Post on 07-Jun-2015
description
KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN MAMALIA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT ASIATIC PERSADA, JAMBI
SKRIPSI SARJANA SAINS
Oleh
DEVI ASRIANA
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
2007
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL Skripsi, Jakarta 14 Mei 2007 Devi Asriana Komposisi dan Kelimpahan Mamalia di Perkebunan Kelapa Sawit PT Asiatic Persada, Jambi x + 41 halaman, 9 tabel, 10 gambar
Perlindungan satwa liar terkonsentrasi di daerah-daerah perlindungan seperti kawasan taman nasional dan sangat sedikit perlindungan terhadap satwa liar yang tinggal di luar daerah-daerah perlindungan. Tidak adanya manajemen perlindungan atau kurangnya penegakan hukum dalam perlindungan terhadap satwa liar yang berada di kawasan sekitar kawasan perlindungan akan mempengaruhi penurunan populasi bagi satwa liar yang berada dalam kawasan perlindungan.
Penelitian dilakukan dari bulan September 2005 sampai Februari 2006 di areal perkebunan kelapa sawit PT. Asiatic Persada. Metode yang digunakan adalah metode line transect melalui pengamatan langsung dan tidak langsung. Hipotesis penelitian adalah terdapat perbedaan kelimpahan jenis mamalia.
Berdasarkan hasil penelitian didapat 12 spesies mamalia dengan 5 bangsa. Komposisi mamalia berdasarkan status konservasinya diketahui 4 spesies (33,3%) dilindungi berdasarkan peraturan pemerintah dan 5 spesies (41,6%) dilindungi berdasarkan CITES. Kelimpahan mamalia dari hasil uji bervariasi dengan kelimpahan tertinggi adalah babi hutan (Sus scrofa) dengan nilai 4799,478 individu per Km2 dan kelimpahan terendah adalah bajing kelapa (Callosciurus notatus) dan trenggiling peusing (Manis javanica) dengan kepadatan 0,001 individu per Km2. Tingginya kelimpahan babi hutan mungkin disebabkan kebun kelapa sawit menjadi sumber mencari pakan. Spesies lain yang cukup melimpah adalah spesies kucing hutan (Prionailurus bengalensis) kelimpahan ini mungkin disebabkan didalam perkebunan kelapa sawit menyediakan banyak hewan pakan bagi spesies kucing ini.
Daftar bacaan: 28 (1983-2006)
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan
Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi
itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan
padanya segala macam jenis binatang dan Kami turunkan air
hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam
tumbuh-tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah, maka
perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh
sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang- orang
yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
(Luqman. 10-12)
KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN MAMALIA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT ASIATIC PERSADA, JAMBI
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA SAINS DALAM BIDANG BIOLOGI
Oleh
Devi Asriana 013112620150011
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
2007
Judul Karya Ilmiah : KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN MAMALIA DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT ASIATIC
PERSADA, JAMBI
Nama Mahasiswa : Devi Asriana Nomor Pokok : 620150011 Nomor Kopertis : 013112620150011
MENYETUJUI
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua Tatang Mitra Setia, Drs. MSi Imran SL Tobing, Drs. MSi
Dekan
Tatang Mitra Setia, Drs. MSi
Tanggal Lulus : 14 Mei 2007
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan
hidayahnya yang diberikan sehingga penulisan dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Komposisi dan Kelimpahan Mamalia di Perkebunan Kelapa Sawit PT
Asiatic Persada, Jambi” dengan seluruh daya dan upaya.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya yang sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua penulis Effy Sulfiana dan Djumhana beserta seluruh keluarga
besar yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang, motivasi serta doa restu
sepanjang hidup penulis “semoga karya kecil ini dapat memberikan sedikit
kebanggaan untuk ibu dan bapak”
2. Tatang Mitra Setia, Drs. MSi., selaku pembimbing pertama yang telah banyak
meluangkan waktunya memberikan bimbingan dengan bijaksana, petunjuk dan
saran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini
3. Imran S. L. Tobing, Drs. MSi., selaku pembimbing kedua yang dengan sabar dan
bijaksana membimbing serta mengarahkan penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini
4. Yulneriwarni, Dra. MSi., selaku pembimbing akademik atas arahannya selama
penulis menempuh pendidikan di Universitas Nasional
5. Emily Fitzhebert, MS., Tom Madox, DR., Dolly Priatna, Drs. MSi dari
Zoological Society of London (ZSL) yang telah memberikan kesempatan,
bantuan, bimbingan dan masukan kepada penulis selama penelitian dan penulisan
skripsi
6. Kepala Divisi Environment/Conservation & Community Development, PT
Asiatic Persada pak Volta Bone beserta seluruh staf
7. Adnun Salampessy S.Hut. untuk masukan, motivasi, kesabaran serta seluruh
perhatiannya terhadap penulis
8. Pak Wildan dan seluruh Tim APWM, PT Asiatic Persada dan untuk bantuannya
dalam proses pengambilan data penelitian
9. Elva Gemita untuk pengalaman dan masukannya
10. Pak Saring, Pak Abdulah dan Kak Seto PolHut dari BKSDA Jambi
11. Yoan Dinata S.Si dan Lili Aries S. S.Si untuk bantuan literatur beserta masukan-
masukan sebelum penelitian.
12. Sahabat tercinta yang telah berbagi suka-dukanya serta pengalaman yang tidak
terlupakan; Dewi, Achi, Putri, Minarni, Puji, Fitri Aan, Mega, Dinda, Arni, Kiki,
Ijul, Siska, Anjar, Wisnu, Ady, Di’eM, Agi, Asti dan rekan-rekan angkatan 2001
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu
13. Staf pengajar serta staf Tata Usaha di Fakultas Biologi Universitas Nasional.
14. Keluarga besar FABIONA atas semua pengalaman dan kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
membutuhkan saran serta kritikan dari berbagai pihak.
Jakarta, Mei 2007 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……………………………………………............... v
DAFTAR ISI……………………………………………………………...... vii
DAFTAR TABEL………………………………………………………….. ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..... x
BAB
I. PENDAHULUAN………………………………………………….... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………... 4
A. Mamalia………………………………………………………….. 4
B. Konservasi Mamalia di Luar Kawasan Perlindungan..................... 6
C. Perkebunan Kelapa Sawit............................................................... 8
D. Perkebunan Kelapa Sawit PT Asiatic Persada................................ 9
E. Camera Trap................................................................................... 10
III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………….... 12
A. Waktu dan Lokasi Penelitian......................................................... 12
B. Peralatan Penelitian......................................................................... 12
C. Cara Kerja....................................................................................... 13
1. Pembuatan Jalur Penelitian....................................................... 13
2. Kondisi Masing-masing Jalur Penelitian.................................. 14
3. Penggunaan Line transek dan Pengambilan Data Penelitian.... 15
4. Penggunaan Perangkat Camera Trap....................................... 17
D. Analisis Data................................................................................... 19
1. Pengamatan Langsung.............................................................. 19
2. Pengamatan Tidak Langsung.................................................... 20
3. Uji Statistik Non Parametric.................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 23
A. Komposisi Mamalia........................................................................ 23
B. Kelimpahan Mamalia...................................................................... 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 29
A. Kesimpulan..................................................................................... 29
B. Saran............................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 31
LAMPIRAN................................................................................................... 34
DAFTAR TABEL TABEL Halaman
Naskah
1. Kondisi masing-masing jalur penelitian..................................................... 15
2. Hasil penelitian mamalia di perkebunan kelapa sawit................................ 23
3. Status konservasi mamalia yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit... 24
4. Nilai kelimpahan mamalia.......................................................................... 26
5. Capture Rate Mamalia Berdasarkan Camera Trap.................................... 28
Lampiran
1. Nilai kepadatan mamalia di perkebunan kelapa sawit (individu/Km2)...... 34
2. Hasil analisis non parametric, uji Kruskal-Wallis...................................... 35
3. Hasil analisis lanjutan, uji Mann-Whitney U.............................................. 36
4. Mamalia liar yang ditemukan di area PT Asiatic Persada berdasarkan
penelitian ZSL............................................................................................. 37
DAFTAR GAMBAR GAMBAR Halaman
Naskah
1. Perangkap Jejak.......................................................................................... 14
2. Parameter dari Line Transek....................................................................... 16
3. (a) Camera trap model deercam, (b) pemasangan salah satu kamera di
jalur transek................................................................................................. 18
Lampiran
1. Beruk (Macaca nemestrina)....................................................................... 38
2. Babi hutan (Sus scrofa)…………………………………………………... 38
3. Perkebunan Kelapa Sawit………………………………………………... 39
4. Jalur Transek Di Perkebunan Kelapa Sawit…………………………….... 39
5. Pemasangan Kamera Trap……………………………………………...... 40
6. Pengambilan Data Jejak………………………………………………….. 40
7. Peta Lokasi Transek Dalam Perkebunan Kelapa Sawit.............................. 41
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Payne dkk. (2000) mamalia sebagai satwa yang dapat melahirkan dan
menyusui anaknya. Mamalia mempunyai kemampuan hidup untuk beradaptasi pada
berbagai tipe habitat, mulai dari habitat teresterial sampai habitat akuatik (Wilson
dkk., 1996; Sadikin, 2005). Mamalia merupakan satwa yang pergerakannya selalu
disesuaikan dengan ketersediaan pakan dan besarnya tingkat ancaman terhadap
dirinya, sehingga dalam melakukan pergerakannya satwa ini tidak mengenal batas
dari suatu kawasan yang ditetapkan manusia. Bertambahnya populasi manusia dan
meningkatnya kebutuhan akan lahan serta sumberdaya alam lainnya. Sebagai
penyebab terbesar kerusakan habitat alami pada satwa adalah semakin berkurangnya
habitat mamalia di alam dan tingginya tingkat ancaman perburuan serta kerusakan
alam mengakibatkan habitat mamalia semakin terdesak mendekati pemukiman
manusia dan mencari makan di ladang-ladang masyarakat.
