Post on 12-Dec-2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terdapat berjuta-juta spesies hewan di dunia ini tetapi hanya sebagian
kecil yang telah teridentifikasi yakni kurang lebih dari satu juta spesies hewan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita lebih banyak menjumpai vertebrata dari pada
avertebrata, tetapi sebenarnya jumlah spesies vertebrata hanya 5% dan selebihnya
merupakan avertebrata. Bila dipandang dari sisi lain, ada yang membagi dunia
hewan menjadi kelompok Mollusca dan non-Mollusca, atau berdasarkan ruas
apendik menjadi kelompok Athropoda dan non-Arthropoda. Keanekaragaman
spesies hewan tersebut mendorong rasa keingintahuan dan memberi motivasi
untuk mengkajinya lebih dalam. Seorang geologist dituntut memahami betul
tentang ilmu paleontologi yang mengkaji makhluk hidup pada masa lampau demi
memenuhi tuntutan kerja yang semakin ketat.
Tabel Perkiraan Jumlah Spesises Hidup Secara Gari Besar Pada Kingdom
Animalia Dan Filum Protozoa
Kelompok besar Jumlah spesies Filum/kelas/Campuran
Berbagai macam
Avertebrata
194.000 Protozoa Porifera Coelenterata
Platyhelmintes Nematode
Campuran Echinodermata
50.000 10.000
10.000 10.000
12.000 8.000
1
Mollusca Annelida 5.500 80.000
8.700
Berbagai macam
Arthropoda
100.600 Crustacea Arachnida
Kelompok kecil Chilopoda
Doplopoda
26.000 57.000
4.600 3.000
8.000
Insecta 900.000 Insecta 900.000
Chordata 54.000 Capuran Osteichthes
Amphibia Reptilia Aves
Mammalia
2.000 30.000
3.500 6.500
8.700 4.060
Sumber : Storer dkk,1983
Sebagian dari Avertebrata telah hidup jutaan tahun lalu dimuka bumi ini.
Dapat dikatakan hewan-hewan ini sudah tidak banyak lagi yang dapat dijumpai
terkhusus dalam bentuk fosil. Sisanya hancur tidak berbekas oeh berbagai proses
alam seperti proses orogenesa, metamorfisme, gempa bumi, dan lain-lain.
Untuk mengkaji dan menyelidiki kehidupan masa lampau berdasarkan fosil
yang dijumpai maka dibutuhkan suatu cabang ilmu dari geologi yang disebut
dengan Ilmu Paleontologi. Ilmu ini mempelajari tentang kehidupan kuno (masa
lampau) atau mengenai kehidupan purba, terutama hewan atau tumbuhan serta
benda-benda yang menunjukan adanyan kehidupan dimasa lampau yang telah
membatu dan terawetkan (fosil). Ilmu paleontologi memberikan kita gambaran
yang luas tentang kehidupan mahluk hidup yang hidup pada waktu yang lampau,
bahkan sebelum manusia hadir di muka bumi ini. Segala informasi tentang
2
keadaan berbagai jenis mahluk hidup serta lingkungan tempat hidupnya pada
masa lampau dapat kita peroleh dengan mempelajari ilmu paleontologi. Melalui
fosil segala informasi yang kita inginkan dapat kita peroleh. Mulai dari jenis
mahluk hidup tersebut, daerah tempat hidupnya, lingkungan tempat terjadinya
pengendapan atau yang disebut lingkungan pengendapan, umur dari batuan
tempat fosil ditemukan, serta banyak informasi lainnya yang dapat membantu kita
dalam mempelajari kehidupan masa lampau. Kesemuanya itu merupakan inti dari
ilmu paleontology. Bagaimana kita dapat menginterpretasikan dan
menggambarkan kehidupan masa lampau yang bahkan telah berlangsung jutaan
tahun tahun lalu lewat sisa-sisa peninggalan kehidupan yang kita sebut dengan
fosil
Penyelidikan mengenai fosil telah bayak ahli geologi yang melakukan,
terkhusus mengenai fosil Avertebrata atau invertebrata. Fosil hewan ini memiliki
keistimewaa tersendiri untuk diteliti karena dari sini ahli geologi banyak
mendapat informasi tentang kedudukan batuan, untuk megetahui umur batuan,
mengetahui lapisan top dan bottom dari batuan, mengungkap kondisi dari keadaan
atau topografi dari daerah terdapatnya fosil (paleogeografi), mengetahui keadaan
dari keadaan iklim pada masa lampau (paleoklimatologi) dan lainnya.
