Post on 26-Oct-2021
PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA
DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara
Disertasi
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam
Oleh:
MUHAMMAD ABRAR PARINDURI
NIM. 13.3.00.1.03.01.0009
Pembimbing
Prof. Dr. Abuddin Nata, MA
Prof. Dr. Suwito, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
PENGKAJIAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya disertasi dengan judul Pendidikan di Sekolah Berbasis Agama dalam Perspektif Multikultural: Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Kristen di Sumatera Utara dapat diselesaikan. Shalawat dan salam disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari kebodohan
kepada kecerdasan untuk dapat hidup dalam peradaban dan kemajuan.
Dalam penyelesaian disertasi ini, terdapat berbagai kesulitan antara lain
pembagian waktu dalam hal perkuliahan, pekerjaan dan juga keluarga. Kesulitan
lainnya berkaitan dengan lokasi penelitian yang jaraknya terlalu jauh dengan pusat
perkotaan serta kesulitan dalam mendapatkan akses informasi tentang buku-buku
yang relevan dan otoritatif. Namun semuanya dapat diatasi dengan baik berkat
bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas bantuan
tersebut diucapkan terima kasih kepada saudara Acep Nugraha, Iredho Fani Reza
dan juga kakanda Dr. Amirsyah Tambunan, MA, Hazuarli Haz, MA serta Tomy
Hidayat.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk
Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan STAIS
Abdul Halim Kota Binjai sebagai tempat penulis bekerja selama perkuliahan
maupun penyelesaian disertasi. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga
disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr.
Suwito, MA, selaku pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan
dan arahan dalam penulisan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA
selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih
yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Didin Saepudin,
MA selaku ketua Prodi Doktor yang selalu meluangkan waktu untuk verifikasi
perkembangan disertasi. Terimakasih yang setinggi-tingginya juga penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Malik Fadjar, MA,
Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Prof. Dr. Husni
Rahim, MA, Prof. Dr. Syukron Kamil, MA, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dr.
Yusuf Rahman, MA, Dr. Fuad Jabali, MA., serta seluruh dosen Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyajikan berbagai mata
kuliah selama penulis menempuh studi dan juga telah memberikan masukan dan
kritikan-kritikan selama penulis menempuh berbagai ujian dalam penyelesaian
disertasi ini, mulai dari ujian proposal, WIP I dan WIP II, ujian Komprehensif
Lisan, Ujian Pendahuluan dan Promosi Doktor.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian penulisan
disertasi ini seperti petugas perpustakaan Pascasarjana dan Pusat Perpustakaan UIN
Jakarta, staff sekretariat SPs UIN Jakarta; Mas Arif, Mas Adam, Mba Vemy, Mba
Ema dll yang selalu memberikan pelayanan dengan cepat untuk mahasiswa SPs
UIN Jakarta, serta teman-teman yang banyak memberikan bantuan moral dan
ii
material dalam diskusi bersama yang sering dilakukan, seperti Dr. Sofyan Abbas,
MA, Dr. Lia Kian, MA, Saparuddin, MA, Abdul Hakim Wahid, Firman Mansir,
MA, Amin Sutikno, MAP, M. Ridho Syabibi, MA (mereka adalah alumni dan para
kandidat Doktor SPs UIN Jakarta).
Ucapan terimakasih yang teristimewa disampaikan kepada kedua orangtua,
Ayahanda Karasim Parinduri dan Ibunda Nur'aini Siregar atas segala kesabaran, doa
yang tiada henti dan motivasi mereka dalam penyelesaian disertasi ini, begitu juga
dengan Ayahanda Dahlan Rais, M.Hum yang telah memberikan bantuan moril dan
materil, semoga Allah melimpahkan berkahnya kepada mereka dan memanjangkan
usianya. Begitu juga untuk kakak, Yusrina, Dinal Aflah, Delyana Rahmawany, dll.
Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunianya kepada semua keluarga
tercinta.
Dan penghargaan yang terbesar disampaikan kepada isteri penulis Delyani
Fatmawina Pulungan S.Pd dan putra penulis; Muhammad Al-Rafaeyza. Kesabaran
dan pengertian mereka membuat penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan
lancar. Kepada mereka itulah, disertasi ini dipersembahkan.
Jakarta, 08 November 2017
Penulis
Muhammad Abrar Parinduri
iii
PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA
DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara
ABSTRAK
.
Penelitian ini membuktikan bahwa pendidikan yang menanamkan ragam
perbedaan agama, budaya, dan ras dapat menumbuhkan sikap dan perilaku
multikultural. Implementasi penanaman sikap dan perilaku multikultural pada
sekolah berbasis agama dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, melalui
kebijakan sekolah ditandai dengan adanya kesediaan untuk menerima siswa dengan
latar belakang agama yang berbeda; Kedua, internalisasi nilai-nilai multikultural
melalui pengembangan kurikulum dan proses belajar mengajar; Ketiga, proses
interaksi sosial yang terjadi di masing-masing sekolah telah memberikan pelayanan
yang sama terhadap semua peserta didik (equality), mengembangkan prasangka
yang baik di kalangan siswa dan memberikan penghargaan yang sama terhadap
nilai-nilai budaya berbeda yang dikembangkan.
Hasil penelitian ini mendukung argumen James A Banks (2008), yang
menyatakan bahwa untuk memberikan kesempatan yang sama dalam mencapai
prestasi akademis di sekolah baik siswa pria maupun wanita, siswa berkebutuhan
khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur
yang beragam diperlukan sebuah konsep pendidikan multikultural yang mengakui
dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya
hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara. Ia mendefinisikan pendidikan
multikultural adalah ide, gerakan, dan pembaharuan pendidikan.
Pada saat bersamaan penelitian ini memiliki perbedaan dengan Lihua Geng
(2013) dan Lillian R Robinson (2010) yang menempatkan guru dan kepala sekolah
sebagai faktor utama dalam menciptakan pelaksanaan pendidikan multikultural
yang baik di sekolah. Menurut peneliti guru dan kepala sekolah hanya salah satu
faktor dan bukan faktor utama karena terdapat faktor lain yang memungkinkan
dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.
Selain itu penelitian ini juga berbeda dengan Larry L Zimmerman (2007)
mengatakan bahwa identitas kebudayaan nasional seseorang akan semakin kuat jika
dihadapkan dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan
SMA Methodist Kuala sejak Juli 2015 sampai dengan Oktober 2017. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan studi lapangan dan studi
kepustakaan. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh pemahaman
mendalam tentang indikator dari beberapa jawaban, khususnya yang berkaitan
dengan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama, fokusnya adalah situasi
atau siswa tertentu, dan penekanannya pada makna yang ditafsirkan berdasarkan
ungkapan-ungkapan dari pemberi informasi. Adapun sumber data utama (primer)
iv
dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) melalui wawancara kepada Ketua Yayasan, Komite Sekolah, Kepala
Sekolah, Guru bidang studi agama dan umum, dokumen-dokumen yang mendukung
data penelitian serta beberapa siswa di masing-masing sekolah berbasis agama.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang relevan dengan
pendidikan multikultural yang tersebar di banyak literatur, buku-buku yang
berkaitan dengan pembahasan, artikel-artikel otoritatif yang ditulis oleh ahlinya,
untuk memperkuat analisis empiris dalam menjawab permasalahanan penelitian.
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin.
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د dh = ذ r = ر
z = ز s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t} = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م n = ن
h = ه
w = و y = ي
Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
Keterangan
<a اa dengan garis di
atas
<i يi dengan garis di
atas
<u وu dengan garis di
atas
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 15
C. Perumusan Masalah .................................................................... 16
D. Pembatasan Masalah ................................................................... 16
E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 16
F. Signifikansi .................................................................................. 16
G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ........................................... 17
H. Metode Penelitian ....................................................................... 24
I. Sistematika Penulisan .............................................................. 26
BAB II DISKURSUS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ...................... 27
A. Sejarah Multikulturalisme .......................................................... 27
B. Multikulturalisme dalam Pandangan Islam dan Kristen ........... 31
C. Praktik Multikulturalisme Periode Islam Klasik ........................ 53
D. Pendidikan Multikultural dalam Sistem Pendidikan Nasional .. 67
BAB III SEKOLAH BERBASIS AGAMA ................................................. 87
A. Pengertian Sekolah Berbasis Agama ..............................................
B. Kultur Pendidikan di Sumatera Utara ........................................ 87
C. Dinamika Pendidikan dalam Perspektif Multikultural .............. 89
1. SMP Muhammadiyah-37 Air Joman .................................... 89
2. SMA Methodist Kuala .......................................................... 97
BAB IV INTERNALISASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL PADA
SEKOLAH BERBASIS AGAMA ....................................................
A. Kebijakan Sekolah .........................................................................
B. Proses Pembelajaran .......................................................................
C. Aktivitas Keagamaan ......................................................................
D. Kegiatan Intra dan Ekstrakurikuler ................................................
BAB V IMPLEMENTASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DI SEKOLAH
BERBASIS AGAMA ................................................................. 163
A. Memperkuat Human Relation dalam Iklim Sekolah ................ 163
B. Equity Pedagogy pada Intra dan Ekstrakurikuler ..................... 184
C. Aktifitas Sosial Kemasyarakatan: Living Together ................. 202
vii
BAB VI PENUTUP DAN KESIMPULAN .............................................. 209
A. Kesimpulan ............................................................................... 209
B. Saran .......................................................................................... 210
DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
INDEKS
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era reformasi, Indonesia mengalami kebudayaan yang cenderung
mengarah pada disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, krisis moneter,
ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah
mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan
negara. Akibat dari ini semua, rajutan kebudayaan masyarakat telah tercabik-cabik.1
Negara Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Dikatakan demikian
karena di dalam kehidupan masyarakatnya diwarnai oleh berbagai jenis kelompok
etnis atau suku bangsa, bahasa, adat istiadat, budaya, agama atau sistem religi.
Kenyataan yang demikian tentu telah dibuktikan lewat adanya suku-suku yang
menetap dan hidup di wilayah Indonesia. Dalam penelitian etnologi dikatakan bahwa
jumlah suku bangsa yang hidup di Indonesia lebih kurang 600 dengan identitas
budayanya sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
Disamping itu, multikulturalisme
Indonesia juga dapat dibuktikan dengan adanya kepercayaan yang beraneka ragam
seperti antara lain Islam, Kristen, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta
berbagai macam aliran kepercayaan.
Bangsa Indonesia yang berada di dalam ras mongoloid, pada rumpun
malayan mongoloid terdiri dari berbagai etnis yang menyebar pada ribuan pulau.
Etnis di wilayah Indonesia sebagaimana dinyatakan Koentjaraningrat, biasanya
masih berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang mula-mula disusun
oleh Van Vollenhoven meliputi; Aceh, Gayo-Alas dan Batak, Nias dan Batu,
Minangkabau, Mentawai, Sumatera Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Biliton,
Kalimantan, Minahasa, Sangir-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Surakarta dan Jawa Timur.
