Post on 16-Feb-2016
description
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. S POST SC DENGAN SUNGSANG
DI RUANG ANGGREK RST DR. SOEDJONO MAGELANG
Disusun Oleh :
Imam Fauzi
3215046
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN IX
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2015
____________________________________________________________________
Jl. Ringroad Barat, Ambarketawang, Gamping, Sleman Yogyakarta
Telp (0274) 4342000
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. S POST SC DENGAN SUNGSANG DI
RUANG ANGGREK RST DR. SOEDJONO MAGELANG
Disahkan pada:
Hari/Tanggal: November 2015
Mahasiswa Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik
(Imam Fauzi) (Ika Parmawati, M.Kep) (AP Jatmiko)
SECTIO CAESARIA (SC)
A. DEFINISI
Sectio Saesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Rustam, 2013). Sectio Cesaria adalah suatu
tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat diatas 500 gr, melalui sayatan pada
dinding perut dan dinding rahim yang masih utuh. (Hudaya, 2012). Sectio Cesaria
merupakan suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi
pada dinding perut dan dinding rahim dengan saraf rahim dalam keadaan utuh
serta berat di atas 500 gram (Mitayani, 2013).
B. JENIS – JENIS
1. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen
bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari
tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh
lebih sempurna.
2. Sectio cacaria klasik atau section cecaria korporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan
ini yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan
untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang
pada segmen atas uterus.
3. Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi
bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap
injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga
peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4. Section cesaria Hysterectomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat
Tahap Melakukan SC
a. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus
uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai
sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua
jari operator.
Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
1) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
2) Lapisan II
lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
3) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur
menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban.
Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
b. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang,
kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.
Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih
1 cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan
gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi
janin dengan dua jari operator.
Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan dengan
cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
1) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
2) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
3) Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan
benang plain catgut no.1 dan 2
Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban.
Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
c. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia
digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.
Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar
transperitoneal profunda demikian juga cara menutupnya.
d. Histerektomi Caersarian ( Caesarian Hysterectomy)
Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian
juga cara melahirkan janinnya.
Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan menggunakan
klem secukupnya.
Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada
tepi segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem
tersebut.
Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan pada
tunggul serviks uteri diatasi.
Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang sutera
no. 2.
Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut
( no.1 atau 2 ) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks
uteri.
Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah panggul dan visera
abdominis.
Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
C. ETIOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor
sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai
berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul
ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan
ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan
susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk
panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus
dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk
rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena
itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati
agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah
36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan
dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul,
kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar
panggul.
2) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-
0,5 %.
3) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak
belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna
dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
Indikasi SC menurut (Mitayani, 2013);
a. Indikasi Ibu:
1) Panggul sempit
2) Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
3) Stenosis serviks uteri atau vagina
4) Plassenta praevia
5) Disproporsi janin panggul
6) Rupture uteri membakat
b. Indikasi Janin
1) Kelainan Letak :
a) Letak lintang
b) Letak sungsang ( janin besar,kepala defleksi)
c) Latak dahi dan letak muka dengan dagu dibelakang
d) Presentasi ganda
e) Kelainan letak pada gemelli anak pertama
2) Gawat Janin
c. Kontraindikasi
1) Infeksi intrauterine
2) Janin Mati
3) Syok/anemia berat yang belum diatasi
4) Kelainan kongenital berat
D. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak,
placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin
besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post
partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat
akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi
post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan
perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa
atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas
yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan
dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002).
E. PATHWAY SECTIO CESARIAETIOLOGI SC
TINDAKAN SC
Sumber: (Mitayani, 2013); (Hudaya, 2012); (Rustam, 2013); & (Santosa, 2007).
