Post on 11-Mar-2019
KONSEP KHAUF DAN RAJÂ’ AL-GHAZALI DALAM
KITAB IHYÂ’ ‘ULÛM AL-DÎN SEBAGAI TERAPI
TERHADAP GANGGUAN KECEMASAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi
Oleh:
SHANTY PUSPITASARI
NIM: 074411008
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
iii
iv
MOTTO
� ä.øŒ$#uρ š�−/§‘ ’Îû š�Å¡ø�tΡ % Yæ•�|Ø n@ Zπ x�‹Åzuρ tβρߊ uρ Ì�ôγ yf ø9 $# zÏΒ ÉΑöθ s)ø9 $# Íiρ߉äó ø9 $$ Î/ ÉΑ$ |¹Fψ$#uρ
Ÿωuρ ä3s? z ÏiΒ t, Î#Ï�≈ tó ø9 $# ∩⊄⊃∈∪
Artinya: “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.” (Q. S. al- A’raf: 205)
v
PERSEMBAHAN
Alhamdu li Allâhi rabbi al-‘âlamîn, berkat rahmat dan hidayah Allah
penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar suatu halangan
yang berat. Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tua penulis tercinta yang selalu mendo’akan untuk kelancaran
penulisan skripsi ini.
Mas Agus Nur Faton yang selalu memberikan support dan bersedia
membantu dengan sabar.
Mak dan Bapak yang telah mendukung dan memberikan restu.
Ibu Arikhah dan Pak Muhaya selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran.
Adik-adik didik tercinta yang ikut mengisi hari-hari penulis.
Kerabat Jawisari yang telah mendo’akan untuk kelancaran kelulusan.
Teman-teman yang telah ikut membantu baik secara langsung atau tidak
langsung.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang penah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
demikian juga skripsi tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.
Semarang, 7 Juni 2011
Deklarator
Shanty Puspitasari
NIM: 074411008
vii
TRANSLITERASI
a ا
b ب
t ت
s ث
j ج
h ح
kh خ
d د
Ŝ ذ
r ر
z ز
s س
sy ش
s ص
d ض
t ط
z ظ
…‘ ع
g غ
f ف
q ق
k ك
l ل
m م
n ن
w و
h ها
’…… ء
y ي
Bacaan madd : Bacaan diftong :
â = a panjang او = au
î = i panjang اي = ai
û = u panjang
viii
KATA PENGANTAR
Bismillâhi al-Rahmâni al-Rahîm
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayahNya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Konsep Khauf dan Rajâ’ al-Ghazali dalam Kitâb
Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn sebagai terapi terhadap Gangguan Kecemasan”, disusun untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1)
Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Yang terhormat Dr. Nasihun Amin, M. Ag selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang telah menyetujui
pembahasan skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Abdul Muhaya, M. A. dan ibu Hj. Arikhah, M. Ag. selaku
Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Tsuwaibah selaku Pimpinan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang
telah memberikan ijin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Para dosen pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo,
yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik moral
maupun materi dalam penyusunan skripsi.
ix
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
Semarang, 7 Juni 2011
Penulis
x
ABSTRAK
Masyarakat dewasa ini semakin banyak dilingkupi oleh kecemasan, akan
tetapi sebaliknya, mereka mengalami krisis takut kepada Allah Swt. Sedang
kecemasan merupakan penyebab utama dari berbagai gangguan kejiwaan. Bahkan
berdasarkan penelitian Dale Carnegie, kecemasan menjadi pembunuh nomor satu
di Amerika pada perang dunia ke II. Psikologi bagi para sufi merupakan bagian
persoalan moral atau sufisme. Mereka mengetahui kecemasan dan bagaimana cara
mengatasinya. Oleh karena itu masalah kecemasan ini merupakan masalah yang
bisa ditemukan pemecahannya melalui sufisme (tasawuf). Permasalahan ini tidak
lepas dari masalah hati. Karena rasa cemas dan tenteram timbul dari hati. Penulis
mengambil konsep al-Ghazali sebagai kajian dalam penelitian ini, karena begitu
besarnya perhatian beliau tentang hati, penyakitnya, serta obatnya. Menurut al-
Ghazali khauf dan rajâ’ adalah obat yang dengan keduanya hati akan diobati, dan
keutamaan keduanya tergantung penyakit yang ada.
Rumusan masalah yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah
bagaimana konsep khauf dan rajâ’ menurut al-Ghazali serta bagaimana perannya
dalam memberikan terapi terhadap gangguan kecemasan. Penelitian ini
merupakan library research atau penelitian literer. Yang menggunakan data
primer kitab “Ihyâ’ ‘Ulum al-Dîn” karya al-Ghazali yang membahas tentang
khauf dan rajâ’, dan buku mengenai gangguan kecemasan yaitu “Psikologi
Abnormal” karya Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene. Tehnik
dalam mengumpulkan data dengan membaca, klasifikasi dan analisis dengan
metode interpretasi, analisis isi dan analisis wacana untuk memperoleh makna
yang jelas. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode
diskriptif kualitatif dan metode content analysis (analisis isi).
Dari penelitian ini penulis menemukan bahwa konsep khauf menurut al-
Ghazali adalah suatu getaran dalam hati berupa kepedihan dan kebakaran hati
ketika ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak disukai dan rajâ’ adalah
menunggu yang disukai yang nyata semua sebab-sebabnya dari usaha hamba.
Khauf dan rajâ’ sempurna dari hâl, ilmu dan amal. Khauf dan rajâ’ merupakan
dua macam obat, yang dengan keduanya hati diobati. Keduanya adalah motivator
yang dapat menggerakkan dan membimbing pada kebaikan dan ketaatan serta giat
dalam menjalankan kebaikan dan ketaatan, juga giat menjauhi larangan,
meninggalkan kejahatan dan kemaksiatan.
Konsep khauf dan rajâ’ al-Ghazali dapat digunakan sebagai terapi
terhadap gangguan kecemasan. Yaitu dengan menjadi motivator yang
menggerakkan kepada perbuatan, menguatkan sabar, menjadikan hidup ini
menjadi lebih bermakna karena rajâ’ dapat menimbulkan semangat dan
optimisme. Dan khauf menjadikan seseorang hanya takut kepada Allah,
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidak takut kepada selain Allah.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………..ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………...…….iii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………… v
HALAMAN DEKLARASI……………………………………………………… vi
HALAMAN TRANSLITERASI……………………………………………… vii
HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………………… viii
HALAMAN ABSTRAK……………………………………………………….. x
DAFTAR ISI…………...………………………………………………………. xi
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
A. Latar Belakang…………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………… 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………. 7
D. Tinjauan Pustaka……………………………………………….. 7
E. Metode Penelitian………………………………………………. 10
F. Sistematika Penulisan……………………………………………12
BAB II : KHAUF, RAJÂ’ DAN KECEMASAN…………………………….. 14
A. Pengertian Khauf dan Rajâ’……………………………………. 14
1. Pengertian Khauf.................................................................... 14
2. Pengertian Rajâ’……………………………………………. 18
B. Khauf dan Rajâ’ dalam Tasawuf………………………………. 20
C. Pengertian Kecemasan…………………………………………. 22
1. Pengertian………………………………………………….. 22
2. Ciri-ciri Gangguan Kecemasan……………………………. 26
3. Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan………………………….. 28
D. Sebab-Sebab Gangguan Kecemasan…………………………… 34
1. Perspektif Psikodinamika………...………………………… 35
xii
2. Perspektif Behavioris……………...……………………….. 35
3. Faktor Kognitif……………………………………………. 36
4. Faktor Biologis……………………………………………. 38
5. Sebab Gangguan Kecemasan dalam Islam………………… 39
BAB III : AL-GHAZALI DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI KHAUF
DAN RAJÂ’……………………………………………………….. 41
A. Biografi Al-Ghazali……………………………………………. 41
B. Kondisi Sosio Kultural………………………………………… 44
C. Karya-Karya Al-Ghazali………………………………………. 46
D. Pemikiran Khauf dan Rajâ’ Al-Ghazali……………………….. 49
1. Pemikiran Khauf al-Ghazali……………………………….. 50
2. Pemikiran Rajâ’ al-Ghazali………………………………... 62
BAB IV : ANALISIS…………………………………………………………. 69
A. Karakteristik Konsep Khauf dan Rajâ’ al-Ghazali………………69
B. Relasi Khauf dan Rajâ’ dengan Gangguan Kecemasan………... 70
C. Peran Khauf dan Rajâ’ dalam Mengatasi Gangguan
Kecemasan……………………………………………………. 73
BAB V : PENUTUP…………………………………………………………. 78
A. Kesimpulan……………………………………………………. 78
B. Saran…………………………………………………………… 79
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 80
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kecemasan (anxiety)1 dan kegelisahan (restlessness)2 merupakan
salah satu masalah yang banyak dipelajari, diteliti dan dibahas dalam psikologi.
Berbagai teori dan metode terapi untuk memahami dan mengatasi gejala
kecemasan telah dikembangkan secara intensif oleh ahli psikologi.3 Teori-teori
tentang rasa cemas menganggap kecemasan sebagai penyebab utama dari berbagai
gangguan kejiwaan. Freud mendefinisikan kecemasan sebagai kondisi yang tidak
menyenangkan, bersifat emosional dan sangat terasa kekuatannya, disertai sebuah
sensasi fisik yang memperingatkan seseorang terhadap bahaya yang sedang
mendekat. Kecemasan adalah respons yang tepat terhadap ancaman, tetapi
kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi
ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya. Dalam bentuknya
yang ekstrem, kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari. Kecemasan
dapat menyebabkan distress.4
Dale Carnegie mengatakan bahwa hasil penelitian telah menetapkan
bahwa kecemasan sebagai pembunuh nomor satu di Amerika. Selama perang
dunia II, sepertiga juta tentara Amerika terbunuh dalam peperangan, dan pada
waktu yang sama dua juta manusia terbunuh karena penyakit jantung. Sedang
setengah dari dua juta tersebut, penyakit jantungnya disebabkan oleh kecemasan
1Anxiety adalah keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperngkapan dan
rasa takut yang menonjol. 2Restlessness yaitu kesesakan, gelisah dan merupakan gejala negatif. 3Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami,
cet. IV, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, 2005), hlm. 156. 4Jess Feist dan Gregory J. Feist, Theories of Personality, terj. Yudi Santoso, S. Fil.,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 31; Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly
Greene, Abnormal Psychology in a Changing World, terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan judul: Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 164.
2
dan kehidupan yang penuh ketegangan.5 Oleh karena itu dapat dimengerti kalau
gejala ini cukup menarik perhatian ahli psikologi untuk membahasnya.
Ilmuwan telah menyebut abad ke-20 sebagai abad kecemasan (The Age of
Anxiety). Beberapa gejalanya adalah peperangan antar bangsa, antar suku dan
antar negara yang tidak ada henti-hentinya, resesi ekonomi yang melanda banyak
negara, ledakan penduduk yang tidak terkendali lagi oleh upaya perencanaan
keluarga, membanjirnya pengungsi dari negara-negara yang dilanda peperangan
yang pada gilirannya menimbulkan problem-problem sosial pada negara yang
mereka datangi, pencemaran alam akibat limbah industri, pergantian berbagai tata
nilai yang serba cepat, munculnya berbagai krisis dalam kehidupan pribadi-
keluarga-masyarakat, melunturnya nilai-nilai tradisi dan penghayatan agama
sebagai akibat samping kemajuan teknologi-industri-modernisasi, serta
munculnya berbagai macam penyakit yang mengerikan dan sulit disembuhkan.6
Gejala-gejala ini sampai saat ini belum dapat teratasi, bahkan dapat dikatakan
semakin memburuk. Masyarakat dewasa ini semakin banyak dilingkupi oleh
kecemasan, akan tetapi sebaliknya, mereka mengalami krisis takut terhadap Allah
Swt.
Gejala-gejala di atas muncul sebagai akibat adanya proses modernisasi
yang di dalamnya seringkali menggunakan nilai-nilai yang bersifat materi dan
antirohani, sehingga mengabaikan unsur-unsur spiritualitas. Karenanya manusia
modern mengalami krisis spiritual.7 Begitu besarnya pengaruh teknologi, bukan
saja sebagai sarana kehidupan manusia, tetapi sudah menjadi tujuan manusia.
Peradaban modern membawa manusia menuju kehancuran manusiawi, ketakutan,
kegelisahan, kecemasan dan kecurigaan, yang bercampur aduk dan perjalanannya
menuju batas akhir yang mengerikan.8
5Muhammad Al-Ghazali, Jaddid Hayyatak, terj. Drs. Hamid Luthfi dengan judul
Perbarui Hidupmu, cet. VII, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 41. 6Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., hlm. 155. 7Dr. Abdul Muhaya, M.A., “Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual”,
dalam Prof. Dr. H. M. Amin Syukur dan Dr. Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 22.
8Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, cet.
IV, (Jakarta: Lantabora Press, 2003), hlm. 84-90.
3
Manusia mulai kehilangan kebebasan, kreatifitas dan semangat kritisnya,
mereka tidak berdaya menghadapi arus yang timpang tapi faktual, dan mulai
hidup dalam ketakutan. Dengan berbagai sebab dan alasan manusia kehilangan
keutuhan dirinya. Ini yang disebut adanya distorsi konsep, dimana orang takut
berbicara terus terang, takut menyatakan sikap jujur, takut membuat alternatif.
Distorsi itu kemudian menjadi split personality9, dimana orang sudah tidak dapat
lagi berfikir secara lugas dan berbicara dengan bahasa langsung dan bersih. Maka
timbullah alienasi. Indikator yang paling gampang dilihat antara lain timbulnya
gejala psiko-sosioneurosis, kecenderungan hidup tampak gontai dan tanpa arah,
moral semakin tersingkirkan oleh vulgarisme pemujaan benda yang berlebihan.10
Rasionalisme, sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya ternyata
tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya, akan tetapi sebaliknya
menimbulkan kegelisahan dalam hidup ini. Masyarakat yang demikian dikatakan
the post industrial society telah kehilangan visi Ilahi.11 Kehilangan visi keIlahian
bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya kehampaan
spiritual. Sehingga banyak dijumpai orang yang stress, resah, bingung, gelisah,
gundah-gulana dan setumpuk penyakit kejiwaan, akibat tidak mempunyai
pegangan dalam hidup ini. Mereka tidak tahu mau ke mana, akan ke mana dan
untuk apa hidup ini.12
Beraneka ragam terapi dikembangkan para ahli guna mengatasi rasa cemas
itu, di antaranya latihan relaksasi, terapi tingkah laku (behaviour therapy), terapi-
terapi yang dilandasi teori psikoanalisis yang berusaha menelusuri masa lalu dan
menyadarkan kembali pengalaman-pengalaman hidup yang sudah tidak
disadarinya lagi serta menyusun kembali sejarah hidupnya secara proporsional,
dan pendekatan yang bercorak humanistik (humanistic psychology) seperti
9Menunjukkan pada keterpisahan unsur-unsur pribadi, antara nurani (yang mendorong ke
arah kebajikan) dan draif instingtif (yang mendorong ke arah kegresifan dan pemuasan seketika)
yang sama-sama kuat dan ego tidak kuat memadukannya. Pribadi demikian sewaktu-waktu tampak
bijak, tetapi sewaktu-waktu tampak agresif. 10Muhammad Tholhah Hasan, op. cit., hlm. 85.
11Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag, Kamus Ilmu
Tasawuf, (Penerbit Amzah, 2005), hlm. xiii. 12 Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, cet. III, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 178-181.
4
logoterapi, dan sebagainya. Saat ini pendekatan-pendekatan tersebut telah
dikembangkan secara canggih (sophisticated) dan menunjukkan hasil guna
(efectivity) yang cukup baik dalam menanggulangi berbagai penyakit kejiwaan.
Walaupun demikian, dalam kenyataannya, orang yang cemas dan mendambakan
masa tenang dan tenteram tampaknya dari hari ke hari makin bertambah juga.13
Untuk itu, tasawuf mampu memberikan jalan keluar dari semua masalah
ini. Tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual. Ini karena, pertama,
tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual
dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas
ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Dalam ungkapan
William James, pengetahuan dari pengalaman tersebut disebut neotic. Pengalaman
keagamaan ini memberikan sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang
luar biasa bagi pemeluk agama. Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk
pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan-
perasaan mistik, seperti ma’rifat, ittihâd, hulûl, mahabbah, uns, dan lain
sebagainya mampu menjadi moral force bagi amal-amal salih. Dan selanjutnya,
amal salih akan membuahkan pengalaman-pengalaman mistis yang lain dengan
lebih tinggi kualitasnya. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah
dijalin atas rasa kecintaan. Hubungan yang mesra ini akan mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik, bahkan yang terbaik, inti dari
ajaran tobat. Di samping itu hubungan tersebut juga dapat menjadi moral kontrol
atas penyimpangan-penyimpangan dan berbagai perbuatan yang tercela. Sebab,
melakukan hal yang tidak terpuji berarti menodai dan menghianati makna cinta
mistis yang telah terjalin, karena Sang Kekasih hanya menyukai yang baik saja.
Dan manakala seseorang telah berbuat sesuatu yang positif saja, maka ia telah
memelihara, membersihkan, menghias spirit yang ada dalam dirinya.14
Psikologi bagi para sufi merupakan bagian persoalan moral atau sufisme.
Mereka berpartisipasi secara praktis dalam ilmu psikologi, sebagaimana mereka
telah menemukan fakta-fakta penting psikologi. Mereka mengetahui kecemasan
13 Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., hlm. 157.
14 Dr. Abdul Muhaya, M.A., op. cit., hlm. 24-25.
5
dan bagaimana cara mengatasinya. Kecemasan dapat didefinisikan sebagai
ketakutan terhadap sesuatu yang diketahui individu, apakah terjadi pada masa lalu
maupun sekarang, atau sesuatu yang tidak ia ketahui, akan tetapi diharapkan
terjadi pada masa mendatang. Kesedihan atau kecemasan mungkin terjadi karena
hilangnya sesuatu yang diduga ada, atau karena kekhawatiran terhadap sesuatu
yang akan terjadi, atau penundaan terhadap sesuatu yang dirindukan, atau karena
pengingatan terhadap beberapa penyimpangan dari kebenaran. Timbulnya
kecemasan adalah akibat pertentangan antara emosi naluriah dan perasaan pada
satu sisi dengan nilai-nilai moral yang membebaskan kemanusiaannya pada sisi
lain. Kekotoran jiwa merupakan salah satu kegelisahan atau kecemasan yang
dirasakan seseorang ketika ia percaya terhadap nilai-nilai dan moral agama. Oleh
karena itu, menurut sufi, ada tiga faktor yang menyebabkan kecemasan, yaitu:15
a. Hilangnya keimanan
b. Menyembah Tuhan selain Allah
c. Penyimpangan dari moral-moral agama
Para sufi juga membicarakan tentang ketentraman yang berarti suatu
keadaan dimana seorang individu mampu mengatasi kegelisahannya sampai pada
kondisi mental yang stabil sebagai akibat dari pengendalian diri.16 Permasalahan
ini tidak lepas dari masalah hati. Karena rasa cemas dan tenteram timbul dari hati.
Kecemasan bisa ditimbulkan karena adanya penyakit hati. Salah satu tokoh sufi
yang memiliki perhatian besar terhadap hati adalah al-Ghazali. Beliau banyak
menulis tentang masalah ini dalam kitabnya, beliau menyebutkan sebagian
masalah hati ini di dalam syarah Ajaib al-Qalbi (penjelasan pada bab Keajaiban
Hati) dari kitab “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn” dan telah menerangkan secara rinci beserta
kaifiatnya (terapinya) dalam kitab “Asraru Mu’amalat al-Dîn”. Penulis
mengambil konsep al-Ghazali sebagai kajian dalam penelitian ini, karena begitu
besarnya perhatian beliau tentang hati, penyakitnya, serta obatnya. Selain itu
menurut al-Ghazali khauf dan rajâ’ adalah obat yang dengan keduanya hati akan
15Abu Al-Wafa El-Taftazani, “Peran Sufisme dalam Masyarakat Modern”, dalam Mukti
Ali, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997), hlm. 288-293. 16 Ibid., hlm. 296.
6
diobati, dan keutamaan keduanya tergantung penyakit yang ada. Beliau juga
menjelaskan masalah khauf dan rajâ’ ini secara lebih lengkap dalam kitabnya
dibandingkan tokoh sufi yang lain.
Al-Ghazali mendefinisikan khauf sebagai sesuatu yang tidak disukai yang
akan terjadi di masa mendatang. Dengan khauf, berhasillah dalam hati itu
kelayuan, kekhusyukan, kehinaan diri dan ketenangan. Khauf adalah seperti
cemeti, yaitu membawa kepada amal perbuatan. Faedah khauf adalah hati-hati,
takwa, mujâhadah, ibadah, fikir, dzikir dan sebab-sebab lain yang menyampaikan
kepada Allah. Dan setiap yang demikian, membawa kehidupan serta kesehatan
badan dan kesejahteraan akal. Sedangkan rajâ’ adalah sesuatu yang ditunggu dan
disukai di masa mendatang. Al-Ghazali menyatakan bahwa sesungguhnya
Rasulullah Saw. telah menyebutkan sebab-sebab rajâ’ dan kebanyakan
daripadanya supaya dapat mengobatkan serangan takut yang ekstrem, yang
membawa kepada keputusasaan atau sifat-sifat lain yang melemahkan. Semangat
rajâ’ dapat menguatkan hati dan mencintakan kepada Allah yang kepadaNyalah
harapan.17
Khauf dan rajâ’ merupakan salah satu tahap dalam ahwâl. Dalam sufi
healing, maqâmât dan ahwâl merupakan salah satu metode terapi. Tahapan dalam
maqâmât dan ahwâl merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif dalam
menanggulangi berbagai penyakit jiwa dan hati, membersihkan segala kerendahan
dan menghiasi keduanya dengan kebaikan. Ia menjamin kekukuhan jiwa dan juga
membawa pada kesempurnaan jiwa.18
Karena alasan-alasan di atas, penulis ingin mengambil konsep khauf dan
rajâ’ Al-Ghazali sebagai terapi terhadap gangguan kecemasan. Di samping itu
yang menarik penulis untuk mengangkat tema ini karena khauf merupakan ahwâl
sufi yang berupa ketakutan, dan kecemasan adalah gangguan psikologis yang
disebabkan oleh ketakutan. Keduanya sama-sama bentuk ketakutan tetapi
memiliki karakteristik yang berbeda. Takut di dalam psikologi adalah ketakutan
17Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, juz. IV, terj. Prof. Ismail Yakub dengan judul: Ihya’ Al-
Ghazali, jilid VII, cet. III, (Jakarta: C.V. Faizan, 1985), hlm. 6-48, 66. 18 Dr. Amir An-Najar, At-Tashawwuf An-Nafsi, terj. Ija Suntara dengan judul: Psikoterapi
Sufistik dalam Kehidupan Modern, (Jakarta: Hikmah, 2004), hlm. 40-41.
