Post on 19-Jan-2016
description
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
1
KAJIAN PERUBAHAN POLA KONSUMSI PANGAN
DI SUMATERA UTARA
E.Harso Kardhinata1, Zulhery Noer
2
1. Fakultas Pertanian UMA; z_noer@yahoo.com
2. Fakultas Pertanian USU/UMA; mamick60@yahoo.com
ABSTRAK Pengeluaran rata-rata perkapita penduduk Sumatera Utara sebulan terhadap padi-padian
mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006, namun konsumsi terhadap padi-padian
sebagai sumber kalori rumah tangga terus mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga 2005
.Tingkat golongan pengeluaran per kapita sebulan masyarakat di Sumatera Utara berpengaruh
terhadap keragaan makanan dalam memenuhi kebutuhan kalori rumah tangga per hari. Konsumsi
padi-padian mengalami penurunan pada masyarakat golongan pengeluaran per kapita. Semakin
tinggi golongan pengeluaran per kapita sebulan konsumsi dari jenis umbi-umbian semakin turun,
tetapi terjadi sebaliknya terhadap konsumsi pangan hewani, makanan dan minuman semakin
meningkat. Untuk merubah pola konsumsi masyarakat di Sumatera Utara yang masih cukup tinggi
dalam mengkonsumsi beras, diperlukan intervensi kebijakan di bidang perberasan melalui
implementasi prioritas kebijakan yang berbeda satu daerah dengan daerah lainnya.
Kata kunci : pola konsumsi, diversifikasi pangan.
PENDAHULUAN
Penduduk Indonesia pada tahun 2010
diperkirakan mencapai 236 juta jiwa. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 95%
mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan
pokoknya. Pada tahun 1998 diketahui bahwa
jumlah konsumsi beras nasional mencapai
34,6 juta ton dengan tingkat pertumbuhan 3%
per tahunnya. Padahal produksi beras dalam
negeri cenderung fluktuatif (BPS Jakarta,
2006).
Beras masih merupakan pangan
pokok bagi masyarakat yang hingga saat ini
masih belum tergantikan posisinya sebagai
sumber energi, meskipun sumber lainnya
cukup banyak. Salah satu penyebabnya karena
beras merupakan bagian dari struktur sosial
budaya yang cukup berarti bagi masyarakat.
Tingginya konsumsi beras tergambar
dari besarnya alokasi pengeluaran. Dalam
struktur pengeluaran keluarga, beras
merupakan pengeluaran yang cukup besar.
Menurut World Bank (1999) diperkirakan
70% pengeluaran keluarga miskin digunakan
untuk pangan dan sebanyak 34% pengeluaran
rumahtangga dialokasikan untuk membeli
beras sebagai makanan pokok. Dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat
pendapatan masyarakat maka diperkirakan
konsumsi beras akan terus mengalami
peningkatan
Diversifikasi pangan merupakan salah
satu upaya untuk mengatasi masalah
ketergantungan pada beras yang hendaknya
tidak hanya meningkatkan produksi berbagai
macam bahan pangan saja, namun yang
terpenting adalah merubah struktur bahan
pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian
penganekaragaman pangan bukan saja
dimaksudkan untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap beras,
tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi
makanan rakyat..
Perkembangan kebutuhan dan tingkat
konsumsi beras di Sumatera Utara selama
periode 1993-2004 berdasarkan data dari
Badan Ketahanan Provinsi Sumatera Utara,
diperoleh bahwa : penduduk Sumatera Utara
meningkat dari 10.813.400 jiwa menjadi
12.138.959 jiwa atau sebesar 1,1% per tahun,
kebutuhan beras menurun dari 165,55
kg/kapita/tahun menjadi 160 kg/kapita/tahun
atau sebesar -0,3% per tahun, kebutuhan beras
meningkat dari 1.790.158 ton menjadi
1.1942.233 ton atau sebesar 0,8% per tahun,
sedangkan produksi beras 1.844.272 ton
menjadi 2.160.670 ton atau sebesar 1,6% per
tahun era Sumatera Utara Dalam Angka,
2005).
Sejalan dengan hal tersebut, untuk
mengatasi ketergantungan terhadap beras
yang cukup tinggi yang terjadi selama ini di
Sumatera Utara, maka perlu dilakukan
berbagai upaya yang salah satunya adalah
dengan cara merubah pola konsumsi
masyarakat dengan mengurangi
ketergantungan yang tinngi terhadap beras
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
2
dan mengalihkan ke makanan yang berasal
dari non beras.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana pola konsumsi pangan (beras)
masyarakat di Sumatera Utara?
2. Jenis-jenis konsumsi pangan non beras
apa saja yang ada selama ini yang secara
ekonomis cocok untuk dikembangkan
sesuai dengan kondisi masyarakat di
Sumatera Utara dan bagaimana tingkat
ketersediaannya?
Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah
a. Untuk mengetahui pola konsumsi pangan
masyarakat di Sumatera Utara.
b. Mengidentifikasi jenis-jenis konsumsi
pangan non beras yang secara ekonomis
cocok untuk dikembangkan sesuai dengan
kondisi masyarakat di Sumatera Utara.
TINJAUAN PUSTAKA
Kelompok Bahan Pangan
Bahan pangan untuk konsumsi sehari-
hari dapat dikelompokkan menjadi 9
(sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada
masing-masing kelompok dapat berbeda pada
setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan
yang tersedia. Secara Nasional bahan pangan
dikelompokkan sebagai berikut (Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi, 1998) :
1. Padi-padian : beras, jagung, sorghum dan
terigu
2. Umbi-umbian : ubi kayu, ubi jalar,
kentang talas dan sagu.
3. Pangan hewani : ikan, daging, susu dan
telur.
4. Minyak dan lemak : minyak kelapa,
minyak sawit
5. Buah/biji berminyak : kelapa daging
6. Kacang-kacangan : kedelai, kacang
tanah, kacang hijau
7. Gula : gula pasir, gula merah.
8. Sayur dan buah : semua jenis sayuran dan
buah-buahan yang biasa dikonsumsi.
9. Lain-lain : teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-
bumbuan, makanan dan minuman jadi.
Pengembangan Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi merupakan cara
mengkombinasikan elemen konsumsi dengan
tingkat konsumsi secara keseluruhan. Dalam
hal ini konsumsi didefinisikan sebagai
penggunaan komoditi-komoditi oleh rumah
tangga (http://www.sabdaspace.org).
Terdapat tiga cara menguraikan tigkat
konsumsi, yaitu (1) berdasarkan jenis atau
macam dan jumlah barang dan jasa yang
dikonsumsi rumah tangga, (2) menurut
pengelompokan peng-gunaan komoditi dan
(3) menurut nilai (pengeluaran) dari
komoditas yang dikon-sumsi. Berdasar
kategori konvensional, barang dan jasa yang
dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke
dalam konsumsi pangan, perumahan, pakaian,
pendidikan, kesehatan dan rekreasi.
Pola Konsumsi Pangan, adalah
susunan makanan yang mencakup jenis dan
jumlah bahan makanan rata-rata perorang
perhari yang umum dikonsumsi/dimakan
penduduk dalam jangka waktu tertentu. Dari
hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
tahun 1998 telah disusun Dasar
Pengembangan Pola Konsumsi Pangan dalam
rangka penganekaragaman pangan dengan
menetapkan 2200 Kkal perkapita perhari di
tingkat konsumsi dan 2500 Kkal perkapita
perhari untuk tingkat ketersediaan sebagai
Angka Kecukupan Energi (AKE) Tingkat
Nasional. Untuk mengetahui pola konsumsi
masyarakat baik Nasional maupun Regional,
AKE tersebut perlu diterjemahkan ke dalam
satuan yang lebih dikenal oleh para perencana
pengadaan pangan atau kelompok bahan
pangan.
Pengembangan Pola Konsumsi
Pangan ditujukan pada penganekaragaman
pangan yang berasal dari bahan pangan pokok
dan semua bahan pangan lain yang
dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk,
sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan,
berbasis pada kondisi dan potensi
daerah/wilayah.
Setiap daerah mempunyai gambaran
pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan
sudah membudaya serta tercermin didalam
tatanan menu sehari-hari. Akan tetapi menu
yang tersedia biasanya kurang memenuhi
norma kecukupan gizi, sehingga pelu
ditingkatkan kualitasnya dengan tidak
merubah karakteristiknya, agar tetap dapat
diterima oleh masyarakat setempat.
METODOLOGI
Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam
Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan di
Sumatera Utara adalah penyediaan data, baik
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
3
data primer maupun data sekunder. Data
primer diperoleh dengan melakukan survei
langsung ke lapangan di 3 (tiga) kabupaten
yaitu Deli Serdang, Langkat dan Serdang
Bedagai, meliputi jenis makanan non beras
yang dominan di masing-masing daerah
penelitian. Metode pengambilan data primer
di lokasi penelitian ini dilakukan secara
deskriptif (descriptive research).
Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang bermaksud untuk membuat deskripsi
mengenai situasi-situasi atau kejadian-
kejadian. Dalam arti ini penelitian deskriptif
itu adalah akumulasi data dasar dalam cara
deskriptif semata-mata tidak perlu mencari
atau menerangkan saling hubungan, menguji
hipotesis, membuat ramalan, atau
mendapatkan makna dan implikasinya
(Suryabrata, 2004)
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian Kajian Perubahan Pola
Konsumsi Pangan di Sumatera Utara
dilakukan di 3 lokasi yaitu Kabupaten Deli
Serdang , Langkat, Serdang Bedagai.
Penelitian berlangsung dari bulan Juni hingga
Oktober 2008
Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data sekunder berasal
dari berbagai hasil penelitian, laporan-laporan
dan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan kegiatan pola konsumsi. Data ini
merupakan informasi awal yang digunakan
untuk melihat bagaimana pola konsumsi
makanan masyarakat di Kabupaten Deli
Serdang, Langkat dan Serdang Bedagai.
Selain itu, data sekunder digunakan sebagai
bahan verifikasi pada saat survei untuk
mengumpulkan data primer serta bahan
kajian.
Data sekunder yang diperlukan dalam
kegiatan ini antara lain : produksi bahan
pangan, konsumsi perkapita per bulan
berdasarkan jenis makanan dan bukan
makanan, konsumsi per kapia per bulan
berdaarkan kelompok pengeluaran, dan data
lain melalui Kabupaten Langkat Dalam
Angka 2006. Pengumpulan data sekunder
dilakukan melalui penelusuran berbagai
pustaka yang ada di berbagai instansi, seperti
Kantor Dinas Kabupaten Deli Serdang,
Langkat, dan Serdang Bedagai, Badan
Ketahanan Pangan ProvSU dan BPS
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kependudukan dan Produksi Pangan
Sumatera Utara
Produksi padi di Provinsi Sumatera
Utara dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan, kecuali dari tahun 2001, 2002
dan 2006. Peningkatan yang terjadi dari tahun
1987 hingga 2007 berfluktuasi dari 0.07%
yang terendah hingga yang tertinggi sebesar
8.58%, yang terjadi pada tahun 2007.
