Post on 23-Mar-2019
10
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Dasar-dasar Perpajakan
II.1.1 Definisi Pajak
Sejak dahulu kala pajak sudah banyak didefinisikan oleh para ahli pajak baik
dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Salah satunya definisi pajak dari ahli pajak
dalam negeri yaitu menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang dikutip oleh
Mardiasmo (2008), beliau mendefinisikan bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Setelah periode reformasi perpajakan tahun 1984 barulah Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP). Undang-undang ini sudah mengalami empat kali
perubahan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Menurut Pasal
1 ayat 1 UU No.16 Tahun 2009:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
11
Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur, yaitu:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara, baik pemeritah pusat maupun
pemerintah daerah. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan undang-undang serta peraturan
perpajakan.
3. Sifatnya dapat dipaksakan.
Hal ini berarti pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat timbulnya
sanksi perpajakan.
4. Tanpa kontraprestasi langsung dari Negara
Dalam hal ini Wajib Pajak tidak akan bisa mendapat balas jasa atau
kontraprestasi secara langsung dari pajak yang telah mereka bayarkan ke
Negara.
5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
II.1.2 Fungsi Pajak
Berdasarkan pada definisi pajak yang telah dikemukakan oleh ahli pajak dan
undang-undang perpajakan, seolah-olah terlihat bahwa pajak yang dipungut oleh
pemerintah hanya digunakan untuk mengisi kas Negara saja, karena kontraprestasi atau
12
imbalannya tidak dapat langsung dinikmati oleh si pembayar pajak. Tetapi sebenarnya
pajak memiliki dua fungsi menurut Siti resmi (2011), yaitu:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu
penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya
memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut
ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak
melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak.
2. Fungsi Regulerend (Fungsi Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur, artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan
ekonomi. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
b. Tarif Pajak Progresif dikenakan atas penghasilan agar pihak yang
memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak)
yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, hal ini dilakukan agar para pengusaha
terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat
memperbesar devisa Negara.
13
Berdasarkan fungsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan sumber
dana utama bagi penerimaan dalam negeri, oleh karena itu pemungutan pajak bisa
dipaksakan kepada orang-orang yang memang wajib dikenakan pajak, tentunya hal
tersebut harus sesuai dengan undang-undang perpajakan.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak di Indonesia yang biasa kita kenal ada 3 (tiga),
Menurut Mardiasmo (2008), ke tiga sistem pemungutan tersebut adalah:
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada aparatur
perpajakan (fiskus) untuk menentukan jumlah pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak ada pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif karena bukan dirinya sendiri yang menentukan
besarnya pajak terutang.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak (SKP) oleh
fiskus.
2. Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang setiap tahunnya
14
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Sistem
pemungutan pajak ini biasanya dipakai dalam menentukan PPh terutang Wajib
Pajak. Self Assessment System ini muncul untuk memberi kepercayaan
masyarakat agar mereka mau membayar pajak yang mereka hitung sendiri.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak itu
sendiri.
b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajak terutangnya.
c. Fiskus tidak ikut campur, hanya mengawasi saja.
3. With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.1.4 Hambatan Dalam Pemungutan Pajak
Kesadaran Wajib Pajak sangat dituntut dalam pelaksanaan kewajiban
perpajakan. Tetapi pada pelaksanaannya, upaya pemungutan pajak ternyata tidak
semudah yang dibayangkan. Terdapat beberapa hambatan yang dapat menggangu
proses pemungutan pajak. Hambatan-hambatan menurut Mardiasmo (2008), antara lain:
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat biasanya enggan jika disuruh untuk membayar pajak, hal ini
mungkin disebabkan oleh:
15
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
d. Pudarnya kepercayaan masyarakat kepada petugas pajak atas beberapa kasus
korupsi yang pernah terjadi.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya
antara lain:
a. Penghindaran Diri dari Pajak (Tax Avoidance)
Yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-
undang. Biasanya Tax Avoidance ini dilakukan dengan memilih tarif pajak
yang lebih rendah dan merekayasa penghasilan menjadi berbagai jenis
penghasilan yang memiliki tarif berbeda-beda.
b. Pengelakan Diri dari Pajak (Tax Evasion)
Yaitu usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-
undang (menggelapkan pajak).
