Post on 04-Nov-2021
19 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
PENERAPAN ELEMEN VERNAKULAR PADA PERANCANGAN TAMAN KRIDA BUDAYA JAWA TIMUR
SEBAGAI PROSES POPULAR VERNACULAR
Junianto* Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang,
* junianto@unmer.ac.id
ABSTRAK Hasil rancangan arsitektur dalam fungsi baru seringkali dijumpai pemakaian sumber ide-ide desainnya dari arsitektur tradisional. Karya arsitektur baru yang merupakan wujud perulangan atau mencontoh tersebut merupakan gejala Popular-Vernacular. Kajian suatu hasil rancangan Arsitektur atau bangunan, melalui elemen vernakular semacam ini, merupakan salah satu cara mengukur evolusi nilai-nilai tradisional masyarakat. Pengkajian elemen vernakular pada kasus Taman Krida Budaya Jawa Timur dilakukan melalui studi komparasi dengan grand design-nya. Terdapat temuan di Taman Budaya Jawa Timur Malang yang menunjukkan sejumlah ciri elemen-elemen arsitektur tradisional. Elemen-elemen tersebut diperlihatkan pada bentuk atap, soko guru, ornamen, dan tata ruangnya. Taman Krida Budaya Jatim dibangun dengan dominasi pendopo joglo. Utamanya, kompleks bangunan ini berfungsi sebagai konservasi dan eksposisi budaya Jawa Timur. Bentuk budaya yang diwadahi antara lain kesenian, benda kuno bersejarah, benda seni, serta arsip-arsip karya sastra. Kata kunci – arsitektur, populer, vernakular.
ABSTRACT The architectural design results in the new function are often found using sources of design ideas derived from traditional architecture. The new architectural work which is a form of repetition or imitation is a symptom of Popular-Vernacular. The study of an architectural or building design result, through vernacular elements of this kind, is one way to measure the evolution of traditional values of society. Assessment of vernacular elements in the Taman Krida Budaya East Java case was carried out through comparative studies with its grand design. It was found that the traditional architectural element characteristics were shown on the roof shape,”soko guru”, and room layout. Taman Krida Budaya East Java was built with the joglo pavilion domination which serves as a form of conservation and cultural exposition of East Java. The accommodated cultural forms include arts, historical ancient objects, art objects, and literary archives. Keywords – architecture, popular, vernacular. ______________________________________________
PENDAHULUAN Arsitektur vernakular sering disebut juga sebagai
’architecture without architects’ dan terjadi di masyarakat.
Dalam perkembangan tradisi ber-arsitektur, para
arsitek seringkali merancang dengan mengadopsi
elemen-elemen arsitektur vernakular. Produk karya
desain ini disebut “popular vernakular”.
Taman Krida Budaya Jawa Timur adalah salah satu
produk popular vernakular. Dalam telaah perihal
arsitektur vernakular semacam ini, esensi ke-
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 20
vernakular-an terletak pada ’alasan’ atau latar belakang
pemakaian atau perulangan elemen-elemen vernakular.
Pada bagian depan Taman Krida Budaya Jatim, secara
dominan berdiri pendopo Joglo yang difungsikan
untuk pentas-pentas budaya dan pameran. Bagian
tengah dari kompleks ini, berupa open teater, sering
digunakan untuk pentas kesenian-kesenian Jatim yang
sesuai, seperti reog, kuda kepang, dsb. Pada bagian
belakang, di sekitar teater terbuka, dibangun 7 replika
rumah tradisional, sebagai lambang dari 7 zona etnis di
Jatim. Bangunan tersebut berfungsi sebagai ruang
pamer benda-benda seni budaya dari ketujuh etnis
tersebut.
Tradisi joglo dalam kompleks Taman Budaya Jatim
dibangun dengan ungkapan simbolik. Joglo tersebut
tanpa empyak emper memakai tumpang sari 5 tingkat,
memakai uleng ganda dan godhegan. Bentuk semacam ini
mengingatkan joglo pada Kraton Yogyakarta dan
Surakarta. Ungkapan lain dalam kompleks ini adalah
elemen-elemen detail (dekoratif) yang mengakomodasi
citra daerah sebagai akar budaya Jatim.