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Pro
duks
i (00
0 Ton)
Padi Jagung Ubi Kayu Kedelai
Gambar 1. Produksi Bahan Pangan Padi, Jagung, Ubi Kayu, dan Kedelai) di Provinsi Sumatera Utara
1987-2007 (Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2000-2008)
Kabupaten Langkat
Dari data yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Propinsi
Provinsi Sumatera Utara, produksi padi di
Kabupaten Langkat mulai tahun 1987 terus
meningkat dari 176.887 ton menjadi 360.044
ton pada tahun 1998. Mulai tahun 1998
produksi padi berfluktuasi hingga tahun 2006.
Fluktuasi produksi padi dapat tumbuh sebesar
10.29% pada tahun 2000 namun turun
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
4
kembali pada tahun 2001 sebesar -12.59%.
Dari Tahun 1987 hingga 2007 pertumbuhan
produksi padi sebesar 97% jauh lebih besar
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk
sebesar 35%. Pertumbuhan produksi padi
yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu
sebesar 20.65%.
Kabupaten Deli Serdang dan Serdang
Bedagai
Kabupaten Deli Serdang merupakan
kabupaten yang telah dimekarkan menjadi dua
kabupaten yaitu Deli Serdang dan Serdang
Bedagai. Kabupaten Deli Serdang sebelum
krisis moneter termasuk kabupaten penghasil
pangan dimana Kabupaten Deli Serdang
merupakan penghasil komoditi beras terbesar
di Sumatera Utara. Namun karena Kabupaten
Deli Serdang yang bertetangga dengan kota
Medan yang memiliki penduduk yang padat
maka banyak lahan-lahan pangan di sekitar
daerah kota Medan telah beralih fungsi
menjadi kawasan perumahan dan industri. Hal
ini dapat dilihat dari perkembangan pangan
sebelum krisis moneter tahun 1987-1997
meningkat sebesar 3,04%. Sedangkan
produksi padi sudah cenderung menurun
setelah krisis moneter. Produksi jagung di
Kabupaten Deli Serdang memiliki tren terus
meningkat pada tahun 1987 hingga tahun
2004 hingga tahun 2007 peningkatan produksi
jagung terus menerus meningkat. Peningkatan
komoditi jagung ini juga mengalami fluktuasi
dari tahun ke tahun. Selain itu Kabupaten Deli
Serdang juga penghasil komoditi ubi kayu
terbesar di Sumatera Utara. Rata produksi ubi
kayu sebelum krisis moneter meningkat
sebesar 33,52% dibandingkan setelah krisis
merosot menjadi hanya 6,76%. Produksi ubi
kayu tidak dapat terus menerus meningkat
seperti halnya dengan dengan komoditas
jagung yang tidak dapat meningkatkan
produksinya setelah krisis. Ubi Kayu
mencapai pincaknya pada tahun 2004 dan
setelah itu terus menerus menurun hingga
tahun 2007.
Pengeluaran Berdasarkan Kelompok
Makanan Sumatera Utara
Dari segi jumlah pengeluaran yang
dilakukan untuk kelompok makanan, biaya
untuk pembelian padi-padian merupakan yang
paling banyak, terutama di pedesaan baik
pada tahun 2004 maupun 2005.
290,000
300,000
310,000
320,000
330,000
340,000
350,000
360,000
370,000
2005 2006 2007
Tahun
Pro
duks
i (ton)
LangkatD.SerdangS.Bedagai
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
2005 2006 2007
Tahun
Pro
duks
i (ton)
Langkat
D.SerdangS.Bedagai
Gambar 2. Produksi Padi Tahun 2005-2007 Gambar 3. Produksi Jagung Tahun 2005-2007
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2005 2006 2007
Tahun
Pro
du
ksi
(000.
ton
)
Langkat
D.Serdang
S.Bedagai
Gambar 4. Produksi Ubi kayu Tahun 2005-2007
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
2005 2006 2007
Tahun
Pro
du
ksi
(000.t
on
)
Langkat
D.Serdang
S.Bedagai
Gambar 5. Produksi Kacang Kedelai Tahun 2005 -
2007
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
5
Sumber : SUMUT dalam Angka 2005-2007, Deli Serdang Dalam Angka, 2005-2007, Langkat Dalam Angka,
2005-2007, Serdang Bedagai Dalam Angka, 2005-2007 (data diolah)
Pengeluaran kedua terbesar adalah
tembakau dan sirih dan diikuti dengan ikan.
Di daerah perkotaan makanan dan minuman
jadi menempati urutan keempat sedangkan di
pedesaan pengeluaran untuk sayuran lebih
tinggi dari makan dan minuman jadi.Tahun
2005 pengeluaran untuk makanan dan
minuman jadi melonjak melebihi pengeluaran
untuk padi-padian, yang kemudian diikuti
ikan dan tembakau dan sirih. Di daerah
pedesaan pengeluaran terbesar masih pada
padi-padian, namun pengeluaran untuk
tembakau dan sirih melebihi ikan dan sayuran.
Dari data ini terlihat telah terjadi perubahan
yang mencolok dari tahun 2004 ke 2005,
khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat
kota cenderung lebih memilih cara hidup yang
praktis tanpa harus mengolah bahan makanan
sendiri, tetapi membeli makanan dan
minuman jadi.
Bila dilihat berdasarkan rata-rata
pengeluaran per bulan untuk bahan makanan
tahun 2006, padi-padian masih menjadi bahan
utama yang dibeli oleh masyarakat, yaitu Rp.
45.134 (15.7%), diikuti ikan, Rp.24.339
(8.47%) dan tembakau dan sirih Rp23.401
(8.14%), sayuran Rp. 14.203 (4.94%) dan
makanan dan minuman jadi Rp. 13.282
(4.62%)
Pengeluaran per kapita per bulan
masyarakat Sumatera Utara dari tahun 2004
sampai 2005 baik untuk bahan makanan
maupun bukan makanan mengalami
peningkatan yang tajam. Untuk bahan
makanan terjadi peningkatan dari Rp.
136.526- menjadi Rp. 168.655,- (sebesar
24%) sedang bahan bukan makanan naik dari
Rp. 76.060,- menjadi Rp. 118.726,- (sebesar
31%). Dari 2005 ke 2006 baik makanan
maupun bukan makanan cenderung tetap atau
sedikit menurun.
Bila dilihat dari jenis pengeluaran,
lebih dari separuh pendapatan rumah tangga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pangan yanitu sebesar Rp. 168.542,-
((58.64%) ) sedangkan untuk bukan makanan
sebesar Rp. 118.892,- (41.36%)
Dari total pengeluaran rumah tangga
dari tahun 2004 ke 2005 mengalami kenaikan
yang cukup tinggi, yaitu sebesar 35.18%,
sedangkan dari tahun 2005 ke 2006 hanya
terjadi kenaikan sebesar 0.02%.
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
6
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Makanan
Rata
-rata
pen
gelu
ara
n (
Rp
.000)
Padi-padian
Umbi-umbian
Ikan
Daging
Telur dan susu
Sayur-sayuran
Kacang-kacangan
Buah-buahan
Minyak dan Lemak
Bahan minuman
Bumbu-bumbuan
Konsumsi lainnya
Makanan dan minuman
jadiMinuman beralkohol
Tembakau dan sirih
Gambar 6. Pengeluaran rata-rata per bulan untuk kelompok makanan tahun 2006 (Sumber : Sumatera
Utara Dalam Angka, 2006)
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2004 2005 2006
Tahun
Pe
ng
elu
ara
n (
Rp
.00
0)
Makanan
Bukan Makanan
Gambar 7. Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Untuk Makanan dan Bukan Makanan Penduduk
Sumatera Utara dari Tahun 2004-2006. (Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2006)
Tingkat Konsumsi Pangan Tingkat konsumsi energi per kapita
per hari diperoleh dengan membagi tingkat
konsumsi energi rumahtangga dengan jumlah
anggota rumahtangga. Berdasarkan
rekomendasi Wdyaarya Nasional Pangan dan
Gizi V (1993) tingkat konsumsi energi yang
diperlukan oleh rata-rata penduduk Indonesia
adalah 2150 kkal/kapita/hari.
Perhitungan angka kecukupan gizi
tersebut didasarkan pada patokan berat badan
untuk setiap kelompok umur dab jenis
kelamin, sesuai dengan rujukan yang
dianjurkan oleh badan internasional, terutama
WHO dan FAO. Patokan berat badan tersebut
didasarkan pada berat badan orang-orang
yang mewakili sebagian besar penduduk
(Indonesia) yang mempunyai derajat
kesehatan optimal. Angka-angka tersebut
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
7
diperoleh melalui berbagai survei gizi, kesehatan, dan survei lainnya.
Tabel. 3 Rata-rata Konsumsi Kalori Perkapita Sehari Menurut Jenis Makanan dan Daerah Kota/Pedesaan
di Sumatera Utara (Kkal) Tahun 1999-2005
Kelompok Pangan
Kota Pedesaan Kota + Pedesaan
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005
Padi-padian 1,043.16 981.31 917.11 1,359.82 1,284.07 1,297.82 1,217.42 1,153.25 1,129.09
Umbi-umbian 29.89 32.42 23.25 85.17 97.07 69.46 60.31 69.13 48.98
Ikan 65.33 72.86 77.21 63.18 68.30 72.26 64.15 70.27 74.45
Daging 22.78 36.86 52.29 12.75 24.41 27.72 17.26 29.79 38.61
Telur dan susu 34.37 51.49 66.78 16.07 24.09 29.34 24.30 35.93 45.94
Sayur-sayuran 31.68 40.64 37.08 37.07 37.88 39.24 34.64 39.07 38.28
Kacang-kacangan 30.94 49.38 41.11 21.26 33.75 29.78 25.61 40.51 34.80
Buah-buahan 29.38 43.00 47.94 24.73 42.87 46.11 26.82 42.93 46.92
Minyak dan Lemak 247.23 315.72 293.57 243.33 278.02 286.22 245.08 294.31 289.48
Bahan minuman 109.05 135.13 116.86 96.21 110.40 103.28 101.98 121.09 109.29
Bumbu-bumbuan 9.63 16.81 14.32 7.81 11.33 12.51 8.63 13.70 13.31
Konsumsi lainnya 22.57 35.82 34.68 13.80 18.88 27.00 17.74 26.20 30.41 Makanan dan minuman jadi 148.86 170.95 233.52 91.07 71.56 119.15 117.06 114.51 169.84
Minuman beralkohol 0.03 0.19 0.00 0.08 0.10 - 0.06 0.14 -
Tembakau dan sirih 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah Makanan 1,824.90 1,982.58 1,955.72 2,072.35 2,102.73 2,159.89 1,961.06 2,050.83 2,069.40
Sumber : BPS Jakarta, tahun 2006
Konsumsi Pangan Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Sumut
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
A B C D E F G H
Pe
ng
elu
ara
n (
Rp
.00
0)
1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Ikan4. Daging 5. Telur & Susu 6. Sayur-ayuran7. Kacang-kacangan 8. Buah-buahan 9. Minyak dan Lemak10.Bahan minuman 11.Bumbu-bumbuan 12.Konsumsi lainnya13.Makanan & Minuman Jadi 14.Tembakau dan Sirih
Keterangan : Kelompok A: Rp.500.000,-.
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
8
1. Padi-padian
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
A B C D E F G H
Kelompok Pendapatan
kk
al
2. Umbi-umbian
0
50
100
150
200
250
300
A B C D E F G H
Kelompok Pendapatan
kk
al
4. Daging
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E F G H
Kelompok Pendapatan
kk
al
5. Telur & Susu
0
20
40
60
80
100
120
140
A B C D E F G H
Kelompok Pendapatan
kk
al
13.Makanan & Minuman Jadi
0
50
100
150
200
250
300
350
400
A B C D E F G H
Kelompok Pendapatan
kk
al
6. Sayur-ayuran
0
10
20
30
40
50
60
A B C D E F G H
Kelompok Pendapatan
kk
al
Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2006, BPS Jakarta 2006 (diolah)
Peningkatan konsumsi pangan lokal
Kabupaten Deli Serdang, bila dilihat
dari produksi bahan pangan, merupakan
daerah penghasil jagung. Produksi jagung di
Kabupaten Deli Serdang tahun 2007 mencapai
75.112,57 ton dengan konsumsi sebesar
99.419,81 ton, perimbangan sebesar -
24.307,25 ton. Demikian halnya di Kabupaten
Langkat, dengan produksi jagung sebesar
46.120,45 ton, konsumsi sebesar 60.965,59
ton perimbangan sebesar -14.845,13 ton
(Badan Ketahanan Pangan SUMUT, 2008).
Ini menunjukkan bahwa baik Kabupaten Deli
Serdang maupun Langkat masih
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
9
membutuhkan pasokan jagung guna
memenuhi kebutuhan yang begitu besar. Di
sisi lain produksi beras tahun 2007 di
Kabupaten Deli Serdang mencapai 223.298,87
ton, konsumsi 222.586,53 ton sehingga
surplus sebesar 712,35 ton dan Kabupaten
Langkat produksi 206.019,99 ton, konsumsi
136.493,10 ton, sehingga mengalami surplus
sebesar 69.526,90 ton. Untuk itu kebijakan
pengembangan komoditi jagung di masa
menadatang sangat diperlukan untuk
memenuhi kekurangan sekaligus mengurangi
ketergantungan terhadap beras.
Pengembangan jenis-jenis makanan
berasal dari jagung sebagai konsumsi pangan
lokal perlu terus ditingkatkan dan
dimasyarakatkan. Pemasyarakatan pangan
lokal dilakukan melalui penerangan dengan
memanfaatkan berbagai media, baik media
cetak maupun elektronik serta penyuluhan
dengan melakukan revitalisasi sistem LAKU
(Latihan dan Kunjungan). Untuk
meningkatkan motivasi masyarakat, dapat
dilakukan pameran, festival dan lomba.
Selain sebagai penghasil jagung,
Kabupaten Deli Serdang juga banyak
menghasilkan ubi kayu, meski produksinya
masih di bawah Kabupaten Serdang Bedagai.
Keragaan makanan dengan bahan baku ubi
kayu tidak jauh berbeda antara kedua
kabupaten ini
Kabupaten Serdang Bedagai selain padi
banyak menghasilkan ubi kayu. Sebagai
sentra ubi kayu sudah selayaknya Kabupaten
Serdang Bedagai memanfaatkan pengolahan
ubi kayu menjadi berbagai jenis makanan
alternatif pengganti beras. Berbagai produk
makanan dari ubi kayu telah diproduksi dan
dipasarkan di Serdang Bedagai. Jenis-jenis
makanan yang berasal dari bahan ubi kayu
yang ditemukan di pasar antara lain adalah
keripik singkong, getuk lindri, tela-tela, opak,
kelanting, onde-onde, lepat ubi, tape ubi, ubi
goreng, dan lain-lain.
Disamping makanan dari bahan baku
ubi, kabupaten Serdang Bedagai juga terkenal
dengan berbagai jenis makanan non beras
yang dipasarkan sepanjang jalan provinsi
dengan penyediaan lokasi penjualan yang
strategis dan tertata rapi.
Diversifikasi Makanan Dari pernelitian yang dilakukan di
Sumatera Utara, khususnya di tiga kabupaten
yaitu Deli Serdang, Serdang Bedagai dan
Langkat, diketahui telah terjadi pergeseran
pola konsumsi masyarakat, yaitu dengan
menurunnya konsumsi beras per kapita per
bulan. Dalam memenuhi kebutuhan
karbohidrat, masyarakat tidak hanya
bergantung pada beras, namun telah
menggantinya dengan bahan lain yang telah
diolah menjadi makanan ringan maupun
makanan berat. Jenis-jenis makanan non
beras yang dikonsumsi masyarakat di tiga
kabupaten tersebut umumnya tidak berbeda
jauh dari segi jenis maupun bahan dasarnya.
Namun yang perlu diperhatikan adalah,
makanan non beras yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat adalah
bersumber dari bahan gandum, seperti mie,
dan berbagai jenis roti, bukan dari bahan
makanan yang dihasilkan dari daerah tersebut
seperti jagung dan ubi.
Perubahan pola konsumsi masyarakat
khususnya di perkotaan umumya adalah pada
sarapan pagi. Sebagain besar masyarakat
sudah mengganti nasi dengan makanan lain
seperi roti, mie instan, kue, dan lain-lain.
Makan siang pada umumnya masyarakat
mengkonsumsi nasi, sedangkan pada malam
hari jenis makanan yang dikonsumsi kembali
mengalami variasi.
Beberapa jenis makanan non beras
yang dikonsumsi maysarakat yang bersumber
dari gandum antara lain :
1. Mie ; yang disajikan dalam berbagai jenis masakan seperti ; mie instan, mie kuning
(mie goreng, mie rebus, mie bakso), mie
tiaw, mie hun (me hun goreng, mie hun
bakso), mie pansit, mie bakso dan lain-lain.
2. Roti : yang terdiri dari roti tawar yang dapat dimakan dengan berbagai sajian
seperti ditambah selai, coklat, keju, atau
disajikan dalam bentuk roti panggang lain-
lain. Roti manis selain dapat langsung
dimakan juga terdapat dalam bentuk roti
panggang dan burger.
3. Martabak : tersedia dalam bentuk martabak manis dengan berbagai variasi rasa dan
campuran, juga martabak telur dengan
kombinasi daging sapi atau ayam.
4. Pizza dan aneka roti yang umum terdapat di kota-kota besar
5. Aneka kue ; seperti lapis legit, bika ambon, aneka jenis bolu (bolu kukus, bolu gulung),
apem, risol, dan lain-lain.
Jenis-jenis makanan non beras yang
terbuat dari bahan selain gandum juga sudah
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
10
mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat,
antara lain dalah ;
1. Aneka Roti : (bolu pisang, bolu ubi) 2. Aneka kue (kue jagung, apem ubi, kroket
kentang, kroket tahu, prekedel jagung,
onde-onde ubi, ondol-ondol sagu, onde-
onde ketan, lemper, lepat ubi, lepat pisang,
getuk ubi, getuk pisang
3. Makanan gorengan (ubi kayu, ubi jalar, pisang, sukun, talas, tahu, tempe, tape)
4. Makanan ringan; aneka keripik (ubi kayu, ubi jalar, pisang, kentang, tempe, sukun,
talas), opak ubi, jagung goreng, dan lain-
lain.
Kecenderungan masyarakat baik di
Sumatera Utara maupun di Indonesia pada
umumnya mulai mengkonsumsi makanan non
beras merupakan suatu kemajuan dalam
program diversifikasi makanan, namun perlu
diwaspadai karena dari sebagian besar
makanan non beras, gandum merupakan
bahan yang sangat dominan dikonsumsi,
bukan bahan makanan yang bersumber dari
potensi daerah.
Saat ini penduduk Indonesia sudah
terlanjur ketergantungan dengan beras serta
terigu untuk bahan roti, mi, dan kue atau
kedelai untuk tahu dan tempe. Kebiasaan
mengandalkan konsumsi suatu jenis makanan
tertentu perlu diperbaiki. Indonesia
sebenarnya tidak ada budaya makan mie. Tapi
berbagai macam kampanye mi instan dan
lainnya di berbagai media masa menyebabkan
masyarakat semakin tergantung pada terigu.
Karena itu, apa yang harus dilakukan saat ini
adalah jangan sampai masyarakat Indonesia
kehilangan momentum emas. Penduduk
Indonesia harus pindah ke konsumsi pangan
lainnya dan tingkatkan produksi potensi
pangan di daerah seperti jagung, ubi kayu, ubi
jalar, sagu, sukun, dan kacang-kacangan
sehingga tidak bergantung pada impor.
Kesimpulan 1. Pola konsumsi dan pengeluaran rata-rata
rumah tangga di Sumatera Utara memiliki
struktur yang searah dengan pola yang
terjadi secara nasional. Beberapa ciri yang
serupa adalah pangsa pengeluaran pangan
masih lebih besar dibanding pangsa
peneluaran non-pangan. Tingkat konsumsi
pangan dari jenis padi-padian rata-rata
rumahtangga di pedesaan lebih tinggi
dibanding di kota, namun untuk konsumsi
sumber protein (hewani) terjadi hal
sebaliknya.
2. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan terhadap padi-padian mengalami
peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006,
namun konsumsi terhadap padi-padian
sebagai sumber kalori rumahtangga terus
mengalami penurunan dari tahun 1999
hingga 2005.
3. Golongan pengeluaran per kapita sebulan berpengaruh terhadap keragaan makanan
dalam memenuhi kebutuhan kalori
rumahtangga per hari. Penurunan konsumsi
padi-padian mengalami penurunan pada
masyarakat golongan pengeluaran per
kapita sebulan lebih tinggi dari Rp.
300.000,-.
4. Semakin tinggi olongan pengeluaran per kapita sebulan, konsumsi dari jenis umbi-
umbian semakin turun, tetapi terhadap
konsumsi pangan hewani, makanan dan
minuman terjadi sebaliknya.
5. Dari segi produksi dan kebutuhannya Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten
Langkat merupakan daerah yang potensial
bagi pengembangan produksi jagung
sebagai alternatif mengatasi ketergantungan
yang tinggi berhadap beras.
6. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil ubi
kayu yang dapat digunakan sebagai sumber
bahan makanan non beras.
Rekomendasi
1. Besarnya peranan padi-padian (beras, jagung) dalam pola konsumsi rumahtangga
di Sumatera Utara, baik dalam alokasi
pengeluaran/anggaran rumahtangga maupun
kontribusinya terhadap konsumsi energi
mengindi-kasikan bahwa intervensi
kebijakan di bidang perberasan perlu
ditingkatkan. Namun demikian dalam
implemen-tasinya diperlukan prioritas
kebijakan yang berbeda antar wilayah.
2. Konsumsi energi dari bahan makanan padi-padian (beras) sudah menun-jukkan adanya
penurunan dari tahun 1999 ke tahun 2005,
khususnya bagi masyarakat perkotaan,
namun untuk mengurangi ketergantungan
yang tinggi terhadap beras masih perlu
dilakukan sosialisasi dan kampanye
makanan non-beras, khususnya di daerah
pedesaan.
3. Konsumsi bahan makanan non beras perlu diarahkan sesuai dengan potensi lokal
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
11
seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar melalui
berbagai program/ kegiatan baik berupa
penyuluhan, kampanye dan lain-lain
sehingga dapat mengurang ketergantungan
terhadap impor gandum dari negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Jakarta, 2006
Deli Serdang Dalam Angka, 2007. BPS
Kabupaten Deli Serdang.
http://www.sabdaspace.org. Pola Konsumsi
Rumah Tangga
Langkat Dalam Angka. 2007. BPS Kabupaten
Langkat
Serdang Bedagai Dalam Angka. 2007. BPS
Kabupaten Serdang Bedagai
Sumatera Utara Dalam Angka 2000. Badan
Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara
dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi Sumatera Utara.
__________. 2003. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi Sumatera Utara.
__________. 2005. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi Sumatera Utara.
__________. 2007. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi Sumatera Utara.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 1998.
Jakarta (Prosiding)
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
12
PENANGKAPAN KONIDIUM Cercospora nicotianae DENGAN ALAT
PENANGKAP SPORA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU CERUTU
Ahmad Rafiqi Tantawi
1) dan Lisnawita
2)
1). Fakultas Pertanian Universitas Medan Area
2). Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU
ABSTRACT
Trapping of conidium of Cercospora nicotianae with spore trap on tobacco plantation.
Tobacco is an importing commodity which contributes to the farmer and country. One of
the limiting factors in tobacco production is frogeye leaf spot, a fungal disease caused by
C. nicotianae. An experiment was conducted to determine the effectiveness of Kiyosawa
type of wind vane rotary spore trap for trapping of Cercospora conidia. The experiment
as well as done to determine the relationship between rainfall to conidial dispersal on
tobacco. The experiment carried out at Mycology Laboratory, Study Program of Plant
Pest and Disease, Faculty of Agriculture, UGM and two tobacco plantations in Jember
and Klaten from September to December 2001. The results showed that conidia was
dispersed as a day spore and can be trapped by Kiyosawa type of wind vane rotary spore
trap. Conidia were dispersed in dry, and moist, as well as wet months. During the dry and
moist month, conidia was trapped since 06.00 a.m. the trapping reached its peak at 02.00-
06.00 p.m., while in wet month at 10.00 a.m. to 14.00 p.m.
Keywords : Spore trap, Cercospora nicotianae, tobacco, spore trap
PENDAHULUAN
Tembakau merupakan tanaman
ekspor yang memberikan pendapatan bagi
petani dan negara (Thurston, 1984), dan
merupakan instrumen yang sangat penting
dalam kebijakan moneter serta ekonomi
banyak negara (Akehurst, 1981). Di
Indonesia, selama lebih satu abad,
tembakau cerutu telah diproduksi di tiga
pusat produksi, yakni tembakau deli (di
sekitar Medan, Sumatera Utara),
tembakau vorstenland di sekitar Klaten di
bekas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta
(Vorstenlanden) di Jawa Tengah, dan
tembakau besuki (di sekitar Jember) Jawa
Timur (Anonim, 1975). Komoditas ini
memegang peranan penting dalam
perekonomian nasional, meliputi sumber
pendapatan petani, penyerapan tenaga
kerja, penunjang industri rokok, dan
sumber devisa negara (Nurindah et al.,
1998).
Dalam kaitannya dengan ekspor,
dari dua PT Perkebunan Negara (PTPN)
penghasil tembakau cerutu, PTPN II dan
PTPN X, ekspor tembakau cerutu
Indonesia sejak tahun 1995 senantiasa
meningkat yakni 1900 ton pada tahun
1995 menjadi 2851, 5 ton pada tahun 1999
sehingga dapat memenuhi 46% dari
seluruh kebutuhan tembakau dunia
(Hartana, 1999; Anonim, 2000b; PTPN X,
2000). Penelitian ini mencoba
mendapatkan informasi efektivitas alat
penangkap spora melalui penangkapan
konidium Cercospora nicotianae dengan
alat penangkap spora dan berupaya
mengungkap karakteristik aerobiologi
jamur penyebab penyakit patik tembakau
yang merupakan penyakit pentin pada
tembakau cerutu. Waktu penelitian untuk
perkembangan penyakit mencakup bulan
kering, lembap, dan basah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di
laboratorium dan di lapangan. Penelitian
laboratorium dilakukan di Laboratorium
Mikologi Program Studi Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada, sedangkan
penelitian lapangan di kebun PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) X Jember
dan Klaten selama 4 bulan, dari bulan
September - Desember 2001, masing-
masing 2 bulan di Jember dan Klaten.
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
13
Penangkapan spora di Jember mewakili
untuk penangkapan di pertanaman
tembakau pada bulan kering dan lembab,
sedangkan di Klaten untuk mewakili
penangkapan pada bulan basah.
Kajian pemencaran konidium
dilakukan dengan penangkapan konidium
di sekitar pertanaman tembakau (Norse,
1971; Fry, 1982). Penangkapan konidium
dilakukan baik di Jember maupun di
Klaten dengan meletakkan 5 buah alat
penangkap spora rotary spore trap tipe
Kiyosawa. Pada alat penangkap spora
dipasang gelas objek yang salah satu
permukaannya dioles dengan vaselin
(Reynolds & Francl, 1997). Peletakan alat
penangkap spora mengikuti diagonal
(Gambar 1) pada lahan tanaman berumur
4 minggu. Konidium ditangkap setiap 4
jam dalam waktu 10 hari setiap bulan
selama 4 bulan. Dari hasil penangkapan
konidium dan pengamatan cuaca
diharapkan dapat diketahui waktu
pemencaran konidium harian terbanyak.
Penentuan lokasi untuk peletakan
alat penangkap spora adalah umur
tanaman seragam dan masih
memungkinkan untuk dilakukan
penelitian selama 2 bulan, luas hamparan
lebih dari 5 ha., areal pertanaman rata,
tidak terhalang oleh pepohonan yang
tinggi, sehingga memungkinkan angin
bergerak leluasa, dan ditemukan penyakit
patik. Lokasi-lokasi yang dipilih adalah
lokasi yang sebelumnya endemik penyakit
patik.
Gambar 1. Peletakan alat penangkap spora di
lapangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan pemencaran konidium
dilakukan dengan penangkapan spora
selama 4 bulan dengan interval
pengamatan setiap 4 jam. Pengamatan
pada tembakau besuki NO yang dilakukan
pada bulan kering (September 2001)
bertepatan dengan fase prapanen
tembakau, sedangkan fase panen pada
bulan Oktober 2001 adalah bulan lembap.
Pada tembakau vorstenland, pengamatan
yang dilakukan pada bulan November dan
Desember 2001 adalah musim penghujan
dan termasuk ke dalam kategori bulan
basah. Pengamatan pada tembakau besuki
NO yang dilakukan pada bulan kering
(September 2001) bertepatan dengan fase
prapanen tembakau, sedangkan fase panen
pada bulan Oktober 2001 adalah bulan
lembap. Pada tembakau vorstenland,
pengamatan yang dilakukan pada bulan
November dan Desember 2001 adalah
musim penghujan dan termasuk ke dalam
kategori bulan basah. Pada bulan basah
merupakan hasil pengamatan selama satu
musim tanam tembakau vorstenland di
Klaten dari fase prapanen sampai selesai
panen.
Untuk memastikan bahwa konidium
yang tertangkap adalah konidium C.
nicotianae, dilakukan perbandingan antara
konidium hasil tangkapan dan konidium
hasil korekan dari daun tembakau yang
terserang patik. Seperti dikemukakan
Hino & Takeshi (1978); Holliday (1980);
dan Vermeulen (1999) ukuran konidium
C. nicotianae sangat beragam, yaitu 25-
370x3,4-6,1m. Terbukti bahwa konidium hasil korekan dari daun yang sakit dan
konidium hasil penangkapan
menunjukkan bentuk yang sama (Gambar
2). Demikian juga dengan ukuran
konidium, baik hasil korekan dari daun
yang sakit maupun hasil penangkapan
menunjukkan rentang ukuran yang berada
dalam rentang yang telah diinformasikan
sebelumnya. Konidium C. nicotianae
yang dikorek dari daun yang sakit
menunjukkan ukuran 60-242,5x2,5-5m
/
/
\
\
\
\
/
/
/
/
/
/
\
\
\
\
Areal
tembaka
u
(Tobacc
o area) Tanama
n sampel
(Tested
plant)
Alat
penangkap
spora
(spore trap)
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
14
dan konidium hasil tangkapan 85-
195x2,5-5m
Tabel 1. Konidium yang tertangkap pada bulan kering, lembab, dan basah
Jam
Bulan kering Bulan lembab Bulan basah
Rerata
jumlah
konidium
tertangkap
Curah
hujan
Rerata
jumlah
konidium
tertangkap
Curah
hujan
Rerata
jumlah
konidium
tertangkap
Curah
hujan
06.00-18.00 0,2 0,0 12,6 TTU 0 0,0
18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 0,0
06.00-18.00 0 0,0 18,8 0,0 2 0,0
18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 0,0
06.00-18.00 0,6 0,0 11,8 0,0 1,2 0,0
18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 0,0
06.00-18.00 0,4 0,0 9,4 0,0 8,6 0,0
18.00-06.00 0 0,0 0 1,0 0 TTU
06.00-18.00 0,8 0,0 6,6 0,0 29,4 119,2
18.00-06.00 0 0,0 0 12,6 0 0,0
06.00-18.00 1,4 0,0 1,4 0,0 19 12,5
18.00-06.00 0 0,0 0 31,0 0 TTU
06.00-18.00 0,2 0,0 5 0,0 4 24,5
18.00-06.00 0 0,0 0 10,6 0 TTU
06.00-18.00 2,4 0,0 8,4 0,0 1 0,0
18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 22,9
06.00-18.00 0 0,0 0 0,0 6 11,4
18.00-06.00 0 0,0 0 11,5 0 0,0
06.00-18.00 1,4 0,0 8,4 0,0 0,8 23,0
18.00-06.00 0 0,0 0 0,5 0 2,6
06.00-18.00 1,2 4,5
18.00-06.00 0,4 17,5
06.00-18.00 1,6 TTU
18.00-06.00 0 2,6
06.00-18.00 7 TTU
18.00-06.00 0 3,0
06.00-18.00 153,4 0,6
18.00-06.00 0 1,0
06.00-18.00 1,8 3,3
18.00-06.00 0 3,4
06.00-18.00 1,8 0,0
18.00-06.00 0 0,0
06.00-18.00 9 0,0
18.00-06.00 0 TTU
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
15
Hasil penangkapan konidium C.
nicotianae menunjukkan bahwa konidium
hanya tertangkap pada siang hari, yaitu
pada alat penangkap spora yang dipasang
pada pukul 06.0010.00, 10.0014.00, dan 14.0018.00. Konidium mulai tertangkap pada pagi hari pukul 06.00 dan mencapai
puncak pada siang hari pukul 14.00-18.00
di Jember, dan pukul 10.00-14.00 di
Klaten. Perbedaan waktu terjadinya
puncak pemencaran konidium di Jember
dan Klaten disebabkan oleh perbedaan
keadaan cuaca selama pertanaman. Di
Jember, pertanaman tembakau besuki NO
yang diamati adalah pertanaman seri II
dari 3 seri yang ditanam oleh PTPN X
Jember. Pertanaman seri kedua ini
berlangsung pada akhir musim kemarau
sampai permulaan musim penghujan,
sehingga keadaan cuaca pada fase
prapanen berlangsung pada bulan kering
yang diikuti oleh bulan lembap pada fase
panen. Sebaliknya, di Klaten tembakau
cerutu vorstenland yang diamati dalam
penelitian ini merupakan pertanaman seri
II dari dua seri pertanaman tembakau yang
ditanam oleh PTPN X Klaten.
Penanaman tembakau seri II sudah
memasuki musim penghujan sehingga
seluruh fase pertanaman, baik fase
prapanen maupun fase panen, berada pada
bulan basah menurut klasifikasi iklim
Schmidt dan Ferguson (1951, cit
Wisnubroto, 1999). Istilah bulan kering dan bulan basah pada musim tanam tembakau sebelumnya pernah digunakan
oleh Hartana pada tahun 1980 (Hartana,
1980). Pembagian ini dianggap lebih tepat
karena kajian epidemiologi penyakit
tumbuhan bersifat holistik dan tidak
parsial. Penggunaan nama daerah dalam
hubungannya dengan lokasi tanaman
hanya dilihat sebagai lokasi admisnistratif.
Agroekosistem kedua tempat
tersebut dari segi agrometeorologis
hampir sama, sedangkan perbedaan
varietas tidak mempengaruhi hasil analisis
karena kedua varietas yang digunakan
tersebut rentan terhadap penyakit patik.
Di Jember pertanaman tembakau terjadi
pada akhir musim kemarau sampai
permulaan musim penghujan, sehingga
suasana bulan kering pada fase prapanen
dengan kelembapan udara yang rendah,
lebih berperan dalam pemencaran
konidium di Jember.
Curah hujan juga menunjukkan
korelasi negatif. Meskipun peranannya
kecil yakni -0,103 namun koefisien
korelasi tersebut dapat memberi gambaran
bahwa semakin tinggi curah hujan
semakin sedikit jumlah konidium yang
dipencarkan (gambar 4). Dalam hasil
analisis, peranan ini tampak lemah
Gambar 2. Konidium Cercospora (A) C. nicotianae dikorek dari daun tembakau yang sakit,
(B) C. nicotianae tertangkap pada gelas objek yang dipasang pada alat penangkap
spora.
A B
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
16
disebabkan oleh terbaginya data
kelembapan pada bulan Oktober ke bulan
kering pada bulan September, sehingga
korelasinya tampak melemah. Terbaginya
kelembapan bulan Oktober ke bulan
September, memberi gambaran bahwa ada
perbedaan keadaan kelembapan yang
ekstrim pada kedua bulan tersebut.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
25 30 35 53 58 63 68
Umur tanaman, hari (plant age, days)
Kele
mbapan u
dara
,%
(Rela
tive h
um
idity, %
)
0
5
10
15
20
25
30
35
Cura
h h
uja
n, m
m (
rain
fall,
mm
), J
um
lah k
onid
ium
(num
ber
of conid
ia)
RH Curah hujan Jlh. Konidium
Gambar 3. Perbedaan curah hujan dan kelembapan selama penelitian bulan September dan Oktober
pada pertanaman seri II tembakau besuki di Jember musim tanam tembakau 2001
Y = -0.0929x +
0.8038
R2 = 0.3625
0,0
1,0
2,0
3,0
0,0 5,0 10,0
Lama penyinaran matahari, jam
(Sun shine duration, hr)
Ju
mla
h k
on
idiu
m
(Nu
mb
er
of
co
nid
ia)
Y = 0.031x + 0.4742
R2 = 0.0083
0
50
100
150
200
0 50 100 150 200
Curah hujan, mm (Rainfall, mm)
Ju
mla
h k
on
idiu
m
(N
um
be
r o
f co
nid
ia)
Gambar 4. Kurva estimasi pengaruh unsur-unsur cuaca terhadap pemencaran konidium pada bulan
kering dan lembab di Jember
Tertangkapnya konidium hanya
siang hari menunjukkan bahwa konidium
C. nicotianae adalah day spore. Menurut
Su et al. (1999), pada banyak patogen
terbawa udara, kelembapan udara dan
cahaya merupakan dua faktor penting
dalam pembebasan spora. Akan tetapi Su
et al. (1999), tidak menjelaskan dalam
keadaan kering, lembap atau basah
pembebasan itu terjadi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kelembapan tampak
hanya penting pada pertanaman tembakau
NO di Jember yang ditanam pada akhir
musim kemarau dan dipanen pada bulan
Sept.
Okt.
(Oct.)
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
17
lembap awal musim penghujan.
Sebaliknya, pada pertanaman seri II di
Klaten yang ditanam pada musim
penghujan yang basah, peranannya tidak
tampak menunjukkan hubungan yang
berarti.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Konidium C. nicotianae dapat ditangkap dengan alat penangkap
spora tipe Kiyosawa
2. Konidium C. nicotianae bersifat day spore yang hanya tertangkap pada
siang hari.
3. Curah hujan juga menunjukkan korelasi negatif, semakin tinggi curah
hujan semakin sedikit jumlah
konidium yang dipencarkan
DAFTAR PUSTAKA
Akehurst, B.C. 1981. Tobacco. Tropical
Agriculture Series, Longman,
London. 764 hlm.
Anonim, 1975. Virginia flue-cured
tobacco is now facing a bright future
in Indonesia. Tobacco, July 25,
1975.
----------. 2000b. Prospect of Agribusiness
Investment in Indonesia.
http://www.harvest-
international.com/perspec/jan2k1_pr
ospect.htm.
Fry, E.W. 1982. Principles of Plant
Disease Management. Academic
Press, New York. 378 hlm.
Hartana, 1999. Fermentasi dan Kaitannya
dengan Kualitas Tembakau Cerutu.
Makalah disampaikan pada diskusi
di PTP Nusantara II (Persero),
Medan.
-----------, 1980. Studi mengenai
Karakteristik Curah Hujan di
Daerah Tembakau Besuki
Khususnya di Jember dan
Kaliwining. Menara Perkebunan 48
(4): 99-108
Hino, T. dan H. Takeshi. 1978. Some
pathogens of Cercosporiosis
Collected in Brazil. Tech. Bull.
TARC 11 : 1-130
Holliday, P. 1980. Fungus Diseases of
Tropical Crops. Cambridge
University Press. Cambridge. 607
hlm.
Norse, D. 1971. Lesion and Epidemic
Development of Alternaria longipes
(Ell. & Ev.) Mason on Tobacco.
Ann. Appl. Biol. 69 : 105-123
Nurindah, A.A. Agra Gothama, dan
Soebandrijo. 1998. Kumpulan
Makalah Penyegaran (Refreshing)
Peneliti dan Praktisi Tembakau
Lingkup PTP Nusantara II & X di
Jember. Asosiasi Penelitian
Perkebunan Indonesia. 10 hlm.
PTPN X, 2000.
http://www.kpbptpn.co.id/PTPN/E_
ptpn10.html.
Reynolds K.L.dan Francl, L.J. 1997.
Quantification of Populations of
Airborne Pathogens. Dalam Francl,
L.J. dan Neber, D.A. (eds.).
Exercises in Plant Disease
Epidemiology. APS Press. St. Paul,
Minnesota
Su, H., A.H.C. van Bruggen, dan K.V.
Subbarrao. 1999. Spore release of
Bremia lactucae on Lettuce Is
Affected by Timing of Light
Initiation and Decrease in Relative
Humidity. Phytopathology 90: 67-
71.
Thurston, H.D. 1984. Tropical Plant
Diseases. The APS, Minnesota, 208
hlm.
Vermeulen, H. 1999. Cercospora
nicotianae on Deli Tobacco.
Seminar Sehari Balai Penelitian
Tembakau Deli. PTPN II, Medan,
11 hlm.
Wisnubroto, S. 1999. Meteorologi
Pertanian Indonesia. Mitra Gama
Widya. 143 hlm.
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
18
PREFERENSI SPODOPTERA Litura F.
TERHADAP BEBERAPA PAKAN
Azwana1 dan Adikorelsi Tambunan
2
1. Fakultas Pertanian Universitas Medan Area; azwananst@yahoo.co.id 2. Stasiun Karantina Pertanian Klas I Banda Aceh
ABSTRAK Penelitian dilaksanakan pada bulan MeiJuli 2008 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Medan Area dengan rancangan acak lengkap non faktorial. Tujuan penelitian untuk
mengetahui preferensi larva Spodoptera litura F. terhadap beberapa pakan yang diuji. Pakan yang
diuji yaitu daun sawi, daun kubis dan daun kedelai dengan jumlah ulangan 6. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa Spodoptera litura lebih menyukai daun kedelai (D3) sebagai sumber
makanannya dibandingkan dengan daun kubis (D1) dan daun sawi (D2). Persentase kehilangan berat
makanan pada daun kedelai sebesar 54,00% disusul daun sawi sebesar 44,33% dan yang paling kecil
dijumpai pada daun kubis sebesar 42,67%. Persentase mortalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan
D1 (daun kubis) sebesar 56,67% (umur 8 hsi), sedangkan yang paling kecil dijumpai pada perlakuan
D3 (daun kedelai) sebesar 33,33% (umur 8 hsi). Hasil penelitian memberikan informasi bahwa
preferensi larva Spodoptera litura lebih besar terhadap daun kedelai dibandingkan dua daun yang
diuji lainnya.
Kata kunci : preferensi, larva, mortalitas, Spodoptera litura.
PENDAHULUAN
Ulat grayak (Spodoptera litura F.) dari
ordo Lepidoptera dan famili Noctuidae
merupakan salah satu hama penting pada
tanaman kedelai, kubis dan sawi. Kehilangan
hasil akibat serangan hama tersebut dapat
mencapai 85%, bahkan dapat menyebabkan
kegagalan panen (puso). Hama ini memiliki
sifat polyfag sehingga ia dapat memakan
berbagai jenis tanaman demi kelangsungan
hidupnya (Kalshoven, 1981; Noach, et al.,
1983).
Siklus hidup S. litura berlangsung
selama 1 bulan dengan masa telur 3 5 hari, masa larva 15 17 hari, masa pupa 7 10 hari. Imago dapat hidup 1 13 hari. Telur diletakkan berkelompok di bawah permukaan
daun dan ditutupi oleh bulu-bulu halus
berwarna coklat kemerahan dengan produksi
telur mencapai 3000 butir per induk betina,
tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata
350 butir per kelompok. Ngengat betina
meletakkan telur pada umur 2 6 hari. Larva yang baru menetas berwarna
kehijauan dengan sisi samping hitam
kecoklatan. Larva instar 1 berwarna hijau
bening, panjang tubuh 2,00 2,74 mm. Larva instar 1 hidup berkelompok dan
memakan bagian daun dengan meninggalkan
tulang-tulang daun. Larva instar 2 berwarna
hijau, panjangnya 3,75 10 mm dan bulu-bulu halus sudah tidak terlihat lagi. Larva
instar 3 panjangnya mencapai 8,00 15,00 mm, pada bagian kiri dan kanan tubuhnya
terdapat garis-garis zig-zag berwarna hitam
putih dan bulatan-bulatan hitam sepanjang
tubuhnya. Larva instar 4, 5 dan 6 agaknya
sukar dibedakan, panjang tubuh 13,00 50,00 mm untuk instar 6 periode ulat pada instar 6
berlangsung selama 2,5 hari. Pada bagian kiri
dan kanan tubuhnya terdapat gambar atau pola
yang terbentuk setengah lingkaran.
Mulai instar 4 warna bervariasi yaitu
hitam, hijau keputihan, hijau kekuningan, dan
hijau keunguan. Pupa berwarna coklat tua,
panjang 12,50 17,50 mm. Lebar 5,00 7,00 mm. Pupa berbentuk bulat lonjong dan
diletakkan dalam tanah di dekat permukaan +
2 cm. Panjang ngengat betina 1,4 cm sedang
jantan 1,7 cm.
Panjang rentang sayap S. litura berkisar
12 cm, ngengat hidup sampai 13 hari dengan
rata-rata 9 hari. Sayap depan berwarna coklat
atau kepekatan, sayap belakang berwarna
keputihan dengan noda hitam (Kalshoven,
1981, AAK, 1991, Rukmana, 1991; Noach, et
al., 1983).
S. litura menyerang tanaman pada
stadia larva. Larva merusak dan memakan
daun, sehingga daun yang diserang menjadi
berlobang-lobang dengan bentuk yang tak
teratur. Tanaman yang terserang parah
mengakibatkan produksinya menurun, dan
kwalitasnya rendah. Serangan hebat terjadi di
musim kemarau.
Sampai saat ini pengendalian S. litura
masih mengandalkan insektisida kimia, dan
cara ini berdampak buruk terhadap fungsi dan
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
19
kelangsungan hidup musuh alami seperti
parasitoid dan predator. Selain itu penggunaan
insektisida dapat menimbulkan masalah
resistensi maupun resurjensi terhadap ulat
grayak maupun hama lainnya.
Oleh karena itu digunakan cara
pengendalian alternatif yaitu dengan mencari
tanaman yang bisa dijadikan tanaman pagar,
sehingga kita mencari jenis tanaman yang
paling disukai oleh hama yang kita jadikan
sasaran tidak berdampak negatif terhadap
parasitoid, predator, dan tidak mencemari
lingkungan hidup ( AAK, 1991; Kalshoven,
1981; Noach, et al. 1983; Program Nasional
PHT, 1998).
Kubis (Brassica oleracea L. var.
capitata L.) termasuk salah satu sayuran daun
yang digemari oleh hampir setiap orang. Citra
rasanya enak dan lezat, juga mengandung gizi
cukup tinggi serta komposisinya lengkap, baik
vitamin maupun mineral , adapun komposisi
gizi kubis tiap 100 gram bahan segar adalah :
kalori (kal.) 25,0; protein 1,7 gr; lemak 0,2 gr;
karbohidrat 5,3 gr; kalsium 64,0 mg; fosfor
26,0 mg; zat besi 0,7 mg; natrium 8,0 mg;
niacin 0,3 mg; serat 0,9 mg; abu 0,7 mg;
vitamin A 75,0 mg; vitamin B1 0,1 mg dan
vitamin C 62,0 mg (Direktorat Gizi Depkes
R.I., 1981).
Sawi (Brassica juncea L.) masih satu
keluarga dengan kubis yakni famili
Cruciferae (Brassicaceae) sehingga sifat
morfologis tanamannya hampir sama,
terutama pada sistim perakaran, struktur
batang, bunga, buah maupun bijinya.
Sayuran ini juga sangat digemari
karena harganya yang murah dan
mengandung nilai gizi dari tiap 8,2 gr bahan
kering adalah : kalori 24; protein 2,4 gr; serat
1,0 gr; kapur 160 mg; besi 2,7 mg; karoten 1,8
mg; askorbin 75 mg (Rukmana, 1994).
Kedelai (Glycine max L.Merrill)
merupakan salah satu sumber protein nabati,
dengan komposisi gizi air (13,75%), protein
(41%), lemak (15,80%), karbohidrat (14,85%)
dan mineral (5,25%) (AAK, 1991; Suprapto,
1991).
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Medan Area
pada bulan Mei Juli 2008. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) Non Faktorial dengan bahan uji berupa
daun kubis (D1), daun sawi (D2) dan dan
kedelai (D3) , jumlah ulangan 6.
Serangga yang akan diuji terlebih
dahulu direaring di laboratorium agar
diperoleh jumlah larva S. litura instar 3 yang
cukup dengan umur yang sama.
Daun kubis, sawi dan kedelai yang
telah disiapkan dimasukkan ke dalam wadah,
masing-masing sebanyak 50 gr sesuai
perlakuan. Setiap jenis pakan dibuat 6 wadah
dan pada setiap wadah dimasukkan 10 ekor S.
Litura yang telah dilaparkan dulu selama 12
jam.
Satu hari setelah perlakuan, daun sisa
diambil dan ditimbang lalu diganti dengan
daun baru dan dihitung persentase kehilangan
berat pakan dengan rumus:
K = %100xBA
S
Dimana :
K = persentase kehilangan berat pakan
(%)
S = sisa berat makanan (g)
BA = berat awal makanan (g)
Hari ke 2 (dua) setelah investasi
dilakukan pengamatan Persentase Mortalitas
Serangga Spodoptera litura (%) dengan
interval 2 hari hingga ditemukan kematian
serangga uji 100% dengan menggunakan
rumus :
P = %100xB
A
Dimana :
P = persentase kematian serangga
A = jumlah serangga yang mati
B = jumlah serangga keseluruhan/serangga
awal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Preferensi Spodoptera litura Terhadap
Persentase Kehilangan Berat pakan (%) tidak
berpengaruh nyata pada umur 1 hsi, hal ini
kemungkinan disebabkan serangga uji masih
menyesuaikan dengan pakan yang tersedia,
tetapi berpengaruh sejak umur 2 8 hsi dimana perlakuan D3 (daun kedelai) berbeda
sangat nyata terhadap D1 (daun kubis) dan D2
(daun sawi).
Perlakuan D1 juga berbeda sangat nyata
terhadap D2.
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
20
Tabel 1. Preferensi konsumsi Spodoptera Litura terhadap beberapa jenis pakan (%)
berdasarkan uji Duncans
Perlakuan Umur
1 hsi 2 hsi 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 his
D1 11,67 a 14,33 c 12,67 c 17,33 c 28,00 c 40,00 c 40,67 c 42,67 c
D2 12,33 a 15,33 b 14,33 b 18,33 b 31,67 b 41,33 b 41,67 b 44,33 b
D3 14,33 a 20,00 a 22,67 a 28,33 a 41,00 a 49,33 a 52,67 a 54,00 a
KK 10,26% 9,24% 7,16% 8,31% 5,84% 4,59% 3,91% 3,24%
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang berbeda pada satu kolom menunjukkan berbeda
nyata pada taraf uji 0,05.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa
persentase kehilangan berat pakan terbesar
dijumpai pada daun kedelai (D3) sedangkan
yang paling kecil dijumpai pada daun kubis
(D1). Ini berarti bahwa S. litura lebih
menyukai daun kedelai sebagai makanannya
dibandingkan 2 jenis daun lainnya. Rata-rata
persentase kehilangan berat pakan pada daun
kedelai sebesar 35,54%, diikuti pada daun
sawi sebesar 27,42% dan yang paling kecil
pada daun kubis sebesar 25,97%.
Serangga S. litura tidak menyukai daun
kubis karena daun ini lebih banyak
mengandung air, sedangkan S. litura lebih
aktif pada daerah kering. Rukmana (1994)
mengatakan bahwa serangan berat dari S.
litura terjadi pada musim kemarau.
Pengaruh Jenis Pakan Terhadap
Persentase Mortalitas S. litura (%)
memperlihatkan bahwa jenis pakan
berpengaruh tidak nyata terhadap persentase
mortalitas S. litura umur 1 3 hsi, tetapi berpengaruh sangat nyata sejak umur 4 8 hsi.
Tabel 2. Pengaruh Jenis Makanan Terhadap Persentase Mortalitas S. litura (%) Selama Penelitian .
Perlakuan Umur
1 hsi 2 hsi 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 his
D1 11,67 a 13,33 a 16,67 a 25,00 a 26,67 a 36,67 a 46,67 a 56,67 a
D2 11,67 a 11,67 a 15,00 a 16,67 b 21,67 b 30,00 b 36,67 b 38,33 b
D3 10,00 a 10,00 a 11,67 a 13,33 c 16,67 c 23,33 c 26,67 c 33,33 c
KK 12,71% 14,19% 16,73% 14,71% 11,54% 11,17% 7,40% 5,77%
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang berbeda pada satu kolom menunjukkan
berbeda nyata pada taraf uji 0,05.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa
sejak umur 4 8 hsi, perlakuan D1 (daun kubis) berbeda sangat nyata terhadap D2 (daun
sawi) dan D3 (daun kedelai). Perlakuan D2
juga berbeda sangat nyata terhadap D3.
