Post on 03-Dec-2020
34
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP PERTANYAAN
KONSTITUSIONAL DAN LEMBAGA NEGARA
2.1 Latar Belakang Lahirnya Ide Pertanyaan Konstitusional
Ketentuan Pasal 55 dalam UU MK menentukan bahwa pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan
Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar
pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah
Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Permasalahan kemudian
muncul apabila tidak ada yang menguji undang-undang yang diragukan
konstitusionalitasnya. Hal ini memunculkan suatu pertanyaan apakah hakim boleh
bertanya kepada Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas undang-
undang yang akan dipergunakannya untuk memutus suatu perkara. Permasalahan
tersebutlah yang kemudian memunculkan gagasan pertanyaan konstitusional atau
constitutional question.
Gagasan pertanyaan konstitusional muncul di Indonesia dan menjadi
perdebatan oleh beberapa ahli hukum di Indonesia. Tidak hanya gagasan
pertanyaan konstitusional, gagasan constitusional complaint juga muncul dan
menjadi perdebatan apakah penting untuk dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
Indonesia. Pertanyaan konstitusioanal juga pernah disinggung oleh Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono di dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006. I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono
35
berpendapat bahwa mahkamah konstitusi di negara lain, di samping diberi
kewenangan untuk mengadili perkara pengujian undang-undang (judicial review
atau constitutional review), juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara-
perkara constitutional question dan contitutional complaint.
Pertanyaan konstitusional (constitutional question) terjadi apabila suatu
pengadilan pada saat hendak memutus suatu kasus menyadari bahwa undang-
undang yang berlaku terhadap kasus itu diragukan konstitusionalitasnya.1 Jika
pengadilan atau hakim ragu akan konstitusionalitas undang-undang itu, sebelum
memutus, ia boleh mengajukan pertanyaan konstitusional (constitutional
question). Mekanisme pertanyaan konstitusional ini dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi di negara lain.
Gagasan mengenai pentingnya pertanyaan konstitusinal di Indonesia
tersebut diutarakan oleh beberapa para ahli hukum di Indonesia. Para ahli hukum
tersebut yakni Moh. Mahfud MD, Jazim Hamidi, I Dewa Gede Palguna,
Muchammad Ali Safa’at dan Mustafa Lutfi. Urgensi penerapan mekanisme
constitutional question di Indonesia merupakan wujud konkrit dari upaya
penghormatan dan perlindungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional
warga negara.2
Muchammad Ali Safa’at juga berpendapat yakni dengan adanya
mekanisme constitutional question terdapat beberapa tiga hal positif yang dicapai,
diantaranya adalah dapat dihindari adanya putusan hakim yang bertentangan
dengan konstitusi dan melanggar hak konstitusional warga negara.3 Dengan
1I Dewa Gede Palguna.,op,cit.,h.37.2Moh Mahfud MD, dkk I, op.cit., h.73.3Moh Mahfud MD, dkk I, op.cit., h.7.
36
adanya mekanisme ini maka hakim apabila ragu akan konstitusionalitas dari
undang-undang yang akan diterapkannya maka dapat bertanya kepada Mahkamah
Konstitusi. Dengan adanya upaya preventif ini maka diharapkan bahwa putusan
hakim tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi dan dapat melindungi hak
konstitusional warga negara.
Hal positif kedua adalah mengingat ruang pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan semakin luas, apalagi hakim pengadilan adalah profesi yang
mempunyai kapasitas lebih untuk mengetahui adanya kemungkinan pertentangan
norma.4 Hakim dianggap memiliki kapasitas lebih untuk mengetahui
kemungkinan adanya inkonstitusionalitas dari undang-undang akan diterapkannya
dalam suatu perkara. Hal ini tentu saja memberikan manfaat bagi warga negara
yang kurang memiliki kesadaran dan/atau kemampuan dalam mempertahankan
hak-hak konstitusionalnya yang dijamin Konstitusi, tanpa yang bersangkutan
harus secara aktif mengajukan permohonan pengujian undang-undang itu ke MK.5
Manfaat yang ketiga adalah dapat dihindari adanya pelanggaran hak
konstitusional yang tidak diperlukan karena pengajuan judicial review harus
menunggu adanya putusan pengadilan atau proses pengadilan dihentikan
sementara.6 Dengan adanya mekanisme constitutional question, maka dapat
menghindari pelanggaran hak konstitusional yang tidak diperlukan dalam hal ini
yakni jangka waktu penghentian proses beracara yang dapat diminimalisir dengan
adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang lebih cepat dibandingkan mekanisme
pengujian undang-undang terhadap UUD.
4Ibid.5Moh Mahfud MD, dkk I, op.cit., h.49.6Moh Mahfud MD, dkk I, op.cit., h.7.