Pada masing-masing lingkungan hukum adat itulah terdapat berbagai etnis
yang keseluruhannya + 190 suku bangsa pada 30 propinsi, tidak termasuk Timor
Timur. Dari 190 suku bangsa ini masih bervariasi dalam ribuan sub suku bangsa.
Sekalipun pada sejumlah besar wilayah pedalaman dan kepulauan terpencil masih
dihuni oleh suku bangsa yang homogen, akan tetapi pada sebahagian wilayah
perkotaan, khususnya di tingkat propinsi, kota, kabupaten, bahkan kecamatan telah
dimukimi oleh suku-suku bangsa yang heterogen, secara berdampingan tanpa batas-
batas khusus untuk masing-masing etnis, agama dan pelapisan sosial. Di Jakarta
1 Lihat dalam Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme Indonesia, http://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-budaya-
membangun-multikulturalisme-indonesia (acessed March 15, 2017). Lihat juga
Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integritasi Nasional (Jakarta, UI Press,
1993) dan Henk Schulte Nordholt dan Hanneman Samuel (eds), Indonesia in Transition: Rethinking Region Civil Society and Crisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 74.
2
sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia hingga pelbagai wilayah di tanah air,
heterogenitas etnis, agama, dan pelapisan sosial, demikian banyak dan berbaur dalam
beragam pemukiman, lapangan pekerjaan, keorganisasian sosial hingga lembaga
pendidikan.
Secara historis bangsa-bangsa di dunia ditopang oleh integritas-internal
setiap etnis, agama, pelapisan sosial dan lintas berbagai etnis serta pelapisan
masyarakat yang hidup dalam wilayah tertentu di daratan bumi dimana mereka
menyepakati tegaknya negara berdaulat. Setiap etnis mempunyai kebutuhan hidup
yang akan mereka jawab dengan perkembangan kebudayaan yang mencakup; agama,
ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,
serta kesenian.2
Untuk keteraturan hidup (regularity of life) setiap komponen ini ada ukuran
(norm), nilai (value), dan sanksi hukum (role of law) dalam masyarakat masing-
masing etnis dan agama sebagai acuan hidup dalam menginterpretasi pengalaman,
lingkungan serta pedoman dalam melakukan akitivitas sosial hingga bertindak
menciptakan sesuatu sesuai kebutuhan hidup sebagai warga etnis dan agama. Dengan
acuan itulah, keutuhan kesatuan mereka tercipta dan sebaliknya bisa melahirkan
konflik jika ada pelanggaran.
Secara teoritis dapat diproposisikan, apabila dalam satu wilayah terdapat
kehidupan lintas etnis dan agama dimana masing-masing mempunyai norma, nilai,
dan hukum dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaannya yang berbeda di
antara satu sama lainnya, maka keutuhan dan persatuan dapat terjelma dalam
wilayah tersebut manakala mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau
memodifikasi norma, nilai dan hukum tersebut yang nyata-nyata mengundang
pertentangan etnis, agama serta pelapisan masyarakat, kemudian menampilkan sisi-
sisi yang dapat sesuai untuk semua dan mencoba membangun beberapa norma, nilai,
hukum baru, sebagai pengganti hal-hal yang bertentangan tersebut dan semua mereka
mengorganisasi diri di dalamnya.
Sebaliknya jika itu tidak terjadi, tetapi masing-masing etnis, agama dan
pelapisan masyarakat memaksakan perbedaan itu kepada satu sama lainnya di
wilayah interaksi antar variasi tersebut, inilah yang menjadi sumber keretakan,
konflik dan berujung pada kerusuhan sosial. Kymlicka dalam Anne Philips
menyatakan bahwa permasalahan serius yang dihadapi oleh sebuah negara adalah
ketika rasa keadilan tidak tumbuh secara merata dalam semua identitas budaya
masyarakat. Negara yang tidak perduli terhadap hak-hak etnis minoritas akan sangat
membahayakan keberlangsungan hak sipil dan politik masyarakat tersebut. Dalam
kondisi ini negara perlu mengakomodir peraturan adat yang terdapat dalam
masyarakat dan juga mengakomodir lembaga-lembaga yang tumbuh dalam
2 Rusmin Tumanggor, dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi
Kalangan Masyarakat di Tanah Air (Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Jakarta, 2004), 3-5.
3
masyarakat untuk melihat apakah ada peraturan negara yang merugikan hak-hak
minoritas.3
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki keragaman agama, budaya dan bahasa
maka peluang untuk menimbulkan permasalahan di tengah-tengah masyarakat pasti
akan terjadi pula seperti yang kita hadapi belakangan ini. Korupsi, kolusi, nepotisme,
premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan
lingkungan, pelecehan seksual, pemaksaan keyakinan dan hilangnya rasa
kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain.
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan
teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah
sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang
multikompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan
adjusment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang
terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin
sendiri; sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari
norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi kepentingan sendiri, dan
mengganggu atau merugikan orang lain.4
Bangsa Indonesia tidak mungkin mengabaikan begitu saja usaha Soeharto
dalam pemerintahannya selama tiga puluh dua tahun yang mencoba menyingkirkan
sejauh mungkin segala sesuatu yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan). Hal ini didahului oleh penolakan Soekarno terhadap semua sentimen
kedaerahan yang dianggap sebagai atavisme kesukuan. Kebijakan ini tidak
memungkinkan adanya pengkajian mengenai potensi daerah dan identitas kesukuan,
meskipun terbukti bahwa pengertian tentang etnisitas-dahulu dan sekarang-sangat
melekat di batin sebagian besar orang Indonesia. Tuntutan untuk memperoleh
otonomi daerah yang lebih luas, demikian juga merebaknya konflik antar etnis
sesudah 1998, menunjukkan bahwa identitas etnis masih sangat hidup sesudah
ditindas lebih dari tiga dasawarsa. Karena- setelah dikungkung demikian lama, topik
mengenai kesukuan muncul lagi pada tahun-tahun belakangan.5
Sepintas lalu dapat diasumsikan bahwa identitas kedaerahan pasti berakar
dalam periode silam, pada zaman penjajahan atau bahkan masa sebelumnya.
Memang, solidaritas sesama suku sering ditampilkan sebagai wujud primordialisme,
3 Anne Philips, Multiculturalism without Culture (New Jersey: Princeton
University Press, 2007), 11. 4 Masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat begitu banyak. Masalah
ini mucul ke permukaan bukan hanya karena faktor manusia itu sendiri melainkan faktor-
faktor yang lain seperti lingkungan, adat istiadat dan perilaku yang tidak baik yang
dicontohkan para pejabat negara. Keterangan lebih lengkap tentang masalah-masalah sosial
lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), v. 5 Untuk keterangan lebih lajut tentang bagaimana sejarah suku dan daerah-daerah
di Indonesia dalam melakukan pergolakan untuk meneguhkan eksistensinya dinegeri ini
lihat Sita Van Bemmelen & Remco Raben, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), 12.
4
yaitu sentimen yang tidak pernah mengalami perubahan dan didasarkan pada budaya,
ras, serta konstalasi komunitas yang dibentuk oleh sejarah. Pada kenyataannya,
sementara negara-bangsa Indonesia masih dalam proses pembentukan, sedemikian
pula terjadi pada daerah-daerah dan identitas suku. Batasan daerah maupun identitas
masih bersifat lunak; terbuktilah belum kokoh. Perlu diketahui perbedaan antarsuku
pada waktu itu tidak selalu tajam sebagaimana tampak di permukaan, sehingga masih
ada ruang untuk menegosiasikan batasannya. Tetapi hampir selalu pembentukan
identitas beriringan dengan pembekuan kesadaran komunal dan berkolerasi dengan
perkembangan historis tertentu. Sebagai contoh sebagian kaum elite Toraja di
kawasan selatan Toraja di bagian utara Toraja, dengan siapa hubungan mereka
diwarnai persaingan untuk memperebutkan status dan kekuasaan di daerah
pedalaman. Suatu identitas antarsesama Toraja sudah dimulai terbentuk sejak tahun
1920-an, ketika identitas ini mengadopsi karakter Kristen secara utuh. Identitas
Kalimantan Tengah tidak pernah ada sebelum, katakanlah, tahun 1920-an, tetapi
Christian Simbar mampu memanfaatkan antagonisme sebelum perang antara Dayak
Kristen dan orang Melayu Islam untuk memperjuangkan adanya satu provinsi
tersendiri.6
Organisasi Islam seperti Muhammadiyah juga sempat mengalami ketegangan
yang signifikan terhadap masyarakat yang masih menjalankan tradisi leluhurnya
seperti sesaji, shalawat kuntadewa dan yang lainnya yang dianggap oleh
Muhammadiyah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Persinggungan ini
berlangsung cukup lama, namun pada akhirnya Muhammadiyah menerapkan konsep
dakwah kultural agar dapat mengurangi ketegangan yang terjadi dan melakukan
pendekatan yang lebih lunak.7
Pengalaman yang paling nyata sekaligus paling menyakitkan bagi bangsa ini
adalah terjadinya kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998 dan perang
Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Rangkaian konflik itu tidak
hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah
menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis
antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000
telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.8
Munculnya permasalahan tersebut di atas tidak terlepas dari akar-akar
konflik dalam masyarakat itu sendiri antara lain: Pertama, perebutan sumber daya,
alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi (access to economic resources and means
6 Sita Van Bemmelen & Remco Raben, Antara Daerah dan Negara, 13.
7 Tim PP Muhammadiyah, Pedoman Umum Dakwah Kultural Muhammadiyah,
2002, 21. Untuk melihat lebih lanjut bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan tradisi
lokal di tengah-tengah kehidupan masyarakat di Lamongan lihat Asykuri Ibn Chamin,
Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa: Muhammadiyah dan Seni Lokal (Surakarta: PSB-PS-UMS, 2003), 77-98.
8 M.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007),4.
5
of production), Kedua, perluasan batas-batas sosial budaya, dan Ketiga, benturan
kepentingan politik, ideologi dan agama.9
Kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-
an di berbagai kawasan Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan
yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok,
dan betapa rendahnya saling pengertian antarkelompok menyangkut nilai-nilai
multikulturalisme masyarakat. Dalam hal ini diperlukan penegakkan masyarakat
madani yang demokratis berdasarkan Pancasila.
Dalam kajian |agama dan masyarakat Azyumardi Azra mengatakan bahwa
‚adanya keragaman agama dari satu masyarakat atau komunitas dengan satu
masyarakat atau komunitas lainnya dapat di eksplorasi dengan menjelaskan sifat
situasi keagamaan dalam masyarakat yang telah mengalami diferensiasi cukup besar.
Keragaman pemahaman keimanan dan ritual atau ibadah diantara berbagai kelompok
dalam masyarakat-bahkan diantara mereka yang memeluk agama yang sama-
merupakan isyarat tentang perlunya penggunaan analisis fungsional dalam melihat
kaitan antara agama dengan masyarakat‛.
