Post on 04-Jul-2015
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMILIHAN UMUM DAN
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
1. DEMOKRASI DAN PEMILIHAN UMUM
1.1. Tinjauan Umum Tentang Demokrasi
Demokrasi merupakan perwujudan dari adanya kedaulatan rakyat
kedaulatan tersebut dalam hal ini adalah bukan rakyat yang hanya terdiri
dari individu-individu dalam suatu negara, tetapi keseluruhan atas kesatuan
yang dibentuk oleh individu itu sendiri melalui perjanjian masyarakat.
Dengan demikian, seorang individu tidak dapat mengklaim dirinya sebagai
rakyat apabila tanpa ada kaitannya dengan keseluruhan individu itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam perwujudan kedaulatan itu, rakyat menyerahkan
kedaulatannya kepada beberapa orang (dalam hal ini wakil-wakil rakyat
yang dipilih melalui pemilihan umum). Penyerahan kedaulatan ini
merupakan proses demokrasi, sehingga pada intinya kedaulatan berada
ditangan rakyat. Lazimnya demokrasi semacam itu disebut dengan
demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung.
16
Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Parulian
Donald dalam bukunya yang berjudul Menggugat Pemilu yang menyatakan
bahwa:
Sejalan dengan makin mendunianya demokrasi, pemikiran tentang demokrasi (menyangkut pendefinisian dan pembagian bentuk) pun kian berkembang. 'Tapi pada umumnya pemikiran itu berintikan tentang kekuasaan dalam negara. Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang memiliki dan mengendalikan kekuasaan dan kekuasaan itu dijalankan adalah demi kepentingan rakyat. Abraham Lincoln, bekas Presiden AS pernah mengatakan, bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 5
Demokrasi sendiri terbagi atas dua, yaitu demokrasi dalam arti materiil
dan demokrasi dalam arti formal. Teori demokrasi dalam arti materiil
disampaikan oleh Perikles yang mengemukakan bahwa “inti dari demokrasi
itu justru terletak dalam jaminan yang diberikan terhadap hak-hak yang
berdasarkan pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi
warga negara.”6 Sedangkan demokrasi dalam arti formal oleh J.J. Rousseau
yang menyatakan bahwa;
secara formal demokrasi hanya sekedar mengandung pengakuan bahwa faktor yang menentukan suatu negara adalah kehendak rakyat yang kemudian menjadi keinginan sebagian besar rakyat, akan tetapi mengakibatkan tidak adanya suatu pembatasan untuk menjamin kemerdekaan seseorang.”7
5 Parulian Donald, Menggugat Pemilu, Pustaka Harapan, Jakarta, 1.997, h. 2. 6 Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung, 1990, h. 65-66. 7 Ibid, h. 66
17
Pada zaman modern demokrasi dalam arti materiil dan demokrasi
dalam arti formal dikombinasikan bahwa unsur materiil tersebut ditandai
dengan adanya fair play dalam pembentukan kekuasaan dan pimpinan suatu
negara. Sedangkan unsur formal ditandai dengan adanya sistem
pemungutan suara.
Kombinasi pengertian demokrasi dalam arti materiil dan dalam arti formal
selaras dengan pandangan yang dikemukakan oleh G. Birgham Powell Jr,
yang menyatakan ada lima kriteria terwujudnya demokrasi :
1. pemerintah mengklaim mewakili hasrat para warga negara; 2. klaim itu berdasarkan pada adanya pemilihan kompetitif secara
berkala antara calon alternatif; 3. kebanyakan orang dewasa dapat ikut serta, baik sebagai pemilih,
maupun sebagai calon dipilih; 4. pemilihan bebas; 5. para warga negara memilih kebebasan-kebebasan dasar, yaitu
kebebasan berbicara, pers, berkumpul dan berorganisasi serta membentuk partai politik.8
Salah satu prasyarat dari terwujudnya demokrasi adalah partai politik
yang berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi politik
masyarakat dan sebagai media untuk melakukan perjanjian kebijakan
dengan pemerintah. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Koirudin
yang menyatakan sebagai berikut:
8 Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia,
Pustaka litama, Jakarta, 1995, h. 56
18
Di negara-negara maju, ukuran keberhasilan demokrasi secara tepat bisa dilihat dari bagaimana partai politik menjalankan fungsinya untuk memasukkan agenda-agenda kebijakan publik yang bermanfaat tidak saja bagi konstituen pemilihnya, melainkan juga bermanfaat bagi seluruh komponen bangsa yang ada. Ukuran demokratis tidaknya, bisa dilihat dalam kerangka apakah aspirasi konstituen sebagaimana yang dicerminkan dalam janji-janji partai politik terwujud dalam implementasinya.9
Selanjutnya Koirudin dengan mengutip pernyataan Affan Gaffar
berpendapat bahwa :
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman demokrasi, yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Dalam artian normatif, demokrasi merupakan sesuatu ideal yang hendak diselenggarakan oleh sebuah negara. Sementara dalam arti empirik adalah amatan kita untuk mencermati apakah dalam suatu sistem pemerintahan memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakat untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi politik mereka melalui organisasi politik yang ada.10
Kunci utama dari perwujudan demokrasi adalah adanya keterlibatan
rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menentukan siapa
pemimpin mereka dan arah kebijakan yang mereka tentukan dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan untuk kepentingan rakyat semata. Hal itu
seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa “prinsip umum bagi
demokrasi adalah adanya persamaan wujud diantara pemerintah dan yang
9 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Menakar Kinerja Partai Politik Era
Transisi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet.I, 2004, h. 2 10 Ibid, h. 141-142.