7
yang bersifat negatif, sedangkan khauf adalah bentuk ketakutan yang positif dan
bersifat membangun.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep khauf dan rajâ’ menurut Al-Ghazali?
2. Bagaimana peran khauf dan rajâ’ dalam memberikan terapi terhadap
gangguan kecemasan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui konsep khauf dan rajâ’ Al-Ghazali
b. Mengetahui peran khauf dan rajâ’ dalam memberikan terapi terhadap
gangguan kecemasan
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penulis berharap penelitian ini bisa memberi pengetahuan baru
tentang khauf dan rajâ’ dan hubungannya dengan gangguan psikologis
terkait cemas.
b. Manfaat praktis
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan salah satu solusi
menghadapi permasalahan psikologi zaman modern, terutama yang terkait
dengan kecemasan dan phobia.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis belum menemukan penelitian yang mengaitkan khauf dan rajâ’
dengan gangguan kecemasan dan menjadikannya sebagai terapi terhadap
gangguan kecemasan. Sejauh ini penelitian tentang terapi untuk gangguan
kecemasan dengan menggunakan metode terapi Islami yang penulis temukan
8
adalah skripsi berjudul Penyembuhan Bagi Penderita Anxiety Neurosis (Telaah
Psikoterapi Islami) dan skripsi dengan judul Penyembuhan Bagi Penderita Anxiety
Neurosis (Telaah Metode Psikoterapi Sufistik). Kedua penelitian tersebut
membahas ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah gairu mahdah
seperti dzikir, taubat, ketakwaan dan kesabaran sebagai terapi terhadap gangguan
kecemasan yang disebabkan neurosis.
Sedangkan buku yang mengangkat tema tersebut adalah “Don’t Worry be
Happy” terjemahan dari kitab “Da’ Al-Qalq wa Jadid Sa’âdatik” karya
Muhyiddin ‘Abdul Wahid. Dalam bukunya, ia lebih menggunakan istilah
kegelisahan daripada kecemasan. Dan untuk mengatasi kegelisahan itu,
Muhyiddin ‘Abdul Wahid memberikan kiat-kiat yang didasarkan pada petunjuk
al-Quran dan as-Sunah, yaitu dengan meneladani kisah-kisah para rasul dan
sahabat serta mengamalkan ajaran sabar dan pasrah dalam al-Quran. Selain itu
juga dengan mengingat dan merenungkan ayat-ayat al-Quran tentang rahmat
Allah terhadap orang yang sabar.
Buku lainnya adalah “At-Taujîh wa al-Irsyâdun Nafsi min al-Qurân al-
Karîm wa as-Sunnah an-Nabawiyah” karya Dr. Musfir bin Said Az-Zahrani yang
diterjemahkan dengan judul “Konseling Psikoterapi”. Di dalamnya ditawarkan
terapi kecemasan dengan al-Quran, yaitu dengan pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Quran yang sesuai dengan penyebab ketakutannya. Selain itu juga dengan
membaca al-Quran dengan penuh kesadaran, meyakini bahwa segala sesuatunya
berada dalam kekuasaan Allah, melalui shalat, senantiasa mengingat Allah,
berdo’a dan bertakwa.
Dalam buku Dr. Muhammad al-Ghazali (seorang tokoh kontemporer dari
Mesir, w. 2006) yang berjudul “Jaddid Hayyatak” dijelaskan formula untuk
melawan rasa cemas, yaitu dengan menerima setiap kenyataan (rida), melupakan
segala macam musibah secara keseluruhan, memulai kehidupan yang lebih dekat
kepada pengharapan, memperbanyak amal dan keberanian.
Dan buku “At-Ta’sil al-Islami li al-Dirasat an-Nafsiyah” karya
Muhammad Izzudin Taufiq yang terjemahannya berjudul “Panduan Lengkap dan
Praktis Psikologi Islam”. Di dalamnya sedikit dijelaskan mengenai kecemasan dan
9
phobia serta terapinya, yaitu dengan terapi medis, terapi kejiwaan, dan terapi
spiritual. Untuk gangguan kecemasan umum, terapi kejiwaan langkah terapis yang
pertama adalah membangun hubungan positif dengan pasien, hingga pasien mau
mengungkapkan tentang dirinya dan problem yang dihadapinya. Selanjutnya
terapis memberikan konseling berdasarkan pandangan Islam. Dalam terapi ini
pasien juga dituntun untuk melakukan shalat istikharah. Shalat istikharah ini
sudah mencakup terapi spiritual. Dalam terapi spiritual selain shalat istikharah
juga dengan ritual shalat sehari-hari. Sedang untuk phobia, terapi kejiwaan dengan
menunjukkan kepada pasien kondisinya yang sebenarnya atau dengan
memotivasinya untuk mengalahkan rasa takutnya, maupun dengan relaksasi. Dan
terapi spiritualnya dengan mengarahkan pasien untuk sering beristighfar,
mendirikan shalat lima waktu, shalat jumat, puasa Ramadhan, melaksanakan
ibadah haji dan umrah.
Adapun buku-buku tentang terapi gangguan kecemasan dengan metode
yang terdapat dalam psikologi dan psikiatri yaitu:
Buku karya Dr. Savitri Ramaiah yang berjudul “Kecemasan: Bagaimana
Mengatasi Penyebabnya”. Dalam buku ini dijelaskan cara mengatasi kecemasan
dari berbagai aliran pengobatan, seperti alopati, ayurveda, homeopathy,
pengobatan alami dan unani. Alopati memberikan empat pendekatan pengobatan
untuk keadaan cemas, yaitu psikoterapi dengan stabilitas hubungan keluarga,
motivasi untuk berobat dan kemampuan menghadapi kesulitan dalam kehidupan;
terapi relaksasi; meditasi dan terapi dengan obat-obatan. Untuk penderita phobia
ditambahkan dengan terapi tingkah laku. Homeopathy, memberikan terapi untuk
kecemasan dengan obat-obatan. Sedangkan menurut penyembuhan cara alami,
kecemasan diobati melalui teknik-teknik relaksasi, perilaku pendukung,
pemberian semangat dari keluarga dan sahabat, latihan serta diet untuk mengatasi
kecemasan dan konseling untuk kasus kecemasan yang berat. Dan unani,
memiliki empat prinsip untuk pengobatan kecemasan, yaitu memperbaiki faktor-
faktor yang menyebabkan perasaan murung yang berlebihan melalui diet,
olahraga, pekerjaan pikiran, kebiasaan, dan sebagainya; minum obat penenang
untuk mengurangi ketegangan; minum obat pencahar untuk mengatasi suasana
10
hati yang menyebabkan kesedihan; dan dengan pemberian Muqawwiyat Asab wa
Dimag atau tonikum untuk sistem saraf.
Dalam buku “Psikoterapi: Pendekatan Konvensional dan Kontemporer”
yang dieditori oleh M.A. Subandi dijelaskan berbagai macam terapi dalam
psikologi. Beberapa di antaranya dapat digunakan sebagai terapi untuk gangguan
kecemasan. Terapi-terapi yang dapat digunakan untuk gangguan kecemasan
dalam buku tersebut adalah terapi client center, terapi dengan pendekatan
kognitif, relaksasi, meditasi dengan berbagai cara, dan berlatih senyum dan
tertawa.
Hanna Djumhara Bastaman, dalam bukunya “Logoterapi: Psikologi untuk
Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna”, menjelaskan mengenai
terapi temuan Victor Frankl, logoterapi—terapi yang mengajukan metode untuk
menemukan makna hidup dan mengembangkan hidup bermakna. Tiga metode
terapi (Medical Ministry; Paradoxical Intention dan Dereflaksion; Existencial
Analysis) yang dikembangkan logoterapi mampu digunakan untuk menerapi
berbagai jenis kecemasan, seperti stress pasca trauma, phobia, dan obsesif-
kompulsi.
Jadi penelitian yang dilakukan penulis, sepengetahuan penulis belum
pernah dilakukan sebelumnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dilihat dari tempat atau lokasi dimana seorang peneliti
melakukan penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu field research, laboratory
research, dan library research.19 Penelitian ini tergolong library research
(penelitian perpustakaan), karena penelitian dilakukan dengan melakukan
kajian terhadap literatur, penelitian sebelumnya, jurnal dan sumber-sumber
lainnya yang ada di perpustakaan. Penelitian ini disebut juga penelitian literer,
karena objek kajiannya berupa literatur-literatur. Penelitian perpustakaan saat
19 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006), hlm. 18.
11
ini tidak hanya dapat dilakukan di perpustakaan saja, tetapi bisa juga ditambah
dengan penelitian terhadap literatur-literatur dari internet, dengan masuk ke
situs-situs perpustakaan ataupun mengkaji artikel dan jurnal yang berkitan
dengan penelitian.
2. Sumber Data
Karena penelitian ini tergolong penelitian literer, maka data-datanya
berupa buku. Data ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Data primer
Data primer dalam penelitian ini yaitu kitab “Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”
karya al-Ghazali yang membahas tentang khauf dan rajâ’, dan buku
mengenai gangguan kecemasan yaitu “Psikologi Abnormal” karya Jeffrey
S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene.
b. Data sekunder
Data sekunder berupa buku-buku lain yang mendukung penelitian,
diantaranya kitab “Minhâj al-‘Âbidîn” karya al-Ghazali, “Don’t Worry be
Happy” terjemahan dari kitab “Da’ Al-Qalq wa Jadid Sa’âdatik” karya
Muhyidin ‘Abdul Wahid, “Menerjang Rasa Takut: Mengatasi Sumber
Ketakutan Selamanya” karya Mulia Santosa, dan “Diagnosis Gangguan
Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III”. Dan juga al-Quran dan hadits.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan penulis melalui studi kepustakaan
(library research). Adapun tehnik yang digunakan terdiri dari tiga tahap,
yaitu:
a. Membaca
b. Klasifikasi
Yaitu mengelompokkan buku-buku ke dalam bab-bab yang sesuai.
c. Analisis
Setelah buku-buku diklasifikasikan, selanjutnya teks didalamnya
dianalisis dengan metode interpretasi, analisis isi dan analisis wacana
untuk memperoleh makna yang jelas.
4. Metode Analisis Data
12
Data dalam penelitian ini selanjutnya akan dianalisis dengan metode
diskriptif kualitatif, yaitu dengan membuat gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan
antara fenomena yang diselidiki untuk dicari hubungan antara konsep khauf
dan rajâ’ al-Ghazali dengan kecemasan dan perannya sebagai terapi bagi
gangguan kecemasan.
Selain itu digunakan pula metode content analysis (analisis isi) untuk
menarik kesimpulan dari penelitian ini, dengan mencari karakteristik konsep
khauf dan rajâ’ al-Ghazali. Metode ini merupakan proses yang diarahkan
untuk menggeneralisasi data-data dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Sebuah karya tulis ilmiah harus memenuhi syarat-syarat logis dan
sistematis. Untuk itu dalam pembahasannya, skripsi ini penulis susun menjadi
lima bab, dimana masing-masing bab saling terkait.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan tentang hal-
hal yang melatarbelakangi munculnya masalah yang dirumuskan dalam penelitian
ini, di situ dipaparkan mengenai pentingnya mengangkat tema kecemasan serta
terapinya, dan alasan mengapa penulis menjadikan konsep khauf dan rajâ’ al-
Ghazali sebagai terapi terhadap gangguan kecemasan. Bab ini juga berisi rumusan
masalah; tujuan dari penelitian; manfaat yang diharapkan dengan adanya
penelitian ini; tinjauan pustaka yang menjelaskan penelitian-penelitian
sebelumnya dan buku-buku tentang terapi gangguan kecemasan sebagai
penjelasan bahwa penelitian penulis belum dilakukan sebelumnya; metode
penelitian; dan sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan tentang tinjauan umum khauf, rajâ’ dan
kecemasan. Yang terdiri dari pengertian khauf dan rajâ’, khauf dan rajâ’ dalam
tasawuf, pengertian kecemasan dan sebab-sebab yang menimbulkan gangguan
kecemasan. Dalam subbab-subbab tersebut, dijelaskan perbedaan antara khauf,
khasyyah dan haibah, serta perbedaan rajâ’ dengan tamannî, bagaimana
kedudukan khauf dan rajâ’ di dalam tasawuf, serta pandangan para sufi terhadap
13
khauf dan rajâ’. Di dalamnya dijelaskan pula definisi, pembagian, indikator, dan
faktor-faktor yang menimbulkan gangguan kecemasan.
Bab ketiga menjelaskan biografi al-Ghazali, mulai dari riwayat hidup dan
kondisi sosio-kultural masa al-Ghazali, karya-karyanya, serta pemikiran al-
Ghazali tentang khauf dan rajâ’ yang terdiri dari pengertian khauf dan rajâ’,
tingkat-tingkat khauf, macam-macam khauf, keutamaan khauf dan rajâ’, obat
rajâ’, jalan untuk memperoleh khauf dan rajâ’, dan yang lebih utama antara khauf
dan rajâ’.
Bab keempat adalah analisis dari penelitian ini. Dalam bab ini dianalisis
relasi khauf dan rajâ’ dengan kecemasan serta peran khauf dan rajâ’ dalam
mengatasi gangguan kecemasan.
Terakhir adalah bab lima atau bab penutup yang menerangkan kesimpulan
akhir dari seluruh rangkaian penelitian di atas. Kesimpulan ini berisi tentang
jawaban rumusan masalah yang ada dan implikasi dari penelitian ini. Selain itu
bab ini juga berisi saran dari penulis.
14
BAB II
KHAUF, RAJÂ’, DAN KECEMASAN
A. Pengertian Khauf dan Rajâ’
1. Pengertian Khauf
Secara etimologi khauf (��ف��ف berasal dari bahasa arab (ا�, isim
masdarnya � �� yang berarti ketakutan.1 Dalam KBBI, khauf adalah kata
benda yang memiliki arti ketakutan atau kekhawatiran. Khawatir sendiri
merupakan kata sifat yang bermakna takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal
yang belum diketahui dengan pasti. Sedangkan takut adalah kata sifat yang
memiliki beberapa makna seperti, merasa gentar menghadapi sesuatu yang
dianggap akan mendatangkan bencana; takwa; tidak berani (berbuat,
menempuh, menderita, dan lain-lain); dan gelisah atau khawatir.2 Jadi khauf
berarti perasaan gelisah atau cemas terhadap suatu hal yang belum diketahui
dengan pasti.
Adapun secara terminologi, sebagaimana diuraikan dalam kamus
tasawuf, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena
kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak
senang padanya. Khauf timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah
yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau
takut kepada siksa Allah.3
Menurut Imam Qusyairy, takut kepada Allah berarti takut terhadap
hukumNya. Menurutnya khauf adalah masalah yang berkaitan dengan
kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang
1 Husain Al-Habsyi, Kamus Al-Kautsar Lengkap, (Bangil: Yayasan Pesantren Islam,
1986), hlm. 89. 2Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm 436, 888. 3Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Penerbit Amzah,
2005), hlm. 119-120.
15
dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di
masa depan.4
Menurut Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi, khauf adalah:5
QKRSLTUO اMNOH وEF9GEH IJKHELر =ABو? =;9
Artinya: “Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati karena menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.”
Ibn Jalla’ berkata bahwa orang tidak dikatakan takut karena menangis
dan megusap air matanya, tetapi karena takut melakukan sesuatu yang
mengakibatkan ia disiksa karenanya.6
Ibnu Khabiq berkata, “Makna khauf menurutku adalah berdasarkan
waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada Allah saat ia dalam keadaan aman.”
Menurutnya, orang yang takut adalah seorang yang lebih takut akan dirinya
sendiri dari pada hal-hal yang ditakutkan syaitan.7
Imam Qonadi berkata, “Alamat dari pada khauf adalah ia tidak
menyakitkan dirinya dengan banyak angan.” Sebagian ‘ârifîn berkata,
“Alamat khauf yaitu beku dan layunya hati dari kesenangan.”8
Al-Falluji berpendapat bahwa khauf adalah suatu bentuk kegelisahan
ketika seseorang memperkirakan sesuatu yang ia benci akan menimpanya.
Dalam al-Quran, kata khauf diulang sebanyak seratus dua puluh kali.
Diantaranya adalah dalam surah al-Qasas ayat 21:9
yl t� sƒm� $ pκ÷]ÏΒ $ Z�Í←!% s{ Ü= ©%u�tItƒ ( tΑ$ s% Éb>u‘ Í_ ÅngwΥ z ÏΒ ÏΘ öθ s)ø9 $# tÏϑÎ=≈ ©à9 $# ∩⊄⊇∪
Artinya: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku,
4Al-Qusyairy An-Naisabury, Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi At-Tasawufi, terj.
Mohammad Luqman Hakim dengan judul Risâlatul Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 123.
5 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 120. 6 Al-Qusyairy An-Naisabury, op. cit., hlm. 124. 7Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Thusi, Al-Luma’ fî Târîkh At-Tasawuf Al-Islâmi,
(Libanon: Dar Al-Qatab Al-Ilmiyah, 2007), hlm 56. 8 Ibid., hlm. 56. 9 Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 2002.
16
selamatkanlah Aku dari orang-orang yang zalim itu". (Q.S. al-Qasas: 21)
Ayat yang serupa dengan ayat tersebut yaitu surah al-Naml ayat 10
dan surah al-Qasas ayat 33. Ayat tentang khauf yang lain diantaranya dalam
surah az-Zumar ayat 13, al-Nur ayat 37, al-Insan ayat 10 yang menunjukkan
ketakutan pada siksaan hari akhir. Sedang khauf dalam surah Asy-Syuara’
ayat 14 menunjukkan ketakutan terhadap bahaya.
Dari ayat-ayat tentang khauf tersebut, khauf merupakan ketakutan
yang diikuti dengan perasaan cemas atau khawatir akan sesuatu. Khauf
berbeda dengan khasyyah (!"#�� Khauf merupakan salah .(ا�%"$!) dan haibah (ا
satu syarat iman dan hukum-hukumnya, khasyyah adalah salah satu syarat
pengetahuan, sedangkan haibah adalah salah satu syarat pengetahuan
ma’rifat.10 Khasyyah merupakan ketakutan yang hanya diperuntukkan bagi
Allah. Khasyyah adalah kekhawatiran yang disertai pengagungan, dan
biasanya itu terjadi karena tahu dengan apa yang ia takutkan. Khasyyah lebih
khusus daripada khauf, karena khasyyah hanya dimiliki oleh orang ‘alîm yang
mengetahui Allah.11 Sebagaimana firman Allah:12
š∅ÏΒ uρ Ĩ$ ¨Ζ9$# Å_U !#uρ¤$!$#uρ ÉΟ≈ yè ÷ΡF{$#uρ ì# Î=tF øƒèΧ … çµçΡ≡ uθ ø9 r& š�Ï9≡x‹ x. 3 $yϑ‾ΡÎ) y øƒs†
©!$# ô ÏΒ ÍνÏŠ$ t6 Ïã (# àσ‾≈ yϑn=ãè ø9 $# 3 āχÎ) ©! $# ͕tã î‘θà�xî ∩⊄∇∪
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fatîr: 28)
10 Al-Qusyairy An-Naisabury, op. cit., hlm. 124. 11http://ibnuabdulbari.wordpress.com/apa-bedanya/Posted Januari 11, 2011 by
ibnuabdulbari/ 31/5/2011/ 12 Depag. RI, op. cit.
17
Haibah lebih tinggi lagi dari khasyyah, haibah berarti ketakutan yang
terhormat, ketakutan dalam menghadapi keagungan Allah. Menurut Syekh
Abu Ali ad-Daqqaq, ketiga ketakutan tersebut merupakan tahapan khauf.13
Sedangkan menurut Abu al-Qasim al-Hakim khauf ada dua jenis, yaitu
rahbah (!$ه(� atau gentar dan khasyyah. Orang yang merasa gentar 14(ا
mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut, tetapi orang yang merasa
khasyyah akan berlindung kepada Allah.15
Khasyyah di dalam al-Qur’an diantaranya disebutkan dalam surah al-
Bayyinah ayat 7-8 dan surah al-Nisa ayat 77.
Huzn (kesedihan), qabdh (kesempitan), insyaq (kecemasan), dan
kesyukuran adalah keadaan yang dinisbatkan kepada khauf. Semua itu
termasuk jenis-jenis khauf.16
Sikap khauf tidak akan hilang dalam diri seorang mukmin, karena
apabila imannya kuat amalnya menjadi baik. Bahkan apabila iman sudah
makin sempurna dan amal makin baik, pasti khauf akan semakin besar.17 Jika
hati seseorang menyaksikan kedekatan dengan Allah sebagai tuan yang penuh
dengan kewibawaan, keagungan (haibah) dan kekuasaannya, maka hal itu
akan mendatangkan perasaan takut (khauf) dan malu yang menggetarkan.18
Menurut al-Tusi, Khauf terbagi menjadi tiga macam, khauf ajillah
( �ف ا,+(!� ), khauf ausât ( �طا/و- �ف� ) , dan khauf ‘âmmah ( 2�1! �ف��ا ).