Setiap individu pada hakikatnya ingin dihargai sekaligus ikut bertanggung
jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap
kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala
ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Keragaman adalah tantangan kehidupan manusia yang sejak berabad-abad
melahirkan berbagai uji coba dalam rangka mengelola berbagai perbedaan yang ada.
Ada banyak cara pandang terhadap keragaman yang berkembang dalam masyarakat
yang tentu saja mempengaruhi berbagai upaya mengelola perbedaan. Ketika
keragaman dianggap tidak ada, maka paham otoritarianisme dan absolutisme menjadi
dasar pemikiran yang paling mendominasi dalam mengelola masyarakat.
Otoritarianisme dan absolutisme dalam masalah keagamaan berangkat dari paham
keagamaan yang ekslusif. Gagasan kontrak sosial, gagasan hak-hak kelompok
minoritas yang harus dipahami dan dijamin pemenuhannya oleh semua lapisan
masyarakat atau gagasan tentang jaminan keterwakilan dalam mengelola kehidupan
bersama, lahir ketika kemajemukan ini didasari dan diindahkan masyarakat.10
Umat manusia dalam berbagai latar belakang budaya di berbagai belahan
dunia di mana agama-agama tumbuh dan berkembang, mempunyai proses yang selalu
sama dalam menyadari, merumuskan suatu cara pandang dan menyikapi perbedaan
agama. Konteks politik ekonomi dan keunikan penghayatan pada kehidupan yang
mewarnai kebudayaan yang menjadi media agama-agama ini tumbuh.
9 Sebagaimana yang diungkapkan Syafri Sairin dalam Balitbang Agama Jakarta,
Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme ( Jakarta: Balitbang Agama,
2009), 201. 10
Listia, Laode Arham dan Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di Sekolah (Yogyakarta: DIAN-Interfidei, 2007), 18.
6
Suatu paham tentang keragaman masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi
populer seiring perkembangan gagasan demokrasi dalam konteks budayanya, adalah
paham pluralisme dan multikulturalisme, suatu paham yang berkeyakinan bahwa
keragaman atau kemajemukan adalah situasi yang alami dalam kehidupan dan bahwa
kemajemukan itu sendiri bermanfaat bagi kehidupan, bukan sesuatu yang
mengancam.11
Dalam memberikan pandangan tentang kemajemukan setidaknya ada dua
cara yang dapat digunakan yakni pandangan saintifisme dan humanisme baru.
Pertama, saintifisme memandang fenomena agama-agama semata-mata sebagai
fenomena sosial-budaya yang mekanismenya dapat dipelajari dan sebagai sesuatu
yang dapat dipegang hukum-hukumnya sebagaimana pada ilmu alam. Paham ini
hanya menekankan aspek yang dapat diobservasi dan sama sekali tidak menyinggung
dimensi pengalaman batin, spritualitas, moral, apalagi pembicaraan tentang Tuhan
atau yang Adi Kodrati. Pandangan ini berlatar belakang pada positivisme yang tidak
mengakui metafisika, keberadaan sesuatu dibalik yang tampak, sesuatu yang
merupakan akar dari agama-agama.12
Perbedaan agama dipandang dalam kacamata
evolusi, ada agama atau sistem kepercayaan yang dianggap masih sederhana dan
primitif dan ada yang sudah dianggap di ujung proses, biasanya diletakkan
monoteisme.13
Dalam pembicaraan yang sekuler dan positivistik, tidak ada ruang bagi
sakralitas dan kesucian yang mutlak sebagaimana dipikirkan oleh para penganut
agama. Karena pandangan terhadap agama yang hanya berada dalam tatarannya
relasi sosial maka serta merta segala hal yang dikaitkan dengan agama-agama
menurut paham ini bersifat relatif. Relativitas agama dalam paham sekuler ini adalah
karena tidak adanya pengakuan pada Yang Ilahi, sebagaimana positivisme menolak
segala hal yang bersifat metafisik. Paham kemajemukan dengan menyertakan
relatifisme seperti ini yang sering disoroti oleh kelompok-kelompok yang menolak
pluralisme.
Cara pandang terhadap kemajemukan agama yang berdasar pada paradigma
positivisme menjadi tidak tepat digunakan untuk mengkaji fenomena orang
beragama, karena arogansi intelektual ini telah menutup diri dari berbagai
kemungkinan pengalaman hidup manusia yang penting sebagai bagian dari cara
berada manusia.
Kedua, pandangan humanisme baru yang secara khusus mengangkat
pemikiran Levi-Strauss yang membahas perbedaan masyarakat-dalam budaya. Pada
11
H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural (Magelang: Indonesia tera, 2003), 161-289.
12 F. Budi Hardiman, Kritik Idiologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 24. 13
Dalam teori evolusi ini secara umum terdapat pandangan tentang perkembangan
agama yang dimulai dari animism, dinamisme, politeisme dan monoteisme. Lihat
Koentjoroningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas, 1996), 207-208.
7
studi tentang perbedaan kebudayaan, Levi-Strauss menemukan bahwa seringkali para
akademisi terjebak dalam antroposentrisme ‚gaya barat lama‛ yang menjadikan
peneliti serta pengamat sebagai pusat yang mematok ukuran-ukuran baik-buruk,
maju-terbelakang pada suatu masyarakat yang diamati.14
Cara pandang yang ditolak
oleh Levi-Strauss ini antara lain ditujukan oleh para ilmuwan yang menggunakan
paradigma positivistis di atas, yang berakibat munculnya rasa superior kelompok
pendukung suatu kebudayaan yang dianggap telah maju. Antropolog pada masa lalu
mempraktekkan cara pandang ini dan secara tidak langsung membenarkan
‘kolonialisasi’ yang dilakukan kelompok agama-agama dominan demi untuk
‘mengeluarkan masyarakat primitif dari kegelapan budaya menuju pencerahan
dengan memeluk agama yang dianggap maju’. Etnosentrime tampak dalam ekspresi
yang bersumber pada anggapan tentang diri superior, yang banyak berkembang
dikalangan penganut agama-agama besar.
Levi-Strauss menawarkan cara pandang yang melihat (masyarakat, budaya,
agama yang berbeda) sebagai bagian dari kesatuan umat manusia, dengan
berdasarkan asumsi bahwa setiap manusia dan masyarakat (kebudayaan) mempunyai
simbol-simbol intelektual serupa dalam setiap kebudayaan yang beragam. Adanya
kesatuan kognisi dalam setiap budaya ini yang memungkinkan ada proses
penterjemahan satu bahasa ke bahasa atau penterjemahan simbol-simbol satu
kebudayaan pada kebudayaan yang lain.
Hal yang hendak disampaikan Levi-Strauss adalah bahwa rasa superior
dalam hal budaya maupun agama sangat saran kepentingan untuk menguasai yang
lain. Humanisme baru ini menolak pandangan intelektual humanis lama yang
menganggap mereka yang berbeda (the others) berdasarkan ukuran-ukuran si
pengamat. Untuk mendukung asumsi ini, Levi-Strauss membuat konsepsi bahwa
14
Menurut Agus Cremers (1997) dalam ulasannya tentang pemikiran Levi-Strauss
menjelaskan bahwa antropologi merupakan buah masa kolonialisme agresif dan
neokolonialisme zaman modern, sarat dengan bias etnosentrisme barat dan ini sangat
ditentang oleh Levi-Strauss. Sikap kritis Levi-Strauss secara keseluruhan dapat dicermati
dari mode berfikirnya yang menghasilkan suatu ‚humanism integral baru‛ mengatasi
humanism klasik barat yang antroposentris yang menghasilkan kebudayaan yang menindas
lingkungan hidup dan kelompok masyarakat yang dianggap primitive oleh mereka.
Cremers menjelaskan pemikiran Levi-Strauss tentang perbedaan dan jarak antara
‘kami’ dan ‘mereka’ dalam studi kebudayaan. Studi kebudayaan dapat berhasil apabila dua
hal ini serentak diwujudkan, yaitu ‘aspek identifikasi dengan’ dan ‘unsur distansi terhadap’
yang lain. Seorang peneliti harus bisa terlibat, berempati dengan masyarakat yang diteliti,
sehingga mampu memahami, merasakan dan merengkuh berbagai dimensi kehidupan
masyarakat yang bersangkutan, sehingga mampu menampilkan potret kehidupan sebanyak
dan sedetil mungkin. Tetapi pada saat yang bersamaan ia harus menjadi orang asing yang
mengambil jarak agar ia bisa bersikap ‘objektif’ yang dianggap sebagai prasyarat dalam
komunikasi ilmu pengetahuan. Kesulitan ini bisa teratasi bila ada asumsi tentang adanya
pandangan dasar kemanusiaan yang sama dalam ketaksadaran budaya kolektif. Lihat Agus
Cremers, Antara Alam dan Mitos Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Levi-
Strauss (Ende Flores: Nusa Indah, 1997), 27-30.
8
perbedaan dilihat sebagai penampakan luar, tetapi di luar hal yang tampak berbeda
ini, umat manusia disatukan oleh kesatuan kesadaran budaya dalam diri umat
manusia.15
Seiring abad kedua puluh bergerak ke penghujung, timbul suatu kesadaran
bersama hampir di semua tempat mengenai garis-garis di antara kebudayaan-
kebudayaan, pembagian-pembagian dan perbedaan-perbedaan yang tidak hanya
memungkinkan kita membedakan satu kebudayaan dari kebudayaan lainnya, tetapi
juga memungkinkan kita melihat sejauh mana kebudayaan-kebudayaan itu diciptakan
secara manusiawi menjadi struktur otoritas dan peran serta, yang baik di dalam apa
yang mereka cakup, manfaatkan, dan absahkan, dan yang kurang baik di dalam apa
yang mereka ingkari dan turunkan.16
Dalam semua kebudayaan yang didefenisikan secara nasional ada suatu
aspirasi untuk berdaulat, untuk berkuasa, untuk mendominasi. Dalam hal ini,
kebudayaan Perancis dan Inggris, India dan Jepang, semuanya sama. Pada saat yang
sama, kita belum menyadari sepenuhnya keanehan dari budaya yang diadopsi
tersebut. Kebudayaan bukan bersifat uniter, monolitik atau otonom, tetapi
kebudayaan sesungguhnya mengandung unsur-unsur ‘asing’, alteritas, dan perbedaan-
perbedaan yang lebih banyak.