Pada pelaksanaan praktikum ini , kami melakukan pengamatan dan
pengambilan sample secara langsung ke lapangan. Hal ini ditujukan selain dari
pada untuk mendeskripsikan fosil, juga bermaksud untuk memberikan
pemahaman secara langsung mengenai kondisi lapangan yang akan kami hadapi
kedepannya.
3
Inilah yang yang melatar belakangi kami untuk melakukan penelitian ini.
Kami dididik dan dibimbing bagaimana caranya agar kami dapat mendeskripsikan
kandungan fosil pada daerah yang menjadi tempat penelitian kami. Hal ini kami
lakukan tentunya dengan metode yang telah ditentukan oleh dosen pembimbing
lapangan kami dan metode yang diajarkan tidak jauh berbeda dengan yang
dilakukan para ahli paleontologi dalam mendeskripsikan fosil-fosil. Dimulai
dengan melakukan hal yang paling dasar yaitu pencaharian fosil-fosil yang
tersebar di daerah local, selanjutanya mengidentifikasinya, sampai dengan
mendesripsikan fosil-fosil tersebut
1.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian kami adalah daerah kabupaten Barru, tepatnya di daerah
Bullu Botosowa. Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi
Selatan yang mempunyai wilayah yang terbentang dipesisir selat Makassar,
membujur dari arah selatan ke utara sepanjang kurang lebih 78 Km. Kabupaten
Barru secara geografis terletak pada Koordinat 4’0,5’49” sampai 4’47’35”
Lintang selatan dan 119’35’0” sampai 119’49’16” Bujur Timur yang mempunyai
luas wilayah kl. 1.174,72 km2 ( 117.427 Ha ), dengan batas wilayah sebagai
berikut :
- Sebelah selatan dengan Kabupaten Pangkep.
- Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar
- Sebelah utara berbatasan dengan Kota Pare-Pare, dan
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng.
4
1.3. Kesampaian Daerah
Secara Topografis Kabupaten Barru mempunyai wilayah yang cukup
bervariasi ,terdiri dari daerah laut , dataran rendah dan daerah pegunungan
dengan ketinggian antara 100 sampai 500 m diatas permukaan laut (mdpl)
Wilayah tersebut berada disepanjang timur Kabupaten sedangkan bagian barat,
topografi wilayah dengan ketinggian 0 - 20 m dpl berhadapan dengan selat
makassar.
Iklim di wilayah kabupaten Barru termasuk tropis, dalam waktu satu tahun
terjadi 2 kali pergantian musim, yaitu musim hujan terjadi pada pada bulan
Oktober hingga Maret, angin bertiup dari arah barat, dan usim kemarau terjadi
pada bulan April hingga September, angin bertiup dari arah timur.
Berdasarkan tipe iklin dengan metode zone agroklimatologi yang
berdasarkan pada bulan basah ( curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan
kering ( curah hujan kurang dari 100 mm/bulan ), di Kabupaten Barru terdapat
seluas 71,79 % wilayah (84.340 Ha) dengan tipe iklim C yakni mempunyai bulan
basah berturut - turut kurang dari 2 bulan ( April sampai dengan September).
