1)
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program
strategis negara dan cadangan negara lainnya. Dalam rangka penatagunaan tanah di
Kota Denpasar, tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar yang dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat harus disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar
Nomor 10 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar. Dalam
Perda No. 10 Tahun 1999 sudah ditetapkan wilayah-wilayah yang dijadikan kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Jika tanah-tanah terlantar itu letaknya di kawasan
budidaya pertanian maka tanah terlantar didayagunakan untuk program strategis
Negara di sektor pertanian atau dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau dan juga
159
untuk taman kota sehingga Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali dan tujuan
wisata tampak indah, sejuk dan asri. Tanah-tanah terlantar yang letaknya dikawasan
budidaya non pertanian maka dapat didayagunakan untuk perumahan dan
pemukiman, pariwisata, pertambangan, Hankam/militer, prasarana perdagangan dan
jasa, prasarana transportasi, prasarana sosial.
160
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan uraian dan kajian terhadap permasalahan dalam tulisan ini maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi
dimana pemerintah (Presiden ) mendelegasikan kewenangannya kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan
penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11
Tahun 2010. Dalam pelaksanaannya dibentuk Panitia C yang terdiri dari
Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah dan Instansi yang terkait
dengan peruntukan tanahnya yang berwenang melakukan identifikasi dan
penelitian tanah terindikasi terlantar. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN
No. 4 Tahun 2010, mekanisme penertiban tanah terlantar dilakukan melalui
tahapan-tahapan yaitu :
a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar;
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
c. Peringatan terhadap pemegang hak;
d. Penetapan tanah terlantar.
2. Tanah-tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat
melalui Reforma Agraria, Program Strategis Negara, dan untuk Cadangan
Negara lainnya sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010.
161
Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah tanah negara
bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat
disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur
dalam Perda No.10 Tahun 1999.
5.1.Saran
1. Terkait dengan penatagunaan tanah di Kota Denpasar, hendaknya Badan
Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah Kota Denpasar dan instansi yang
terkait dengan peruntukan tanahnya dalam melaksanakan penertiban tanah
terlantar saling berkoordinasi sehingga tidak terjadi tumpang kewenangan.
2. Dalam pendayagunaan tanah terlantar, pemerintah ( Badan Pertanahan
Nasional) hendaknya membuat kebijakan tentang tata cara pendayagunaan
tanah terlantar yang dapat dipakai sebagai pedoman teknis, sehingga
tanah - tanah terlantar dapat dimanfaatkan secara optimal
dalam memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat. Disamping
itu hendaknya pemerintah memberikan bekal ilmu kepada aparatnya
sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak terjadi konflik dengan
pemegang hak yang menelantarkan tanahnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung.
Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Arie Sukanti Hutagalung, 1985, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu
Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah,
CV. Rajawali, Jakarta.
Arief Sidharta, Bernard, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah
Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
Bandar Maju, Bandung.
Black’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West
Publishing, Minnesota. PBlack’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A.
Garner, seventh edition, USA : West Publishing, Minnesota.
Bruggink,J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,
Deventer, Kluwer.
Coubrey H.Mc. and White, N.D, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press
Limited, London.
Hadjon, Philipus M. dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia ( Introduction to the Indonesia Administrative Law ), Cet. I,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
________, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya.
________, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro
Justitia, Jakarta.
Hamsah Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Harsono Budi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hiroyoshi Kano, 1997, Tanah dan Pajak Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan
Sejarah Perbandingan, dalam Tanah dan Pembangunan, Penyunting Noer
Fauzi, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat,
Djambatan, Jakarta.
Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan
Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur.
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.
Kirdi Dipoyudo, 1981, Negara dan Ideologi Negara, Suatu Pengantar, CSIS,
Jakarta.
Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
Magnis Suseno, F, 1991, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta.
Manan Bagir, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya
Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Marbun, SF & Mahmud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty, Yogyakarta.
Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perpektif Negara
Kesatuan, Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta.
Mudjiono, 1997, Politik Dan Hukum Agraria, Edisi Pertama,Liberty , Yogyakarta.
Mukthie Fadjar, A, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua,
Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur,.
Mustafa, Bachsan, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.
Muslimin, Amrah, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung.
Nurlinda Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum,
Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada.
Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society,
Garden City, New York, 1
Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of
Human Beings Cybernetics And Society, Garden City, New York.
Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT.
Bina Aksara, Jakarta.
Parlindungan, A.P, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah ( Menurut Sistem
UUPA ), Mandar Maju, Bandung.
Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara
Hukum Pancasila, , Cet.ke-1, CV. Rajawali, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama,Cet.Ke-1, Prenada
Media, Jakarta.
Pius Abdillah,Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta.
Poerwadaminta, W.J.S, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Ridwan, H.R, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Ruchiyat Edy, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi
Kedua, Alumni, Bandung.
Rusmadi Murad, 1997, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek,
Mandar Maju, Bandung.
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Hukum Administrasi, Laksbang,
Prescindo, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi,
Bandung.
Sigler, Jay A, 1977, The Legal Sources Of Public Policy, DC. Heath and Compay,
Lexington Massachusetts, Toronto,
Sudiyat Iman, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat
Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, Jakarta.
Sutiknjo Imam, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung.
________, 1993, Tafsiran Undang - Undang Pokok Agraria, Cet.
Kesembilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas
Terbuka, Jakarta.
Soemarjono, Maria S.W, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam
Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
________, 2001, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Cet.
Pertama, Kompas, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soetomo, 1986, Politik Dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional,
Surabaya, Indonesia.
Sunaryati Hartono, C.F.G, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad
Ke- 20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung.
Suriansyah Murhaini, H, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang
Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya.
Suwoto Mulyo Sudarmo, 1999, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng
Soebakti Poesponoto, PT. Pradnya Paramita.
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi pertama, Prenada
Media, Jakarta.
Utrecht, E, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. ke -4,
FHPM Univ.Negeri Padjajaran, Bandung.
Victor Situmorang, 1989, Dasar - Dasar Hukum Administrasi Negara,
Bina Aksara, Jakarta.
Wheare, K.C, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York.
Wiranata, I Gede, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke
Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat
Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
DISERTASI :
Attamimi, A. Hamid S, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisa
Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun
Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
ARTIKEL / MAJALAH
Hadjon,Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII
September 1997.
Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post,
Tgl.18 Agustus.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria ( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 2043).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran
Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
53).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
( Lembaran Negara RI tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4385 ).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara RI Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737)
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar ( Lembaran Negara Tahun 2010
Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5098).
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 60)
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penertiban Tanah Terlantar.