Khauf ajillah sebagaimana firman Allah bahwa khauf disandingkan dengan
iman:
$ yϑ‾ΡÎ) ãΝä3Ï9≡ sŒ ß≈sÜ ø‹ ¤±9$# ß∃Èhθ sƒä† …çνu !$ uŠÏ9 ÷ρr& Ÿξ sù öΝèδθèù$ y‚ s? Èβθèù%s{uρ βÎ) ΛäΖä.
tÏΖÏΒ ÷σ•Β ∩⊇∠∈∪
13 Al-Qusyairy An-Naisabury, loc. cit. 14 Rahbah lebih dekat kepada phobia, karena rahbah berlebihan dalam menghindari
sesuatu yang dibenci. 15 Al-Qusyairy An-Naisabury, op. cit., hlm. 124 16 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 120. 17 Ibid., hlm. 121. 18 Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Tusi,, op. cit., hlm. 55.
18
Artinya: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175).19
Khauf ausât sebagaimana firman Allah:
ô yϑÏ9 uρ t∃%s{ tΠ$ s)tΒ ÏµÎn/u‘ Èβ$ tF ¨Ζy_ ∩⊆∉∪
Artinya: “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (ar-Rahman: 46).20
Khauf ausât muncul dari sebagian sifat makrifat, Imam Syibli saat
ditanya tentang khauf ini ia menjawab, “Engkau takut jika dirimu tidak
terselamatkan”. Sedangkan khauf ‘âmmah seperti firman Allah dalam surat
an-Nur ayat 37 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Mereka adalah
orang yang takut karena kemurkaan dan siksa Allah. Hati mereka bergetar
jika melakukan hal-hal yang membuat murka Tuhannya.21
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Said al-Kharraj, “Saya
komplain tentang makna khauf pada sebagian ahli makrifat, merekapun
memberi tahu bahwa mereka amat suka seandainya melihat seorang yang
tahu kedudukan khauf di hadapan Allah.” Ia pun melanjutkan,
“Sesungguhnya kebanyakan orang yang takut, lebih takut atas dirinya sendiri
dari pada Allah, takut itu pun bisa menjadi syafaat dari siksa Allah yang
ditakutinya dan akhirnya beramal dengan ikhlas karena Allah.” 22
2. Pengertian Rajâ’
Rajâ’ (ء�+(� yang ر+� secara etimologi berasal dari bahasa arab (ا
berarti berharap atau optimisme.23 Rajâ’ adalah perasaan hati yang senang
19 Depag. RI., op. cit., hlm. 93. 20 Ibid., hlm. 776. 21 Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Tusi,, op. cit., hlm 55-56. 22 Ibid., hlm. 56. 23 Husain Al-Habsyi, op. cit., hlm. 123.
19
karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Secara terminologi,
rajâ’ diartikan sebagai suatu sikap mental optimis dalam memperoleh karunia
dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shaleh. Imam
Qusyairy mendefinisikan rajâ’ sebagai keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang. Sebagaimana halnya khauf
berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang.24
Abu Abdullah bin Khafif mendefinisikan rajâ’ sebagai senangnya hati
karena melihat kemurahan Yang Tercinta yang kepadaNya harapan dipautkan
dan menganggap adanya fadal sebagai tanda harapan yang pasti.25
Menurut Ibn al-Qayyim, Rajâ’ menuntut tiga perkara, yaitu cinta
kepada apa yang diharapkannya, takut harapannya hilang dan berusaha untuk
mencapai apa yang diharapkan. Harapan yang tidak diikuti dengan tiga
perkara tersebut bukanlah rajâ’ melainkan tamannî. Tamannî (689:) adalah
mengangankan sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Perbedaan antara rajâ’
dan tamannî adalah bahwa tamannî membuat orang menjadi malas. Orang
yang hanya mengangankan sesuatu tidak akan pernah berusaha atau
membulatkan tekad untuk mencapai apa yang diangankannya.26
Menurut Ahmad bin Ashim al-Anthaky, tanda adanya harapan pada
seorang hamba adalah manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia
terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah Swt. di
dunia dan penuhnya pengampunNya di akhirat. Sedangkan Syah al-Kirmany
mengatakan bahwa tanda adanya harapan adalah taat yang baik.27
Ibn Khubaiq menjelaskan tiga macam harapan, yaitu orang yang
berharap amal baiknya diterima Allah, orang yang berharap tobatnya diterima
Allah dan memperoleh pengampunan, serta orang yang berharap memperoleh
pengampunan tetapi terus melakukan dosa.28
24 Al-Qusyairy An-Naisabury, op.cit., hlm 133. 25 Ibid., hlm. 134. 26Ibnul Qayyim Al-Jauzi, Ad-Da’u wa Ad-Dawa’, terj. Salim Bazemool dengan judul
Terapi Penyakit Hati, cet. 2, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 58. 27Al-Qusyairy An-Naisabury, op.cit., hlm 133-134. 28 Ibid., hlm. 134.
20
Rajâ’ menurut al-Tusi ada tiga macam; rajâ’ fîllâh ( ’rajâ ,( > ; ا�( ر+�ء
fî sa’ah rahmatillâh (=ء 6 -2! ر<9! ا� yaitu harapan pada dibutuhkannya (ر+
rahmat Allah, rajâ’ fî sawâbillâh (=ء 6 @�اب ا� yaitu mengharap pahala (ر+
Allah. Adapun rajâ’ di dalam mengharap pahala Allah dan harapan saat
dibutuhkan kasih sayangnya bagi hamba yang berharap, maka itu semata
karena ia dibukakan hatinya setelah disebutkan karunianya yang besar. Ia tahu
betapa mulia, pemberi anugerah serta betapa pemurahnya Allah dan ia pun
berharap akan anugrahNya yang agung. Sebagaimana yang telah diceritakan
dari Zunnun al-Misri, suatu saat ia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keluasan
rahmatMu adalah yang kuharapkan disisi amalku yang sedikit. Dan akupun
bersandar pada ampunanMu dari pada siksaMu.29
B. Khauf dan Rajâ’ dalam Tasawuf
Khauf dan rajâ’ dalam tasawuf digolongkan oleh sebagian sufi sebagai
bagian dari ahwâl perjalanan spiritual, yaitu sesuatu yang menempati atau
menghiasi hati yang merupakan karunia. Sedangkan sebagian sufi yang lain
menggolongkan khauf dan rajâ’ sebagai tahapan dalam maqâmât. Maqâm adalah
tahapan adab seorang hamba dalam wusul kepada Allah melaui jalan ibadah,
riyâdah dan mujâhadah. Al-Qusyairy merupakan salah satu sufi yang
menggolongkan khauf dan rajâ’ ke dalam maqâmât. Sedangkan menurut al-Sarraj
al-Thusi, khauf dan rajâ’ merupakan bagian dari ahwâl.30
Berikut berbagai tanggapan para sufi mengenai khauf dan rajâ’:
Al-Wasithy menegaskan, “Takut (khauf) dan harap (rajâ’) adalah kendali
bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaannya.” Ia juga berkata, “Jika
Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan
ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan
akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”31
29 Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Tusi, op. cit., hlm. 57. 30 Ibid., hlm. 40-41. 31 Al-Qusyairy al-Naisabury, op.cit., hlm. 127.
21
Abu Ali ar-Rudbary berkomentar, “Khauf dan rajâ’ adalah seperti
sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun
akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah satunya
kurang berfungsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan
kemampuannya untuk terbang. Apabila khauf dan rajâ’ keduanya tidak ada, maka
si burung akan terlempar ke jurang kematiannya.”32
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata, “Barangsiapa takut akan sesuatu
selain Allah atau berharap sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan tertutup
baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya dengan
tujuhpuluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keraguan. Yang
membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat- akibat nanti dan perasaan
khasyyah jika perilakunya berubah.”33
Imam Ahmad bin ‘Ato’, pada khauf dan rajâ’ ada dua hal yang harus
diperhatikan hingga ia menjemput maut, yaitu jangan sampai ia terlalu merasa
aman secara berlebihan dalam harapan dan jangan sampai putus asa akan
kepastian Allah.34
Abu Bakar Al-Wasity menyatakan bahwa khauf dan rajâ’ adalah pasangan
yang saling beriringan. Saat hati dalam tahanan khauf, maka saat pancaran cahaya
bintang menembus, cahaya rajâ’ pun jadi penguasa yang menerangi. Cinta, takut
dan harapan akan senantiasa berjalan beriringan secara bergantian.35
Manakala khauf dilengkapi dengan rajâ’, seseorang akan menemukan
keberanian yang mampu menghancurkan penyakit-penyakit dalam dirinya. Khauf
kepada Allah membawa pengetahuan tentang Allah yang membuka pintu cinta
kepada Allah. Menurut al-Muhasibi, khauf dan rajâ’ penting dalam perjalanan
spiritual seseorang membersihkan jiwa. Al-Muhasibi mengaitkan khauf dan rajâ’
dengan etika-etika keagamaan lainnya. Menurutnya, ketika disifati dengan dua
sifat tersebut, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya.
Khauf berhubungan dengan sikap wara’, karena sikap wara’ adalah buahnya.
32 Ibid., hlm. 134.
33 Ibid., hlm. 127. 34 Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Tusi, op. cit., hlm. 58. 35 Ibid., hlm. 58.
22
Pangkat wara’ menurut al-Muhasibi adalah ketakwaan, pangkat ketakwaan adalah
muhâsabah al-nafs, pangkat muhâsabah al-nafs adalah khauf dan rajâ’, dan
pangkat khauf dan rajâ’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah.36
C. Pengertian Kecemasan
1. Pengertian
Kecemasan memainkan peranan penting baik dalam perkembangan
kepribadian maupun dalam dinamika berfaalnya kepribadian. Istilah
kecemasan dalam psikologi disebut dengan anxiety. Secara etimologi, anxiety
berarti kecemasan atau kegelisahan. Anxiety memiliki beberapa makna,
yaitu:37
a. Perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai
masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut.
b. Rasa takut atau kekhawatiran kronis pada tingkat ringan
c. Kekhawatiran atau ketakutan yang kuat dan meluap-luap
d. Satu dorongan sekunder mencakup suatu reaksi penghindaran yang
dipelajari.
Secara terminologi, kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi, yaitu
keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.38
Kecemasan merupakan suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang
ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern tubuh.
Ketegangan ini akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan
dikuasai oleh susunan syaraf otonom. Kecemasan sama dengan perasaan takut.
Freud lebih menyukai istilah kecemasan daripada ketakutan, karena ketakutan
36 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 120. 37 J. P. Chaplin, Dictionary of Psychology, cet. 7, terj. Kartini Kartono dengan judul:
Kamus Lengkap Psikologi, cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 32. 38Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, Abnormal Psychology in a
Changing World, terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan judul: Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 163.
23
biasanya dianggap dalam arti kata takut terhadap sesuatu hal dalam dunia
luar.39
Para tokoh psikologi memberikan definisi yang berbeda terhadap
kecemasan. Freud mendefinisikan kecemasan sebagai kondisi tidak
menyenangkan, bersifat emosional dan sangat terasa kekuatannya, disertai
sebuah sensasi fisik yang memperingatkan seseorang terhadap bahaya yang
sedang mendekat. Freud membedakan tiga jenis kecemasan:40
a. Kecemasan realistis (reality or objective anxiety)
Kecemasan realistis adalah perasaan tidak tentu yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya yang bisa saja terjadi. Kecemasan ini sangat
dekat kaitannya dengan rasa takut, namun berbeda dengan rasa takut karena
rasa takut tidak perlu melibatkan objek spesifik yang menakutkan.
Kecemasan ini bersumber dari ketakutan terhadap dunia luar.
b. Kecemasan neurotis (neurotic anxiety)
Kecemasan neurotis didefinisikan sebagai aprehensi (kekhawatiran)
mengenai bahaya yang tidak diketahui. Perasaan seperti ini berada dalam
ego namun berakar dari impuls-impuls id.
c. Kecemasan moralistis (moral anxiety)
Kecemasan moralistis berasal dari konflik ego dan superego.
Kecemasan terjadi sebagai akibat semakin meningkatnya konflik antara
kebutuhan-kebutuhan realistik dan pendiktean superego mereka. Kecemasan
juga bisa muncul akibat kegagalan untuk bersikap secara konsisten dengan
apa yang dianggap benar secara moral.
Yang dapat mendeteksi atau merasakan ketiga jenis kecemasan di atas
hanyalah ego. Sedangkan id, superego, dan dunia luar hanya terlibat dalam
salah satu jenis kecemasan. Kecemasan neurotis timbul karena ketergantungan
ego kepada id, kecemasan moralistis timbul karena ketergantungan ego
39Calvin S. Hall, Freud, terj. Dudi Missky dengan judul Freud: Seks, Obsesi, Trauma
dan Katarsis, (Jakarta: Delapratasa, 1995), hlm. 56-57. 40Jess Feist dan Gregory J. Feist, Theories of Personality, terj. Yudi Santoso, S. Fil.,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 31-32., Hall, Calvin S., op. cit., hlm. 58.
24
kepada superego, dan karena ketergantungan ego kepada dunia luar
menghasilkan kecemasan realistis.41
Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme penjagaan ego karena dia
memberi sinyal bahwa bahaya tertentu sedang mendekat. Sehingga kalau
tanda itu muncul dalam kesadaran, ego dapat mengambil tindakan untuk
menghadapi bahaya itu. Kalau bahaya tidak dapat dihindarkan, kecemasan
dapat bertumpuk dan menguasai orang itu.42 Kecemasan dapat juga menjadi
mekanisme pengaturan diri karena dia membangkitkan represi, yang pada
gilirannya mereduksi rasa sakit akibat kecemasan tersebut. Kecemasan
bermanfaat bila hal tersebut dapat mendorong untuk melakukan pemeriksaan
medis secara reguler atau memotivasi untuk belajar.43
Sullivan mendefinisikan kecemasan sebagai sebuah tegangan yang
berlawanan dengan tegangan-tegangan kebutuhan dan memerlukan tindakan
yang tepat untuk bisa melepaskannya. Menurut Sullivan, kecemasan ditransfer
dari orang tua kepada bayi lewat proses empati. Kecemasan yang dirasakan
ibu pengasuh selalu terinduksi ke dalam diri bayi mereka. Menurut Sullivan
kecemasan mencegah agar kebutuhan-kebutuhan tidak terpuaskan. Kecemasan
juga memiliki efek pelenyapan pada orang dewasa. Ia adalah daya pemecah-
belah utama yang menghalangi perkembangan hubungan-hubungan atar
pribadi yang sehat. Kecemasan membuat manusia tidak sanggup belajar,
memperbaiki ingatan, memfokuskan persepsi, bahkan mungkin bisa
terjerumus ke dalam amnesi total. Jika tegangan-tegangan (potensi untuk
bertindak) lain menghasilkan tindakan-tindakan yang secara khusus mengarah
kepada pembebasan, maka kecemasan menghasilkan perilaku-perilaku yang:44
a. Mencegah manusia belajar dari kesalahan-kesalahan mereka.
b. Mempertahankan agar mereka terus mengejar harapan-harapan kanak-
kanak terhadap rasa aman.
41 Ibid., hlm. 31., Hall, Calvin S., op. cit., hlm. 58. 42 Ibid., hlm. 32. 43 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, op. cit., hlm. 163. 44 Jess Feist dan Gregory J. Feist, op. cit., hlm. 190-191.
25
c. Umumnya memastikan agar manusia tidak akan pernah bisa belajar dari
pengalaman-pengalaman.
Sullivan membedakan rasa cemas dari rasa takut dalam beberapa hal.
Pertama, rasa cemas biasanya berasal dari situasi-situasi hubungan
antarpribadi yang kompleks dan hadir dalam kesadaran hanya secara samar-
samar. Rasa takut lebih bisa dibedakan dan asal usulnya lebih mudah
ditemukan. Kedua, rasa cemas tidak mempunyai nilai positif. Hanya ketika
ditransformasi ke dalam tegangan lain (contohnya rasa marah atau takut)
barulah dia dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang bisa ditangani.
Ketiga, rasa cemas menghalangi pemuasan kebutuhan, sementara rasa takut
membantu manusia memenuhi kebutuhannya.45
Menurut May, kecemasan seperti rasa pening, bisa menyenangkan atau
menyakitkan, konstruktif atau destruktif. Dia dapat memberikan manusia
energi dan semangat namun dia bisa juga melumpuhkan dan membuat mereka
panik. Selain itu kecemasan bisa bersifat normal atau neurotik. May
mendefinisikan kecemasan normal sebagai sesuatu yang proporsional bagi
ancaman, tidak melibatkan represi, dan bisa ditentang secara konstruktif di
tingkatan sadar. Tipe kecemasan ini dialami selama periode pertumbuhan atau
ancaman terhadap nilai-nilai yang dianut, dialami hampir oleh setiap orang.
Dia bisa menjadi konstruktif atau masih sesuai dengan batas-batas ancaman,
namun juga bisa menjadi neurotik atau sakit. Kecemasan ini disebut neurotik
apabila reaksinya tidak proporsional terhadap ancaman, melibatkan represi,
dan bentuk-bentuk konflik intrapsikis lainnya, dan diatur oleh beragam jenis
pemblokiran aktivitas dan kesadaran.46
May mengklaim bahwa kebanyakan perilaku manusia dimotivasi oleh
perasaan dasar takut dan cemas.
Al-Falluji menyebut kecemasan dengan istilah kegelisahan. Ia
mendefinisikannya sebagai sebuah kekhawatiran yang amat mendalam akan
sebuah kejadian negatif yang mungkin akan menimpa seseorang. Bagi al-
45 Ibid., hlm. 191. 46 Ibid., hlm. 304-306.
26
Falluji, gelisah bukan perasaan takut, tetapi lebih dekat dengan hadirnya
kecemasan dan ancaman keamanan jiwa yang ditimbulkan oleh ketakutan atau
merupakan akibat langsung dari kehati-hatian sikap seseorang ketika
menghadapi persoalan. Ketakutan merupakan bagian dari tanda-tanda
kegelisahan.47
2. Ciri-ciri Gangguan Kecemasan
Para psikolog membedakan antara kecemasan normal dengan
kecemasan abnormal atau gangguan kecemasan.
Kecemasan terdiri dari begitu banyak ciri fisik, kognisi dan perilaku.
a. Ciri-ciri fisik kecemasan yaitu:48
• kegelisahan, kegugupan
• banyak berkeringat
• pening atau pingsan
• sulit berbicara
• pusing
• sulit menelan
• sulit bernafas
• bernafas pendek
• merasa sensitif atau mudah marah
• jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin
• sering buang air kecil
• wajah terasa memerah
• merasa lemas atau mati rasa
• telapak tangan yang berkeringat
• suara yang bergetar panas dingin
• kerongkongan terasa tersekat
47 Muhyiddin ‘Abdul Wahid, Da’ al-Qalaq wa Jadid Sa’âdatik, terj. Roni Mahmudin dan
Muh. Ashar dengan judul: Don’t Worry, Be Happy: Kiat-Kiat Jitu Mengalahkan Kegelisahan Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah, (Jakarta: Hikmah, 2005), hlm. 1.
48 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, op. cit., hlm. 164.
27
• leher atau punggung terasa kaku
• sensasi seperti tercekik atau tertahan
• tangan yang dingin dan lembab
• mulut atau kerongkongan terasa kering
• terdapat gangguan sakit perut atau mual
• tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar
• sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi
• kekencangan pada pori-pori kulit atau dada
• jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang
b. Kecemasan memiliki ciri-ciri behavioral49
• perilaku menghindar
• perilaku melekat dan dependen
• perilaku terguncang
c. Ciri-ciri kognitif yang muncul dari gangguan kecemasan yaitu:50
• khawatir tentang sesuatu
• perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu
yang terjadi di masa depan
• keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa
ada penjelasan yang jelas
• terpaku pada sensasi kebutuhan
• sangat waspada terhadap sensasi kebutuhan
• merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya
sedikit atau tidak mendapat perhatian
• ketakutan akan kehilangan kontrol
• ketakutan akan ketidakmampuan mengatasi masalah
• berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan
• berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan
49 Ibid., hlm. 164. 50 Ibid., hlm. 164.
28
• berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa
diatasi
• khawatir terhadap hal-hal yang sepele
• berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang-u;lang
• berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian, kalau tidak pasti
akan pingsan
• pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan
• tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu
• berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan
sesuatu yang salah secara medis
• khawatir akan ditinggal sendirian
• sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran
3. Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan
Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)-
IV, yang merupakan dasar untuk pengklasifikasian gangguan psikis, gangguan
kecemasan dibagi menjadi tipe-tipe spesifik di bawah ini:
a. Gangguan fobia
Kata fobia berasal dari kata Yunani phobos, yang berarti “takut”.
