Post on 18-May-2019
i
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM KITAB TANBIHUL GHAFILIN
KARYA AL-IMAM ABU LAITS AS-SAMARQANDI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
ZULFA ALI MAKHRUS
NIM 114 13 012
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO
ن هكاسم األخالق إنوا بعثت ألتو
”Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak”.
(HR.Ahmad, 1991: 323)
اس ركشى بخالصة أخلصناىن إنا الذ
“Sungguh, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan) akhlak
yang tinggi kepadanya yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri
akhirat.” (Departemen Agama RI, 1999: QS. Shaad: 46)
vi
vii
KATA PENGANTAR
Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji dan
syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Karena dengan segala
limpahan taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis diberi kemudahan
dan kelapangan hati dalam menyelesaikan skripsi ini, shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW.
keluarga, sahabat dan pengikut setianya.
Penyusunan skripsi ini bertujuan guna memenuhi persyaratan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Terselesainya skripsi ini tidaklah semata-mata hasil dari jerih
payah penulis sendiri, melainkan banyak pihak terkait yang telah membantu baik
moril maupun spiritual, oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga, beserta staf-
stafnya, yang telah menyediakan tempat serta fasilitas gedung kuliah yang
nyaman dan kondusif.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Kajur PAI IAIN Salatiga
4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I sebagai dosen pembimbing yang telah tulus,
ikhlas dan menyempatkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan akademika yang telah membantu terselesainya skripsi ini.
viii
6. Bapak (M. Abadi) dan Ibu tercinta (Sa‟amah), Kakak dan Adik-adik saya
(Zulfigar Dimas Ulinnuha, Muhammad Kafabihi dan Muhammad Bahrul
Ulum).
7. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu dalam
menyelesaikan sekripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga Allah SWT senantiasa
memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda kepada semua pihak.
Jazakumullahu ahsanal jaza‟. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
untuk kajian yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua. Amin.
Salatiga, 26 Februari 2018
Penulis
Zulfa Ali Makhrus
NIM. 114 13 012
ix
ABSTRAK
Makhrus, Zulfa Ali. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Tanbihul
Ghafilin Karya Al Imam Al Faqih Abu Laits As Samarqandi. Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Urifatun
Anis, M.Pd.I
Kata Kunci: Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak, Kitab Tanbihul Ghafilin
Pendidikan akhlak merupakan bagian terpenting dalam pendidikan Islam.
Kitab Tanbihul Ghafilin merupakan sebuah kitab karya Abu Laits As Samarqandi.
Sebuah kitab yang membahas seputar peringatan orang-orang yang lalai,
pendidikan akhlak dan religiusitas. Berisikan renungan dan nasehat yang
diarahkan kepada pembentukan akhlak terpuji. Penelitian ini memiliki rumusan
masalah sebagai berikut: Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab
Tanbihul Ghafilin?. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kitab Tanbihul Ghafilin?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka (library research),
yaitu meneliti secara mendalam mengenai Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam
Kitab Tanbihul Ghafilin. Sumber data penelitian di sini berasal dari sumber data
primer dan sumber data sekunder, sedangkan untuk menganalisis data yang ada
penulis mengorganisir, memilih dan memilah untuk disintesiskan kemudian
menemukan pola dan menyimpulkannya. Adapun metode analisis ini
menggunakan metode content analysis.
Setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan tersebut dapat diketahui
bahwa Imam Nasr bin Muhammad As-Samarqandi bernama lengkap Abul Laits
Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi al-Hanafi, dikenal dengan Abu Laits,
seorang Ulama Tabi‟ut Tabi‟in, hidup pada awal abad ke-4 Hijriah dan Wafat 373 H.
Beliau juga dikenal dengan julukan Imamul Huda. Konsep pendidikan akhlak dalam
kitab Tanbihul Ghafilin adalah keseimbangan dalam hubungan vertikal
(hablumminallah) selaku hamba Allah, dan dalam hubungan horisontal
(hablumminannas) selaku makhluk individu dan makhluk sosial untuk mencapai
derajat takwa. Kitab Tanbihul ghafilin ini dapat dijadikan sebagai rujukan dan
referensi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, khususnya pada mata
pelajaran akhlak, dan juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, agar menjadi
manusia yang berakhlak serta berkepribadian mulia.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 7
E. Penegasan Istilah .............................................................. 8
F. Metode Penelitian .......................................................... 12
G. Sistematika Penulisan .................................................... 16
BAB II BIOGRAFI ABU LAITS AS SAMARQANDI
A. Riwayat Hidup Abu Laits As Samarqandi ..................... 18
B. Latar Belakang Penulisan Kitab Tanbihul Ghafilin ....... 20
C. Sistematika penulisan Kitab Tanbihul Ghafilin ............. 23
D. Pendidikan Abu Laits As Samarqandi ........................... 31
E. Karya-karya Abu Laits As Samarqandi ......................... 32
xi
BAB III PEMIKIRAN ABU LAITS AS-SAMARQANDI TENTANG
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB
TANBIHUL GHAFILIN
A. Nilai-nilai pendidikan ....................................................... 34
1. Pengertian Nilai dan Sumber Nilai ............................... 34
2. Pengertian Pendidikan .................................................. 36
3. Tujuan Pendidikan ........................................................ 36
B. Pengertian Akhlak ............................................................ 38
1. Etika .............................................................................. 40
2. Moral ............................................................................ 40
C. Pemikiran Abu Laits As-Samarqandi Tentang
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab
Tanbihul Ghafilin .............................................................. 42
BAB IV ANALISIS RELEVANSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM KITAB TANBIHUL GHAFILIN
A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab
Tanbihul Ghafilin Karya Al-Imam Al-Faqih Abu Laits
As-Samarqandi ................................................................. 54
B. Relevansi Materi Akhlak pada Kitab Tanbihul Ghafilin
dengan Pendidikan Agama Islam ..................................... 98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 104
B. Saran ............................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sifat dan tabiat resah
gelisah lagi bakhil dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan, dia sangat resah dan
gelisah. Dan apabila dia mendapat kesenangan, dia sangat bakhil dan kikir.
Dengan sifat dan tabiat ini sekiranya Allah SWT berikan kepadanya pelajaran
bagi manusia kenikmatan dunia maka dengan mudahnya dia lupa, sombong
bahkan merasa takabur seakan-akan dia merasa semua yang datang atas jerih
payahnya sendiri. Manusia sering tidak sadar bahwa segala nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT merupakan karunia yang hendaknya digunakan
untuk kemaslahatan dan kebaikan alam semata.
Akhlak merupakan langkah awal seseorang menciptakan suatu keadilan
dan kebenaran di muka bumi berdasarkan syariat Allah SWT serta
menghapus kedzaliman yang ada. Ketika seluruh penduduk suatu bangsa
memiliki akhlak yang mulia, maka tidak bisa dipungkitri kalau bangsa
tersebut akan mengalami suatu keadaan yang damai, tentram tanpa adanya
kedzaliman yang membuat mereka resah.
Oleh karena itu, manusia dibekali akal pikiran yang berguna untuk
membedakan antara yang hak dan yang bathil, baik buruk dan hitam putihnya
dunia. (Mansur, 2000: 165) Bahkan selamat dan tidaknya manusia, tenang
dan resahnya manusia tergantung pada akhlaknya. Adapun tujuan dari semua
2
tuntunan al-Quran dan al-Sunnah menurut Quraish Shihab adalah menjadi
manusia yang secara pribadi dan kelompok mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba Allah SWT dan kholifah di bumi, guna membangun dunia ini
dengan konsep yang ditetapkan Allah SWT dengan kata lain yang lebih
singkat dan sering digunakan adalah untuk menjadi hamba yang bertaqwa
pada Allah SWT. (Shihab, 1994: 152).
Akhlak merupakan salah satu hasil dari iman dan ibadat. Iman dan
ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dapat mempengaruhi akhlak
dalam mu‟amalah kepada Allah SWT dan makhluk-nya (Omar Muhammad,
1979: 312). Ia menyatakan alasannya bahwa ikhlas dalam menyembah Allah
SWT akan menjadikan seorang hamba yang saleh lagi berakhlak mulia,
disukai sesama, dikasihi dan disayangi Allah SWT. Seseorang belum bisa
dikatakan sempurna imanya terhadap Tuhannya kecuali bahwa ia benar-benar
beriman dan menyempurnakan ketaatan dalam beribadah kepada-Nya.
Membina akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam tujuan
Pendidikan Nasional. Sebagaimana tercantum dalam Undang–Undang No. 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa
tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Pada kenyataanya di lapangan usaha-usaha membina akhlak melalui
berbagai lembaga pendidikan dan mulai dari berbagai macam metode terus
dikembangkan. Ini menunjukan bahwa membina akhlak sangat dibutuhkan
3
dan pembinaan akhlak ini ternyata menghasilkan pribadi-pribadi muslim yang
berakhlak mulia, taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menghormati orang
tua, dan lain sebagainya.
Untuk itu harus ada pembinaan terhadap siswa baik di sekolah maupun
di luar sekolah, baik itu oleh guru maupun orang tua. Upaya tersebut harus
dilakukan dengan kerjasama yang harmonis, baik pendidikan pada keluarga
maupun (pembinaan mental) pada lingkungan masyarakat. Namun kenyataan
di lapangan sering menemukan berbagai macam kendala untuk mewujudkan
kerjasama yang harmonis tersebut. Di antaranya dikarenakan tingkat
pendidikan orang tua yang rendah, kesibukan orang tua, maupun lingkungan
masyarakat yang kurang menunjang.
Disamping itu, banyak para remaja yang melakukan tindakan kriminal
dan sering terjadinya tawuran antar pelajar adalah salah satu contoh yang
membuktikan bahwa tidak berhasilnya pembinaan akhlak dan budi pekerti
pada siswa. Kegagalan pembinaan akhlak ini akan menimbulkan masalah
yang sangat besar, bukan saja pada kehidupan bangsa pada saat ini tetapi juga
pada masa yang akan datang.
Akhlak merupakan pondasi utama yang kuat untuk terciptanya
hubungan baik antara hamba dengan Allah SWT. (hablumminallah) serta
antar sesama manusia (hablumminannas). Akhlak yang baik dan mulia tidak
lahir berdasarkan keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi,
membutuhkan proses panjang, yakni melalui pendidikan akhlak.
Sebagaimana pengertian akhlak yang telah diringkas oleh Muchson dan
4
Samsuri, bahwa Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai
persamaan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat
dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
dalam diri secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya. (Muchson Samsuri, 2013: 1)
Keberhasilan suatu bangsa dalam memperoleh tujuannya tidak hanya
ditentukan oleh melimpah ruahnya sumber daya alam, tetapi sangat
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Bahkan ada yang mengatakan
bahwa “Bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas akhlak bangsa
(manusia) itu sendiri”. (Majid Dian, 2011: 2) Tujuan pendidikan adalah untuk
membentuk akhlak yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan
prilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Akhlak menjadi identitas yang
mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan
akhlak inilah, kualitas seorang pribadi diukur. (Majid Dian, 2011: 8)
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk membentuk sosok atau
pribadi yang berbudi pekerti luhur atau berakhlakul karimah. Membina
akhlak merupakan inti dari ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda, yang
diwirayatkan oleh Ahmad :
األخالق ىبس ب ثؼضذ ألر أحمد ( ) رواه ئ
Artinya: ”Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak”. (HR.Ahmad, 1991: 323)
5
Dari hadis tersebut, dapat terlihat bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah
menyempurnakan akhlak. Sehingga pantas apabila para „alim ulama selalu
mendakwahkan untuk beramar ma‟ruf nahi mungkar. Guru yang selalu
berusaha keras untuk membentuk pribadi-pribadi anak didiknya menjadi
sosok yang berkepribadian luhur.
Meskipun demikian, pendidikan akhlak masih sering terabaikan karena
mengejar ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif dan duniawi serta tidak
melihat pada pendidikan akhlaknya. Oleh karena itu, banyak tercetak ilmuan
yang memiliki pengetahuan agama namun memiliki akhlak yang tidak sesuai
dengan Islam yang di bawa Rasulullah SAW. Al Ghozali (2003: 56)
mendefinisikan akhlak yaitu khuluk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan yang dengan gampang dan mudah
tanpa memerlukan pikiran dan timbangan. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan terpuji maupun tercela. Namun dalam Islam yang sangat
dianjurkan dan diwajibkan adalah mengarahkan akhlak pada akhlak terpuji
(akhlakul karimah).
Nipan Abdul Halim (2000: 43) menyebutkan bahwa pokok-pokok
akhlak meliputi akhlak kepada Allah SWT, terhadap semua manusia dan
terhadap makhluk lainya. Nipan membagi lagi dari pokok-pokok akhlak
tersebut kedalam beberapa bagian, yaitu mengenali Allah SWT dengan baik
dan benar, mengesakan dan berprasangka baik kepada-Nya, membenarkan
segala firman-Nya, mentaati perintah dan menjauhi segala larangan-Nya,
6
mencintai Allah SWT, senantiasa mengingat dan memuji Allah SWT,
mensyukuri nikmat Allah SWT, tawakal dan tawadhu‟ kepada-Nya.
Sedangkan Boehori (1983: 116) menambahkan mengenai akhlak
kepada Allah SWT yaitu: taubat kepada Allah SWT, cinta terhadap Allah
SWT, takut terhadap Allah SWT. Akhlak terhadap sesama manusia meliputi
mengikuti jejak Rasulullah, menghormati keberadaan para Nabi dan Rasul,
berbakti kepada kedua orang tua, menghormati yang tua dan menyayangi
yang muda, menyantuni pihak yang lemah (sedekah), menghormati tetangga
dan tamu, menghargai lawan jenis.
Dari uraian diatas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai
pendidikan akhlak pemikiran Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi
melalui sebagian karyanya yaitu kitab Tanbihul Ghafilin yang didalamnya
terdapat beberapa uraian tentang pendidikan akhlak. Untuk itu, penulis
mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul Ghafilin karya Al-Imam Al-Faqih
Abu Laits As-Samarqandi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul
Ghafilin?
7
2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul
Ghafilin terhadap pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah susunan apa yang ingin diketahui atau
ditentukan atau dikemukakan dalam melaksanakan penelitian dengan kata
lain apa yang akan dilakukan dalam penelitian sehingga akan jelas apa yang
akan dihasilkan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban dari
beberapa permasalahan di atas, yaitu :
1. Untuk mengetahui konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kitab Tanbihul Ghafilin.
2. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kitab Tanbihul Ghafilin terhadap pendidikan Islam.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memperluas pemikiran dalam
keilmuan Islam sekaligus mendalami pemahaman nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam kitab Tanbihul Ghafilin karya Al-Imam Al-Faqih Abu
Laits As-Samarqandi.
8
b. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memecahkan krisis
moral yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini.
c. Hasil penelitian diharapkan dapat membarikan sumbangan perbaikan
dalam pendidikan Islam terutama pada pendidikan akhlak.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai landasan pijak atau rujukan bagi pemerhati masalah pendidikan
akhlak.
b. Menumbuhkan dan mengembangkan pemahaman pendidikan akhlak
dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut kepada
peserta didik supaya terbiasa untuk melakukan atau menjalankan
perintah agama.
c. Menambah khazanah mengenai nilai pendidikan yang terdapat dalam
kitab Tanbihul Ghafilin sehingga mengetahui betapa pentingnya
pendidikan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Sebagai referensi dalam ilmu pendidikan terutama ilmu pendidikan
akhlak.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memaknai permasalahan
dalam penelitian ini, maka penulis menetapkan batasan nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam kitab Tanbihul Ghafilin sebagai berikut:
9
1. Pengertian Nilai
Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang
diyakini sebagai identitas yang memberikan corak yang khusus pada pola
pemikiran, perasaan keterkaitan maupun pola tingkah laku (Zakiyah
Darajat, 1996: 260). Definisi lain menyebutkan nilai adalah patokan
normative yang mempengaruhi manusia dalam menetukan pilihannya
diantara cara-cara tindakan alternatif.
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembalajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara (Depdiknas, 2003: 2).
3. Pengertian Akhlak
Secara bahasa (linguistik) kata akhlak berasal dari bahasa arab,
kata akhlak adalah bentuk jamak dari „khilqun‟ dan „khuluqun‟ artinya
perbuatan, tingkah laku atau budi pekerti. (Munawwir, 1997: 367)
Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia,
dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT (ibadah dan arti khas) dan hubungan manusia dengan
manusia dan lainya (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian
10
hidup manusia dalam menjalankan sistem kehidupanya yang dilandasi
oleh aqidah yang kokoh (Muhaimin, 2004: 308).
4. Kitab Tanbihul Ghafilin karya Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-
Samarqandi
Kitab Tanbihul Ghafilin adalah Kitab Tanbihul Ghafilin bi
Ahaditsi Sayyidil Anbiya‟ wal Mursalin (peringatan bagi orang-orang
yang lalai dengan hadits-hadits dari para Nabi dan Rasul) merupakan
buah karya Abul Laits as-Samarqandi yang dikenal dengan julukan Al-
Faqih.
Kitab Tanbihul Ghafilin merupakan kitab yang sangat berbobot,
tinggi kualitasnya dan merupakan pondasi kuat yang dapat melandasi
umat manusia serta mengembalikan fitrah aslinya guna memacu amal
untuk bekal di alam akhirat kelak. Dalam kitab ini terdapat upaya untuk
mewujudkan kondisi ideal manusia sebagai khalifah dimuka bumi yaitu
berkewajiban menyeru pada kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar
yang merupakan misi dan amanah yang harus dimiliki oleh setiap muslim
dan mukmin.