Mamalia berusaha menyesuaikan diri dengan sisa-sisa habitat alami yang
terkadang lokasi habitat tersebut berdampingan dengan tempat tinggal manusia.
Habitat tersebut kadang berupa pulau-pulau hutan yang digunakan sebagai tempat
perlindungan dan berbiak. Kondisi ini yang menciptakan konflik mamalia dengan
manusia.
Konflik ini sering mengakibatkan kematian pada mamalia tersebut ataupun
manusia serta kerugian materil yang ditimbulkan pada lahan pertanian dan
perkebunan ataupun pemukiman yang telah dirusak oleh mamalia tersebut. Kondisi
seperti ini telah berlangsung cukup lama, dikarenakan mamalia membutuhkan tempat
dan pakan untuk hidup dan berkembang biak. Sehingga menjadikan mamalia ini
harus mampu untuk cepat beradaptasi dengan berbagai perubahan lahan dan
lingkungan.
Dikemukakan oleh Payne dkk. (2000) bahwa kawasan pinggir hutan yang
berbatasan dengan perkebunan atau lahan pertanian penduduk sering mendukung
berbagai jenis binatang dengan kepadatan yang relatif tinggi. Lahan perkebunan atau
pertanian dan kawasan hutan merupakan komunitas yang berbeda, sehingga
perbatasan antara lahan pertanian dan kawasan hutan merupakan kawasan peralihan
atau biasa disebut dengan ekoton. Komunitas ekoton didalamnya terdapat jenis
organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih dan terdapat
jenis yang merupakan organisme khas dan terbatas hanya pada daerah ekoton. Sering
kali, jumlah jenis dan kepadatan populasi beberapa jenis lebih besar pada daerah
ekoton dari pada komunitas yang mengapitnya (Odum, 1993).
Pada umumnya perlindungan pada satwa liar terkonsentasi di daerah-daerah
perlindungan seperti kawasan taman nasional, sangat sedikit perlindungan terhadap
satwa liar yang tinggal di luar daerah-daerah perlindungan. Satwa liar yang tinggal di
kawasan perlindungan yang terisolasi tidak akan cocok untuk kebutuhan konservasi
jangka panjang, diakibatkan karena ukurannya kawasan yang terbatas dan adanya
adanya efek tepi (edge effect), dengan tidak adanya manajemen perlindungan
terhadap satwa liar yang berada di kawasan sekitar kawasan perlindungan
mempengaruhi penurunan bagi satwa liar yang berada dalam kawasan perlindungan.
Dengan dilakukannya penelitian dan perlindungan terhadap satwa liar pada habitat di
luar kawasan perlindungan agar dapat dihasilkan sebuah solusi untuk menciptakan
kondisi yang memungkinkan kehidupan bersama antara satwa liar dengan
kepentingan manusia terhadap sumberdaya alam (Maddox dkk., 2004).
PT Asiatic Persada (AP) adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
mulanya adalah kawasan hutan yang telah dikonversi. Perusahaan ini menyediakan
15% dari total area konsesi untuk area konservasi serta bufferzone yang tidak
ditanami pohon kelapa sawit dan juga melakukan kegiatan regenerasi hutan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Zoological Society of London (ZSL)
diketahui sekitar 50% mamalia yang ditemukan di kawasan perkebunan adalah
mamalia yang dilindungi oleh Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES) (Soehartono dan Mardiastuti, 2002) dan
Perundang-undangan Indonesia (Noerdjito dan Maryanto, 2001).
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui komposisi dan kelimpahan mamalia di perkebunan kelapa sawit milik PT
Asiatic Persada Provinsi Jambi. Hipotesis penelitian adalah terdapat perbedaan
kelimpahan jenis mamalia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mamalia
Mamalia (Yunani, mammae: kelenjar susu) dibedakan dari binatang lain
berdasarkan beberapa ciri khusus, seperti mempunyai kelenjar susu, memiliki rambut
yang berasal dari epidermal, walaupun untuk mamalia laut rambutnya jarang dan
tidak mencolok dan homoiothermal. Semua jenis mamalia kecuali beberapa jenis di
Papua dan Australia yang bertelur tetapi tetap menyusui anaknya (Payne dkk., 2000).
Wikipedia (2006), mendeskripsikan bahwa binatang menyusui atau mamalia
adalah kelas hewan vertebrata yang terutama dicirikan oleh adanya kelenjar susu,
yang pada betina menghasilkan susu sebagai sumber makanan anaknya; adanya
rambut; dan tubuh yang endotherm atau mempunyai sistem untuk mempertahankan
suhu tubuh sehingga suhu tubuh tudak dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Otak
mengatur sistem peredaran darah, termasuk jantung yang beruang empat. Mamalia
terdiri lebih dari 5.000 marga, yang tersebar dalam 425 keluarga dan hingga 46
bangsa, meskipun hal ini tergantung klasifikasi ilmiah yang dipakai. Secara
filogenetik, yang disebut mamalia adalah semua turunan dari nenek moyang
monotremata (seperti echidna) dan mamalia therian (berplasenta dan berkantung atau
marsupial). Sebagian besar mamalia melahirkan keturunannya, tapi ada beberapa
mamalia yang tergolong ke dalam monotremata yang bertelur. Kelahiran juga terjadi
pada banyak spesies selain mamalia, seperti pada ikan guppy dan hiu martil;
karenanya melahirkan bukan dianggap sebagai ciri khusus mamalia. Demikian juga
dengan sifat endotermik yang juga dimiliki oleh burung. Monotremata tidak memiliki
puting susu, namun tetap memiliki kelenjar susu. Artinya, monotremata memenuhi
syarat untuk masuk ke dalam kelas mamalia. Perlu diketahui bahwa taksonomi yang
sering digunakan belakangan ini sering menekankan pada kesamaan nenek moyang;
diagnosa karakteristik sangat berguna dalam identifikasi asal-usul suatu makhluk, tapi
misal ada salah satu anggota Cetacea ternyata tidak memiliki karakteristik mamalia
(misal, berambut) maka akan tetap dianggap sebagai mamalia karena diketahui bahwa
nenek moyangnya sama dengan mamalia lainnya.
