Post on 06-Feb-2018
1
TESIS
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYAPENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN
PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
I GUSTI AGUNG DIAN HENDRAWAN
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
2
TESIS
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYAPENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN
PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
I GUSTI AGUNG DIAN HENDRAWANNIM : 1290561035
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
3
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYAPENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN
PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magisterpada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG DIAN HENDRAWANNIM : 1290561035
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
ii
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUITANGGAL 11 AGUSTUS 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H. Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H.,M.H.NIP. 195903251984031002 NIP. 196206051988031020
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Direktur Program PascasarjanaProgram Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi,Sp.S.(K) NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001
iii
5
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 11 Agustus 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No.: 2502/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 10 Agustus 2015
Ketua : Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.
Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H.
Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., MS.
2. Dr. I Gede Artha, S.H., M.H.
3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
iv
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : I Gusti Agung Dian Hendrawan
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 11 Agustus 2015
Yang Menyatakan
I Gusti Agung Dian Hendrawan
v
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar”. Tesis ini dibuat sebagai tahap
penyelesaian akhir dalam menempuh pendidikan jenjang Strata 2 (S2) Ilmu
Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Selesainya penulisan
tesis ini kiranya tidak akan dapat berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak, baik berupa dorongan moril maupun materiil, untuk itu pada kesempatan
ini penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD.
beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas pendukung yang selama ini telah
diberikan kepada penulis untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan pada
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi.,
Sp.S.(K), beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana. Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM. atas
arahan, bimbingan, bantuan dan fasilitas yang selama ini diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai tugas akhir studi pada Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Sekretaris Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra,
vi
8
S.H., M.Hum. atas bimbingan dan bantuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis sebagai tugas akhir studi pada Program Studi Magister (S2)
Ilmu Hukum Universitas Udayana.
Berikutnya, ucapan terima kasih kepada Pembimbing I Dr. Gde Made
Swardhana, S.H., M.H., atas ketulusan hati, kesabaran, dan ketelitian Beliau yang
telah membimbing penulis, meluangkan waktunya yang sangat berharga, memberi
motivasi, arahan-arahan, masukan dan koreksi yang tiada ternilai dalam
penyelesaian tesis ini, dalam suasana kekeluargaan yang tidak akan pernah
penulis lupakan. Pembimbing II Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H.,
atas ketulusan hati, kesabaran, dan ketelitian Beliau yang begitu luar biasa telah
membimbing, membantu, mengarahkan, memberi masukan dan koreksi yang
tiada ternilai kepada penulis dalam rangka penyelesaian tesis ini, dalam suasana
kekeluargaan yang tidak akan pernah penulis lupakan. Para Guru Besar dan Dosen
pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah
mengajarkan penulis ilmu Hukum dan menambah wawasan yang sangat berharga.
Staf Administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi selama
menempuh pendidikan pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana. Rekan-Rekan mahasiswa angkatan tahun 2012 pada
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang memotivasi, memberi
semangat dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada keluarga tercinta, Ayah I
Gusti Ngurah Made Oka Dania, S.Pd., Ibu Made Artini, S.Pd., M.Pd., istri penulis
vii
9
Ni Ketut Sri Ariastuti Amd.Kep., adik penulis I Gusti Ayu Dewi Hardiyanti, S.Pd.
dan anak-anak penulis I Gusti Ayu Nia Anggiswari Devi, I Gusti Agung Dharma
Kertaguna yang selalu memberikan semangat, motivasi, kekuatan, doa dan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat
kekurangan, namun demikian penulis telah berusaha sebaik mungkin sesuai
dengan kemampuan yang ada, oleh karena itu dengan hati terbuka penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaannya.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan berharga
dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam penanggulangan
gelandangan dan pengemis.
Denpasar, 11 Agustus 2015
Penulis
viii
10
ABSTRAK
Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sangat meresahkanmasyarakat. Dalam hukum positif Indonesia, kegiatan pergelandangan danpengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagaipelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diaturdalam ketentuan Pasal 504 dan 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP), sedangkan khusus untuk di Kota Denpasar diatur dalam Pasal 35 ayat(4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Berdasarkanketentuan hukum tersebut diatas, maka salah satu upaya yang dapat dilakukandalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di KotaDenpasar adalah melalui penegakan hukum pidana.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data yangbersumber dari penelitian lapangan dan didukung pula dengan bahan hukum yangterdiri dari peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, jurnal, artikel dankarya tulis yang relevan dengan pokok permasalahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi penegakan hukumpidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di KotaDenpasar belum berjalan/dilaksanakan secara maksimal. Faktor-faktor yangmenjadi penghambat penegakan hukum pidana tersebut adalah faktor strukturhukum (legal structure) yaitu terkait dengan kinerja aparat penegak hukum belummaksimal, berikutnya faktor substansi hukum (legal substance) yaitu tindakpidana pergelandangan belum disebutkan secara tegas dalam Peraturan DaerahKota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 dan belum adanyaaturan pidana bagi masyarakat pemberi kepada gelandangan pengemis, dan faktorbudaya hukum (legal culture) yaitu berupa kurang pedulinya masyarakat KotaDenpasar akan permasalahan gelandangan dan pengemis, masih adanyamasyarakat yang memberikan sesuatu/uang kepada gelandangan pengemis, nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat bertentangan dengan ide pemidanaan terhadapgelandangan pengemis, dan sikap mental aparat penegak hukum yang kurangtegas. Sedangkan yang menjadi faktor pendukungnya adalah faktor strukturhukum (legal structure) yang berupa sarana/fasilitas dan jumlah petugaspelaksanaan operasi/razia atau penertiban yang dimiliki oleh Satuan PolisiPamong Praja Kota Denpasar (Satpol PP Kota Denpasar) cukup memadai, danfaktor substansi hukum (legal substance) itu sendiri karena keberadaannyasebagai dasar pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan danpengemis masih sangat diperlukan dan layak dipertahankan.
Kata kunci: Gelandangan, Pengemis, Penanggulangan, Penegakan Hukum Pidana.
ix
11
ABSTRACT
The existence of vagrants and beggars in the municipality of Denpasar arevery disturbing society. In the Indonesian positive law, vagrancy and beggingactivity is qualified as a criminal offense or as a violation (overtredingen) in theregulation of public order as regulated in Article 504 and 505 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (Penal Code), while for the area of municipality ofDenpasar specifically is regulated in Article 35 paragraph (4) jo. Article 37paragraph (1) Denpasar Regional Regulation Number 15 of 1993 jo. Number 3 of2000 regarding Health and Public Order. Based on the legal provisions mentionedabove, one of the efforts to be made in order to overcome the problems ofvagrants and beggars in the municipality of Denpasar is through the enforcementof criminal law.
This research is using a descriptive empirical law method. The data source ofthis research are based on field research and supported by legal materialsconsisting of legislation, literature, journals, articles and papers that are relevant tothe subject matter.
The results showed that the implementation of criminal law enforcement inthe context of prevention vagrants and beggars in the municipality of Denpasarhas not executed optimally. The factors that become an obstacle to theenforcement of the criminal law are the law structural factors (legal structure)which is related to the performance of law enforcement officials is not maximizedyet, the next factor of the substance of the law (legal substance), the crime offenceof vagrancy is not mentioned explicitly in Denpasar Regional Regulation Number15 of 1993 jo. No. 3 of 2000 and there is no regulation regarding of a criminalrule for the giver to a vagrants beggars, and the cultural factors of law (legalculture) are less concerned of Denpasar citizen with vagrants beggars matter,some of the people are still giving something/money to a vagrants beggars, thegrows value in the community opposed to the idea of punishment to vagrantsbeggars, and the mental attitude of law enforcement officers are less assertive.The supporting factor is legal structure in the form of infrastructure/facilities andnumber of officers conduct of operations/raids or controlling are managed by theCivil Service Police Unit Denpasar (Satpol PP Kota Denpasar) is quite adequate,and the factor of legal substances (legal substance) itself caused of the existenceas the basis for the implementation of the enforcement of the criminal law againstvagrants and beggars are still very necessary and worth keeping.
Keywords: Vagrants, Beggars, Prevention, Criminal Law Enforcement.
x
12
RINGKASAN
Tesis ini berjudul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYAPENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTADENPASAR”. Penulisan tesis ini terdiri dari 5 Bab yang mana dalam uraian-uraiannya juga didukung oleh beberapa sub bab yang dapat menunjangpembahasan setiap Bab tersebut.
BAB I sebagai bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang masalah,rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian yang terdiri daritujuan umum dan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis danpraktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis yang digunakan dalam rangkamengkaji, menganalisis permasalahan, kerangka berpikir, serta bagian sub babmetode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, data dansumber data, teknik pengumpulan data, teknik penentuan sampel penelitian,pengolahan dan analisis data. Dalam penulisan tesis ini peneliti mengangkatpokok permasalahan sebagai berikut: (i) Bagaimanakah implementasi penegakanhukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di KotaDenpasar?; (ii) Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukungpenegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?.
BAB II menguraikan tentang tinjauan umum penanggulangan tindak pidanapergelandangan dan pengemisan. Pembahasannya terdiri dari pengertiangelandangan dan pengemis, peraturan perundang-undangan terkaitpenanggulangan gelandangan dan pengemis, faktor-faktor penyebab munculnyagelandangan dan pengemis di Indonesia, serta upaya penanggulangan tindakpidana.
BAB III mengkaji dan membahas tentang pokok permasalahan yang pertamayaitu implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangangelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Pada bagian sub bab meliputiuraian tentang profil Kota Denpasar, perkembangan gelandangan dan pengemis diKota Denpasar dalam kurun waktu tahun 2010-2014, klasifikasi gelandangan danpengemis, serta implementasi penegakan hukum pidana terhadap gelandangan danpengemis di Kota Denpasar.
BAB IV mengkaji dan membahas mengenai faktor-faktor penghambat danpendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di KotaDenpasar. Dalam sub bab ini peneliti menguraikan tentang faktor-faktor yangmempengaruhi penegakan hukum, dan faktor-faktor apa saja yang menjadipenghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan danpengemis di Kota Denpasar tersebut.
Selanjutnya, mengenai simpulan dan saran-saran akan peneliti uraikan dalamBAB V.
xi
13
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM.......................................................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS.................................................................. iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT . .............................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ vi
ABSTRAK....................................................................................................... ix
ABSTRACT..................................................................................................... x
RINGKASAN .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xv
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 10
1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................ 11
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................... 12
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................ 12
1.4.2 Tujuan Khusus............................................................ 12
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................. 12
xii
14
1.5.1 Manfaat Teoritis ......................................................... 13
1.5.2 Manfaat Praktis .......................................................... 13
1.6 Orisinalitas Penelitian ............................................................ 13
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ............................. 16
1.7.1 Landasan Teoritis ...................................................... 16
1.7.2 Kerangka Berpikir..................................................... 29
1.8 Metode Penelitian .................................................................. 31
1.8.1 Jenis Penelitian.......................................................... 31
1.8.2 Sifat Penelitian .......................................................... 31
1.8.3 Data dan Sumber Data .............................................. 32
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data........................................ 34
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian........................ 35
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data................................... 36
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS............................................ 38
2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis.................................. 38
2.2 Peraturan Perundang-undangan Terkait Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis.................................................... 42
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan
Pengemis di Indonesia ............................................................ 54
2.4 Upaya Penanggulangan Tindak Pidana .................................. 67
BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR .... 71
xiii
15
3.1 Sekilas Profil Kota Denpasar.................................................. 71
3.2 Perkembangan Gelandangan dan Pengemis di
Kota Denpasar Dalam Kurun Waktu Tahun 2010-2014 ........ 72
3.3 Klasifikasi Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar .... 85
3.3.1 Klasifikasi Gelandangan ........................................... 85
3.3.2 Klasifikasi Pengemis .................................................. 90
3.4 Implementasi Penegakan Hukum Pidana Terhadap Gelandangan
dan Pengemis di Kota Denpasar .............................................. 99
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDUKUNG
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR .... 133
4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.......... 133
4.2 Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ........................ 136
4.3 Faktor-Faktor Pendukung Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ........................ 153
BAB V PENUTUP .................................................................................... 160
5.1 Simpulan................................................................................. 160
5.2 Saran .................................................................................... 162
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN
xiv
16
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1: Data Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis
Periode Tahun 2010-2014 ………………...……………......... 74
2. Tabel 2: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014
Berdasarkan Tingkat Usia/Umur ............................................. 85
3. Tabel 3: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014
Berdasarkan Jenis Kelamin ...................................................... 86
4. Tabel 4: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014
Berdasarkan Asal Daerah ......................................................... 87
5. Tabel 5: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014
Berdasarkan Wilayah Persebaran/Daerah Operasi .................. 89
6. Tabel 6: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan
Tingkat Usia/Umur .................................................................. 91
7. Tabel 7: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan
Jenis Kelamin ........................................................................... 93
8. Tabel 8: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan
Asal Daerah .............................................................................. 94
9. Tabel 9: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan
Wilayah Persebaran/Daerah Operasi ....................................... 98
10. Tabel 10: Data Perkembangan Jumlah Perkara Tindak Pidana
Pergelandangan dan Pengemisan Pada Pengadilan Negeri
Denpasar Periode Tahun 2010-2014....................................... 127
xv
17
DAFTAR GRAFIK
1. Grafik 1: Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis Periode
Tahun 2010-2014 ………………...……………...................... 74
2. Grafik 2: Perkembangan Jumlah Gelandangan Periode Tahun 2010-
2014 ......................................................................................... 75
3. Grafik 3: Perkembangan Jumlah Pengemis Periode Tahun 2010-2014 .. 75
xvi
18
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1: Pola Penanggulangan Gelandangan Pengemis di Kota
Denpasar .............................................................................. 128
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam kehidupannya sehari-hari selalu menginginkan adanya
ketentraman, ketertiban maupun keteraturan. Keinginan tersebut selalu
berkembang dalam pergaulan hidup manusia di masyarakat dimana ia bertempat
tinggal. Dalam proses mencapai ketentraman, ketertiban dan keteraturan ini tidak
jarang kita temukan pula terjadinya pertentangan-pertentangan kepentingan yang
dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan.
Mengatasi hal yang demikian, maka perlu kiranya dibuat suatu perangkat
aturan untuk mengatur diri manusia itu agar supaya tercapai dan tercipta
ketertiban. Aturan yang dimaksud tidak lain berupa patokan atau pedoman untuk
berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan dan
sekaligus harapan. Patokan-patokan tersebut sering dikenal dengan sebutan norma
atau kaedah yang mengatur diri pribadi manusia dalam pergaulan hidup di
masyarakat.1
Harus kita sadari bersama timbulnya pertentangan kepentingan-kepentingan
tersebut diatas tentunya akan berpeluang besar menimbulkan adanya friksi-friksi
tertentu dalam kehidupan masyarakat yang muaranya dapat mengakibatkan
munculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat telah
1Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke-12,Rajawali Press, Jakarta, h. 1.
1
2
bergeser dari norma-norma atau kaedah yang ada. Pada umumnya prilaku
kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh segolongan minoritas masyarakat
namun akibatnya dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya.
Salah satu bentuk pelanggaran hukum khususnya hukum pidana adalah dalam
bidang ketertiban umum seperti misalnya mengenai masalah gelandangan dan
pengemis. Masyarakat umum lebih populer menggunakan singkatan “Gepeng”
untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut.2 Eksistensi
gelandangan dan pengemis (gepeng) dalam lingkungan masyarakat jelaslah sangat
meresahkan karena disamping sebagai pelanggaran hukum juga merupakan salah
satu penyakit sosial yang tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele dan
dibiarkan begitu saja. Apalagi dalam kenyataannya kehadiran gepeng dalam
masyarakat tidak dapat dibendung, bahkan kian hari jumlahnya cenderung makin
banyak dan sulit ditanggulangi secara tuntas.
Kalau ditinjau lebih jauh masalah gelandangan dan pengemis ini adalah
merupakan masalah yang terus mewarnai kehidupan bangsa Indonesia dari dahulu
hingga sekarang. Kemiskinan yang terus melanda sebagian masyarakat Indonesia
disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab utama berkembangnya masalah ini
dari jaman ke jaman.
Disamping itu, gelandangan dan pengemis jelas merupakan salah satu dampak
negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan
percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan
pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi atau urbanisasi dari
2Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, 2004, Muntigunung Profil Sebuah Dusun, DinasKesejahteraan Sosial Provinsi Bali, Denpasar, h. 7.
3
desa ke kota yang antara lain dapat memunculkan gelandangan dan pengemis
karena sulitnya mendapatkan pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan.3
Saat ini di sejumlah kota besar di Indonesia ternyata persebaran maupun
jumlah gelandangan dan pengemis tersebut cukup tinggi. Begitu pula halnya
dengan kota-kota yang ada di Propinsi Bali, fenomena hadirnya gelandangan dan
pengemis telah menjadi masalah serius yang harus dihadapi dari tahun ke tahun.
Salah satunya adalah dapat kita lihat di Kota Denpasar yang mana di beberapa
sudut kota dan pusat keramaian sangat mudah kita temukan gelandangan dan
pengemis tersebut. Masalahnya disini adalah keberadaan mereka tidak pernah ada
habisnya, bahkan pada saat-saat tertentu jumlahnya semakin banyak, seperti
misalnya pada saat menjelang hari raya keagamaan dan musim liburan. Adanya
serbuan gelandangan dan pengemis tersebut memang sulit dibendung dan nyata-
nyata juga telah membuat sibuk Pemerintah Kota Denpasar untuk
menanggulanginya.4
Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan dan meresahkan masyarakat Kota
Denpasar mengingat keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut selain
merupakan penyakit sosial yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
dan kepribadian bangsa Indonesia juga berpotensi meningkatkan angka
kriminalitas serta menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum seperti
pemerasan, pencurian dan sindikat perdagangan anak. Disamping itu, masalah
3Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, 2010, Fenomena MunculnyaGelandangan dan Pengemis, http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php/article=1066, Diaksestanggal 04 Desember 2013.
4Anonim; 2013. Tak Mempan Dirazia, Gepeng Muncul di Kuta. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 21Juni, Halaman 23, Kolom 5.
4
gelandangan dan pengemis ini tentu dapat menimbulkan citra buruk atau kesan
negatif bagi kota Denpasar itu sendiri sebagai ibu kota, pusat perekonomian
maupun pusat pemerintahan Propinsi Bali yang perkembangan sosialnya selalu
mendapat soroton masyarakat luas dan juga merupakan salah satu daerah tujuan
wisata utama di Indonesia.
Sebagai gambaran mengenai seriusnya permasalahan gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar dapat dilihat dari data dan informasi yang peneliti
dapatkan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, ternyata dalam
periode tahun 2012 saja jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau
ditangkap/terjaring razia adalah sejumlah 304 orang, rinciannya 15 orang
gelandangan dan 289 orang pengemis. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa
kebanyakan gelandangan dan pengemis tersebut ternyata berasal dari daerah
Karangasem dan lainnya lagi berasal dari beberapa wilayah di Bali maupun luar
Bali.5 Fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan
pengemis yang tersebar di wilayah Kota Denpasar memang masih tinggi.
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Bali, seperti misalnya Kabupaten
Buleleng, ternyata jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Denpasar
jauh lebih banyak. Peneliti memilih Kabupeten Buleleng sebagai bahan
perbandingan dalam penelitian ini mengingat jumlah penduduk dan luas wilayah
Kabupaten Buleleng adalah yang terbesar di Propinsi Bali serta saat ini
pembangunan di wilayah tersebut berkembang cukup pesat. Menurut data yang
dimiliki oleh Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, dalam periode tahun yang sama
5Data di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, research dilakukan pada bulanDesember 2014 s/d bulan Maret 2015.
5
yaitu tahun 2012, jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau
ditangkap/terjaring razia oleh aparat atau instansi terkait di Kabupaten Buleleng
adalah hanya sejumlah 75 orang, rinciannya 10 orang gelandangan dan 65 orang
pengemis.6
Tidak dapat kita pungkiri masalah gelandangan dan pengemis ini adalah
merupakan masalah yang sangat kompleks karena selain bersinggungan dengan
aspek hukum juga berkaitan erat dengan aspek-aspek sosial seperti ekonomi,
mental dan budaya masyarakat sehingga wajar apabila disini memerlukan upaya
penanggulangan atau penanganan yang lebih komprehensif dari aparat penegak
hukum maupun Pemerintah Kota Denpasar dengan melibatkan semua elemen
masyarakat.
Selama ini Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat penegak hukum
terkait memang telah melakukan upaya-upaya penanggulangan, hal tersebut dapat
dilihat dari pemberitaan beberapa media massa. Misalnya, menjelang digelarnya
berbagai even internasional di Bali Pemerintah Kota Denpasar gencar melakukan
penertiban terhadap gepeng.7 Selanjutnya, diberitakan pula bahwa Pemerintah
Kota Denpasar sibuk merazia gepeng dan upaya penertiban tersebut rutin
dilaksanakan, apalagi menjelang diselenggarakannya ajang Miss World pada
bulan September 2013.8 Selain itu, diperoleh suatu informasi bahwa Pemerintah
6Data di Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, research dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.
7Anonim; 2013. Kota dan Badung Buru Gepeng Jelang Gelaran Dua Even Internasional. JawaPos Radar Bali, Tgl. 10 Juni, Halaman 25, Kolom 6.
8Dewa Dedi Farendra, dan Maulana Sandijaya; 2013. Menyapa Miss World, MenghalauGepeng, Denpasar Ingin Aman dan Nyaman. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 16 Juni, Halaman 28,Kolom 7.
6
Kota Denpasar pada tahun 2012 terus berupaya menanggulangi keberadaan
gepeng di Kota Denpasar, jika sebelumnya telah memasang baliho yang berisi
imbauan agar tidak memberikan sedekah kepada gepeng, berikutnya Pemerintah
Kota Denpasar menyebar selebaran berisi imbauan agar warga tidak memberikan
sesuatu pada gepeng.9
Bahwa meskipun ketentuan Pasal 34 Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara”, namun ketentuan pasal tersebut tidaklah dapat
dijadikan dasar atau alasan hukum untuk melakukan pembiaran maupun
meniadakan tindakan tegas negara dalam menanggulangi masalah gelandangan
dan pengemis tersebut. Untuk menjaga ketertiban umum, membangun masyarakat
Indonesia yang mandiri dan berbudi pekerti luhur serta memberikan rasa aman,
tenteram bagi masyarakat luas, maka sangat beralasan apabila diperlukan upaya
penanggulangan yang lebih serius terhadap permasalahan gelandangan dan
pengemis ini mulai dari yang sifatnya preventif sampai dengan upaya-upaya yang
sifatnya represif melalui penerapan atau fungsionalisasi Hukum Pidana, misalnya
berupa pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada gelandangan
dan pengemis.
Beberapa aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman/landasan dalam rangka
penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis tersebut
secara umum dan pada khususnya di Kota Denpasar, termasuk yang didalamnya
9Anonim, 2012, Siaga Gepeng Sebar Himbauan, Bali Tribune,http://koranbalitribune.com/2012/04/15/siaga-gepeng-sebar-imbauan/, Diakses tanggal 03September 2013.
7
menegaskan dapat diterapkannya ketentuan Hukum Pidana adalah sebagai
berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial;
4. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis;
5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.
Disamping peraturan perundang-undangan tersebut tersebut diatas ada pula
berupa peraturan kebijakan seperti misalnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan
Pengemis.
Aturan-aturan yang tegas dan sifatnya represif mengenai penanganan
gelandangan dan pengemis memang tetap diperlukan mengingat ketentuan
tersebut dapat menghambat laju serta mempersempit ruang gerak gelandangan
dan pengemis itu sendiri di masyarakat, disamping tetap pula harus dikedepankan
upaya-upaya penanggulangan yang sifatnya preventif dan persuasif. Pemikiran
seperti ini sangat berdasar mengingat kebijakan Hukum Pidana itu sendiri
8
menegaskan adanya cara penal dan non penal dalam rangka penanggulangan
kejahatan atau pelanggaran hukum di masyarakat.10
Secara umum dalam hukum positif Indonesia, kegiatan pergelandangan dan
pengemisan tersebut ternyata dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu
sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana). Khusus untuk di Kota Denpasar mengenai larangan kegiatan
pergelandangan dan pengemisan termasuk ketentuan pidananya tersebut diatur
pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar
No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban
Umum.
Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:
“1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan
pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;
2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas
enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan”.11
Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut:
1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karenamelakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tigabulan;
10Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum PidanaDalam Penanggulangan Kejahatan, Ed. I. Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut BardaNawawi Arief I), h. 77.
11Moeljatno, 2012, KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. ke-30, Bumi Aksara,Jakarta, h. 184.
9
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnyadi atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lamaenam bulan. 12
Berikutnya, Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut:
- Pasal 35 ayat (4): “Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”;
- Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)”.
Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang menurut hukum adalah
dilarang dan merupakan suatu tindak pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana
secara umum untuk kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam
KUHP, namun Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula
menetapkan peraturan soal larangan tersebut.
Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan dan pengemis
tetap diperlukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar. Idealnya dengan adanya ketentuan Hukum Pidana
tersebut sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan
membina masyarakat (law as a tool of social engineering)13, maka hal
12Ibid.
13Otje Salman, dan Anton F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Ed. Ke-2 Cet.ke-1, Alumni, Bandung, h. 33 – 35.
10
tersebut seharusnya dapat mempengaruhi pola perilaku masyarakat dan membuat
masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan
pengemis.
Dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah
gelandangan dan pengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar
tenyata masih cukup tinggi, hal tersebut menunjukkan upaya-upaya
penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukum
pidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahan-
kelemahan. Kondisi tersebut tentu semakin menjadikan masalah penanggulangan
gelandangan dan pengemis ini sebagai isu atau permasalahan serius yang harus
segera dicarikan jalan pemecahannya bersama.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka sangat wajar dan beralasan
apabila peneliti sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut hal-hal yang berkaitan
dengan upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor yang
menghambat dan mendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan
pengemis tersebut dengan mengambil judul penelitian “Penegakan Hukum
Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
11
1. Bagaimanakah implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?
2. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut sangatlah diperlukan
untuk mendapatkan uraian yang lebih terarah. Bertitik tolak dari hal diatas, maka
permasalahan penegakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut penyajiannya dikaji
berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
maupun Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar mengenai
jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar, serta upaya-upaya
penanggulangannya oleh Pemerintah Kota Denpasar bersama instansi penegak
hukum terkait yaitu Polresta Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu dari periode tahun 2010 sampai dengan 2014.
Adapun pokok pembahasannya disini adalah mengenai implementasi penegakan
hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar serta faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam penegakan hukum
pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut diatas.
12
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian tentang Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ini mempunyai tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan
paradigma Science as a Process (Ilmu sebagai Proses). Dengan paradigma ini,
ilmu Hukum Pidana akan terus berkembang terutama terkait dengan
penanggulangan gelandangan dan pengemis di masyarakat.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai upaya penegakan hukum pidana
dalam rangka penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis yang
terjadi di Kota Denpasar.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penghambat maupun
pendukung penegakan hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat secara teoritis maupun
praktik di lapangan sebagai berikut:
13
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi teoristik dan pengembangan
konsep dasar dan teori Hukum Pidana, khususnya tentang tindak pidana yang
berhubungan dengan masalah gelandangan dan pengemis.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan praktek atau
penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Denpasar bersama
dengan aparat penegak hukum terkait seperti: Polisi dan Hakim dalam rangka
menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Aspek orisinalitas dalam penelitian ini harus diperhatikan agar tulisan dan
penelitian ini dapat bernilai sebagai suatu karya ilmiah yang baik. Berdasarkan
penelusuran yang peneliti lakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas
Udayana dan beberapa Universitas lainnya di Indonesia, maka penelitian dengan
judul “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar” belum pernah ada yang
melakukan penelitian sebelumnya.