Rancangan bangunan baru dengan mengadopsi elemen-elemen vernakular, merupakan indikator, seberapa besar akar tradisi masih dilestarikan oleh masyarakat pemilik tradisi tersebut. Dalam penelitian ini, dimungkinkan juga ditemukan alasan pelestarian tradisi berarsitektur budaya masa lalu. Tidak
Rancangan bangunan baru dengan mengadopsi
elemen-elemen vernakular, merupakan indikator,
seberapa besar akar tradisi masih dilestarikan oleh
masyarakat pemilik tradisi tersebut. Dalam penelitian
ini, dimungkinkan juga ditemukan alasan pelestarian
tradisi berarsitektur budaya masa lalu. Tidak sekedar
menyangkut fisik elemen arsitektural saja, melainkan
juga menyangkut kultural masyarakat. Termasuk juga,
terkait dengan perkembangan potensi daerah seperti
potensi-potensi penyediaan bahan bangunan, tukang-
tukang bangunan, dan juga seniman ukir atau pengrajin
setempat.
Gambar 1. Komplek Taman Krida Budaya Jatim sebagai
Representasi Wadah atau ’Rumah’ Budaya Jawa Timur (Sumber : dokumentasi peneliti, 2017)
Gejala Arsitektur Vernakular
Wujud Vernakular pada dasarnya dapat dilihat dari
suatu gejala (kejadian) pengulangan atau peniruan, yang
terdapat dalam fenomena arsitektur. Dengan demikian,
vernakular sebenarnya telah terjadi sejak era primitif,
seiring dengan dikenalnya arsitektur oleh manusia. Dan
tentu saja gejaIa vernakular tersebut terus akan
berlangsung hingga kini dan masa akan datang.
Sesuai dengan sifatnya sebagai bentuk "peniruan" yang
disengaja, arsitektur vernakular selalu memiliki "alasan"
perancangan (penerapan). Berkait dengan hal tersebut
pula, dapat dikatakan bahwa arsitektur vernakular
sebenarnya bersifat "liar". Artinya, dia bisa terjadi
21 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
dimana saja dan dengan alasan yang beraneka. Bentuk
perujudannyapun dapat berubah-ubah, berbeda dengan
yang "asli" (grand design) nya. Sebagai contoh adalah
Papan nama Rumah makan Minang Jaya yang beratap
Bonjong, berada di Pasuruan. Atap bonjong adalah
milik rumah tradisional di wilayah budaya
Minangkabau. Perujudan dalam konteks tradisi
tersebut, penuh makna. Apabila kemudian hadir dalam
bentuk dan fungsi lain, dan bahkan di 'wilayah budaya'
lain, kenyataan ini manjadi salah satu sifat vernakular
yang "liar" tersebut.
Gejala vernakular dalam arsitektur dikenal dua macam,
yakni Traditional Vernacular dan Popular Vernacular.
Pengulangan atau peniruan bentuk dan fungsi yang
terjadi dalam satu wilayah budaya, lebih tepat disebut
Traditional Vernacular. Apabila hanya memenuhi salah
satu ciri, lebih tepat dinamai Popular Vernacular.
Perancangan arsitektur dalam era modern ini, lebih
banyak ditemui bentuk popular vernakular.
Ciri lain dari arsitektur vernakular adalah mencontoh
grand design yang terkait dengan nilai-nilai
sosial-kultural, dengan kata lain diyakini oleh
sekelompok masyarakat. Mencontoh karya design
seorang arsitek unggul, bukan merupakan vernakular.
Pada kasus ini, karya arsitek sebagai yang "asli" (grand
design), tidak merupakan ungkapan nilai-nilai
sosial-kultural tertentu.
Fenomena arsitektur vernakular sebenarnya ekuivalen
(sama) dengan fenomena sosial. Dengan demikian,
dalam memahami arsitektur vernakular diperlukan
ketajaman membaca gejala sosial, sebagai bekalnya. Hal
demikian terkait dengan upaya membaca alasan (gejala
sosial) yang terjadi dalam "peniruan". Sebagai contoh,
dalam era tahun 1980-an, muncul banyak rumah model
Spanyolan dan gedung-gedung ber-Atrium. Beberapa
tahun terakhir ini marak rumah-rumah, ruko dan juga
apartemen, bergaya Mediteranian. Semua contoh
tersebut adalah bentuk perujudan Popular vernakular.