19
diperintah diantara subyek dan obyek kekuasaan, rakyat dikuasai oleh
rakyat.”11
Dalam perkembangan demokrasi di bedakan dalam dua macam yaitu
demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Baik demokrasi langsung
maupun demokrasi perwakilan pada prinsipnya sama bahwa
penyelenggaraan pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.
Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik
menyatakan bahwa “demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu
bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak
berdasarkan prosedur yang mayoritas.”12 Demokrasi langsung ini
dipraktikkan pada masa Yunani kuno. Sifat demokrasi seperti ini dapat
diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang
sangat sederhana, dalam wilayah yang terbatas, serta jumlah penduduk yang
relatif sedikit. Sedangkan dalam demokrasi perwakilan (reprensentatif
democracy), “para warga negara memilih pejabat-pejabat untuk membuat
11 Solly Lubis, Op. Cit, h. 66. 12 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, h.
53-54.
20
keputusan politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan
menjalankan program untuk kepentingan umum”.13 Demokrasi perwakilan
ini merupakan perwakilan dalam lembaga formal kenegaraan, seperti
parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah /
Dewan Perwakilan Daerah / Presiden / Kepala Daerah) maupun perwakilan
aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian. Jadi para pejabat tersebut
bertindak atas nama rakyat.
Dalam demokrasi perwakilan, penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis harus memenuhi syarat-syarat dasar rule of law, seperti yang telah
ditentukan oleh International Commission of Jurist, yang merupakan suatu
organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok tahun
1965 sebagai berikut :
1. perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
3. pemilihan umum yang bebas. 4. kebebasan untuk menyatakan pendapat. 5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi. 6. pendidikan kewarganegaraan (civic education).14
13 United State Information Agency, What is Democracy, Apakah Demokrasi itu,
Terjemahan Budi Prayitno dan Diedit oleh Abdullah Alamudi, h. 15. 14 Eko Sugitario, Hak Kodrat sebagai Dasar Hukum Positif Hak-Hak Asasi Manusia Di
Negara Hukum, Jurnal Yustika, Volume 5 Nomor 1 Juli 2002, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 2002, h. 70-71. (selanjutnya disebut Eko Sugitario I).
21
Menurut International Commission of jurist, suatu bentuk pemerintahan
dimana "hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan
oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan
bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang
bebas”.15
Didik Widitrismiharto dalam Jurnal Yustika memberikan pandangan
tersendiri tentang demokrasi perwakilan dinyatakan bahwa :
Dalam pemerintahan dengan perwakilan dalam suatu negara yang menganut faham demokrasi (termasuk Indonesia) rakyat yang berdaulat hanya akan memilih wakil-wakilnya yang hanya terdiri dari beberapa orang saja, yang untuk selanjutnya rakyat tidak lagi memiliki kebebasan atau kemerdekaan yang cukup untuk mengatur kehidupan bernegara, dan merek akan membiarkan saja hak-hak asasinya dirampas dan dipermainkan oleh wakil-wakil yang dipilihnya itu, sebagaimana Louis Veuillot mengatakan “waktu saya memilih, hak persamaan saya jatuh dalam kotak pilihan bersama suara saya itu; dan keduanya hilang sama sekali”.16
Sedangkan Peter Mahmud Marzuki melihat dari sudut pandang
undang undangnya bahwa demokrasi perwakilan yang ada di Indonesia
sebagai berikut:
Telah disebutkan berkali-kali bahwa tuntutan akan ditegakkanya nilai-nilai demokrasi merupakan sesuatu yang universal. Kiranya hal itu juga yang melandasi gagasan didirikannya negara Indonesia. Oleh karena itulah negara ini menganut teori kedaulatan rakyat. Hal itu terlihat baik di dalam Pembukaan UUD 1945 maupun batang tubuhnya. Undang-Undang Dasar itu menetapkan demokrasi perwakilan sebagai sifat
15 Miriam Budiardjo, Op. Cit, h. 61 16 Didik Widitrismiharto, Op. Cit, h. 84
22
pemerintahan negara Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi telah melekat di dalam benak pembentuk negara.17
Pernyataan Peter Mahmud Marzuki tersebut di atas dibuktikan dengan
sejak berdiri bangsa Indonesia, telah mengakui dan menganut paham
demokrasi, yang terus berkembang hingga saat ini, dimana perkembangan
demokrasi di Indonesia di bagi dalam tiga masa yaitu :
• Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstisional) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai maka dari itu dinamakan demokrasi Parlementer.
• Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formil merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
• Masa Republik Indonesia III (1965-sekarang), yaitu demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional dimana demokrasi ini menonjolkan pada sistem Presidensiil.18
Oleh karena itu, sebagai suatu negara yang mengaku demokratis
(termasuk Indonesia), setiap negara harus berupaya mencari rumusan
operasional demokrasi. Dalam masalah ini Robert A. Dahl telah
merumuskan unsur-unsur institusional demokrasi seperti dibawah ini
l. Kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam suatu organisasi.
