Post on 27-Jun-2015
DISKURSUS PENCAPAIAN KONSEP AL-HAQQ, IT-TIHAD DAN HULUL
DALAM DUNIA TASAWUF
(Studi Konsep Ketuhanan Husain Ibn Manshur al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan Ibn `Arabi)
A. Pendahuluan
Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara
keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam
kronologi penciptaannya berasal dari tanah.1 Fenomena ini membangun sebuah
argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan
yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad
dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.2
Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa
memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia
dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah
Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan)
membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh
mengantarkan manusia memiliki fitrah insting keberagaman,3 yang cenderung
bernuansa spritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri
manusia.
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai
pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu
1al-Qur’an al-Karim Surat al-Mukminun (23) : 12-14.2al-Qur’an al-Karim surat al-Hijr (15) : 29, lihat juga surat Shaad (38) : 72. 3M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-
Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006, hal. 17.
mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal
Tuhannya.4 Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat
menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Allah.5 Menurut Harun
Nasution “Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk
ittihad bersatu dengan Tuhan”.6 Manshur al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya,
menemukan sebuah formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya.
Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia
dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila
kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai
Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini
dalam teori tasawufnya Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul.
B. Konsep al-Haqq dalam teori Ibn `Arabi
Nama ibn `arabi dimili tidak hanya oleh satu orang. Dalam sejarah
pemikiran Islam ada dua tokoh terkemuka yang mempunyai nama yang sama.
Yang pertama adalah Abu Bakr Muhammad Ibn `Abd Allah Ibn al-`Arabi al-
Ma`afiri (468-543), seorang ahli hadits di Serville.7 Yang kedua adalah
Muhammad Ibn `Ali ibn Muhammad ibn al`arabi al-Ta`i al-hatimi, seorang sufi
termasyhur dari andalusia, ia dilahirkan pada 17 ramadhan 560 H.
4M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku: Pengalaman Kesembuhan Seseorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya Tiga Bulan, (Jakarta: Hikmah, 2007), hal. 57.
5Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), (Jakarta: Mitra Pustaka, 2002), Cet V, hal. 65.
6Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 56.
7J. Robson, Ibn al-`Arab The Encylopedia of Islam, New Edition (London dan Laiden: Luzac dan Brill, 1979), hal. 3:707.
Tokoh pertama adalah sang kadi bukan objek pembicaraan dalam makalah
ini, tokoh yang kedua adalah sang sufi, dalam hal ini akan mengkaji tentang
konsep al-haqq menurutnya sendiri.
Kata al-haqq dalam karya-karya Ibn `arabi mempunyai beberapa
pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda pula. Namun dalam
hal ini konteks al-haqq yang dimaksudkan adalah hubungan ontologis antara al-
haqq dan al-khalq. Dalam konteks ini al-haqq adalah Allah, sedangkan al-khalq
adalah alam, makhluk, yang banyak, al-mawjudat dan al-mumkinat.8
Menurut Ibn ’Arabi, hanya ada satu Realitas. Realitas ini kita pandang dari
dua sudut yang berbeda. Ketika kita menganggapnya sebagai Esensi dari semua
fenomena, Realitas itu kita namai al-Haqq (the Real). Sementara, ketika kita
memandangnya sebagai fenomena yang termanifestasi dari Esensi tersebut, kita
menyebutnya al-khalq. Al-Haqq dan al-khalq, Realitas dan Penampakan, Yang
Satu dan Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari
Realitas Tunggal.
Lantas, apakah hubungan ontologis antara al-Haqq dan al-Khalq, antara
Allah dan alam, antara Sang Pencipta dan ciptaan, antara Yang Satu dan Yang
Banyak? Sebelumnya, dalam masalah wujud, telah disebutkan bahwa satu-satunya
wujud adalah Allah; tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud
dalam pengertian hakiki hanya milik al-Haqq. Segala sesuatu selain al-Haqq
sesungguhnya tidak memiliki wujud. Karena itu, wujud hanya satu yaitu al-Haqq.