Total hujan selama setahun sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar
5.252 mm. Curah hujan berdasarkan hari hujan terbanyak pada pada bulan
Desember - Januari dengan jumlah curah hujan masing - masing 104 mm dan 17
mm.
Jenis tanah di Kabupaten Barru didominasi oleh jenis regosol seluas
5
41.254 Ha ( 38,20) ; Mediteran seluas 32.516 Ha (27,68 %) ; Lisotol selauas
29.043 Ha (24,72%) ; Alluvial seluas 4.659 ha (12,48 %).
Berdasarkan karakteristik sumber daya alam yang ada, kabupaten Barru
mempunyai 4 wilayah, yaitu :
Wilayah selatan adalah Kecamatan Tanete Rilau yang merupakan pintu
gerbang dari Kabupaten Pangkep dengan Potensi Perikanan yang cukup
luas seperti tambak dan perikanan laut.
Wilayah utara yang terdiri dari Kecamatan Balusu, Soppeng Riaja dan
Kecamatan Mallusetasi yang merupakan pintu keluar ke Kota Pare-pare,
wilayah ini disamping sebagai Daerah Pertanian dan Perikanan, juga
adalah Daerah Wisata khususnya Wisata laut yang terletak di Kecamatan
Mallusetasi.Kondisi topografi Kabupaten Barru yang cukup bervariasi ini
terdiri dari laut,dataran rendah, dan daerah pegunungan.
Wilayah pegunungan yang berada disebelah timur, pada umumnya berada
di kecamatan Pujananting dan kecamatan Tanete Riaja. Wilayah ini
merupakan daerah pertanian, pertambangan dan daerah kawasan
peternakan.
Wilayah tengah sebagai Ibu Kota Kabupaten Barru yang merupakan Pusat
Agropolitan yang terletak di Kecamatan Barru
Di mana daerah ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor
baik beroda dua maupun beroda empat. Karena daerah tersebut ditempuh melalui
jalan yang beraspal dan tidak jauh dari pemukiman penduduk, namun kondisi
6
jalan yang ditempuh berkelok-kelok. Daerah tersebut dapat dicapai dengan
perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 5 jam dengan menggunakan
kendaraan roda empat dan kurang lebih 3,5 jam dengan menggunakan kendaraan
Daerah tersebut berada sekitar +110 km dari Kampus Universitas Hasanuddin.
Daerah roda dua. Di mana daerah barru dapat di tunjukkan dengan peta
tunjuklokasi sebagai berikut :
7
Gambar 1. Peta Tunjuk Lokasi Penelitian
8
1.4. Alat yang Digunakan
Adapun alat yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
A. Perlengkapan kelompok
1. Peta lokasi penelitian
2. Kompas Brunton
3. Palu geologi
4. Tabel MS
B. Perlengkapan individu
1. Buku lapangan 11. Kertas grafik
2. Larutan HCl 12. Spidol permanen
3. Alat tulis-menulis 13. Busur derajat
4. Kantong sampel 14. Topi lapangan
5. Kertas A4 15. Penuntun (literatur)
6. Cutter 16. Karung 25 kg
7. Clipboard 17. Hektet
8. Pinsil warna 18. Kalkulator
9. Pita meter 19. Lup pembesaran 10 X
10. Mistar 30 cm dan 50 cm 20. Pakaian ganti
9
BAB II
METODE PENELITIAN
Pemetaan geologi dengan cara ini dilakukan dengan mengambil data-data
geologi yan tersingkap dipermukaan, meliputi data keadaan singkapan, batuan
secara umum, petrologi, dan paleontologinya. Untuk peta dengan sekala 1:50.000
yang digunakan maka pengambilan data tersebut dilakukan seakurat mungkin
dimana jarak stasiun pengamatan geologi telah ditentukan. Jenis lintasan yang
digunakan dalam pengambilan data berupa lintasan jalan, dimana lintasan jalan
dilakukan dengan mengikuti semua jalan yang terdapat di daerah penelitian,
utamanya pada jalan yang baru dibuka, karena kemungkinan akibat kegiatan
pembukaan jalan baru tersebut akan ditemukan singkapan geologi yang masih
fresh.