Penurunan saraf
simpatis
BedrestFIsiologisPsikologis
InsisiPembatasan cairan peroral
AnestesiAdaptasi postpartum
Luka
Regenerasi sel darah
merahLaktasi
PerdarahanKekurangan volume cairan
Kondisi diri
menurun
Involusi
Kurang perawatan
Pelepasan desidua
Prolaktin
Kontraksi uterus
ObstipasiProduksi
Asi
Penurunan peristaltik
Lochea
Ketidakefektifan pemberian Asi
Hisapan meningkat
Hambatan mobilitas
fisik
Ketidakmampuan miksi
Defisit perawatan
diri
Intoleransi aktivitas
Penurunan HB Nyeri
akut
Penurunan suplai O2
Risiko aspirasi
Defisiensi pengetahuan
Kerusakan integritas jaringan
Risiko Infeksi
Keletihan Risiko Perdarahan
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang
tidak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. AGD
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah
G. KOMPLIKASI
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas
dibagi menjadi:
a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung
c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan
cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme
paru yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
5. Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal
H. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan awal
a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan
b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam
pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat
kesadaran tiap 15 menit sampai sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika diperlukan
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam
pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang
sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
5. Perawatan fungsi kandung kemih
a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam
b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
c. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang
sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per
oral per hari sampai kateter dilepas
e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
6. Pembalutan dan perawatan luka
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut
b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit
dilakukan pada hari kelima pasca SC.
7. Jika masih terdapat perdarahan
a. Lakukan masase uterus
b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau
RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam :
a. Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
b. Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
b. Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
c. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
d. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
10. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
11. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan
a. Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi
berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya
hematoma.
c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut
ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
f. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat
menaikkan tekanan intra abdomen
h. pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi
obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-
kan karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan
diafragma. Selain itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi
dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh
karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama
2 jam dan 4 jam sekali.
i. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan
kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi
dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk
mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah,
frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin
Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya
penyimpangan
k. Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional
atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai
indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit
pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter
fole
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat
ditemukan meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan,
malposisi janin, prolaps tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa,
status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit
nomor register , dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi,
DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang
keluar pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda
persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga:
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT,
TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut
diturunkan kepada klien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan
1) pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah
dini, dan cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta
kurangnya mrnjaga kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah
dalam perawatan dirinya
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena
dari keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga
banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas
karena mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering
/susah kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya
odema dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga
sering terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena
adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan
6) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga
dan orang lain.
7) Pola penanggulangan sters
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
8) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan
dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas
primipara terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya
9) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan
konsep diri antara lain dan body image dan ideal diri
10) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual
atau fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses
persalinan dan nifas.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena
adanya proses mengerang yang salah
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva,
dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses
persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kunuing
4) Telinga
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,
adakah cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang
ditemukan pernapasan cuping hidung
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi
areola mamae dan papila mamae
7) Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
8) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila
terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam
kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
9) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur
10) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau karena penyakit
jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi
cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.
2. Diagnosa Keperawatan Dengan SC
a. Ketidakefektifan pemberian asi berhubungan dengan nyeri ibu.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik prosedur bedah.
c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
f. Risiko aspirasi berhubungan dengan faktor risiko barier untuk
mengangkat bagian atas tubuh.
g. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
h. kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan kebutuhan oksigen.
j. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis (misal anemia,
kehamilan).
k. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur bedah
l. Risiko perdarahan berhubungan dengan komplikasi pascpartum (misal
atonia uterus, retensi plasenta)
3. Rencana Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN
NO
DIANGOSA
KEPERAWA
TAN DAN
KOLABORA
SI
TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
1. ketidakefektifa
n pemberian
asi
berhubungan
dengan nyeri
ibu
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan pemberian
ASI efektif dengan
indicator:
NOC
Breastfeeding
maintenance
Breastfeeding
establishment:
maternal
Kriteria hasil:
mampu
memberikan asi
NIC
Breast examination
1. ajarkan teknik menyusui yang
benar
2. ajarkan posisi yang nyaman
dalam memberikan asi kepada si
bayi.
