Post on 30-Mar-2019
KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA
DALAM KITAB AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ryan Alfian
NIM: 1110034000080
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2014 M.
1.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2014
2.
J.
Ciputat,28 Oktober
Ryan Alfian
KONSEF KEPE &{ I &4 p} hrAru &,g $i ru Lr g{ [ 1'g. sA'6 F] ggA q&, 1&/ADA{-A&{ K{?'ABrg-,4s.{s yf ag_-gars,gg* g}Aru ae__Esg_Aw
SkripsiDiaj ukan kepada Fakultas Ushrrludclin
untuk Memenul:i lrersyaratan Meirper*lchGelar Sarjana Theoi*gi lslarn {S.,Iii. l}
Cieh:
Rya_n AlfiegNIM: 11 l0ci34000Sii
PROGRAN{ STUDI TAFSIR }IADiSFAKULTA S {ISH UL [iDDIhi_
trNlvERSrrAS rsLAM NE GER| syARrF H{B,4,YAT[J n-LA,]{JAKARTA
1436H.nar4 M"
Perirbiinbing,
FEIiIGESAHAF{ PANTTFA U.3SAN
skripsi berjudul KoNsEF KHPEVI{&.{F$HAN e,FENuHe{i t- srt,?6}gAl}lryA DALAM KrrAB At--as.as ri ax-:ragEyg flpAro.*'&_rsn"6.,r.f relahdiu.jikan dalain sidang mrinaclasl,ah Fakultas Usliujuddin Uil.i S;,;11jj, F{ida-yaiiiilair
'iakarta pada tanggal28 oktobei"20l4. sliripsi ini telah diterjrna sebagar salah sa.tra
syara't memperoleh gelar sa{ana Thc*l+gr Islaie {s rh.i) pa.4a Fr+gran: *{tr:<_!i
Tafsir-Hadis.
.jakarta, 28 Oktaber 20i4
Sidang ll{unaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Anggota,
Penguji I
HtAhmad Rifqi Muchtar. MA
NIP: 196908221997W t A{Jz
T'(L
iii
l/b-td
*Jauhar Aziz_v" ir,,,tA
NIP: 1982082i 20090 j i 0l:
I {i03
Pengu.li 11
,Erra tli,ei;d. MA1971{}6A7 199803
NIP: 19620624 200003 1 001
iv
ABSTRAK
Ryan Alfian
KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB
AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM
Setelah Rasulullah Saw. wafat, banyak permasalahan yang muncul,
baik permasalahan dalam bidang agama, sosial, politik, budaya, dan lail-lain.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah tentang kepemimpinan. Pasca
wafatnya Rasulullah, tidak dijelaskan apakah Islam memerintahkan untuk
mendirikan negara Islam atau tidak, serta tidak spesifiknya Islam di dalam
mengatur urusan politik dan pemerintahan. Skripsi ini mempunyai tujuan
membahas tentang kepemimpinan menurut Saʻîd Hawwa. Metode awal yang
penulis lakukan adalah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan kepemimpinan, dengan merujuk kepada “Tafsir Al-Qur’an Tematik
Kementrian Agama RI”. Setelah itu penulis mencoba untuk memasukan
penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tersebut dengan merujuk kepada
kitabnya al-Asâs fî al-Tafsîr. Untuk memperluas pandangan Saʻîd Hawwa tentang
kepemimpinan, penulis juga merujuk kepada salah satu karyanya yakni kitab al-
Islâm. Data yang didapat dideskripsikan, setelah itu menganalisanya secara
proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang
berhubungan dengan pokok pembahasan.
Sa’îd Hawwa di dalam menjelaskan kepemimpinan, dimulai dengan
membahas tema khilâfah. Pada pembahasan selanjutnya, adalah hal-hal yang
berkaitan dengan kepemimpinan dan pemimpin. Seperti, bagaimana cara
mengangkat seorang pemimpin, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, bagaimana seorang pemimpin bisa diturunkan dari jabatannya, serta
apa saja yang menjadi kewajiban dan hak dari seorang pemimpin.
Setelah mendeskripsikan serta menganalisa data yang terdapat dalam
kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm, penulis mendapatkan beberapa poin
penting dari kedua kitab tersebut, bahwa seorang pemimpin harus beragama
Islam, tidak bisa seorang non-Muslim dijadikan seorang pemimpin. Selanjutnya,
sekalipun banyak tugas yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, tetapi jika
dikelompokkan ada dua tugas utama dari seorang pemimpin, pertama adalah
menegakkan agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-tugas kenegaraan
dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Kemudian hal yang
paling sering dibicarakan adalah, bahwa seorang pemimpin harus selalu
menegakkan keadilan dalam menetapkan hukum dan aturan, serta harus selalu
bermusyawarah di dalam mengambil sebuah keputusan.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis ucapkan sebagai rasa syukur yang tak terhingga
kepada Tuhan seluruh alam, Allâh Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB
AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM.
Salawat teriring salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad Saw. yang kehadirannya di dunia ini menjadi pelita bagi
umat serta ajarannya yang senantiasa membimbing kita menuju kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita semua umatnya akan mendapat
pertolongan dari beliau pada hari pembalasan nanti. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan ini, banyak pihak yang turut
membantu dan memberi andil, baik telah membarikan ilmunya maupun telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis, terutama kepada dosen
pembimbing, sehingga tulisan ini dapat penulis selesaikan. Maka dari itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak,
diantaranya adalah:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. Selaku rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu berupaya untuk
menyediakan fasilitas yang terbaik bagi para mahasiswa di Fakultas
Ushuluddin.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Tafsir-Hadis
Fakultas Ushuluddin. Bapak Jauhar Azizy, MA selaku Sekretaris Jurusan
Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin, yang telah banyak memberikan
waktunya bagi penulis untuk berkonsultasi tentang skripsi yang penulis
angkat.
4. Bapak Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. Selaku dosen pembimbing penulis
yang sudah memberikan banyak ilmu, arahan dan masukan sehingga
vi
skripsi ini dapat selesai. Penulis memohon maaf jika selama masa
bimbingan terdapat kesalahan, baik yang disengaja maupun tak disengaja.
Semoga ilmu yang bapak berikan akan menjadi ilmu yang bermanfaat
untuk penulis.
5. Bapak Eva Nugraha, MA dan Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku
dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan, serta
kritikan yang membangun sangat penulis rasakan untuk mengahasilkan
skripsi yang lebih berkualitas.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Tafsir Hadis yang telah
memberikan ilmunya untuk penulis, semoga dengan ilmu yang diberikan
ini dapat membimbing penulis pada jalan kebaikan. Penulis berharap
semoga semua ilmu yang diberikan oleh seluruh dosen bernilai kebaikan
di sisi Allâh Swt.
7. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, tempat-tempat yang selalu
memberi kenyamanan, inspirasi dan menjadi saksi, serta banyak
membantu dalam menyediakan referensi-referensi disaat penulis
menyusun skripsi ini.
8. Kedua orangtua tua tercinta, yang jasanya tak akan pernah terbalas
sepanjang masa, ibunda Tihani dan ayahanda Supriyanto Kustanto.
Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk keduanya.
Terimakasih atas segala do’a, nasihat, semangat dan semuanya yang telah
diberikan penulis, yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya
hingga saat ini. Tuhan, izinkan aku untuk meraih kesuksesan hidup
sehingga aku dapat mengukir senyum di wajah keduanya. Semoga ayah
dan umi selalu berada dalam lindungan Allâh Swt.
9. Kepada segenap keluarga, kerabat, kakanda Nurhaidah, “encang-encing”
serta semuanya yang mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu,
terimakasih atas segala dukungan doa dan semangatnya selama penulis
menyusun skripsi ini.
vii
10. KH. Bahruddin, MA. Pimpinan pondok pesantren Dar El-Hikam, Pondok
Ranji, yang telah banyak membantu penulis di dalam menterjemahkan
kitab-kitab al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan
beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt.
11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep. yang selalu menyemangati penulis dikala
suka maupun duka, yang senantiasa sabar dan ikhlas serta banyak
meluangkan waktunya untuk menemani penulis di dalam menyusun
skripsi ini, serta untuk semua kebaikan yang telah diberikan, semoga
skripsi ini menjadi hadiah istimewa untukmu. Terimakasih yang tulus
penulis ucapkan kepadamu yang selalu ada untukku. Semoga apa yang
menjadi harapan kita dikabulkan oleh Allâh Swt.
12. Kepada semua teman-teman jurusan Tafsir-Hadis 2010, khususnya kepada
teman-teman TH-C 2010, penulis ucapkan terimakasih kepada semuanya.
Semoga hari-hari yang pernah kita lewati bersama, akan menjadikan kita
semua menjadi satu keluarga yang tak akan saling melupakan. Semoga
kita semua menjadi individu yang berguna untuk agama dan masyarakat.
13. Teruntuk teman-teman terbaik yang selalu bersama-sama dan selalu ada
untuk penulis, baik dari semenjak penulis masuk bangku perkuliahan
hingga menyusun skripsi ini, yakni kepada sahabat Alamuddin Syah,
Ahmad Ubaidillah, Aceng Aum Umar Fahmi, M. Lailu Ramadhona, M.
Afwan Al-Muta’ali, Abdus Salam, Abdur Rijal, Januri, Cep Supriadi,
Ilmawan Hikmansyah, Adi Sunarya, Aceng Muchtar Rosyadi,
Shalahuddin Al-Faruqi, Ahmad Ghazali, geng “Kuya Rangers” dan
semuanya, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga
persahabatan yang telah kita rajut, akan terus berlanjut untuk selamanya.
14. Kepada semua teman-teman yang tergabung dalam FORMABI (Forum
Mahasiswa Bidik Misi) 2010, penulis ucapakan terimakasih atas
persahabatan dan persaudaraan yang telah terbina selama berada di bangku
perkuliahan.
15. Kepada seluruh sahabat Alfalah 36. Terimakasih atas segala doa dan
motivasinya. Semoga kita semua menjadi manusia yang bermanfaat.
Aamiin.
viii
16. Kepada para sahabat yang tergabung dalam GEMMA (Generasi Muda
Musholla Al-Amin), penulis ucapkan terimakasih atas segala doa dan
semangat yang diberikan selama penulis menyusun skripsi ini.
17. Kepada semua kyai, ustadz, guru, kerabat, saudara, sahabat dan semua
pihak yang telah membantu dan mendoakan penulis di dalam menyusun
skripsi ini, dan mohon maaf tidak bisa penulis sebutkan namanya satu
persatu, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga. Semoga
semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, bernilai kebaikan di
sisi Allâh Swt.
Tangerang Selatan, Oktober 2014
Ryan Alfian
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ، ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
x
w we و
h ha ھ
ʼ apostrof ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
------ a fathah
------ i kasrah
------ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ي ------ ai a dan i
و ------ au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ا-- â a dengan topi di atas
ي-- î i dengan topi di atas
و-- û u dengan topi di atas
xi
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-
huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-
darûrah, demikian seterusnya.
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN …...............……………….............…......…........ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............…….……..….......... ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... ix
DAFTAR ISI ………………….......………...............………………................. xii
BAB I: PENDAHULUAN …………...………………...................................… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………..…………...................… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..……….………….... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 10
D. Studi Pustaka …….......………………………..………....................11
E. Metodologi Penelitian...………................……...…….…………..... 13
F. Sistematika Penulisan …..…………………………....………....…. 15
BAB II: PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA …………................ 16
A. Saʻîd Hawwa........ …………………………….............………….... 16
1. Biografi Saʻîd Hawwa ...................................................................16
2. Karya-karya Saʻîd Hawwa ........................................................... 21
B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr …..............................…………………. 25
1. Metode dan Corak Penafsiran ...................................................... 25
2. Sistematika Penulisan ................................................................... 29
3. Referensi Penulisan ...................................................................... 31
4. Kelebihan dan Kekurangan .......................................................... 33
xiii
BAB III: KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SAʻÎD HAWWA ..................... 36
A. Khilafah …………………............................................................... 36
B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi) ........................... 41
1. Pengertian Khilafah .................................................................... 41
2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib .................... 44
3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin .................. 45
C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin ................... 50
1. Islam ........................................................................................... 50
2. Laki-laki ...................................................................................... 53
3. Akil Balig .................................................................................... 54
4. Pandai ......................................................................................... 56
5. Adil ............................................................................................. 57
6. Mempunyai Kemampuan ............................................................ 60
7. Sehat Jasmani .............................................................................. 61
8. Keturunan Quraisy ...................................................................... 62
D. Pengangkatan Seorang Pemimpin ................................................... 64
1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan
Agama ............................................................................................... 64
2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin ................................................ 65
3. Pencopotan Seorang Pemimpin .................................................. 67
4. Cacatnya Keadilan ...................................................................... 67
5. Kecacatan Pada Tubuh ............................................................... 69
E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin.................................... 71
1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin ................................... 72
2. Hak-hak Seorang Pemimpin ........................................................ 77
BAB IV: PENUTUP ……….………………..................…................................ 83
A. Kesimpulan …….………………………………………………...... 83
B. Saran .............….………...................……….................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an bagi umat Islam adalah sebagai konstitusi (hukum dasar) untuk
kehidupan di dunia dan akhirat, memuat prinsip-prinsip umum dan membiarkan
rinciannya diterangkan oleh sunnah dan ijtihad para mujtahid sepanjang masa.
Misalnya al-Qur‟an hanya menyebutkan teks atau lafalnya saja, namun dari
redaksi dan lafal inilah para mujtahid atau mufasir dapat mengimplementasikan
secara rinci makna lafal tersebut menjadi suatu konsep utuh yang dijadikan
pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, seperti khalîfah (wakil, pengganti,
pemimpin), syûrâ (permusyawaratan, demokrasi), al-„adl (keadilan), al-mulk
(kedaulatan, kerajaan).1
Dalam firman Allâh Swt. dikatakan bahwa al-Qur‟an itu sudah bersifat
final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah Saw. adalah
pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Allâh
Swt. berfirman dalam surah al-An‟âm/6: 115 sebagai berikut:
“Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu (al-Qur‟an) sebagai kalimat
yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan Dia
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”2
1 Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Jakarta:
Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 180. 2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h.
142.
2
Hamka mengatakan tentang ayat di atas bahwa kebenaran wahyu Ilahi itu
tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran asli dari Dia dan keadilanpun dari Dia.
Tidak ada hakim lain dan hukum lain yang dapat melebihi itu. Undang-undang
kebenaran dan keadilan yang diwahyukan Allâh adalah untuk kepentingan umat
manusia, bukan untuk mempertahankan kekuasaan Allâh.3
Al-Qur‟an membicarakan segala aspek kehidupan tentang manusia.
Bagaimana cara manusia harus berhubungan dengan Allâh (hablun mina Allâh),
serta bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain (hablun mina al-
Nâs).
Salah satu yang menjadi ajaran serta pembicaraan di dalam al-Qur‟an
adalah tentang kepemimpinan. Di dalam al-Qur‟an terdapat cukup banyak
petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, isyarah-isyarah, yang memberikan petunjuk
bahwa masalah kepemimpinan dan pemimpin tersebut, adalah merupakan
keharusan di dalam masyarakat dan umat. Setidak-tidaknya fardhu kifayah bagi
setiap Muslim.4
Allâh Swt. berfirman dalam surah Âli „Imrân/3: 104 sebagai berikut:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”5
Di dalam ayat ini terkandung perintah Tuhan, kepada setiap Muslim, agar
selalu menyeru kepada perbuatan baik dan selalu mencegah dan menjauhi
3 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 14.
4 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam (Palembang: Al-Mukhtar,
1997), h. 11. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 63.
3
perbuatan munkar, keji dan jahat. Jadi intinya adalah memerintahkan setiap
Muslim itu untuk memimpin manusia ke arah perbuatan baik, berfaedah, dan
menjauhi kejahatan dan semua perbuatan munkar, buruk, keji, dan tercela.6
Kepemimpinan pada dasarnya adalah rahmat dan karunia Allâh pada
seseorang dan sekaligus merupakan amanat Allâh dan umat kepadanya. Pemimpin
adalah pemegang amanat dan harapan umatnya untuk memimpin, membelanya
dan melindunginya yang semuanya harus dituntaskan dan dipertanggungjawabkan
kepada Allâh dan umatnya.7
Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar
ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan mulia yang mengatakan bahwa
pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu
pekerjaan, merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi pemimpin pada suatu
organisasi pada posisi yang terpenting.8
Rasulullah juga membahas tentang kepemimpinan di dalam hadis yang
beliau sabdakan yang berbunyi;
ز رض ع عبد انهو ب دنبر ع عبد انهو ب بعم حدثن يبنك ع حدثنب إس
ب انهو عني
رعتو كهكى يسئل ع سهى قبل أنب كهكى راع و رسل انهو صهى انهو عه أ
انزجم راع عهى أىم رعتو يسئل ع ى فبنإيبو انذي عهى اننبس راع
يسئل ى تو ب ى نده جيب ت س زأة راعت عهى أىم ب ان رعتو ع
6 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 11.
7 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 159.
8 Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), h. 1.
4
يسئل عنو أنب فكهكى راع ى عبد انزجم راع عهى يبل سده يسئنت عنيى
رعتو 9كهكى يسئل ع
“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku
Malîk dari „Abdullah bin Dinâr dari „Abdullâh bin „Umâr radiallahu 'anhuma,
Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang
memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan
dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin
terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin
terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya,
ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Membicarakan kepemimpinan memang menarik, dan dapat dimulai dari
sudut mana saja ia akan diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi
perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya
dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya
suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak
manusia memiliki kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang
yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya
kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.10
Kepemimpinan di bidang apapun berhubungan dengan ketaatan dan
loyalitas. Dalam kepemimpinan rumah tangga, loyalitas pertama adalah kepada
Allâh dalam menjalankan hukum di dalam keluarga. Pria sebagai suami adalah
pemimpin yang harus ditaati oleh seorang istri dan anak-anaknya sebagai anggota
keluarga. Ketaatan kepada suami dan ayah dalam batas-batas yang telah
9 Muẖammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 (Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh,
2001), h. 42. 10
Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, h. 3.
5
ditetapkan hukum Allâh, sebagai kepala rumah tangga, merupakan suatu
keharusan. Rumah tangga adalah unit terkecil masyarakat.11
Begitu juga di dalam masyarakat, ada yang disebut dengan pemimpin
formal seperti lurah, camat, bupati, gubernur, dan presiden; dan warga atau rakyat
harus taat kepada pemimmpinnya. Keberhasilan pemimpin sangat ditentukan oleh
kepemimpinan informal di rumah tangga dan keberhasilan kepemimpinan rumah
tangga adalah anak tangga dasar menuju kepemimpinan masyarakat yang berhasil.