Istilah yang tepat digunakan untuk dominasi kekuatan negara adalah
‚imperialisme’ yang berarti praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan
yang menguasai suatu wilayah yang jauh: ‘kolonialisme’, yang hampir selalu
merupakan konsekuensi imperialisme, adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman
di wilayah-wilayah yang jauh. Sebagaimana dikemukakan oleh Michael Doyle:
‘Imperium adalah suatu hubungan, formal atau informal, dimana satu negara
menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu
bisa dicapai dengan paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan
ekonomi, sosial, atau budaya. Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk
menegakkan atau mempertahankan imperium. Di masa kita, kolonialisme langsung
kebanyakan telah berakhir; imperialisme sebagaimana yang akan kita lihat, tetap
hidup di tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum,
maupun dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi serta sosial tertentu.17
Baik imperialisme maupun kolonialisme bukanlah suatu tindakan sederhana
mengumpulkan dan mengambil. Keduanya didukung dan bahkan mendapat tekanan
melalui formasi-formasi ideologi impresif yang mencakup pendapat bahwa wilayah-
15
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Penerjemah Kelompok Studi Filsafat
Driyakarya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 30-36. 16
Edward Said, Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegomoni Barat
(Mizan: Bandung, 1996), 47. 17
Michael W. Doyle, Empires (Ithaca: Cornell University Press, 1986), 45. Lihat
juga Clarissa Rile Hayward, 2011, What Can Political Freedom Mean in a Multicultural
Democracy? On Deliberation, Difference, and Democratic Governance, Political Theory,
Sage Publications Inc, Vol. 39, No. 4: 468-497 (acessed March 15, 2017).
9
wilayah dan bangsa-bangsa tertentu membutuhkan dan memohon dominasi, serta
bentuk-bentuk pengetahuan yang berkaitan dengan dominasi; kosakata kebudayaan
imperial klasik pada abad kesembilan belas banyak mengandung kata-kata dan
konsep-konsep semacam ras yang lebih rendah, rakyat bawahan, ketergantungan,
ekspansi dan otoritas.18
Sejalan dengan dinamika tersebut, hubungan antar agama Islam dan Non-
Islam mengalami pergolakan yakni munculnya kekuatan untuk saling mendominasi.
Perubahan dan perkembangan persepsi muslim terhadap pemeluk non-Islam dimana
ia menjadi toleran dan tidak toleran, tampak dengan jelas pada wacana yang
berkembang di sekitar makna ahli kitab.19
Sebagaimana ditunjukkan Ismatu Ropi,
proses historis yang dialami kaum muslim telah membuat makna ahli kitab menjadi
sedemikian sempit, sehingga ia jauh dari pesan inklusif dan universalis. Di sini, ahli
kitab dipahami secara statis dan defenitif, menutup kemungkinan adanya perluasan
makna itu sendiri. Ia menjadi cermin dari keberagaman normatif-idealistik yang
mengukur tingkat keberagamaan dari aspek-aspek formal. Istilah ahli kitab lebih
berfungsi sebagai kriteria penilai bagi hubungan beragama yang secara apologetis
untuk digunakan menjustifikasi bahwa agama Islam telah memberikan batasan-
batasan yang menjadi kriteria pembenar dan pengesah bagi kaum muslim untuk
mengambil jarak teologis dengan umat lain. Dengan kata lain, fenomena ahli kitab
digeneralisir sedemikian rupa sebagai sesuatu yang umum yang bisa diterapkan
dimana saja dan kapan saja; dan secara sah berlaku pada masyarakat muslim di
tempat lain di dunia.20
Penyempitan makna tersebut disebabkan oleh keinginan kaum muslimin
pada masa awal untuk meneguhkan jati diri mereka sebagai komunitas agama baru.
Pada sebuah masa pembentukan dan transisi dalam konstelasi hubungan politik yang
cukup rumit ini, tipifikasi dianggap sebagai salah-satu cara yang cukup aman bagi
upaya peneguhan jati diri yang berwawasan sejarah. Oleh karena itu, bisa dipahami
jika para sarjana muslim klasik memiliki persepsi ‘berlebihan’ tentang komunitas ahli
kitab. Hal ini bisa dilihat dari klaim-klaim stereotif yang menyatakan bahwa ahli
kitab telah melakukan penyimpangan atau perubahan yang sangat signifikan terhadap
kitab suci al-Quran khususnya yang berkenaan dengan keesaan Tuhan.21
Antara agama Islam dan Kristen, Huntington meyakini kedua agama tersebut
pada dasarnya adalah tidak toleran, yang selanjutnya melahirkan konflik keagamaan.
Dalam beberapa tulisannya Huntington cenderung melakukan generalisasi dalam
18
Michael W. Doyle, Empires, 47. 19
Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Midle Eastern Response
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 114. 20
Ismatu Ropi, Wacana Inklusif Ahl al-Kitab (Paramadina, Vol. 1, No.1, 1999), 99-
100. 21
Andrew Rippin, Interpreting the Bible Through the Quran, dalam Approaches to the Quran, eds. G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (London: Routledge, 1993), 249-
256.
10
melihat hubungan Islam-Kristen. Kedua agama membentuk dua peradaban yang
berbeda, dan selanjutnya menentukan corak kehidupan sosial-politik dan budaya
yang berlainan di kalangan pemeluknya. Lebih penting lagi, kedua agama tersebut
juga sama-sama tidak toleran dan ekslusif. Oleh karena itu, Huntington percaya
bahwa hubungan kedua agama tersebut akan diwarnai konflik dan bahkan perang
agama, atau yang disebut sebagai benturan peradaban. Huntington berbeda dari
Lewis yang menilai bahwa intoleransi Islam lebih bersifat historis dan kondisional.
Corak hubungan yang terjalin antara Islam dan barat lebih menentukan watak Islam
yang akan berkembang, apakah dia menjadi toleran atau sebaliknya. Di sini, Lewis
lebih optimis untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara Islam dan barat
sebagaimana digagas kalangan intelektual.22
Seperti dibahas Steenbrink, hubungan Islam-Kristen di Indonesia bisa
dilacak jauh pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, dan selanjutnya
mengalami proses intensifikasi pada masa penjajahan Belanda. Begitu pula respon
muslim Indonesia terhadap barat memiliki sejarah panjang, dan mengambil bentuk
beragam sesuai dengan corak hubungan yang memang berubah-ubah sesuai dengan
setting sosio-historis yang berlaku. Meski demikian, pemahaman lebih jauh tentang
Kristen oleh muslim Indonesia baru berkembang pada awal abad ke-20, seiring
dengan lahirnya masyarakat terdidik lulusan lembaga pendidikan modern seperti
Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir.23
Sejarah hubungan antara Islam dan Kristen bukan sesuatu yang mudah dan
sudah menjadi bagian dari identitas kolektif kita, sejarah tentang kolonialisme dan
perang salib, invasi bangsa Arab dan 300 tahun ancaman bangsa Turki terhadap
orang Kristen di Eropa. Orang Islam di Indonesia mencurigai maksud orang-orang
Kristen sejak masa penjajahan. Kecurigaan ini diperkuat dengan proses kristenisasi
oleh sekte tertentu. Orang Kristen, di sisi lain, mencurigai orang Islam ‚ garis keras‛
jika mereka mendapatkan kekuasaan, akan membatasi kebebasan beragama mereka.
Jika terjadi konflik, apapun sebabnya, konflik tersebut pasti berpangkal dari
prasangka dan kecurigaan tersebut.
Mayoritas orang Indonesia dari semua agama menginginkan kedamaian dan
toleransi. Akan tetapi untuk dapat mencapai iklim toleransi yang abadi dan saling
menghormati satu sama lain kita harus meningkatkan komunikasi, melalui dialog
pada semua level, termasuk pada tingkat akar rumput, dan kita harus mengungkapkan
masalah yang sedang dihadapi dan keluhan yang ada pada masing-masing komunitas.
Kita juga harus mengungkapkan sebab-sebab umum yang menyebabkan aksi
kekerasan dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia harus mendapatkan
bimbingan untuk menyembuhkan luka tersebut.24
22
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, Remaking of the WorldOrder (New York: Simon and Schuster, 1997), 210-212.
23 Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian (Bandung: Mizan, 1995), 57.
24 Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama; Problem, Praktik dan
Pendidikan (Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005), 16-20.
11
Mungkin yang pertama harus kita pelajari kembali adalah bersikap untuk
bisa toleran terhadap umat lain. Toleransi dapat diartikan dengan menerima dengan
tulus akan keberadaan yang lain dan komunitas lain sebagai komunitas yang berbeda.
Dan hal ini tidak berkaitan dengan relatifisme agama, dengan tidak menempatkan
agama seseorang secara berlebihan. Bukan karena keyakinan agama kita, melainkan
karena keyakinan itu kita dapat melihat orang lain secara positif. Pada tingkat akar
rumput, kontak antara pemuka agama harus dikembangkan-satu hal yang tidak sulit
dilakukan di Indonesia, anda dapat senantiasa bersilaturrahim dan anda akan
disambut dengan tangan terbuka.
Kita harus lebih sensitif dengan kelompok lain. Kaum minoritas harus
mengetahui apa yang dianggap perilaku provokatif oleh kelompok mayoritas dan
harus mampu lepas dari perilaku tersebut. Kelompok mayoritas sendiri harus belajar
untuk membuat kaum minoritas merasa diterima, aman, mudah, dan bebas
melakukan ibadah. Saya terkesan dengan teman-teman Kristen di pulau Flores di
mana mereka mengkondisikan agar orang Islam dapat tinggal dengan aman di antara
mereka dan menghargai hak mereka sebagai manusia dan sesama warga. Sikap
seperti ini membutuhkan proses belajar.25
Para pemimpin formal dan informal agama mempunyai tanggungjawab yang
sangat besar. Mereka harus mampu meyakinkan umatnya bahwa toleransi agama
merupakan bagian dari ajaran agama mereka. Dalam ajaran tiap-tiap agama, unsur
eksklusif dan inklusif selalu dapat ditemukan. Dan lebih sering lagi, karena alasan
psikologis, unsur yang eksklusif lebih dikenal daripada yang inklusif. Akan tetapi jika
kita melihat unsur tersebut dari sudut pandang teologi secara mendalam, kita dapat
melihat dengan jelas bahwa aspek eksklusif harus dilihat dari aspek inklusif. Dasar
pemikiran yang demikian yang menyebabkan kenapa orang-orang ahli agama yang
telah mempelajari akar ajaran agama mereka secara mendalam cenderung mempunyai
dasar pemikiran yang lebih terbuka dibandingkan dengan mereka yang tidak
mempelajari agamanya secara mendalam. Dengan demikian, setiap agama harus
berusaha kuat agar unsur inklusif dapat dimasukkan dalam ajaran mereka-bukan
hanya untuk meningkatkan toleransi agama, tetapi agar mereka lebih meyakini apa
yang menjadi keyakinan mereka.26
Agama dalam diskursus keagamaan kontemporer dipahami bukan hanya
berwajah tunggal, akan tetapi berwajah banyak karena agama tidak lagi dipahami
sebagai hal yang terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan,
pandangan hidup serta ultimate concern. Selain memiliki sifat dan karakter yang
konvesional, agama juga diasumsikan sangat terkait dengan persoalan historis-
kultural yang juga merupakan kepercayaan manusia.
25
Franz Magnis Suseno dalam Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, 27.
26 Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:
Mizan, 1999), 23.