Adapu metode yang dilakukan dalam hal pengambilan data dilapangan
adalah sebagai berikut:
2.1. Sistematika Sampling
Sampling adalah pengambilan sampel batuan di lapangan untuk dianalisis
kandungan fosilnya. Sistematika sampling yang kami gunakan pada metode
penelitian ini yaitu dengan melakukan :
1. Penentuan stasiun atau tempat yang dijadikan pusat pengambilan sampel
fosil maupun batuan. Adapun sampel batuan dimaksudkan untuk mengetahui
litologi atau keadaan batuan penyusun di setiap stasiun.
2. Selanjutnya sebelum melakukan pengambilan sampel fosil, terlebih dahulu
10
melakukan pengukuran strike dan dip batuan dari setiap stasiun yang akan
diambil sampel fosil maupun batuannya.
3.Setelah pengukuran tersebut dilakukan langkah selanjutnya ialah melakukan
sampling atau pengambilan sampel fosil yang ada pada setiap stasiunnya, mulai
dari stasiun pertama sampai dengan stasiun ke tiga.
Adapun cara lain yang dapat dilakukan dalam sisteatika sampling adalah :
1. menentukan titik lokasi pengamatan pada peta topografi,
2. mengukur kedudukanbatuan dalam hal ini strike dan dipnya,
3. deskripsi batuan dan pencacatan data lapangan,
4. menentukan kondisi segar dan lapuknya batuan,
5. mencari bidang lemah atau retakan pada batuan,
6. menyamplin batuan.
Dalam pengamatan lapangan untuk contoh fosil :
a. Fosil Makro
Karena fosil makro mempunyai ukuran yang besar, maka dalam
pengamatannya kami secara langsung melihat dari kekerasan batuan tempat fosil
makro tersebut berada. Penyajian fosil makro relatif lebih mudah dibandingkan
fosil mikro karena dalam penyajiannya dilakukan secara mudah dengan
pengambilan fosil yang tersingkap lalu kami bersihkan, setelah itu dapat langsung
mendeskripsikanya secara megaskopis beserta batuan tempat fosil tersebut berada
Karena kesulitan dalam deskripsi di lapangan, maka kami lakukan dengan
pendokumentasian, meliputi : sampel batuan, tempat pengambilan, no. sampel,
dll. Setelah itu, dibawa ke kampus lapangan.
11
Gambar di bawah adalah contoh fosil-fosil makro yang terdapat di lapangan
Foto
b. Fosil Mikro
Karena fosil mikro mempunyai ukuran yang sangat kecil, sehingga
pengamatan kami di lapangan sulit dilakukan, sehingga pengamatan di lapangan
lebih di fokuskan pengamatan terhadap fosil-fosil makro.
Jenis sampel disini ada 2 macam, yaitu :
- Sampel permukaan, sampel yang diambil langsung dari pengamatan
singkapan di lapangan. Lokasi & posisi stratigrafinya dapat diplot pada peta.
- Sampel bawah permukaan, sampel yang diambil dari suatu pemboran.
Jenis sampel yang kami amati, teliti dan deskripsikan adalah jenis sampel
permukaan.
2.2. Metode Pemerian
Metode pemerian atau cara pendeskrisian kandungan fosil, saya lakukan
dengan cara sebagai berikut :
Pertama yaitu engumpulkan fosil untuk tiap stasiun, lalu memberi kode
12
atau label dengan urutan penulisan pada kantong sampel yaitu
No. stasiun/no. sampel/jenis batuan/hari dan tgl/nama (di tulis singkat).
Kedua mengklasifikasikan jenis fosil yang diduga memiliki kemiripan
(bentuk fosil, proses pemfosilannya, dll.) atau berada pada filum yang sama. Hal
ini dilakukan pada setiap stasiun tempat terdapatnya fosil.