Contoh: Wajib Pajak melakukan manipulasi pajak dengan melakukan
pembukuan ganda.
16
II.2 Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
II.2.1 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak
Dalam pelaksanaan perpajakan tentunya Wajib Pajak mempunyai beberapa
kewajiban yang harus dipatuhi. Dalam buku karangan Mardiasmo (2008), dijelaskan
tentang kewajiban dan hak Wajib Pajak. Adapun kewajiban tersebut diantaranya:
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
2. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak).
3. Menghitung dan membayar sendiri pajaknya dengan benar.
4. Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, dan melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar dalam batas waktu yang
telah ditentukan.
5. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
6. Jika diperiksa, wajib:
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasar pemeriksaan dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, berhubungan dengan kegiatan usaha, pekerjaan
bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak.
b. Memberikan kesempatan kepada fiskus untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan.
7. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau dokumen
serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
17
merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Selain kewajiban yang telah disebutkan diatas, tentunya Wajib Pajak pun
mempunyai beberapa hak dalam perpajakan, antara lain:
1. Mengajukan surat keberatan dan surat banding.
2. Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
3. Melakukan pembetulan SPT yang telah dilaporkan.
4. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT.
5. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
6. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam Surat
Ketetapan Pajak (SKP).
7. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
8. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang salah.
9. Memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan kewajiban pajakannya.
10. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
11. Mengajukan keberatan dan banding.
II.2.2 Nomor Pokok Wajib Pajak
II.2.2.1 Kewajiban Mendaftarkan Diri
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan, setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
18
perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2007 tentang
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi yang Berstatus Sebagai Pengurus,
Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan
Pemerintah, pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak adalah:
“Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal alat identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.”
Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pada wanita kawin yang dikenai pajak
secara terpisah karena hidup terpisah dengan suaminya berdasarkan keputusan hakim
atau adanya perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. Wanita kawin tersebut dapat
mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP atas namanya sendiri agar pelaksanaan
kewajiban perpajakannya terpisah dengan suaminya. Sedangkan untuk wanita kawin
yang tidak melakukan pisah harta, maka pelaksanaan kewajiban perpajakannya
menggunakan NPWP suaminya. Selain itu NPWP mempunyai fungsi antara lain:
a) Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
b) Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
c) Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan.
19
d) Menjadi persyaratan dalam pelayanan umum, misalnya membuat paspor, kredit
bank dan lelang.
e) Restitusi Pajak.
Salah satu keuntungan seseorang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
adalah orang tersebut bebas fiskal jika ingin ke luar negeri dan dapat terhindar dari
penerapan tarif PPh pasal 21 yang lebih tinggi 20% bagi Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
II.2.2.2 Tata Cara Pendaftaran NPWP Dengan Sistem e-Registration
Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menerbitkan NPWP secara jabatan bagi Wajib
Pajak yang tidak mendaftarkan diri. Dalam bukunya Siti Resmi (2011), menjelaskan
tentang Wajib Pajak yang ingin mendapatkan mendapatkan NPWP bisa melalui 2 (dua)
cara, yaitu:
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) wilayah tempat tinggal atau
tempat kedudukan dari Wajib Pajak.
b. Melalui internet (e-registration) disitus Direktorat Jenderal Pajak, yaitu
http://www.pajak.go.id dengan meng-klik e-registration. E-registration menurut
pajak.go.id adalah :
“Sistem aplikasi bagian dari Sistem Informasi Perpajakan di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak dengan berbasis perangkat keras dan perangkat lunak
20
yang dihubungkan oleh perangkat komunikasi data yang digunakan untuk
mengelola proses pendaftaran Wajib Pajak.”