Beberapa tahun setelah para arsitek Indonesia
mencetuskan komitmen bersama (Yogyakarta, 1982)
untuk mencari bentuk arsitektur Indonesia, terjadi
polemik gaya Spanyolan. Dalam polemik tersebut,
terjadi pengingkaran terhadap arsitektur Spanyolan.
Mereka menganggap gaya Spanyolan bukan arsitektur
Indonesia, dan hanya sebagai "tamu" di negeri ini.
Kelompok yang lebih arif menganggap Spanyolan
adalah salah satu bentuk arsitektur Indonesia dalam
konteks sebuah era/jaman. Dalam kenyataan memang
tidak bisa dipungkiri bahwa gaya Spanyolan adalah
gejala sosial yang terjadi di negeri ini. Memahami
arsitektur vernakular, adalah upaya menjawab "alasan"
disebalik gejala sosial seperti contoh tersebut.
Mempertentangkan sebuah fakta, atau bahkan
mengingkarinya adalah suatu kesia-siaan.
Dalam studi tentang vernakular, terdapat tujuh domain
yang bisa digunakan sebagai titik tolak pembahasan,
yaitu :
a. Estetika kualitas lingkungan.
b. Tipologi
c. Evolusi : kontinuitas dan perubahan.
d. Difusi : antar kelompok, antar daerah.
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 22
e. Fisik : teknologi, material, site, iklim, dll
f. Sosial : struktur sosial, kelompok serta
kelembagaan.
g. Budaya : revival vernacular.
Dalam kajian tersebut, dipilih domain kajian dari sudut
pandang gabungan, yakni dari segi budaya dan evolusi.
Bangunan Tradisional Jawa
Bangunan Joglo merupakan salah satu bentukan
arsitektur tradisional Jawa, dalam fungsi rumah tinggal.
Nilai-nilai joglo sebagai bangunan tradisional, tidak saja
dalam bentuk atapnya, tetapi juga tata ruang di dalam
dan di luar bangunan. Membandingkan bangunan
Joglo dalam konteks tradisional dengan hasil-hasil
sekarang, dimungkinkan terjadi banyak pergeseran
(perubahan).
Joglo sebagai tradisi budaya Jawa, tidak berbeda
dengan produk budaya lainnya, yakni bersumber dari
Kraton. Ada keyakinan bahwa masyarakat Jawa merasa
hidup di ruang hampa, apabila tidak mengikatkan diri
dengan pusat kerajaan (Darsiti, 1989). Dalam hal ini
Kraton bermakna sebagai pusat orientasi spiritual.
Bentuk mengikatkan diri tersebut, diwujudkan dengan
meniru tradisi yang diberlakukan di dalam lingkungan
Kraton. Beberapa contoh tradisi yang terdapat dalam
kehidupan Kraton antara lain, memperingati kelahiran
bayi, perkawinan, kematian, cara berpakaian,
berkesenian, dan juga tradisi membangun rumah.
Kraton adalah tempat tinggal raja, Kraton berbentuk
Joglo, dimaksudkan sebagai simbol meru (gunung),
yang diyakini merupakan tempat tinggal para dewa.
Simbolisasi demikian, berasal dari keyakinan Budha
Mahayana dalam konsepsi Jambudwipa. Raja dalam
keyakinan tersebut, dan selanjutnya dalam keyakinan
tradisi Jawa, dianggap sebagai keturunan dewa.
Termasuk juga, dalam hal ini putra-putri raja, berhak
mewarisi tradisi berarsitektur joglo.
Perkembangan joglo di luar lingkungan kehidupan
kraton, bermula dari tempat tinggal Bupati
(kabupaten). Bupati pada masa kerajaan ini berperan
sebagai wakil raja yang berada di luar wilayah Negeri
agung. Bermula dari peniruan semacam ini, selanjutnya
berkembang penerapan Joglo pada rumah-rumah
masyarakat umum, yang berstatus sebagai pirnpinan
daerah yang berlingkup sempit. Perkembangan
berikutnya, joglo dibangun oleh orang-orang golongan
mampu. Hingga saat sekarang, joglo berkembang
dalam bentuk, fungsi, dan alasan yang sangat
kompleks.
