Post on 23-Oct-2019
PEMBAGIAN HARTA SEBELUM ORANG TUA MENINGGAL DUNIA
PADA MASYARAKAT ADAT BULUKUMBA DITINJAU DARI HUKUM
ISLAM
(STUDI KASUS DI KELURAHAN.CAILE KECAMATAN.UJUNG BULU KABUPATEN.
BULUKUMBA)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana
Hukum Islam Jurusan Perbandingan Mashab dan Hukum
Pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar
Oleh
NURJANNAH
NIM. 10400108032
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2012
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Nurjannah, NIM: 10400108032,
mahasiswa Jurusan Peradilan Agama pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi skripsi yang
bersangkutan dengan judul, “Pembagian Warisan Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Pada Masyarakat Adat Bulukumba Ditinjau dari Hukum Islam” memandang bahwa
skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk
diajukan ke sidang munaqasyah.
Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.
Makassar, 27 Juli 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Abdillah Mustari, M.Ag A. Intan Cahyani, S.Ag.,M.Ag.
NIP. 19730710 200002 1 004 NIP. 19720719 200003 2 002
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan di bawah ini
menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika
dikemudian hari, terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat
oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh
karenanya batal demi hukum.
Makassar, 27 juli 2012
NURJANNAH NIM. 10400108032
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul, “Pembagian Harta Sebelum Orang Tua Meninggal
Dunia PadaMasyarakat Adat Bulukumba Ditinjau dari Hukum Islam” yang disusun
oleh Nurjannah, NIM: 10400108032, mahasiswa Jurusan Perbandingan Mashab dan
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan
dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Jumat, 10
Agustus 2012 M, bertepatan dengan 22 Ramadhan 1433 H. dinyatakan telah dapat
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu
Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Mashab dan Hukum (dengan beberapa
perbaikan).
Samata, 10 Agustus 2012 M.
22 Ramadhan 1433 H.
DEWAN PENGUJI
Ketua : Prof. Dr. H. Ali Parman, MA (…………………….)
Sekretaris : Dra. Sohrah, M.Ag (…………………….)
Penguji I : Dr. H. Lomba Sultan, M.Ag (…………………….)
Penguji II : Drs. Supardin, M.HI (…………………….)
Pembimbing I : Dr.Abdillah Mustari, M.Ag (…………………….)
Pembimbing II: A. Intan Cahyani, S.Ag., M.Ag (…………………….)
Diketahui oleh:
Dekan Fukultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar,
Prof. Dr. H. Ali Parman, M.A
NIP. 19570414 198603 1 003
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji tak henti-hentinya terucap atas kehadirat Allah
swt. Sang Maha Pembimbing, yang senantiasa memberikan petunjuk dan kekuatan
sehingga penulis bisa menjalankan kewajiban sebagai penuntut ilmu dan
menyelesaikan tugas akhir yang berupa skripsi ini. Shalawat dan salam penulis
kirimkan kepada baginda Muhammad saw, yang telah membimbing umatnya dari
jalan yang gelap menuju jalan yang terang lagi diridhai-Nya.
Dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana pada
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar,
penulis dengan segala upaya mencurahkan segenap kemampuan untuk
menyelesaikan skripsi yang berjudul ”PEMBAGIAN WARISAN SEBELUM
PEWARIS MENINGGAL DUNIA PADA MASYARAKAT ADAT
BULUKUMBA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM”
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa telah banyak pihak
yang telah memberikan dukungannya, baik berupa dukungan moril maupun materil
yang dengan semua itu penulis menjadi terpacu untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
Maka dari itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Yang tercinta Ibunda penulis, Hatija. S dan Bapak A. Ambo Elo Amar,
yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dengan cinta dan kasih
sayang, dan memberikan pendidikan yang luar biasa kepada penulis tanpa
mengeluh dan mengharap imbalan serta mendukung segala yang
dilakukan penulis selama ini. Juga segenap keluarga atas dukungan doa
dan nasehatnya. Semoga Allah senantiasa Melindungi kalian.
2. Bapak Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT., M.S. selaku Rektor UIN
Alauddin Makassar bersama seluruh Pembantu Rektor;
vi
3. Bapak Prof. Dr. H. Ali Parman, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum bersama seluruh Pembantu Dekan;
4. Ibunda Dra. Sohrah, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab
dan Hukum dan Bapak Dr. Abdillah Mustari. selaku sekretaris jurusan,
bersama seluruh stafnya.
5. Bapak Dr. Abdillah Mustari, M.Ag yang juga selaku pembimbing I dan
Ibu A. Intan Cahyani, S.Ag., M.Ag sebagai Pembimbing II, yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan arahan demi
selesainya skripsi ini.
6. Seluruh dosen yang telah mengajarkan ilmunya selama penulis menimba
ilmu di universitas ini serta segenap karyawan Fakultas Syari’ah dan
Hukum.
7. Pimpinan perpustakaan dan seluruh karyawannya yang telah banyak
menyediakan literatur-literatur dan referensi selama penulis menuntut
ilmu.
8. Kepala Kelurahan Caile Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba
serta segenap pegawai yang bernaung di bawahnya.
9. Seluruh kerabat penulis, Kak Herman, Fajar Gunawan S.Hi,
Muthmainnah Baso S.Hi, Hariswandi S.Hi serta rekan-rekan
seperjuangan angkatan 08’ Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum serta seluruh teman-teman
mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Semoga Allah Membalas segala
kebaikan kalian.
vii
Sebagai sebuah karya ilmiah tentunya skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan
penulis dari berbagai pihak.
Semoga tulisan ini dapat menambah khazanah perpustakaan dan memberikan
tambahan pengetahuan bagi pembaca serta dapat membantu rekan-rekan akademik
yang hendak meneliti dalam ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan judul
skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya menyerahkan dan mengembalikan segala amal dan
budi baik yang tercurahkan dalam penyelesaian skripsi ini kepada Allah swt. Semoga
diterima dan menjadi amal shalih disisi-Nya. Amin.
Makassar, 27 Juli 2012
Penulis,
NURJANNAH
NIM : 10400108032
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
ABSTRAK .............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1-10
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 7
C. Hipotesis ..................................................................................................... 7
D. Definisi Operasional.................................................................................... 8
E. Tujuan dan Kegunaan ................................................................................. 9
F. Garis-garis Besar Isi .................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11-39
A. Teori Pengalihan Harta dalam Hukum Islam .............................................. 11
1. Pengertian Hukum Waris Islam .............................................................. 11
2. Dasar Hukum Kewarisan dalam Islam ................................................... 12
3. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam .................................................. 18
B. Teori Pengalihan Harta dalam Hukum Adat ............................................... 26
1. Pengertian Hukum Waris Adat ............................................................... 26
2. Dasar-Dasar Hukum Waris Adat ............................................................ 27
3. Pelaksanaan Hukum Waris Adat ............................................................ 29
C. Implikasi Penerapan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Masyarakat. .
..................................................................................................................... 34
1. Hukum Islam dalam Masyarakat. ........................................................... 34
2. Hukum Adat dalam Masyarakat. ............................................................ 36
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 40-44
ix
A. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 40
B. Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 41
C. Populasi dan Sampel. .................................................................................. 42
D. Tehnik Pengumpulan Data. ......................................................................... 43
E. Analisis Data. .............................................................................................. 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 45-55
A. Alasan Orang Tua Mengalihkan Hartanya Kepada Ahli Waris Semasa Masih
Hidupnya .................................................................................................... 45
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Status Kepemilikan Harta Yang Diberikan
Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Ahli Waris ...................................... 50
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perbuatan Hukum Masyarakat Bulukumba
Tentang Pengalihan Harta Kepada Ahli Waris Semasa Hidup Pewaris .... 53
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 57-60
A. Kesimpulan ................................................................................................. 57
B. Saran-saran .................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 58-60
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ 61
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 62
x
Nama Penyusun : Nurjannah
NIM : 10400108032
Judul Skripsi : “Pembagian Warisan Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
pada Masyarakat Adat Bulukumba Ditinjau dari Hukum
Islam”
ABSTRAK
Masyarakat Bulukumba pada umumnya melakukan proses pewarisan
dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta
atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu
dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Proses pemberian barang-barang
harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat bulukumba,
seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup.
Harta pemberian dalam masyarakat adat Bulukumba merupakan suatu
bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada
anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan
permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup
tersebut.
Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang
pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahli warisnya
khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari
orang tuanya. Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari
harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik.
Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua
meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli
warisnya.
Lokasi penelitian adalah pada empat Lingkungan (Lingkungan Caile,
LingkunganCendana, Lingkungan Tenetea, Lingkungan Matajang) di Kecamatan
ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis
dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan
cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Pembagian warisan sebelum pewaris
meninggal dunia pada masyarakat adat Bulukumba ditinjau dari hukum Islam
adalah merupakan pemberian hibah karena dalam hukum Islam kewarisan terjadi
karena adanya asas kematian. Dan alas an orang tua membagikan warisan semasa
hidupnya adalah sebagai bentuk kasih sayang orang tua kepada anaknya dan
merupakan modal awal untuk kehidupan anaknya di masa depan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam
kehidupannya. Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengembang hak dan
kewajiban, selama manusia masih hidup di dalam masyarakat, dia mempunyai tempat
di dalam masyarakat disertai dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap
orang atau anggota lain dari masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada
dalam masyarakat itu. Manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini mengalami 3
peristiwa penting, yaitu: waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, dan waktu ia meninggal
dunia.
Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa
hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya
seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat
hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia itu.1
Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja
di dunia ini. Sungguh pun demikian, corak suatu Negara Islam dan kehidupan
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung , 1983), h.
11.