Sistem ini terbagi dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan oleh Wajib pajak
yang berfungsi sebagai sarana pendaftarab Wajib Pajak secara online dan sistem
yang dipergunakan oleh petugas pajak yang berfungsi untuk memproses
pendaftaran Wajib Pajak.
Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan oleh calon Wajib Pajak untuk
mendapatkan NPWP melalui internet atau e-registration, Dani Gunawan (2008):
1. Buka situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat
http://ereg.pajak.go.id/ereg/wp/Login.do. Lalu akan muncul tampilan seperti
gambar di bawah ini:
Gambar 2.1 Login Wajib Pajak
Sumber: http://danigunawan.com/review/mendaftar-npwp-online/
2. Pilih menu “buat account baru” dan isilah kolom yang diminta.
(Lihat Lampiran L5)
21
Bila data yang diisikan valid, maka akan muncul gambar 2.2 di bawah ini dan
pendaftaran account baru selesai.
Gambar 2.2 Link Account - NPWP
Sumber: http://danigunawan.com/review/mendaftar-npwp-online/
3. Tahap selanjutnya adalah mengisi data NPWP yang ingin didaftarkan. Jika
kembali ke halaman log in, isikan username dan password yang telah dibuat.
Lalu pilih jenis Wajib Pajak “Orang Pribadi”. Screenshot-nya adalah seperti di
bawah ini:
Gambar 2.3 Jenis Wajib Pajak
Sumber: http://danigunawan.com/review/mendaftar-npwp-online/
4. Setelah itu masuk ke menu “Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi”.
(Lihat Lampiran L6)
Isi data formulir di atas sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
22
5. Bila data yang diisikan telah benar, maka muncul halaman seperti di bawah ini:
Gambar 2.4 Registrasi NPWP
Sumber: http://danigunawan.com/review/mendaftar-npwp-online/
6. Pendaftaran secara online selesai.
7. Selanjutnya ada dua buah dokumen yang diperlukan, yaitu:
a). Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang pribadi.
b). Surat Keterangan Terdaftar Sementara. Berlaku selama 30 hari sejak
pendaftaran dilakukan.
Kedua dokumen ini dapat dicetak melalui e-Registration (lihat gambar 2.4 di
atas, ada tombol untuk mencetak). Cetak SKT Sementara tersebut beserta
Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai bukti bahwa sudah
terdaftar sebagai Wajib Pajak.
8. Tandatangani formulir registrasi, lalu kirimkan bersama Surat Keterangan
Terdaftar Sementara serta persyaratan lainnya ke Kantor Pelayanan Pajak seperti
yang tertera di Surat Keterangan Terdaftar Sementara. Contoh:
23
Gambar 2.5 Identitas Umum
Sumber: http://danigunawan.com/review/mendaftar-npwp-online/
II.2.2.3 Penghapusan NPWP
Dalam bukunya Siti Resmi (2011), menuliskan bahwa Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dapat dihapuskan. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak apabila:
1. Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib
Pajak dan/ atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentiaan atau penggabungan usaha.
3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghetikan kegiatannya di Indonesia.
4. Dianggap perlu oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor
Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
24
II.2.2.4 Sanksi Tidak Memiliki NPWP
Mardiasmo (2008) menjelaskan tentang sanksi bagi yang tidak memiliki
NPWP. Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak NPWP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
II.2.3 Wajib Pajak
Berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Sedangkan pengertian Wajib Pajak Orang Pribadi menurut Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-116/PJ/2007 tentang Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang
Pribadi Melalui Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
“Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) adalah orang pribadi yang mempunyai hak,
memiliki, memperoleh manfaat, dan/atau menguasai Objek Pajak Bumi dan Bangunan”.