Jika satu-satu wujud adalah al-Haqq, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq?
8Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-`Arabi Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 46.
Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau, apakah alam tidak mempunyai wujud
sama sekali? Jawaban Ibn ’Arabi tampak ambigu. Menurutnya, alam adalah al-
Haqq dan bukan al-Haqq, atau dengan kata lain, “Dia dan bukan Dia” (huwa la
huwa).
Dalam Futuhat-nya, Ibn ‘Arabi mengatakan9,
Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-
entitas al-mumkinat yang dipersiapkan untuk disifati dengan wujud.
Karena itu, dalam wujud adalah ia [entitas-entitas mumkinat] dan bukan
dia. Karena yang nampak (azh-zhahir) adalah sifat-sifatnya, maka [itu]
adalah ia [dalam wujud]. Tetapi ia tidak mempunyai entitas dalam wujud
karena ia tidak ada [dalam wujud]. Dengan cara yang sama, ”[Itu adalah]
Dia [Allah] dan bukan Dia; karena Dia adalah yang nampak, maka itu
adalah Dia. Tetapi perbedaan antara maujudat ditangkap oleh akal dan
indra karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas, maka itu
bukan Dia.
Istilah-istilah paradoks dalam irfan Ibn ’Arabi memang diakui juga oleh
Bulent Rauf, seorang peminat Ibn ’Arabi masa modern. Menurutnya, Ibn ’Arabi
acap menggunakan istilah-istilah ”pencipta adalah yang diciptakan”, ”Aku adalah
Dia dan Dia adalah aku”, ”Aku adalah Dia dan bukan Dia”, ”Al-Haqq adalah al-
khalq dan al-khalq adalah al-Haqq”, ”al-Haqq bukan al-khalq dan al-khalq bukan
al-Haqq” dan seterusnya. Paradoks ini sebetulnya bukan paradoks sama sekali. Ia
adalah konsep relatif dari dua aspek Realitas. Sesungguhnya, ada resiprositas utuh
antara Yang Satu dan Yang Banyak sebagaimana dipahami oleh Ibn ’Arabi.
Seperti halnya dua korelasi logis, tak ada suatu makna apa pun tanpa yang lain.
9Ibid..., hal. 47.
Dalam pandangan Ibn ’Arabi, alam adalah penyingkapan-diri atau tajali
al-Haqq. Dengan demikian, segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah
entifikasi (ta’ayun) al-Haqq. Karena itu, baik Tuhan maupun alam, keduanya
tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi
ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ontologis dalam realitas bukan hanya bersifat
horizontal tetapi juga vertikal seperti yang terlihat antara Nama al-Zhahir dan al-
Bathin, al-Awwal dan al-Akhir.
Ibn ’Arabi memandang, realitas itu Satu, namun memiliki dua sifat yang
berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Kedua sifat ini hadir dalam
segala sesuatu yang ada di alam. Dalam wujud hanya ada satu realitas yang dapat
dipandang dari dua aspek yang berbeda. “Tidak ada dalam wujud kecuali satu
realitas. Dipandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut Yang Benar, Pelaku, dan
Pencipta. Dipandang dari aspek lain, ia kita sebut ciptaan, penerima, dan
makhluk.”10 Dengan demikian, al-Haqq dan al-khalq adalah dua aspek bagi wujud
yang satu atau realitas yang satu.
C. Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj
1. Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansur al- Hallaj.
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama
lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi
al-Hallaj.11 Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan.
Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang
10Ibid..., hal. 50. 11Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002),
Cet X, hal. 74.
bernama Sahl al-Tustari.12 Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dapat
bertemu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota
Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya,
seterusnya pindah Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi
modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al- Baghdadi. Ia digelari al- Hallaj
karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal
dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.13
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Selama di kota suci ini
ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek
kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan
sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah
pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada
wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah hulul.14
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang
luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan
menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun
demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang
tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H /
922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah
(Khalifah Al-Muktadir Billah). Motif dan latar belakang penangkapan dan vonis
12I b i d . 13Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997),
hal. 144. 14Ib id
hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang
dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai
hubungan dengan Syiah Qaramitah.15
2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj
Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman
tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan
berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi
yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas
Islam,16 yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu,
mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan
Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi.
Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul, Tuhan
dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia
tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-
lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).17 Demikian juga manusia
juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan
manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun
berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya”
15Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang dan memusuhi pemerintah Dinasti Abbasiyah sejak abad kesepuluh sampai dengan abad ke sebelas, Lihat : Azyumardi Azra, et.al.,Ibid., hal. 74-75.
16 Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, (tim penerjemah Mizan), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 23.
17Azyumardi Azra, et.al.,op.cit, hal. 75.
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hambal atau
Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as
terdapat bentuk Tuhan yang disebut al- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan
terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut. Berdasarkan pemahaman adanya
sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara
Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dan
manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.18 Bersatunya antara
Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia
berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan
sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi
dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi
pengalaman hulul.19 Peristiwa ini terjadi hanya sesaat, pernyataan al-Hallaj bahwa
dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya,
sebagaimana ungkapan syairnya, yang artinya:
“Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia ketuhanan-Nya
yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk
manusia yang makan dan minum”.20
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan,
yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah
Kristen yang mengatakan bahwa nasut Allah mengandung tabi`at kemanusiaan di
18Ibid.19M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 57.20Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974), hal. 18.
dalamnya.21 Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan
menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.
Dalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan sangat jelas bahwa:
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah
dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.22
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata
aneh),23 dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha
Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat
saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai
Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati
spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian.
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari
mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan
ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj
dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena
sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan
kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana
21Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim wa
al-Hadits, (Mesir: Hajah al Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986), hal. 78. 22Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 90.23Secara kebahasan perkatan syathahat berasal dari kata kerja syathaha yang berarti
taharraka, yaitu gerak atau tergerak. Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
diungkapkan dalam syairnya: “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang
kucintai adalah aku”.24
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran
al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2: 34) adalah
pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan
yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah
Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi
syaiun”.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan
menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut
al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi
menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan
atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri
manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu
dari yang benar, dialah manusia yang memiliki/ dikaruniai sifat Tuhan.
C. Konsep al-Ittihad dalam teorinya Abu Yazid al-Bustami
a. Pengertian It-Tihad
Ittihâd berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang
berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-
Busthâmî secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi,
24Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an- Nahdhoh, 1974), hal. 27
menyatu, atau persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman
puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal
Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah.25 Ittihâd
dicapai dengan beberapa proses (maqâmât) dengan tazkiyat al-nafs hingga
melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai
pintu gerbang menuju ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para
sufi harus mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara
etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang.
Sedangkan baqâ’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.
Keadaan fana’- baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu
Yazid dalam pengalaman tasawwufnya, merupakan tiga aspek dalam suatu
pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya makam ma’rifat. Dan hal ini tidak
banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak
akan pernah lepas dari dijumpainya pro- kontra dari kalangan umat Islam sendiri,
terutama dari kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam
yang setelah mencapai tingkatan ma’rifah hampir selalu dinyatakan sebagai
bertentangan dengan ajaran Islam, meskipun upaya demikian dilakukan dalam
rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta.
Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan; ittihad terlebih dahulu
harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan
fana’, yaitu kesirnaan atau peleburan; penghancuran perasaan atau kesadaran
25 http://gilitengah.multiply.com/journal/item/13
seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, dan baqa’ tetap kekal,
yaitu tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan.26
Fana’ dan baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa
diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui penerangan
yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena perjalanan ini di
identikkan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifat-sifat tercela, maka
barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat
terpuji.27 Fana’ dan baqa’ merupakan sesuatu yang kembar, karena ia terjadi di
dalam waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada waktu
kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan
dengan itu ia mengalami baqa’, yaitu munculnya kesadaran akan kehadirannya
disisi Tuhan.
b. Al-Ittihad
Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang
sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang
dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang
lain dengan kata “hai aku”.