37
I Dewa Gede Palguna menyatakan bahwa ada tiga keuntungan penting
yang dapat diambil dari penerapan mekanisme constitutional question itu jika
hendak diadopsi oleh Indonesia, yaitu:
Pertama, penerimaan mekanisme constitutional question itu akan lebih memaksimalkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hakkonstitusional warga negara. Kedua, hakim tidak dipaksa menerapkan undang-undang yang berlaku terhadap suatu perkara yang menurut keyakinannya undang-undang itu bertentangan dengan Konstitusi. Ketiga, bagi Indonesia yang secara formal maupun tradisi hukum tidak menganut prinsip stare dicisis atau prinsip preseden, hal itu akan membantu terbentuknya kesatuan pandangan atau pemahaman di kalangan hakim-hakim di luar hakim konstitusi mengenai pentingnya menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum bukan hanya dalam proses pembentukannya tetapi juga dalam penerapannya.7
Mahkamah Konstitusi Indonesia sampai saat ini tidak memiliki kewenangan
untuk menguji pertanyaan konstitusional, hal ini dapat diketahui dari ketentuan
Pasal 24C ayat (1) dalam UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi hanya
diberikan wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi terbentuk dari perubahan ketiga UUD Negara RI
Tahun 1945 melalui penambahan pasal dalam Bab IX mengenai Kekuasaan
Kehakiman, dengan dibentuknya lembaga baru dalam lingkup kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi. Setelah perubahan ketiga UUD 1945,
maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR
menetapkan agar Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi
7Moh Mahfud MD dkk I.,op.cit.,h.49-50.
38
untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
hasil perubahan keempat.8
Pada amendemen ketiga UUD 1945 tahun 2001, MK secara resmi
ditempatkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,
selain MA dan badan-badan peradilan di bawahnya. Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga peradilan tersendiri diluar Makamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya.9 Dalam konteks pembentukan Mahkamah
Konstitusi pada UUD 1945 perubahan ketiga, pada prinsipnya dimaksudkan untuk
menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah perundang-
undangan, artinya Mahkamah Konstitusi sebagai sebagai satu-satunya lembaga
yang diberikan otoritas untuk menafsirkan konstitusi.10Dalam proses pembahasan
rancangan undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat diketahui bahwa ide
pendirian Mahkamah Konstitusi ini sebagai salah satu ciri dari negara
berkembang yang ingin menjadikan negaranya menjadi lebih demokratis serta
pentingnya adanya badan peradilan yang bertugas untuk menyelesaikan masalah-
masalah diseputar konstitusi suatu negara. Menurut Afiuka Hadjar dkk ada 4
(empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, antara
lain:
1. Paham KonstitusionalismePaham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara
8Ahmad Kamil, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Prenada Media Group, Jakarta, h.195.9Abdoel Djamali, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.211. 10Nurudin Hadi, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, h.28.
39
menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
2. Sebagai Mekanisme Check and BalancesSebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai dengan adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol yudisial.
3. Penyelenggaraan Negara yang BersihSistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.
4. Perlindungan terhadap Hak Asasi ManusiaKekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM.11
Pembentukan lembaga ini, merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya
keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Hal ini, juga
sebagai penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak
asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi, serta sebagai sarana
penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang
sebelumnya tidak ditentukan.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang berfungsi untuk
melindungi hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara, dirasa perlu
untuk memiliki kewenangan menguji pertanyaan konstitusional selain menguji
undang-undang terhadap UUD.
2.1.1 Istilah Pertanyaan Konstitusional
11Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, op.cit., h.65.
40
Istilah pertanyaan konstitusional (constitutional question) ini banyak
diterjemahkan oleh beberapa ahli antara lain Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi
mempergunakan istilah constitutional question yang diterjemahkan sebagai
persoalan konstitusional atau pertanyaan konstitusional.12 Moh Mahfud MD juga
mempergunakan istilah constitutional question (pertanyaan konstitusional).13
David O’ Brien mempergunakan istilah constitutional question. I Dewa Gede
Palguna juga mempergunakan istilah yang senada yakni constitutional question14.
Selain mempergunakan istilah constitutional question I Dewa Gede Palguna juga
mempergunakan istilah concrete judicial review (konkrete normenkontrolle).15
Jimly Asshiddiqie di dalam bukunya yang berjudul Peradilan Konstitusi di
10 Negara mempergunakan istilah yang berbeda-beda namun memiliki makna
yang sama yakni “pertanyaan yang diajukan oleh pengadilan kepada Mahkamah
Konstitusi apabila ragu akan konstitusionalitas dari undang-undang yang akan
dipergunakannya. Perbedaan penggunaan istilah tersebut akan dipaparkan sebagai
berikut:
Tabel 5Istilah Pertanyaan Konstitusional di Beberapa Negara
12Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Constitutional Question (Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya), Jurnal Konstitusi, Vol.7, No.1, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, h.32.
13Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD III) h.289.
14I Dewa Gede Palguna I,op.cit.,h.2.15Moh Mahfud MD dkk I.,op.cit., h.9.
Negara Istilah yang dipergunakanJerman Pengendalian norma konkret (konkretes
normenkontrolverfahten)Korea Selatan Mengadili konstitusionalitas undang-
undang atas permintaan PengadilanAustria Penyerahan perkara dari peradilan umumRusia Concrete Review Italia Concrete Review
41
Sumber: Diolah dari Jimly Asshiddiqie16
Meskipun ada beberapa istilah yang dipergunakan oleh para ahli hukum
tersebut namun mereka menunjuk kepada pengertian yang sama yakni
“pertanyaan” yang diajukan oleh hakim atau pengadilan ke Mahkamah Konstitusi
mengenai konstitusionalitas undang-undang yang akan dipergunakan untuk
memutus suatu perkara. Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi menyatakan secara
spesifik pengertian constitutional question itu terkait dengan mekanisme
pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang, di mana seorang hakim yang
sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-ragu akan konstitusionalitas
Undang-Undang yang berlaku tersebut.17
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006
hakim Konstitusi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono
berpendapat bahwamahkamah konstitusi di negara lain, di samping diberi
kewenangan untuk mengadili perkara pengujian undang-undang (judicial review
atau constitutional review), juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara-
perkara constitutional question dan contitutional complaint. I Dewa Gede Palguna
dan Soedarsono berpendapat bahwa constitutional question terjadi apabila seorang
hakim (di luar hakim konstitusi) meragukan konstitusionalitas suatu norma hukum
yang hendak diterapkan dalam suatu kasus konkret, sehingga sebelum memutus
kasus dimaksud hakim yang bersangkutan mengajukan permohonan (pertanyaan)
terlebih dahulu ke MK perihal konstitusionalitas norma hukum tadi.
