Post on 31-Mar-2016
description
1
Access to Information Law in Indonesia1
Oleh:
Josi Khatarina dan Henri Subagiyo 2
A. Background
Tuntutan masyarakat sipil untuk memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
merupakan bagian dari upaya perwujudan open government di Indonesia. Konsep
pemerintahan yang terbuka mensyaratkan beberapa jaminan hak publik, yaitu (1) hak
publik untuk memantau atau mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan
fungsi publiknya (right to observe) sebagai bagian dari pengaktualisasian prisip
transparansi; (2) hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access to
information); (3) hak setiap warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan publik (right to participate), (4) kebebasan berekspresi yang salah
satunya diwujudkan dalam kebebasan pers; dan (5) hak setiap warga negara untuk
mengajukan keberatan/banding apabila hak di atas tersebut tidak terpenuhi (right to
appeal).3
Adanya pemerintahan yang terbuka sampai saat ini dipercaya merupakan salah satu
jawaban sistemik utama atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Oleh karenanya berbagai kalangan dalam masyarakat sipil bergabung untuk menyatukan
visi dalam konteks keterbukaan dan membentuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Kebebasan Informasi pada bulan Desember tahun 2002.
Tak kurang dari 46 CSO yang bergerak di berbagai isu menjadi anggota dari Koalisi ini
dengan keyakinan akan pentingnya transparansi di sector yang diperjuangkannya. CSO di
bidang lingkungan hidup menganggap jaminan akses informasi merupakan salah satu
prasyarat dasar bagi pengelolaan lingkungan hidup yang efektif; CSO di kalangan pers
menganggap akses informasi merupakan prasyarakat dasar bagi kebebasan pers yang
bertanggungjawab; CSO di kalangan pemberantasan korupsi jelas mensyaratkan
transparansi sebagai basis pencegahan dan pemberantasan korupsi; CSO di kalangan
otonomi daerah menganggap akses informasi merupakan prasyarat bagi otonomi daerah
yang berkualitas; demikian juga dengan penggerak di bidang pendidikan, perlindungan
konsumen, perlindungan hak anak dan perempuan, serta berbagai unsur masyarakat sipil
lainnya termasuk lembaga Negara, yaitu Komisi Hukum Nasional.
1 Tulisan ini sampaikan pada acara ”Challenges and Opportunities for Freedom of Expression; an
exploration of the networked communications environment in Asia”, Yogyakarta, 6 November 2007 2 Josi Khatarina adalah Koordinator Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2000 – 2003, Tim Perumus
Koalisi 2000 – present. Saat ini penulis adalah Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL). Henri Subagiyo adalah Tim Perumus Koalisi 2005 – present. Saat ini staff Pembaruan Hukum dan
Kebijakan ICEL. 3 Mas Achmad Santosa, Aktualisasi Kebebasan Informasi di Indonesia; sebuah perjalanan panjang dan
mendaki, dalam Melawan Ketertutupan Informasi; menuju pemerintahan terbuka, Koalisi Untuk
Kebebasan Informasi, Jakarta: 2003
2
Sebenarnya, sejak berbagai elemen masyarat sipil menyatukan aksi untuk mendorong
pengundangan RUU KIP pada bulan Desember 2000, sudah terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang baik secara tersirat maupun tersurat menjamin akses atas
informasi. Namun sayangnya peraturan perundang-undangan yang sampai saat ini masih
berlaku tersebut bersifat sektoral dan belum menjamin akses informasi secara memadai
(adequate).4 Sehingga dalam prakteknya masyarakt sipil sering mengalami hambatan
dalam mengakses informasi bahkan yang sudah secara jelas dijamin dalam sebuah
peraturan perundang-undangan.5 Oleh karena itu Koalisi untuk Kebebasan Informasi
mendorong pengundangan RUU KIP sebagai suatu UU yang secara menyeluruh dan
lengkap mengatur tentang akses publik atas informasi yang dikelola oleh badan publik.
Tulisan ini akan membahas dua hal, yaitu existing regulatory framework dan diikuti oleh
status RUU KIP yang saat ini sedang dibahas di DPR RI.
B. Existing Regulatory Framework on Access to Information
Sejak diperjuangkan pada tahun 2000, pengakuan lebih tegas atas hak atas informasi
sudah mengalami kemajuan yang sangat berarti. Seiring dengan pengakuan Hak Asasi
Manusia, hak atas informasi pun merupakan salah satu bagian dari HAM yang dilindungi
oleh konstitusi Indonesia. Pasal 28F Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”
Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa hak atas informasi dilindungi dalam dua (2)
konteks, yaitu (1) hak atas informasi dilindungi sebagai suatu prasyarat bagi HAM yang
lain, yaitu “………untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya” serta (2)
sebagai hak itu sendiri dengan bunyi “………serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Oleh karenanya terlihat bahwa
konstitusi menjamin hak atas informasi secara lengkap baik sebagai (1) a means to an
end maupun sebagai (2) an end itself. Konsekuensinya, hak atas informasi seharusnya
diterjemahkan secara operasional oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
4 Membuka Ruang Menjembatani Kesenjangan; Gambaran Akses Informasi, Partisipasi, dan Keadilan
Lingkugan di Indonesia, Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), 2006, hal 136-137 5 Melawan Tirani Informasi!, Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Jakarta. Banyak kasus ditemui adanya
hambatan dalam mendapatkan dokumen publik meskipun peraturan perundang-undangan di Indonesia telah
mengakui hak atas informasi secara umum. Kondisi tersebut mengakibakan ketidakpastian jaminan
informasi bagi masyarakat untuk mempertahankan haknya apabila ditolak. Sebagai contoh kasus dimana
LBH Medan bermaksud untuk mendapatkan dokumen Amdal. Dokumen Amdal merupakan dokumen
publik berdasarkan PP No.27/1999 tentang Amdal. Namun karena belum ada jaminan hukum terhadap
penolakan akses informasi atas dokumen publik, maka hak tersebut sulit untk dipertahankan.
3
Akses informasi seharusnya dijamin agar bersifat mudah, murah dan sederhana, agar
setiap orang dapat memperolehnya untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya.