2
masyarakat di Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan
di daerah itu, pengaruh itu adalah pengaruh yang tidak terbatas yang tidak dapat
melampaui garis pokok-garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut.
Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau
pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri.
Dewasa ini agak sulit untuk menemukan orang yang paham dan menguasai
hukum waris. Kewajiban belajar dan mengajarkan waris tersebut dimaksudkan agar
kalangan kaum muslim khususnya dalam keluarga tidak terjadi perselisihan.
Perselisihan yang disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada akhirnya
akan terjadi perpecahan atau keretakan dalam keluarga.
Dan seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini disamping hukum
perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan
memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan
sistem dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang
menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam
masyarakat.2
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
oleh Allah swt adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemiliknya yang
timbul sebagai akibat dari suatu kematian, bahwa setiap manusia mengalami
peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya. Harta yang ditinggalkan oleh
2 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Cet. III; Jakarta: Tinta
Mas, 1959), h. 11.
3
seseorang yang telah meninggal memerlukan peraturan tentang siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.3
Hukum kewarisan merupakan hukum kekeluargaan yang didalamnya terdapat
asas-asas yang dianggap mensifati hukum kewarisan Islam, adapun asas-asas tersebut
adalah:
1. Asas Ijbari, bahwa para ahli waris memperoleh bagian harta sebagai harta
peralihan dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup
berlaku dengan sendirinya secara hukum tanpa rekayasa.
2. Asas bilateral, bahwa kewarisan beralih dari kedua belah pihak garis keluarga.
3. Asas individual, bahwa harta warisan yang sesuai dengan haknya.
4. Asas keadilan yang berimbang, bahwa jumlah nilai bagian antara laki- laki dan
perempuan mempunyai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
5. Asas akibat kematian, bahwa peralihan harta seseorang bagi ahli waris hanya
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.4
Dengan menggunakan hak kewarisan Islam yang bersumber dari wahyu Allah
dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW yang berlaku wajib ditaati oleh umat
Islam, dulu, sekarang dan yang akan datang. Allah swt berfirman di dalam QS. An-
Nisaa’ (4) ayat 7:
3 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 3. 4 Ibid., h. 28.
4
Terjemahnya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.5
Ayat ini menjelaskan hak lain yang harus dan yang dalam kenyataan di
masyarakat sering diabaikan, yaitu hak-hak waris. Ayat ini menjadi semacam
pendahuluan bagi ketentuan warisan.6
Di Negara Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku
bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem
garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa
atau kelompok-kelompok etnik.7
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (Generatie)
kepada turunannya.8
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang; PT Karya Toha Putra,
1971), h. 116. 6 Muh. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 353.
7 Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1966), h. 7. 8 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Pradya Paramita, 1987), h . 79.
5
Penggabungan antara hukum masyarakat dengan hukum kewarisan akan
menghasilkan pola kewarisan yang dipengaruhi oleh hukum masyarakat atau lebih di
kenal dengan nama hukum adat. Akan tetapi masing-masing hukum kewarisan
tersebut tidak harus dipersepsikan dalam satu hukum masyarakat, sebab satu hukum
kewarisan dapat terjadi pada berbagai hukum masyarakat.9
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri daalam
pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang system
keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu :
a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,
Seram,Nusa tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau
menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita
9 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Cet. I; Yogyakarta; UII Press,
2005), h. 6.
6
tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi).10
Di Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya aneka
hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak sendiri-sendiri
berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing, demikian juga halnya hukum adat
dalam masyarakat Bulukumba. Hal ini sejalan dengan pendapat Hazairin yang
mengatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam
pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan.
keturunannya matrilineal, patrilineal, parental masih nampak kebenarannya.”11
Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang
universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris
meninggal dunia (semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada
umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah
satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “Menurut hukum adat, harta warisan itu
adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta
semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat
ia mati”.12
Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan didapat
karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi
atau jasa atau karena sesuatu tujuan.13
10 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya, 2003), h. 23. 11 Ibid., h. 24. 12 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat (Medan : Bina Sarana Balai Penmas SU, t. h.), h. 145. 13
H.Hilman Hadikusuma, op. cit. , h. 51.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di identifikasi permasalahan
sebagai berikut :
1. Mengapa orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak
pada masyarakat adat Bulukumba?
2. Bagaimanakah status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua
semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris Islam?
C. Hipotesis
Dari uraian di atas, maka hipotesis atau jawaban sementara dari penulis adalah:
1. Orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak pada
masyarakat adat bulukumba karena merupakan modal awal untuk si anak
apalagi si anak akan menikah dan apabila anaknya seorang laki-laki
pemberian harta benda dari orang tua akan di jadikan mahar dalam
pernikahannya.
2. Status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua semasa hidupnya
kepada anak menurut hukum waris Islam yaitu harta yang diberikan orang tua
semasa hidupnya merupakan sebuah hibah bukan termasuk warisan karena
salah satu syarat terjadinya kewarisan apabila ada kematian.
D. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Tulisan ini berjudul “Pembagian Warisan Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Pada Masyarakat Adat Bulukumba Ditinjau Dari Hukum Islam”.
8
Untuk menghindari kekeliruan penulis dalam memahami judul tulisan ini, maka
terlebih dahulu penulis mengemukakan beberapa pengertian kata, yang terdapat pada
tulisan ini, sebagai berikut:
“Pembagian harta” mengandung arti proses pelaksanaan membagi-bagikan harta
warisan kepada masing-masing ahli waris yang berhak menerimanya. Dalam hal ini
mengenai proses pembagian harta yang berlaku di Kabupaten Bulukumba.
“orang tua” yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah seseorang yang
memberikan pusaka, atau kekayaan kepada ahli warisnya semasa dia masih hidup.
Adat adalah suatu aturan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala
oleh sekumpulan masyarakat dalam hal ini masyarakat adat Bulukumba.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana lazimnya suatu bentuk karya ilmiah, tentunya penelitian dan analisa
data merupakan merupakan suatu hal yang sangat penting perlu menjelaskan
kegunaan dan tujuan penelitian.
1. Tujuan Penelitian:
a. Untuk mengetahui syarat mati pada pewaris dan hidup pada ahli
waris dalam hukum islam dan hukum adat.
b. Untuk mengetahui alasan orang tua semasa hidupnya memberikan
harta benda kepada anak pada masyarakat adat Bulukumba
c. Untuk mengetahui status kepemilikan harta benda yang diberikan
orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris
Islam.
9
2. Kegunaan Penelitian:
Adapun kegunaan penelitian dalam tulisan ini adalah:
a. Kegunaan praktis dari penelitian ini setidaknya mampu
memberikan informasi kepada pembaca bahwa di zaman modern
seperti saat ini masih ada masyarakat yang menggunakan sistem
kewarisan secara adat, sedangkan kewarisan itu sendiri telah di
atur dalam Al-Qur’an dan Hadist yang telah tercantum dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) atau pun hukum positif atau yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan intelektual muslim
dalam rangka untuk mengetahui persoalan hukum waris Islam dan
hukum waris adat pada masyarakat kabupaten Bulukumba.
F. Garis-garis Besar Isi Skripsi
Untuk memperoleh gambaran yang konprehensif dan penyusunan, skripsi ini
disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Pada Bab I adalah pendahuluan, pada bab pendahuluan ini memuat latar
belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional dan batasan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, dan garis-garis besar isi. Hal ini perlu karena
merupakan gambaran awal dimulainya penelitian dan rencana yang akan
dilakukan dalam proses penelitian ini.
10
Pada Bab II berisi tinjauan pustaka tentang teori pengalihan harta dalam
hukum Islam, teori pengalihan harta dalam hukum adat, dan implikasi penerapan
hukum Islam dan hukum adat dalam masyarakat.
Selanjutnya pada Bab III adalah Metode penelitian. Bab ini dikemukakan
secara rinci lokasi penelitian, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, tehnik
pengumpulan datan, dan analisis data.
Bab IV tentang hasil penelitian mengenai alasan orang tua mengalihkan
hartanya kepada ahli waris semasa masih hidupnya, pandangan masyarakat
terhadap status kepemilikan harta yang diberikan orang tua semasa hidupnya
kepada ahli waris.
Bab V Kesimpulan dan Saran; pada bab ini berisikan tentang rangkuman
dari seluruh pembahasan penulis pada bab-bab sebelumnya, serta beberapa saran.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Pengalihan Harta Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Waris Islam
Perkataan “Mawaris” bersal dari bentuk kata al-irs dalam bahasa arab adalah
bentuk mashdar dari kata warista, yaristu, irtsan. Bentuk mashdarnya bukan saja dari
bentuk irtsan, melainkan termasuk juga kata aslli warista, turasta, dan wiratsatan.
Kata-kata ini berasal dari kata asli warista, yang berakar dari kata huruf wau, ra, dan
tsa yang bermakna dasar perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.12
Atau
dengan dalam pengertian lain, pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum yang lain. Sesuatu itu lebih umum dari harta, meliputi ilmu,
kemulian dan sebagainya.13
Sedangkan menurut pengertian mawaris menurut A. As’ad Yunus, adalah
perpindahan harta benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang
yang masih hidup, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.14
Adapun pembagian
warisannya tidak semua ahli dan ahli waris lainnya akan mendapatkan warisan dalam
pewaris, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi sangat
12
Ali Parman. Waris Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Ed. 1. Cet. 1, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1995), h. 23. 13
Muhammad Ali As Subini. Al-Mawarisu fi al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhawil Kitabi wa
as-Sunnah, terj. M. Samhiju Yahya, Hukum Mawaris Dalam Syariat Islam Disertai Contoh-contoh
Pembagian Harta Pusaka, (Cet. III, Bandung: CV. Diponegoro, 1987), h. 40. 14
As’ad Yunus. Hukum Waris Islam, (Jakarta: PT. Al Qushwa, 1987), h. 2.
