Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan

Post on 26-Jul-2015

603 views 0 download

Transcript of Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan

.    Obyek Material dan Obyek Formal Ilmu Pengetahuan

“No problem, no science”. Ungkapan Archi J Bahm ini seolah sederhana namun padat akan

makna. Dari ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwasanya ilmu pengetahuan muncul dari

adanya permasalahan tertentu. Ilmu pengetahuan, menurut Bahm, diperoleh dari pemecahan

suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti

tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada

sistematika ilmiah.

Permasalahan merupakan obyek dari ilmu pengetahuan. Permasalahan apa yang coba

dipecahkan atau yang menjadi pokok bahasan, itulah yang disebut obyek. Dalam arti lain,

obyek dimaknai sebagai sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan

pengetahuan.

Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua

bagian, yaitu: Obyek material dan obyek formal.

Yang disebut obyek material adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau

penelitian ilmu. Sedangkan menurut Surajiyo dkk. obyek material dimaknai dengan suatu

bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Obyek material juga

berarti hal yang diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material

mencakup apa saja, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil maupun yang non-

materil. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya.

Misal: objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya, lapangan dalam logika

adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Maka, berpikir

merupakan obyek material logika.

Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan

ini dibedakan atas dua arti, yaitu:

  Pokok persoalan ini dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual.

Misalnya: penyelidikan tentang atom termasuk bidang fisika; penyelidikan tentang

chlorophyl termasuk penelitian bidang botani atau bio-kimia dan sebagainya.

  Dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan.

Misalnya: anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan dengan struktur tubuh. Anatomi

mempelajari strukturnya sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut

dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dikatakan berbeda.

Perbedaaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang

diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh

dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi dalam aspeknya yang dinamis.

Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi

yang dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang. Obyek formal diartikan juga

sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan

pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek material itu disorot. Obyek formal suatu

ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya

dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang

sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan tergambar lingkup

suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, “tujuan

pengetahuan sudah ditentukan.

Misalnya, obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut

pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia,

diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.  

c.         Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal 

Persoalan-persoalan umum (implikasi dari obyek material dan obyek formal) yang ditemukan

dalam bidang ilmu khusus itu antara lain sebagai berikut:

  Sejauh mana batas-batas atau ruang lingkup yang menjadi wewenang masing-masing ilmu

khusus itu, dari mana ilomu khusus itu dimulai dan sampai mana harus berhenti.

  Dimanakah sesungguhnya tempat-tempat ilmu khusus dalam realitas yang melingkupinya.

  Metode-metode yang dipakai ilmu tersebut berlakunya sampai dimana.

  Apakah persoalan kausalitas (hubungan sebab-akibat yang berlaku dalam ilmu ke-alam-an

juga berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.

Dari segi agronomi, pandangan keliru lainnya adalah banyak tanaman, banyak hasil. Ini

mungkin mirip dengan pandang “banyak anak, banyak rezeki”. Implikasi buruk dari

pandangan ini adalah petani menanam padi dengan jarak tanam yang sangat rapat, ditambah

lagi sangat banyak tanaman dalam satu lubang tanam. Sebagai ilustrasi, ada petani yang

menanam padi dengan jarak 10 cm x 10 cm dan dalam satu lubang tanam berisi 6 tanaman.

Bila dihitung, maka satu hektar sawah berisi 6 juta batang padi, yang juga berasal dari 6 juta

butir benih padi. Jumlah ini sebanding dengan 150 kg benih padi dengan asumsi 1000 butir

padi sama dengan 25 g. Padahal, secara agronomi, padi dapat ditanam dengan jarak 25 cm x

25 cm (Thakur, 2010) atau serapat-rapatnya 20 cm x 20 cm dan dalam satu lubang cukup satu

tanaman saja, sebagaimana pada metode SRI (Thakur et al. 2010). Dengan cara ini, maka satu

hektar hanya berisi 160 ribu atau 250 ribu batang saja, yang bila dikonversi ke biji menjadi

setara 4,0 kg atau 6,25 kg benih saja. Coba lihat betapa tidak efisiennya petani kita yang

menabur benih padi sebanyak 150 kg dari yang seharusnya cukup 4 – 6,25 kg saja untuk satu

hektar sawah. Ini baru dilihat dari kebutuhan benih, belum lagi dari segi tenaga kerja dan

waktu yang terbuang percuma. Ini sungguh sangat boros dan tidak ekonomis sama sekali.

Anggapan lain yang sama buruknya adalah semakin banyak air yang diberikan, semakin

banyak hasil padi. Akibatnya, pemakaian air sangat boros per satuan luas sawah, berikutnya

jumlah sawah yang dapat diairi menjadi lebih sempit dari yang seharusnya. Padahal,

sebenarnya padi bukanlah murni tanaman air, karena kenyataannya padi memang dapat juga

hidup dan berproduksi tinggi pada lahan darat. Dengan demikian, air bukanlah faktor mutlak

melainkan sebagai faktor pendukung. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa

kesehatan tanah sawah tempat padi di tanam lebih baik bila tidak digenangi terus menerus

(Hanafiah et al., 2009). Dengan demikian, sebenarnya padi tidak memerlukan terlalu banyak

air seperti yang disangkakan dan justru akan lebih produktif bila air diberikan secara macak

dan terputus-putus. Menurut Prisilla et al. (2012), pemberian air irigasi dengan debit yang

berubah-ubah sangat penting bukan saja untuk perbaikan sistem irigasi, tetapi juga untuk

melindungi sumber air bagi masa depan.