Subjek pajak menjadi Wajib Pajak apabila memenuhi kriteria subjektif dan
objektif. Kriteria subjektifnya yaitu apabila orang tersebut lahir di Indonesia dan berada
di Indonesia lebih dari 183 hari. Kewajiban pajak subjektif ini tidak berlaku apabila
25
orang pribadi tersebut meninggal dunia dan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya. Sedangkan kriteria objektifnya yaitu jika subjek pajak tersebut mempunyai
penghasilan, yaitu tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh atau diterima dari
dalam negeri maupun dari luar negeri dalam bentuk apapun. Maka ia sudah ditetapkan
menjadi Wajib Pajak dan harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak jika
penghasilannya sudah diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Adakalanya Wajib Pajak perorangan tidak selalu memperoleh penghasilan diatas
penghasilan kena pajak, tetapi karena alasan tertentu misalnya ingin keluar negeri maka
ia wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
II.3 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Menurut Resmi (2011:95), Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan
jumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak. Khusus Wajib Pajak Orang
Pribadi, untuk menghitung jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penghasilan
nettonya terlebih dahulu harus dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) yang besarnya ditentukan oleh Menteri Keuangan. Penghitungan besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
ketentuannya sebagai berikut:
1. Ditentukan oleh status Wajib Pajak Orang Pribadi pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak.
2. Besarnya PTKP dihitung setahun. Melalui Peraturan Menteri Keuangan, mulai
tahun 2009 besarnya PTKP sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
26
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, adalah
sebesar:
a). Rp15.840.000 untuk diri Wajib Pajak.
b). Rp1.320.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang telah kawin.
c). Rp15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami, dalam hal istri bukan:
- Bukan karyawati, mempunyai penghasilan dari usaha/ pekerjaan bebas
yang tidak ada hubungannya dengan usaha/ pekerjaan bebas suami.
- Karyawati, tetapi pemberi kerja bukan pemotong pajak.
- Karyawati pada lebih dari satu pemberi kerja.
- Karyawati, juga memperoleh penghasilan dari usaha/ pekerjaan bebas.
d). Rp1.320.000 tambahan untuk setiap tanggungan maksimal 3 orang.
II.4 Ekstensifikasi Wajib Pajak
II.4.1 Pengertian Ekstensifikasi
Dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan
penerimaan pajak, maka pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan
Intensifikasi Pajak pada tanggal 11 Juli 2001. Menurut Surat Edaran tersebut ,
pengertian Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah:
“Kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan
perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).”
27
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-116/PJ.2007 tentang
Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi Melalui Pendapatan Objek Pajak Bumi dan
Bangunan, Pasal 1 angka 8, ekstensifikasi adalah:
“Kegiatan yang dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.”
Jadi berdasarkan dua pengertian di atas yang dimaksud dengan Ekstensifikasi
Wajib Pajak adalah Kegiatan penambahan jumlah Wajib Pajak baru yang dilakukan
dengan cara pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pemberian NPWP ini
dilakukan kepada Wajib Pajak yang penghasilannya sudah melebihi PTKP tetapi belum
memiliki NPWP.
II.4.2 Ruang Lingkup Pelaksanaan
Surat Edaran DJP Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi
Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak, ruang lingkup dari pelaksanaan kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak meliputi:
1. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian
NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus
sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal di wilayah
atau lokasi pemukiman atau perumahan, dan orang pribadi lainnya (termasuk
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang menerima
atau memperoleh penghasilan melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).
28
2. Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap
orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra
perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau
plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya.
3. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak
badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum
terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi.
4. Penentuan jumlah angsuran PPh Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus
disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak bulan Januari tahun yang
bersangkutan.
5. Penentuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun
berjalan, khususnya untuk PKP Pedagang Eceran, yang mempunyai usaha di
sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal
atau plaza atau sentra ekonomi lainnya.