5. Syaikh Abu Laits As-Samarqandi
Syaikh Abu Laits As-Samarqandi yang bernama lengkap Abu
Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi al-Hanafi,
dikenal dengan Abu Laits, seorang Ulama Tabi‟ut Tabi‟in, hidup pada
awal abad ke-4 Hijriah dan Wafat 373 H. Beliau juga dikenal dengan
julukan Imamul Huda.
11
Abu Laits As-Samarqandi ini pada masa muda beliau tidak
pernah dan sangat jarang membaca Al-Quran tetapi di sekitar usia 50-an
barulah beliau mulai belajar dan pada usia 57 tahun beliau telah berhasil
menguasai Bahasa Arab dan Al-Quran. Selanjutnya beliau mulai
mewariskan ilmu yang ada padanya melalui penulisan Abu Laits
bermazhab hanafi.
Kitab tafsir yang dibuat oleh beliau berjudul Bahrul Ulum dan
tergolong sebagai tafsir bil ma‟tsur. Dalam menulis tafsir ini, Al-Imam
menempuh jalan penafsiran para sahabat dan tabiin. Beliau banyak
mengutip komentar mereka tetapi tidak menyebut sanad-sanadnya.
Beliau menegaskan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Quran
semata-mata dengan rasionya sendiri sedang ia tidak mengerti kaedah-
kaedah bahasa dan kondisi di saat Al-Quran itu turun. Ia harus
memahami betul ilmu tafsir terlebih dahulu.
Karya-karya beliau yang lain adalah Kitab Tanbihul Ghafilin bi
Ahaditsi Sayyidil Anbiya‟ wal Mursalin (peringatan bagi orang-orang
yang lalai dengan hadits-hadits dari Penghulu para Nabi dan Rasul), Ia
juga memiliki kitab al-Fatawa. Di dalam kitab beliau yang lain, yaitu
Tarikhul Islam.
12
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan
(Library Research) artinya sebuah studi dengan mengkaji buku-buku,
naskah-naskah, atau majalah-majalah yang bersumber dari khazanah
kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian. Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian dan dokumenter literatur lainnya. (Hadi,
1980:3)
Penelitian yang penulis lakukan dapat dikategorikan dengan
penelitian pustaka karena tidak memerlukan terjun langsung ke lapangan
melalui survey maupun observasi untuk mendapatkan data yang dicari.
Data yang diperoleh dan dikumpulkan dari penelitian kepustakaan yaitu
dari hasil pembacaan atau kesimpulan dari berbagai buku, kitab-kitab
terjemahan, dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan materi dan
tema pengkajian.
2. Sumber Data
Penelitian ini, jika dilihat dari sumber data termasuk kategori
penelitian kepustakaan. Data berarti keterangan-keterangan suatu fakta.
(Ndraha, 1981:76) Karena penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan
yang bersifat kualitatif maka objek material penelitian ini adalah
kepustakaan dari kitab Tanbihul Ghafilin dan lebih fokusnya ke Terjemah
Kitab Tanbihul Ghafilin maupun dokumen-dokumen lain yang berkaitan
13
dengan nilai pendidikan akhlak yang ada pada kitab Tanbihul Ghafilin dan
buku -buku lain yang mendukung penelitian ini.
Sumber data dalam penelitian ini akan dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang bersumber dari Kitab Tanbihul Ghafilin
ataupun Terjemahan Kitab Tanbihul Ghafilin karya Al-Imam Al-
Faqih Abu Laits As-Samarqandi.
b. Data sekunder, yaitu data yang berupa bahan pustaka yang memiliki
kajian yang sama yang dihasilkan oleh pemikir lain, baik yang
berbicara tentang kitab Tanbihul Ghafilin, pendidikan keluarga,
pendidikan akhlak, maupun pemikiran-pemikiran mereka sendiri yang
membahas masalah yang terkait dengan penelitian ini. Sehingga hal
ini dapat membantu memecahkan permasalahan yang menjadi fokus
penelitian ini. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data-data
tersebut adalah dengan metode dokumentasi, yaitu mencari data atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya. (Arikunto, 1993:202)
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research) yang dalam pengumpulan datanya banyak diperoleh melalui
pengumpulan data-data yang terdapat dari berbagai literer. Literatur yang
diteliti tidak terbatas pada buku-buku atau kitab saja, melainkan juga
diperoleh melalui bahan-bahan studi dokumentasi, majalah, jurnal dan
14
lain-lain. (Muhajir, 2002:45) Karena merupakan studi pustaka, maka
pengumpulan datanya merupakan telaah dan kajian-kajian terhadap
pustaka yang berupa data verbal dalam bentuk kata dan bukan angka.
Sehingga pembahasan dalam penelitian ini dengan cara mengedit,
mereduksi, menyajikan dan selanjutnya menganalisis. Penekanan dalam
penelitian ini adalah menemukan berbagai prinsip, dalil, teori, pendapat
dan gagasan Al-Imam Al-Faqih Abu LaitsAs-Samarqandi yang tertuang
dalam salah satu karyanya yaitu kitab Tanbihul Ghafilin yang difahami
untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang diteliti.
Langkah-langkah yang dipakai penulis untuk mengumpulkan data
yang relevan diantaranya:
1) Membaca, mengkaji kemudian penulis mengklasifikasikan menjadi
tiga topik yaitu:
a. Merumuskan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam
kitab Tanbihul Ghafilin secara global.
b. Merumuskan unsur-unsur pendidikan akhlak.
c. Identifikasi adanya relevansi kitab Tanbihul Ghafilin dengan
pendidikan Islam.
2) Mendeskripsikan dan menganalisa dari masing-masing topik yang
telah diklasifikasikan dalam perspektif pendidikan Islam.
3) Membuat kesimpulan dari masing-masing topik yang telah
diklasifikasikan.
4. Metode Analisis
15
Data Metode analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitik, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun data,
kemudian diusahakan pula adanya analisis dan intepretasi atau penafsiran
terhadap data-data tersebut, oleh karenanya lebih tepat jika dianalisis
menurut dan sesuai dengan isinya saja yang disebut content analysis atau
analisis isi. (Nata, 2001:141)
Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat rumusan
kesimpulan-kesimpulan dengan mengidentifikasi karakterisik spesifikan
pesan-pesan dari suatu teks secara sistematik dan objektif. (Nawawi,
1998:69) Analisis ini dipakai untuk mendeskripsikan data berupa nilai-
nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul Ghafilin. Dengan demikian,
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan dalam pokok
permasalahan.
Melalui metode content analysis atau analisis isi, peneliti
melakukan penafsiran teks atau bacaan dari kitab Tanbihul Ghafilin yang
mengandung pendidikan akhlak. Adapun langkah- langkah yang ditempuh
meliputi:
a. Menentukan arti langsung yang primer.
b. Menjelaskan arti-arti yang implisit.
c. Menentukan tema. (Endraswara, 2004: 45)
G. Sistematika Pembahasan
16
Untuk memudahkan pencarian dan penelaahan pokok-pokok masalah
yang akan dibahas, sistematika penulisan skripsi sangat diperlukan.
Sistematika disini dimaksudkan sebagai gambaran umum yang menjadi isi
pembahasan skripsi ini. Untuk memudahkan memahami permasalahan yang
akan dibahas, skripsi ini disajikan dengan sistematika pembahasan sebagai
berikut:
1. Bagian Awal
Bagian awal skripsi ini meliputi: halaman judul, nota pembimbing,
halaman judul, abstrak, kata pengantar, halaman motto, halaman
persembahan, dan daftar isi.
2. Bagian Isi
Dalam bagian isi skripsi ini terdapat lima bab pembahasan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penegasan istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II merupakan pembahasan mengenai biografi pengarang kitab
Tanbihul Ghafilin meliputi riwayat hidup Abu Laits As-Samarqandi, latar
belakang penulisan kitab Tanbihul Ghafilin, sistematika penulisan kitab
Tanbihul Ghafilin, pendidikan Abu Laits As Samarqandi, karya-karya Abu
Laits As Samarqandi.
Bab III membahas tentang pemikiran Abu Laits As-Samarqsandi
mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul Ghafilin.
17
Bab IV berisi tentang analisis data dan relevansi mengenai nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul Ghafilin dengan pendidikan
Islam.
Bab V merupakan penutup dari keseluruhan bab sebelumnya yang
meliputi kesimpulan, saran.
3. Bagian Akhir
Bagian ini meliputi: Daftar pustaka, lampiran-lampiran dan Biodata
penulis.
18
BAB II
BIOGRAFI ABU LAITS AS SAMARQANDI
A. Riwayat Hidup Abu Laits As Samarqandi
Pengarang Kitab Tanbihul Ghafilin adalah Shaykh Nasr bin
Muhammad bin Ibrahim Assamarqandi (wafat pada tahun 373 H atau
983 M). disebut juga Abu Laits As Samarqandi yang bernama lengkap
asli Abu Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi Al-
Hanafi, dikenal dengan Abu Laits yaitu seorang Ulama‟ Tabi‟ut Tabi‟in
dan hidup pada awal abad ke-4 Hijriah dan Wafat 373 H.
(http://wongndeso-tholabulilmi.blogspot.com/p/abu-laits-as-
samarqandi.html diakses tanggal 6 maret 2017)
Beliau juga dikenal dengan julukan Imamul Huda. Beliau adalah
seorang Sufi dan Ahli Hukum mazhab Hanafi yang disegani.
Samarqandi merupakan sebuah nama yang diambil dari nama kota
Samarqand yang terletak di negara Uzbekistan. Samarqand adalah kota
tua berusia lebih dari 2750 tahun kota indah dengan ribuan masjid yang
terletak di jalur sutra antara Cina dan Eropa adalah kota tua yng
didirikan pada tahun 700 SM.
Uzbekistan, adalah negara di Asia Tengah, yang sebelumnya
merupakan bagian dari Uni Soviet. Negara dengan wilayah yang
terkurung daratan ini bersempadanan dengan Kazakhstan di sebelah
19
barat dan utara Kirgizstan dan Tajikistan di timur dan Afganistan dan
Turkmenistan di selatan. Bahasa resmi satu-satunya adalah bahasa
Uzbek, sebuah bahasa Turki, tetapi bahasa Rusia tetap dipergunakan
secara luas, sisa peninggalan pemerintahan Uni Soviet. Kota Samarqand
inilah yang dipercaya sebagai tempat lahir seorang tokoh sufi yaitu
Shaykh Nasir bin Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi. Kota ini juga
menjadi kiblat bagi para pelajar yang haus akan ilmu pengetahuan,
karena banyak dari fuqaha‟, mutasawwif yang pergi kesana. Sehingga
pada saat itu Samarkand menempati tempat tertingi di antara negara-
negara Islam dalam hal keilmuan.
(https://ikzulsalleh.wordpress.com/tag/abu- Laits-as-samarqandi/ diakses
tanggal 6 maret 2017 pukul 10.00)
Abu Laits As Samarqandi ini pada masa muda belianya beliau
tidak pernah dan jarang membaca Al-Quran tetapi disekitar usia 50-an
barulah beliau mulai belajar dan pada usia 57 tahun beliau telah
berhasil menguasai Bahasa Arab dan Al-Quran. Seterusnya beliau
mulai mewariskan ilmu yang ada padanya melalui penulisan Abu Laits
bermazhab hanafi.
Julukan Abu Laits As Samarqandi adalah Al Faqih yang
menandakan bahwa beliau telah sampai pada derajat yang tinggi dalam
dunia ilmu Fiqih yang mana pada saat itu tiada seorangpun yang dapat
menyamainya pada zamannya. Beliau begitu menyukai julukan
tersebut dan beliau juga tabarrukan dengan julukan tersebut, di
20
karenakan julukan tersebut diberikan langsung oleh Nabi Saw melelui
mimpi beliau. Hal itu terjadi ketika beliau mengarang kitab “Tanbihul
Ghafilin” lalu beliau membawa kitab tersebut untuk sowan ke
Raudlahnya Nabi SAW setelah itu beliau menginap di sana, kemudian
beliau bermimpi melihat Nabi SAW mengambil kitabnya seraya
berkata “Ambillah kitabmu, Wahai Faqih”. Lalu beliau pun terjaga dan
beliau menemukan di dalam kitabnya tempat-tempat yang di koreksi
Nabi. (https://udhadotme.wordpress.com/2014/10/15/imam-nasr-bin-
muhammad-as-samarqandi/ diakses hari Jum‟at 06 Maret 2017 pukul
11.00)
B. Latar Belakang Penulisan Kitab Tanbihul Ghafilin
Latar belakang penulisan kitab “Tanbihul Ghafilin” yang artinya
adalah peringatan bagi manusia yang lalai, Al Imam Al Faqih Abu Laits
As Samarqandi memberikan pernyataan sebagai berikut: “Saya
menghimpun nasihat-nasihat dan hikmah yang menarik lagi
menyenangkan para pembaca kitab karena terdorong rasa tanggung
jawab yang diberikan Allah SWT ilmu pengetahuan tentang: adab,
kesopanan, kebahagiaan, hikmah, nasehat, pendirian orang-orang salih
dan upaya para Mujtahidin kepada Allah SWT”. (Abu Imam Taqiyudin,
2009: 2)
Berlandaskan Firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an:
ئ ادع خ سثه عج١ ذى ػظخ ثب ا ذغخ ا جبد
21
ثبز أدغ سثه ئ أػ ث ػ ػ عج١
أػ زذ٠ -- ثب
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih
Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Departemen Agama RI,
1999: QS. An-Nahl: 125)
Al Imam Al Faqih Abu Laits As Samarqandi pun juga berpesan
agar pembaca dan khususnya pada generasi muda agar senantiasa
berpikir dan introspeksi diri agar selalu beramal dan berbuat kebaikan,
karena dengan demikian akhlak yang baik akan selalu melekat dalam
diri. Karena beramal baik dimulai dari dalam diri sendiri baru keluar
diajarkan kepada orang lain. Berdasarkan Firman Allah SWT dalam
surat Ali Imran: 79:
ب ىزبة للا ٠إر١ أ جشش وب ا ذى ا ح اج ٠مي ص
ػجبدا وا بط ـى للا د وا سثب١١
ب ث وز ىزبة رؼ ب ا ث وز -٩٧- رذسع
Artinya: Tidak mungkin bagi seseorang yang telah Diberi kitab oleh
Allah SWT, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada
manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah SWT,”
tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah SWT,
karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajari-nya!”.
(Departemen Agama RI, 1999: QS. Ali Imran: 79)
22
Setengah Ulama Tafsir, mengartiakannya: “... Jedilah kamu orang-
orang yang mengamalkan ilmu yang terkandung dalam kitab,
sebagaimana kamu mengajarkan kepada manusia”.
Sedang pada ayat lain, Allah SWT berfiran:
اة ابط اذ ؼب األ خزف ا ب وزه أ ئ
٠خش للا بء ػجبد ؼ ا ئ -٢- غفس ػض٠ض للا
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak
yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut
kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah SWT Maha
Perkasa, Maha Pengampun.(Departemen Agama RI, 1999: QS.Fathir:
28)
Dan Firman Allah SWT:
ب ٠ب صش أ٠ ذ -- ا -- فأزس ل
Artinya: Wahai orang yang berkemul (berselimut)! bangunlah, lalu
berilah peringatan! (Departemen Agama RI, 1999: QS.Al-Muddatstsir:
1-2)
Juga Firman Allah SWT:
ش رو وش فا رفغ از ١ إ -- ا
Artinya: Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang Mukmin. (Departemen
Agama RI, 1999: QS.Adz-Dzariyaat: 55)
23
Abu Laits As Samarqandi menegaskan: “Barang siapa memandang
rendah terhadap hikmah dan nasihat, serta perjalanan Ulama salaf,
maka akibatnya terkena salah satu dari antara dua efek negatif, pertama:
Membanggakan amalnya yang sangat terbatas, lalu beranggapan
tingkatanya sejajar dengan para Ulama salaf, kedua: Berlaku sombong
dengan amalnya yang besar, lalu beranggap lebih unggul dan sempurna
daripada lainnya, maka menjadi batallah ibadatnya dan lenyap atau
gugurlah semua amalnya. (Abu Imam Taqiyudin, 2009: 4)
Adapun bagi orang-orang yang pandai memetik hikmah pendirian
dan perjalanan Ulama-ulama salaf, adalah sangat besar keuntungannya,
karena ia akan merasa keterbatasan atau kekurangannya dalam
beribadat dan beramal, sehingga menjadi pendorong, untuk
meningkatkan, memperbaiki atau menyempurnakan ibadat dan amalnya
yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan para Ulama terdahulu.
C. Sistematika penulisan Kitab Tanbihul Ghafilin
Kitab Tanbihul Ghafilin adalah kitab yang tergolong
populer karena digandrungi oleh para Kiyai dan santri di banyak
pesantren, karena selalu dijadikan rujukan dan referensi mereka
sebagai da`i dan muballigh dalam aktifitas-aktifitas dakwah baik
di Masjid, Madrasah ataupun majlis-majlis ta`lim.
(https://udhadotme.wordpress.com/2014/10/15/imam-nasr-bin-
muhammad-as-samarqandi/ diakses hari Jum‟at 06 Maret 2017
24
pukul 11.00) Tanbihul Ghafilin memiliki muatan nasihat yang
tinggi dan mengena ke dalam diri setiap insan. Dan peringatan
yang ditampilkannya mampu menjadi bekal pengertian dan
kesadaran yang mendalam untuk memperbaiki jiwa dan moral
umat manusia dari kelalaiannya.