16Jimly Asshidiqie II, op.cit., h.1-24017Jazim Hamidi, op.cit.,h.33.
42
Menurut Moh. Mahfud MD yang dimaksud dengan constitutional question
(pertanyaan konstitusional) adalah hakim yang sedang mengadili satu perkara
menanyakan kepada MK tentang konstitusionalitas sebuah undang-undang yang
dijadikan dasar perkara yang sedang ditanganinya.18 I Dewa Gede Palguna juga
memberikan definisi yang senada yakni constitutional question merujuk pada
suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang di mana seorang
yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-ragu
akankonstitusionalitas undang-undang yang berlaku untuk perkara itu, maka ia
mengajukan “pertanyaan konstitusional” ke Mahkamah Konstitusi (mengenai
konstitusional-tidaknya undang-undang itu).19
Pertanyaan konstitusional yang diajukan oleh hakim tersebut menurut
Jimly Asshiddiqie jatuh ke dalam katagori pengujian konkret (concrete review).20
David O’ Brien menyatakan bahwa: “Concrete constitutional reviewarises from
litigation in the courts when ordinary judges are uncertain about the
constitutionality or the application of statute or ordinance; in case the judges
refer the constitutional question or complaint to the constitutional court for
resolution”21
Dapat diketahui bahwa menurut David O’ Brien pengujian konkret muncul
dari proses litigasi pengadilan ketika hakim merasa ragu atas penerapan suatu
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya; hakim dapat
18Moh. Mahfud MD, 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD III),, op.cit.,h.289.
19Moh Mahfud MD dkk I.,op.cit.,h.27.20Jimly Asshiddiqie II, op.cit.,h.60.21David O’Brien, 2000, Constitutional Law and Politics: Struggles for Power and
Governmental Accountability, W.W. Norton & Company, New York,h.163 dikutip dari Jimly Asshiddiqie, 2011, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 60.
43
mengajukan pertanyaan konstitusional atau pengaduan konstitusional kepada
Mahkamah Konstitusi untuk pemecahannya. Dari pandangan Jimly Asshiddiqie
dan David O’ Brien bahwa pertanyaan yang dilakukan oleh hakim atas keragu-
raguan akan konstitusionalitas suatu undang-undang yang akan dipergunakannya
untuk memutus suatu perkara tergolong kedalam pengujian konkret atau yang
disebut oleh David O’Brien sebagai concrete constitutional review.
Dari pemaparan diatas diketahui bahwa terdapat beberapa penggunaan
istilah yang berbeda yang dipergunakan oleh para ahli hukum di Indonesia. Dalam
tesis ini, dipergunakan istilah pertanyaan konstitusional (constitutional question)
hal ini dikarenakan banyak para ahli hukum di Indonesia yang mempergunakan
istilah ini baik di dalam jurnal konstitusi maupun di dalam putusan Mahkamah
Konstitusi yang mempergunakan istilah pertanyaan konstitusional (constitutional
question).
2.1.2 Konsep Pertanyaan Konstitusional di Beberapa Negara.
Ada beberapa negara yang memiliki kewenangan pertanyaan
konstitusional (constitutional question) dimana hakim dapat mengajukan
pertanyaan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas undang-
undang yang akan dipergunakannya untuk memutus suatu perkara yang sedang
ditanganinya. Dalam sub bab ini akan dipaparkan kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang berada di negara Jerman dan Korea Selatan. Kedua negara ini
dipergunakan sebagai perbandingan dikarenakan Mahkamah Konstitusi Jerman
diberi kewenangan besar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan sehingga
44
tidak mengherankan bahwa Mahkamah Konstitusi Jerman menjadi pusat perhatian
ahli-ahli hukum di seluruh dunia.22
I Dewa Gede Palguna menguatkan bahwa Jerman dinilai sebagai salah
satu negara yang paling mapan sekaligus paling maju dalam pelaksanaan
peradilan konstitusional dibandingkan dengan negara-negara lainnya.23 Korea
Selatan juga akan dipergunakan dalam perbandingkan karena Korea Selatan
merupakan salah satu negara sumber yang memberi inspirasi pada para anggota
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR pada saat merumuskan ketentuan mengenai
Mahkamah Konstitusi.24Adapun kewenangan pertanyaan konstitusional
(constitutional question) yang dimiliki negara-negara tersebut adalah:
a. Jerman
Jerman merupakan negara republik yang berbentuk federasi.