Masih banyak ditemui pembangunan baru pendopo
kabupaten (Dati II masa sekarang, berbentuk joglo.
Tidak saja ditemui pada pendopo kabupaten, ternyata
di tingkat kecamatan dan kelurahan, juga ditemui
bentuk pendopo joglo. Beberapa contoh dapat
diantaranya pendopo kabupaten Malang, kab.
Pasuruan, kab. Probolinggo, kab. Blitar, dan
sebagainya.
Pemilihan bentuk joglo untuk pendopo tersebut,
didasari oleh banyak alasan. Dari segi fungsi, pendopo
untuk kabupaten atau kecamatan atau kelurahan masih
digunakan untuk pertemuan, musyawarah, dan juga
23 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
menerima tamu penting. Fungsi demikian masih
manunjukkan tali benang merah dengan asal mula
fungsi pendopo joglo rumah-rumah pangeran atau
pejabat Kraton.
Transformasi Arsitektur Vernakular
Tradisi vernakular, adalah cara hidup yang berdasarkan
pada tradisi dan kegiatan yang berlangsung turun
temurun, yang jauh dari pilitik dan undang-undang
(Rapoport, 1983). Budaya vernakular, juga
memperlihatkan bahwa identitas manusia dibentuk
oleh keikutsertaannya dalam kelompok atau keluarga
besar. Dalam pengertian tradisi vernakular, semua
orang dalam masyarakat tersebut mengetahui tipe
bangunan dan bagaimana membuat bangunan.
Menurut Rapoport (1983), istilah bangunan vernakular
adalah suatu bangunan, yang terbentuk karena latar
belakang sosial budaya masyarakat. Dengan
pemahaman ini, dapat diartikan bahwa bangunan
vernakular merupakan ungkapan budaya dan jalan
hidup masyarakat. Pemahaman tersebut, juga sesuai
dengan pengertian bahwa vernakular sebagai cerminan
langsung dari masyarakat dalam mencoba
mengekspresikan sesuatu.
Dalam kategori folk architecture, terdapat perbedaan
antara arsitektur primitif dan arsitektur vernakular.
Arsitektur vernakular dibedakan menjadi vernakular
tradisional dan vernakular populer (Rapoport, 1969).
Vernakular tradisional merupakan arsitektur yang
berlandaskan pada tradisi. Vernakular populer
merupakan arsitektur yang bertolak dari institusi.
Arsitektur vernakular dapat dikaji dari aspek
karakteristik proses maupun produknya. Proses yang
dimaksud adalah bagaimana bangunan atau lingkungan
tersebut dibentuk dan dirancang dengan
mengidentifikasi ’aktor’nya. Sedangkan yang dimaksud
produk berarti ’benda’ yang dihasilkan oleh masyarakat,
dengan melihat morfologinya, kompleksitasnya, dan
bagaimana faktor lingkungan dalam memberikan
gambaran bangunan tersebut.
Menurut Rapoport (1983) kebudayaan berubah
bersamaan dengan berubahnya lingkungan akibat
pembangunan. Karena terjadi dalam waktu yang
bersamaan, akan dapat diidentifikasi elemen-elemen
mana yang cepat berubah, dan mana yang perlahan dan
bahkan tidak berubah. Elemen-elemen yang tidak
berubah dan dipertahankan, merupakan komponen
penting dalam lingkungan tradisional. Sedangkan
elemen lainnya yang mengalami perubahan, merupakan
elemen tepi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
elemen ini, tidak begitu prnting. Seringkalim tidak
hanya terjadi perubahan secara cepat, tetapi juga
bersifat total dan menyerap hal-hal baru secara cepat.
Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan
Taman Krida Budaya Jawa Timur
Penelusuran elemen vernakular pada Taman Krida
Budaya Jatim ini, menggunakan metoda Deskripsi,
Kategorisasi, Klasifikasi, dan Eksplanasi. Penelitian
dilaksanakan dengan cara menginventarisir elemen-
elemen arsitektur yang bersumber dari arsitektur
vernakular. Kemudian, elemen-elemen tersebut
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 24
dipisah-pisah, dikategorikan berdasarkan wujud, gaya/
style dan bentuknya.
Beberapa variabel yang digunakan untuk mengkaji
lingkungan dan bangunan vernakular (Hubka, dalam
Moore, 1980), meliputi :
1. Tradisi sebagai cara.
Semua vernakular dan arsitektur vernakular,
berkarakter sebagai pemelihara tradisi. Hal
demikian, bukan berarti bahwa arsitektur
vernakular tidak mengalami perubahan. Perubahan
yang terjadi merupakan penerusan atau perbaikan
dengan tidak menghambat keberadaan sistem nilai
yang ada.
2. Mengakomodasi perubahan.
Sistem arsitektur vernakular tidak statis, karena
mengakomodasi perubahan, tetapi berstrategi
khusus dalam pengaturan dan pengawasan
perubahan yang membatasi eksperimen. Perubahan
terjadi hanya terbatas pada areal minor, sedangkan
bagian-bagian yang fundamental tetap
dipertahankan.
3. Individual dalam masyarakat.
Arsitektur vernakular menyampaikan image tentang
manusia pemakainya. Individualisme dibatasi dan
disalurkan dalam area-area yang spesifik, serta
mendesak individualisme mendukung keseragaman
kolektif.
4. Vernakular dan simbolisme.
Tampilan fisik dan simbolisme yang terkandung
dalam bangunan vernakular, mendukung
pemeliharaan tradisi, dan memberikan nilai
simbolis tentang kehidupan sehari-hari.
5. Desainer dan Klien.
Hubungan antara klien dan desainer vernakular,
sangat sederhana. Keduanya mempunyai peran
yang sama. Hubungan tersebut, diwujudkan melalui
dialog atau diskusi. Terjadi interaksi diantara
mereka dalam memasukkan sistem nilai yang sama,
untuk mendapatkan kesesuaian yang sempurna.
Selanjutnya, untuk mengetahui adanya pengaruh
elemen-elemen arsitektural tadisional Jawa Timur,
dilakukan perbandingan terhadap fasade, bentuk, tata
ruang, dan dekorasi pada obyek penelitian dengan
elemen atau unsur arsitektur tradisional Jawa Timur.
Dugaan keterkaitan dan relevansi penggunaan elemen
tradisional tersebut, diartikan sebagai ungkapan tradisi
yang signifikan.
METODE PENELITIAN
Proses Analisis Elemen Vernakular
Hasil pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan, pengukuran, observasi, wawancara, serta
studi literatur terhadap obyek studi tersebut,
selanjutnya dilakukan klasifikasi, deskripsi dan
eksplanasi.
Analisis dilakukan dengan metode eksplanasi, yakni
penjelasan elemen vernakular yang ditransformasikan
dalam Taman Budaya Jatim, berdasarkan teori-teori
serta fenomena yang terjadi di lapangan. Hasil dari
studi tersebut, kemudian dikembangkan dengan
penelusuran makna tradisional pada setiap elemen
vernakular. Dengan demikian, bisa didapatkan temuan
elemen vernakular apa saja yang diimplementasikan
sebagai landasan perancangan Taman Krida Budaya
25 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
Jatim. Temuan elemen vernakular tersebut, kemudian
dijabarkan latar belakang alasannya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan upaya memahami sejarah
arsitektur Nusantara, khususnya yang berlatar budaya
Jawa Timur. Taman Budaya Jatim dipilih sebagai studi
kasus, karena hingga kini masih banyak ditemui
bangunan-bangunan “modern” dalam bentuk tampilan
arsitektur tradisional. Selain itu, pemahaman arsitektur
Nusantara terasa sangat abstrak, sehingga perlu
mengambil salah satu kasus Taman Budaya Jatim, yang
memiliki area budaya. Memahami akar tradisi dan
keberlangsungan berarsitektur di Nusantara, dalam hal
ini Jawa Timur diartikan sebagai sebuah pendekatan
eksplanasi hadirnya elemen-elemen vernakular pada
bangunan tersebut.