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat. 3. Hak untuk memberikan suara. 4. Keberbolehan untuk memperoleh jabatan publik.
17 Peter Mahmud klarzuki, Filosofi Pembaharuan Hukum Indonesia, Jurnal Yustika. Volume 5
Nomor l Juli 2002, Fakultas Hukum Universitas Surabava, 2002, h. 33-34. 18 Miriam Budiardjo, Op. Cit, h. 69
23
5. Hak pemimpin politik untuk bersaing dalam mendapatkan dukungan atau hak bagi pemimpin politik untuk bersaing melalui pemungutan suara.
6. Hak untuk memperoleh informasi alternatif. 7. Diadakan pemilihan umum yang bebas dan jujur. 8. Lembaga yang membuat kebijaksanaan politik bergantung pada
pemungutan sura dan ekspresi penentuan pilihan.19
Selain pendapat Robert A. Dahl tentang rumusan unsur-unsur
institusional demokrasi, ada pendapat Franz Magnis Suseno tentang lima
gugus ciri hakiki negara demokratis, sebagai berikut :
1. negara hukum; 2. pemerintahan yang dibawah control nyata masyarakat; 3. pemilihan umum yang bebas; 4. prinsip mayoritas; 5. adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.20
Franz Magnis Suseno menambahkan selain ciri-ciri hakiki tersebut juga
harus adanya jaminan atas hak-hak demokratis rakyat meliputi :
1. Hak untuk menyatakan pendapat serta untuk mengkritik pemerintah baik secara lisan maupun tertulis; hak ini termasuk kebebasan pers.
2. Hak untuk mencari informasi alternatif terhadap informasi yang disajikan oleh pemerintah.
3. Hak berkumpul. 4. Hak membentuk serikat, termasuk hak mendirikan partai politik, dan
hak berasosiasi.21
19 Eko Sugitario I, Op. Cit, h. 7l. 20 Ibid, h.71. 21 Ibid, h.71.
24
Sehubungan dengan hak tersebut J. Oliver Hall dan R.E. Klinger
mengemukakan bahwa ciri-ciri karekteristik pemerintahan demokrasi
adalah:
1. Semua kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat (All governmental power comes from the people);
2. Segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah harus mengikuti/berdasarkan hukum yang dibuat oleh rakyat sendiri atau oleh wakil-wakil mereka (Everything a government does must follow lawas by the people themselves or by their representatizies);
3. Rakyat, melalui partai-partai politik, sesuai dan berdasarkan hukum dapat mengadakan pengawasan secara sah dan mengefektifkan (ikut serta mengambil bagian) dalam kebijakan-kebijakan pemerintah (The people though political parties, may try by lawful means ti get control of government and put their policies into effect);
4. Hampir semua warga negara yang dewasa mempunyai hak pilih (Most adult citizens have the right to vote);
5. Pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai posisi penting (yang berkuasa menentukan pokok kebijaksanaan), dipilih oleh rakyat secara teratur dan periodik (The principal policy makin officials are elected by the voters at regular atervals);
6. Suara mayoritas menentukan pembuatan undang-undang dan pemilihan (A majority vote determines law makin and elections).22
Dari adanya ciri-ciri demokrasi dan adanya jaminan hak-hak tersebut
diatas maka Muladi menggambarkan demokrasi sebagai suatu piramida
(democratic pyramid) yang didalamnya mengandung 4 “sub pyramids” yang
masing-masing terdiri dari berbagai indeks dan indikator kinerja untuk
mengukur seberapa jauh suatu negara benar-benar demokratis yaitu :
22 Didik Widitrismiharto, Op. Cit, h. 87
25
1. adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil; 2. adanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab dan bersifat
responsif; 3. adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya
hak-hak sipil dan politik; 4. adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidupan yang
demokratis atas kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya.23
Dari berbagai pemahaman mengenai demokrasi maka dapat diketahui
bahwa demokrasi mempunyai pilar-pilar yang harus ditegakkan dan dikenal
sebagai soko guru demokrasi antara lain:
1. kedaulatan rakyat. 2. pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. 3. kekuasaan mayoritas. 4. hak-hak minoritas 5. jaminan hak-hak asasi manusia. 6. pemilihan yang bebas dan jujur. 7. persamaan di depan hukum. 8. proses hukum yang wajar. 9. pembatas pemerintah secara konstitusional. 10. pluralisme social, ekonomi, dan politik. 11. nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.24
Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pemilihan
umum (selanjutnya disingkat pemilu) pun menjadi sebuah kata kunci. Tak
ada demokrasi tanpa diikuti pemilu. Pemilu merupakan wujud yang paling
nyata daripada demokrasi.
23 Ibid, h. 88.
24 United State Information Agency, Op. Cit, h. 61.
26
1.2. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum
Pemilu, berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau
sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin negara.
Pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang
memilihnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ali Murtopo bahwa “pada
hakikatnya Pemilihan Umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat
untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi”.25
Lyman Tower Sargent menyatakan bahwa “keterlibatan warga negara
memiliki sejumlah unsur penting yang mencakup partisipasi aktif dalam
suatu partai politik atau kelompok penekan atau menghadiri dan
berpartisipasi dalam dengar pendapat publik atau rapat-rapat politik yang
lain”.26
Menurut Hendardi “Pemilihan Umum tidak hanya sekedar
mempersoalkan kedaulatan rakyat, tapi juga manifestasi dari kepentingan
politik-politik, pada umumnya Pemilu adalah sarana bagi suatu partai untuk
berkuasa dalam politik dan membentuk masyarakat politik”.27
25 Bintan R Saragih, Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya
Media Pratam, Jakarta, 1998, h. 167. 26 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik kontemporer, Bina Aksara, Jakarta, 1986, h. 44. 27 Hendardi, Kedaulatan Rakyat, Implementasi Demokrasi, Dan HAM, Hasil Seminar
Kedaulatan Rakyat Dalam Menyongsong Pelaksanaan Pemilu 2004, Surabaya, 15 Maret 2003, h. 27-28.
27
Untuk mewujudkan itu maka lebih lanjut Hendardi menyatakan bahwa
“Pemilihan Umum untuk meraih pelembagaan demokrasi, harus bersumber
dari partai-partai yang mempunyai program minimum yang dapat diukur
hasilnya, yang terimplementasi dalam lobi-lobi politik dan penentuan
undang-undang atau peraturan daerah, dan kebijakan pemerintahnya.”28
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disingkat
UU No. 23 Tahun 2003) Pasal 1 angka 1 menentukan sebagai berikut:
Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kota.
Sedangkan Didik Widitrismiharto dalam Jurnal Yustika mengutip
pernyataan dari Riswanda Imawan yang mengemukakan bahwa :
Memang demokrasi itu telah ditakdirkan sebagai sesuatu yang illusive dan impossible yang membawa konsekuensi bahwa para elite atau wakil-wakil rakyat itu sebenarnya hanya bertanggung jawab diantara mereka sendiri (untuk selanjutnya) mereka tidak bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat (illusive), karena para elite atau wakil-wakil rakyat itu sekali terpilih mewakili rakyat melalui pemilihan umum akan dapat dengan mudah mengatasnamakan kepentingan pribadi (personal
28 Ibid, h.28.
28
interest) sebagai kehendak rakyat (the will of the people) yang memiliki dan memegang kedaulatan dalam suatu negara.29
Jika dilihat dari peraturan yang telah ada dalam undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya
disingkat UU No. 22 Tahun 2003) Pasal 29 menentukan sebagai berikut ;
Anggota DPR mempunyai kewajiban ;
a. mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan; d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
Negara kesatuan Republik Indonesia; e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindak lanjuti aspirasi
kelompok, dan golongan; g. mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan; h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
pemilih dan daerah pemilihnya; i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR; dan j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
yang terkait.
Apabila pernyataan Riswanda Imawan dikaitkan dengan peraturan
maka seharusnya elit atau wakil-wakil rakyat tersebut idealnya harus
29 Didik Widitrismiharto, Op. Cit, h. 84-85.
29
melaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada, tidak bertindak illusive,
oleh karenanya dalam segala perbuatan dan tindakannya dalam membuat
atau pun memutuskan kebijaksanaan harus di dasarkan pada aspirasi rakyat.
Karena sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, maka Didik
Widitrismiharto menyatakan bahwa:
Dalam pemilihan umum itulah rakyat menyuarakan aspirasinya sebagai manifestasi atas kedaulatannya untuk memilih wakil-wakilnya, yang akan menempatkan wakil tersebut sebagai perwakilan dalam menyuarakan kehendak-kehendaknya. Untuk selanjutnya kewajiban dari anggota badan perwakilan (DPR dan MPR) untuk selalu mendengar dan memperhatikan aspirasi dan kehendak rakyat untuk diperjuangkan.30
Sedangkan M. Rusli Karim menyatakan bahwa;
Esensi pemilihan umum adalah sebagai sarana kedaulatan untuk membentuk suatu sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan.31
Kedaulatan rakyat tersebut dituangkan dalam Pemilu dimana Pasal 22
E Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa
“pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Operasionalisasi dari Pasal 22E 30 Ibid, h.85. 31 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, h.28.
30
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu (selanjutnya
disingkat UU No. 12 Tahun 2003) yang mengakomodasi pelaksanaan
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(selanjutnya disingkat DPR), Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya
disingkat DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat
DPRD) dan juga dituangkan melalui UU No, 23 Tahun 2003 yang juga
mengakomodasi pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden.