Selain menentukan ruang lingkup kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak pun harus
menentukan sasaran utama ekstensifikasi Wajib Pajak yaitu subjek pajak baik orang
pribadi atau badan yang telah memenuhi syarat menjadi Wajib Pajak tetapi belum
mempunyai NPWP atau belum mendaftarkan dirinya sebagai Wajib Pajak.
II.4.3 Unit dan Petugas Pelaksana
Agar pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak berjalan sesuai aturan, maka setiap
KPP yang melaksanakan kegiatan tersebut harus menyiapkan unit pelaksana yang akan
bertugas melaksanakan kegiatan ekstensifikasi tersebut. Menurut Surat Edaran DJP
29
Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan
Intensifikasi Pajak, unit organisasi pelaksana kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan
intensifikasi pajak adalah:
1. Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
serta Kantor Penyuluhan Pajak yang berada diluar kota kedudukan KPP.
2. Dalam hal kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak
dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, Kepala KPP dapat
menunjuk petugas pada seksi PPh, seksi PPN, dan Pajak Tidak Langsung
Lainnya, serta seksi lainnya di KPP untuk diperbantukan pada seksi PDI dan
atau Kantor Penyuluhan Pajak.
3. Khusus untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi
pajak dalam tahun 2001, dilakukan oleh Tim atau Satuan Tugas yang
dikoordinir oleh Kepala KPP dengan pengarahan dan pengawasan oleh Kepala
Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pajak.
Adapun petugas pelaksana yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib
Pajak adalah petugas yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaksana kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak, meliputi:
1. Petugas yang ditunjuk oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
2. Petugas Kantor Penyuluhan Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP.
3. Petugas lain yang ditunjuk oleh Kakanwil Direktorat Jenderal Pajak.
30
II.4.4 Data Sebagai Dasar Ekstensifikasi
Sebelum melaksanakan ekstensifikasi Wajib Pajak, mengumpulkan data Wajib
Pajak merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh Seksi Ekstensifikasi
Perpajakan. Data-data yang dapat digunakan dalam pelaksanakan kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak menurut SE-06/PJ.9/2001, antara lain:
1. Pelanggan listrik untuk rumah tinggal dengan daya 6.600 watt atau lebih.
2. Pelanggan Telkom dengan pembayaran pulsa rata-rata perbulan Rp300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah) atau lebih.
3. Pemilik mobil dengan nilai Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) atau lebih,
atau pemilik motor dengan nilai Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) atau lebih.
4. Pemegang Paspor Indonesia, kecuali pemegang paspor Haji dan pemegang
paspor Tenaga Kerja Indonesia (tidak termasuk awak pesawat terbang atau kapal
laut).
5. Tenaga Kerja Asing (expatriate) yang bertempat tinggal atau berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
6. Karyawan lokal kedutaan besar asing atau organisasi internasional.
7. Pemilik tanah dan atau bangunan dengan NJOP Rp1.000.000.000 atau lebih
berdasarkan data kartu jalan atau peta blok atau DHR atau data SPOP.
8. Data orang pribadi atau badan selaku penjual atau pembeli tanah dan atau
bangunan dari laporan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau informasi dari
Notaris dengan nilai Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) atau lebih.
9. Pemilik telepon selular pasca bayar.
10. Pemegang kartu kredit.
31
11. Pemegang polis atau premi asuransi.
12. Pemegang kartu keanggotaan Golf.
13. Artis.
14. Pemilik atau penyewa ruang apartemen atau kondominium.
15. Pemilik kapal pesiar atau “yacht”, “speed boad”, dan pesawat terbang.
16. Pemilik saham yang diperdagangkan di pasar bursa.
17. Pemilik rumah sewa dan kost.
18. Pemegang saham, komisaris, direktur dan penerima deviden.
19. Pemilik atau penyewa atau pengguna dan pengelola ruangan pada sentra
perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau
plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya.
20. Subjek pajak yang berdasarkan data pada lampiran SPT telah memenuhi syarat
sebagai Wajib Pajak, tetapi belum mempunyai NPWP.
