Post on 27-Jun-2015
Mohammed Arkoun: Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Selasa, 11 April 2000Jakarta, Kompas
Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
"Kolonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran kita masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam," ujar guru besar Universitas Sorbonne, Paris, itu dalam pembukaan
seminar "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), yang disesaki pengunjung yang sebagian besar kalangan muda.
Seminar ini diselenggarakan oleh Yayasan 2020 bekerja sama dengan Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung, British Council, dan Departemen Agama.
Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka, yang dikenal dengan istilah munadharah.
Namun, memasuki
abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). "Sebagai seorang ahli sejarah pemikiran Islam, bukan sebagai seorang politisi, saya katakan bahwa itu keliru," kata Arkoun.
Dalam Islam klasik, kata Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci.
Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan
kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.
Sebenarnya, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara baru pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam kemudian dipergunakan lebih
sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman.
Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa.
"Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menambahkan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa
dalam perspektif humanisme.
Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. "Marilah kita terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran," ujarnya.
Menjawab pertanyaan tentang keinginan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan ajaran marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis merupakan model politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi modern yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang
dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin diperkenalkan Presiden Indonesia sebagai langkah awal menuju demokrasi yang modern," ujarnya.
Arkoun mencontohkan keinginan pemerintah Maroko meningkatkan status perempuan. Partai Islam menolak rencana pemerintah, tetapi sebagian yang lain menerimanya. "Hukum modern didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu?" ujarnya.
Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran). "Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya," tegasnya. (wis/mba)
Diarsipkan di bawah: Esai | Tag: Edward Said, fazlur rahman, filsafat
islam, filsfat,Islam, Islamic studies, mohamed
arkoun, Muhammad, Muslim, orientalism, Prophet Muhammad, Religion and
Spirituality, Western world
Komentar (2)
The relation between Islam and the west has passed away a long historical plot. The most
popular issue has been discussed is the Crusade which effects remain felt up till now. The
both sides of the war were keeping the psychological biases in viewing each other. On one
side, they tended to forget the big tragedy to get a better relationship between one to
another, but on the other side, a certain suspicions obsessed them.
One of the psychological impacts appeared at the Islamic studies that were performed by
the west-Christians to the east-Islam. On the time, Islam was viewed as a heretical form of
Christianity. This point of view was perpetually constructed and inherited from generation to
generation that the gap between Islam and Christians gets wider and, in the aftermath,
appears so many biased writings about Islam. At this phase, the image of Islam pictured
upon religious biases.
Furthermore, some westerners began to study Islam, although the image of Islam didn’t yet
take a favorable turn. At this phase, Islam was understood as a part of its adherers, that is, a
still primitive and uncivilized community. So, this image of Islam was contaminated by
ethnical and cultural biases. This phase was marked by the spreading colonialization and
imperialism performed by the European to its colonies (Muslih, 2003). Baca selebihnya »
HERMENEUTIKA MUHAMED ARKOUN Telah Dituliskan Februari 20, 2009
Diarsipkan di bawah: Esai, Tokoh | Tag: hermeneutika, mohamed arkoun, teori
Komentar (2)
(Sekedar Pengantar)
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang
berasal dari warisan mitologi Yunani. Secara lafdziah, hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani,Hermeneutikos, yang berarti penafsiran. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang
Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat
ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut
latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, ekonomi dan lain-lain. Oleh sebab itu
dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang
pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat.
Pada saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan
memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang
berhubungan dengan penafsiran diterapkan terhadap kitab suci. Hal ini bisa dilihat dalam
berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai disiplin keilmuan
yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-
Qur’ân) merupakan salah satu disiplin yang marak dipelajari.
Penting dibedakan antara hermeneutika dengan tidakan penafsiran (exegese). Tindakan
penafsiran berkaitan dengan komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan
heremeneutika berkaitan dengan metodologi yang dipakai dalam tindakan penafsiran.
[1] Dalam terminologi pesantren, tindakan penafsiran adalah sebagaimana bisa ditemukan
dalam kitab-kitab tafsir (yang paling umum ditemui adalah kitab Tafsîr al-Jalâlain),
sedangkan hermeneutika adalah Ulûm al-tafsîrnya.
Dalam pengertian yang demikian, Farid Esack menyatakan bahwa hermeneutika
sebenarnya sudah diterapkan dalam tradisi studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân)klasik dalam
Islam. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa metodologi penafsiran yang melibatkan
konteks pewahyuan Al-Qur’an seperti Nasikh-Mansukh dan Asbab al-Nuzul. Di samping itu,
sudah ada kesadaran kategorisasi penafsiran-penafsiran sesuai dengan latar ideologis,
bidang pengetahuan dan spesifikasi.[2] Terlihat misalnya Tafsir Kalâmî (Mu’tazilah, Syî’ah,
Asy’ariyah, dll.), Tafsir Fiqhî (Syafî’iyah, Hambaliyah, Hanâfiyah, dll.), Tafsir Ilmî (Biologi,
Fisika, Kimia, Astronomi, Embriologi, dll.), Tafsir Falsafî, Tafsir Adabî-Ijtima’î dan lain
sebagainya. Sehingga, tindakan menolak hermeneutika pada dasarnya adalah tindakan
yang ahistoris.