Realitas di berbagai negara di seluruh dunia berbicara, kepemimpinan pada
umumnya dimulai dari bawah. Keberhasilan dari bawah inilah yang membuat
masyarakat memilih seseorang untuk kepemimpinan yang lebih tinggi.12
Di dalam al-Qur‟an, minimal terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan
kepemimpinan manusia atas manusia lainnya. Kata tersebut adalah khalîfah,
imâmah dan imârah/amîr. Kata imâmah atau imâm terambil dari kata amma-
ya‟ummu, yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Ibu, dinamai dengan
umm, karena anak selalu menuju kepadanya; depan dinamai amâm karena mata
selalu tertuju kepadanya dan sebab ia berada di depan. Demikian juga seorang
imam dalam salat adalah orang yang posisinya berada di depan makmum dan
gerak-geriknya diteladani oleh para makmum. Dengan demikian, secara umum
dipahami bahwa seorang imam (pemimpin) adalah orang yang diteladani oleh
masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan dalam membimbing
masyarakatnya.13
11
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, h. 182. 12
Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), h.
70. 13
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387.
6
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, bahwa
setelah kematian Rasulullah Saw. tidak dijelaskan secara pasti apakah Islam
memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan negara Islam. Hal
penting lain ialah kurang spesifiknya ketentuan-ketentuan Islam dalam mengatur
sistem politik dan pemerintahan.14
Melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat,
penulis ingin membahas bagaimana konsep kepemimpinan yang telah diajarkan
Allâh di dalam al-Qur‟an, dengan mengangkat salah seorang tokoh ulama yaitu
Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama al-Asâs fî al-
Tafsîr dan kitab al-Islâm.
Beberapa alasan penulis mengangkat tokoh Saʻîd Hawwa untuk membahas
tema tentang kepemimpinan ialah, Saʻîd Hawwa merupakan tokoh yang terlibat
langsung dalam politik dan banyak menulis buku-buku yang banyak
membicarakan masalah politik dan kepemimpinan dalam karya-karyanya, serta
Saʻîd Hawwa merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam jamaʻâh
Ikhwân al-Muslimîn.15
Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Syaikh Saʻîd bin Muẖammad Dib
Hawwa. Beliau dilahirkan di kota Hamat, Suriah, pada tahun 1935 M. Ibunya
meninggal dunia ketika usianya baru dua tahun, lalu diasuh oleh neneknya. Di
bawah bimbingan bapaknya yang termasuk salah seorang mujahidin pemberani
melawan Prancis, Saʻîd Hawwa muda berinteraksi dengan banyak pemikiran.
14
Mhd. Yunus RKT, Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam
(Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014), h.3. 15
Muhammad Pisol, Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa (Disertasi:
Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000). h. I.
7
Tetapi akhirnya Saʻîd Hawwa bergabung ke dalam jamâ‟ah Ikhwân al-Muslimîn
pada tahun 1952 M, ketika masih duduk di kelas satu SMA.16
Bergabungnya Saʻîd Hawwa ke dalam jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn
membawanya masuk ke dalam banyak perseteruan dengan rezim pemerintah yang
berkuasa saat itu. Saʻîd Hawwa semasa kuliah pernah mengikuti tiga kali
demonstrasi, pertama ketika Ikhwân al-Muslimîn Suriah menuntut dimasukannya
kepanduan di sekolah tsanawiyah, kedua pembelaan terhadap pembantaian
Ikhwân al-Muslimîn di Mesir, ketiga peringatan duka atas perjanjian Belfour.
Dalam ketiga aksi demonstrasi ini Saʻîd Hawwa menjadi pembicara resmi dari
Ikhwân al-Muslimîn.17
Ikhwân al-Muslimîn, yang kalau disalin secara harfiah ke dalam bahasa
Indonesia berarti Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi yang
didirikan di Ismailiyah, sebelah Timur Laut Kairo, pada tahun 1928 oleh seorang
tokoh agama yang karismatis, Syeikh Hasan al-Banna. Dalam sepuluh tahun
pertama sejak didirikan, organisasi itu memusatkan perhatiannya kepada kegiatan-
kegiatan reformasi moral dan sosial.18
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Ikhwân al-Muslimîn terlibat secara
langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiata-kegiatannya menentang
kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina.
16
Saʻîd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. (Jakarta:
Robbani Press, 1995) (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 6. 17
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemprer, Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I‟tisham
Cahaya Umat, 1998), h. 406. 18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
UI-Press, 1993), h. 145.
8
Aspirasi politiknya juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan
berdirinya negara Islam di Mesir.19
Pandangan keagamaan serta politik dari Ikhwân al-Muslimîn yang paling
sentral dan mendasar adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat
lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga
petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk
kehidupan politik, ekonomi dan sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan
dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna
dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur‟an dan Sunah Nabi,
mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau
bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.20
Setelah membahas secara singkat tentang Ikhwân al-Muslimîn, tentu akan
menjadi hal yang menarik jika meneliti lebih jauh tentang sosok Saʻîd Hawwa,
yang di atas telah dikatakan bahwa ia mempunyai latar belakang yang berasal dari
jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn.
Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa ada salah satu kata dalam
al-Qur‟an yang beruhubungan dengan kepemimpinan, yakni kata imâmah/imâm.
Salah satu ayat al-Qur‟an yang di dalamnya terdapat kalimat tersebut adalah surah
al-Baqarah/2: 124:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman:
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 146. 20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 148.
9
"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku
(ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”21
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan
dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng,
yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan
Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut
merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah,
beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan
dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan
yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa
risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah
dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk
menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang
merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji
pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan.
Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang
imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”22
Itulah merupakan sekilas gambaran penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat
yang berkaitan dengan kepemimpinan. Maka selanjutnya, penelitian yang akan
dilakukan adalah ingin mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan yang
ditawarkan oleh Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsir al-Asâs fî al-
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 14. 22
Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999),
h. 346-347.
10
Tafsîr karyanya, dengan lebih banyak menggali ayat-ayat al-Qur‟an lain yang
berkaitan dengan konsep kepemimpinan.
Setelah melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah
masyarakat, serta setelah kita mengetahui secara sekilas tentang tokoh Saʻîd
Hawwa yang merupakan seorang ulama yang memiliki latar belakang jamâʻah
Ikhwân al-muslimîn, maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah penelitian
dengan judul “Konsep Kepemimpinan Menurut Saʻîd Hawwa Dalam Kitab Al-
Asâs Fî Al-Tafsîr dan Al-Islâm”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penafsiran yang dikaji pada penulisan ini dikhususkan pada ayat-ayat yang
membicarakan tentang kepemimpinan, baik itu kriteria dan syarat-syarat seorang
pemimpin, pengangkatan seorang pemimpin, serta hak dan kewajiban dari seorang
pemimpin. Untuk memudahkan pembahasan ini, diperlukan adanya perumusan
masalah yang menjadi tema pokok pembahasan, perumusan masalah yang ingin
dibahas dalam penulisan ini adalah, Bagaimana penafsiran Saʻîd Hawwa
terhadap ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan
al-Islâm?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dan pesan tentang
konsep kepemimpinan, dengan menjadikan kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm
karya Saʻîd Hawwa sebagai rujukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk
memenuhi syarat akhir guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program
11
Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dengan demikian, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan
akademis dan praktis. Kegunaan akademis yaitu dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan tentang bagaimana konsep kepemimpinan di tengah masyarakat
dalam pandangan Saʻîd Hawwa. Sedangkan kegunaan praktis dalam penelitian ini
dapat menjadi solusi alternatif atau dapat dijadikan khazanah pengetahuan dalam
membangun masyarakat yang lebih baik dengan cara mengikuti konsep
kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh Swt. melalui kitab suci al-Qur‟an.
D. Studi Pustaka
Penelitian mengenai konsep kepemimpinan bukanlah sesuatu yang baru
dalam dunia akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai
perspektif juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian
mengenai konsep kepemimpinan, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun
disertasi, diantaranya adalah:
1. Annas Khairullah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis
UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripisnya yang berjudul “Ulil Amri
Dalam Al-Qur‟an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir al-
Azhar Surat an-Nisa ayat 59,” skripsi ini menjelaskan bagaimana
penafsiran Hamka tentang arti dari ulil amri dalam surat an-Nisa ayat
59. Dimana term ulil amri juga masuk pada pembahasan yang
12
berkaitan dengan kepemimpinan. Pembahasannya hanya difokuskan
kepada pengertian tentang ulil amri.23
2. Noor Rohman, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN
Syarif Hidayatullah, 2009, skripsinya yang berjudul “Konsep
Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur‟an; Analisis
Tafsir Muhammad Syahrur,” skripsi ini menjelaskan bagaimana
konsep kepemimpinan perempuan dalam al-Qur‟an, serta tentang
konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan sosial politik, dengan
menjadikan kitab Tafsir Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama.24
3. Masfufah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN
Syarif Hidayatullah, 2014, skripsinya yang berjudul “Konsep
Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An-
Nisa‟ (4): 34,” skripsi ini berusaha untuk mengetahui bolehkah seorang
perempuan menjadi pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber
kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir,
buku-buku, dan literatur-literatur lainnya.25
4. Septiawadi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, dengan disertasi berjudul
“Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”,
kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini adalah, penafsiran sufistik
terhadap al-Qur‟an yang dilakukan oleh para mufassir adalah dengan
23 Annas Khairullah. “Ulil Amri Dalam Al-Qur‟an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka
Dalam Tafsir al-Azhar Surat an-Nisa ayat 59”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis
UIN Syarif Hidayatullah, 2009). 24
Noor Rohman. “Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur‟an;
Analisis Tafsir Muhammad Syahrur”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif
Hidayatullah, 2009). 25
Masfufah. “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An-
Nisa‟ (4): 34”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2014).
13
menggunakan makna isyâri dengan tetap mengacu kepada makna
zâhir, termasuk mufassir di dalamnya adalah Saʻîd Hawwa.26
5. Mhd. Yunus RKT, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga: 2014, dengan judul skripsi “Limitasi Kepemimpinan di
Indonesia Perspektif Politik Islam.” Skripsi ini mengupas secara
mendalam tentang masa jabatan atau batas waktu jabatan dari seorang
pemimpin.27
6. Muhammad Pisol, Mahasiswa Universitas Malaya Kuala Lumpur,
2000, dengan judul disertasi “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran
Saʻîd Hawwa.” Disertasi ini membahas pandangan politik Saʻîd
Hawwa, di mana Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa keterlibtan
seseorang dalam politik termasuk urusan kerja jihad yang akan diberi
pahala. Saʻîd Hawwa juga membagi negara ke dalam tiga kelompok,
yakni negara Islam yang adil, negara Islam yang menyeleweng, dan
negara kafir. 28
Dari penelitian-penelitian terdahulu, sejauh penelusuran penulis, belum
menemukan suatu karya yang membahas tentang konsep kepemimpinan secara
umum, baik itu bagaiamana kita harus memilih seorang pemimpin, apa saja yang
menjadi syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin, serta apa saja yang
menjadi hak dan kewajiban dari seorang pemimpin, dengan bersumber kepada
26
Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”, (Disertasi
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 27
Mhd. Yunus RKT. “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam”,
(Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014). 28
Muhammad Pisol. “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa”, (Disertasi
Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000).
14
kitab suci al-Qur‟an. Maka dari itu penulis menilai hal ini perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Research). Secara
operasional, kajian ini menggunakan dua langkah penelitian:
1. Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari informasi yang
diperlukan melalui perujukan ke referensi primer dan referensi sekunder.
Referensi primer adalah kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr (1999) dan al-Islâm
(1993) karya Saʻîd Hawwa, serta buku-buku yang berkaitan dengan Saʻîd Hawwa.
Sementara referensi sekunder adalah buku-buku yang di dalamnya
membicarakan tentang kepemimpinan dan hal-hal yang diperlukan didalam
membahas penelitian ini, buku-buku tersebut antara lain, Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik (2012), Kementrian Agama RI. Kepemimpinan
Menurut Ajaran Islam (1997), karya Mochtar Effendy. Wawasan Al-Quran Tafsir
Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (2013), karya M. Quraish Shihab.
Kepemimpinan dalam Manajemen (2006), karya Miftah Thoha. Islam dan Tata
Negara (1993) karya Munawir Sjadzali. Teori Politik Islam (2001) karya M.
Dhiauddin Rais. Leadhership (2006) karya Andrew J. Dubrin. Etika Politik
Qur‟ani: Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-ayat Kekuasaan (2010)
karya Muhammad Iqbal.
2. Metode pembahasan
15
Adapun dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode
Deskriptif Analisis Isi, yaitu mendeskripsikan data yang ada, kemudian
menganalisanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas
persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan.
Secara teknis, skripsi ini merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010-2011.”
F. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian dalam skripsi ini akan disusun dalam
beberapa bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang sesuai dengan
keperluan kajian.
Bab pertama akan memberikan informasi kenapa pembahasan tentang
kepemimpinan penulis angkat, serta apa saja tujuan serta manfaat dari
pembahasan skripsi ini. Bab pertama terdiri dari pendahuluan, terbagi menjadi
enam sub bahasan, yaitu: pertama, latar belakang masalah. Kedua, pembatasan
dan perumusan masalah. Ketiga, tujuan dan manfaat penelitian. Keempat, studi
pustaka. Kelima, metodologi penelitian. Keenam, sistematika penulisan.
Bab kedua akan menjelaskan bagaimana profil Saʻîd Hawwa serta kitab
tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, dengan membaca bab yang kedua ini, penulis berharap
pembaca dapat mendapatkan informasi yang jelas mengenai sosok Saʻîd Hawwa
sehingga dapat lebih memahami kenapa tokoh tersebut yang penulis angkat. Bab
kedua berisi tentang profil Sa‟îd Ḥawwa dan tafsirnya. Pembahasannya meliputi:
pertama, biografi dan karya-karya dari Saʻîd Ḥawwa. Kedua, metode, corak,
16
sistematika penulisan, referensi penulisan, serta kelebihan dan kekurangan dari
kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.
Bab ketiga merupakan bab yang akan membahas pandangan serta
pemikiran Saʻîd Hawwa terhadap masalah kepemimpinan. Bab ketiga ini
membahas kepemimpinan perspektif Saʻîd Ḥawwa. Pembahasannya meliputi
tentang khilafah atau kepemimpinan, al-Khilafah al-Uzma (Kepemimpinan
tertinggi), Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang imam atau pemimpin,
pengangkatan seorang khalifah, serta pemilihan imam atau khalifah.
Bab keempat, terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari
rumusan masalah dan penelitian ini dan saran.
17
BAB II
PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA
A. Saʻîd Hawwa
1. Biografi Saʻîd Hawwa
Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Saʻîd bin Muhammad bin Dib Hawwa.
Beliau merupakan seorang tokoh yang berasal dari Hamah, Suriah yang lahir pada
tahun 1935 M. Saʻîd Hawwa lahir ketika kondisi politik Suriah di bawah
kekuasaan Prancis. Ibunya meninggal ketika Saʻîd Hawwa berusia dua tahun.
Kemudian Saʻîd Hawwa pindah ke rumah neneknya dengan bimbingan dari
ayahnya yang seorang pejuang pemberani yang berjihad melawan Prancis.1 Darah
pejuang dalam dirinya mengalir dari ayahnya ditambah situsasi kota Suriah yang
berada di bawah kekuasan Prancis, membuat ia tumbuh menjadi seorang pemuda
yang tegar dan pemberani.2 Di masa kecil, keluarga Saʻîd Hawwa hidup dalam
kesederhanaan. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa
mengeluarkannya dari sekolah, karena biaya. Waktu itu usia Saʻîd Hawwa baru
berusia 8 tahun.3
Pada masa muda Saʻîd Hawwa, berkembang beberapa pemikiran, seperti
pemikiran Nasionalis, Baʻats, dan Ikhwân al-Muslimîn. Tahun 1952, ketika masih
berada di bangku „Aliyah, Saʻîd Hawwa memilih untuk bergabung dengan barisan
jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di
1 Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I‟tisham
Cahaya Umat, 2003), h. 400. 2 Saʻ îd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terjemahan
(Jakarta: Robbani Press, 1995), h. IX. 3 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema
Insani, 2006), h. 25
18
Universitas Syria dan lulus pada tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer
dan lulus sebagai perwira pada tahun 1963. Setahun kemudian ia melakukan
pernikahan dan dikaruniai empat orang anak.4
Dalam perjalanan intelektualnya, Saʻîd Hawwa banyak berguru dan belajar
kepada beberapa ulama dan Syaikh yang terdapat di kota Hamah. Di antara ulama
yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Muhammad al-Hamîd, Syaikh
Muhammad al-Hasyimi, Syaikh „Abdul Wahhab Dabuz Wazit, Syaikh „Abdul
Karîm al-Rifa‟i, Syaikh Aẖmad al-Murad, dan Syaikh Muẖammad „Ali al-
Murad.5
Al-Mustasyar „Abdullah al-„Aqil6 yang sempat bertemu dengan Saʻîd
Hawwa mengatakan, bahwa Saʻîd Hawwa dikenal sebagai seseorang yang
penyabar, ramah dan memiliki sifat tawadu‟, wara‟ dan zuhud. Sikap
kesederhanaan sangat tampak seperti dalam penampilan ataupun di tempat
kediamannya yang bersahaja yang jauh dari kemewahan. Sikapnya yang ramah
dan wara‟ membuatnya bersikap longgar bagi siapa saja yang ingin mencetak
bukunya atas izin atau tanpa izin.7
Kiprah Saʻîd Hawwa di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga-
lembaga pendidikan, seperti pada al-Ma‟had al-„Ilmi di kota al-Hufuf wilayah ihsa
selama dua tahun. Selain itu Saʻîd Hawwa juga mengajar di Madinah tiga tahun
4 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401. 5 Al-Mustasyar „Abdullah „Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401. 6 Ia juga sebagai penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mereka
telah Pergi. Al-Mustasyar al-„Aqil adalah alumnus fakulstas Syari‟ah al-Azhar tahun 1954.
Sebelumnya ia belajar di Irak (negeri kelahirannya al-Zubair). Sekembali dari pendidikan al-Azhar
Kairo ia pernah mengajar di al-Zubair dan kemudian banyak memegang jabatan di berbagai
negara. Terakhir ia menjabat sebagai sekjen OKI. Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang
Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangun Gerakan Islam Kontemporer, vii. 7 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403.