Dikeluarkannya Undang-Undang Dasar Jerman pada tahun 1949 menandai
lahirnya Republik Federal Jerman.25 Republik Federal Jerman mempunyai sistem
pemerintahan parlementer dengan kepala pemerintahan seorang Perdana Menteri.26
Di Jerman Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan yang berdiri sendiri
terpisah dari badan peradilan yang lain. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
diadopsi bersamaan dengan ditetapkan Basic Law Tahun 1949.27
Europe constitutional courts are (1) formally detached from judiciary, (2)
given exclusive jurisdiction over constitutional question, and (3) authorized to
22Jimly Asshiddiqie II, op.cit.,Jakarta,h.36.23I Dewa Gede Palguna, op.cit.,h.20.24Ni’matul Huda, op.cit., h.258.25Rupert Scholz dkk., 2007, Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman Pencapaian dan
Tantangan, Friedrich-Naumann-Stiftung Indonesia, Jakarta, h.v.26Rani Dwi Purnomowati, op.cit.,h.65.27Jimly Asshiddiqie I, op.cit., h.36.
45
exercise review as well as to issue advisory opinions at the request of other
govermental institutions.28 Berbeda halnya dengan Konstitusi AS yang secara
tidak tegas merinci hal-hal yang menjadi kewenangan MA AS dalam fungsinya
sebagai Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Jerman (Groundgesetz) secara jelas
merinci kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman. Ketentuan dalam Konstitusi
Jerman (Groundgesetz) diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgesetz).
Adapun kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Jerman
diatur dalam Article 13 UU MK Jerman yaitu:
The Federal Constitution Court shall decide in the cases determined by
the Basic Law to wit:
1. on the forfeiture of basic rights (Article 18 of the Basic Law).
2. on the unconstitutionality of parties (Article 21 (2) of the Basic Law.
3. on the complaints against decisions of the Bundestag relating to the
validity of an election or to the acquisition or loss of a deputy’s seat in
the Bundestag (Article 41 (2) of the Basic Law).
4. on the impeachment of the Federal President by the Bundestag or the
Bundestrat (Article 61 of the Basic Law).
5. on the interpretation of the Basic Law in the event of disputes
concerning the extent of the right and duties of a supreme Federal
organ or of other parties concerned who have been vested with rights
28David M. O’Brien, 2008, Constitutional Law and Politics, W.W. Norton & Company, New York, h.178.
46
of their own bya the Basic Law or by rules of procedure of a supreme
Federal organ (Article 93 (1) (1) of the Basic Law.
6. in case of disagreements or doubt on the formal and material
compatibility of Federal Law with Basic Law, or on the compability of
Land law with other Federal law, at the request of the Federal
Goverment, of a Land goverment, or of one third of the Bundestag
members (Articles 93 (1) (2) of the Basic Law.
7. in case of disagreement on the rights and duties of the Federation and
the Laender, particularly in the implementation of Federal law by the
Laender and in the exercise of Federal supervision (Article 93 (1) (3)
and Article 84 (4), second sentence, of the Basic Law).
8. on other disputes involving public law, between the Federation and the
Laender, between different Laender or within a Land, unless recourse
to another court exists (Article 93 (1) (4) of the Basic Law).
8a. on the constitutional complaint (Article 93 (1) (4a) and (4b) of the
Basic Law.
9. on the impeachment of Federal and Land judges (Article 98 (2) and (5)
of the Basic Law).
10. on constitutional dispute within a Land if such decision is assigned to
the Federal Constitutional Court by Land legislation (Article 99 of the
Basic Law).
11. on the compability of a Federal or Land law with the Basic Law or the
compatibility of a Land statute or other Land law with a Federal law,
47
when such decision is requested by a court (Article 100 (1) of the
Basic Law).
12. in case of doubt whether a rule of public international law is an
integral part of Federal law and whether such rule directly creates
rights and duties for the individual when such decision is requested by
a court (Article 100 (2) of the Basic Law).
13. if the constitutioanl court of a Land, in interpreteting the Basic Law,
intends to deviate form a decision of the Federal Constitutional Court
or of the Constitutional Court of another Land, when such decision is
requested by that constitutional court (Article 100 (3) of the Basic
Law).
14. in case disagreement on the continuance of law as Federal law
(Article 126 of the Basic Law).
15. in such other cases as are assigned to it by Federal legislation (Article
93 (2) of the Basic Law).
Dari rincian kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman yang diatur dalam Article
13 UU MK Jerman dapat diketahui bahwa Mahkamah Konstiitusi Jerman
memiliki kewenangan untuk memutus perkara pertanyaan konstitusional
(constitutional question) yang diatur di dalam Pasal 13 angka 11 UU MK Jerman.