3. instruksikan klien untuk
mengenakan baju gaun.
4. berikan gerakan pemijatan
secara rotasi atau memutar.
5. berikan kompres pada dada.
dengan teknik
yang lembut
mampu
memberikan asi
kepada bayi
dengan posisi
yang nyaman.
2. Nyeri akut b.d
agen injuri
fisik (prosedur
bedah)
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan nyeri
berkurang dengan
indicator:
Pain Level
Pain control,
Comfort level
Mampu
mengontrol nyeri
(tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri, mencari
bantuan)
Melaporkan bahwa
nyeri berkurang
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien.
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri.
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau.
6. Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau.
7. Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan.
8. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
dengan
menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali
nyeri (skala,
intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang
Tanda vital dalam
rentang normal
ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
inter personal).
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi.
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
13. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri.
14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
15. Tingkatkan istirahat.
16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.
17. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri.
3. Defisiensi
pengetahuan
b/d kurang
informasi
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan pengetahuan
klien meningkat dengan
indicator:
Kowlwdge :
disease process.
Kowledge : health
Teaching : Disease Proces
1. Berikan penilaian tentang tingkat
pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik.
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit
dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan
cara yang tepat.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang
Behavior
Pasien dan keluarga
menyatakan
pemahaman
tentang penyakit,
kondisi, prognosis
dan program
pengobatan.
Pasien dan keluarga
mampu
melaksanakan
prosedur yang
dijelaskan secara
benar.
Pasien dan keluarga
mampu
menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan
perawat/tim
kesehatan lainnya.
biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat.
4. Gambarkan proses penyakit, dengan
cara yang tepat.
5. Identifikasi kemungkinan penyebab,
dengna cara yang tepat.
6. Sediakan informasi pada pasien
tentang kondisi, dengan cara yang
tepat.
7. Hindari jaminan yang kosong
8. Diskusikan perubahan gaya hidup
yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit.
9. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan.
10. Dukung pasien untuk mengeksplorasi
atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau
diindikasikan.
11. Eksplorasi kemungkinan sumber atau
dukungan, dengan cara yang tepat.
12. Rujuk pasien pada grup atau agensi di
komunitas lokal, dengan cara yang
tepat.
13. Instruksikan pasien mengenai tanda
dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan, dengan
cara yang tepat.
4. Defisit
perawatan diri
b.d.
Kelemahan.
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam ADLs
klien meningkat
dengan indicator:
Self care : Activity
of
Daily Living
(ADLs)
Klien terbebas dari
bau badan.
Menyatakan
kenyamanan
terhadap
kemampuan untuk
melakukan ADLs.
Dapat melakukan
ADLS dengan
bantuan
Self Care assistane : ADLs
1. Monitor kemempuan klien untuk
perawatan diri yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-
alat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan
makan.
3. Sediakan bantuan sampai klien mampu
secara utuh untuk melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika klien
tidak mampu melakukannya.
6. Ajarkan klien/ keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika pasien
tidak mampu untuk melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari
sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.
5. Risiko infeksi
b.d prosedur
Setelah dilakuakan
asuhan keperawatan
Infection Control (Kontrol infeksi)
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
invasif. selama 3x24 jam
diharapkan resiko
infeksi terkontrol
dengan indicator:
Immune Status
Knowledge :
Infection control
Risk control
Klien bebas dari
tanda dan gejala
infeksi.
Mendeskripsikan
proses penularan
penyakit, factor
yang
mempengaruhi
penularan serta
penatalaksanaanny
a.
Menunjukkan
kemampuan untuk
mencegah
timbulnya infeksi.
Jumlah leukosit
dalam batas
normal.
Menunjukkan
perilaku hidup
pasien lain.
2. Pertahankan teknik isolasi.
3. Batasi pengunjung bila perlu.
4. Instruksikan pada pengunjung untuk
mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan
pasien.
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk
cuci tangan.
6. Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah tindakan kperawtan.
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai
alat pelindung.
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat.
9. Ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum.
10. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung kencing.
11. Tingktkan intake nutrisi.
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (Proteksi
Terhadap Infeksi)
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
2. Monitor hitung granulosit, WBC.
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi.
sehat. 4. Batasi pengunjung.
5. Saring pengunjung terhadap penyakit
menular.
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko.
7. Pertahankan teknik isolasi k/p.
8. Berikan perawatan kuliat pada area
epidema.
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase.
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah.
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup.
12. Dorong masukan cairan.
13. Dorong istirahat.
14. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep.
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi.
16. Ajarkan cara menghindari infeksi.
17. Laporkan kecurigaan infeksi.
18. Laporkan kultur positif
6. Risiko aspirasi
berhubungan
dengan faktor
risiko barier
untuk
mengangkat
bagian atas
Setelah dilakuakan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan resiko
aspirasi terkontrol
dengan indicator:
NOC :
NIC:
Aspiration precaution
1. Monitor tingkat kesadaran, reflek
batuk dan kemampuan menelan
2. Monitor status paru
3. Pelihara jalan nafas
4. Lakukan suction jika diperlukan
tubuh. Respiratory Status :
Ventilation
Aspiration control
Swallowing Status
Kriteria Hasil :
Klien dapat
bernafas dengan
mudah, tidak
irama, frekuensi
pernafasan normal
Pasien mampu
menelan,
mengunyah tanpa
terjadi aspirasi, dan
mampu melakukan
oral hygiene
Jalan nafas paten,
mudah bernafas,
tidak merasa
tercekik dan tidak
ada suara nafas
abnormal
5. Cek nasogastrik sebelum makan
6. Hindari makan kalau residu masih
banyak
7. Potong makanan kecil kecil
8. Haluskan obat sebelumpemberian
9. Naikkan kepala 30-45 derajat setelah
makan
7. Hambatan
mobilitas fisik
berhubungan
dengan nyeri.
Setelah dilakuakan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan resiko
aspirasi terkontrol
dengan indicator:
NIC :
Exercise therapy : ambulation
1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah
latihan dan lihat respon pasien saat
latihan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik
NOC :
Joint Movement
: Active
Mobility Level
Self care :
ADLs
Transfer
performance
Kriteria Hasil :
Klien
meningkat
dalam aktivitas
fisik
Mengerti tujuan
dari
peningkatan
mobilitas
Memverbalisasi
kan perasaan
dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat
Bantu untuk
tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk menggunakan
tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
mobilisasi
(walker)
8. Kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan
kehilangan
cairan aktif
Setelah dilakuakan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan kekurangan
volume cairan dapat
terkontrol dengan
indicator:
NOC:
Fluid balance
Hydration
Nutritional Status :
Food and Fluid
Intake
Kriteria Hasil :
Mempertahankan
urine output sesuai
dengan usia dan
BB, BJ urine
normal, HT
normal
Tekanan darah,
nadi, suhu tubuh
dalam batas
normal
NIC :
Fluid management
1. Timbang popok/pembalut jika
diperlukan
2. Pertahankan catatan intake dan output
yang akurat
3. Monitor status hidrasi ( kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik ), jika
diperlukan
4. Monitor vital sign
5. Monitor masukan makanan / cairan
dan hitung intake kalori harian
6. Kolaborasikan pemberian cairan
intravena IV
7. Monitor status nutrisi
8. Dorong masukan oral
9. Berikan penggantian nesogatrik sesuai
output
10. Dorong keluarga untuk membantu
pasien makan
11. Tawarkan snack ( jus buah, buah segar
)
12. Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul meburuk
Tidak ada tanda
tanda dehidrasi,
Elastisitas turgor
kulit baik,
membran mukosa
lembab, tidak ada
rasa haus yang
berlebihan
13. Atur kemungkinan tranfusi
14. Persiapan untuk tranfusi
Hypovolemia Management
1. Monitor status cairan termasuk
intake dan ourput cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor tingkat Hb dan hematokrit
4. Monitor tanda vital
5. Monitor responpasien terhadap
penambahan cairan
6. Monitor berat badan
7. Dorong pasien untuk menambah
intake oral
8. Pemberian cairan Iv monitor
adanya tanda dan gejala
kelebihanvolume cairan
9. Monitor adanya tanda gagal ginjal
9. intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimba
ngan antara
suplai oksigen
dan kebutuhan
oksigen.