19
dan disampaikan lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa
buku. Ia termasuk penulis besar pada modern ini, kemampuan menulisnya
mengambil tema; dakwah dan gerakan, fiqih, tentang pembinaan jiwa (rûhiyyah-
tasawuf).8
Selain memberikan kuliah, Saʻîd Hawwa dikenal juga sebagai daʻi. Aktifitas
dakwahnya tidak hanya di wilayah Suriah, tapi pada umumnya meliputi negara-
negara Arab seperti Mesir, Qatar, Yordania dan seterusnya bahkan pernah sampai
ke Jerman dan Amerika. Hal itu dilakukan ketika ia berkunjung ke Amerika dan
daerah-daerah Eropa. Semangat dakwahnya sangat melekat pada dirinya apalagi
ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwân al-Muslimîn Suriah.9 Dari sini bisa terlihat
bahwa kegiatan dakwahnya yang ia lakukan dapat berkaitan dengan hal
kepemimpinan, karena kegiata Ikhwân al-Muslimîn juga mengurusi masalah
politik.
Saʻîd Hawwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang-undang
Suriah pada tahun 1973. Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5
Maret 1973-29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis
kitab tafsir dan buku-buku dakwah ataupun buku-buku gerakan. Pada waktu itu
pemerintahan al-Asad membuat undang-undang baru yang menghilangkan
penyebutan Islam sebagai agama negara. Ketidakpuasan Ikhwân al-Muslimîn
bukan saja pada hal yang demikian, namun yang lebih utama lagi al-Asad berasal
dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat.10
8 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402. 9 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402. 10
Jonh L. Esposito, Enksilopedi Oxford Dunia Islam Modern, penerjemah Eva Y.N dkk,
(Bandung: Mizan, 2002), jilid 5, Cet. Ke-2, h. 272.
20
Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Saʻîd Hawwa mengadakan
perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan, ia
menghadiri pemakaman Abul A‟lâ al-Maudûdi. Pada kesempatan lain Saʻîd
Hawwa bersama delegasi Islam Suriah bertemu Khomeini serta Menteri Luar
Negeri Iran Ibrahim Yazdi untuk membicarakan bantuan terhadap saudara-
saudara muslim di Suriah. Ia sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang
diperjuangkan oleh Ikhwân al-Muslimîn di Suriah kepada Khomeini dalam rangka
mempererat Ukhuwah Islamiyah.11
Pada tahun 1980 atas prakarsa Saʻîd Hawwa, dibentuklah Front Islam Syria
(FIS) sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi perjuangan Ikhwân al-
Muslimîn yang gagal menentang rezim al-Asad karena sudah banyak anggota
Ikhwân al-Muslimîn yang jadi korban. Kekuatan Ikwân al-Muslimîn dan FIS
waktu itu sudah kurang berpengaruh sebagai gerakan oposisi. Iran dengan terang-
terangan justru mendukung pemerintahan rezim al-Asad. Baik FIS dan Ikhwân al-
Muslimîn, tokoh-tokohnya banyak di pengasingan karena diburu oleh tentara
rezim al-Asad. Di samping itu dekrit pemerintah mengancam keberadaan Ikhwân
al-Muslimîn. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besar-
besaran tahun 1980 di Aleppo, Hamah, Homs serta ada upaya pembunuhan
terhadap al-Asad.12
11
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403.
12
Jonh L. Esposito, Dunia Islam Modern Enksilopedi Oxford (Terj), jilid 2, Cet. Ke-2, h.
277.
21
Pada pertengahan tahun 1980-an aktifitas Saʻîd Hawwa dengan Ikhwân al-
Muslimîn tidak terdengar lagi. Apalgi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini
yang kurang menguntungkan bagi Ikhwân al-Muslimîn dan FIS.13
Pada tahun 1978 Saʻîd Hawwa terserang stroke hingga sebagian anggota
tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula,
ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama
masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 tak kunjung
membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya
tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania.14
Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi
selama-lamanya dengan banyak meninggalkan buku-buku karyanya yang dapat
dikembangkan dan dipelajari.
Ustadz Zuhair al-Syawisy di surat kabar al-Liwa’, yang terbit di Yordania
pada tanggal 15 Maret 1989, berkata, “Allah menetapkan takdir-Nya dan tidak ada
seorangpun mampu menolak takdir-Nya. Allah mengakhiri hidup Saʻîd bin
Muhammad bin Dib Hawwa, di Rumah Sakit Islam Amman, Kamis pagi, 9 Maret
1989. Jenazahnya dishalatkan setelah Jum‟at di Masjid Al-Faiha‟ Al-Syumaisani
dan dikebumikan di pemakaman Sahab, wilayah selatan Amman. Jenazahnya
dihadiri dan diiringi puluhan ribu orang. Diantaranya, ustadz Yûsuf al-Adam,
Syaikh „Ali „Al-Faqîr, penyair Abu al-Hasan, Syaikh „Abdul Jalîl Rizq, ustadz
Fâruq al-Masyuh dan sastrawan „Abdullah at-Tantâwi. Masyarakat Yordania yang
mulia memperlakukan orang asing yang meninggal dunia di negeri mereka
dengan hormat, sama seperti penghormatan mereka kepada orang-orang yang
hidup dan singgah di tempat mereka. Ini kedermawanan, keindahan ucapan dan
antusias yang simpatik.”15
13
Septiawadi, “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”, (Disertasi
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 39. 14
Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-ʻ Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 409. 15
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402.
22
2. Karya-karya Saʻîd Hawwa
Pada usianya masih muda, Saʻîd Hawwa untuk pertama kalinya
berkenalan dengan pergerakan jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Pikiran-pikiran dari
gerakan ikhwân al-Muslimîn sangat membentuk pola dan kepribadian Saʻîd
Hawwa yang kemudian hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam
pergerakan Ikhwân al-Muslimîn di Suriah. Selain itu, pemikirannya di
manifestasikan lewat buku-buku yang tersebar dan dapat dibaca dan dijangkau
oleh siapapun. Dari beberapa karya Saʻîd Hawwa bisa dikategorikan bahwa
pandangan gerakan Islam Saʻîd Hawwa sealiran dengan tokoh pendiri Ikhwân al-
Muslimîn Hasan al-Banna. Faktor guru yang mendidik Saʻîd Hawwa juga
berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran
keagamaan Saʻîd Hawwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai
Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah. Pola pemikiran Saʻîd Hawwa dapat dilihat melalui
penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11
jilid besar.16
Kegemaran Saʻîd Hawwa untuk menorehkan hasil pemikirannya dalam
sebuah buku tidak dapat dipungkiri lagi. Publikasi terhadap bukunya tahun 1968
membuatnya digolongkan dalam pemikir Suriah yang menonjol. Semasa dalam
tahanan akibat peristiwa Dastur, beliau menulis tafsir yang diberi judul al-Asâs fî
al-Tafsîr yang terdiri dari sebelas jilid.17
16
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,
2010, h. 39-40. 17
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1985), h. 30.
23
Saʻîd Hawwa adalah seorang penulis yang produktif, hasil karyanya
meliputi berbagai macam keilmuan. Diantara buku-buku karya Saʻîd Hawwa yang
dikutip dari disertasi Septiawadi adalah sebagai berikut:18
1. Al-Islâm
Di dalam buku ini Saʻîd Hawwa mengupas seluk-beluk Islam yang
didasarkan kepada sebuah hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang
menerangkan tentang rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Menurut analisis Saʻîd
Hawwa, dalam Islam memuat aqidah yang meliputi syahadat serta pilar iman.
Kedua, ibadah yang tercermin pada pilar Islam. Dua hal ini disebutnya sebagai
rukun Islam sedangkan bangunan Islam berada di atas rukun-rukun yang disebut
tadi. Bangunan Islam meliputi berbagai sistem perihal kehidupan seperti sistem
politik, ekonomi, militer, akhlak, sosial, pendidikan dan seterusnya. Aspek Islam
satu lagi yaitu kekuatan bangunan Islam agar tetap berdiri kuat yang mencakup
jihad, amar ma’rûf nahi munkar serta penegakan hukum.
Tema pokok yang disebut di atas, diuraikan dengan kajian mendalam
yang disusun dalam empat bab. Buku al-Islâm ini merupakan satu dari tiga karya
lain Saʻîd Hawwa yang membahas seputar prinsip kehidupan muslim. Dua buku
yang dimaksud yaitu dengan judul Allâh dan al-Rasûl.
Buku ini menjadi bagian penting dalam pembahasan skripsi ini, karena
banyak pemikiran Saʻîd Hawwa yang berhubungan dengan kepemimpinan yang
menjadi pembahasan di dalam skripsi ini.
18
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,
2010, h. 46-50.
24
2. Al-Asâs Fî Al-Sunnah
Sistematika penulisan buku ini dibagi ke dalam lima qism (tema kajian).
Qism pertama, tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad sejak berita kelahiran
sampai tahun ke 39 H. Dikemukakan kegiatan nabi Muhammad sebelum diangkat
menjadi Rasul dan peristiwa yang dialami dalam penyebaran Islam serta
peperangan-peperangan dalam Islam. Setelah itu dikemukakan biografi para
sahabat, ada tercatat sebanyak 62 sahabat yang disusun pada bagian dari akhir
qism ini. Qism kedua tentang persoalan akidah yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan keimanan sebagai misi utama nabi menegakkan akidah Islamiyah. Qism
ketiga tentang ibadah seperti ibadah pokok yang tercakup dalam rukun Islam dan
yang terkait dengannya. Qism keempat tentang akhlak, persoalan pergaulan
hubungan sosial. Qism kelima tentang hukum keperdataan dan persoalan
muamalah.
Karakteristik buku ini terletak dari sumber dan cara pembahasannya.
Dalam membahas tema atau sub judul, selalu menggunakan hadis atau
berdasarkan riwayat nabi, sahabat, tabi‟in dan pendapat ulama. Saʻîd Hawwa tidak
sekedar mengemukakan riwayat tapi ada juga disertai dengan komentarnya atau
komentar ulama lain. Penyajian sumber khusus dari nabi diberi tanda dan diberi
penomoran. Berkenaan dengan cara pembahasan demikian, sangat tepat bukunya
dinamai al-Asâs fî al-Sunnah. Artinya semua keterangan pada buku tersebut
berasal dan bersumber pada sunnah nabi Muhammad Saw.
Pembahasan-pembahasan seperti mengenai sejarah pertumbuhan Islam
dijelaskan dengan sunnah, perkara menyangkut ibadah semuanya dijelaskan
25
dengan menyajikan sunnah apa adanya. Dari sini terlihat bahwa Saʻîd Hawwa
selain mengusai bidang tafsir, ia juga menguasai bidang hadis. Hal ini ini
berbanding lurus dengan uraian pada kitab tafsirnya yang juga banyak diperkuat
oleh hadis.
3. Jundullâh Tsaqafatan wa Akhlâqan
Di dalam kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, Saʻîd Hawwa menjelaskan
secara sekilas tentang kitab Jundullâh Saqafatah wa Akhlâqan, dimana salah satu
tujuan buku atau kitab tersebut yakni dijelaskan di dalamnya pentingnya al-walâ
(saling tolong-menolong antara umat Islam), juga dijelaskan batasan-batasan al-
walâ tersebut.19
Dalam buku ini, Saʻîd Hawwa menyebutkan bahwa tsaqafah seorang
Muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da‟i yang ulung seharusnya
punya bekal yang cukup dari materi-materi ini. Materi-materi itu bisa diringkas
menjadi sepuluh: ilmu al-Qur‟an, ilmu hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fikih,
ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allâh,
Rasul dan Islam), dan ilmu fikih dakwah.20
4. Hâdzihi Tajrîbat wa Hâdzihi Syahâdatî
Di dalam buku ini diceritakan pengalaman hidup Sa‟îd Hawwa,
seperti dalam satu jam ia dapat membaca buku sebanyak enam puluh halaman. Di
dalam buku ini juga diceritakan kegiatan demosntrasi yang pernah diikuti Sa‟îd
Hawwa. Juga diceritakan dalam buku ini adalah revolusi militer Amerika di
Suriah.21
19
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid III (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 1426. 20
Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 29 21
Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405 dan 407.
26
Karya-karya lain dari Saʻîd Hawwa adalah sebagai berikut:22
Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam, Al-Mustkhlâs Fî
Tazkiyah al-Anfûs, Allâh Jalla Jalâluhu. Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, Min Ajli Khutuwat
ilal Amâm ‘ala Tarîqi al-Jihâd al-Mubârak, Durus Fil ‘Amâl Al-Islâmi Al-
Mu’asir, Fî Afaqi al-Ta’alîm, Iẖyâ Al-Rabbaniyyah, Qawaninu al-Bait al-
Muslimîn, Al-Ijâbah, Jundullâh Takhtitan wa Tanzîman, , Al-Sirah bi Lughah Al-
Hubb.
Itulah beberapa karya-karya yang dihasilkan oleh Saʻîd Hawwa.
Sehingga dapat dikatakan beliau merupakan salah satu ulama yang cukup
produktif dengan melihat hasil karya yang telah dihasilkannya cukup banyak.
B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr
1. Metode dan Corak Penafsiran
Metode atau metodologi berasal dari dua kata; method dan logos. Dalam
bahasa Indonesia Method dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur
dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.23
Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih
metode dalam menafsirkan al-Qur‟an. Pilihan metode-metode tersebut tergantung
kepada kecenderungan dan sudut pandang mufasir, serta latar belakang keilmuan
22 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405.
23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 580-581.
27
dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Secara tegas dapat pula dikatakan,
metode-metode tafsir tertentu telah digunakan secara aplikatif oleh para penafsir
itu untuk kebutuhan penafsir dimaksud. Hanya saja metode-metode tersebut tidak
disebutkan dan dibahas secara eksplisit. Setelah ilmu pengetahuan Islam nantinya
berkembang pesat, barulah metode ini dikaji sehingga melahirkan apa yang
dikenal dengan metodologi tafsir.24
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang
ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-Qur‟an
secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan
suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam
upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat Islam itu.
Hasil upaya keras dengan menggunakan alat dimaksud terwujud sebagai tafsir.
Konsekuensinya, kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi
yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tentunya.25
Di dalam penulisan kitab tafsir, ada beberapa metode yang seringkali
digunakan penafsir dalam menulis kitabnya. Diantaranya adalah metode tahlîlî,26
ijmâlî,27
muqâran,28
dan juga metode maudû’î.29
24
Abdul Mu‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38. 25
Abdul Mu‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 38. 26
Yakni salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-
Qur‟an dari seluruh aspeknya. Penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an secara runtun dari awal hingga akhirnya, dan surat-surat sesuai dengan mushaf „Utsmani.
(Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î (Kairo: al-Hadârah al-„Arabiyah,
1977,) h. 23.) 27
Yakni metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan cara mengemukakan
makna global. Dengan metode ini penafsir menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal
selain seperti apa yang dikehendaki. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-
Mawdûʻ î, h. 42.) 28
Yakni metode tafsir yang menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi)
tafsir al-Qur‟an. Penafsiran yang menggunakan menggunakan metode ini pertama sekali
menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran
sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka. Melalui cara ini penafsir
28
Tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa dapat dikatakan di dalam
pembahasannya menggunakan metode tahlîli. Dimana pada penjelasan di atas
telah dijelaskan bahwa metode tahlîli yaitu suatu metode penafsiran yang dimulai
dari surat al-Fâtihah sampai surat tekahir al-Nâs. Penjelasan uraian penafsiran
dikemukakan secara rinci dan panjang.
Penerapan tahlîli sebagai metode yang digunakan tafsir ini, misalnya
penafsiran surah al-Baqarah. Pertama, Saʻîd Hawwa membagi surah al-Baqarah
dalam tiga kelompok yaitu mukaddimah, kandungan surat dan penutup. Untuk
mukaddimah terdiri dari dari 20 ayat pertama, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat
284, sedangkan 2 ayat terakhir sebagai penutup surat. Mukaddimahnya terdiri dari
tiga faqrah. Untuk faqrah ketiga mengandung tiga majmû’ah. Bagian tengah al-
Baqarah terdiri dari tiga qism, yang mengandung beberapa maqta’ dan faqrah.
Ayat yang ditafsirkan disusun dalam kelompok-kelompok ayat untuk
memudahkan uraiannya.30
Rangkaian metode penafsiran Saʻîd Hawwa dapat dirumuskan sebagai
berikut:31
1. Menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya.
Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqta’ dengan
beberapa faqrahnya. Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan
mengetahui posisi dan kecenderungan para penafsir sebelumnya yang dimaksudkan dalam objek
kajiannya. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 45) 29
Disebut juga dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema
tertentu yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir maudû‟î:
pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang masalah
(maudu/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda
dan tersebar dalam berbagai surah al-Qur‟an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat
al-Qur‟an. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 61-62.) 30
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,
2010, h. 54-55. 31 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,
2010, h. 55.
29
surat tersebut baik menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan
surat lain atau kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan
riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat.
2. Menafsirkan ayat.
Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa‟îd Hawwa mengenai ayat
yang sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna
secara umum atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan
pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat.
Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir al-Nasâfî dan Ibnu
katsîr juga tafsir Sayyid Qutb dan al-Alusi. Dengan demikian makna harfi yang
dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat.
Penjelasan makna umum dan makna harfi dengan terlebih dahulu
mencantumkan ayat atau potongan ayat yang ditulis dalam kurung.
3. Menjelaskan hubungan susunan ayat (munasabahnya)
Disini Sa‟îd Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya
hubungan dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam
satu maqta’, atau satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar
maqta’ bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda.
4. Menjelaskan hikmah ayat
Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid.
Dalam poin ini ada juga dibahas tentang munâsabah ayat khususnya hubungan
suatu ayat dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis nabi. Poin ini merupakan
penafsiran yang lebih luas dan komprehensif oleh Saʻîd Hawwa dengan
memahami ayat berdasarkan konteks.
30
Demikian langkah dari metode penafsiran Saʻid Hawwa yang lebih
banyak menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini
merupakan keunggulan dari tafsir Saʻid Hawwa yang membedakannya dengan
mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode.