Wilson dkk. (1996), menyebutkan 26 bangsa mamalia, yaitu Monotremata,
Didelphimorphia, Paucituberculata, Microbiotheria, Dasyuromorphia,
Peramelemorphia, Notoryctemorphia, Diprotodontia, Xenarthra, Insectivora,
Scandentia, Dermoptera, Chiroptera, Primates, Carnivora, Cetacea, Sirenia,
Proboscidea, Perissodactyla, Hyracoidea, Tubulidentata, Artiodactyla, Pholidota,
Rodentia, Lagomorpha dan Macroscelidea. Ke duapuluh enam bangsa mamalia hidup
pada variasi habitat yang luas, baik di darat maupun di perairan, keduapuluh enam
bangsa tersebut umumnya menempati habitat daratan atau air tawar, hanya 2,5% dari
seluruh spesies mamalia yang menempati habitat air asin (marine).
Mamalia hidup pada berbagai tipe habitat, mulai dari habitat teresterial sampai
habitat akuatik, mamalia teresterial tersebar luas mulai dari kutub sampai ke kawasan
tropis (Wilson dkk., 1996). Mamalia teresterial dapat menempati tipe habitat yang
beraneka ragam, baik hutan maupun bukan hutan seperti kawasan pertanian,
perkebunan, gua dan padang rumput (Alikodra, 1990).
Kebanyakan jenis mamalia di Indonesia hidup di hutan hujan dipterocarpacea,
dengan agak lebih sedikit spesies di hutan rawa dan hutan kerangas. Banyak spesies
mampu bertahan hidup di habitat yang berubah-ubah, dan sering mudah terlihat di
hutan yang baru ditebang dan hutan sekunder bahkan perkebunan, dimana
vegetasinya lebih jarang (Payne dkk., 2000). Mamalia juga banyak menggunakan
lahan pertanian sebagai habitat, sehingga dapat menjadi hama pertanian karena
mencari makan di lahan pertanian dan berlindung di hutan-hutan sekitarnya
(Alikodra, 1990). Kawasan pinggiran hutan yang berbatasan dengan perkebunan atau
lahan pertanian penduduk sering mendukung berbagai spesies binatang dengan
kepadatan yang relatif lebih tinggi (Payne dkk., 2000).
B. Konservasi Mamalia di Luar Kawasan Perlindungan
Upaya pelestarian seringkali bertujuan khusus untuk melindungi spesies yang
terancam punah. Berbagai spesies kini hidup dalam lingkungan yang telah dibatasi
oleh berbagai kegiatan manusia. Untuk menjaga kelangsungan hidup spesies tersebut,
para ahli biologi konservasi perlu menentukan tingkat stabilitas ataupun fluktuasi dari
berbagai populasi yang bertahan dalam berbagai kondisi (Primack dkk., 1998).
Banyak taman nasional dan kawasan perlindungan yang diperuntukan untuk
melindungi satwa besar yang mempesona (Flag species), misalnya harimau, badak,
gajah, orangutan, dan lain-lain. Namun, terbentuknya kawasan perlindungan
seringkali belum menjamin kelestarian spesies, sekalipun perlindungan tersebut telah
diperkuat dengan landasan hukum. Kawasan perlindungan seringkali ditetapkan
setelah sebagian besar populasi dari spesies yang terancam sudah sangat berkurang
akibat kehilangan habitat, perusakan habitat, fragmentasi habitat, maupun perburuan
yang berlebihan atau penegakan hukum yang lemah dalam menindak pelaku
kejahatan-kejahatan lingkungan hidup. Keadaan-keadaan demikian menyebabkan
cepatnya laju menuju kepunahan. Sementara itu, individu yang berada di luar
kawasan perlindunganpun masih belum terlindung (Primack dkk., 1998).
Perlindungan keanekaragaman hayati di sekitar kawasan konservasi merupakan
elemen yang penting bagi strategi konservasi. Ketergantungan mutlak terhadap cagar
alam dan kawasan perlindungan saja menimbulkan siege mentality (sikap
pengurungan), dimana hanya spesies dan komunitas di dalam kawasan saja yang akan
mendapat perlindungan penuh, sementara keanekaragaman hayati di luar kawasan
tersebut dapat dimanfaatkan tanpa terkendali. Daerah sekeliling cagar alam
mengalamai degradasi maka keanekeragaman hayati di dalam kawasan perlindungan
akan turut mengalami penurunan, dan pada kawasan berukuran kecil akan terjadi
kehilangan spesies secara cepat (Primack dkk., 1998).
Sebagian besar dari lahan-lahan yang tak dilindungi sebenarnya tidak digunakan
secara intensif oleh manusia dan masih dihuni oleh satwa-satwa liar. Sebagian besar
dari area lahan mungkin tidak akan dapat dimasukan ke dalam kawasan perlindungan,
sehingga tidak dapat dihindari lagi, berbagai spesies langka akan berada di luar
kawasan perlindungan (Primack dkk., 1998).
Dominansi lahan manusia menyebabkan efek yang besar pada kelangsungan
hidup satwa dan keanekaragamannya. Di Indonesia salah satunya di pulau Sumatera,
sebagian besar hutan dataran rendah dikonversi menjadi hutan produksi atau dibuka
menjadi lahan pertanian dan sebagai tempat tinggal manusia (Maddox dkk., 2004).
C. Perkebunan Kelapa Sawit
Pada dekade terakhir ini, deforestasi di seluruh dunia menjadi sangat
mengkhawatirkan. Tingkat deforestasi hutan hujan tropik, yaitu 14,6 juta ha per
tahun, hal ini perlu dikhawatirkan karena hutan hujan tropik memiliki biodiversitas
yang kaya. Deforestasi hutan hujan tropik mengalami peningkatan disebabkan oleh
berbagai hal, termasuk penebangan secara komersial berskala besar, pertambangan,
agrikultural, kebijakan penggunaan lahan, perkembangan kota dan pertumbuhan
penduduk. Pada beberapa area, perkebunan kacang kedelai dan kelapa sawit yang
semakin berkembang juga merupakan salah satu kasus deforestasi (Casson, 2003).
Casson (2003) menjelaskan bahwa, kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah
tumbuhan asli dari Afrika Barat, menghasilkan buah yang kaya akan minyak. Secara
lokal penggunaan kelapa sawit dengan cara tradisional adalah untuk bahan makanan,
obat-obatan, pakaian dan minuman keras. Kelapa sawit sekarang ini ditanam dalam
perkebunan dengan skala besar pada lahan tropik karena merupakan bahan dasar
produk-produk komersial seperti minyak goreng, sabun, kosmetik dan margarin.
Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) adalah produk utama dari buah
kelapa sawit sedangkan minyak biji-bijian (palm kernel oil/PKO) adalah produk
kedua yang berasal dari biji kelapa sawit, sisa dari produk kedua ini berupa ampas
biji-bijian kelapa sawit (palm kernel meal/PKM) dapat digunakan sebagai pakan
hewan ternak (Casson, 2003).
Perkebunan kelapa sawit menjadi ancaman bagi kelangsungan usaha konservasi
karena kondisi yang diperlukan untuk tanaman kelapa sawit sama dengan kondisi
pada hutan tropik dipterocarpaceae dataran rendah. Pembukaan hutan besar-besaran
untuk perkebunan menimbulkan masalah lingkungan, yaitu kebakaran hutan yang
polusi asapnya sampai ke negara tetangga, hilangnya habitat hutan dan kepunahan
hewan-hewan. karena singkatnya masa degenerasi buah sawit maka kelapa sawit
harus memiliki pabrik sendiri untuk pengolahan kelapa sawit, pabrik tersebut
menghasilkan limbah produksi (Maddox dkk., 2004).
D. Perkebunan Kelapa Sawit PT Asiatic Persada
PT Asiatic Persada (AP) adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
mulanya adalah kawasan hutan yang telah dikonversi pada tahun 1985. Batas areal
dengan kawasan sekitarnya adalah sebelah barat daya, barat dan selatan dikelilingi
oleh kawasan HPH PT Asialog, sedangkan perbatasan sebelah utara dan timur laut
berbatasan dengan kawasan PIR Transmigrasi Sungai Bahar (DepHut, 2002).
