Post on 27-Dec-2015
description
1
HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KUALITAS TIDUR
PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN
Muhammad Reza Aditya1
Noviani2
1Progam Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
2Bagian Ilmu Penyakit MataFakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Alamat korespondensi:
1 Jalan Roda Rt 004/012 Kp. Sawah lama ciputat Tangerang selatan Telp: 081294060600,
Email: Muhammadreza.aditya@hotmail.com
2 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat.
2
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: faktor pencahayaan, suhu, Jenis kelamin, umur, lama bekerja, serta
psikososial pegawai memiliki hubungan terhadap kejadian Sick Building Syndrome.
METODE: Penelitian menggunakan studi observasional dengan desain potong lintang
dengan 200 pegawai gedung baru Badan Pemeriksaan Keuangan di Jakarta sebagai sampel.
Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner penggabungan dari NIOSH indoor air quality
survey questionnaire, AIHA occaputional health and comfort questionnaire dan Danish
building research institute building diagnostic human resource questionnaire. Variabel yang
diteliti ialah suhu ruangan, Pencahayaan ruangan, Jenis kelamin, Usia, Lama bekerja dan
Psikososial HASIL: Seluruh faktor risiko dihitung dengan uji Chi-Square dengan nilai P =
0,05. Faktor suhu didapatkan p = 0,000 yang artinya faktor suhu berhubungan dengan Sick
Building Syndrome. Faktor pencahayaan memiliki nilai signifikansi 0,000 artinya faktor
pencahayaan berhubungan dengan Sick Building Syndrome, faktor jenis kelamin
berhubungan dengan Sick Building Syndrome (p=0,032), faktor psikososial memiliki nilai
signifikansi 0,019 yang artinya faktor psikososial berhubungan dengan Sick Building
Syndrome tetapi untuk faktor lama bekerja memiliki nilai signifikansi 0,592 sehingga faktor
lama bekerja tidak berhubungan dengan kejadian Sick Building Syndrome.
KESIMPULAN: Faktor usia, psikososial, suhu, pencahayaan, dan jenis kelamin berhubungan
dengan kejadian Sick Building Syndrome tetapi untuk faktor lama bekerja tidak berhubungan
dengan kejadian Sick Building Syndrome.
Kata kunci: Usia, jenis kelamin, lama bekerja, psikososial, Sick Building Syndrome
3
ABSTRACT
BACKGROUND: Lighting, temperature, gender, age, duration of work, as well as
employee’s psychosocial factors is related to the incidence of Sick Building Syndrome.
METHODS: The study uses an observational study with cross-sectional design with 200
employees in Gedung Baru Badan Pemeriksaan Keuangan) in Jakarta as samples. Data were
collected with a combined questionnaire from NIOSH indoor air quality survey
questionnaire, AIHA occupational health and comfort questionnaire and Danish building
research institute building diagnostic human resource questionnaire. The variables studied are
room temperature, room lighting, gender, age, duration of work, and psychosocial .
RESULTS: All risk factors are calculated by Chi-square test with p-value = 0.5. The p-value
for age factor is 0,000 which is less than 0.05, which means age is related to Sick Building
Syndrome. Factor of lighting also has the significance value of 0,000 which indicates that
lighting is related to Sick Building Syndrome. As for gender, the significance level is 0,032
which also indicate that gender is related to Sick Building Syndrome. Psychosocial factor is
also related to Sick building Syndrome with significance level of 0,019. On the other hand,
duration of work is not related to Sick Building Syndrome because its significance level is
0,592, which is >0,05, which means there is no correlation between the two variables.
CONCLUSION: There is a significant correlation between age, psychosocial, temperature,
lighting and gender with Sick Building Syndrome but there is no significant correlation
between duration of work and Sick Building Syndrome.