Selanjutnya untuk mengetahui corak dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr,
maka tidak terlepas dari beberapa corak kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam
penulisan kitab tafsir ini. Kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam penulisan ini
adalah kitab tafsir Ibnu Katsîr, tafsir al-Nasâfî, tafsir Rûh al-Ma’ani dan kitab
tafsir fî Zilâl al-Qur’ân. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kitab tafsir
al-Asâs fî al-Tafsîr menampakkan corak tasawuf, aqidah, adabi ijtimâ’i
(sosiologis), pola ra’yi dan ma’tsûr juga memperkaya memperkaya corak
penafsiran Saʻîd Hawwa. Tafsir Ibnu Katsîr termasuk tafsir jenis ma’tsûr,
sedangkan tafsir al-Nasâfî tergolong tafsir bi al-Ra’yi. Selain itu tafsir al-Nasafi
berorientasi aqidah dan tasawuf, sementara itu tafsir Rûh al-Ma’âni merupakan
corak tafsir tasawuf. Sedangkan tafsir Sayyid Qutb termasuk tafsir modern yang
berorientasi politik, sosial dan dakwah.32
2. Sistematika Penulisan
Kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr merupakan kitab tafsir yang terdiri dari 11
(sebelas) jilid besar. Kitab tafsir yang dijadikan penelitian dalam kajian ini
merupakan terbitan dari penerbit Dâr al-Salâm, Mesir, dengan tahun terbit 1985
M/ 1405 H. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan kata pengantar
penerbit oleh „Abdul Qâdir Maẖmûd al-Bukâr yang terdiri dari dua halaman.
32
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,
2010, h. 58.
31
Kemudian disusul pengantar penyusun (al-Asâs fî al-Manhaj) tentang metode
pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya. Masih
di dalam jilid satu dikemukakan pengantar kitab tafsir al-Asâs (Muqaddimah al-
Asâs fî al-Tafsîr) yang memberikan tentang karakteristik kitab tafsir ini serta
keistimewaannya dibandingkan dengan kitab tafsir lain.
Kitab tafsir al-Asâs ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan
menguraikan penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal.
Penulisan kitab tafsir ini seperti diterangkan oleh Saʻîd Hawwa dalam
pendahuluan kitabnya yaitu ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa
pemerintahan Hafiz al-Asad dalam kurun waktu 1973-1978 M.33
Secara umum, sistematika penulisan kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr yaitu
dalam setiap jilid Saʻîd Hawwa selalu mengemukakan pendahulan sebelum masuk
dalam penafsiran surat-surat al-Qur‟an. Paparan menyangkut kategori surat sesuai
yang dibagi menurut jumlah ayat oleh Saʻîd Hawwa. Setiap surat yang ditafsirkan
terlebih dahulu pada awal surat dijelaskan munasabahnya dengan surat-surat
lainnya. Biasanya dikutip dari penjelasan Sayyid Qutb dalam kitab tafsir fî Zhilâl
al-Qur’ân dan al-Alusi dalam kitab tafsir Rûh al-Ma’âni. Runtutan penafsiran
disesuaikan dengan urutan surat-surat seperti yang terdapat di dalam mushaf.
Untuk memudahkan penyajiannya sistematika dengan membagi
kelompok-kelompok surat dalam al-Qur‟an. Saʻîd Hawwa memberikan
pengkategorisasian pada 4 macam atau qism: pertama; Tiwâl, yaitu (surah al-
Baqarah samapi dengan surah Barâah), kedua, Mi-in yaitu (surah Yunus sampai
dengan surah al-Qasâs), kelompok ini dibagi pula oleh Saʻîd Hawwa menjadi
33
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid I (Mesir: Dâr al-Salâm, 1993 M/ 1414 H), h.
21.
32
tiga bagian yang disebutnya dengan al-Majmu’ât berdasarkan kepada makna
yang dikandungnya. Ketiga; Matsâni yaitu (surah al-„Ankabût sampai dengan
surah Qâf). Keempat; Mufassal yaitu (surah al-Dzâriyât sampai surah al-Nâs).
Pembagian seperti ini merupakan suatu cara bagi Saʻîd Hawwa menyajikan
susunan surat dengan pertimbangan melihat aspek munasabahnya.34
3. Referensi Penulisan
Saʻid Hawwa di dalam menyusun kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr,
menjadikan beberapa kitab tafsir lain serta mengambil pendapat dari beberapa
mufassir sebagai rujukan atau referensi. Baik itu penafsir kontemporer maupun
penafsir-penafsir salaf. Diantara mufassir salaf yang pendapatnya banyak diambil
oleh Saʻîd Hawwa adalah Ibnu Katsîr dan al-Nasafî.
Alasan Saʻîd Hawwa mengambil kedua tafsir ini, lebih disebabkan pada
keterbatasan bahan yang tersedia dan apa adanya. Karena penulisan tafsir ini,
yaitu ketika Saʻîd Hawwa berada di dalam tahanan. Namun hal ini bukan berarti
Saʻîd Hawwa mengambil bahan seadanya, akan tetapi Saʻîd Hawwa mempunyai
alasan dari pengambilan kedua tafsir ini. Hal ini dapat kita lihat pada akhir
muqaddimah kitab tafsirnya, Saʻîd Hawwa mengatakan:
“Dan bukan hasil dari ikhtiarku untuk menguatkan bagian pertama aku
berpegangan hanya pada dua tafsir, yaitu tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-Nasafi.
Tidak banyak bahan yang ada ketika aku berada di penjara ketika aku mulai
menulis tafsir ini kecuali kitab tafsir ini. Dan keduanya adalah tafsir yang
terkenal, yang pertama adalah tafsir bi al-Ma’tsûr yang terkenal, sedangkan yang
kedua adalah tafsir yang unggul dalam masalah-masalah ringkas dalam hal
i’tiqadiyah dan madzhabiyah. Dari kedua tafsir ini mencukupi untuk makna
harfiyyah dalam kitab Allâh.”35
34
Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,
2010, h. 53-54.
35
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1, h. 11.
33
Di samping dari kedua mufassir tersebut, Saʻîd Hawwa juga banyak
mengambil pendapat dari al-Alusi dan juga Sayyid Qutb. Saʻîd Hawwa banyak
mengambil dari kedua mufassir ini yang berhubungan dengan masalah
munâsabah.36
Dijelaskan oleh Iyazi mengenai penyusunan tafsir yang dikerjakan oleh
Saʻîd Hawwa bahwa dalam menggunakan rujukan atau referensi penafsirannya
menempuh dua tahap. Pertama ia menggunakan sumber utama penafsirannya pada
kitab tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-Nasafî. Hal ini dilakukannya ketika ia masih
berada dalam penjara. Pada tahap berikutnya Saʻîd Hawwa menggunakan kitab
tafsir Rûh al-Ma’âni karya al-Alûsi dan tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid
Qutb disamping dua kitab tafsir terdahulu.37
Maka disini terlihat, dua tafsir
pertama tergolong ke dalam kitab tafsir klasik, sedangkan dua tafsir terakhir
tergolong ke dalam tafsir modern. Saʻîd Hawwa memadukan pemahamannya
melalui empat kitab tafsir tersebut dalam karya kitab tafsirnya.
Itulah beberapa kitab yang dijadikan rujukan atau referensi oleh Saʻîd
Hawwa di dalam menyusun kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. Dengan adanya
referensi penulisan tersebut, maka kita akan sering menemui pendapat atau
komentar-komentar dari ulama-ulama tersebut di dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr.
36
Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 2, h. 978. 37
Iyazi, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum (Teheran: Wazarah al-Taqâfah wa
al-Irsâd, 1992), h. 134.
34
4. Kelebihan dan Kekurangan
Setiap kitab tafsir karya dari seorang ulama, tidak akan terlepas dari
kelebihan dan kekurangan, baik itu dari segi isi, metode, dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan penulisan kitab tafsir tesebut.
Jika meneliti kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa, dapat
ditemukan beberapa kelebihan kitab tafsir ini jika dibandingkan dengan kitab-
kitab tafsir yang lain. Salah satu yang menjadi kelebihan tafsir ini adalah banyak
menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya.
Di dalam menjelaskan hubungan susunan ayat (munâsabah), Saʻîd Hawwa
mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat
seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqta’, atau satu faqrah.
Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqta’, bahkan dijelaskan
hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda.
Selain menjelaskan aspek munasabah, Saʻîd Hawwa juga menjelaskan
hikmah ayat. Menjelaskan aspek munasabah dan menjelaskan hikmah ayat secara
mendalam, merupakan beberapa kelebihan kitab tafsir ini dibanding dengan kitab
tafsir lain. Tentunya masih banyak kelebihan-kelebihan yang terdapat di dalam
tafsir ini.
Beberapa kelebihan atau keistimewaan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr
ini, di antaranya adalah:38
38
Saʻ îd Hawwa, Tafsir Al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press,
1999), h. 23-29.
35
1. Bahwa untuk pertama kali diketengahkan teori baru tentang kesatuan
al-Qur‟an dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr, berdasarkan teori
komprehensif yang mencakup segala dimensi kesatuan al-Qur‟an.
2. Kitab tafsir ini sangat rinci didalam menjelaskan kesatuan al-Qur‟an
secara keseluruhan, sehinga kita akan mengetahui mengapa ayat-ayat
al-Qur‟an yang mempunyai kandungan yang sama tidak dicantumkan
secara berdampingan, serta hikmah turunnya al-Qur‟an secara
berangsur-angsur akan lebih jelas dan terang untuk kita ketahui.
3. Kitab tafsir ini juga berusaha memanfaatkan berbagai literatur berupa
buku-buku agama klasik, dan berupaya menyederhanakan dan
mempermudah redaksi-redaksi dari literatur-literatur klasik tersebut.
4. Di dalam tafsir ini tidak akan ditemukan hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan inti persoalan, karena Saʻîd Hawwa
mengesampingkan semua persoalan yang dianggap tidak ilmiah.
5. Tafsir ini berupaya secara maksimal untuk memanfaatkan kenunggulan
zaman sekarang, yaitu ketelitian dan kecenderungan spesialisasi dalam
melakukan kajian terhadap satu sisi kehidupan, alam dan manusia,
6. Tafsir ini juga merupakan buku ilmu pengetahuan, dakwah, pendidikan
dan jihad sekaligus. Itulah beberapa kelebihan dan keistimewaan dari
kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.
Setelah membahas beberapa kelebihan dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr,
adapula kekurangan dalam kitab tafsir ini. Kekurangan di dalam sebuah hasil
karya, merupaka hal yang niscaya terjadi, karena hal ini tidak terlepas dari kodrat
36
manusia yang hanya manusia biasa. Di antara beberapa kekurangan yang menjadi
catatan untuk kitab tafsir ini adalah:
1. Penulisan kitab tafsir ini dilakukan Saʻîd Hawwa ketika ia sedang
berada di dalam penjara atau tahanan. Hal ini diakui Saʻîd Hawwa
menjadi penghalang untuk mencapai kesempurnaan tafsir ini, karena
pada saat berada di dalam penjara, pada mulanya ia hanya
mengandalkan dua tafsir saja, yakni tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-
Nasafî. Sehingga harus diakui bahan-bahan rujukan untuk menulis
tafsir ini sangat terbatas.
2. Saʻîd Hawwa berkata bahwa ia menyesalkan dan merupakan suatu
ketidakadilan jika ada yang mengatakan tafsir karyanya merupakan
ringkasan dari tafsir Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Di sini dapat dipahami
bahwa ada sebagian orang yang mengatakan bahwa tafsir al-Asâs fî al-
Tafsîr tidak lain merupakan ringkasan dari dari tafsir Ibnu Katsîr dan
al-Nasafî. Itulah beberapa kekurangan yang menjadi catatan terhadap
kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.
36
BAB III
KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SAʻÎD HAWWA
A. Khilafah
Kepemimpinan secara luas memilki arti yakni proses memengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok budayanya.1 Jadi dapat
dikatakan kepemimpinan merupakan cara untuk memimpin, sedangkan pemimpin
adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan
dalam membimbing masyarakatnya. Quraish Shihab mengatakan bahwa seorang
pemimpin bukan hanya harus mampu menunjukkan jalan meraih cita-cita rakyat
yang dipimpinnya, tetapi juga harus dapat mengantarkan mereka ke pintu gerbang
kebahagiaan. Seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi mampu
memberi contoh aktualisasi, sebagaimana halnya dengan pemimpin (imâm)
shalat.2 Selain itu, kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan pada
keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam menghadapi berbagai
tantangan dan ujian.3
Saʻîd Hawwa menjelaskan, bahwa umat Islam sama sekali tidak boleh
berada dalam kondisi vacuum of caliphate (kosong dari seorang pemimpin atau
khalifah). Karena dasar kekuatan hukum wajibnya pembentukan institusi adalah
1 Veithzal Rivai dan Dedi Mulyadi, kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta:
Rajawali Press, 2011), h. 2. 2 M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387.
3 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 1, h. 318.
37
ijma‟nya umat. Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibn Khaldun yang mengatakan
bahwa:4
“Sesungguhnya pengangkatan seorang imam, hukumnya adalah wajib.
Hukum wajibnya didasarkan atas ijma‟ para sahabat dan tabiʻin. Setelah
Rasulullah Saw. meningal dunia, para sahabat bergegas untuk mengangkat Abu
Bakar sebagai pemimpin dan memasrahkan segala urusan mereka kepadanya.
Demikian pula dalam setiap generasi setelah masa sahabat. Pada setiap masa,
umat tidak dibiarkan dalam kondisi chaos atau kacau-balau. Jadilah hal tersebut
sebagai ijma‟ yang bisa dijadikan dasar atas kewajiban pengangkatan imam.”
Saʻîd Hawwa berpendapat dan mengatakan bahwa bentuk kepemimpinan
yang disepakati oleh umat Islam adalah khilafah. Sistem khilafah ini berbeda
dengan sistem-sitem pemerintahan lainnya di dunia. Memang, ada beberapa
bagian yang sama dengan sistem pemerintahan lain, namun secara keseluruhan
perbedaan sistem khilafah dengan sistem-sistem lainnya adalah perbedaan yang
sangat substantif. Hal ini karena sumber institusi khilafah adalah dari Allâh Swt.
yang diberikan kepada Rasulullah. Allâh Swt. berfirman dalam surah Sâd/38: 26
sebagai berikut:5
“Hai Dâwud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allâh. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”6
4 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), h. 461. 5 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462.
6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h.
454.
38
Kepemimpinan yang diterangkan di atas adalah khilâfah al-nubuwwah.
Abu Bakar menegaskan masalah ini setelah ia di baiat di al-Saqîfah. Ketika ada
seseorang yang memanggilnya, “wahai khalifatullah,” Abu Bakar langsung
berkata, “Saya bukanlah khalifatullah, saya adalah khalifatu Rasulillah Saw.”
demikianlah Abu Bakar dipanggil dengan panggilan ini selama masa
pemerintahannya.7
Saʻîd Hawwa di dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Imâm al-Nasafî,
yang mengatakan bahwa Allâh mengangkat nabi Dâwud sebagai raja atau khalifah
bagi orang-orang yang sebelumnya. Nabi Dâwud diperintahkan untuk memberi
hukuman sesuai dengan hukuman Allâh, karena Nabi Dâwud adalah khalifah, dan
jangan mengikuti hawa nafsu di dalam membuat ketetapan hukum.8
Pada mulanya kepemimpinan adalah tugas para Rasul. Allâh Swt.
berfirman dalam surah al-Baqarah/2: 124 sebagai berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman:
"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku
(ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”9
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan
dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng,
yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan
Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut
7 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462.
8 Saʻîd Hawwa, al-asâs fî al-Tafsîr, jilid VIII (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 4775.
9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 14.
39
merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah,
beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan
dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan
yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa
risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah
dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk
menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang
merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji
pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan.
Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang
imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”10
Sistem khilafah pada dasarnya adalah pengganti kenabian. Khalifah
mempunyai tugas sebagai pewaris kenabian dengan menegakkan hukum-hukum
yang sudah ditetapkan oleh para Nabi. Saʻîd Hawwa memberikan beberapa contoh
ayat yang terkait dengan tugas khalifah:11
1. Allâh Swt. menyebutkan tugas Rasulullah dalam firman-Nya surah al-
Baqarah/2: 151:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
10
Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999),
h. 346-347. 11
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462-463.
40
mengajarkan kepadamu al-Kitâb dan al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”12
Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa tugas khalifah adalah
mengajari dan mendidik manusia untuk memahami dan mengamalkan
al-Qur‟an dan al-Sunnah.
2. Di antara tugas Rasulullah adalah menegakkan keadilan Allâh dan
melaksanakan hukum-hukum Allâh. Allâh Swt. berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâs berkenaan
dengan orang-orang yang dibunu....” (Q.S. al-Baqarah/2: 178). Di
ayat lain Allâh Swt. berfirman, “(Ini adalah) satu surat yang Kami
turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukukm-hukum yang ada
di dalam) nya....”(Q.S. al-Nûr/24: 1). Demikian juga tugas seorang
khalifah. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah
pengganti Rasulullah Saw. dalam menegakkan syariat-syariat Allâh
Swt.. Poin inilah yang membedakan sistem khilafah dari sistem-sistem
lainnya.
Seorang khalifah harus diangkat dengan cara pemilihan yang dilakukan
oleh umat Islam dan juga atas dasar kerelaan mereka. Seorang khalifah sama
sekali tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam dengan tanpa adanya pemilihan
dan kerelaan dari mereka. Karena pemilihan merupakan hak setiap umat Islam.
Allâh Swt. menyifati umat Islam dalam firman-Nya, “.... Sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (al-Syûrâ/42: 38). Maksud
dari ayat ini adalah segala urusan umat Islam harus diselesaikan lewat mekanisme
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 23.
41
musyawarah. Pemilihan seorang pemimpin merupakan urusan umat yang sangat
penting, sehingga pemilihan tersebut harus melibatkan mereka secara langsung.13
B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi)
1. Pengertian Khilafah
Pengertian dari al-Khilâfah al-„Uzma atau al-Imâmah al-„Uzma adalah
kepemimpinan tertinggi dalam agama Islam. Khalifah atau al-Imâm al-A‟zam
adalah pemimpin negara Islam tertinggi.14
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa negara Islam adalah negara yang berdiri
atas ajaran Islam yang mengatur setiap individu dan kelompok, dan membimbing
mereka dalam kehidupannya di dunia dalam berbagai bidang-bidang tertentu.
Oleh karena itu, seorang khalifah mempunyai dua tugas, pertama, menegakkan
agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Kedua, menjalankan politik
negara sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam.15
Saʻîd Hawwa juga menjelaskan bahwa tugas khalifah atau pemimpin
adalah menegakkan Islam, karena Islam adalah agama dan negara. Menegakkan
Islam berarti menegakkan ajaran-ajaran agama dan melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam.16
Definisi khalifah yang diberikan para ahli fiqih tidak keluar dari konsepsi
di atas. Khalifah didefinisikan dengan “Kepemimpinan umum dalam masalah-
masalah keagamaan dan keduniaan sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw.”