Perkebunan kelapa sawit tersebut mempunyai luasan area konsesi 27,000 hektar yang
terdiri atas 3 spesies habitat yang berbeda, yaitu Kebun kelapa sawit, hutan sekunder
dan berbagai spesies tumbuhan semak (Scott dkk., 2003).
Asiatic persada beroperasi dibawah sertifikasi ISO 9001 dan baru-baru ini
menerima penghargaan sertifikasi ISO 14001 karena memiliki manajemen khusus
dibidang konservasi. Divisi ini salah satunya melakukan kegiatan regenerasi hutan
dan menyediakan area konservasi 15% dari total area konsesi termasuk bufferzone
sepanjang sungai yang tidak ditanami oleh kelapa sawit, berusaha mengurangi
perburuan dan penjeratan hewan liar serta bekerjasama dengan lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang konservasi, yaitu Zoological Society of London-
Jambi tiger Project (ZSL-JTP) (PRPOL, 2003; Maddox dkk., 2004).
E. Camera Trap
Camera trap berfungsi untuk mendapatkan gambar satwa liar di alam yang sulit
untuk ditemui dengan pertemuan langsung. Camera trapping adalah tehnik yang
semakin banyak digunakan untuk memonitor satwa yang sulit ditemui, karena kamera
dapat ditinggalkan di lapangan dan akan memicu pengambilan foto saat dilewati oleh
satwa. Hasil foto dapat digunakan sebagai perhitungan kasar dari kelimpahan relatif
(Maddox dkk., 2004), perkiraan dari jumlah populasi minimum suatu spesies
berdasarkan pada pengenalan secara individual atau perkiraan dari kelimpahan
berdasarkan cara menangkap tandai dan tangkap kembali (capture mark recapture)
(Karanth, 1995).
Pada kebanyakan studi dengan menggunakan camera trap, jumlah kamera
merupakan faktor pembatas, akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan
menggunakan desain sample yang baik. Apabila jumlah kamera yang digunakan
sedikit maka solusinya adalah dengan membagi lokasi studi menjadi beberapa petak
area dengan luas yang lebih kecil, kemudian pemasangan kamera dilakukan per
bagian area yang lebih kecil tersebut satu demi satu (Karanth dan Nicholas, 2002).
Lokasi dan lama waktu pemasangan camera trap merupakan dua faktor yang perlu
diperhatikan untuk mendapatkan data yang mencukupi dan mewakili untuk suatu area
penelitian (Fonseca dkk. ,2003).
Seperti manusia, kebanyakan satwa liar menggunakan jalur-jalur yang ada di
hutan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Fonseca dkk., 2003) sehingga
jalur-jalur yang ada di dalam hutan dapat digunakan sebagai lokasi pemasangan
camera trap (Karanth dan Nicholas, 2000). Tempat-tempat yang sering dikunjungi
oleh satwa liar seperti sumber air, sumber air garam (saltlick), dan sumber makanan
seperti pohon yang sedang berbuah dapat juga digunakan sebagai tempat untuk
pemasangan camera trap (Fonseca dkk., 2003).
Ada berbagai macam jenis atau merek Camera trap yang digunakan pada
penelitian-penelitian mamalia di Indonesia, beberapa diantaranya adalah camtracker,
deercam, photo scout dan trail master. Kesemua jenis kamera ini mempunyai prinsip
yang serupa kecuali pada kamera jenis trail master, camera trap ini merupakan
gabungan dari kamera autofocus 35 mm berkualitas tinggi dengan sensor/detektor
“panas bergerak” infra merah pasif, setiap foto yang tercetak dilengkapi dengan data
tanggal dan waktu (jam) kejadian. Kamera akan aktif mengambil gambar ketika suatu
benda mengandung panas bergerak melintas sensor infra merah. Sinar infra merah ini
memiliki jarak dimensi sinar terjauh 18 m dan diameter sinar 2,4 m serta dipancarkan
secara horizontal. Camera trap jenis trial master menggunakan sensor infra merah
aktif bukan sensor pendeteksi panas (infra merah pasif), kamera aktif mengambil
gambar ketika ada suatu objek (memiliki panas atau tidak) melintas memotong garis
infra merah aktif (Salampessy, 2006; Wijayanto dan Winarni, 2003).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan September 2005 sampai Februari 2006 di areal
perkebunan kelapa sawit PT. Asiatic Persada bekerja sama dengan Zoological Society
of London (ZSL). Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Mestong, Kabupaten
Batang Hari, Provinsi Jambi yang memiliki ketinggian antara 50-110 m diatas
permukaan laut.
Pengamatan dilakukan di perkebunan sawit pada 6 (enam) divisi sebagai lokasi
sample area, yaitu Empang Buliaro, Padang Salak, Mentilingan, Lamban Lebuai,
Sako Dekemang, dan Durian Dangkal dan terdapat 7 (tujuh) jalur transek (Gambar
lampiran 7), dasar pengambilan 7 jalur transek adalah untuk mewakili seluruh area
perkebunan kelapa sawit.
B. Peralatan Penelitian
1. Alat navigasi darat: peta lokasi kerja, kompas merk Eiger, GPS (Global
Position System) merk Garmin type 12 plus
2. Jam tangan digital
3. Buku identifikasi mamalia (Van Strien, 1983; Kanjanavanit)
4. Camera trap model Deercam dan penunjangnya
5. Fuji film ASA 200, 36
6. Alat ukur
7. Software GIS (Geographic Information System)
8. Golok
9. Cat kayu
10. Senter besar Merek Krisbow dengan kekuatan 2,5 juta cahaya lilin
11. Senter kepala (Head torch) merek Petzl
C. Cara kerja
1. Pembuatan Jalur Penelitian
Transek dibuat pada perkebunan kelapa sawit dengan mengikuti jalur yang
sudah ada atau membuat jalur baru. Total jalur, yaitu 7 (tujuh) transek dengan
panjang masing-masing jalur 2,50 km, dasar pengambilan tujuh jalur transek adalah
dengan jumlah yang mencukupi agar dapat mewakili area perkebunan kelapa sawit.
Pengamatan dilakukan antara jam 5.30 WIB sampai 12.30 WIB dilanjutkan dengan
pengamatan malam hari dilakukan antara jam 19.00 WIB sampai 00.00 WIB.
Pada sepanjang jalur transek dipasang perangkap jejak berukuran 1 x 1 m2
dengan interval 50 m, jadi terdapat 50 perangkap jejak pada masing-masing transek
(Gambar 1). Perangkap jejak ini mempunyai fungsi untuk merekam jejak tapak kaki
mamalia, perangkap jejak diambil datanya bersamaan dengan pengambilan data
transek pada jalur tersebut. Pemeriksaan perangkap jejak dilakukan satu persatu dari
interval pertama pada jalur sampai interval terakhir. Setelah perangkap jejak diperiksa
dan dicatat ada atau tidaknya jejak yang terekam lalu dibersihkan agar tidak terjadi
pengulangan pencatatan data.
Gambar 1. Perangkap Jejak (Foto oleh Devi Asriana, 2005)
2. Kondisi Masing-masing Jalur Penelitian
Perkebunan kelapa sawit didominasi oleh tanaman kelapa sawit dengan
karakteristik tumbuhan bawahnya dari jenis leguminosa (Calopogonium
mucunoides), yang ditanam bersamaan dengan waktu tanam pohon kelapa sawit
tersebut yang berfungsi untuk meningkatkan fertilitas tanahnya. Terdapat banyak
tanaman semak dalam area perkebunan (Scott dan Gemita, 2004).
Kondisi habitat tumbuhan bawah pada kebun kelapa sawit bersifat dinamis atau
dapat berubah karena adanya aktifitas perawatan oleh masing-masing divisi areal
perkebunan, contoh perubahan yang dilakukan oleh manajemen divisi areal
perkebunan adalah aktifitas pembersihan tumbuhan bawah dan pemberian pupuk.
Aktifitas ini memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi pergerakan mamalia.