Tujuan esensial yang ingin dicapai Abu Laits As Samarqandi
adalah mengajak ke jalan yang benar yakni jalan Tuhan (Allah SWT),
dan segala hal yang disampaikannya mampu disampaikan kembali
dalam bingkai dakwah Islam kepada orang lain. Kitab ini juga
berusaha membongkar pengalaman-pengalaman menakjubkan
berkaitan dengan kehidupan keberagamaan yang terjadi dalam sejarah
manusia dan tak luput dari konsep-konsep ketauhidan, ibadah,
mua‟amalah, dan syari‟at-syari‟at Islam yang diajarkan baginda Nabi
Muhammad SAW, para sahabat, tabi‟in, dan para ulama salaf yang
shaleh. (https://udhadotme.wordpress.com/2014/10/15/imam-nasr-bin-
muhammad-as-samarqandi/ diakses hari Jum‟at 06 Maret 2017 pukul
11.00)
Sistematika setiap uraian penjelasan dimana sifat
pembahasannya adalah tematik senantiasa diperkuat oleh argumen-
argumen yang kuat dari nash Al-Quran ataupun As-Sunah dan juga
fatwa-fatwa ulama, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan
kebimbangan dalam menerima semua nasehat kebaikan yang
disampaikan.
25
Di samping beberapa kelebihan yang dimiliki kitab Tanbihul
Ghafilin, kitab ini juga memiliki kelemahan menurut beberapa
pendapat. Diantaranya pendapat dari Al-Imam Adz-Dzahabi di dalam
Siyar A‟lamin Nubala‟ membawakan biografi beliau kemudian di
dalamnya (yaitu Tanbihul Ghafilin) tersebar luas hadis-hadis palsu.
(http://www.buyahaerudin.com/2013/03/muqaddimah.html diakses
tanggal 6 maret 2017 pukul 11.00) Kemudian menurut Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah bahwasanya
Tanbihul Ghafilin adalah kitab yang berisi nasihat yang pada umumnya
banyak mengandung hadis-hadis dha‟if bahkan kadang palsu. Di
dalamnya juga terdapat hikayat-hikayat yang tidak shahih dimana
penulisnya ingin menggunakannya untuk melembutkan hati dan
menjadikan mata menjadi menangis. Kemudian menurutnya memang
dalam kitab ini terdapat hal-hal yang tidak dipermasalahkan, namun
beliau tidak menasihatkan untuk membacanya kecuali bagi orang
yang memiliki ilmu dan faham serta bisa membedakan antara hadis-
hadis yang shahih, dha‟if dan mauqu‟f.
(http://www.buyahaerudin.com/2013/03/muqaddimah.html diakses
tanggal 6 maret 2017 pukul 11.00)
Selain berisi pengalaman-pengalaman menakjubkan berkaitan
dengan kehidupan keberagamaan yang terjadi dalam sejarah manusia
kitab ini juga mengandung materi-materi akhlak yang perlu dipelajari
oleh setiap manusia untuk menjalankan segala moral yang baik dan
26
menjauhi segala perbuatan yang buruk. Yang mana di dalamnya
terdapat 94 bab. Adapun rincian bab dalam Tanbihul Ghafilin adalah
sebagai berikut:
1. Bab Tentang Ikhlas
2. Bab Tentang Mati dan Penderitaanya
3. Bab Tentang Siksa Kubur dan Penderitaanya
4. Bab Tentang Hari Kiamat, Dahsyat dan Ngerinya
5. Bab Tentang Sifat dan Penghuni Neraka
6. Bab Tentang Sifat dan Penghuni Surga
7. Bab Tentang Sesuatu Yang Diharap Dari Rahmat Allah SWT
8. Bab Tentang Amar Makruf Nahi Munkar
9. Bab Tentang Taubat
10. Bab Tentang Kewajiban Anak Memenuhi Hak Kedua
Orangtua
11. Bab Tentang Kewajiban Memenuhi Hak Anak
12. Bab Tentang Silaturrahmi
13. Bab Tentang Hak dan Kewajiban Tetangga
14. Bab Tentang Larangan Minum Arak dan Sejenisnya
15. Bab Tentang Larangan Berdusta
16. Bab Tentang Ghibah (Mengungkap Keburukan Orang)
17. Bab Tentang Namimah (Adu-domba)
18. Bab Tentang Hasud (Dengki dan Iri)
19. Bab Tentang Sombong
27
20. Bab Tentang Ihtikar (Menggaruk Untung Dengan Menimbun
Bahan Pokok Makanan)
21. Bab Tentang Larangan Tertawa Terbahak-bahak
22. Bab Tentang Mengekang Emosi (Marah)
23. Bab Tentang Memelihara Lisan
24. Bab Tentang Rakus dan Berkhayal
25. Bab Tentang Keutamaan Fakir-miskin
26. Bab Tentang Tidak Perdulikan Dunia
27. Bab Tentang Sabar Terhadap Bala dan Kesulitan
28. Bab Tentang Sabar Atas Derita (Musibah)
29. Bab Tentang Keutamaan Wudhu
30. Bab Tentang Shalat Lima Waktu
31. Bab Tentang Keutamaan Adzan dan Iqomah
32. Bab Tentang Thaharah dan Nadhafah (Bebersih)
33. Bab Tentang Keutamaan Jum‟at
34. Bab Tentang Keagungan Masjid
35. Bab Tentang Keutamaan Sedekah
36. Bab Tentang Sedekah Penolak Bala
37. Bab Tentang Keutamaan Bulan Ramadhan
38. Bab Tentang Keutamaan 10 Hari Awal Bulan Dzulhijah
39. Bab Tentang Keutamaan Hari Ke-10 Muharram
40. Bab Tentang Puasa Sunah dan Hari-hari Putih
41. Bab Tentang Membelanjani (Nafkah) Keluarga
28
42. Bab Tentang Membimbing Pelayan Atau Pembantu
43. Bab Tentang Menyayangi Anak Yatim
44. Bab Tentang Zina (Pelacuran)
45. Bab Tentang Memakan Barang Riba
46. Bab Tentang Perbuatan Dosa
47. Bab Tentang Penganiayaan (Zalim)
48. Bab Tentang Rahmat dan Kasih-sayang
49. Bab Tentang Khauf (Takut) Kepada Allah SWT
50. Bab Tentang Keutamaan Zikrullah
51. Bab Tentang Do‟a
52. Bab Tentang Bacaan Tasbih
53. Bab Tentang Shalawat dan Keutamaannya
54. Bab Tentang Keutamaan “Laa Ilaaha Ilallaahh”
55. Bab Tentang Keistimewaan Al-Qur‟an
56. Bab Tentang Keutamaan Menimba Ilmu
57. Bab Tentang Beramal Dengan Ilmu
58. Bab Tentang Keutamaan Majelis Ilmu
59. Bab Tentang Syukur
60. Bab Tentang Menciptakan Lapangan Kerja (Kasab Atau
Usaha)
61. Bab Tentang Bahaya Usaha dan Hindarilah Haram
62. Bab Tentang Memberi Makan dan Keutamaannya
63. Bab Tentang Tawakal (Berserah Diri) Kepada Allah SWT
29
64. Bab Tentang Wira‟i (Berhati-hati)
65. Bab Tentang Haya (Malu)
66. Bab Tentang Amal Ditentukan Tujuan (Niat)-nya
67. Bab Tentang Ujub (Membanggakan) Amalnya
68. Bab Tentang Keutamaan Ibadah Haji
69. Bab Tentang Keutamaan Perang Sabil
70. Bab Tentang Keutamaan Bertahan Di Garis Terdepan
71. Bab Tentang Keutamaan Memanah dan Berkendaraan Kuda
dan Lain-lainya
72. Bab Tentang Teknik Atau Aturan Perang
73. Bab Tentang Kelebihan Umat Nabi Muhammad SAW
74. Bab Tentang Hak Suami (Kewajiban Istri)
75. Bab Tentang Hak istri (Kewajiban Suami)
76. Bab Tentang Mendamaikan Perselisihan Dan Melenyapkan
Dendam
77. Bab Tentang Mendekati Pengusaha
78. Bab Tentang Keutamaan Menderita (Sakit) dan
Menengoknya
79. Bab Tentang Keutamaan Shalat Tathawwu‟ (Shalat Sunnah)
80. Bab Tentang Shalat Dengan Sempurna dan Khusyuk
81. Bab Tentang Do‟a Mustajab (Terkabul)
82. Bab Tentang Berhati Lunak (Pemurah)
83. Bab Tentang Melaksanakan Sunnah Rasul SAW
30
84. Bab Tentang Prihatin Dalam Urusan Akhirat
85. Bab Tentang Persiapan Amal Di Pagi Hari
86. Bab Tentang Tafakkur (Berfikir)
87. Bab Tentang Tanda-tanda Dekatnya Kiamat
88. Bab Tentang Hadis-hadis Abu Dzar Alghifary
89. Bab Tentang Tekun Beribadah (Sungguh-sungguh Taat)
90. Bab Tentang Perlawanan Setan Atau Cara Mematahkannya
91. Bab Tentang Rela Menerima Keputusan Allah SWT
92. Bab Tentang Mauidhah (Nasehat)
93. Bab Tentang Kisah-kisah (Cerita)
94. Bab Tentang Do‟a dan Tasbih (Terj. Abu Imam Taqiyudin:
2009)
Dimana ada beberapa bab yang membahas tentang akhlak, baik
akhlak terpuji atau akhlak tercela. Diantaranya yaitu: taubat, khauf,
khlas, tawakal, wira‟i, haya‟, sabar, syukur, larangan tertawa
terbahak-bahak, larangan berdusta, memelihara lisan, keutamaan
menuntut ilmu, silaturrahmi, amar ma‟ruf nahi munkar, berhati
lunak (pemurah), rahmat dan kasih sayang, mengamalkan ilmu,
sombong, ghibah, namimah, hasud, dzalim, ujub, rakus dan berkhayal.
Kitab Tanbihul Ghafilin ini merupakan salah satu kitab karangan
Shaykh Nasr bin Muhammad bin Ibrahim Assamarqandi yang terkenal.
31
D. Pendidikan Abu Laits As Samarqandi
Mengenai perjalanan intelektualnya, penulis tidak menemukan data-
data di mana ia pernah menimbah ilmu, apakah ia melanglang buana ke
satu daerah ke daerah yang lainnya. Yang pasti bahwa Abu Laits As
Samarqandi mempunyai beberapa guru yang ahli dalam bidangnya
masing-masing dan murid-murid serta karya tulis dengan berbagai
bidang ilmu keislaman. Sementara mazhab yang dianut adalah mazhab
Hanafi. Hal ini terlihat dari beberapa kitab-kitab fiqih yang ditulis,
banyak bercorak mazhab Hanafi.
1. Adapun guru-guru Abu Laits As Samarqandi, sebagai berikut :
a. Muhammad bin Ibrahim Al-Tawziy adalah bapaknya sendiri
yang merupakan guru pertamanya, seorang ahli dalam bidang
fiqih dan hadis, sehingga Abu Laits As Samarqandi dalam
tafsirnya banyak menukil hadis dari bapaknya.
b. Abu Ja‟far Al-Hawdawi
c. Al-Khalil bin Ahmad Al-Qadhi Al-Zafsy, ahli dalam fiqh dan
hadis.
d. Muhammad bin Al-Fadhl Al-Balkhi Al-Mufassar.
2. Murid-murid Abu Laits As Samarqandi, diantaranya adalah:
a. Luqman bin Hakim Al-Farqani
b. Na‟im Al-Kahtib Abu Malik
c. Muhammad bin Abd Al-Rahman Al-Zubairy
d. Ahmad bin Muhammad Abu Suhad
32
e. Thair bin Muhammad bin Ahmad bin Nashr Abdullah Al-
Hadady
(https://ikzulsalleh.wordpress.com/tag/abu-Laits-as-samarqandi/
diakses tanggal 6 maret 2017 pukul 10.00)
E. Karya-karya Abu Laits As Samarqandi
Abu Laits As Samarqandi dalam perjalanan hidupnya telah
menghasilkan berbagai macam karya dalam berbagai bidang. Adapun
karya-karya Abu Laits As Samarqandi berdasarkan bidangnya adalah
sebagai berikut:
1. Dalam bidang fiqih adalah :
a. Hizanat Al-Fiqh ditahqiq oleh Dr. Salahuddi Al-Nahiy.
b. „Uyun Al-Masail, yaitu sebuah kitab yang menguraikan
cabang-cabang mazhab Hanafi.
c. Muqaddimat Abu Laits As Samarqandi fi Al-Shalah
d. Al-Nawazil fi Al-Fatawa
e. Ta‟sis Al-Nadzair Al-Fiqhiyyah
f. Al-Nawadi Al-Muqayyad
g. Al-Mabahits fi Furu‟ Al-Fiqhi Al-Hanafiy
h. Syarh Al-Jam‟u Al-Kabir oleh kitab Muhammad bin Hasan
Al-Syibaniy
i. Syarh Al-Jamu‟ Al-Shagir oleh kitab Muhammad bin Hasan
Al-Syibany
33
j. Muqaddimat fi Bayan Al-Kibar wa Al-Shigar
k. Fatwa Abu Al-Laits.
2. Dalam bidang tasawwuf adalah :
a. Tanbihul Gafilin
b. Bustan Al-„Arifin
c. Qurrat Al-„Uyun wa Mufrih Al-Qalb
3. Dalam bidang ushul Al-Din, adalah:
a. Ushul Al-Din
b. Bayan Aqidat Al-Ushul
c. Risalat fi Ma‟rifat wa Al-Iman
d. Risalah Al-Hukumi
e. Quwwat Al-Nafs fi Ma‟rifat Al-Arkan Al-Khams
4. Dalam bidang tafsir adalah:
Salah satu tafsir yang dikarang oleh Abu Laits As Samarqandi
adalah bahrul„Ulum.(http://www.kumpulanmakalah.com/2016/09/s
tudi-kritis-tafsir-bahr-al-ulum.html diakses 06 Maret 2017)
34
BAB III
PEMIKIRAN ABU LAITS AS-SAMARQANDI
TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM KITAB TANBIHUL GHAFILIN
A. Nilai-nilai pendidikan
1. Pengertian Nilai dan Sumber Nilai
Nilai merupakan sebuah keyakinan bagi setiap orang yang
membuat seseorang merasa bahagia dan senang dihargai oleh orang
lain. Hanafi (2001: 88) mengatakan bahwa nilai adalah suatu perangkat
keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai identitas yang
memberikan corak khusus pada pola pemikiran, perasaan keterkaitan
maupun pola tingkah laku. Definisi lain menyebutkan nilai adalah
patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menetukan
pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Nilai muncul ketika orang sadar akan adanya baik dan buruk,
senang dan bahagia, tenang dan tidak tenang, perang dan damai, dan
lain sebagainya yang saling bertentangan. Adanya nilai disebabkan oleh
berbagai macam sumber. Zakiyah Daradjat (1994: 262) menyebutkan
sumber nilai ada dua macam, yaitu nilai Ilahi dan nilai duniawi. Nilai
Ilahi meliputi Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Nilai yang berasal dari Al-
Qur‟an berupa perintah shalat, perintah zakat, perintah puasa, pertintah
35
haji, dan sebagainya. Sedangkan nilai yang berasal dari As-Sunnah ada
dua yaitu hukum yang wajib „ain dan fardhu kifayah. Hukum yang
wajib „ain berupa tata pelaksanaan thaharah, tata pelaksanaan shalat,
dan sebagainya. Sedangkan hukum fardhu kifayah berupa memandikan
jenazah, menguburkan jenazah, shalat jum‟at.
Nilai duniawi meliputi ra‟yu dan pikiran (yaitu memberikan
penafsiran dan penjelasan terhadap Al-Qur‟an dan As-Sunnah, hal yang
berhubungan dengan kemasyarakatan yang tidak diatur oleh Al-Qur‟an
dan As-Sunnah, dan sebagainya, adat-istiadat (yaitu tata cara
berkomunikasi, berinteraksi dengan sesama manusia dan sebagainya),
dan kenyataan alam (yaitu tata cara berpakaian, tata cara makan dan
sebagainya).
Dari berbagai macam pemaparan tersebut, dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa nilai yang sangat kuat sebenarnya adalah nilai yang
bersumber dari Allah SWT yang berupa Al-Qur‟an. Oleh karena itu
nilai-nilai yang bersumber dari Allah SWT merupakan nilai yang wajib
untuk dilaksanakan. Sedangkan nilai yang bersumber dari Rasulullah
SAW (As-Sunnah/Hadist) kita dianjurkan untuk mengikutinya.
Sementara itu, nilai yang bersumber dari ra‟yu atau pikiran manusia
boleh dilaksanakan apabila tidak bertentangan dengan sumber nilai
yang utama yaitu Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
36
2. Pengertian Pendidikan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1990: 209) pendidikan
diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan. Ahmad D. Marimba dalam Ahmad tafsir (2002:
6) mendefinisikan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani murid
(terdidik) menuju terbentuknya kepribadian utama.
Sementara itu Munir Al-Marasi Sarkan (1978: 19) berpendapat
bahwa pendidikan adalah proses yang terbentuk antara individu dan
lingkunganya, dan ini timbul karena pergaulan individu baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam percaturan manusia yang
menjaga manusia.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan dalam hal ini adalah proses bimbingan dan pengajaran yang
diberikan oleh pendidik dalam hal ini guru, orang tua, dan lingkungan
peserta didik yaitu seorang atau sekelompok orang baik jasmani
maupun rohani yang dilakukan secara sengaja untuk mengubah tingkah
laku agar terbentuk kepribadian utama.
