Post on 13-Feb-2015
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ORDE LAMA DAN ORDE BARU
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Armai Arief, MA
Oleh
ROCHATUN
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Komparasi Kebijakan Pendidikan
Mahasiswa Program Pascasarjana (S2)
PTIQ JAKARTA KAMPUS STAI ASY-SYUKRIYYAH
Tahun Akademik : 2012 – 2013
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ORDE LAMA DAN ORDE BARU
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Armai Arief, MA
A. Sejarah Singkat Bangsa Indonesia
Mengupas tentang sistem pendidikan di Indonesia sudah tentu harus mengulas tentang
sejarah bangsa Indonesia, karena perkembangan pendidikan di negara kita tercinta ini sejalan
dengan sejarah perjuangan dan berdirinya bangsa.
Republik Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis
khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau, dikenal sebagai Nusantara (Kepulauan Antara).
Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk
Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah ini terdiri atas
132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan.[1] Indonesia adalah negara berpenduduk
terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun
bukan negara Islam.
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, ditandai dengan kekuasaan
pemerintahan ada ada di tangan rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat pada pemilu. Ibukota
negara Indonesia adalah DKI Jakarta. Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau
Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor.
Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan
Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia terdiri dari
berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan
secara politis paling dominan. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika"
("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain
memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang
mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
[1] Nina Susilo, Jumlah Penduduk Indonesia 259 Juta, http://nasional.kompas.com, acses Senin, 26/03/2012.
B. Sejarah Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika Belanda
mengakhiri Politik “Tanam Paksa” menjadi “Politik Etis”, sebagai akibat kritis dari kelompok
sosialis di Negeri Belanda yang mengecam praktik Tanam Paksa yang menyebabkan
kesengsaraan maha dahsyat di Hindia Belanda. Pendidikan “Ongko Loro” diperkenakan
bukan saja sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga
didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran
rendah didalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang “digerakkan” oleh penjajah
Belanda kemudian “ditiru-kembangkan”oleh kaum nasionalis Indonesia.[2]
Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi
Oetomo di Tahun 1908, Pagoeyouban Pasoendan di Tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun
1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI di tahun 1945.
Soekarno, Presiden RI yang pertama, membawa semangat nation and character
building dalam pendidikan di Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah dan
anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa bayar. Para guru yang pertama rata-rata
berpendidikan SD. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang diberi
nama KPK-PKB, SG 2tahun, SGA/KPG, Kursus B-1, Kursus B-2. Calon guru, khususnya
SGA dan SGB, mendapatkan ikatan dinas. Untuk guru pendidikan tinggi didirikan Perguruan
Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang kemudian berkembang menjadi IKIP.
Di bawah Menteri Pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan
sistem among berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan
dan kemanusiaan yang dikenal sebagai Panca Dharma Taman Siswa dan semboyan ing
ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Pada 1950 diundangkan
pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu Undang-Undang No. 4/1950 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No. 12/1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90% dari bangsa Indonesia
berpendidikan SD.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto membangun
manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya sebagai pengganti dari
moto Presiden Soekarno nation and character building. Dibantu oleh para ilmuan dari
Amerika Serikat, pada tahun 1968 dilakukan upaya untuk menyempurnakan kurikulum
pendidikan.
[2] Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia: harapan, visi, dan strategi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal15.
C. FILOSOFI BANGSA INDONESIA
Lambang Negara Indonesia adalah Burung Garuda yang mempunyai filosofi sebagai
berikut:
1. Burung Garuda melambangkan kekuatan
2. Warna emas pada burung Garuda melambangkan kejayaan
3. Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
4. Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila,
yaitu:
a. Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa [sila ke-1]
b. Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab [sila ke-2]
c. Pohon Beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia [sila ke-3]
d. Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan [sila ke-4]
e. Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
[sila ke-5]
5. Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti
berani dan putih berarti suci
6. Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang
dilintasi Garis Khatulistiwa
7. Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945),
antara lain:
a. Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
b. Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
c. Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
d. Jumlah bulu di leher berjumlah 45
8. Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti "berbeda beda, tetapi tetap satu jua".
D. KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1. Masa Orde Lama
Pendidikan pada Masa Orde Lama
Sejak Indonesia merdeka dan membentuk NKRI, sistem pendidikan mulai diatur oleh
negara sejak kemerdekaan tahun 1945. Orde lama memfokuskan pendidikan sebagai upaya
dalam pembentukan karakter bangsa. Inilah orde dimana semua orang merasa sejajar, tanpa
dibedakan warna kulit, keturunan, agama dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia
pendidikan, orde lama berusaha membangun masayarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas
demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam
bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan demikian menteri PP dan K pertama (Ki Hajar Dewantara) mengeluarkan
instruksi umum yang memerintahkankepada semua kepala sekolah dan guru untuk :
1. Mengibarkan Sang Merah Putih setiap hari dihalaman sekolah.
2. Melagukan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
3.Menghentikan pengibaran bendera jepang dan menghapus nyanyian Kimiyago (lagu
kebangsaan jepang).
4.Menghapus pelajaran bahasa jepang, serta upacara yang berasal dari bala tentara jepang.
5. Memberi semangat kebasaan kepada semua murid .[3]
Atas usul badan pekerja KNIP, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mr. Soewandi)
membuat surat keputusan Nomor 104/Bhg o tertanggal 1 Maret 1946, untuk membentuk
panitia penyelidik pengajaran dibawah pimpinan Ki Hadjar Dewantara dan Soegarda
Poerbaka Watji sebagai penulis. Tugas yang diberikan kepada panitia ini antara lain :
1.Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah
2.Menetapkan bahan pengajaran dengan mempertimbangkan keperluan yang praktis dan
jangan terlalu berat
3.Menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap jenis sekolah termasuk fakultas
Salah satu hasil dari panitia tersebut adalah mengenai perumusan tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional pada masa tersebut penekanannya adalah pada penanaman
semangat patriotisme dan peningkatan kesadaran nasional, sehingga dengan semangat itu
kemerdekaan dapat dipertahankan dan diisi. Kementrian pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan Rapublik Indonesia dalam tahun 1946 mengeluarkan suatu pedoman bagi guru-
guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan sebagai dasar pengajaran
dan pendidikan di negara Republik Indonesia yang pada dasarnya berintisarikan Pancasila.
[3] Mustafa dan abdulloh, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1998,( bandung pustaka setia ), Hlm: 130.
Pada bulan Desember 1949 Republik Indonesia mengalami perubahan ketata negaraan
dan Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan konstitusi sementara Rapublik Indonesia
Serikat (RIS). Pada tanggal 5 April 1950 mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang asusila dengan cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air. Ini berarti bahwa setiap sistem persekolahan pada waktu itu harus
dapat menanamkan dan mengembangkan sifat-sifat demokratis pada anak didiknya
misalnya : di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa ditandai dengan
fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa-mahasiswa bebas berorganisasi
sesuai dengan pilihannya.[4]
Sistem persekolahan pada masa orde lama hanya mengenal 3 tingkat :
1. Pendidikan rendah, yang terdiri dari taman kanak-kanak (1 tahun) dan sekolah dasar (6
tahun)
2. Pendidikan menengah yang terdiri dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan
sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan masa belajar untuk masing-masing terdiri atas
sekolah umum dan sekolah kejuruan.
3. Pendidikan tinggi selama kurun waktu 1945-1950 berkembang pesat dan terbuka lebar
bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat, tetapi karena masa perjuangan maka
perkuliahan kerap kali disela dengan perjuangan ke garis depan. Pendidikan tinggi yang ada
berbentuk universitas atau perguruan tinggi dan akademi.
Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba
terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat
mengatasi masa panca roba seperti rongrongan terhadap NKRI.
Kebijakan yang diambil orde lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan
universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan
memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di
pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi
karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan
kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.