12
ditentukan pula dengan ahli waris yang paling dekat maupun ahli waris yang paling
jauh.
Dalam hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti: Faraid, Fiqh
Mawaris, dan lain-lain. Jadi definisi kewarisan Islam menurut Hasbi Ash-Shiddieqy
berpendapat bahwa hukum kewarisan adalah suatu ilmu yang dialah dapat kita
ketahui orang menerima pusaka serta kadara yang diterima tiap-tiap ahli waris dan
cara pembagiannya.15
Adapun definisi hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 171 yang ditulis oleh Abdul Manan dan Ahmad Fauzan dalam
bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata yang menyatakan bahwa hukum kewarisan
Islam adalah hukum harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing.16
2. Dasar Hukum Kewarisan Dalam Islam
Hukum waris merupakan persoalan yang sangat kompleks dan rumit di dalam
masyarakat Indonesia. Penyusunan kaidah-kaidah harus disejajarkan pada sumber
yang sama seperti halnya aspek-aspek lain dari ajaran islam tersebut. Dasar atau
sumber-sumber yang dimaksud adalah Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama sebagai ajaran Islam tak terkecuali
mengenai masalah kewarisan, yang mana didalamnya membahas berbagai
15
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 18. 16
Abdul Manan dan Ahmad Fauzan. Pokok-pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2002), h. 103.
13
macam dari ketentuan kewarisan Islam. Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan
hukum waris dalam Al-Qur’an, sebagian besar terdapat dalam surat An-Nisaa’
di antaranya sebagai berikut:
Surat An-Nisaa’(4) ayat 7:
Terjemahnya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisa’ : 7)17
Apabila anak yatim itu memiliki harta yang ditinggalkan oleh ibu
bapaknya atau oleh para kerabatnya, maka anak-anak itu sama-sama
memperoleh harta warisan, baik lelaki maupun perempuan, sesuai dengan kadar
yang telah ditetapkan, baik harta itu sedikit ataupun banyak. Pada ayat-ayat
mendatang akan dijelaskan ketentuan-ketentuan pembagian harta warisan (ayat
mawaris) yang memberikan penjelasan secara global (mujmal).18
Surat An-Nisaa’ (4) ayat 8:
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang; PT Karya Toha Putra,
1971), h. 116. 18
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, ( Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 788.
14
Terjemahnya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang baik.19
Apabila majelis pembagian harta warisan dihadiri ulul qurba: para
kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka sedikit dari
harta itu dan gembirakan hatinya agar mereka tidak cemburu dan dengki.
Oleh karena itu berilah sedikit harta kepada saudara seayah yang dibatasi
oleh saudara sekandung ayah-ibu, dan berilah sedikit harta kepada paman yang
dibatasi oleh ayah. Yang diperintahkan untuk melaksanakan apa yang
disebutkan tentang harta warisan ini adalah anak yatim yang cukup umur dan
mampu menerima harta warisan.20
Surat An-Nisaa’ (4) ayat 11:
19
Ibid., h. 116. 20
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 788.
15
Terjemahnya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.21
Ayat ini merinci ketetapan-ketetapan dengan menyatakan bahwa: Allah
mewasiatkan kamu, yakni mensyariatkan menyangkut pembagian pusaka untuk anak-
anak kamu, yang perempuan maupun lelaki, dewasa maupun anak-anak.
Etelahmendahulukan hak anak-anak, karena umunya mereka lebih lemah dari orang
tua, dijelaskan hak ibu-bapak karena merekalah yang terdekat kepada anak, yaitu;
Dan untuk kedua orang ibu-bapaknya, yakni ibu bapak anak yang meninggal, baik
yang meninggal lelaki maupun perempuan, bagi masing-masing dari keduanya, yakni
bagi ibu dan bapak seperenam dari harta yang ditinggalkan. Pembagian-pembagian
tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau juga
sesudah dilunasi hutangnya bila dia berhutang.22
b. Hadis
Meskipun Al-Qur’an telah membicarakan tentang kewarisan secara jelas,
namun ada beberapabagian yang memerlukan ketentuan lebih rinci. Hadis
21
ibid., h. 117. 22
Muh. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 359.
16
Rasulullah adalah penguat bagi ketetapan Allah (Al-Qur’an), dalam arti
Rasulullah diberi hak interpretasi berupa hak untuk menjelaskan, baik berupa
perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), maupun dengan cara lain (suqut taqrir).
c. Ijtihad
Untuk menghadapi perubahan sosial dan budaya, maka diperlukan usaha
dengan mencurahkan segala kemampuan berpikir guna mengeluarkan hukum
syari’ah dari dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah, dan inilah disebut ijtihad.23
Yang
dimaksud di sini ialah ijtihad dalam menerapkan hukum bukan mengubah
pemahaman atau ketentuan yang ada.
Dengan demikian hasil ijtihad dijadikan sumber oleh kaum muslimin dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah saw, demikian pula persoalan yang berhubungan dengan
kewarisan.
3. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Syarat-syarat adanya pelaksanaan hukum kewarisan Islam, akan ditemukan
tiga syarat yaitu: kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta, kepastian
hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia, dan diketahui sebab-sebab
status masing-masing ahli waris. Kepastian meninggalnya seseorang yang
mempunyai harta dan kepastian hidupnya ahli waris pada saat meninggalnya pewaris
menunjukkan bahwa perpindahan hak atas harta dalam bentuk kewarisan tergantung
23
Abdul Ghofur Anshori. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas,
(Cet 1: Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 13.
17
seluruhnya pada saat yang pasti. Oleh karena itu meninggalnya pemilik harta dan
hidupnya ahli waris merupakan pedoman untuk menetapkan peristiwa pelaksanaan
hukum kewarisan Islam. Penetapan pemilik harta meninggal dan ahli waris hidup
sebagai syarat mutlak menentukan terjadinya kewarisan dalam hukum Islam, berarti
hukum kewarisan Islam bertujuan untuk menyelesaikan secara tuntas masalah harta
warisan orang yang meninggal, orang hilang tanpa kabar, dan anak yang hidup dalam
kandungan sebagai ahli waris menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam
mempunyai karakteristik dalam menyelesaikan semua permasalahan yang mungkin
timbul dalam kasus kewarisan.
Syarat-syarat adannya pelaksanaan hukum kewarisan Islam, ditemukan tiga
syarat, yaitu:
1. Kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta.
2. Kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia.
3. Diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris,
Kepastian meninggalnya seseorang yang mempunyai harta dan kepastian
hidupnya ahli waris pada saat meninggalnya ahli waris menunjukkan bahwa
perpindahan hak atas harta dalam bentuk kewarisan tergantung seluruhnya pada saat
yang pasti. Oleh karena itu, meninggalnya pemilik harta dan hidupnya ahli waris
merupakan pedoman untuk menetapkan peristiwa pelaksanaan hukum waris Islam.
Penetapan milik harta meninggal dan ahli waris hidup sebagai syarat mutlak
menentukan terjadinya kewarisan dalam hukum Islam, berarti hukum kewarisan
Islam bertujuan untuk menyelesaikansecaratuntas masalah harta warisan yang
18
meninggal, orang hilang tanpa kabar, dan anak yang hidup dalam kandungan sebagai
ahli waris menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik
dalam menyelesaikan semua permasalahan yang mungkin timbul dalam kasus
kewarisan.
Rukun-rukun kewarisan Islam ada tiga, yaitu:
1) Muwarris (orang yang member warisan), yakni mayat di mana orang lain
berhak mewarisi dari padanya apa saja yang ditinggalkan sesudah matinya.
2) Warist (penerima warisan), yakni orang yang berhak mewarisi dengan sebab
yang telah dijelaskan, seperti: kekerabatan,pernasaban, perkawinan dan
sebagainya.
3) Mauruts (benda yang diwariskan), yaitu sesuatu yang ditinggalkan mayat,
seperti: harta, kebun dan sebagainya. Mauruts ini juga disebut irtsun, turatsun
dan muratsun yang kesemuanya merupakan sebutan untuk segala sesuatu
yang ditinggalkan mayat ahli waris.24
Unsur-unsur kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan di
Indonesia Zainuddin Ali, ada tiga unsur yang perlu diuraikan, yaitu sebagai berikut:
1. Pewaris
Pewaris adalah orang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan
yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama
hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
24
Hasbi As-Sidiq, Fiqh Mawaris Hukum Waris dalam Syariah Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 38.
19
Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat
bagian harta peninggalan menurut Al-Qur’an yaitu:
a. Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam (QS. An-Nisaa’:
7, 11, 12, 33, dan 176).
b. Hubungan semenda atau pernikahan.
c. Hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Qur’an
bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris (QS. Al-Ahzab: 6).
d. Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan pengembangan
Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (QS. Al-Anfaal:75).
Pewaris didalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ayat 7, 11, 12, 33, dan 176 dapat
diketahui bahwa pewaris itu terdiri atas orang tua/ayah atau ibu (alwalidain), dan
kerabat (al-aqrabin). Al-walidain dapat diperluas pengertiannya menjadi kakek
atau nenek kalau ayah dan ibu tidak ada. Demikian pula pengertian anak (al-
walad) dapat diperluasa menjadicucu kalau tidak ada anak. Begitu juga pengertian
kerabat (al-aqrabin) adalah semua anggota keluarga yang dapat dan sah menjadi
pewaris, yaitu hubungan nasab dari garis lurus ke atas, ke bawah, dan garis
kesamping. Selain itu, hubungan nikah juga menjadi pewaris, baik dari istri
maupun suami.
Pewaris yang disebutkan di atas, perlu ditegaskan bahwa seseorang menjadi
pewaris bila telah nyata meninggal. Oleh karena itu, sepanjang belum jelas
meninggalnya seseorang hartanya tetap menjadi miliknya sebagaimana halnya
orang yang masih hidup. Demikian juga, bila ada kepastian meninggal seseorang
20
maka orang itu dipandang masih hidup. Kepastian meninggal seseorang itu,
dimungkinkan secara haqiqy, hukmy, dan taqdiry.
2. Harta Warisan
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta
bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat
pewaris. Harta warisan atau harta peninggalan disebut oleh Al-Qur’an surat An-
Nisaa’ ayat 7 dengan istilah Tarakah atau harta yang akan ditinggalkan, Surat Al-
Baqarah ayat 180 beralih kepada orang yang berhak menerimanya (ahli waris).
Tarakah yang disebut oleh Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat 11 dan 12, yang
kemudian diterjemahkan sebagai harta peninggalan terdiri atas benda dan hak-hak
yang pembagiannya dilakukan menurut bagian yang ditentukan sesudah
ditunaikan pembayaran utang dan wasiat pewaris. Sisa harta sesudah ditunaikan
kewajiban-kewajibannya, itulah yang harus dibagi-bagi oleh para ahli waris
sebagai harta warisan.
Sehubungan dengan ahli waris yang disebutkan di atas, jumhur ulama
golongan Sunni menetapkan tiga kewajiban yang harus dilakukan ahli waris
sebelum melakukan pembagian harta peninggalan pewaris, yaitu biaya
pengurusan jenazah, pelunasan utang pewaris, menunaikan wasiat pewaris.
3. Ahli Waris
21
Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat
bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan ahli waris di dalam
Islam dapatdibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan,yaitu:
a. Dzul faraa’idh
Dzul faraa’idh yaitu “ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-
Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap
tertentu yang tidak berubah-ubah”.25
Adapun rincian masing-masing ahli
waris dzul faraa’idh ini dalam Al-Qur’an terteradalamsurat An-Nisaa’ ayat
11, 12, dan 176. Ahli waris menurut atau berdasarkan Al-Qur’an yang terdiri
atas dua belas jenis, yaitu:
1) Dalam garis ke bawah:
a) Anak perempuan
b) Anak perempuan dari anak laki-laki
2) Dalam garis ke atas:
a) Ayah
b) Ibu
c) Kakek dari garis ayah
d) Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu
3) Dalam garis kesamping:
a) Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah
b) Saudara perempuan tiri dari garis ayah
25
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1968), h. 38.
22
c) Saudara lelaki tiri dari garis ibu
d) Saudara perempuan tiri dari garis ibu
4) Duda
5) Janda
b. Ashabah
Ashabah dalam bahasa Arab berarti “Anak lelaki dan kaum kerabat dari
pihak bapak”.26
Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal adalah
golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi
bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah Dzul faraa’idh,
bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru
diberikan kepada ashabah.
Ahli waris ashabah menurut pembagian Hazairin dalam bukunya “Hukum
Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an”, dinamakan ahli waris bukan dzul
faraa’idh, yang kemudian beliau membagi ahli waris ashabah menjadi tiga
golongan yaitu, ashabah binafsihi, ashabah bilghairi, ashabah ma’al ghairi.27
Ashabah-ashabah tersebut menurut M. Ali Hasan dalam bukunya Hukum
Warisan dalam Islam,28
terdiri atas:
1) Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak mendapat
semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut:
a) Anak laki-laki
26
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 26. 27
Hazairin, op. cit., h. 14. 28
M. Ali Hasan, op. cit., h. 27.
23
b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja
pertaliannya masih terus laki-laki
c) Ayah
d) Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya
belum putus dari pihak ayah
e) Saudara laki-laki sekandung
f) Saudara laki-laki seayah
g) Anak saudara laki-laki sekandung
h) Anak saudara laki-laki seayah
i) Paman yang sekandung dengan ayah
j) Paman yang seayah dengan ayah
k) Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
l) Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
2) Ashabah bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain, yakni
seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-
laki, mereka yang termasuk dalam ashabah bilghairi ini adalah
sebagai berikut:
a) Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki.
b) Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki.
3) Ashabah ma’al ghairi yakni saudara perempuan yang mewaris
bersama keturunandari pewaris, mereka itu adalah :
a) Saudara perempuan sekandung, dan
24
b) Saudara perempuan seayah.
c. Dzul arhaam
Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris melalui pihak wanita saja”.29
Hazairin dalam bukunya
memberikan perincian mengenai dzul arhaam, yaitu: “Semua orang yang
bukan dzul faraa’idh dan bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang
termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau
anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah
dan ibu”.30
Sayuti Thalib dalam bukunya menguraikan tentang dzul arhaam, antara
lain cucu melalui anak perempuan, menurut kewarisan patrilineal tidak
menempati tempat anak, tetapi diberi kedudukan sendiri dengan sebutan dzul
arhaam atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris,
tetapi telah agak jauh. Akibat dari pengertian ini maka dzul arhaam mewaris
juga, tetapi telah agak dibelakang. Artinya, dzul arhaam akan mewariskalau
sudah tidak ada dzul faraa’idh dan tidak ada pula ashabah. Selain cucu
melalui anak perempuan, yang dapat digolongkan sebagai dzul arhaam adalah
anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita.
29
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 15. 30
Hazairin, op. cit., h. 15.
25
B. Teori Pengalihan Harta dalam Hukum Adat
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat berasal dari bahasa Arab yakni al’adatu yang telah menjadi
bahasa Indonesia yang artinya kebiasaan. Dengan pengertian bahwa hokum waris
adar tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang adat serta hubungannya
dengan ahli waris, akan tetapi lebih luas dari itu.
Hukum waris adat menurut Soerdjono Wigjodhiporo, adalah cara
penyelesaian hubungan hukum dengan masyarakat yang melahirkan sedikit
banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya seseorang, dimana manusia
wafat meninggalkan harta kekayaan itu. Istilah waris diartikan dengan cara
penyelesaian bukan diartikan bendanya, tetapi yang dimaksud dengan penyelesaian
itu adalah sebagai akibat dari kematian seseorang. Sedangkan warisan itu diartikan
bendanya danpenyelesaian harta benda seseorang kepada ahli warisnya yang dapat
dilakukamn sebelum dan sesudah pewaris wafat.31
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (Generatie)
kepada turunannya.32
31
Soerdjono Wigjoddhiporo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Cet.V, Jakarta: PT.
Gunung Agung, 1995), h. 161. 32
Soepomo, op. cit., h. 79.
26
2. Dasar-dasar Hukum Waris Adat
Pada dasarnya hukum waris adat sebagaimana dengan hukum adat itu sendiri
dihayati dan diamalkan sesuai dengan filsafat hidup Pancasila. Trntu saja apa yang
dimaksud dengan pancasila di sini tidak akan sama persis dengan penghayatan dan
pengamalan Pancasila sebagaimana terkandung dalam kata Pancasila Undang-
Undang Dasar 1945.33
Pancasila dala hukum waris adat merupakan pangkal tolak
berpikir dan memikirkan serta penggarisan dalam proses pewarisan, agar supaya
pengurusan dan pembagian harta warisan itu dapat berjalan dengan rukun dan damai
serta tidak menimbulkan silang sengketa atau harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
pewaris.
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Kesadaran bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Maha Mengetahui atas
segal-galanya, Maha Pencipta dan Maha Adil yang sewaktu-waktu dapat
menjatuhkan hukumannya, maka apabila pewaris wafat para ahli waris tidak
akan saling berselisih dan saling berebut harta warisan. Oleh karena itu,
orang-orang yang benar-benar bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa akan
selalu menjaga kerukunan daripada pertentangan.
b. Sila Kemanusiaan
Di dalam proses pewarisan, sila Kemanusian berperan mewujudkan sikap
saling cinta dan mencintai antara sesame ahli waris.oleh karena itu, adanya
sikap tersebut dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan penentuan
33
Hilman Hadikusuma, op. cit., h. 37.
27
banyaknya bagian harta warisan yang harua diutamakan, melainkan
kepentingan dari kebutuhan para ahli waris yang dapat dibantu oleh adanya
harta warisan itu.
c. Sila Persatuan
Dengan sila Persatuan ini, dalam ruang lingkup yang kecil seperti keluarga
atau kerabat, menempatkan kepentingan kekeluargaan dan kebersamaan
sebagai satu kesatuan masyarakat yang kecil yang rukun dan damai. Dami
persatuan dan kesatuan keluarga, maka apabila seorang pewariswafat
bukanlah tuntutan atas harta warisan yang harus segera diselesaikan,
melainkan bagaimana memelihara persatuan itu agar tetap hidup rukun dan
damai dengan adanya harta warisan itu.
d. Sila Kerakyatan
Dalam mengatur dan menyelesaikan harta warisan, setiap anggota ahli waris
mempunyai rasa tanggung jawab serta hak dan kewajiban yang sama
berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama.
e. Sila Keadilan
Di dalam hukum waris adat, sila Keadilan berarti adil bagi semua anggota
ahli waris mengenai harta warisan. Baik ahli waris maupun ahli waris yang
bukan merupakan hubungan darah tetapi karena hubungan pengakuan
saudara dan lain sebagainya menurut hukum adat setempat.
28
3. Pelaksanaan Hukum Waris Adat
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang
terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris
adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di
Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam
masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama
lain berbeda-beda, yaitu:
1. Sistem Patrilineal, yaitu sestem kekeluargaan yang menarik garis keturunan
pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh
pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada
masyarakat Batak. Yang menjadi ahli warisnya hanya anak laki-laki sebab
anak perempuan yang telah kawin yang kemudian masuk menjadi anggota
keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya
yang meninggal dunia.
2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan
pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-
laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris
dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak merupakan bagian dari
keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya
sendiri, contonya sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau. Namun
demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang sudah merantau keluar tanah
aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.
29
3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari
dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Sistem ini kedudukan
anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya
baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta
peninggalan orang tua mereka
Dari ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada variasi lain ang
merupakan perpaduandari ketiga sistem tersebut, misalnya “Sistem Patrilineal
beralih-alih (alternerend) dan sistem unilateral berganda (dubbel unilateralsin)”.34
Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki cirri khas tersendiri yang berbeda
dengan sistem yang lainnya.
Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan
atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam hukum adat mengena ltiga
sistem kewarisan yang sangat di pengaruhi oleh sistem kekerabatan, yaitu:
a. Sistem kewarisan individual, merupakan sistem kewarisan yang
menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan.
Dimanasetiap ahli waris mendapat bagian untuk dapat menguasai dan atau
memiliki harta warisan menurut masing-masing. Sistem kewarisan
individual ini banyak berlaku di lingkungan masyarakat yang memakai
34
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1981), h. 284.
30
sistem kekerabatan secara parental.35
Seperti masyarakat bilateral, dan juga
sebagai masyarakat yang sistem kekerabatan patrilineal.
b. Sistem kewarisn kolektif, merupakan sistem kewarisan yang menentukan
bahwa ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif)
karena harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya
kepada masing-masing ahli waris.36
Setiap ahli waris berhak mengusahakan,
menggunakan atau mendapat hasil harta peninggalan itu. Sistem kewarisan
kolektif ini terdapat pada masyarakat yang memakai sistem kekerabatan
matrilineal.
c. Sistem kewarisan mayorat, sistem kewarisan ini menentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh satu orang anak. Sistemkewarisan
mayorat didaerah yang masyarakatnya bersistem kekerabatan patrilineal
yang beralih-alih. Sistem mayorat ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau
keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris
2) Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua merupakan ahli waris
tunggal dari si pewaris.
Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris
digunakan dua macam garis pokok, yaitu:
a. Garis pokok keutamaan
35
Ibid., h. 24. 36
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, Bw, (Bandung:
Refika Aditama, 2005), h. 53.
31
b. Garis pokok penggantian
Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan
keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian
bahwa golongan yang satu diutamakan daripada golongan yang lain. Dengan garis
pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi
dalam golongan- golongan, sebagai berikut:
1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris.
2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris.
3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris.
5) Dan seterusnya.
Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa diantara orang-orang di dalam kelompok tertentu, tampil sebagai
ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah:
1) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris.
2) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.
Di dalam pelaksanaan penentuan para ahli waris dengan mempergunakan
garis pokok keutamaan dan penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama
prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakt tertentu. Demikian pula
harus diperhatikan kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda, dan
seterusnya.
32
Menelaah gambaran umum yang telah dipaparkan di atas, maka dalam hukum
waris adat ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah:
Pertama, mengenai siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang merupakan
ahli waris. Membicarakan mengenai siapa yang menjadi pewaris dan ahli waris, pada
dasarnya membahas mengenai subjek hukum waris. Dengan demikian, ruang lingkup
pertama adalah mengenai subjek hukum waris.
Kedua, akan ditelaah saat kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaiman
cara pengalihan itu dilakukan antara generasi. Juga akan ditinjau mengenai bagaiman
bagian serta bagian harta warisan itu dilakukan. Mengenai masalah di atas, berarti
pada dasrnya membicarakan peristiwa hukum warisan. Termasuk hukum waris islam
adalah hak-hak dan kewajiban yang muncul dari peristiwa itu.
Ketiga, adalah menelaah mengenai apa sajakah yang menjadi harta warisan itu
dan apakah semua harta itu dapat diwariskan kepada ahli waris.37
Hazairin dalam bukunya, menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di
atas dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu “Sifat individual atau kolektif
maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjukkan kepada
bentuk masyarakat di mana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan
yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral,
tetapidapat juga dijumpai dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak.
Malahan di Tanak Batak, di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan
sistem kolektif yang terbatas. Demikian sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat
37
Soerjono Soekanto, op. cit., h. 261.
33
patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Samendo dijumpai pula pada masyarakat
bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem kolektif dalam batas-
batas tertentu malahan dapatpula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di
Minahasa Sulawesi Utara”.38
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan
sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi
atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta
warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau
bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum
waris Islam.
3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Dalam masyarakat hukum adat yang lebih banyak dilakukan ialah bahwa
sipemilik harta pada waktu ia masih hidup member kepada anaknya yang sudah
berumah tangga atau yang sudah berdiri sendiri sebagai modal untuk hidup bersama
keluarganya. Cara ini dilakukan oleh si pewaris supaya anak-anaknya memperoleh
modal untuk penghidupannya. Cara tersebut dilakukan oleh orang tua hingga ia
38
Soerjono Soekanto, op. cit., h. 286
34
meninggal dunia, sementara sisa harta yang ditinggalkan akan dibagi habis menurut
perhitungan dari harta yang telah terbagi terlebih dahulu.
Melihat adat pembagian warisan di berbagai daerah, termasuk Sulawesi
Selatan ada berbagai buku yang menyinggung tentang adat kewarisan, tak satupun
yang menyinggung secara mendetail tentang kewarisan di Kabupaten Bulukumba.
Namun, setelah dicermati berbagai sistem kewarisan adat di berbagai daerah, maka
sistem kewarisan adat yang sama dengan daerah di Sulawesi Selatan sama dengan
sistem yang dianut oleh Hazairin yang menganut sistem bilateral yaitu kedudukan
laki-laki sama dengan kedudukan perempuan. Sudah menjadi kebiasaan adat orang
Bulukumba bahwa sebelum pewaris meninggal dunia sudah menunjuk ahli warisnya
serta bagian masing-masing, anak bungsu mendapatkan keistimewaan karena dia
berhak mendapat rumah dengan asas keadilan.
C. Implikasi Penerapan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Masyarakat
1. Hukum Islam dalam Masyarakat
Hukum Waris adalah peraturan yang mengatur siapa saja yang berhak
menjadi ahli waris (yang bisa mewarisi harta) dari seseorang yang telah meninggal
dunia dan mengatur bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris dari harta
warisan (tirkah) yang ditinggalkan dan dimiliki oleh orang yang meninggal. Hukum
Waris Islam merupakan reformasi besar-besaran dari hukum waris jaman jahiliyah,
walaupun dilakukan secara bertahap.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada
dasarnya telah dimulai untuk mempelajari dan mengajarkan hukum Islam, tinggal
35
sekarang bagaimana penerapan hukum tersebut ( hukum waris Islam) dalam
lingkngan kehidupan masyarakat muslim Indonesia secara konsisten. Adalah hal yang
tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum waris Islam bagi seorang muslim mempunyai
kedudukan yang utama dibandingkan dengan hukum waris lainnya, sebab sudah jelas
hukum waris Islam tersebut telah disyariatkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah
(bahkan merupakan hal yang wajib dilaksanakan). Apalagi peran pengadilan agama
yang telah ditetapkan oleh undang-undang pokok kekuasaan kehakiman Nomor 14
tahun 1970 sebagai pengadilan yang berdiri sendiri, dan mempunyai kewenangan
penuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kewarisan bagi masyarakat yang
memeluk Agama Islam.
Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan
sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum
setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.39
Untuk mengetahui secara
mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia, sudah barang tentu terlebih dahulu
perlu diketahui bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di
Indonesia menurut sistem keturunan yang dikenal itu.
Sesungguhnya di dalam Hukum kewarisan Islam, banyak ajaran yang
ditemukan seperti ajaran kewarisan Islam menurut Ahlus Sunnah Waljamaah dan
39
M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Syafi’I dan Wasiat Wajib di Mesir,
tentang Pembagian HartaWarisan untuk Cucu Menurut Islam”, ( Jakarta: FHUI, 1982), h. 154.
36
ajaran kewarisan menurut Syi’ah. Di dalam ajaran kewarisan menurut Ahlus Sunnah
Waljama’ah sendiri terdapat 4 (empat) Mazhab atau aliran yaitu, Mazhab Syafii’,
Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali, dan Mazhab Maliki. Untuk di Indonesia, Hukum
Kewarisan Islam yang dianut adalah ajaran Hukum Kewarisan menurut Ahlus
Sunnah Waljama’ah, dan dari ajaran Ahlus Sunnah Waljama’ah ini pun yang paling
dominan dianut adalah ajaran kewarisan menurut Mazhab Syafii’. Selain dari Hukum
Kewarisan ajaran Ahlus Sunnah Waljama’ah yang tergolong Pluralistis itu, dalam
masyarakat Islam Indonesia sejak tahun 1950, ternyata ajaran Hukum Kewarisan
yang bercorak bilateral, yang diperkenalkan Hazairin cukup besar pula pengaruhnya.
Untuk sekarang ini telah ada 1 (satu) Kompilasi Hukum Kewarisan yang berlaku bagi
kalangan interen umat Islam Indonesia yaitu, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berdasarkan INPRES No. 1 tahun 1991 yang meliputi Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan, dan ternyata Hukum Kewarisan menurut KHI tersebut menganut sistem
Hukum Kewarisan bilateral.
2. Hukum Adat dalam Masyarakat
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis,
namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri
dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam
masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa.
Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh
masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak
37
dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya
dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga ha rus mengerti
perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya
masyarakat Indonesia.
Dalam Hukum Kewarisan Adat sendiri terdapat berbagai sistem yang
sesungguhnya dipengaruhi oleh bentuk etnis diberbagai daerah lingkungan hukum
adat. Dengan sistem kekerabatan yang beragam, maka pengaruh selanjutnya adalah,
terjadinya sistem Hukum Kewarisan yang berbeda-beda pula bagi masing-masing
golongan masyarakat adat.
Ketentuan yang mengatur mengenai pewarisan menurut hukum adat
mempunyai hubungan yang cukup erat dengan sifat kekeluargaan, termasuk juga di
dalam menentukan jenis harta benda yang dapat diwariskan, sedangkan cara
peralihannya dapat dipengaruhi oleh perbuatan atau keputusan (amanat) dari pewaris
sebelum meninggal dunia, misalnya harta benda untuk sementara waktu tetap
dibiarkan dalam keadaan utuh (tidak dibagi-bagi atau dipisah-pisah) untuk masing-
masing ahli waris, karena sesuai dengan keputusan (amanat) pewaris kepada seluruh
ahli warisnya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa di antara orang-orang Indonesia asli
ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau kekerabatan yaitu; pertama,
golongan kekeluargaan yang bersifat Kebapakan (Patrilineal); kedua, golongan
kekeluargaan yang bersifat keibuan (Matrilineal); ketiga, golongan kekeluargaan
38
yang bersifat kebapak-ibuan (Parental atau Bilateral).40
Pada susunan kekeluargaan
yang bersifat kebapakan atau istilah Patrilineal menganut paham bahwa hanya anak
laki-laki saja yang menjadi ahli waris, oleh karena anak perempuan setelah ia kawin,
keluar dari lingkungan keluarganya yang semula, yaitu lingkungan patrilinealnya
yang semula. Jadi anak laki-laki di dalam sistem kekeluargaan kebapakan ini
mendapat warisan dari bapak maupun ibunya. Kekelurgaan yang bersifat kebapakan
ini terdapat di daerah Tanah Gayo, Alas, Batak, ambon, Irian, Timor, dan Bali.
Dalam susunan kekeluargaan yang bersifat keibuan atau istilah Matrilineal
yang menjadi ahli waris adalah semua anak dari si isteri, dan si suami turut berdiam
di rumah si isteri atau keluarganya. Si suami sendiri tidak masuk keluarga si isteri,
dan si ayah pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Anak-anak keturunannya hanya di anggap kepunyaan ibunya saja, bukan kepunyaan
ayahnya. Jika si suami meninggal dunia, maka yang menjadi ahli warisnya adalah
saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka. Kekeluargaan yang
bersifat keibuan ini, di Indonesia hanya terdapat di Minangkabau.
Kemudian dalam susunan kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan (Parental
atau Bilateral) yaitu, pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara suami dan isteri
perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing. Si suami berbagai akibat dari
perkawinan menjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota
keluarga si suami. Jadi masing-masing suami isteri sebagai akibat suatu perkawinan,
40
Wirjono Prodjodikoro, op. cit., h. 51.
39
masing-masing mempunyai 2 (dua) kekelurgaan, sedangkan dalam kekeluargaan dari
orang-orang tuanya mereka masing-masing juga mempunyai 2 (dua) kekeluargaan,
yaitu dari ayahnya dan ibunya. Demikian juga seterusnya untuk anak-anak
keturunannya tiada perbedaan antara laki -laki dan perempuan, antara cucu laki-laki
dan cucu perempuan. Juga pada susunan kekeluargaan ini dikenal pula adanya
penggantian tempat. Sifat kekerabatan kebapak-ibuan atau parental (bilateral) bagi
masyarakat hukum Indonesia adalah bahagian dari budaya hukum masyarakat
Indonesia, karena sifat kekerabatan bilateral inilah yang sangat dominan di seluruh
Indonesia. Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan ini adalah paling merata
terdapat di Indonesia, yaitu, Di Jawa, Madura, Suimatera Timur, Riau, Aceh,
Sumatera Selatan, seluruh Kalimanta n, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Bulukumba dimana Kabupaten
Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba. Kabupaten ini
memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak 394.757 jiwa
(berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba mempunyai 10
kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. lokasi penelitian ini di lakukan di salah satu
Kecamatan di Bulukumba yaitu Kecamatan Ujung Bulu Kelurahan Caile, dimana
dalam kelurahan ini memiliki penduduk sekitar 8.500 jiwa, dan memiliki batas-batas
wilayah adalah:
1. Sebelah Utara : Desa Polewali
2. Sebelah Selatan : Ujung Bulu
3. Sebelah Timur : Ujung Bulu
4. Sebelah Barat : Desa Paenre’lompoe
daerah tersebut merupakan daerah yang sebagian besar masyarakatnya menjadi
subjek dari diberlakukannya sistem kewarisan adat yang akan menjadi objek
penelitian penulis, karena dari sebagian besar masyarakat Kabupaten Bulukumba
41
dalam pelaksanaan kewarisan tidak menerapkan aturan yang berlaku dalam hukum
Islam melainkan menggunakan sistem pembagian warisan secara adat.
Masyarakat Bulukumba menganut agama islam dan sangat kental pemahaman
mereka, dan masyarakat di Kelurahan Caile rata-rata menganut mashab syafi’i. sistem
kewarisan yang dianut oleh masyarakat Bulukumba terutama di Kelurahan Caile
42
yaitu sistem kewarisan Bilateral. Model pembagian warisannya hanya diberikan
kepada anak-anaknya, sehingga ayah, ibu, dan saudara pewaris tidak mendapatkan
bagian dari pewaris.
B. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang dipergunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah:
1. Data primer, yakni data yang diperoleh secara langsung dari beberapa
masyarakat, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan yang
telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka),
yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya
agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya
kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di
lapangan.
2. Data sekunder, yakni data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan
cara menealaah literature baik dari perundang-undangan maupun buku-buku
tentang aturan hukum Islam dan ada kaitannya dengan objek penelitian ini.
C. Populasi dam Sampel
Sebagai populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat
yang telah melakukan pemberian harta di Kecamatan Ujung Bulu Kelurahan Caile
Kabupaten Bulukumba. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bentuk-bentuk harta
warisan dalam pembagian warisan pada masyarakat Bulukumba. Maka dalam
penelitian ini penulis mengambil sampel 20 (dua puluh) orang dimana dalam
43
Kelurahan Caile ini terbagi atas 4 lingkungan yaitu, lingkungan Cendana, lingkungan
Caile, lingkungan Tanetea, dan lingkungan Matajang masing-msing dalam
lingkungan 5 orang akan di jadikan responden yang akan diwawancarai adalah orang
yang telah melakukan pemberian harta semasa hidup sesuai dengan adat istiadat
Bulukumba.
Pengambilan Sampel dilakukan secara purposive sampel yaitu penentuan
sampel berdasarkan pertimbangan pribadi si peneliti secara terencana dan terararah.
Adapun yang menjadi pertimbangan si peneliti bahwa pemberlakuan waris adat di
daerah tersebut masih dilakukan secara murni menurut hukum waris adat Bulukumba.
D. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan
ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data
sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk
mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan
yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil
penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan hukum waris adat pada masyarakat Bulukumba.
b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan yang
telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka),
44
yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya
agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya
kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di
lapangan.
E. Analisis Data
Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui
verifikasi data sekunder dan data primer. Untuk selanjutnya dilakukan
pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah
sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang
sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata. Dalam
penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data
primer dan sekunder. Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam
bentuk persentase dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis
sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang
terdapat dalam pelaksanaan warisan di Kecamatan Ujung Bulu, Kelurahan Caile
Kabupatan Bulukumba. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan
menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Alasan Orang Tua Mengalihkan Hartanya Kepada Ahli Waris Semasa
Hidupnya
Pengalihan harta waris sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses
yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris
meninggal dunia dan merupakan proses dalam pembagian warisan setelah pewaris
meninggal dunia, hal ini tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal
tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip
pewarisan yaitu menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua
harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi
tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat si peninggal harta
mati.1
Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya merupakan suatu
bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada
umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat parental seperti pada masyarakat
adat Bulukumba. Dalam sistem hukum adat waris di Bulukumba, pewaris adalah anak
laki-laki dan anak perempuan yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan
tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian harta yang dilakukan orang
1 Datuk Usman, op. cit., h. 26
46
tua semasa hidupnya kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut
didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk
membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang
tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Maksud daripada pemberian semasa hidup ialah terutama untuk mewajibkan
para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan
pewarisan dan juga untuk mencegah perselisihan.2 Pemberian semasa hidup
merupakan suatu pemberian yang dilakukan oleh seseorang semasa hidupnya karena
suatu tujuan. Pemberian dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
kepada seseorang atau suami istri bersama atau sekeluarga rumah tangga. Pemberian
dapat terjadi secara langsung antara pemberi dan penerima atau secara tidak langsung
dengan perantara.
Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini yaitu pemberian atas tanah atau
ladang dari harta pusaka. Biasanya diberikan kepada anak laki-laki sebagai harta
untuk diusahainya dan sebagai tempat untuk mencari nafkah sedangkan kepada anak
perempuan diberikan semua yang berada pada isi rumah. Pemberian harta benda
semacam ini biasanya sebagai bentuk tanda kasih sayang dari orang tua kepada
anaknya atau sebagai modal awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin
menikah ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Proses pemberian
barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat
Bulukumba, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup.
2 Soepomo, op. cit., h. 91
47
Harta pemberian dalam masyarakat adat Bulukumba merupakan suatu bentuk
kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya.
Maksud daripada pemberian semasa hidup ialah terutama untuk mewajibkan para
waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewarisan
dan juga untuk mencegah perselisihan.
Adapun hasil wawancara yang dilakukan di salah satu Lingkungan di
Kelurahan Caile yaitu:
Interviewer: Apakah hukum adat mengatur tentang kewarisan dan bagaimana proses
kewarisannya dan kapan harta warisan itu dibagikan?
Responden: Ya, Hukum adat mengatur kewarisan seseorang ketika seseorang masih
hidup dan pembagiannya juga dilakukan semasa hidup pewaris.
Interviewer: Bagaimana bentuk pembagian harta warisan di Lingkungan ini?
Responden: Bentuk pemberian di Lungkungan ini yaitu, pembagiannya bahwa
semua yang berada pada isi rumah adalah milik perempuan dan semua
yang berada pada tanah adalah milik laki-laki.
Interviewer: Apakah ada dasar yang mengatur tentang pola kewarisan ini?
Responden: Ya ada, hukum adat ini mengatur pola kewarisan tentang pembagian
laki-laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada ajaran turun temurun
yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat sini.
Interviewer: Bagaimana dengan si ahli waris, apakah mereka menerima cara
pembagian ini?
48
Responden: Ya, selama ini belum ada ahli waris yang keberatan dengan hasil
pemberian yang dilakukan oleh pewaris.
Interviewer: Apa alasan pewaris menbagi-bagikan hartanya semasa hidupnya?
Responden: Ini merupakan bentuk kasih sayang dari orang tua kepada anaknya dan
merupakan modal awal bagi kehidupan anak di masa depan, apalagi
jika anak laki-laki akan menikah warisannya itu bias dijadikan mahar
untuk si calon isteri.3
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan bahwa pemberian semasa hidup
diberikan kepada anak-anaknya, hal ini dapat terlihat pada Tabel berikut ini mengenai
pemberian harta benda orang tua semasa hidup kepada anaknya dalam Tabel yaitu
sebagai berikut :
Tabel Pemberian Harta Benda Orang Tua Semasa Hidup Kepada Anak
NO LINGKUNGAN JUMLAH RESPONDEN PEMBERIAN HARTA
SEMASA HIDUP
KEPADA ANAK
1 Ling. Caile 5 5
2 Ling. Cendana 5 4
3 Ling. Tanetea 5 3
4 Ling. Matajang 5 3
TOTAL 100% 80%
Sumber: Data Primer
3 H. Abdul Rahman, Kepala Lingkungan Caile, 20 Juni 2012.
49
Dari tabel diatas dapat di lihat dari total 100% ada sekitar 80% orang tua yang semasa
hidupnya memberikan harta kepada anak-anaknya.
Pada masyarakat Bulukumba pemberian-pemberian (Pa’bere) yang dilakukan
semasa hidup oleh orang tua kepada anaknya dapat dikelompokkan menjadi :
1. Barang Bergerak ;
2. Barang Tidak Bergerak ;
Pemberian-pemberian (Pa’bere) semasa hidup tersebut ada yang diperhitungkan
dalam pembahagian harta warisan setelah si orang tua meninggal dan ada juga yang
merupakan pemberian biasa sehingga tidak perlu diperhitungkan lagi pada saat
pembahagian harta warisan nantinya.
Pemberian (Pa’bere) orang tua semasa hidup yang berupa barang bergerak
biasanya berbentuk perabot rumah tangga, pakaian, uang dan perhiasan emas yang
diberikan kepada anak laki-laki maupun anak perempuan ketika akan menikah dan
sebelum menikah. Pemberian perhiasan emas dan pakaian biasanya diberikan ketika
si anak perempuan akan menikah, sehingga memerlukan Perhiasan emas. Pemberian
uang biasanya diberikan ketika si anak laki-laki maupun anak perempuan yang baru
menikah sebagai modal untuk kehidupan si anak dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Apalagi biasanya anak laki-laki diberikan sebagai biayauntuk melamar
calon istrinya sekaligus sebagai biaya pelaksanaan pernikahannya. Sedangkan
pemberian ternak hewan berupa kerbau, sapi, kambing, atau ayam merupakan suatu
pemberian modal untuk kehidupan keluarganya setelah anaknya menikah. Pemberian
50
ini bermotifkan kasih sayang disebabkan salah seorang anak lebih pandai mencari
perhatian orang tuanya.
Bentuk pemberian (Pa’bere) benda tidak bergerak biasanya berupa tanah atau
ladang dari harta pusaka. Biasanya pemberian (Pa’bere) atas sebidang tanah
diberikan kepada anak laki-laki yang sudah berumah tangga sebagai ladang untuk
diusahainya sebagai tempat untuk mencari nafkah, pemberian (Pa’bere) inilah
sebagai modal yang diberikan kepada si anak untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangganya.
Tanah merupakan bentuk pemberian tanah yang didasarkan kepada
banyaknya orang tua yang bermata pencaharian petani sehingga harta yang diberikan
lebih dominan berbentuk tanah agar dapat diusahai oleh anaknya untuk kehidupan
anaknya dimasa depan. Hak seorang anak yang menerima tanah pemberian (Pa’bere)
pada pokoknya adalah sebagai hak untuk dimiliki. Pada saat pa’bere diberikan telah
beralih hak si ayah kepada si anak. Hak tersebut tidak diambil kembali dari si anak
tersebut oleh si ayah maupun oleh ahli waris yang lain. Biasanya pemberian atas
tanah atau sawah ladang diberikan kepada anak laki-laki. Selain tanah, Pa’bere yang
dimaksud juga dapat berbentuk harta rumah yang diberikan orang tua kepada
anaknya. Rumah merupakan bentuk pemberian tanah didasarkan kepada banyaknya
orang tua yang bermata pencaharian sebagai pengusaha dan disertai pemikiran yang
modern sehingga harta yang diberikan lebih dominan berbentuk rumah. Biasanya
pemberian ini diberikan kepada anak perempuan yang paling bungsu.
51
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Status Kepemilikan Harta Pemberian
Orang Tua Semasa Hidupnya kepada Ahli Waris
Hukum yang dianut oleh sebahagian masyarakat Bulukumba merupakan
hukum adat, baik itu sistem perkawinan dan sistem kewarisannya menggunakan
hukum adat, seperti yang di bahas dalam judul ini bahwa orang tua memberikan harta
kepada anak-anaknya semasa hidupnya baik itu berupa harta benda yang bergerak
maupun tidak bergerak. Telah di bahas di atas bahwa alasan orang tua membagikan
harta warisannya karena mmerupakan bentuk kasih sayang mereka terhadap anak-
anaknya dan menjadi bekal untuk kehidupan anak-anaknya kelak.
Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi. Menurut Soepomo hukum
waris adat : Memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
benda (immateriele goerderen) dari suatu generasi manusia (generatie) kepada
keturunanya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang sangat penting bagi proses
itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan
dan pengalihan harta benda dan harta bukan benda tersebut.4
4 Soepomo, op. cit., h. 84.
52
Dalam masyarakat Bulukumba menganut sistem kewarisan Bilateral di mana
posisi laki-laki sama dengan posisi perempuan, apabila harta peninggalan dari si
pewaris masih ada ketika dia meninggal dunia masih dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya. Dalam proses pembagian warisan dalam masyarakat Bulukumba tidak
perlu menggunakan atau memanggil orang lain dalam membagikan warisannya
seperti kepala lingkungan atau pun tokoh masyarakat akan tetapi cukup orang tua dan
anak-anaknya yang mengetahuinya.
Sejak dulu masyarakat melakukan proses pembagian warisan seperti ini,
kekentalan agama mereka juga sangat kuat tetapi dalam proses kewarisan masih
banyak yang menggunakan hukum adat. Pemberian semasa hidup orang tua di
anggap merupakan hal yang biasa dan kewajiban orang tua apalagi apabila anak-
anaknya akan menikah.
Tidak ada kepastian waktu mengenai harta warisan harus dibagikan, harta
warisan tidak dapat dibagikan selama anak-anak pewaris belum dewasa, dan biasanya
pembagian tersebut tidak memiliki bukti konkret seperti ada hitam di atas putih
karena semua pengalihan warisan ini di lakukan menurut kemauan orang tua siapa
saja yang ingin dia berikan harta warisannya.
Meskipun orang tua belum meninggal tetapi sudah membagikan harta
warisannya kepada anak-anaknya, dan anak-anaknya akan menjual harta warisan itu
tidak dapat lagi di ganggu oleh orang tuanya atau mengambil dari hasil penjualan
harta tersebut.
53
Penerapan hukum waris Islam di Bulukumba belum diterapkan sepenuhnya
oleh masyarakat tersebut, hanya sebagian kecil warga saja yang sudah melaksanakan
penerapan Hukum Waris Islam. Dalam pembagian harta warisan dalam keluarga
masih tetap menggunakan kebiasaan yang sejak lama digunakan, dimana harta
tersebut diberikan kepada anaknya secara merata, tidak ada seorang ahli waris yang
memperoleh bagian lebih. Pembagian harta warisan pada masyarakat Bulukumba
moyoritas penduduk tersebut menggunakan pilihan hukum adat yang berkembang
dalam keluarga. Sebab hukum adat dianggap lebih mudah dan cepat selain memang
sudah diterapkan sejak lama dalam pembagian hal warisan. Alasan lain dalam
pemilihan hukum adat dalam pembagian harta warisan adalah demi kerukunan antar
ahli waris.
Pelaksanaan pembagian harta semasa pewaris masih hidup dilakukan untuk
menghindari persengkataan dalam keluarga serta menjaga kekompakan diantara ahli
warisnya etelah pewaris meninggal nantinya.
Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda
bergerak baik kepada anak-anaknya adalah hak milik pribadi yang tidak perlu
dikembalikan lagi. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak
baik kepada anak-anaknya di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik
daripada hak pakai saja, sehingga tidak perlu dikembalikan lagi pada saat orang tua
meninggal dunia.
54
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perbuatan Hukum Masyarakat
Bulukumba tentang Pengalihan Harta kepada Ahli Waris Semasa Hidup
Pewaris
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam sangat berbeda
dengan wujud warisan menurut hukum adat. Warisan atau harta peninggalan menurut
Hukum Islam yaitu “Sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal
dunia dalam keadaan bersih”. Artinya harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli
waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang
diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris”.5
Sedangkan dalam hukum adat, pembagian harta warisan tidak selalu
ditangguhkan sampai semua hutang-hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya,
harta warisan yang dapat beralih kepada para ahli waris tidak selalu harus dalam
keadaan bersih setelah dikurangi hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli
waris menerima harta warisan yang didalamnya tercakup kewajiban membayar
hutang-hutang pewaris.
Apabila harta peninggalan pewaris tidak mencukupi, maka hutang-hutang
pewaris sebagian kadang-kadang dibiarkan tetap tidak dibayar. Namun kenyattan
dalam praktik di berbagai lingkungan hukum adat menunjukkan keadaan yang
berbeda sebab walaupun harta peninggalan pewaris ternyata tidak mencukupi untuk
membayar hutang-hutangnya, akan tetapi hutang-hutang tersebut akan dibayar lunas
5 Wirjono Prodjodikoro, op. cit., h. 17.
55
oleh para ahli waris tanpa memperhatikan jumlah harta peninggalan pewaris. Hal ini
umumnya didasarkan pada suatu penghormatan kepada yang meninggal dunia, serta
keyakinan bahwa diharapkan pewarisdapat menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa
dengan tenang tanpa suatu beban yang akan dapat memberatkannya.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam,
meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara
khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih
hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris,
meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya.
Pelaksanaan pembagian harta kepada ahli waris yang dilakukan pewaris
ketika pewaris masih hidup dapat terakomodir pada pasal 195 butir (3) dan 211
Kompilasi Hukum Islam. Pasal 195 butir (3) tersebut mencantumkan bahwa “Wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”. Adapun pada
pasal 211 dicantumkan bahwa “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan”. Artinya adalah pewarisan harta yang dilakukan
pewaris terhadap ahli warisnya ketika pewaris masih hidup dapat diidentikkan dengan
pewarisan melalui wasiat atau pewarisan melalui hibah.
Hukum kewarisan Islam memiliki asas akibat kematian yang berarti
kewarisan terjadi apabila ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat
dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada
orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
56
meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang
lain selama orang yang mempunyai harta masih hidup. Demikian juga, segala bentuk
pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung
maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk
kategori kewarisan menurut hukum Islam.
Dalam hukum kewarisan Islam menentukan banyaknya yang diterima oleh
masing-masing ahli waris, ada perbedaan dari ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan, sedangkan dalam hukum adat yang dianut oleh masyarakat Bulukumba
yaitu sistem kewarisan bilateral tidak membeda-bedakan antara ahli waris laki-laki
dan ahli waris perempuan, masing-masing mendapat harta warisan sesuai dengan
kebutuhannya.
Kalau hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja,
yaitu kewarisan sebagai akibat dari meninggalnya seseorang atau yang disebut dalam
hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestato atau kewarisan karena
kematian atau kewarisan menurut Undang-Undang, hukum kewarisan Islam tidak
mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk
dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia masih hidup, yang
disebut dalam hukum perdata Barat dengan istilah kewarisan secara Testemen.
Terjadinya pluralisme kesadaran umat Islam terhadap hukum Islam
disebabkan oleh beberapa hal yang melatarbelakangi adanya pluralisme pemahaman
tersebut. Bahwa Islam datang ke Indonesia melalui Negara yang telah mempunyai
budaya yang diwarnai oleh agama setempat. Agama Islam masuk ke Indonesia
57
dimana agama Hindu, Budha dan Kepercayaan telah ada di Indonesia dan bahwa
proses perpindahan dari agama Hindu/Budha ke Islam berjalan secara evolutif yang
memakan waktu lama, sehingga batas-batasnya sangat biasa, terutama dilihat dari
pengalaman masyarakat.
Dengan kenyataan yang demikian itu maka penerimaan dan penghayatan
penduduk Indonesia terhadap agama dan hukum Islam berbeda-beda bahkan yang
menyangkut aqidah. Wajar kalau di Indonesia terdapat kelompok abangan, yang
pengetahuannya tentang hukum agama sangat mengambang, terbatas pada waktu
sunat, kawin dan meninggal. Kelompok lain disebut dengan mutian, adalah
kelompok yang sadar sebagai pengikut suatu agama, mereka berusaha untuk
mengetahui dan mendalami ajaran agamanya serta mengamalkannya. Ada juga yang
menerima Islam hanya pada hal-hal yang sesuai dengan adat kebiasaan setempat,
dengan mengurangi /menambah ketentuan yang sudah baku dalam syari’at.
Jadi pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia yang di lakukan
oleh masyarakat adat Bulukumba bias di katakana bahwa pembagian tersebut bukan
termasukwarisan melainkan sebagai hibah dari orang tua kepada anak-ananknya,
karena menurut hukum Islam kewarisan terjadi apabila adanya kematian, sedangkan
dalam penerapan masyarakat Bulukumba sebagian tidak sesuai dengan proses
kewarisan menurut Hukum Islam meskipun mereka sudah mengetahui proses
tersebut.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Caile Kecamatan Ujung Bulu
Kabupaten Bulukumba, maka dapat di simpulkan bahwa:
1. Alasan orang tua semasa hidupnya mengalihkan hartanya kepada anak-
anaknya karena merupakan bentuk kasih sayang orang tua dan merupakan
bekal untuk kehidupan anak-anaknya di masa depan.
2. Status kepemilikan harta yang di berikan pewaris semasa hidupnya sudah
menjadi milik mutlak ahli waris dan tidak dapat dikembalikan lagi kepada
pewaris.
B. Saran-saran
Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini, perkenankanlah penyusun untuk
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Mengingat hukum kewarisan sangat penting sekali untuk dikembangkan,
maka kepada masyarakat islam umumnya disarankan untuk dapat mempelajari
dan sekaligus mengamalkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
2. Kepada para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat hendaknya mampu
memberikan penyuluhan tentang hukum kewarisan Islam.
59
3. Bagi para peneliti, tentunya bagi mereka yang berminatmengkaji pelaksanaan
hukum Islam dan hukum Adat untuk mampu mendalami berbagai macam
aspek, termasuk aspek sosial yang merupakan satu kesatuan terwujudnya
sebuah aturan dalam pelaksanaan hukum secara lebih mendalam. Sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para pembaca dan peneliti yang
sejenis di masa yang akan datang.
60
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta: UII Press.
2005
Abdurrahman, H. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam di Indonesia. Cet. II. Jakarta: UII Press. 1988.
Bushar, Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Adat. (Cet. VII); Jakarta: PT. Pradnya
Paramita. 2000
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Cipta
Media. 1987
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Mahkota, 1998
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV, Jakarta:
Balai Pustaka. 1995.
Gassing, A. Qadir dan Wahyuddin Halim. Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah.
Cet. 2. Makassar: Alauddin Press. 2009.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya, 2003.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Tinta Mas, 1959.
Hasan, M. Ali, Hukum Waris dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Haar, Ter Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1960
Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh). Jakarta:
Rajawali Press, 1989.
Mied, A. M. Abdul, Kamus Istilah Ilmu Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Notopuro, Hardjito, Masalah-Masalah dalam Hukum Waris di Indonesia. Jakarta:
TP, 1971.
61
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Vorkink. Van
Hoeve, TT.
Perangin, Effendi. Hukum Waris. Cet. I; Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1978.
Raka Dherana, Tjokorda, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali. Jakarta: Yayasan
Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law center), 1975.
Soekanto, Soejono, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1966.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradya Paramita, 1987.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 1985.
As Sabuni, Muhammad Ali. Al-Mawaristu fi al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhawil
Kitabi wa as-Sunnah diterjemahkan oleh M. Samhuji Yahya dengan judul
Hukum Mawaris dalam Syariah Islam DIsertai Contoh-contoh Pembagian
Harta Pusaka. (Cet. III); Bandung: CV. Diponegoro. 1987.
Salim, Oemar. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Cet. III. Jakarta: Rineka
Cipta. 2000
Soekanto, Soerjono. Dan Soleman B. Taneko. Hukum Adat Indonesia. (Cet. II);
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1983.
Sudarsono. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Cet I. Jakarta: Rineka Cipta. 1991.
RIWAYAT HIDUP
Nurjannah dilahirkan di Bulukumba
pada tanggal 24 Juni 1990. Anak kedua
dari dua bersaudara hasil buah kasih dari
pasangan A. Ambo Elo Amar dengan
Hatija.S. Pendidikan Formal dimulai dari
Sekolah Dasar di SDN 3 kasimpureng
Bulukumba dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan
pendidikan di SLTPN 2 Bulukumba dan lulus pada tahun 2005, dan pada tahun yang
sama pula penulis melanjutkan pendidikan di SMA PGRI Bulukumba dan lulus pada
tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan studi kejenjang S1 dengan mengambil
jurusan Perbandingan Mashab & Hukum di fakultas Syariah & Hukum UIN Alauddin
Makassar dan penah menjabat sebagai Bendahara umum HMJ (Himpunan Mahasiswa
Jurusan) pada perioed 2009-2010, kemudian menjabat sebagai anggota BEM pada
periode 2010-2011. Dan selesai pada tahun 2012 dengan gelar Sarjana Hukum Islam
(S.HI).