Sayangnya sampai saat ini belum ada kasus di tingkat Mahkamah Konstitusi yang
menguji luasan dari jaminan konstitusi atas hak atas informasi. Sehingga belum dapat
dilihat apakah makna tersebut ditafsirkan secara luas atau secara sempit dalam
terjemahannya di dalam suatu UU. Tampaknya semua pihak sebagaimana halnya koalisi
menunggu pengundangan RUU KIP daripada menghabiskan energi guna menguji
peraturan perundang-undangan yang secara negatif menghambat akses informasi publik.
Di tataran yang lebih operasional, dalam era otonomi daerah pembahasan tentang
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang akses informasi dapat dibagi ke
tingkat nasional dan local.
B.1. Tingkat Nasional
Terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan normative
atas akses informasi publik. Seperti UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 28/1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 40/1999
tentang Pers dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Namun keseluruhan UU berikut peraturan pelaksananya tersebut tidak ada satupun yang
bersifat operasional. Dalam arti mengatur secara detail bagaimana publik dapat
mengakses informasi yang dimaksud, apa alasan yang dapat digunakan untuk menolak
suatu permintaan, bagaimana mekanisme penyelesaian sengketanya, serta mekanisme
mendapatkan keadilan bila ada akses informasi yang terhambat.6 Catatan khusus bagi
Mahkamah Agung yang menarik bahwa saat ini telah dikeluarkan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007 Tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan. Dalam SK tersebut diatur secara rinci tentang bagaimana public dapat
mengakses informasi di pengadilan.
Di sisi lain ada juga berbagai peraturan perundang-undangan yang secara negatif
mengatur akses atas informasi. Peraturan tersebut biasanya terkait dengan peraturan
mengenai kerahasiaan. Perlu diingat bahwa peraturan mengenai kerahasiaan tidak serta
merta menjadi penghalang akses informasi. Peraturan tentang kerahasiaan yang bersifat
ketat dan terbatas sebenarnya merupakan pendukung bagi akses publik atas informasi
yang genuine.7 Sebab informasi yang dapat diakses oleh publik memang secara universal
6 Melawan Tirani Informasi, hal 27-54.
7 Toby Mendel, Kebebasan Memperoleh Informasi: Sebuah Survei Perbandingan Hukum, UNESCO
Jakarta, 2004. Lihat pula indikator versi 2.0 di www.theaccessinitiative.org.
4
memiliki batasan-batasan. Batasan-batasan tersebut harus secara jelas diatur oleh hukum
dan tidak bersifat eksesif melainkan limitatif.8
Pengaturan utama tentang kerahasiaan di Indonesia telah dikenal dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Dalam KUHP, yaitu Pasal 112 tentang rahasia karena
kepentingan negara, Pasal 124 tentang rahasia militer, Pasal 322 tentang rahasia jabatan,
Pasal 323 tentang rahasia perusahaan, Pasal 398 tentang rahasia pribadi, Pasal 430-434
tentang rahasia telekomunikasi. Selain itu diatur juga tentang rahasia perbankan dalam
UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan beberapa kerahasiaan yang terkait dengan
Hak Atas Kekayaan Intelektual serta Persaingan Usaha seperti dalam UU No. 30 tahun
2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU
Nomor 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Sayangnya, sebagian besar pengaturan terkait kerahasiaan tersebut masih bersifat sumir.
Selain itu kewenangan mutlak untuk menentukan suatu informasi rahasia atau tidak
berada di tangan pejabat yang bersangkutan. Tidak ditentukan secara jelas pejabat mana
yang berhak mengambil keputusan tentang definisi kerahasiaan dan bagaimana metode
objektif untukmenentukan suatu informasi harus dirahasiakan atau dibuka. Hal tersebut
menyebabkan mudahnya bagi seorang pejabat publik untuk menetapkan suatu dokumen
bersifat rahasia dan terhadap keputusan penetapan tersebut tidak dapat diuji secara
obyektif oleh masyarakat.
Selain itu juga belum ada ketentuan yang menjamin bahwa suatu informasi yang
dikategorikan rahasia dapat dibuka dengan pertimbangan kepentingan publik lain yang
lebih besar untuk membuka suatu informasi, sehingga kerahasiaan informasi bersifat
mutlak.9 Hal-hal demikian menyebabkan peraturan kerahasiaan sering diterapkan secara
eksesif sehingga menimbulkan dampak buruk bagi pemberantasan korupsi serta
perlindungan HAM lainnya.
B.2. Tingkat Lokal
Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka era otonomi daerah efektif dimulai di
Indonesia sejak tahun 2001. Dengan UU tersebut, maka pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
termasuk kewenangan legislasi daerah berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan
kewenangan tersebut, maka beberapa daerah sudah berinisiasi mengundangkan Peraturan
Daerah (Perda) tentang Transparansi 10
8 Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights
9 Paulus Widiyanto (Mantan Ketua Pansus RUU KIP DPR-RI periode 1999-2004, Rancangan Undang-
undang Rahasia Negara, Urgenkah Sekarang?, Jakarta 25 Mei 2007 10
Berdasarkan data Koalisi, daerah yang telah memiliki regulasi dibidang transparansi antara lain adalah
Tanah Datar, Solok, Lebak, Bandung, Majalengka, Kebumen, Magelang, Bantul, Ngawi, Lamongan,
Boalemo, Bolaang Mangondow, Gowa, Takalar, Bulukumba, Kendari, Gorontalo, Pontianak, dan Manado.
5
Dari beberapa PERDA yang dianalisa11
maka terlihat beberapa kesamaan konsep, yaitu:
a. Ruang lingkup badan publik: eksekutif, legislatif, BUMN/D yang beroperasi di
wilayah tersebut, ORNOP yang mendapatkan dana dari anggaran negara, serta usaha
swasta yang menjalankan pekerjaan dari pemerintah daerah. Kecuali di Tanah Datar
yang hanya mencakup eksekutif dan lembaga masyarakat yang mengelola dana
publik (lebih sempit cakupannya di banding 3 daerah lainnya)
b. Mereka yang dapat mengakses informasi; dua daerah membatasi pada warga negara
Indonesia (Kalbar dan Gorontalo) sedanngkan dua daerah lainnya (Lebak dan Tanah
Datar) tidak mengatur secara spesifik sehinga dapat diartikan berlaku terhadap setiap
orang termasuk Warga Negara Asing.
c. Ruang lingkup akses informasi bersifat cukup lengkap, karena mencakup akses
informasi pasif dan proaktif. Bahkan di Gorontalo diatur secara lebih jauh akses
publik terhadap pertemuan publik. Misal Pasal 9 (2) PERDA tersebut mengatur
bahwa seluruh RAPAT DPRD bersifat terbuka dan jadwal rapat harus disampaikan
dua bulan sebelumnya serta disebarluaskan di media massa. Diatur juga dalam Pasal
yang sama kewajiban badan publik untuk membuat pertimbangan tertulis dari setiap
kebijakan yang diambil guna menjamin hak publik atas informasi yang utuh.
d. Prosedur bagi publik untuk mengakses informasi cukup jelas dengan batas waktu
pemenuhan tiga hari sampai satu bulan dengan kemungkinan diperpanjang disertai
dengan alasan perpanjangan waktu. Di Lebak misalnya, prosedur untuk mendapatkan
informasi pada umumnya mengatur bagaimana cara masyarakat mengakses informasi
dan kewajiban badan publik untuk menjalankan kewajibannya memberikan pelayanan
informasi. Untuk mendapatkan informasi di kabupaten Lebak, masyarakat dapat
mengajukan permintaan tertulis baik langsung maupun tidak langsung kepada badan
publik. Kemudian badan publik yang bersangkutan wajib merespon permintaan
tersebut hanya dalam jangka waktu tiga (3) hari sejak permintaan tersebut diterima.
Apabila dalam jangka waktu tiga (3) hari permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi
maka badan publik wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pemohon
dengan mencantumkan kesediaan pemenuhan selambat-lambatnya satu (1) minggu
setelah pemberitahuan tertulis diterima. (Pasal 15 Perda Kab. Lebak No.6/2004).
e. Diatur juga kewajiban badan publik untuk memiliki atau Pejabat Dokumentasi
Informasi dan memiliki sistem informasi dan dokumentasi. Namun saying tidak ada
aturan yang mewajibkan badan public untuk memiliki sistem peningkatan kapasitas
yangg bersifat reguler.12
f. Di beberapa PERDA biaya dibatasi pada biaya penggandaan dan/atau pengiriman.13
g. Untuk sistem penyelesaian sengketa pada umumnya dibentuk badan baru yaitu
Komisi Transparansi/Informasi. Di beberapa daerah fungsi penyelesaian sengketa ini
11
PERDA No. 03/2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo, PERDA NO.
6/2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan
Pembangunan di Kabupaten Lebak, PERDA No. 4/2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan
Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, serta PERDA No. 2/2005 tentang Transparansi dan Partisipasi di
Kabupaten Tanah Datar. 12
Pasal 7 PERDA Gorontalo 13
6
ditambah juga dengan fungsi pemantauan kinerja badan public dalam menyediakan
akses informasi.14
h. Sanksi bagi setiap orang yang menghalangi akses informasi pada umumnya diatur
pula dalam Perda tersebut kecuali di Kalimantan Barat. Kabupaten Lebak dan
Gorontalo justru lebih tegas mengatur sanksi pidana bagi penghambat akses informasi
dan untuk mendukung peran Komisi Transparansi/Informasi agar memiliki kekuatan
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga penyelesai sengketa.15
Di
Kabupaten Tanah Datar juga memuat sanksi administrasi dan pidana bila sanksi
administrasi tidak dikeluarkan.
Jika dikaji lebih jauh, berbagai Perda juga memiliki beberapa kelemahan dalam konteks
keterbukaan informasi, misalnya:
- Di Tanah Datar ada beberapa aturan yang potensial untuk menimbulkan konflik.
Misal dalam Pasal 3 dibatasi ruang lingkup informasi publik sedangkan Pasal 1
huruf J secara luas mengartikan informasi publik adalah seluruh informasi yang
berada di badan publik.
- Pengecualian tidak bersifat konsekuensial seperti di Perda Kabupaten Tanah
Datar dan Lebak sehingga dapat diartikan secara luas.16
Pengecualian di
Gorontalo dan Kalbar bersifat konsekuensial tapi tidak ada balancing public
interest test.
- Tidak ada perlindungan terhadap pejabat publik yang beritikad baik kecuali di
Gorontalo.17
Secara umum, dinamika di daerah terlihat menarik karena setidaknya di beberapa daerah
jaminan hukum terhadap akses informasi bagi masyarakat berjalan lebih maju daripada di
pusat. Jika di pusat hingga saat ini belum juga diundangkan RUU KIP, di beberapa
daerah telah muncul berbagai peraturan daerah tentang informasi. Jika dilihat dari inisiasi
berbagai daerah terhadap Perda KMIP dan berbagai diskusi yang diselenggarakan di
beberapa daerah oleh Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi terlihat antusiasme
daerah dalam menyambut RUU KMIP. Terlepas dari kesiapan aparatur maupun
infrastruktur yang dimiliki daerah, antusiasme tersebut merupakan cerminan adanya good
political will daerah dalam menyikapi kebutuhan transparansi dan partisipasi masyarakat.
18 Namun demikian yang perlu diantisipasi terkait dengan permasalahan regulasi di
daerah antara lain:
1) Apakah berbagai regulasi daerah tersebut telah mencerminkan jaminan hukum
yang kuat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi mengingat
beragamnya jaminan hukum yang ada di beberapa daerah;
2) Apakah tidak terjadi konflik peraturan perundang-undangan dalam implementasi
keterbukaan informasi. Misalnya tentang klasifikasi informasi yang dikategorikan
14
Pasal 6, Pasal 22&23 PERDA Gorontalo 15
Pasal 33 – 35 PERDA Gorontalo 16
Pasal 4 PERDA Tanah Datar 17
pasal 38 PERDA Gorontalo 18
Hanif Suranto et.al. Dari Lokal Mengepung Nasional: Dinamika Proses Legislasi Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik di Indonesia, Koalisi Kebebasan Untuk Memperoleh Informasi Publik,
Jakarta, 2007, hal 74
7
rahasia antara peraturan daerah dengan perundang-undangan. Bisa jadi peraturan
daerah lebih bagus dalam mengklasifiaksikan suatu informasi termasuk rahasia,
namun jika hingga saat ini belum ada perundang-undangan yang
mengharmonisasikan permasalahan ini, maka akan terjadi konflik peraturan
antara pusat dan daerah. Hal ini juga berpeluang memandulkan beberapa Perda
yang telah memiliki klasifikasi informasi rahasia yang lebih baik daripada
undang-undang.
3) Apakah dalam implementasinya Perda tersebut diikuti oleh keberadaan sistem
pengelolaan dan pelayanan informasi serta peningkatan kapasitas bagi penjabat
publik maupun masyarakat (supply and demand)? Bukankah jaminan hukum yang
baik apabila tidak didukung oleh sistem dan kapasitas pejabat publik selaku
pelaksana peraturan perundang-undangan dalam prakteknya akan melemahkan
jaminan akses masyarakat terhadap informasi? Demikian pula jika masyarakat
kurang memiliki kapasitas dalam mengakses informasi, apakah keterbukaan
informasi tersebut dapat berjalan dengan baik? dan apakah keterbukaan informasi
tersebut dapat berperan optimal bagi masyarakat dalam meningkatkan pemenuhan
hak-haknya dan kepentingannya yang telah dijamin oleh konstitusi jika
masyarakat tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkan informasi?
C. Status of Freedom of Information Law
Koalisi membuat RUU KIP yang didasarkan pada beberapa prinsip berikut:
1. UU KMI sebagai perangkat koordinasi dan harmonisasi;
2. Permintaan informasi tidak perlu disertai alasan;
3. Akses yang bersifat sederhana, murah, cepat dan tepat waktu;
4. Informasi harus bersifat utuh, akurat, benar dan dapat dipercaya;
5. Maximum access and limited exemption;
6. Informasi proaktif;
7. Penyelesaian sengketa secara cepat, murah, kompeten dan independen;
8. Ancaman hukuman bagi mereka yang menghambat akses informasi publik;
9. Perlindungan terhadap informan dan pejabat publik yg beritikad baik;
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki sebuah UU Kebebasan Informasi. Saat ini,
RUU Kebebasan Informasi Publik yang digagas oleh Koalisi Masyarakt Sipil untuk
Kebebasan Informasi pada tahun 2000 dan kemudian menjadi usul resmi DPR sudah
memasuki tahap akhir proses pengundangan. Pembahasan sedang dilakukan di tingkat
Tim Perumus yang bertugas untuk merumuskan RUU KIP.
Ada beberapa isu krusial yang sudah disepakati pada proses pembahasan sebelumnya,
yaitu:
1. Kategori informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola
dan/atau dikirim/diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan
publik lainnya sesuai dengan Undang-Undang serta informasi lainnya yang
berkaitan dengan kepentingan publik;
8
2. Dalam hal penyelesaian sengketa disepakati untuk membentuk Komisi Informasi
baik pusat maupun daerah yang akan menyelesaikan sengketa informasi melalui
mediasi dan adjudikasi selain lembaga pengadilan.
3. Pihak yang berhak adalah setiap orang perorangan, kelompok, atau badan hukum.
4. Akses informasi harus cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana
5. Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang
diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.
6. Klasifikasi informasi (wajib dimumkan secara berkala, wajib dimumkan serta
merta, wajib tersedia setiap saat, dan yang dikecualikan)
7. Prinsip informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas
8. Informasi yang dibuka dan dikecualikan harus didasarkan pada uji konsekuensi
(qonsequential harm test) dan uji kepentingan publik (balancing public interst
test)
Sedangkan beberapa isu yang masih belum disepakati sampai tahap ini dan sedang dalam
proses pembahasan di tingkat Tim Perumus (Timus) adalah:
1. Isu terkait ruang lingkup Badan Publik;
2. Isu terkait prinsip permintaan harus menyertakan alasan;
3. Isu terkait dengan pengecualian informasi (pertahanan dan keamanan nasional
serta intelijen, kekayaan alam, ketahanan ekonomi dan kepentingan hubungan
luar negeri, memorandum atau surat antar dan intra badan publik)
4. Isu terkait sanksi pidana;
5. Isu terkait masa peralihan (kapan UU ini akan mulai berlaku) dan penetapan PP.
D. Posisi Koalisi
Terhadap perdebatan substansi RUU KIP, Koalisi mempunyai posisi yang kemudian
diadvokasi sebagi masukan. Beberapa masukan terkait dengan perdebatan yang muncul
dalam penyusunan RUU KIP adalah:
1. Isu Badan Publik dan BUMN
Rumusan berikut bersumber pada usulan Pak Arief Mudatsir Mandan saat Rapat Panja 3
September 2007. Usulan yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Pak Untung
Wahono. Usulan ini lebih netral namun mencakup seluruh concern dan alasan-alasan
pendefinisian ruang lingkup badan publik. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
Badan publik adalah penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan/atau lembaga-lembaga lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan/atau lembaga
lain yang dimiliki oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk di
dalamnya lembaga, organisasi non pemerintah atau badan usaha yang menerima dana
atau dibiayai oleh negara baik sebagian maupun seluruhnya, dan/atau yang sebagian
atau seluruh kegiatannya dijalankan berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari
9
badan publik untuk menjalankan sebagian fungsi pelayanan publik, dan/atau yang
mengumpulkan dana secara langsung dari masyarakat.
Rumusan ini lebih mengakomodasi concern pemerintah yang keberatan BUMN/BUMD
dieksplisitkan dalam definsi Badan Publik, serta untuk mengakomodasi concern
pemerintah terhadap aspek competitiveness BUMN terhadap perusahaan-perusahaan.
Concern pemerintah terhadap aspek competitiveness BUMN/BUMD sudah diakomodir
dalam pasal Pengecualian Informasi, yang menegaskan bahwa “informasi yang apabila
dibuka dan diberikan kepada pengguna informasi dapat mengganggu kepentingan
perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak
sehat”.
Pasal ini bukan hanya melindungi BUMN/BUMD tetapi juga perusahaan swasta lain
yang karena satu dan lain hal informasinya dipegang oleh negara/badan publik.
Apabila ketentuan ini dianggap masih kurang melindungi competitiveness
BUMN/BUMD dapat ditambahkan dalam pasal pengecualian, sebagai berikut:
“informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pengguna informasi dapat
mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan
dari persaingan usaha tidak sehat, termasuk untuk melindungi kemampuan bersaing
BUMN/BUMD”.
Jika pembahasan masalah ini di tingkat Timus tidak memadai, disarankan
pembahasannya dikembalikan pada forum Panja.
2. Isu Pengecualian Informasi
Secara keseluruhan, klausul yang mengatur tentang pengecualian informasi sudah
disepakati Panja. Tinggal beberapa hal saja yang perlu diberikan penjelasan, yakni:
a. pengecualian informasi dalam sektor pertahanan dan keamanan nasional serta
intelijen.
Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pengguna informasi publik
dapat merugikan sistem penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan
nasional, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang
berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan negara dan keamanan
nasional, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau
evaluasi terkait dengan ancaman yang berasal dari dalam maupun luar
negeri.
2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik
yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan negara dan
kemanan nasional, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan
10
pengakhiran atau evaluasi terkait dengan ancaman yang berasal dari dalam
maupun luar negeri.
3. jumlah, komposisi dan disposisi/dislokasi kekuatan serta kemampuan dalam
penyelenggaraan sistem pertahanan negara dan keamanan nasional serta
rencana pengembangannya.
4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan-pangkalan militer;
5. data perkiraan kemampuan militer negara lain;
6. sistem persandian negara; dan
7. sistem Intelijen negara.
Usulan Penjelasan:
Yang dimaksud dengan informasi yang terkait dengan sistem pertahanan negara
adalah informasi tentang:
(i) infrastruktur pertahanan yang terbatas pada pada kerawanan sistem
komunikasi strategis pertahanan, kerawanan sistem pendukung
strategis pertahanan, kerawanan pusat pemandu dan pengendali
operasi militer;
(ii) gelar operasi militer yang terbatas pada perencanaan operasi militer,
komando dan kendali operasi militer, kemampuan operasi satuan
militer yang digelar, misi taktis operasi militer, gelar taktis operasi
militer, tahapan dan waktu gelar taktis operasi militer, titik-titik
kerawanan gelar militer dan kemampuan, kerawanan, lokasi, serta
analisa kondisi fisik dan moral musuh;
(iii) sistem persenjataan terbatas pada spesifikasi teknis operasional alat
persenjataan militer, kinerja dan kapabilitas teknis operasional alat
persenjataan militer, kerawanan sistem persenjataan militer, rancang
bangun dan purwarupa persenjataan militer;
Yang dimaksud dengan sistem intelijen negara adalah informasi yang dapat
mengungkap:
(i) aktivititas intelijen yang terbatas pada operasi kontra intelijen dan
operasi intelijen tertutup;
(ii) sumber intelijen yang terbatas pada identitias agen intelijen dan
identitas informan atau narasumber intelijen;
(iii) metode kerja intelijen yang terbatas pada metode khusus untuk
memperoleh informasi intelijen, metode perekrutan dan pelatihan agen
intelijen, struktur, cara kerja, dan kendali operasi satuan tugas
intelijen, metoda penggunaan dan pengamanan teknologi intelijen,
teknik pengumpulan, analisa dan penyampaian intelijen;
(iv) infrastruktur intelijen yang terbatas pada instalasi perlindungan dan
pengamanan intelijen; dan
(v) produk intelijen yang terbatas pada informasi strategis yang ditujukan
kepada presiden terkait kemungkinan terjadinya pendadakan strategis
11
terhadap sistem keamanan nasional, informasi strategis tentang
kapabilitas dan intensi musuh.
Yang dimaksud dengan informasi terkait sistem persandian negara terbatas pada
informasi tentang kriptologi, kriptografi, dan perlindungan serta pengamanan
infrastruktur persandian negara.
b. informasi yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia.
Usulan Penjelasan:
Yang dimaksud dengan informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam adalah
peta atau informasi lain yang menunjukkan lokasi kekayaan alam yang vital;
c. informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional dan
kepentingan hubungan luar negeri.
Usulan Penjelasan:
Yang dimaksud dengan informasi tentang ketahanan ekonomi nasional adalah:
(i) rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing,
saham dan aset vital milik negara;
(ii) rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, model operasi institusi
keuangan,
(iii) rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah,
perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya
(iv) rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti.
(v) rencana awal investasi asing
(vi) proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan
lainnya.
(vii) hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.
Dasar Argumentasi:
Pengecualian ini penting karena kepentingan ekonomi nasional dapat terancam apabila
suatu informasi yang bersifat prematur terhadap tindakan yang akan diambil atau tidak
diambil oleh pemerintah atau parlemen diakses oleh publik. Informasi dimaksud dapat
mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang mendapat keuntungan tidak sah
(misalnya insider trading dalam proses penjualan saham).
Usulan Penjelasan tentang Kepentingan Hubungan Luar Negeri:
Yang dimaksud dengan informasi yang dapat merugikan kepentingan
hubungan luar negeri adalah:
(i) posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara
dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;
(ii) korespondensi diplomatik antar negara;
(iii)sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan
hubungan internasional;
12
(iv) isi perjanjian dengan negara lain yang ditetapkan sebagai klausul rahasia;
(v) perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar
negeri.
d. Memorandum atau surat-surat antar badan publik atau intra badan publik
yang menurut sifatnya tidak disediakan untuk pihak selain instansi yang
sedang melakukan hubungan dengan instansi tersebut.
Usulan Penjelasan:
Memorandum atau surat-surat antar badan publik atau intra badan publik yang
mengandung informasi yang apabila dibuka dapat secara serius merugikan proses
penyusunan kebijakan, yakni dapat:
(i) mengurangi kebebasan, keberanian dan kejujuran dalam pengajuan usul,
komunikasi atau pertukaran gagasan sehubungan dengan proses
pengambilan keputusan;
(ii) menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan secara
prematur;
(iii) mengganggu keberhasilan dalam suatu proses negosiasi yang akan atau
sedang dilakukan.
Dasar Argumentasi:
1. Rumusan yang diusulkan pemerintah (memo internal) ini bersifat kategorikal. Tidak
dilihat dampak dari info dimaksud terhadap public interest. Sehingga info apapun
apabila dicap memo internal tidak dapat diakses oleh publik. Ada banyak contoh
pentingnya memo atau surat menyurat antar instansi dalam proses pengambilan
kebijakan yang sangat penting bagi publik untuk tahu.
2. Sebenarnya dirahasiakannya surat menyurat antar/intra instansi perlu ada karena bisa
jadi surat-surat tersebut berisi tentang informasi pribadi, rahasia negara, kebebasan
berkomunikasi, dll. Tetapi sebaiknya format surat antar/intra instansi ini tidak
dikecualikan begitu saja, harus dilihat dampak dari suatu surat tersebut terlebih
dahulu (consequential harm test).
3. meskipun penjelasan ketentuan pengecualian ini tidak mencantumkan soal informasi
pribadi atau rahasia negara, tetapi hal itu sudah diatur dalam pengecialian yang lain.
Sehingga pengecualian yang lain berlaku juga terhadap memo internal dan tidak perlu
diulang dalam penjelasan ini.
3. Isu Ketentuan Sanksi
Secara umum, RUU KIP memberikan sanksi pidana untuk tindakan berikut:
a. menggunakan informasi secara melawan hukum (DIM 344)
b. menghambat akses informasi:
- dengan sengaja tidak memberikan informasi proaktif (DIM 346)
- dengan sengaja tidak memberikan informasi secara berkala (DIM 347)
- dengan sengaja tidak memberikan informasi secara serta merta (DIM 348)
- dengan sengaja tidak memberikan informasi setiap saat (DIM 348)
13
- dengan sengaja merusak atau menghancurkan informasi (DIM 350)
- dengan sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan
(DIM 352)
c. Membuka informasi yang bersifat rahasia (DIM 351)
Rumusan yang tadinya berada di DIM 344 yang berbunyi sebagai berikut:”Setiap orang
yang menggunakan informasi secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah”.
Berdasarkan rapat Panja tanggal 10 September 2007 sudah klausul ini sudah didrop.
Dengan alasan yang dikemukakan oleh anggota DPR yang kemudian disepakati oleh
pemerintah, yaitu:
a. RUU KIP adalah RUU tentang akses bagi publik untuk mendapatkan informasi
sehingga adanya kriminalisasi bagi pengguna informasi akan memberikan
atmosfer negatif bagi pengakses informasi.
b. RUU KIP mengatur tentang informasi yang sudah terbuka bagi publik, sehingga
pemerintah juga menemukan kesulitan untuk memberikan contoh tentang
penggunaan informasi secara melawan hukum sebagaimana didalilkan.
Catatan umum terhadap DIM 346-349:
a. Pidana Sebagai upaya Terakhir (menghindari kriminalisasi dalam RUU KIP):
Pendapat bahwa sanksi pidana haruslah bersifat Ultimatum Remedium (asas
subsidiaritas), yaitu sanksi pidana sebagai upaya terakhir, seharusnya tidak
berlaku untuk kejahatan terhadap hak asasi manusia (dalam hal ini adalah hak atas
informasi). Karena kejahatan terhadap hak asasi adalah kejahatan yang tergolong
berat, sehingga pidana harusnya menjadi garda depan penegakan hukum yang
menjamin hak asasi (Premium Remedium). Selain itu sanksi pidana dan sanksi
administrasi memiliki tujuan yang berbeda seperti yang akan dibahas di poin
berikut.
b. Tujuan Pidana: Sanksi hukum administratif lebih ditujukan kepada perbuatannya
sedangkan sanksi pidana lebih ditujukan kepada orangnya atau orang lain yang
potensial untuk melakukan tindakan yang sama. Dengan kata lain, sanksi
administratif ditujukan agar suatu keadaan yang timbul akibat suatu pelanggaran
hukum dapat diperbaiki atau kembali seperti semula. Sedangkan salah satu tujuan
sanksi pidana adalah memulihkan rasa keadilan di masyarakat dan mencegah agar
tidak terjadi kembali tindakan yang sama di kemudian hari, sehingga pidana
haruslah menimbulkan efek jera.
c. Tentang Delik Materi: pemerintah mengusulkan agar jenis delik pidana dalam
DIM 346-350 berupa delik materiil, yang dalam hal ini berarti seseorang baru
dapat dihukum bila memenuhi dua unsur. (1) unsur menghambat akses informasi,
dan (2) unsur kerugian yang timbul akibat tidak dapat diaksesnya suatu informasi.
Jenis delik yang seperti ini sebaiknya tidak dipertahankan dalam rumusan akhir
UU KIP, dengan alasan: (1) jenis delik materil seperti ini menyulitkan dalam
pembuktiannya, sebab secara hukum orang yang dihambat akses informasinya
harus membukitkan bahwa ketiadaan akses informasi menimbulkan kerugian bagi
dirinya atau masyarakat secara umum. Padahal kerugian yang timbul atas tidak
14
adanya hak atas informasi mungkin tidak timbul seketika dan mungkin tidak
berhubungan langsung dengan akses informasinya. (2) padahal yang diatur dalam
RUU ini adalah soal akses informasi, dan sekali lagi bukan tentang pemanfaatn
informasi. Sehingga yang harus diancam pidana adalah mereka yang dengan
sengaja menghambat hak atas informasi saja dan tidak perlu dibuktikan terlebih
dahulu kerugian yang ditimbulkan.
d. Tentang sanksi Pidana bagi badan publik: saat ini yang ada barulah sebatas sanksi
denda bagi badan publik. Kami menganggap jenis sanksi seperti ini tidak akan
menimbulkan efek jera yang cukup bagi badan publik. Seharusnya pejabat publik
yang dengan sengaja menghambat akses informasi diancam pidana penjara atau
kurungan juga. Alasannya adalah, karena kejahatan tidak memenuhi hak asasi atas
informasi dimungkinkan untuk terjadi akbiat adanya kewenangan si pejabat
publik terkait. Kejahatan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak
memeiliki kewenangan. Karenanya si pemilik wewenang harus diancam hukuman
pidana. Dalam hal ini harus dilihat siapa yang memiliki kewenangan secara de
facto dan de jure soal akses informasi di suatu badan publik. Jenis pidana ini
sudah dikenal dalam hukum lingkungan (UU No 23/97) mengenai corporate
liability.
e. Tentang Denda: terkait dengan denda seharusnya ada klausul yang menyebutkan
bahwa “uang denda tidak boleh dibebankan atau dialihkan sebagian atau
seluruhnya kepada kas negara” sehingga badan publik tidak membebankan
dendanya kepada APBN/APBD.
RUU ini hanya mengatur ancaman pidana bagi mereka yang membuka informasi yang
dikecualikan maupun yang menerimanya (DIM 351) tetapi tidak mengatur mengenai
perlindungan bagi mereka yang dengan itikad baik membuka informasi yang
dikecualikan (misal untuk membongkar korupsi melalui investigative journalism).
Seharusnya RUU ini juga mengatur hal berikut:
a. Setiap orang yang memberikan informasi mengenai pelanggaran ketentuan dalam
UU ini wajib dilidungi dari tuntutuan hukum apapun;
b. Setiap orang yang dengan itikad baik membuka suatu informasi yang
dikecualikan wajib dilindungi dari tuntutuan hukum apapun;
c. Setiap orang yang termasuk kategori huruf a dan b diatas memilik hak-hak
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan saksi dan korban.
4. Isu tentang Masa Peralihan dan Penetapan PP
Masa peralihan menunjukkan kemauan politik untuk menjamin hak atas informasi,
sehingga koalisi masyarakat sipil menghendaki pemberlakuan UU KIP secara cepat.
Masa pemberlakuan hingga 3 tahun dirasa sangat lama.
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah, tidak perlu PP untuk mengatur tentang
penetapan pemberian sanksi denda oleh badan publik. Karena seharusnya denda tidak
ditanggung oleh negara lewat APBN/APBD, tetapi ditanggung oleh mereka yang dengan
15
sengaja melakukan kejahatan atas hak asasi berupa hak atas informasi. Dengan demikian
seharusnya ditambahkan pasal yang menyebutkan “uang denda tidak boleh dibebankan
atau dialihkan sebagian atau seluruhnya kepada kas negara”.
5. Isu tentang permintaan harus menyertakan alasan
Prinsip bahwa permintaan tidak memerlukan alasan sebenarnya bertujuan untuk
mempermudah akses masyarakat dalam mendapatkan informasi. Namun dalam RUU KIP
bagi masyarakat yg melakukan permintaan harus menyertakan alasan. Hal ini dalam
prakteknya akan mempersulit bagi peminta informasi dan membuka peluang bagi pejabat
publik untuk tidak memberikan informasi karena alasan yang dikemukakan oleh peminta.
Di sisi kemauan politik, setidaknya DPR sudah terlihat memiliki kemauan yang kuat
untuk secepatnya mengundangkan RUU KIP. Hal ini terlihat dari Pidato Ketua DPR RI,
Agung Laksono pada Penutupan Masa Sidang I (2007-2008) yang disampaikan pada
tanggal 10 Oktober 2007 di Gedung DPR RI. Dalam pidato tersebut dinyatakan secara
tegas bahwa RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik merupakan salah satu RUU
yang mendesak untuk diundangkan. Mudah-mudahan Indonesia segera memiliki salah
satu UU yang penting untuk membangun dasar-dasar bagi demokrasi yang berkualitas.
D. Rekomendasi: Strategi ICEL dalam Mendorong Terwujudnya Good Governance
Melalui Penguatan Jaminan Akses Masyarakat Terhadap Informasi di Indonesia
Berangkat dari berbagai identifikasi permasalahan baik yang didapat dari pengalaman
melakukan advokasi kebijakan dan hukum serta berbagai advokasi kasus yang dilakukan
ICEL, untuk mendorong terwujudnya good governance melalui penguatan jaminan akses
masyarakat terhadap informasi perlu ditawarkan alternatif solusi yang diarahkan pada: 1)
Penguatan Jaminan Hukum; 2) Pengembangan Sistem Pengelolaan Informasi dan
Kapasitas Pejabat Publik (supply); dan 3) Perubahan Kultur Publik Untuk Mendorong
Permintaan Informasi (demand).
Penguatan jaminan hokum merupakan instrument penting untuk membangun atmosfir
yang jelas antara sisi supply (pemerintah/badan publik) dengan sisi demand (masyarakat
sipil). Penguatan institusi dan perubahan kultur publik juga merupakan prasyarat penting
bagi akses informasi sebab hasil kajian ICEL memperlihatkan salah satu persoalan akses
informasi ada di kelemahan di tingkat institusi maupun kelemahan public dalam
mendesakkan akses informasi secara regular.19
1) Penguatan Jaminan Hukum (Legal Guarantee)
Penguatan jaminan hukum diarahkan untuk menciptakan dan membarui hukum secara
komprehensif untuk mewujudkan jaminan hukum yang kuat. Internalisasi prinsip-prinsip
akses informasi diperlukan dalam rangka pengauatan jaminan hukum. Beberapa langkah
yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan jaminan hukum adalah:
19
Op cit, ICEL, 135 – 139.
16
a) Menganalisa problem-problem terkait dengan jaminan informasi
b) Mengidentifikasi prinsip-prinsip akses informasi yang perlu diinternalisasikan
dalam produk hukum
c) Mengidentifikasi permasalahan substansi hukum
d) Harmonisasi hukum terkait dengan konflik norma (inter dan antar) peraturan
perundang-undangan
e) Menyiapkan naskah akademik bagi institusi atau daerah yang memiliki keinginan
untuk membentuk kebijakan/peraturan tentang transparansi di daerahnya.
f) Pembuatan draft kebijakan/peraturan legal drafting dan penguatan kapasitas
legislator dalam legal drafting.
