Menulis di Blog dan Social Media

Post on 30-Jun-2015

169 views 1 download

description

Materi ini mengulas tentang prinsip bersocial media, terutama twitter.

Transcript of Menulis di Blog dan Social Media

Menulis di Blog dan Social Media

:: agus m. irkham

500 juta pengguna twitter. 19,5 juta jiwa (Indonesia)

850 juta pengguna FB43,06 juta jiwa (indonesia).

Postingan di blog mencapai 2 (dua) juta artikel, setara dengan isi majalah TIME selama 770 juta tahun

Pengguna telepon genggam di Indonesia berjumlah sekitar 125 juta jiwa, atau 53 persen dari total jumlah penduduk Indonesia 238 juta jiwa.

sifat yang melekat

• Realtime (seketika).• Partisipatif.• Keterbukaan.• Saling keterhubungan.

Personal.Bidan lahirnya komunitas.Desentralisasi bahasa.Talk more do more!

Pewartaan atas satu kegiatan, akan melahirkan inspirasi, potensi kebaikan, dan kegiatan yang lebih luas lagi. Dengan begitu kesempatan untuk saling mengisi, melengkapi, dan belajar menjadi demikian lebar.

apa saja yang harus ditulis

Program kegiatan. Sinopsis buku. Testimoni pengunjung.Wacana-Pemikiran tentang literasi. Quotes keberaksaraan Profil jejaring.

Direktori pelaku budaya, ekonomi, hukum, dan politik setempat. Menyusun daftar potensi sumber daya lokal—termasuk di dalamnya adalah potensi ekonomi kreatifSuccess story. Profil pegiat.

cara menulis

Gunakan paragaraf pendek.Gunakan kalimat-kalimat pendek.Gunakan kata-kata sederhana.Menggunakan rata kiri.Satu tulisan maksimal 4000 karakter.Rumus paling mudah 5W + 1 H.(what, who, where, when, why + how)

Ganti paragraf dengan enter dua kali.Memperbanyak keyword dalam tulisan yang ingin kita kejar di mesin pencari.Fokus hanya menulis pada kompentensi inti yang kita miliki.

Prinsip-Prinsip Ber-social Media

Tak congkak jika difollow, tak kecewa jika diunfollow, tetap berkebajikan ketika diblok, bersyukur saat kebaikan diretweet.

Menista dan merendahkan pribadi tweeps lain tidaklah menjatuhkannya, itu hanya akan menunjukkan betapa kerdil dan hinanya diri kita sendiri.

Menjadi kritis tidak sama dengan bersinis ria. Tidak bisa membedakan keduanya menyulitkan kita untuk memberi sumbangsih pada kebenaran.

Semua tweeps itu guru, apapun tweet-nya, bukan sebab mereka yang pasti bijaksana, tetapi sebab kitalah yang selalu belajar untuk menjadi bijaksana.

Tanggapan berlebihan, reaksi berlebihan adalah tanda bahwa ada luka di hati kita, seperti orang-orang yang kemudian salaman, justru kesakitan karena ada telusup di telapak tangannya. Maka sembuhkanlah luka-luka kita.

Jika kita merasa semua tweeps punya masalah dengan kita, maka curigalah bahwa kita inilah masalahnya, lalu kita berbenah.

Mengeluh pada banyak orang adalah cara termudah untuk mengubah gelap yang setitik menjadi pekat semesta, maka jadilah bijaksana.

Setiap tweet yang baik itu sedekah, ia lebih baik daripada pemberian emas sepenuh bumi kalau diikuti dengan ungkitan yang menyakiti.

Tweeter, facebook bisa membuat yang jauh jadi dekat, tapi jangan sampai membuat yang dekat jadi jauh.

Berceritalah tentang diri kita, tapi tidak usah banyak-banyak. Kenapa? Yang mencintai kita tidak memerlukannya, yang membenci kita tidak akan percaya.

Cinta dan benci itu tipis bedanya, dan itu terbukti di twitter, bagi orang yang mencintai dan membenci itu biasanya menyimak dengan sepenuh perhatian tweet-nya orang yang diberi maupun yang dicintainya, kemudian menanggapinya dengan serius.

Menyebut asal tweet saat meretweet kemudian copas dan inspired by adalah bagian dari penghormatan kita pada tweeps lain dan juga nurani kita.

Mungkin ada yang menyebut soal ini sok suci sok soleh, dan lain sebagainya ketika kita mericaukan hal yang baik-baik, bagaimanapun juga tetaplah berkebajikan.

Pandai itu mengagumkan, tapi mengunjuk-unjukkan bahwa kita ini pandai itu menyebalkan. Tampan itu mempesona, tapi mengunjuk-unjukkan bahwa diri kita ini tampan itu menjijikkan. Saleh itu menakjubkan, tapi mengunjuk-unjukkan bahwa diri kita ini orang saleh itu memuakkan.

“Sebuah tulisan tidak pernah berhenti menemukan dirinya. Tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang selesai atau sebuah ada

(being). Sebaliknya ia akan selalu hidup dalam proses menjadi secara terus menerus (becoming). Dan buat penulisnya merupakan proses transformasi diri yang kompleks dan

tak mengenal kata akhir.”

--Yasraf Amir Piliang--