Tentang peraturan perundang-undangan tersebut Komarudhin Hidayat
berpendapat:
Pemilu yang berkualitas setidaknya harus dilihat dari dua sisi. Pertama, prosesnya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis, luber, dan jurdil serta dipatuhi semua peraturan Pemilu. Kedua, hasilnya, yakni orang-orang yang berintegritas tinggi, moralitasnya teruji dan kapasitasnya tidak diragukan.32
Mempertegas pendapat tersebut M. Rusli Karim merinci unsur-unsur Pemilu
yang demokratis:
1. sebagai aktualisasi dari prinsip keterwakilan politik; 2. aturan permainan yang fair; 3. dihargainya nilai-nilai kebebasan; 4. diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan
berbagai kekuatan politik secara proposional; 5. tiadanya intimidasi;
32 Ibid, h.31.
31
6. adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam Pemilu; 7. mekanisme dan prosedur pelaporan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.33
Dari unsur Pemilu yang demokratis tersebut maka ciri khas suatu
negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) adalah melaksanakan Pemilu
dalam waktu-waktu tertentu. Karena Pemilu pada hakekatnya merupakan
pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat kepada para elit
atau wakil wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 22E
Ayat (1) yaitu; “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Pada akhirnya sebagai arena kompetisi politik yang sehat, Pemilu
demokratis membutuhkan sejumlah persyaratan sebagai berikut:
1. Ada pengakuan terhadap hak pilih warga negara tanpa terkecuali; 2. Ada keluasaan untuk membentuk “tempat penampungan” bagi
pluralitas aspirasi masyarakat pemilih; 3. Tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon wakil rakyat
yang demokratis; 4. Ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan
pilihan; 5. Tanpa keluasaan-keluasaan tersebut sebuah prosesi Pemilu dapat
menjebak masyarakat pemilih untuk “membeli kucing dalam karung”;
6. Ada komitmen atau panitia pemilihan yang independen;
33 Ibid, h.32.
32
7. Ada keluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara sehat;
8. Penghitungan suara yang jujur; dan 9. Netralisasi birokrat.34
Pelaksanaan dan hasil Pemilu merupakan refleksi dari suasana
keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi, di samping perlu
adanya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap cerminan
pendapat warga negara.
Miriam Budiardjo memberikan pernyataan sebagai berikut:
Di kebanyakan negara demokrasi di dunia barat, Pemilu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dart kebebasan berserikat, dianggap dengan agak akurat mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian disadari bahwa Pemilu tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebaiknya.35
Pada hakikatnya Pemilu, dinegara manapun mempunyai esensi yang
sama. Pemilu, berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau
sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat, dan pemimpin tersebut akan
menjalankan kehendak rakyat. sejalan dengan hat itu maka menurut Parulian
Donald, “ada dua manfaat yang sekaligus sebagai tujuan atau sasaran
langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan atau beropersinya
34 Ibid, h. 34-35. 35 Ibid, h.32.
33
lembaga politik Pemilu, yaitu pembentukan atau pemupukan kekuasaan
yang absah dan mencapai tingkat keterwakilan politik.”36
Berdasarkan hat tersebut Parulian Donald juga menambahkan bahwa:
Besar kemungkinan untuk merasakan kedua manfaat Pemilu tersebut amat tergantung kepada kesadaran para pendukung lembaga politik tersebut akan adanya tujuan tak langsung dari Pemilu. Tujuan tidak langsung ini dihasilkan oleh keseluruhan aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses Pemilu, baik para konstentan, maupun para pelaksana dan pengawas. Kalau tujuan langsung tersebut amat berkaitan dengan hasil Pemilu, maka tujuan tidak langsung ini berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut. Dengan kata lain, apabila keabsahan kekuasaan dan keterwakilan masyarakat terkait pada tujuan Pemilu, maka pembudayaan dan pelembagaan politik disangkutkan kepada cara Pemilu berlangsung.37
Arbi Sanit menyatakan Pemilu bagi terwujudnya perubahan internal
dan hubungan antara lembaga kepresidenan (eksekutif) dengan lembaga
perwakilan rakyat (legislatif) adalah:
1. Menghasilkan semua anggota lembaga perwalian rakyat; 2. Menghasilkan wakil rakyat yang mandiri, responsif terhadap
pemilih, berkemampuan politis dan teknis legislatif dan terkontrol secara bertanggungjawab kepada pemilih;
3. Menghasilkan pemenang sehingga mampu mendukung pemerintah yang bekerja secara efektif dan responsif;
4. Menjamin penghormatan dan ketaatan serta birokrasi kepada etika politik dan budaya politik demokrasi serta hukum.38
Apabila dipandang dari kacamata demokrasi, tujuan Pemilu hendaklah
kembali berpegang pada prinsip kebijaksanaan yang demokratis yaitu 36 Parulian Donald, Op. Cit, h. 5 37 Ibid. 38 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, h.36
34
menjamin kepentingan semua golongan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan
Pemilu harus dinyatakan dalam fungsi-fungsi utama Pemilu yaitu : “pertama,
membentuk pemerintahan perwakilan lewat partai politik pemenang Pemilu;
kedua, menentukan wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat; ketiga,
pergantian atau pengukuran elit penguasa, dan keempat, pendidikan politik
bagi rakyat melalui partisipasi rakyat di dalam Pemilu”.39
Berdasarkan peraturan perundang-undangan legislatif, Pemilu
diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil
daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan
memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Sedangkan Undang-Undang Pemilu Nomor 23 Tahun 2003 Presiden dan
Wakil Presiden menentukan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan wakil Presiden
yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu
menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara.