3. Tujuan Pendidikan
Sejak manusia diciptakan, pendidikan memang sudah ada. Hal
tersebut oleh Allah SWT dimaksudkan agar manusia bisa merasakan
kebahagiaan dan mengenal atau mengetahui apapun yang dimiliki oleh
37
Allah SWT untuk menambah ketaatan setiap insan dalam beribadah
kepada-Nya. Sampai pada akhirnya turun utusan Allah SWT yaitu Nabi
pembawa risalah berupa agama Islam untuk diajarkan kepada umat
manusia agar kelak bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, Muhammad Athiyah Al Abrosyi (1970: 103)
mengemukakan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu
pembentukan akhlak dan budi pekerti yang menghasilkan orang-orang
yang bermoral baik laki-laki maupun perempuan, jiwa yang bersih,
kemauan yang keras, cita-cita luhur, dan akhlak tinggi serta dapat
membedakan hal yang baik dan buruk.
Senada dengan pendapat di atas, dalam Sisdiknas (2003: 6) telah
dirumuskan tujuan pendidikan secara umum yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan adalah untuk membentuk sosok pribadi yang memiliki
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dengan memiliki akhlak
yang mulia, jiwa yang bersih dan sehat, kreatif, berilmu, berkemauan
keras, bercita-cita tinggi lagi mulia, mandiri, berdedikasi tinggi
terhadap agama, bangsa, dan negara serta bisa bersikap demokratis
terhadap sesama.
38
B. Pengertian Akhlak
Telah diketahui bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk
sosok pribadi yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
dengan memiliki akhlak yang mulia, jiwa yang bersih dan sehat, kreatif,
berilmu, berkemauan keras, bercita-cita tinggi lagi mulia, mandiri,
berdedikasi tinggi terhadap agama, bangsa, dan negara serta bisa bersikap
demokratis terhadap sesama maka perlu diketahui juga apa sebenarnya
yang dimaksud dengan akhlak.
Akhlak merupakan langkah awal seseorang menciptakan suatu
keadilan dan kebenaran di muka bumi berdasarkan syariat Allah SWT
serta menghapus kedzaliman yang ada. Ketika seluruh penduduk suatu
bangsa memiliki akhlak yang mulia, maka tidak bisa dipungkiri kalau
bangsa tersebut akan mengalami suatu keadaan yang damai, tentram tanpa
adanya kedzaliman yang membuat mereka resah.
Akhlak merupakan pondasi utama yang kuat untuk terciptanya
hubungan baik antara hamba dengan Allah SWT. (hablumminallah) serta
antar sesama manusia (hablumminannas). Akhlak yang mulia tidak lahir
berdasarkan keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi,
membutuhkan proses panjang, yakni melalui pendidikan akhlak.
Sebagaimana pengertian akhlak yang telah diringkas oleh Muchson dan
Samsuri, bahwa Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai
persamaan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat
dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu
39
dari dalam diri secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan
direncanakan sebelumnya. (Muchson dan Samsuri, 2013: 1)
Akhlak merupakan salah satu hasil dari iman dan ibadat. Iman dan
ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dapat mempengaruhi akhlak
dalam mu‟amalah kepada Allah SWT dan makhluk-nya (Omar
Muhammad, 1979: 312). Ia menyatakan alasannya bahwa ikhlas dalam
menyembah Allah SWT akan menjadikan seorang hamba yang saleh lagi
berakhlak mulia, disukai sesama, dikasihi dan disayangi Allah SWT.
Seseorang belum bisa dikatakan sempurna imannya terhadap Tuhannya
kecuali bahwa ia benar-benar beriman dan menyempurnakan ketaatan
dalam beribadah kepada-Nya.
Secara bahasa (linguistik) kata akhlak berasal dari bahasa arab, kata
akhlak adalah bentuk jamak dari „khilqun‟ dan „khuluqun‟ artinya
perbuatan, tingkah laku atau budi pekerti. (Munawwir, 1997: 367) Akhlak
merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti
bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT (ibadah dan arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan
lainya (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia
dalam menjalankan sistem kehidupanya yang dilandasi oleh aqidah yang
kokoh (Muhaimin, 2004: 308).
Kata Akhlak sering didefinisikan sama dengan kata etika dan moral.
Padahal dari ketiga istilah tersebut memiliki beberapa perbedaan
40
pengertian. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan pengertian
etika dan moral.
a. Etika
Etika adalah ilmu menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal dan pikiran. (Muhaimin, 2004: 307). Menurut Achmad
Charris Zubair (1990: 15) bahwa etika berasal dari kata Yunani “Ethos”
yang berarti watak kesusilaan atau adat. Ki Hajar Dewantara dalam
Achmad Charris Zubair (1990: 15) Etika adalah ilmu yang mempelajari
segala soal kebaikan dan keburukan didalam hidup manusia semuanya,
terlebih pada yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat
merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuanya yang
dapat merupakan perbuatan.
b. Moral
Moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. (Muhaimin, 2004: 307).
Sedangkan menurut Boehori (1983: 75) moral adalah realisasi kepribadian
(mental) pada umumnya. Bukan semata-mata hasil pekerjaan pikiran.
Kemudian Syamsu Yusuf (2002: 132) mengemukakan mengenai moral,
yaitu moral berasal dari kata latin “mos” (moris) berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai
atau prinsip-prinsip moral.
41
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang
lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan
memelihara hak orang lain. Larangan mencuri, berzina, membunuh,
meminum minuman keras atau mabuk, dan berjudi. Seseorang dapat
dikatakan bermoral apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Dapat diketahui makna ketiga istilah tersebut, yakni akhlak
merupakan sifat yang dimiliki seseorang dan telah meresap dalam
jiwanya. Etika merupakan ilmu atau teori yang digunakan untuk
memperoleh akhlak. Sedangkan moral merupakan perbuatan yang jelas
kelihatan oleh penglihatan manusia yang dilakukan dengan tidak berpikir
lebih dulu atau dilakukan secara sepontan. Sehingga terlihat bahwa
perbedaan etika, moral, dan akhlak tersebut terutama menyangkut
sumbernya. Akhlak bersumber dari kholiq (Allah SWT), sunnah Nabi
Muhammad SAW, dan ijtihad manusia.sedangkan etika dan moral hanya
bersumber dari manusia. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa akhlak
cakupanya lebih mendalam dan luas dibandingkan dengan etika dan moral.
Etika dan moral bisa dikatakan sebagai bagian dari akhlak.
Pada hakekatnya akhlak ialah suatu sifat yang dimiliki manusia dan
telah meresap kedalam jiwa dan telah menjadi kepribadiannya. Kemudian
lahirlah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa
dibuat-buat serta tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Jika dari
kondisi tersebut lahir kelakuan baik dan terpuji menurut pandangan syariat
42
dan akal pikiran, maka bisa disebut akhlak mulia (akhlak mahmudah).
Akan tetapi jika yang lahir perbuatan yang buruk maka disebut akhlak
tercela (akhlak madzmumah).
C. Pemikiran Abu Laits As-Samarqandi Tentang Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul Ghafilin
Akhlak merupakan kemuliaan tersendiri di hadapan Allah SWT,
karena Allah SWT lebih bangga dan menyukai seorang hamba yang
memiliki akhlak baik dan mulia. Seperti halnya pada saat memuji
Rasulullah SAW dalam QS. Al-Qalam: 4:
ئه خك ؼ -- ػظ١
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berada pada akhlak yang
agung. (Departemen Agama RI, 1999: QS. Al-Qalam: 4)
Pujian tersebut merupakan pujian yang indah yang datang secara
langsung dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW pengemban akidah suci
yang di dalamnya seseorang dapat menemukan elemen akhlak secara jelas
dan kokoh. Akidah tersebut adalah akidah yang menyeru pada kebenaran,
kebajikan, kejujuran, kebersihan, keikhlasan, kesesuaian niat hati dengan
perkataan maupun perbuatan, pemeliharaan janji dan keadilan, serta
melarang kedzaliman, penipuan, iri hati, memakai harta orang lain dengan
cara batil, dan lain-lain.
Pendidikan Akhlak yang ada pada kitab Tanbihul Ghafilin dapat
penulis paparkan sebagai berikut:
1. Taubat
43
ح ف اجغذ ذ اش بدا خ مج ثخ از
( ٥٣تنبيو الغافلين : )
”Artinya: Taubat itu diterima adaah selama ruh masih
berada dalam tubuh/jasad.”
2. Khauf (takut) kepada Allah SWT
ب للا ػ ف فبجزبة خ خ ا بػال أ
(٩٥١تنبيو الغافلين : )
”Artinya: Adapun tanda orang takut adalah menjauhi apa
yang di larang Allah SWT”
3. Ikhlas
ش١ئ ب ؼ ا للا رؼب ل٠مج ػ أ
ب خبظ ب وب (٥تنبيو الغافلين : ) ال
”Artinya: Bahwasannya Allah SWT tidak akan meneria
amal seseorang kecuali orang tersebut beramal dengan murni
dan ikhlas.”
4. Tawakal
و ثضالس از اشج ب ٠غزذي ػ رم ا
دغ ب لذ بي اشػب ف١ دغ ٠ ب ف١
44
ب لذ فبد (٩٦١تنبيو الغافلين : ) اظجشف١
”Artinya: Sesungguhnya bukti terhadap takwa seseorang
dengan tiga hal/perkara yaitu bertawakal di dalam apa yang
tidak di dapatkan, menerima/ridho terhadap apa yang telah
terjadi pada dirinya, dan sabar yang baik terhadap apa yang
lepas.”
5. Wira‟i
مغ خبفخ ا ذالي ا وب ذع رغؼخ أػشبس
ف ا ذشا ف ا (٩٧١تنبيو الغافلين : ) شجخ أ
”Artinya: Kami metinggalkan 99% (sembilan puluh
sembilan persen) dari yang halal, khawatir terperosok ke dalam
subhat atau haram.”
6. Haya‟ (malu)
جزاء ا ف اجخ ب ٠ ال ذ١بء ا
جفبء ف ابس ا (٩٧١تنبيو الغافلين : ) اجفبء
”Artinya: Sifat malu adalah bagian dari iman,
sedangkan ketika seseorang beriman maka akan menjadi
penghuni surga. Dan yang berbuat keji adalah setengah dari
kebejatan moral, yang akan masuk ke dalam neraka.”
7. Syukur
للا رؼب ذ ا ٠ذ وب ز ٠ ا ٠بد ١م١ ص
٠ذب عت ص ل١ اء ف١م اؼش اء ف اغش
45
(٩٦١الغافلين : تنبيو ) عبئشاب ط
”Artinya: Dipanggilah untuk berdiri orang-orang yang
memuji Allah SWT baik dalam keadaan senang maupun susah
sangat sedikit manusia yang dapat melakukannya kemudian
semua manusia di hisab.”
8. Sabar
a. Sabar terhadap balak dan kesulitan
ضخ ... سث جش ال اظ اأ اػ
جغذ فغذ أط ا جغذ فبرا فبسق اش ا اشأط
س سفغذد ال ارا فبسق اظجشال اجغذ
(٩١١تنبيو الغافلين : )
”Artinya: Dan ketahuilah bahwasannya sabar
dalam menghadapi segala urusan itu seperti kepala di
badan, maka ketika kepala itu terlepas dari badannya,
rusaklah badan tersebut, demikian pula jika sabar lepas
dari suatu urusan, lalu rusaklah urusan (keadaan)
tersebut.”
b. Sabar atas derita (musibah)
سصلب ه اظجش أ للا ه الجش فؼظ
أ٠بن اشىش (١٩تنبيو الغافلين : )
”Artinya: Semoga Allah SWT membesarkan
pahalamu, dan memberi kesabaran bagimu, serta memberi
46
rezeki kepda kami dan juga rasa syukur pada kamu.”
9. Larangan tertawa terbahak-bahak
ذه غ١شػجت ٠ؼ ثب ؼ ذه آؼ بل ا
فبء اغ ػ ىش مخ م تنبيو الغافلين ) ا
:٧١)
”Artinya: Adapun ucapannya tentang tertawa terbahak-
bahaka adalah kurang baik (hukumnya makruh). Karena
tertawa terbahak-bahak merupakan perbuatan yang dapat
mengurangi setengah akal pikiran dan merupakan amal
perbuatan yang kurang baik.”
10. Larangan Berdusta
ذ ئ ىزة ٠ ا ىزة فب ا ا٠بو
ا س فج ذ أ ابس ا س٠ فج (٣٣تنبيو الغافلين : ) ا
”Artinya: Dusta menunjukan kepada keburukan,
jauhilah dusta karena sesungguhnya dari keburukan
menunjukan kejalan neraka.”
11. Mengekang emosi (marah)
آد لذ ف فإد' اث ٠ غؼت فأ ا ا٠بو
(٧٥تنبيو الغافلين : ) ابس
“Artinya: Jauhiah marah, karena marah dapat
menyaakan api di dalam hati manusia.”
47
12. Memelihara lisan
غبه ٠ؼ ادفظ غبه ال اخض ...
اعىذ دز رغ ا ادز رغ د١ش خ١ش٠ؼ ل
د ى خ ف اغ اغال (٧٦تنبيو الغافلين : ) فب
“Artinya: Jagaah lisanmu, kecuali dalam kebaikan,
yaitu katakan hal yang baik sehingga kamu menang atau
diamah sehingga kamu selamat, maka sesungguhnya
keselamatan itu berada dalam diam.”
13. Keutamaan menuntut ilmu
للا اجبد ف عج١ ش١أ أفؼ بأػ
جبد ف ا فب افؼ ؼ ؽت ا ٠ى أ ال
ف ؽت ثبة ث١ز خشط للا عج١
ط ال ئىخ ثأجذزب خفز ا ؼ ا ذ ػ١
ذ١زب ا جش جبع ف ا اغ بء اغ س ف ج اط١
طذ ٠م ب عجؼ١ ائ١ ارب للا أجش جذش ف ا
ذ ا اغى١خ ؼ ا اؽج ؼ ا ا ألفبؽج
اػؼ ر لبس ا رؼ رزؼ ا
48
اغفبء اث بس لر بء ؼ ا اث لرجب
ػ ا ث لرطب شاء ئ ال ا ث لرذزف
بء ا ؼ ججبثشح ا ا ػجبدللا فزى أدسو ز ٠
ف بسج ب خش ػ تنبيو ) عخؾ للا فىج
(٩٣٣الغافلين :
“Artinya: tidak ada sesuatu yang paing aku ketahui
keutaaanya di dalam berjihad di jalan Allah SWT kecuali
menuntut ilmu. Barang siapa yang keluar dari rumah untuk
mencari 1 bab ilmu, maka malaikat melindungi dengan
sayapnya, segala burung udara mendoakannya, juga
hewan-hewan buas hutan, dan lautan, serta Allah SWT
membalas dengan pahala 72 orang sidiq. Oleh karena itu,
tuntutlah ilmu, dancarilah ketenangan untuknya, kesabaran,
kesopanan dan tawadlu‟, kepada pendidiknya, para
penimbanya (pelajar), jangan menyalahgunakan dengan
menyaingi Ulama, atau mendebat orang-orang bodoh, atau
menjilat penguasa dan sombong kepada manusia, maka akan
menjadi Ulama yang dimarahi Allah SWT, yang akhirnya di
jerumuskan ke dalam neraka jahanam.”
14. Silaturrahmi/Akhlak terhadap Keluarga
ب طخ اشد اث ب ص دغخ أػج ب
ثخ ف اؼم للا ظب دج ٠ؼج ت أجذسأ ر
ب٠ذخشف الخشح غ ١ب (٩٧تنبيو الغافلين : ) اذ
“Artinya: Tidak ada kebaikan yang lebih cepat balasan
pahalaya daripada silaturrahmi dan keburukan yang Allah
49
SWT lebih cepat balasannya di dunia sampai akhirat kelak
daripada memutus silaturahmi.”
ل ت ػظ١ ر د لطغ اش ػ ا د١
ج١غ وب ػ خ ػ د غ اش اجت ػ ٠ فب
٠غزغفشللا رؼب د لطغ اش ة ٠ز ا غ ا
سد ٠ظ
“Artinya: dalil memutuskan tali silaturahmi adalah
dosa besar, rahmat tetolak baginya, berikut teman-teman
terdekatnya. Oleh karena itu, setiap muslim wajib bertaubat
memohon ampun kepada Allah SWT dan menyambung
silaturahmi.”
15. Amar ma‟ruf nahi munkar
ا ػ ف ؼش شثب بي ال الػ افؼ
ىش (٥١تنبيو الغافلين : ) ا
“Artinya: Amal yang paling utama atau amal yang
paling afdhol adalah Amar ma‟ruf nahi munkar yaitu
menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
16. Berhati lunak (pemurah)
اشفك فمذ اػط أػط دظ
اشفك فمذ دظ دش ا٢خشح ١ب خ١شاذ
ا٢خشح ١ب خ١ش اذ دظ (٩١١تنبيو الغافلين : ) دش
50
“Artinya: Barang siapa yang diberikan
kelembutan/kelunakan maka sesungguhnya dia diberikan
kebaikan dunia dan akhirat, dan barang siapa yang tidak
diberikan kelembutan/kelunakan maka dia diberikan kebaikan
dunia dan akhirat.”
17. Rahmat dan kasih sayang
دز ى خب طخ فغ خ ادذو ١ظ سد
ألللا ل٠شد خ ابط ػب (٩٥٧تنبيو الغافلين : ) ٠شد
“Artinya: Bukan kasih sayang salah satu/seseorang
dari kami, tetapi merata pada umumnya manusia (berperi
kemanusiaan), dan tiada yang sanggup merahmati semua
manusia, kecuali Allah SWT.”
18. Mengamalkan Ilmu
فز ه از ٠ذػ ف ػ ػ ػ
ب اد ػظ١ د اغ ى (٩٣٦تنبيو الغافلين : )
“Artinya: Barang siapa yang diberi ilmu dan
mengamalkan ilmunya maka dia dipanggil di dalam kerajaan
langit sebagai orang yang agung/besar.”