Keywords: Age, Gender, Duration of work, Psychosocial, Sick Building Syndrome
4
PENDAHULUAN
Pemikiran modernisasi di dunia yang makin berkembang saat ini memberikan dampak
terhadap masyarakat dimana masyarakat berlomba-lomba untuk terus menjadi lebih
maju,terlebih di ibu kota Jakarta. Salah satunya dalam bidang pekerjaan,sebagai pusat tujuan
urbanisasi, DKI Jakarta harus terus dituntut memberikan lapangan Untuk perkiraan atau
proyeksi jumlah penduduk, Badan Kependudukan Nasional dalam jangka waktu tahun 2005 -
2025 kenaikan penduduk di Indonesia secara umum terus meningkat dari 219,8 juta menjadi
270,5 juta penduduk.1 Sedangkan untuk fokus di DKI Jakarta penilitian dari BAPPENAS
menunjukan peningkatan penduduk dari 8.892 juta penduduk menjadi 9.850 jiwa.2
Untuk kenyamanan pegawai dalam bekerja, pihak-pihak terkait memberikan fasilitas
yang menunjang dalam pegawai seperi AC, Alat fotocopy,Printer dan lain lain. Dampaknya
adalah ruang-ruang kerja perkantoran terutama di Jakarta dituntut menggunakan ventilasi
tertutup serta menggunakan sistem pendingin atau Air Conditioner (AC) untuk kenyamanan
pegawai dalam bekerja. Sehingga banyak sekali dampak-dampak dari segi kesehatan
terhadap pegawai-pegawai akibat penggunaan alat modern tersebut, tidak hanya sistem
pendingin, alat printer, fotokopi, hingga sirkulasi udara yang kurang baik juga mempunyai
dampak yang kurang baik bagi kesehatan pegawai, seperti Sick Building Syndrome bahkan
hinggan Building Related Illness.
Sehingga dengan adanya kesenjangan antara harapan hidup yang sehat dengan kondisi
sosial yang semakin modern, peniliti akan melakukan penilitian untuk mengindentifikasi
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian Sick Building Syndrome di Jakarta.
5
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan studi analitik observasional dengan desain penelitian potong
silang. Lokasi penelitian dilakukan di Penilitian ini dilaksanakan di gedung baru Badan
Pemeriksaan Keuangan pusat di Jakarta pada bulan September – Oktober 2013.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pegawai BPK di gedung baru yang
berjumlah 416 jiwa. Sedangkan sampel dari penelitian adalah sebagian dari populasi yang
memiliki kriteria inklusi sebagai berikut: 1) Pegawai yang bersedia menjadi sampel
penilitian; 2) Pegawai yang bekerja di dalam kantor dari pukul 08.00 – 17.00 setiap harinya,
artinya dengan sistem pekerjaan non-shift.; 3) Pegawai yang bekerja di dalam ruang kerja
dengan sistem pendingin sentral.; 4) Pegawai yang bekerja di dalam ruangan dengan
penggunaan meja,baik itu meja komputer maupun meja untuk menulis.; 5) Pegawai yang
bekerja di dalam ruangan dengan pencahayaan yang sama, artinya tanpa menggunakan
tambahan cahaya lain seperti lampu meja dll.; 6) Pegawai yang tidak bekerja dinas keluar
dalam waktu 1 bulan terakhir.
Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah peneliti menggunakan simple
random sampling. Berdasarkan hasil perhitungan, sampel yang dibutuhkan pada penelitian
ini adalah 200 orang. Data yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan
kuesioner. Kuesioner ini memuat pertanyaan yang terdiri dari empat bagian. Bagian pertama
merupakan karakteristik demografi responden yaitu umur, dan jenis kelamin, Bagian kedua
merupakan pertanyaan terkait durasi lama bekerja di ruangan tersebut. Bagian ketiga
merupakan pertanyaan terkait psikososial. Bagian ke empat mengenai gejala gejala dari Sick
Building Syndrome, Yang diadopsi dari 3 sumber yaitu NIOSH indoor air quality survey
questionnaire, AIHA occaputional health and comfort questionnaire dan Danish building
research institute building diagnostic human resource questionnaire untuk suhu dan
intensitas cahaya di ukur menggunakan alat ukur Thermometer dan Luxmeter Analisis data
6
yang dilakukan pada penelitian ini, menggunakan program software SPSS. Untuk
mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kualitas tidur digunakan uji statistik
Chi Square, dilakukan dalam batas kepercayaan (α = 0,05) yang artinya apabila diperoleh
nilai p ≤ 0,05 berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan variabel
tergantung.
HASIL
Kualitas Udara
Tabel 5. Gambaran kualitas udara( suhu dan Pencahayaan )
median Mean SD Min - Max
Suhu 24 oC 24.33oC 1.53oC 23 – 26 oC
Pencahayaan 98 lux 98.33 lux 11.5 lux 87 – 110 lux
Berdasarkan tabel 5 didapatkan gambaran disribusi rata-rata suhu ditempat kerja adalah 24
°C dengan standar deviasi 1.53 °C. Suhu ditempat kerja terendah adalah 23 °C dan tertinggi
26 °C. Rata-rata pencahayaan ditempat kerja adalah 98 lux dengan standar deviasi 11,5 lux.
Pencahayaan ditempat kerja terendah adalah 87 lux dan tertinggi 110 lux.
Karakteristik Responden dan Psikososial
Tabel 6. Gambaran karakteristik dan psikososial responden
Variabel Jumlah Presentasi
Jenis kelamin L 113 56,5 %
P 87 53,5 %
Psikososial Buruk 2 1 %
Sedang 96 48 %
Baik 102 51 %
Lama bekerja 0- <6 Th 164 82 %
7
6- <11 Th 22 11 %
11-<15 Th 12 6 %
>15 Th 2 1 %
Usia 21 – 30 th 79 39,5 %
31 – 40 th 107 53,5 %
41 – 50 th 14 7 %
Berdasarkan tabel 6 Jumlah responden yang di teliti sebanyak 200 responden, dengan
distribusi jenis kelamin laki-laki 113 pegawai dan perempuan 87 pegawai. Lalu responden
yang di klasifikasikan psikososial buruk ada 2 pegawai, sedang 96 jiwa, dan baik 102 jiwa.
Lalu distribusi lama bekerja responden yaitu 164 pegawai telah bekerja selama 0-5 tahun, 22
pegawai telah bekerja selama 6 – 10 tahun, 12 pegawai telah bekerja selama 11 – 15 tahun,
serta 2 pegawai telah bekerja selama > 15 tahun.
Distribusi usia responden terbagi 3 yaitu 79 pegawai berusia 21 – 30 th, 107 pegawai berusia
31 – 40 tahun, 14 pegawai berusia 41 – 50 tahun.
Gambaran Sick Building Syndrome
Peneliti mengklasifikasikan dari keluhan SBS itu sendiri menjadi 2 sub besar yaitu tidak ada
keluhan dan ada keluhan, lalu sub bagian ada keluhan di bagi 3 sub kecil yaitu ringan, sedan,
serta berat. Disimpulkan bahwa dari total 200 pegawai yang di jadikan sampel, sekitar 6%
tidak mengalami keluhan Sick Building Syndrome yaitu sekitar 12 pegawai, lalu yang
mengalami gejala Sick Building Syndrome totalnya 94 % yaitu sekitar 188 pegawai dimana
saya mengklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi yaitu ringan sekitar 38% atau sama dengan 76
pegawai, lau sedang sekitar 23% atau sama dengan 46 pegawai, dan klasifikasi yang terakhir
adalah berat sekitar 33% atau sama dengan 66 pegawai
Hubungan antara kualitas udara ( Suhu dan Pencahayaan ) dengan Sick Building
Syndrome
8
Tabel 7. Hubungan antara kualitas udara ruangan dengan kejadian SBS pada pegawai gedung
baru BPK pusat di Jakarta.
keluhan kesehatan Total
tidak ada ringan sedang berat
Suhu
23,00 - 23,99 3 43 25 18 89
24,00 - 24,99 6 15 13 10 44
25,00 - 26 3 18 8 38 67
Total 12 76 46 66 200
< 1002 10 7 48 67
Intensitas cahaya
>100 10 66 39 18 133
Total 12 76 46 66 200
Berdasarkan output tabel SPSS diatas, didapatkan nilai signifikansi Chi-Square
sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang berarti dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara Suhu Ruangan terhadap Keluhan Kesehatan pegawai
dimana semakin tinggi suhu ruangan, akan menambah keluhan kesehatan pegawai.