Takut adalah perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap suatu
ancaman. Gangguan fobia adalah rasa takut yang persisten (menetap)
terhadap objek atau situasi yang jelas (dari luar individu), dan rasa takut
ini tidak sebanding dengan ancamannya. Fobia sering kali bersamaan
dengan depresi. Suatu episode depresif seringkali memperburuk keadaaan
fobia yang sudah ada. Beberapa episode depresif dapat disertai fobia yang
temporer, sebaliknya efek depresi seringkali menyertai berbagai fobia.51
DSM mengklasifikasikan tipe-tipe fobia sebagai berikut:
1) Agorafobia
51 Ibid., hlm. 168.
29
Kata agorafobia berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “takut
kepada pasar”, yang sugestif untuk ketakutan berada di tempat terbuka
dan ramai. Agorafobia melibatkan ketakutan terhadap tempat-tempat
atau situasi-situasi yang memberi kesulitan atau membuat malu
seseorang untuk kabur apabila terjadi simtom-simtom panik atau suatu
serangan panik yang parah atau ketakutan kepada situasi-situasi di
mana bantuan mungkin tidak bisa di dapatkan bila problem tersebut
terjadi. Agorafobia dapat terjadi bersamaan atau tidak bersamaan
dengan gangguan panik. Pada gangguan panik dengan agorafobia,
orang tersebut hidup dengan ketakutan akan terjadinya serangan yang
berulang dan menghindari tempat-tempat umum di mana serangan
telah terjadi atau mungkin terjadi. Orang dengan agorafobia yang tidak
mempunyai riwayat gangguan panik dapat mengalami sedikit simtom
panik, seperti pusing dan yang lainnya. Orang dengan agorafobia tanpa
riwayat gangguan panik cenderung untuk berfungsi lebih buruk
dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki gangguan panik dan
juga agorafobia.52 Untuk menegakkan diagnosis agorafobia, harus
dipenuhi semua kriteria di bawah ini:53
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul
merupakan manifestasi primer dari kecemasannya, bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau pikiran
obsesif.
b. Kecemasan yang timbul harus terbatas pada dua dari situasi
berikut: banyak orang/keramaian, di tempat umum, bepergian
keluar rumah, dan bepergian sendiri.
c. Menghindari situasi fobik sudah merupakan gejala yang
menonjol.
2) Fobia sosial
52 Ibid., hlm. 171-172. 53 Rusdi Maslim, (ed.), Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III, (Jakarta:
PT Nuh Jaya, 2001), hlm. 72.
30
Orang-orang dengan fobia sosial atau disebut juga gangguan
kecemasan sosial mempunyai ketakutan yang intens terhadap situasi
sosial sehingga mereka mungkin sama sekali menghindarinya atau
menghadapi tetapi dengan distres yang sangat besar. Fobia sosial yang
mendasar adalah ketakutan berlebihan terhadap evaluasi negatif dari
orang lain. Sama dengan agorafobia, orang dengan fobia sosial juga
mempunyai gejala menonjol menghindari situasi fobik.54
3) Fobia khas
Ketakutan yang berlebihan dan persiten terhadap objek atau
situasi spesifik seperti ketakutan terhadap ketinggian (acrophobia),
takut terhadap tempat tertutup (claustrophobia), atau ketakutan
terhadap binatang-binatang kecil seperti tikus atau ular atau binatang
menjijikkan lainnya. Untuk sampai pada taraf gangguan psikologis,
fobia tersebut harus secara signifikan mempengaruhi gaya hidup atau
berfungsinya seseorang, atau menyebabkan distres yang signifikan.55
b. Gangguan panik
Gangguan panik mencakup munculnya serangan panik yang
berulang dan tidak terduga. Serangan panik melibatkan reaksi kecemasan
yang intens disertai dengan simtom-simtom fisik seperti jantung berdebar-
debar; nafas cepat, nafas tersengal, atau kesulitan bernafas; berkeringat
banyak; dan rasa lemas serta pusing tujuh keliling. Serangan panik disertai
dengan perasaan teror yang luar biasa dan perasaan akan adanya bahaya
yang segera menyerang atau malapetaka yang segera menimpa serta
disertai dengan suatu dorongan untuk melarikan diri dari situasi ini.
Supaya diagnosis gangguan panik dapat ditegakkan, harus ada serangan
panik yang tidak terduga dan terjadi berulang—serangan-serangan yang
tidak dipicu oleh situasi atau objek yang spesifik. Serangan panik baru
54 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, op. cit., hlm. 170. 55 Ibid., hlm 169.
31
ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan
fobia.56
Serangan panik yang berulang, kemungkinan sulit untuk dihadapi
sehingga penderitanya mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Dua belas
persen orang yang menderita serangan panik telah melakukan usaha bunuh
diri. Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan beberapa kali serangan
kecemasan berat dalam kurang lebih satu bulan:57
1) Pada keadaan yang sebenarnya secara obyektif tidak ada bahaya.
2) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat di
duga sebelumnya.
3) Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala kecemasan
pada periode antara serangan panik (meskipun demikian, umumnya
dapat terjadi juga “kecemasan antisipatorik”, yaitu kecemasan yang
terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan
akan terjadi).
c. Gangguan kecemasan menyeluruh
Gangguan kecemasan menyeluruh (Generalized anxiety
disorder/GAD) ditandai oleh perasaan cemas yang persisten yang tidak
dipicu oleh suatu objek, situasi atau aktivitas yang spesifik. Ciri utama
GAD adalah rasa cemas. Orang dengan GAD adalah pencemas yang
kronis. Ciri lain yang terkait adalah merasa tegang, waswas atau khawatir;
mudah lelah; mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau pikirannya menjadi
kosong; iritabilitas, ketegangan otot; dan adanya gangguan tidur. Untuk
menegakkan diagnosis, penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai
gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari, dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Distress emosional yang diasosiasikan
dengan GAD cukup parah untuk mengganggu kehidupan orang sehari-
hari.58
56 Ibid., hlm. 166-167. 57 Rusdi Maslim, (ed.), op. cit., hlm. 74. 58 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, op. cit., hlm. 167.
32
d. Gangguan campuran kecemasan dan depresi
Terdapat gejala kecemasan maupun depresi, dimana masing-
masing tidak cukup untuk menegakkan diagnosis sendiri. Bila kecemasan
berat disertai depresi yang lebih ringan, maka dipertimbangkan gangguan
fobia. Bila gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang
jelas, maka harus digunakan kategori gangguan penyesuaian.59
e. Gangguan obsesif kompulsif
Obsesi adalah pikiran, ide, atau dorongan yang intrusif dan
berulang yang berada di luar kemampuan seseorang untuk
mengendalikannya. Tercakup di dalamnya keragu-raguan, impuls-impuls,
dan citra (gambaran) mental. Kompulsi adalah tingkah laku yang repetitif
atau tindakan mental repetitif yang dirasakan oleh seseorang sebagai suatu
keharusan atau dorongan yang harus dilakukan. Kebanyakan kompulsi
jatuh ke dalam dua kategori, yaitu ritual pengecekan dan ritual bersih-
bersih. Kompulsi sering menyertai obsesi dan sepertinya memberi sedikit
kelegaan untuk kecemasan yang ditimbulkan oleh pikiran-pikiran
obsesif.60
Di dalam Islam gangguan ini biasa disebut dengan penyakit was-
was, yaitu sebuah kondisi di mana seseorang dilingkupi oleh keraguan,
kekhawatiran dan ketakutan yang sedemikian mencekam.61
Untuk menegakkan diagnosis pasti obsesif kompulsif, maka gejala
obsesif atau tindakan kompulsif harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya dua minggu berturut-turut. Dan hal tersebut merupakan sumber
penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita.62
Gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:63
1) Disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri. Bukan karena
adanya dorongan atau sebab dari luar diri.
59 Rusdi Maslim (ed.), op. cit., hlm. 75. 60 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, op. cit., hlm. 172. 61 Wahid, Muhyiddin ‘Abdul, op.cit., hlm. 35. 62 Rusdi Maslim, (ed.), op. cit., hlm. 76-77. 63 Ibid., hlm. 76.
33
2) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan. Sekalipun ingin menghentikannya, orang dengan
gangguan obsesif kompulsif tidak dapat melawan dorongan yang
ada dalam pikirannya.
3) Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut bukan merupakan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega).
4) Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan. Pikiran-pikiran was-was
yang muncul sesungguhnya sangat mengganggu penderita,
penderita selalu diliputi perasaan tidak tenang sebelum melakukan
ritual yang berulang-ulang.
Gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
f. Gangguan stress akut dan gangguan stres pasca trauma
Gangguan stres pascatrauma (Postrtaumatic stres disorder/PTSD)
adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman
traumatis. PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-
tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah
beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa
traumatis. Kecemasan terhadap PTSD kemungkinan tergantung pada
faktor-faktor seperti resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma,
riwayat penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, keparahan trauma,
derajat pemaparan, ketersediaan dukungan sosial, penggunaan respon
coping aktif dalam menghadapi stresor traumatis, dan perasaan malu. Para
peneliti menemukan bahwa perempuan yang mengembangkan PTSD juga
cenderung untuk mempunyai resiko tinggi untuk menderita gangguan
depresi mayor dan penggunaan alkohol.64
Gangguan stres akut (Acute stres disorder/ASD) adalah suatu
reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan pertama sesudah pengalaman
64 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, op. cit., hlm. 174-175
34
traumatis. ASD dan PTSD mempunyai banyak ciri dan simtom yang sama.
Beberapa ciri dan simtom yang sama adalah mengalami kembali peristiwa
traumatis; menghindari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan
peristiwa tersebut; mati rasa dalam responsivitas secara umum atau dalam
segi emosional; mudah sekali terangsang; gangguan fungsi atau distres
emosional yang penting. Perbedaan utama antara kedua gangguan tersebut
adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi—perasaan asing
terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya. Dalam ASD orang
mungkin juga tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu. ASD
sering kali terjadi dalam konteks peperangan atau pemaparan terhadap
bencana alam atau teknologi.65
D. Sebab-Sebab Gangguan Kecemasan
Menurut Freud, penyebab kecemasan yang paling umum adalah frustasi
seksual, yang dimulai pada masa bayi, ketika ibunya tidak ada, atau ketika si anak
melihat wajah yang asing. Sumber kecemasan tertentu melekat pada masing-
masing tahap perkembangan. Misalnya, pada tahap phallic, kecemasan
ditimbulkan oleh ketakutan terhadap pengebirian. Sedangkan pada tahap latensi,
penyebabnya adalah perkembangan ketakutan dari super ego. Ketika manusia
gagal untuk bersikap secara konsisten dengan apa yang dianggap benar secara
moral, maka akan timbul kecemasan.66
Menurut May, kecemasan muncul ketika manusia dihadapkan dengan
masalah pemenuhan potensi mereka. Ketika manusia menyangkal potensinya,
gagal memahami secara akurat kebutuhan sesamanya, atau masih bersikukuh
dengan ketergantungan mereka kepada dunia alamiah, maka akan muncul rasa
bersalah. Menurut May ada tiga bentuk rasa bersalah ontologis, yaitu umwelt,
mitwelt dan eigenwelt.67
65 Ibid., hlm. 174-176. 66 Calvin S. Hall, op. cit., hlm 59. 67 Jess Feist dan Gregory J. Feist, op. cit., hlm. 305-306.
35
Umwelt adalah rasa bersalah ada pada kurangnya kesadaran akan
eksistensi dalam dunia. Sedangkan mitwelt adalah rasa bersalah berasal dari
ketidakmampuan memahami secara akurat dunia orang lain. Karena tidak sanggup
mengantisipsi dengan tepat kebutuhan orang lain, kita merasa tidak adekuat dalam
hubungan kita dengan mereka. Dan eigenwelt adalah rasa bersalah muncul dari
penyangkalan terhadap potensi atau kegagalan untuk memenuhinya.
Apabila kita menolak untuk menerima rasa bersalah ontologis, maka
penolakan tersebut akan segera menjadi kecemasan atau kesedihan.
Beberapa teori lain tentang sebab timbulnya kecemasan adalah:
1. Perspektif Psikodinamika
Menurut perspektif psikodinamika, kecemasan adalah suatu sinyal
bahaya bahwa impuls-impuls yang mengancam yang sifatnya seksual atau
agresif (membunuh) mendekat ke taraf kesadaran. Untuk menghalaunya, ego
mencoba untuk menghalangi atau mengalihkannya dengan memobilisasi
mekanisme pertahanan. Misalnya, pada fobia difungsikan mekanisme proyeksi
dan displacement.68
2. Perspektif Behavioris
Menurut perspektif belajar, kecemasan diperoleh melalui proses
belajar, terutama melalui conditioning dan belajar observasional. Objek atau
situasi yang tadinya netral memperoleh kapasitas untuk menimbulkan takut
karena dipasangkan dengan stimuli yang aversif atau yang tidak
menyenangkan. Penghindaran dari fobia diperoleh dan dipertahankan oleh
operant conditioning. Yaitu kelegaan dari kecemasan menguatkan
penghindaran stimuli yang menimbulkan ketakutan. Jadi, dengan menghindari
stimulus fobik, mengurangi kecemasan, yang kemudian secara negatif
menguatkan tingkah laku menghindar. Dengan menghindari stimulus fobik,
ada “kerugian” signifikan, orang tidak mampu untuk belajar menghilangkan
68 Proyeksi dan displacement merupakan mekanisme pertahanan ego. Dalam proyeksi
orang mengatakan ”Dia membenci saya” sebagai pengganti ”Saya membenci dia”. Sedangkan displacement mekanisme pertahanan dengan cara melampiaskan kepada obyek lain. Ibid., hlm. 178.
36
ketakutannya melalui pemaparan terhadap stimulus fobik tanpa adanya
konsekuensi avertif. Belajar observasional memegang peran lebih besar dalam
perolehan rasa takut dibandingkan dengan conditioning.69
PTSD juga dapat dijelaskan dari kerangka pikir conditioning. Dari
perspektif clasical conditioning, pengalaman-pengalaman traumatis berfungsi
sebagai stimulus tak terkondisi (unconditioned) yang dipasangkan dengan
stimulus netral (conditioned) seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang
diasosiasikan dengan gambaran trauma—misalnya medan perang atau
lingkungan dimana seseorang telah diperkosa atau diserang.70
Dari perspektif belajar, tingkah laku kompulsif adalah respon-respon
operant yang mendapat penguatan negatif karena kelegaan dari kecemasan
yang ditimbulkan oleh pikiran-pikiran obsesif.71
3. Faktor Kognitif
a. Prediksi berlebihan terhadap rasa takut
Orang dengan gangguan-gangguan kecemasan seringkali
memprediksi secara berlebihan tentang seberapa besar ketakutan atau
kecemasan yang akan mereka alami dalam situasi-situasi pembangkit
kecemasan.72
b. Keyakinan yang self-defeating atau irasional
Pikiran-pikiran self-defeating73 dapat meningkatkan dan
mengekalkan gangguan-gangguan kecemasan dan fobia. Pikiran-pikiran
semacam ini mengintensifikasi keterangsangan otonomik; mengganggu
rencana, memperbesar aversivitas stimuli, mendorong tingkah laku
menghindar, dan menurunnya harapan untuk self-efficacy74 sehubungan
dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan situasi.75
69 Ibid., hlm. 178-179. 70 Ibid., hlm. 180. 71 Ibid., hlm.180. 72 Ibid., hlm. 180-181. 73 Menunjuk pada kecenderungan dan aktivitas yang secara fisiologis dan psikologis
merugikan atau “perusakan diri” sendiri dalam jangka panjang . 74 Kemampuan atau merasa diri bisa yang dipandang ada pada diri atau dimiliki seseorang
guna mengatasi situasi-situasi spesifik. 75 Jess Feist dan Gregory J. Feist, op. cit., hlm. 181.
37
Orang dengan fobia cenderung mempunyai lebih banyak keyakinan
irasional. Gangguan obsesif-kompulsif berhubungan dengan cara pikir
membesar-besarkan resiko peristiwa kurang menguntungkan yang terjadi.
Karena mereka mengharapkan akan terjadi hal yang mengerikan, orang-
orang dengan OCD melakukan ritual untuk mencegahnya. Faktor kognitif
lain yang dikaitkan dengan pembentukan OCD adalah perfeksionisme,
atau keyakinan bahwa orang harus memberikan performa tanpa cacat.76
c. Sensitivitas berlebihan terhadap ancaman
Orang-orang dengan fobia mempersepsikan bahaya pada situasi-
situasi yang oleh kebanyakan orang dianggap aman, seperti menaiki
elevator atau mengendarai mobil melalui jembatan. Setiap manusia
memiliki sistem alarm internal yang sensitif terhadap sinyal ancaman.
Emosi takut merupakan elemen kunci dalam sistem alarm ini untuk
mengambil tindakan defensif. Orang dengan gangguan kecemasan
mempunyai sensitivitas berlebihan terhadap sinyal ancaman.77
d. Sensitivitas kecemasan
Sensitivitas kecemasan (anxiety sensitivity) biasanya didefinisikan
sebagai ketakutan terhadap kecemasan dan simtom-simtom yang terkait
dengan kecemasan. Sensitivitas terhadap kecemasan merupakan faktor
risiko yang penting bagi gangguan panik.78
e. Salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh
Pada individu yang mudah panik, sinyal-sinyal tubuh seperti
palpitasi jantung, pusing tujuh keliling atau kepala-enteng dapat salah
diatribusikan dan dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan, sehingga
menjadi pendorong timbulnya serangan panik yanng parah. Salah atribusi
dari sinyal-sinyal tubuh lebih lanjut dapat memperkuat persepsi akan
adanya ancaman, yang kemudian meningkatkan kecemasan, dan lebih
lanjut lagi menyebabkan simtom-simtom tubuh yang terkait dengan
76 Ibid., hlm. 181. 77 Ibid., hlm. 181. 78 Ibid., hlm. 182.
38
kecemasan, dan seterusnya dalam suatu lingkaran setan yang dengan cepat
akan membumbung menjadi serangan panik yang sepenuhnya.79
f. Self-efficacy yang rendah
Orang dengan self-efficacy yang rendah (kurang keyakinan pada
kemampuannya untuk melaksanakan tugas-tugas dengan sukses)
cenderung untuk berfokus pada ketidakadekuatan yang
dipersepsikannya.80
4. Faktor Biologis
Faktor biologis yang berperan dalam menimbulkan gangguan
kecemasan seperti:81
a. Faktor genetis
Separuh dari trait neurotisisme, suatu trait kepribadian yang
mungkin mendasari kemudahan untuk berkembangnya gangguan-
gangguan kecemasan, berasal dari faktor-faktor genetis.
b. Neurotransmiter
Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada reaksi kecemasan
termasuk gamma aminobutyric acid (GABA). Bila reaksi GABA tidak
adekuat dapat meningkatkan keadaan kecemasan. Orang dengan gangguan
panik menunjukkan taraf GABA yang lebih rendah di beberapa bagian
otak. Ketidakteraturan atau disfungsi dalam reseptor serotonin dan
norepinepherine di otak juga memegang peran dalam gangguan
kecemasan.
c. Aspek biokimia
Serangan-serangan panik mempunyai dasar biologis, kemungkinan
melibatkan sistem alarm yang disfungsional di otak. Kerusakan dalam
sistem alarm respitatori otak menyebabkan indivudu-individu yang mudah
panik cenderung untuk menunjukkan reaksi tubuh yang berlebihan
terhadap sinyal-sinyal kekurangan udara (suffocation).
79 Ibid., hlm. 182-183. 80 Ibid., hlm. 183-184. 81 Ibid., hlm. 184-185.
39
Pada gangguan obsesif-kompulsif aspek biologinya melibatkan
keterangsangan yang meninggi dari sirkuit cemas (worry circuit), suatu
jaringan neural di otak yang ikut serta dalam memberi sinyal bahaya. Pada
OCD, otak dapat secara konstan mengirim pesan bahwa ada sesuatu yang
salah dan memerlukan perhatian segera. Sirkuit cemas ini menginkorporasi
bagian-bagian dari sistem limbik. Amigdala, satu struktur dalam sistem limbik
bekerja seperti semacam komputer emosional dalam mengevaluasi stimuli,
apakah stimuli tersebut merepresentasi suatu ancaman atau tidak. Tingkah
laku kompulsi pada orang dengan gangguan OCD disebabkan adanya pola
aktivitas abnormal pada bagian-bagian tertentu dari lobus frontal.82
5. Sebab Gangguan Kecemasan dalam Islam
Islam memiliki pandangan yang terbuka atas semua kemungkinan
penyebab yang muncul. Kecemasan menurut Islam, bisa disebabkan oleh
berbagai hal, seperti:
a. Iman yang lemah
Seorang yang imannya lemah cenderung kurang yakin dalam
melakukan segala sesuatu, karena dia tidak yakin ada Allah yang ada
dibalik setiap masalahnya. Dan tidak yakin bahwa Allah akan
menolongnya. Selain itu iman yang lemah juga akan membawa kepada
kemaksiatan, dan kemaksiatan ini membawa ketidaktenangan.
b. Penyakit hati
Penyakit hati seperti sombong, marah, iri, dengki, ghibah, namimah,
riya’, ujub, kadzib, dan yang lain, pasti diikuti perasaan tidak tenang dan
gelisah. Sebagai contoh orang yang dengki kepada seseorang pasti akan
merasa tidak senang jika orang tersebut mendapat nikmat, bahkan ia
berusaha untuk menghilangkan nikmat orang itu. Orang seperti ini akan
82 Ibid., hlm. 185-186
40
menderita jika orang lain mendapat nikmat, hidupnya menjadi selalu
gelisah dan cemas.83
c. Maksiat
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauzy, maksiat mengakibatkan ketakutan
dan kekhawatiran yang diletakkan Allah dalam hati pelakunya. Selain itu,
dosa-dosa akibat kemaksiatan tersebut menjeruskan pelakunya kepada
kecemasan dan ketercekaman yang besar di dalam hati atau yang disebut
dengan wahsyah.84 Perasaan bersalah dan takut akan suatu hukuman yang
merupakan hasil dari perilaku yang memang dalam nash pantas
mendapatkan hukuman.85
d. Pertentangan antar dorongan86
Pertentangan antara dorongan yang baik dan buruk di dalam diri,
menimbulkan konflik di dalam diri orang tersebut. Apabila konflik ini
tidak dapat diatasi akan menyebakan kecemasan.
e. Kehilangan makna hidup atau tujuan hidup87
Orang yang kehilangan makna atau tujuan hidup, hidupnya menjadi
hampa, tidak mempunyai arah hidup.
83 Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhâj al-
‘Âbidîn: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, (Surabaya: Penerbit Amelia Surabaya, 2006), hlm. 132.
84 Ibnul Qayyim Al-Jauzi, op. cit., hlm. 110-111. 85 Muhammad Izzuddin Taufiq, At-Ta’shil al-Islami li al-Dirasat an-Nafsiyah, terj. Sari
Nurlita, Lc. dkk. dengan judul Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 507.
86 Ibid., hlm. 507. 87 Ibid., hlm. 110.
14
41
BAB III
AL-GHAZALI DAN PEMIKIRANNYA
MENGENAI KHAUF DAN RAJÂ’
A. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali. Di lahirkan di desa Ghuzala daerah Thus, salah satu kota di
Khurasan, Persia, pada tahun 450 H/1085 M. Nama asli yang diberikan orang
tuanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Setelah dikaruniai seorang
anak laki-laki yang diberi nama Hamid, kemudian beliau dipanggil Abu Hamid.
Nama al-Ghazali berasal dari nama desa tempat kelahirannya, selain itu sering
juga dihubungkan dengan pekerjaan ayahnya sebagai penenun yang menjual kain
tenun yang disebut “gazzal”.1
Keluarga al-Ghazali hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Ayahnya
adalah seorang pecinta ilmu yang mempunyai cita-cita besar. Ia meninggal dunia
ketika al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil-kecil. Sebelum meninggal ia
telah menitipkan dan mempercayakan kedua putranya kepada salah seorang
sahabatnya, yaitu seorang sufi baik hati. Selanjutnya keduanya mendapatkan
bimbingan berbagai cabang ilmu sampai harta warisan dari ayah mereka habis.
Setelah itu al-Ghazali dan saudaranya mulai mengembara ke beberapa kota untuk
menimba ilmu pengetahuan.2
Ia tinggal di kota kelahirannya sampai usia dua puluh tahun. Disana ia
belajar ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad al-Razkani, belajar ilmu tasawuf
kepada Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang terkenal pada masa itu. Tahun 470 H
al-Ghazali pindah ke kota Jurjan, disana ia belajar kepada Imam Abi Nashr al-
Ismaili, di sana ia juga mendalami bahasa Arab dan bahasa Persi. Tahun 471 H al-
1Masharuddin, “Intelektualisme Al-Ghazali”, dalam Amin Syukur dan Masharudin,
Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 126.
2 Ibid., hlm. 127.
42
Ghazali berangkat menuju kota Naisabur, dekat Tus, karena tertarik dengan
perguruan tinggi Nizamiyah. Di sana ia belajar kepada seorang ulama besar Abu
al-Ma’ali Diya’u al-Din al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam Haramain,
pemimpin perguruan tinggi tersebut. Kepadanya al-Ghazali belajar Ilmu Kalam,
Fiqh, Ushul Fiqh, Retorika, Mantiq dan mendalami filsafat. Al-Ghazali yang pada
mulanya hanya seorang mahasiswa, kemudian menjadi asisten guru besar. Tahun
475 H, ketika al-Ghazali memasuki usia 25 tahun, ia mulai meniti karir sebagai
dosen Universitas Nizamiyah Naisabur. Setelah Imam Haramain meninggal,
Perdana Menteri Nizam al-Muluk menunjuk al-Ghazali sebagai penggantinya,
saat itu usianya baru 28 tahun. Selanjutnya al-Ghazali diminta Perdana Menteri
Nizam al-Muluk untuk memberikan pengajian tetap dua minggu sekali di hadapan
para pembesar dan para ahli di kota Mu’askar. Al-Ghazali juga diberi kedudukan
sebagai penasihat (mufti) Perdana Menteri. Dengan begitu al-Ghazali memiliki
pengaruh besar dalam politik pemerintahan Perdana Menteri Nizam al-Mulk.3
Pada tahun 484 H pejabat rektor Universitas Nizamiyah Baghdad kosong,
Perdana Menteri meminta kepada al-Ghazali pindah ke kota Baghdad untuk
menjadi pimpinan Universitas Nizamiyah Baghdad yang menjadi pusat seluruh
perguruan tinggi Nizamiyah. Semua tugas yang dibebankan kepada al-Ghazali
dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga ia memperoleh sukses yang besar.
Meskipun demikian, semuanya itu tidak dapat mendatangkan ketenangan dan
kebahagiaan baginya. Bahkan selama di Baghdad ia menderit kegoncangan batin
akibat sikap keragu-raguannya.4 Di dalam kitabnya “Al-Munqiz Min Ad-Dalâl”,
beliau menceritakan: “Keraguan itu demikian mengkhawatirkan dan
menyesakkan. Sulit aku menghilangkannya…hampir dua bulan aku diliputi
keraguan ini dan kondisiku tidak ubahnya seperti kaum filosofis.”5
Dalam puncak keraguannya, pertanyaan yang selalu membentur hatinya
adalah apakah pengetahuan hakiki itu, apakah pengetahuan yang diperoleh lewat
3 Ibid., hlm. 128-129.
4 Ibid., hlm. 130. 5 Al-Ghazali, Kegelisahan Al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual, diterjemahkan
dari Kitab Al-Munqiz min Ad-Dalâl dan Kimiya as-Sa’âdah oleh Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 20.
43
indra atau lewat akal ataukah lewat jalan yang lain. Pertanyaan-pertanyaan ini
memaksa al-Ghazali untuk menyelidiki sifat pengetahuan manusia secara intens.
Hampir dua bulan lamanya ia diliputi keraguan, dan selama itu dia hanya bisa
menentukan langkah tindakan saja, tetapi tidak dapat menentukan langkah logika
dan ucapan. Allah memberinya kesembuhan dari penyakit ragu tersebut dengan
cahayaNya yang dipancarkan dalam kalbunya.6
Setelah sembuh dari penyakit keragu-raguannya ia menempuh jalan sufi
setelah menyelami metode-metode lain untuk mencari kebenaran, seperti ilmu
kalam, filsafat, dan kebatinan, namun dirasanya tidak dapat mengantarkan kepada
kebenaran yang dicari. Ia merasa telah tenggelam dalam samudra godaan dan
rintangan. Ilmu-ilmu yang selama ini dibanggakan tidak ada manfaatnya dalam
menempuh jalan menuju akhirat. Selama ini motivasinya dalam mendidik dan
mengajar tidak ikhlas karena Allah, tetapi diikuti dengan tujuan mencari
kedudukan dan popularitas.7
Kurang lebih selama enam bulan al-Ghazali terombang-ambing antara
keinginan dunia dan dorongan untuk meraih akhirat. Setelah sampai pada
kesimpulan bahwa untuk meraih kebahagiaan akhirat hanya dapat dicapai dengan
jalan taqwa dan mencegah serta mengekang hawa nafsu, ia bertekad untuk
meninggalkan kota Baghdad. Karena pangkal dari semua itu adalah memutuskan
ikatan hati dengan dunia.8
Pada akhir tahun 488 H, al-Ghazali mulai berkhalwat di menara masjid
Jami’ kota Damaskus selama kurang lebih dua tahun. Pada akhir tahun 490 H, ia
menuju kota palestina untuk melakukan hal yang sama di masjid Umar dan
monument suci “The Dome of The Rock”. Selanjutnya ia mengembara di padang
sahara dan akhirnya menuju Kairo, Mesir. Dari Kairo ia melanjutkan
pengembaraannya ke kota pelabuhan Iskandariyah. Kemudian menuju Mekah dan
Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Rasulullah Saw.
6 Masharuddin, op.cit., hlm. 130-132. 7 Ibid., hlm. 132-133. 8Ibid., hlm. 133.
44
Seusai menunaikan ibadah haji menjalankan kehidupan dan praktek sufinya di
tanah suci hingga memperoleh kasyf dari Allah.9
Setelah mendapat ilham, terbukalah pikirannya untuk berkumpul lagi
dengan keluarganya dan kembali hidup di tengah masyarakat. Tahun 499 H al-
Ghazali pulang ke Naisabur dan memenuhi panggilan Perdana Menteri untuk
memangku jabatan Rektor Universitas Nizamiyah Naisabur. Al-Ghazali
menghabiskan sisa umurnya dengan mendirikan khanaqah bagi para sufi dan
madrasah bagi para penuntut ilmu. Hari-hari beliau digunakan untuk
menghatamkan al-Quran, bertemu dengan para sufi dan mengajar murid-
muridnya. Pada hari senin, 14 Jumadi al-akhir 505 H, bertepatan dengan tanggal 9
Desember 1111 M, al-Ghazali menghembuskan nafasnya yang terakhir di
pangkuan adik beliau, Ahmad Al-Ghazali.10
B. Kondisi Sosio Kultural
Apabila kita hendak memahami perkembangan dan kejeniusan pemikiran
al-Ghazali, maka kita harus mengetahui kehidupan intelektual al-Ghazali dengan
lebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masa
hidupnya. Masa hidup al-Ghazali adalah masa yang secara umum sedang
mengalami kemunduran, terutama aspek intelektual dan moral yang sangat parah.
Masa hidup al-Ghazali berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun masa
al-Ghazali sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau masa disintegrasi (1000-
1250 M).11
Secara politis, kekuatan pemerintahan Islam pada masa ini di bawah
kekuatan Dinasti Abbasiyah. Konflik-konflik internal yang berkepanjangan dan
tak kunjung terselesaikan menyebabkan kekuatan dinasti Abbasiyah menjadi
sangat lemah. Menurut Montgomery Watt, kerajaan Abbasiyah menjadi
sedemikian rapuh karena:
9 Ibid., hlm. 134-136. 10 Ibid., hlm. 137-138. 11 Ibid., hlm. 118-119.
45
1. Lemahnya sistem kontrol dan kendali sesudah makin luasnya wilayah
kerajaan
2. Makin meningkatnya ketergantungan kerajaan pada tentara bayaran
3. System manajemen keuangan yang tidak efisien12
Di bidang kebudayaan dan peradaban mengalami kemunduran bahkan
nyaris kehilangan kepribadiannya. Dalam bidang ilmu-ilmu agama, Islam
dirasakan al-Ghazali telah mati dalam jiwa umat Islam, sehingga perlu dihidupkan
kembali sebagaimana tercermin dalam kitabnya “Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”. Di bidang
lain seperti bidang intelektual, moral dan agama secara umum juga mengalami
kemerosotan dan kemunduran.13
Di bidang pendidikan dan kejiwaan, disorientasi kehidupan telah melanda
umat, sehingga ketertarikan terhadap segi keduniaan dalam berbagai aspek
kehidupan telah banyak mengalahkan segi keakhiratan. Dalam bidang budaya dan
ilmu, walaupun ada kemajuan, namun bila ditinjau dari sudut kejiwaan dan niat
agama, ternyat sangat jauh dari norma dan ajaran Islam yang sebenarnya. Hak ini
karena orang yang mengembangkan ilmu maupun budaya pada umumnya hanya
untuk mencari keuntungan duniawi dan melalaikan aspek ukhrowi. Bahkan hal ini
pun menimpa al-Ghazali.14
Dalam bidang pemikiran dan intelektual juga terjadi krisis. Menurut al-
Ghazali, ada empat golongan yang menimbulkan krisis yang disebabkan oleh
pertentangan pendapat mereka, yaitu para mutakallimin, filosof, ahli kebatinan
(ta‘limiyah), dan kaum sufi. Pada masa itu muncul para sufi yang terpesona
dengan pengalaman-pengalaman mistik tertentu dan mengeluarkan kata-kata
ganjil (syâtahât). Akibatnya kaum sufi makin jauh dari para fuqaha maupun
mutakallimin serta tenggelam dalam alam emosi spiritual yang berlebihan dan
banyak diantara mereka yang mengabaikan batas-batas syariah. Sedangkan para
fuqaha dan mutakallimin hanya sibuk dalam rumusan fiqh dan ilmu kalam yang
kering dari nuansa spiritual.15
12 Ibid., hlm. 120. 13 Ibid., hlm. 120. 14 Ibid., hlm. 122. 15 Ibid., hlm. 123-124.
46
Karena ketegangan yang terjadi antara para sufi dan ulama zahir, citra
tasawuf menjadi jelek di mata umat. Untuk mengembalikan citra tasawuf, maka
sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha pembersihan tasawuf. Usaha ini
memperoleh kesempurnaan di tangan al-Ghazali yang melahirkan tasawuf sunni.
Al-Ghazali merukunkan pertentangan-pertentangan tersebut dengan jalan
memadukan ajaran ulama zahir yang menekankan syariah dan ulama batin yang
menekankan hakikat.16
Al-Ghazali dengan sikap kritis serta keberaniannya mengambil keputusan
untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan pilihannya dengan sikap
realistis dan mantap untuk menghadapi dunia Islam saat itu yang dipenuhi oleh
fragmentasi sosial politik dan alam pikiran yang tidak terkontrol, serta dibarengi
oleh merebaknya penyempitan paham, dan kurangnya sikap tasamuh di antara
sesama muslim. Al-Ghazali menempuh jalan tasawuf sebagai fondasi teologisnya,
yang terefleksikan dalam karyanya “Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn” yang merupakan reaksi
terhadap keadaan riil yang menggelayuti dirinya maupun umat Islam saat itu.17
Jalan tasawuf ini menurut al-Ghazali tidak bisa diikuti kecuali dengan ilmu dan
amal.18
Dengan melihat riwayat hidup al-Ghazali dan kondisi sosio kultural pada
masa al-Ghazali, ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kecemasan,
yaitu:
1. Pertentangan antar dorongan, yang dirasakan oleh al-Ghazali.
2. Hub al-dunya
3. Semakin jauh dari agama
C. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali telah banyak menyusun karya berupa buku dan risalah, yang
mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti Filsafat, Ilmu Kalam, Fiqh, Ushul Fiqh,
Akhlak/Tasawuf dan lain-lain. Menurut Dr. Badawi Thobanah dalam muqadimah
16 Ibid., hlm. 124. 17 Ibid., hlm. 125. 18 Al-Ghazali, Kegelisahan Al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual, hlm. 53.
47
“Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”, menyebutkan karya-karya al-Ghazali berjumlah empat
puluh tujuh buah.19 Yang dikelompokkan sebagai berikut:20
1. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam
a. Maqâsid al-Falâsifah (Tujuan Para Filosof)
b. Tahâfut al-Falâsifah
c. Al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd (Moderasi dalam Aqidah)
d. Al-Munqiz min al-Dalâl (Pembebas dari Kesesatan)
e. Al-Maqsad al-Asna fî Ma’ânî Asmâ’illâh al-Husnâ (Arti Nama-Nama
Allah)
f. Faisal al-Tafriqah bain al-Islâm wa al-Zindiqah (Perbedaan Islam dan
Atheis)
g. Al-Qistâs al-Mustaqîm (Jalan untuk Menetralisir Perbedaan Pendapat)
h. Al-Mustazhirî (Penjelasan-Penjelasan)
i. Hujjah al-Haq (Argumen yang Benar)
j. Mufasil al-Hilaf fî Usûl al-Dîn (Pemisah Perselisihan dalam Prinsip-
Prinsip Agama)
k. Al-Muntahal fî ‘ilmi al-Jidal (Teori Diskusi)
l. Al-Madnûn bihi ’alâ Gairi Ahlihi (Persangkaan Pada yang Bukan
Ahlinya)
m. Mihak al-Nazar (Metode Logika)
n. Asrâr Ilm al-Dîn (Misteri Ilmu Agama)
o. Al-Arbaîn fî Usûl al-Dîn (40 Masalah Pokok Agama)
p. Iljâm al-Awwâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm (Membentengi Orang Awam dari
Ilmu Kalam)
q. Al-Qaul al-Jamîl fî Raddi ‘alâ Man Gayyar al-Injîl (Jawaban Jitu
untuk Menolak Orang yang Mengubah Injil)
r. Mi’yâr al-‘Ilmi (criteria ilmu)
s. Al-Intisâr (rahasia-rahasia alam)
t. Isbât al-Nazar (pemantapan logika)
19 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz I, (Dar Ihya’ al-Kutub ‘Arabiyyah), hlm. 22-23. 20 Masharuddin, op.cit., hlm. 141-144.
48
2. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Al-Basît (Pembahasan yang Mendalam)
b. Al-Wasît (Perantara)
c. Al-Wajîz (Surat-Surat Wasiat)
d. Khulâsah al-Mukhtasar (Intisari Ringkasan Karangan)
e. Al-Mankhûl (Adat Kebiasaan)
f. Syifâ’ al-‘Alîl fî al-Qiyâs wa al-Ta’wîl (Terapi yang Tepat pada Qiyas
dan Ta’wil)
g. Al-Zari’ah ila Makârim al-Syarî’ah (Jalan Menuju Kemuliaan
Syari’ah)
3. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf
a. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)
b. Mîzân al-‘Amal (Timbangan Amal)
c. Kîmyâ’ al-Sa’âdah (Kimia Kebahagiaan)
d. Misykât al-Anwâr (Relung-relung Cahaya)
e. Minhâj al-‘Âbidîn (Pedoman Orang Beribadah)
f. Al-Durar al-Fâkhirah fî Kasyfi ‘Ulûm al-Âkhirah (Mutiara Penyingkap
Ilmu Akhirat)
g. Al-Anîs fî al-Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan)
h. Al-Qurabah ila Allâh ‘Azza wa Jalla (Pendekatan Diri Pada Allah)
i. Akhlâq al-Abrâr wa Najâh al-Asyrâr (Akhlak Orang-orang Baik dan
Keselamatan dari Akhlak Buruk)
j. Bidâyah al-Hidâyah (Langkah Awal Mencapai Hidayah)
k. Al-Mabâdi’ wa al-Gâyât (Permulaan dan Tinjauan Akhir)
l. Talbîs al-Iblîs (Tipu Daya Iblis)
m. Nasîhah al-Mulûk (Nasihat untuk Raja-raja)
n. Al-‘Ulûm al-Ladunniyyah (Risalah Ilmu Ketuhanan)
o. Al-Risâlah al-Qudsiyah (Risalah Suci)
p. Al-Ma’khaz (Tempat Pengambilan)
q. Al- Amâlî (Kemuliaan)
49
4. Kelompok Ilmu Tafsir
a. Yâqût al-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîl (Metode Ta’wil dalam Menafsirkan
al-Qur’an)
b. Jawâhir al-Qur’ân (Rahasia-rahasia al-Qur’an)
D. Pemikiran Khauf dan Rajâ’ al-Ghazali
Menurut al-Ghazali khauf dan rajâ’ adalah dua kekang yang mencegah
diri keluar dari ketetapan keadaannya.21 Sehingga manusia senantiasa berada
di jalan yang lurus, tidak terjerumus ke dalam keputusasaan ataupun merasa
aman dari azab Allah. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Wasity: “Khauf dan
raja’ adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaannya.”22
Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu melakukan yang terbaik
dengan tanpa ada keraguan, ia merasa yakin bahwa usaha yang baik akan
menghasilkan kebaikan pula.23 Khauf dan rajâ’ juga merupakan motivator
yang dapat menggerakkan dan membimbing pada kebaikan dan ketaatan serta
giat dalam menjalankan kebaikan dan ketaatan, juga giat menjauhi larangan,
meninggalkan kejahatan dan kemaksiatan. Rajâ’ (harapan) terhadap
keagungan pahala dari Allah dan keindahan janjiNya berupa berbagai macam
kemuliaan merupakan pendorong yang membangkitkan semangat untuk
berbakti dan taat kepada Allah. Sedangkan khauf merupakan pemicu semangat
untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang.24 Rasa
takut mendorong untuk takwa kepada Allah, mencari ridhaNya, mengikuti
21 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz IV, terj. Prof. Ismail Yakub dengan judul: Ihyâ’
Al-
Ghazali, jilid VII, cet. III, (Jakarta: C.V. Faizan, 1985), hlm. 42. 22 Al-Qusyairy An-Naisabury, Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi At-Tasawufi, terj.
Mohammad Luqman Hakim dengan judul Risâlatul Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 127.
23 Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi: Telaah atas Pemikiran Psikologi Humnistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
24 Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhâj al-‘Âbidîn: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, (Surabaya: Penerbit Amelia Surabaya, 2006), hlm. 15.
50
ajaran-ajaranNya, meninggalkan laranganNya dan melaksanakan perintahNya.
Oleh karena itu, khauf merupakan tiang penyangga iman.25
Khauf dan rajâ’ adalah urusan hati, sementara yang dapat dikuasai
manusia adalah hal-hal yang mendahuluinya.
1. Pemikiran Khauf al-Ghazali
a. Pengertian Khauf
Menurut al-Ghazali khauf adalah suatu getaran dalam hati ketika
ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak disukai.26 Khauf ibarat
kepedihan dan kebakaran hati disebabkan terjadinya hal yang tidak disukai
di masa depan. Hal ini senada dengan pendapat al-Qusyairi bahwa khauf
berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya
merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna.27
Hâl khauf ini menurut al-Ghazali terdiri atas ilmu, hâl dan amal.
Hâl khauf dapat diraih melalui ilmu, yang dimaksud ilmu adalah
pengetahuan tentang perkara-perkara yang dapat mendatangkan ketakutan,
seperti azab Allah, sifat-sifat Allah, kedahsyatan sakaratul maut dan hari
akhir. Ilmu dengan sebab-sebab yang tidak disukai, menjadi sebab yang
menggerakkan, yang membangkitkan kepada terbakarnya hati dan
kepedihan. Kebakaran ini yang disebut khauf. Kemudian hâl khauf akan
melahirkan amal, yaitu menjauhi perkara-perkara yang mendatangkan
murka Allah dan perkara-pekara yang tidak mendatangkan ridha Allah.
Jadi yang dimaksud amal adalah bekas daripada hâl khauf. Dengan
mengetahui jelas sebab-sebab khauf, khauf dan kepedihan hati menjadi
sangat kuat. Kadang khauf tidak disebabkan penganiayaan yang diperbuat
25 Dr. M. ‘Utsman Najati, Al-Qur’ân wa ‘Ilmu al-Nafsi, terj. Ahmad Rofi’ ‘Usmani
dengan judul al-Quran dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1982), hlm. 71. 26 Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, hlm. 256. 27 Al-Qusyairy An-Naisabury, op.cit., hlm. 123.