Tabel 1. Kondisi masing-masing jalur penelitian
Jalur Kondisi umum
tumbuhan bawah
Kondisi sekitar jalur
Posisi perangkap
jejak
Jenis dan tekstur tanah pada
perangkap jejak Padang Salak Relatif terbuka Memotong jalan
produksi dan sungai kecil
Dekat dengan pohon kelapa sawit
Tanah berpasir dengan tekstur relatif keras
Mentilingan 1 Relatif terbuka Memotong sungai kecil
Jalan setapak perkebunan
Tanah berpasir dengan tekstur sedang
Mentilingan 2 Relatif tertutup Dekat dengan pemukiman penduduk, beberapa segmen jalur berupa rawa dan beberapa segmen lain memilki tanaman kelapa sawit yang masih muda
Jalan setapak perkebunan
Tanah berpasir dengan tekstur lembut
Sako dekemang
Relatif terbuka Memotong jalan produksi dan sungai kecil
Jalan setapak perkebunan
Tanah berpasir dengan tekstur lembut
Empang buliaro
Relatif terbuka Memotong sungai kecil
Jalan setapak perkebunan
Tanah berpasir dengan tekstur lembut
Lamban lebuai
Relatif tertutup Memotong jalan produksi dan sungai kecil serta dekat pemukiman penduduk
Jalan setapak perkebunan
Tanah berpasir dengan tekstur sedang
Durian dangkal
Relatif tertutup Memotong jalan produksi dan sungai kecil dekat pemukiman penduduk
Dekat dengan pohon kelapa sawit
Tanah berpasir dengan tekstur lembut
3. Penggunaan line transect dan Pengambilan data penelitian
Penggunaan metode line transect berdasarkan Wilson dkk. (1996), peneliti
berjalan pada garis lurus pada area yang akan diamati dan menghitung semua hewan
yang terlihat. Misalnya, panjang maksimum garis tegak-lurus (perpendicular)
mempunyai jarak w, hewan yang berada dalam garis ini diabaikan. Peneliti mencatat
jumlah hewan dan jarak tegak lurus dari jalur transek dari setiap hewan atau jarak
radial yaitu jarak antara hewan dengan peneliti pada saat pertama hewan terlihat dan
sudut derajat antara garis lurus hewan-peneliti dengan jalur transek.
Data dari survey line transect meliputi panjang transek (L), jumlah hewan atau
sekelompok hewan yang terlihat (n), dan set jarak tegaklurus (x1,...,xn) atau jarak
radial (r1,...,rn) dan sudut derajat penglihatan (θ1,...,θn). Posisi penelti O, Posisi
Hewan P, Q adalah titik dalam transek yang tegak lurus dengan hewan, jarak radial
adalah r, sudut penglihatan adalah θ dan jarak yang tegak lurus dengan transek adalah
x (Gambar 2).
P
x
Q O
r
θ
Gambar 2. Parameter dari Line Transect.
Pada saat peneliti berjalan pada jalur transek dilakukan pengambilan data untuk
pengamatan langsung dan tidak langsung, yaitu memperhatikan arah depan, kiri,
kanan dan arah atas peneliti untuk melihat apakah ada keberadaan mamalia di sekitar
peneliti, jika ada mamalia terlihat lalu dicatat di dalam tabulasi data, untuk
identifikasi mamalia dibantu dengan buku panduan mamalia. Pengambilan data
dimulai antara jam 5.30 WIB sampai jam 12.30 WIB.
Untuk perangkap jejak dicatat setiap perjumpaan terhadap tanda-tanda yang
ditinggalkan mamalia seperti tapak, kotoran, dan lainnya di dalam perangkap jejak.
Setiap tanda bekas keberadaan mamalia diidentifikasi dan dicatat dalam tabulasi data
perangkap jejak dan untuk identifikasi dibantu dengan buku panduan tapak mamalia.
Selama penelitian, peneliti dibantu dengan asisten dari Zoological Society of London-
Jambi Tiger Project (ZSL-JTP) dan Anti Poaching and Wildlife Monitoring (APWM)
PT Asiatic Persada.
Pengambilan data malam hari dimulai antara jam 19.00 WIB sampai jam 00.00
WIB, dengan menggunakan bantuan senter besar dan senter kepala sebagai penerang
jalan dan menemukan hewan mamalia di dalam jalur transek, karena jenis mamalia
nokturnal umumnya matanya memantulkan sinar yang datang menuju matanya
sehingga dengan memanfaatkan cahaya dari senter kepala dapat diketahui keberadaan
mamalia tersebut di jalur transek, cahaya dari senter jenis ini tidak terlalu terang dan
tidak terlalu mengganggu aktifitas mamalia tersebut. Untuk mengidentifikasi jenis
mamalia yang ditemukan digunakan senter besar yang cukup terang.
4. Penggunaan perangkat Camera trap
Kamera yang digunakan untuk penelitian ini adalah jenis deercam (Gambar
3.a). Keunggulan jenis camera trap deercam ini adalah ringan dan lebih mudah
dalam mengoperasikannya. Tingkat sensitif sensor yang dapat diatur (high atau
standard) dan masa diam (delay) dapat dipilih sesuai kebutuhan (0, 15”, 30”, 1’, 2’,
5’, 10’ 15’, 30’, 45’ dan 1 jam) (Salampessy, 2006). Jumlah kamera yang dipasang 5
buah. Camera trap ini di pasang di jalur transek yang berbeda (satu kamera dalam
satu jalur), pemilihan jalur yang akan di pasang kamera dilakukan secara random.
Camera trap dipasang di lokasi yang dianggap paling potensial untuk mengambil
gambar hewan dan berada di dalam jalur transek. Lokasi potensial untuk pemasangan
kamera adalah dekat sumber air, sumber garam (salt lick), lintasan hewan dan lain-
lain.
a
b
Gambar 3. (a) Camera trap model deercam, (b) pemasangan salah satu kamera di
jalur transek (Foto oleh Devi Asriana, 2005)
Umumnya camera trap dipasang dengan ketinggian sekitar 50 cm meter dari
tanah tetapi pada gambar 3 terlihat camera trap dipasang dekat sekali ke tanah hal ini
karena tanah di sekitar pohon kelapa sawit yang dipasangi kamera mempunyai
ketinggian yang lebih tinggi dari jalur yang akan dimonitor oleh camera trap
sehingga untuk menyesuaikan gambar yang akan diambil agar tidak terpotong maka
kamera harus diturunkan letak pemasangannya.
Deercam bekerja dengan menggunakan sensor pendeteksi panas, yaitu infra red
pasif yang dipasang pada sebuah batang pohon dengan diameter minimum 35 cm dan
dipasang dengan ketinggian sekitar 50 cm di atas tanah. Tingkat sensitif sensor
berada pada posisi sensitifitas tinggi (high sensitive) dan masa diamnya (delay) diatur
pada posisi 0 (nol) artinya kamera akan mengambil gambar terus menerus bila ada
objek melintas lebih dari satu tanpa jeda waktu. Jarak optimal pemasangan camera
trap, yaitu 3 – 4 m terhadap jalur yang dilewati objek yang dikehendaki untuk
diabadikan gambarnya (Salampessy, 2006). Camera trap ditinggalkan pada tiap
lokasi transek selama satu bulan dan pengecekan terhadap status kamera, baterai dan
film di lapangan dilakukan tiap satu minggu sekali.
Pengambilan data dari hasil foto camera trap, yaitu apabila ada dua individu
dalam satu frame gambar maka dihitung dua, apabila beberapa frame terambil dalam
waktu berdekatan (beberapa detik) dan foto yang terambil adalah jenis mamalia yang
sama maka jumlah individu dihitung sama dengan yang pertama contohnya frame
pertama terfoto satu individu babi pada jam 00.00 lalu pada frame kedua terdapat foto
satu individu babi pada jam 00.01 maka hanya dihitung satu individu babi.
D. Analisis Data
Analisis data berdasarkan dua metode, yaitu pengamatan langsung dan tidak
langsung. Masing-masing metode digunakan untuk melihat kelimpahan mamalia
yang terdapat diperkebunan kelapa sawit.