39 Ibid, h.37.
35
1.2.1. Sistem Pemilihan Umum
Penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi menggunakan sistem
pemilihan umum yang banyak jumlahnya. Biasanya beberapa negara
menggunakan sistem mekanis. “Dalam sistem pemilihan mekanis rakyat
suatu negara dianggap sebagai individu-individu yang berdiri sendiri.
Rakyat dianggap sebagai pengendali hak pilih, dan setiap individu yang
memenuhi syarat untuk memilih satu suara dalam pemilihan umum”.40
Sistem pemilihan mekanis ini dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu
sistem pemilihan distrik, dan sistem pemilihan proposional.
A. Sistem Pemilihan Distrik
Eko Sugitario dalam diktat mata kuliah Hukum Tata Negara
menyatakan bahwa “wakil rakyat dalam satu distrik pemilihan hanya satu
orang, sehingga disebut single member constiticency. Wakil rakyat yang terpilih
itu adalah calon yang memperoleh suara terbanyak atau mayoritas dalam
pemungutan suara di distrik pemilihan yang bersangkutan, sehingga disebut
juga sistem mayoritas.”41
40 Eko Sugitario, Sistem Pemilihan Umum dan Partai Politik, Diktat Mata Kuliah Hukum
Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, h. 4. (selanjutnya disebut Eko Sugitario II)
41 Ibid, h. 5.
36
Sistem pemilihan distrik menurut Eko Sugitario juga mempunyai
beberapa kelemahan dan kelebihan, antara lain seperti yang diuraikan
dibawah ini;
Kelemahan sistem Distrik;
• jika pemilihan umum diikuti oleh banyak partai politik (multi partai) sebagai peserta pemilihan umum, maka akan banyak suara pemilih yang terbuang, yaitu suara yang diberikan kepada calon wakil rakyat yang ternyata tidak terpilih karena kalah suara dibandingkan dengan jumlah suara yang diperoleh oleh calon lain.
• Partai politik yang kecil dan tidak popular sulit memenangkan calonnya dalam pemilihan umum, terutama partai politik yang kekurangan dana dan tidak memiliki tokoh-tokoh popular di distrik pemilihan yang bersangkutan.
• Ada kecenderungan pada anggota parlement yang hanya memperjuangkan kepentingan rakyat dari distrik pemilihannya sendiri, agar pemilihan umum berikutnya dapat terpilih lagi di distrik pemilihannya.
Kebaikan atau kelebihan dari Sistem Distrik;
• Pelaksanaan pemilihan umum relatif lebih cepat, karena pemungutan suara dan penghitungan suara hanya dilakukan di distrik-distrik pemilihan secara serentak
• Organisasi penyelenggaraan atau panitia pemilihan umum tidak terlalu besar, sehingga biaya pemilihan umum juga relative lebih murah.
• Hubungan antara pemilih dengan yang akan dipilih adalah dekat, karena pemilih telah mengenal calon yang dipilihnya, sehingga partai politik tidak gegabah mencalonkan orang atau tokoh yang tidak dikenal di distrik pemilihan yang bersangkutan.42
42 Ibid, h. 6-7.
37
Sistem pemilihan distrik diyakini menghasilkan wakil-wakil rakyat
sebagai hasil pilihan rakyat sendiri yang secara langsung akan duduk dan
berada di kursi parlemen maka oleh karena itu elite atau wakil rakyat
tersebut bertanggung jawab langsung kepada rakyat, terutama di daerah
distrik pemilihannya. “Oleh karena itu, masalah hak mengganti (hak recall)
merupakan hak rakyat di distrik pemilihan yang bersangkutan sehingga
diganti atau tidak digantinya wakil rakyat tersebut bergantung pada rakyat
sendiri, dan tidak bergantung pada organisasi atau partai politiknya”.43
B. Sistem Proposional
Dalam pemilihan proposional ini kedudukan seluruh kursi yang ada
dalam parlemen diperebutkan dalam Pemilu. “Seluruh kursi yang tersedia di
parlemen dibagikan kepada partai politik peserta pemilihan umum sesuai
dengan sistem timbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum,
sehingga disebut juga sistem perwakilan berimbang atau multi member
constituency.”44
Sistem pemilihan proposional ini dalam praktik dapat dilaksanakan
dengan berbagai macam metode atau lebih dikenal dengan sebutan stelsel,
43 Ibid, h. 7. 44 Ibid, h. 8.
38
diantaranya adalah single transferable atau hare system, dan list system (stelsel
daftar), serta daftar calon terbuka.
Pengertian tentang single transferable vote atau Hare system menurut Moh.