Perihal intensitas cahaya berdasarkan output tabel SPSS diatas, didapatkan nilai
signifikansi Chi-Square sebesar 0,000 (mendekati nol). Nilai signifikansi tersebut kurang dari
0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara Intensitas Cahaya
terhadap Keluhan Kesehatan pegawai dimana pada saat intensitas cahaya memenuhi syarat
(minimal 100 lux) akan mengurangi keluhan kesehatan pegawai.
Tabel 7. Hubungan antara Suhu dan Cahaya dalam satu ruangan dengan
dengan kejadian SBS
9
Keluhan SBS Total
Tidak
ada
Ringan Sedang Berat
23,00 – 23,99 dan
< 100lux
0 6 6 13 25
23,00 – 23,99 dan
> 100lux
3 37 19 5 64
24,00-24,99 dan
< 100lux
2 4 1 9 16
24,00-24,99 dan
> 100lux
4 11 12 1 28
25,00-26,00 dan
< 100lux
0 0 0 26 26
25,00-26,00 dan
> 100lux
3 18 8 12 41
Total 12 76 46 66 200
Selanjutnya peneliti akan menggabungkan kedua faktor kualitas ruangan diatas untuk
di teliti keterkaitannya dengan keluhan Sick Building Syndrome. dimana hasil yang di dapat
pada tabel 7, menunjukan bahwa ruangan pada suhu 25,00-26,00 oC dan intensitas cahaya
kurang dari 100 lux memiliki resiko tertinggi terhadap keluhan Sick Building Syndrome.
Hubungan antara karakteristik responden dan psikososial dengan Sick Building
Syndrome
Tabel 8. Hubungan antara karakteristik pegawai dan psikososial dengan kejadian SBS
10
Gejala SBS Total
tidak
ada
ringan sedang berat
jenis
kelamin
laki-laki 4 52 25 32 113
perempuan 8 24 21 34 87
Total 12 76 46 66 200
21- 30 tahun 7 35 16 21 79
Usia 31 – 40tahun 5 39 28 35 107
41 – 50 tahun 0 2 2 10 14
Total 12 75 46 66 200
0 - <6 Tahun 9 60 41 54 164
Lama Bekerja 6 - <11 Tahun 1 11 3 7 22
11- <15 Tahun 2 4 1 5 12
>15 Tahun 0 1 1 0 2
Total 12 76 46 66 200
Buruk 0 1 0 1 2
Psikososial Biasa 3 27 24 42 96
Baik 9 48 22 23 102
Total 12 76 46 66 200
Berdasarkan output tabel SPSS diatas, untuk faktor jenis kelamin didapatkan nilai
signifikansi SPSS sebesar 0,032. Nilai signifikansi tersebut besar dari 0,05 yang berarti dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara Jenis Kelamin terhadap Keluhan Kesehatan.
11
Yaitu jenis kelamin perempuan mempunyai keluhan SBS yang lebih berat daripada jenis
kelamin laki-laki.
Sedangkan, untuk faktor usia didapatkan nilai signifikansi Chi-Square sebesar 0,034.
Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara Usia terhadap Keluhan Kesehatan dimana semakin tua seorang pegawai,
akan semakin banyak keluhan kesehatan yang dirasakan oleh pegawai tersebut.
Selanjutnya, untuk faktor lama bekerja didapatkan nilai signifikansi SPSS sebesar
0,592. Nilai signifikansi tersebut besar dari 0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara Lama Bekerja terhadap Keluhan Kesehatan oleh Pegawai.
Terakhir, untuk faktor Psikososial didapatkan nilai signifikansi Chi-Square sebesar
0,019. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara Kategori Psikososial terhadap Keluhan Kesehatan pegawai dimana
semakin baik keadaan psikososial seorang pegawai, akan mengurangi keluhan kesehatan
yang dirasakan oleh pegawai tersebut.