Dalam tataran penulisan Tesis dan Disertasi, meskipun mengenai topik
gelandangan dan pengemis ini sudah ada yang meneliti dan membahas akan tetapi
hampir seluruhnya bukan dalam perspektif kajian ilmu hukum. Adapun hanya ada
1 (satu) penelitian hukum mengenai gelandangan dan pengemis yang peneliti
14
temukan. Sebagai gambarannya, beberapa tulisan ilmiah tersebut akan peneliti
uraikan sebagai berikut:
I. Nama : Yusrizal
NIM : 097005047
Univ./PS : Universitas Sumatera Utara (USU) / Magister Ilmu
Hukum
Judul Tesis : Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan
Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut Undang-
Undang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)
Permasalahan : 1. Bagaimanakah fungsionalisasi hukum pidana
terhadap gelandangan dan pengemis?
2. Bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505
KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 Undang-
Undang Dasar 1945?
3. Bagaimanakah upaya dekriminalisasi terhadap
perbuatan gelandangan dan pengemis dalam
perspektif kebijakan hukum pidana?
II. Nama : Desriyanti
NIM : 01505002
Univ./PS : Universitas Negeri Medan / Magister Antropologi Sosial
Judul Tesis : Miskin Papa: Kajian Antropologi Terhadap
Kelompok Pengemis di Kota Medan
15
Permasalahan : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang
menjadi pengemis? Bagaimana latar belakang
pendidikan mereka? dan Bagaimana mereka memilih
menjadi pengemis?
2. Daerah-daerah manakah yang menjadi lokasi mengemis
bagi para pengemis di kota Medan?
3. Mengapa kehidupan sebagai pengemis dapat dilakukan
secara turun temurun?
4. Bagaimanakah tipologi pengemis yang ada di kota
Medan?
5. Apakah ada usaha pemerintah untuk menanggulangi
kehidupan sebagai pengemis?
III. Nama : Mardian Wibowo
NIM : 0606017593
Univ./PS : Universitas Indonesia (UI) / Magister Ilmu Administrasi
Judul Tesis : Studi Implementasi Kebijakan Penanganan
Gelandangan di Kota Jakarta Timur
Permasalahan : 1. Bagaimanakah implementasi kebijakan penanganan
gelandangan di kota Jakarta Timur?
2. Apakah strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan atau memperkuat implementasi
kebijakan penanganan gelandangan di Jakarta Timur?
16
Apabila dibandingkan dengan Tesis No. I diatas, maka penelitian yang peneliti
lakukan ini jelaslah sangat berbeda. Disamping perbedaan dalam rumusan
masalah, Tesis No. I yang ditulis Yusrizal tersebut jelas-jelas dibuat dengan jenis
penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian ini adalah merupakan penelitian
hukum empiris dan tempat penelitiannya dilakukan di Kota Denpasar. Berikutnya,
apabila dibandingkan dengan Tesis No. II dan III diatas, maka Tesis-Tesis
tersebut jelas pula sangat berbeda dengan penelitian ini karena dalam Tesis No. II
dan III tersebut masalah gelandangan maupun pengemis dikaji, dibahas dalam
perspektif ilmu yang lain dan bukan dalam perspektif ilmu Hukum.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.7.1 Landasan Teoritis
“Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian”.14 Dalam hal ini tentu saja yang terfokus pada
permasalahan penegakan hukum pidana dalam penanggulangan masalah
gelandangan dan pengemis.
Negara Indonesia adalah sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan
dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (3)
14Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013,Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2)Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 44.
17
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945).15
Dalam konteks negara hukum tersebut tentu asas persamaan dihadapan hukum
(equality before the law) harus tetap dikedepankan dalam rangka mewujudkan
proses penegakan hukum yang adil (ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUDNRI 1945).
Ini berarti setiap orang yang melakukan tidak pidana seharusnya ditindak tegas
tanpa pandang bulu termasuk bagi gelandangan dan pengemis, namun perlu
diingat pula bahwa dalam hukum pidana dikenal adanya adagium “ultimum
remedium” yang dapat diartikan bahwa sanksi pidana adalah sebagai senjata
terakhir/pamungkas.16 Dalam penegakan hukum pidana seharusnya prinsip ini
harus dipegang teguh dimana pemberian sanksi pidana tersebut memang benar-
benar dijadikan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian suatu masalah yang
terjadi masyarakat.
Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah “keseluruhan aturan ketentuan hukum
mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya”.17
Selanjutnya, dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan gelandangan (Vagrants, Vagabond, Landloperij) adalah “one who, not
having a settled habitation, strolls from place to place, a homeless, idle
wandered”18 (terjemahan peneliti: orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap,
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak memiliki pekerjaan
15Ibnu Subarkah, 2010, Elastisitas Bagi Kemandirian Peradilan, Varia Peradilan: Tahun XXVNo. 295, Jakarta, h. 46.
16Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 3 Cet. ke-1, RefikaAditama, Bandung, h. 17.
17Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Ed. 1 Cet. ke-2, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.
18Bryan A. Garner (ed), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West, a ThomsonReuters Business, Texas, page 1689.
18
atau pengangguran). Sementara itu yang dimaksud dengan pengemis (Beggars,
Bedelarij) adalah “a person who communicates with people, often in public
places, asking for money, food, or other necessities for personal use, often as a
habitual means of making a living”19 (terjemahan peneliti: orang yang sering
berada di tempat umum, meminta uang, makanan, atau keperluan lainnya untuk
kepentingan pribadi, sering dipakai sebagai sarana kebiasaan mencari nafkah).
Sesuai dengan ketentuan hukum positif di Indonesia perbuatan
pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis
jelas adalah merupakan salah satu bentuk tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran
ketertiban umum, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 504 dan
505 KUHP. Sementara itu, dalam lingkup wilayah Kota Denpasar, ada pula aturan
pidana yang lebih khusus mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan
pengemisan tersebut yaitu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 15 tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum.
Sebagai gambaran mengenai penanggulangan atau penanganan masalah
gelandangan dan pengemis di Indonesia, maka salah satunya dapat dilihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardian Wibowo tentang gelandangan dan
pengemis di Jakarta Timur yang menjelaskan bahwa selama ini pola penanganan
gelandangan di Jakarta Timur cenderung bersifat reaktif, yakni menitikberatkan
pada kriminalisasi gelandangan, serta tindakan-tindakan on the spot (berupa
operasi langsung) menyingkirkan gelandangan dari wilayah Jakarta timur tanpa
19Ibid, h. 174.
19
memperbaiki infrastruktur di wilayah asal gelandangan. Penanganan yang bersifat
reaktif tersebut diatas terbukti tidak memberikan hasil sehingga perlu dilakukan
perubahan pendekatan dalam penanganan gelandangan.20 Berikutnya, Saptono
Iqbali dalam hasil penelitiannya terhadap gelandangan dan pengemis di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem sebagai daerah asal gepeng
mengemukakan bahwa selain tetap melakukan razia-razia, langkah-langkah
berupa pembinaan, penyuluhan, pemberian bantuan sosial, maupun pemenuhan
kebutuhan spiritual adalah sangat diperlukan sebagai bagian strategi penanganan
masalah gepeng tersebut di masyarakat.21
Pembahasan dalam penelitian ini nantinya akan didukung pula oleh beberapa
teori yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan
menganalisis masalah tersebut. Penggunaan teori hukum adalah merupakan
bagian penting dalam suatu penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar
dalam memberikan penilaian tentang apa yang seharusnya menurut hukum. Selain
itu, teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang
terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau
analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam
masalah penelitian.22 Suatu undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif
20Mardian Wibowo, 2008, “Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di KotaJakarta Timur”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Administrasi Pascasarjana, UniversitasIndonesia, Jakarta.
21Saptono Iqbali, 2008, Studi Kasus Gelandangan – Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan KubuKabupaten Karangasem, Jurnal, http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/download/2972,Diakses tanggal 10 Oktober 2013.
22Mukti Fajar Nur Dewata, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatifdan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 146.
20
maupun aspek empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi
law in books dan studi law in action. 23 Mengacu pada uraian tersebut, maka
jelaslah untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam
memang diperlukan teori yaitu berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.24
Adapun teori-teori yang relevan digunakan dalam menganalisis permasalahan
sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
a. Teori Bekerjanya Hukum
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka salah satu hal penting yang
terkait didalamnya adalah mengenai proses bekerjanya hukum pidana itu
sendiri dalam kehidupan masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat
melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan.
Beberapa aspek tersebut yaitu: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making
Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions),
Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosial Personal (Societal
Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan
Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.25
23Amiruddin, dan Zaenal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 196.
24Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
25Esmi Warrasih, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,Semarang, h. 30.
21
Proses bekerjanya unsur atau aspek tersebut diatas akan menunjukkan pula
bahwa hukum tersebut dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran (Role
Occupant) sebagaimana yang ditegaskan Robert B. Siedman dalam bukunya
yang berjudul The State, Law and Development: “Law as a divice to structure
choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behavior, and
its importance as the principal instrument that government has to influence
behavior”26 (terjemahan peneliti: hukum adalah sebagai perangkat pilihan
struktur mengekspresikan sekaligus marginalitas biasa hukum dalam
mempengaruhi perilaku, dan pentingnya sebagai instrumen utama pemerintah
untuk mempengaruhi perilaku).
Robert B. Seidman mencoba untuk menerapkan pandangannya terkait
hasil bekerjanya berbagai macam faktor tersebut di dalam analisanya
mengenai bekerjanya atau berlakunya hukum dalam masyarakat. Model
Robert B. Seidman tersebut dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut:
26Robert B. Siedman, 1978, The State, Law and Development, ST. Martin’s Press, New York,page 77.
22
Oleh Robert B. Seidman bagan diatas diuraikan dalam dalil-dalil sebagai
berikut:
1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang
pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak;
2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu
respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-
lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik
dan lain-lainnya mengenai dirinya;
3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan
kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang
mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para
pemegang peranan;
4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-
sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik,
ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan
balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.27
Dari uraian teori yang dikemukakan oleh Robert B. Siedman tersebut diatas,
apabila dikaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dalam upaya
27Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, h. 27-28.
23
penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka pelaksanaannya tentu akan
dipengaruhi pula oleh beberapa unsur atau aspek yang mempengaruhi
bekerjanya hukum tersebut diatas sehingga penegakan hukum pidananya di
masyarakat dapat berjalan dengan baik dalam rangka menanggulangi
permasalahan tersebut.
b. Teori Pemidanaan
Salah satu masalah pokok dalam hukum pidana adalah mencari dasar
pembenaran dijatuhkannya pidana terhadap pelaku tindak pidana sehingga
pidana tersebut menjadi lebih fungsional. “Menurut Sudarto yang dimaksud
dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.28
Pada umumnya, teori pemidanaan (Strafrechts Theorien) dibagi dalam
tiga golongan teori yaitu:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori ini, penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena
orang telah melakukan suatu tindak pidana. Hanya dengan membalas
tindak pidana itu dengan penambahan penderitaan, dapat dinyatakan
bahwa perbuatan itu dapat dihargai. Oleh karena itu, pidana dilepaskan
dari tujuan. Adapun tokoh-tokoh penganut teori pembalasan ini seperti
Imanuel Kant, Van Bemmelen dan Pompe;
28Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam PembaharuanHukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 68.
24
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory)
Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa pidana itu bukanlah untuk
melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan ataupun pelanggar
hukum, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Penganut teori ini antara lain A. Von Feuerbach, Van Hamel dan Simons.
Sehubungan dengan tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu:
a. Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah
karena akibat dari telah terjadinya kejahatan ataupun pelanggaran
hukum;
b. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang mana dapat
dibedakan atas pencegahan umum (generale preventie) dan
pencegahan khusus (speciale preventie).
Pencegahan umum didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu
dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan
kejahatan atau pelanggaran, sedangkan pencegahan khusus didasarkan
pada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah
melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tidak mengulangi
kejahatan;
3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen)
Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut/teori pembalasan dengan
teori relatif/teori tujuan. Dalam hal ini dibagi kedalam 3 (tiga) golongan
yaitu:
25
a. Menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban
masyarakat;
b. Menitikberatkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi
pidana tidak boleh lebih berat daripada beratnya penderitaan yang
sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana;
c. Menitikberatkan sama baik kepada pembalasan maupun kepada
pertahanan ketertiban masyarakat.29
c. Teori Penanggulangan Tindak Pidana
Upaya-upaya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan
atau tindak pidana termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy).
Marc Ancel pada pokoknya menegaskan bahwa kebijakan kriminal (criminal
policy) tersebut adalah sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat
untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari
kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri
dari upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan
upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).30
Dalam implementasinya upaya penanggulangan kejahatan atau tindak
pidana ini harus dilakukan dengan pendekatan integral yakni ada
keseimbangan antara sarana penal (hukum pidana) dan non penal
(bukan/diluar hukum pidana). Dengan demikian, dalam rangka
29Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,h. 52-60.
30 Barda Nawawi Arief I, Loc.cit.
26
penanggulangan tindak pidana yang terjadi di masyarakat khususnya dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka pada tahap/proses dari
penegakan hukum pidana in concreto tersebut haruslah juga memperhatikan
dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa
kesejahteraan sosial (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social
defence).
d. Teori Sistem Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, “A legal system in actual operation is a
complex organism in which structure, substance, and culture interest”31
(terjemahan peneliti: suatu sistem hukum dalam pelaksanaannya merupakan
sebuah organisme kompleks dimana struktur, substansi dan budaya
berinteraksi). Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu
sistem hukum terdapat sub sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuan
yang saling berinteraksi.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum
selalu mensyaratkan berfungsinya semua unsur/komponen sistem hukum
diatas yakni Struktur Hukum/Pranata Hukum, Substansi Hukum, dan Budaya
Hukum.
1. Struktur Hukum (legal structure)
Bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau
fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya: Pengadilan,
31Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel SageFoundation, New York, page 10.
27
Kejaksaan, Kepolisian. Jadi disini menekankan pada aspek lembaga dan
aparat penegak hukumnya;
2. Substansi Hukum (legal substance)
Hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya: Putusan
Hakim, Undang-Undang;
3. Budaya Hukum (legal culture)
Sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang
mendorong berjalannya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis
dalam kerangka budaya milik masyarakat.32
Ketiga unsur/komponen diatas mendukung berjalannya sistem hukum di suatu
negara.33
e. Teori Penegakan Hukum
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran,
kemanfaatan sosial, dan sebagiannya. Ini berarti penegakan hukum merupakan
usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tersebut menjadi
kenyataan.34
Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti penegakan hukum
tersebut terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
32Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana khusus,Cet. I, Liberty, Yogyakarta, h. 1.
33Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 26.
34Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Cet. ke-2, Buku Kompas,Jakarta, h. 169.
28
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.35
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektevitas penegakan hukum. Berikutnya, Hamis MC. Rae juga
mengemukakan pendapatnya bahwa penegakan hukum tersebut harus
dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan berupa penegakan hukum
harus dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli di bidangnya dan dalam
35Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 5-8.
29
penegakan hukum akan lebih baik jika pelaksanaanya mempunyai pengalaman
praktek berkaitan dengan bidang yang ditanganinya.36
Bahwa dari Teori-Teori Hukum yang dikemukakan diatas, maka dapat
dijelaskan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c lebih
digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada
poin 1, sedangkan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf d dan e
digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada
poin 2.
1.7.2 Kerangka Berpikir
Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis tersebut diatas, maka
peneliti dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut:
36Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 17.
30
Penanggulangangelandangan dan
pengemis di Kota Denpasaryang lebih
komprehensif
Hukum Pidana :KUHP
dan Perda Kota DenpasarNo. 15 Tahun 1993 jo.
No. 3 Tahun 2000
BekerjanyaHukum
Perilaku Hukum Masyarakat
Timbul masalah gepengdi masyarakat (pelanggaran
hukum/perilaku menyimpang)
Upaya-upaya penanggulangangelandangan dan pengemis:
- Penal (Penegakan hukumpidana Pemidanaan)
- Non Penal
Faktor-faktor penghambat danpendukung penegakan hukum
pidana: hukum, penegak hukum,sarana dan prasarana, masyarakat,
kebudayaan.
Rekomendasi
KAJIAN YURIDIS
PERMASALAHAN1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana
dalam rangka penanggulangan gelandangandan pengemis di Kota Denpasar ?
2. Apakah yang menjadi faktor-faktorpenghambat dan pendukung penegakanhukum pidana terhadap gelandangan danpengemis di Kota Denpasar ?
TEORI HUKUMa. Teori Bekerjanya Hukumb. Teori Tujuan Pemidanaanc. Teori Penanggulangan
Tindak Pidanad. Teori Sistem Hukume. Teori Penegakan Hukum
JUDUL:Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Gelandangan danPengemis di Kota Denpasar
LATAR BELAKANG MASALAH- Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sangat meresahkan masyarakat. Larangan
mengenai kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP,sedangkan, khusus untuk di Kota Denpasar mengenai hal tersebut diatur pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo.Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentangKebersihan dan Ketertiban Umum;
- Apabila dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah gelandangan danpengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar tenyata masih cukup tinggi, hal tersebutjelas menunjukkan upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukumpidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahan-kelemahan.
31
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam hal ini mengkaji
mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dalam
perspektif hukum pidana. Pada penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris,
hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam
kehidupan nyata.37 Kalau kita bandingkan dengan pendapat Bambang Sunggono,
maka jenis penelitian ini disebut juga sebagai penelitian hukum non-doktrinal
(socio-legal research) yang mana penekanannya adalah pada studi law in
Process.38 Data sekunder dalam penelitian ini digunakan sebagai data awal untuk
kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Penelitian hukum
empiris tetap mengacu pada premis normatif dimana definisi operasionalnya dapat
diambil dari peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya melihat
pelaksanaan atau kenyataannya yang ada di lapangan (Das Solen dengan Das
Sein).
1.8.2 Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris ini adalah merupakan penelitian yang bersifat
deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan
penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
37Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 53.
38Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Ed. 1 Cet. ke-8, PT. RajaGrafindoPersada, Jakarta, h. 102-103
32
suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.39 Biasanya peneliti sudah
mendapatkan/mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan
yang akan diteliti.40 Penelitian ini jelas bertujuan mendiskripsikan dan
menggambarkan apa adanya secara tepat mengenai penegakan hukum pidana
dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar
beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya.
1.8.3 Data dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisan penelitian ini
adalah terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder, yaitu
sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan (field
research) yaitu suatu data yang diperoleh langsung di lapangan, baik itu dari
responden maupun informan. Data Primer dalam penelitian ini bersumber dari
penelitian lapangan yang dilakukan di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) Kota Denpasar; Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar;
Kepolisian Resor Kota Denpasar (Polresta Denpasar); dan Pengadilan Negeri
Denpasar. Alasan hukum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kota
Denpasar adalah karena jumlah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota
Denpasar tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota
yang lainnya di Bali, selain itu juga didasari oleh rasa keprihatinan melihat
39Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 57.
40Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta,h. 8.
33
kondisi Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, ekonomi bahkan
pengembangan pariwisata Propinsi Bali ternyata masih menghadapi
permasalahan gelandangan dan pengemis yang kian hari makin sulit untuk
ditanggulangi secara tuntas;
2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan
dengan meneliti bahan-bahan hukum sebagai berikut:
- Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas.41 Dalam penelitian ini meliputi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang RI No. 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4967), Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 5294), Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3177), dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun
1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
(Lembaran Daerah Kota Daerah Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994
Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2000);
41Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cet ke-8, Kencana, Jakarta,h. 181.
34
- Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam hal ini meliputi
literatur-literatur tentang Hukum Pidana dan Teori Hukum, internet
dengan menyebut nama situsnya, hasil karya ilmiah Para Sarjana, hasil-
hasil penelitian dan jurnal-jurnal Hukum;
- Bahan hukum tersier (tertier) yaitu bahan – bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder. Dalam penelitian ini meliputi: Black Law Dictionary, disamping
itu termasuk pula kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder dan teknik wawancara
(interview) mendalam untuk mengumpulkan data primer.
1. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen ini dilakukan atas data sekunder yaitu berupa bahan-bahan
hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.43 Dalam proses
pengumpulan datanya dilakukan dengan melakukan penelusuran secara
mendalam kemudian membaca, menganalisa, serta mencatat secara sistematis
bagian-bagian yang terkait dengan pokok bahasan;
42Ibid.
43Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 60-61.
35
2. Teknik Wawancara (interview)
Selama ini teknik wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling
efektif dalam pengumpulan data primer.44 Wawancara merupakan suatu cara
untuk memeperoleh data dengan jalan mengadakan tanya jawab secara
langsung dengan informan dan responden di lapangan. Dalam kegiatan ilmiah,
wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang melainkan
dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang atau telah dikonsep
sebelumnya (interview guide) untuk memperoleh jawaban-jawaban yang
relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan.
Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan pejabat terkait di lingkungan
Pemerintah Kota Denpasar, aparat Satpol PP Kota Denpasar, aparat
Kepolisian pada Polresta Denpasar, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dan
tokoh masyarakat sebagai informan serta gelandangan dan pengemis itu
sendiri sebagai responden.
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam hal ini teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah non
probability sampling artinya dalam penelitian ini tidak ada ketentuan pasti berapa
sampel harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Populasi adalah
keseluruhan dari obyek pengamatan atau penelitian, sedangkan sampel adalah
bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya.45
44Bambang Waluyo, Op.cit, h. 57.
45Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 65.
36
Bentuk dari non probalitas sampling yang dipergunakan adalah bentuk
purposive sampling, artinya: penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan
tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana
penunjukkan dari pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel
telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristis tertentu yang merupakan
ciri utama dari populasi sehingga nantinya dapat diuraikan secara jelas mengenai
penegakan hukum pidana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis di
Kota Denpasar beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya.
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di
lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.46 Dalam hal ini model analisis data
yang digunakan adalah model analisis kualitatif atau yang sering dikenal dengan
deksriptif kualitatif. Dalam model analisis ini, dari keseluruhan data yang
terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder selanjutnya akan diolah
serta dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, diidentifikasi,
dikategorisasikan atau diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data
yang lain, dilakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi
sosial, dan kemudian dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah
memahami keseluruhan kualitas data.47 Proses analisis tersebut dilakukan secara
terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada
tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan di
46Bambang Waluyo, Op.cit, h. 72.
47Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h 76.
37
sajikan secara dekstriptif yaitu dengan memaparkan atau menggambarkan secara
jelas, sistematis dan lengkap mengenai hasil penelitian dari permasalahan yang
diajukan.
38
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS
2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis
Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan “gepeng”.
Masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan akronim/singkatan
“gepeng” (gelandangan dan pengemis) tersebut yang mana tidak hanya menjadi
kosakata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media
massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam kebijakan pemerintah merujuk
pada sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui di kota-kota besar.
Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan
gelandangan dan pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma.48
Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis
yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang populer
digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis
adalah homeless.49
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan
dan pengemis tersebut adalah sebagai berikut:
48Maghfur Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng),Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, h. 2.
49Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh PenelitianKualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT RemajaRosdakarya, Bandung, h. 88.
38
39
- Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara di tempat umum;
- Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Departemen Sosial Republik Indonesia juga memberikan rumusan yang sama
dengan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis mengenai pengertian gelandangan dan pengemis
tersebut sebagai berikut:
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuaidengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat sertatidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentudan hidup mengembara di tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yangmendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagaialasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.50
Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
pengertian gelandangan adalah “orang yang tidak punya tempat tinggal tetap,
tidak tentu pekerjaannya, berkeliaran, mondar-mandir kesana-sini tidak tentu
tujuannya, bertualang”.51 Berikutnya, pengertian pengemis adalah “orang yang
meminta-minta”.52
50Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2005, Standar Pelayanan MinimalPelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, Depsos RI, Jakarta, h. 2.
51Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisike-3, Balai Pustaka, Jakarta, h. 281.
52Ibid, h. 532.
40
Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan berasal dari kata gelandang dan
mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-
pindah. Beliau juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud
dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama
mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang
relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar
masyarakat kecil itu yang merupakan suatu masyarakat yang lebih luas. Tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada
pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan
oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang
mencakup masyarakat kecil itu.53
Berikutnya, khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi
orang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari
orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut mereka gunakan,
seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik atau bungkus
permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari
meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan
berbagai macam alasan, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka karena
lapangan kerja yang sempit.54
Gorris Keeraf mencatat bahwa secara historis asal usul kata pengemis tersebut
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan kebiasaan
53Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang SudahMenetap, FSUI, h. 1
54Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis,Titik Media Publisher, Jakarta, h. 1.
41
orang jawa yang memiliki kecenderungan menamakan sesuatu berdasarkan
kejadian atau waktu-waktu tertentu. Cerita yang berkembang di daerah Kesunanan
Surakarta Hadiningrat tersebut mengisahkan bahwa dahulu pada suatu hari,
penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja
bernama Pakubuwono X yang pada masa itu memang dikenal sangat dermawan
serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum tak mampu terutama
dilakukan menjelang hari Jumat khususnya pada hari Kamis sore.
Pada hari Kamis tersebut diatas, Raja Pakubuwono keluar dari istananya untuk
melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung. Perjalanan
dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki dari
istana menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid
Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor
(alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di kanan dan
kiri jalan. Mereka memberikan salam dan menundukkan kepala sebagai tanda
penghormatan kepada pemimpinnya. Pada saat itu sang raja tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya. Kegiatan
yang dilakukan sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya
yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan tersebut yang dilakukan setiap
kamis tersebut berlangsung terus menerus, dan dalam bahasa Jawa Kamis dibaca
kemis, maka lahirlah sebutan untuk orang yang mengharapkan berkah di hari
Kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari Kemis)
42
dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah
pada hari Kemis).55
Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosakata bahasa Indonesia
yang tentunya memiliki kata dasar Kemis (Kamis) bukan emis. Sebutan pengemis
pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan
dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis tidak dikenal dalam kosakata
bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awalan pe- sehingga membentuk kata
pengemis. Lain halnya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar
minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa berdiri sendiri.
2.2 Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penanggulangan Gelandangan
dan Pengemis
Dalam penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis
di Indonesia, khususnya yang terjadi pula di Kota Denpasar, maka terdapat
beberapa aturan hukum yang relevan dan dapat dijadikan pedoman/landasan
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia
55Ibid, h. 4.
43
Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
5294);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3177);
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Daerah
Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994 Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota
Denpasar No. 4 Tahun 2000).
1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
ini gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang
mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka
Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat yaitu yang diprioritaskan kepada mereka
yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan,
keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban
tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi (Pasal 2 dan 5 UU RI No. 11 Tahun
2009). Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok
44
masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga kegiatan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan
dan pengemis.
Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan
bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a. Rehabilitasi sosial yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat;
b. Jaminan sosial yaitu skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;
c. Pemberdayaan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan
warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya;
d. Perlindungan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan
menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.
Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut diatas
yang relevan dan penting diperhatikan dalam rangka penanggulangan
gelandangan dan pengemis adalah rehabilitasi sosial, apalagi diperuntukkan
kepada gelandangan dan pengemis yang terjaring razia oleh petugas/instansi
terkait sehingga upaya rehabilitasi sosial tersebut nantinya diharapkan dapat
memulihkan dan mengembangkan kemampuan gelandangan dan pengemis yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang RI No. 11
45
Tahun 2009 ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial tersebut dapat dilaksanakan
secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun
panti sosial. Kegiatan rehabilitasi sosial tersebut diberikan dalam bentuk:
a. Motivasi dan diagnosis psikososial;
b. Perawatan dan pengasuhan;
c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. Bimbingan mental spiritual;
e. Bimbingan fisik;
f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. Pelayanan aksesibilitas;
h. Bantuan dan asistensi sosial;
i. Bimbingan resosianlisasi;
j. Bimbingan lanjut; dan atau
k. Rujukan.
2. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
RI No. 11 Tahun 2009 yang mana dalam ketentuan Pasal 6 huruf (e) dan (f)
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa terhadap
gelandangan dan pengemis patut mendapatkan rehabilitasi sosial dalam rangka
kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia.