12
Dilihat dari sudut pandang historis-empiris, agama itu sarat dengan
‚kepentingan‛ (interest) yang terdapat pada kurikulum, proses pendidikan,
kepemimpinan dan institusi agama, serta studi agama.27
Bercampur-aduknya dan
berkait-kelindannya agama dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada
tingkat historis empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer
penting untuk dipecahkan. Dalam kenyataan hampir semua agama memiliki
‚institusi‛ dan ‚organisasi‛ yang mendukung, memperkuat, menyebarluaskan ajaran
agamanya. Institusi dan organisasi keagamaan tersebut telah banyak terlibat kedalam
sosial-budaya, sosial-kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi,
perdagangan, jurnalistik, pertahanan-keamanan, paguyuban dan lain-lainnya. Jika
memang demikian, maka sulitlah kita menjumpai agama yang lepas dari kepentingan
kelembagaan, kekuasaan, dan kepentingan-kepentingan tertentu. Fenomena semacam
itu dapat dengan mudah dijumpai di Indonesia.28
Studi agama secara empiris dapat mencatat peristiwa penting di tanah air.
Selama hampir tiga dasawarsa ini (tahun 1970 sampai tahun 2000), umat beragama
dalam pemerintahan Orde Baru dan Reformasi menggunakan istilah ‚kerukunan‛
untuk nama lain yang diambil dari khazanah intelektual Barat ‚tolerence‛ atau
‚harmony‛. Dalam praktik sehari-hari, ternyata kerukunan atau toleransi itu telah
menimbulkan sikap apologis. Tiap-tiap agama dengan sungguh-sungguh
menunjukkan bahwa hanya agama sendirilah yang paling rukun dan paling toleran.
Ironisnya, apologi dilakukan baik secara tekstual (ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin
tekstual) maupun kontekstual (lewat legitimasi sejarah, antropologi, sosiologi) yang
agaknya bukan malah mengurangi ketegangan-ketegangan yang ada tetapi justru
menambah ketegangan-ketegangan baru.29
Secara doktrinal-tekstual, orang Islam akan menyatakan dengan sungguh-
sungguh bahwa kata pertama yang diucapkan seorang Muslim ketika bertemu dengan
orang lain adalah al-sala<m ‘alaikum. Karena itu Islam adalah agama perdamaian.
Sementara itu, orang Kristen-Kristen dan Kristen-Protestan mengklaim bahwa
agama Kristiani sejak dari awalnya adalah agama cinta, yang mengimplementasikan
lewat ajaran diakonia. Orang Hindu begitu juga akan mengatakan bahwa agamanya
menekankan darma. Orang Budha mengklaim bahwa agamanya bermaksud
melepaskan penderitaan manusia. Dari segi konsepsi, kesemuanya mengacu pada
titik dan cita-cita yang sama, yakni perdamaian dan kerukunan. Untuk memperjelas
persoalan, sebagaimana dikemukakan Robert Cummings Neville yang berpendapat
bahwa ketika orang-orang Budha Sri Lanka, yang agamanya dipahami sebagai
27
Ursula King, ‚Historical and Phenomenological Approaches to the Study of
Religion‛ in Frank Whalling (Ed), Contemporary Approaches to the Study of Religion,
Vol.II, The Social Science (Berlin: Mouton Publisher, 1984), 139-140. 28
Amin Abdullah dalam Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, 14-18.
29 Abdul Munir Mulkan, Agama dan Negara (Yogyakarta: DIAN-Interfidei, 2007),
12.
13
pembawa pencerahan, berperang dengan orang Hindu, dengan slogannya ‚Shanti‛!
Shanti!, kedua belah pihak melakukan implikasi keagamaan yang keliru. Ketika
penganut Kristen, yang Tuhannya kasih, saling baku tembak di Irlandia Utara,
bentuk-bentuk operan Kristen yang ada disalahgunakan.30
Komando Jihad di
Afganistan, Pakistan, Mesir, Indonesia dan negara-negara lainnya terjebak pada
tingkat kesalahan yang sama. Semuanya itu secara konseptual terarah pada esensi
dan ambisi, yakni perdamaian dan keharmonisan namun pada tataran sosial politik
timeless essences tersebut disalahgunakan.31
Indonesia sebenarnya mempunyai filosofi dan pengalaman yang sangat
kokoh dalam menghadapi ragam perbedaan yang ada. Multikulturalisme bukan
hanya sekadar wacana, melainkan praktik kehidupan sosial-politik, yang sudah
mengakar kuat, bahkan menjadi jati diri bangsa. JS. Furnival memandang, pada
dasawarsa 1930-1940-an, Indonesia merupakan salah satu potret ‚masyarakat
plural‛ yang dapat dijadikan contoh, di saat negara-negara Eropa menghadapi
problem multikulturalisme.32
Menurut Furnival, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang
mempunyai aneka ragam budaya, agama, dan suku, tetapi mereka dapat
dipersatukan melalui falsafah ‚bhinneka tunggal ika‛. Falsafah tersebut semakin
kokoh, karena diperkuat oleh Pancasila sebagai landasan ideal dalam berbangsa dan
bernegara. Ada dua alasan kuat dibalik keberhasilan ‚bhinneka uunggal ika‛
sebagai falsafat yang masih mengakar kuat bagi seluruh warga negara, yaitu
demokrasi dan komitmen pada konstitusi.
Dalam hal berdemokrasi, sejak pemilu 1955 hingga pemilu 2009 yang
paling mutakhir, rakyat Indonesia telah membuktikan jati-dirinya sebagai bangsa
yang mempunyai kemauan dan kemampuan berdemokrasi dengan fantastik. Jika
negara-negara lainnya masih mempertentangkan agama dan demokrasi, tetapi
rakyat Indonesia yang secara mayoritas religius dapat menerima, memahami,
bahkan mengimplementasikan demokrasi dengan baik.
Demokrasi telah menjadikan perbedaan dan kemajemukan agama, suku,
dan ras sebagai energi positif dalam dalam ruang publik, terutama dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan, kesetaraan, keadilan, dan kedamaian. Kemajemukan
adalah rahmat Tuhan yang sangat besar dalam rangka mewujudkan persatuan dan
kebersamaan dalam rumah besar Indonesia. Maka dari itu, keberhasilan demokrasi
merupakan implementasi dari falsafah yang mengakar kuat dalam sanubari bangsa
Indonesia, bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tapi bersatu dalam rumah
kebangsaan Indonesia.33
30
Robert Cummings Neville, Religion in Late Modernity (Albany: State
University of New York Press, 2002), 164. 31
Nabil Abd al-Fattah, al-Nas}s} wa al-Rasas: al-Isla<m al-Siya<sy wa Azmah al-Daulah al-Hadi<tsah fi< Mis}r (Beirut: Dar al-Nihar wa al-nasyr, 1997), 271-290.
32 Robert W. Hefner (Ed.) Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation,
Democratization, (Princeton: Printon University Press, 2005). 33
Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, cet. Ketiga (Jakarta: Gramedia, 2011), 386.
14
Oleh karena itu, umat Islam sebagai kelompok terbesar di negeri ini
menjadi bagian terpenting dalam rangka mengembangkan kesadaran tentang
bhinneka tunggal ika dalam konteks kebangsaan. Komitmen organisasi
kemasyarakatan Islam dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan Pancasila sebagai pilar bangsa yang final merupakan sebuah kekuatan, yang
telah memberikan corak tersendiri bagi keber-Islaman yang inklusif dan
multikultural. Bahkan, atas dasar itu pula, keber-Islaman di negeri ini berbeda
dengan langgam keber-Islaman di dunia Islam lainnya yang cenderung eksklusif dan
mencederai tujuan dari nilai-nilai multikultural itu sendiri.
Dalam perjalanan mengembangkan nilai-nilai multikultural pada lembaga
pendidikan Islam, juga tak luput dari persoalan yang disebutkan di atas yakni
banyaknya lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yang memiliki
pemahaman radikal dan intoleran dan menjadi keprihatian kita semua. Sekolah-
sekolah tersebut yang seharusnya berkewajiban membentuk pribadi yang cerdas,
berilmu, saleh, berbudi baik, rasional-kritis, terbuka dan toleran kepada perbedaan
justru menjadi kaderisasi kelompok tertutup, intoleran, dan bahkan memusuhi yang
tidak sepaham.
Dugaan infiltrasi pemahaman radikal ke sekolah disebabkan beberapa
beberapa hal antara lain: Pertama, lemahnya kesadaran dan komitmen pengelola di
sekolah-sekolah swasta dan di sekolah-sekolah negeri sangat dipengaruhi oleh
kepala sekolah yang merupakan penentu kebijakan. Kepala sekolah perlu memiliki
kesadaran atas prinsip-prinsip multikulturalisme. Kedua, lemahnya pengetahuan
dan wawasan para guru tentang keniscayaan hidup bersama dalam keragaman.
Ketiga, belum ada orang-orang atau jaringan kerja yang mendorong upaya
sosialisasi pentingnya penghargaan terhadap keragaman. Keempat, lemahnya
kemampuan guru-guru untuk mengembangkan pembelajaran serta metode-metode
baru dan efektif. Kelima, belum adanya kurikulum tentang multikulturalisme baik
menyangkut bahan pelajaran, metode serta aspek pendukung lainnya. Keenam,
belum adanya ruang bersama untuk berdialog dan membicarakan masalah ini
sehingga wacana tentang kesadaran multikulturalisme masih sangat lemah.
Ketujuh, belum adanya pengalaman nyata yang mencerminkan ideal dan indahnya
hidup bersama berbagai kelompok agama dalam suasana saling menghargai
perbedaan dan saling bekerjasama untuk memecahkan masalah masyarakat seperti
keterbelakangan, lemahnya pendidikan, kemiskinan dan pengangguran.34
Berdasarkan uraian yang telah penulis ungkapkan di atas, maka menjadi
penting bagi penulis untuk melihat bagaimana pelaksanaan pendidikan
multikultural di sekolah berbasis agama yang ada di Sumatera Utara. Pemilihan
Sumatera Utara menjadi tempat peneliti melakukan penelitian mengingat di
provinsi ini memiliki aneka ragam budaya, suku, adat istiadat dan agama.
Menurut data dari BPS tahun 2016, Sumatera Utara yang memiliki luas
wilayah 71.680,68 Km2 berpenduduk 12.834.371 jiwa. Komposisi umat beragama:
umat Islam sebanyak 8.403.997 (65,46 persen), Kristen Protestan 3.417.574 (26,62
34
Ridwan al-Makassary dan Suparto, Cerita Sukses Pendidikan Multikultur di Indonesia (Jakarta: CSRC, 2010), 47.
15
persen), Kristen 613.674 (4,78 persen), Hindu 23.109 (0,18 persen), Budha 362.042
(2,82 persen), Konghucu (belum ada data), lain-lain 17.974 (0,14 persen).
Pemeluk agama Islam terbanyak berada di 18 kota dan kabupaten, yakni di
Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Langkat, Asahan, Deli Serdang, Labuhan
Batu, Medan, Serdang Bedagai, Sibolga, Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi,
Padang Sidempuan, Batubara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu
Utara, dan Labuhan Batu Selatan. Sementara umat Kristen terbanyak di sembilan
kota dan kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Nias, Nias Selatan, Karo, Dairi, Toba
Samosir, Samosir, Pakpak Barat, dan Humbang Hasundutan. Sedangkan jumlah
umat Islam dan Kristen hampir berimbang berada di Tapanuli Tengah dan
Pematang Siantar.