Definisi lainnya adalah, “Pengganti Rasulullah Saw. dalam menegakkan agama
13
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 463. 14
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 15
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 16
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477.
42
dan menjaga semua hal yang termasuk agama dan mempunyai hak untuk dipatuhi
dan ditaati oleh seluruh umat Islam.”17
Imam al-Mawardi mendefinisikan khalifah dengan, “Khalifah diangkat
untuk mengganti tugas kenabian dalam hal menjaga agama dan mengurus masalah
dunia.”18
Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang mendefinisikan
khalifah dengan, “Mengantarkan umat untuk mencapai dan merealisasikan teori-
teori syara‟ dalam hal kemaslahatan ukhrawi dan kemaslahatan-kemaslahatan
duniawi yang ada kemaslahatan ukhrawinya. Karena menurut syara‟ semua
urusan-urusan dunia harus dipertimbangkan kemaslahatan ukhrawinya. Sehinga
khalifah pada hakikatnya adalah pengganti Rasulullah dalam menjaga agama dan
mengatur masalah-masalah dunia dengan (panduan) agama.”19
Atas dasar pertimbangan tugas khalifah di atas juga maka, Abu Bakar
dipanggil dengan sebutan khalîfah al-Rasûlillah Saw., dan sebagian sahabat
menyebutnya dengan sebutan khalîfah Allâh, dengan pertimbangan bahwa sosok
Rasulullah Saw. bergerak atas dasar perintah Allâh Swt., dan Abu Bakar juga
melaksanakan perintah-perintah Allâh Swt. tersebut, sehingga keduanya
(Rasulullah Saw. dan Abu Bakar) bisa dianggap sebagai khalîfatu Allâh. Namun,
Abu Bakar memilih untuk dipanggil dengan khalîfatu Rasûlillâh Saw.20
Ketika Umar bin Khattab memegang kekhalifahan dia berpendapat agar
pemimpin negara dipanggil dengan sebutan Amîr al-Mu‟minîn, agar lebih mudah
dan pendek dibanding menggunakan panggilan khalifah yang harus
17
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 18
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 19
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 20
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478.
43
disambungkan dengan nama khalifah sebelumnya hingga Rasulullah Saw.. Umat
Islam dalam sejarah akhirnya mengenal istilah Amîr al-Mu‟minîn untuk
memanggil pemimpin negaranya. Namun tugas Amîr al-Mu‟minîn masih tetap
seperti tugas khilafah atau imamah.21
Khalifah juga kadang disebut dengan al-Imâm al-A‟zam. Penamaan al-
Imâm al-A‟zam ini selaras dengan maksud firman Allâh Swt. dalam surah al-
Qasas/28: 5:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di
bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan
mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”22
Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa Allâh memberikan keistimewaan kepada
bani Isrâil bahwa mereka menjadi pemimpin di dunia ini. Pemimpin yang
dimaksud adalah pemimpin yang diikuti dalam hal kebaikan atau pemimpin yang
mengajak kepada kebaikan, serta Allâh menjadikan bani Isrâil pewaris kekuasaan
dan kerajaan yang lainnya.23
Alasan lain mengapa seorang pemimpin negara Islam dipanggil dengan al-
Imâm al-A‟zam adalah untuk membedakan dengan imam-imam lainnya seperti
imam shalat.24
21
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 22
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 385. 23
Saʻîd Hawwa, al-asâs fî al-Tafsîr, jilid VII, h. 4060-4061. 24
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478.
44
2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib
Mengangkat khalifah atau pemimpin merupakan kewajiban kolektif (fardu
kifâyah) sebagaimana kewajiban melakukan jihad dan mendirikan institusi
pengadilan. Apabila ada orang yang memegang jabatan ini dan dia memang
mampu, maka kewajiban tersebut gugur dari tanggung jawab seluruh umat.
Namun apabila tidak ada seseorang yang memegang jabatan khalifah ini, maka
semua umat Islam berdosa hingga mereka mengangkat orang yang mempunyai
kemampuan untuk menjadi khalifah.25
Sebagian orang berpendapat bahwa yang menanggung dosa adalah dua
kelompok umat saja, yaitu tokoh-tokoh umat yang pandai (ahl al-ra‟yu) hingga
mereka memilih khalifah dan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk
menjadi khalifah hingga mereka dipilih salah satunya untuk menjadi khalifah.26
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa yang benar adalah dosa tersebut
ditanggung oleh semua umat Islam, karena umat Islam semuanya menjadi objek
perintah dan larangan syara‟ dan yang berkewajiban menegakkan khilafah adalah
mereka semua.27
Terlihat sekali, dengan adanya beragam pendapat di atas, menunjukkan
bahwa seorang pemimpin merupakan tokoh yang sangat penting keberadaannya di
tengah-tengah masyarakat, yang memang sudah sepatutnya sebuah negara
memiliki seorang pemimpin.
25
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478-479. 26
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. 27
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479.
45
3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin
Dasar utama bagi kewajiban pengangkatan khalifah adalah perintah-
perintah ajaran agama (syara‟). Menegakkan khilafah atau imamah merupakan
kewajiban yang ditetapkan oleh syara‟ kepada semua umat Islam. Syara‟
memerintahkan hal itu kepada semua umat Islam. Sehingga umat Islam wajib
melakukan usaha hingga tercapainya dan terlaksananya kewajiban tersebut.
Apabila kewajiban tersebut telah terlaksana, maka mereka telah lepas dari
tanggung jawab dan kewajiban. Apabila khalifah tersebut turun atau meninggal,
maka kewajiban itu kembali lagi di pundak semua umat Islam.28
Sa‟îd Hawwa memaparkan dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban
mendirikan khilafah sebagai berikut:
Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah fi‟liyyah yang
dilakasanakan Rasulullah Saw. kepada kaum Muslim. Rasulullah membentuk
kesatuan politik yang terdiri dari umat Islam seluruhnya. Dengan kesatuan politik
umat Islam tersebut, Rasulullah membangun satu negara, dan Rasulullah sebagai
pemimpinnya (al-imâm al-a‟zam). Pada prinsipnya Rasul mempunyai dua tugas,
pertama menyampaikan risalah dari Allâh, kedua melaksanakan perintah-perintah
Allâh dan mengarahkan politik negara sesuai dengan aturan dan batasan yang
telah ditetapkan dalam ajaran Islam.29
Setelah wafatnya Rasulullah Saw., manusia tidak memerlukan lagi adanya
tambahan risalah dari Allâh Swt. karena semua risalah sudah terkumpul dalam al-
28
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. 29
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479.
46
Qur‟an dan Sunnah. Namun setelah Rasulullah membentuk kesatuan politik umat
dan memimpin mereka semua, baik yang berada di belahan barat atau timur, maka
umat manusia setelah wafatnya memerlukan orang yang menegakkan ajaran-
ajaran al-Qur‟an dan Sunnah dan menyiasati penegakannya dalam batas-batas
yang telah ditetapkan oleh agama. Bahkan atas dasar meneladani Rasululah Saw.
dan mengikuti sunnahnya, umat Islam wajib membentuk kesatuan politik di antara
mereka, mendirikan negara yang menyatukan mereka semua dan mengangkat
pemimpin sebagai pengganti Rasulullah dalam tugasnya melaksanakan ajaran-
ajaran agama dan mengurusi politik negara dengan menggunakan pedoman dan
petunjuk-petunjuk agama Islam yang murni.30
Kedua, Ijma‟ umat Islam, khususnya para sahabat untuk mengangkat
seseorang menjadi pemimpin negara yang menggantikan Rasulullah. Para sahabat
adalah orang yang lebih tahu tentang petunjuk-petunjuk Islam. Sejenak setelah
meninggalnya Rasulullah, Abu Bakar menemui orang-orang dan berkata kepada
mereka, “Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad Saw. telah meninggal dunia, dan
agama ini harus ada yang mengurusnya.” Para sahabat meninggalkan urusan
persiapan pemakaman Nabi, dan mereka mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah
pengganti Rasulullah Saw. sebelum menyemayamkan jasad mulia Rasulullah.
Ijma‟ merupakan salah satu dasar hukum dalam Islam dan mempunyai kekuatan
laksana teks keagamaan, dan ijma‟ ini mengikat umat Islam secara hukum.31
Ketiga, banyak dari kewajiban-kewajiban keagamaan yang tidak bisa
dilaksanakan kecuali apabila ada khalifah atau imam. Sesuatu yang tanpanya,
menyebabkan sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana dengan sempurna, maka
30
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479-480. 31
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480.
47
sesuatu tersebut hukumnya juga wajib. Dengan mengangkat pemimpin, maka
bahaya-bahaya yang mengancam bisa ditanggulangi, dan mengatasi bahaya-
bahaya yang mengancam hukumnya adalah wajib. Di ketahui bersama bahwa
tujuan syara‟ menetapkan aturan-aturan dalam interaksi sesama manusia
(muʻâmalah), pernikahan, jihad, hukum had, dan ritual-ritual lainnya adalah untuk
kemaslahatan yang bisa dirasakan oleh umat, dan kemasalahan ini tidak bisa
terwujud kecuali dengan adanya seorang pemimpin yang memutuskan
perselisihan-perselihan yang terjadi di tengah umat. Tidak adanya pemimpin
menyebabkan banyak terabaikannya urusan agama dan banyak kebijakan,
keputusan dan langkah-langkah yang keluar dari ajaran Islam.32
Keempat, teks-teks al-Qur‟an dan al-Sunnah menetapkan bahwa
mengangkat pemimpin untuk umat Islam adalah wajib.33
Di antaranya firman
Allâh Swt. dalam suran al-Nisâ‟/4: 59:
.....
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu....”34
Rasulullah Saw. bersabda:
فشر دذث ب بب ب ش دذث ب هب ب غ دبصو دذث ب جشش ع اب
صه انه انب شة ع ش أب سبح ع ظ ب أب ل جشش ع
بث يبث بعت ف فبسق انج انطبعت خشج ي لبل ي عهى أ عه
هتيخ ت جب “Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farruh telah menceritakan
kepada kami Jarir -yaitu Ibnu Hazim- telah menceritakan kepada kami Ghailan
bin Jarir dari Abu Qais bin Riyah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, bahwa beliau bersabda: Barangsiapa keluar dari ketaatan dan
32
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480. 33
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480. 34
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87.
48
memisahkan diri dari (kesatuan) jamaʻah, maka apabila ia mati, ia mati
sebagaimana matinya orang jahiliyah.”35
Hadis lain dari Rasulullah yang berkaitan dengan pemimpin adalah:
أخبشب أب ع ع ب عث ب لبل دذثب عبذ انه ص ش ذ ان ذ ب يذ ه
خ لبل شش عشفجت ب عهبلت ع صبد ب ضة ع أب د صه انه لبل انب
بعذ ب عخك عهى إ بثعه خ سأ ف سفع ذ بث بث
ع فبلخه كبئب ي ى ج عهى عه ذ صه انه شذ حفشك أيش أيت يذ
انبط ي كب
“Telah mengabarkan kepada kami Abu Ali Muhammad bin Yahya Al
Marwazi, Ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Utsman dari
Abu Hamzah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari 'Arfajah bin Syuraih, ia berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya akan terjadi setelahku
fitnah dan fitnah -dan beliau mengangkat kedua tangannya- maka siapa yang
kalian lihat telah ingin memecah belah keadaan umat sedang mereka telah bersatu
maka bunuhlah dia siapapun dia.”36
Dari teks-teks di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam harus memilih
seorang khalifah yang memimpin mereka. Apabila dalam hidupnya seorang
Muslim tidak mempunyai khalifah, maka apabila dia meninggal akan meninggal
dalam keadaan seperti orang jahiliyah. Dari beberapa teks tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa umat Islam harus mengangkat satu pemimpin, apabila ada dua
khalifah dibaiat maka yang terakhir dibaiat harus diperangi apabila ia tidak mau
menyerahkan kekuasaan kepada yang pertama. Begitu juga wajib bagi umat Islam
memerangi orang atau kelompok yang ingin memecah belah persatuan umat Islam
yang berada di bawah kekuasaan satu pemimpin.37
35
Abu Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim. Sahîh Muslim (Beirut: Dâr al-Jîl, t.th.) Juz
6, h. 20. 36
Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman al-Nasâ‟i. Sunan al-Nasâ‟i (Beirut: Maktab al-
Matbûʻah al-Islâmiyah, 1986) juz 7, h. 93. 37
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482.
49
Kelima, Allâh Swt. menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu,
meskipun mereka berbeda bahasa, jenis dan bangsanya.38
Allâh Swt berfirman
dalam surah al-Mu‟minûn/23: 52:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama
yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.”39
Pada ayat lain Allâh Swt. berfirman:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama
yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (Q.S. al-Anbiyâ/21:
92).40
Saʻîd Hawwa mengatakan tuntutan dari ayat-ayat ini adalah umat Islam
harus menjadi umat yang satu, mempunyai kesatuan politik yang satu dan
mempunyai negara yang satu yang didirikan oleh mereka sendiri.41
Keenam, sesungguhnya Allâh Swt. telah menetapkan bahwa umat Islam
adalah umat yang satu, Allâh Swt. juga mewajibkan umat Islam untuk mendirikan
satu negara yang dibentuk oleh mereka sendiri dan menetapkan bahwa masalah
pemerintahan harus didasarkan atas syura. Allâh Swt. berfirman, “Dan urusan-
urusan mereka diselesaikan dengan cara syura di antara mereka.” Apabila umat
Islam diharuskan menjadi umat yang satu dan diwajibkan memilih seseorang
untuk memimpin pemerintahan, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali
memilih seorang pemimpin untuk memimpin negara Islam di saat memang belum
38
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482. 39
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 345. 40
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 330. 41
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483.
50
ada pemimpinnya. Mereka harus mengangkat hanya satu pemimpin karena
pertimbangan mereka adalah umat yang satu dan harus memiliki satu negara.42
C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin
Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, karena tugas sebagai
pemimpin di samping memang memang merupakan tugas yang penting dan berat,
ia juga mengharuskan orang tersebut memiliki sifat-sifat khusus. Saʻîd Hawwa
menyebutkan ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:43
1. Islam
Saʻîd Hawwa mengatakan tugas kekhalifahan dengan sendirinya
mensyaratkan orang yang memegang jabatan khalifah harus beragama Islam.
Tugas seorang khalifah adalah menegakkan agama Islam dan mengarahkan politik
negara sesuai dengan aturan-aturan Islam. Tugas seperti itu tidak bisa dijalankan
dengan benar kecuali oleh seorang Muslim yang meyakini agamanya dengan
sungguh-sungguh, mengetahui dasar-dasar dan petunjuk Islam. Sehingga bisa
disimpulkan, dengan sendirinya seorang pemimpin negara Islam haruslah seorang
Muslim.44
Kemusliman seorang khalifah merupakan konsekuensi logis dari
karakter negara Islam dan juga sesuai dengan logika normal. Islam sendiri
melarang jabatan khalifah dipegang oleh non-Muslim.45
Jika dilihat pandangan
Saʻîd Hawwa, pemimpin harus Muslim jika negara tersebut adalah negara Islam.
42
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483. 43
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483-484. 44
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 45
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484.
51
Syarat ini tentunya agak sulit terpenuhi jika negara tersebut bukanlah negara
Islam. Namun, syarat ini terlihat akan lebih mudah terpenuhi jika negara tersebut
mayoritas berpenduduk Muslim sekalipun negaranya tidak berbentuk negara
Islam, seperti negara Indonesia yang ber-azaskan demokrasi.
Saʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengangkat firman Allâh
Swt. surah Âli „Imrân/3: 28 sebagai berikut:
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat seperti itu,
niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allâh, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allâh
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allâh kembali
(mu).”46
Dalam ayat ini ajaran Islam melarang seorang mukmin menjadikan non-
Muslim sebagai penolong, begitu juga ajaran Islam melarang seorang mukmin
menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin mereka, karena pemimpin juga
termasuk penolong.47
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa surah Âli „Imrân/3: 28 merupakan sebuah
larangan bagi orang-orang mukmin agar mereka tidak menjadikan orang-orang
kafir sebagai pemimpin, baik itu karena faktor kekerabatan, persahabatan, ingin
mendapatkan manfaat, karena faktor kecintaan ataupun karena rasa takut.48
Maka
46
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 53. 47
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 48
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 730.
52
jelas bahwa orang mukmin hanya boleh memilih orang yang beriman untuk
dijadikan pemimpin mereka.
Di dalam menafsirkan kata ي د انؤي, Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa
orang-orang mukmin dipersilahkan untuk mengangkat sebagian dari mereka
(orang mukmin) sebagai pemimpin, hal ini sebagai alternatif atau untuk
menghindar dari menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, sehingga
orang-orang mukmin tidak mengutamakan orang-orang kafir di atas orang-orang
mukmin.49
Selanjutnya Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa bagi siapa saja yang
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, bahwa dia telah keluar dari wilayah
Allâh. Karena menjadikan Allâh sebagai pemimpin dan sekaligus menjadikan
musuh-Nya (orang kafir) sebagai pemimpin, merupakan dua hal yang
bertentangan.50
Di sini akan terlihat sebuah pertentangan jika orang mukmin
memilih orang kafir sebagai pemimpin, karena orang kafir adalah orang yang
memiliki keyakinan yang berbeda dengan orang mukmin di dalam hal keyakinan
agama. Maka antara hukum atau aturan yang berasal dari Allâh dengan hukum
aturan yang berasal dari orang kafir, sangat mungkin sekali untuk terjadi
pertentangan.
Kemudian Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Katsîr dalam menafsirkan
kalimat إال أ حخما يى حمبةdimana Ibnu Katsîr mengatakan; “kecuali orang mukmin
yang khawatir terhadap kejahatan orang-orang kafir dalam sebagian negeri dan
waktu, maka boleh bagi orang mukmin tersebut untuk menghindari kejahatan
mereka secara lahiriyah/taqiyah (menyembunyikan identitas), tidak secara batin
49
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 50
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
53
dan niat”.51
Di sini diperbolehkan jika memiliki pemimpin kafir, dikarenakan
mayoritas penduduk negeri itu adalah orang kafir, atau karena orang yang beriman
takut atau khawatir terhadap kejahatan yang dilakukan orang kafir. Namun
menjadikan mereka sebagai pemimpin, hanya sebatas lahiriyah saja, namun di
dalam hati tetap beriman kepada Allâh dan selalu mengikuti aturan-aturan-Nya.