Ketiga mengidentifikasi kandungan atau komposisi kimia dari setiap fosil
pada setiap stasiunnya dengan menggunakan larutan HCl. Hal ini dilakukan untuk
menyelidiki tempat hidup awal dan lingkungan pngendapannya.
Keempat mencari literatur yang dapat mendukung prediksi awal mengenai
nama filumnya, kelas, ordo, family, genus dan nama spesies dari fosil tersebut.
13
Adapun cara pemerian atau deterinasi fosil makro, yaitu :
FIELD TRIP PALEONTOLOGI
HARI/TANGGAL : ……… CUACA : ……..
LOKASI : ……… LOITOLOGI : …….
1. Data singkapan
2. Data litologi
3. Data geomorfologi
4. Data struktur
14
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Identifikasi Kandungan Fosil
Penelitian ini dilakukan dengan dua metode penelitian yakni metode observai
terdiri dari 3 stasiun pengamatan dan metode measuring section. Dasar penamaan
batuan pada daerah penelitian Bulu Bottosuwa sebagai objek penelitian , yaitu
didasarkan pada cirri litologi, baik cirri fisik, kimia maupun litologi. Cirri fisik
meliputi warna, tekstur, struktur, ukuran butir, dan bentuk butir. Sifat kimia
meliputi komposisi kimia batuan dan cirri biologi mencakup kandungan biota atau
organism dan jejak-jejak organisme yang telah membatu yang terkandung dalam
batuan. Selain itu penamaan batuan juga didasarkan pada dominasi batuan yang
menyusunnya di lapangan baik ketebalan maupun intensitas dari perilangannya
sendiri. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka batuan yang ada pada daerah
penelitian dapat dibagi dalam dua yakni Batuanpasir dan Batugamping.
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi atau pengamatan
langsung di lapangan, yang mana metode observasi ini terdiri dari tiga stasiun
pengamatan. Adapun dasar penamaan pada daerah penelitian Bulu Bottosuwa
sebagai objek penelitian, yaitu di dasarkan pada ciri litologi, baik ciri fisik, kimia
maupun litologi. Ciri fisik meliputi warna segar, warna lapuk, tekstur, dan
struktur.
15
Sifat kimia meliputi komposisi kimia batuan dan ciri biologi mencakup
kandungan biota atau organisme dan jejak-jejak organisme yang telah membatu
yang terkandung dalam batuan. Selainitu, penamaan batuan juga didasarkan pada
domonasi batuan yang menyusunnya di lapangan baik ketebalan maupun
intensitas dari persilangannya sendiri. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
batuan yang ada pada daerah penelitian (Bulu Bottosuwa)dapat dibagi dalam dua
yakni batu pasir dan batu gamping. Adapun deskripsi dari setiap stasiun adalah
sebagai berikut:
Pada stasiun pertama dijumpai singkapan berupa batuan sedimen dengan
nama batuan adalah batu gamping. Batuan ini dijumpai di pinggir sebelah utara
Bulu Bottosuwa, dengan arah penyebaran dari Timur ke Barat dan merupakan
batuan sedimen yang insitu. Batuan ini memiliki ciri fisik dengan warna lapuk
cokelat kehitam-hitaman dan warna segar cokelat, tekstur klastik, struktur berlapis
(N2510E/180), Saat ditetesi dengan larutan HCl batuan ini bereaksi yang
mengindikasikan bahwa komposisi kimia dari batuan ini adalah karbonat
(CaCO3). Singkapan batuan ini berada pada relief yang tidak terjal. Pada stasiun
ini dijumpai adanya fosil yang bertebaran disekitarnya, dengan yang kami
temukan hanyalah fosil dari filum Mollusca, ordo Mesogastropoda denmgan
spesies Turritella sp.,Destilanida sp. ., Medialus sp, Turbinolia sp. Dari filum
Coelenterata yaitu ordo Rugosa dengan spesies Thecosmilia sp. Fosil yang
ditemukan merupakan fosil dalam bentuk tanatoconaus karena fosil tersebut sudah
tidak utuh lagi setelah mengalami proses transportasi. Batuan pada stasiun ini
16
dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapannya di laut dangkal dengan
melihat komposisi mineral penyusunnya.