Dari 12.834.371 penduduk dan pemeluk agama di Sumatera Utara, telah
berdiri 9.199 masjid, 10.325 mushalla, 10.277 gereja Kristen, 2.124 gereja Kristen,
63 kuil, 367 vihara, dan 77 cetiya. Terdapat sembilan etnis di Sumut, yakni etnis
Melayu, etnis Batak, etnis Nias, etnis Jawa, etnis Ming, etnis Aceh, etnis Cina,
etnis Arab dan etnis India. Sedangkan suku yang ada di Sumut adalah Batak Toba,
Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak
Dairi Pakpak.35
Dari keragaman ini juga banyak muncul lembaga pendidikan milik
pemerintah maupun swasta. Lembaga pendidikan swasta ada yang memiliki afiliasi
dengan ormas keagamaan seperti |Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, al-
Ittihadiyah, PGI maupun KWI. Namun tidak menutup kemungkinan ada sebagian
masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman di Sumatera Utara meskipun tidak
beragama Islam ikut mengenyam bangku pendidikan di sekolah berbasis agama
Islam baik milik Muhammadiyah, NU, al-Washliyah dan al-Ittihadiyah. Begitupun
sebaliknya dari umat Islam ada yang menitipkan anaknya untuk sekolah di yayasan
Kristen Protestan maupun Kristen Kristen. Dengan demikian sebagian masyarakat
di Sumatera Utara secara tidak langsung telah mempraktikkan pendidikan
multikultural.
Dalam perjalanan praktik pendidikan di sekolah berbasis agama dengan
latar belakang siswa yang memiliki keragaman tidak hanya budaya, suku, bahasa
akan tetapi juga agama tentu muncul kekhawatiran tersendiri dari para orang tua
maupun masyarakat dengan praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah
tersebut. Rasa khawatir yang muncul di antaranya berkaitan dengan model
pendidikan agama seperti apa yang diajarkan kepada siswa yang memiliki latar
belakang agama berbeda, bagaimana interaksi antara siswa dengan siswa, interaksi
antar sesama guru, interaksi antara sekolah dengan orang tua siswa, dan interaksi
antara guru dengan masyarakat sekitar.
A. Permasalahan
Studi ini ingin melihat implementasi pendidikan di sekolah berbasis agama
dalam perspektif multikultural. Kendati demikian fokus dalam kajian penulisan ini
ingin mengungkapkan kebijakan apa saja yang terdapat pada sekolah berbasis
35
M. Soleh Tanjung, Staf Tata Usaha BPS Sumatera Utara, wawancara 3 Oktober
2016.
16
agama dalam mendukung nuansa multikultural , kurikulum pelajaran yang memiliki
muatan nilai-nilai multikultural dan interaksi sosial dalam mewujudkan pendidikan
bernuansa multikultural.
1. Identifikasi Masalah
Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural
penting untuk mendapat perhatian serius dari para pendidik, orang tua, masyarakat
dan pemerintah. Indonesia yang memiliki keragaman budaya, bahasa, suku dan
agama, dapat dipastikan mengalami kesulitan untuk menghindar dari proses
interaksi antar kultur tersebut. Lembaga pendidikan pun akan mengalami nasib
yang sama sehingga menjadi keharusan bagi sekolah-sekolah berbasis agama untuk
membuka diri menerima peserta didik meskipun dengan latar belakang agama yang
berbeda-beda. Output dari pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif
multikultural yang diajarkan kepada siswa dapat dipastikan ingin mengantarkan
peserta didiknya menjadi orang-orang yang menerima dengan sadar keragaman
yang ada dan berupaya untuk menghargai serta menghormati keragaman tersebut.
Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dalam
praktik sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya mendapat perhatian serius.
Diskursus tentang pendidikan multikultural akan menjadi pembicaraan menarik
jika terdapat praktik mencurigakan di sekolah-sekolah berbasis agama terutama
yang berkaitan dengan isu-isu pendangkalan keyakinan beragama terhadap peserta
didik. Para stakeholder lembaga pendidikan seharusnya tidak perlu menunggu
terjadinya peristiwa yang dapat merusak tatanan dunia pendidikan, akan tetapi
yang diperlukan adalah langkah-langkah strategis dalam praktik pendidikan di
sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural di tengah kehidupan yang
majemuk ini. Dalam konteks tersebut ada beberapa persoalan yang dapat
diidentifikasi :
a. Sekolah berbasis agama mendapat tudingan menjadi wadah kaderisasi bagi
kelompok agama tertentu.
b. Sekolah berbasis agama anti terhadap pendidikan multikultural karena
dianggap akan menghilangkan identitas agama siswa.
c. Pendidikan multikultural dan pendidikan agama selalu terpisah dalam praktik
pendidikan di sekolah sehingga menjadi sensitif jika disatukan.
d. Pendidikan multikultural dihadapkan dengan era globalisasi yang
memungkinkan masuknya budaya luar dan mempengaruhi perilaku siswa.
e. Pendidikan multikultural dianggap tidak dapat menjawab tuntutan
perkembangan zaman dan tekhnologi sehingga belum menjadi kebutuhan
mendesak dalam praktik pendidikan di sekolah berbasis agama .
f. Meski terdapat praktik pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah
berbasis agama namun masih bersifat normatif serta berbanding terbalik
dengan kenyataan dimasyarakat dan menimbulkan pergolakan dalam diri siswa
dalam melaksanakannya.
Dari uraian permasalahan yang penulis jelaskan di atas, memungkinkan
pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dikaji dari
berbagai sudut pandang. Kondisi ini akan memberikan ruang bagi para peneliti,
17
dengan paradigma tertentu, untuk melakukan studi mendalam sesuai dengan sense crisis of academic masing-masing.
2. Perumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang dan identifikasi masalah yang disajikan di
atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana
implementasi pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perpektif multikultural?
Adapun rumusan pertanyaan dari perumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana dinamika pendidikan dalam perspektif multikultural di SMP
Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?
b. Bagaimana internalisasi nilai-nilai multikultural dilakukan pada SMP
Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?
c. Sejauhmana implementasi nilai-nilai multikultural dilaksanakan di SMP
Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?
3. Pembatasan Masalah
Berbagai permasalahan yang telah penulis kemukakan di atas, sangat
penting untuk dilakukan pembatasan, sehingga penelitian yang dilakukan lebih
terarah dan fokus. Berdasarkan urgensinya, penelitian ini dibatasi pada beberapa
aspek :
a. Sekolah berbasis agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekolah
yang memiliki afiliasi dengan keyakinan agama tertentu dalam hal ini agama
Islam dan agama Kristen.
b. Sekolah berbasis agama Islam yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah
SMP Muhammadiyah-37 Air Joman, sedangkan sekolah berbasis agama
Kristen yang menjadi objek penelitian adalah SMA Methodist Kuala.
c. Pemilihan SMA Methodist Kuala sebagai objek penelitian dikarenakan
memiliki siswa non Kristen (beragama Islam) dengan jumlah sangat signifikan.
d. Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dibatasi
pada upaya penerapannya yang dapat dilihat dalam kebijakan sekolah,
kurikulum mata pelajaran serta interaksi antar warga sekolah.
e. Penelitian ini dimulai sejak Juli 2015 sampai dengan Oktober 2017 di SMP
Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala
C. Tujuan
Konsisten dengan batasan dan rumusan masalah di atas maka penelitian ini
bertujuan :
a. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengeksplorasi dinamika pendidikan
dalam perspektif multikultural di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan
SMA Methodist Kuala.
b. Untuk menganalisis dan menjelaskan internalisasi nilai-nilai multikultural
yang diterapkan pada SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA
18
Methodist Kuala melalui kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum dan
mata pelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial.
c. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengeksplorasi implementasi nilai-
nilai multikultural yang dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air
Joman dan SMA Methodist Kuala dalam memperkuat human relation pada
iklim sekolah, equity pedagogy dalam intra dan ekstrakurikuler serta living together pada aktifitas sosial-kemasyarakatan.
D. Signifikansi
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah di tetapkan diatas, maka
penelitian ini memiliki tiga hal signifikansi utama :
a. Memberikan nilai inspirasi kepada para intelektual Islam dan Kristen untuk
menggali potensi lembaga pendidikan masing-masing dalam pelaksanaan
pendidikan multikultural.
b. Memberikan dorongan dan motivasi kepada masyarakat Islam dan Kristen
untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural kepada generasi
muda dan menjadikannya sebagai pilar utama dalam mendukung kemajuan
dunia pendidikan.
c. Memudahkan kepada aktor pendidikan dan pelaku pendidikan dalam hal
pengambilan keputusan, kebijakan, peraturan pemerintah dan institusi
agama dalam melaksanakan praktik pendidikan multikultural di sekolah
berbasis agama.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Studi tentang implementasi pendidikan multikultural di sekolah berbasis
agama banyak dilakukan para peneliti namun yang membedakannya penulis
membandingkan dengan dua intitusi agama yang berbeda yakni Islam dan Kristen.
Penulis ingin melihat sejauh mana pelaksanaan pendidikan multikultural yang telah
di terapkan di masing-masing institusi pendidikan.
Studi terbaru tentang pendidikan multikultural dilakukan oleh Donna Y
Ford Why Education Must be Multicultural: Addressing a Few Misperceptions with Counterarguments.
36 Dalam tulisannya beliau menegaskan bahwa sekolah
sangat penting memberikan pemahaman pendidikan multikultural yang baik
terhadap siswa untuk membantu menghilangkan diskriminasi rasial dan
peningkatan keharmonisan ras. Karya ini menawarkan solusi kepada sekolah dalam
menerapkan pendidikan multikultural antara lain: Pertama, semua kurikulum harus
dianalisis untuk memastikan akurasi dan kelengkapan. Kurikulum harus diperiksa
untuk menentukan bagaimana kurikulum tersebut mampu merekonstruksi dan
mendukung kondisi sosial-budaya yang selama ini cenderung banyak menghadapi
permasalahan. Kedua, semua bidang studi dan konten harus disajikan dari berbagai
36
Donna Y Ford, Why Education must be Multicultural: Addressing a Few
Misperceptions with Counterarguments, Gifted Child Today 37, no. 1 (01, 2014): 59-62,
http://search.proquest.com/docview/1491804214?accountid=25704 (accessed February 10,
2017).
19
sudut pandang yang berbeda bahkan bertentangan agar siswa berlatih untuk
berpikir lebih kritis tentang kurikulum yang mereka pelajari. Ketiga, sekolah harus
mempersiapkan lembaga pendidikan yang kondusif, pengembangan profesional
yang mumpuni bagi semua guru, dan beasiswa untuk mendorong iklim budaya yang
responsif terhadap semua siswa.