Saʻîd Hawwa mengutip sebuah hadis dari Imâm Bukhâri yang meriwayatkan
dari Abû Dardâ bahwa ia berkata: “sesungguhnya kita bermanis-manis di hadapan
beberapa kaum (orang kafir), padahal hati kami melaknat mereka”. Imâm Bukhâri
berkata yang berasal dari Imâm Hasan bahwa taqiyah diperbolehkan sampai hari
kiamat.52
Imâm al-Nasafî mengomentari dalam makna pengecualian berikut: “kecuali
kamu khawatir terhadap orang-orang kafir akan satu perkara yang wajib
menghindarinya, maksudnya adalah kecuali bila orang kafir tersebut mempunyai
kekuasaan atasmu. Jika kamu khawatir terhadap jiwa dan hartamu, maka ketika
itu dibolehkan bagimu untuk menampakkan muwâlah (bersahabat/persahabatan)
dan menyembunyikan permusuhan”.53
Saʻîd Hawwa mengatakan Allâh telah memperingatkan siksaan-Nya
terhadap kita di dalam menentang Allâh. Dia juga telah memperingatkan siksaan
dan azab-Nya terhadap orang-orang yang menolong musuh-Nya dan memusuhi
para kekasih-Nya. Karena hanya kepada Allâh kita kembali dan siksaan tersebut
telah dipersiapkan di sisi-Nya.54
51
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 52
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 53
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 54
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730-731.
54
2. Laki-laki
Seorang pemimpin disyaratkan harus seorang laki-laki, karena tabiat
wanita tidak memungkinkannya memegang kepemimpinan negara, yang
menuntutnya untuk bekerja secara terus-menerus, memimpin tentara dan
mengatur segala urusan. Tugas-tugas ini tentunya sangat berat dan melelahkan
bagi wanita.55
Saʻîd Hawwa mengangkat sebuah hadis yang menjadi dalil untuk
melarang kepemimpinan wanita. Rasulullah Saw. bersabda:
أب بكشة ت دذث أب ع ع عهى دذثب ذ ع عه صه انه انب ع
فه ى إن ايشأةلبل ن و أعذا أيش خ ل
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Uyainah, telah
menceritakan kepadaku Ayahku dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: Tidak akan sukses suatu kaum yang menyandarkan
urusan (kepemimpinan) mereka pada wanita.”56
Pada bagian ini, Saʻîd Hawwa tidak menjelaskan panjang lebar bahwa
syarat seorang pemimpin haruslah laki-laki. Namun jika dilihat negara-negara di
dunia, terdapat beberapa negara yang memiliki pemimpin atau pernah dipimpin
oleh seorang wanita, termasuk salah satunya adalah negara Indonesia. Boleh jujur
dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan ketika Indonesia dipimpin
baik oleh laki-laki maupun perempuan.
3. Akil Balig
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin disyaratkan harus
sudah mukallaf atau akil balig. Anak kecil, orang gila dan orang ayan sudah
barang tentu tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin negara. Maksud
55
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 56
Imâm Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 5, h. 38.
55
utama dari kepemimpinan adalah mengurusi wilayah orang lain, sedangkan orang-
orang tersebut (orang gila dan ayan) tidak ada kemampuan untuk mengurusi diri
mereka sendiri, sehingga tidak mungkin mereka diserahkan tugas untuk
mengurusi orang lain.57
Anak kecil, orang gila dan orang ayan secara syara‟ tidak dimintai
pertanggungjawaban, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw:
ت ع عه بد ب أخبشب د بس بت دذثب ضذ ب أب ش ب ب ب عث دذث
ب ع انه عبئشت سض د ع انأع ى ع إبشا بد ع صه د سعل انه أ
بخه ان ع مظ انبئى دخ غخ ثهبثت ع عهى لبل سفع انمهى ع عه انه
دخ كبش انصب ع دخ بشأ
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata,
telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan
kepada kami Hammad bin Salamah dari hammad dari Ibrahim dari Al Aswad dari
'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Pena (pencatat amal) di angkat (tidak digunakan untuk mencatat amal) tiga
golongan: anak kecil hingga ia sampai masa akil balig, orang yang tidur hingga ia
bangun dan dari orang gila hingga ia sadar.”58
Orang yang tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sudah barang
tentu tidak akan mungkin bertanggung jawab atas diri orang lain. Dasar utama
kepemimpinan adalah mengemban tanggung jawab penuh (al-Masʻûliyyah al-
Tâmmah). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
ب عبذ انه بعم دذث يبنك ع دذثب إع ش سض ع ب عبذ انه دبس ع
ب ع انه
سعخ كهكى يغئل ع عهى لبل أنب كهكى ساع عه صه انه سعل انه أ
يغئل ع م فبنئيبو انز عه انبط ساع انشجم ساع عه أ سعخ
57
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 485. 58
Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats al-Sajastani. Sunan Abî Dâwud (Beirut: Dâr al-
Kitâb al-ʻArabî, t.th) Juz 4, h. 243.
56
نذ ب ج ج ص م ب شأة ساعت عه أ ان سعخ يغئل ع خ ب
أنب يغئل ع عبذ انشجم ساع عه يبل عذ ى فكهكى ساع يغئنت ع
سعخ كهكى يغئل ع
“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku
Malîk dari „Abdullah bin Dinâr dari „Abdullâh bin „Umâr radiallahu 'anhuma,
Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang
memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan
dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin
terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin
terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya,
ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”59
Dapat dikatakan bahwa seseorang yang sudah akil balig, sudah bisa
membedakan antara yang baik dan buruk, dapat membedakan antara yang benar
dan salah, tentunya akan mempunyai pemikiran yang matang jika diserahkan
tanggungjawab untuk memimpin sebuah negara. Maka dikhawatirkan jika negara
dipimpin oleh seseorang yang belum akil balig, negara tidak mempunyai tujuan
yang jelas, sehingga akan timbul kekacauan.
4. Pandai
Seorang pemimpin disyaratkan harus seorang yang pandai. Ilmu yang
pertama-tama harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah ilmu tentang hukum-
hukum Islam, karena ia berkewajiban untuk melaksanakan dan menerapkan
hukum-hukum tersebut dan mengarahkan politik negara agar sesuai dan selaras
dengan aturan-aturan Islam. Apabila seseorang tidak mengetahui hukum-hukum
Islam, maka ia tidak boleh diajukan untuk menjadi pemimpin.60
59
Muẖammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 (Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh,
2001), h. 42. 60
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 485.
57
Sebagian ulama berpendapat bahwa tingkat kemampuan keilmuan
seorang pemimpin dalam masalah hukum harus tinggi, tidak boleh hanya taklid
kepada ulama-ulama pendahulunya, karena taklid termasuk kekurangan, sehingga
disyaratkam harus sudah sampai pada taraf mujtahid.61
Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus
ahli dalam masalah hukum Islam, ia juga harus mempunyai wawasan dan
cakrawala pengetahuan yang luas. Mengetahui dengan baik cabang-cabang ilmu
yang berkembang pada masanya, meskipun ia tidak sampai pada taraf ahli dalam
setiap spesialisasi ilmu-ilmu tersebut. Pemimpin juga disyaratkan harus
mengetahui sejarah dan pengetahuan tentang negara-negara di dunia, mengetahui
undang-undang internasional, perjanjian-perjanjian internasional, dan juga
pengetahuan tentang hubungan-hubungan politik, sejarah dan perdagangan di
antara negara-negara di dunia.62
Kepandaian adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Kepandaian dari seorang pemimpin adalah bekal serta jaminan bagi
sebuah negara untuk terus maju. Jika melihat realita yang terjadi sekarang ini,
persaingan antara negara yang satu dengan negara lain terjadi, maka apabila
seorang pemimpin tersebut adalah orang yang pandai, ia dapat memenangi
persaingan tersebut dengan cara yang sehat dan bijak. Tentunya pemimpin harus
memiliki kepandain, terutama dalam hal agama. Sehingga nilai-nilai agama akan
selaras dan sejalan dengan arah tujuan negara tersebut.
5. Adil
61
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 62
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486.
58
Saʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus
mempunyai sifat adil, karena dia membawahi jabatan-jabatan yang harus
dipegang oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil juga, oleh karena itu sudah
barang tentu apabila jabatan pemimpin harus dipegang oleh orang-orang yang
mempunyai sifat adil.63
Saʻîd Hawwa mengutip standar adil menurut para ahli fiqih yakni
apabila seseorang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dan juga
keutamaan-keutamaan dalam agama, meninggalkan kemaksiatan, hal-hal yang
hina dan semua hal yang bisa menghilangkan kehormatan. Sebagian ulama
mensyaratkan sifat adil harus muncul dari kebiasaan diri bukan karena
keterpaksaan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa meskipun
sifat adil berawal dari keterpaksaan, namun akhirnya nanti juga akan menjadi
kebiasaan pribadi seseorang.64
Bersikap adil merupakan sebuah etika yang wajib dimiliki oleh
seorang pemimpin. Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari
bahasa Arab “‟adl”. Kata „adl terambil dari kata „adala yang terdiri dari huruf
„ain, dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang
bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda.”65
Seorang
yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran
63
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 64
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 65
Abu Husain Ahmad bin Fâris, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dâr al-Fikr,
1994/1415), h. 745.
59
yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seroang yang
adil tidak berpihak kepada yang salah.66
Salah satu ayat al-Qur‟an yang mebicarakan tentang keadilan adalah
surah al-Nisâ/4: 58, yang menjelaskan bahwa apabila menetapkan hukum harus
dengan adil. Berikut surah al-Nisâ/4: 58:
“Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat.”67
Al-Baidhâwi menyatakan bahwa al-„adl bermakna al-insâf wa al-sawiyyat,
“berada di pertengahan dan mempersamakan.”68
Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh al-Râghib69
dan Rasyîd Ridhâ.70
Sejalan dengan pendapat ini,
Sayyid Qutb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan
yang dimilki setiap orang.71
Ini berarti bahwa manusia mempunyai hak yang sama
oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan
66
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/
tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran dan (3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Lihat
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 7. 67
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87 68
Nasruddin Abu Al-Khair „Abdullâh bin „Umar Al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr
al-Ta‟wîl, jilid I (Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939), h. 191. 69
Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân
(Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H) h. 235. 70
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, jilid V, h. 174. Ridhâ menyatakan bahwa
keadilan yang diperintahkan dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti
menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. 71
Sayyid Qutb, Fî Zilâl Al-Qur‟ân, jilid V (Beirut: Dâr al-„Arabiyah, 2000), h. 118;
Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalil di atas menhendaki keadilan yang menyeluruh di antara
sesama manusia, bukan keadilan di antara sesama muslim atau sesama ahli kitab dan tidak pula
atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai
manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
60
oleh al-Marâghî. Ia tidak meilhat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi
menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah
ditetapkan menjadi milik seseorang. Konsep al-Marâghî ini lebih relevan dengan
kata al-qist dari pada kata al-„adl.72
Saʻîd Hawwa menjelaskan tentang makna keadilan pada ayat tersebut,
bahwa di dalam menetapkan hukum antar sesama manusia, maka harus
memutuskan dengan sama rata, tidak dicampuri atau tidak disertai dengan hawa
nafsu dan kecurangan, dan memutuskannya dengan menggunakan hukum Allâh.73
Itulah pendapat Saʻîd Hawwa di dalam menjelaskan tentang makna “menetapkan
hukum dengan adil.”
6. Mempunyai Kemampuan
Saʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus
mempunyai kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing
masyarakat di samping tentunya harus mempunyai keahlian dalam melaksanakan
tugas-tugas administratif dan perpolitikan. Barangsiapa mengerjakan hal itu
dengan adil maka ia telah melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.74
Tidak dijelaskan oleh Saʻîd Hawwa secara spesifik bagaimana
kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Namun, sudah menjadi
keniscayaan bahwa seorang pemimpin harus mempunayi kemampuan di dalam
memimpin. Negara merupakan sebuah institusi besar, yang di dalamnya hidup
manusia yang banyak terdiri dari berbagai agama, suku, kebudayaan, adat-istiadat,
72
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik , h. 190. 73
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1088. 74
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486
61
dan lain-lain. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan beragam masalah, baik itu
permasalahan dalam bidang agama, ekonomi, sosial, budaya serta permasalahan-
permasalahan lain yang lazimnya muncul dari sebuah negara. Makan menjadi
keharusan bagi seorang pemimpin, untuk memiliki kemampuan mengahadapi
setiap permasalahan, serta mengatur segala hal yang berhubungan dengan negara,
sehingga negara akan terus menjadi lebih baik.
7. Sehat Jasmani
Saʻîd Hawwa memasukkan pendapat sebagian ulama yang
mensyaratkan seorang pemimpin harus berbadan sehat dan tidak cacat. Orang
yang buta, tuli, bisu, dan hilang sebagian anggota badannya tidak boleh menjadi
seorang pemimpin. Argumentasi ulama yang berpendapat seperti ini adalah,
kecacatan seseorang akan mengurangi kemampuan kerja atau paling tidak
pekerjaannya tidak akan terselesaikan dengan sempurna.75
Jika seseorang secara jasmani tidak sehat atau cacat, bisa
dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi penghambat bila ia ditugaskan untuk
memimpin sebuah negara. Namun hal ini bisa jadi menimbulkan pertentangan,
karena tidak menutup kemungkinan seseorang yang tidak sehat secara jasmani,
tetapi memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah negara dikarenakan
memiliki illmu yang luas, gagasan-gagasan besar yang bisa menjadi solusi untuk
kemajuan sebuah negara. Sehingga harus dikaji lebih dan spesifik syarat seorang
pemimpin dalam poin ini.
75
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486-487.
62
8. Keturunan Quraisy
Pada syarat yang terakhir ini untuk dipenuhi seorang pemimpin, Saʻîd
Hawwa mengatakan bahwa syarat ini masih banyak yang memperdebatkan.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang khalifah harus dari keturunan
Quraisy, argumentasi mereka adalah hadis-hadis Rasulullah yang berkaitan
dengan masalah ini. Sabda nabi Muhammad Saw. yang menyangkut masalah ini
adalah sebagai berikut:76
انذبسد ع انمبعى ب أب ثببج ع دبب ب ع ى دذثب عفب دذثب أب ع
أب يغعد لبل عخبت ع ب عبذ انه عهى لبل سعل انه عه صه انه
زا انأيش نب ضال ش إ يب نى حذذثا فئرا فعهخى رنك عهط نمش نبح خى أ فكى
ب هخذ انمضب كى ك انخذ كى ششاس خهم عه انه
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada
kami Sufyan dari Habib bin Abu Tsabit dari Al Qosim bin Al Harits dari
'Abdullah bin 'Utbah dari Abu Mas'ud berkata; Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepada kaum Quraisy; Masalah kekuasaan
ini akan tetap ada pada kalian dan kalian yang menguasainya selama kalian tidak
membuat-buat hal-hal baru. Bila kalian melakuannya, Allah akan memberi kuasa
pada makhlukNya yang jahat untuk menguasai kalian lalu mereka akan menguliti
kalian laksana pedang tajam menguliti.”77
Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun, yang memberikan
alasan bahwa keharusan kepemimpinan dipegang oleh Quraisy adalah karena
soliditas dan fanatisme suku Quraisy yang sangat kuat.78
“Sesungguhnya kaum Quraisy merupakan kaum yang paling kuat
solidaritasnya dalam komunitas bani Mudhir, dia juga merupakan asal-usul
keberadaan komunitas ini dan ia jga kaum yang paling kuat dalam komunitas ini.
76
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 487. 77
Ahmad bin Hanbal Abu „Abdullâh al-Syaibâni. Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo:
Mu‟assasah Qurtbah, t.th) Juz 5, h. 274. 78
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 489.
63
Orang-orang Arab selain suku Quraisy mengakui keistimewaan Quraisy tersebut.
Kalau seandainya para pemimpin diangkat dari selain kaum Quraisy, maka
hampir dipastikan akan muncul perpecahan karena suku Quraisy pasti menentang
dan tidak mau tunduk kepadanya. Suku-suku lainnya yang masih dalam
komunitas bani Mudhir juga tidak mampu menghalangi atau memaksa kaum
Quraisy ini untuk menghentikan pembangkangan ini. Maka akan muncul banyak
kelompok dan kekuatan akan terpecah belah. Padahal syara‟ melarang hal itu dan
sangat mengharapkan adanya persatuan.”
Dari uraian Ibnu Khaldun, Saʻîd Hawwa menyimpulkan bahwa alasan
disyaratkanya seorang khalifah atau pemimpin harus dari keturunan Quraisy
adalah karena kaum Quraisy mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Hak mereka
untuk diprioritaskan menjadi khalifah hilang dengan sendirinya di saat kekuatan
mereka melemah.79
Saʻîd Hawwa mengingatkan untuk perlu diperhatikan bahwa kelompok
yang masih tetap mensyaratkan khalifah harus dipegang oleh keturunan Quraisy,
membolehkan kekhalifahan atau kepemimpinan tersebut dipegang oleh orang
yang menang dalam perebutan kekuasaan, walaupun ia bukan orang Quraisy.
Namun mereka membolehkan hal itu karena darurat.80
Demikianlah delapan syarat menurut pandangan Saʻîd Hawwa yang
harus dimiliki dan dipenuhi oleh seorang pemimpin. Kemudian Saʻîd Hawwa juga
mengatakan, apabila kondisi menuntut ditambahnya beberapa syarat karena
pertimbangan kemaslahatan umum, maka boleh menambahkan syarat-syarat
tersebut. Seperti, persyaratan pemimpin harus dipegang oleh seseorang yang
sudah mencapai umur tertentu, juga diperbolehkan. Boleh juga mensyaratkan
pemimpin harus sudah mencapai tingkatan akademis tertentu. Al-hasil, syarat-
syarat lain boleh ditetapkan apabila memang kondisi yang berubah dan
79
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. 80
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490.