1. Pengamatan langsung
Analisis pengamatan langsung, yaitu menghitung kelimpahan populasi mamalia
(Wilson dkk., 1996).
WLiD
2∑
=
Dimana:
D = Kepadatan Populasi i (per Km2)
Σ i = Jumlah individu i yang ditemukan
L = Panjang Jalur dikali dengan jumlah pengulangan
W = Jarak observer dengan objek i
JejakPerangkapluastotalditemukanyangspesiesJejakD
∑∑
=
2. Pengamatan tidak langsung
Berdasarkan hasil data pengamatan tidak langsung, yaitu melalui studi jejak dan
camera trap, digunakan untuk mengetahui kelimpahan populasi dan Capture rate
dari mamalia.
Untuk menghitung kelimpahan populasi mamalia berdasarkan jejak kaki, yaitu
dengan jumlah individu spesies berdasarkan jejak kaki dibagi dengan total perangkap
jejak yang digunakan.
Keterangan: Ukuran perangkap jejak 1 x 1 m
Camera trap dapat digunakan untuk memperkirakan kelimpahan relatif. Jumlah
foto hasil camera trap tidak dapat digunakan secara langsung untuk menentukan
ukuran populasi atau membandingkan kelimpahan populasi berdasarkan waktu.
Satuan pendeteksian hasil observasi dapat digunakan untuk mengetahui kelimpahan
dfCR∑×∑
=100
relatif, yaitu satu foto dari suatu jenis per hari. Apabila dalam satu foto ada dua
individu atau lebih maka dihitung sebagai dua foto atau lebih (Lynam dkk., 2000).
Kelimpahan relatif mamalia berdasarkan camera trap diketahui dengan
menggunakan perhitungan kelimpahan relatif Capture Rate (CR) per 100 hari
pemasangan camera trap. Faktor pembagi 100 hari camera trap beroperasi
merupakan suatu pembobotan terhadap waktu untuk menyamakan satuan usaha yang
digunakan (Lynam dkk., 2000).
Dimana:
CR = Capture Rate
Σ f = Jumlah total foto yang diperoleh
Σ d = Jumlah total hari pemasangan kamera
100 hari pemasangan camera trap sama dengan jumlah camera trap yang di
pasang dikalikan jumlah hari pengamatan.
Data hasil pengamatan langsung dan data hasil perangkap jejak digabungkan
untuk melihat nilai kelimpahan dan digunakan untuk mengetahui nilai tertinggi
kelimpahan mamalia melalui uji statistik.
3. Uji Statistik Non Parametric
Uji statistik dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 11.5. Analisis non
parametric digunakan untuk mengetahui nilai kelimpahan yang paling tinggi dari
kelimpahan mamalia. Uji pertama adalah dengan K Independent Sample Test, dengan
uji Kruskal-Wallis digunakan untuk mengetahui apakah nilai kelimpahan tersebut
berbeda pada masing-masing spesies mamalia. Apabila hasil dari uji tersebut adalah
signifikan maka dilanjutkan dengan Two Independent Sample Test dengan uji Mann-
Whitney U yang digunakan untuk mengetahui apakah kelimpahan tertinggi pertama
dan kedua berbeda secara signifikan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAAN
A. Komposisi Mamalia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan metode pengamatan
langsung dan tidak langsung, yaitu perangkap jejak dan camera trap yang dilakukan
pada line transect didapat 12 spesies mamalia dengan 5 bangsa (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil penelitian mamalia di perkebunan kelapa sawit
Ordo Spesies Nama Latin Babi jenggot Sus barbatus Artiodactyla Babi hutan Sus scrofa Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus Berang-berang Lutra sp Kucing hutan Prionailurus bengalensis
Carnivora
Teledu sigung Mydaus javanensis Pholidota Trenggiling peusing Manis javanica
Monyet kra Macaca fascicularis Primata Beruk Macaca nemestrina Landak raya Hystrix brachyura Bajing kelapa Calosciurus notatus
Rodentia
Tikus Ratus sp
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dari Zoological Society of London
(ZSL) di seluruh area PT Asiatic Persada dari tahun 2002 sampai tahun 2004
ditemukan 8 bangsa mamalia dengan 42 spesies (Tabel Lampiran 4). Berdasarkan
hasil dari ZSL tersebut maka hasil penelitian mamalia saat ini yang ditemukan di
lokasi perkebunan kelapa sawit sekitar 28,5% dari total mamalia yang ditemukan
sebelumnya oleh ZSL, terdapat satu spesies mamalia yang ditemukan pada penelitian
ini tetapi tidak ditemukan pada penelitian sebelumnya, yaitu teledu sigung (Mydaus
javanensis).
Beberapa spesies mamalia yang ditemukan di dalam kawasan perkebunan
kelapa sawit merupakan spesies yang dilindungi di Indonesia berdasarkan PP No. 7
tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto, 2001). Beberapa spesies lainnya merupakan
spesies yang perdagangan internasionalnya diatur secara ketat oleh CITES
(Saehartono dan Mardiastuti, 2002), seperti yang ditunjukan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Status konservasi mamalia yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit
Nama Latin Nama Indonesia PP No.7 thn 1999 CITES Prionailurus bengalensis Kucing hutan Dilindungi Appendix I Sus scrofa Babi hutan Tidak Dilindungi Tidak diatur Paradoxurus hermaphroditus Musang luwak Tidak Dilindungi Appendix IIIMacaca fascicularis Monyet kra Tidak Dilindungi Appendix II Ratus sp Tikus Tidak Dilindungi Tidak diatur Manis javanica Trenggiling peusing Dilindungi Appendix II Macaca nemestrina Beruk Tidak Dilindungi Appendix II Mydaus javanensis Teledu sigung Dilindungi Tidak diatur Hystrix brachyura Landak raya Dilindungi Tidak diatur Sus barbatus Babi berjenggot Tidak Dilindungi Tidak diatur Lutra sp Berang-berang Callosciurus notatus Bajing kelapa Tidak Dilindungi Tidak diatur
Dari 12 spesies mamalia yang ditemukan dalam areal perkebunan 33,3% (4
spesies) diantaranya merupakan spesies yang dilindungi oleh pemerintah Republik
Indonesia yang diatur oleh PP no.7 tahun 1999 dan 41,6% (5 spesies) merupakan
spesies yang dilindungi oleh CITES (2002).
Spesies kucing hutan (Prionailurus bengalensis) memiliki status perlindungan
oleh CITES adalah Appendix I, spesies yang mempunyai kriteria ini adalah spesies
yang populasinya berada dalam bahaya (endangered) dan terancam untuk punah
(Soehartono dan Mardiastuti, 2002).
Spesies-spesies seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk
(Macaca nemestrina) dan trenggiling (Manis javanica) yang status konservasinya
oleh CITES masuk ke dalam kategori appendix II adalah spesies yang populasinya
tidak terancam oleh kepunahan tetapi akan terancam punah apabila perdagangan
satwa tersebut tidak diatur. Perdagangan spesies ini masih diperbolehkan, tetapi
hanya jika manajemen yang memiliki otoritas dari negara eksportir memberikan surat
ijin. Surat ijin tersebut hanya dapat diperoleh apabila lembaga ilmu pengetahuan yang
memiliki otoritas dari negara pengekspor memberikan saran bahwa perdagangan
tersebut tidak akan membahayakan kelangsungan hidup spesies tersebut (Soehartono
dan Mardiastuti, 2002).
Spesies yang masuk daftar CITES kategori appendix III seperti musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus). Kategori appendix III seperti pada kategori
Appendix II hanya yang berbeda adalah spesies-spesies tersebut didaftar oleh daerah
setempat. Pada kasus ekspor, daerah tempat berasalnya spesies tersebut dapat
memberikan surat ijin ekspor dan harus mempunyai sertifikat keaslian (Soehartono
dan Mardiastuti, 2002).
Spesies seperti babi hutan (Sus scrofa), teledu sigung (Mydaus javanensis),
landak (Hystrix brachyura), babi jenggot (Sus barbatus) dan bajing kelapa
(Callosciurus notatus) yang belum diatur oleh CITES, maupun oleh PP no.7 tahun
1999 adalah spesies-spesies yang populasinya masih banyak di alam dan tidak ada
atau belum ada ancaman serius terhadap kelangsungan hidup populasi spesies
tersebut.