Pada stasiun kedua dijumpai singkapan batuan sedimen dengan nama
batuan adalah batu pasir. Batuan ini dijumpai di pinggir sebelah utara Bulu
Bottosuwa, dengan arah penyebaran dari Timur ke Barat dan merupakan batuan
sedimen yang insitu. Batuan ini memiliki ciri fisik dengan warna lapuk cokelat
dan warna segar cokelat keputih-putihan, tekstur klastik, struktur berlapis
(N60E/210), Saat ditetesi dengan larutan HCl batuan ini bereaksi yang
mengindikasikan bahwa komposisi kimia dari batuan ini adalah karbonat
(CaCO3). Singkapan batuan ini berada pada relief yang tidak terjal. Pada stasiun
ini dijumpai adanya fosil yang bertebaran disekitarnya, dan yang kami temukan
hanyalah fosil dari filum Mollusca, ordo Mesogastropoda denmgan spesies
Fafosites sp, Destilanida sp., Viviparus sp., Turbinolia sp. Dari filum Coelenterata
yaitu ordo Rugosa dengan spesies Thecosmilia sp. Fosil yang ditemukan
merupakan fosil dalam bentuk tanatoconaus karena fosil tersebut sudah tidak utuh
lagi setelah mengalami proses
Pada stasiun ketiga dijumpai singkapan batuan sedimen dengan nama
batuan adalah batugamping. Batuan ini dijumpai di pinggir sebelah utara Bulu
Bottosuwa, dengan arah penyebaran dari Timur ke Barat dan merupakan batuan
sedimen yang insitu. Batuan ini memiliki ciri fisik dengan memiliki warna lapuk
cokelat dan warna segar cokelat keputih-putihan, tekstur klastik, struktur berlapis
(N 80o E/ 24o), Saat ditetesi dengan larutan HCl batuan ini bereaksi yang
mengindikasikan bahwa komposisi kimia dari batuan ini adalah karbonat
17
(CaCO3). Singkapan batuan ini berada pada relief yang tidak terjal. Pada stasiun
ini dijumpai adanya fosil yang bertebaran disekitarnya, dean yang kami temukan
hanyalah fosil dari filum Mollusca, ordo Mesogastropoda denmgan spesies
Porpites sp., Viviparusnia sp.,Turbinolia sp. Dari filum Coelenterata yaitu ordo
Rugosa dengan spesies Thecosmilia sp. Fosil yang ditemukan merupakan fosil
dalam bentuk tanatoconaus karena fosil tersebut sudah tidak utuh lagi setelah
mengalami proses pemfosilan.
III.2 Pemerian Fosil setiap Stasiun
DATA FOSIL YANG DITEMUKAN PADA STASIUN 1
UNTUK LITOLOGI BATU GAMPING
Phylum Kelas Nama fosil Jumlah
Mollusca Gastropoda
Pelecypoda
Destila sp
viviparus sp.
Cheliconus sp.
Turritella sp.
Poropea sp
3
2
18
Trigoni sp
Medialus sp.
5
6
Coelenterata Zoontaria
Anthozoa
Turbinolia sp.
Porpites sp. 4
Porifera Demospongia Favosites sp
DATA FOSIL YANG DITEMUKAN PADA SATSIUN II
UNTUK LITOLOGI BATU PASIR
Phylum Kelas Nama fosil Jumlah
Mollusca Gastropoda Destila sp
viviparus sp.
Cheliconus sp.
Turritella sp.