21. Data yang ditemukan pada pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan Sederhana
Lapangan (PSL).
Dengan pemanfaatan data-data yang telah disebutkan di atas, diharapkan dapat
menjaring Wajib Pajak sebanyak-banyaknya. Karena dari data tersebut dapat diketahui
mana Wajib Pajak yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) tetapi belum memiliki NPWP.
32
II.4.5 Persiapan dan Pelaksanaan Kegiatan Ekstensifikasi Pajak
Agar pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dapat dilakukan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dipersiapkan
dan direncanakan dengan beberapa ketentuan sebagai berikut (Wijaya, 2009):
1. Melakukan identifikasi terhadap data yang diperoleh dan mencocokannya
dengan data Master File Lokal (MFL) melalui program Sistem Informasi
Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP);
2. Membuat daftar nominatif Wajib Pajak yang belum mempunyai NPWP dan atau
Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan data yang dimiliki;
3. Mempersiapkan sarana dan prasarana administratif yang diperlukan;
4. Melaksanakan koordinasi dengan instansi di luar Direktorat Jenderal Pajak yang
terkait dalam pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak;
5. Membuat dan mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang terdapat
dalam daftar nominatif.
Sesuai dengan tujuan kegiatan ekstensifiasi Wajib Pajak, prioritas utama
kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak ditujukan untuk menambah jumlah Wajib Pajak dan
Pengusaha Kena Pajak. Atas pemberitahuan yang dikirm kepada Wajib Pajak terdapat
beberapa kemungkinan:
1. Wajib Pajak menanggapai dan bersedia untuk mendaftarkan diri dan diberikan
NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP dengan mengisi formulir pendaftaran.
Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan proses sesuai ketentuan yang berlaku;
2. Wajib Pajak tidak menanggapi pemberitahuan, walaupun pemeberitahuan telah
diterima. Terhadap Wajib Pajak tersebut akan dilakukan tindak lanjut oleh seksi
33
Pengolahan Data dan Informasi, yakni data Wajib Pajak tersebut diteruskan ke
seksi Pelayanan untuk dilakukan proses pemberian NPWP dan pengukuhan
sebagai PKP secara jabatan sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan;
3. Wajib Pajak menanggapi pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP atau belum perlu dikukuhkan sebagai
PKP. Terhadap Wajib Pajak tersebut akan dilakukan Pemeriksaan Sederhana
Lapangan;
4. Wajib Pajak menanggapi pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang
bersangkutan sudah memiliki NPWP atau telah dikukuhkan sebagai PKP.
Terhadap Wajib Pajak tersebut, dilakukan pencocokan dengan data Master File
Lokal;
5. Wajib Pajak menanggapi pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang
bersangkutan sudah memiliki NPWP atau telah dikukuhkan sebagai PKP di KPP
lain. Terhadap Wajib Pajak tersebut, dilakukan pencocokan dengan data Master
File Lokal;
6. Wajib Pajak tidak menanggapi oleh karena pemberitahuan kembali dari Kantor
Pos. Terhadap Wajib Pajak tersebut, akan dilakukan Pemeriksaan Sederhana
Lapangan.
II.4.6 Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2007
tentang Penjelasan Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi, menjelaskan
bahwa:
34
1. Apabila semua tahapan pekerjaan telah dilaksanakan sesuai prosedur operasional
standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor
PER-16/PJ./2007, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-175/PJ./2006 dan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-13/PJ./2007 tanggal 3 April
2007, namun copy KTP atau nomor KTP belum diperoleh, maka proses
penerbitan NPWP tetap dilakukan tanpa menunggu tersedianya copy KTP atau
nomor KTP dimaksud.
2. Dalam proses penerbitan NPWP sebagaimana dimaksud pada angka 1:
a. Petugas pendata diminta untuk mengisi alamat Wajib Pajak dalam LPDOP.
b. Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah diminta mengisi alamat Wajib
Pajak dalam Daftar Nominatif.