Taman Budaya Jatim sebagai transformasi wujud
arsitektur vernakular, mengalami perkembangan dalam
hal teknologi (bahan), proses dan fungsi.
Perkembangan tersebut seiring dengan perubahan
kultural masyarakat. Perkembangan semacam inilah,
yang justru mengakibatkan lestarinya produk
tradisional, dalam hal ini arsitektur. Keterkaitan
elemen-elemen vernakular yang diterapkan di Taman
Krida Budaya Jatim, dengan grand design (arsitektur
aslinya), merupakan suatu esensi dalam temuan ini.
Hasil dari penelitian ini berupa elemen-elemen
vernakular yang masih dilestarikan dalam perwujudan
bangunan baru dan memiliki nilai simbolis kedaerahan.
Untuk mendapatkan gambaran ’keterkaitan’ elemen-
elemen vernakular dengan grand design-nya, dilakukan
wawancara dengan narasumber. Dalam penelitian ini,
ada dua narasumber, yakni Pemilik (pengelola) Taman
Krida Budaya Jatim, dan Perencana. Temuan penelitian
terhadap elemen-elemen vernakular yang terdapat di
dalam rancangan Taman Krida Budaya Jatim, meliputi:
bentuk bangunan utama (Joglo), gerbang utama, gapura
dalam, patung (arca), lampu gantung, dan beberapa
ornamen.
Bentuk Bangunan Utama (Joglo)
Bentuk bangunan Joglo, merupakan simbolisme, yang
bersumber dari konsepsi Jambudwipa dalam keyakinan
Budha Mahayana.
KONSEP JAMBUDWIPA :
Gambar 2. Konsep Jambudwipa
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 26
Jagad raya diyakini terdiri dari lima benua, empat buah
benua berada di keempat penjuru mata-angin dan
sebuah benua berada di pusatnya. Benua pusat ini
berupa Meru diyakini sebagai tempat hidup para Dewa.
Sedangkan, benua tempat hidup manusia berada di
sebelah Selatan.
Konsep Jambudwipa berakar dari keyakinan Budha
Mahayana. Konsep simbolis tersebut ditemukan pada
kota-kota kerajaan di Asia Tenggara (Geldern, 1982).
Keberadaan bentuk Joglo di Kraton Kasunanan
Surakarta maupun Yogyakarta, tidak terlepas dari
konsepsi Jambudwipa tersebut. Joglo merupakan
simbolisasi dari Gunung (meru), yakni sebagai tempat
tinggal para dewa. Adapun, raja dianggap sebagai
keturunan dewa.
Selain itu, dalam kosmologi Jawa dikenal juga kategori
simbolik dua dan tiga. Kategori simbolik dua,
menggambarkan keyakinan adanya dua hal berlawanan
dalam kehidupan, dan keduanya saling melengkapi.
Dua hal yang berlawanan tersebut, antara lain seperti
adanya siang-malam, laki-perempuan, tinggi rendah,
kaya-miskin, kuat-lemah, baik-buruk, sakral-profan,
dan sebagainya.
Kategori simbolik tiga menggambarkan eksistensi raja
yang diyakini sebagai “keturunan Dewa” sebagai
“penyelaras” dari kedua hal berlawanan tersebut.
Kraton sebagai tempat tinggal raja dengan dua buah
Alun-Alun sebagai pengapitnya, dalam konsepsi ini,
menjadi miniatur “jagad raya”. Masyarakat Jawa tidak
bisa hidup terlepas dari abstraksi perihal alam raya atau
kosmos tersebut.
Dengan demikian, “Jawa” menjadi semacam “Negara”
dalam alam pikir kebudayaan. Proses menjadi bagian
dari masyarakat Jawa, merupakan sebuah keniscayaan
spiritual dari orang-orang yang meyakininya.
Pengikatan diri secara spirit tersebut, terimplementasi
dalam perilaku adat kehidupan sehari-hari dengan
meniru adat kehidupan Kraton. Sebagai contoh dalam
hal upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian
seseorang.
