Post on 12-Jun-2015
description
Power/Knowledge/Corrupt;
Telisik Sosiologis Relasi Kekuasan dan Agama1
Oleh: Firdaus Putra A.2
Serpihan Tragika
Dua orang ilmuwan di abad 16-an harus menanggung hukuman karena
berbeda pendapat dengan gereja, Copernicus dan Galileo. Yang pertama dihukum
mati sebagai pencetus teori Heliosentris yang menggugat Geosentris versi gereja3.
Sedang yang kedua, Galileo, pada tahun 1616 diperintahkan gereja untuk tidak
melanjutkan kampanye Heliosentris dan mencabut kembali pendapatnya. Di usia
69 tahun, ia terpaksa melaksanakannya di hadapan pengadilan terbuka. Ia
menunduk dan berbisik pelan, “Tengoklah ia (bumi ini) masih terus bergerak.
Galileo meninggal tahun 16424.
Pada tahun 1792 di Spanyol seorang pelukis kenamaan, Fransisco Goya
juga harus merasakan perlakuan tidak menyenangkan dari gereja. Lukisan a la
realisme sosial membuat pihak gereja kebakaran jenggot. Disusunlah sekenario
untuk mematikan karir pelukis besar itu. Melalui lukisannya, Goya mengabadikan
kekejaman gereja dalam pratik penjara “The Question”. Sebuah praktik
pengadilan keyakinan, moral, dan perilaku, dimana tersangka digantung dengan
tangan terbalik dan tanpa sehelai busana. Di depannya sejumlah pendeta
1 Tulisan ini dibukukan dalam Antologi Esai “Agama dan Kekuasaan” Penerbit Grafindo dan STAIN Press Purwokerto tahun 2009. 2 Biodata penulis pada halaman akhir (10). 3 Heliosentris, teori yang menyatakan matahari adalah pusat edar. Geosentris teori yang menyatakan bahwa pusat edar adalah bumi. 4 Dalam Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, tahun 1985.
menginterograsi dan mengadili dengan pertanyaan-pertanyaan tertentu (the
question).5
Pada masa Islam awal, tiga khalifah terbunuh terkait sengketa kekuasaan.
Abu Bakar yang dibunuh (menurut sebagian sejarawan), Umar yang ditikam, juga
Sahabat Ali yang meninggal karena pertarungan kekuasaan. Kisah kepemimpinan
mereka berakhir dengan bad ending yang berlumuran darah dan nyawa. Perang
antara sahabat yang masing-masing mengklaim paling benar adalah catatan
sejarah yang tak menarik bagi kemanusiaan dan peradaban manusia6.
Di belahan bumi lain, Syekh Siti Jenar dihukum mati di bawah otoritas
Wali Songo. Tindakan Wali Songo menjadi sah berkat otoritas Demak Bintoro. Ia
dihukum karena dianggap meresahkan kehidupan beragama kala itu. Terlepas dari
kesahihan ajarannya7, ia meninggal secara tragis dalam rangka membela
keyakinannya.
Hampir senada dengan Jenar, Nashr Hamid Abu Zaid merelakan dirinya
difatwa murtad oleh otoritas al Azhar tahun 2000-an. Tidak sekedar itu, oleh
pengadilan agama ia diceraikan dengan istrinya. Semua tragika ini harus ia
tanggung karena penemuan intelektualnya, “al Quran adalah produk budaya”.
Terlepas dari kesahihan pemikirannya, otoritas al Azhar berikut negara sudah
menekan individu sampai titik nadirnya8.
Sedang pada tahun 2002, Ulil Abshar Abdalla, seorang cendekiawan
Muslim harus menerima fatwa sesat dan ancaman hukuman mati. Beberapa
kelompok juga melaporkan pemikirannya ke pihak berwajib dengan tuduhan
5 Dalam film Goya’s Ghost digali dari sejarah Spanyol, tahun 2003. 6 Dalam Ijtihad Islam Liberal, tahun 2005. 7 Ajarannya yang terkenal yakni Manunggaling Kawula-Gusti yang diturunkan dari Ana al Haq Hallajian. 8 Dalam Jurnal Gerbang, tahun 2002.
kesesatan. Berbeda dengan beberapa anak zaman sebelumnya, nasib Ulil lebih
baik dan masih tetap bisa beraktivitas sampai sekarang. Dan sejarah paling
mutakhir, Ahmadiyah difatwa sesat Majlis Ulama Islam (MUI) Pusat dan
dibekukan negara melalui SKB 3 Menteri. Demi tertib sosial segala bentuk
aktivitas dakwah yang bersankutan harus dihentikan.