Secara lengkap sesuai dengan informasi nama kelurahan/desa.
3. Apabila dari hasil pendataan ditemukan ada Wajib Pajak yang telah ber-
NPWP domisili tetapi belum mempunyai NPWP cabang atas usaha/ gerai,
maka diterbitkan NPWP cabang.
4. Dalam hal Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah tidak berkenan
mengisi aplikasi e-NPWP, agar diupayakan mendapatkan data dalam
bentuk softcopy dengan format Ms. Excell. Apabila Pemberi
Kerja/Bendaharawan Pemerintah hanya memberikan data dalam bentuk
hardcopy, maka menjadi kewajiban KPP untuk melakukan perekaman
sehingga penerbitan NPWP dapat dilakukan segera.
5. Apabila kartu NPWP (PVC Card) belum tersedia, penerbitan NPWP dapat
menggunakan blanko NPWP yang tersedia.
35
II.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai ekstensifikasi Wajib Pajak,
antara lain dilakukan oleh:
1. Mirza Maulida (2011) dengan Judul “Evaluasi Atas Pelaksanaan Ekstensifikasi
Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak Serta Kontribusinya Dalam
Meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pada KPP
Pratama Jakarta Tanah Abang Dua”.
Peneliti melakukan penelitian untuk mengevaluasi pelaksanaan
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, mengevaluasi hambatan-hambatan yang
terjadi selama pelaksanaan ekstensifikasi, dan mengevaluasi seberapa besar
kontribusi dari program ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak terhadap
penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua tahun
2008-2010.
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah kegiatan ekstensifikasi yang
dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua menunjukkan hasil yang
belum optimal terutama dalam peningkatan jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi. Meskipun menunjukkan angka yang kurang maksimal, akan tetapi
KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua telah melaksanakan ekstensifkasi Wajib
Pajak dan Intensifikasi Pajak dengan baik.
Saran yang disampaikan oleh peneliti adalah upaya ekstensifikasi dan
intensifikasi harus terus dikembangkan terutama dalam melakukan kerjasama
dengan instansi terkait, baik intern DJP maupun ekstern DJP, fiskus harus
memverifikasi Wajib Pajak baru yang memiliki NPWP, untuk mendapatka data dari
36
instansi pihak KPP hendaknya melakukan pendekatan langsung dan
berkesinambungan dengan para pejabat yang berwenang dalam instansi tersebut,
meningkatkan kegiatan penyuluhan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan KPP
harus lebih konsisten dalam penegakkan hukum.
2. Rina Nurseto (2008) dengan Judul “Evaluasi Atas Pelaksanaan Ekstensifikasi
Wajib Pajak Serta Kontribusinya Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi Pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua”
Peneliti melakukan penelitian untuk mengevaluasi pelaksanaan
ekstensifikasi, mengetahui seberapa besar kontribusi dari program ekstensifikasi
terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi tahun 2006-2007.
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah kegiatan ekstensifikasi yang
dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua telah dilaksanakan dengan
baik dan terencana sesuai dengan prosedur yang diatur dalam masing-masing
peraturan. Kegiatan ekstensifikasi yang dilakukan menghasilkan penambahan
jumlah Wajib Pajak yang melebihi target yang direncanakan, tetapi kontribusi
terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi jumlahnya masih kecil.
Saran yang disampaikan peneliti adalah upaya ekstensifikasi harus terus
dikembangkan, untuk mendapatkan data hendaknya pihak KPP melakukan
pendekatan langsung dengan pejabat berwenang dalam instansi/perusahaan, KPP
hendaknya meningkatkan penyuluhan tentang cara pendaftaran Wajib Pajak dan
pengisian SPT, meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak dalam
penambahan fasilitas, lebih konsisten dalam penegakkan hukum.