Rehabilitasi sosial ini ditujukan untuk mengembalikan keberfungsian secara fisik,
46
mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan bagi
gelandangan pengemis.
Dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut
ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif,
motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran,
dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia
direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan,
pemberian semangat, pujian, dan atau penghargaan agar seseorang tergerak secara
sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah berupa
tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses rehabilitasi sosial.
Berikutnya, dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012
dijelaskan bahwa kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan dalam
bentuk: motivasi dan diagnosis psikosional; perawatan dan pengasuhan; pelatihan
vokasional dan pembinaan kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan
fisik; bimbingan sosial dan konseling psikosional; pelayanan aksesibilitas;
bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan atau
rujukan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut diatas,
maka kegiatan rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan dan
pengemis dapat diupayakan melalui upaya-upaya anjuran maupun ajakan sampai
yang sifatnya dipaksakan agar gelandangan dan pengemis tersebut bersedia
melakukan rehabilitasi sosial. Melalui kegiatan rehabilitasi sosial tentu diharapkan
47
gelandangan dan pengemis dapat segera melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar dan tidak mengulangi kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut.
3. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis
Pasal 58 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
menegaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya UU No. 11
Tahun 2009 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti
berdasarkan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ini. Berdasarkan ketentuan
pasal ini, maka Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tetap berlaku dan dapat dijadikan
dasar atau pedoman dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah
gelandangan dan pengemis karena belum diganti dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang RI No. 11 tahun 2009 tersebut diatas.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan
pengemis tersebut tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan
usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, represif dan
rehabilitasi.
a. Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang
48
ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang
diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis, yang
mana berdasarkan Pasal 6 upaya tersebut meliputi: penyuluhan dan bimbingan
sosial, latihan, pendidikan, pemberian bantuan, perluasan kesempatan kerja,
pemukiman lokal, peningkatan derajat kesehatan, pengawasan serta
pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:
- Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga
terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;
- Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan
di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan
pada umumnya;
- Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan
pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah
pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
b. Upaya represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang dimaksudkan untuk
mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan
baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan
pergelandangan dan pengemisan. Dalam Pasal 9 diuraikan mengenai upaya
represif tersebut meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, dan
pelimpahan.
Dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980
diuraikan bahwa gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung
49
dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi dimaksudkan untuk
menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar
untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari:
- Dilepaskan dengan syarat;
- Dimasukkan dalam Panti Sosial;
- Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;
- Diserahkan ke Pengadilan;
- Diberikan pelayanan kesehatan.
c. Upaya rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha
penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, sehingga
dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai
Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini dilaksanakan
melalui Panti Sosial.
Usaha penampungan tersebut diatas ditujukan untuk meneliti/menyeleksi
gelandangan dan pengemis yang dimaksukkan dalam Panti Sosial. Seleksi
dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan
diberikan. Selanjutnya, usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap
mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi
keadaan yang produktif. Dalam melaksanakan usaha penyantunan tersebut
diatas para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan
latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai
dengan bakat dan kemampuannya. Berikutnya adalah usaha-usaha tindak
50
lanjut yang bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan
pengemis. Usaha tindak lanjut tersebut diatas dilakukan dengan:
- Meningkatkan kesadaran berswadaya;
- Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;
- Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Bahwa disamping upaya-upaya penanggulangan sebagaimana ditegaskan UU
No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No.
39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan
Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan
Pengemis tersebut diatas, maka dalam rangka penanggulangan atau penanganan
masalah gelandangan dan pengemis juga dapat diterapkan upaya-upaya
penanggulangan melalui penerapan hukum pidana (upaya penal) yaitu berupa
pemberian sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana
dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.
Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana
pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai
kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu
pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif.56
56Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco,Bandung, h. 26.
51
1. Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa:
Kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-
undang atau tidak, jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
bertentangan dengan keadilan, misalnya: pembunuhan, pencurian.
Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari
sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutkan sebagai
tindak pidana, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan
hukuman pidana.
2. Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya meletakkan kriteria pada
perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih
ringan dari pada kejahatan.
Larangan untuk mengemis atau menggelandang diatur secara jelas dalam
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kegiatan pergelandangan dan
pengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai
pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana).
Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:
1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan
pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;
2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas
enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.
52
Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut:
1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan
pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di
atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam
bulan.
Ketentuan KUHP tersebut diatas menegaskan kegiatan pergelandangan dan
pengemisan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan
dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum yang mana dapat
menimbulkan gangguan ketertiban umum. Ini berarti tidak semua gelandangan
dan pengemis dapat dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya gelandangan dan
pengemis yang terbukti atau tertangkap basah melakukan kegiatan
menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum.
5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
Khusus untuk wilayah Kota Denpasar, larangan dan saksi pidana bagi
kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut juga diatur di dalam Pasal 35
ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993
jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang
menegaskan sebagai berikut:
- Pasal 35 ayat (4): “Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”;
53
- Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)”.
Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang khususnya di wilayah Kota
Denpasar tersebut menurut hukum adalah dilarang dan merupakan suatu tindak
pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan
pergelandangan dan pengemisan diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah
Kota Denpasar melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula menetapkan
peraturan soal larangan tersebut. Sama halnya dengan sanksi pidana bagi
gelandangan dan pengemis yang diatur KUHP, kegiatan pergelandangan dan
pengemisan di wilayah Kota Denpasar yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah
hanya pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum.
Bertitik tolak dari uraian-uraian mengenai Peraturan Perundang-undangan
terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis tersebut diatas, maka dapat
dilihat bahwa secara garis besar ada 2 (dua) cara/upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut
yaitu melalui cara penal (hukum pidana) dan cara non-penal (bukan/diluar hukum
pidana). Upaya-upaya penanggulangan melalui cara non-penal tersebut dapat kita
lihat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang menegaskan adanya upaya-
54
upaya penanggulangan berupa preventif, persuasif, dan rehabilitasi. Berikutnya,
cara penal yaitu upaya penanggulangan yang sifatnya represif berupa penerapan
sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan khusus di wilayah Kota Denpasar diatur
dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No.
15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan Pengemis di
Indonesia
Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau
penyakit masyarakat (patologi sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-
gejala sosial yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat
istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku
umum dikategorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat.57
Gelandangan dan pengemis hidup dengan serba keterbatasan, cenderung
bergantung pada belas kasihan atau pemberian orang lain, berkeliaran di tempat-
tempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, traffic light, dan perempatan jalan,
yang mana keberadaannya dalam kehidupan masyarakat dirasa sangatlah
mengganggu dan meresahkan.
Pada dasarnya melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut
tidaklah mudah. Sepanjang hari para gelandangan dan pengemis harus berjalan
menelusuri sudut-sudut kota dan keramaian, berdiri dibawah panas sinar matahari,
57Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 4.
55
kehujanan ataupun bersentuhan langsung dengan lingkungan yang kotor.
Terkadang mereka juga harus mempertaruhkan nyawa ketika menggelandang dan
mengemis di jalanan yang ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan
rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan menggelandang dan
mengemis karena kegiatan tersebut selama ini dianggap masyarakat sebagai
kegiatan yang memalukan dan tidak memiliki harga diri bagi yang
melakukannya.58
Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, kegiatan menggelandang dan
mengemis ini ternyata masih menjadi primadona tersendiri bagi orang-orang yang
malas apalagi bagi orang-orang yang tinggal di desa dan berencana mengadu
nasib ke kota tanpa dibekali dengan keterampilan ataupun kemampuan yang
cukup. Hal tersebut membuktikan bahwa menggelandang dan mengemis tersebut
tidaklah mudah dan memerlukan kemampuan serta jiwa yang berani untuk
menggelandang dan mengemis, akan tetapi bagi sebagian orang yang tidak
memiliki rasa malu, maka kegiatan menggelandang dan mengemis merupakan hal
yang mudah dan paling enak untuk dijalani.
Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:
1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseorang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum
sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga
secara layak.
58Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis, Penerbit Sabil, Jakarta, h. 9.
56
2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk
memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi
tuntutan pasar kerja.
4. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para
pemberi sedekah. Terdapat beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:
a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak
dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.
b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi
mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak
ada kemauan untuk melakukan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan
tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup
menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau
norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis
menjadi salah satu mata pencaharian.59
Uraian diatas menunjukkan adanya beberapa faktor sosial budaya yang juga
menjadi penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan
gelandangan menguraikan bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat
59Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Op.cit, h 7-8.
57
dibedakan menjadi dua faktor penyebab yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak
kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi
faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak
geografis.60
Berikutnya, menurut Dimas Dwi Irawan ada beberapa faktor yang
menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis
tersebut yaitu merantau dengan modal nekad, malas berusaha, disabilitas
fisik/cacat fisik, tidak adanya lapangan kerja, tradisi yang turun temurun,
mengemis daripada menganggu, harga kebutuhan pokok yang mahal, kemiskinan
dan terlilit masalah ekonomi yang akut, ikut-ikutan saja, disuruh orang tua, dan
menjadi korban penipuan.61
1. Merantau dengan modal nekad
Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran dalam kehidupan
masyarakat khususnya di kota-kota besar, banyak dari mereka yang
merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan
ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka mencoba dan
berusaha meskipun hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi
kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang
terbatas, modal nekad, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal membuat ia
tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga mereka memilih untuk menjadi
gelandangan dan pengemis;
60Artidjo Alkotsar, 1984, Advokasi Anak Jalanan, Rajawali, Jakarta, h. 14.
61Dimas Dwi Irawan, Op.cit, h. 6.
58
2. Malas berusaha
Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa susah
payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin
enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu;
3. Disabilitas fisik/cacat fisik
Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga mendorong seseorang untuk
memilih menjadi gelandangan dan pengemis dibanding bekerja. Sulitnya
lapangan kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat fisik untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan
hidup dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis;
4. Tidak adanya lapangan kerja
Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak bersekolah atau memiliki
keterbatasan kemampuan akademis akhirnya membuat langkah mereka
seringkali salah yaitu menjadikan meminta-minta sebagai satu-satunya
pekerjaan yang bisa dilakukan;
5. Tradisi yang turun temurun
Mengemis dan menggelandang merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari
zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak
cucunya;
6. Mengemis daripada menganggur
Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang
sulit untuk mendapatkan pekerjaan menbuat beberapa orang mempuyai mental
59
dan pemikiran daripada menggangur maka lebih baik mengemis dan
menggelandang;
7. Harga kebutuhan pokok yang mahal
Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok
dan memenuhi kebutuhannya adalah dengan giat nekerja tanpa
mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih
memutuskan untuk mengemis karena berpikir tidak ada cara lagi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya;
8. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut
Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak
berdaya dalam menghadapi masalah ekonomi yang berkelanjutan.
Permasalahan ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup
dalam krisis ekonomi dihidupnya sehingga menjadi gelandangan dan
pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup;
9. Ikut-ikutan saja
Kehadiran pendatang baru sebagai gelandangan dan pengemis sangat sulit
dihindari, apalagi didukung oleh adanya pemberitaan tentang pengemis dan
gelandangan yang begitu mudahnya mendapatkan uang di kota yang akhirnya
membuat mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti
jejak teman-temannya yang sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan
pengemis;
60
10. Disuruh orang tua
Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang masih anak-anak.
Mereka bekerja karena diperintahkan oleh orang tuanya dan dalam kasus
seperti inilah terjadi eksploitasi anak;
11. Menjadi korban penipuan
Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak tertutup
kemungkinan dapat disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi
korban penipuan. Hal ini biasanya dapat terjadi di kota besar yang memang
rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang baru yang baru
sampai di kota. Pendatang baru ini sering mengalami penipuan seperti yang
disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat
trauma bagi yang mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya
mereka pun memutuskan untuk menjadi peminta-minta untuk bisa pulang atau
bertahan hidup di kota.
Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor penyebab tersebut diatas, maka tidak
dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan
menyebabkan munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia, fenomena gelandangan dan pengemis ini juga
terjadi dan dapat ditemukan di luar negeri. Terdapat banyak faktor penyebab
timbulnya permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut. Sama halnya
dengan di Indonesia, faktor kemiskinan ini ternyata juga menjadi penyebab utama
61
munculnya fenomena gelandangan dan pengemis di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat.
Faktor kemiskinan tersebut diatas yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
politik dan sosial dapat menyebabkan munculnya permasalahan gelandangan dan
pengemis di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Seperti yang dikemukakan
oleh Judith Goode dan Jeff Maskovsky sebagai berikut: “People become homeless
for a variety of reasons. Homelessness is primarily an economic problem, and is
also affected by a number of social and political factors”62 (terjemahan peneliti:
Masyarakat menjadi tunawisma karena beragam alasan. Alasan utama adalah
kesulitan ekonomi, yang bisa juga dipengaruhi berbagai permasalahan politik dan
sosial).
Disamping itu, faktor kemiskinan yang disebabkan oleh menurunnya kondisi
dunia industri di Amerika Serikat juga dapat mempengaruhi perkembangan
gelandangan dan pengemis di Amerika Serikat. Vincent Lyon-Callo
mengemukakan adanya korelasi hal tersebut sebagai berikut “Poverty caused by
the bad situation of industry in United States has a high potentiality to increase
homelessness in United States”63 (terjemahan peneliti: faktor kemiskinan yang
disebabkan oleh situasi dunia industri di Amerika Serikat yang terpuruk
berpotensi besar menyebabkan meningkatnya tunawisma di Amerika Serikat).
62Judith Goode and Jeff Maskovsky, 2007, The New Poverty Studies: The Ethnography ofPower, Polities and impoverished People in The United States, New York University Press, NewYork, page 210.
63Vincent Lyon-Callo, 2004, Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance: ActivistEthnography in the Homeless Sheltering Industry, University of Toronto Press, Ontario-Canada,page 2-3.
62
Perhatian tentang permasalahan gelandangan dan pengemis secara umum
dapat dilihat pula dari pendapat atau pandangan yang disampaikan oleh Teresa
Gowan yang pada pokoknya menegaskan:
There are many different causes of homelessness. Poverty and the inability toafford adequate housing are central to the causes of homelessness. Thesecircumstances may result from a number of different experiences, includinglong-term or short-term unemployment, debt and other financial pressures,and housing market pressures, such as rising rental and house prices and thelack of public housing. Financial difficulty is often accompanied by otherpersonal or family problems, such as family breakdown, domestic violence,poor physical and mental health, substance and other addictions. The inabilityto cope with combinations of these problems can push individuals and familieseven closer to the edge.64
(terjemahan peneliti: Terdapat banyak sekali penyebab adanya tunawisma.Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan dan ketidakmampuanmasyarakat untuk membeli tempat tinggal yang layak. Keadaan ini disebabkanoleh banyak hal, antara lain penggangguran dalam jangka waktu pendek danpanjang, hutang dan tekanan finansial yang lain, tekanan dari pasar perumahanseperti biaya sewa dan harga rumah yang terus meninggi dan sedikitnyajumlah rumah susun atau rumah untuk publik lain yang bisa disewa.Kesulitan finansial seringkali disertai oleh masalah peribadi dan keluarga,seperti kehancuran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatanjiwa dan raga yang buruk, ketergantungan atau kecanduan zat-zat adiktif.Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut akanmenyebabkan orang-orang dan keluarga-keluarga semakin terpuruk danrumah tangga mereka mendekati kehancuran)
Selanjutnya, Zimmerman, Larry J. dan Jessica Welch menguraikan pendapatnya
sebagai berikut: “Homelessness affects a wide range of people from different
regions, of different ages and different cultural backgrounds. Some groups,
however, are particularly at risk of becoming homeless”65 (terjemahan peneliti:
Masyarakat dari daerah-daerah yang berbeda-beda, dengan usia dan latar belakang
64Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In San Francisco,University Minnesota Press, Minneapolis, page 18.
65Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch, 2011, Displaced and Barely Visible: Archaeologyand Material Culture of Homelessness, Historical Archaeologies of Engagement, Representation,and Identity: Vol. 45. No. 1, New York, page. 67.
63
budaya berbeda bisa saja menjadi tunawisma. Beberapa kelompok masyarakat
bahkan sangat beresiko menjadi tunawisma).
Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut terbagi menjadi dua
tipe yaitu gelandangan pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin
mental. Gepeng yang miskin materi adalah mereka yang tidak mempunyai uang
atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan
mengemis. Berbeda jauh dengan gepeng miskin materi, dalam hal ini gepeng
miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki
membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis. Maksud dari
mental disini adalah mental malas untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah
sikap dan sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempengaruhi mental,
karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan membuat
seseorang bermental seperti ini.66
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga membagi tipe atau kategori
gelandangan dan pengemis tersebut menjadi dua kelompok utama yaitu primer
dan sekunder sebagaimana dikemukakan oleh P. Lynch sebagai berikut:
The United Nations identifies homeless people under two broad groups:- Primary homelessness (or rooflessness). This category includes persons
living in the streets without a shelter that would fall within the scope ofliving quarters;
- Secondary homelessness. This category may include persons with no placeof usual residence who move frequently between various types ofaccommodations (including dwellings, shelters and institutions for thehomeless or other living quarters).This category includes persons living inprivate dwellings but reporting ‘no usual address’ on their census form.67
66Engkus Kuswarno, Op.cit, h. 91.
67P. Lynch, 2004, Begging for Change: Homelessness and the Law, Melbourne University LawReview: Vol 26, Melbourne, page 694.
64
(terjemahan peneliti: Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB mengidentifikasi tunawisma dalam dua kelompok utama:- Tuna wisma primer: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang
yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat penampungan atau tempatlain yang bisa ditinggali;
- Tuna wisma sekunder: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap namun secaraberkelanjutan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat ke tempat yanglain (bisa berupa penampungan tuna wisma atau tempat lain yangtergolong tempat yang bisa ditinggali). Kategori ini juga mencakup orangyang tinggal di tempat tinggal sendiri namun tidak memiliki tempat tinggaltetap yang tertulis dalam form sensus.)
Uraian-uraian diatas jelas menunjukkan adanya hubungan erat antara
permasalahan gelandangan dan pengemis dengan faktor kemiskinan karenanya hal
tersebut tentu harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk melakukan
upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat agar dapat menekan laju
perkembangan gelandangan dan pengemis tersebut di Indonesia. Kemiskinan di
Indonesia telah terjadi sejak dahulu dan terus mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia sampai dengan sekarang.
Secara historis masalah kemiskinan di Indonesia telah berlangsung sejak
zaman kerajaan-kerajaan, kemudian berlanjut semakin kompleks pada masa
penjajahan kolonial Belanda yang mana politik tanam paksa dan eksploitasi
komoditas perkebunan, pertanian telah menimbulkan penurunan
kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Kebijakan ini telah menjadikan masyarakat
dipekerjakan secara paksa (kerja rodi) bahkan penangkapan masyarakat yang
melawan terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda untuk
dijadikan pekerja. Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan
sekedar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia
yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diikuti kolonialisme dan
65
imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekedar
manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan
juga akibat kebijakan penjajah Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme
global yang sedang ganas-ganasnya berkembang.68
Menurut para ahli, kemiskinan tidaklah semata-mata diartikan sebagai
kekurangan secara ekonomi saja. Kemiskinan juga dianggap meliputi aspek-aspek
non-ekonomi, seperti kesehatan, keamanan/kerentanan, penghargaan
diri/identitas, keadilan, akses terhadap layanan masyarakat, hak suara secara
politik, kebebasan, hubungan sosial dan lain sebagainya.69
Terdapat banyak orang dan organisasi yang memandang kemiskinan
berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi, seperti yang ditegaskan oleh Bank Dunia
sebagai berikut “Poverty as lack of prosperity that is conspicuous”70 (terjemahan
peneliti: kemiskinan adalah kekurangan kesejahteraan yang mencolok). Menurut
J. Haughton dan S. Khandker pandangan seperti tersebut diatas adalah sangat
konvensional, hal itu dapat dilihat dari pendapat mereka yang menegaskan
“Conventional view is essentially connecting welfare with the ability to have
something. Therefore, the poor are definied as those who do not have enough
68Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (DinamikaSosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,h. 5.
69Scott Todd, 2010, Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion, CompassionInternational, Jakarta, h. 10.
70The World Bank, 2004, Voice of the poor: Can anyone hear us?, Oxford University Press,New York, page 32.
66
income to be in possession of something”71 (terjemahan peneliti: Pandangan
konvensional pada dasarnya menghubungkan kesejahteraan dengan kemampuan
untuk memiliki sesuatu. Oleh sebab itu, orang miskin diartikan sebagai mereka
yang tidak memiliki cukup pendapatan untuk dapat memiliki sesuatu).
Pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan dan
pengemis di masyarakat seperti faktor kemiskinan tersebut diatas adalah sangat
penting dalam rangka upaya penanggulangan terhadap gelandangan dan pengemis
di Indonesia khususnya di kota-kota besar. Pemikiran tersebut sangat sejalan
dengan apa yang ditegaskan oleh ilmu Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek dan salah satu obyek kajiannya
adalah tentang faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan
ataupun perbuatan yang menyimpang.
Menurut Edwin H. Sutherland, “Criminology is the body of knowledge
regarding crime and delinquency as social phenomena. It includes within its
scope the processes of making laws, breaking laws, and reacting to the breaking
of laws”72 (terjemahan peneliti: Kriminologi adalah keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala sosial dan
mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas
pelanggaran hukum). Sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya bahwa
kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut adalah merupakan tindak pidana
71J. Haughton and S. Khandker, 2009, Handbook on Poverty and Inequality, The World Bank,Washington, D.C., page 12.
72Edwin H. Sutherland, Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill, 1992, Principles ofCriminology, Eleventh Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Boston, United States ofAmerica, page 3.
67
atau pelanggaran hukum atau perbuatan yang menyimpang karenanya dengan
mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan
dan pengemis di masyarakat, maka tentu akan dapat dilakukan upaya-upaya
penanggulangan yang lebih tepat dan terarah.
2.4 Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari rasa takut
terhadap gangguan tindak pidana atau kejahatan, maka untuk itu sangat
diperlukan adanya upaya-upaya penanggulangan dari pemerintah dan aparat
penegak hukum terkait. Upaya penanggulangan tindak pidana adalah masuk
dalam lingkup kebijakan kriminal (penal policy/criminal policy) yaitu suatu usaha
untuk menanggulangi tindak pidana atau kejahatan melalui penegakan hukum
pidana yang rasional. Secara garis besar, upaya penanggulangan tindak pidana
atau kejahatan ataupun pelanggaran hukum di masyarakat tersebut dapat ditempuh
melalui 2 (dua) cara yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non-
penal (bukan/diluar hukum pidana).73
Agar supaya penanggulangan tindak pidana di masyarakat dapat berlangsung
dengan lebih efektif dan maksimal, maka sangat diperlukan adanya keseimbangan
penerapan upaya melalui jalur penal maupun non-penal tersebut. Upaya
penanggulangan dengan menggunakan jalur penal ini lebih menitikberatkan pada
sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
73Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra AdityaBakti, Badung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 42.
68
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.74 Upaya-
upaya tersebut diatas tentu dapat diterapkan pula dalam rangka penanggulangan
masalah tindak pidana pergelandangan dan pengemisan di masyarakat Indonesia,
termasuk yang terjadi di Kota Denpasar.
Berikutnya, G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup upaya
penanggulangan kejahatan (criminal policy) tersebut sebagai berikut:
a. penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing view society on crime and punishment by
mass media).75
Ruang lingkup kebijakan kriminal diatas menegaskan bahwa penerapan hukum
pidana (criminal law application) adalah merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana atau kejahatan. Penerapan hukum
pidana ini merupakan bentuk implementasi upaya penanggulangan melalui jalur
penal (hukum pidana) dan pada proses inilah berlangsung penegakan hukum
pidana in concreto di masyarakat.
Upaya penegakan hukum pidana yang dapat berupa pemberian hukuman atau
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut diatas
ternyata perlu ditunjang atau didukung pula oleh upaya-upaya yang sifatnya
preventif/pencegahan dalam rangka menanggulangi tindak pidana atau kejahatan
74Mohammad Kemal Dermawan, 1994, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 7.
75Barda Nawawi Arief II, Op.cit, h. 41.
69
tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat dapat terhindar dari
merajalelanya kejahatan atau sekurang-kurangnya dapat membatasi
perkembangan kejahatan. Menurut Sutherland, bahwasanya usaha
penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus meliputi reformasi bagi
perbaikan narapidana dan pencegahan terhadap kejahatan yang pertama kali akan
dilakukan seseorang (pencegahan adanya penjahat baru).76
Selanjutnya menurut Kaiser, strategi pencegahan kejahatan adalah suatu usaha
yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk
memperkecil lingkup dari kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan
kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan, ataupun melalui usaha-
usaha pemberian pengaruh-pengaruh kepada orang-orang yang secara potensial
dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Terdapat pembagian
strategi pencegahan kejahatan menurut Kaiser yaitu meliputi:
1. Pencegahan primer, merupakan strategi pencegahan kejahatan melalui bidang
sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum sebagai usaha
mempengaruhi faktor-faktor kriminogen. Tujuan pencegahan primer yaitu
untuk menciptakan kondisi sosial yang baik bagi setiap anggota masyarakat
sehingga masyarakat merasa aman dan tentram;
2. Pencegahan sekunder, hal yang mendasar dari pencegahan sekunder dapat
ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Sasaran dari
kejahatan ini ialah orang-orang yang sangat mungkin melakukan pelanggaran;
76Soedjono Dirdjosiswono, 1970, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha PenanggulanganKedjahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, h. 55.
70
3. Pencegahan tersier, yaitu memberikan perhatian pada pencegahan terhadap
residivisme, dengan orientasi pada pembinaan. Sasaran utamanya ialah pada
orang-orang yang telah melanggar hukum.77
Soedjono Dirdjosiswono juga mengemukakan pendapatnya mengenai upaya
penanggulangan tindak pidana atau kejahatan tersebut yaitu dapat dilakukan
dengan cara:
1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan penyebar luaskan ajaran-ajaranagama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lainyang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan;
2. Cara abolionistik, berusaha memberantas; menanggulangi kejahatandengan memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwafaktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktorpenyebab kejahatan maka usaha mencapai kesejahteraan untukmengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakanCara Abolisionistik.78
Kedua cara diatas juga dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan
aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas atau
pelanggaran hukum di masyarakat tinggi.
77Mohammad Kemal Dermawan, Op.cit., h. 12.
78Soedjono Dirdjosiswono, Op.cit, h. 15.
71
BAB III
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA DENPASAR
3.1 Sekilas Profil Kota Denpasar
Kota Denpasar dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1992
tentang Pembentukan Kota Denpasar. Kota Denpasar terletak di tengah-tengah
dari Pulau Bali, selain merupakan Ibukota Daerah Tingkat II, juga merupakan
Ibukota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan dan
perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik
dari segi ekonomis maupun dari kepariwisataan karena merupakan titik sentral
berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten
lainnya. Secara geografis Kota Denpasar terletak diantara 08° 35" 31'-08° 44" 49'
lintang selatan dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan
dengan:
Utara : Kabupaten Badung;
Timur : Kabupaten Gianyar;
Selatan: Selat Badung; dan
Barat : Kabupaten Badung.79
Luas wilayah Kota Denpasar adalah 127,98 km2 atau 127,98 Ha yang mana
merupakan 2,27 persen dari seluruh luas daratan Propinsi Bali yaitu seluruhnya
5.632,86 Km2. Terdiri dari 4 (empat) wilayah kecamatan diantaranya Kecamatan
79Pemerintah Kota Denpasar, 2014, Selayang Pandang Kota Denpasar,http://www.denpasarkota.go.id/index.php/selayang pandang/5/Denpasar-Sekilas, Diakses tanggal06 Januari 2015.