12
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa gejala SBS yang
paling banyak dikeluhkan responden adalah mengantuk sebanyak 84 responden (14,92%),
kemudian pegal pada leher sebanyak 59 responden (10,48%), Kelelahan sebanyak 45
responden (7,99%), Nyeri Punggung sebanyak 39 responden (6,93%), konsentrasi buruk
sebanyak 36 responden (6,39%).
Hubungan Antara Suhu Ruangan Dengan Kejadian Sick Building Sydrome Pada
Pegawai Gedung Baru BPK Pusat di Jakarta
Didapatkan rata-rata suhu ditempat kerja yang mengalami keluhan SBS yang lebih
berat adalah 25,5 °C. Sedangkan rata-rata suhu di tempat kerja pada pegawai yang
mengalami keluhan SBS lebih ringan adalah 23,5°C. Hasil uji statistik menunjukan bahwa
terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata suhu antara pegawai yang mengalami keluhan
SBS dengan yang tidak mengalami keluhan SBS. Jika peniliti merujuk kepada KepMenKes
No.1405/MENKES/SK/XI/2002 bahwa suhu yang standart 18 – 28°C maka suhu di gedung
ini dalam batas normal, tetapi peniliti ingin lebih mengetahui pada suhu berapa Sick Building
Syndrome akan lebih berat di alami oleh responden.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Setyaningsih dkk pada
tahun 2003, yang menyatakan suhu berhubungan dengan terjadinya SBS.(3)
Hubungan Antara Pencahayaan Ruangan Dengan Kejadian Sick Building Sydrome
Pada Pegawai Gedung Baru BPK Pusat di Jakarta
Pegawai yang mendapatkan pajanan cahaya yang intensitasnya di bawah 100lux
mempunyai resiko mengalami Sick Building Syndrome dengan jumlah pegawai yang
mempunyai keluhan Sick Building Syndrome sebanyak 65 pegawai dari total 67 pegawai di
bandingkan dengan pegawai yang mendapatkan pajanan cahaya dimana intensitasnya di atas
100lux yaitu dengan jumlah pegawai yang mempunyai keluhan Sick Building Syndrome 123
13
dari 133 pegawai.
Hal ini sejalan dengan penilitian dari Wahab dari tahun 2010 dimana dikatakan bahwa
pencahayaan yang tidak memadai dapat menyebabkan sakit kepala, ketegangan mata dan
gejala lain dari sakit building syndrome. Dan biasanya gejala tersebut akan menghilang
ketika meninggalkan gedung kantor.(4)
Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Kejadian Sick Building Sydrome Pada
Pegawai Gedung Baru BPK Pusat di Jakarta
Untuk hubungan jenis kelamin dengan Sick Building Syndrome didapatkan nilai
signifikansi SPSS sebesar 0,032. Nilai signifikansi tersebut besar dari 0,05 yang berarti dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara Jenis Kelamin terhadap Keluhan Kesehatan.
Yaitu jenis kelamin aperempuan memiliki kecenderungan mengalami keluhan SBS yang
lebih berat daripada jenis kelamin laki-laki.
Telah dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam hal dari mewarisi risiko
biologis, risiko yang diperoleh berhubungan dengan pekerjaan, waktu luang dan gaya hidup,
persepsi yang ada terhadap gejala dan mencari bantuan, serta perilaku kesehatan, Selain itu
Perempuan juga mungkin lebih sensitif dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan
lingkungan kerja fisik dan psikososial.(4)
Hubungan Antara Usia Dengan Kejadian Sick Building Sydrome Pada Pegawai Gedung
Baru BPK Pusat di Jakarta
faktor usia didapatkan nilai signifikansi Chi-Square sebesar 0,034. Nilai signifikansi
tersebut kurang dari 0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
Usia terhadap Keluhan Kesehatan dimana semakin tua seorang pegawai, akan semakin
banyak keluhan kesehatan yang dirasakan oleh pegawai tersebut. Dimana dari usia 41 – 50
tahun memiliki lebih banyak keluhan Sick Building Syndrome.