Berikut ini akan dipaparkan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman
beradasarkan Pasal 13 UU MK Jerman:
Tabel 6Kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman
Mahkamah Konstitusi Jerman
48
Kewenangan MK Jerman Pasal yang mengatur kewenangan
MK Jerman
Penghilangan hak-hak dasar (forfeiture of basic right)
Pasal 18 GG juncto Pasal 13 (1) BvergGG
Konstitusionalitas partai politik (constitutionaity of political parties)
Pasal 21 (2) GG juncto Pasal 13 (2) BvergGG
Pengawasan terhadap pemilihan umum (scrunity of elections)
Pasal 41 (2) GG juncto Pasal 13 (3) BvergGG
Pemakzulan Presiden Federal (impeachment of Federal President)
Pasal 61 GG juncto Pasal 13 (4) BvergGG
Pemecatan hakim (removal of judges), baik hakim federal maupun hakim pada negara bagian
Pasal 98 (2) dan (5) GG juncto Pasal 13 (9) BvergGG
Sengketa antar lembaga tinggi negara (disputes between high state organs)
Pasal 93 (1) angka 1 juncto Pasal 13 (5) BvergGG
Sengketa antara Federasi dan Negara Bagian (Federal-state conflicts)
Pasal 93 (1) angka 3 dan Pasal 84 (4) GG juncto Pasal 13 (2) BvergGG
Pengujian undang-undang (review of law), yang meliputi:
a. Pengujian undang-undang secara abstrak (abstract judicial review)
b. Pertanyaan konstitusional (concrete judicial review)
a. Pasal 93 (1) angka 2 GG juncto Pasal 13 (6) BvergGG
b. Pasal 100 (1) GG juncto Pasal 13 (11) BvergGG
Tindakan yang berkenaan dengan hukum internasional publik (public international law actions)
Pasal 100 (2) GG juncto Pasal 13 (2) BvergGG
Rujukan dari Mahkamah Konstitusi negara bagian (State constitutional court refernces)
Pasal 100 (4) GG juncto Pasal 13 (12) BvergGG
Perbedaan pendapat mengenai keberlakuan undang-undang federal (differences of opinion regarding applicability of federal law)
Pasal 126 GG
Sengketa lainnya yang diatur oleh undang-undang (other disputes specified by law)
Pasal 93 (2) GG
Pengaduan konstitusional (constitutional complaint)
Pasal 93 (1) angka 4a dan 4b GG juncto Pasal 13 (8a)
49
BvergGG.Sumber: Diolah dari I Dewa Gede Palguna29
Dari rincian kewenangan MK Jerman diatas dapat diketahui bahwa MK
Jerman memiliki kewenangan salah satunya yakni pertanyaan konstitusional
(constitutiional question). Pertanyaan konstitusional (constitutional question)yang
berlaku di Jerman diatur dalam Pasal 13 angka 11 UU MK Jerman. Pertanyaan
konstitusional juga diatur pada UUD Jerman yakni dalam ketentuan Pasal 100
ayat (1) Grundgesetz (GG) yang menyatakan bahwa:
If a court considers that a statute on whose validity the court’s decision depends is unconstitutional, the proceedings shall be stayed, and a decision shall be obtained from the Land court with jurisdiction over constitutional disputes when the constitutional of a Land is held to be violated, or from the Federal Constitution Court when this Basic Law is held to be violated. This shall also apply when the Basic law is held to be violated by Land law or where a Land statute is held to be incompatible with a federal statute.30
Dapat diartikan Pasal 100 ayat (1) Grundgesetz (GG) menyatakan bahwa:
Apabila suatu pengadilan menganggap suatu undang-undang yang validitasnya relevan dengan putusannya, dipercaya tidak konstitusional, maka proses acara dalam peradilan harus dihentikan sebelum adanya keputusan dari pengadilan Land yang berwenang dalam soal-soal sengketa konstitusional jika konstitusi Land yang dilanggar, atau diperoleh dari Mahkamah Konstitusi Federal, jika Basic Law yang dilanggar. Hal ini berlaku pula jikalau suatu Undang-Undang Land dinyatakan tidak sesuai dengan suatu Undang-Undang Federal.31
Dari ketentuan pasal diatas dapat diketahui bahwa subjek yang dapat
mengajukan pertanyaan konstitusional (constitutional question) di Jerman adalah
pengadilan. Dalam UU MK Jerman dapat diketahui bahwa the court must transmit
29I Dewa Gede Palguna, op.cit.,h.410-411.30Moh. Mahfud MD dkk I, op.cit.,h.6.31Jimly Asshiddiqie I, op.cit,h.70-71.
50
to the Federal Constitutional Court the files of the case and state in detail why its
decision in that case depends on the validity of the statutory provision submitted
for review and why it considers that provision to be unconstitutional.32 Dapat
diartikan bahwa pengadilan harus mengirimkan kepada Mahkamah Konstitusi
Federal data dari kasus dan menyatakan secara rinci kenapa putusan dari kasus
tersebut bergantung kepada keabsahan dari ketentuan undang-undang yang
diajukan untuk diuji dan pertimbangan mengapa ketentuan undang-undang
tersebut bisa menjadi inkonstitusional.
Putusan dalam pertanyaan konstitutional (constitutional question) ini juga
diatur dalam UU MK Jerman bahwa The Federal Constitutional Court merely
decides whether or not the legal rule submitted is compatible with the
constitution; it does not decide on the legal dispute itself which was the cause of
the submission. Jadi, Mahkamah Konstitusi Federal hanya memutus apakah aturan
hukum yang diajukan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi; tidak
memutus sengketa hukum yang menjadi penyebab dari pengajuan pertanyaan
konstitusional yang diajukan oleh pengadilan.
UU MK Jerman menentukan bahwa Proceedings involving the review of
specific laws account for the second largest share of the Federal Constitutional
Court’s activities (coming after proceeding relating to constitutional complaints).
The court has found over 300 statutory provisions to be null and void or
incompatible with the Basic Law. Dapat diartikan bahwa review of spesific law
yaitu pertanyaan konstitusional yang diajukan ke MK merupakan jumlah terbesar
32The Federal Republic of Germany, op.cit., h.18.
51
kedua yang ditangani oleh MK Jerman setelah perkara pengaduan konstitusional.