7
2
3
19
Pelecypoda Poropea sp
Trigoni sp
Medialus sp.
8
Coelenterata Zoontaria
Anthozoa
Turbinolia sp.
Porpites sp.
12
8
Porifera Demospongia Favosites sp 2
DATA FOSIL YANG DITEMUKAN PADA SATSIUN III
UNTUK LITOLOGI BATU GAMPING
Phylum Kelas Nama fosil Jumlah
Mollusca Gastropoda Destila sp
viviparus sp.
Cheliconus sp.
16
5
5
20
Pelecypoda
Turritella sp.
Poropea sp
Trigoni sp
Medialus sp.
6
13
14
13
Coelenterata Zoontaria
Anthozoa
Turbinolia sp.
Porpites sp.
21
15
Porifera Demospongia Favosites sp 8
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
21
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bagian
sebelumnya, maka pada bagian ini akan ditarik beberapa kesimpulan yang
tentunya menjadi inti dan kesimpulan secara menyeluruh mengenai hasil dari
penelitian dan pengamatan kami di lapangan. Adapun kesimpulan yang dimaksud
dapat diuraikan sebagaimana yang tersebut di bawah ini :
1. Fosil yang ditemukan tersebut merupakan organisme yang hidup di laut
dangkal karena umumnya komposisi kimianya adalah HCl,
2. Daerah penelitian tersebut dulunya beupa lautan/perairan namun karena
adanya gaya endogen dan eksogen daerah tersebut berubah menjadi
gunung/dataran tinggi,
3. Pada daerah penilitian, yang ditemukan hanya litologi batu gamping dan
pasir yang temasuk dalam daerah terjal,
4. Fosil yang ditemukan pada daerah penilitian di dominasi oleh phylum
mollusca khususnya kelas gastropoda dan pelecypoda,
5. Satuan batu gamping yang diperkirakan berumur Jura Akhir sampai
Miosen Tengah dan dijumpai pada stasiun I dan stasiun III.
6. Satuan batu pasir yang diperkirakan berumur Eosen Awal dan dijumpai
pada stasiun II.
7. Jenis fosil yang banyak ditemukan di loasi penilitian/daerah Bulu
Bottosowa yaitu fosil Phylum Mollusca dan Coelenterata.
22
8. Secara keseluruhan satuan batuan daerah penilitian dapat di golongkan
atas 6 lapisan yang tua yang ke termuda, yakni:
Satuan batuan beku intrusive
Satuan breksi vulkanik
Satuan breksi batugamping
Satuan napal
Satuan batupasir Mallawa
Satuan serpih Balangbaru
4.2. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan setelah melakukan praktikum
adalah:
1. Sebelum berangkat ke lapangan, sebaiknya kesehatan tubuh dan seluruh
perlengkapan dipersiapkan sebaik mungkin guna menjaga kelancaran dalam
proses kegiatan penilitian di lapangan.
2. Di harapkan agar setiap kelompok praktikum lapangan di dampingi oleh para
asisten pembimbing minimal satu orang, arena praktikan terkadang masih
mengalami kendala dalam mendiskripsikan litologi batuan serta fosil yang
mereka temukan. Hal tersebut mengingat Fiel Trip ini, merupakan
implementasi dari teori dalam ruang kuliah serta merupakan hal yang paling
dasar bagi seorang calon Geologist.
23
3. Sebelum Field Trip dilaksanakan,diharapkan agar kesiapan seluruh panitia
pelaksana betul-betul siap agar pelaksanaan praktikum ini berjalan dengan
lancar.
24
DAFTAR PUSTAKA
Mappa, Haruna. 2008. Makro dan Mikro Paleontologi. Makassar : Universitas
Hasanuddin
Rochmanto, Budi. 2008. Diktat Mata Kuliah Geologi Fisik. Makassar :
Universitas Hasanuddin
________. 2008. Sap Praktikum Paleontology. Makassar : Universitas
Hasanuddin
.
25