64
kemaslahatan umat menuntut itu. Namun, semuanya harus ditetapkan melalui
prosedur penetapan Dewan Tinggi Permusyawaratan Muslimin.81
D. Pengangkatan Seorang Pemimpin
1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan
Agama
Sa‟îd Hawwa mengatakan bahwa hanya ada satu prosedur legal
pengangkatan seorang khalifah atau pemimpin, yaitu dengan pemilihan yang
dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahl al-halli wa al-ʻaqdi) dan
kesanggupan yang dinyatakan oleh orang yang dipilih menjadi pemimpin.82
Pengangkatan seorang pemimpin harus dilakukan dengan mekanisme
kontrak. Pihak pertama adalah orang yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin
dan pihak kedua adalah para tokoh yang mewakili umat Islam. Sebuah kontrak
(aqad) tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijâb, penyerahan tanggung jawab,
dan al-qabûl, yaitu penerimaan tanggung jawab. Al-Ijâb dilakukan oleh ahl al-
halli wa al-„aqdi atau ahl al-syura. Al-Ijâb pada hakikatnya adalah proses
pemilihan pemimpin itu sendiri. Adapun al-qabûl datang dari pihak orang yang
terpilih menjadi pemimpin. Mekanisme inilah yang dipraktikkan oleh para sahabat
setelah meninggalnya Rasulullah Saw.. Khulafa al-Rasyidîn dipilih dan diangkat
dengan mekanisme seperti ini.83
Namun, jika dilihat dari realita yang ada,
sebagian besar negara di dunia menggunakan sistem pemilu dengan multi-partai,
atau hanya beberapa partai, yang boleh dikatakan tetap bisa menghasilkan seorang
pemimpin yang berkualitas.
81
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. 82
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 491. 83
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490.
65
Inti dari mekanisme yang dijelaskan oleh Saʻîd Hawwa adalah
pengangkatan seorang pemimpin dengan cara musyawarah. Saʻîd Hawwa
mengangkat surah al-Syûra/42: 38 untuk menjelaskan hal ini. Berikut bunyi surah
al-Syûra/42: 38:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada
mereka.”84
Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa masalah pemerintahan adalah masalah
umat yang penting yang harus diselesaikan lewat mekanisme musyawarah. Umat
Islam harus memilih orang yang akan memegang kepemimpinan yang bertugas
menangani urusan-urusan mereka dan melaksanakan perintah-perintah Allâh Swt.
agar mereka memang betul-betul sesuai dengan sifat yang diberikan oleh Allâh
Swt. kepada mereka, yaitu urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka.85
2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin
Menurut syara‟ seorang khalifah atau pemimpin adalah wakil resmi umat
dalam menjalankan perintah-perintah Allâh dan mengatur urusan-urusan umat
dengan pedoman aturan-aturan Allâh. Kedua tugas ini merupakan tugas permanen
umat Islam. Khalifah atau pemimpin sebagai wakil umat tidak dibatasi dengan
84
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 487. 85
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 492.
66
waktu tertentu untuk menjalankan tugas ini, namun tugas tersebut tetap harus
dijalankan oleh pemimpin hinga akhir umurnya selagi ia mampu
melaksanakannya dan selagi ia tidak melakukan hal-hal yang bisa dijadikan alasan
untuk mencopotnya dari jabatannya. Pembatasan waktu pemberian tugas terhadap
pemimpin tidak artinya di saat tugas tersebut masih menjadi kewajibannya, karena
masih mampu melaksankannya dan masih layak menjadi pemimpin.86
Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa praktik kekhalifahan pada masa awal
Islam juga menunjukkan bahwa jabatan khalifah berlangsung hingga
meninggalnya khalifah tersebut, selagi ia tidak memutuskan untuk mengundurkan
diri, seperti yang dilakukan oleh al-Hasan bin „Ali dan Muʻawiyah bin Yazîd, dan
selagi ia tidak diturunkan dari jabatannya karena suatu sebab, sebagaimana yang
terjadi pada diri Ibrahim bin Walîd dan Marwan bin Muhammad pada masa
kekhalifahan Muʻawiyah.87
Pengalaman sejarah menegaskan bahwa jabatan khalifah hingga
meninggalnya pemegang jabatan lebih menjamin stabilitas berbagai urusan umat;
mencegah terjadinya perselisihan dalam menentukan seorang khalifah dan
mencegah terjadinya kompetisi untuk merebut kekuasaan. Pergantian khalifah
hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat. Keadaan darurat tersebut hanya
terjadi pada tiga kondisi, yaitu ketika khalifah meninggal dunia, ketika khalifah
dicopot dari jabatannya, dan ketika khalifah menyatakan sendiri pengunduran
dirinya dari jabatan.88
86
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 87
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 88
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498.
67
Sebenarnya tidak ada nas yang menyatakan bahwa seorang khalifah atau
pemimpin harus bertugas hingga meninggalnya, namun ijma‟ umat Islam sudah
cukup untuk dijadikan dalil mengenani masalah ini.89
Karena ijma‟ merupakan
salah satu dasar syariat Islam.
3. Pencopotan Seorang Pemimpin
Memegang tugas sebagai pemimpin hingga mati merupakan hak seorang
pemimpin, namum pencopotan pemimpin dari jabatannya juga merupakan hak
umat apabila pemimpin tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal
ini karena pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin disertai dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Apabila dia masih sanggup memenuhi
syarat-syarat tersebut maka ia masih berhak memegang jabatannya, namun
apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka ia berhak untuk dicopot dari
jabatannya.90
Seorang pemimpin bisa dianggap berubah dan berhak untuk dicopot dari
jabatannya apabila terjadi kecacatan dalam keadilannya atau terjadi kecacata pada
tubuhnya. Saʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengutip pendapat al-
Mawardi.91
4. Cacatnya Keadilan
89
Ijma‟ di sini hanya menetapkan kebolehan seorang khalifah bertugas hingga akhir masa
hidupnya. Ijma‟ ini tidak bisa dipahami sebagai pelarangan pembatasan masa tugas khalifah atau
pemimpin. Jika umat Islam mensyaratkan pembatasan waktu, maka harus dijalankan karena syarat
yang ditetapkan oleh umat Islam harus dipenuhi. 90
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 91
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.
68
Hal yang bisa menyebabkan keadilan seseorang rusak atau cacat adalah
karena ia telah melakukan kefasikan. Kefasikan ada dua macam. Pertama,
kefasikan-kefasikan yang disebabkan menurut hawa nafsu. Kedua, kefasika-
kefasikan yang termasuk kategori syubhat, yakni hal-hal yang belum jelas status
hukumnya.92
Bentuk kefasikan yang pertama berhubungan dengan kerja anggota tubuh.
Yaitu di saat anggota tubuh melakukan hal-hal yang diharamkan atau hal-hal yang
munkar karena menuruti syahwat dan hawa nafsu, seperti melakukan perzinaan,
meminum khamr atau mengambil sesuatu tanpa izin. Apabila seseorang
melakukan bentuk kefasikan ini, maka ia tidak bisa diangkat menjadi pemimpin.
Apabila seseorang sudah menjadi pemimpin dan ia melakukan kefasikan ini,
maka ia harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila ia bertaubat dan keadilannya
kembali lagi, maka tidak bisa menjadi pemimpin lagi secara otomatis, melainkan
harus dengan akad baru lagi, pendapat seperti ini dikemukakan oleh al-Mawardi
dan sebagian ahli fiqih.93
Adapun bentuk kefasikan yang kedua berhubungan erat dengan masalah
keyakinan. Orang yang melakukan penakwilan-penakwilan dengan berdasarkan
hal-hal yang masih belum jelas (syubhat) akan terjerumus pada kesalahan. Orang
yang melakukan jenis kefasikan ini dihukumi sebagaimana orang yang melakukan
kefasikan jenis pertama. Ia tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan harus
dicegah untuk melakukan kefasikan itu lagi. Adapun sebagian ulama lain
berpendapat bahwa kefasikan yang berhubungan dengan keyakinan ini tidak
sampi menyebabkan dicopotnya seorang pemimpin dari jabatannya. Bahkan ada
92
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499. 93
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.
69
yang berpendapat bahwa dua jenis kefasikan tersebut sama sekali tidak
berpengaruh apapun bagi jabatan pemimpin selagi tidak sampai pada tingkatan
kafir.94
Di antara dalil yang digunakan oleh kelompok terakhir ini adalah hadis
yang diriwayatkan oleh „Ubadah bin al-Samit, ia berkata:
عع ذ ب يبنك ع دذث ع عببدة ب نذ ب ان ذ لبل أخبش عببدة ب
لبل جذ ع أب عهى عه انصبيج ع عه صه انه ببعب سعل انه
كش ان شط ان انعغش انطبعت ف انغش ع انغ ه نب بصع انأيش أ أ
يت نبئى ن ب كب نب خبف ف انه ث مو ببنذك د مل أ أ“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa'id berkata,
telah mengabarkan kepadaku 'Ubadaah bin Al Walid bin Ubadah bin Ash-Shamit
dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, "Kami telah berbai'at kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam untuk selalu mendengar dan taat, baik pada waktu
mudah ataupun sulit, dalam keadaan semangat ataupun terpaksa, untuk tidak
menentang pemerintahnya, serta selalu berkata atau menegakkan kebenaran di
mana pun kami berada, untuk tidak takut dalam menegakkan urusan karena Allah
meskipun mendapat celaan.”95
5. Kecacatan Pada Tubuh
Hal-hal yang menyebabkan kondisi pemimpin berubah, dan karenanya
bisa dicopot dari jabatannya, Saʻîd Hawwa mengutip pendapat al-Mawardi yang
mengatakan bahwa ada tiga macam yang menyebabkan seorang pemimpin dapat
diturunkan dari jabatannya karena disebabkan kecacatan tubuh yang ada pada diri
seorang pemimpin.96
Pertama, hilangnya daya pancaindra (naqsu al-hawâs). Orang yang tidak
mempunyai kemampuan melihat, tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, begitu
juga jika kecacatan tersebut terjadi ketika ia sedang menjadi pemimpin, maka ia
harus turun dari jabatannya. Adapun kecacatan tuli atau bisu, para ula ulama
94
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, 499. 95
Imâm Muslim. Sahîh Muslim, Juz 6, h. 16. 96
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500.
70
sepakat bahwa orang yang tuli dan bisu tidak boleh diangkat menjadi pemimpin,
namun para ulama berbeda pendapat apabila kecacatan tersebut terjadi ketika ia
sedang menjabat sebagai pemimpin, sebagian mengkategorikannya sebagai hal
yang membatalkan kepemimpinannya, dan sebagian lagi menganggapnya tidak,
sehingga ia masih berhak menjadi pemimpin.97
Kedua, hilangnya anggota badan (naqsu al-a‟dâ). Hilangnya sebagian
anggota badan ada yang menyebabkan pengangkatan seorang pemimpin menjadi
tidak sah, baik kecacatan tersebut terjadi sebelum atau sesudah pengangkatan.
Termasuk ke dalam kategori ini adalah hilangnya anggota badan yang
meyebabkan pekerjaan dan tugas tidak bisa dilaksanakan, seperti hilangnya kedua
tangan atau yang menyebabkan seseorang sama sekali tidak bisa bergerak dengan
aktif, seperti hilangnya kedua kaki. Ada perbedaan pendapat di antara ulama,
apabila anggota badan yang hilang tersebut tidak menyebabkan terhentinya
pekerjaan dan aktivitas secara total; sebagian berpendapat apabila kecacatan
seperti ini terjadi dalam masa kepemimpinannya, maka hal itu menyebabkan
gugurnya hak kepemimpinan, dan sebagian ulama yang lain berpendapat hal itu
tidak menggugurkan hak kepemimpinan sama sekali.98
Ketiga, tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan aktivitas (naqsu
al-tasarruf). Kondisi ini adakalanya disebabkan oleh adanya pihak lain yang
mengendalikannya (al-hijr) atau karena adanya tekanan dan paksaan dari pihak
lain (al-qahr). Maksud dari al-hijr adalah, adanya pihak-pihak lain semisal kawan
pemimpim yang mengendalikan dan berperan secara dominan dalam
melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, namun orang-orang tersebut tidak
97
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500. 98
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501.
71
melakukan kemaksiatan-kemasiatan dan juga tidak mengangkat perselisihan dan
penentangan terhadap pemimpin. Apabila terjadi kondisi seperti ini, maka seorang
pemimpin tidak harus diturunkan dari jabatannya, namun harus dilihat terlebih
dahulu aksi-aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mengendalikannya.
Apabila aksi-aksianya sesuai dengan hukum-hukum agama dan selaras dengan
semangat keadilan, maka pemimpin terus berada pada jabatannya, namun, apabila
aksi-aksinya melanggar hukum-hukum agama dan tidak sesuai dengan semangat
keadilan, maka pemimpin harus meminta bantuan dari pihak lain untuk
melepaskan diri dari kendali orang-orang tersebut.99
Adapun yang dimaksud dengan al-qahr adalah, suatu kondisi di mana
seseorang berada di bawah tekanan dan paksaan musuh, dan dia tidak bisa lepas
dari tekanan tersebut. Orang yang seperti ini tidak boleh diangkat menjadi
pemimpin, karena ia tidak mampu memikirkan urusan-urusan umat. Apabila
kondisi ini terjadi di tengah masa kepemimpinan, maka umat boleh mencopotnya
dari jabatan dan memilih pengganti yang lainnya, karena untuk melepaskan diri
dari tekanan dan paksaan musuh tersebut merupakan masalah yang sangat sulit.100
E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin
Apabila ahl al-syura telah memilih dan membaiat seorang pemimpin,
maka ia secara resmi menjadi pemimpin dengan pembaiatan tersebut. Ketika
pemimpin memegang jabatannya tersebut, ia mendapatkan tugas dan kewajiban-
kewajiban dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya
tersebut. Pemimpin juga dibebani tanggung jawab-tanggung jawab yang
99
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501. 100
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501.
72
jumlahnya tidak terhitung. Namun di sisi lain, ia juga mempunyai hak-hak yang
harus dipenuhi oleh umat Islam, selagi ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya
dan tidak ceroboh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut.101
1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin
Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin sangat banyak, namun secara umum bisa
dikelompokkan kepada dua tugas utama, menegakkan ajaran agama Islam dan
mengatur urusan negara sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh
Islam.102
Pemimpin berkewajiban mengatur urusan-urusan negara sesuai dengan
ajaran yang ditetapkan oleh Islam. Maksud dari uraian tersebut adalah dalam
mengatur urusan-urusan negara, seorang pemimpin harus menggunakan
mekanisme musyawarah, karena agama Islam menetapkan bahwa musyawarah
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat Islam. Seorang
pemimpin harus mengajak musyawarah pihak-pihak yang dipimpinnya dalam
segala permasalahan yang beruhubungan dengan pemerintahan. Pemimpin harus
mengambil pendapat atau sebagian besar pendapat dari mereka apabila memang
mereka tidak sepakat dalam suatu masalah.103
Musyawarah merupakan sebuah ungkapan yang sering diidentikkan
dengan kata demokrasi di era modern. Meskipun ada perbedaan, dalam pandangan
Yûsuf al-Qardâwî, musyawarah dan demokrasi memiliki titik persamaan. Di
101
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 505. 102
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506. 103
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.
73
antaranya adalah bahwa substansi demokrasi adalah memberikan bentuk dan
beberapa sistem yang praktis seperti pemilu untuk meminta pendapat rakyat,
kebebasan berpendapat dan lain-lain. Hal-hal tersebut jelas adalah bagian penting
dari musyawarah yang diajarkan Islam.104
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab musyâwarah yang
merupakan bentuk isim masdar dari kata kerja syâwara, yusyâwiru. Kata ini
terambil dari akar kata syin, wau, dan ra yang bermakna pokok mengambil
sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu.105
M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan
madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup
segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk
pendapat. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasar di atas.106
Salah satu ayat yang mengajarkan bahwa seseorang pemimpin harus
bermusyawah di dalam mengambil keputusan adalah surah Âli „Imrân/3: 159.
“Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
104
Yûsuf al-Qardâwî, Min Fiqh al-Daulah fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1997), h.
125. 105
Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât, h. 270; Ibnu Faris. Mu‟jam Maqâyis, h. 541. 106
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid II, h. 244; Bandingkan dengan Al-Râgib
al-Asfahânî. al-Mufradât, h. 270.
74
bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.”107
Ayat ini turun berkenaan denga peristiwa perang Uhud yang terjadi pada
tahun ketiga hijrah. Dalam peperangan tersebut pada mulanya pasukan muslim di
bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. memperoleh kemenangan. Namun,
karena sebagian pasukan Islam tidak disiplin, maka akhirnya kaum kafir Quraisy
berhasil memporak-porandakan pasukan Nabi. Beliau sendiri menderita luka agak
serius dalam pertempuran tersebut dan bahkan sempat beredar kabar di kalangan
pasukan muslim bahwa Nabi sudah wafat. Akhirnya, berkat pertolongan Allâh,
pasukan muslim berhasil mengusai keadaan dan memenangkan pertempuran
kembali.108
Ayat ini menjelaskan bagaimana Rasulullah diajarkan oleh Allâh untuk
melakukan musyawarah dengan para sahabat atau pasukan Islam dalam peristiwa
perang Uhud. Saʻîd Hawwa menjelaskan makna bermusyawarah pada kalimat di
atas adalah bahwa Rasulullah harus bermusyawarah dengan para sahabat dan
pasukan muslim, dalam seluruh urusan yang khusus ada pada mereka, baik berupa
urusan peperangan, perdamaian dan lain-lain. Saʻîd Hawwa juga menerangkan
bahwa termasuk harus mengadakan musyawarah terhadap hal-hal yang belum
diturunkan wahyu atas nabi Muhammad, hal ini untuk menyenangkan hati mereka
(pasukan Muslim), menggembirakan jiwa mereka, mengangkat derajat mereka,
memberikan kesadaran kepada mereka terhadap pernyataan-pernyataan yang
mereka sampaikan di dalam musyawarah dan menggerakkan mereka ke arah yang
membuat mereka merasa puas, karena musyawarah adalah hal yang maslahat,
107
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 71. 108
Abû Al-Hasân „Ali bin Ahmad Al-Wâhidi Al-Naisaburi, Asbâb al-Nuzûl (tkp:
Maktabah wa Mathba‟ah al-Manâr, t.t.), h. 112.
75
sehingga mereka dapat mengeluarkan kemampuan akal terbaik mereka untuk hal
yang lebih baik bagi kelompok mereka dengan diadakannya musyawarah.109
Pada bagian akhir, Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa jika telah diputuskan
satu pendapat atas sesuatu (telah sepakat) beradasarkan hasil musyawarah, maka
hal yang harus dilakukan adalah bertawakkal atau berserah diri kepada Allâh.
Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal adalah orang-orang
yang bersandar dan orang-orang yang menyerahkan urusan mereka hanya kepada
Allâh. Tawakkal mereka disertai dengan menjalankan serta menunaikan hak-hak
Allâh, melaksanakan perintah-Nya dengan mencurahkan seluruh kemampuan, dan
mereka tidak bersandar kecuali hanya kepada Allâh.110
Dalam menyebutkan tugas-tugas seorang pemimpin, Saʻîd Hawwa
merujuk kepada al-Mawardi yang menyebutkan bahwa tugas-tugas seorang
pemimpin terdiri dari sepuluh hal. Tugas-tugas tersebut adalah sebagai berikut:111
1. Menjaga agama berdasarkan dasar-dasar yang telah disepakati oleh
pendahulu-pendahulu umat Islam, atau dengan kata lain melaksanakan
ajaran-ajaran agama dengan benar.
2. Melaksanakan hukum dan menetapkan hukum bagi orang-orang yang
bersengketa. Dengan kata lain, menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat dan melaksanakan hukum dengan benar.
3. Menjaga keamanan sehingga manusia bisa hidup dan bepergian dengan
aman, dan menjaga stabilitas keamanan dalam negeri.
109
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 916. 110
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 916. 111
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.
76
4. Menegakkan hukuk-hukum had untuk menjaga kehormatan hak-hak
Allâh Swt. agar tidak dilanggar dan juga hak-hak manusia agar tidak
direndahkan dan dicampakkan.
5. Menjaga benteng dengan persiapan yang matang dan kekuatan yang
mantap, sehingga musuh tidak bisa melewatinya dan melakukan
pelanggaran-pelanggaran dan pembunuhan terhadap umat Islam, atau
dengan kata lain, menjaga keamanan daerah perbatasan dengan sarana
dan persiapan yang mantap.
6. Berjihad melawan orang-orang yang memusuhi Islam setelah
mendakwahi mereka dengan baik, hingga mereka masuk Islam.
7. Mengumpulkan harta al-fai‟ (harta yang diperoleh dari orang kafir
tanpa melalui peperangan), dan harta sedekah sesuai dengan aturan-
aturan yang ditetapkan oleh agama, baik aturan yang didasarkan atas
teks keagamaan atau atas dasar ijtihad, serta menjauhi kelaliman dalam
mengumpulkan harta tersebut.
8. Menetapkan ukuran pemberian (gaji) dan harta-harta lain yang
berhubungan dengan bait al-mâl dengan tanpa berlebih-lebihan dan
tidak ceroboh. Serta tepat waktu ketika memberikan harta tersebut
kepada orang yang berhak.
9. Memilih orang-orang yang terpercaya (amânah) ketika hendak
memberi suatu tugas.
10. Hendaknya pemimpin melaksanakan tugas-tugasnya secara langsung
dan meneltinya dengan seksama, agar ia berkonsentrasi dan
77
bersungguh-sungguh dalam mengurusi umat dan menjaga ajaran-ajaran
agama.
Inilah kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang pemimpin.
Semua kewajiban-kewajiban tersebut, tercakup dalam tugas utamanya, yaitu
melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dan mengatur urusan-urusan negara
sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh ajaran Islam.
2. Hak-hak Seorang Pemimpin
Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa seorang pemimpin mempunyai dua hak
sebagai imbalan atas keseriusannya dalam melaksankan tugas-tugasnya. Yang
pertama adalah hak yang menjadi kewajiban rakyat untuk melaksanakannya, dan
yang kedua adalah hak untuk mendapatkan sebagian harta umat Islam.112
1. Hak yang Menjadi Kewajiban Rakyat
Hak seorang pemimpin adalah ditaati dan dipatuhi oleh rakyatnya.
Saʻîd Hawwa mengangkat surah al-Nisâ/4: 59 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”113
112
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 507.
113 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87
78
Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah
pemimpin yang Muslim. Adapun pemimpin yang bukan Muslim, maka seorang
muslim tidak boleh taat dan tidak boleh menjadikannya sebagai pemimpin.114
Kemudian Saʻîd Hawwa menukil pendapat dari Ibn „Abbas yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah mereka para ahli fiqih dan ahli
agama. Tidak ada kontradiksi terhadap pendapat di atas, karena pada dasarnya
umarâ atau pemimpin harus juga seorang ulama lagi fuqaha.115
Maka jika dilihat
dari pendapat Saʻîd Hawwa, bisa disimpulkan bahwa tidak ada kewajiban untuk
taat terhadap pemimpin yang bukan berasal dari Islam (non-Muslim).
Sayyid Qutb mengatakan tentang ayat ini, bahwa Allâh Swt. menjelaskan
syarat iman dan batasan Islam. Dalam waktu yang sama dijelaskan pula kaidah
nizam asasi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber
kekuasaan. Semuanya dimulai dan diakhiri dengan menerimanya dari Allâh saja,
dan kembali kepada-Nya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya, seperti
urusan-urusan parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia sepanjang
perjalanannya dan dalam generasi-generasi berbeda yang notabene berbeda-beda
pula pemikiran dan pemahaman dalam menanggapinya. Untuk itu semua,
diperlukan timbangan yang mantap, agar menjadi tempat kembalinya akal,
pikiran, dan pemahaman mereka.116
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah
orang-orang yang berasal dari kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah
memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan ayat itu, yaitu ulil amri
114
Saʻîd Hawwa. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, jilid II, h. 1102. 115
Saʻîd Hawwa. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, jilid II, h. 1102. 116
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah
As‟ad Yasin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 399.
79
yang taat kepada Allâh dan Rasul. Juga ulil amri yang mengesakan Allâh swt
sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh
manusia, menerima hukum dari-Nya saja (sebagai sumber dari segala sumber
hukum) sebagaimana ditetapkan dalam nash, serta mengembalikan kepada-Nya
segala urusan yang diperselisihkan oleh akal pikiran dan pemahaman mereka yang
tidak terdapat nash padanya untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang
terdapat dalam nas.117
Ayat ini menetapkan bahwa taat kepada Allâh merupakan pokok.
Demikian juga taat kepada Rasul, karena beliau diutus oleh Allâh. Sedangkan taat
kepada ulil amri minkum hanya mengikuti ketaatan kepada Allâh dan Rasûl.
Karena itulah, lafal taat tidak diulangi ketika menyebut ulil amr, sebagaimana ia
diulangi ketika menyebut Rasul Saw. untuk menetapkan bahwa taat kepada ulil
amr ini merupakan pengembangan dari taat kepada Allâh dan rasûl, sesudah
menetapkan bahwa ulil amr itu adalah “minkum” dari kalangan kamu sendiri
dengan catatan dia beriman dan memenuhi syarat-syarat iman.118
Hamka mengatakan bahwa ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa
masyarakat manusia, dan di sini dikuhususkan masyarakat orang yang beriman,
mestilah tunduk kepada peraturan. Peraturan yang maha tinggi ialah peraturan
Allâh. Inilah yang pertama wajib ditaati. Allâh telah menurunkan peraturan itu
dengan mengutus Rasul-rasul, dan penutup segala Rasul ialah Nabi Muhammad
Saw. Rasul-rasul membawa undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam
kitab-kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur‟an. Maka isi kitab suci itu
117
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah
As‟ad Yasin, dkk, h. 399. 118
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah
As‟ad Yasin, dkk, h. 399.
80
semuanya, pokoknya ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan
manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika
tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih
dahulu taat kepada Allah, sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata
karena segan kepada manusia, dan bukan pula semata-mata mengharapkan
keuntungan duniawi. Kemudian itu orang yang beriman diperintahkan pula taat
kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan.
Banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau
tidak melihat contoh teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul.
Dengan taat kepada Rasul barulah sempurna beragama.119
Saʻîd Hawwa menjelaskan, jika para umarâ atau pemimpin tidak seperti
ulama dan fuqaha, maka wajib atas mereka (pemimpin) untuk kembali kepada
para ulama dalam segala urusan kepemiminan mereka. Oleh karena itu para ulama
berada di atas mereka (umarâ). Akan tetapi bila mereka pemimpin yang adil dan
orang-orang yang adil, maka kewajiban mereka hanya taat kepada para ulama
dalam hal selain kepemimpinan.120
Selanjutnya, Saʻîd Hawwa menjelaskan, rakyat hanya wajib taat kepada
pemimpin dalam hal-hal yang sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh
Allâh Swt.. Kewajiban yang tidak mutlak ini didsarkan atas dalil bahwa apabila
ada hala yang diperselisihkan, maka hak tersebut harus dikembalikan kepada
aturan Allâh dan Rasul-Nya. Apabila pemimpin memerintahkan hal-hal yang
sesuai dengan aturan Allâh Swt., maka menaatinya adalah wajib. Namun, apabila
119
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz V (Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983) h. 127-128. 120
Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1102.
81
pemimpin memerintahkan hal-hal yang bertentangan dengan yang diajarkan Allâh
dan Rasul-Nya, maka rakyat tidak boleh mematuhinya.121
Rasulullah Saw. menerangkan dengan jelas batas-batas ketaatan kepada
seorang pemimpin, beliau bersaba:
عب ععذ ع دذثب يغذد دذثب ذ ب سض عبذ انه دذث بفع ع ذ انه
ع انه
ب غهى ف شء ان انطبعت عه ان ع عهى لبل انغ عه صه انه انب ع
ع عصت فئرا أيش ب يب نى ؤيش ب كش نب طبعتأدب ع صت فهب ع
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah Telah menceritakan kepadaku Nafi' dari
Abdullah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia sukai maupun
yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan, adapun
jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada hak mendengar dan
menaati.”122
Saʻîd Hawwa juga mencamtumkan sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:
دذث أب سجبء ب انجعذ أب عث ذ ع ص بد ب دذثب د ب دذثب أب انع
ان بع ع انه عببط سض عج اب لبل ع انعطبسد عه صه انه ب
بعت فبسق انج ي فئ فهصبش عه ئب كش ش أيش سأ ي عهى لبل ي
هت بث إنب يبث يخت جب شبشا ف
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Zaid dari Alja'd Abi Utsman telah menceritakan kepadaku Abu
Raja' Al 'utharidi mengtakan, aku mendengar Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dari
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Siapapun yang melihat sesuatu dari
pemimpinnya yang tak disukainya, hendaklah ia bersabar terhadapnya, sebab
siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama'ah, kecuali dia mati dalam
jahiliyah.”123
Dari beberapa penjelasan di atas, telah dijelaskan bahwa al-Qur‟an dan al-
Sunnah menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin tidak menjadi kewajiban,
121
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 507. 122
Imâm Bukhâri. Sahîh al-Bukhârî, Juz 9, h. 78. 123
Imâm Bukhâri. Sahîh al-Bukhârî, Juz 9, h. 78.
82
kecuali dalam hal-hal yang termasuk dalam ketaatan kepada Allâh Swt.. juga
ditegaskan bahwa seseorang tidak boleh menaati pemimpin dalam hal-hal yang
bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah.
2. Hak Pemimpin Mendapatkan Sebagian Harta Umat Islam
Seorang pemimpin merupakan wakil rakyat. Kontrak perwakilan tidak
dengan sendirinya menuntut adanya gaji bagi pihak yang menjadi wakil. Namun,
karena sebagian besar waktu pemimpin dihabiskan untuk melaksanakan tugas-
tugas kenegaraan yang menyebabkan ia tidak bisa bekerja untuk menghasilkan
finansial, Saʻîd Hawwa menjelaskan, maka sebagai gantinya ia mendapatkan harta
dari baitul mal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga
yang menjadi tanggungannya, di samping ia juga sebagai individu warga negara,
maka mendapatkan bagian harta umum yang dibagi untuk semua rakyat, misalnya
bagian harta al-fai‟ (harta yang diperoleh dari orang kafir dengan tanpa melalui
peperangan) dan pemberian (al-„atâ‟).124
Sudah menjadi hal yang sangat wajar, bahwa seorang pemimpin juga
merupakan seorang pekerja yang harus mendapatkan bayaran atau gaji. Beban
tanggungjawab serta memikul amanah yang sangat berat, harus melayani
masyarakat, harus menguras tenaga serta pikiran di dalam mengurus sebuah
negara, hal-hal yang demikian menjadi sebuah kewajaran bahkan menjadi hak dari
seorang pemimpin untuk mendapatkan upah di dalam menjalankan tugasnya.
124
Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 508.
83
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pembahasan dalam tulisan ini telah dijelaskan bahwa kepemimpinan
merupakan sesuatu yang sangat penting di tengah masyarakat. Suatu
kepemimpinan akan menentukan nasib ke depan bagi orang-orang atau bangsa
yang dipimpinnya. Hal ini amat bergantung kepada individu yang memimpin
tersebut.
Menurut Saʻîd Hawwa berdasarkan dua kitab hasil karyanya, yakni al-Asâs
fî al-Tafsîr dan al-Islâm, didapatkan kesimpulan bahwa seorang pemimpin
haruslah orang yang beragama Islam. Seseorang yang beragama selain Islam,
tidak boleh dijadikan pemimpin. Hal yang paling sering diangkat oleh Saʻîd
Hawwa, bahwa seorang pemimpin harus bermusyawarah di dalam setiap
mengambil keputusan, serta berlaku adil di dalam menetapkan hukum dengan
menggunakan hukum Allâh. Seorang pemimpin mempunyai dua tugas utama,
pertama menegakkan ajaran agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-
tugas kenegaraan dengan tetap berpedoman pada aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh agama Islam. Pemimpin dapat diturunkan dari jabatannya, apabila
ia telar melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agama.
B. Saran
Pembahasan yang penulis angkat, merupakan pembahasan yang selalu
menarik untuk dibicarakan walaupun telah banyak orang yang menulis tentang
kepemimpinan ini. Jika dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan
84
penelitian lebih lanjut, penulis berharap peneliti tersebut dapat lebih membahas
secara detail dari setiap bagian bahasan, serta dapat memberi informasi baru yang
mungkin belum pernah dibahas. Sehingga hal tersebut dapat menambah khazanah
bagi para pembaca, khususnya bagi yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana
konsep kepemimpinan yang diajarkan oleh agama, serta berbagai konsep
kepemimpinan baru yang terus bermunculan di atas bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Aqil, Al-Mustasyar ʻAbdullah. Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh
Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin.
Jakarta: al-I’tisham Cahaya Umat, 2003.
al-Asfahânî, Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân.
Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H.
al-Baidhâwî, Nasruddin Abu Al-Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar. Anwâr al-Tanzîl wa
Asrâr al-Ta’wîl, jilid I. Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939.
al-Bukhâri, Muẖammad bin Ismâ’il. Sahîh al-Bukhâri, Juz 9. Mesir: Dâr Ṯuq al-
Najâh, 2001.
al-Dârimî, Imâm. Sunan al-Dârimî. Riyad: Dâr al-Mughni, 1421 H.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro,
2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Effendy, Mochtar. Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam. Palembang: Al-
Mukhtar, 1997.
Esposito, John L. Dunia Islam Modern-Ensiklopedi Oxford. Penerjemah Eva Y.N
dkk, jilid 1, 5. Bandung, Mizan: 2002.
Fâris, Abu Husain Ahmad Ibnu. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut: Dâr al-Fikr,
1994/1415.
al-Farmâwi, ‘Abdu al-Hay. Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdû’î. Kairo: al-
Hadârah al-‘Arabiyah, 1977.
Hamka. Tafsir al-Azhar, juz V. Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983.
---------. Tafsir al-Azhar, juz 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Hawwa, Saʻîd. al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1. Kairo: Dar al-Salam, 1985.
------------------. al-Asâs fî al-Sunnah, jilid I, Cet. Ke-3. Kairo: Dâr al-Salâm,
1995.
------------------. al-Islâm, cet. Ke. 2. kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425.
------------------. al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani. Jakarta: Gema Insani
Press, 2004.
------------------. Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj.
Jakarta: Robbani Press, 1995.
------------------. al-Rasûl. Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.
Hawwa, Saʻîd. Tafsir al-Asas. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani Press,
1999.
------------------. Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Cet. Ke-9. Kairo: Dar Al-Salâm, 2007.
Iyazi. Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum. Teheran: Wazarah al-Taqâfah
wa al-Irsâd, 1992.
Jazuli, Ahzami. Fiqh Al-Qur’ân. Jakarta: Kilau Intan, t.t.
Ka’bah, Rifyal. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Khairul Bayan,
2005.
Katsîr, Imâduddîn Abû Fidâ’ Ismâ’il Ibnu. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, jilid I.
Beirut: Dâr al-Fikr, 1980.
Kementrian Agama RI. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik.
Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.
al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghî , jilid V. Beirut: Dâr al-Fikr,
2001.
Mohammad, Herry. dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani, 2006.
Muslim, Abu Husain bin Al-Hajjaj. Sahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr,
1994/1414.
Mustafa, Ibrâhîm. al-Mu’jâm al-Wasit. Mesir: Dâr al-Maʻârif, 1972.
al-Naisâbûrî, Abû Al-Hasân ‘Ali bin Ahmad Al-Wâhidi. Asbâb al-Nuzûl. tkp:
Maktabah wa Mathba’ah al-Manâr, t.t.
al-Nasâ’i, Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman. Sunan al-Nasâ’i, juz 7.
Beirut: Maktab al-Matbûʻah al-Islâmiyah, 1986.
al-Nawawî. Sahîh Muslim bi Syarhi al-Nawawî, jilid XI. Mesir: Al-Mataba’at al-
Misriyah, 1392 H.
al-Qurtûbî, Syaikh Imâm. Tafsir Al-Qurtûbî. Penerjemah Amir Hamzah, vol. 11.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Qutb, Sayyid. Fî Zilâl Al-Qur’ân, jilid V. Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 2000.
-----------------. Tafsir fi Zhilâl al-Qur’an: Di bawah Naungan al-Qur’an,
Penerjemah As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, jilid V. Kairo: Maktabah al-Qâhirah,
1990.
Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Dedi. kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.
Jakarta: Rajawali Press, 2011).
al-Sajastani , Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats. Sunan Abî Dâwud, juz 4.
Beirut: Dâr al-Kitâb al-ʻArabî, t.th.
Salim, Abdul Mu’in. Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an.
Jakarta: Rajawali Press, 2002.
--------------------------. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”.
Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Shihab, M. Quraish. Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
-------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI-Press, 1993.
al-Syaibâni, Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullâh. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz
5. Kairo: Mu’assasah Qurtbah, t.th.
al-Syaukânî, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Fath al-Qadîr, jilid I.
al-Ṯabarî, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr. Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîli al-Qur’ân,
jilid V. Kairo: al-Halabi, 1954.
-----------------------------. Tafsir Al-Tabarî, penerjemah Ahsan Askan, vol. 18.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Taimiyyah, Taqîuddîn Ibnu. al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Islâh al-Râ’i wa al-
Râ’iyyah. Arab Saudi: Dâr al-Ma’rifah, 1418 H..
Thoha, Miftah. Kepemimipnan dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.