Kusnardi, dan Harmaily Ibrahim adalah seperti yang diuraikan dibawah ini;
Single transferable atau Hare system adalah system pemilihan dengan memberi kesempatan kepada pemilih untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah pemilihan yang bersangkutan. jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk memilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada dan berikutnya, dan seterusnya.45
“Dengan dipraktikkanya Hare system ada kecenderungan bertambahnya
partai politik. Karena ambisi perorangan yang ingin duduk sebagai pimpinan
partai politik, maka dibentuklah partai politik yang baru. Partai politik baru
ini mungkin pecahan dari partai politik yang sudah ada lebih dahulu.”46
Sedangkan List system atau stelsel daftar menurut Eko Sugitario adalah :
Dalam system pemilihan proposional dengan stelsel daftar, nama-nama calon wakil rakyat didaftar atau ditulis dibawah tanda gambar partai politik yang bersangkutan secara berurutan dari atas kebawah. Pencantuman nama-nama personal individu dibawah tanda gambar merupakan wewenang dari pemilik tanda gambar, yaitu partai politik. Rakyat memilih tanda gambar partai politik dengan cara mencoblos (menusuk) atau memberi tanda pada gambar tersebut, sehingga dapat diartikan bahwa yang dipilih rakyat adalah partai politik, dan bukan
45 Moh. Kusnardi, dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1976, h. 170. 46 Ibid, h. 171.
39
memilih personal individu yang namanya terdaftar di bawah tanda gambar.47
C. Gabungan Sistem Pemilihan Distrik dan Sistem Pemilihan Proposional
Selain sistem proposional dengan stelsel daftar terdapat juga sistem
proposional dengan sistem daftar calon terbuka dimana, “pemilih sekaligus
memilih partai politik dan salah satu nama calon dari partai politik yang
daftar namanya terdapat di bawah tanda gambar partai politik.”48 sehingga
terdapat dua pemilihan dalam satu pelaksanaan yaitu memilih partai politik
dan memilih nama calon dari partai politik.
Selain sistem pemilihan distrik dan proposional, terdapat alternatif lain
yaitu gabungan sistem pemilihan distrik dan sistem pemilihan proposional.
Gabungan sistem pemilihan distrik dan sistem pemilihan proposional adalah
sistem pemilihan yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini sesuai dengan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2003 yang menentukan seperti di
bawah ini ;
(1)Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota dilaksanakan dengan sistem proposional dengan daftar calon. terbuka.
(2)Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
47 Eko Sugitario II, Op. Cit, h. 10. 48 Ibid, h. 11.
40
Dari ketentuan yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 6
tersebut maka Eko Sugitario menyampaikan seperti dibawah ini;
Setengah dari anggota parlemen dipilih dengan sistem pemilihan distrik, dan setengah lagi dipilih dengan sistem pemilihan proposional. Setiap pemilih mempunyai dua suara ; pemilih itu memilih calon atas dasar sistem pemilihan distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai politik atas dasar sistem pemilihan proposional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan agar distorsi tidak terlalu besar efeknya.49
1.2.2. Asas Pemilihan Umum
Asas Pemilu yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, sejak
berdirinya hingga sekarang telah dirumuskan tiga kali asas Pemilu. Hal ini
dinyatakan oleh Titik Triwulan Tutik sebagai berikut;
Pertama, berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (selanjutnya disebut UUDS 1950), ditetapkan lima asas yang dipergunakan dalam Pemilu pertama 1955, yaitu: Umum, Berkesamaan, Langsung, Bebas, dan Rahasia...., Kedua, berdasarkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1966 asas kebersamaan tidak dipakai lagi karena sebagian anggota DPR dinyatakan diangkat (khususnva bagi anggota ABRI karena tidak ikut Pemilu), sehingga pada masa orde baru hanya menggunakan empat asas Pemilu yaitu Langsung, Umum Bebas, Rahasia...., Ketiga, pada masa reformasi menuntut adanya perubahan sistem ketatanegaraan menuju demokratis melalui Pemilu. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 22E Ayat (1) menentukan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”50
49 Ibid, h. 14. 50 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, h.39-40.
41
Pada masa reformasi, dalam asas Pemilu ditambahkan asas Jujur dan
Adil (selanjutnya disingkat jurdil) menurut Parulian Donald bahwa
“masuknya asas jurdil dalam Pemilu diforum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, baik dalam badan pekerja maupun sidang umum, sudah berulang
kali diperdebatkan, tetapi tetap saja asas jurdil mengambang sebagai
masalah, karena tidak ada komitmen yang sama atas asas ini.51
Dalam asas Pemilu menurut UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945 tersebut terdapat keterkaitan antara asas langsung, umum, bebas,
rahasia (selanjutnya disingkat luber) dan jurdil meskipun terdapat pengertian
yang berbeda. Seperti yang dikemukakan oleh T.A Legowo bahwa;
Aktualisasi jurdil berkaitan dengan bagaimana pelaksana dan peserta Pemilu menyikapi pelaksaan Pemilu. Jurdil mempersoalkan apakah pihak-pihak itu benar-benar menginginkan penyelenggaraan Pemilu sebagai manifestasi riil kehendak rakyat yang berdaulat untuk memberikan legitimasi pada penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan aktualisasi luber merujuk kepada bagaimana warga negara yang mempunyai hak pilih menggunakan haknya dalam Pemilu. Luber mempersoalkan terutama kepelakuan pemilih memberikan suaranya.52
Penjabaran di atas dapat menjelaskan bahwa aktualisasi luber dapat
menjamin lancarnya jika jurdil dioperasionalkan dalam pelaksanaan Pemilu.
Dengan kata lain, bahwa aktualisasi asas jurdil menjadi pra-kondisi dari
perwujudan asas luber. 51 Parulian Donald, Op. Cit, h. 40. 52 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, h. 41-42
42
2. TINJAUAN UMUM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peranan yang
strategis dalam pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,
kesejahteraan masyarakat, serta menjaga dan memelihara hubungan serasi
antara pemerintah pusat dan daerah dan juga hubungan antar daerah.