71
72
Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan,
Kecamatan Denpasar Utara. Selanjutnya, berdasarkan data yang dimiliki oleh
Pemerintah Kota Denpasar per tahun 2013 jumlah penduduk Kota Denpasar
adalah 708.454 jiwa (tujuh ratus delapan ribu empat ratus lima puluh empat
jiwa).80 Tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi ini disamping dapat
memberikan pengaruh positif, hal tersebut juga berpotensi memberikan dampak
negatif bagi kehidupan masyarakat kota Denpasar yaitu rentan terjadinya
kejahatan ataupun berbagai macam bentuk pelanggaran hukum, sepertinya
misalnya adalah terjadinya kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang
menggangu ketertiban umum.
3.2 Perkembangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar Dalam
Kurun Waktu Tahun 2010 – 2014
Secara umum situasi kamtibmas di wilayah Kota Denpasar cukup kondusif,
aman dan terkendali, namun bila dibandingkan dengan situasi kamtibmas di
wilayah-wilayah lain di Propinsi Bali memang tingkat pelanggaran hukumnya
cukup tinggi. Sebagai kota besar, sangat wajar kehidupan masyarakat Kota
Denpasar diwarnai dengan permasalahan-permasalahan hukum yang kompleks.
Berbagai macam bentuk pelanggaran hukum bisa saja terjadi di wilayah Kota
Denpasar, salah satunya adalah kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang
dilakukan oleh gelandangan dan pengemis yang menurut hukum merupakan suatu
tindak pidana di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan
80Pemerintah Kota Denpasar, 2014, Profil Kota Denpasar,http://www.denpasarkota.go.id/index.php/profil/3/Denpasar-Sekilas, Diakses tanggal 06 Januari2015.
73
Pasal 504, 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Pasal 35 ayat
(4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.
No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.
Perkembangan yang terjadi selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yaitu
periode tahun 2010 s/d 2014 menunjukkan bahwa permasalahan gelandangan dan
pengemis masih terus terjadi di wilayah Kota Denpasar. Permasalahan ini menjadi
salah satu perhatian serius masyarakat Kota Denpasar karena keberadaan
gelandangan dan pengemis itu sendiri sebagian besar menjalankan kegiatannya di
tempat-tempat umum, seperti di terminal, pasar, pusat perbelanjaan dan jalan-
jalan umum yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum termasuk
mengancam keselamatan jiwanya dan orang lain.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Denpasar yaitu yang
ada pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, secara keseluruhan
jumlah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar selama lima tahun
terakhir (tahun 2010 s/d tahun 2014) adalah 1144 orang (seribu seratus empat
puluh empat orang). Jumlah tersebut diatas adalah didasarkan pada hasil
operasi/razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar,
Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (dahulu bernama
Dinas Tramtib & Satpol PP Kota Denpasar) bekerja sama dengan instansi terkait
lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dilihat pada tabel dan grafik
dibawah ini:
74
Tabel 1: Data Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis PeriodeTahun 2010-2014
No Tahun Jumlah per tahun Gelandangan Pengemis
1. 2010 216 4 212
2. 2011 324 8 316
3. 2012 304 15 289
4. 2013 208 7 201
5. 2014 92 9 83
Total 1144 orang 43 orang 1101 orang
Persentase 100% 3,76% 96,24%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Grafik 1: Perkembangan Jumlah Gelandangan dan Pengemis Periode Tahun2010-2014
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
350–
300–
250–
200–
150–
100–
50–
JumlahGepeng
2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
216
324 304
208
92
75
Grafik 2: Perkembangan Jumlah Gelandangan Periode Tahun 2010-2014
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Grafik 3: Perkembangan Jumlah Pengemis Periode Tahun 2010-2014
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
JumlahPengemis
35–
30–
25–
20–
15–
10–
5
JumlahGelandangan
2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
97
15
8
4
Total = 43 orang
350–
300–
250–
200–
150–
100–
50–
2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
212
316924 289
201
83
Total = 1101 orang
76
Dilihat dari data yang tercatat dalam Tabel 1 dan Grafik 1, 2 dan 3 diatas
dapat diketahui bahwa selama lima tahun terakhir ini di wilayah Kota Denpasar,
ternyata jumlah dan persebaran gelandangan pengemis masih cukup tinggi,
meskipun jumlah tiap tahunnya mengalami peningkatan dan penurunan atau
dengan kata lain menunjukkan grafik naik turun. Jumlah keseluruhan gelandangan
dan pengemis tersebut juga dapat menjadi gambaran umum mengenai jumlah
kasus tindak pidana pergelandangan dan pengemisan yang terjadi di Kota
Denpasar.
Kondisi seperti ini tentu cukup meresahkan masyarakat dan perlu
mendapatkan perhatian serius Pemerintah Kota Denpasar maupun aparat penegak
hukum terkait. Pada tahun 2010 jumlah keseluruhan gelandangan dan pengemis
adalah 216 orang, kemudian tahun 2011 mengalami peningkatan sejumlah 50 %
dengan jumlah gelandangan dan pengemis mencapai 324 orang. Tahun 2012
jumlah gelandangan dan pengemis mengalami penurunan menjadi 304 orang, dan
di tahun berikutnya yakni tahun 2013 turun menjadi 208 orang. Pada tahun 2014
jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar kembali menunjukkan angka
penurunan, yakni dengan total jumlah 92 orang. Data tersebut diatas
menggambarkan bahwa jumlah gelandangan pengemis tertinggi terjadi pada tahun
2011, dan jumlah yang paling rendah ada pada tahun 2014.
Bertitik tolak pada data tabel 1 dan grafik 1, 2 dan 3 tersebut diatas juga dapat
dilihat bahwa selama kurun waktu lima tahun terakhir jumlah pengemis jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah gelandangan. Total jumlah pengemis adalah
1101 orang atau 96,24 % dari keseluruhan jumlah gelandangan dan pengemis di
77
Kota Denpasar, sedangkan jumlah keseluruhan gelandangan hanya 43 orang atau
3,76 % dari keseluruhan jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Ini
berarti, selama lima tahun terakhir ini masyarakat maupun Pemerintah Kota
Denpasar lebih dihadapkan pada dominannya permasalahan pengemis yang
tersebar di berberapa sudut kota dibandingkan dengan permasalahan munculnya
fenomena gelandangan tersebut.
Berbicara khusus mengenai perkembangan jumlah gelandangan di wilayah
Kota Denpasar, maka selama lima tahun terakhir menunjukkan jumlah/angka dan
grafik naik turun. Pada tahun 2010 jumlah gelandangan di Kota Denpasar adalah
4 orang, dan pada tahun berikutnya yaitu tahun 2011 meningkat menjadi 8 orang.
Pada tahun 2012 jumlah gelandangan kembali menunjukkan angka peningkatan
menjadi 15 orang. Pada tahun 2013 jumlah gelandangan menurun menjadi 7
orang, namun pada tahun 2014 meningkat lagi jumlahnya menjadi 9 orang.
Jumlah gelandangan tertinggi terjadi pada tahun 2012, dan jumlah terendah
ditunjukkan pada keadaan tahun 2010.
Berikutnya, khusus mengenai perkembangan jumlah pengemis di wilayah
Kota Denpasar selama lima tahun terakhir ternyata juga menunjukkan
jumlah/angka dan grafik naik turun. Keadaan pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa jumlah pengemis di Kota Denpasar adalah 212 orang. Pada tahun 2011
jumlahnya meningkat drastis menjadi 316 orang. Kemudian pada tahun 2012
jumlah pengemis menunjukkan angka penurunan menjadi 289 orang. Pada tahun
2013 dan 2014 jumlah pengemis terus mengalami penurunan yaitu pada tahun
2013 adalah 201 orang dan pada tahun 2014 hanya sejumlah 83 orang. Berbeda
78
halnya dengan perkembangan jumlah gelandangan tertinggi dan terendah di Kota
Denpasar, dari uraian data diatas maka dapat diuraikan bahwa jumlah pengemis
tertinggi terjadi pada tahun 2011, sedangkan jumlah terendah terjadi tahun 2014.
Naik turunnya jumlah gelandangan dan pengemis seperti diatas merupakan
akumulasi dan interaksi dari berbagai macam permasalahan seperti halnya yang
berhubungan dengan kinerja dan kesigapan aparat/instansi terkait, tingginya laju
urbanisasi, kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, minimnya keterampilan yang
dimiliki, sikap masyarakat terhadap gelandangan dan pengemis, lingkungan,
mental gelandangan pengemis itu sendiri dan lain sebagainya.
Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, dalam
wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 05 Januari 2015, menegaskan
bahwa jumlah gelandangan dan pengemis di Denpasar per tahun memang masih
cukup tinggi dan keberadaannya meresahkan masyarakat, mayoritas dari mereka
berasal dari luar Kota Denpasar, tingginya arus urbanisasi baik dari dalam daerah
maupun luar daerah Bali untuk berpindah ke Kota Denpasar sangat berpotensi
menimbulkan tingginya jumlah gelandangan dan pengemis tersebut di Kota
Denpasar. Terhadap kondisi tersebut diatas, Bapak Bagus Nyoman Wiranata,
S.H., M.Si., Kepala Bidang (KABID) Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Kamis, tanggal 08
Januari 2015) juga mengemukakan pendapatnya bahwa dari hasil operasi/razia
yang dilakukan jumlah pengemis jauh lebih banyak daripada gelandangannya,
namun apapun itu fenomena banyaknya gelandangan dan pengemis yang masih
79
berkeliaran di seputaran Kota Denpasar ini tentu saja mengganggu ketertiban
umum dan merusak citra Kota Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya,
disamping itu aktivitas gelandangan pengemis di jalan raya berpotensi juga
mengancam keselamatan mereka dan orang lain karena sewaktu waktu bisa saja
tertabrak kendaraan yang melintas, serta mengganggu kelancaran lalu lintas.
Sebenarnya gelandangan dan pengemis yang beroperasi atau berkeliaran di
Kota Denpasar hampir seluruhnya berasal dari luar Kota Denpasar, mereka
sengaja datang ke Kota Denpasar dengan berbagai cara dan alasan untuk
mendapatkan belas kasihan dari orang lain, seperti menggendong bayi, pura-pura
berjualan, namun itu semua hanya kedok semata. Apapun alasannya
menggelandang dan mengemis tersebut tidak dibenarkan karena merendahkan
martabat dan hidup sebagai manusia wajib untuk bekerja karena bekerja menurut
masyarakat Bali adalah sebuah Yadnya.
Menurut Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, berdasarkan hasil
wawancara dengan para gelandangan dan pengemis yang beberapa kali dibina
oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, maka diketahui yang menjadi
faktor-faktor utama penyebab timbulnya gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar adalah faktor kemiskinan, mental malas dan ingin cepat mendapat uang,
serta diperintah oleh orang tuanya atau orang lain (eksploitasi). Pendapat yang
lebih beragam tentang faktor penyebab maupun perkembangan gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar peneliti peroleh dari hasil wawancara dengan pejabat
di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Menurut Ibu
Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi
80
Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (wawancara dilakukan
pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) bahwa selain faktor kemiskinan dan
mental dari gelandangan dan pengemis itu sendiri yang juga menjadi faktor
penyebab masih maraknya gelandangan dan pengemis yang beroperasi di wilayah
Kota Denpasar adalah karena masih adanya masyarakat yang memberi uang
kepada gelandangan dan pengemis, maka dari itu dihimbau kepada masyarakat
untuk jangan memberi sesuatu apapun kepada gelandangan dan pengemis.
Pendapat tersebut diatas sangat beralasan karena rasa kasihan masyarakat
hanya akan membuat mereka malas dan tetap menjadi gelandangan maupun
pengemis. Selama ada pemberi, maka selama itu juga akan ada gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar. Apabila ada masyarakat yang ingin memberikan
bantuan kepada masyarakat miskin sebaiknya disalurkan kepada
organisasi/yayasan yang resmi. Masyarakat Kota Denpasar harus mulai menyadari
dan memahami bahwa tidak dibenarkan memberikan uang atau sesuatu kepada
gelandangan dan pengemis di jalanan karena hal tersebut tak ubahnya
memberikan penegasan/membenarkan mereka menjalani hidup dengan kegiatan
menggelandang dan mengemis tersebut.
Uraian-uraian tentang faktor-faktor penyebab timbulnya gelandangan
pengemis tersebut diatas sesuai dengan keterangan-keterangan yang disampaikan
oleh beberapa orang pengemis yang peneliti temukan di seputaran Kota Denpasar.
Seperti keterangan yang disampaikan oleh I Wayan Gampil dan Jero Sedeng,
keduanya merupakan pengemis asal Munti Gunung, Karangasem yang peneliti
81
temui di seputaran kawasan Jalan Sudirman, Denpasar (wawancara dilakukan
pada hari Rabu, tanggal 01 Oktober 2014) pada pokoknya menerangkan bahwa
kedatangan mereka ke Kota Denpasar untuk mengemis sejak dulu sudah sering
dilakukan, dan di Kota Denpasar mereka lebih mudah mendapatkan uang dengan
meminta-meminta kepada warga masyarakat, upaya ini mau tidak mau mereka
lakukan karena kemiskinan dan sulitnya kondisi hidup di daerah asal (Munti
Gunung). Sudah beberapa kali I Wayan Gampil dan Jero Sedeng
ditertibkan/terjaring razia dan dipulangkan ke daerah asal, namun hal tersebut
tidak membuat mereka jera.
Selanjutnya, Ni Nyoman Balik, pengemis asal Munti Gunung yang peneliti
temui di seputaran kawasan Pasar Kumbasari/Pasar Badung (wawancara
dilakukan pada hari Selasa, tanggal 21 Oktober 2014) juga menerangkan bahwa
faktor ekonomi yang mendorongnya untuk datang ke Denpasar, apalagi setelah
melihat keberhasilan rekan-rekan satu wilayah asal yang sudah lebih dahulu
mengemis di Denpasar. Menurut Ni Nyoman Balik, “mengemis di Kota Denpasar
memang cukup menguntungkan, daripada hidup di Munti Gunung yang serba
sulit, lebih baik mencari uang dengan mengemis di Denpasar”. Begitu pula,
keterangan yang disampaikan oleh Abdurrahman, pengemis asal Banyuwangi
yang peneliti temui di seputaran kawasan Jalan Malboro, Denpasar (wawancara
dilakukan pada hari Senin, tanggal 10 Nopember 2014) yang pada pokoknya
menerangkan bahwa banyak masyarakat Kota Denpasar yang masih mau memberi
uang dan belas kasihan kepada pengemis, terutama pada waktu menjelang hari
raya, faktor tersebut ditambah dengan susahnya mendapat pekerjaan di Kota
82
Denpasar dan kondisi ekonomi yang sulit di daerah asal mendorong Abdurrahman
untuk datang ke Kota Denpasar untuk mengemis. Pada intinya keterangan para
pengemis tersebut diatas telah menunjukkan adanya suatu kondisi kegiatan
mengemis tersebut telah menjadi tumpuan hidup yang utama bagi para pengemis
untuk bisa bertahan hidup.
Fakta lain yang menarik dari banyaknya gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar adalah mengenai pendapatan mereka khususnya dari hasil melakukan
kegiatan mengemis di Kota Denpasar. Para pengemis ini memiliki strategi yang
sangat jitu dalam menentukan targetnya. Biasanya wisatawan, penumpang
angkutan umum, pengendara mobil/sepeda motor, warga masyarakat yang sedang
berbelanja, dan warga masyarakat yang sedang melakukan ibadah sangat
berpotensi memberikan uang kepada para pengemis. Melalui cara maupun wajah
memelas yang dimiliki tentu akan membuat siapapun yang melihatnya menjadi
simpati atau kasihan.
Hasil penelusuran yang peneliti lakukan di 2 (dua) tempat berbeda di
seputaran Kota Denpasar yaitu di daerah Ubung dan Jalan Imam Bonjol, disana
peneliti menemukan 2 (dua) orang pengemis yang bernama Nyoman Sadek, asal
Munti Gunung, dan Bu Umrah, asal Bondowoso (wawancara dilakukan pada hari
Senin, tanggal 08 September 2014) yang mana keduanya memberikan keterangan
yang hampir sama bahwa menurut mereka mengemis di Denpasar sangatlah
menggiurkan dan menguntungkan. Menurut pengakuan yang mereka berikan,
pendapatan minimal dalam sehari yang bisa mereka peroleh adalah sebesar Rp.
50.000,- (lima puluh ribu rupiah), sedangkan pada waktu-waktu tertentu seperti
pada saat masa liburan dan hari raya keagamaan, pendapatan maksimalnya bisa
83
mencapai Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) per harinya. Dari hasil
itulah mengapa pengemis di Kota Denpasar dikatakan memiliki pendapatan yang
cukup tinggi, namun hal ini jelas sangat tidak layak untuk ditiru karena
sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya kegiatan mengemis dan
menggelandang adalah sangat dilarang dan merupakan suatu tindak pidana di
bidang ketertiban umum.
Terdapat beberapa lokasi yang diidentifikasi sebagai titik rawan lokasi
beroperasi/berkeliarannya gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar seperti:
Jalan Sudirman, Jalan Teuku Umar, Jalan Imam Bonjol, Pasar Badung, dan
Ubung. Selanjutnya, mengenai modus operandi para pengemis di Kota Denpasar,
menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar ada beberapa cara dan
tips mengemis yang biasa dilakukan oleh para Pengemis pada umumnya di Kota
Denpasar yaitu:
a. Berpenampilan kotor, lusuh dan terkesan miskin
Berpakaian kotor dan lusuh adalah cara yang paling umum diterapkan oleh
para pengemis karena sesuai dengan status sosial seorang pengemis yang
kerap dihubungkan dengan miskin, maka berpenampilan lusuh sangatlah
diperlukan. Biasanya mereka sengaja memakai pakaian yang compang
camping sebagai bukti ketidakmampuan mereka, dan terhadap hal ini tidak
sedikit masyarakat yang tertipu dengan penampilan mereka;
b. Ekspresi wajah memelas
Ekspresi seperti inilah yang pada umumnya membuat masyarakat kasihan dan
iba sehingga sampai memberi uang;
84
c. Memanfaatkan luka asli atau membuat luka palsu
Para pengemis sering pula memanfaatkan kondisi luka pada tubuh mereka
untuk menarik simpati dan belas kasihan orang lain, bahkan ada pula
pengemis yang sengaja membuat luka palsu sehingga dengan cara tersebut
diharapkan mendapatkan uang dan simpati yang lebih banyak;
d. Cacat buatan
Dalam kenyataan di lapangan ternyata tidak hanya luka bohongan yang para
pengemis miliki, terkadang mereka membuat dirinya tampak seperti orang
cacat. Upaya rekayasa ini dilakukan agar mendapatkan rasa kasihan dari
orang-orang yang melihatnya. Memang tidak semua pengemis memiliki cacat
buatan, sebagian juga ada yang benar-benar cacat, namun yang pasti kondisi
tersebut digunakan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain;
e. Membawa anak atau bayi
Cara ini dipilih oleh para pengemis karena lebih efektif mendapatkan uang.
Mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang daripada mengemis sendirian
mengingat bayi yang dibawa tersebut akan membuat orang menjadi lebih
kasihan sehingga memberikan uang. Oleh karena itulah semakin banyak bayi
dan anak-anak yang terlibat dalam kegiatan pengemisan ini. Hal ini jelas
sebagai bentuk eksploitasi anak yang melanggar hukum, bahkan kalau
dibandingkan dengan Kota Jakarta ternyata fenomena penyewaan bayi untuk
mengemis sudah marak terjadi. Untuk itu perlu dilakukan antisipasi agar
fenomena seperti ini tidak berkembang di Kota Denpasar karena akan sangat
meresahkan masyarakat.
85
3.3 Klasifikasi Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
Gelandangan dan pengemis sebagai pelaku kegiatan pergelandangan dan
pengemisan di wilayah Kota Denpasar ini dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a. Tingkat usia/umur;
b. Jenis kelamin;
c. Asal daerah;
d. Daerah operasi/wilayah persebaran
3.3.1 Klasifikasi Gelandangan
Berikut data karakteristik gelandangan di wilayah Kota Denpasar, berdasarkan
data yang diperoleh di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar:
a. Tingkat Usia/Umur
Sesuai dengan tingkat usia/umur, maka data gelandangan di wilayah Kota
Denpasar adalah sebagai berikut:
Tabel 2: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 BerdasarkanTingkat Usia/Umur
No TahunJumlah
Gelandangan
UsiaKeterangan
< 8 Th8 Th –18 Th
> 18 Th
1 2010 4 - - 4 Komunitasanak punk
Orang tuaterlantar
2 2011 8 - 1 73 2012 15 - 4 114 2013 7 - 3 45 2014 9 - 4 5
Total 43 orang 0 12 31 -Persentase 100% 0% 27,90% 72,10% -
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Pelaku kegiatan pergelandangan yang terbanyak dilakukan oleh mereka yang
berusia 18 tahun keatas yakni 31 orang atau sekitar 72,10% dari keseluruhan
gelandangan yang terjaring operasi/razia selama kurun waktu tahun 2010-2014.
86
Kemudian disusul gelandangan dengan usia antara 8-18 tahun dengan jumlah 12
orang (27,90% dari jumlah gelandangan yang terjaring operasi/razia tahun 2010-
2014). Selama kurun waktu tahun 2010-2014 ini di Kota Denpasar gelandangan
yang berusia kurang dari 8 tahun sama sekali tidak ditemukan. Menurut Bapak
Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar gelandangan yang terjaring
operasi/razia ini adalah terdiri dari orang tua terlantar, anak jalanan dan mereka
yang merupakan komunitas “anak punk” yang ada di Kota Denpasar yang mana
usia-usia mereka pada umumnya berada dalam tingkat usia 18 tahun keatas.
b. Jenis Kelamin
Data gelandangan di wilayah Kota Denpasar menurut jenis kelamin adalah
sebagai berikut:
Tabel 3: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 BerdasarkanJenis Kelamin
No TahunJumlah
Gelandangan Laki-laki Perempuan
1 2010 4 2 22 2011 8 6 23 2012 15 9 64 2013 7 5 25 2014 9 7 2
Total 43 orang 29 14Persentase 100% 67,44% 32,56%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Dilihat dari data diatas, gelandangan pada periode tahun 2010-2014 lebih
banyak berasal dari kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan. Gelandangan
yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 29 orang atau 67,44% dari keseluruhan
gelandangan yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014, sedangkan yang
87
berjenis kelamin perempuan berjumlah 14 orang atau 32, 56% dari keseluruhan
gelandangan yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014. Dari gambaran
tersebut diatas dapat kita lihat dengan jelas bahwa baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai potensi yang sama untuk dapat terjerumus menjadi salah
satu penyakit masyarakat/patologi sosial dan sebagai penyandang masalah
kesejahteraan sosial yaitu karena ketidakmampuannya dalam menjalankan fungsi
sosial yang wajar di lingkungan masyarakat kemudian mereka memilih untuk
menjadi gelandangan.
c. Asal Daerah
Berdasarkan asal daerah, maka data gelandangan di wilayah Kota Denpasar
adalah sebagai berikut:
Tabel 4: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 BerdasarkanAsal Daerah
No TahunJumlah
Gelandangan
BaliLuar Bali
Denpasar Karangasem Kab.Lain
Jawa LuarJawa
1 2010 4 - - 1 3 -2 2011 8 1 - 3 3 13 2012 15 2 2 4 7 -4 2013 7 - 1 2 3 15 2014 9 2 1 - 5 1
Total 43 orang 5 4 10 21 3Persentase 100% 11,63% 9,30% 23,25% 48,84% 6,98%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Data diatas menunjukkan bahwa gelandangan yang ada di Kota Denpasar
bukan saja dari daerah Kota Denpasar saja, melainkan justru didominasi oleh para
gelandangan yang berasal dari wilayah diluar Pulau Bali yaitu Pulau Jawa yakni
sejumlah 21 orang (48,84% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia
88
dalam kurun waktu tahun 2010-2014). Berikutnya, gelandangan yang berasal dari
kabupaten-kabupaten lain selain Kota Denpasar dan Kabupaten Karangasem
adalah sebanyak 10 orang (23,25% dari jumlah gelandangan yang terjaring razia
dalam kurun waktu tahun 2010-2014), gelandangan yang berasal dari Kota
Denpasar hanya berjumlah 5 orang (11,63% dari jumlah gelandangan yang
terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014). Disusul kemudian oleh para
gelandangan yang berasal dari Kabupaten Karangasem dengan jumlah 4 orang
atau 9,30% dan yang berasal dari wilayah luar Pulau Bali selain Pulau Jawa yaitu
sebanyak 3 orang atau 6,98% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia
dalam kurun waktu tahun 2010-2014.
Gelandangan yang berasal dari luar pulau Bali, khususnya dari pulau Jawa lebih
menonjol jumlahnya oleh karena jumlah perpindahan atau kedatangan penduduk dari
Pulau Jawa ke Kota Denpasar tiap tahunnya masih sangat tinggi. Kedatangan mereka
ke Kota Denpasar terkadang tidak didukung dengan adanya keahlian/kemampuan
khusus sehingga sesampainya di Denpasar sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak dimana kondisi tersebut sangat berpotensi membuat
masyarakat pendatang tersebut menjadi gelandangan yaitu hidup terlunta-luta dengan
mengharapkan belas kasihan orang lain, tidak jelas tempat tinggalnya, modar mandir
di Kota Denpasar tanpa pekerjaan yang jelas, demikian diungkapkan oleh Bapak
Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, dalam wawancara pada hari hari
Senin, tanggal 05 Januari 2015. Lebih lanjut, Bapak Made Sudana, S.E. juga
mengatakan bahwa tingginya jumlah gelandangan yang berasal dari kabupaten-
89
kabupaten lain diluar Kota Denpasar adalah juga sangat dipengaruhi oleh tingginya
tingkat urbanisasi penduduk dari luar Kota Denpasar yang mengadu nasib atau
mencari pekerjaan ke Kota Denpasar.
d. Daerah Operasi/Wilayah Persebaran
Menurut daerah operasi/wilayah persebaran gelandangan tersebut, maka data
gelandangan di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
Tabel 5: Klasifikasi Gelandangan Periode Tahun 2010-2014 BerdasarkanWilayah Persebaran/Daerah Operasi
No TahunJumlah
GelandanganDenpasar
BaratDenpasar
TimurDenpasarSelatan
DenpasarUtara
1 2010 4 2 - 1 12 2011 8 6 - 1 13 2012 15 4 4 4 34 2013 7 4 1 1 15 2014 9 6 1 - 2
Total 43 orang 22 6 7 8Persentase 100% 51,26% 13,95% 16,29% 18,60%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Selama periode tahun 2010-2014, ternyata para gelandangan tersebut paling
banyak ditemukan di wilayah Kecamatan Denpasar Barat yaitu sebanyak 22 orang
(51,16% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu
tahun 2010-2014). Wilayah Kecamatan Denpasar Barat yang rawan menjadi
tempat berkeliarannya gelandangan tersebut adalah kawasan seputaran Pasar
Kumbasari/Pasar Badung, Jalan Sudirman, Jalan Teuku Umar dan Jalan Imam
Bonjol. Salah satu hal yang menyebabkan Wilayah Kecamatan Denpasar Barat
rawan karena dalam perkembangan terakhir ini di kawasan-kawasan tersebut
sering menjadi tempat berkumpulnya komunitas “anak punk”.
90
Berikutnya, di Kecamatan Denpasar Utara, jumlah gelandangannya adalah 8
orang (18,60% dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun
waktu tahun 2010-2014). Wilayah di Kecamatan Denpasar Utara yang rawan
menjadi tempat berkeliarannya gelandangan adalah Ubung (Terminal Ubung dan
sekitarnya) mengingat kawasan tersebut menjadi salah satu pintu gerbang
masuknya penduduk luar seperti yang berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa
yang datang ke Kota Denpasar. Menyusul kemudian di wilayah Kecamatan
Denpasar Selatan ditemukan sebanyak 7 orang gelandangan (16,29% dari
keseluruhan gelandangan yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-
2014), hal mana kawasan yang rawan menjadi tempat berkeliarannya gelandangan
adalah Jalan Waturenggong dan seputaran wilayah Keluarahan Sesetan,
sedangkan di wilayah Kecamatan Denpasar Timur hanya ditemukan sebanyak 6
orang gelandangan (13,95 % dari keseluruhan gelandangan yang terjaring razia
dalam kurun waktu tahun 2010-2014).