Pengadilan menemukan lebih dari 300 ketentuan undang-undang bertentangan
dengan UUD.
b. Korea Selatan
The Constitutional Court was extablished in 1988 as one of the highest
court in Korea, separate from the general courts.33 Korea Selatan merupakan
salah satu negara sumber yang memberi inspirasi pada para anggota Panitia Ad
Hoc I Badan Pekerja MPR pada saat merumuskan ketentuan mengenai Mahkamah
Konstitusi.34 Dalam konstitusi Korea Selatan dapat diketahui bahwa objek
pengujian peraturan perundang-undangan di Korea Selatan dibedakan atas
pertama undang-undang terhadap konstitusi yang kewenangannya dilaksanakan
oleh Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, kewenangannya dilekatkan kepada Mahkamah
Agung.35 Apabila dilihat dari objek dan kewenangan lembaga yang menguji
memang terdapat kemiripan dengan Indonesia.
Walaupun terdapat persamaan dalam hal objek dan lembaga yang menguji
dengan Indonesia namun terdapat perbedaan dalam subjek pengujian undang-
undang terhadap Konstitusi di Korea Selatan. Sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 107 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan bahwa subjek yang berhak
mengajukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi adalah pengadilan
33Kang Kook Lee,dkk.,2014, Studies in Comparative Legal History Current Issues in Korean Law, Regent of the University of California, California,h.15.
34Ni’matul Huda, op.cit.,h.258.35Zainal Arifin Hoesein, op.cit., h.299.
52
yang terkait dengan pemeriksaan suatu perkara, dimana konstitusionalitas undang-
undang yang dijadikan dasar hukum
Kewenangan MK Korea Selatan diatur dalam Konstitusi Korea Selatan dalam
ketentuan Chapter IV mengenai The Constitutional Court dalam Article 11:
(1) The Constitutional Court shall have jurisdiction over the following matters:
1. The constitutionalityofalaw upon there quest of the courts;
2. Impeachment;
3. Dissolution of a political party;
4. Competence disputes between State agencies, between State agencies and
local governments,and between local governments;and
5. Constitutional complaint as prescribed by Act.
Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (1) angka 1 Konstitusi Korea Selatan dapat
diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan:
1. Mengadili konstitusionalitas suatu undang-undang atas permintaan pengadilan
2. Pemakzulan (impeachment)3. Memutus pembubaran partai politik 4. Menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga-lembaga negara,
dan5. Memutus permohonan individual.36
Konstitusi Korea Selatan secara eksklusif menyebutkan bahwa salah satu
wewenang MK Korea Selatan adalah memutus konstitusionalitas suatuaturan
hukum atas permintaan pengadilan. Hal ini dapat dilihat dalam The Constitution
of The Republic of Korea khususnya dalam Article 111 section 1. Adapun isi
ketentuan pasal tersebut adalah:
36Jimly Asshiddiqie II, op.cit., h.240.
53
(1) The Constitutional Courtshall have jurisdiction over the following
matters:
1. The constitutionality of a law upon the request of the courts;
Dari ketententuan Pasal 111 ayat (1) angka 1 UU MK Korea Selatan dapat
diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi Korea memiliki kewenangan mengadili
konstitusionalitas undang-undang atas permintaan pengadilan. Peradilan umum
dapat menyerahkan suatu perkara kepada Mahkamah Konstitusi, apabila perkara
yang sedang ditangani tersebut terkait dengan upaya penemuan makna
konstitusionalitas undang-undang yang tengah diterapkan oleh pengadilan.37
Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan khususnya
Article 43 (Matters to be Stated in Written Request)diatur mengenai hal-hal yang
harus dinyatakan dalam permohonan tertulis oleh pengadilan kepada Mahkamah
Konstitusi:
When an ordinary court requests to the Constitutional Court an adjudication on
the constitutionality of statutes, the court's written request shall include the
following matters:
- Indication of the requesting court;
- Indication of the case and the parties;
- The statute or any provision of the statute which is interpreted as
unconstitutional;
- Bases on which it is interpreted as unconstitutional; and
- Other necessary matters.
37Jimly Asshiddiqie II, op.cit.,h.241.
54
Dari ketentuan pasal diatas dapat diketahui bahwa Pasal 43 UU MK Korea
Selatan mengatur mengenai hal-hal yang harus dinyatakan dalam permohonan
tertulis. Ketika pengadilan biasa meminta kepada Mahkamah Konstitusi sebuah
putusan mengenai konstitusionalitas dari suatu undang-undang, permohonan
tertulis dari pengadilan harus mencangkup hal-hal berikut:
- Indikasi (petunjuk) dari pengadilan yang mengajukan permohonan;
- Indikasi (petunjuk) dari kasus dan para pihak;
- Undang-undang atau ketentuan dari undang-undang yang ditafsirkan
inkonstitusional;
- Yang menjadi dasar undang-undang tersebut dapat ditafsirkan
inkonstitusional;
- Hal-hal lain yang diperlukan.
Sama halnya dengan Jerman, ketika pengadilan biasa meminta kepada
Mahkamah Konstitusi suatu adjudikasi terhadap konstitusionalitas undang-
undang, maka proses di pengadilan akan ditunda sampai adanya putusan
Mahkamah Konsitusi mengenai konstitusionalitas dari undang-undang tersebut.
Hal ini diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea
Selatan yakni: When an ordinary court requests to the Constitutional Court an
adjudication on the constitutionality of statutes, the proceedings of the court shall
be suspended until the Constitutional Court makes a decision on the
constitutionality of statutes.