Gambar 3. Joglo Taman Krida Budaya Jatim Menggunakan
Atap Susun Dua, dapat Diartikan sebagai ‘Wakil’ yang Mengepalai Suatu Daerah/ Wilayah. Biasanya Berupa
Wilayah Kadipaten.
Bangunan utama pada Taman Krida Budaya Jatim
menggunakan bentuk Joglo Lambangsari dengan
sistem atap susun, tidak menerus. Sistem rangka utama
27 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
bangunan Joglo tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu :
brunjung, soko guru, dan umpak.
Gambar 4. Struktur Joglo Tradisional Jawa sebagai Grand
Design Taman Krida Budaya Jatim
Gambar 5. Pertemuan Sokoguru dengan Struktur Tumpang
Sari pada Taman Krida Budaya Jawa Timur
Gambar 6. Struktur Tumpangsari pada Bangunan Tradisional Joglo sebagai Grand Design dalam Perancangan Joglo Taman
Krida Budaya Jatim (Bermakna Simbolis sebagai Langit (Alam Arwah))
Gambar 7. Umpak melambangkan bahwa manusia hidup
berada di permukaan bumi
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 28
Gerbang Utama
Gerbang Utama pada Kompleks Taman Krida Budaya
Jawa Timur dirancang mengadopsi tiga buah candi
besar di Jawa Timur, yakni Wringin Lawang di
Trowulan, Canda Singosari, dan Candi Penataran di
Blitar. Kedua candi tersebut merupakan representasi
kerajaan besar pada masa lalu di Jawa Timur.
Gambar 8. Gerbang Utama Kompleks Taman Krida Budaya
Jatim Mangadopsi Candi Wringin Lawang Majapahit
Gambar 9. Candi Wringin Lawang merupakan Gerbang
Utama Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto
Gambar 10. Gerbang Utama Kompleks Taman Krida Budaya
Jatim (dari Arah Samping) Mengadopsi Candi Penataran di Blitar
Gapura Dalam Manfaat Upaya Pelestarian dan Konservasi Bangunan Kuno
Gapura Dalam yang dimaksudkan dalam pembahasan
Taman Krida Budaya Jatim adalah gerbang yang
menghubungkan antara Pelataran bangunan utama
dengan halaman belakang Kompleks ini. Desain
gerbang ini mengadopsi Candi Penataran di Blitar dan
Goa Selomangleng di Kediri.
Gambar 11. Gerbang Dalam dari Kompleks Taman Krida Budaya Jatim Mengadopsi Bangunan Candi Penataran dan
Goa Selomanglang di Kediri
29 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
Gambar 12. Goa Selomangleng, Salah Satu Bangunan Kuno
Bersejarah di Kediri sebagai Grand Design
Gambar 13. Salah Satu Bangunan di Candi Penataran, Blitar,
sebagai Grand Design
Open Theatre
Open theatre berada di halaman belakang dari Kompleks
Taman Krida Budaya Jatim ini, berfungsi untuk pentas
seni tradisional Jawa Timur. Elemen-elemen vernakular
tidak selalu berupa elemen fisik semata, akan tetapi
juga non fisik berupa aktifitas. Dalam hal ini, berupa
pentas kesenian tadisional se-Jawa Timur sebagai
wilayah budayanya.
Adapun, rancangan bangunan Open Theatre di Taman
Krida Budaya Jatim ini mengadopsi salah satu
bangunan di kompleks Keraton Majapahit, yakni Candi
Tikus. Candi Tikus merupakan tempat permandian raja.
Gambar 14. Candi Tikus di Kompleks Kraton Majapahit
sebagai Grand Design Rancangan Open Theatre
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 30
Gambar 15. Open Theatre untuk Pentas Seni Tradisional Jawa Timur di Halaman Bagian Belakang Kompleks Taman Krida Budaya Jatim. Bentuknya Mengadopsi Candi Tikus, Trowulan
Gerbang Samping
Gerbang samping di bagian dalam Taman Krida
Budaya Jatim terdiri dari dua gerbang, kiri dan kanan.
Gerbang ini menuju ke halaman belakang Kompleks.
Desain gerbang tersebut mengadopsi bentuk Candi
Badut yang berada di kota Malang.