Senada dengan hal itu maka Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa “Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai dua fungsi pokok. Pertama,
sebagai Kepala Daerah Otonom. Kedua, sebagai pimpinan yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum yang menjadi wakil
pemerintah pusat di daerah”.53
Karena mempunyai dua fungsi pokok tersebut, maka Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sehingga di dalam
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung.
Senada dengan hal tersebut Radian Salman memberikan beberapa
alasan dilakukan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, sebagai berikut;
"pertama, akuntabilitas kepemimpinan Kepala Daerah; kedua, kualitas
pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat; dan
53 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1993 h. 113-114.
43
ketiga, sistem pertanggungjawaban yang tidak saja kepada DPRD atau
pemerintah pusat, tetapi langsung kepada rakyat.”54 Dengan adanya
pemilihan Kepala Daerah secara langsung tersebut maka di harapkan Kepala
Daerah yang memimpin pemerintah di daerah akan melaksanakan kegiatan
pemerintahan dengan berorientasi pada kepentingan rakyat, hal tersebut
dikarenakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan bertanggung
jawab langsung kepada rakyat.
Sedangkan pemilihan Kepala Daerah sebelum perubahan UUD 1945
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU No. 22 Tahun 1999) sebelum diganti dengan
UU No, 32 Tahun 2004, yaitu berdasarkan pada Pasal 34 Ayat (2) UU No. 22
Tahun 1999 menentukan bahwa “calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan”.
Pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut
dilakukan oleh fraksi-fraksi yang ada dalam lembaga DPRD. Hal tersebut
sesuai dengan Pasal 36 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 yang menentukan
bahwa “Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala daerah dan menyampaikannya dalam rapat paripurna kepada
54 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit. h. 52.
44
pimpinan DPRD”. Sehingga di dalam UU No. 22 Tahun 1999 pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui
sidang paripurna. Namun, setelah ada perubahan terhadap UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dilakukan secara demokratis. Dalam hal ini undang-undang
memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara demokratis dapat dilakukan melalui dua cara, pertama, pemilihan,
oleh DPRD, kedua, pemilihan secara langsung oleh rakyat. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya, pilkada ini dilaksanakan secara langsung.
Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD Republik
Indonesia tahun 1945 yang menentukan bahwa “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Selaras dengan ketentuan UUD Republik Indonesia tahun 1945, maka
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hokum sebagai berikut :
“... Namun kenyataannya dalam menjabarkan maksud “dipilih secara
demokratis” dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia tahun
45
1945 pembuat undang-undang telah memilih cara pilkada secara
langsung.”55
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung
merupakan suatu proses politik suatu bangsa menuju kehidupan demokratis
kearah yang lebih baik. Disamping itu pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
dalam demokratisasi lokal, dimana tidak hanya sekedar distribusi kekuasaan
antar tingkat pemerintah secara vertikal.
Radian Salman juga mengatakan bahwa pemilihan Kepala Daerah
secara langsung diharapkan akan membawa beberapa keuntungan, antara
lain:
1. rakyat bisa memilih pemimpinnya sesuai dengan hati nuraninya sekaligus memberikan legitimasi kuat bagi Kepala Daerah terpilih;
2. mendorong calon Kepala Daerah mendekati rakyat pemilih; 3. membuka peluang munculnya calon-calon Kepala Daerah dari
individu-individu (meskipun harus melalui pencalonan oleh partai politik) yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam mempertahankan masalah dan kepentingan masyarakat dan daerahnya;
4. mengurangi peluang distorsi oleh anggota DPRD untuk mempraktekkan politik uang dan sekaligus mendorong peningkatan akuntabilitas Kepala Daerah kepada rakyat.56
Senada dengan pandangan tersebut menurut Laode Harjudin :
55 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 Pengujian UU Pemda terhadap UUD
1945, h.61. 56 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, h 52.
46
Berdasarkan sifat yang dikandung sistem pilkada secara langsung memiliki tiga implikasi penting yaitu, Pertama, dengan keterlibatan masyarakat dalam jumlah besar dapat menghindari manipulasi dan kecurangan seperti money politics; Kedua, pilkada langsung akan memberikan legitimasi yang kuat bagi pemimpin yang terpilih karena mendapatkan dukungan luas dari rakyat; Ketiga, mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat.57
Dengan adanya tiga implikasi tersebut, pelaksanaan pemilihan Kepala
Daerah secara langsung merupakan instrumen dari sebuah demokrasi yang
bertujuan untuk menjaring kepemimpinan nasional di tingkat daerah
meskipun pelaksanaannya tidak dilakukan secara serentak seperti Pemilu.
Penjabaran dari Pasal 18 UUD 1945 tersebut dituangkan dalam Pasal 56 Ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menentukan bahwa “Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil”. Dari ketentuan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, asas
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak ditentukan
dalam UUD 1945 sebagaimana Pemilu adalah sama dengan asas Pemilu
yaitu, asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil atau lebih dikenal
dengan luber dan jurdil.
57 Ibid, h. 53