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh
tingkatan fana’- baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya
sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dan dilanjutkan dengan
memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata
hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus menerus.
26Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Op. Cit., hal. 83.27Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj. Ahmad
Rafi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 106.
Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu
yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain
hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri
karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang
seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah
menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang
dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan.
Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara
sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas
nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya
ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil.
Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam
syatahatnya: “Tuhan berkata; semua mereka kecuali engakau adalah makhluk-
Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”,
maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu.
Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia
berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia
selanjutnya berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”.
Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid
tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan
Tuhan, dengan kata lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan
atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.28
28Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Op. Cit., hal. 85.
Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia
bertanya: “Siapa yang engkau cari? jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid
mengatakan: “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan
Maha Tinggi”.29
Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah
bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya
karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap
mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan
kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing masih tetap dalam
esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad,
yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad.
Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah
dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian
dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran
sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya.
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu
Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila
dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan
selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha besar aku”.30
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat
dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang
sedang dalam keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah
29Ibid..., hal. 86. 30Harun Nasution, Op. Cit. , hal. 84.
baqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud selain wujud Tuhan adalah
fana’, atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah
tidak ada fana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud
Tuhan.
Dalam pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara satu
dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap
menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul
merasakan fana’ yang kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga
tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan alam, atau sebaliknya.
Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam
bidangnya ternyata juga mendapat kritik, sebagai contoh adalah al-Thusi yang
memaparkan bahwa ittihad sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang
diawali oleh keadaan fana’, patut diwaspadai bahaya-bahaya yang akan di
timbulkannya, karena menurutnya sifat-sifat kemanusiaan tidak mungkin sirna
dari manusia. Oleh karena itu persangkaan bahwa manusia bisa fana’, sehingga ia
bersifat sebagaimana sifat ketuhanan adalah keliru. Akibat ketidak tahuannya,
pendapat itu hanya akan mengantar mereka kepada hulul atau pendapat orang
nasrani tentang isa al-Masih.31
Namun juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang memberikan dukungan,
sebagaimana di sampaikan oleh Al-Junaidi, yang menyatakan dapat memahami
ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid. Bahkan Abd al-Qadir al-Jailani
memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa
31Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taflazani, Op. Cit., hal. 109
dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar”32
karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-
masing pelaku sufi yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga
keadaan alam dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.
KESIMPULAN
Demikianlah dalam perspektif al-Hallaj dan al-Bustami bahwa Tuhan dan
manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia
berhasil menghilangkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkannya lewat
berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari keridlaan Allah, maka dipastikan
ia akan bisa bertemu dan menyatu dengan sifat Allah. Sebaliknya, apabila
manusia tanpa mau berusaha menghilangkan atau melenyapkan sifat
kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan akan bertemu dan menyatu
dengan Allah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
32Ibid..., hal. 119.
Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim
wa al-Hadits, (Mesir: Hajah al Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986.
Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2002.
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj.
Ahmad Rafi’ Usman, Bandung: Pustaka, 1985.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek,
http://gilitengah.multiply.com/journal/item/13
J. Robson, Ibn al-`Arab The Encylopedia of Islam, London dan Laiden: Luzac dan
Brill, 1979.
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-`Arabi Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974.
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam
Perspektif al- Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006.
M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku: Pengalaman Kesembuhan
Seseorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya
Tiga Bulan, Jakarta: Hikmah, 2007.
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo,
1997.
Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi,
(tim penerjemah Mizan), Bandung: Mizan, 2003.
Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), Jakarta: Mitra
Pustaka, 2002.