3.3.2 Klasifikasi Pengemis
Berikut data karakteristik pengemis di wilayah Kota Denpasar, berdasarkan
data yang diperoleh di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar:
a. Tingkat Usia/Umur
Menurut tingkat usia/umur, maka data pengemis di wilayah Kota Denpasar
adalah sebagai berikut:
91
Tabel 6: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 BerdasarkanTingkat Usia/Umur
No TahunJumlah
PengemisUsia
Keterangan< 8 th 8 th – 18 th > 18 th
1 2010 212 orang 36 45 131 Balita yang ikut terjaringrazia = 20 orang
2 2011 316 orang 106 69 141 Balita = 74 orang3 2012 289 orang 81 30 178 Balita = 62 orang4 2013 201 orang 59 11 131 Balita = 48 orang5 2014 83 orang 22 2 59 Balita = 20 orang
Total 1101 orang 304 157 640 224 *)Persentase 100% 27,61% 14,26% 58,13% 20,36%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar*) Jumlah balita (bayi lima tahun) yang terlibat dalam kegiatan pengemisan
Data diatas menunjukkan bahwa selama periode tahun 2010-2015 moyaritas
pengemis di Kota Denpasar adalah mereka yang berada dalam tingkat usia 18
tahun keatas yaitu sejumlah 640 orang atau 58,13% dari keseluruhan pengemis
yang terjaring operasi/razia. Berikutnya adalah para pengemis dengan usia kurang
dari 8 tahun sejumlah 304 orang atau 27,61% dari jumlah pengemis yang terjaring
operasi/razia tahun 2010-2014. Kemudian disusul dengan jumlah yang paling
sedikit yaitu para pengemis yang berusia 8-18 tahun dengan jumlah 157 orang
atau 14,26% dari jumlah pengemis yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014
sebagai.
Fakta lainnya yang menarik dari kategorisasi pengemis menurut kelompok
usia di Kota Denpasar ini adalah dari 1101 orang jumlah keseluruhan pengemis
yang terjaring operasi/razia ternyata sebanyak 20,36% atau 234 orang pengemis
masih merupakan balita (bayi lima tahun). Para balita pengemis ini kebanyakan
diajak dan dimanfaatkan oleh pengemis dewasa untuk ikut mengemis dengan
tujuan agar mereka mendapatkan hasil mengemis yang lebih banyak. Kegiatan
92
mengemis oleh ibu-ibu atau perempuan dengan menggunakan/mambawa bayi
sudah merupakan modus umum yang sejak dulu sudah ada, hal mana masyarakat
umum sebenarnya sudah mengetahui cara-cara mengemis seperti itu, akan tetapi
dalam prakteknya cara seperti ini masih terbilang ampuh karena bayi atau anak-
anak yang diajak mengemis tersebut sering menimbulkan rasa belas kasihan
sehingga ada saja masyarakat yang mau memberikan uang kepada pengemis
tersebut.
Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, jumlah balita
atau anak-anak yang melakukan kegiatan mengemis di Kota Denpasar masih
sangat tinggi dan hal tersebut sangat meresahkan. Kebanyakan anak-anak atau
balita yang mengemis tersebut hanya ikut-ikutan saja, diajak oleh orang tuanya,
dan ada pula yang disuruh atau dipaksa oleh orang lain.
Eksploitasi terhadap anak-anak atau balita dalam kegiatan mengemis jelas
melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan. Kegiatan seperti ini bukan hanya
sekedar berbicara tentang tindak pidana pengemisan yang merupakan tindak
pidana ringan, akan tetapi juga dapat berkaitan dengan permasalahan tindak
pidana umum yang berupa pelanggaran terhadap Undang-Undang RI No. 23
Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b. Jenis Kelamin
Data pengemis di wilayah Kota Denpasar menurut jenis kelamin adalah
sebagai berikut:
93
Tabel 7: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan JenisKelamin
No TahunJumlah
PengemisLaki-laki Perempuan
1 2010 212 orang 4 1282 2011 316 orang 103 2133 2012 289 orang 103 1864 2013 201 orang 50 1515 2014 83 orang 29 54
Total 1101 orang 369 732Persentase 100% 33,51% 66,49%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Dilihat dari data diatas dapat kita ketahui bahwa pengemis di Kota Denpasar
ternyata lebih banyak berasal dari kaum perempuan dibandingkan dengan kaum
laki-laki. Jumlah pengemis yang berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak
732 orang atau 66,49% dari keseluruhan pengemis yang terjaring operasi/razia
tahun 2010-2014 yang mana jauh lebih banyak dari pengemis yang berjenis
kelamin laki-laki yang hanya berjumlah 369 orang atau 33,51% dari keseluruhan
pengemis yang terjaring operasi/razia tahun 2010-2014. Gambaran tersebut diatas
menunjukkan bahwa kaum perempuan sangat berpotensi tinggi untuk melakukan
kegiatan mengemis di Kota Denpasar yang mana sangat sejalan dengan fakta di
lapangan bahwa banyak ibu-ibu atau perempuan yang membawa/mengajak anak-
anak atau balita untuk mengemis sebagai modus agar mendapatkan hasil
mengemis yang lebih banyak.
c. Asal Daerah
Menurut asal daerah, maka data pengemis di wilayah Kota Denpasar adalah
sebagai berikut:
94
Tabel 8: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 Berdasarkan AsalDaerah
No TahunJumlah
Pengemis
Bali Luar Bali
Denpasar KarangasemKab.Lain
JawaTimur
PropinsiLain
1 2010 212 orang - 162 15 34 12 2011 316 orang 4 225 60 26 13 2012 289 orang - 198 14 74 34 2013 201 orang - 141 8 52 -5 2014 83 orang - 54 - 29 -
Total 1101 orang 4 780 97 215 5Persentase 100% 0,36% 70,84% 8,81% 19,53% 0,46%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Data tersebut diatas menunjukkan bahwa para pengemis yang ada dan
berkeliaran di Kota Denpasar hampir seluruhnya berasal dari luar wilayah Kota
Denpasar. Kedatangan mereka ke Kota Denpasar ada yang berkelompok dan ada
pula yang sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa Kota Denpasar menjadi salah
satu wilayah tujuan favorit bagi para pengemis dari berbagai daerah baik yang
berasal dari Propinsi Bali maupun diluar Propinsi Bali.
Selama kurun waktu tahun 2010 s/d 2014 pengemis yang beroperasi di Kota
Denpasar yang berasal dari Kota Denpasar sendiri hanya berjumlah 4 orang atau
0,36% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun
2010-2014. Dominasi daerah asal pengemis di Kota Denpasar adalah paling
banyak berasal dari daerah Kabupaten Karangasem, meliputi: Munti Gunung dan
Pedahan yang mana selama kurun waktu 2010-2014 berjumlah 780 orang atau
70,84% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun
2010-2014. Berikutnya, pengemis yang berasal dari Propinsi Jawa Timur adalah
sebanyak 215 orang atau 19,53% dari jumlah pengemis yang terjaring razia dalam
95
kurun waktu tahun 2010-2014. Daerah-daerah asal pengemis dari Propinsi Jawa
Timur meliputi: Situbundo, Jember, Probolinggo, Bondowoso, dan Banyuwangi.
Disusul kemudian oleh para pengemis yang berasal dari Kabupaten-kabupaten
lain selain Karangasem dan Kota Denpasar yaitu sejumlah 97 orang atau 8,81%
dari jumlah pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014.
Daerah-daerah asal pengemis dari kabupaten-kabupaten lain tersebut diatas
seperti: Trunyan, Bangli. Pengemis yang berasal dari luar Propinsi Bali selain
Jawa Timur hanya berjumlah 5 orang 0,45% dari jumlah pengemis yang terjaring
razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014, daerah asalnya seperti: Lombok dan
Kupang.
Sejak dahulu daerah Kabupaten Karangasem khususnya Munti Gunung memang
dikenal sebagai daerah asal/daerah produksi para pengemis karena banyaknya
masyarakat Munti Gunung yang melakukan kegiatan meminta-minta. Munti Gunung
adalah sebuah nama dusun yang ada di wilayah Kabupaten Karangasem tepatnya di
Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu. Kepopuleran Munti Gunung dibawa dan
diperkenalkan oleh orang-orang Dusun Munti Gunung sejak puluhan tahun yang lalu
dari rumah ke rumah, dari satu jalan ke jalan yang lain, dari satu toko yang satu ke
toko yang lain maupun kepada setiap orang yang dijumpai dan mereka tersebar ke
seluruh kabupaten yang ada di Bali termasuk Kota Denpasar.
Pada umumnya orang yang dimintai uang akan menanyakan asal para pengemis
dan mereka pun memperkenalkan diri dari Munti Gunung. Cara seperti itulah pada
umumnya memperkenalkan nama Munti Gunung sehingga nama tersebut cepat
tersebar ke seluruh Bali. Salah satu alasan utama sebagian warga Munti Gunung pergi
96
ke daerah lain untuk mengemis adalah karena masalah kemiskinan, disamping itu
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor mental, pendidikan yang rendah, sulitnya kondisi
geografi dan sulitnya mendapatkan air bersih.81
Menurut Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar dalam
wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 05 Januari 2015
menerangkan bahwa setiap tahunnya Kota Denpasar memang selalu menghadapi
gelombang kedatangan pengemis yang berasal dari Kabupaten Karangasem terutama
yang berasal dari Dusun Munti Gunung. Melihat kondisi ini, maka jelas diperlukan
adanya suatu sinergi dan koordinasi yang baik dari kedua Pemerintah Daerah untuk
menanggulangi permasalahan pengemis di Kota Denpasar ini. Sangat tidak adil
apabila upaya-upaya penanggulangan pengemis di Kota Denpasar sepenuhnya hanya
dibebankan kepada Pemerintah Kota Denpasar, melainkan perlu juga adanya peranan
pemerintah daerah dari daerah asal pengemis karenanya sangat wajar apabila
diperlukan perhatian serius dan upaya-upaya penanggulangan dari Pemerintah
Kabupaten Karangasem.
Berikutnya, mengenai banyaknya para pengemis yang berasal dari beberapa
daerah di Propinsi Jawa Timur, maka kedekatan geografis adalah merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Kedatangan para pengemis
dari Jawa Timur ini biasanya meningkat pada saat masa hari raya keagamaan dan
liburan. Tingginya tingkat kedatangan penduduk Jawa Timur ke Kota Denpasar
setiap tahunnya untuk mencari nafkah dan mengadu nasib semakin membuka
81Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, Op.cit, h. 5.
97
peluang juga tingginya kedatangan para pengemis ke Kota Denpasar. Apalagi dengan
kedatangan mereka ke Kota Denpasar yang tidak didukung dengan adanya
keahlian/kemampuan khusus sehingga untuk bertahan hidup di Kota Denpasar
mereka memilih menjadi pengemis.
Lebih lanjut, Bapak Made Sudana, S.E. menerangkan bahwa ada perbedaan
karakteristik yang mudah dikenali untuk membedakan mana pengemis yang berasal
dari Bali dan mana yang berasal dari luar Bali, seperti: Jawa Timur. Ciri yang
membedakan adalah cara kerja atau cara beroperasi mereka dalam mengemis, kalau
pengemis yang berasal dari Bali biasanya mereka akan mengemis atau meminta-
minta dengan cara berkeliling dan berjalan/berpindah dari satu tempat ke tempat lain
seperti: pasar, jalan dan tempat-tempat umum lainnya (sebagai gambarannya lihat
Lampiran: foto 1), sedangkan kalau pengemis yang berasal dari Jawa Timur mereka
biasanya hanya diam disuatu tempat yang mereka anggap strategis yaitu traffic light,
pasar maupun jalan yang ramai dilalui oleh warga Kota Denpasar kemudian dengan
modus-modus tertentu seperti: dengan memanfaatkan kondisi cacat, wajah memelas,
pakaian lusuh, kotor, dan dengan menengadahkan tangannya mereka mengharapkan
belas kasihan dan pemberian uang dari orang-orang yang simpati melihatnya (sebagai
gambarannya lihat Lampiran: foto 2).
d. Daerah Operasi/Wilayah Persebaran
Ditinjau dari daerah operasi/wilayah persebaran pengemis tersebut, maka data
pengemis di wilayah Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
98
Tabel 9: Klasifikasi Pengemis Periode Tahun 2010-2014 BerdasarkanWilayah Persebaran/Daerah Operasi
No TahunJumlah
PengemisDenpasar
BaratDenpasar
TimurDenpasarSelatan
DenpasarUtara
1 2010 212 orang 104 15 47 462 2011 316 orang 172 33 53 583 2012 289 orang 193 16 59 214 2013 201 orang 115 21 43 225 2014 83 orang 52 4 16 11
Total 1101 orang 636 89 218 158Persentase 100% 57,77% 8,08% 19,80% 14,35%
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Berdasarkan data diatas dapat kita ketahui mengenai daerah-daerah di wilayah
Kota Denpasar yang rawan menjadi tempat beroperasi dan berkeliarannya para
pengemis. Dalam kurun waktu tahun 2010-2014 para pengemis tersebut paling
banyak ditemukan di wilayah Kecamatan Denpasar Barat yaitu sebanyak 636
orang atau 57,77% dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun
waktu tahun 2010-2014.
Wilayah Kecamatan Denpasar Barat yang rawan menjadi tempat
berkeliarannya para pengemis tersebut adalah kawasan Pasar Kumbasari/Pasar
Badung, Jalan Sudirman, Jalan Teuku Umar, Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Malboro, kawasan Monang-Maning dan Jalan Imam Bonjol. Kawasan-kawasan
tersebut menjadi tempat favorit bagi pengemis karena di daerah tersebut banyak
ada tempat keramaian, pusat kemacetan, pusat perbelanjaan dan ramai
dikunjungi/dilalui masyarakat Kota Denpasar.
Selanjutnya daerah rawan pengemis adalah di Kecamatan Denpasar Selatan,
jumlah pengemisnya adalah 218 orang atau 19,80% dari keseluruhan pengemis
yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Tingginya jumlah
99
pengemis di Kecamatan Denpasar Selatan dipengaruhi pula oleh banyaknya
tempat keramaian dan fasilitas umum yang ada di seputaran kawasan tersebut,
adapun wilayah di Kecamatan Denpasar Selatan yang rawan didatangi pengemis
adalah Jl. Waturenggong, Sesetan, dan Renon. Disusul kemudian oleh Kecamatan
Denpasar Utara dengan jumlah pengemis sebanyak 158 orang atau atau 14,35%
dari keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-
2014. Kawasan yang paling rawan di Denpasar Utara adalah Ubung (Terminal
Ubung dan sekitarnya) mengingat kawasan tersebut menjadi salah satu pintu
gerbang masuknya penduduk luar seperti Jawa Timur maupun daerah-daerah lain
di Propinsi Bali yang datang ke Kota Denpasar.
Daerah yang paling sedikit ditemukan pengemis adalah Kecamatan Denpasar
Timur yang mana hanya ditemukan sebanyak 89 orang pengemis atau 8,08% dari
keseluruhan pengemis yang terjaring razia dalam kurun waktu tahun 2010-2014.
Kawasasn di Denpasar Timur yang rawan didatangi dan menjadi tempat
beroperasinya pengemis adalah kawasan Tohpati, Pasar Kreneng, Penatih dan
Jalan Gatot Subroto Timur.
3.4 Implementasi Penegakan Hukum Pidana Terhadap Gelandangan dan
Pengemis di Kota Denpasar
Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar cukup meresahkan
masyarakat dan dapat memberikan citra yang tidak baik bagi Kota Denpasar
sebagai kota yang berwawasan budaya dan sebagai pusat pemerintahan, pusat
pendidikan, pusat perdagangan maupun pusat pengembangan dan tujuan
100
pariwisata. Untuk menjaga citra, memulihkan kondisi tersebut diatas termasuk
pula dalam rangka mewujudkan ketertiban dan ketentraman bagi masyarakat,
maka sangat diperlukan upaya-upaya penanggulangan terhadap masalah
gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi
permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut adalah dengan upaya
penegakan hukum pidana atau fungsionalisasi hukum pidana terhadap para
gelandangan dan pengemis yang berkeliaran/beroperasi di wilayah Kota
Denpasar. Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk
membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau berkerja dan terwujud
secara kongkret. Ini bararti istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat
diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang
pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.82
Fungsi hukum pidana secara umum yakni untuk mengatur dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya
ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan
kebutuhan. Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi
terkadang saling bertentangan.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap
dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak
orang lain, hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu
82Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,h. 157.
101
untuk mencapai dan memenuhi kepentingan itu. Fungsi yang demikian disebut
dengan fungsi umum hukum pidana.83
Sebagai dasar hukum atau pedoman dalam pelaksanaan penegakan hukum
pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut diatas
adalah diatur dalam ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana), dan secara khusus untuk di Kota Denpasar diatur pula
dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) yakni Pasal 35
ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993
jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Menurut
ketentuan hukum tersebut kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang
dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis adalah merupakan suatu tindak
pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum.
Pasal 504 KUHP menegaskan larangan kegiatan pengemisan atau meminta
minta di tempat umum sebagai berikut:
1. Barang siapa mengemis di tempat umum, diancam, karena melakukan
pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;
2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas
enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.
Berikutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan tentang larangan kegiatan
pergelandangan sebagai berikut:
1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan
pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
83Fuad Usfa A., 2006, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, h. 5.
102
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di
atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam
bulan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut:
- Pasal 35 ayat (4): Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis;
- Pasal 37 ayat (1): Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah).
Mengacu pada ketentuan hukum pidana tersebut diatas, maka jelaslah
pelanggaran terhadap Pasal 504, 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37
ayat (1) Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 berupa
kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang dilakukan
oleh para gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar dapat diproses
secara hukum dan dikenakan sanksi pidana berupa pidana kurungan atau denda.
Tidak semua kegiatan pergelandangan dan pengemisan dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut
karena sudah ditegaskan secara limitatif dalam rumusan pasal-pasalnya bahwa
yang dapat ditindak, diproses secara hukum dan dikenakan sanksi pidana tersebut
adalah gelandangan dan pengemis yang melakukan pergelandangan dan
103
pengemisan di tempat-tempat umum, seperti: pasar, terminal, pusat perbelanjaan,
kawasan pertokoan, traffic light dan jalan raya, ini berarti kegiatan
pergelandangan dan pengemisan yang tidak dilakukan di tempat umum seperti
pengemis yang meminta-minta di rumah-rumah penduduk tidak dapat dikenakan
sanksi pidana menurut KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut diatas.
Perlu diingat bahwa meskipun telah ditegaskan mengenai adanya ketentuan
pidana bagi gelandangan dan pengemis, namun mengacu pada Teori
Penanggulangan Tindak Pidana, maka dalam rangka penanggulangan masalah
gelandangan dan pengemis tersebut tidaklah sepenuhnya dapat dilakukan dengan
cara/upaya yang sifatnya represif saja yaitu berupa penerapan hukum pidana
ataupun pemberian sanksi pidana, melainkan perlu juga disertai dan
dikombinasikan dengan upaya-upaya yang sifatnya preventif maupun persuasif
mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis ini tidak semata-mata
merupakan suatu permasalahan hukum, akan tetapi telah menjadi permasalahan
sosial yang sangat kompleks. Ketentuan hukum positif Indonesia sebenarnya telah
menegaskan hal-hal tersebut sebagaimana yang telah peneliti uraikan pada bagian
Bab II Sub bab 2.2 tentang peraturan perundang-undangan terkait penanggulangan
gelandangan dan pengemis yang mana secara garis besar terdapat 2 (dua)
cara/upaya yang dapat ditempuh dalam penanggulangan masalah gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar yaitu:
a. Melalui jalur penal (hukum pidana), yang mana lebih menitikberatkan pada
sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah pelanggaran
hukum terjadi;
104
b. Melalui jalur non-penal (bukan/diluar hukum pidana), yang mana lebih
menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
sebelum pelanggaran hukum terjadi maupun upaya-upaya rehabilitasi bagi
pelaku/pelanggar hukum.
Secara khusus aturan hukum yang secara lebih terperinci menguraikan upaya-
upaya penertiban dan penanggulangan gelandangan dan pengemis tersebut diatas
adalah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, yang mana dalam peraturan tersebut
ditegaskan jenis-jenis upaya-upaya penanggulangan yaitu berupa upaya preventif,
represif, dan rehabilitasi yang bertujuan untuk menekan perkembangan
gelandangan dan pengemis serta mengupayakan gelandangan dan pengemis
kembali menjadi anggota masyarakat yang mempunyai penghidupan yang layak.
Apabila ke 3 (tiga) upaya tersebut dapat dilakukan secara maksimal, maka akan
membuat permasalahan gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar
dapat ditanggulangi secara lebih efektif dan mendapatkan hasil yang maksimal
sesuai dengan diharapkan pemerintah daerah, aparat penegak hukum dan
masyarakat.
Dalam kenyataannya di lapangan, Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan
aparat penegak hukum terkait tidak hanya melakukan upaya-upaya
penanggulangan yang sifatnya represif berupa penegakan hukum pidana tersebut
diatas, akan tetapi juga telah dilakukan upaya-upaya yang sifatnya preventif
dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
Khusus untuk upaya-upaya rehabilitasi sama sekali belum dapat dilaksanakan
105
karena masih banyak terdapat hambatan-hamabatan yaitu berupa terbatasnya
anggaran dana, Pemerintah Kota Denpasar hanya mempunyai rumah singgah dan
belum mempunyai panti sosial/rehabilitasi yang representatif, dan terbatasnya
petugas/sumber daya manusia (SDM).
Selama ini upaya preventif tersebut diatas pelaksanaannya dilakukan oleh
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar. Menurut Bapak Made Sudana,
S.E., Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial pada Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Senin, tanggal 05
Januari 2015), upaya-upaya preventif yang dilakukan adalah dengan memberikan
himbauan-himbauan dan pemahaman kepada masyarakat Kota Denpasar untuk
tidak mengemis dan menggelandang karena kegiatan tersebut dilarang oleh
hukum serta merendahkan martabat dan hidup sebagai manusia.
Kegiatan-kegiatan diatas dilakukan dengan pemasangan baliho, penyebaran
brosur, penyuluhan kepada masyarakat dan pembinaan kepada gelandangan dan
pengemis itu sendiri. Pemasangan baliho tersebut dilakukan di beberapa sudut
Kota Denpasar yang mana selama ini Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Denpasar biasanya memasang di 5 titik strategis seperti di Ubung, Pasar Badung,
Jl. Mahendradata, Jl. By Pass Ida Bagus Mantra dan Jl. Imam Bonjol. Brosur-
brosur disebar dan ditempel di lingkungan masyarakat yang isinya menghimbau
masyarakat untuk tidak mengemis dan menggelandang termasuk menghimbau
warga masyarakat Kota Denpasar agar tidak memberikan uang kepada
gelandangan dan pengemis. Upaya-upaya penyuluhan dan sosialisasi ke desa-desa
juga telah dilakukan yang mana untuk tahun 2014 dilakukan di 9 desa/kelurahan
106
dengan menghadirkan pemateri-pemateri dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Denpasar, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, dan
Departemen Agama RI. Penyuluhan dan sosialisasi tersebut memberikan motivasi
serta himbauan kepada masyarakat agar tidak melakukan kegiatan mengemis dan
menggelandang.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar ternyata juga memiliki Tim
Gepeng yang bertugas melakukan penjemputan gelandangan dan pengemis yang
Tim Gepeng temukan di lapangan. Gelandangan dan pengemis tersebut kemudian
dibawa ke Rumah Singgah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar yang
terletak di Jl. By Pass Ida Bagus Mantra untuk diberikan pembinaan dan pelatihan
singkat yang waktunya paling lama 3 hari. Setelah itu, gelandangan dan pengemis
akan dipulangkan ke daerah asal masing-masing dengan harapan agar supaya
mereka tidak lagi datang melakukan kegiatan pergelandangan ataupun
pengemisan.
Semua upaya preventif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar
ini tujuan utamanya adalah mencegah masyarakat untuk melakukan kegiatan
mengemis dan menggelandang di wilayah Kota Denpasar. Selama ini koordinasi
yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar dengan daerah
asal gelandangan pengemis seperti misalnya Kabupaten Karangasem hanya
sebatas pemberian saran dan mengingatkan Pemerintah Kabupaten Karangasem
untuk ikut serta melakukan pembinaan bagi warganya agar tidak lagi datang untuk
mengemis dan menggelandang di wilayah Kota Denpasar, disamping itu antara
kedua pemerintah daerah juga belum dilakukan upaya sinergis yang konkrit untuk
107
menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut sehingga
dengan melihat kondisi tersebut sangat wajar apabila setiap tahunnya Kota
Denpasar tetap didatangi oleh para gelandangan dan pengemis dari daerah-daerah
yang dikenal sebagai daerah asal gelandangan dan pengemis.
Selanjutnya, berbicara tentang penegakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar, maka hal tersebut
sebenarnya memerlukan upaya yang sinergis dari pihak-pihak yang terkait. Ada
beberapa pihak atau instansi yang akan terkait dalam pelaksanaannya yaitu
diantaranya: Aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar,
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, Kepolisian Resor Kota Denpasar
(Polresta Denpasar), dan Pengadilan Negeri Denpasar.
Dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), hal tersebut adalah sepenuhnya menjadi
kewenangan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang mana
dalam hal ini adalah aparat Polresta Denpasar. Mengacu pada Undang Undang RI
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
masyarakat.
Penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun
2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum adalah dilakukan oleh Aparat
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar yang sesuai dengan
108
ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan
Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 13 Tahun 2001
tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Denpasar mempunyai tugas
pokok membantu Kepala Daerah menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah, serta menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum.
Satpol PP Kota Denpasar dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Denpasar sebagai bagian Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)
pada Pemerintah Kota Denpasar yang secara khusus juga mempunyai tugas dan
wewenang melakukan penanganan/penanggulangan permasalahan gelandangan
dan pengemis. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pidana tersebut baik
dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar yang dilakukan oleh gelandangan dan
pengemis tersebut nantinya akan bermuara pada proses hukum di Pengadilan
Negeri Denpasar dalam sidang tindak pidana ringan (Tipiring) dengan sanksi
pidana yang dapat diberikan adalah berupa pidana kurungan atau denda sebagai
bentuk pertanggungjawaban pidananya.
Agar supaya penegakan hukum pidananya dapat berjalan dengan baik dan
efektif tentunya aturan-aturan pidana bagi gelandangan dan pengemis tersebut
diatas harus diterapkan dan bekerja dengan baik di kehidupan masyarakat dalam
setiap pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat
(1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Sebagai konsekuensi negara Indonesia
sebagai negara hukum, maka setiap kegiatan pergelandangan dan pengemisan di
109
tempat umum yang dilakukan di wilayah Kota Denpasar seharusnya ditindak
secara tegas tanpa pandang bulu dan sudah sepatutnya dikenakan sanksi pidana
berdasarkan aturan hukum pidana tersebut diatas.
Dikaji dan dianalisis berdasarkan Teori Bekerjanya Hukum yang
dikemukakan oleh Robert B. Siedman, maka proses penegakan hukum pidana
dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar
tersebut pelaksanaannya akan dipengaruhi oleh beberapa unsur atau aspek yang
terkait satu dengan yang lain yang mempengaruhi bekerjanya hukum sehingga
penegakan hukum pidananya di masyarakat dapat berjalan dengan baik. Beberapa
unsur atau aspek tersebut meliputi: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making
Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions), Pemegang
Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosial Personal (Societal Personal Force),
Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan Balik (Feed Back) dari
proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.