Setelah dilakuakan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan intoleransi
aktivitas terkontrol
dengan indicator:
NOC :
Energy
conservation
Self Care :
ADLs
NIC :
Energy Management
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik
dalammerencanakan progran terapi
yang tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yangsesuai dengan
Kriteria Hasil :
Berpartisipasi
dalam aktivitas
fisik tanpa
disertai
peningkatan
tekanan darah,
nadi dan RR
Mampu
melakukan
aktivitas sehari
hari (ADLs)
secara mandiri
kemampuan fisik, psikologi dan social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan
aktivitas seperti kursi roda, krek
6. Bantu untu mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emosi, social
dan spiritual
10. Keletihan
berhubungan
dengan
kelesuan
fisiologis (mis,
anemia,
kehamilan).
Setelah dilakuakan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan keletihan
terkontrol dengan
indicator:
NOC :
Endurance
Concentration
NIC :
Energy Management
1. Observasi adanya pembatasan klien
dalam melakukan aktivitas
2. Dorong anal untuk mengungkapkan
perasaan terhadap keterbatasan
3. Kaji adanya factor yang menyebabkan
kelelahan
4. Monitor nutrisi dan sumber energi
Energy
conservation
Nutritional status :
energy
Kriteria Hasil :
Memverbalisasikan
peningkatan energi
dan merasa lebih
baik
Menjelaskan
penggunaan energi
untuk mengatasi
kelelahan
tangadekuat
5. Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler
terhadap aktivitas
7. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
11. Kerusakan
integritas
jaringan
berhubungan
dengan
prosedur
bedah
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan integritas
jaringan klien membaik
dengan indicator:
Wound Healing:
Secondary intention
o Ukuran luka
berkurang
o Tidak terdapat
pengeluaran pus
Incision Site Care
1. Jelaskan pada klien prosedur
tindakan SC maupun perawatan
luka yang akan dilakukan
2. Perhatkan karakteristik drainase
3. Monitor proses penyembuhan pada
lokas insisi
4. Cegah terjadinya infeksi dan
monitor tanda-tanda terjadinya
infeksi
o Tidak terdapat
tanda-tanda
infeksi
12. Risiko
perdarahan
berhubungan
dengan
komplikasi
pascpartum
(misal atonia
uterus, retensi
plasenta)
NOC :
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
Blood lose severty
Blood koagulation
Tidak ada
hematuria dan
hematemesis
Kehilangan
darah yang
terlihat
Tekanan darah
dalam batas
normal sistol
dan diastole
Tidak ada
pendarahan
pervagina
Tidak ada
distensi
NIC :
Bleeding precautions
1. Monitor ketat tanda – tanda
perdarahan
2. Catat nilai Hb dan Ht sebelum
dan sesudah terjadinya
perdarahan
3. Monitor TTV
4. Pertahankan bed rest selama
pendarahan aktif
5. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake makanan
yang banyak mengandung
vitamin K
abdominal
Hemoglobin dan
hematokrit
dalam batas
normal
Plasma, PT,
PTT dalam batas
normal
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan
masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Hudaya. (2012). Keperawatan Maternitas. Bandung: Aerlangga.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, Jakarta : EGC
McCloskey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Muchtar. 2005. Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC
Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta :
mocaMedia
Rustam, M. (2013). Pelayanan Kesehatan Maternal, edisi 2. Jakarta : EGC.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Saifuddin, AB. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo