Post on 02-Jun-2018
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
1/41
MAKALAH KEPERAWATAN INTEGUMEN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN VITILIGO, MELASMA, DAN
ALBINISME
Disusunoleh:
Kelompok V
Noviani Nastiti S 1313 1112 3034
Ahmad Luky A. F 1313 1113 3035
Agida De Argarinta 1313 1112 3037
Siti Hidayati Al Indasah 1313 1112 3039
Yeni Rachmawati 1313 1112 3041
Thurfah Kustiati Azmi 1313 1112 3045
Lina Jumeida 1313 1112 30
Krisna Eka 1313 1112 30
PROGRAM PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
2/41
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Vitiligo adalah gangguan berkurangnya pigmentasi kulit yang sebabnya belum
diketahui pasti, gangguan yang didapat serta ditandai dengan gambaran makula putih
tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif. Melasma
merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai
kehitaman dengan pinggir iregular, berkembang lambat, berbentuk simetris pada
daerah yang sering terpapar sinar matahari (Lapeere H, et al, 2008). Albinisme
merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana tubuh tidak dapat
membentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut albino, serta Albino
timbul dari perpaduan gen resesif.
Penyakit kulit ini dapat mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin. Insidensi
Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Prevalensi melasma pada kulit Asia
diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria. Sedangkan pada
albinisme, di Indonesia tidak terlalu banyak laporan yaitu sekitar 1 berbanding
17.000.
Penderita vitiligo, melasma, ataupun albinisme terkadang merasa malu, tidak
percaya diri, dan bahkan rentan terhadap bahaya di sekitarnya karena tidak
mengetahui gangguannya secara mendetail. Perawat sebagai pendamping penderita,
wajib memahami ketiga gangguan tersebut untuk dapat memanajemen penderita
dalam menerima gangguan pada sistem integumennya.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah definisi dari vitiligo, melasma, dan albinisme ?
1.2.2
Bagaimanakah etiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme ?
1.2.3 Bagaimanakah patofisiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme ?
1.2.4 Bagaimanakah manifestasi klinis dari vitiligo, melasma, dan albinisme ?
1.2.5 Bagaimanakah tata laksana dari vitiligo, melasma, dan albinisme ?
1.2.6 Bagaimanakah asuhan keperawatan dari vtiligo, melasma, dan albinisme ?
1.3
Tujuan
1.3.1 Menjelaskan definisi dari vitiligo, melasma, dan albinisme.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
3/41
1.3.2 Menjelaskan etiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme.
1.3.3 Menjelaskan patofisiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme.
1.3.4
Menjelaskan manifestasi klinis dari vitiligo, melasma, dan albinisme.
1.3.5 Menjelaskan tata laksana dari vitiligo, melasma, dan albinisme.
1.3.6 Menjelaskan asuhan keperawatan dari vtiligo, melasma, dan albinisme.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
4/41
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1Anatomi Fisiologi dan Pengetahuan Klinis Dasar
Pigmentasi dipengaruhi oleh sel-sel dendritik (melanoblas, melanosit) yang
membentuk pigmen melanin yang berasal dari neural chest yang berpindah selama
periode janin danberkoloni di kulit (epidermis), adneksa kulit (rambut) dan mata. Tetapi
juga ditemukan di mukosa, leptominogen dan telinga dalam.
2.1.1 Susunan
Sistem pigmen kulit terdiri dari seluruh melanosit kulit beserta fungsi dan
mekanisme regulasinya. Lingkungan hidup dari melanosit kulit adalah stratum basalis.
Mereka ada sebagai sel dendritik tersendiri (tanpa desmosom) pada membran basalis,
kepadatannyamencapai sekitar 1000-2000 sel setiap mm2permukaan kulit.
Sifat: sintesa melanin (eumelanin, phaeomelanin) yang kontinu dan diberikan
dalam bentuk granula melanin pada kratinosit yang mengelilinginya. Satu melanosit
dan seitar 36 keratinosit menghasilkan satu kesatuan melanin epidermalis. Sifat
lainnya adalah kemampuan untuk mitosis dan mengembara pada membran basalis.
Tugas yang sangat penting dari melanosit kulit ialah pelindung kulit dari cahaya.
Warna kulit yang disebabkan oleh melanin ditentukanoleh:
- Faktor genetik-ras(misalnya kaukasia, ras negro, indian)
-
Faktor genetik-individual(tipe sensitivitas terhadap cahaya)
- Faktorpemaparan cahaya
- Faktor regulasi hormonal(MSH, estrogen, melatonin).
Melanosit pada histologi jaringan kulit normal (Shimizu, 2007).
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
5/41
2.1.2 Patologi
a. Etiologi: karena perkembangan dari sistem melanin kulit dan fungsinya ada di
bawah kontrol beberapa gen khusus, maka dapat terjadi gangguan genetik yang
sesuai. Sejauh ini secara hipotesis masih dianggap sebagai penyebab
perkembangan nevus melanositik. Penyebab penyakit non-genetik terutama ialah
rangsangan cahaya spesifik, agen kimia, faktor humoral dan proses penyakit
epidermal lokal non-spesifik.
b. Patogenesis: perubahan yang bersifat adaptif seperti pencoklatan warna kulit
(browning) dan hipermelanosis dapat terjadi melalui peningkatan sintesis melanin
atau proliferasi melanosit.
c. Kerusakan sel dapat menimbulkan gangguan pada sintesis melanin atau gangguan
transfer pigmen ke dalam keratinosit dengan mengakibatkan penimbunan melanin
yang bertumpuk ke dalam makrofag dermis, pada kerusakan yang berat dapat
menimbulkan kematian melanosit.
d.
Gangguan pertumbuhan (jinak, ganas) sering disebabkan oleh UV. Mula-mula
berkembang biak dalam ruang lingkup yang alami (intradermal-horizontal),
kemudian juga menembus zona membran basalis intradermal (nevus sel nevus,
melanoma maligna)
2.1.3
Klinis
Gejala klinis relatif monoton: bentuk bercak dengan dua dimensi hiper atau
hipopigmentasi dengan tendensi saling berkonfluen (lokalisata, berbentuk bidang difus
atau generalisata), pada abnormalitas perkembangan dan neoplasia juga ada 3 dimensi,
berbentuk papula-nodosa atau datar. Istilah hiper atau hipomelanosis, depigmentasi
(kehilangan warna kulit didapat) dan leukoderm (kehilangan warna kulit-akuisita secara
sekunder melalui dermatosis primer, misalnya sifilis, psoriasis)Diskromia sebenarnya
bukan merupakan penyakit sistem melanosit kulit, melainkan perubahan warna kulit
akuisita melalui penimbunan pigmen lainnya. Diagnosis banding yang perlu
diperhatikan ialah keadaan dimana seakan-akan terjadi perubahan warna kulit (biasanya
kecoklatan) karena perubahan struktural dari permukaan kulit, misalnya veruka.
2.1.4 Diagnosis dan terapi
Selain anamnesis dan gambaran klinis, sering diperlukan pemeriksaan histologik
(deteksi sel melanositik, penilaian keadaan). Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya
semakin sering dilakukan. Pemeriksaan fungsi: pemeriksaan terhadap daya lindung
pigmen (atau sensitivitas terhadap cahaya) dan kapasitas beradaptasi melalui
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
6/41
pigmentasi dengan metode diagnostik cahaya. Diagnostik klinis-kimiawi: membuktikan
adanya metabolit melanin, saat ini hanya mempunyai arti yang kecil.
Kemungkinan pengobatan konservatif dengan obat topikal sangat terbatas (obat
topikal untuk depigmentasi maupun hiperpigmentasi). Kemungkinan cara pengobatan
lain adalah dengan terapi sinar (pada hipopigmentasi), terapi sitostatik-anti-proliferatif
(melanoma maligna) dan terapi operatif.
Rassner, Steinert. 1995. Buku Ajar dan Atlas Dermatologi Rassner. Jakarta: EGC
2.2VITILIGO
2.2.1 DEFINISI
Vitiligo adalah gangguan berkurangnya pigmentasi kulit yang sebabnya belum
diketahui pasti, gangguan yang didapat serta ditandai dengan gambaran makula putih tidak
bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif (Gawkrodger, 2003).
Gambaran histologi pada lesi vitiligo, berupa bercak-bercak putih, memperlihatkan
akan hilangnya melanosit dan melanin dari lapisan kulit (Moretti, 2003).
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda,dengan
50% kasusnya terjadi pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat terjadi pada semua usia.
Ras dan jenis kelamin tidak mempengaruhi terjadinya gangguan ini. Pernah dilaporkan
bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan
ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan yang
dikarenakan masalah kosmetik (Wolff & Johnson, 2009).
2.2.3 ETIOLOGI
Penyebab vitiligo sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, diduga ini
adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau secara autosomal
dominan. Namun, beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada
seseorang:
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah
tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.
2.
Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
7/41
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
8/41
Secara invitro ini dapat dibuktikan tirosin, dopa, dan dopakrom merupakan
sitotoksik terhadap melanosit. (Djuanda, 2007)
5.
Pajanan terhadap Bahan Kimia
Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan Mono Benzil Eter Hidrokinon
yang terdapat dalam sarung tangan atau detergen yang mengandung fenol.
(Djuanda, 2007)
2.2.4 MANIFESTASI KLINIS
Vitiligo merupakan perubahan pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo menunjukan
gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna kulit normal atau oleh
hiperpigmentasi (James, Berger, & Elston, 2006). Pada vitiligo, ditemukan makula dengan
gambaran seperti Kapuratau putih pucat dengan tepi yang tajam.Proses penyakit ini bisa
merupakan suatu pengembangan bertahap dari makula lama atau pengembangan dari makula
baru.Trichromevitiligo (tiga warna: putih,coklat muda,coklat tua) mewakili tahapan yang
berbeda dalam evolusi vitiligo(Wolff & Johnson, 2009).
Vitiligo sering ditemukan pada tangan,pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah
sekitar lubang (misalnya mulut) (Gawkrodger DJ. 2003). Kadang dapat juga ditemukan
gambaran rambut yang memutih atau uban prematur. Gambaran rambut putihpada vitiligo,
dianalogikan dengan makula putih, disebut dengan poliosis (Wolff & Johnson, 2009).
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, serta
ditunjang olehpemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Biasanya,
diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan klinis pasien, dengan
ditemukannya gambaran bercak kapurputih,bilateral (biasanya simetris), makula berbatas
tajam pada lokasi yang khas. Pada pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak
putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya. Dalam kasus-
kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk melihat ada tidaknya melanosit
dan granul melanin di epidermis (Wolff & Johnson, 2009).
Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit, dan melanosom pada
keratinosit, juga terdapat perubahan dalam keratinosit: spongiosis, eksositosis,
basilarvacuopathy dan apoptosis. Beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di
epidermis(Wolff & Johnson, 2009).
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
9/41
Gambaran vitiligo pada wajah.
2.2.5
KLASIFIKASIBermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Koga membagi
vitiligo dalam dua golonganyaitu (Moretti, 2003):
1. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom.
2. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom.
Berdasarkan Moretti (2003) lokalisasi dan distribusinya,Nordlund membagi menjadi:
1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk fokal: terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak segmental.
b) Bentuk segmental: terdapat satu atau lebih makula dalamsatu atau lebih daerah
dermatom dan selalu unilateral.
c) Bentuk mukosal: lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan mulut).
2. Tipe generalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk akrofasial : lesi terdpat pada bagian distal ekstremitas dan muka.
b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.
c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial.
3. Bentuk universalis: lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh tubuh.
2.2.6 PENATALAKSANAAN
Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo. Hampir
semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit. Seluruh pendekatan
memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak semua terapi dapat sesuai
dengan masing-masing penderita.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
10/41
1.Tabir surya
Sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada kulit dan
hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat mencegah terjadinya
fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat mengurangi tanning dari kulit yang sehat
dan dengan demikian mengurangi kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulityang
terkena vitiligo(Wolff & Johnson, 2009).
2.Kosmetik
Banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal menggunakan
covermask kosmetik sebagai pilihan terapi. Area dengan lesi leukoderma, khususnya pada
wajah, leher atau tangan dapat ditutup dengan make-up konvensional, produk-produk self
tanning, ataupengecatan topikal lain. Pilihan untuk menggunakan kosmetik cukup
menguntungkan pasien dikarenakan biayanya yang murah, efek samping yang kecil, dan mudah
digunakan(James, Berger, & Elston, 2006).
3. Repigmentasi
a. Glukokortikoid topikal
Sebagai awal pengobatan diberikan secara intermiten (4 minggu pemakaian, 2
minggu tidak) glukokortikoid topikal kelas I cukup praktis,sederhana, dan aman untuk
pemberian pada makula tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon,
mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda awal
atrofi akibat penggunaan kortikostreoid 3. Pada beberapa penderita vitiligo, terapi dengan
kortikosteroid poten tinggi, misalnyabetametason valerat 0,1% atau klobetasol propionat
0,05% efektif menimbulkan pigmen (Djuanda, Hamzah, & Aisah, 2007).
b. Topikalinhibitor Kalsineurin
Tacrolimus dan pimecrolimus efektif untuk repigmentasi vitiligo tetapi hanya di
daerah yang terpapar sinar matahari. Obat ini dilaporkan paling efektif bila
dikombinasikan dengan UVB atau terapilaserexcimer(Wolff & Johnson, 2009).
c. Topikal fotokemoterapi
Menggunakan topikal8-methoxypsoralen (8-MOP) dan UVA. Prosedur ini
diindikasikan untuk makula berukuran kecil dan hanya dilakukan oleh dokter yang
berpengalaman. Hampir sama dengan psoralen oral, mungkin diperlukan 15kali terapi
untuk inisiasi respon dan 100 kali terapi untuk menyelesaikannya (Wolff & Johnson,
2009).
d.
Fotokemoterapi sistemik
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
11/41
PUVA oral lebih praktis digunakan untuk vitiligo yang luas. PUVA oral dapat
dilakukan bersamaan menggunakan sinar matahari (dimusim panas atau di daerah yang
sepanjang tahun disinari oleh matahari) dan 5-methoxypsoralen (5-MOP) (tersedia di
Eropa) atau sinar UVA buatan dengan 5-MOP atau 8-MOP. Adanya respon baik dari
terapi dengan PUVA ini ditandai oleh munculnya folikuler kecil yang berpigmen di atas
lesi vitiligo. Foto kemoterapi PUVA oral dengan 8-MOP atau 5-
MOP keefektifannya mencapai 85% untuk >70% pasien dengan vitiligo di kepala, leher,
lengan atas, kaki dan di badan (Wolff & Johnson, 2009).
e. UVB
Narrow-band (311nm). Efektivitas terapi ini hampir sama denganPUVA, namun
tidak memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan untuk anak 90% orang dewasa dan > 65% anak-anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan baik
sampai sangat baik.
h. Topikal analog Vitamin D
Analog vitamin D, khususnya Calcipotriol, telah digunakan untuk terapi tunggal
atau dikombinasikan dengan topikal steroid pada managemen vitiligo. Efek Vitamin Dini
mampu menumbuhkan dan mendiferensiasikan melanosit dan keratinosit kembali.Ini
telah dibuktikan pada suatu demonstrasi mengenai reseptor untuk 1-
alphadihydroxyvitamin D3 pada melanosit. Dipercaya bahwa reseptor ini mengatur
stimulasi dari melanogenesis. Analog vitamin ini juga biasa dikombinasikan dengan sinar
UV (termasuk NB-UVB) dan topikal steroid.
i. Topikal 5-Fluorouracil
Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk menginduksi repigmentasi pada lesi
dengan vitiligo dengan memperbesar stimulasi migrasi dari folicular melanosit ke
epidermis selama proses epitelisasi. Bentuk topikal terapi ini bisa dikombinasikan dengan
titik dermabrasi dari lesi vitiligo untuk meningkatkan respon dari
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
12/41
repigmentasi.Didapatkan respon repigmentasi mencapai 73,3% dengan menggunakan
kombinasi ini setelah terapi selama 6 bulan.
3.Minigrafting
Teknik pembedahan dengan metode Minigrafting (Autolog Thin Thierschgrafting, Suction
Blister grafts, autologous mini punch grafts, transplantation of culture dautologous
melanocytes) cukup efektif untuk mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil
dan sulit diatasi(Wolff & Johnson, 2009).
4.Depigmentasi
Tujuan dari depigmentasi adalah "kesatuan" warna kulit pada pasien dengan vitiligo yang luas
atau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak dapat menggunakan PUVA atau pasien yang
menolak pilihan terapi PUVA(Wolff & Johnson, 2009).
Bleaching, pemutihan kulit normal dengan krimmonobenzyl
etherdarihydroquinone(MEH) 20% ini bersifat permanen, artinya proses bleaching
(pemutihan) ini tidak reversible. Tingkat keberhasilan terapi ini >90%. Tahap akhir warna
depigmentasi dengan MEH adalah Chalk white (kapur putih),seperti pada makula vitiligo 3.
Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%, dioleskan 2 kali sehari selama 2 sampai
3 bulan pada daerah kulit yang masih berpigmen. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10
bulan pemberian(James, Berger, & Elston, 2006).
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
13/41
2.2.7 WOC Vitiligo
Hipotesis autositoksik Hipotesis neurohumoral Hipotesis imunologik
Melanosit tidak dapat
memproteksi
monofenol/polifenol
Asetilkolin, epinefrin
dan norepinefrin
meningkat
Penyakit kelenjar
tiroid, anemia
pernisiosa, alopesia
areata, anemia
hemolitik autoimun
monofenol/polifenol
meningkat
Merusak melanosit
VITILIGO
Terdapat lesi berupa
makula dengan
bercak-bercak putih
Ada batas inflamasi pada kulit
MK: gangguan citra
tubuh
MK: kerusakanintegritas kulit
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
14/41
2.3 MELASMA
2.3.1 DEFINISI
Melasma atau kloasma berasal dari bahasa Yunani yaitu melas yang berarti hitam.
Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai
kehitaman dengan pinggir iregular, berkembang lambat, berbentuk simetris pada daerah yang
sering terpapar sinar matahari(Lapeere H, et al, 2008). Melasma biasanya melibatkan daerah
dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Melasma dapat
mengenai semua orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap
dikarenakan berada pada daerah tropis yang lebih sering terpapar sinar matahari (Scherdin, et
al, 2008).
2.3.2 EPIDEMIOLOGI
Kejadian melasma belum bisa dipastikan seberapa banyak, hal ini dipengaruhi oleh
adanya produk kosmetik pemutih yang dapat mengaburkan insiden pasti melasma
(Rigopoulos, Gregoriou, & Katsambas, 2007). Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar 5-6
juta wanita menderita kelainan ini. Prevalensi melasma pada kulit Asia diperkirakan berkisar
40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria. Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan
data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari sampai Desember 2009, dari
total 5.369 pasien yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, 22 orang (0,41%) diantaranya merupakan pasien dengan
diagnosis melasma (Rekam Medik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H.
Adam Malik, 2009).
Melasma terutama mengenai wanita usia produktif, sedangkan pria hanya 10% dari
keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama seperti
pada wanita (Chan R, et al, 2008). Di Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita
dan pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia 30-44 tahun dengan riwayat
terpapar langsung sinar matahari. Sudharmono dkk. (2004) di Jakarta, dari 145 pasien
melasma hampir seluruh pasien berjenis kelamin wanita (97,93%), kecuali 3 pasien berjenis
kelamin pria (2,07%) (Shudarmono, Febrianti, Rata, & Bernadette, 2006).
2.3.3 ETIOLOGI
Etiologi dari melasmabelum bisa dimengerti secara pasti atau idiopatik(Perez-Bernal
, Munoz-Perez, & Camacho, 2000). Adapun faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
15/41
melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV, dan faktor-
faktor lainnya.
Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu yang terdapat dalam
kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat fototoksik, dan fotosensitif atau
fotoalergik, dan obat-obatan antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari
akan ikut terlibat dalam patogenesis melasma (Victor, Gelber, & Rao, 2004). Pathak dkk.
memperkirakan bahwa pengaruh genetik dan paparan sinar matahari adalah yang sangat
berperan(Katsambas & Stefanaki, 2002).
2.3.4 PATOGENESIS
a. Sistem Pigmentasi Kulit
Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan keratinosit
beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu pigmen melanin
(Cholis, 1995). Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di lapisan basal epidermis dan
matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal dihubungkan melalui dendrit-dendrit
melanosit dengan 36 keratinosit yang berada pada lapisan malphigi epidermis, ini yang
disebut dengan unit melanin lapisan epidermal. Melanosit memproduksi tirosinase dan
melanosom. Di dalam melanosit diproduksi dua subtipe melanin, eumelanin dan feomelanin.
Tirosinase berperan dalam pembentukan dua subtipe melanin tersebut (Koesoema, 2009).
Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari polimerisasi dan
oksidasi pada proses melanogenesis. Terdapat 2 pigmen melanin yaitu, eumelanin (coklat-
hitam) dan feomelanin (kuning-merah). Eumelanin bersifat lebih dominan (Cholis,
1995).Melanin ditransfer dari melanosit ke epidermis melalui keratinosit. Degradasi
melanosom dilakukan oleh asam hidrolase lisosom selama keratinosit naik menuju
permukaan epidermis, dan akhirnya melanin hilang bersama lepasnya stratum korneum
(Koesoema, 2009). Jika terdapat inflamasi kulit dan kemudian kerusakan selular, beberapa
melanosom masuk ke dalam dermis dan ditangkap oleh makrofag, maka sel-sel ini yang
kemudian dikatakan sebagai melanofag (Jimbow & Minamitsuji, 2001).
Karakteristik keadaan untuk melasma yaitu terjadi kelainan proses pigmentasi berupa
hipermelanosis epidermal, yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin tanpa
perubahan jumlah melanosit, dengan mekanisme peningkatan produksi melanosom,
peningkatan melanisasi dari melanosom, pembentukan melanosom yang lebih besar,
peningkatan pemindahan melanosom ke dalam keratinosit, dan peningkatan ketahanan
melanosom dalam keratinosit (Cholis, 1995).
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
16/41
b. Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma
1). Faktor Endokrin
Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain : Melanin
Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan progesteron(Cholis, 1995).
Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis melalui interaksi dengan
reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenyl cyclase (cAMP) dan juga
meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin dan penyebaran melanin. Hipermelanosis
yang difus berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal.
Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi
bila kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme inhibisi umpan
balik. Estrogen dan progesteron baik natural maupun sintetis diduga sebagai penyebab
terjadinya melasma oleh karena sering berhubungannya dengan kehamilan (Snell, 1964),
penggunaan obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron (Esoda, 1963;
Resnick, 1967; Cook dkk., 1961), penggunaan estrogen konjugasi pada wanita
postmenopause (Parker, 1981) dan pengobatan kanker prostat dengan dietilbestrol (Ross
dkk., 1981) dalam (Maeda, Naganuma, Fukuda, Matsunaga, & Tomita, 1996).
Meskipun peran estrogen dalam menginduksi melasma belum diketahui, namun
dilaporkan bahwa melanosit yang mengandung reseptor estrogen menstimulasi sel-sel
tersebut menjadi hiperaktif.Peranan hormon estrogen dan progesteron pada kehamilan yang
disertai melasma juga belum diketahui dengan pasti. Pathak dkk. berpendapat bahwa
melasma tidak akan hilang setelah proses kelahiran atau penghentian penggunaan obat
kontrasepsi. Kelainan ini dapat memudar akan tetapi lebih sering persisten untuk jangka
waktu yang lama, dan timbul kembali pada kehamilan berikutnya (Perez-Bernal , Munoz-
Perez, & Camacho, 2000).
Walaupun estrogen disangka memegang peranan penting dalam etiologi melasma,
terdapat insiden yang rendah diantara para wanita postmenopause yang mendapat terapi
pengganti (Cholis, 1995). Perez dkk. mengevaluasi profil endokrinologik pada 9 wanita
dengan melasma idiopatik dan menemukan adanya peningkatan level leutinizing hormon
(LH) dan level estradiol serum yang rendah, abnormalitas diduga akibat adanya disfungsi
ovarium ringan. Pada 15 pasien pria dengan melasma idiopatik juga menunjukkan profil
hormon yang abnormal, dengan peningkatan level sirkulasi LH dan level testosteron serum
yang rendah dibanding kontrol, mungkin oleh karena testicular resistance (Maeda ,
Naganuma , Fukuda, Matsunaga , & Tomita, 1996).
2) Predisposisi Genetik
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
17/41
Faktor genetik dan ras mempunyai kontribusi bermakna terhadap patogenesis
melasma, seperti yang diduga pada kejadian melasma familial bahwa penyakit ini jauh
lebih sering ditemukan pada ras Hispanik, Latin, Oriental dan Indo-Cina (Rigopoulos,
Gregoriou, & Katsambas, 2007). Faktor predisposisi genetik pada melasma sering dijumpai
pada penderita dengan tipe kulit III-VI (Jimbow & Minamitsuji, 2001).
Orang-orang yang berkulit coklat terang dari daerah yang banyak mengandung
sinar matahari, menunjukkan lebih dari 30% penderita melasma mempunyai riwayat keluarga
dengan melasma juga. Pada kembar identik pernah dilaporkan menderita melasma, sementara
saudara kandung lain dengan kondisi yang sama tidak menderita melasma. Sanchas
melaporkan 25% penderita melasma mempunyai keluarga yang juga menderita melasma,
sedangkan Vasquez melaporkan sebanyak 70% dan Pathak sebanyak 30% (Cholis, 1995).
Penelitian Rikyanto (2003), pasien melasma yang terjadi pada usia 21-30 tahun
kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik. Melasma terjadi pada usia lebih muda bila
terdapat riwayat melasma dalam keluarga (Rikyanto, 2006). Meskipun telah dilaporkan
beberapa kasus yang familial, bukti bahwa melasma dapat diturunkan sangat lemah (Jimbow
& Minamitsuji, 2001).
Faktor genetik melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta
diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas tirosinase
dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik (Damayanti
&Listiawan, 2004).
3) Faktor Paparan Sinar Matahari
Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini berlaku
untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah apabila terpapar
sinar matahari (Perez-Bernal , Munoz-Perez, & Camacho, 2000). Eksaserbasi melasma
hampir pasti dijumpai setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi
melasma akan memudar selama musim dingin.
Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama UV dapat
menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang merusak lipid dan jaringan
tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang
berlebihan.Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam
pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin kuat UVB
maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat
mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai dermis (Koesoema, 2009).
Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase sehingga
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
18/41
dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu proses
melanogenesis (Cholis, 1995)
Pada mekanisme perlindungan alami terjadi peningkatan melanosit dan perubahan
fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning cepat dan lambat sebagai respon terhadap
radiasi UV. Ultraviolet A menimbulkan reaksi pigmentasi cepat. Reaksi cepat ini merupakan
fotooksidasi dari melanin yang telah ada, dan melanin hasil radiasi UVA hanya tersebar pada
stratum basalis.
Pada reaksi pigmentasi lambat yang disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami
proliferasi, terjadi sintesis dan redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya. Melasma
merupakan proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang kronis (Cholis,
1995).
Terjadinya melasma pada daerah wajahkarena memilikijumlah melanosit epidermal
yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya dan merupakan daerah yangpaling sering
terpapar sinar matahari. Interaksi antara faktor sinar matahari dan berbagai hormon terjadi di
perifer, kemudian bersama-sama mempengaruhi metabolisme melanin di dalam
melanoepidermal unit (Cholis, 1995).
4) Faktor Kosmetika
Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan faktor positif dan
negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit seseorang dapat menimbulkan efek
kosmetik. Penelitian Tranggono pada bulan Januari sampai Desember 1978 terhadap 244
pasien di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta yang menderita noda-noda hitam, 18,3%
diantaranya disebabkan oleh kosmetik (Koesoema, 2009).
Bahan kosmetika yang menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal
dari bahan iritan atau photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak,
minyak mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen
diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik.Melasma yang terjadi biasanya difus dengan batas
tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari(Cholis, 1995).
Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan sinar
matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk hapten yang akan
bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon imun. Mediator inflamasi
yang mempunyai kemampuan merangsang prolifersi melanosit yaitu leukotrien C4 dan D4.
Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1 , IL6, Tumor Necrosing Factor (TNF)
menghambat proliferasi melanosit (Cholis, 1995).
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
19/41
Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema
kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi lamina
basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan kimia ini
menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses ini melanosom
dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis dan terjadilah
inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal (Cholis, 1995).
5) Faktor Obat-obatan
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan kasus
hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh obat ini
bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan melibatkan akumulasi
melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non spesifik dan sering diperparah
dengan paparan sinar matahari(Koesoema, 2009).
Biasanya obat-obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara
kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis.Beberapa obat yang dapat merangsang
aktivitas melanosit dan meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang
sering terpapar sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin),
amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen inorganik, dan
obat antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan barbiturat(Cholis, 1995).
2.3.5 MANIFESTASI KLINIS
Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan pinggir
iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan pola retikular.
Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu sentrofasial (63%) mengenai
daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu, merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan, malar(21%) mengenai pipi dan hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus
mandibula (Lapeere H, et al, 2008). Melasma tidak mengenai membran mukosa. Jumlah
makula hiperpigmentasi berkisar antara satu lesi sampai multipel dengan distribusi simetris
(Djuanda, 2007).
Gambaran penderita melasma
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
20/41
2.3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan fungsi
endokrin, tiroid dan hepatik.
b. Pemeriksaan histopatologis
Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal. Terdapat tiga
gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal, dan campuran. Pada
melasmatipe epidermal, yang terlihatberwarna kecoklatan, terdapat peningkatan melanin di
lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah dan aktivitas melanosit masih diamati
seiring dengan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit. Tipe epidermal lebih
responsif terhadap pengobatan(Jimbow & Minamitsuji, 2001).
Pada melasma tipe dermal, yang terlihatberwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin
yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan diambil oleh
makrofag (melanofag), dimana sering berkumpul di sekitar pembuluh darah kecil dan
dilatasi. Pada melasma tipe campuran ditandai dengan adanya deposisi pada lapisan dermal
dan epidermal (Victor, Gelber, & Rao, 2004).
c. Pemeriksaan lampu Wood
Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi
sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat menentukan
pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan lokalisasi pigmen,
sebelum diterapi maka pasien harus diperiksadengan menggunakan lampu Wood
(Rigopoulos, Gregoriou, & Katsambas, 2007).
Lawrens berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat membantu
meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma. Hal ini dikarenakan
oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe melasma campuran dermal-
epidermal.
Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap berguna untuk menentukan prognosis dari
pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi terlihat lebih jelasdengan pemeriksaan lampu Wood
maka kesempatan lebih baik bagi perbaikan klinis.Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood,
secara klasik melasma dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Tipe Epidermal
Hiperpigmentasi biasanyaberwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu biasa
dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah yang
hiperpigmentasi dibanding kulit normal (Lapeere H, et al, 2008). Sebagian besar pasien
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
21/41
melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe epidermal
memiliki respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi(Perez-Bernal , Munoz-
Perez, & Camacho, 2000).
2) Tipe Dermal
Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat
dibawah lampu biasadan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras pada lesi.
Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui makrofag dan keadaan ini
tidak mampu dicapai oleh bahan-bahan depigmentasi(Damayanti &Listiawan, 2004).
3) Tipe Dermal-Epidermal (Campuran)
Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan lampu biasa
dan dengan lampu Wood terlihat pada beberapa daerah lesi akan tampak warna yang kontras
sedangkan pada daerah yang lain tidak(Damayanti &Listiawan, 2004).
4) Tipe Indeterminate
Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V danVI)
dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-abu gelap namun
sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul (Damayanti &Listiawan,
2004).
2.3.7
PENATALAKSANAAN
a. Pasien diingatkan akan efek sinar matahari dan kemungkinan kerusakan yang
disebabkan kosmetik. Sehingga wanita membutuhkan pelindung atau penghambat
sinar matahari.
b. Penerusan penggunaan hidrokuinon 2% atau 4% memiliki efektifitas moderat.
Perbaikan lebih cepat apabila ditambahi asam salisilat 2-3%, tretinoin 0,1% atau
steroid topikal.
c.
Dermabrasi untuk menghilangkan pigmentasi melasma sementara. Karena pigmentasi
ini akan kembali seperti semula selama 6 bulan. Penyembuhan permanen dapat
dengan peel kimia yaitu fenol atau asam trikloroasetat 50%.
d. Bleaching: hidrokinon 2-5% dalam bentuk krim (dosis makin besar jika iritasi juga
makin besar). Atau dengan formula Kligman: krim yang megandung Hidrokinon
5%+tretinoin 0,1%+deksametason 0,1%
e. Tabir surya: sebaiknya berbentuk opaque (bahan fisik: mengandung Titanium
dioksida dan Zink oksida) atau dipakai tabir surya dengan SPF lebih besar dari 30.
Tanpa pemakaian tabir surya yang opaque akan menggagalkan terapi.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
22/41
f. Bedah kimia atau pengelupasan kimiawi
1) Menggunakan larutan glicolic acid 20-50% 3-4 minggu sekali.
2)
Solusio Jessner: asam salisilat 14 g, resorsinol 14 g, asam laktat (85%) 14 g,
etanol ad 100ml
3) Bedah laser yaitu dengan laser Q-switched Ruby dna Laser Argon, tapi
kekambuhan akan dapat terjadi.
g. Pengobatan sistemik
1) Asam askorbat/vitamin C. Vitamin C mempunyai efek merubah melanin bentuk
oksidasi menjadi melanin bentuk reduksi yang bewarna lebih cerah dan mencegah
pembentukan melanin dengan merubah DOPA kinon menjadi DOPA.
2) Glutation. Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sufidrhil (SH) yang
berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan bergabung dengan
Cuprum dari tirosinase sehingga mengganggu pembentukan melanin.
Untuk epidermal melasma didapatkan formula tabir surya opaque pagi hari,
hidrokinon dan tretinoin malam hari. Hasil pengobatan akan mulai terlihat setelah 2 bulan
dan melasma hilang setelah 6 bulan. Untuk dermal melasma: hasil pengobatan minimal
dengan terapi pilihan yaitu kosmetika opaque. Pengobatan melasma bersama pemakaian
kontraseptif oral mengurangi keberhasilan pengobatan.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
23/41
2.3.8 WOC Melasma
Faktor eksternal Faktor internal
Sinar UV kosmetik Obat Hormon Genetik
Merusak
gugus
sulfhidril
e idermis
Fotosen
sitivitas
Pemakaian
terlalu
lama
Tidak ada
penghambat
enzim
tirosinase
Hiperpigmentasi Melanogenesis
MELASMA
Adanya berkas makula di wajah
Klien merasa malu Gelisah
MK: Koping Individu
tidak efektif
MK: Gangguan citra
tubuh
MK: ansietas
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
24/41
2.4 ALBINISME
2.4.1 DEFINISI
Albinisme (dari Bahasa Latin albus, "putih"; atau dalam Bahasa Indonesia:
Bulai), merupakan salah satu bentuk kelainan bawaan hipopigmentasi yang
dikarakterisasikan oleh kurangnya ataupun tidak adanya pigmen melanin pada mata,
kulit, dan rambut.
Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana
tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut
albino.
Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Diturunkan dari orang tua, walaupun
dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah atau ibu saja. Ada mutasi
genetik lain yang dikaitkan dengan albino, terkait perubahan dari produksi melanin.
2.4.2
ETIOLOGI
Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak dapat
ditransmisi melalui kontak, tranfusi darah, dan sebagainya. Gen albino menyebabkan
tubuh tidak dapat membuat pigmen melanin. Sebagian besar bentuk albino adalah
hasil dari kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orang tua,
walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada
mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada
perubahan dari produksi melanin dalam tubuh. Albino tidak terpengaruh gender,
kecuali ocular albino (terkait dengan kromosom X),sehingga pria lebih sering terkena
ocular albino. Karena penderita albino tidak mempunyai pigmen melanin (berfungsi
melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari), mereka menderita
karena sengatan sinar matahari, yang bukan merupakan masalah bagi orang biasa.
2.4.3
KLASIFIKASI
Ada dua kategori utama dari albino pada manusia :
a. Oculocutaneous albinism
Albino jenis ini adalah albino yang sering kita temui pada penderita albino.
(berarti albino pada mata dan kulit), kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan
rambut.Tubuh penderita albino ini secara total tidak bisa memproduksi
pigmen melamin sehingga penderita tidak memiliki warna pada bagian tubuh
seperti mata, rambut, dan kulit.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
25/41
b. Ocular albinism
Albino jenis ini hanya kehilangan pigmen pada mata, sedangakan pada rambut
dan kulit mereka normal.Tetapi ada juga yang memiliki penampilan warna
mata normal biarpun mata mereka tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Albino biasanya menyerang bagian kulit dan mata sehingga keduan
bagian tersebut tidak bisa berfungsi sebagai mana mestinya. Seperti pada mata
penderita albino sering sekali mengalami seperti berikut :
- Photophobia: hipersensivitas pada cahaya terang.
- Strabismus: mata yang cenderung suka menutup seperti orang yang
mengantuk
- Amblyopia: tidak jelas dalam melihat sesuatu karena buruk nya transmisi
sinyal ke otak.
Tipe lain, yakni :
a. Recessive total albinism with congenital deafness
b.
Albinism black-lock cell-migration disorder syndrome (ABCD)
c. Albinism-deafness syndrome (ADFN) (yang sebenarnya lebih berhubungan
dengan vitiligo).
Hanya tes genetik satu-satunya cara untuk mengetahui seorang albino menderita
kategori yang mana, walaupun beberapa dapat diketahui dari penampilannya
2.4.4 MANIFESTASI KLINIK
a. Hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih jarang hanya
pada mata).
b. Kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris
merah muda atau biru dengan pupil merah.
c.
Kulit terlalu sensitif pada cahaya matahari, sehingga mudah terbakar.d. Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam pola melingkar
e.
Strabismus (crossed eyes or lazy eye).
f. Kesalahan dalam refraksi seperti miopi, hipertropi, dan astigmatisma.
g.
Fotofobia, hipersensitivitas terhadap cahaya
h. Hipoplasi foveal, kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari retina)
i. Hipoplasi nervus optikuskurang berkembangnya nervus optikus.
j.
Abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
26/41
k.
Ambliopia, penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya
transmisi ke otak, sering karena kondisi lain seperti strabismus.
Gambaran penderita albinisme
2.4.5 PENATALAKSANAAN
a. Perlindungan Sinar Matahari. Penderita albino diharuskan menggunakan
sunscreen ketika terkena cahaya matahari untuk melindungi kulit prematur atau
kanker kulit. Baju penahan atau pelindung kulit dari cahaya matahari yang
berlebihan.
b.
Bantuan Daya Lihat. Beberapa penderita albino sangat cocok menggunakan
bifocals (dengan lensa yang kuat untuk membaca), sementara yang lain lebih
cocok menggunakan kacamata baca. Penderita pun dapat memakai lensa kontak
berwarna untuk menghalangi tranmisi cahaya melalui iris. Beberapa
menggunakan bioptik, kacamata yang mempunyai teleskop kecil di atas atau
belakang lensa biasa, sehingga mereka lebih dapat melihat sekeliling
dibandingkan menggunakan lensa biasa atau teleskop.
c. Pembedahan Pada Mata. Pembedahan mungkin untuk otot mata untuk
menurunkan nystagmus, strabis mus, dan kesalahan refraksi seperti astigmatisma.
Pembedahan strabismus mungkin mengubah penampilan mata. Pembedahan
nistagmus mungkin dapat mengurangi perputaran bola mata yang berlebihan.
Efektifitas dari semua prosedur ini bervariasi masing-masing individu. Namun
harus diketahui, pembedahan tidak akan mengembalikan fovea ke kondisi normal
dan tidak memperbaiki daya lihat binocular. Dalam kasus esotropia (bentuk
crossed eyes dari strabismus), pembedahan mungkin membantu daya lihat
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
27/41
dengan memperbesar lapang pandang (area yang tertangkap oleh mata ketika mata
melihat hanya pada satu titik).
2.4.6WOC Albinisme
V Herediter
Mutasi genetik
Perubahan produksi melanin dalam tubuh Pengaruh tirosinase negatif
Pengaruh tirosinase positif Produksi tirosinase tidak ada
Enzim tirosinae sedikit Non fungsional
Melanosit tidak bisa
memproduksi melaninALBINISME
Tidak ada melanin
Klien terpapar
sinar UV
Kulit mudah
terbakar
MK:gangguan
integritas kulit
Abnormalitas warna
kulit dan rambut
Pergerakan bola mata
irreguler cepat
Warna putih susu/
abu-abu
Klien tidak percayadiri
MK: Gangguan
citra tubuh
nystagmus
Susah melihat
secara spontan
MK: resiko cedera
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
28/41
2.5 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN VITILIGO, MELASMA,
ALBINISME
2.5.1 Pengkajian
1.
Identitas
Pada pengkajian identitas biodata (nama, jenis kelamin, umur, suku, gama, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan), tanggal MRS, No. Register, diagnosa medis.
2. Riwayat Kesehatan
2.1.Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada keadaan melasma akan ditemukan keadaan hiperpigmentasi setempat
yang secara selektif mengenai melanosit dahi, area malar, pelipis, daerah antara bibir
atas dan hidung; beberapa bagian lateral dagu dan pipi. Terutama mengenai wanita
walau keadaan ini juga terdapat pada laki-laki dengan abnormalitas hormonal yang
tidak diketahui. Warna dapat bervariasi mulai dari cokelat muda sampai kehitaman
dan berbentuk tidak teratur. Ukurannya juga sangat bervariasi. Lesi biasanya
simetrik, terutama bila mengenai pipi, sedangkan penyebarannya menyerupai topeng.
Pada keadaan vitiligo, biasanya didapatkan makula berwarna putih susu tidak
mengandung melanosit dan berbatas tegas. Makula berwarna putih dengan diameter
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batastegas, tanpa perubahan epidermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula
hipomelanotik selain makula apigmentasi. Daerah yang sering terkena vitiligo adalah
bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan
hidung, tibialis anterior dan pergelangan tagan begian fleksor. Lesi bilateral ddapat
simetris atau asimetris. Untuk daeerah mukosa jarang terkena, kadang-kadang
mengenai genital eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva. Gejala subyektif biasanya
tidak ada, tetapi dapat timbul rasa panas pad lesi. Keluhan umum terutama adalah
masalah kosmetik.
Pada keadaan albinisme, akan didapatkan keluhan adanya kehilangan pigmen
melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih jarang hanya pada mata); Kulit dan
rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris merah muda
atau biru dengan pupil merah; Kulit terlalu sensitif pada cahaya matahari, sehingga
mudah terbakar; Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam
pola melingkar; Strabismus (crossed eyes or lazy eye); Kesalahan dalam refraksi
seperti miopi, hipertropi, dan astigmatisma; Fotofobia, hipersensitivitas terhadap
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
29/41
cahaya; Hipoplasi foveal, kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari retina);
Hipoplasi nervus optikuskurang berkembangnya nervus optikus; Abnormal
decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus; Ambliopia,
penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya transmisi ke otak,
sering karena kondisi lain seperti strabismus.
2.2.Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada kelainan albinisme, harus dikaji riwayat keluarga, karena albinisme
diturunkan melalui genetik.
Untuk melasma, dilaporkan kasus kesehatan keluarga sekitar 20-70% dan ras
yang mana melasma banyak dijumpai pada orang berkulit gelap dan golongan
hispanik. Sedangkan untuk vitiligo sendiri tidak ada keterkaitan dengan faktor
keluarga.
2.3.Riwayat Obstetri
Pada melasma, perlu dilakukan pengkajian riwayat obstetri, kehamilan dan
pemakaian kontrasepsi. Karena melasma dapat dipengaruhi oleh hormon misalnya
estrogen, progesteron, dan MSH (melanin stimulating hormon) berperan pada
terjadinya plasma. Pada kehamilan, melasma biasanya meluas pada trimester ketiga.
Sedangkan pada pemakaian pil kontrasepsi, melasma akan tampak pada 1 sampai 2
bulan pasca dimulainya pemakaian pil.
Sama halnya dengan vitiligo, yang mana vitiligo diduga akan memburuk selama
kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi oral. Sedangkan pada albinisme, tidak
ada kaitannya dengan riwayat obstetri ini.
3. Riwayat Psiko, Sosio, Kultural
Pada pasien albino, maka pekerjaannya sangat mempengaruhi tingkat keparahan
penyakit. Karena orang albino tidak memiliki pigmen melanin (berfungsi melindungi
kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari) sehingga mereka akan menderita
karena sengatan sinar matahari.
Pada pasien vitiligo, riwayat pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya penyakit
ini seperti pada pekerja yang menggunakan sarung tangan atau detergen yang
mengandung fenol sehingga terjadi depigmentasi kulit karena pajanan Mono Benzil Eter
Hidrokinon.
Pada melasma, status sosial atau pekerjaan pasien juga berpengaruh, yang mana
jika pasien harus menggunakan kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
30/41
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
31/41
6.4.B4 (Bladder)
Untuk kelainan pigmentasi kulit ini juga tidak mengganggu sistem
perkemihan. Sehingga pasien dapat berkemih secara spontan tanpa keluhan dan
dengan frekuensi yang normal. Serta pola cairan pasien juga tidak terganggu.
6.5.B5 (Bowel)
Pada pasien dengan kelainan pigmentasi ini, bowel juga tidak mengalami
gangguan. Sehingga akan diperoleh data normal pada pengkajian seperti frekuensi
BAB teratur tanpa keluhan, kondisi gastrointestinal yang baik serta nutrisi yang
adekuat tanpa adanya keluhan anoreksia.
6.6.B6 (Bone)
Pada melasma, akan ditemukan adanya hiperpigmentasi setempat yang secara
selektif mengenai melanosit dahi, area malar, pelipis, daerah antara bibir atas dan
hidung; beberapa bagian lateral dagu dan pipi. Warna dapat bervariasi mulai dari
cokelat muda sampai kehitaman dan berbentuk tidak teratur. Ukurannya juga sangat
bervariasi. Lesi biasanya simetrik, terutama bila mengenai pipi, sedangkan
penyebarannya menyerupai topeng.
Pada kondisi vitiligo, akan ditemukan bercak putih dengan batas yang tegas
pada bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan
hidung, tibialis anterior dan pergelangan tagan begian fleksor. Lesi bilateral dapat
simetris atau asimetris.
Sedangkan pada albinisme, akan ditemukan kulit dan rambut berwarna putih
susu yang abnormal.
2.5.2 DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Diagnosa keperawatan:
1) Gangguan integritas kulit b.d rasa panas pada kulit
2)
Ansietas b.d progresivitas penyakit, kurang informasi tentang penyakit dan tata
laksana
3) Gangguan citra tubuh b.d berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak
bagus.
4) Koping individu tidak efektif b.d adanya berkas makula pada kulit
5) Resiko cedera b.d hilangnya melanin pada kulit yang mengakibatkan penurunan
fungsi penglihatan
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
32/41
2. Intervensi keperawatan:
2.1
Gangguan integritas kulit b.d rasa panas pada kulit
Tujuan: Integritas kulit pasien dapat dipertahankan
Kriteria Hasil:
a.
Klien melaporkan tidak merasa panas pada area kulit yang mengalami vitiligo.
b. Pada kulit klien tidak terdapat luka yang membesar.
Intervensi Keperawatan:
1. Kaji terhadap lateks di sekitar klien; menurunkanresikoreaksisistemikterhadaplateks
2. Beriobat sesuai advis medis; mempersiapkan,
memberikandanmengevaluasikeefektifanobatresepdanobatnonresep
3.
Bersihkan dan pantau kondisi vitiligo klien
4. Minimalkanpenekananpadabagiantubuh
5. Kompres dengan air dingin di kulit sekitar lesi vitiligo
6.
Motivasi klien untuk tidak menggosok lesi
7. Beri lotion atau bedak dingin pada kulit klien
8. Jika sudah terjadi luka, beri perawatanluka aseptik
untukmencegahkomplikasilukadanmeningkatkanpenyembuhanluka
9.
Ajarkan prosedur perawatan luka kepada pasien atau anggota keluarga
2.2
Ansietas b.d progresivitas penyakit, kurang informasi tentang penyakit dan tata laksana
Tujuan: Ansietas pada klien dapat berkurang dan klien dapat mengadaptasinya.
Kriteria hasil:
a.
Klien rileks dan melaporkan kecemasannya sudah berkurang.
b. Mengungkapkan secara verbal jika merasa cemas.
c.
Klien mengetahui caranya mengurangi cemas.
d.
Klien mampu mendemonstrasikan cara mengatasi masalah
e. Kklien mampu memanfaatkan support sistem dengan efektif
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan klien
a. Mengkaji faktor familial atau fisiologis seperti faktor genetik, kelainan psikiatrik,
faktor stresor dari lingkungan sekitar klien. Faktor-faktor tersebut dapat
menyebabkan klien mengalami cemas.
b. Identifikasi persepsi klien terhadap stresor yang dihadapi.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
33/41
c. Monitor tanda-tanda vital untuk mengidentifikasi respon fisiologis terhadap
cemas.
d.
Observasi tingkah laku klien, untuk menentukan level cemas klien.
2. Bantu klien mengidentifikasi perasaannya dan mampu mengatasinya
a. Bangun hubungan terapeutik, berikan empati dan umpan balik positif.
b.
Sempatkan diri untuk mendengarkan dan berbicara dengan klien.
c. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya seperti menangis, tertawa,
takut, menolak, sedih, marah.
d. Bantu klien untuk mengembangkan kesadaran diri secara verbal maupun non
verbal.
e. Bantu klien dengan memberikan informasi yang akurat.
f.
Berikan lingkungan yang tenang.
g. Dampingi klien untuk menggunakan koping terhadap situasi yang sedang terjadi.
3.
Dorong kesadaran klien
a. Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus kecemasan dan metode untuk
koping.
b.
Menganalisa keadaan yang sedang terjadi, perasaan, serta pikiran saat terjadi
kecemasan.
c. Identifikasi koping yang digunakan klien untuk menghadapi
kecemasansebelumnya.
d. Kumpulkan support system klien.
e. Bantu klien dalam menghadapi cemas (contoh: sadar saat ada pikiran negatif,
berkata stop, dan berpikiran positif).
f. Mereview strategi menghadapi cemas seperti role play, menggunakan visualisasi,
meditasi,berdoa.
4.
Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat jika cemas klien tinggi.
2.3 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
Tujuan: Klien lebih percaya diri dengan kondisi yang dialami.
Kriteria Hasil:
a. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
b.
Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.
c. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
34/41
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
35/41
f. Kaji kemampuan memutuskan masalah dan cara penyelesaian klien.
2. Intervensiterapeutikperawat
a.
Amati penyebabtidakefektifnyakopingsepertikonsepdiri yang buruk, kesedihan,
kurangnyaketrampilandalammemecahkanmasalah, kurangnyadukungan,
atauperubahan yang adadalamhidup.
b.
Amati
kekuatansepertikemampuanuntukmenceritakankenyataandanmengenalisumbertekanan
c. Monitor risikomembahayakandiriatau orang lain dantanganisecaratepat
d. Bantu pasienmenentukantujuan yang
realistisdanmengenaliketrampilandanpengetahuanpribadi
e. Gunakankomunikasiempatik,
dandorongpasien/keluargauntukmengungkapkanketakutan, mengekspresikanemosi,
danmenetapkantujuan
f. Anjurkanpasienuntukmembuatpilihandanikutsertadalamperencanaanperawatandanakti
vitas yang terjadwal
g. Berikanaktivitasfisikdan mental yang tidakmelebihikemampuanpasien (misalbacaan,
televisi, radio, ukiran, tamasya, bioskop, makankeluar, perkumpulansosial, latihan,
olahraga, permainan)
h.
Jikamemilikikemampuanfisik, anjurkanlatihanaerobik yang sedang
i. Gunakansentuhandenganizin.
Berikanpasienpijatanpunggungberupausapanperlahandanberiramadengantangan.
Gunakan 60 kali usapandalamsemenitselama 3 menitpadaluasan 2
inchipadakeduasisimulaidaridaerahataskebawah
j.
Berikaninformasiperihalperawatansebelumperawatandiberikan
k. Diskusikanperubahandenganpasien
l.
Diskusikantentangkemampuanpasien/keluargamengubahsu\ituasiataukebutuhanuntuk
menerimasituasi
m. Gunakanpendengarandanpenerimaanaktifdalammembantupasienmengekspresikanemo
sisepertimengangis, bersalah, dan rasa marah (dalambatasan yang tepat).
n. Hindaripenenangan yang salah; berikanjawabanjujurdanberikanhanyainformasi yang
diminta
o. Dorongpasienuntukmenggambarkantekanan yang
dihadapisebelumnyadanmekanismepenganggulangan yang digunakan
p. Dukunglahperilakupenanggulangan; berikanpasienwaktuuntukbersantai
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
36/41
q. Bantu pasienuntukmenjelaskanartigejala yang merekamiliki
r. Anjurkanpenggunaanrelaksasiperilakukognitif (misalterapimusik,guided imagery)
s.
Gunakanteknikselinganselamaprosedur yang menyebabkanklienmerasaketakutan
t. Gunakancaramenghilangkankepekaan yang sistematisketikamemperkenalkan orang-
orang baru, tempat, atauprosedur yang
mungkinmenyebabkanketakutandanmerubahpenanggulangan
u. Berikanpasien/keluarga video tentangprosedur yang
menakutkanuntukdilihatsebelumprosedurdilaksanakan
v. Tunjukkankonselingselamadiperlukan
3. perawatan di rumah
a. Amati keluargaataspolaperilakukoping.
Dapatkanriwayatpasiendankeluargajikamungkin
b.Nilaikecenderunganbunuhdiri.
Hubungiperawatkesehatanjiwasesegeramungkinjikaterindikasi
c.
Hubungilayanansosialmedisuntukevakuasidankonseling, yang
akanmeningkatkankoping yang cukupsebagaibagiandarirencanaperawatanmedis.