55
Putusan yang dinyatakan inkonstitusional yang berkaitan dengan
pertanyaan konstiusional di Korea Selatan diatur dalam UU MK Korea Selatan
yakni dalam Article 47 (Effect of Decision of Unconstitutionality)
(1) Any decision that statutes are unconstitutional shall bind the ordinary
courts, other state agencies and local governments
(2) Any statute or provision thereof decided as unconstitutional shall lose its
effect from the day on which the decision is made: Provided, That the
statutes or provisions thereof relating to criminal penalties shall lose their
effect retroactively.
Ketentuan pasal di atas menentukan bahwa putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tidak konstitusional mengikat pengadilan biasa, lembaga-lembaga
negara dan pemerintah daerah. Setiap undang-undang yang dinyatakan
inkonstitusional kehilangan efeknya pada hari atau saat putusan tersebut dibuat,
dengan syarat undang-undang yang berkaitan dengan hukuman pidana kehilangan
efeknya berlaku surut.
2.2 Lembaga Negara
2.2.1 Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Menurut Jimly Asshiddiqie lembaga negara terkadang disebut dengan
istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau
lembaga negara saja.38 Melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, istilah
38Jimly Asshiddiqie V, op.cit.,h.60
56
lembaga negara mulai menemukan konsepnya karena ketetapan MPR tersebut
membagi lembaga negara kedalam dua kategori yakni lembaga tertinggi negara
dan lembaga tinggi negara.39
Saat ini lembaga-lembaga negara tidak lagi dikategorikan menjadi
lembaga tertinggi atau tinggi negara. Sistem kekuasaan negara yang dahulu
memiliki karakteristik pembagian kekuasaan negara yang (division of power), kini
telah pula berganti menjadi sistem pemisahan kekuasaan (separation of power).
Akibatnya semua lembaga negara utama (main state organs) memiliki kedudukan
yang sederajat dalam bingkai memperkuat mekanisme check and balances antar
cabang kekukuasaan negara.40 MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara seperti
sebelumnya. Sesuai dengan prinsip checks and balances hubungan antara
lembaga-lembaga negara yang ada bersifat horizontal saja, tidak ada yang lebh
tinggi dan yang lebih rendah.41
Lembaga negara ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi
kekuasaan oleh UUD, undang-undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden.42 Hal ini juga ditegaskan didalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 bertanggal 28 Juli 2004.
Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa istilah lembaga negara tidak
selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI
Tahun 1945 yang keberadaannya atas perintah konstitusi.
39Patrialis Akbar,op.cit.,h.6.40Moh. Mahfud MD II, op.cit., h.195.41Jimly Asshiddiqie V, op.cit.,h.65.42Jimly Asshiddiqie,2012,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika,
Jakarta, (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VI), h.270.
57
Selain lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, ada
juga lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga
negara yang dibentuk atas dasar peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang. Berikut ini akan dipaparkan mengenai lembaga negara menurut UUD
NRI Tahun 1945. Menurut Jimly Asshidiqqie terdapat tidak kurang dari 34 organ
atau lembaga negara yang disebut keberadaannya dalam UUD NRI Tahun 1945
yaitu:
Tabel 7Lembaga Negara Dalam UUD NRI Tahun 1945
Lembaga Negara dalam UUD NRI Tahun 1945
No. Lembaga Negara Pasal yang mengatur dalam UUD NRI
Tahun 1945
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bab III UUD NRI Tahun 1945
-Pasal 2 yang terdiri atas 3 ayat
-Pasal 3 yang terdiri atas 3 ayat
2. Presiden Bab III UUD NRI Tahun 1945
-Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan
mengenai Kekuasaan Pemerintah Negara
yang berisi 17 pasal
3. Wakil Presiden Bab III UUD NRI Tahun 1945
-Pasal 4 ayat (2)
4. Menteri dan Kementerian Negara Bab V UUD NRI Tahun 1945
58
-Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
5. Menteri Luar Negeri Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
6. Menteri Dalam Negeri Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
7. Menteri Pertahanan Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
8. Dewan Pertimbangan Presiden Bab III UUD NRI Tahun 1945
Pasal 16
9. Duta Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)
10. Konsul Pasal 13 ayat (1)
11. Pemerintahan Daerah Provinsi Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7)
12. Gubernur Kepala Pemerintah Daerah Pasal 18 ayat (4)
13. Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 18 ayat (3)
14. Pemerintahan Daerah Kabupaten Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7)
15. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Pasal 18 ayat (4)
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten
Pasal 18 ayat (3)
17. Pemerintah Daerah Kota Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7)
18. Walikota Kepala Pemerintah Kota Pasal 18 ayat (4)
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pasal 18 ayat (3)
20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus atau istimewa
Pasal 18B ayat (1)
21. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bab VII
Pasal 19 sampai dengan 22B
22. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bab VIIA
Pasal 22C dan Pasal 220
23. Komisi Penyelenggaraan Pemilu Pasal 22E ayat (3)
24. Bank Sentral Pasal 23D
25. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bab VIIIA
-Pasal 23E
-Pasal 23F
-Pasal 23G
26. Mahkamah Agung (MA) Bab IX
-Pasal 24
-Pasal 24A
27. Mahkamah Konstitusi (MK) Bab IX
-Pasal 24
59
-Pasal 24C
28. Komisi Yudisial (KY) Bab IX
-Pasal 24B
-Pasal 24
-Pasal 24A
29. Tentara Nasional Indonesia (TNI) Bab XII
Pasal 30
30. Angkatan Darat (TNI AD) Pasal 10
31. Angkatan Laut (TNI AL) Pasal 10
32. Angkatan Udara (TNI AU) Pasal 10
33. Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri)
Bab XII
Pasal 30
34. Badan-badan lain yang fungsinya terkait
dengan kehakiman
Pasal 24 ayat (3)
Sumber: Diolah dari Jimly Asshiddiqie43
2.2.2 Lembaga Negara Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di
Bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 bertanggal
28 Juli 2004, Mahkamah telah menetapkan bahwa istilah lembaga negara tidak
selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI
Tahun 1945 yang keberadaannya atas perintah konstitusi, tetapi ada juga lembaga
negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang
dibentuk atas dasar peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.Dalam Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Mahkamah Konstitusi
43Jimly Asshiddiqie VI, op.cit., h.271-275.