51
oleh orang yang takut, tetapi timbul dari sifat pihak yang menakutkan atau
ditakuti.28
Maka takut kepada Allah pun seperti itu. Takut kepada Allah
menurut al-Ghazali, pertama disebabkan ma’rifah kepada Allah dan sifat-
sifatNya. Kedua, takut karena banyaknya penganiayaan hamba dengan
mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan ketiga, menurut
pengetahuan akan kekurangan dirinya dan ma’rifah akan keagungan Allah
dan Allah tidak memerlukan kepadanya. Dan ma’rifah itu di atas
ketakutannya. Maka, manusia yang paling takut kepada Tuhannya adalah
mereka yang lebih mengenal akan dirinya dan Tuhannya.29
Apabila ma’rifah telah sempurna, niscaya mewariskan keagungan
khauf dan terbakarnya hati. Kemudian melimpahkan bekas kebakaran dari
hati kepada badan, kepada anggota badan dan kepada sifat-sifat. Bekas
kebakaran hati pada badan, akan terlihat dengan kurus, kuning, pingsan,
jeritan dan tangisan. Dan kadang-kadang terhisap kepahitan, lalu
membawa kepada kematian. Atau naik ke otak lalu merusakkan akal. Atau
menguat lalu mewarisi patah hati dan putus asa. Pada anggota badan,
terwujud dengan mencegahnya dari perbuatan-perbuatan maksiat dan
mengikatkannya dengan amal-amal ta’at untuk mendapatkan masa yang
telah lewat dan menyiapkan untuk masa mendatang.30
Bekas pada sifat-sifat dengan mencegah dari nafsu syahwat dan
mengeruhkan segala kesenangan. Lalu perbuatan maksiat yang disukai
menjadi tidak disukai lagi. Dengan begitu terbakarlah nafsu syahwat
dengan khauf. Dan menjadi beradablah semua anggota badan. Dan
berhasihlah dalam hati itu kelayuan, kekhusyukan, kehinaan diri dan
ketenangan. Dan terlepaslah dari kesombongan, kebusukan hati, dan
kedengkian.31
28 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 42-43. 29 Ibid., hlm. 43 30 Ibid., hlm. 44. 31 Ibid., hlm. 44.
52
Maka dengan khaufnya jadilah kesusahan hati dan perhatian pada
bahaya akibatnya. Sehingga ia tidak mengosongkan waktunya bagi yang
lain. Dan tidak ada kesibukan selain murâqabah, muhâsabah, mujâhadah,
dzikir dengan nafas dan perhatian, penyiksaan diri dari segala goresan,
langkah dan kata-kata. Kuatnya murâqabah, muhâsabah, dan mujâhadah
ini, tergantung pada kuatnya khauf yang menjadi kepedihan dan
terbakarnya hati. Dan kuatnya khauf tergantung pada kuatnya ma’rifah
dengan keagungan Allah, sifat-sifatNya dan af’alNya. Serta mengetahui
kekurangan diri dan marabahaya serta huru-hara yang dihadapinya.32
Derajat khauf yang paling rendah yang nampak bekasnya dalam
amal perbuatan adalah mencegah dari perbuatan-perbuatan yang terlarang.
Pencegahan terhadap perbuatan-perbuatan terlarang tersebut apabila
berhasil dinamakan wara’. Apabila bertambah kuat, niscaya akan
mencegah untuk mendekati hal-hal yang diharamkan dan juga yang
diharamkan keharamannya. Yang demikian ini dinamakan takwa. Karena
takwa adalah meninggalkan yang meragukan kepada yang tidak diragukan,
dan kadang membawanya meninggalkan yang tidak ada apa-apa padanya
karena takut ada apa-apa padanya. Dan ini disebut siddiq dalam taqwa.
Apabila bercampur di dalamnya keikhlasan dalam pelayanan, maka ia
tidak akan membangun apa yang tidak akan ditempatinya, tidak
mengumpulkan apa yang tidak akan dimakannya, tidak berpaling kepada
dunia yang diketahuinya bahwa dunia itu akan berpisah dengan dia. Dan
tidak menyerahkan satu nafaspun dari nafas-nafasnya kepada selain Allah.
Inilah yang disebut siddiq.33
Jadi khauf membekas pada anggota badan dengan pencegahan dan
penampilan dan terus diperbaharui dengan sebab-sebab pencegahan atau
dinamakan ‘iffah, yaitu pencegahan dari kehendak nafsu-syahwat. ‘Iffah
(terpeliharanya diri dari segala yang tidak baik) ini tercakup di dalam
wara’, wara’ lebih umum karena mencegah dari segala sesuatu yang
32 Ibid., hlm. 44. 33 Ibid., hlm. 45.
53
dilarang (mudarat). Wara’ berada di dalam takwa yang mencegah dari
semua yang dilarang dan syubhat, dan yang lebih tinggi lagi adalah siddiq
dan muqarrab.34
Jika menurut al-Ghazali khauf disebabkan ma’rifah kepada Allah
dan sifat-sifatNya; takut karena banyaknya penganiayaan hamba dengan
mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat; dan menurut pengetahuan akan
kekurangan dirinya serta ma’rifah akan keagungan Allah dan Allah tidak
memerlukan kepadanya. Menurut al-Tusi khauf karena murâqabah
(menyaksikan dalam kedekatan dengan Allah sebagai tuan yang penuh
dengan kewibawaan, keagungan (haibah) dan kekuasaannya), serta karena
kehendak Allah atas seseorang yang dianugrahi sifat-sifat siddiq, hakikat
yaqin dan khasyyah.35
b. Tingkat-Tingkat Khauf
Khauf mempunyai tiga tingkatan:36
1) Singkat
Khauf yang singkat adalah apabila sebabnya lenyap dari
perasaan, hati kembali pada kelupaan. Inilah khauf yang singkat,
sedikit faedahnya, yang lemah manfaatnya.
2) Sedang
Khauf yang sedang dan pertengahan adalah yang terpuji.
Khauf ini membawa kepada amal. Al-Fudail bin ‘Iyad berkata:
“Apabila ditanyakan kepada engkau: ‘Apakah engkau takut kepada
Allah?’ maka diamlah! Maka sesungguhnya jikalau Engkau menjawab
‘tidak’ niscaya engkau kufur. Dan jikalau engkau menjawab ‘ya’,
niscaya engkau dusta.” Beliau mengisyaratkan bahwa khauf adalah
mencegah anggota-anggota badan dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Dan mengikatnya dengan amalan-amalan ta’at. Apa yang tidak
34 Ibid., hlm. 45. 35 Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Tusi, Al-Luma’ fî Târîh At-Tasawuf Al-Islâmi, (Libanon:
Dar Al-Qatab Al-Ilmiyah, 2007), hlm. 36 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 46-47.
54
membekaskan pada anggota badan, maka itu kata hati dan gerakan
gurisan di hati. Dan itu tidak dapat dinamakan khauf.
Takut terpuji dengan dikaitkan pada kekurangan bani adam
dan yang terpuji pada dirinya dan zatnya adalah ilmu, qudrah
(kemampuan) dan setiap apa yang boleh disifatkan Allah Swt. dengan
dia.
3) Sangat
Khauf yang bersangatan adalah yang kuat dan melampaui batas
kesedangan. Sehingga ia keluar pada putus asa dan hilang harapan.
Dan ini termasuk tercela karena dapat mencegah amal. Sedangkan
yang dimaksud dengan khauf adalah apa yang dimaksudkan dari
cemeti. Yaitu membawa kepada amal perbuatan. Jika tidak dapat
membawa kepada amal perbuatan, maka tidaklah sempurna khauf itu,
karena hakikatnya tidak terpenuhi. Disebabkan tempat terjadinya
kebodohan dan kelemahan.
Kadang-kadang khauf keluar pula pada kesakitan dan
kelemahan kepada kebimbangan, keheranan dan kehilangan akal.
Kadang-kadang ia keluar kepada mati. Dan yang demikian ini adalah
tercela, seperti pukulan yang membunuh anak kecil, dan cemeti yang
membinasakan binatang kendaraan atau menyakitinya atau
memecahkan salah satu anggota tubuhnya. Rasulullah Saw.
menyebutkan sebab-sebab rajâ’ dan kebanyakan daripadanya, supaya
dapat mengobatkan serangan takut yang bersangatan yang membawa
kepada keputus-asaan atau salah satu dari hal-hal itu.37
Khauf yang terjauh tingkatnya adalah yang membuahkan tingkat-
tingkat orang siddiqin, yaitu tercabutnya zahir dan batin dari selain Allah,
sehingga tidak tinggal kelapangan bagi selain Allah. Maka inilah tingkat
terpuji yang tertinggi. Dan yang demikian diikuti konstannya sehat dan
37 Ibid., hlm. 48.
55
akal. Jika khauf melampaui hingga hilangnya akal dan kesehatan maka
merupakan penyakit yang harus diobati.38
c. Macam-macam Khauf
Khauf hanya dapat diyakini dengan menunggu yang tidak disukai.
Sesuatu yang tidak disukai dibagi menjadi dua, adakalanya ia tidak disukai
pada zatnya sendiri, dan ada kalanya ia tidak disukai karena membawa
kepada yang tidak disukai. Tingkat orang-orang yang takut tergantung
pada apa yang mengerasi atas hatinya hal-hal yang tidak disukai, yang
ditakuti. Orang yang hatinya dikerasi dengan yang tidak disukai bukan dari
zat itu, akan tetapi dari lainnya adalah seperti:39
- Orang yang keras ketakutannya pada mati sebelum taubat.
- Ketakutan akan runtuhnya taubat dan ingkarnya janji.
- Ketakutan akan lemahnya kekuatan untuk menepati dengan sempurna
hak-hak Allah.
- Ketakutan akan hilang kehalusan hati dan berganti dengan kekasaran.
- Ketakutan berbelok dari istiqomah.
- Ketakutan akan dikuasai kebiasaan mengikuti nafsu syahwat.
- Ketakutan pada kesombongan disebabkan banyaknya nikmat Allah
padanya.
- Ketakutan pada kesibukan terhadap hal-hal lain yang membuatnya jauh
dari Allah.
- Ketakutan akan terperosok ke jalan yang salah disebabkan berturut-
turutnya kedatangan nikmat.
- Ketakutan tersingkapnya yang membahayakan ketaatannya, dimana
nampak baginya apa yang tidak disangkanya dari Allah.
- Ketakutan sifat-sifatnya yang tercela diikuti manusia, seperti umpatan,
khianatan, tipuan dan menyembunyikan yang buruk.
- Ketakutan pada apa yang tidak diketahuinya, bahwa itu akan datang
pada sisa-sisa umurnya.
38 Ibid., hlm. 49. 39 Ibid., hlm. 49-50.
56
- Ketakutan tersegeranya siksaan di dunia dan tersiarnya sebelum mati.
- Ketakutan tertipu dengan keelokan-keelokan dunia.
- Ketakutan dilihat oleh Allah rahasianya pada saat ia lalai.
- Ketakutan akan su’ul khatimah.
Semua ketakutan di atas merupakan maqâm khauf orang-orang
‘ârifin. Setiap ketakutan di atas mempunyai faedah khusus, yaitu
menempuh jalan berhati-hati dari hal-hal yang membawa kepada apa yang
ditakutinya.
Adapun orang yang takut terbagi menjadi:40
1) Orang yang takut akan perbuatan maksiatnya dan penganiayaannya.
Khauf ini dalam halaman keterpedayaan dan keamanan, jika ia rajin
mengerjakan amalan taat. Khauf ini merupakan maqâm khauf orang-
orang shaleh.
2) Orang yang takut akan Allah sendiri, karena sifatNya dan
keagunganNya dan sifat-sifatNya yang menghendaki akan ketakutan
hambaNya. Inilah tingkat tertinggi. Karena itu khauf kekal
kepadaNya. Keberadaan khauf ini pada ketaatan orang-orang siddiqin
dan orang-orang yang bertauhid (al-muwahhidin). Dan ini adalah buah
ma’rifah kepada Allah.
Sedang al-Thusi, membagi khauf menjadi tiga macam, khauf ajillah
) khauf ausât ,(34ف ا0/-+) .(34ف ا>;6:+) dan khauf ‘âmmah , ( 34ف ا9و67ط
Khauf ajillah sebagaimana firman Allah bahwa khauf disandingkan
dengan iman, dalam surah Ali Imran ayat 175. Khauf ausât muncul dari
sebagian sifat makrifat, Imam Syibli saat ditanya tentang khauf ini ia
menjawab, “Engkau takut jika dirimu tidak terselamatkan”. Sedangkan
khauf ‘âmmah seperti firman Allah dalam surah an-Nur ayat 37
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Mereka adalah orang yang
takut karena kemurkaan dan siksa Allah. Hati mereka bergetar jika
melakukan hal-hal yang membuat murka Tuhannya.41
40 Ibid., hlm. 51. 41 Abdullah bin Ali As-Sarraj At-Tusi,, op. cit., hlm 55-56.
57
Untuk memahami khauf mengenai sifat-sifat Allah harus dengan
contoh. Dan bagi Allah contoh yang tertinggi (al-masalu al-a’la). Siapa
yang mengenal Allah, niscaya ia mengenal dengan penyaksian batiniyah,
yang lebih kuat, lebih terpercaya dan yang lebih jelas daripada penyaksian
zahiriyah.42
Maqâm kedua orang yang takut adalah Ia mencontohkan pada
dirinya apa yang tidak disukainya, seperti:43
- Sakaratul maut dan kesangatannya.
- Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
- Azab kubur.
- Huru-hara hari kebangkitan dari kubur.
- Kehebatan tempat perhentian di hadapan Allah, malu terbuka aibnya
yang tertutup, pertanyaan mengenai hal-hal kecil dan halus di tempat
perhentian itu.
- Takut dari titian (al-sirat al-mustaqim), ketajamannya dan bagaimana
melaluinya.
- Takut dari neraka, belenggunya, dan kehuru-haraannya.
- Takut dari tidak memperoleh surga yang merupakan negeri kenikmatan
dan kerajaan tempat tinggal dan takut dari kekurangan tingkat-
tingkatnya.
- Takut terhijab dari Allah.
Semua sebab-sebab tersebut tidak disukai pada sebab-sebab itu
sendiri. Tingkat tertinggi dari sebab-sebab khauf itu adalah takut terhijab
dari Allah, dan itu khaufnya orang-orang ‘ârifin.44
d. Keutamaan Khauf
Keutamaan khauf diketahui dengan dua jalan:
1) Pemerhatian dan I’tibar
42 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 53. 43 Ibid., hlm. 54. 44 Ibid., hlm. 54.
58
Yaitu melalui keutamaan segala sesuatu yang membawa
kebahagiaan bertemu dengan Allah. Untuk sampai kepada Allah,
melalui dua jalan, yaitu bagi yang memperoleh kasih sayangNya
dan jinak hati kepadaNya di dunia. Kasih sayang itu tidak akan
berhasil tanpa ma’rifah, dan ma’rifah tidak akan berhasil selain
dengan tafakkur. Sedangkan kejinakan hati hanya akan berhasil
dengan kasih sayang dan dzikir yang terus-menerus. Dzikir dan
tafakkur dapat dicapai dengan memutuskan kecintaan dunia dari
hati dengan cara meninggalkan kelezatan dunia dan hawa nafsunya.
Dan hawa nafsu dapat ditinggalkan dengan cara mencegah nafsu
syahwat. Dan khauf adalah api yang membakar nafsu syahwat.
Maka keutamaan khauf menurut kadar yang membakar nafsu
syahwatnya, kadar pencegahan perbuatan-perbuatan maksiat dan
kadar yang menggerakkan kepada perbuatan-perbuatan tha’at.
Khauf ini menghasilkan ‘iffah, wara’, taqwa dan mujâhadah.45
2) Ayat-ayat dan hadits-hadits
Dalil tentang keutamaan khauf, bahwa Allah Swt.
mengumpulkan bagi orang-orang yang khauf akan petunjuk, rahmat
(Q.S. al-A’raf ayat 154), ilmu (Q.S al-A’la ayat 10) dan ridha (Q.S.
al-Bayyinah ayat 8).
Setiap apa yang menunjukkan kepada keutamaan ilmu
menunjukkan kepada keutamaan khauf, karena khauf adalah buah
ilmu. Allah memerintahkan untuk khauf, mewajibkanya dan
mensyaratkannya pada iman. Kelemahan khauf pun menurut
kelemahan ma’rifahnya dan imannya.
Rasulullah Saw. bersabda:46
Mا PRSTU PVXYZرأس ا Artinya: “Puncak hikmah itu takut kepada Allah”
45 Ibid., hlm. 55. 46 Musnad Shihab, Juz 1, hlm. 183.
59
Al-Ghazali menyimpulkan Setiap apa yang datang dari hadits,
tentang kelebihan rajâ’ maka itu menunjukkan atas kelebihan khauf,
karena keduanya saling mengharuskan.47
Al-Ghazali mengutip perkataan Abu al-Qasim al-Hakim sebagai
berikut: “Siapa yang takut akan sesuatu, niscaya ia lari daripadanya. Dan
siapa yang takut akan Allah, niscaya ia lari kepada Allah.”48
Dzun-Nun r.a. berkata: “Siapa yang takut kepada Allah Swt.,
niscaya halus hatinya, cintanya sangat besar kepada Allah dan benar
akalnya.” Dzun-Nun r.a. berkata pula: ”Seyogyanya khauf itu lebih keras
dari rajâ’. Apabila rajâ’ lebih keras, niscaya kacaulah hatinya.”49
Lawan khauf adalah berani atau merasa aman sebagaimana lawan
rajâ’ adalah putus asa. Karena itu celaan akan aman menunjukkan kepada
kelebihan khauf.50
Sesungguhnya setiap orang yang mengharap akan kekasihnya,
maka pasti ia takut akan hilangnya. Maka khauf dan rajâ’ itu saling
mengharuskan, mustahil terlepas salah satu dari yang lainnya dari
keduanya. Jadi, setiap apa yang datang dari hadits tentang kelebihan rajâ’
dan menangis, kelebihan taqwa dan taqwa, kelebihan ilmu dan celaan
aman, maka itu menunjukkan kepada kelebihan khauf. Karena semua itu
menyangkut dengan khauf. Adakalanya sangkutan sebab atau sangkutan
musabbab.51
Khauf membawa faedah hati-hati, takwa, mujâhadah, ibadah, fikir,
dzikir dan sebab-sebab lain yang menyampaikan kepada Allah. Dan setiap
yang demikian membawa kehidupan serta kesehatan badan dan
kesejahteraan akal. Maka setiap yang mencederakan dari sebab-sebab itu
47 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 61. 48 Ibid., hlm. 44. 49 Ibid., hlm. 60. 50 Ibid., hlm. 61. 51 Ibid., hlm. 61.
60
adalah tercela. Jadi, khauf apabila tidak membekas pada amal, maka sama
saja seperti tidak ada.52
Keberhasilan khauf dan rajâ’ membawa kepada keberhasilan sabar.
Permulaan tingkat agama itu adalah yakin, yakin ini dengan mudah
mengobarkan ketakutan kepada neraka dan harapan akan surga. Dan khauf
dan rajâ’ itu menguatkan sabar.
e. Jalan untuk memperoleh Khauf
Khauf berhasil dengan dua jalan yang berlainan, yaitu khauf karena
ikut-ikutan dan khauf karena ma’rifah.53 Maka orang yang mengetahui
sebab ketakutan dengan ma’rifah yang timbul dari cahaya hidayah, maka
itu dari kekhususan orang-orang ‘ârifin yang memperhatikan rahasia
qadar. Sesungguhnya takutnya para nabi, bersama nikmat-nikmat yang
melimpah ruah kepada mereka, adalah karena mereka tidak merasa aman
dari rencana Allah. Dan tidak ada yang merasa aman dari rencana Allah
selain orang-orang yang merugi.54 Firman Allah Swt.:
(#θ ãΖÏΒ r'sùr& t� ò6 tΒ «! $# 4 Ÿξ sù ßtΒ ù' tƒ t� ò6 tΒ «! $# āωÎ) ãΠöθ s)ø9 $# tβρç�Å£≈ y‚ ø9 $# ∩∪
Artinya: “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Q.S. al-A’raaf: 99)55
Dan tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui hakikat sifat-
sifat Allah Swt. Dan orang yang mengetahui akan hakikat ma’rifah,
niscaya sangat ketakutan. Maka dikatakan manusia yang paling bodoh
adalah orang yang merasa aman daripadanya. Dan Allah menyerukan
supaya berhati-hati dari amannya itu. Jika bukan karena kasih sayang
Allah kepada hamba-hambaNya yang berma’rifah, karena Allah
menyemangatkan hati mereka dengan semangat rajâ’, niscaya terbakarlah
52 Ibid., hlm. 48. 53 Ibid., hlm. 73. 54 Ibid., hlm. 77. 55 Depag. RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 2002.
61
hati mereka dengan api ketakutan. Maka sebab-sebab rajâ’ adalah rahmat
bagi orang-orang yang telah dikhususkan oleh Allah. Orang-orang ‘ârifin
senantiasa menoleh pada yang telah lalu dengan ketakutan.56
Khauf kepada Allah terdiri atas dua tingkat:
1) Takut kepada azabNya
Khauf ini merupakan khauf umumnya manusia. Khauf ini berhasil
dengan iman akan surga dan neraka.
2) Takut kepada Allah
Khauf ini adalah khauf para ulama dan orang-orang yang
mempunyai hati yang mengetahui sifat-sifat Allah. Khauf ini yang lebih
tinggi. Adanya Allah itu yang membawa kepada ketakutan, yaitu takut
terhijab dari Allah dan mengharap kedekatan kepadaNya. Bagi umumnya
orang mu’min juga mempunyai keuntungan dari ketakutan ini, tetapi
semata-mata hanya taqlîd, tidak disandarkan pada penglihatan mata hati.
Maka yang demikian ini pasti akan lemah dan hilang dalam waktu dekat.