Jikatidakada diagnosis medisutama yang telahdibuat,
mintalayanansosialmedisuntukmembantukontakdukunganmasyarakat
d.
Jikapasienterlibatdalamsistemkesehatanjiwa,
ikutsertasecaraaktifdalamtimperencanaankesehatanjiwa
e.
Rujukpasien/keluargapadakelompok-kelompokpendukung
f. Monitoring pengobatan
4. Pendidikankesehatan
a.
Ajarkankliencaramengatasimasalah.
Tentukanpadamerekapenyebabdanmasalahdantuliskeuntungandankerugiandaripilihan
mereka
b.
Berikaninformasikepadakeluarga yang menyangkutpengobatan
c. Ajarkanteknikrelaksasi
d. Anjurkanuntukmendengarkanmusik, ajarkanguided imagery
e. Jalinkedekatandenganklienuntukmengembangkaninstrumenpendidikan yang
bertujuanuntukmeningkatkanstrategikoping
f. Ajarkanpadakliententangsumber-sumber yang tersedia di komunitas (terapis,
konselor)
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
37/41
2.5 Resiko cidera b.d hilangnya melanin pada kulit yang mengakibatkan penurunan fungsi
penglihatan
Tujuan : klien terhindar dari cedera
Kriteria Hasil: Klien menyatakan pemahaman factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera
1. Diskusikan dengan klien tentang penyakit yang dideritanya
2.
Observasi kondisi mata klien
3. Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata yang terkena
4. Orientasikan klien terhadap lingkungan, staf, orang lain di sekitarnya
5. Perhatikan tentang penglihatan yang kabur dan iritasi mata dimana dapat terjadi bila
klien menggunakan obat tetes mata
6. Ingatkan pasien menggunakan kacamata yang mampu memperbesar penglihatan.
7.
Motivasi lingkungan sekitar untuk membantu klien (menulis dengan tulisan besar,
dengan warna yang kontras dengan kertas, memberikan tempat duduk paling depan
pada saat berada di kelas atau acara pertunjukkan, tidak menghindari klien).
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
38/41
BAB 3
PENUTUP
3.2SIMPULAN
Vitiligo adalah gangguan berkurangnya pigmentasi kulit yang sebabnya belum
diketahui pasti, gangguan yang didapat serta ditandai dengan gambaran makula putih tidak
bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif. Melasma merupakan kelainan
hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir
iregular, berkembang lambat, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar
matahari (Lapeere H, et al, 2008). Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang
jarang ditemukan dimana tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang menderita
albinisme disebut albino, serta Albino timbul dari perpaduan gen resesif.
Terjadinya vitiligo dipercayai menganut beberapa teori yaitu teori neurogenik, teori
rusak diri, teori Autoimun, autotoksik, pajanan terhadap bahan kimia. Pada melasma terjadi
kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermal. Sedangkan albino adalah hasil
dari kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam
kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang
dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada perubahan dari produksi melanin
dalam tubuh.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada vitiligo, melasma dan albino yaitu
gangguan integritas kulit b.d rasa panas pada kulit, ansietas b.d progresivitas penyakit, kurang
informasi tentang penyakit dan tata laksana, gangguan citra tubuh b.d berhubungan dengan
penampakan kulit yang tidak bagus, koping individu tidak efektif b.d adanya berkas makula
pada kulit, resiko cedera b.d hilangnya melanin pada kulit yang mengakibatkan penurunan
fungsi penglihatan.
3.2 SARAN
1. Preventif merupakan usaha yang paling efektif untuk meminimalkan terjadinya gangguan
pigmentasi. Untuk itu sebaiknya kita menerapkan cara hidup sehat seperti menghindari
penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia tidak aman, menghindari sinar
ultraviolet, mengkonsumsi makanan bergizi dan sehat.
2. Vitiligo, melasma, serta albinisme memerlukan penanganan segera agar tidak meluas
terlalu cepat. Dibutuhkan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis ketiga gangguan
integumen di atas agar tidak terjadi kesalahan diagnosis
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
39/41
3. Penanganan vitiligo, melasma, dan albinisme membutuhkan keterampilan dan sarana yang
tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran.
4. Keluarga hendaknya memahami keadan pasien dan mendukung proses pengobatan pasien.
5. Perawat hendaknya lebih memahami konsep vitiligo, melasma, serta albinisme sehingga
dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
40/41
DAFTAR PUSTAKA
Chan R, et al. (2008). A Randomized Controlled Trial of the Efficacy and Safety of Fixed
Triple Combination (Fluocinolone Acetonide 0.01%, Hydroquinone 4%, Tretinoin
0.05%) Compared with Hydroquinone 4% Cream in Asian Patient with Moderate to
Severe Melasma. Br J Dermatol 2008;159:697-703.
Cholis M. (1995). Patogenesis Melasma. Majalah Kedokteran Indonesia Jakarta,
1995;45(10): 582-7.
Damayanti N, Listiawan MY. (2004). Fisiologi dan Biokomia Pigmentasi Kulit.Berkala Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin2004;16(2): 156-62.
Djuanda, A. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 296-298.
Doenges, E. M., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2000).Nursing care plans: guidelines
for planning and documenting patient care [Rencana asuhan keperawatan: pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien] (3rded.). Jakarta: EGC.
Jimbow K, Minamitsuji Y. (2001). Topical Therapies for Melasma and Disorders of
Hyperpigmentation.Dermatologic Therapy2001;14:35-45.
Katsambas A, Stefanaki C. (2002). Disorders of Pigmentation: Unapproved Treatments.
Clinics in Dermatology2002;20:649-59.
Koesoema L. (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Melasma pada
Pekerja Perempuan di Perkebunan Tebu PTPN II Klumpang. Tesis. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Lapeere H, et al. (2008). Hypomelanoses and Hypermelanoses. Dalam: Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ),Vol. 1. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008.h.622-40.
Maeda K, Naganuma M, Fukuda M, Matsunaga J, Tomita Y. (1996). Effect of Pituitary and
Ovarian Hormones on Human Melanocytes In Vitro. Pigment Cell Res 1996;9:204-
12.
Menter A. (2004). Rational for the Use of Topical Coticosteroids in Melasma. J Drugs
Dermatol2004; 3(2):169-174.
Moertolo. (2009). Pengaruh Astaxanthin (3,3-dihydroxy-, -carotene-4, 4-dione) Topikal
dan Sistemik terhadap Melasma Tipe Epidermal. Makalah Simposium The Natural
Astaxanthin Symposium 2009: An Update on Clinic Research. 2009:1-14.
8/10/2019 Klp 5 Vitiligo Melasma Albinisme
41/41
Perez-Bernal A, Munoz-Perez MA, Camacho F. (2000). Management of Facial
Hyperpigmentation.Am J Clin Dermatol2000;1(5):261-8.
Rekam Medik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan
Tahun 2009.
Rigopoulos D, Gregoriou S, Katsambas A. (2007). Hyperpigmentation and Melasma. J
Cosmet Dermatol2007;6:195-202.
Rikyanto. (2006). Profil Kasus Melasma Pelanggan Klinik Kosmedik di RSUD Kota
Yogyakarta.Media Dermato Venerologi Indonesia2006;33(1).
Scherdin U, et al. (2008). Skin-Lightening Effect of a New Face Care Product in Patients
with Melasma.J Cosmet Dermatol2008;7:68-75.
Shimizu H. (2007). Shimizu's Textbook of Dermatology. Hokkaido University Press:Japan.
Shudarmono A, Febrianti A, Rata I, Bernadette I. (2006). Epidemiologi Melasma di
Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto
Mangunkusumo Tahun 2004.Media Dermato Venereologi Indonesia2006;33(1).
Victor FC, Gelber J, Rao B. (2004). Melasma: A Review. J Cutan Med and Surg
2004;8(2):97-102.
Wolff K, Johnson RA. (2009).FitzpatricksColor Atlas And Synopsis Of
ClinicalDermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.