19. Sombong
ا ف خ رس م١ب ا ٠ زىجش ٠أ ر ا
ىب و از ي ٠أ ر١ ا جبي ٠غشب ساش ط
ا ف بس ذجبي ٠غى ؽ١خ ا ٠غم ١شا
51
ابس ػظبسح ا (٦٦تنبيو الغافلين : )
“Artinya: Orang yang sombong kelak di hari kiamat
akan datang seperti orang-orang yang mengecil sekecil semut,
yang ditutupi kehinaan ditempat mana saja, masuk neraka
diberi minum darah campur nanah. Dia adalah ahli neraka.
20. Ghibah
س٠خ خ ف أ ذى ب ا بء ذى جؼغ ا ل١
ي للا ذ سع ػ ػ زب وب ذ رزج١ تنبيو ) اغ١جخ
(٣١الغافلين :
“Artinya: Dan telah diberitahukan oleh setengah ulama
ahli hikmah apa baunya orang ghibah sudah tercium sejak
jaman Rasulullah SAW.”
21. Namimah (Adu domba)
ب جخ لزبد ٠ؼ ا ا (٦٩تنبيو الغافلين : ) ل٠ذد
“Artinya: Tidak akan masuk surga orang yang suka adu
domba atau namimah.”
22. Hasud (dengki dan iri)
٠ظ ذغذأل ا شأػش اش ١ظ ش١ئ
ئ ٠ظ أ ثبد لج ظ ػم ذبعذخ ئ ا
اضب مطغ ل٠ بغ ا ىش د ذغ ا
52
ظ١جخ ل٠إ اش ذ ثب زفخ ل٠ذ اضبش جشػ١
اة اث ظ رغك ػ١ـ خب ا ة اش اثغ ٠غخؾ ػ١
ف١ك (٦٩تنبيو الغافلين : ) از
“Artinya: Tiada kejahatan yang lebih bahaya melebihi
hasud, karena adanya 5 bencana yang menimpa penghasud
(orang yang hasud), yaitu: 1. Hatinya selalu kacau. 2. Ditimpa
bala‟ (cobaan) yang tiada terputus. 3. Seburuk-buruk celaan
yang tidak terpuji. 4. Dimarahi Tuhan. 5. Tidak mendapatkan
taufik Allah SWT.”
23. Zalim (penganiayaan)
خ ل م١ب ا ٠ للا زم ب ال ا إ ى ادذ ٠ظ
(٩٥٣تنبيو الغافلين : )
“Artinya: Tiada seseorang mukmin menganiaya orang
lain maka Allah SWT akan membalasnya di hari Kiamat.”
24. Ujub (Membanggakan Amalnya)
ال ن ف اجبح ف ا ا١خ ازم اصز١
األػجبة ؽ م ا (٩٧٣تنبيو الغافلين : ) اصز١
“Artinya: Faktor penyebab selamat ada dua macam,
yaitu: 1. Takwa kepada Allah SWT 2. Niat. Dan faktor penyebab
binasa juga dua macam, yaitu: 1. putus asa, 2. Membanggakan
amalnya (ujub).”
53
Ujub adalah bangga atas apa yang diperbuatnya. Akibat
adanya ujub tersebut maka tidak akan selamat di Akhirat kelak.
25. Rakus dan Berkhayal
دشص ز دشص ج١ ذشص ػ ا
غ١ش ز ذشص از فب رشو افؼ ز
بي غ ا ٠ش٠ذج شللا ا ا اداءا ٠شغ ػ ا ف
ا ف ز غ١ش باز ا ازفبخش زىبصش
شللا ا ا بي ل٠زشن ش١ئ ب غ ا ج رؼب لج
اطذبة ل ز ازفبخشفزاغ١ش ل٠ش ٠ذ ث
غ ٠ج ثؼؼ وب ع ي للا ط للا ػ١ سع
ي للا ط للا ػ١ سع ىشػ١ ٠ بي ا
ع رشو افؼ ا ث١ (١١تنبيو الغافلين : )
“Artinya: Rakus itu ada 2 acam yaitu rakus tercela dan
rakus tidak tercela, dan meninggalkanya lebih utama. 1) Rakus
yang tercela adalah hingga melupakan kewajiban/perintah
Allah SWT, menghimpun harta untuk kesombongan. 2) Rakus
yang tidak tercela, tidak sampai meninggalkan kewajiban dan
tidak untuk menyombongkan diri, karena di antara para sahabat
ada yang mengumpulkan harta dan Rasul SAW menjelaskan
bahwa meninggalkannya lebih utama.”
54
BAB IV
ANALISIS RELEVANSI NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM KITAB TANBIHUL GHAFILIN
A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Tanbihul Ghafilin Karya
Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi
Melakukan perbuatan yang tecela dapat merugikan diri sendiri,
keluarga dan lingkungan sekitarnya. Contoh dari akibat perbuatan tercela
adalah jika seseorang suka mencaci, maka suatu ketika ia akan dicaci
orang pula, jika seseorang suka berdusta, suatu saat jika ia berkata benar,
orang lain akan tetap tidak percaya, dan ia juga akan dibohongi orang lain,
Hatinya tidak pernah tentram dan bahagia karena kesalahan dan
keserakahannya takut terbongkar oleh orang lain dan apa yang dicita-
citakan tidak akan terkabul, kecuali hanya kejahatan yang mengikuti
dirinya. Oleh karena itu jauhilah akhlak yang tercela dan tidak baik
(akhlaq madzmumah), hindarilah perbuatan yang dapat merusak
pergaulan. Ingat, barang siapa yang melakukan perbuatan tercela, maka
menandakan bahwa hatinya juga tercela atau buruk. Allah SWT tidak
menyukai orang yang hatinya buruk. Allah SWT berfirman QS. Al-
Maidah: 100:
55
ل ل خج١ش ٠غز اط١ت ا خج١ش وضشح أػججه ا
٠ب للا فبرما جبة أ األ ؼى -- رفذ
Artinya:“Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun
banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada
Allah SWT Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan." (Departremen Agama, 199: QS. Al-Maidah: 100)
Semua pembahasan dalam kitab Tanbihul Ghafilin disajikan oleh Al-
Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi dengan ringkas akan tetapi tetap
terperinci dan tidak ada yang tertinggal satupun terutama pembahasan
tentang akhlak. Berbeda dengan materi yang disajikan dalam media yang
lain yang mungkin hanya dijelaskan pengertiannya saja dan beberapa
penguatan dalilnya saja. Atau mungkin bagi orang-orang yang belum
mengetahui lebih jauh tentang dalil naqli dan aqli, maka dianjurkan untuk
membaca kitab ini agar dapat mengetahui bermacam-macam akhlak secara
rinci disertai ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi SAW. Dengan begitu materi
akhlak dapat dipahami, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai langkah untuk bersosial terhadap alam sekitar.
Materi akhlak dalam Kitab Tanbihul Ghafilin karya Al-Imam Al-
Faqih Abu Laits As-Samarqandi ini disajikan dalam bentuk ujaran-ujaran
para sahabat dan hadis Rasulullah dengan kata-kata yang dapat menyentuh
hati pembacanya seperti dalam penjelasan Abu Laits As-Samarqandi
mengenai akibat dari sifat ujub, sombong, rakus dan berkhayal, hasud,
ghibah, namimah, dan dapat digunakan sebagai rujukan ketika membahas
56
permasalahan-permasalahan akhlak, tetapi dalam kitab ini ada sebagian
pendapat yang mengatakan bahwasanya beberapa hadis yang terdapat di
dalamnya merupakan hadis dha‟if. Untuk itu sebaiknya kitab ini dipelajari
dengan seseorang yang telah menguasai ilmu-ilmu yang yang berkaitan
tentang hadis, agar dapat memilah antara hadis yang shahih dan dha‟if.
Kitab ini penting juga dipelajari oleh setiap generasi. Karena melihat
kondisi moral saat ini. Agar memiliki akhlak terpuji (mahmudah) sehingga
dapat berinteraksi dengan baik terhadap Allah SWT, terhadap diri sendiri,
baik terhadap sesama manusia, dan terhadap makhluk hidup lainnya.
Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi memulai mengarang
karyanya dengan terlebih dahulu memanjatkan pujian kepada Allah
SWT yang telah memberi petunjuk kepada orang yang mencintai-Nya
menuju jalan yang lurus. Kemudian Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-
Samarqandi membaca shalawat kepada Nabi kita Muhammad SAW sang
pemilik akhlak mulia dan kepada keluarga dan sahabatnya dan orang-
orang yang berperilaku seperti perilaku Nabi Muhammad SAW. Hal ini
menunjukkan kecintaan Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang terdapat dalam muqodimmah
kitabnya. Sehubungan dengan itu Abu Laits As-Samarqandi berpesan,
penuh harap agar benar-benar kitab ini mendapatkan perhatian dan
sambutan hangat dari para pembaca, khususnya generasi muda, lalu
menjadi bahan pemikiran/intropeksi terhadap diri sendiri (pengamalan
57
dimulai dari dalam), kemudian keluar, diajarkan pada orang lain. (Abu
Imam Taqiyudin, 2012: 3)
Disebutkan beberapa akhlak dari segi sifatnya yang terbagi
menjadi akhlak mahmudah yang patut dijadikan pedoman bagi manusia
dalam kehidupan sehari-hari dan akhlak madzmumah yang yang
merupakan akhlak yang buruk yang harus dihindari, di antaranya:
1. Akhlak Mahmudah dalam kitab Tanbihul Ghafilin
Akhlak mahmudah dalam kitab Tanbihul Ghafilin terbagi kedalam
beberapa aspek yaitu:
B. Akhlak terhadap Allah SWT.
1. Taubat
ة أر فا اعزغفش ا ئ للا ث ٠بأ٠ب ابط ر
ح ش بئخ ا١ هسلن ( سواه) ف
Artinya: “Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada
Allah SWT dan memohonlah ampun kepada-Nya,
sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari sebanyak 100
kali.” (HR. Muslim no: 2702). (Alfath, 2007: 44)
Abu Laits As-Samarqandi menjelaskan seseorang
yang mau bertaubat (sungguh-sungguh) pasti diterima
taubatnya, oleh karena itu Islam tidak menghendaki manusia
berputus asa dari rahmat Allah SWT.
58
Karena itu setiap muslim wajib bertaubat kepada
Allah SWT dari segala dosa dan maksiat di setiap waktu dan
kesempatan sebelum ajal mendadak menjemputnya sehingga
ia tak lagi memiliki kesempatan, lalu baru menyesal,
meratapi atas kelengahannya. Jika dia orang baik, maka dia
menyesal mengapa dia tidak memperbanyak kebaikannya,
dan jika dia orang jahat maka ia menyesal mengapa ia tidak
bertaubat, memohon ampun dan kembali kepada Allah SWT.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu‟anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
و للا العزغفبس جؼ ض ب فشج
د١ش ل سصل ب خشج ػ١ك و
( سواه أبو داود) ٠ذزغت .
Artinya: “Barangsiapa senantiasa beristighfar, niscaya Allah
SWT menjadikan untuk setiap kesedihannya kelapangan dan
untuk setiap kesempitannya jalan keluar, dan akan diberi-Nya
rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (HR. Abu Daud
no: 1518) (Siroj, 2009: 25)
Rabi‟ah Al-Adawiyah menegaskan: Istighfar yang
hanya di ucapkan, tanpa niat berhenti dari perbuatannya, berarti
taubatnya palsu, bahkan tidak dianggap taubat. Karena ada tiga
syarat taubat yaitu:
59
a) Menyesali perbuatannya,
b) Mulutnya mengucapkan Istighfar,
c) Niat tidak lagi mengulangi perbuatannya. (Abu Imam
Taqiyudin, 2012: 113)
Secara garis besar dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim tersebut menjelaskan bahwa ketika seseorang
bertaubat pasti akan diterima taubatnya, yaitu dengan cara
berIstighfar setiap harinya dan memenuhi 3 syarat dari taubat.
Sebagi seorang muslim sebaiknya setiap saat kita bertaubat
kepada Allah SWT.
2. Khauf (takut) kepada Allah SWT
Menurut Malik bin Dinar seseorang yang merasakan
bukti takut dan berharap kepada Allah SWT, berarti ia benar-
benar berpedoman kokoh dengan pergelangan dan perintah.
Sedangkan bukti takut yaitu: menjauhi maksiat (larangan)
Allah SWT, dan bukti berharap yaitu: menjalankan perintah-
Nya.
Adapun menurut Ulama lainnya: bukti berharap yaitu:
melakukan segala amal yang di ridhoi Allah SWT secara ikhlas
karena-Nya. Dan bukti takut yaitu: menjauhi segala larangan-
Nya. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 427)
Rasulullah SAW bersabda:
60
ئرا ع ي للا ط للا ػ١ سع ػ س
خش١خ للا رؼب رذبرذ ػ إ ت ا ل الشؼش
سلب جشح اش ب٠زذبد ( يتشهزسواه ال) خطب٠ب و
Artinya: “Diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Ketika seorang
mukmin hatinya bergetar karena takut kepada Allah SWT maka
berguguranlah dosa-dosanya seperti rontoknya daun kering
dari tangkai pohonnya.” (HR. Tirmidzi)
Tanda takut kepada Allah SWT itu terbukti 7 macam:
a) Lisan tidak pernah berdusta, ghi<bah, dan bicara kosong
(tanpa ada manfaatnya) lalu digunakan untuk dzikir
kepada Allah SWT, membaca al-Qur‟an dan mempelajari
ilmu (agama).
b) Perut tidak pernah makan kecuali yang halal dan menurut
kadar hajatnya.
c) Memperhatikan penglihatannya sehingga tidak melihat
yang haram dan tidak melihat dunia ini kecuali hanya
untuk peringatan.
d) Menjaga tangannya sehingga tidak mengulurkannya
kepada perkara yang haram. Hanya digunakan untuk taat
kepada Allah SWT semata.
e) Menjaga kakinya sehingga tidak digunakan untuk
ma‟siat.
f) Menjaga hati dari hasud, dengki, iri, dan penuh rasa
61
sayang terhadap sesama muslim.
g) Ibadah/taatnya dilandasi dengan penuh keikhlasan, jauh
dari riya‟ dan nifaq. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 197)
Empat perkara yang ditakutkan yaitu:
a. Takut tidak diterima sebab Allah SWT hanya
menerima dari orang yang benar-benar bertaqwa.
b. Takut kehinaan dalam taat sebab belum tahu apakah
tetap mendapat taufiq atau tidak.
c. Takut dalam hal penjagaan keselamatannya.
d. Takut riya‟
sebab Allah berfirman dalam QS. Al-Bayyinah:
ين حنفاء مخلصين له الد وما أمروا إلا ليعبدوا للاا
مة كاة وذلك دين القي لة ويؤتوا الزا -٥-ويقيموا الصا
Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
SWT, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena
(menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus
(benar).” (Departemen Agama RI,1999: QS. Al-Bayyinah: 5)
Dengan demikian bukti takut kepada Allah SWT yaitu
dengan cara menjauhi segala yang dilarang-Nya, karena ketika
seseorang takut kepada Allah SWT maka berguguranlah setiap
dosa-dosanya.
62
3. Ikhlas
Sebagian ahli hikmah meletakkan definisi ikhlas adalah
tidak ingin (seseorang) amalnya yang baik dilihat orang,
apalagi diperlihatkan, tidak jauhnya seperti dia melakukan
kejahatan yang tidak diketahui umumnya masyarakat.
Sedangkan sebagian ulama lainnya meletakkan dasar ikhlas
adalah “tidak menghendaki pujian orang”. (Abu Imam
Taqiyudin, 2012: 7)
إ عؼ ب عؼ١ب أساد ا٢خشح
شىسا عؼ١ -٧-فأئه وب
Artinya: “Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat
dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan
dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas
dengan baik.”(Departemen Agama RI, 1999: QS. Al-Isra‟: 19)
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah
bersabda:
ي للا ص : ا اث ش٠شح سع لبي: لبي سع ػ
اجغ ظش ا للا ل ٠ ى سو ط ل ا ى ب
ثى ل ظش ا ( هسلن سواه) ٠
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat (menilai)
63
bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu,
tetapi Allah SWT melihat (menilai) keikhlasan hatimu”. (HR.
Muslim no: 2564) (Alfath, 2007: 28)
Ikhlas merupakan suatu sifat yang tidak menghendaki
pujian orang lain dan tidak ingin amalnya diperlihatkan. Ketika
seseorang tidak ikhlas maka sia-sialah semua perbuatan yang
dilakukannya. Untuk itu sebagai seorang muslim sebaiknya
kita memiliki akhlak ikhlas, karena dengan ikhlas maka jiwa
kita akan merasa tenang dan ibadah pun juga tidak terasa berat.
4. Tawakal
Menurut Nipan Abdul Halim (2000: 78) kata
“Tawakal” menurut bahasa berarti menyerahkan, mewakilkan
atau mempercayakan. Maka “Tawakal kepada Allah SWT”
berarti berserah diri, mewakilkan diri atau mempercayakan diri
kepada-Nya. Tawakal kepada Allah SWT juga merupakan
pokok akhlak yang harus ditegakkan dalam rangka
mengabdikan diri secara total kepada-Nya. Orang-orang yang
bertawakal sangat disukai Allah SWT. Sebagaimana firman-
Nya dalam QS. Ali Imran: 159:
ب خ فج سد ذ للا غ١ظ فظب وذ
ت م ا ا لفؼ ه فبػف د اعزغفش ػ
س شب ش ف ذ فارا األ ػض و للا ػ فز ئ
64
٠ذت للا ١ و ز -٧- ا
Artinya: Maka berkat rahmat Allah SWT engkau (Muhammad)
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan
mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah
SWT. Sungguh, Allah SWT mencintai orang yang bertawakal.