Dijabarkan lebih lanjut, yang dimaksud dengan unsur Lembaga Pembuat
Hukum (Law Making Institutions) disini yaitu pihak Legislatif dan Eksekutif yang
dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
dengan Pemerintah Republik Indonesia yang mempunyai peranan dalam
pembuatan Undang-Undang atau aturan hukum pidana maupun melakukan revisi
terhadap ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), selanjutnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar
(DPRD Kota Denpasar) dengan Pemerintah Kota Denpasar yang mempunyai
peranan dalam pembuatan Perda maupun melakukan revisi terhadap ketentuan
110
pidana dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum. Unsur Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions)
yaitu aparat/instansi penegak hukum (struktur hukum) yang terkait dengan
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis, meliputi Aparat
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Polresta Denpasar, dan
Pengadilan Negeri Denpasar. Unsur Pemegang Peran (Role Occupant) adalah
masyarakat Kota Denpasar termasuk di dalamnya para gelandangan dan pengemis
itu sendiri yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Berikutnya, Kekuatan Sosial Personal (Societal Personal Force) dan
Budaya Hukum (Legal Culture) adalah berupa faktor-faktor sosial dalam
kehidupan masyarakat Kota Denpasar yang dapat berupa faktor ekonomi, politik,
dan budaya hukum.
Unsur-unsur tersebut diatas mempunyai fungsi dan peranannya masing-
masing yang mana disertai juga dengan proses umpan balik (feed back) dari unsur
yang satu dengan unsur yang lain yang akan mempengaruhi bekerjanya hukum
pidana dalam kehidupan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan gambaran proses
bekerjanya hukum yang disampaikan Robert B. Seidman tersebut, maka
pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di
wilayah Kota Denpasar yang berupa penerapan atau penegakan ketentuan Pasal
504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan Pasal 35 ayat
(4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.
111
No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum akan menunjukkan
kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Adanya ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP, dan Pasal 35 ayat (4)
jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun
2000 telah mengatur, menegaskan sekaligus memberitahu masyarakat
(pemegang peranan/role occupant) tentang adanya larangan beserta sanksi
pidana terhadap kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat
umum khususnya di wilayah Kota Denpasar. Ini berarti, setiap pelanggaran
terhadap ketentuan dalam KUHP dan Perda Kota Denpasar diatas akan
ditindak, diproses secara hukum dan dikenakan sanksi pidana yaitu berupa
pidana kurungan atau denda;
2. Dalam konteks Negara Indonesia sebagai negara hukum maka setiap anggota
masyarakat khususnya yang ada di Kota Denpasar dianggap sudah tahu
mengenai larangan maupun sanksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan
pengemisan di tempat-tempat umum di wilayah Kota Denpasar tersebut diatas.
Menurut Robert B. Seidman setiap anggota masyarakat sebagai pemegang
peranan ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang diharapkan
daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan
di luar hukum yang berupa kekuatan sosial dan personal. Setiap anggota
masyarakat yang ada di Kota Denpasar sebagai pemegang peran tentu
diharapkan bertindak untuk mematuhi/mentaati ketentuan dalam KUHP
maupun Perda Kota Denpasar tersebut. Apabila ternyata ada anggota
masyarakat yang masih melanggar, maka hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
112
kekuatan-kekuatan sosial dan personal (intern pemegang peran) yang bekerja
terhadap pemegang peran. Sebagai respon terhadap kondisi tersebut, agar
nantinya hukum pidana tersebut bekerja atau dengan kata lain penegakan
hukum pidana dapat berjalan dengan baik, maka disinilah nantinya diharapkan
kegiatan dari lembaga penerap sanksi dapat bekerja dengan menegakkan
aturan hukum yang ada dengan baik;
3. Setiap pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan dalam KUHP dan Perda
Kota Denpasar, maka aparat penegak hukum sebagai unsur lembaga penerap
sanksi diharapkan bertindak untuk menegakkan aturan pidana bagi kegiatan
pergelandangan dan pengemisan tersebut secara tegas dan konsekuen dengan
menindak, memproses secara hukum, termasuk menerapkan sanksi berupa
pidana bagi setiap pelanggarnya. Dalam menjalankan peranannya ini, unsur
penerap sanksi juga dituntut untuk jeli dan responsif dalam menerima setiap
umpan balik atau masukan di lapangan dari kegiatan/tindakan yang dilakukan
pemegang peran sehingga cara-cara atau upaya-upaya penegakan hukum yang
dilakukan untuk menanggulangi permasalahan di masyarakat dapat berjalan
dengan baik dan efektif;
4. Dari jalannya keseluruhan proses penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan dan pengemis tersebut diatas, maka unsur pembuat undang-
undang itu diharapkan menjalankan peranannya untuk mengawasi dan
mengevaluasi penerapan atau pelaksanaan ketentuan pidana yang ada di
masyarakat. Dari jalannya proses inilah nantinya juga dapat memberikan suatu
umpan balik atau masukan atau bahan evaluasi bagi pembuat undang-undang
113
tentang ketentuan hukum pidana yang sudah ada bagi gelandangan dan
pengemis, untuk kedepannya dapat dijadikan masukan dalam
memformulasikan peraturan perundang-undangan pidana dalam rangka
menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
Dilihat dari uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa poin-poin
penting dan ideal dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan dan pengemis adalah setiap unsur-unsur bekerjanya hukum
sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Setiap anggota masyarakat seharusnya mentaati/mematuhi
ketentuan hukum pidana mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan
pengemisan di tempat-tempat umum di wilayah Kota Denpasar dan apabila
kemudian terdapat pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana yang ada baik
itu terhadap ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP maupun Pasal 35
ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3
Tahun 2000, hal tersebut bisa terjadi karena adanya pengaruh berbagai faktor
yang berupa kekuatan sosial, personal maupun budaya hukum.
Agar hukum dapat bekerja dengan baik, maka setiap pelanggaran yang terjadi
menurut hukum haruslah ditindak secara tegas dan dikenakan sanksi pidana oleh
lembaga penerap sanksi atau aparat penegak hukum terkait. Disini unsur pembuat
undang-undang juga tidak boleh meniadakan fungsinya untuk melakukan
pengawasan dan evaluasi terhadap aturan hukum pidana yang telah ada bagi
gelandangan dan pengemis sehingga kedepannya aturan hukum pidana tersebut
114
dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat dan bekerja dengan baik untuk
menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
Terkait implementasi atau pelaksanaan penegakan hukum pidana tersebut
diatas, ternyata selama kurun waktu 5 tahun terakhir aparat kepolisian yaitu
Polresta Denpasar sama sekali tidak melakukan penegakan hukum pidana
terhadap gelandangan dan pengemis, ini terbukti dengan tidak adanya kasus
tindak pidana pergelandangan dan pengemisan yang ditangani. Dengan demikian,
dapat dilihat bahwa tidak ada gelandangan dan pengemis yang
berkeliaran/beroperasi di Kota Denpasar yang diproses secara hukum dan dijatuhi
sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP
tersebut.
Data dan informasi yang peneliti temukan di Polresta Denpasar menunjukkan
bahwa kondisi tersebut diatas pada pokoknya disebabkan oleh faktor
kompleksnya permasalahan hukum di Kota Denpasar yang membuat jajaran
Polresta Denpasar belum maksimal menegakkan aturan Pasal 504 KUHP, Pasal
505 KUHP dan belum sampai menjangkau permasalahan tindak pidana
pergelandangan dan pengemisan tersebut serta faktor terbatasnya aparat
kepolisian/Sumber Daya Manusia (SDM) pada Polresta Denpasar. Selain itu,
mengenai permasalahan tersebut karena sudah diatur pula dalam Perda Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum, maka upaya penegakan hukum pidananya menurut Bapak
AKP. Nengah Sadiarta, SH., Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim)
Polresta Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Rabu, tanggal 07 Januari
115
2015) selama ini sudah sepatutnya lebih dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Hal tersebut untuk menghindari tumpang tindih
dalam pola penanganan terhadap permasalahan gelandangan dan pengemis di
Kota Denpasar. Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa
pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Pasal 504 KUHP dan
Pasal 505 KUHP belumlah berjalan dengan optimal/maksimal sehingga belum
efektif untuk menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar.
Berikutnya, dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Pasal
35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun
1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, maka
berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui mengenai implementasi atau
pelaksanaan penegakan hukum oleh Pemerintah Kota Denpasar yang dalam hal
ini dilakukan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar yang
bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar. Menurut Ibu
Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi
Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar (wawancara dilakukan
pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015), ada beberapa tahapan atau proses
dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis
tersebut yaitu terdiri dari:
a. Operasi/razia, yang mana kegiatan ini dilaksanakan melalui patroli rutin
maupun pada saat tertentu berdasarkan laporan masyarakat;
116
b. Penampungan sementara untuk dilakukan seleksi. Terhadap gelandangan dan
pengemis yang terjaring razia akan dilakukan seleksi yang dimaksudkan untuk
menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar
untuk menetapkan tindakan selanjutnya. Pilihan tindak lanjut yang dapat
dilakukan adalah mereka dibina, dipulangkan ke daerah asal/kampung
halaman, diberikan pelayanan kesehatan ataupun diproses dan dibawa ke
pengadilan untuk sidang tindak pidana ringan (tipiring);
c. Pelimpahan dan sidang tindak pidana ringan (tipiring) di Pengadilan Negeri
Denpasar. Pada tahapan inilah sebenarnya dapat dilihat mengenai penerapan
sanksi pidana bagi gelandangan dan pengemis tersebut.
Rangkaian tahapan penegakan hukum pidana tersebut diatas dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis adalah merupakan usaha represif
yang dimaksudkan untuk mengurangi dan atau meniadakan gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar yang ditujukan baik kepada seseorang maupun
kelompok orang yang melakukan pergelandangan dan pengemisan.
a. Operasi/razia
Perkembangan yang terjadi selama 5 tahun terakhir ini (periode tahun 2010-
2014) menunjukkan bahwa aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota
Denpasar yang juga bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Denpasar cukup gencar melakukan kegiatan operasi/razia yaitu serangkaian
kegiatan penertiban yang dilaksanakan dengan cara mendatangi gelandangan dan
pengemis di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum lainnya. Hal ini terbukti dari
117
jumlah gelandangan dan pengemis yang terjaring razia di wilayah Kota Denpasar
selama lima tahun terakhir (tahun 2010-2014) adalah sejumlah 1144 orang (seribu
seratus empat puluh empat orang) yang sebagaimana telah peneliti uraikan
sebelumnya bahwa jumlah per tahunnya masih tinggi.
Ibu Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian
(Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat,
Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar menjelaskan
bahwa operasi/razia terhadap gelandangan dan pengemis ini secara rutin
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 1 bulan dan biasanya dilaksanakan pada hari
Senin dan Rabu. Operasi/razia tersebut difokuskan pada daerah-daerah yang
merupakan titik-titik rawan persebaran gelandangan dan pengemis.
Pelaksanaannya dilakukan oleh tim gabungan yang tidak hanya dari unsur Satpol
PP Kota Denpasar saja, akan tetapi juga melibatkan Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Denpasar, aparat Kepolisian dan TNI. Unsur dari Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar sendiri terdiri dari bidang Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat serta bidang Penegakan Peraturan
Perundang-Undangan Daerah.
Tidak dapat dipungkiri dalam kegiatan operasi/razia ini terkadang disertai
dengan upaya-upaya paksa dan tegas oleh tim gabungan, bahkan oleh beberapa
kalangan dianggap tidak manusiawi karena pada saat operasi/razia tersebut
banyak gelandangan dan pengemis yang lari pontang panting tanpa
memperdulikan keselamatan mereka untuk menghindari kejaran dan tangkapan
petugas. Menurut Ibu Desak Ketut Putri Yasni, Kepala Seksi Operasional
118
Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar upaya
operasi/razia tersebut cukup efektif untuk membersihkan jalan-jalan atau tempat-
tempat umum lainnya dari gelandangan dan pengenis, namun cukup beresiko
karena opersi/razia dapat membahayakan keselamatan jiwa bagi petugas,
gelandangan pengemis, maupun masyarakat umum.
Tidak jarang dalam pelaksanaanya ternyata tidak mendatangkan hasil atau
kurang berhasil. Ketika operasi/razia dilancarkan di satu lokasi, informasi
operasi/razia tersebut cepat menyebar, sehingga sudah diketahui oleh gelandangan
dan pengemis akan adanya operasi/razia tersebut sehingga mereka dapat
melarikan diri dan terhindar dari pantauan petugas. Demikian juga kendaraan
operasional yang digunakan dalam penjemputan gelandangan pengemis, sudah
sangat dikenal baik oleh gelandangan pengemis. Hal ini menyebabkan
gelandangan pengemis sudah mengetahui terlebih dahulu kendaraan operasional
Satpol PP Kota Denpasar ataupun Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
yang akan melintas sehingga para gelandangan dan pengemis segera
meninggalkan lokasi.
Operasi/razia terhadap para gelandangan dan pengemis yang dilaksanakan
secara terpadu oleh tim gabungan tersebut masing-masing unsur di dalamnya
mempunyai fungsi dan peranannya masing-masing. Dalam hal ini Satpol PP Kota
Denpasar berperan menangkap para gelandangan dan pengemis di jalan-jalan atau
di tempat-tempat umum lainnya, kemudian Satpol PP Kota Denpasar dan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar mendata untuk selanjutnya dimasukkan
119
ke dalam mobil operasional untuk diangkut ke Kantor Satpol PP Kota Denpasar.
Aparat kepolisian berperan mengatur lalu lintas di jalan-jalan dimana
operasi/razia berlangsung, serta melaksanakan pengamanan bilamana terjadi
perlawanan dari para gelandangan dan pengemis.
Fakta lain yang menarik dari pelaksanaan kegiatan operasi/razia ini adalah
adanya informasi dari para pengemis yang terjaring razia mengenai adanya pihak
tertentu yang dengan sengaja mengkoordinir kegiatan mengemis di Kota
Denpasar, hal mana oleh petugas sering menyebutnya dengan istilah “germo”.
Selama ini sudah dilakukan upaya penangkapan atau pengejaran germo tersebut,
namun sampai dengan saat ini upaya tersebut belum berhasil. Informasi seperti ini
tentu tidak boleh dianggap sepele dan perlu disikapi, ditindak lanjuti dengan
serius sehingga pihak-pihak yang meresahkan tersebut dapat segera tertangkap
dan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
b. Penampungan sementara untuk dilakukan seleksi
Tahapan atau proses selanjutnya setelah dilakukan operasi/razia adalah para
gelandangan dan pengemis yang terjaring operasi/razia tersebut akan ditampung
sementara untuk dilakukan pendataan dan proses seleksi sehingga nantinya dapat
ditentukan mengenai tindakan selanjutnya yang akan dilakukan terhadap
gelandangan dan pengemisan tersebut. Pada tahapan inilah Satpol PP Kota
Denpasar dan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar dapat melakukan
pendekatan persuasif yang intensif kepada gelandangan dan pengemis tersebut.
Biasanya petugas akan memberikan pengertian, pemahaman dan mengajak
kepada para gelandangan pengemis untuk meninggalkan aktivitas menggelandang
120
dan mengemis di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya serta melaksanakan
program-program pembinaan.
Bagian atau bidang pada Kantor Satpol PP Kota Denpasar yang bertugas dan
bertanggung jawab memberikan pembinaan atau melakukan pendekatan persuasif
bagi gelandangan dan pengemis tersebut adalah Bidang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat. Sedangkan yang menentukan tindakan selanjutnya
terhadap gelandangan pengemis apakah akan dilanjutkan proses hukum pada
persidangan tindak pidana ringan (Tipiring) atau tidak adalah Bagian Penegakan
Peraturan Perundang-Undangan pada Kantor Satpol PP Kota Denpasar.
Melaksanakan pendekatan persuasif ini tidaklah mudah karena diperlukan
penanaman dan pemahaman yang berkali-kali, sebagaimana dikemukakan oleh
Ibu Desak Ketut Putri Yasni, Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi
Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Kantor
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar bahwa pendekatan
persuasif ini tidak mudah, perlu kesabaran untuk memberikan pengertian dan
pemahaman serta kesadaran agar mereka mau meninggalkan aktivitas mengemis
ataupun menggelandang di tempat-tempat umum. Disamping itu, pelaksanaan
pendekatan persuasif tersebut juga membutuhkan banyak tenaga dan waktu yang
cukup lama. Oleh karena itu diperlukan personil yang mampu membujuk
gelandangan dan pengemis untuk diberikan pemahaman dengan cara yang mudah
dimengerti serta mendorong ketertarikan gelandangan pengemis untuk tidak
melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan lagi.
121
Selama ini, pada tahapan penampungan sementara dan seleksi ini
kegiatan/upaya yang sifatnya persuasif ini sudah diupayakan dengan maksimal,
bahkan dilakukan dengan mengikut sertakan/mendatangkan petugas dari
Departemen Agama RI dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Pembinaan rohani
maupun pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas-petugas tersebut
diharapkan mampu untuk mengubah pola pikir dan memulihkan sikap mental para
gelandangan dan pengemis untuk tidak lagi melakukan kegiatan pergelandangan
dan pengemisan. Unsur Organisasi Sosial/Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
terkadang juga dilibatkan, seperti misalnya Lentera Anak Bali. Pada waktu-waktu
tertentu mereka dilibatkan dalam pemberian pembinaan kepada gelandangan dan
pengemis khususnya yang anak-anak yang mana mereka lebih menekankan pada
perbaikan sikap mental dan menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak agar tidak
menggelandang dan mengemis lagi.
Hasil seleksi tersebut diatas selanjutnya dapat ditangani dalam 3 pendekatan,
yaitu pertama melalui Sidang tindak pidana ringan (Tipiring), kedua langsung
diserahkan kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar untuk dibawa
ke rumah singgah yang dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
yang terletak di Jl. By Pass Ida Bagus Mantra untuk diberikan pembinaan atau
pelayanan sosial, dan yang ketiga dipulangkan ke daerah asal/kampung halaman.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini (periode tahun 2010-2014) ternyata pihak
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar lebih memilih untuk
menggunakan pendekatan yang kedua dan ketiga yaitu pemberian pembinaan dan
pemulangan ke daerah asal. Biasanya untuk pilihan ketiga tersebut diatas aparat
122
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar meminta para
gelandangan dan pengemis tersebut membuat surat pernyataan yang isi pokoknya
adalah mereka tidak akan lagi mengulangi perbuatan untuk melakukan kegiatan
pergelandangan dan pengemisan di Kota Denpasar.
c. Pelimpahan dan sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri
Denpasar
Tuntasnya proses bekerjanya hukum pidana adalah dapat dilihat dari
penegakan dan penerapan sanksi pidana sebagai respon/reaksi atas setiap
pelanggaran hukum pidana yang ada. Dalam hal ini penjatuhan sanksi pidana bagi
kegiatan pergelandangan dan pengemisan di Kota Denpasar haruslah melalui
proses persidangan tindak pidana ringan (Tipiring) pada Pengadilan Negeri
Denpasar yang mana menurut Hukum Acara Pidana diatur dalam ketentuan Pasal
205 s/d Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang
Acara Pemeriksaan Cepat/Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Dengan
kata lain, sidang tindak pidana ringan (Tipiring) ini merupakan suatu kegiatan
dalam penindakan bagi pelanggar ketentuan pidana yang diatur dalam Peraturan
Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) yakni Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37
ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun
2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, termasuk pula ketentuan Pasal
504 KUHP dan Pasal 505 KUHP. Bagi pelanggar ketentuan ini dapat dikenakan
sanksi kurungan atau denda.
Jadwal persidangan Pengadilan Negeri Denpasar khusus untuk sidang perkara
tindak pidana ringan adalah pada hari Rabu dan Jumat. Sidang dapat dilaksanakan
123
di ruang sidang Pengadilan Negeri, di Kantor Camat, maupun di tempat terbuka
seperti di area parkir dengan memasang tenda-tenda, seperti yang dikemukakan
oleh Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan
Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Kota Denpasar, Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E. (wawancara dilakukan
pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) yang pada pokoknya menerangkan
bahwa penyelenggaraan sidang tipiring dapat dilaksanakan di Pengadilan Negeri,
di tempat-tempat terbuka seperti di area parkir, lapangan olahraga atau di Kantor
Camat yang mana disesuaikan tempatnya dengan daerah operasi/razia dan
tentunya apabila dilakukan diluar Pengadilan Negeri Denpasar, maka hal tersebut
pasti melibatkan tim terpadu termasuk langsung menghadirkan Hakim pada
Pengadilan Negeri Denpasar.
Unsur-unsur yang terlibat dalam proses sidang Tipiring, yaitu: Hakim,
Kepolisian, Jaksa, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Kantor Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Pelaksanaan sidang Tipiring
diawali dengan penyidikan oleh PPNS Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kota Denpasar. Berkas penyidikan tersebut juga dilaporkan kepada Penyidik
Kepolisian pada Polresta Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar, selanjutnya
oleh PPNS Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar berkas
perkaranya diajukan kepada Pengadilan Negeri Denpasar untuk disidangkan oleh
Hakim, jika terbukti melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1)
Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
124
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum tersebut, akan dikenakan sanksi pidana
kurungan atau denda sesuai dengan keputusan Hakim.
Informasi yang peneliti dapatkan adalah penjatuhan/pengenaan sanksi pidana
terhadap pelanggar Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 ini belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan. Hal ini terbukti dari fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa
selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini (periode tahun 2010-2014) ternyata tidak
ada gelandangan dan pengemis yang telah terjaring razia diproses secara hukum
dan disidangkan pada persidangan tindak pidana ringan di Pengadilan Negeri
Denpasar. Kondisi yang berbeda terjadi pada periode sebelum tahun 2010 dimana
menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan
dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, (wawancara dilakukan
pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) pada masa tersebut masih banyak
gelandangan pengemis yang diproses dan disidangkan pada persidangan tindak
pidana ringan di Pengadilan Negeri Denpasar.
Melihat data yang telah peneliti uraikan pada Tabel 2 dan Tabel 6 tersebut
diatas dapat diketahui bahwa dari jumlah total gelandangan pengemis yaitu 1144
orang dalam periode tahun 2010 s/d 2014, ternyata jumlah gelandangan dan
pengemis yang berumur 8 tahun keatas yang mana menurut ketentuan hukum
pidana dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana adalah sejumlah 840 orang
dengan rincian jumlah gelandangan 43 orang dan pengemis sejumlah 797 orang.
Apabila aparat penegak hukum tegas dan konsekuen menerapkan/melaksanakan
125
ketentuan hukum pidana yang ada yaitu dengan menindak/memproses dan
melimpahkan setiap pelanggar Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan
Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 ke pengadilan,
maka semestinya terdapat 43 perkara tindak pidana pergelandangan dan 797
perkara tindak pidana pengemisan yang disidangkan dalam sidang tindak pidana
ringan (Tipiring) oleh Pengadilan Negeri Denpasar.
Sikap yang diambil oleh aparat PPNS pada Kantor Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Denpasar selama 5 tahun terakhir (periode tahun 2010-2014) dalam
penanganan dan tindak lanjut atas banyaknya jumlah pelanggaran Pasal 35 ayat
(4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.
No. 3 Tahun 2000 yang terjaring operasi/razia tersebut yaitu dengan tidak
memproses dan tidak melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri
Denpasar. Alasan utama bagi aparat PPNS pada Kantor Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Denpasar meniadakan proses hukum sidang Tipiring bagi gelandangan
pengemis tersebut adalah karena alasan kemanusiaan dan keprihatinan terhadap
kehidupan gelandangan pengemis tersebut.
Mereka lebih memilih untuk melakukan pendekatan persuasif yaitu dengan
memberikan pembinaan-pembinaan agar supaya gelandangan pengemis tersebut
sadar dan berhenti melakukan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat
umum. Disamping itu, upaya lain yang dilakukan adalah memulangkan
gelandangan dan pengemis tersebut ke daerah asal/kampung halamannya dengan
harapan agar mereka tidak lagi datang menggelandang dan mengemis ke Kota
Denpasar.
126
Tidak adanya gelandangan dan pengemis yang dilimpahkan dan disidangkan
di Pengadilan Negeri Denpasar ini berarti tidak ada pula gelandangan dan
pengemis yang dijatuhi sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo.
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3
Tahun 2000 tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dilihat bahwa penegakan
hukum pidana terhadap kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-
tempat umum sebagai pelanggaran Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
belum dilaksanakan secara tuntas dan belum optimal karena aparat penegak
hukum terkait hanya melakukan upaya penegakan hukum pidana berupa kegiatan
operasi/razia dan penampungan sementara untuk diseleksi, namun tanpa disertai
dengan upaya tindak lanjut berupa pelimpahan untuk disidangkan di Pengadilan
Negeri Denpasar agar kemudian dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan
atau denda.
Sejalan dengan kondisi yang peneliti uraikan diatas, selama 5 tahun terakhir
(periode tahun 2010-2014) data yang ada pada Pengadilan Negeri Denpasar
menunjukkan tidak ada gelandangan dan pengemis yang terjaring razia yang
kemudian disidangkan dan dikenakan sanksi pidana di Pengadilan Negeri
Denpasar. Hal tersebut dapat dilihat dalam data tabel di bawah ini:
127
Tabel 10: Data Perkembangan Jumlah Perkara Tindak PidanaPergelandangan dan Pengemisan Pada Pengadilan NegeriDenpasar Periode Tahun 2010-2014
No Tahun Perkara PelanggaranPasal 504 KUHP dan 505
KUHP
Perkara Pelanggaran Pasal 35 ayat (4)jo. Pasal 37 ayat (1) Perda Kota
Denpasar No. No. 15 Tahun 1993 jo.No. 3 Tahun 2000
1. 2010 0 0
2. 2011 0 0
3. 2012 0 0
4. 2013 0 0
5. 2014 0 0
Total 0 0
Persentase 0% 0%Sumber: Pengadilan Negeri Denpasar
Data diatas memperlihatkan memang tidak ada perkara tindak pidana
pergelandangan dan tindak pidana pengemisan yang dilimpahkan oleh aparat
Satpol PP Kota Denpasar maupun Polresta Denpasar untuk disidangkan dalam
sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri Denpasar. Berbeda
halnya dengan kinerja aparat penegak hukum tersebut sebagai lembaga penerap
sanksi dalam penanganan jenis-jenis perkara tindak pidana ringan lainnya yang
terjadi di Kota Denpasar yang ternyata cukup gencar dilakukan upaya penegakan
hukum pidana yaitu dengan melimpahkan dan menyidangkannya ke Pengadilan
Negeri Denpasar.
Hal tersebut terlihat dari data yang dimiliki Pengadilan Negeri Denpasar yang
menunjukkan jumlah perkara tindak pidana ringan selama 5 tahun terakhir
(periode tahun 2010-2014) selain pergelandangan dan pengemisan adalah
sebanyak 1280 perkara. Jenis-jenis perkara tindak pidana ringan yang disidangkan
di Pengadilan Negeri Denpasar tersebut seperti perkara tentang pedagang kaki
128
lima yang berjualan sembarangan, membuang sampah sembarangan, merokok di
kawasan tanpa rokok (KTR), dan pelacuran.
Berikut dapat kita lihat gambaran komprehensif mengenai proses dan pola
penanggulangan gelandangan dan pengemis yang selama 5 tahun terakhir ini
(periode tahun 2010-2014) dilakukan di Kota Denpasar tersebut diatas, sebagai
berikut:
Gambar 1. Pola Penanggulangan Gelandangan Pengemis di Kota
Denpasar
Melihat pola penanganan/penanggulangan tersebut diatas sebenarnya dapat
dijelaskan bahwa upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar yang lebih komprehensif tersebut adalah dengan kombinasi dan
pelaksanaan secara menyeluruh 3 cara/pendekatan yang ada yaitu preventif,
represif dan rehabilitasi. Dalam hal telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
KUHP dan Perda Kota Denpasar tindakan yang seharusnya dilakukan adalah lebih
Pendekatan- Himbauan- Pemasangan Baliho- Penyebaran Brosur- Penyuluhan Hukum
Preventif,Persuasif
(non penal)
Represif(penal)
Tujuannyamemberikan efek jeranamun belumditerapkan dengantuntas karena upayano. 3 (sidang Tipiring)sama sekali tidakdilaksanakanPelimpahan dan
Sidang Tipiring
PenampunganSementara+Seleksi
Operasi/Razia1)
2)
3)
Sudah dilaksanakan Gelandangandan pengemisdi KotaDenpasarjumlahnyamasih tinggi
Upaya-upayapenanggulanganbelum efektif/maksimal,termasuk pulapenegakanHukumPidananya
- Pembinaan jasmanidan rohani
- Bimbingan mental- Pemberian
ketrampilan
Rehabilitasi(non penal) Belum dilaksanakan
129
menekankan pada upaya represif berupa penegakan hukum pidana dengan
tahapan pelaksanaan: operasi/razia, penampungan sementara dan seleksi, serta
pelimpahan dan sidang tipiring, namun dalam pelaksanaan upaya ini harus tetap
selektif dan manusiawi dengan tidak melakukan kekerasan.