Studi ini membantu peneliti guna menganalisa lebih mendalam apakah
kurikulum yang digunakan di masing-masing sekolah berbasis agama mampu
merepresentasikan penerapan pendidikan multikultural. Namun karya ini belum
sepenuhnya dapat dijadikan representasi bagi peneliti mengingat objek yang
menjadi kajian dalam penelitian ini adalah sekolah berbasis agama yang
memungkinkan faktor-faktor lain menjadi pengaruh terhadap pelaksanaan
pendidikan multikultural tersebut.
Karya berikutnya yang penting untuk direview adalah Amin Abdullah,
Pendikan Agama Era Multikultural, Multireligius. Pada penelitiannya Amin
mengatakan bahwa dalam rangka menyadari perbedaan tantangan historitas antara
klasik-skolastik, era modernitas, dan terlebih lagi pada era modernitas tingkat-
lanjut (post modern), diperlukan keberanian intelektual untuk merumuskan ulang
pola pendidikan Islam, baik yang menyangkut materi maupun metodologi. Untuk
menuju ke arah tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu37
: Pertama,
selain memberi uraian tentang ilmu-ilmu keislaman dan Kristen klasik, peserta
didik perlu juga diperkenalkan dengan persoalan-persoalan modernitas yang amat
kompleks sebagaimana dihadapi umat beragama hari ini dalam hidup keseharian
mereka. Pendekatan-pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang saat ini
berkembang juga perlu diperkenalkan pada peserta didik.
Kedua, pengajaran ilmu-ilmu keagamaan tidak seharusnya bersifat
doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian dimensi historis dari doktrin-
doktrin keagamaan tersebut. Dengan demikian dimungkinkan telaah kritis
apresiatif-konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik dan sekaligus memberi
peluang dan kesempatan melatih para peserta didik untuk merumuskan ulang
pokok-poko rumusan realisasi doktrin agama yang sesuai dengan tantangan dan
tuntutan zaman dan bagaimana mereka dapat mencari jalan keluar (problem
solving) sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Sekedar contoh,
pada era reformasi dan globalisasi budaya seperti saat ini, tidak terlalu penting
untuk menekankan "kebanggaan diri sendiri secara terselubung" dengan disertai
sikap merendahkan orang lain, tidak terlalu esensial untuk untuk mengulang-ulang
pernyataan bahwa agama tertentu yang lebih unggul daripada agama lain, yang
berakibat secara tidak sengaja pada pembentukan sikap ekslusif dan menonjolkan
truth claim (klaim kebenaran secara sepihak). Dalam era modernitas-multikultural,
uraian sedemikian terasa kurang demokratis dan tidak mendidik. Uraian-uraian dan
penjelasan-penjelasan yang berbau seperti itu perlu diganti dengan yang lebih
demokratis dan menonjolkan pentingnya prestasi mengingat daya kritis masyarakat
sudah semakin meningkat.
37
M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural, Multireligius, (Jakarta: PSAP, 2005), 72-76.
20
Ketiga, pengajaran yang dulunya hanya bertumpu pada teks (nash) perlu
diimbangi dengan telaah yang cukup mendalam dan cerdas terhadap konteks dan
realitas. Mengingat bahwa nash itu terbatas, sedangkan kejadian-kejadian yang
dialami umat manusia selalu berkembang (al-nushu>sh mutana>h}iyah wa al-waqa>i ghoiru mutana>h}iyah). Oleh karena itu, diperlukan ilmu-ilmu bantu yang diambil
dari disiplin ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, sejarah, filsafat, fisika,
bioteknologi, dan seterusnya, untuk menjelaskan hakikat, visi, dan misi agama
fundamental.
Keempat, dalam era pluralitas iman yang semakin mencuat dan menguat,
pelaksanaan pendidikan agama model kontemporer harus ditinggalkan agar tidak
mendapat kritikan lantaran terlalu banyak menekankan aspek kognitif anak didik
dan kurang memberikan tekanan pada aspek afektif dan psikomotorik. Kritikan ini
dikarenakan pelajaran budi pekerti dan akhlak batiniah, yang bernuansa
penghayatan , kurang begitu ditanamkan oleh para pendidik agama di sekolah-
sekolah formal maupun oleh para orangtua di rumah. Penghayatan dan internalisasi
nilai-nilai yang dimaksud adalah sebuah metode pendidikan dan pengajaran yang
lebih menekankan pada kematangan dan kedewasaan berpikir dan perilaku: seperti
penanaman sifat rendah hati, kesabaran, toleransi, tenggang rasa, cara berpikir yang
matang, dan seterusnya.
Kelima, pembelajaran pendidikan keagamaan era modernitas tidak lagi
memadai jika hanya terfokus pada pembentukan "moralitas individual" yang saleh,
namun kurang begitu peka terhadap "moralitas publik". Padahal moralitas publik
sangat terkait dengan realitas struktur sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-
budaya yang mempunyai logika kepentingan sendiri-sendiri. Persatuan antara
struktur sosial-politik dengan sosial ekonomi dapat dilihat dari fenomena tayangan
iklan di berbagai televisi swasta yang demikian marak. Persatuan tersebut
sebenarnya memberi andil yang begitu besar dalam mencabik-cabik kesalehan
individual dan kesalehan keluarga melalui berbagai kemudahan dan fasilitas yang
diberikan oleh budaya modernitas yang sangat terasa menghimpit dan hegemonik.
Karya yang penting untuk direview berikutnya adalah Edna Tan, Just Like My Nanny: Troubling Teacher's Social Identities in the Classroom.
38 Karya ini
menceritakan tentang kisah seorang guru dari Karibia yang mengajar di sekolah
anak-anak kulit putih. Anak-anak ini pada awalnya merendahkan kemampuan guru
tersebut karena dianggap memiliki pengetahuan yang sama dengan pengasuh
mereka yang juga berasal dari Karibia. Awalnya guru tersebut kurang percaya diri
ketika berhadapan dengan peserta didiknya. Guru ini mengajar bidang studi ilmu
pengetahuan dan setiap hari dia terus berusaha untuk menjadi guru yang terbaik
sekaligus mendekatkan diri dengan para siswa. Ada dua orang siswa yang selalu
memberi perhatian kepadanya dan menghormati guru tersebut. Karena perhatian
yang tulus ini sang-guru juga berusaha memperhatikan mereka dengan cara
38
Edna Tan, Just Like My Nanny: Troubling Teacher's Social Identities in the
Classroom, Cultural Studies of Science Education, no. 2 (06, 2013): 361-5,
http://search.proquest.com/docview/1347649106?accountid=25704 (accessed February,
2017).
21
membantu kesulitan belajar yang mereka alami. Peristiwa ini ternyata mendapat
perhatian dari siswa yang lainnya dan alhasil semua siswa yang berada di dalam
kelas tersebut menerima dengan senang hati kehadiran sang-guru meskipun
memiliki warna kulit yang berbeda. Edna Tan mengungkapkan bahwa menjadi diri
sendiri akan lebih baik daripada menjadi orang lain. Keberhasilan guru tersebut
menjadi dirinya sendiri membuktikan bahwa identitas sosial tidak selamanya
menjadi persoalan mendasar dalam melakukan interaksi terhadap orang lain.
Karya ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam apakah
faktor identitas sosial seorang guru dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan
pendidikan multikultural di sekolah-sekolah berbasis agama.
Karya selanjutnya yang patut untuk direview adalah Lihua Geng,
Reflection on Multicultural Education Under the Background of Globalization.39
Pendidikan multikultural di Cina memiliki perbedaan besar dari pendidikan
multikultural di negara-negara barat baik dalam hal modus pendidikan maupun
latar belakang budaya nasional. Lihua melihat sistem teoritis pendidikan
multikultural tidak konsisten dengan pembangunan sosial dan ekonomi di Cina
pada saat sekarang ini. Oleh karena itu ia menawarkan solusi perbaikan dalam
pelaksanaan pendidikan multikultural di Cina agar sesuai dengan kondisi nasional
Cina antara lain: Pertama, guru harus memiliki pemahaman dasar tentang
pendidikan multikultural. Guru adalah subjek utama dalam pengajaran multi-
budaya. Guru yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang perbedaan
budaya dan sejarah dari semua kelompok etnis, akan memiliki gagasan pendidikan
multikultural dan menggunakan sudut pandang multikultural dalam menjelaskan
segala macam kontradiksi sosial dan masalah-masalah yang terjadi. Akhirnya siswa
dapat membangun kesadaran multi-budaya, memahami dan menghormati budaya
yang berbeda. Penggunaan pemikiran kritis dalam masyarakat multikultural sangat
diperlukan untuk kelangsungan hidup dan pembangunan yang lebih baik. Seorang
guru tanpa ide pendidikan multikultural tidak akan dapat beradaptasi mengajar di
lembaga pendidikan dengan keragaman yang berbeda-beda. Perangkat dasar untuk
guru-guru lintas-budaya tercermin dalam aspek pengetahuan, teknologi, kehebatan
dan emosional guru. Guru yang memiliki pemahaman komprehensif tentang
pendidikan multikultural, dengan mudah menyesuaikan diri menghadapi perubahan
globalisasi.
Kedua, guru diharapkan mampu mengambil inisiatif dalam mewujudkan
keragaman budaya dalam proses pengajaran dan pendidikan. Misalnya, keragaman
faktor budaya yang tercermin dalam semua rincian pendidikan yang sebenarnya
dalam merancang rencana pengajaran, memilih metode pengajaran yang sesuai dan
menggunakan referensi pengajaran yang tepat. Namun perlu diperhatikan pada saat
menekankan keragaman budaya bahwa nilai-nilai umum dari budaya inti sosial
tidak boleh diabaikan. Guru harus memberikan keseimbangan antara keduanya.
39
Lihua Geng, Reflection on Multicultural Education Under the Background of
Globalization, Higher Education Studies 3, no. 6 (12, 2013): 53-7,
http://search.proquest.com/docview/1500750730?accountid=25704 (accessed February 10,
2017).
22
Mereka harus memperlakukan siswa mereka dalam visi multikulturalisme dan
membantu siswa untuk membuat pemahaman yang jelas tentang kesamaan dan
perbedaan antara budaya yang beragam.
Ketiga, guru dituntut untuk memiliki kapasitas analisis kritis, dan
kemudian memupuk analisis kritis untuk siswa mereka. Hal ini dianggap sebagai
tujuan dasar dari pendidikan multikultural yang memungkinkan siswa memiliki
kesempatan untuk mengenal lebih dekat, memahami dan menghormati budaya yang
berbeda.
Karya ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam apakah
kemampuan guru dalam memahami pendidikan multikultural dapat membantu
keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah. Karya ini
menjadikan guru sebagai faktor utama terciptanya pelaksanaan pendidikan
multikultural di sekolah. Namun karya ini memiliki perbedaan dengan peneliti
bahwa selain guru terdapat faktor lain yang memungkinkan dapat mempengaruhi
pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah.