(Departemen Agama RI, 1999: QS. Ali Imran: 159)
Perlu diketahui bahwasannya arti tawakal itu bukanlah
berserah diri tanpa ikhtiar. Sebab selain Allah SWT
memerintahkan agar hamba-Nya bertawakal kepada-Nya juga
dengan tegas memerintahkan agar hamba-Nya giat dalam
berikhtiar. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. At-Taubah:
105:
ل ا للا فغ١ش اػ ى سع ػ إ ا
عزشد ئ غ١ت ػب اشبد ا ب ف١جئى ح ث وز
-- رؼ
Artinya: Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah SWT
akan Melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-
orang Mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah
SWT) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu
Diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(Departemen Agama RI, 1999: QS. At-Taubah: 105)
65
Dengan demikian jelas bahwa tawakal itu bukanlah
berserah diri tanpa ikhtiar. Namun sebaliknya, bertawakal itu
berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT dengan
melaksanakan setiap perintah-Nya. Manusia telah dilengkapi
dengan akal sehat dan juga kemampuan berikhtiar, disisi lain
Allah SWT juga memerintahkan agar manusia giat berusaha,
berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT dengan berikhtiar
sepenuhnya dan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia
dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan apa
yang telah diikhtiarkan itu.
C. Akhlak Pribadi atau Diri Sendiri.
1. Wira‟i
Wira‟i artinya berhati-hati dalam melakukan hukum,
menghindari barang syubhat, takut mendekati haram.
ا ذالي ث١ ث١ ذشا شزجبد س ب ا ث١
ازم ا بل٠ؼ ابط ف جبد ف مذاعزجشأ ش
الغ جبد لغ ف اش ، د٠ ا ؼشػ ، ذشا
شه ا ٠ ذ ي ا اػ د مغ ٠ وبش أحوذ ( ) سواه ف١
Artinya: " Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah
sangat jelas, tetapi di antara keduanya ada barang-barang
66
yang menyerupai (samar-samar), tidak diperhatikan oleh
umumnya manusia maka orang yang memelihara dirinya dari
syubhat, berarti bersih agama dan kehormatannya. Sedangkan
yang terjerumus kedalam syubhat, berarti terjerumus pula
dalam haram, seperti orang yang mengembalakan ternak di
sekitar daerah terlarang, maka sangat mungkin ia akan
melanggar larangan tersebut.”(HR. Ahmad no:17624) (Siroj,
2009: 51)
Menurut Abu Laits As-Samarqandi, bukti adanya wira'i
(wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang
tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:
a) Memelihara lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing.
Firman Allah SWT. dalam surah Al-Hujurat ayat 12 yang
artinya: "Janganlah setengah di antara kamu menggunjing
terhadap setengah lainnya."
b) Tidak buruk sangka. Firman Allah SWT. dalam surah Al-
Hujurat ayat 12 yang artinya: "Hindarkanlah prasangka
buruk, karena setengahnya adalah dosa." Dalam hadits
Nabi saw. dijelaskan yang artinya: "Hati-hatilah kamu dari
prasangka buruk, karena hal itu adalah perkataan paling
bohong."
c) Tidak menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah
SWT. dalam surah Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:
"Janganlah suatu kaum menghina kaum lainnya, boleh jadi
kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum
yang menghina."
d) Memelihara pandangan mata dari yang haram. Firman
67
Allah SWT. dalam surah Nur ayat 30 yang artinya:
"Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar memejamkan
pandangan matanya dari yang haram."
e) Berbicara benar. Firman Allah SWT. dalam surah Al-An'am
ayat 152 yang artinya: "Dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil."
f) Mengingat nikmat Allah SWT agar tidak sombong. Firman
Allah SWT. dalam surah Al-Hujurat ayat 17 yang artinya:
"Bahkan Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika
kau diberi petunjuk, sehingga kau beriman. Jika kau benar-
benar beriman."
g) Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada
kebatilan. Firman Allah SWT. dalam surah Al-Furqan ayat
67 yang artinya: "Orang-orang yang membelanjakan
hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-
tengah (berlaku sedang) dalam hal itu."
h) Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong.
Firman Allah SWT. dalam surah Al-Qashash ayat 83 yang
artinya: "Negeri akhirat sengaja Kami sediakan bagi
mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula
suka merusak."
i) Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku dan
sujudnya. Firman Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat
68
238 yang artinya: "Peliharalah (waktu-waktu) sholat,
terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu',
diam bermunajat."
j) Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam.
Firman Allah SWT. dalam surah Al-An'am ayat 153 yang
artinya: "Inilah ajaran yang menuju kepada keridhoan-Ku
(jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti jalan-
jalan lain, (jika demikian), pasti menyimpang jauh dari
jalan Allah SWT. Demikianlah pesan Dia kepadamu agar
kamu bertakwa."(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 529)
Wira‟i adalah berhati-hati ketika melakukan suatu
perbuatan karena takut mendekati perbuatan haram dan
syubhat. Pahala wira‟i juga melebihi pahala dari puasa,
shalat dan sedekah. Dengan melakukan 10 kewajiban
seseorang bisa dikatakan wira‟i.
2. Haya‟ (malu)
Malu adalah menahan hawa nafsu dari ucapan yang
tidak baik dan perbuatan yang tidak baik pula. Dari Imran bin
Husain RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ذ١بء ل ٠أر ئل ثخ١ش ( هسلن سواه) ا
Artinya: “Rasa malu itu semuanya baik.” (HR. Muslim no:
4854) (Alfath, 2007: 65)
69
شؼجخ ، عز ثؼغ أ عجؼ ثؼغ ب اإل٠
بؽخ األر أدبب ئ ي ل ئ ئل للا، فأفؼب ل
ب اإل٠ ذ١بء شؼجخ ا اطش٠ك، ( سواه البخا سي) ػ
Artinya: “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam
puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan
„Lâ ilâha illallâh,‟ dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah
salah satu cabang Iman.”(HR.al-Bukhari dalam al-Adabul
Mufrad no. 598)
Penjelasan Abu Laits As-Samarqandi ada dua macam malu:
a) Malu kepada Allah SWT, maksudnya: merasakan
nikmat dari Allah SWT hingga tidak sampai hati (malu)
berbuat maksiat (melanggar larangan-Nya).
b) Malu kepada sesama manusia maksudnya: menutup
pandangan mata dari hal-hal yang tidak halal.(Abu
Imam Taqiyudin, 2012: 535)
Malu yaitu menahan dari hawa nafsu dan perbuatan
yang tidak baik. Karena malu merupakan sunnah Rasulullah
SAW. Dan dalam hadis dikatakan seseorang yang malu
berarti mempunyai iman, ketika seseorang beriman maka
akan menjadi salah satu penghuni syurgaNya Allah SWT.
3. Syukur
Sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT ke
70
dunia sudah selayaknya bersyukur kepada yang
menciptakannya, yaitu Allah SWT. Ketika mendapat nikmat
sehat ia bersyukur, mendapat nikmat berupa kekayaan ia
bersyukur. Seberapa pun besar nikmat yang diberikan Allah
SWT kepadanya harus disyukuri. Dengan demikian Allah
SWT akan menambah nikmat-Nya dengan nikmat yang lebih.
Abu Laits As-Samarqandi meriwayatkan dengan
sanadnya dari Muhammad Fadil, Muhammad Ja‟far, Ibrahim
Yusuf, Yazid Zuri‟ Hisyam Dastawa-i, Qatadah, Khalil,
Abdullah Al-Ashary, Abu Dardaak, Nabi SAW bersabda:
“Setiap Matahari terbit dua malaikat memanggil masyarakat
dunia dari sebelahnya, semua mendengar panggilan itu,
kecuali jin dan manusia, yaitu: “Sekalian manusia, cepat-
cepatlah menuju Allah SWT, bahwasannya yang sedikit
dapat mencukupi, adalah lebih baik, daripada yang banyak
melupakan. Lalu kata mereka berdua: “Ya Allah SWT,
berilah ganti, pada orang yang membelanjakannya, dan
binasakanlah harta orang yang kikir”. (Abu Imam Taqiyudin,
2009: 339)
Abu Laits As-Samarqandi meriwayatkan dengan
sanadnya dari Anas, Nabi SAW bersabda: “Allah SWT
senang kepada orang yang mengucapkan
ALHAMDULILLAH sesudah selesai makan atau minum”.
71
Dari Sa‟id dari Qatadah, Nabi SAW bersabda: “Orang yang
diberi 4 macam untung dunia-akhirat, yaitu:
1. Bibir yang selalu zikir
2. Hati yang selalu bersyukur
3. Badan yang selalu sabar
4. Istri yang mukmin yang salihah.(Abu Imam
Taqiyudin, 2009: 495)
ا٢خشح ١ب خ١ش اذ فمذ أػط أػط١ أسثغ
ا غب ب راوش ا , ج ب شبوش جالء طبثش ل ثذ ب ػ ا ,
ب دث ب ف فغب جخ ل رجغ١ ص ) سواه الطبشاني (
Artinya: “Ada empat perkara, jika seseorang diberinya,
berarti ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: hati
yang bersyukur, lisan yang berdzikir, badan yang sabar akan
musibah, dan isteri yang tidak durhaka, berbuat dosa dalam
dirinya dan harta suaminya“. (HR. Thabrani) (Abu Imam
Taqiyudin, 2009: 395)
Segala nikmat dari yang terkecil hingga yang terbesar
merupakan nikmat yang datang dari Allah SWT. Hal ini
menunjukan betapa sayangnya Allah SWT kepada hamba-
Nya. Namun seringkali mereka melupakan hal itu. Namun
berbeda dengan hamba yang bertakwa, ia akan
mensyukurinya selalu walau sekecil apa pun nikmat yang ia
dapatkan.
72
Cara seorang hamba mensyukuri nikmat Allah SWT
dengan baik dan benar, yaitu syukur dengan hati, syukur
dengan lisan, syukur dengan anggota badan. Syukur dengan
hati ialah meyakini bahwa seluruh nikmat itu datangnya pasti
dari Allah SWT. Syukur dengan lisan ialah memuji sang
pemberi nikmat dengan memperbanyak ucapan
“Allhamdulillah”. Termasuk didalamnya ialah
mengungkapkan nikmat itu kepada orang lain disertai dengan
perasaan syukur. Sedangkan syukur dengan anggota badan
ialah menggunakan seluruh anggota badan untuk beramal
shalih.
4. Sabar
c. Sabar terhadap malapetaka dan kesulitan
Bersabar atas segala yang tidak disenangi adalah
baik, dan bahwasanya setiap kesulitan itu pasti ada jalan
pemecahannya (yang akhirnya menjadi kemudahan).
(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 267)
Firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syura: 30:
ب أطبثى ظ١جخ ب وغجذ فج أ٠ذ٠ى
٠ؼف -- وض١ش ػ
73
Artinya: “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu
adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
SWT Memaafkan banyak (dari kesalahan-
kesalahanmu).” (Departemen Agama RI, 1999: QS. Asy-
Syura: 30)
Seseorang tidak mungkin menduduki tingkat
orang shalih, kecuali dengan sabar menderita kesulitan,
dan gangguan.(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 268) Oleh
karena itu setiap musibah yang menimpa kita adalah
tidak luput dari (akibat) berlaku curang, maksiat/dosa
kita, dinyatakan di dunia sebagai balasan. Dan
barangsiapa dibalas (laku maksiatnya) di dunia maka
tidak di ulangi di akhirat. Demikian pula jika Allah SWT
telah memaafkan laku maksiatnya di dunia maka tidak
akan menuntut di hari kiamat dengan siksa-Nya.
d. Sabar atas derita (musibah)
Dalam nasehatnya Abu Laits As-Samarqandi
berkata: manusia seyogyanya memikirkan pahala
musibah kelak ketika dihari kiamat. Saat itu
menginginkan seandainya ditinggal mati dahulu oleh
sanak keluarganya. Agar memperoleh pahala musibah
yang ditentukan oleh Allah SWT bagi setiap orang yang
sabar.
74
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 155-157:
ى ج ء ثش خف جع ا ا مض
اي األفظ األ شاد اض ش ثش بثش٠ -- اظ
ظ١جخ أطبثز ئرا از٠ ئب لبا ب ل ئـ ئ١
أـئه -- ساجؼ اد ػ١ ط ث س
خ سد أـئه زذ -٩- ا
Artinya: “Dan Kami pasti akan Menguji kamu dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira
kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā
lillāhi wa innā ilaihi rāji„ūn”. Mereka itulah yang
memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan-nya, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Departemen Agama RI, 1999: QS. Al-Baqarah: 155-
157)
Tiada kekangan yang lebih disenangi Allah SWT
kecuali dua perkara yaitu mengekang amarah dengan
kesabaran dan mengekang musibah dengan kesabaran
pula. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 278)
Sabar terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sabar melakukan ibadah.
2. Sabar menjauhi maksiat.
75
3. Sabar ditimpa musibah. (Abu Imam Taqiyudin,
2012: 273)
Ketika seseorang sabar Allah SWT sangat senang
terhadapnya, karena dapat mengekang emosi dan
musibah yang dihadapinya. Seseorang yang sabar ketika
terkena musibah maka Allah SWT pun menghapus satu
dosa untuknya.
5. Larangan tertawa terbahak-bahak
Tertawa terbahak-bahak adalah kurang baik (makruh).
Dan Nabi SAW tidak pernah tertawa, kecuali hanya
tersenyum, tidak menoleh, kecuali dengan wajah penuh
(artinya tidak melirik). (HR. Ja‟far, Ibnu Mas‟ud dan
Abdillah).
Abu Laits As-Samarqandi menjelaskan: bahwa
tersenyum hukumnya sunnah, sedang tertawa terbahak-bahak
hukumnya makruh. Maka sebaiknya kita menjauhinya,
karena dengan itu berarti menyimpan banyak tangisan di
Akhirat. Firman Allah SWT:
ب وبا ١جىا وض١شا جضاء ث ١ؼذىا ل١ال ف
-٢-٠ىغج
Artinya: “Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan
76
menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang
selalu mereka perbuat.” (Departemen Agama RI, 1999: QS.
At-Taubah: 86)
Delapan bahaya akibat tertawa terbahak-bahak:
a) Para Ulama dan ahli fikir mencela.
b) Orang jahil berani kepadamu.
c) Jika kau jahil pasti meningkat kedunguanmu dan jika
pandai pasti merosotlah ilmu padamu.
d) Terlena akan dosa-dosa terdahulu.
e) Berani berbuat dosa.
f) Lengah terhadap mati dan kehidupan akhirat.
g) Bertambah berat dosanya.
h) Menyebabkan hujan tangis di akherat. (Abu Imam
Taqiyudin, 2012: 209)
Tertawa hukumnya makruh. Karena dengan banyak
tertawa akan membawa tangis di Akhirat nantinya. Ketika
seseorang tertawa maka akan hilang apa yang telah
dipelajarinya atau hilang ilmu yang telah didapatkannya,
sehingga sebagai orang yang bertaqwa tertawa merupakan
perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang mukmin.
6. Larangan Berdusta
Dalam hadis dijelaskan:
ػذ أخف ئرا بفك صالس ئرا دذس وزة آ٠خ ا
77
خب ئرا اؤر ( سواه البخا سي)
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. Jika
berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika
dipercaya ia berkhianat.” (HR Bukhari no: 32) (Al-Qasimi
2005: 57)
Nabi SAW bersabda: “Dusta adalah tidak patut, kecuali di
tiga tempat:
a. Ketika perang
b. Ketika mendamaikan dua orang yang
berselisih/bertengkar
c. Demi kemaslahatan/memperbaiki akhlak istrinya.”
(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 163)
Bagi orang Islam seyogyanya pandai menahan diri
dari berdusta dan jangan membiasakannya, agar tidak
terjerumus menjadi orang yang munafik, dan perintis pelaku
dosa yang akhirnya menanggung dosa-dosa orang yang
mengikutinya di samping dosa yang diperbuatnya sendiri.
(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 163)
Dusta merupakan perbuatan yang sangat tercela.
Karena ketika seseorang berdusta maka dia termasuk orang
yang munafik. Sehingga dia juga akan menanggung dosa-
dosa setiap orang yang dia dustakan.
78
7. Mengekang emosi (marah)
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasul bersabda:
اث ش٠شح ي للا ص لبي: ػ سع سع ا
ه ٠ ذ٠ذ از ب اش شػخ. ا ذ٠ذ ثبظ ١ظ اش
ذ اغؼت ( سواه البخا سي) فغ ػ
Artinya: “Orang yang kuat itu bukan orang yang kuat dalam
bergulat tapi orang yang kuat dalam menahan dirinya ketika
marah.” (HR. Bukhari no: 6116) (Al-Qasimi 2005: 49)
Manusia dalam hal marah ini bermacam-macam, ada
yang cepat marah, tetapi cepat pula reda, yang berarti
seimbang. Dan ada pula yang lamban tetapi lambat pula
redanya, berarti seimbang juga. Dalam hal ini yang baik
lamban emosinya tetapi cepat sembuh redanya, sebaliknya
yang paling jahat yaitu cepat emosi lamban sembuhnya.
(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 218)
Cara meredam amarah yaitu dengan berbaring dan
merebahkan badannya di tanah, maka akan hilang
sendirinya amarah tersebut.