[4] Drs. Ari H Gunawan, Kebijakan-kebijakan pendidikan, Jakarta, Renika cipta, 1995, hlm36
Orde lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta
huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga
mayoritas buta huruf .[5]
Pada masa orde lama ini dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu:
1. Periode/kurun waktu 1945-1950 (awal kemerdekaan)
Usaha untuk memperbaiki tingkat dan mutu pendidikan di Indonesia, maka kaitannya adalah
berhubungan dengan :
a. Peningkatan fasilitas fisik (sarana dan prasarana pendidikan)
Pemerintah mendirikan gedung-gedung sekolah baru, menyewa rumah-rumah rakyat dan
mengadakan sistem penggunaan gedung sekolah dua sampai tiga kali sehari yaitu pagi,
siang dan malam hari.
b. Peningkatan dan penambahan fasilitas personal sekolah (guru dan tenaga tata usaha)
c. Kurikulum
Setelah UU Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 dikeluarkan, maka:
1. Kurikulum pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak agar memiliki dasar-
dasar pengetahuan, kecakapan dan ketangkasan baik lahir maupun batin serta
mengembangkan bakat dan kesukaannya.
2. Kurikulum pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan
tinggi, serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai
dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.
3. Kurikulum pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan mahasiswa agar dapat
menjadi pimpinan dalam masyarakat dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan
kemajuan hidup kemasyarakatan.
Pada tahun ini kedaulatan Indonesia semakin matang dan sempurna, maka rancangan
pendidikan agama pada waktu tersebut semakin disempurnakan dengan dibentuknya panitia
yang diketuai oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari
departemen P & K. Hasil dari panitia tersebut adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan
januari 1951, yang isinya adalah:[6]
a) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV sekolah rakyat (sekolah dasar)
b) Di daerah-daerah yang agamanya kuat (seperti sumtera, Kalimantan dan lain-lain) maka
[5] Anam, S, sekolah dasar, pergulatan mengejar ketertinggalan, (Solo: Wijatri), hlm: 113-148[6] Zuhairini dkk, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Jakarta, hlm: 153.
pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan
umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan
agamanya diberikan mulai kelas IV.
c) Di sekolah lanjutan pertama dan atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama
sebanyak 2 jam seminggu.
d) Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapat izin dari orang tua/walinya.
e) Penggngkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama di
tanggung oleh departemen agama .
d. Pembiayaan
Besarnya pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah pada kurun waktu ini
sulit diperoleh angka-angkanya secara pasti, karena sebagaimana kita ketahui bahwa waktu
itu kita berada dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan .[7]
Mahasiswa dan Pelajar Pejuang
Selama perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia seluruh
lapisan masyarakat telah terlibat, khususnya para pelajar dan mahasiswa yang telah
mengalami latihan kemiliteran pada zaman Jepang. Kurikulum pertama pada masa
kemerdekaan namanya “Rencana Pelajaran 1947”, ketika itu penyebutanya lebih populer
menggunakan leer plan (rencana pelajaran). Rencana pelajaran 1947 bersifat politis, yang
tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda. Asas
pendidikan ditetapkan Pancasila. Susunan rencana pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya
memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis
besar pengajarannya .[8]
Rencana pelajaran lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian
sehari-hari. Mata pelajaran untuk tingkat sekolah rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan
Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah bahasa Indonesia, bahasa
daerah, berhitung, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah, menggambar, menulis, seni
suara, pekerjaan tangan, pekerjaan keputrian, gerak badan, kebersihan dan kesehatan, didikan
budi pekerja dan pendidikan agama. Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan
pada cara guru mengajar dan cara murid mempelajari.
[7] Soenarto, N., Biaya Pendidikan di Indonesia : Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI, acses, http://www.kompas.com, [8] Sanjaya, W. Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI, 2007
2. Periode/kurun waktu 1950-1959 (demokrasi liberal)
a. Sistem persekolahan
Sejak Agustus 1950 penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran menggunakan Undang-
Undang pokok pendidikan dan pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 Republik Indonesia.
Susunan sekolah tersebut adalah sekolah rakyat 6 tahun, sekolah lanjutan tingkat pertama 3
tahun, dan sekolah lanjutan tingkat atas 3 tahun. Pada tahun 1954 didirikan lembaga
pendidikan guru bertingkat universitas yang pertama yaitu Pendidikan Tinggi Pendidikan
Guru (PTPG) di Bandung.
b. Kesempatan belajar
Undang-Undang pendidikan tahun 1950 dan 1959 Pasal 17 menyatakan bahwa: “Tiap-
tiap warga negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid
suatu sekolah, jika memenuhi syarat yang ditetapkan unit pendidikan dan pengajaran pada
sekolah itu”.