Aqidah taqlîd biasanya lemah, kecuali apabila dikuatkan dengan
penyaksian sebab-sebab yang menguatkan aqidah itu terus-menerus.
Siapa yang mendaki ke tingkat ma’rifah dan mengenal Allah Swt.,
niscaya dengan mudah ia takut kepada Allah, maka ia tidak perlu
pengobatan untuk menarik ketakutan.57
Sedang menurut Syeikh Abu Ali al-Daqqaq, khauf memiliki tiga
tahap, yaitu khauf, khasyyah dan haibah. Khauf merupakan buah dari
iman, ketakutan ini condong kepada rasa cemas dan disertai harapan.
Sedangkan khasyyah adalah ketakutan yang dikhususkan kepada Allah
yang merupakan buah dari ilmu, karena itu ketakutan ini hanya dimiliki
para ulama, sebagaimana firman Allah dalam surah Fâtir ayat 28. 58 Dan
56 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 87-89. 57 Ibid., hlm. 75 58 “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
62
haibah adalah ketakutan dalam menghadapi keagungan Allah yang
merupakan buah dari ma’rifah.59
2. Pemikiran Raja’ al-Ghazali
a. Pengerian Raja’
Sesuatu yang terguris di hati akan adanya sesuatu pada masa
mendatang dan mengeraskan yang demikian pada hati, maka dinamakan
intizâran (6راABCا) atau tungguan dan tauqî’an (6;DE3F) atau kemungkinan
terjadi. Jika yang ditunggu itu tidak disukai niscaya timbullah dalam hati
kepedihan yang dinamakan khauf dan isyfâqan (6E6GHا). Dan kalau yang
ditunggu itu disukai, yang diperoleh dari tungguannya, kesangkutan hati
kepadanya dan kegurisan adanya di hati, kelezatan dalam hati dan
kesenangan, niscaya dinamakan kesenangan itu rajâ’. Jadi rajâ’ adalah
kesenangan hati untuk menunggu apa yang disukainya.60 Imam Qusyairi
pun mendefinisikan demikian, bahwa raja’ adalah keterpautan hati kepada
sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang.
Sebagaimana halnya khauf berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa
datang.61 Akan tetapi apa yang disukai dan diharapkan itu harus ada
penyebabnya. Apabila rusak dan kacau sebabnya maka ia bukanlah raja’
melainkan gurûr (ورIJ) atau tipuan dan hamuqa (KMN) atau dungu. Dan
apabila tidak ada sebabnya maka dinamakan tamannî (OQMF) atau angan-
angan. Jadi rajâ’ sesungguhnya adalah menunggu yang disukai yang nyata
semua sebab-sebabnya dari usaha hamba. Dan rajâ’ itu sesungguhnya
sesudah kuatnya sebab-sebab.62 Allah SWT berfirman:
¨βÎ) šÏ% ©!$# (#θ ãΖtΒ#u zƒÉ‹©9 $#uρ (#ρã� y_$ yδ (#ρ߉yγ≈ y_ uρ ’Îû È≅‹Î6 y™ «! $# y7Í× ‾≈ s9 'ρé&
tβθ ã_ö� tƒ |M yϑôm u‘ «!$# 4 ª! $#uρ Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊄⊇∇∪
59 Al-Qusyairy An-Naisabury, op.cit., hlm. 124. 60 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 6. 61 Al-Qusyairy An-Naisabury, op.cit., hlm. 133. 62 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 6-8.
63
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah: 218)63
Rajâ’ akan sempurna dari hâl, ilmu dan amal. Ilmu adalah sebab
yang membuahkan hâl. Ilmu ini adalah pengetahuan tentang sifat-sifat
pengasih Allah dan balasan yang dijanjikan Allah bagi hambaNya yang
bertaqwa. Pengetahuan ini akan menghasilkan hâl yaitu keadaan optimis.
Dan hâl rajâ’ ini menghasilkan amal, yaitu perbuatan-perbuatan untuk
meraih ridha Allah. Ketiganya disebut rajâ’. Jadi, hakikat rajâ’ adalah
suatu hâl yang dihasilkan oleh ilmu dengan berlakunya kebanyakan sebab-
sebab, yang membuahkan kesungguhan menegakkan sisa-sisa sebab
menurut kemungkinan.64
b. Keutamaan Rajâ’
Rajâ’ berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan kepada
perbuatan. Rajâ’ tidak berlawanan dengan khauf, akan tetapi ia merupakan
kawan. Khauf adalah penggerak yang lain dengan jalan ketakutan. Lawan
dari rajâ’ adalah putus asa, karena putus asa memalingkan dari amal. Jadi
hâl rajâ’ akan mewarisi panjangnya mujâhadah dengan amal perbuatan
dan rajin kepada taat bagamanapun berbalik-baliknya ahwâl. Dengan
rajâ’, orang akan bersemangat dalam melakukan ketaatan dan merasa
ringan dalam menanggung berbagai kesulitan dan kesusahan.65 Diantara
kesan rajâ’ adalah kenikmatan menghadapkan hati kepada Allah, merasa
nikmat dengan bermunajah dengan Dia dan berlemah lembut dalam
berwajah manis kepadaNya.66
c. Obat Rajâ’
Obat rajâ’ diperlukan bagi orang yang benar-benar putus asa lalu ia
meninggalkan ibadah dan orang yang mengerasi atasnya ketakutan lalu
63 Depag. RI. op.cit., hlm. 42. 64 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 10 65 Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, hlm. 252-253. 66 Al-Ghazali, loc.cit.
64
berlebih-lebihan rajin ibadah, sehingga mendatangkan kemelaratan atas
dirinya dan keluarganya. Cara mengobati hati adalah dengan memberi
pengajaran secara lemah lembut, memperhatikan tempat terjadinya
penyakit atau apa penyakitnya dan mengobatinya dengan memberikan
yang berlawanan dengan penyakit tersebut. Dengan menyebutkan sebab-
sebab yang menghadirkan rajâ’ dapat digunakan untuk menyembuhkan
orang yang putus asa atau pada orang yang dicekam oleh ketakutan.67
d. Jalan untuk Memperoleh Rajâ’
Rajâ’ dapat menguat dengan dua perkara:
1) Dengan I’tibar
Dengan jalan bermuhasabah, memperhatikan nikmat-nikmat
Allah yang halus yang di karuniakan kepada hambaNya dan
memperhatikan keajaiban-keajaiban hikmahNya yang dipeliharaNya
mengenai penciptaan manusia. I’tibar juga memperhatikan hikmah
syari’at dan sunnah-sunnahNya tentang kemuslihatan dunia dan segi
rahmat bagi semua hambaNya.68
2) Dengan menyelidiki ayat-ayat, hadits-hadits, dan asar-asar
Ayat yang dapat menguatkan rajâ’ diantaranya:
ö≅è% y“ÏŠ$ t7Ïè≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θ èùu�ó� r& #’ n? tã öΝÎγ Å¡ à�Ρr& Ÿω (#θäÜ uΖø)s? ÏΒ Ïπ uΗ÷q§‘
«!$# 4 ¨βÎ) ©! $# ã�Ï�øótƒ z>θ çΡ—%!$# $ �è‹ÏΗsd 4 …çµ ‾ΡÎ) uθ èδ â‘θ à�tó ø9 $# ãΛ Ïm §�9$# ∩∈⊂∪
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Zumar: 53)69
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah disebutkan:70
67 Ibid., hlm. 16. 68 Ibid., hlm. 17-18. 69 Depag. RI. op.cit. 70 Shoheh Muslim, juz 13, hlm. 321.
65
a bcdefZا g cXYh SViR jeklو nika nekZا oekp لSr estو eua nbvر ga
xda yzأذSdzذ ZS}~رك وSd~ لS�R cdzذ cZ ���ا ej�ekZل اS�R yzأذ o
jk}R أنnZ e رh S�v��� اyze�Z وSa ej� yze�ZSv ���hد R�ذyz ذxda Sdzي
yzي أذxda oZS}~رك وSd~ لS�R cdzذ cZ ���ا bل أي ربS�R Sdzذ
ze�Zا ���h S�vر nZ eأن jk}R ل أيS�R yz�ذR دSa ej� yze�ZSv ���hو y
jk}R أنnZ e ذSdz ربb ا��� cZ ذS�R cdzل ~Sdرك و~{oZS أذxda yzي
رh S�v��� اyze�Z وyze�ZSv ���h اx�R ��� SU sVa ���ت Sr �Zل
��� SU sVaا P}vاe�Zأو ا P�ZSe�Zا cR لSrأدري أ SZ oka�Zا xda
Artinya: “Dari Nabi sebagaimana yang ia ceritakan dari Tuhannya, Ia berkata: seorang hamba berdosa, maka ia berdo’a” wahai Tuhan, ampunilah dosa hambaMu ini, maka Allah berkata, hambaKu berdosa dan ia tahu mempunyai Tuhan yang Maha Pengampun, ia pun tak kuasa mengulangi dosanya lagi, ia pun berdo’a, wahai Tuhan yang Maha Pengampun ampunilah segala dosaku, Allah berkata, hambaKu berdosa dan ia tahu mempunyai Tuhan yang maha pengampun, ia pun tak kuasa mengulangi dosanya lagi, ia pun berdo’a, wahai Tuhan yang maha pengampun ampunilah segala dosaku, ia pun tahu ia mempunyai Tuhan yang maha pengampun, lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Abdul ‘A’la berkata, ia tidak tahu tiga atau empat kali dikatakan “lakukanlah apa yang kamu kehendaki”.
Adapun asar, diantaranya adalah, diriwayatkan ada dua orang
laki-laki dari orang-orang ‘âbid, yang beribadah bersamaan. Kata yang
meriwayatkan, bahwa apabila keduanya dimasukkan ke surga, lalu
yang seorang ditinggikan pada tingkat tinggi atas temannya. Maka
seorang itu berkata: “Wahai Tuhanku! Tiadalah orang ini dalam dunia,
lebih banyak ibadahnya daripada aku. Lalu Engkau tinggikannya di
atasku dalam surga tinggi." Maka Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya ia meminta kepadaKu di dunia akan derajat tinggi.
66
Dan engkau meminta padaKu akan kelepasan dari neraka. Maka Aku
berikan kepada setiap hamba akan permintaannya.”71
e. Yang Lebih Utama antara Khauf dan Rajâ’
Khauf dan rajâ’ itu dua macam obat, yang dengan keduanya
hati diobati. Kelebihan keduanya menurut penyakit yang ada. Apabila
yang mendominasi hatinya penyakit aman dari siksaan Allah dan
tertipu diri maka khauflah yang lebih utama. Jika yang lebih keras
putus asanya dan hilang harapan dari rahmat Allah maka rajâ’lah yang
lebih utama. Kekerasan khauf lebih utama karena perbuatan maksiat
dan tertipu diri atas manusia lebih keras. Dan jika dilihat dari tempat
terbitnya khauf dan rajâ’, maka rajâ’ lebih utama karena ia mendapat
siraman dari lautan rahmat. Dan siraman khauf itu dari lautan
amarah.72
Amal atas rajâ’ lebih tinggi daripada atas khauf. Karena hamba
yang paling dekat kepada Allah Swt. adalah yang paling mecintaiNya.
Dan cinta itu dikuatkan dengan rajâ’.73
Ini menunjukkan bahwa ibadah atas harap lebih utama. Karena
kecintaan itu lebih kuat pada orang yang mengharap daripada pada
orang yang takut. Itulah sebab-sebab yang menarik semangat rajâ’ ke
dalam hati orang-orang yang takut dan putus asa.74
Namun kebanyakan manusia lebih patut khauf daripada rajâ’,
karena banyaknya perbuatan maksiat. Manusia pada masa ini lebih
patut bagi mereka kekerasan takut. Dengan syarat tidak membawa
mereka kepada putus asa, meninggalkan pekerjaan dan putus harapan
dari ampunan Allah. Yang demikian itu menjadi sebab bermalas-
malasan kerja dan membawa kepada terjerumus dalam perbuatan
maksiat. Maka yang demikian itu putus asa, bukan khauf.
Sesungguhnya khauf adalah yang menggerakkan kepada bekerja,
71 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 34. 72 Ibid., hlm. 66. 73 Ibid., hlm. 11. 74 Ibid., hlm. 37.
67
mengeruhkan semua nafsu syahwat, mengejutkan hati dari
kecenderungan kepada dunia dan membawanya menjauhkan diri dari
dunia. Inilah khauf yang terpuji.75
Adapun orang yang taqwa yang meninggalkan dosa zahir dan
batinnya, dosa yang tersembunyi dan terangnya, maka yang lebih
benar adalah sedang antara khauf dan rajâ’nya. Abu Ali ar-Rudbary
berkomentar, “Khauf dan rajâ’ adalah seperti sepasang sayap burung.
Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang
dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang
berfungsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan
kemampuannya untuk terbang. Apabila khauf dan rajâ’ keduanya tidak
ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya.”76 Antara
khauf dan rajâ’ hendaknya seimbang. Dan ini adalah tujuan yang
paling jauh bagi orang mukmin.77 Oleh karena itu Allah
menggantungkan ketakutan seorang hamba dengan namaNya ar-
Rahman, bukan al-Jabbar, al-Muntaqim, al-Mutakabbir, dan
sebagainya seperti dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 49-50, al-
Mu’min ayat 3, Ali Imran ayat 28 dan 30, serta surat Qaf ayat 33, agar
perasaan takut disertai dengan ingat kepada rahmat Allah. Agar
seseorang tidak merasa aman dari siksa dan berputus asa dari rahmat.78
Yahya bin Mu’adz berkata: “Siapa yang menyembah
(beribadah) kepada Allah Swt. dengan semata-mata khauf, niscaya ia
tenggelam dalam lautan fikir. Dan siapa yang menyembahNya dengan
semata-mata rajâ’ niscaya ia berada dalam padang pasir ketipuan. Dan
siapa yang menyembahNya dengan khauf dan rajâ’, niscaya ia berjalan
lurus pada tempat beralasannya dzikir.”79
75 Ibid., hlm. 70. 76 Al-Qusyairy An-Naisabury, op.cit., hlm. 134. 77 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 67. 78 Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, hlm. 264-265. 79 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 70.
68
Khauf berlaku sebagai cemeti yang membangkitkan untuk
bekerja. Adapun semangat rajâ’ sesungguhnya menguatkan hati dan
mencintakan ia akan Allah yang kepadaNyalah harapan. Kekerasan
rajâ’ ketika akan meninggal itu lebih patut, karena rajâ’ itu lebih
menghela kepada kasih sayang. Dan kekerasan khauf sebelum
meninggal itu lebih patut, karena khauf itu lebih membakar nafsu
syahwat dan lebih mencegah bagi kecintaan dunia dari hati.80
80 Ibid., hlm. 71.
69
BAB IV
ANALISIS
A. Karakteristik Konsep Khauf dan Rajâ’ al-Ghazali
Dari uraian pada bab sebelumnya, tampak bahwa konsep khauf dan rajâ’
al-Ghazali mempunyai karakteristik tersendiri. Dibandingkan tokoh-tokoh yang
lain, al-Ghazali menjelaskan konsep khauf dan rajâ’ lebih rinci dan sistematis,
mulai dari hakikat, macam, tingkatan, keutamaannya hingga cara memperolehnya.
Dalam penguraiannya beliau juga lebih banyak menuangkan pemikirannya sendiri
daripada mengutip pendapat tokoh yang lain. Disamping itu dalam konsep khauf
dan rajâ’nya, menurut al-Ghazali khauf dan rajâ’ itu merupakan obat bagi
penyakit hati. Sebagaimana yang beliau nyatakan: “Khauf dan rajâ’ itu dua
macam obat, yang dengan keduanya hati diobati. Kelebihan keduanya menurut
penyakit yang ada.”1 Khauf membawa kepada kesehatan badan melalui faedah
khauf yaitu hati-hati, takwa, mujâhadah., ibadah, fikir, dzikir dan sebab-sebab lain
yang menyampaikan kepada Allah.2
Menurut al-Ghazali hakikat khauf dan rajâ’ terdiri atas ilmu, hâl dan amal.
apabila hâl khauf dan rajâ’ tidak membekas pada amal, maka itu tidak dapat
dikatakan sebagai khauf dan rajâ’, akan tetapi hanya merupakan kata hati dan
gurisan di hati.3 Jadi, khauf dan rajâ’ tidak cukup hanya keadaan merasa takut dan
berharap akan sesuatu tetapi keadaan itu harus membawa atau mendorong kepada
amal perbuatan. Oleh karena itu al-Ghazali menyatakan bahwa khauf dan rajâ’
adalah motivator yang dapat menggerakkan dan membimbing pada kebaikan dan
ketaatan serta giat dalam menjalankan kebaikan dan ketaatan, juga giat menjauhi
larangan, meninggalkan kejahatan dan kemaksiatan.4
1 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz IV, terj. Prof. Ismail Yakub dengan judul: Ihyâ’ Al-
Ghazali, jilid VII, cet. III, (Jakarta: C.V. Faizan, 1985), hlm. 34. 2 Ibid., hlm. 48.
3 Ibid., hlm. 46.
4 Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhâj al-
‘Âbidîn: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, (Surabaya: Penerbit Amelia Surabaya, 2006),
hlm. 15.
70
B. Relasi Khauf dan Rajâ’ dengan Gangguan Kecemasan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat
diketahui relasi antara khauf dan rajâ’ dengan gangguan kecemasan. Khauf dan
gangguan kecemasan sama-sama memiliki unsur kecemasan, kedua keadaan
tersebut mencemaskan suatu hal yang belum diketahui dengan pasti, takut jika hal
yang tidak diinginkan terjadi. Namun kedua kecemasan tersebut berlawanan satu
dengan yang lainnya. Khauf bersifat konstruktif sedangkan gangguan kecemasan
bersifat destruktif.
Dari bab sebelumnya telah diketahui bahwa khauf berarti perasaan gelisah
atau cemas terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Khauf adalah
apa yang dimaksudkan dari cemeti. Yaitu membawa kepada amal perbuatan.
Khauf membawa kepada sesuatu yang positif, bekas khauf pada anggota badan,
terwujud dengan mencegah dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mengikatnya
dengan amalan-amalan ta’at untuk mendapatkan lagi masa yang telah lewat dan
untuk menyiapkan untuk masa mendatang. Khauf menghasilkan sifat-sifat yang
mencegah nafsu syahwat dan mengeruhkan segala kesenangan. Lalu perbuatan
maksiat yang sebelumnya disukai menjadi tidak disukai lagi. Dengan begitu
terbakarlah nafsu syahwat dengan khauf. Dan semua anggota badan menjadi
beradab. Sehingga berhasillah dalam hati itu kelayuan, kekhusyukan, kehinaan
diri dan ketenangan. Dan terlepas dari kesombongan, kebusukan hati, dan
kedengkian.5
Jika khauf membawa kepada sesuatu yang positif, sebaliknya gangguan
kecemasan membawa kepada sesuatu yang negatif. Gangguan kecemasan
memiliki efek pelenyapan pada orang dewasa. Gangguan kecemasan menghalangi
perkembangan hubungan-hubungan antar pribadi yang sehat, membuat manusia
tidak sanggup belajar, memperbaiki ingatan, memfokuskan persepsi, bahkan
5 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 44-48.
71
mungkin bisa terjerumus ke dalam amnesi total. Gangguan kecemasan
menghasilkan perilaku-perilaku:6
1. Mencegah manusia belajar dari kesalahan-kesalahan mereka.
Orang dengan gangguan kecemasan tidak dapat megambil pelajaran
dari kesalahan mereka dan memperbaikinya, mereka justru lari dari
kenyataan, melakukan penyangkalan, dan lain sebagainya.
2. Mempertahankan agar mereka terus mengejar harapan-harapan kanak-
kanak terhadap rasa aman.
Ketika seseorang menghadapi kesulitan atau kecemasan, perilaku
sering menjadi kekanak-kanakan atau mundur seperti di masa lalu pada saat
mengalami kenyamanan. Hal ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan
ego, yang disebut regresi.
3. Umumnya memastikan agar manusia tidak akan pernah bisa belajar dari
pengalaman-pengalaman.
Rasa cemas yang tidak wajar membuat orang tidak mau mencoba,
tidak mau berubah, kehilangan kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu,
pesimis, ragu-ragu dan tidak produktif, mengakibatkan kesedihan, ketakutan
yang menumpuk sehingga menjadi stress dan ujungnya depresi dan putus asa.
Menurut Sullivan, rasa cemas biasanya berasal dari situasi-situasi
hubungan antarpribadi yang kompleks dan hadir dalam kesadaran hanya secara
samar-samar. Rasa cemas juga tidak mempunyai nilai positif. Hanya ketika
ditransformasi ke dalam tegangan lain (contohnya rasa marah atau takut) barulah
dia dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang bisa ditangani. Selain itu, rasa
cemas menghalangi pemuasan kebutuhan, sementara rasa takut membantu
manusia memenuhi kebutuhannya.7
6 Feist, Jess dan Gregory J. Feist, Theories of Personality, terj. Yudi Santoso, S. Fil.,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 190-191. 7 Ibid., hlm. 191.
72
Kecemasan mempengaruhi gaya hidup atau berfungsinya seseorang, atau
menyebabkan distress yang signifikan (pada gangguan phobia), keinginan untuk
bunuh diri (pada gangguan panik), dan mengganggu aktivitas.8
Rasa cemas yang timbul pada gangguan kecemasan tidak sebanding
dengan penyebabnya. Reaksi kecemasan terasa lebih berat, lebih cepat dan
menimbulkan kepanikan karena penyebab rasa cemas justru dilupakan seseorang.