Persentase mortalitas tertinggi dijumpai pada
jenis pakan daun kubis (D1), sedangkan
persentase mortalitas terendah adalah
perlakuan D3 (daun kedelai).
Tingginya persentase mortalitas S.
litura pada daun kubis disebabkan daun kubis
lebih banyak mengandung air dibandingkan
jenis makanan lainnya, sehingga menurunkan
selera makan S. litura. Selain jenis makanan
yang disukainya, kematian S. litura juga
disebabkan karena serangga ini bersifat
kanibal atau saling memangsa satu sama lain
(Noach, et. Al., 1983).
Dari hasil pengamatan diperoleh
bahwa pada umur 9 hsi, larva S. litura
sebagian telah berubah menjadi pupa pada
semua jenis pakan yang diberikan.
KESIMPULAN
1.Spodoptera litura lebih menyukai daun
kedelai (D3) sebagai sumber makanannya
dibandingkan dengan daun kubis (D1) dan
daun sawi (D2).
2. Persentase kehilangan berat makanan pada
daun kedelai sebesar 54,00% sedangkan
yang paling kecil dijumpai pada daun kubis
sebesar 42,67%.
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
21
3. Perlakuan jenis makanan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase mortalitas
S. litura sejak umur 1 8 hari setelah investasi. Persentase mortalitas tertinggi
dijumpai pada perlakuan D1 (daun kubis)
sebesar 56,67% (umur 8 hsi), sedangkan
yang paling kecil dijumpai pada perlakuan
D3 (daun kedelai) sebesar 33,33% (umur 8
hsi).
4. Bagi petani kedelai agar senantiasa
mewaspadai serangan S. litura mengingat
dari hasil penelitian ini kehilangan berat
pakan daun kedelai cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1991. Kedelai. Kanisius. Jakarta.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar
Kkomposisi bahan makanan. Bharata
Karya Aksara. Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in
Indonesia. Revised by PA. van der
Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Jakarta.
Noach, IP. et al. 1983. Ulat Grayak
Spodoptera litura F. sebagai salah satu
hama tanaman kacang-kacangan.
Kongres Entomologi II. Jakarta.
Program Nasional Pengendalian Hama
Terpadu, 1998. Petunjuk studi lapang
pengendalian hama terpadu sayuran.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Rukmana. 1994. Bertanam Kubis. Kanisius.
Yogyakarta.
Suprapto. 1991. Bertanam kedelai. Penebar
Swadaya. Jakarta..
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
22
AKTIVITAS HIDROLISIS PROTEASE EKSTRAK JEROAN IKAN
MAS (Cyprinus Carpio L.)
Rosliana Lubis
Fakultas Biologi Universitas Medan Area
ABSTRACT Protease are enzyme type which catalysis of reaction hydrolisis the protein by breaking tying
peptides. This research aimed to isolation of enzyme protease from jeroan goldfish (Cyprinus
carpio L.) and determine the enzyme activity to decompose substrat. Here we report, protease
activity from jeroan goldfish (Cyprinus carpio L.) in which this result was found by reacting
between substrat with the extract of enzyme protease with optimum condition : time of
incubation 25 hours, pH 7 and temperature of incubation 50oC. Determinan of enzyme activity
by Spectrofotometry method and protein enzyme by Lowry method. Based on measurement,
crude extract of activity enzyme is 0,343 unit / g protein and enzyme protein is 284,124 g/ ml.
Keywords : reaction hydrolisis, jeroan goldfish
PENDAHULUAN
Enzim merupakan protein yang dapat
mengkatalisis berbagai reaksi kimia dengan
kemampuan 1012
1020 tanpa enzim itu berubah setelah reaksi selesai. Enzim banyak
digunakan dalam aplikasi industri karena
sebagai biokatalis, enzim bekerja secara
spesifik dan sangat efisien. Umumnya kerja
enzim juga tidak membutuhkan pemanasan
atau perlakuan tekanan seperti katalis non-
biologis (Muchtadi, 1992)
Penggunaan enzim dalam bidang
industri, baik industri pangan maupun non
pangan semakin berkembang di Indonesia.
Kebutuhan enzim dalam industri pangan
seperti keju, desktrin, gula cair, sari buah,
susu, daging, bir, minyak dan lain-lain terus
meningkat. Enzim juga banyak digunakan
dalam industri non pangan seperti pada
penyamakan kulit, pembuatan pasta gigi,
pembuatan sabun, kosmetik, farmasi dan lain
sebagainya (Nurhasanah, 2006).
Salah satu enzim yang banyak
menarik perhatian saat ini, serta mempunyai
peran penting dalam perkembangan
bioteknologi adalah enzim Protese. Menurut
Suhartono Thenawidjaja Maggy (2000),
enzim protease merupakan satu diantara tiga
kelompok enzim komersial yang
diperdagangkan dengan nilai mencapai 60%
dari total penjualan enzim.
Sampai saat ini di Indonesia, Ikan
yang berpotensi untuk menghasilkan Protease
masih banyak dan belum dimanfaatkan secara
intensif. Mengingat indonesia, merupakan
negara Bahari yang kaya akan beragam jenis
ikan, maka Indonesia juga berpeluang besar
untuk menghasilkan dan mengembangkan
industri enzim ini, sehingga merupakan salah
satu terobosan dalam alih teknologi
(Fatahillah, 1993).
Berdasarkan data Statistik dari Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera
utara tahun 2001, diperoleh data produksi ikan
mas untuk kota Medan sekitar 24,8 ton
pertahun dan tingkat pemasarannya mencapai
1,4 ton perbulannya. Melihat tingginya
produksi dan pemasaran ikan mas, khususnya
di kota Medan, berarti jumlah
Jeroan ikan mas yang dihasilkan juga
cukup tinggi. Bagi sebagian besar orang,
umumnya jeroan tersebut dibuang begitu saja.
Jeroan yang dibuang begitu saja, terkadang
dapat menimbulkan bau yang tidak sedap
terhadap lingkungan disekitarnya. Namun
disisi lain, keberadaan Jeroan yang dibuang
begitu saja tersebut, masih memungkinkan
untuk diolah menjadi penghasil enzim
protease sebab kandungan protein dalam
jeroan tersebut masih relatif tinggi sehingga
diduga aktivitas enzim protease juga akan
tinggi.
Dalam makalah ini dilaporkan
aktivitas enzim protease dari ekstrak Jeroan
ikan mas. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menentukan uji kuantitatif enzim
protease sehingga dapat diketahui nilai
aktivitas dari kerja enzim tersebut dalam
menguraikan substrat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang pemanfaatan
Jeroan ikan mas yang memiliki kemampuan
aktivitas protease. Disamping itu, penelitian
ini juga dapat memberikan informasi
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
23
mengenai sumber daya alam yang bisa
dijadikan sebagai penghasil enzim industri.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah
Spektofotometer, Kuvet kaca, Neraca analitik,
pH meter, termometer, Sentrifuse 14000 rpm,
Freezer Dryer, Penangas air, Shaker
inkubator, lemari pendingin, Blender, Kertas
saring, Buret, dan alat gelas lainnya seperti
labu Erlenmeyer, Beaker glass, labu takar,
tabung reaksi, spatula, pipet tetes, magnetic
stirer dan lain-lain.
Bahan utama yang digunakan adalah
Jeroan ikan mas yang diperoleh dari pasar
ikan di kota Medan. Adapun bahan kimia
yang diperlukan adalah aquadest, C6H8O7,
CCl3COOH, HCL 37%, NaOH, Na2CO3,
CH3COCH3, C4H4KNaO6 . 4H2O,
C10H14N2Na2O8. 2H2O, Na2HPO4, C9H11NO3,
CuSO4. 5H2O. , Reagen Folin phenol
ciocalteu, Bovine Serum Albumin (BSA).
Prosedur Penelitian
Preparasi enzim dan larutan pereaksi
Preparasi enzim
Preparasi enzim dilakukan menurut
metode Ritzman (1999) dan Abigor (2002).
Enzim diisolasi pada suhu 40C untuk semua
percobaan yang dilakukan. Jeroan ikan mas
dicuci dengan air destilasi dan dihomogenisasi
dalam 0,15 M larutan buffer fosfat ( 5 ml/g
berat basah) yang berisi 0,6 M Sukrosa, 1 mM
EDTA, 10 mM KCl, 1 mM MgCl2, sedangkan
pH diatur 7 dengan penambahan KOH dengan
cara memblendernya.
Blender tidak boleh dihidupkan lebih
dari 30 detik. Homogenat diendapkan dengan
penambahan aseton (1 : 3, v/v) selama 5
jam. Selanjutnya disentrifugasi dengan
putaran 14.000 rpm dengan suhu 40C. Lapisan
supernatan yang diperoleh di Freezer dryer
dengan suhu -40C selama 5 jam hingga
terbentuk serbuk halus. Serbuk putih yang
diperoleh digunakan untuk pengujian aktivitas
hidrolisis protease, dan sebelumnya dilarutkan
terlebih dahulu dengan larutan buffer fosfat.
Ekstrak enzim lipase disimpan pada suhu 40C
selama menunggu dilakukan pengujian
Pembuatan pereaksi untuk pengukuran
aktivitas enzim protease
a. Larutan A : sebanyak 2 gr Na2CO3
dilarutkan dalam 100 ml NaOH 0,1 N
b. Larutan B : sebanyak 5 ml CuSO4. 5H2O
1% ditambahkan kedalam 5 ml larutan Na-
K-tartrat (C4H4KNaO6 . 4H2O) 2%.
c. Larutan C : Sebanyak 2 ml larutan B
ditambahkan dengan 100 ml larutan A
d. Larutan D : Reagen Folin Phenol
Ciocalteu diencerkan dengan air suling (1 :
1, v/v)
e. Larutan Standar Tirosin konsentrasi 0 300 ppm
Pembuatan pereaksi Lowry
a.Larutan A: sebanyak 2 gr Na2CO3 dilarutkan
dalam 100 ml NaOH 0,1 N
b. Larutan B: sebanyak 5 ml CuSO4. 5H2O
1% ditambahkan kedalam 5 ml larutan
Na-K-tartrat (C4H4KNaO6 . 4H2O) 2%.
c.Larutan C: Sebanyak 2 ml larutan B
ditambahkan dengan 100 ml larutan A
d. Larutan D: Reagen Folin Phenol Ciocalteu
diencerkan dengan air suling (1 : 1, v/v)
e. Larutan Standar Bovine Serum Albumin
(BSA) konsentrasi 0 300 ppm
Optimasi reaksi hidrolisis protease ekstrak
jeroan ikan mas
Pada sejumlah labu erlenmeyer yang
diperlukan dan telah diisi dengan larutan
Bovin serum albumin (BSA) masing-masing 3
ml, ditambahkan protease ekstrak jeroan ikan
mas (1 ml) dan 7 ml larutan buffer fosfat
sistein Na-EDTA. Kondisi optimum
ditentukan dengan memvariasikan pH, suhu
dan waktu inkubasi. Variasi pH yang
dilakukan adalah 3, 3,5 ; 4; 4,5; 5; 5,5; 6; 6,5;
7; 7,5; 8; 8,5; dan 9. Variasi suhu inkubasi
yang dilakukan 300C, 35
0C, 40
0C, 45
0C,
500C, 55
0C, 60
0C, 65
0C dan
700C.Sedangkan waktu inkubasi dilakukan
selama 40 jam dengan interval pengamatan 5,
10, 15, 20, 25, 30, 35 dan 40 jam. Reaksi
hidrolisi dilakukan pada kondisi optimasi
tersebut.