Di samping itu, pasal 21 ayat 1 menyatakan pula bahwa: “Pemerintah dan bangsa
Indonesia menerima ko-edukasi pendidikan untuk laki-laki dan perempuan bersama-sama”.
Dari Undang-Undang tersebut di atas dapatlah diketahui bahwa:
1) Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat, seperti anak
petani, pedagang, pegawai negeri, pengusaha, anggota ABRI untuk mendapatkan pendidikan
mulai dari TK sampai dengan perguruan tinggi.
2) Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat untuk mencapai
tingkat yang tertinggi, asalkan memenuhi syarat.
3) Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat tanpa
membedakan apakah anak laki-laki atau perempuan.
Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952
ini diberi nama “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Kurikulum ini mengarah pada suatu
sistem pendidikan nasional yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini
bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari. Pada masa itu juga dibentuk kelas masyarakat, yaitu sekolah khusus
bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP, kelas masyarakat mengajarkan
keterampilan seperti pertanian, pertukangan dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu
sekolah ke jenjang SMP bisa langsung bekerja.
3. Periode/kurun waktu 1959-1966 (demokrasi terpimpin)
Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam keputusan presiden nomor 145
Tahun 1965 adalah sebagai berikut :
Tujuan pendidikan nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh
pihak swasta, dari pendidikan pra sekolah sampai pendidikan tinggi supaya melahirkan warga
negara sosialis Indonesia yang asusila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
masyarakat sosialis Indonesia adil dan makmur spiritual maupun material dan yang berjiwa
Pancasila.
Kebijakan pendidikan pada waktu itu yaitu, “sapta usaha tama dan panca wardhana”
tertuang dalam instruksi Menteri PP&K Nomor 1 Tahun 1959.
Sapta Usaha Tama berisi :
a. Penertiban aparatur dan usaha-usaha kementrian PP&K
b. Menggiatkan kesenian dan olahraga
c. Mengharuskan “usaha halaman”
d. Mengharuskan penabungan
e. Mewajibkan usaha-usaha koperasi
f. Mengadakan “kelas masyarakat”
g. Membentuk “regu kerja” di kalangan SLA dan Universitas
Sementara Panca Wardhana berisikan segi-segi sebagai berikut :
a. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional, internal dan keagamaan (moral)
b. Perkembangan intelegensi (kecerdasan)
c. Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuana dan keindahan lahir batin
d. Perkembangan keprigelan (kerajinan) tangan
e. Perkembangan jasmani
Konsep pembelajaran pada tahun 1964 mewajibkan sekolah membimbing anak agar
mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving). Rencana pendidikan
1964 melahirkan kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada pengembangan daya cipta,
rasa, karya dan moral yang kemudian dikenal dengan istilah panca wardhana.
Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar dijalankan
dengan metode yang disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan
hari Sabtu sebagai hari krida, maksudnya, pada hari Sabtu siswa diberi kebebasan berlatih
kegiatan di bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan sesuai minat siswa.
Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia Pancasilais yang sosialis Indonesia,
dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPKS No. 11 Tahun 1960.
Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi
kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10-100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan
bagi kelas III hingga VI tetap menggunakan skor 10-100.
2. Masa Orde Baru
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga
terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei
1998. Peralihan dari orde lama ke orde baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik
dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya orde baru adalah suatu korelasi total
terhadap orde lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan
pancasila. Masa orde baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan.
Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan
jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.[9]
Kebijakan pemerintah orde baru, sebelum maupun setelahnya seringkali menganak
tirikan pendidikan. Pendidikan mempunyai anggaran paling kecil dari dana APBD dan sistem
pendidikan yang terpusat atau dengan istilah sentralisasi membuat kualitas pendidikan
Indonesia semakin memburuk. Yang lebih menyedihkan dari kebijakan pemerintahan orde
baru terhadap pendidikan adalah sistem doktrinisasi, yaitu sebuah sistem yang memaksakan
paham-paham pemerintahan orde baru agar mengakar pada benak anak-anak. Bahkan dari
sejak sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi, diwajibkan untuk mengikuti
penetaran P4 yang berisi tentang hapalan butir-butir Pancasila. Proses indoktrinisasi ini tidak
hanya menanamkan paham-paham orde baru, tetapi juga sistem pendidikan masa orde baru
yang menolak segala bentuk budaya asing, baik itu yang mempunyai nilai baik ataupun
mempunyai nilai buruk. Paham orde baru yang membuat kita takut untuk melangkah lebih
maju.[10]
Dengan demikian, pendidikan pada masa orde baru bukan untuk meningkatkan taraf
kehidupan rakyat, apalagi untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, tetapi malah
[9] Ricky Diah, Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Masa Orde Baru, http://ricky-diah.blogspot.com, acses, 24/03/2012.[10] Dwimas, Kebijakan Pendidikan Masa Orde Baru, http://dwimaspls2010.blogspot.com, acses 24/03/2012.
mengutamakan orientasi politik agar semua rakyat itu selalu patuh pada setiap kebijakan
pemerintah. Bahwa segala keputusan pemerintah adalah keputusan yang tidak boleh
dilanggar. Itulah doktrin orde baru pada sistem pendidikan kita.
Indoktrinisasi pada masa kekuasan Soeharto ditanamkan dari jenjang sekolah dasar
sampai pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan yang seharusnya mempunyai kebebasan
dalam pemikiran. Pada masa itu, pendidikan diarahkan pada pengembangan militerisme yang
militan sesuai dengan tuntutan kehidupan suasana perang dingin. Semua serba kaku dan
berjalan dalam sistem yang otoriter.
Ahkirnya, kebijakan pendidikan pada masa orde baru mengarah pada penyeragaman.
Baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran. Hal ini menyebabkan generasi bangsa
kita adalah generasi yang mandul. Maksudnya, miskin ide dan takut terkena sanksi dari
pemerintah karena semua tindakan bisa-bisa dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan
pemerintah orde baru-lah yang paling benar. Semua wadah-wadah organisasi baik yang
tunggal maupun yang majemuk, dibentuk pada budaya homogen. Bahkan partai politik pun
dibatasi. Hanya tiga partai yang berhak mengikuti Pemilu. Bukankah kebijakan ini sudah
melanggar undang-undang dasar 45 yang menjadi dasar dari berdirinya negara ini?
Secara umum praktek pendidikan juga mengalami variasi pula yang dibedakan menurut
jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
1. Jenis pendidikan
Pada umumnya pendidikan menurut jenisnya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Pendidikan Formal, menunjuk pada sistem pendidikan persekolahan. Pendidikan jenis ini
atau sistem persekolahan ini adalah jenis pendidikan yang sudah terstandardisir secara legal-
formal. Baik dalam jenjang-jenjangnya, lama belajarnya, paket kurikulumnya, persyaratan
unsur-unsur pengelolaannya, persyaratan usia.
b. Pendidikan nonformal, memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang diatas, dapat
dikatakan relatif lebih lentur, fleksibel, dan berjangka pendekprogram penyelenggaraannya
dibandingkan dengan jenis pendidikan formal.
c. Pendidikan informal, jenis pendidikan yang tidak terorganisir secara terstruktur, lebih
merupakan hasil pengalaman belajar individual-mandiri. Bentuk nyata dari jenis pendidikan
ini adalah pendidikan dalam keluarga. Dalam keluarga tidak dikenal standardisasi program,
kurikulum, jenjanng dan lain-lain. Contoh lain: pendidikan media massa, acara-acara
keagamaan, dan lain-lain.
2. Jalur pendidikan
Menurut jalurnya, pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu jalur sekolah dan jalur luar
sekolah. Jalur sekolah merupakan jalur pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan.
Jalur ini dilaksanakan oleh sekolah melalui kegiatan belajar mengajar. Jalur sekolah ini terdiri
atas sekolah-sekolah yang berjenis pendidikan umum, pendidikan kejuaraan, pendidikan luar
biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional.
Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan jalur pendidikan yang
diselenggarakan diluar pendidikan sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak
harus berjenjang dan berkesinambungan, jalur ini umumnya diselenggarakan oleh keluarga,
kelompok belajar, lembaga kursus, dan satuan-satuan yang sejenis.