2) Pengembangan Sistem Pengelolaan Informasi dan Kapasitas Publik (Supply)
Pengembangan sistem pengelolaan informasi diarahkan untuk menyediakan sistem yang
komprehensif untuk mendorong implementasi pelayanan informasi. Dalam
pengembangan sistem pengelolaan perlu dikedepankan agar prinsip-prinsip informasi
terinternalisasi dalam sistem tersebut. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan
adalah:
a) Melakukan identifikasi prinsip-prinsip akses informasi yang perlu
diinternalisasikan dalam sistem pengelolaan informasi
b) Identifikasi sistem internal badan publik dan permasalahan yang ada
c) Menyusun blue print sistem pengelolaan informasi. Blue print ini terdiri dari: 1)
Klasifikasi Informasi; 2) Pemetaan jenis informasi yang dimiliki termasuk tempat
informasi; 3) Tata laksana kelembagaan dalam pengelolaan informasi termasuk
sistem pendokumentasian informasi; 4) Saran dan prasarana yang dibutuhkan; 5)
Mekanisme pelayanan informasi; 6) Mekanisme penyelesaian sengketa informasi;
dan 7) Rencana alokasi anggaran yang dibutuhkan
d) Uji coba sistem pengelolaan informasi
e) Menyusun Rencana Aksi Implementasi
3) Perubahan Kultur Publik Untuk Mendorong Permintaan Informasi (Demand)
Perubahan kultur publik diarahkan untuk mendorong kesadaran dan kapasitas publik
(public awareness) dalam mengakses hak atas informasi. Strategi perubahan kultur dapat
didorong melalui pengembangan Civil Society Organizations-CSO/(dynamic groups)
yang solid dan berkapasitas. Dengan adanya CSO atau dynamic groups yang solid dan
berkapasitas diharapkan dapat memunculkan benih-benih penyadaran melalui pendidikan
masyarakat (civil education) terhadap penyadaran bahwa masyarakat mempunyai hak
atas informasi, bagaimana cara mendapatkannya, dan bagaimana cara memperoleh
keadilan jika hak tersebut dilanggar. Adapun beberapa langkah yang perlu dilakukan
adalah:
a) Melakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengakses informasi.
Pemberian pemahaman terhadap hak atas informasi dan bagaimana cara
mendapatkannya perlu diberikan untuk mendorong kapsitas masyarakat dalam
mendapatkan informasi. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah melalui
17
training pemahaman hak atas informasi dan cara mendapatkannya. Peningkatan
kapasitas masyarakat juga perlu dilakukan melalui diseminasi berbagai perangkat
kampanye yang mengarah pada pedoman untuk mengakses informasi termasuk
penyelesaian sengketa informasi yang dapat ditempuh dan penyadaran bahwa
masyarakat mempunyai hak atas informasi.
b) Peningkatan kapasitas penyelesaian sengketa informasi. Kapasitas masyarakat
untuk melakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa informasi perlu
ditingkatkan sebagai bagian dari penguatan masyarakat sipil agar dapat
memperoleh akses keadilan jika terdapat sengketa atau pelanggaran hak-haknya,
khususnya hak atas informasi. Kapasitas untuk menyelesaikan sengketa yang
diberikan meliputi penyelesaian sengketa diluar pengadilan, misalnya Metode
Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) / Alternative Dispute Resolution
(ADR) maupun pemahaman penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang dapat
ditempuh terkait dengan pelanggaran hak atas informasi.
Berikut ini Roadmap implementasi jaminan akses informasi bagi public
Jaminan Akses Informasi
Publik
Pembentukan Landasan Hukum Pembentukan Sistem & Kelembagaan Penguatan Kultur Masyarakat
Identifikasi problem hukum
Identifikasi prinsip-prinsip
Kajian harmonisasi hukum
Drafting naskah akademik
Raperda/Rapergub/Bup/Wal/SK
KMIP
Identifikasi problem sistem &
kelembagaan
Identifikasi prinsip-prinsip
Penyusunan blue print :
• Jenis informasi
• Tata laksana kelembagaan dalam
pengelolaan informasi
• Sarana dan prasarana
• Mekanisme pelayanan & biaya
• Mekanisme Pengaduan & Penyelesaian
sengketa
• Standar pelayanan minimum
• Anggaran
Peningkatan kapasitas pejabat /staff
pengelola informasi
Uji coba dan implementasi
Penyadaran public/Public
awareness
Peningkatan kapasitas
penyelesaian sengketa
Perda/Pergub/Bup/Wal/SK
KMIP
Penyusunan SOP /Standard Operational
Procedure
Roadmap: Penguatan jaminan akses informasi,
ICEL 2007
Yogyakarta, 6 November 2007
18
BIBLIOGRAFI
Makalah/Buku
Hanif Suranto et.al. Dari Lokal Mengepung Nasional: Dinamika Proses Legislasi Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik di Indonesia, Koalisi Kebebasan Untuk Memperoleh Informasi Publik,
Jakarta, 2007, hal 74
ICEL, Membuka Ruang Menjembatani Kesenjangan; Gambaran Akses Informasi, Partisipasi, dan
Keadilan Lingkugan di Indonesia, Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), 2006, hal 136-137
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi!, Koalisi untuk Kebebasan Informasi,
Jakarta: 2003
Mas Achmad Santosa, Aktualisasi Kebebasan Informasi di Indonesia; sebuah perjalanan panjang dan
mendaki, dalam Melawan Ketertutupan Informasi; menuju pemerintahan terbuka, Koalisi Untuk
Kebebasan Informasi, Jakarta: 2003
Paulus Widiyanto (Mantan Ketua Pansus RUU KIP DPR-RI periode 1999-2004, Rancangan Undang-
undang Rahasia Negara, Urgenkah Sekarang?, Jakarta 25 Mei 2007
Toby Mendel, Kebebasan Memperoleh Informasi: Sebuah Survei Perbandingan Hukum, UNESCO
Jakarta, 2004.
Indikator versi 2.0 di www.theaccessinitiative.org.
Peraturan
International Covenant on Civil and Political Rights
PERDA No. 03/2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo
PERDA NO. 6/2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan
Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak
PERDA No. 4/2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, serta
PERDA No. 2/2005 tentang Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Tanah Datar.