Spesies mamalia lain yang ditemukan diluar line transect adalah spesies rusa
sambar (Cervus unicolor) yang berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 merupakan spesies
yang dilindungi.
B. Kelimpahan Mamalia
Tabel 4. Nilai kelimpahan mamalia
No Spesies D (Individu per Km2) 1 Babi hutan 4799,478 2 Babi jenggot 706,667 3 Kucing hutan 64,015 4 Landak raya 11,947 5 Musang luwak 10,143 6 Tikus 8,721 7 Berang-berang 2,198 8 Monyet kra 0,019 9 Beruk 0,014
10 Teledu sigung 0,012 11 Bajing kelapa 0,001 12 Trenggiling peusing 0,001
Keduabelas spesies dari hasil penelitian diketahui bahwa memiliki kelimpahan
yang bervariasi. Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa nilai kelimpahan tertinggi adalah
dari spesies babi, yaitu babi hutan (Sus scrofa) dengan nilai 4799,478 individu per
Km2 dan babi jenggot (Sus scrofa) dengan nilai 706,667 individu per Km2. Sedangkan
kelimpahan terendah adalah spesies bajing kelapa (Callosciurus notatus) dan
trengiling peusing (Manis javanica) dengan nilai keduanya 0,001 individu per Km2.
Berdasarkan K Independent Sample Test, dengan uji Kruskal-Wallis hasil uji
kelimpahan mamalia adalah berbeda bermakna (Tabel lampiran 2). Berdasarkan uji
lanjutan Two Independent Sample Test, dengan uji Mann-Whitney U hasil uji adalah
berbeda bermakna antara babi hutan dengan babi jenggot (Tabel lampiran 3).
Melimpahnya spesies babi tersebut dimungkinkan karena kebun kelapa sawit
menyediakan pakan bagi babi. Dari penelitian sebelumnya oleh ZSL disebutkan
bahwa spesies babi seperti babi hutan dan babi jenggot dianggap sebagai hama
perkebunan karena memakan buah-buah sawit yang terjatuh dari pohon dan juga
memakan tanaman kelapa sawit muda (Maddox dkk., 2002-2004). Berdasarkan hasil
analisis feses secara makro yang ditemukan pada saat penelitian, feses spesies babi
biasanya mengandung serat-serat yang diperkirakan berasal dari buah sawit selain itu
pada tidak ditemukannya harimau yang merupakan pemangsa utama babi hutan di
dalam perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan tabel 4 spesies kucing hutan (Prionailurus bengalensis) memiliki
nilai kelimpahan yang cukup tinggi mungkin disebabkan kebun kelapa sawit
menyediakan cukup satwa mangsa bagi spesies tersebut. berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya oleh Scott dan Gemita (2004), kucing hutan memiliki mangsa utama dari
bangsa Rodentia dengan spesies yang paling umum adalah Rattus sp, spesies tikus ini
umum ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan hasil analisis feses secara
makro yang ditemukan pada saat penelitian, feses kucing hutan mengandung serpihan
kuku dan rambut halus yang diperkirakan berasal dari bangsa Rodentia.
Selain spesies kucing hutan spesies landak raya (Hystrix brachyura) dan spesies
musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) memiliki kelimpahan cukup tinggi.
Berdasarkan Payne dkk. (2000) landak raya umumnya memakan buah-buahan yang
jatuh termasuk buah kelapa sawit dan habitat hidupnya selain hutan adalah pada lahan
budi daya. Musang luwak umumnya memakan buah-buahan, dedaunan, artropoda,
cacing tanah dan moluska. Tempat hidup selain di habitat hutan adalah di habitat
perkebunan dan seringkali terlihat di dekat pemukiman manusia (Payne dkk., 2000).
Dimungkinkan bahwa musang tinggal di perkebunan kelapa sawit karena habitat ini
menyediakan semua kebutuhannya seperti tempat tinggal dan makanan.
Berdasarkan hasil camera trap diketahui bahwa spesies babi juga merupakan
spesies yang paling banyak ditemui dan spesies lain yang ditemui adalah dari spesies
primata yaitu beruk (Tabel 5).
Tabel 5. Capture Rate Mamalia Berdasarkan Camera Trap
Spesies Capture Rate/100 hariBabi hutan 10 Beruk 1.25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Komposisi mamalia berdasarkan hasil penelitian adalah ditemukan 12 spesies
mamalia dengan 5 bangsa.
2. Komposisi mamalia berdasarkan status konservasinya oleh PP No. 7 thn 1999
dan CITES (2002) adalah 33,3% (4 spesies) dilindungi berdasarkan Peraturan
Pemerintah dan 41,6% (5 spesies) mamalia dilindungi berdasarkan CITES.
Kebun kelapa sawit PT Asiatic Persada ini masih memiliki spesies hewan-
hewan yang dilindungi.
3. Kelimpahan mamalia diketahui dari hasil penelitian sangat bervariasi,
kelimpahan tertinggi adalah babi hutan (Sus scrofa) sebesar 4799,478 individu
per Km2 sedangkan kelimpahan terendah adalah bajing kelapa (Callosciurus
notatus) dan trengiling peusing (Manis javanica) dengan nilai keduanya 0,001
individu per Km2.
4. Tingginya kelimpahan babi hutan dapat disebabkan oleh penggunaan
perkebunan kelapa sawit oleh babi sebagai sumber makanan yang melimpah.
5. Spesies lain yang juga cukup melimpah adalah kucing hutan (Prionailurus
bengalensis) hal ini mungkin disebabkan didalam kebun kelapa sawit banyak
terdapat hewan mangsanya
B. Saran
Ditemukannya jenis satwa yang dilindungi di perkebunan maka pengelolaan
dan perlindungan satwa perlu dilakukan secara menyeluruh di dalam maupun di luar
kawasan yang dilindungi agar mengurangi penurunan populasi terutama populasi dari
mamalia.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan menyeluruh di seluruh kawasan
perkebunan terutama di daerah penyangga sehingga memiliki gambaran lengkap
tentang jenis-jenis mamalia apa saja dan persebarannya di dalam areal perkebunan
kelapa sawit PT Asiatic Persada.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H S. Pengelolaan Satwa liar, Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor, 1990. Casson, A. Oil Palm, Soybeans and Critical Habitat Loss. A Review Prepared for the
WWF Forest Conversion Initiative. WWF Forest Conversion Initiative. Switzerland, 2003.
Departemen Kehutanan. DirJen PHKA. Unit Konservasi SDA Jambi. Laporan
Monitoring Evaluasi Populasi dan Habitat Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Areal PT Asiatic Persada dan HPH PT Asialog. Jambi, 2002.
Fonseca, G, Lacher, ET dan Batra, P. Camera Trapping Protocol. Team Initiative,
Conservation International. USA, 2003. Francis, C M. “Mammals of South-East Asia (Including Thailand, Malaysia
Singapore, Myanmar, Laos, Cambodia, Vietnam, Java, Sumatra, Bali and Borneo)”. New Holland Publishers (UK), 2001.
Glastra, R, Wakker, E dan Richert W. Oil Palm Plantations and Deforestation in
Indonesia. What Role Do Europe and Germany Play?. A Report by WWF Germany in Collaboration with WWF Indonesia and WWF Switzerland, 2002.
Karanth, K U. Estimating Tiger Panthera tigris Populations From Camera-Trap
Data Using Capture Recapture Models. Biological Conservation 71 (1995) hal. 333-338. Great Britain, 1995.
Karanth, K U. Counting tigers, with confidence dalam Riding the tiger. Cambrige
university press. United Kingdom, 1999. Karanth, K U dan Nichols, J D. Monitoring Tigers and Their Prey:a Manual for
Researchers, Managers and Conservationists in Tropical Asia. Centre for Wildlfe Studies. Banglore. India, 2002
Kanjanavanit, O. The Mammals Tracks of Thailand. Green World Foundation.