Karya sejenis berikutnya yang penting untuk direview adalah Sylvie
Bernard-Patel, The Construction of Religious and Cultural Identity of Muslim Pupils in Secondary Schools in Britain and France.40 Karya ini mengungkapkan
tentang pelaksanaan pendidikan multikultural di Perancis dan Inggris. Sistem
sekolah Inggris dan Perancis berbeda secara signifikan dalam menghadapi
keragaman budaya. Di Inggris, pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan
untuk mengajar dan belajar berdasarkan konsensus, menghormati dan mendorong
pluralisme budaya. Model multikulturalisme Inggris adalah warisan ideal politik
toleransi yang prinsip dasarnya adalah komitmen untuk kebebasan hati nurani.
Prinsip multikulturalisme yang mereka yakini adalah menghormati kelompok etnis,
budaya dan agama yang berbeda dalam masyarakat dan negara membuat perbedaan
antara peran warga masyarakat dengan keyakinan pribadi mereka. Dalam kerangka
ini, komunitas Muslim diaktifkan untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang
orang lain, menciptakan sebuah identitas yang menyediakan ruang agar mereka
mampu mendefinisikan dirinya dan berhubungan dengan identitas lain. Tujuannya
adalah untuk mengubah perilaku dan sikap terhadap perbedaan budaya dan
meyakini bahwa pendidikan adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai
tersebut.
Sebaliknya, sekolah Perancis adalah lambang cita-cita republik, di mana
pendidikan harus memberikan janji yang sama untuk semua dan tidak memandang
etnis, agama atau kelas sosial. Institusi pendidikan Perancis selalu memegang posisi
netral, dimana tidak ada perbedaan etnis atau agama yang diakui. Negara tidak
boleh memaksa, memajukan dan mengistimewakan agama tertentu atau agama
secara umum.
40
Sylvie Bernard-Patel, The Construction of Religious and Cultural Identity of
Muslim Pupils in Secondary Schools in Britain and France, Mediterranean Journal of Social Sciences 4, no. 7 (08, 2013): 117-27, http://search.proquest.com/docview/accountid=25704
(accessed February 10, 2017).
23
Karya ini menguatkan tulisan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan
dalam sebuah negara sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan
multikultural di sekolah. Jika Negara tidak menghargai keragaman budaya maka
dipastikan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah tidak dapat terlaksana
dengan baik. Studi ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam
apakah sistem pemerintahan di Indonesia menghormati dan mengakui keragaman
budaya.
Karya berikutnya yang penting untuk direview adalah Lilian R Robinson,
Processes and Strategies School Leaders are using to Move their Multicultural Schools Toward Culturally Responsive Education.
41 Dalam karya ini dilakukan
penelitian terhadap delapan kepala sekolah di Amerika yang dianggap belum
menerapkan pendidikan multikultural di sekolahnya masing-masing. Delapan
kepala sekolah ini diajak bekerja di sekolah multikultural untuk memberikan
pemahaman kepada mereka tentang pendidikan multikultural itu sendiri. Setiap
hari mereka berinteraksi dengan siswa dan orang tua yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda. Delapan kepala sekolah mulai belajar memahami masalah-
masalah siswa dan membantu menyelesaikan persoalan mereka. Dari peristiwa ini
secara tidak langsung para kepala sekolah telah belajar menerapkan pendidikan
multikultural. Ketika peneliti menganggap delapan kepala sekolah sudah cukup
memahami nilai-nilai pendidikan multikultural, mereka dikembalikan ke sekolah
masing-masing. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan yang signifikan bahwa
delapan kepala sekolah mulai menerapkan praktik pendidikan multikultural di
sekolah mereka masing-masing. Delapan kepala sekolah tersebut terlihat lebih
responsif memahami masalah siswa dan berdialog dengan baik terhadap orang tua
siswa meskipun dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Studi ini membantu peneliti apakah pemahaman kepala sekolah terhadap
pendidikan multikultural berdampak signifikan terhadap praktik pendidikan
multikultural di sekolah. Namun karya ini memiliki perbedaan dengan peneliti yang
memberikan kemungkinan munculnya faktor lain selain kepala sekolah dalam
menciptakan pendidikan multikultural yang baik di sekolah.
Berdasarkan karya-karya penelitian yang telah peneliti kemukakan di atas,
kajian terhadap pendidikan multikultural cukup banyak dilakukan dalam berbagai
aspek. Akan tetapi kajian yang lebih spesifik membahas pendidikan multikultural
di sekolah berbasis agama belum sepenuhnya mendapat perhatian. Oleh karena itu
penelitian ini lebih memfokuskan ke sekolah-sekolah berbasis agama karena
menurut peneliti masih terdapat berbagai kelemahan dalam praktik pendidikan
multikultural di sekolah-sekolah berbasis agama. Dengan penelitian ini di harapkan
akan membantu pihak sekolah, yayasan pendidikan dan pemerintah agar lebih
memperhatikan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama.
41
Lillian R Robinson, Processes and Strategies School Leaders are using to Move
their Multicultural Schools Toward Culturally Responsive Education, Order No. 3402432,
Capella University, 2010. In PROQUESTMS ProQuest Education Journals,
http://search.proquest.com/docview/305245628?accountid=25704 (accessed February 10,
2017).
24
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif42
dengan studi lapangan dan
studi kepustakaan (library research). Metode kualitatif digunakan untuk
memperoleh pemahaman mendalam tentang indikator dari beberapa jawaban,
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah berbasis agama dalam
perspektif multikultural, fokusnya adalah situasi atau informan tertentu, dan
penekanannya pada makna yang ditafsirkan berdasarkan ungkapan-ungkapan dari
pemberi informasi. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengoleksi dan
menganalisa data dari sumber-sumber primer dan sekunder.
1. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian ini adalah sekolah berbasis agama SMP
Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala. Masing-masing sekolah
memiliki siswa yang berbeda agama dan secara tidak langsung turut serta
menerapkan pendidikan dalam perspektif multikultural. Dengan demikian sasaran
penelitian ini (objek) adalah pelaksanaan pendidikan di sekolah berbasis agama
dalam perspektif multikultural terhadap siswa-siswi yang memiliki latar belakang
agama yang berbeda.
2. Sumber Data
Adapun sumber data utama (primer) dalam penelitian ini adalah data-data
yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) melalui wawancara,
observasi dan studi dokumen. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan
pustaka yang relevan dengan pendidikan multikultural yang tersebar di banyak
literatur, buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan, artikel-artikel otoritatif
yang ditulis oleh ahlinya, untuk memperkuat analisis empiris dalam menjawab
permasalahanan penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap
situasi yang diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, observasi dan studi dokumen. Teknik wawancara yang digunakan
adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan dengan ketua yayasan,
ketua komite sekolah, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru bidang studi
agama, guru bidang studi umum (terdiri dari 4 orang) serta siswa-siswi (terdiri dari
10 orang) pada masing-masing sekolah berbasis agama. Wawancara bertujuan
untuk memperoleh informasi tentang kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum
dan metode pembelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial yang
mendukung terciptanya pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif
multikultural.
42
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung;
Alfabeta, 2011), cetakan 13, 205.
25
Selanjutnya observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
terkendali yakni melakukan pengamatan terhadap sasaran penelitian yang
ditempatkan dalam lingkungan terbatas yang dapat diamati oleh peneliti. Objek
penelitian ini adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, siswa serta
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Observasi bertujuan untuk
memperoleh data tentang interaksi sosial yang terjadi antar warga sekolah, metode
pembelajaran serta pengembangan kurikulum dan mata pelajaran yang memiliki
muatan nilai-nilai multikultural.
Sedangkan studi dokumen digunakan untuk menggali data dalam bentuk
dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan aspek penelitian seperti AD/
ART yayasan, kebijakan sekolah, sumber dan bahan ajar serta metode pembelajaran
yang mendukung terciptanya nuansa multikultural di masing-masing sekolah
berbasis agama.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yakni
memaparkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa wawancara,
observasi dan studi dokumen kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil
kesimpulannya. Kegiatan analisis data dilakukan secara simultan sepanjang periode
penelitian. Langkah-langkah analisis yang dilakukan dalam upaya untuk memahami
dan menginterpretasikan data yang diperoleh yang mencakup kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:43
a. Analisis temuan secara terus menerus di lapangan, khususnya dalam
masalah yang diteliti dan juga dalam keseluruhan fenomena yang
berkaitan dengan pertanyaan penelitian, dengan tujuan untuk
mendapatkan tema-tema besar dan untuk mengembangkan konsep-konsep
yang dihasilkan dalam penelitian.
b. Pengelompokkan dan pengorganisasian data, sesegera mungkin setelah
data diperoleh sehingga dapat membantu peneliti dalam memahami pola
permasalahan dan tema fenomena yang diteliti.
c. Membuat catatan yang sistematis dan membaca literatur mengenai
penelitian-penelitian lain tentang masalah yang relevan untuk
memperoleh kerangka pemikiran yang sesuai dengan temuan di lapangan.
d. Mengevaluasi setiap langkah-langkah yang dilakukan untuk menghindari
kesalahan atau menajamkan fokus penelitian yang sedang dilakukan
secara terus menerus.
5. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan
sosiologis dan filosofis.
43
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosda
Karya, 2011), cet ketujuh, 99. Lihat juga Durri Andriani, dkk, Metode Penelitian (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2011), cet kedua, 621.
26
Pendekatan sosiologis digunakan untuk menjelaskan fakta yang
sesungguhnya terjadi di lapangan mengenai pola interaksi antara kepala sekolah
dengan guru, interaksi antara guru dengan siswa, interaksi antar siswa dan interaksi
antara warga sekolah dengan masyarakat. Pendekatan ini juga untuk melihat
apakah pola interaksi tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan atau
sebaliknya. Sedangkan pendekatan filosofis akan digunakan untuk melihat
fenomena di balik objek yang diteliti.44
G. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari enam bab dan masing-masing bab memiliki sub
judul. Bab pertama memuat pendahuluan, latar belakang penelitian, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian terdahulu, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang diskursus pendidikan multikultural, sejarah
multikulturalisme, multikulturalisme dalam pandangan Islam dan Kristen,
praktik multikulturalisme periode Islam klasik dan pendidikan multikultural
dalam sistem pendidikan nasional.
Bab ketiga membahas tentang sekolah berbasis agama, pengertian, kultur
pendidikan di Sumatera Utara dan dinamika pendidikan dalam perspektif
multikultural di sekolah berbasis agama.
Bab keempat membahas tentang internalisasi nilai-nilai multikultural
pada sekolah berbasis agama, kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum dan
mata pelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial.
Bab kelima membahas tentang implementasi nilai-nilai multikultural d
sekolah berbasis agama, memperkuat human relation dalam lingkungan sekolah,
equity pedagogy pada intra dan ekstrakurikuler serta aktifitas sosial
kemasyarakatan: living together. Bab keenam merupakan bagian akhir dalam penelitian ini yang memuat
kesimpulan dan saran. Kesimpulan akan di deskripsikan berdasarkan hasil
temuan penelitian di lapangan dan saran dapat dijadikan rekomendasi agar dapat
ditindaklanjutin.
44
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014), 49.