Menurut Hakim sekaligus Humas (Hubungan Masyarakat) pada Pengadilan
Negeri Denpasar yaitu Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., dalam wawancara
pada hari selasa, tanggal 20 Januari 2015, menegaskan bahwa apabila
permasalahan gelandangan dan pengemis ini terus menerus mengganggu
masyarakat dan jumlah setiap tahunnya tetap tinggi, maka dengan penerapan dan
penjatuhan sanksi pidana berdasarkan KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut
sebenarnya dapat menjadi senjata ampuh untuk memberikan efek jera kepada
gelandangan dan pengemis tersebut agar tidak lagi melakukan kegiatan
pergelandangan dan pengemisan, akan tetapi itu semua tergantung pada cara
penanganan atau sikap yang diambil oleh aparat penegak hukum terkait yaitu
aparat Polresta Denpasar maupun Satuan Polisi Pamong Praja Kota Denpasar.
Apabila perkara tindak pidana pergelandangan dan pengemisan tersebut diajukan
ke Pengadilan Negeri Denpasar, maka Pengadilan Negeri Denpasar tentu akan
memeriksa, mengadili dan memutus sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Gelandangan dan pengemis yang terbukti melanggar KUHP maupun Perda
Kota Denpasar yaitu melakukan pergelandangan dan pengemisan di tempat-
tempat umum tentu akan dijatuhi/dikenakan sanksi pidana berupa kurungan atau
denda oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Penjatuhan sanksi pidana tersebut
130
nantinya diharapkan memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis
yang mana tujuan penjatuhan/pemberian sanksi seperti diatas sesuai dengan
tujuan pemidanaan sebagaimana yang diuraikan Teori Relatif atau Teori Tujuan
(Doel Theorieen/Utilitarian Theory) dalam Teori Pemidanaan yaitu penjatuhan
pidana mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Mengacu pada Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian
Theory) tersebut diatas, maka penjatuhan pidana tersebut selain dapat membuat
jera para pelakunya diharapkan pula dapat mempunyai manfaat yang lebih luas
yakni menentramkan masyarakat, mencegah setiap anggota masyarakat Kota
Denpasar untuk melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan, serta yang
paling penting adalah dapat memperbaiki atau merubah pola pikir maupun sikap
mental para gelandangan dan pengemis tersebut agar tidak lagi melakukan
kegiatan pergelandangan dan pengemisan sehingga fungsi sosialnya pulih kembali
dan dapat hidup secara normal dalam lingkungan masyarakat.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, oleh karena ketentuan pidana yang
sudah ada sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan
Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
tersebut belum sepenuhnya dilakukan secara tegas dan konsekuen, maka dikaji
dan dianalisi berdasarkan Teori Bekerjanya Hukum yang dikemukakan oleh
Robert B. Siedman jelaslah aturan hukum pidana bagi kegiatan pergelandangan
dan pengemisan di tempat-tempat umum tersebut belum bekerja atau diterapkan
dengan maksimal. Hal yang paling terlihat adalah kurang optimalnya fungsi
pemegang peran (anggota masyarakat termasuk gelandangan dan pengemis) dan
131
lembaga penerap sanksi (aparat penegak hukum: Polresta Denpasar, Satpol PP
Kota Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar) dalam proses bekerjanya hukum
yang membuat hukum pidana tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Kondisi tersebut terlihat dari banyaknya anggota masyarakat sebagai unsur
pemegang peran yang melanggar Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35
ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993
jo. No. 3 Tahun 2000 yang mana hal ini terbukti dari masih tingginya jumlah
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Adanya pengaruh faktor sosial dan
personal berupa faktor kemiskinan dan masih adanya masyarakat pemberi bagi
gelandangan pengemis cukup dominan menyebabkan munculnya gelandangan
dan pengemis di Kota Denpasar. Berikutnya, atas terjadinya pelanggaran-
pelanggaran tersebut diatas ternyata respon yang diberikan oleh aparat penegak
hukum sebagai lembaga penerap sanksi adalah dengan tidak menegakkan aturan
hukum pidana secara maksimal yang mana terbukti dari tidak adanya gelandangan
dan pengemis yang terjaring razia melakukan pergelandangan dan pengemisan di
tempat-tempat umum yang dilimpahkan dan dikenakan sanksi pidana oleh
Pengadilan Negeri Denpasar.
Kondisi seperti ini membuat implementasi penegakan hukum pidana belum
berjalan dengan baik atau efektif dalam rangka menanggulangi permasalahan
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Selain itu, maksud dan tujuan
upaya-upaya penegakan hukum pidana agar memberikan efek jera dan mencegah
gelandangan dan pengemis mengulangi perbuatannya sebagaimana ditegaskan
Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory) dalam Teori
Pemidanaan jelas tidak tercapai karena selama ini upaya-upaya penegakan hukum
132
pidananya belum dilakukan secara tuntas mengingat pelanggaran yang dilakukan
oleh gelandangan pengemis yang melakukan pergelandangan maupun pengemisan
di tempat-tempat umum tidak sampai disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar
dan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Upaya
seperti itu tentu tidak akan memberikan efek jera bagi gelandangan dan pengemis
agar tidak lagi kembali menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum.
Hasil penegakan hukum pidana yang telah dilakukan selama ini sebenarnya
dapat memberikan umpan balik (feed back) dan menjadi bahan evaluasi/masukan
bagi aparat penegak hukum sebagai lembaga penerap sanksi untuk memperbaiki
kinerjanya dalam proses penegakan hukum. Untuk lembaga legeslatif sebagai
pembuat undang-undang, proses bekerjanya hukum pidana tersebut diatas jelas
dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi aturan hukum pidana yang sudah ada
dan kedepannya memformulasikan aturan hukum pidana yang lebih baik dalam
menanggulangi gelandangan dan pengemis termasuk pula dijadikan bahan
masukan untuk menyusun/memformulasikan aturan hukum yang lebih khusus dan
komprehensif tentang penanganan/penanggulangan gelandangan dan pengemis di
Kota Denpasar.
133
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDUKUNG PENEGAKAN
HUKUM PIDANA TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI
KOTA DENPASAR
4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) senantiasa menjadi
persoalan menarik banyak pihak. Terutama karena adanya ketimpangan interaksi
dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das sollen dengan aspek
penerapan hukum dalam kenyataan atau das sein. Bilamana ketimpangan interaksi
diatas terus berlangsung, maka pelaksanaan penegakan hukum pada umumnya
tidak akan dapat mewujudkan keadilan dan ketertiban umum dalam kehidupan
masyarakat.84
Dalam dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks sangat wajar apabila
dalam suatu kegiatan masyarakat akan ditemukan faktor-faktor yang sifatnya
mendukung maupun menghambat. Begitu pula dalam proses penegakan hukum
tidak tertutup kemungkinan apabila dalam pelaksaaannya akan ditemukan
hambatan-hambatan, namun tidak menutup kemungkinan ada juga faktor-faktor
pendukung yang dapat membuat pelaksanaan penegakan hukum dalam kehidupan
masyarakat berjalan lebih efektif dan optimal.
Selanjutnya berbicara tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan dan pengemis, maka hal tersebut tidak akan terlepas dari
84Ahmad Mujahidin, 2014, Penegakan Hukum Jangan Tersandera Pemberitaan Media, VariaPeradilan: Tahun XXIX No. 344, Jakarta, h. 105.
133
134
pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu
sendiri. Faktor-faktor tersebut menjadi indikator atau tolak ukur dalam
keberhasilan maupun efektivitas suatu penegakan hukum.85
Menurut Lawrence M. Friedman dalam teorinya yaitu Teori Sistem Hukum
menegaskan bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan
berfungsinya semua unsur/komponen sistem hukum yakni legal structure
(Struktur Hukum/Pranata Hukum), legal substance (Substansi Hukum) dan legal
culture (Budaya Hukum):
1. Struktur Hukum (legal structure)
Disini menekankan pada aspek lembaga atau aparat penegak hukum termasuk
mengenai kinerjanya, misalnya: Pengadilan, Kepolisian;
2. Substansi Hukum (legal substance)
Hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya: Putusan Hakim,
Undang-Undang;
3. Budaya Hukum (legal culture)
Sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong
berjalannya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka
budaya milik masyarakat.
Relevan dengan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan Lawrence M.
Friedman tersebut diatas, Soerjono Soekanto juga berpendapat bahwa masalah
pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
85Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 9.
135
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana
disampaikan oleh Lawrence M. Friedman dalam Teori Sistem Hukum tersebut
telah dipertegas oleh Soerjono Soekanto dalam teorinya tentang penegakan
hukum yang mana uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tersebut adalah telah lebih
disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Mengenai faktor legal structure
(Struktur Hukum/Pranata Hukum) yang dikemukakan Lawrence M. Friedman
apabila dikaitkan dengan pendapat Soerjono Soekanto adalah menunjuk pada
faktor penegak hukum dan faktor sarana/fasilitas yang mendukung penegakan
hukum. Berikutnya, faktor legal substance (Substansi Hukum) inti dan
maksudnya adalah sama dengan faktor hukum atau peraturan itu sendiri yang
dikemukakan Soerjono Soekanto. Sedangkan faktor legal culture (Budaya
Hukum) adalah terkait dengan faktor masyarakat dan kebudayaan.
136
Faktor-faktor yang dikemukakan Lawrence M. Friedman maupun Soerjono
Soekanto tersebut diatas adalah saling berkaitan erat dan menjadi satu kesatuan
sistem yang nantinya akan sangat mempengaruhi penegakan hukum dalam
kehidupan masyarakat khususnya dalam hal ini adalah yang terkait dengan
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis. Agar penegakan
hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar tersebut dapat berjalan dengan lebih baik, maka dari faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum tersebut perlu diketahui mengenai faktor-faktor
mana yang menjadi faktor-faktor penghambat maupun pendukung dalam
pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis.
Penjelasan mengenai faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana
terhadap gelandangan dan pengemis sangat diperlukan untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan atau kekurangan dalam pelaksanaan penegakan hukum
sehingga kedepannya dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan/pembenahan dan
evaluasi. Penjelasan mengenai faktor-faktor pendukung juga tidak kalah
pentingnya yaitu untuk mengetahui potensi yang ada sehingga dapat dijadikan
modal untuk mendukung segala kegiatan penegakan hukum pidana.
4.2 Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
Dikaji dan dianalisis berdasarkan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan
oleh Lawrence M. Friedman maupun uraian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
137
tersebut diatas, dan dikaitkan dengan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan,
maka dapat diketahui mengenai faktor-faktor penghambat pelaksanaan penegakan
hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar tersebut, sebagai berikut:
1. Struktur Hukum (legal structure)
Sebagaimana yang telah peneliti uraikan diatas bahwa pembahasan mengenai
faktor legal structure (Struktur Hukum Hukum) ini adalah lebih menekankan pada
aspek lembaga/aparat penegak hukum beserta kinerjanya dan juga sarana/fasilitas
pendukung yang dalam lingkup ini adalah jelas yang terkait dengan pelaksanaan
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama ini aparat penegak hukum
terkait yaitu aparat Polresta Denpasar yang bertugas dan berwenang untuk
menegakkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), begitu pula Satpol
PP Kota Denpasar yang bertugas dan berwenang untuk menegakkan Peraturan
Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) ternyata belum menunjukkan
kinerja maksimal dalam proses penegakan hukum pidana guna menanggulangi
permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Ini berarti tugas dan
fungsi sebagai aparat penegak hukum tersebut belum dilaksanakan dengan baik.
Hal ini terbukti dari tidak adanya upaya penegakan hukum terhadap ketentuan
Pasal 504 KUHP tetang tindak pidana pengemisan dan Pasal 505 KUHP tentang
tindak pidana pergelandangan yang selama ini dilakukan oleh aparat Polresta
Denpasar. Ini berarti tidak ada gelandangan dan pengemis yang
berkeliaran/beroperasi di Kota Denpasar yang diproses secara hukum dan dijatuhi
138
sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP
tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan data yang ada di Pengadilan Negeri
Denpasar yang menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir (periode tahun 2010
s/d 2014) memang tidak ada perkara tindak pidana ringan mengenai
pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang dilimpahkan oleh
aparat Kepolisian untuk selanjutnya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri
Denpasar.
Berikutnya, upaya penegakan hukum pidana terhadap ketentuan Pasal 35 ayat
(4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.
No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang selama ini
dilakukan oleh aparat Satpol PP Kota Denpasar juga terbukti belum dilaksanakan
secara tuntas dan maksimal. Hal ini terlihat dari pola penanganan dan tindak
lanjut yang dilakukan Satpol PP Kota Denpasar atas gelandangan dan pengemis
yang melanggar Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 adalah dengan tidak
memproses dan tidak melimpahkan para pelanggar Perda tersebut ke Pengadilan
Negeri Denpasar. Upaya penegakan hukum pidana yang sudah dilakukan
hanyalah berupa kegiatan operasi/razia, penampungan sementara untuk diseleksi
dan kemudian dipulangkan ke daerah asal, namun tanpa disertai dengan upaya
tindak lanjut berupa pelimpahan untuk disidangkan di Pengadilan Negeri
Denpasar. Dengan demikian, sangat wajar apabila dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir (periode tahun 2010 s/d 2014) tidak ada perkara tindak pidana ringan
mengenai pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum yang
139
diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri Denpasar. Oleh karena tidak ada
perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, maka jelaslah Hakim pada Pengadilan
Negeri Denpasar sebagai salah satu unsur penegak hukum (struktur hukum) juga
tidak dapat menjalankan peranan atau tugas dan fungsinya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan dan pengemis ini.
Kelemahan-kelamahan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar
masih menemui hambatan sehingga belum berjalan dengan maksimal. Faktor-
faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya peranan dan kinerja aparat
Polresta Denpasar tersebut adalah karena:
- Terbatasnya jumlah personil aparat Polresta Denpasar (faktor SDM);
- Luasnya ruang lingkup tugas penegakan hukum yang disertai dengan
kompleksnya permasalahan hukum di Kota Denpasar; dan
- Selama ini permasalahan gelandangan dan pengemis sudah ditangani oleh
pihak Satpol PP Kota Denpasar.
Faktor diataslah yang membuat aparat Kepolisian pada Polresta Denpasar belum
menjangkau permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
Selanjutnya, mengenai kurang maksimalnya peranan Satpol PP Kota Denpasar
dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis
adalah lebih disebabkan oleh kebijakan yang diambil oleh Satpol PP Kota
Denpasar yang ternyata lebih mengutamakan upaya persuasif dan karena alasan
kemanusiaan/belas kasihan aparat penegak hukum pada Pemerintah Kota
140
Denpasar ini meniadakan proses pelimpahan dan persidangan ke Pengadilan
Negeri Denpasar.
Apapun alasannya upaya represif yang sudah dilakukan oleh aparat penegak
hukum selama ini berupa operasi/razia dan penampungan sementara untuk
diseleksi yang merupakan bagian dari proses/tahapan penegakan hukum pidana
terhadap gelandangan dan pengemis tersebut patut kita apresiasi dan tetap
dihargai. Penegakan hukum pidana yang belum tuntas atau belum dilakukan
sepenuhnya tersebut setidak-tidaknya masih memberikan harapan dan gambaran
bahwa ketentuan pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang
diatur dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar masih dilaksanakan dan tetap
diperlukan dalam rangka mewujudkan ketertiban umum di kehidupan masyarakat
Kota Denpasar.
Peneliti sependapat apabila dalam rangka penanggulangan gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar tetap menjunjung atau memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, namun dalam konteks negara hukum adanya peniadaan atau
pengesampingan proses hukum berupa pelimpahan dan sidang tindak pidana
ringan bagi pelanggar ketentuan KUHP maupun Perda Kota Denpasar tentang
pergelandangan dan pengemisan tersebut jelas kurang tepat karena tidak
mencerminkan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsekuen. Melihat
realita mengenai jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yang masih
tetap tinggi setiap tahunnya, maka sudah sepatutnya upaya penegakan hukum
pidana yang dilakukan secara tuntas, setiap tahapannya dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum dan menjadi senjata pamungkas (ultimum remidium) dalam
141
rangka penanggulangan permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar. Penerapan sanksi pidana harus tetap dilakukan secara selektif dan hati-
hati khususnya terhadap para gelandangan pengemis kambuhan yang sudah
berkali-kali terjaring razia melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di
Kota Denpasar.
Dilihat dari uraian diatas dapat diketahui bahwa faktor struktur hukum yaitu
kinerja aparat penegak hukum masih menjadi faktor penghambat dalam
pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota
Denpasar. Untuk itu kedepannya diperlukan adanya evaluasi dan perbaikan
kinerja dari aparat penegak hukum yaitu aparat Polresta Denpasar dan Satpol PP
Kota Denpasar.
Selanjutnya, mengenai sarana/fasilitas penunjang penegakan hukum pidana
terhadap gelandangan pengemis, menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, SE.,
Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan
Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Kota Denpasar (wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015)
hal ini masih terdapat kelemahan atau kekurangan yang mana dapat menghambat
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar.
Faktor penghambat dimaksud adalah Pemerintah Kota Denpasar tidak mempunyai
panti rehabilitasi/panti sosial yang representatif bagi gelandangan pengemis dan
adanya kekhawatiran tentang kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang penuh.
Hambatan-hambatan diatas adalah permasalahan klasik yang sudah sejak lama
142
berlangsung dan perlu dicarikan solusi/pemecahannya bersama oleh semua pihak
baik pemerintah, aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Panti rehabilitasi/panti sosial sangat diperlukan dalam rangka penanggulangan
gelandangan pengemis secara menyeluruh yang berfungsi untuk memperbaiki
sikap mental, pemberian pembinaan secara jasmani dan rohani sehingga
kedepannya para gelandangan pengemis tidak mengulangi lagi melakukan
kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum. Upaya represif
dengan pemberian sanksi pidana kurungan kepada gelandangan pengemis
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4)
jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No.
3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menurut hemat peneliti
memang sulit dilakukan/diterapkan mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan
khususnya yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Denpasar
atau tempat untuk menjalani pidana bagi gelandangan dan pengemis tidak akan
mencukupi (over capacity) dengan memperhatikan semakin banyaknya jumlah
narapidana maupun tingginya tingkat kriminalitas di Kota Denpasar.
Masalah tersebut diatas cukup krusial sehingga ide penghukuman terhadap
gelandangan pengemis mustahil diterapkan apabila melihat kondisi Lembaga
Pemasyarakatan (LP) di Indonesia saat ini. Apapun alasannya kondisi seperti ini
jelas dapat menimbulkan keragu-raguan bagi aparat penegak hukum untuk
menerapkan secara tegas ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 504,
Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut sehingga di
143
masyarakat pasal-pasal ini jarang sekali diterapkan bagi gelandangan dan
pengemis karenanya menyebabkan ketentuan pidana bagi gelandangan dan
pengemis ini tidak bekerja dengan baik dalam kehidupan masyarakat dan
implementasinya belum efektif.
2. Substansi Hukum (legal substance)
Faktor substansi hukum (legal substance) ini adalah tentang faktor hukum
atau peraturan itu sendiri. Menurut hukum positif di negara kita kegiatan
pergelandangan dan pengemisan di tempat umum yang dilakukan gelandangan
dan pengemis dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai
pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), dan secara khusus untuk di Kota Denpasar mengenai ketentuan pidana
tersebut diatur pula dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota
Denpasar) yakni Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum.
Pasal 504 KUHP menegaskan larangan kegiatan pengemisan atau meminta
minta di tempat umum sebagai berikut:
1. Barang siapa mengemis di tempat umum, diancam, karena melakukan
pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;
2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas
enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.
144
Berikutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan tentang larangan kegiatan
pergelandangan sebagai berikut:
1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan
pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di
atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam
bulan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut:
- Pasal 35 ayat (4): Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis;
- Pasal 37 ayat (1): Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah).
Mengacu pada ketentuan hukum pidana tersebut diatas, maka kegiatan
pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh para gelandangan dan
pengemis di wilayah Kota Denpasar dapat diproses secara hukum dan dikenakan
sanksi pidana.
Menurut Soerjono Soekanto, gangguan/hambatan terhadap penegakan hukum
yang berasal dari faktor substansi hukum (legal substance) ini adalah dapat
disebabkan karena:
145
- Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;
- Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.86
Apabila ditinjau lebih lanjut mengenai bunyi aturan pidana dalam Pasal 504,
Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut, maka dari hasil
penelitian dapat diketahui bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang
kedepannya perlu dievaluasi dan diperbaiki, sebagai berikut:
a. Terkait aturan pidana bagi gelandangan dalam Perda Kota Denpasar No. 15
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 masih belum jelas. Menurut Bapak I Gusti
Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan Penyidikan
pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat
(1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
inilah yang selama ini masih dijadikan dasar hukum dalam upaya penertiban
atau penegakan hukum pidana terhadap gelandangan di Kota Denpasar. Secara
substansi, dalam bunyi Pasal 35 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar No.
15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 kata ”gelandangan” sama sekali belum
disebutkan secara jelas sebagai perbuatan yang dilarang dalam Perda Kota
Denpasar. Bunyi Pasal 35 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000: “Dilarang melakukan usaha/kegiatan
meminta-minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”, kata
86Ibid, h. 17.
146
“usaha lain yang sejenis” tersebutlah yang ditafsirkan termasuk pula kegiatan
pergelandangan, namun dalam konteks implementasinya di lapangan tentu hal
ini dapat menimbulkan penafsiran yang kurang jelas karenanya terhadap
ketentuan Pasal 35 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun
1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut perlu dilakukan revisi dengan
menambahkan kata “gelandangan” dalam bunyi pasalnya;
b. Disamping itu, kelemahan-kelemahan lain yang terlihat dari ketentuan Pasal
504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan
Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 adalah aturan
pidana tersebut belum sampai menyentuh masyarakat pemberi kepada
gelandangan dan pengemis. Agar menekan jumlah gelandangan pengemis
seharusnya masyarakat secara tegas dilarang dan bahkan perlu disertai dengan
sanksi pidana apabila terbukti memberikan sesuatu kepada gelandangan
pengemis. Dikaitkan dengan fakta di lapangan, faktor adanya masyarakat
pemberi inilah yang menjadi salah satu faktor utama penyebab masih
banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sehingga
dengan adanya aturan pidana bagi masyarakat yang memberikan uang atau
sesuatu kepada gelandangan dan pengemis jelas akan membuat lahan operasi
dari gelandangan pengemis tersebut menjadi semakin sempit;
c. Jenis sanksi pidananya berupa pidana kurungan sulit diterapkan apabila
melihat kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Denpasar yang
penuh atau tidak akan mencukupi (over capacity). Kondisi ini membuat ide
147
penghukuman terhadap gelandangan pengemis sulit diterapkan. Untuk
menghadapi kondisi ini, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
- Penjatuhan sanksi kurungan bagi gelandangan pengemis ini sebaiknya
lebih diterapkan kepada para gelandangan pengemis kambuhan yang
sudah berkali-kali ditertibkan oleh petugas atau terjaring razia;
- Perlu segera dilakukan teroboson hukum dengan melakukan pembaharuan
hukum pidana yaitu jenis sanksi pidana terhadap gelandangan pengemis
dalam ketentuan KUHP dan Perda Kota Denpasar tersebut ditambah
dengan sanksi rehabilitasi sehingga terhadap para gelandangan dan
pengemis yang terbukti melanggar ketentuan KUHP dan Perda Kota
Denpasar dapat dilakukan upaya penanggulangan yang lebih komprehensif
yang tidak hanya memberikan efek jera, akan tetapi pula dapat
memperbaiki dan membina gelandangan pengemis tersebut agar tidak lagi
menggelandang dan mengemis.
Melihat kelemahan-kelemahan faktor substansi hukum (legal substance)
tersebut, maka ada baiknya saran dan masukan dari berbagai pihak dalam rangka
penanggulangan gelandangan pengemis perlu disikapi dengan serius dan
kedepannya ditindaklanjuti karena menurut peneliti saran dan masukan tersebut
dapat memperkuat dan menyempurnakan faktor substansi hukum (legal
substance) dalam penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis
di Kota Denpasar. Seperti misalnya ide tentang perlu dibuatnya suatu Peraturan
Daerah (Perda) Kota Denpasar khusus tentang penanggulangan gelandangan
pengemis. Di beberapa daerah lain seperti Kota Bandung, Kota Padang dan DKI
148
Jakarta pemerintah daerahnya telah mempunyai Perda khusus tentang
penanggulangan gelandangan dan pengemis.
Kota Denpasar sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang jumlah
gelandangan dan pengemis per tahunnya masih cukup tinggi tentu sudah
sepatutnya mempunyai Perda khusus tentang penanggulangan gelandangan
pengemis. Beberapa pihak yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
yang diwakili oleh Bapak Bagus Nyoman Wiranata, S.H., M.Si., Kepala Bidang
(KABID) Rehabilitasi Sosial dan Bapak Made Sudana, S.E., Kepala Seksi (KASI)
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, pihak Satpol PP Kota Denpasar yang diwakili
oleh Ibu Desak Ketut Putri Yasni, S.H., Kepala Seksi Operasional Pengendalian
(Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat,
termasuk pula dari elemen masyarakat yaitu Bapak Drs. I Wayan Candra (salah
satu tokoh agama/masyarakat di Kelurahan Sesetan, yang wilayahnya rawan
menjadi daerah operasi gelandangan pengemis, wawancara pada hari Rabu,
tanggal 26 Nopember 2014) sangat setuju apabila kedepannya dapat dibuat Perda
khusus tentang penanggulangan gelandangan pengemis tersebut sehingga dengan
aturan yang lebih komprehensif tersebut diharapkan permasalahan gelandangan
pengemis di Kota Denpasar dapat ditanggulangi secara lebih efektif dan tuntas.
Dalam Perda khusus tentang penanggulangan gelandangan pengemis tersebut
dapat dimasukkan rumusan tentang larangan kegiatan pergelandangan dan
pengemisan ditempat umum, larangan memberikan sesuatu kepada gelandangan
pengemis, sanksi pidana terhadap pelanggar larangan tersebut, pihak-
pihak/instansi yang terlibat beserta tugas, fungsi dan kewenangannya, dan upaya-
149
upaya penanggulangan yang dapat dilakukan. Harapan dari adanya perda khusus
tersebut adalah membuat upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis di
Kota Denpasar menjadi lebih terarah, efektif dan maksimal.
3. Budaya Hukum (legal culture)
Pembahasan tentang faktor ini adalah sangat terkait dengan faktor masyarakat
yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor
kebudayaan yaitu mencakup nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam kehidupan
masyarakat mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diikuti) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari).87
Budaya masyarakat kita sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
persaudaraan. Budaya masyarakat menghendaki setiap anggotanya agar mengasihi
sesama dan memberikan pertolongan kepada yang tidak mampu. Nilai-nilai ini
menyebabkan adanya anggota masyarakat yang bersimpati kepada gelandangan
dan pengemis dengan memberikan uang atau makanan. Kondisi seperti ini akan
semakin mudah kita lihat pada saat hari-hari besar keagamaan dimana banyak
anggota masyarakat kita termasuk di Kota Denpasar memanfaatkan waktu
tersebut untuk berbuat kebaikan dengan cara berbagi atau memberi sesuatu
kepada mereka yang tidak mampu.