8. Memelihara lisan
Definisi taqwa adalah: melakukan segala perintah
Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya, disamping
79
memelihara lisan dari kata-kata yang tidak baik agar
memperoleh keuntungan dan selamat, jika tidak mampu
melakukan hal itu (berkata baik), maka lebih baik diam,
pasti menang (artinya dilindungi dari godaan syetan) dan
Allah SWT menyimpan rahasianya. (Abu Imam Taqiyudin,
2012: 229)
Firman Allah SWT dalam QS. Qaaf: 18:
ب فظ ٠ ي ئل ل -٢- ػز١ذ سل١ت ذ٠
Artinya: “Tidak ada sepatah katapun yang diucapkan,
melainkan senantiasa ada pengawas di sisinya malaikat
Raqib dan Atid yang selalu siap (mencatat).” (Departemen
Agama RI, 1999: QS. Qaaf: 18)
Memelihara lisan sangatlah dianjurkan, ketika
seseorang mampu memelihara lisannya maka akan selamat
dari siksa api neraka. Karena lidah bagaikan belati yang
apabila tidak dijaga akan melukai siapapun.
9. Keutamaan menuntut ilmu
Pernyataan Ibnu Mas‟ud: Sekarang kalian hidup di
zaman “Amal lebih baik daripada Ilmu” tetapi di masa datang
“Ilmu lebih utama daripada Amal.” Dari Sa‟id Musayyab dari
Abu Sa‟id al Khudhry, Rasul SAW bersabda: Menuntut ilmu
agama adalah kewajiban setiap Muslim.
ظ ث أ ػ للا للا ط ي ع س بي : ل بي ه , ل ب
80
غ و ػ خ ؼ ٠ ش ف ؼ ا ت : ؽ ع ١ ػ
Artinya: “Dari Anas bin Malik Radhiyallahu‟anhu, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu‟alaihi wa sallam bersabda:
“Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
(Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah
didalam Sunan nya, hadits no 223. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani).
Orang belajar dan mengajar ilmu dengan ikhlas
seperti orang berjihad dijalan Allah SWT. Di Dunia ini amal
yang paling utama ada tiga:
a. Menimba ilmu, karena orang yang selalu menimba
ilmu menjadi kekasih Allah SWT.
b. Jihad/perang sabil, karena orang yang jihad adalah
Waliyullah.
c. Mencari penghidupan (kasab), karena pengusaha
yang takwa kepada Allah SWT adalah
Shiddiqullah.(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 476)
Ulama adalah sebagai pelita zaman, ia menerangi
masyarakat yang hidup di zamannya. (Abu Imam
Taqiyudin, 2012: 476)
Menuntut ilmu adalah wajib. Bahkan dalam hadis
diatas dijelaskan ketika seseorang menuntut ilmu maka para
malaikat akan mengepakkan sayapnya untuk
melindunginya. Karena menuntut ilmu termasuk amal yang
utama.
81
D. Akhlak terhadap Keluarga
Silaturrahmi merupakan akhlak terhadap keluarga. Abu
Laits As-Samarqandi menjelaskan bahwasanya memutuskan
tali persaudaraan adalah dosa besar, rahmat tertolak baginya
serta kerabatnya. Oleh karena itu setiap muslim wajib
bersilaturrahmi dan memperbaiki hubungan dengan kerabatnya
agar memperoleh rahmat dari Allah dan terhindar dari api
neraka.
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa amal yang paling
cepat pahalanya adalah silaturrahmi, dan dosa yang
disegerakan akibatnya adalah putusnya hubungan
persaudaraan, dan penganiayaan. (Abu Imam Taqiyudin, 2012:
139)
ط للا ط ؼشػ رمي ؼمخ ثب د اش
لطؼ لطؼ للا
Artinya: “Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang
siapa yang menyambungku, maka Allah SWT akan
menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka
Allah SWT akan memutus hubungan dengannya”. (Muttafaqun
„alaihi syarah beliau atas sahih muslim 16/328-329).
ادذح فظ از خمى ب ابط ارما سثى ٠ب أ٠
غبء ب سجبل وض١شا ثش جب ب ص خك
82
للا وب ئ األسدب ث ارما للا از رغبء
سل١جب --ػ١ى
Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah Menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah
SWT) Menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan
dari keduanya Allah SWT Memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah SWT selalu
Menjaga dan Mengawasimu.” (Departemen Agama RI, 1999:
QS. An-Nisa‟: 1)
Keuntungan bersilaturrahmi ada 10 perkara, diantaranya:
a. Memperoleh ridha Allah SWT.
b. Membuat orang mukmin gembira.
c. Kesukaan para malaikat, karena mereka senang
bersilaturrahmi.
d. Pujian kaum muslimin kepadanya.
e. Memarahkan iblis terkutuk.
f. Memanjangkan usia.
g. Menambah barakah rizkinya.
h. Membuat senang orang yang telah meninggal.
i. Memupuk rasa kasih sayang antar keluarga.
j. Menambah pahala. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 140)
Silaturrahmi hukumnya wajib. Karena dengan
silaturrahmi seseorang dapat memperbaiki hubungan kerabat.
83
Dan ketika silaturrahmi terputus maka dosanya akan
disegerakan di Akhirat kelak.
E. Akhlak Bernegara
Amar ma‟ruf nahi munkar Yaitu menganjurkan kebaikan
dan mencegah kemungkaran. Tujuan Amar ma‟ruf nahi munkar
itu adalah mencari ridha Allah SWT, menegakkan agamanya
dan tidak ada sedikitpun unsur mementingkan diri sendiri
semata.
Abu Laits As-Samarqandi menjelaskan ada lima syarat Amar
ma‟ruf nahi munkar yaitu:
a) Berilmu, karena umumnya masyarakat belum mengerti
mana yang ma‟ruf dan mana yang munkar.
b) Dasarnya ikhlas, semata mencari ridha Allah SWT dan
menegakkan agama-Nya.
c) Menggunakan metode yang baik.
d) Berlaku tenang dan sabar. Berdasarkan firman Allah
SWT:
ػ ا ؼشف ش ثب أ الح اظ أل ٠ب ث
اطجش ػ ىش ا ره ب أطبثه ئ
س األ -٩-ػض
Artinya: “Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan
84
suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah
(mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu
termasuk perkara yang penting. (Departemen Agama RI,
1999: QS. Luqman: 17)
e) Melakukan hal-hal yang diperintahkan (menyesuaikan
ucapan dan perbuatannya) agar terhindar dari ejekan
masyarakat dan ancaman. (Abu Imam Taqiyudin, 2012:
95)
Amar ma‟ruf nahi munkar yaitu menganjurkan kebaikan
dan mencegah kemungkaran. Yang mana merupakan kewajiban
setiap mukmin. Lima cara Amar ma‟ruf nahi munkar yang telah
dijelaskan diatas.
F. Akhlak terhadap Masyarakat
1. Berhati lunak (pemurah)
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda:
ئ ض ع ل ٠ ء ئل صا ف ش فك ل٠ى اش
هسلن ( سواه) شء ئل شب
Artinya: “Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan
akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala
sesuatu akan nampak jelek.” (Muslim no. 2594) (Alfath,
2007: 62)
Dari Hadith di atas dapat diambil hikmah
bahwasanya seharusnya kita memiliki sifat berhati lunak
terhadap sesama makhluk. Karena dengan berhati lunak
85
maka akan hilang dengan sendirinya rasa dendam, rasa ingin
menyakiti orang lain dan sebagainya.
2. Rahmat dan kasih sayang
Sebaiknya kita mengmbil suri tauladan dari para
sahabat Nabi sebab Allah SWT telah memuji mereka (kasih
sayang di antara mereka). Dan mereka saling mengasihi
bukan terbatas pada sesama umat Islam bahkan sampai
kepada kafir Dzimmi. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 422)
Rasul SAW bersabda:
للا ابط ل ٠شد ٠شد ـ ( سواه البخا سي )
Artinya: “Siapa yang tidak menaruh belas kasihan kepada
manusia, maka Allah SWT tidak menaruh belas kasihan
kepadanya.”(HR. Bukhari no: 7376) (Al-Qasimi, 2005: 101)
Sesama muslim berkasih sayang adalah merupakan
kewajiban. Karena Allah SWT sangat senang terhadap orang
yang saling mangasihi. Sementara Allah SWT tidak akan
mengasihi terhadap orang yang tidak mengasihi sesama
makhluk Allah SWT.
3. Mengamalkan Ilmu
Abu Laits As Samarqandi meriwayatkan dengan
sanadnya dari Anas bin Malik ra berkata Rasulullah SAW
bersabda:
86
زضػ زضاػب ٠ ا ؼ للا ل ٠مجغ ا ؼجبد، ئ ا
٠ ؼبء. دز ئرا ثمجغ ا ى ػبب ارخز جك
ا فؼ ا ثغ١ش ػ عب جبل فغأا فأفز ابط سؤ
( ( البخاسى و هسلنسواه ا أػ
Artinya: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‟ala tidak
mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan
tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama
sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka
orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang
bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa
dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari
no. 100 dan Muslim no. 2673) (Al-Qasimi, 2005: 93)
Ada tiga macam Ulama yaitu:
a) Mengenal Allah SWT dan perintah-Nya, yaitu: orang
yang pandai yang takut kepada Allah SWT (bertaqwa
dengan sesungguhnya), ketika melaksanakan hukum,
perintah atau menghindari larangan-Nya.
b) Mengenal Allah SWT tapi tidak mengenal perintah-
Nya, yaitu: orang yang takut kepada Allah SWT tetapi
buta masalah hukum, tidak mengerti mana yang halal
dan mana yang haram, serta tidak tahu perintah-
perintah-Nya.
c) Mengenal perintah-Nya, tapi tidak kenal Allah SWT:
orang pandai hukum atau ilmu agama-Nya (Islam)
87
tetapi tidak takut pada-Nya. (Abu Imam Taqiyudin,
2012: 485)
Mengamalkan ilmu hukumnya wajib. Maka dari itu
jadilah Ulama seperti yang dimaksud pada yang pertama.
Orang yang mengamalkan ilmu mendapat pahala yang lebih
disisi Allah SWT. Dan mengamalkan ilmu yang dianjurkan
dengan cara tulus dan ikhlas tanpa mengharap imbalan
apapun.
2. Akhlak Madzmumah dalam Kitab Tanbihul Ghafilin
A. Sombong
Sombong adalah membanggakan diri. Dalam QS. Al-
Mu‟min dijelaskan mengenai sifat sombong sebagai berikut:
ئ سث جخ أ لث ب آرا ٠إر از٠
--ساجؼ
Artinya: “dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan
(sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu)
bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan-nya.”
(Departemen Agama RI, 1999: QS. Al-Mu‟min: 60)
Dari Abu Hurairah RA Nabi SAW bersabda: Allah SWT
berfirman: “Kebesaran adalah sarung-Ku dan kibir adalah
selendang-Ku, maka barang siapa menyerupai Aku dalam hal
kebesaran atau kibir, Aku lemparkan ia kedalam api neraka.
88
Abu Laits As-Samarqandi menjelaskan hadith tersebut
diatas: Kedua sifat Allah SWT tersebut dimuat dalam al-Qur‟an,
oleh karenanya manusia yang lemah tidak pantas menyandang
(sombong) nya. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 197)
Sombong adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
Dalam hadith diatsa dijelaskan akibat dari perbuatan sombong
maka kelak di akhirat akan diberikan minuman dari nanah yang
sudah membusuk. Yang pantas dan boleh menyandang sifat
sombong adalah Allah SWT. Manusia hanya makhluk yang
seharusnya bersifat tawadhu‟.
B. Ghibah
Ghibah adalah membicarakan orang lain. Abu Laits As-
Samarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah RA
Nabi SAW bersabda: yang dimaksud Ghibah adalah:
غ١جخ ؟ ب ا ي للا لبي : أرذس سع ش٠شح أ أث ػ
، لبي : روشن أػ سع ا : للا ب ٠ىش، لب أخبن ث
وب ي ؟ لبي : ئ ب أل أخ ف وب : أفشأ٠ذ ئ فم١
ي فمذ ثز ب رم ف١ ٠ى ئ ي فمذ اغزجز, ب رم ف١
سواه هسلن ) )
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu bahwsanya
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah
89
kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah SWT dan
Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak
disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada
padanya ? Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab: “Kalau
memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya,
tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau
telah berdusta atasnya”. (HR. Muslim no 2589) (Alfath, 2007: 124)
Abu Laits As-Samarqandi menegaskan sekalipun hanya
mengatakan contoh baju dia terlalu pendek atau panjang dan lain-
lain. Itu sudah termasuk ghibah. Ada tiga efek negatif akibat
ghibah, yaitu:
1) Kufur, mengungkap kejelekan seorang muslim, lalu ketika
diingatkan jawabnya: ini kan bukan ghibah, mengungkap
kenyataan yang ada padanya, maka dengan demikian dia
berani menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh
Allah SWT dan hukumnya kafir.
2) Munafik, mengungkap kejelekan seseorang dengan tidak
menyebutkan namanya di muka umum, tapi masyarakat telah
mengerti siapa yang dituju oleh pembicara itu, bahkan dia
menganggap dirinya wira‟i (menjauhi larangan Allah SWT).
3) Berdosa (maksiat), mengungkap kejelekan seseorang tetapi ia
merasa bahwa dia melanggar larangan Allah SWT, telak
maksiat kepada-Nya.
Adapun ghibah yang positif yaitu: mengungkap kefasikan
yang sengaja dilakukan dimuka umum (terbuka) atau tukang
90
bid‟ah, maka yang demikian ini tidak berdosa, bahkan berpahala,
karena bertujuan memberantasnya dengan harapan masyarakat
dapat menjauhkan diri dan menyelamatkan diri dari perbuatan fasik
tersebut. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 172)
Firman Allah SWT:
ثؼغ ئ اظ ا اجزجا وض١شا آ ب از٠ ٠ب أ٠
ل ٠غزت ثؼؼى ثؼ ل رجغغا ئص ؼب أ٠ذت اظ
ئ ارما للا ز ١زب فىش أخ١ ذ أ ٠أو أدذو
د١ اة س ر --للا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah
ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah
ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada
Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
(Departemen Agama RI, 1999: QS. Al-Hujurat: 12)
Ghibah merupakan akhlak madzmumah. Ketika seseorang
ghibah berarti telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah SWT. Sebagaimana penjelasan diatas ghibah dapat mencapai
tingkat kufur terhadap Allah SWT.
C. Namimah (Adu domba)
Rasul SAW bersabda:
91
ي للا ص: ل ٠ذخ دز٠فخ سع لبي: لبي سع ػ
ب هسلن ( و البخاسى سواه) اجخ
Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang suka berbuat
namimah”. (HR. Bukhari, Muslim no: 91) (Alfath, 2007: 27)
Disebutkan ada tiga perkara yang mengakibatkan beratnya
siksa kubur yaitu:
1. Ghibah,
2. Kurang bersihnya air kencing,
3. Adu domba.
Kata Yahya bin Aktsam: Fitnah atau adu domba lebih
berbahaya dan lebih buruk daripada sihir, karena fitnah lebih cepat
proses kejahatannya, juga lebih berbahaya daripada syetan, karena
syetan hanya dapat berupa bisikan dan khayal-bayangan, tetapi
fitnah langsung berhadapan dan praktek nyata. (Abu Imam
Taqiyudin, 2012: 182)
ل رجغغا ئص ثؼغ اظ ...ئ ...
Artinya: “...sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain...”
(Departemen Agama RI, 1999: QS. Al-Hujurat: 12)
Akibat dari adanya sifat namimah maka Allah SWT akan
membuatkan dua mulut dari api neraka dan memberatkan siksa di
alam kubur kelak. Dan kejahatan namimah lebih cepat daripada
92
syaiton.
D. Hasud (dengki dan iri)
Hasud atau dengki adalah perasaan ingin memiliki apa yang
dimiliki oleh orang lain. Sabda Rasulullah SAW :
ع ػ١ ط للا : لبي سعي للا
وا ػجبد ل رذاثشا، ل رذبعذا، ل رجبغؼا،
ق صالصخ جش أخب، ف ٠ أ غ ل ٠ذ ا ب، ئخ للا
(صحيح البخاسي) أ٠ب
Artinya: “Janganlah kalian saling membenci, jangan saling dengki
dan iri, dan jangan pula saling memusuhi, jadilah bersaudara
sesama hamba Allah SWT, dan tiadalah halal bagi muslim untuk
memutus hubungan / memusuhi saudara muslimnya lebih dari tiga
hari” (Shahih Bukhari no: 2564) (Al-Qasimi, 2005: 162)
Abu Laits As-Samarqandi menjelaskan bahwa ketika dalam
hati terselip rasa hasud, maka jangan diungkapkan, karena Allah
SWT akan mengampuni selama hasud itu belum diucapkan atau
dilakukan. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 188)
Hasud tidak diperkenankan kecuali kepada dua perkara yaitu:
1) Seseorang yang diberi kepandaian Al-Qur‟an, lalu
mengamalkannya setiap hari dan malamnya.
2) Seseorang yang dikaruniai harta, lalu bersedekah siang
93
malamnya. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 192)
Sifat hasud dan dengki dapat menghapus amal baik
seseorang. Sebagai seseorang muslim jika terselip rasa hasud
janganlah diungkapkan agar melebur sendiri dalam hati. Oleh
karena itu, setiap muslim diwajibkan membersihkan diri dari hasud
dan dengki, karena hal itu merupakan amal yang utama.