Objek gangguan kecemasan juga tidak jelas, berbeda dengan khauf yang objeknya
jelas. Hal ini mengakibatkan semakin sering dihadapi kecemasan itu akan semakin
besar kecemasannya, jadi tidak hilang-hilang bahkan bertambah. Jadi antara
gangguan kecemasan dengan khauf sekalipun sama-sama kecemasan namun
keduanya saling berlawanan.9
Abu al-Qasim al-Hakim berkata: “Siapa yang takut akan sesuatu, niscaya
ia lari daripadanya. Dan siapa yang takut akan Allah, niscaya ia lari kepada
Allah.”10
Begitu pun rajâ’, berlawanan dengan gangguan kecemasan. Gangguan
kecemasan dapat mengakibatkan putus asa, bahkan bunuh diri, sedangkan rajâ’
merupakan obat bagi putus asa. Rajâ’ merupakan kawan khauf, tidak berlawanan
dengannya. Rajâ’ berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan kepada
perbuatan. Khauf adalah penggerak yang lain dengan jalan ketakutan. 11
Setiap orang yang mengharap akan kekasihnya, maka pasti ia takut akan
hilangnya. Maka khauf dan rajâ’ itu saling mengharuskan, mustahil terlepas salah
satu dari yang lainnya dari keduanya. Jadi, setiap apa yang datang dari hadits
tentang kelebihan rajâ’ dan menangis, kelebihan taqwa dan taqwa, kelebihan ilmu
dan celaan aman, maka itu menunjukkan kepada kelebihan khauf. Karena semua
itu menyangkut dengan khauf. 12
8 Jeffrey S Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, Abnormal Psychology in a
Changing World, terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan judul: Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 168-306.
9 Santosa Mulia, Menerjang Rasa Takut: Mengatasi Sumber Ketakutan Selamanya,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hlm. 44. 10
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 44. 11
Ibid., hlm. 10. 12
Ibid., hlm. 61.
73
Itu berarti, khauf dan rajâ’ berlawanan dengan gangguan kecemasan.
Menurut al-Ghazali, cara mengobati hati adalah dengan memberi pengajaran
secara lemah lembut, memperhatikan tempat terjadinya penyakit atau apa
penyakitnya dan mengobatinya dengan memberikan yang berlawanan dengan
penyakit tersebut. Dengan begitu, khauf dan rajâ’ merupakan obat bagi gangguan
kecemasan.13
Menurut al-Ghazali, (dari Rasulullah) dengan menyebutkan sebab-sebab
rajâ’ dan kebanyakan daripadanya, dapat mengobatkan serangan takut yang
bersangatan yang membawa kepada keputus-asaan atau salah satu dari hal-hal itu.
Kesan rajâ’ adalah kenikmatan menghadapkan hati kepada Allah, merasa nikmat
dengan bermunajah dengan Dia dan berlemah lembut dalam berwajah manis
kepadaNya.14
Obat rajâ’ diperlukan bagi orang yang benar-benar putus asa.
C. Peran Khauf dan Rajâ’ dalam Mengatasi Gangguan Kecemasan
Menurut al-Ghazali, khauf dan rajâ’ adalah motivator yang dapat
menggerakkan dan membimbing pada kebaikan dan ketaatan serta giat dalam
menjalankan kebaikan dan ketaatan, juga giat menjauhi larangan, meninggalkan
kejahatan dan kemaksiatan.15
Joice Mc Fadden dalam The Psychology of Hope
memaparkan hal serupa, bahwa baik harapan maupun ketakutan adalah motivator.
Keduanya memiliki kemampuan meningkatkan pendewasaan terhadap sebentuk
persoalan. Bagian terbaik dari sebuah ketakutan adalah mengajarkan tentang apa
yang kita khawatirkan akan musnah. Sedangkan bagian terbaik harapan adalah
mengajarkan bahwa sekali kita tahu tentang apa yang ditakutkan akan musnah,
kita berikhtiar untuk menjaga agar tetap kuat dalam keutuhan.16
Rajâ’ berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan kepada perbuatan.
Hâl rajâ’ akan mewarisi panjangnya mujâhadah dengan amal perbuatan dan rajin
kepada taat bagaimanapun berbalik-baliknya ahwâl.17 Dan khauf adalah
13
Ibid., hlm. 16. 14
Ibid., hlm. 16. 15
Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, hlm. 15. 16
Santosa Mulia, op. cit., hlm. 23. 17
Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, hlm. 73.
74
penggerak yang lain dengan jalan ketakutan. Dengan adanya motivasi seseorang
menjadi memiliki motif untuk hidup dan hidupnya menjadi lebih bermakna dan
jauh dari putus asa. Putus asa ini, berlawanan dengan rajâ’, karena putus asa
memalingkan dari amal.
Sebagaimana pendapat H. D. Bastaman, bahwa harapan dapat menjadikan
hidup ini menjadi bermakna. Harapan—sekalipun belum tentu menjadi
kenyataan—memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang
menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Orang yang tidak
memiliki harapan senantiasa dilanda kecemasan, keputusasaan dan apatisme.
Orang yang berpengharapan selalu menunjukkan sikap positif terhadap masa
depan, penuh percaya diri, dan merasa optimis dapat meraih kehidupan yang lebih
baik. Pengharapan mengandung makna hidup karena adanya keyakinan akan
terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat
ini dan sikap optimis menyongsong masa depan.18
Dan makna hidup ini dijadikan
Victor Frankl sebagai salah satu terapi yang disebut Logoterapi untuk berbagai
ganguan kejiwaan, termasuk diantaranya gangguan kecemasan. Dengan begitu
rajâ’ menjadi terapi untuk gangguan kecemasan dengan menghilangkan salah satu
penyebab kecemasan yaitu hilangnya makna hidup, karena rajâ’ menjadikan
hidup bermakna.
Paduan khauf dan rajâ’ mampu membangkitkan dorongan yang kuat pada
diri kaum muslimin untuk mempelajari sistem kehidupan baru yang diajarkan
Islam termasuk mempelajari metode-metode baru dalam berpikir dan bertindak.19
Harapan (rajâ’) membuahkan penyemangatan dalam pencarian ampunan dan
rahmat Allah, sedangkan buah takut (khauf) adalah penyemangatan dalam lari dari
perbuatan dosa. Rasa takut dari siksa Allah akan mendorong seorang mukmin
untuk berusaha tidak terjatuh dalam perbuatan maksiat dan berpegang teguh
dengan ketakwan pada Allah serta disiplin dalam ibadah kepadaNya dan
melakukan segala sesuatu yang diridhoiNya. Sehingga khauf merupakan tiang
18
Hanna Djumhana Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 50-51.
19Dr. M. ‘Utsman Najati, Al-Qur’ân wa ‘Ilmu al-Nafsi, terj. Ahmad Rofi’ ‘Usmani
dengan judul al-Quran dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1982), hlm. 185.
75
penyangga iman. Keimanan yang benar kepada Allah, nantinya akan melepaskan
seseorang dari takut mati, Karena seorang Mukmin tahu dan yakin bahwa
kematian menghantarkan pada kehidupan akhirat yang abadi dimana akan
menerima karunia dan ridha Allah. Iman kepada Allah juga akan menghilangkan
ketakutan pada selain Allah, kepada kemiskinan dan hal-hal yang membuat
cemas. Khauf pada akhirnya akan membuat terealisasikannya kedamaian psikis,
karena dalam jiwa seorang mukmin penuh dengan perasaan harapan akan
ampunan dan keridhaan Allah.20
Rasa takut merupakan sinyal alami yang dicetuskan apabila ada bahaya
bagi makhluk hidup dan keturunannya sehingga dapat dengan cepat mengadakan
suatu aksi untuk menghindar. Rasa takut juga dapat memberikan motivasi untuk
belajar dan melaksanakan suatu tugas sosial. Ketakutan merupakan anugerah yang
menyadarkan manusia akan ketidakberdayaan dan kebutuhan mereka akan
perolehan bantuan. Ketakutan menjaga manusia tetap sadar dan mawas diri.
Sehingga ia selalu mengingat Allah karena selalu merasa membutuhkan
bantuannya dan ini akan membuat manusia berusaha mendekatkan diri pada
Allah.21
Selain sebagai motivator, menurut al-Ghazali khauf dan rajâ’ berfungsi
menguatkan sabar, sabar tidak mungkin berhasil selain sesudah berhasil khauf dan
rajâ’.22 Dengan kesabaran seseorang cenderung tidak mudah terserang gangguan
kecemasan. Karena orang yang sabar tabah dalam menghadapi segala cobaan
yang menimpanya. Malik bin Dinar menjelaskan tentang manfaat sabar bagi
pelakunya yaitu, kesabaran dapat menjamin kelanggengan interaksi hamba dengan
Allah (mu'âmalah), menjaga keislamannya, menambah keharmonisan hubungan
antar sesama dan menghalangi munculnya kejahatan. Sedangkan Abdullah bin al-
Mubarak mengatakan, "Kesabaran memberikan kenikmatan dalam beramal. Jika
seorang hamba tidak memiliki kesabaran, ia tidak akan mampu mencapai derajat
orang bertakwa. Sebab salah satu ciri orang bertakwa adalah sabar atas
penderitaan yang menimpanya." Di dalam kesabaran terdapat keselamatan di
20
Ibid., hlm. 71-76. 21
Santosa Mulia, op. cit., hlm. 68. 22
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 73.
76
dunia dan akhirat. Di dunia mendapat kemuliaan dan di akhirat berlimpah
pahalanya.23
Faedah khauf sendiri adalah hati-hati, takwa, mujâhadah, ibadah, fikir,
dzikir dan sebab-sebab lain yang menyampaikan kepada Allah. Dan setiap yang
demikian membawa kehidupan serta kesehatan badan dan kesejahteraan akal.
Karena semua itu membawa pada ketenangan. Dengan berhasilnya khauf
berhasillah dalam hati itu kelayuan, kekhusyukan, kehinaan diri dan ketenangan.
Sedangkan faedah rajâ’ adalah menumbuhkan optimisme dan semangat
beramal.24
Bagi orang-orang yang khauf Allah melimpahkan petunjuk, rahmat, ilmu
dan ridha. Dengan petunjuk dari Allah dan ilmu, orang akan selalu menemukan
jalan terbaik, jalan yang lurus dan tidak akan dilanda kebingungan. Dan dengan
limpahan rahmat dan ridha Allah orang akan mencapai puncak kebahagiaan.
Semua ini menghilangkan kecemasan. Selain itu, orang yang khauf akan
disibukkan dengan murâqabah, muhâsabah, mujâhadah dan dzikir. Dengan
murâqabah seseorang akan merasa dekat dengan Allah.
Demikianlah peran khauf dan rajâ’ dalam memberikan terapi terhadap
gangguan kecemasan. Untuk memberikan terapi dengan mengubah atau
memperbaiki kepercayaan atau pemikiran orang tersebut, karena sumber
kegelisahan seseorang berasal dari kepercayaan atau pemikiran orang tersebut.25
Caranya yaitu dengan memberinya pemahaman bahwa yang seharusnya ditakuti
hanyalah Allah, karena kekuasaan berada di tangan Allah. Pemahaman ini dapat
diperoleh secara sempurna dengan cara menyempurnakan ma’rifah. Dan ma’rifah
hanya dapat diperoleh dengan ilmu. Jika ma’rifah telah dicapai, maka tercapailah
khauf, dan jika telah sampai pada tahap ini maka tidak ada lagi yang ditakuti
selain Allah. Karena khauf dan rajâ’ tidak dapat dipisahkan, maka harus
disebutkan sebab-sebab yang menghadirkan rajâ’ untuk menyembuhkan orang
23
'Abd Al-Wahhab Al-Sya'rani, 99 Akhlak Sufi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004),
hal. 52-55 24
Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, hlm. 48. 25
Santosa Mulia, op. cit., hlm. 48.
77
yang putus asa atau pada orang yang dicekam oleh ketakutan. Rajâ’ ini akan
sempurna dari hâl, ilmu dan amal. Begitupun dengan khauf.
Adapun cara memperoleh khauf yaitu dengan:26
1. Mengingat banyaknya dosa yang telah diperbuat dan banyaknya musuh
yang berbahaya
2. Mengingat kepedihan siksa Allah yang tidak akan kuat ditanggung
3. Mengingat akan kelemahan diri dalam menanggung siksa Allah
4. Mengingat kekuasaan Allah terhadap diri
Dan cara memperoleh rajâ’ dengan:27
1. Mengingat karunia Allah yang telah dirasakan
2. Mengingat janji Allah mengenai pahala yang agung dan kemuliaan yang
besar
3. Mengingat besarnya nikmat Allah yang telah diberikan dalam urusan
agama dan kebutuhan keduniaan yang berupa berbagai macam bantuan
dan karunia-karunia yang lembut
4. Mengingat luasnya rahmat Allah, yang kedatangannya lebih dulu
mengalahkan kemurkaanNya, serta mengingat bahwa Allah adalah Tuhan
yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kaya, Maha Pemurah dan
belas kasih kepada hamba-hambaNya yang beriman.
26
Al-Ghazali, Minhâj al-‘Âbidîn, hlm. 256. 27
Ibid., hlm. 257.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep Khauf dan Rajâ’ Al-Ghazali
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa konsep
al-Ghazali tentang khauf dan rajâ’ berbeda dengan tokoh-tokoh tasawuf yang
lain. Al-Ghazali menguraikan lebih lengkap mengenai apa dan bagaimana
khauf dan rajâ’ itu. Konsep khauf dan rajâ’ al-Ghazali yaitu:
a. Khauf adalah suatu getaran dalam hati berupa kepedihan dan
kebakaran hati ketika ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak
disukai.
b. Khauf dan rajâ’ adalah motivator yang dapat menggerakkan dan
membimbing pada kebaikan dan ketaatan serta giat dalam
menjalankan kebaikan dan ketaatan, juga giat menjauhi larangan,
meninggalkan kejahatan dan kemaksiatan.
c. Hâl khauf terdiri atas ilmu, hâl dan amal. Ilmu menjadi sebab yang
menggerakkan dan membangkitkan khauf.
d. Tingkatan khauf terdiri dari khauf yang singkat, sedang dan sangat.
Khauf yang terpuji adalah yang sedang, yang membawa kepada amal
perbuatan
e. Rajâ’ sesungguhnya adalah menunggu yang disukai yang nyata semua
sebab-sebabnya dari usaha hamba. Dan rajâ’ itu sesungguhnya
sesudah kuatnya sebab-sebab.
f. Raja’ akan sempurna dari ilmu, hâl, dan amal. Ilmu adalah sebab yang
membuahkan hâl. Dan hâl menghendaki amal.
g. Khauf dan rajâ’ itu dua macam obat, yang dengan keduanya hati
diobati.
79
2. Peran Khauf dan Rajâ’ dalam Memberikan Terapi terhadap
Gangguan Kecemasan
Dalam memberikan terapi terhadap gangguan kecemasan, khauf dan
rajâ’ berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan kepada perbuatan dan
menguatkan sabar. Dan Faedah rajâ’ menjadikan hidup ini menjadi bermakna
karena dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Sedangkan faedah khauf
sendiri adalah hati-hati, takwa, mujâhadah, ibadah, fikir, dzikir dan sebab-
sebab lain yang menyampaikan kepada Allah dan ini membawa kepada
kesehatan badan.
B. Saran
1. Saran bagi akademisi
Karena kajian ini membahas tentang terapi bagi salah salu gangguan
kejiwaan dengan konsep tasawuf, maka penulis merasa kajian ini bisa
memberi kontribusi dalam sufi healing jika potensi yang terkandung
dalamnya dimaksimalkan. Penulis sarankan agar kajian ini bisa ditindak
lanjuti dengan penelitian yang berkesinambungan.
2. Saran bagi pembaca
Dari semua paparan yang telah penulis sajikan tentu masih banyak
kekurangan, dan belum tecapai secara maksimal. Mengingat tema yang
penulis angkat masih menjadi problema serius dalam masyarakat, maka
pendalaman masih sangat dibutuhklan bagi orang-orang awam pada umumnya
tentang masalah ini. Untuk itu penulis sarankan bagi pembaca untuk lebih
banyak mempelajarinya dari literatur-literatur terkait.
Penulis juga menyarankan penelitian ini tidak hanya menjadi bahan
bacaan saja, akan tetapi bisa dipraktekkan secara nyata.
80
DAFTAR PUSTAKA
A.T., Andi Mappiare, Kamus Istilah Konseling & Terapi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006. Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami, cet. IV, Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, 2005.
, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003. Chaplin, J. P., Dictionary of Psychology, cet. 7, terj. Kartini Kartono dengan
judul: Kamus Lengkap Psikologi, cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist, Theories of Personality, terj. Yudi Santoso, S.
Fil., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Prof. Ismail Yakub dengan judul: Ihyâ’ Al-
Ghazali, jilid IV dan VII, cet. III, Jakarta: C.V. Faizan, 1985. , Minhâjul ‘Âbidîn, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhajul
‘Abidin: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, Surabaya: Penerbit Amelia Surabaya, 2006.
, Kegelisahan Al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual,
diterjemahkan dari Kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalâl dan Kîmiyâ as-Sa’âdah oleh Achmad Khudori Soleh, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Al-Ghazali, Muhammad, Jaddid Hayyatak, terj. Drs. Hamid Luthfi dengan judul
Perbarui Hidupmu, cet. VII, Bandung: Gema Risalah Press, 1996. Al-Habsyi, Husain, Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil: Yayasan Pesantren
Islam, 1986. Hall, Calvin S., Freud, terj. Dudi Missky dengan judul Freud: Seks, Obsesi,
Trauma dan Katarsis, Jakarta: Delapratasa, 1995. Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, cet. IV, Jakarta: Lantabora Press, 2003. Al-Jauzi, Ibnul Qayyim, Ad-Da’u wa Ad-Dawâ’, terj. Salim Bazemool dengan
judul Terapi Penyakit Hati, cet. 2, Jakarta: Qisthi Press, 2005. Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit
Amzah, 2005.
81
Masharuddin, “Intelektualisme Al-Ghazali”, dalam Amin Syukur dan
Masharudin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Maslim, Rusdi (ed.), Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III,
Jakarta: PT Nuh Jaya, 2001. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, cet.26, Bandung:
Rosdakarya, 2009. Muhammad, Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi: Telaah atas
Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Muhaya, Abdul, “Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual”, dalam
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur dan Dr. Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Mulia, Santosa, Menerjang Rasa Takut: Mengatasi Sumber Ketakutan Selamanya,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2009. An-Naisabury, Al-Qusyairy, Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi At-Tasawufi, terj.
Mohammad Luqman Hakim dengan judul Risalatul Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
An-Najar, Amir, At-Tasawwuf An-Nafsi, terj. Ija Suntara dengan judul:
Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Jakarta: Hikmah, 2004. Najati, M. ‘Utsman, Al-Qur’ân wa ‘Ilmu al-Nafsi, terj. Ahmad Rofi’ ‘Usmani
dengan judul Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Penerbit Pustaka, 1982. Nevid, Jeffrey S, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, Abnormal Psychology
in a Changing World, terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
dengan judul: Psikologi Abnormal, Jakarta: Erlangga, 2005. Al-Qorni, Uwes, 60 Penyakit Hati, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Ramaiah, Savitri, Kecemasan: Bagaimana Mengatasi Penyebabnya, Jakarta:
Pustaka Populer Obor, 2003. Siregar, Rivay, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, cet. II, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002. Sri, Mulyati (ed.), Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005. Sudarsono, Kamus Konseling, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1996. Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, cet. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
82
El-Taftazani, Abu Al-Wafa, “Peran Sufisme dalam Masyarakat Modern”, dalam
Ali, Mukti, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998.
Taimiyah, Ibnu, Tazkiyatun Nafs, terj. M. Rasikh, Lc. dan Muslim Arif, Lc.
dengan judul Tazkiyatun Nafs: Menyucikan Jiwa dan Menjernihkan Hati dengan Akhlak yang Mulia, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008.
Taufiq, Imam, Maqamat dan Ahwal (Tinjauan Metodologis), dalam Simuh, dkk.,
Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Taufiq, Muhammad Izzuddin, At-Ta’sil al-Islami li al-Dirasat an-Nafsiyah, terj.
Sari Nurlita, Lc. dkk. dengan judul Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta: Gema Insani, 2006.
At-Thusi, Abdullah bin Ali As-Sarraj, Al-Luma’ fi Târikh At-Tasawuf Al-Islâmî,
Libanon: Dar Al-Qathab Al-Ilmiyah, 2007. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, cet. III, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Wahid, Muhyiddin ‘Abdul, Da’ al-Qalaq wa Jadid Sa’adatik, terj. Roni
Mahmudin dan Muh. Ashar dengan judul: Don’t Worry, Be Happy: Kiat-Kiat Jitu Mengalahkan Kegelisahan Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah, Jakarta: Hikmah, 2005.
Az-Zahrani, Musfir bin Said, At-Taujih wa Al-Irsyâdun nafsi min Al-Qurân Al-
Karîm wa As-Sunnah An-Nabawiyyah, terj. Sari Nurlita, Lc. dan Miftahul
Jannah, Lc. dengan judul Konseling Terapi, Jakarta: Gema Insani, 2005.
I. Sumber Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali
http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html
http://ihyaulumudin2.blogspot.com/2008/05/lebih-utama-khauf-atau-
raja.html/30/08/2010/
http://ibnuabdulbari.wordpress.com/2011/01/11/apa-bedanya/31/5/2011/Posted
Januari 11, 2011 by ibnuabdulbari
http://tamankerinduan.blogspot.com/2009/04/antara-khauf-dan-
raja.html/30/08/2010
http://ferrydjajaprana.multiply.com/journal/item/338/Takut_Khauf_dan_Harap_R
aja
http://berandamadina.wordpress.com/2010/05/29/khauf-rasa-takut-kepada-allah-
swt/
RIWAYAT HIDUP
Nama : Shanty Puspitasari
Tempat, Tanggal Lahir : Wonosobo, 30 September 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jatisari Asri Blok A3 No.6 Rt. 02 Rw. VI, Mijen, Semarang
Pendidikan : SDN 01 Boja lulus tahun 2000
SMP Muhammadiyah 02 Boja lulus tahun 2003
SMAN 01 Boja lulus tahun 2006