Reaksi hidrolisis protease ekstrak jeroan
ikan mas
Reaksi hidrolisis dilakukan dengan
menambahkan protease ekstrak jeroan ikan
mas (1 ml) kedalam 3 ml larutan Bovin Serum
Albumin (BSA) dan 7 ml larutan buffer fosfat
sistein Na-EDTA. Selanjutnya dilakukan
inkubasi dalam shaker dengan kecepatan 3400
rpm pada suhu, pH dan waktu inkubasi
optimum. Larutan yang telah dilakukan
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
24
0.08
0.25
0.54
1.91
1.01
0.57
0.10
0.5
1
1.5
2
2.5
0 10 20 30 40 50
Waktu inkubasi (jam)
Ak
tiv
ita
s e
nz
im (
un
it/
mg
pro
tein
) x
10
inkubasi selanjutnya diuji kadar asam amino
yang dapat dibebaskan.
Penentuan kadar protein enzim
Kadar protein ditentukan dengan
menggunakan Metode Lowry yaitu sebanyak
1 ml larutan enzim dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml larutan
C, kemudian campuran didiamkan pada suhu
ruang selama 10 menit. Kemudian
ditambahkan larutan D 1 ml dan diaduk,
kemudian didiamkan pada suhu ruang selama
30 menit. Warna biru yang terbentuk dibaca
serapannya pada panjang gelombang 750 nm
dengan Spektrofotometer. Banyaknya protein
ditentukan berdasarkan kurva standar Bovin
Serum Albumin (BSA) dengan konsentrasi 0
300 ppm.
Pengujian aktivitas protease
Untuk menentukan aktivitas enzim
protease dilakukan dengan menggunakan
metode Metode Lowry yaitu : 2 ml larutan
hasil hidrolisis protease ekstrak jeroan ikan
mas dimasukkan kedalam erlenmeyer 5 ml.
Substrat enzim tersebut diinaktifkan dengan
penambahan CCl3COOH (Trikloro Asetat :
TCA 30%) sebanyak 1 ml. kemudian
ditambahkan 5 ml pereksi C, kocok dan
biarkan selama 10 menit pada suhu kamar,
ditambahkan 1 ml larutan D, kemudian
didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit.
Warna biru yang terbentuk dibaca
serapannya pada panjang gelombang 750 nm
dengan Spektrofotometer. Besarnya aktivitas
ditentukan berdasarkan kurva Larutan Tirosin
dengan konsentrasi 0 300 ppm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Optimasi Reaksi Hidrolisis Protease Optimasi reaksi hidrolisis protease
perlu dilakukan untuk mendapatkan kondisi
terbaik dalam melakukan reaksi hidrolisis
enzim. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
hasil reaksi yang baik. Kondisi optimum yang
ditentukan pada optimasi reaksi hidrolisis
protease ini meliputi waktu inkubasi, pH
inkubasi dan suhu inkubasi.
Waktu Inkubasi
Aktivitas enzim Protease yang
dihasilkan dari homogenat jeroan ikan mas
pada berbagai waktu inkubasi dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1 : Kurva penentuan waktu
inkubasi optimum reaksi hidrolisis
substrat oleh enzim lipase
Dari gambar tersebut terlihat bahwa
aktivitas enzim protease yang dihasilkan dari
homogenate jeroan ikan mas dari jam ke-5
(lima) sampai jam ke-15 belum menunjukkan
aktivitas yang berarti, hal ini disebabkan
karena masih terjadi fase adaptasi. Fase
eksponensial berlangsung dari jam ke-15
sampai jam ke-.25. Pada fase ini enzim
protease mengalami peningkatan aktivitas
yang sangat tajam, kemampuan protease
memecahkan molekul protein menjadi
molekul-molekul asam amino, yang
ditunjukkan dengan besarnya kadar asam
amino (asam amino tirosin) yang dihasilkan,
yakni sebesar 15,545 g/ml dan mencapai optimum pada jam ke-25 dengan aktivitas
sebesar 0,0191 unit/mg protein.
Dalam penelitian ini aktivitas protease
maksimum tercapai pada akhir fase
eksponensial, dimana pada saat tersebut
kemampuan protease memecah molekul-
molekul protein menjadi molekul-molekul
asam amino semakin berkurang. Fase
Stasioner sendiri berlangsung dari jam ke-25
sampai jam ke- 40. Pada fase ini diperkirakan
protein yang terkandung dalam substrat Bovin
Serum Albumin (BSA) telah terurai dan
aktivitas protease juga cendrung mengalami
penurunan dan terus mengalami penurunan
sampai tidak ada lagi aktivitas protease.
pH Inkubasi
Aktivitas enzim protease ekstrak
jeroan ikan mas pada berbagai pH dapat
dilihat pada gambar
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
25
0.010.034
0.157
0.2546
0.359
0.256
0.145
0.0910.0740.0760.078
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Suhu inkubasi (celcius)
Akti
vit
as e
nzim
(u
nit
/ m
g p
rote
in)
0.087
0.342
0.782
1.307
2.178
2.801
2.012
1.109
0.867
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 2 4 6 8 10 12
pH inkubasi
Ak
tiv
ita
s e
nz
im (
un
it /
mg
pr
ote
in)
x 1
0
.
Gambar 2: Kurva penentuan pH optimum reaksi
hidrolisis substrat oleh enzim lipase
Dari gambar tersebut, terlihat bahwa
pH optimum untuk reaksi hidrolisis enzim
protease adalah pH 7 dengan aktivitas sebesar
0,2801 unit/mg protein. Pada kondisi dibawah
dan diatas pH 7, aktivitas reaksi hidrolisis
protease menurun. Menurut Ritzman (1999)
perubahan pH dapat pula menyebabkan
denaturasi molekul enzim. Sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas
hidrolisis dari protease tersebut. Enzim seperti
molekul lainnya memiliki gugus yang dapat
terionisasi yaitu gugus karboksil dan gugus
amino yang mudah dipengaruhi oleh
perubahan pH sekitarnya. Apabila gugus pada
sisi aktif mengalami perubahan muatan maka
aktivitas katalitik enzim akan menurun.
Perubahan pH juga dapat menyebabkan
konformasi enzim sehingga aktivitas katalitik
enzim akan berubah.
Suhu Inkubasi
Suhu inkubasi optimum untuk reaksi
hidrolisis protease adalah suhu yang
memberikan kemungkinan bagi enzim
protease untuk menghasilkan produk reaksi
hidrolisis dengan hasil yang maksimal, karena
pada kondisi optimum, enzim protease
tersebut memiliki aktivitas terbaik. Aktivitas
reaksi hidrolisis protease yang dihasilkan dari
homogenat jeroan ikan mas dapat terlihat
bahwa suhu inkubasi optimumnya adalah
500C dengan aktivitas sebesar
0,359 unit/mg protein. Pada suhu lebih dari
500C aktivitas hidrolisis protease menurun
dengan tajam.
Hal ini disebabkan enzim protease yang
dihasilkan dari ekstrak jeroan ikan mas tidak
stabil terhadap panas, sehingga enzim
mengalami denaturasi, sedangkan dibawah
suhu 500C diperkirakan energi kinetik baik
molekul substrat maupun molekul enzim
masih rendah, sehingga interaksi molekul
enzim dengan substrat masih kecil. Aktivitas
enzim lipase pada berbagai suhu inkubasi
dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3: Kurva penentuan suhu inkubasi optimum reaksi hidrolisis substrat oleh enzim lipase
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan , dapat disimpulkan :
1. Kondisi optimum untuk reaksi hidrolisis protease ekstrak jeroan ikan mas adalah
pada waktu : inkubasi 25 jam, pH 7, suhu
inkubasi 500C.
2. Ekstrak kasar enzim protease jeroan ikan mas memberikan nilai aktivitas pada
kondisi optimumnya adalah 0,343 unit / g
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
26
protein sedangkan kadar protein enzimnya
284,124 g/ ml
Saran
Disarankan pada penelitian berilkutnya
untuk melakukan tahap pemurnian ekstrak
protease jeroan ikan mas dengan garam atau
pemurnian secara kromatografi sehingga nilai
aktivitas reaksi hdrolisis enzim protease
diharapkan semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Fatahillah, Y.H, (1993), Mempelajari Pengaruh Kondisi Fermentasi Pada
Produksi Lipase dari Aspergillus
Nger, Skripsi, FTG-IPB, Bogor, 99 hlm.
Muchtadi, Nuhaeni dan Made Astawan,
(1992), Enzim dalam Industri Pangan,
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen DIKTI, PAU
Pangan dan Gizo IPB, Bogor.
Nurhasanah, (2006), Isolasi Enzim Lipase Dari Bakteri Isolat Local Yang Hidup
Di Air Laut Pelabuhan Panjang, Prosiding Seminar Hasil Program
Pengembangan Diri 2006 Bidang
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
alam
Ritzman, M., (1999), Metodologi Isolasi
Enzim dan Aktivitasnya, PAU-ITB, Bandung.
Suhartono Thenawidjaja Maggy, (2000), Pemahaman Karakteristik Biokimiawi
Enzim Protease dalam Mendukung
Industri Berbasis Bioteknologi, Orasi Ilmiah, Institut Pertanian Bogor, 1-3, 7-
11
Winarno, FG., (1998), Enzim Pangan, Erlangga, Jakarta, 73-74
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995
JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
27
STUDI STIMULANS PEMBUNGAAN JERUK SIEM (Citrus Reticulata
Blanco) DENGAN PAKLOBUTRAZOL DAN ZAT PEMECAH
DORMANSI ETEPON
Syahbudin Fakultas Pertanian Universitas Medan Area
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi zat penghambat tumbuh paklobutrazol
dan waktu penyemprotan zat pemecah dormansi