3. Jenjang pendidikan
Pendidikan ditinjau dari jenjangnya terdiri dari: a) jenjang pra sekolah, b) jenjang
pendidikan dasar, c) jenjang pendidikan menengah, dan d) jenjang pendidikan tinggi.
Keempat-empatnya merupakan mata rantai yang berkesinambungan.
Jenjang pendidikan pra sekolah wujudnya adalah: kelompok bermain (play group) dan
Taman Kanak-kanak (TK). Jenjang pendidikan dasar (SD), Madrassh Ibtidaiyyah (MI),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), serta Madrasah Tsanawiyyah (MTs). Jenjang
pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA), adapun jenjang pendidikan tinggi yaitu
contohnya UIN, UNY, UGM, dan lain-lain.[11]
3. Marginalisasi Sekolah dan Guru pada Era Orde Baru
Pada era Orde Baru, keberadaan sekolah selalu membutuhkan bantuan dari
pemerintah/negara. Sebaliknya negara membutuhkan pearn sekolah. Hal ini juga terjadi
sebagaimana ditempat dan era yang lain. Baik sekolah maupun negara, masing-masing
memiliki saling keterhubungan (interdependentcy) yang amat kuat secara fungsional-
mutualis. Saling keterhubungan ini didorong oleh masing-masing kepentingan diantara
keduanya, baik dari sisi sekolah maupun dari sisi negara.
Namun dalam perjalanannya hubungan sekolah dengan pemerintah tidak dapat berjalan
secara fungsional-mutualis. Diantara keduanya terkadang terjadi ketimpangan hubungan,
[11] Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2009), hal:174.
yang mengarah pada hubungan dependensial sekolah terhadap negara. Bahkan lebih tragis
lagi adalah jenis hubungan yang sifatnya eksploitatif dari negara atas sekolah. Pada keadaan
yang demikian dimana hubungan yang kurang seimbang, sekolah sering hanya dijadikan
sebagai alat kepentingan kekuasaan negara. Selama orde bari berkuasa banyak pahit getirnya
yang dialami oleh dunia pendidikan pada umumnya dan para guru pada khususnya. Aneka
represi dan eksploitasi dari pihak negara kepada sekolah dan guru melalui cara-cara politisasi
serta kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan mereka tanpa diimbangi dengan
penghargaan yang wajar dan manusiawi.[12]
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa orde lama Soekarno, Presiden RI yang pertama, membawa semangat
nation and character building dalam pendidikan di Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air
didirikan sekolah dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa bayar.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto membangun
manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya sebagai pengganti dari
moto Presiden Soekarno nation and character building. Dibantu oleh para ilmuan dari
Amerika Serikat, pada tahun 1968 dilakukan upaya untuk menyempurnakan kurikulum
pendidikan.
Pada intinya setiap masa yang berlalu pemerintah selalu mengambil kebijakan dalam
rangka perbaikan dan pengembangan pendidikan baik kurikulum, guru, sarana prasarana dan
komponen pendidikan lainnya.
[12] Ibid. 196.
DAFTAR PUSTAKA
Anam, S., Sekolah Dasar, Pergulatan Mengejar Ketertinggalan, Solo : Wajatri
Arif Rohman, 2009, Politik Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: LaksBang Mediatama
Dwimas, kebijakan pendidikan masa orde baru, http://dwimaspls2010.blogspot.com, acses
24/03/2012.
Gunawan Ary H., Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995
Mustafa dan abdulloh, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia ,
1998
Nina Susilo, Jumlah Penduduk Indonesia 259 Juta, http://nasional.kompas.com, acses Senin,
26 Maret 2012
Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia: harapan, visi, dan strategi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hal15.
Ricky Diah, kebijakan pemerintah dalam pendidikan masa orde baru, http://ricky-
diah.blogspot.com, acses, 24/03/2012.
Sam M.Chan dan Tuti T.Sam, 2007, Analisis Swot Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, Jakarta: Grafindo.
Sanjaya, W. Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI,
2007
Soenarto, N., Biaya Pendidikan di Indonesia : Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda
dan NKRI, (on line) http://www.kompas.com
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, Jakarta, 1986