14
Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan Kejadian Sick Building Sydrome Pada
Pegawai Gedung Baru BPK Pusat di Jakarta
Dalam penyajian tabel 8, didapatkan hasil bahwa tidak adanya hubungan yang cukup
signifikan antara lama bekerja dengan keluhan Sick Building Syndrome. Dimana hasil ini
tidak sesuai dengan hipotesis peneliti yang mengatakan bahwa faktor lama bekerja
berhubungan dengan terjadinya Sick Building Syndrome. Hal ini kemungkinan terjadi karena
pegawai sudah terbiasa dengan keadaan ruangan sedemikian rupa, seperti cahaya yang agak
redup atau keadaan yang lainnya.
Hubungan Antara Psikososial Dengan Kejadian Sick Building Sydrome Pada Pegawai
Gedung Baru BPK Pusat di Jakarta
Berdasarkan hasil tabel 8, faktor psikosoial mempunyai hubungan yang cukup
signifikan terhadap terjadi Sick Building Syndrome dimana untuk pegawai yang mempunyai
psikososial yang buruk mengalami keluhan Sick Building Syndrome, yaitu dari 2 pegawai
yang memiliki piskososial buruk, 100% mengalami Sick Building Syndrome.
Sejalan dengan penilitian yang dilakukan Marmot tahun 2006 menyatakan bahwa
kasus Sick Building Syndrome muncul ketika adanya pekerjaan yang berlebihan yang
dilakukan oleh pegawai, lalu adanya hubungan yang kurang baik antar pegawai dan
pengawasan yang cukup rendah dilakukan oleh atasan juga berpengaruh atas terjadinya
keluhan ini.(5)
15
KESIMPULAN
1. Gambaran parameter kualitas udara dalam ruangan secara keseluruhan masih
sesuai dengan standar yang telah di tentukan, adapun distribusinya adalah antara
lain :
A. Suhu rata-rata di ruangan kerja adalah 24,5°C
B. Pencahayaan rata-rata di ruangan kerja adalah 98,5 lux
2. Gambaran karateristik responden antara lain :
A. Lebih banyak responden laki-laki dibandingkan dengan wanita.
B. Pekerja lebih banyak berusia 31 – 40 tahun
C. Pekerja mayoritas telah bekerja di ruangan tersebut selama 0 – 5 tahun
D. Sebagian besar kondisi psikososial responden adalah baik.
3. Hubungan antara parameter suhu dalam ruangan dengan keluhan Sick
Building Syndrome pada pegawai gedung baru BPK pusat di Jakarta mempunyai hubungan
yang bermakna dengan keluhan SBS pada pegawai.
4. Hubungan antara parameter pencahayaan dalam ruangan dengan keluhan Sick
Building Syndrome pada pegawai gedung baru BPK pusat di Jakarta mempunyai hubungan
yang bermakna dengan keluhan SBS pada pegawai.
5. Hubungan karateristik responden pada pegawai di Gedung Baru BPK pusat di Jakarta yaitu
ada hubungan yang bermakna antara Jenis Kelamin, usia dan psikososial dengan keluhan
SBS pada pegawai.
UCAPAN TERIMAKASIH
Allah SWT, Orangtua dan keluarga, Dosen pembimbing, Dosen Penguji, Dosen PA, Sahabat
dan teman.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Kependudukan Nasional. Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025.
2008:2;144-5
2. Badan Kependudukan Nasional. Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025.
2008:2;156-7
3. Setyaningsih, Yuliani, Soebijanto, Soedirman. Hubungan antara kualitas udara
dalam ruangan berpendingin sentral dan Sick Building Syndrome. Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Jurnal Sains Kesehatan. 2003; 16 (3).
Available : ilib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=3319
4. Wahab, Sabah A, Abdul. Sick Building Syndrome in public Buildings and
Workplaces. London-New York; Springer. 2011;p.120-123
5. Marmot AF, Eley J, Stafford M, Stansfeld SA, Warwick E, Marmot MG. Building
health: an epidemiological study of "Sick Building Syndrome" in the Whitehall II
study. Occup Environ Med. 2006; 63(4):283-289.