60
telah mengakui keberadaan lembaga negara yang kewenangannya bukan
diberikan oleh Undang-Undang Dasar melainkan oleh peraturan perundang-
undangan lainnya, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jadi dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 bertanggal 28 Juli 2004,
dapat diketahui bahwa yang mencangkup pengertian lembaga negara adalah
termasuk pula lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada
lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang.
Selain putusan diatas, terdapat pula putusan lainnya yang menentukan
bahwa memang terdapat lembaga negara selain yang diatur dalam UUD NRI
Tahun 1945. Putusan tersebut yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
004/SKLN-IV/2006 Perihal Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)
Antara Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi Dengan Presiden R.I.,
Mendagri, dan DPRD Kabupaten Bekasi. Dalam putusan tersebut dapat diketahui
bahwa kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan frasa “yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
Dengan dirumuskannya anak kalimat “lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, secara implisit memang
terkandung pengakuan bahwa terdapat “lembaga negara yang kewenangannya
bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, pengertian
lembaga negara harus dimaknai sebagai genus yang bersifat umum yang dapat
dibedakan antara “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
61
Undang Dasar” dan “lembaga negara yang kewenangannya bukan dari Undang-
Undang Dasar”. Sehingga dari kedua putusan diatas dapat diketahui bahwa
lembaga negara tidak hanya lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945 namun terdapat lembaga negara yang dibentuk atas
perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekarang, istilah lembaga negara
tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebut UUD NRI Tahun
1945 yang keberadaannya atas perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara
yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan atas dasar Keputusan
Presiden (Keppres).44 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003
bertanggal 28 Juli 2004. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa istilah
lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang
disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang keberadaannya atas perintah
konstitusi, tetapi ada juga lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan
bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang. Ketentuan Mahkamah Konstitusi diatas
menunjukkan bahwa tidak hanya lembaga negara yang disebutkan dalam UUD
NRI Tahun 1945 yang dapat mengajukan pengujian undang-undang terhadap
UUD ke Mahkamah Konstitusi, namun lembaga negara yang kewenangannya
tidak diberikan secara langsung oleh UUD NRI Tahun 1945 juga dapat
mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Yang
44Maruarar Siahaan,op.cit.,h.78.
62
terpenting adalah syarat hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya yang
dirugikan oleh berlakunya undang-undang.45
Mengenai lembaga negara yang mengajukan pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI Tahun 1945, Himawan Estu Bagijo memberikan dua
konformitas yakni konforminitas pertama yaitu perseorangan sebagai representasi
lembaga negara dan konformitas kedua adalah lembaga negara organ konstitusi.46
Konformitas pertama yakni, perseorangan sebagai representasi lembaga negara
dapat dilihar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003.
Pemohon adalah Drs. Jhon Ibo, MM dalam kapasitasnya sebagai Ketua
DewanPerwakilan Rakyat Provinsi Papua, juga mewakili kepentingan DPRD
Papua. Dalam kedudukan hukum (legal standing) pemohon, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Mahkamah mengategorikan sebagai
lembaga negara.
Konformitas kedua adalah lembaga negara organ konstitusi yang
mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Hal ini
dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2009.
Pemohon dalam putusan ini adalah DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Republik
Indonesia. Dalam putusannya Mahkamah berpendapat bahwa desainkonstitusional
DPD sebagai organ konstitusi adalah:
45Himawan Estu Bagijo,op.cit.,h.262.46Himawan Estu Bagijo, op.cit.,h.262-263.
63
(i) DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang
membawa dan memperjuangkan aspirasi dankepentingan daerah dalam
kerangka kepentingan nasional;
(ii) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistim ketatanegaraan Indonesia
yang seluruh anggotanya menjadi anggotaMPR bukanlah berarti
bahwa sistim perwakilan Indonesia menganut sistim perwakilan
bikameral;
(iii) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari
seluruh kewenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan,
dan pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD NRI
Tahun 1945, kesemuanya terkait dan berorientasi kepada kepentingan
daerah yang harus diperjuangkan secara nasional;
(iv) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD
dipilih melalui Pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama,
berdasarkan pencalonan secara perseorangan,bukan melalui Partai,
sebagai peserta Pemilu. Mengenai legal standing, Mahkamah menilai
sebagian Pemohon, yaitu (lembaga) DPD dan Anggota DPD
memilikinya.
Selain putusan tersebut terdapat pula putusan lainnya yang menentukan
bahwa memang terdapat lembaga negara selain yang diatur dalam UUD NRI
Tahun 1945. Putusan tersebut yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
004/SKLN-IV/2006 Perihal Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)
Antara Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi Dengan Presiden R.I.,
64
Mendagri, dan DPRD Kabupaten Bekasi. Dalam putusan tersebut dapat diketahui
bahwa kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan frasa “yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.