Gambar 16. Gerbang Samping Taman Krida Budaya Jatim
menjadi Perantara Halaman Tengah menuju Halaman Belakang. Bentuk Bangunan Mengadopsi Candi Badut di
Malang
Gambar 17. Candi Badut sebagai Grand Design
Patung Dwaparla Patung Dwaparla berada di depan Gerbang utama dari
kompleks Taman Krida Budaya Jatim, berjumlah dua
buah berada di samping kiri-kanan gerbang. Patung ini
merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Singosari.
Patung Dwaparla merupakan lambang penjaga Gerbang
kerajaan.
Gambar 18. Sepasang Patung Dwaparla di Depan Gerbang Utama, Taman Krida Budaya Jatim, Mengadopsi Patung di
Candi Singosari
31 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
Gambar 19. Dwarapala di Komplek Candi Singosari
Lampu Gantung
Lampu gantung yang berada di bangunan utama
merupakan ragam hias khas Pasuruan. Lampu ini
menjadi elemen estetis yang sekaligus menjadi vocal point
di dalam gedung utama tersebut. Lampu hias ini terdiri
dari tiga tingkat, yaitu:
1. bagian atas, terdiri dari 6 anak lampu, melambangkan Rukun Iman dalam ajaran Islam;
2. bagian tengah, terdiri dari 12 anak lampu; 3. bagian dasar, terdiri dari 24 anak lampu.
Gambar 20. Lampu hias di Pendopo Joglo, Taman Krida
Budaya Jatim, dari Pasuruan
Gambar 21. Lampu Hias Terlihat dari Bawah seperti
Lambang Surya Majapahit
Ornamen
Dekorasi yang berupa ornamen di Taman Krida
Budaya Jatim, antara lain berupa balustrade pagar.
Ornamen dekoratif ini bermotif flora dan fauna.
Ornamen tersebut mengadopsi ornamen yang berada
di Candi Penataran, Blitar.
Gambar 22. Ornamen Dekoratif di Taman Krida Budaya
Jatim, Berupa Tupai, Burung, dan Kuda Mengadopsi Ornamen Candi Penataran, Blitar
MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume III Nomor I, Maret 2018, p:19-33, ISSN 1411-7193 32
Gambar 23. Ornamen Dekoratif di Candi Penataran, Blitar.
sebagai Grand Design
Layout Plan
Layout plan pada kompleks Taman Krida Budaya Jatim
berpola meniru tata ruang rumah tradisional Jawa.
Adapun fungsi-fungsi bangunan yang ada dalam tata
letak tersebut mengacu jumlah sub wilayah Budaya
Jatim, yakni ada tujuh wilayah Sub budaya.
Gambar 24. Tata Ruang Kompleks Taman Krida Budaya Jatim Berpola Mengadopsi Tata Ruang Rumah Tradisional
Jawa
Gambar 25. Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa sebagai Grand Design Penataan Ruang Taman Krida Budaya Jatim
Gambar 26. Tujuh Wilayah Budaya Jawa Timur
KESIMPULAN Taman Krida Budaya Jawa Timur dirancang dengan
proses Popular Vernacular, yakni mengadopsi elemen-
elemen vernakular yang ada dan dianggap mewakili di
Jawa Timur. Hal demikian, karena fungsi bangunan
33 Junianto, Penerapan Elemen Vernakular pada Perancangan Taman Krida Budaya Jawa Timur sebagai Proses Popular Vernakular
tersebut sebagai ’Rumah’ (secara simbolik) bagi budaya
Jawa Timur.
REFERENSI
Kasim S. 2012. Budaya Dermayu: Nilai-nilai Historis, Estetis dan Transendental. Poestakadjati, Yogyakarta.
Gotfried, Herbert & Jennings Jan, 1988, American Vernacular Design, Iowa State University Press.
Geldern, R.H., 1982, Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara, Terjemahan, Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta.
Rapoport, Amos, 1990, Development, Culture, Change and Supportive Design, Habitat Intl. Vo. 7, Printed in Great Britain.
Sumardjito, 1994, Fasad Bangunan Vernakular
Kuno di Kotagede Yogyakarta, Laporan
Penelitian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.