Masih banyaknya masyarakat pemberi tentu membuat semakin subur atau
menjamurnya gelandangan dan pengemis dan mendorong mereka untuk datang ke
kota Denpasar. Bapak Drs. I Wayan Candra menegaskan bahwa kondisi tersebut
diatas memang terjadi di masyarakat khususnya di Kelurahan Sesetan yang mana
87Ibid, h. 60.
150
beliau sering kali melihat keberadaan gelandangan pengemis di wilayah tempat
tinggalnya akan semakin meningkat pada saat menjelang hari raya keagamaan
seperti Galungan dan Idul Fitri. Masyarakat biasanya memberikan sejumlah uang
kepada gelandangan pengemis tersebut.
Apapun alasannya, memberikan sesuatu kepada gelandangan dan pengemis ini
sangatlah tidak mendidik dan akan membuat mental gelandangan pengemis
menjadi pemalas. Larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHP, Pasal
505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum ini memang terkesan janggal dalam kehidupan masyarakat kita
yang biasa bersedekah ataupun berbelas kasihan dengan memberi sesuatu kepada
fakir miskin termasuk gelandangan pengemis. Apalagi kalau kita lihat di Kota
Denpasar yang mayoritasnya adalah masyarakat Hindu di Bali yang memiliki
konsep nilai menyama braya yang sangat kental, ajaran agama Hindu: beryadnya,
Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) yang membuat lumrah
kegiatan-kegiatan yang bernuansa membantu orang lain yang sedang kesusahan
termasuk terhadap gelandangan pengemis ini sehingga upaya pemidanaan
berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4)
jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No.
3 Tahun 2000 tersebut dirasa sangat berlebihan dan karenanya jelas faktor nilai-
nilai yang ada dalam lingkungan masyarakat Kota Denpasar ini sangat
berpengaruh menghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan pengemis tersebut.
151
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat dapat mempengaruhi
penegakan hukum tersebut, maka idealnya masyarakat harus ikut berperan serta
dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Dalam kenyataannya, disamping masih ada mayarakat pemberi kepada
gelandangan pengemis tersebut diatas ternyata di Kota Denpasar juga ada anggota
masyarakatnya yang masih bersikap acuh tak acuh dan terkesan tidak peduli
dengan kondisi di sekitar karenanya membuat masyarakat tidak peduli lagi dengan
keberadaan gelandangan dan pengemis. Selain itu, masyarakat Kota Denpasar
cenderung kurang mempunyai inisiatif yang lebih untuk melaporkan ke
aparat/petugas terkait dengan keberadaan gelandangan pengemis di lingkungan
sekitar mereka sehingga timbul kesan pembiaran oleh masyarakat. Sejalan dengan
pendapat yang disampaikan oleh Ibu Desak Ketut Putri Yasni, Kepala Seksi
Operasional Pengendalian (Kasi Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota
Denpasar, faktor masih adanya masyarakat pemberi dan sikap mayarakat yang
kurang peduli terhadap permasalahan gelandangan pengemis inilah yang selama
ini juga berkontribusi ikut menghambat kinerja aparat Satpol PP Kota Denpasar
dalam rangka penertiban atau penanggulangan permasalahan gelandangan dan
pengemis.
Selanjutnya, mengenai faktor-faktor penghambat lainnya yang berasal dari
faktor budaya hukum (legal culture) ini adalah dapat dilihat dari masih sangat
lunak dan kurang tegasnya sikap mental yang ditunjukkan oleh aparat penegak
152
hukum terhadap gelandangan dan pengemis yang terbukti melakukan kegiatan
pergelandangan dan pengemisan di tempat-tempat umum. Menurut peneliti sikap
mental dari aparat penegak hukum diatas menunjukkan bahwa budaya hukum
aparat penegak hukum tersebut masih kurang baik.
Hal ini tidak akan memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis
sehingga tujuan untuk memperbaiki sikap mental dan membuat para gelandangan
pengemis tersebut jera untuk menggelandang dan mengemis lagi sulit tercapai.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Wayan Bunga asal Pedahan,
Karangasem dan Ibu Sundari asal Banyuwangi (wawancara dilakukan pada
tanggal 29 Oktober 2014 dan 31 Oktober 2014), keduanya adalah pengemis yang
pernah terjaring razia di kawasan Ubung dan Sesetan, yang menerangkan bahwa
mereka tidak akan takut untuk datang lagi ke Kota Denpasar, disini mereka masih
bisa mencari uang dengan mudah melalui mengemis/meminta-minta, dan mereka
sudah tahu resiko yang akan terjadi ketika mereka terjaring razia yaitu pasti akan
dipulangkan ke daerah asal.
Faktor budaya dan faktor masyarakat tersebut diatas ternyata telah berperan
menghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Faktor-faktor ini
yang justru masih mendorong hadirnya gelandangan pengemis dan membiarkan
keberadaan mereka di lingkungan masyarakat Kota Denpasar sehingga turut
berkontribusi menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan penegakan hukum
pidana sebagaimana diatur ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan
Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
153
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 dalam rangka menanggulangi permasalahan
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
4.3 Faktor-Faktor Pendukung Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
Berikutnya, mengenai faktor-faktor pendukung pelaksanaan penegakan
hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota
Denpasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Struktur Hukum (legal structure)
Faktor struktur hukum ini disamping merupakan faktor penghambat ternyata
didalamnya juga terdapat hal-hal yang sifatnya mendukung pelaksanaan
penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar.
Bagian dari faktor struktur hukum yang merupakan faktor pendukung adalah
berkaitan dengan sarana/fasilitas penunjang penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan pengemis.
Menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi)
Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-
Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar
(wawancara dilakukan pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015) sebenarnya
sarana dan fasilitas penegakan hukum pidana yang dimiliki Satpol PP Kota
Denpasar cukup memadai. Sarana dan fasilitas berupa mobil patroli, Handy Talky
(HT), senjata pengamanan yang cukup dan ditunjang dengan jumlah
petugas/aparat Satpol PP Kota Denpasar yang cukup pula dapat menjadi modal
154
pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan
pengemis di Kota Denpasar. Dukungan sarana dan fasilitas ini sejalan atau
berbanding lurus dengan hasil penertiban yang telah dilakukan selama ini yaitu
banyaknya gelandangan dan pengemis yang terjaring razia yang selama 5 tahun
terakhir adalah sejumlah 1144 orang (seribu seratus empat puluh empat orang).
2. Substansi Hukum (legal substance)
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas gangguan/hambatan terhadap
penegakan hukum yang berasal dari faktor substansi hukum (legal substance)
adalah dapat disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-
undang dan adanya ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.
Terkait hal ini tidak ada asas-asas hukum yang dilanggar oleh ketentuan Pasal
504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000. Selama ini memang
masih ada perdebatan mengenai eksistensi ketentuan pidana bagi gelandangan dan
pengemis yang diatur dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar tersebut diatas
karena dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 34 Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) yang menegaskan “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, namun menurut peneliti
ketentuan Pasal 34 UUDNRI 1945 tersebut tidaklah dapat dijadikan dasar atau
alasan hukum untuk melakukan pembiaran maupun meniadakan tindakan tegas
negara dalam menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis tersebut. Demi
mewujudkan ketertiban umum, memberikan rasa aman dan tenteram bagi
155
masyarakat luas, maka sangat beralasan apabila diperlukan upaya penanggulangan
yang lebih serius terhadap permasalahan gelandangan dan pengemis ini mulai dari
yang sifatnya preventif sampai dengan upaya-upaya yang sifatnya represif melalui
penegakan hukum pidana yaitu dengan penegakan ketentuan Pasal 504, Pasal 505
KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar
No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tersebut.
Menurut Bapak I Gusti Agung Alit Artika, S.E., Kepala Seksi (Kasi)
Penyelidikan dan Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan Perundang-
Undangan, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar,
adanya aturan dan sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis
sebagaimana diatur dalam KUHP maupun Perda Kota Denpasar tersebut diatas
tetap diperlukan dalam rangka menjaga ketertiban umum di masyarakat, apalagi
kian hari keberadaan gelandangan pengemis di Kota Denpasar ini dirasa semakin
mengganggu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Made Bogor
(wawancara dilakukan pada hari Rabu, tanggal 28 Januari 2015) , warga kota
Denpasar yang tinggal di kawasan Jl. Teuku Umar sejak awal tahun 1980 sampai
dengan sekarang, yang pada pokoknya menerangkan bahwa semakin hari wilayah
Jl. Teuku Umar, Denpasar semakin padat dan ramai karenanya makin mudah juga
ditemukan pengemis di wilayah tersebut, keberadaannya sangat mengganggu dan
sulit untuk dihilangkan karenanya menurut beliau sangat setuju apabila aturan
pidana dan sanksi pidana berupa denda atau kurungan bagi gelandangan pengemis
tetap dipertahankan, namun dalam penertibannya haruslah tetap dilakukan secara
manusiawi.
156
Dalam rangka menjaga kepentingan masyarakat Kota Denpasar secara
keseluruhan yang sangat menginginkan terciptanya ketertiban umum, maka aturan
dan sanksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat umum
yang diatur dalam Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37
ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun
2000 tersebut memang tetap diperlukan dan layak untuk dipertahankan mengingat
ketentuan tersebut dapat memberikan efek jera dan memperbaiki sikap mental
gelandangan dan pengemis agar dikemudian hari tidak lagi melakukan kegiatan
tersebut. Aturan pidana tersebut diharapkan dapat bekerja dengan baik dalam
kehidupan masyarakat Kota Denpasar dan tentu saja menjadi modal penting serta
faktor pendukung dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
Pembahasan secara lebih komprehensif mengenai faktor-faktor penghambat
dan pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap gelandangan
pengemis di Kota Denpasar tersebut diatas dapat peneliti uraikan sebagai berikut:
Tabel 11:Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Penegakan HukumPidana Ditinjau Menurut Pendapat Lawrence M. Friedman
NoFaktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukumFaktor
penghambatFaktor
pendukung
1 Struktur hukum
2 Substansi hukum
3 Budaya hukum -
157
Tabel 12:Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Penegakan HukumPidana Ditinjau Menurut Pendapat Soerjono Soekanto
NoFaktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukumFaktor
penghambatFaktor
pendukung
1 Hukum atau peraturan itu sendiri
2 Penegak hukum -
3 Sarana dan fasilitas
4 Masyarakat -
5 Kebudayaan -
Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap gelandangan pengemis di
Kota Denpasar, sebagai berikut:
a. Faktor struktur hukum (legal structure) yaitu berupa:
- Kinerja aparat penegak hukum terkait belum maksimal;
- Pemerintah Kota Denpasar tidak mempunyai panti rehabilitasi/panti sosial
yang representatif bagi penanggulangan gelandangan pengemis; dan
- Adanya kekhawatiran tentang kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang
penuh (over capacity) sehingga pemberian sanksi pidana kurungan kepada
gelandangan pengemis sulit dilakukan/diterapkan;
b. Faktor substansi hukum (legal substance) yaitu berupa:
- Larangan kegiatan pergelandangan oleh gelandangan belum disebutkan
secara tegas dalam Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3
Tahun 2000;
- Aturan pidana dalam ketentuan Pasal 504, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35
ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15
158
Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 belum sampai menyentuh masyarakat
pemberi kepada gelandangan dan pengemis;
- Pemerintah Kota Denpasar belum mempunyai Perda khusus tentang
penanggulangan gelandangan dan pengemis;
c. Faktor budaya hukum (legal culture) yaitu berupa:
- Masih adanya masyarakat yang memberikan sesuatu/uang kepada
gelandangan dan pengemis;
- Kekurang pedulian masyarakat atas permasalahan dan keberadaan
gelandangan pengemis di lingkungan sekitar;
- Nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Hindu di
Bali yang memiliki konsep nilai menyama braya yang sangat kental,
ajaran agama Hindu: beryadnya, Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu
adalah aku) tidak sejalan dengan upaya pemidanaan terhadap pelanggar
ketentuan Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo.
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo.
No. 3 Tahun 2000 tersebut;
- Masih sangat lunak dan kurang tegasnya sikap mental yang ditunjukkan
oleh aparat penegak hukum terhadap gelandangan dan pengemis yang
terbukti melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan di tempat-
tempat umum.
Berikutnya, faktor-faktor pendukung pelaksanaan penegakan hukum pidana
terhadap gelandangan pengemis di Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
159
a. Faktor struktur hukum (legal structure) yaitu berupa:
- Sarana penunjang pelaksanaan operasi/razia atau penertiban yang dimiliki
oleh Satpol PP Kota Denpasar cukup memadai;
- Jumlah petugas Satpol PP Kota Denpasar yang cukup;
b. Faktor substansi hukum (legal substance) yaitu berupa:
- Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat
(1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun
2000 sebagai dasar pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap
gelandangan dan pengemis masih sangat diperlukan dalam kehidupan
masyarakat Kota Denpasar dan layak dipertahankan.
Faktor struktur hukum (legal structure) tersebut diatas disamping menjadi
faktor penghambat juga menjadi faktor pendukung, begitu pula faktor substansi
hukum (legal substance) menjadi faktor penghambat dan faktor pendukung,
sedangkan faktor budaya hukum (legal culture) selama ini masih menjadi faktor
penghambat penegakan hukum pidana. Faktor-faktor ini saling berkaitan satu
dengan yang lain yang mana hal tersebut sangat mempengaruhi belum
maksimalnya pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
160
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian yang terdapat pada Bab-Bab terdahulu, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Penegakan hukum pidana adalah salah satu cara/upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di
Kota Denpasar. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (periode tahun 2010 s/d
2014) penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis ini
belum berjalan/dilaksanakan secara maksimal, hal tersebut terlihat dari tidak
adanya upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat Polresta
Denpasar atas ketentuan Pasal 504 KUHP (tindak pidana pengemisan) dan
Pasal 505 KUHP (tindak pidana pergelandangan). Berikutnya, implementasi
penegakan hukum pidana oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota
Denpasar atas ketentuan Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan
Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang
Kebersihan dan Ketertiban Umum juga belum dilakukan secara maksimal
karena tahapan-tahapan proses penegakan hukum pidana tersebut belum
dilakukan secara tuntas dan menyeluruh yaitu berupa: operasi/razia,
penampungan sementara dan seleksi, serta pelimpahan dan sidang Tipiring
(Tindak Pidana Ringan) yang menyebabkan upaya penanggulangan
160
161
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar belum berjalan efektif dan
maksimal;
2. Faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap gelandangan
pengemis di Kota Denpasar tersebut adalah faktor struktur hukum (legal
structure) yaitu terkait dengan kinerja aparat penegak hukum belum
maksimal, berikutnya faktor substansi hukum (legal substance) yaitu tindak
pidana pergelandangan belum disebutkan secara tegas dalam Perda Kota
Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 dan belum adanya aturan
pidana bagi masyarakat pemberi kepada gelandangan pengemis, dan faktor
budaya hukum (legal culture) yaitu berupa masih kurang pedulinya
masyarakat Kota Denpasar akan permasalahan gelandangan dan pengemis,
masih adanya masyarakat yang memberikan sesuatu/uang kepada gelandangan
pengemis, nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat bertentangan dengan ide
pemidanaan terhadap gelandangan pengemis, dan sikap mental aparat penegak
hukum yang lunak atau kurang tegas. Faktor-faktor pendukung penegakan
hukum pidana terhadap gelandangan pengemis adalah faktor struktur hukum
(legal structure) yang berupa sarana/fasilitas dan jumlah petugas pelaksanaan
operasi/razia atau penertiban yang dimiliki oleh Satpol PP Kota Denpasar
cukup memadai, dan faktor substansi hukum (legal substance) itu sendiri
karena keberadaannya sebagai dasar pelaksanaan penegakan hukum pidana
terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar masih sangat
diperlukan dan layak dipertahankan.
162
5.2 Saran
1. Perlu adanya peningkatan kinerja, koordinasi dan sinergi dari lembaga/aparat
penegak hukum terkait yaitu Satpol PP Kota Denpasar, Polresta Denpasar dan
Pengadilan Negeri Denpasar agar supaya pelaksanaan penegakan hukum
pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dapat dilakukan
secara lebih tegas dan konsekuen, disamping itu tetap pula diupayakan
cara/upaya pencegahan dan koordinasi atau kerja sama yang lebih intensif
antara Pemerintah Kota Denpasar dengan pemerintah daerah asal gelandangan
dan pengemis agar penanggulangan terhadap permasalahan ini dapat
dilakukan dengan efektif dan maksimal;
2. Evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh harus segera dilakukan oleh
Pemerintah Kota Denpasar dan aparat penegak hukum untuk mengatasi
hambatan-hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap gelandangan
pengemis, baik itu yang terkait dengan faktor struktur hukum (legal structure),
faktor substansi hukum (legal substance) maupun faktor budaya hukum (legal
culture) yang mana upaya tersebut diatas dapat berupa perbaikan kinerja,
pembuatan Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda Kota Denpasar) khusus
tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis yang di dalamnya juga
mengatur sanksi pidana bagi masyarakat pemberi maupun gelandangan dan
pengemis, berikutnya berupa upaya pembaharuan hukum pidana terkait jenis
sanksi pidana terhadap gelandangan pengemis yang lebih diarahkan pada
sanksi kerja sosial dan rehabilitasi, serta peningkatan peran serta masyarakat
dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis.
1
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, dan Asikin, Zaenal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PTRaja Grafindo Persada. Jakarta.
Alkotsar, Artidjo. 1984. Advokasi Anak Jalanan. Rajawali. Jakarta.
Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. CitraAditya Bakti. Badung.
............. 2010. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana DalamPenanggulangan Kejahatan. Ed. I. Cet. Ke-3. Kencana. Jakarta.
Ashshofa, Burhan. 2004. Metoda Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.
Dermawan, Mohammad Kemal. 1994. Strategi Pencegahan Kejahatan. PT. CitraAditya Bakti. Bandung.
Dewata, Mukti Fajar Nur, dan Achmad, Yulianto. 2010. Dualisme PenelitianHukum Normatif dan Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali. 2004. Muntigunung Profil SebuahDusun. Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali. Denpasar.
Dimas Dwi Irawan. 2013. Pengemis Undercover Rahasia Seputar KehidupanPengemis. Titik Media Publisher. Jakarta.
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. 2005. StandarPelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan danPengemis. Depsos RI. Jakarta.
Dirdjosiswono, Soedjono. 1970. Konsepsi Kriminologi Dalam UsahaPenanggulangan Kedjahatan (Crime Prevention). Alumni. Bandung.
2
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social Science Perspective,Russel Sage Foundation. New York.
Fuad Usfa A.. 2006. Pengantar Hukum Pidana. UMM Press. Malang.
Goode, Judith and Jeff Maskovsky. 2007. The New Poverty Studies: TheEthnography of Power, Polities and impoverished People in The UnitedStates. New York University Press. New York.
Gowan, Teresa. 2010. Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In SanFrancisco. University Minnesota Press. Minneapolis.
Hatta, Moh.. 2009. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum &Pidana khusus. Cet. I. Liberty. Yogyakarta.
Haughton, J. and S. Khandker. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. TheWorld Bank. Washington, D.C.
Kartini Kartono. 2003. Patologi Sosial II Kenakalan Remaja. Ed. 1. Cet. 5. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kuswarno, Engkus. 2008. Metode Penelitian Komunikasi Contoh-ContohPenelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “ManajemenKomunikasi Pengemis”. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Lyon-Callo, Vincent. 2004. Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance:Activist Ethnography in the Homeless Sheltering Industry. University ofToronto Press. Ontario-Canada.
Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Cet ke-8.Kencana. Jakarta.
Moeljatno. 2012. KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cet. ke-30.Bumi Aksara. Jakarta.
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni.Bandung.
Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana. Ed. 1 Cet. ke-2. Rajawali Pers. Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Ed. 3 Cet.ke-1. Refika Aditama. Bandung.
............. 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT. Eresco. Bandung.
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana UniversitasUdayana. 2013. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis DanPenulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum. UniversitasUdayana. Denpasar.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung.
............. 2006. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Cet. ke-2. Buku Kompas.Jakarta.
Rasjidi, Lili, dan Rasjidi, Ira Thania. 2004. Dasar-Dasar Filsafat Dan TeoriHukum. Cet. ke-IX. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ridwan HR. 2008. Hukum Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada.Jakarta.
Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. PT. Refika Aditama. Bandung.
Salman, Otje, dan Susanto, Anton F. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Ed.Ke-2 Cet. ke-1. Alumni. Bandung.
Serikat Putra Jaya, Nyoman. 2005. Relevansi Hukum Pidana Adat DalamPembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
4
Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta.Bandung.
Siedman, Robert B. 1978. The State, Law and Development. ST. Martin’s Press.New York.
Soekanto, Soerjono. 2012. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Cet. ke-21. RajawaliPress. Jakarta.
............. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cet. ke-12. Rajawali Press. Jakarta.
Sudilarsih, Feni. 2012. Kisah Suksesnya Seorang Pengemis. Penerbit Sabil.Jakarta.
Sunggono, Bambang. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Ed. 1 Cet. ke-8. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Sutherland, Edwin H., Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill. 1992.Principles of Criminology. Eleventh Edition. Rowman & LittlefieldPublishers. Boston. United States of America.
Suparlan, Parsudi. 1978. Gambaran Tentang Suatu Masyarakat GelandanganYang Sudah Menetap. FSUI.
The World Bank. 2004. Voice of the poor: Can anyone hear us?. OxfordUniversity Press. New York.
Todd, Scott. 2010. Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion. CompassionInternational. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Cet. ke-4. SinarGrafika. Jakarta.
5
Warrasih, Esmi. 2005. Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis. PT.Suryandaru Utama. Semarang.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1995. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional(Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia). PTRajaGrafindo Persada. Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang PenyelenggaraanKesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang PenanggulanganGelandangan dan Pengemis.
Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
MAJALAH/JURNAL:
Ahmad, Maghfur. 2010. Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan danPengemis (Gepeng). Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2.Pekalongan.
Lynch, P.. 2004. Begging for Change: Homelessness and the Law. MelbourneUniversity Law Review: Vol 26. Melbourne.
Mujahidin, Ahmad. 2014. Penegakan Hukum Jangan Tersandera PemberitaanMedia. Varia Peradilan: Tahun XXIX No. 344. Jakarta.
6
Subarkah, Ibnu. 2010. Elastisitas Bagi Kemandirian Peradilan. Varia Peradilan:Tahun XXV No. 295. Jakarta.
Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch. 2011. Displaced and Barely Visible:Archaeology and Material Culture of Homelessness. HistoricalArchaeologies of Engagement, Representation, and Identity: Vol. 45. No.1. New York.
TESIS :
Mardian Wibowo. 2008. “Studi Implementasi Kebijakan PenangananGelandangan di Kota Jakarta Timur”. (tesis) Program Studi Magister (S2)Ilmu Administrasi Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.
KORAN/SURAT KABAR :
Anonim; 2013. Tak Mempan Dirazia, Gepeng Muncul di Kuta. Jawa Pos RadarBali. Tgl. 21 Juni.
Anonim; 2013. Kota dan Badung Buru Gepeng Jelang Gelaran Dua EvenInternasional. Jawa Pos Radar Bali. Tgl. 10 Juni.
Farendra, Dewa Dedi, dan Sandijaya, Maulana; 2013. Menyapa Miss World,Menghalau Gepeng, Denpasar Ingin Aman dan Nyaman. Jawa Pos RadarBali. Tgl. 16 Juni.
INTERNET :
Anonim. 2012. Siaga Gepeng Sebar Himbauan. Bali Tribune.http://koranbalitribune.com/2012/04/15/siaga-gepeng-sebar-imbauan/.Diakses tanggal 03 September 2013.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, 2010. FenomenaMunculnya Gelandangan dan Pengemis.http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php/article=1066. Diakses tanggal 04Desember 2013.
Iqbali, Saptono. 2008. Studi Kasus Gelandangan – Pengemis (Gepeng) DiKecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Jurnal.
7
http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/download/2972. Diaksestanggal 10 Oktober 2013.
Pemerintah Kota Denpasar. 2014. Selayang Pandang Kota Denpasar.http://www.denpasarkota.go.id/index.php/selayang pandang/5/Denpasar-Sekilas. Diakses tanggal 06 Januari 2015.
________. 2014. Profil Kotamadya Denpasar.http://www.denpasarkota.go.id/index.php/profil/3/Denpasar-Sekilas.Diakses tanggal 06 Januari 2015.
KAMUS :
Garner, Bryan A. (ed). 2009. Black’s Law Dictionary. Ninth Edition. West, aThomson Reuters Business. Texas.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar BahasaIndonesia. Edisi ke-3. Balai Pustaka. Jakarta.
8
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Bagus Nyoman Wiranata, S.H., M.Si.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pangkat : Penata Tingkat I (III D)
Jabatan : Kepala Bidang (KABID) Rehabilitasi Sosial
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar
Pendidikan : S2
2. Nama : Made Sudana, S.E.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pangkat : Penata Tingkat I (III D)
Jabatan : Kepala Seksi (KASI) Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Denpasar
Pendidikan : S1
3. Nama : I Gusti Agung Alit Artika, S.E.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pangkat : Penata Tingkat I (III D)
9
Jabatan : Kepala Seksi (Kasi) Penyelidikan dan
Penyidikan pada Bidang Penegakan Peraturan
Perundang-Undangan, Kantor Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar
Pendidikan : S1
4. Nama : Desak Ketut Putri Yasni, S.H.
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Pangkat : Penata Tingkat I (III D)
Jabatan : Kepala Seksi Operasional Pengendalian (Kasi
Opsdal) pada Bidang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat, Kantor Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar
Pendidikan : S1
5. Nama : Nengah Sadiarta, S.H.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pangkat : AKP
Jabatan : Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat
Reskrim) Polresta Denpasar
Pendidikan : S1
6. Nama : Hasoloan Sianturi, S.H., M.H.
10
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pangkat : IVA
Jabatan : Hakim dan Humas Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan : S2
7. Nama : Drs. I Wayan Candra
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : S1
Alamat : Jalan Raya Sesetan No. 231, Dsn. Puri Agung,
Kel. Sesetan, Kec. Denpasar Selatan,
Kotamadya Denpasar
8. Nama : I Made Bogor
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : S1
Alamat : Jalan Pulau Ceningan No. 27, Kel. Dauh Puri
Kelod, Kec. Denpasar Barat, Kotamadya
Denpasar
11
DAFTAR RESPONDEN
1. Nama : I Wayan Gampil
Umur : ± 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Asal Daerah : Munti Gunung, Karangasem
2. Nama : Jero Sedeng
Umur : ± 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Asal Daerah : Munti Gunung, Karangasem
3. Nama : Ni Nyoman Balik
Umur : ± 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Asal Daerah : Munti Gunung, Karangasem
4. Nama : Abdurrahman
Umur : ± 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Asal Daerah : Banyuwangi
12
5. Nama : Nyoman Sadek
Umur : ± 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Asal Daerah : Munti Gunung, Karangasem
6. Nama : Bu Umrah
Umur : ± 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Asal Daerah : Bondowoso
7. Nama : Wayan Bunga
Umur : ± 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Asal Daerah : Pedahan, Karangasem
8. Nama : Sundari
Umur : ± 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Kawin
Asal Daerah : Banyuwangi
13
LAMPIRAN
14
Foto 1 : Gambaran tentang cara kerja pengemis asal Bali
Foto 2 : Gambaran tentang cara kerja pengemis asal Jawa Timur atau luar Bali
15
Foto 3 : Pengemis yang terjaring razia beserta hasil dari kegiatan mengemis
Foto 4 : Salah satu pengemis yang terjaring razia di Kota Denpasar
16
Foto 5 : Gambaran kegiatan mengemis di tempat umum di wilayah Kota Denpasar
Foto 6: Pemasangan baliho sebagai salah satu upaya preventif yang dilakukan
Pemerintah Kota Denpasar