Tindakan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat hermeneutis sudah dilakukan oleh beberapa
reformis Muslim. Nama-nama seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan kawan-
kawan pada hakekatnya sudah melakukan kerja-kerja hermeneutis, walaupun secara
terminologis mereka sendiri tidak menyebutnya demikian dan persentuhan ilmiah dengan
Barat masih belum segencar sekarang. Namun bisa dikatakan bahwa mereka adalah tokoh-
tokoh hermeneutika Al-Qur’an Modern fase awal.[3]
Setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan
beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yangconcern terhadap
studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk heremeneutika
dalam pemaknaannya yang spesifik. Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an
mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam.
Beberapa nama bisa disebutkan di sini, seperti Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, Farid
Esack, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan lain-lain.
Tulisan ini sengaja hanya fokus pada satu orang tokoh saja karena banyaknya pemikir dan
tokoh muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Teori-
teori yang muncul dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Sehingga, bukan
tempatnya untuk memaparkan dan menyajikan semua pemikiran tokoh-tokoh itu.
Nama Muhammed Arkoun yang terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran
Arkoun menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan
pemikirannya, khususnya dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran pemikiran
kontemporer menjadi tepat karena persinggungannya dengan pemikiran-pemikiran
kontemporer sangat kentara sekali.
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual Muhammed Arkoun
Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia
merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber
adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa
non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin
Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara
mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol
bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme.
Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme
dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang
sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang
adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan
animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci
atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum
Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan
nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[4]
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor
penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab
dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa
keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif,
sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai
tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang
berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami.
Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian
sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah
berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai
ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa
Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan
tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa
mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[5]
2. Pendidikan dan Pengalaman Muhammed Arkoun
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan
Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan
sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-
Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi
mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne
Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun
mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang
sejarah pemikiran Islam.[6]
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan
resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan
Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota
Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian
Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[7]
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis,
seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di
Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas
Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas
Amsterdam.[8]
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis.
Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern
hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[9]Referensi utamanya adalah De
Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi),
Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi), filosof Perancis Paul Ricour, antropolog
seperti Jack Goody dan sosiolog seperti Pierre Bourdieu.[10] Arkoun banyak meminjam
konsep-konsep kaum (post) strukturalisme itu untuk kemudian diterapkannya ke dalam
wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos,
logosentrisme, yang ter-, tak- dan di-pikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti
bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post)
strukturalisme.
Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas
panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan
panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci
dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan
karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-
teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi
mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa
mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari
implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan
pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan
(dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang
memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam
bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai
sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan
perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan
sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah
data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-
pemikir bukan hanya bertuturtentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga
secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[11]
D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab
suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:
1) mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrinadalam Islam
dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran
Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya
dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk
menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-
kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk
mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2) Menetapkan suatu kriteriologi[12] yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang
dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk
mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.[13]
Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun
adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak
ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa
mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):
1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di
bawah keteraturan yang tampak.
2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir
logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.
[14]
1. Moment Linguistis Kritis
Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an
sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa
(modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka
tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab.
Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin
memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur).
Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa
biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja
(fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan
terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants),
[15] yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan
kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai
suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata
linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat
dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting
adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”.
Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan
dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang
mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”.
Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan
kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa
nilai.[16]
Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa
Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-
pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur)
pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal
sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi
“penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga
terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.
Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir
klasik. Mereka mementingkan-dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi
Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan
“mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang
seolah-olah tidak teratur.
2. Moment Antropologis: Analisis Mitis
Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a
transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the
‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas.
Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang
tidak lain adalah “the driving force behind the text”
Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena
analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti
khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik
tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun
untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan
analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie
dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak
pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap
linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-
signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata
sebagai simbol” (mot-symbole).[17]
Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan
Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:
1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum
digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan
karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian
Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih);
3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-
kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada kesesuaian yang
mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-
bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.
Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia.
Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada
orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan
simbolis itu adalah:
a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral
akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku;
b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni
pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan
dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan
terakhir Kehendak Sakral-Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul-
mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada
orang-orang lain;
c) “simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi
sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;
d) “simbolisme hidup dan mati“.
Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi, saling memperkuat
untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang
disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar
mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya
pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu…, sirat mustaqim, magdlubi alaihim,
dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan
mengalahkan visi metafisis yang merasionalkan.[18]
Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif
atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang
memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku
pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang
saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya
menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana
performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan
bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-
Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi
parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita
tidak hanya mengatakan– atau membuat konstatasi tentang–suatu tindakan, melainkan juga
sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar
rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[19]
Daftar Pustaka
Arkoun, Mohammed. Metode Kritik Akal Islam. dalam Jurnal Ulumul Qur’an.nomor 6 vol. V.
1994.
______________. Berbagai Pembacaan Qur’an. Jakarta: INIS. 1997.
Asysyaukani, Luthfi. Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer. dalam jurnal
Pemikiran Islam vol. I nomor 1. Juli-Desember 1998.
Atho’, Nafisul dan Arif Fahrudin (ed.). Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis
menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. hlm.
Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression. England: Oneworld Publication. 1997.
Fais, Fkharuddin. Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial.Yogyakarta: eLSAQ
Press. 2005.
Meuleman, Haji Johan H. Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran
Mohammed Arkoun. dalam jurnal Ulumul Qur’an. nomor 4 vol. 1v 1993.
Putro, Suadi. Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina. 1996.
Sunardi, St. Membaca Qur’an bersama Arkoun dalam Meuleman, Johan Hendrik.Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed
Arkoun. Yogyakarta: LkiS. 1996.
[1] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi
Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. hlm. 18
[2] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression, England: Oneworld Publication, 1997, hlm. 18
[3] Fkharuddin Fais, Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005, hlm. 14
[4] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta:
Paramadina, 1996, hlm. 11-13
[5] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran
Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, hlm.94.
[6] Ibid.
[7] DRS. Suadi Putro, MA, Op. Cit., hlm. 18.
[8] Ibid., hlm. 17.
[9] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal
Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., hlm. 62-63.
[10] Johan Hendrik Meuleman, op. cit. hlm. 12-13
[11] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam“, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6
vol. V 1994, hlm. 157.
[12] Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan dari berbagai kriteria atau ukuran (critere);
Arkoun mengatakan misalnya, semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi
kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan keyakinan yang membentuk berbagai praanggapan
dari setiap tindak pemahaman pada periode tersebut.
[13] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997, hlm. 48.
[14] Ibid., hlm. 51.
[15] Istilah Modalisatour, actant dan Poros dipijam Arkoun dari seorang Semiotikus kelahiran
Lithuania, Alidas Julien Greimas. Secara intelektual, Greimas banyak dipengaruhi oleh
Ferdinand de Saussure, sehingga, bisa ditebak, teorinya tentang semiotika juga bernuansa
struktural (walaupun banyak modifikasi di sana-sini).
[16] St. Sunardi, Membaca Qur’an bersama Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed
Arkoun, Yogyakarta: LkiS, 1996, hlm. 60
[17] Untuk menghindari terjadinya kebingungan dan kerancuan mengenai alur pemikiran
Arkoun, di sini perlu diuraikan secara singkat pengertian mengenai tanda (sign), simbol
(symbol) dan mitos (myth). Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya.
Lima huruf r,u, m, a, dan h adalah tanda yang bisa menunjuk (designare) sesuatu di luar
dirinya, yaitu rumah dalam realitasnya. Simbol juga semacam tanda. Setiap simbol adalah
tanda,tetapi tidak setiap tanda simbol. Sebab, simbol mempunyai ciri khas: rujukan ganda.
Merah misalnya, tidak saja berarti merah buat darah, tapi juga untuk simbol keberanian.
Maka. Merah menjadi simbol karena memiliki rujukan ganda. Mitos adalah mirip simbol.
Mitos adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah atau cerita, yang terjadi dalam
waktu dan tempat. Mitos adalah wahana orang untuk bisa cerita tentang kehidupan
eksistensial dirinya sendiri, masyarakat, alam yang mendalam dan rumit. Karenanya,
struktur cerita mitis sangat kental dan sublim. Lihat St. sunardi, Op. Cit., hlm. 81-82.
[18] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Op.Cit., hlm. 57-60.
[19] St. Sunardi, op.cit., hlm. 87-88.
Buangan:
Untuk memahami kritik Epistemologinya, tulisan ini berupaya menjawab tiga pertanyaan mendasar tentang:1. Apakah yang dimaksud Arkoun dengan metode kritik atas “Akal Islam” dan bagaimana cara
kerjanya?2. Bagaimana kritik Strukturalis multidisipiler Arkoun terhadap Islam Ortodoks atau
Fundamentalis-Skriptual yang didominasi oleh Logosentrisme?3. Mengapa perlu ada Dekonstruksi pewahyuan atau kritik atas tekstualitas Al-Qur’an ?