E. Zalim (penganiayaan)
Abu Laits As-Samarqandi menyatakan: tiada dosa yang
paling besar selain aniaya, alasannya jika dosa kepada Allah SWT,
Dia Maha Pemurah untuk memaafkannya, tetapi jika dosa itu
berhubungan dengan sesama manusia maka harus meminta maaf
kepada orang yang dianiaya dan jika sudah mati maka wajib
istighfar baginya Sufyan Ats Tsauri berkata berbuat dosa 70x
secara langsung kepada Allah SWT adalah lebih baik dan ringan,
daripada menghadap-Nya dengan membawa satu dosa yang
berhubungan dengan sesama manusia. Dan faktor penyebab iman
seseorang kebanyakan dari perbuatan aniaya terhadap sesamanya.
(Abu Imam Taqiyudin, 2012: 413)
Allah SWT berfirman dalam QS. Luqman: 13:
ئر لبي ب م لث ٠ب ٠ؼظ ل ث
رششن ثبل شن ئ اش ظ -- ػظ١
94
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, Wahai
anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah SWT,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah SWT) adalah benar-
benar kezaliman yang besar.”(Departemen Agama RI, 1999:
QS. Luqman: 13)
Aniaya merupakan salah satu dosa yang sangat besar.
Karena ketika seseorang menyakiti hati orang lain maka Allah
SWT tidak akan memaafkannya sebelum yang disakiti memaafkan
kesalahannya. Sebagaimana Allah SWT telah mewajibkan untuk
saling mengasihi antar sesama makhluk Allah SWT.
F. Ujub (Membanggakan) Amalnya
Abu Laits As-Samarqandi meriwayatkan dengan sanadnya
dari Abu Ubaidah, dari Ibnu Mas‟ud, katanya; “Faktor penyebab
selamat dua, yaitu: 1. Tawakkal 2. Niat. Dan factor penyebab
binasa juga dua, yaitu: 1. putus asa, 2. Membanggakan amalnya
(ujub). (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 175)
Nasihat Abu Laits As-Samarqandi: Ada empat faktor
penghapus rasa ujub, yaitu:
1) Tahu persis bahwa: “Taufik dan hidayah untuk beramal itu
dari Allah, lalu bersyukur kepada Allah SWT dan tidak
bangga dengan amalnya.
2) Tahu persis bahwa ni‟mat itu dari Allah SWT, dan
mensyukurinya serta tidak bangga dengan amalnya.
3) Takut amalnya tidak diterima, dan tidak otomatis dia tidak
bangga atas amalnya.
95
4) Menyesali perbuatan dosa-dosanya terdahulu, lalu khawatir
mengalahkan kebaikannya, kemudian jauh dari rasa bangga
dengan amal perbuatannya. (Abu Imam Taqiyudin, 2009:
564)
ي للا ط للا ػ١ ػ أظ لبي: لبي سع
ا رى ع: خش١ذ ػ١ى رزج أوضش
ره اؼجت
Artinya: “Dari Anas (bin Malik) radliyalllahu anhu berkata, telah
bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Seandainya
kalian tidak mengerjakan dosa, aku khawatir kepada kalian yang
lebih banyak dari hal itu yaitu ujub”. (HR al-Uqailiy, Ibnu „Adiy
dan al-Qudlo‟iy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat
Shahih al-Jami‟ ash-Shaghir: 5303 dan Silsilah al-Ahadits ash-
Shahihah: 658)
Orang yang belum tahu persis hasil amalnya kelak di hari
kiamat, pasti tidak berani membanggakannnya, dan hal ini adalah
menimpa setiap orang, oleh karena itu, tidak pantas seseorang ujub
atas amalnya. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 544)
Ujub adalah bangga atas apa yang diperbuatnya. Akibat
adanya ujub tersebut maka tidak akan selamat di Akhirat kelak
sebagaimana yang telah diterangkan oleh hadith yang telah
disebutkan. Untuk itu menghapus rasa ujub dapat dilakukan dengan
cara diatas.
96
G. Rakus dan Berkhaya
Al-Faqih menjelaskan rakus yaitu menginginkan sesuatu
melebihi kadarnya. Rakus ada dua macam, yaitu:
1) Yang tercela, hingga melupakan kewajibannya, menghimpun
harta untuk kesombongan.
2) Yang tidak tercela, tidak sampai meninggalkan kewajiban
dan tidak untuk menyombongkan diri, karena di antara para
sahabat ada juga yang kaya raya, Rasul SAW tidak
melarangnya. (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 240)
Berkhayal juga merupakan sifat tercela. Karena Allah SWT
memberikan jaminan bagi orang yang menghentikan hayalannya:
1) Mampu beribadah, karena rasa takut menghadapi kesulitan
beramal, tidak dikhayal-khayalkan, yang ada hanyalah rasa
akan mati.
2) Kekacauan pikiranya menurun.
3) Rela hidup sederhana, karena bersemangat menuju akhirat.
4) Hatinya bersinar terang.
Karena berkhayal akan rugi empat perkara:
1. Malas beribadah.
2. Pikiran kacau harta.
3. Rakus harta.
4. Keras hati. (Abu Imam Taqiyudin, 2009: 483)
97
Rasulallah SAW pernah mengkhabarkan bahwa sifat tamak
yaitu cinta dunia tidak pernah mengenal kata puas.
ىخ ف جش ث ث١ش ػ ا اض اث ػ اجخبس س
ط للا ػ١ اج ٠مي: ٠ب أ٠ب ابط ئ خطجز
أل اد٠ ب أػط آد اث أ ٠مي: ع وب
صب١ ب صبض ب رت أدت ئ١ صب١ ب أدت ئ١ أػط
ػ ٠زة للا ئل ازشاة آد ف اث ل ٠غذ ج ،
ربة ( سواه البخا سي)
Artinya: “Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu al-Zubair tatkala
di atas mimbar di Mekah dalam kubtahnya, beliau berkata;
Wahai manusia sekalian, Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wasallam pernah bersabda, “Seandainya anak keturunan Adam
diberi satu lembah penuh dengan emas niscaya dia masih akan
menginginkan yang kedua. Jika diberi lembah emas yang kedua
maka dia menginginkan lembah emas ketiga. Tidak akan pernah
menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah SWT
menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Al-
Bukhari No.6438) (Al-Qasimi, 2005: 144)
Segala sesuatu yang ada pada manusia, pasti binasa kecuali
dua yaitu: 1) Rakus harta. 2) Dan menghayalnya (HR. Qatadah dari
Anas bin Malik ra.). (Abu Imam Taqiyudin, 2012: 241)
Rakus dan berkhayal merupakan sifat yang sering dimiliki
oleh setiap insan, namun sifat tersebut seharusnya dihilangkan.
98
Karena sifat rakus dan berkhayal tersebut membawa dampak yang
tidak baik. Selain itu akibat perbuatan tersebut akan merugikan
ketika di akhirat nantinya. Allah SWT menganjurkan untuk
bersedekah dan tidak rakus terhadap harta yang dimilikinya.
B. Relevansi Materi Akhlak pada Kitab Tanbihul Ghafilin dengan
Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat pokok dan penting
bagi kehidupan manusia yang harus dipenuhi seiring perkembangan
zaman. Tanpa pendidikan sama sekali manusia akan kesulitan dalam
merahih kebahagiaan hidup atau meraih cita-cita yang mereka inginkan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki naluri untuk
berinteraksi dan bermasyarakat, dengan pendidikan manusia dapat saling
tolong menolong dalam rangka mengembangkan dan memajukan
kehidupan mereka.
Untuk memajukan kehidupan mereka itu, maka pendidikan
menjadi sarana utama yang perlu dikelola, secara sistematis dan
konsisten sesuai dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri. Manusia
adalah makhluk yang dinamis, dan memiliki cita-cita untuk meraih
kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam arti luas, baik lahir maupun
batin, duniawi maupun ukhrawi. Namun demikian cita-cita itu tidak akan
mungkin dicapai jika manusia itu sendiri tidak berusaha keras
meningkatkan kemampuannya seoptimal mugkin melalui pendidikan,
karena proses pendidikan adalah suatu proses kegiatan secara bertahap
99
berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan atau cita-
cita tersebut. (Ihsan, 1995: 2-3)
Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara
lahir dan batin. Secara lahir pendidikan menjadikan manusia bermanfaat
bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya
kedepan. Sedangkan secara batin pendidikan diharapkan dapat
membentuk jiwa-jiwa yang berbudi dan berakhlak, memiliki tata krama,
sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya baik secara personal
maupun kolektif. Hal ini berarti bahwa pendidikan akan membawa
perubahan pada setiap orang sesuai dengan aturan yang ada.
Akhlak adalah salah satu Pendidikan Islam yang terdapat dalam
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang dipelajari oleh peserta
didik di Sekolah. Pendidikan tersebut dilakukan dengan cara mempelajari
tentang pengamalan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela dalam
kehidupan sehari-hari. Akhlakul karimah sangat penting dipraktikkan dan
dibiasakan oleh peserta didik dalam menjalankan kehidupan guna
bersosial terhadap diri sendiri, masyarakat maupun Negara.
Dalam pembinaan, akhlakul karimah merupakan materi dasar
dalam Islam dan wajib diamalkan seseorang, nilai-nilai yang harus
dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil. Ibadah dalam Islam
erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak dan pembinaan
akhlak adalah ajaran paling dasar dalam Islam. Dalam persepektif
pendidikan Islam, pendidikan akhlakul karimah adalah faktor penting
100
dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Pembentukan akhlakul
karimah dijadikan sebagai bagian dari tujuan pendidikan Islam.
Akhlakul karimah ini sangat penting dipraktikkan dan dibiasakan
oleh peserta didik dalam menjalankan kehidupan guna bersosial terhadap
diri sendiri, masyarakat maupun Negara. Dalam pembinaan, akhlak mulia
merupakan materi dasar dalam Islam dan wajib diamalkan seseorang,
nilai-nilai yang harus dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.
Ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak
dan pembinaan akhlak adalah ajaran paling dasar dalam Islam. Dalam
persepektif pendidikan Islam, pendidikan akhlakul karimah adalah faktor
penting dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Pembentukan
akhlakul karimah dijadikan sebagai bagian dari tujuan pendidikan Islam.
Dari uraian di atas, dapat di analisis bahwasanya akhlak adalah sifat
dasar yang harus ada pada setiap insan, setelah membaca dan memahami
materi akhlak yang ada dalam kitab Tanbihul Ghafilin dengan materi
akhlak yang terdapat pada pendidikan agama Islam, ternyata keduanya
memiliki keterkaitan. Yakni keduanya sama-sama membahas materi
akhlak yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-hadis. Meskipun tidak semua
materi dalam kitab Tanbihul Ghafilin memiliki keterkaitan dengan materi
akhlak yang terdapat pada pendidikan agama Islam saat ini namun
keduanya memiliki tujuan yang sama dalam dunia pendidikan. Adapun
tujuan tersebut adalah agar setiap peserta didik memiliki sikap berbudi
pekerti yang luhur, bertingkah laku, beradat istiadat yang baik sesuai
101
ajaran Islam dan mampu memahami akhlak yang tercela yang tidak patut
untuk diterapkan.
Relevansi materi akhlak pada kitab Tanbihul Ghafilin dengan
pendidikan Islam saat ini adalah: Secara umum, materi Akhlak yang
terdapat dalam kitab Tanbihul Ghafilin Karya Al-Imam Al-Faqih Abu
Laits As-Samarqandi terdapat relevansi dengan materi pendidikan Islam
saat ini karena keduanya sama-sama menerangkan tentang akhlak
mahmudah dan madzmumah walaupun penyajiannya tidak sama persis.
Adapun materi akhlak mahmudah dan madzmumah antara lain: taat, riya‟,
nifaq, kufur, ikhtiar, qana‟ah, namiah, putus asa, ghadhab, tamak,
husnudzan, tawadhu‟, tasamuh, ta‟awun, dendam, fitnah, kerja keras,
kreatif, produktif, akhlak dalam pergaulan remaja. Materi tersebut pun ada
yang terdapat dalam materi pendidikan agama Islam saat ini dan ada yang
terdapat dalam kitab Tanbihul Ghafilin Karya Al-Imam Al-Faqih Abu
Laits As-Samarqandi.
Diantara nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat diambil dan
diterapkan terhadap dunia pendidikan dari kitab Tanbihul ghafilin yang
berhubungan dengan pembagian sebagai berikut: Akhlak terhadap Allah
SWT, Akhlak pribadi atau diri sendiri, Akhlak terhadap keluarga, Akhlak
terhadap negara, dan Akhlak bermasyarakat, antara lain sedikit dapat
penulis uraikan sebagai berikut:
a) Akhlak terhadap Allah SWT yaitu taubat, khauf, ikhlas,
tawakkal
102
b) Akhlak terhadap diri sendiri yaitu wira‟i, syukur, haya‟, sabar,
larangan tertawa terbahak-bahak, larangan berdusta,
mengekang emosi, memelihara lisan, keutamaan menimba ilmu
c) Akhlak terhadap keluarga yaitu silaturrahmi.
d) Akhlak bernegara yaitu amar ma‟ruf nahi munkar
e) Akhlak terhadap masyarakat yaitu berhati lunak (pemurah),
rahmat dan kasih sayang, beramal dengan ilmu.
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul ghafilin ini
sangat relevan dengan pendidikan Islam saat ini, yaitu ditinjau dari
tujuannya yang menitikberatkan pada tercapainya kebaikan berupa
kemampuan peserta didik untuk berakhlakul karimah, yang sesuai dengan
Al-Qur‟an dan Sunnah dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keadaan
dengan orang lain atau ramai maupun saat sedang sendiri. Pendidikan
akhlak diawali dengan penanaman akidah dalam hubungan vertikal
dimana manusia menjadi abdullah (Hamba Allah SWT), untuk menuntun
manusia dalam menjalankan perannya sebagai makhluk individu dan
sosial, yaitu hubungan horisontal sesuai dengan ajaran Islam. Akhlak
dalam hubungan horisontal merupakan perwujudan dari baik-buruknya
dalam hubungan vertikal (akhlak terhadap Allah SWT). Serta ditinjau dari
materi yang ditawarkan maupun metode yang dipakai dalam
menyampaikan pendidikan akhlak, dan Kitab Tanbihul ghafilin ini dapat
dijadikan sebagai rujukan dan referensi dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, khususnya pada materi akhlak, dan juga diterapkan kepada
103
para pelajar dari jenjang terendah sampai tertinggi untuk mendisiplinkan
kehidupan mereka yang saat ini dalam krisis moral. Dapat juga diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, agar menjadi manusia yang berakhlak serta
berkepribadian mulia.
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan tersebut, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Kitab Tanbihul Ghafilin
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Kitab Tanbihul ghafilin
adalah semua ungkapan atau pernyataan yang merupakan gagasan
tercapainya tujuan pendidikan akhlak yaitu tercapainya kedekatan diri
manusia kepada Allah SWT. Nilai-nilai akhlak dalam Kitab Tanbihul
Ghafilin karya Shaykh Nasr bin Muhammad bin Ibrahim As-
Samarqandi terbagi menurut sifatnya yaitu tentang Akhlak mahmudah
di antaranya yaitu: Akhlak terhadap Allah SWT yaitu taubat, khauf,
ikhlas, tawakkal. Akhlak terhadap diri sendiri yaitu wira‟i, syukur,
haya‟, sabar, larangan tertawa terbahak-bahak, larangan berdusta,
mengekang emosi, memelihara lisan, keutamaan menimba ilmu.
Akhlak terhadap keluarga yaitu silaturrahmi. Akhlak bernegara yaitu
amar ma‟ruf nahi munkar. Akhlak terhadap masyarakat yaitu berhati
lunak (pemurah), rahmat dan kasih sayang, beramal dengan ilmu. Dan
tentang Akhlak madzmumah diantaranya: sombong, ujub, ghibah,
namimah, hasad, zalim, rakus dan berkhayal.
105
2. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul
Ghafilin terhadap pendidikan Islam
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Kitab Tanbihul ghafilin
ini sangat relevan dengan pendidikan Islam saat ini, yaitu ditinjau dari
tujuannya yang menitikberatkan pada tercapainya kebaikan berupa
kemampuan peserta didik untuk berakhlakul karimah, yang sesuai
dengan Al-Qur‟an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam keadaan dengan orang lain atau ramai maupun saat sedang
sendiri. Serta ditinjau dari materi yang ditawarkan maupun metode
yang dipakai dalam menyampaikan pendidikan akhlak, dan Kitab
Tanbihul ghafilin ini dapat dijadikan sebagai rujukan dan referensi
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, khususnya pada mata
pelajaran akhlak, dan juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
agar menjadi manusia yang berakhlak serta berkepribadian mulia.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Pendidikan akhlak adalah pendidikan tentang penanaman karakter
kepribadian, dan membutuhkan proses yang lama. Oleh karena itu
harus dimulai sedini mungkin. Untuk mengakar-kuatkan karakter
terpuji dalam diri anak. Orang tua sebagai penanggung jawab utama
atas amanah yang Allah berikan, hendaknya meningkatkan kesadaran
akan posisi tersebut, karena perananya sangat vital dalam keberhasilan
106
pendidikan akhlak pada anak, disamping peran sekolah dan
masyarakat.
2. Penanaman akidah yang kuat hendaklah menjadi perhatian utama bagi
orang tua. Dengan kuatnya akidah atau hubungan vertikal anak, maka
menjadi bekal yang baik untuk menanamkan akhlak terpuji dalam
hubunganya secara horisontal, baik terhadap orang tua, guru, ataupun
masyarakat secara umum.
3. Bagi para pendidik baik lingkungan formal maupun non formal
hendaknya mampu menjadi seorang pendidik yang mempunyai
kepribadian dengan akhlak yang baik sehingga mampu menjadi
panutan bagi para peserta didiknya. Jika kepribadian baik sudah
dimiliki oleh pendidik maka akan tercipta pendidikan yang harmonis
antara pendidik dan peserta didik.
107
108
109
110
111
112