Bangkok. Unpublish Lynam, A J, Colon, C dan Ray, J. Tiger Survey Techniques and Conservation
Training Handbook. Khao Yaoi Forestry Training Centre. Bangkok. Thailand, 2000.
Maddox, M.T, Priatna, D, Gemita, E dan Salampessy, A. Pigs, Palms, People and Tigers (Survival of The Sumateran Tiger in a Comercial Landscape). Jambi Tiger Project-Zoological Society of London, Report 2002-2004.
Noerdjito, M dan Maryanto, I. Jenis-Jenis Hayati Yang Dilindungi Perundang-
Undangan Indonesia. Puslitbang Biologi LIPI dan The Nature Conservacy. Cibinong, 2001
Odum, E P. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993. Payne, J, Francis, C. M., Phillips, K. Dan Kartikasari, S N. Panduan Lapangan
Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darusalam. WCS-IP, 2000.
Primack, R.B, Supriatna, J, Indrawan, M dan Kramadibrata, P. Biologi Konservasi.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 1998. PRPOL. Handbook of Social and Environmental Issues. Edition 2, 2003. Sadikin, L. A. Keberadaan Mamalia Sedang dan Besar di Kawasan Pinggir Hutan
dengan Metode “Camera Trap” di Air Dikit, Taman Nasional Kerinci Seblat. Skirpsi Sarjana. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta, 2005.
Salampessy, A. Tekhnik Pemasangan “Camera Trap” Model Cam Trakker, Deer
Cam dan Photo Scout. Jambi Tiger Project-Zoological Society of London. Jambi, 2006.
Scott, D.M, Gemita, E, dan Maddox, T M. Small Cat in Human Modified Landscapes
in Sumatra. Cat news 40:hal 23-25, 2004. Scott, D.M. dan Gemita, E. Can Human-Modified Landscapes in Sumatra Provide
Suitable Habitat for Threatened Cat Species?. Final Report University of Brighton and Zoological society of London. United Kingdom, 2004.
Soehartono, T dan Mardiastuti, A. CITES Implementation in Indonesia. Nagao
Natural Environment Foundation. Jakarta, 2002. Van Strien, N J. A Guide to The Track of The Mammals of Western Indonesia. School
of Environmental Conservation Management. Bogor. Indonesia, 1983. Wikipedia. “Binatang Menyusui”. http://id.wikipedia.org, 2006.
Wilson, D.E, Cole, F.R, Nichols, J.D, Rudran, R dan Foster, M.S. Measuring and Monitoring Biological Diversity, Standard Methods for Mammals. Smithsonia Institution Press, 1996.
Wijayanto, U dan Winarni, N L. Pola distribusi Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae) dan beberapa jenis kucing di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan antara tahun 2002 – 2003. WCS, 2003.
Zoological Society of London. “Leaflet: Proyek Harimau Jambi”. London, eds Mei
2003. Zoological Society of London. “Quarterly Progress Report: Kesesuaian, Konflik dan
Kompromi Hidup Berdampingan Antara Mamalia Besar Dengan Industri di Sumatera”. London, 2005.
Tabel lampiran 1. Nilai kepadatan mamalia di perkebunan kelapa sawit (individu/Km2)
No Spesies Durian Dangkal
Empang Buliaro
Lamban Lebuai Mentilingan 1 Mentilingan 2 Padang
Salak Sako
Dekemang Rataan
1 Babi hutan 8266.67 6028.59 3509.10 1907.22 5446.27 2684.63 5753.87 4799.4782 Babi jenggot 233.33 1314.29 354.55 621.43 1246.15 323.08 853.85 706.6673 Kucing hutan 0.93 100.13 82.04 71.62 46.53 39.15 107.70 64.0154 Landak raya 0.00 42.86 18.18 7.14 0.00 15.38 0.06 11.9475 Musang luwak 0.20 0.02 18.23 21.51 15.53 15.48 0.04 10.1436 Tikus 0.13 0.00 45.48 0.00 0.03 0.02 15.38 8.7217 Berang-berang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.38 0.00 2.1988 Monyet kra 0.00 0.00 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0199 Beruk 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.00 0.014
10 Teledu sigung 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.01211 Bajing kelapa 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00112 Trenggiling peusing 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.001
Tabel lampiran 2. Hasil analisis non parametric, uji Kruskal-Wallis
Ranks
7 54.507 65.147 42.937 81.007 23.507 24.437 74.007 46.007 25.577 24.577 24.867 23.50
84
SPESIESMusang luwakKucing hutanTikusBabi hutanTrenggilingTeledu sigungBabi jenggotLandakBerang-berangBerukMonyet kraBajing kelapaTotal
DENSITYN Mean Rank
Test Statisticsa,b
67.41511
.000
Chi-SquaredfAsymp. Sig.
DENSITY
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: SPESIESb.
Ranks
7 11.00 77.007 4.00 28.00
14
SPESIESBabi hutanBabi jenggotTotal
DENSITYN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
.00028.000-3.130
.002
.001a
Mann-Whitney UWilcoxon WZAsymp. Sig. (2-tailed)Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
DENSITY
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: SPESIESb.
Tabel lampiran 3. Hasil analisis lanjutan, uji Mann-Whitney U
Tabel Lampiran 4. Mamalia liar yang ditemukan di Area PT Asiatic Persada berdasarkan
penelitian ZSL (Maddox dkk., 2002-2004).
(*) Spesies mamalia yang ditemukan pada saat penelitian Asriana (2007)
Bangsa Nama umum Nama Latin Bearded pig Sus barbatus * Greater mouse deer Tragulus napu Lesser mouse deer Tragulus javanicus Muntjac Muntiacus muntjak Pig (wild) Sus scrofa *
Artiodactyla
Sambar Cervus unicolor Banded palm civet Diplogale derbyanus Binturong Artictis binturong Clouded leopard Neofelis nebulosa Common palm civet Paradoxurus hermaphroditus * Dhole Cuon alpinus Fishing cat Prionailurus viverrinus Golden cat Catopuma temminckii Hairy nosed otter Lutra sumatrana Leopard cat Prionailurus bengalensis * Malay Civet Vivera tangalunga Short tailed mongoose Herpestes brachyurus Small-clawed otter Aonyx cinerea Smooth otter Lutra perspicillata Sun bear Helarctos malayanus Tiger Panthera tigris
Carnivora
Yellow throated marten Martes flavigula Insectivora Moon rat Echinosorex gymnurus Perissodactyla Malayan tapir Tapirus indicus Pholidota Pangolin Manis javanica *
Agile gibbon Hylobates agilis Banded langur Presbytis melalophos Long tailed macaque Macaca fascicularis * Pig tailed macaque Macaca nemestrina * Siamang Hylobates syndactylus Silvered langur Presbytis cristata
Primata
Slow loris Nycticebus coucang Black-eared pigmy squirrel Nannosciurus melanotis East Asian porcupine Hystrix brachyura * Long tailed porcupine Trichys fascilulata Plantain squirrel Calosciurus notatus * Provost’s squirrel Calosciurus prevostii Red giant flying squirrel Petaurista petaurista Red spiny rat Maxomys surifer
Rodentia
Three striped ground squirrel Lariscus insigins Common tree shrew Tupaia glis Scandentia Large tree shrew Tupaia tana
Gambar Lampiran 1. Beruk (Macaca nemestrina) (Foto oleh ZSL, 2006)
Gambar Lampiran 2. Babi hutan (Sus scrofa) (Foto oleh ZSL, 2006)
Gambar Lampiran 3. Perkebunan Kelapa Sawit (Foto oleh Devi Asriana, 2005)
Gambar Lampiran 4. Jalur Transek Di Perkebunan Kelapa Sawit (Foto oleh Devi Asriana, 2005)
Gambar Lampiran 5. Pemasangan Kamera Trap (Foto oleh Devi Asriana, 2005) Gambar Lampiran 6. Pengambilan data jejak (Foto oleh Devi Asriana, 2005)
Gambar Lampiran 7. Peta Lokasi Transek Dalam Perkebunan Kelapa Sawit (Peta ArcGIS oleh PT Asiatic Persada dan ZSL, 2006)