Inilah serpihan kisah tragis dari Abad Pertengahan sampai abad ini yang
bisa dilihat di berbagai literatur atau catatan sejarah lainnya. Kisah tragis di atas
sulam-menyulam dalam dua isu besar, kekuasaan dan agama. Ironisnya, seperti
kota Yerussalem nan suci, bercak darah, penindasan, penekanan justru lahir di
seputar klaim suci. Alih-alih menjaga dan menghargai setiap manusia, melalui
dan/ atau meminjam aparatus lainnya, agama bertindak sewenang-wenang.
Ada beberapa pola berbeda dari fakta sejarah di atas. Pertama, agama
Kristen atau Islam, bahkan mungkin setiap agama, senantiasa melahirkan basis
otoritasnya sendiri. Melalui klaim wakil Tuhan, otoritas penafsiran, dan
sebagainya, agama memintal serat-serat kuasa dengan anyaman pusat (centrum)
dan pinggiran (peripheral). Pada lingkaran pusat, yakni kelompok arus utama
dengan penafsiran tertentu. Sedang yang terakhir merupakan pinggiran yang
senantiasa tunduk di bawah otoritas pusat. Kedua, agama merapat ke arah sumber
otoritas legal, yakni negara. Melalui otoritas negara, agama melipatgandakan
otoritas yang dimilikinya. Pusat menjadi semakin kuat. Sedang pinggiran, menjadi
semakin marginal, baik dari penafsiran serta praktik beragama. Ketiga, negara
merapat dan mencari legitimasi dari otoritas agama. Alhasil, mistifikasi kuasa
(politik) lahir dari berbagai kebijakan yang bias agama tertentu.
Lantas bagaimana seyogyanya kekuasaan dan agama saling menganyam
dan memintal hubungan agar tragika tak lagi terjadi dan produktif bagi
kemanusiaan?
Power/Knowledge
Seorang intelektual garda depan Perancis, Foucault dengan baik membaca
hubungan antara kuasa dengan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan senantiasa
melahirkan episteme sebagai basis ontologisnya. Berlanjut kemudian pengetahuan
melahirkan otoritas dalam rangka menyeleksi mana yang benar dan tidak.
Menyensor mana yang pantas dan tidak. Klimaksnya otoritas tersebut
menormalisasi apa-apa yang dianggap menyimpang.9
Berbeda dengan agama, basis ontologis kuasa/pengetahuan bersifat
aposteori. Kuasa/pengetahuan merupakan jejaring antara pihak, klaim, serta
pergulatan dalam rangka memenangkan suatu klaim. Menang berarti benar. Kalah
berarti salah. Sama dengan agama, penafsiran atau pemahaman agama (teks)
berangkat dari dan oleh jejaring kuasa. Kuasa mendistribusikan siapa yang pantas
menjadi penafsir (‘ulama) dan siapa yang tak pantas. Di sinilah formasi sosial
terbaca secara jelas, bahwa kehidupan beragama senantiasa melahirkan pusat
(‘ulama) sebagai penafsir teks agama yang otoritatif dan pinggiran (awam)
sebagai pengikut yang harus tunduk dan taat. Interupsi bahkan bertanya
merupakan tindakan subversif yang harus dijauhi.
Nah, dengan meminjam analisa Foucault kita bisa mendedah hubungan
antara kuasa dengan pengetahuan (agama) secara kritis. Lebih jauh Foucault
9 Dalam Power/Knowledge, tahun 2002.
menunjukan bahwa klaim kebenaran (truth claim) tidak paralel dengan kebenaran
klaim (rightness claim). Justru seringkali apa-apa yang benar ditentukan siapa-
siapa yang berkuasa. Tengoklah sejarah Indonesia dimana rezim Orde Baru
dengan seperangkat aparatus ideologisnya mendefinisikan apa yang benar dan apa
yang salah. Sejarah PKI, Pancasila, politik jawanisasi, depolitisasi Islam, dan
seterusnya merupakan catatan dimana kebenaran bergantung pada kekuasaan.
Jauh hari sebelumnya, dengan baik Thomas Kuhn mengingatkan, bahwa
kehebatan suatu paradigma bukan lantaran kemampuan paradigma tersebut dalam
membaca suatu masalah sosial. Ia hebat lantaran banyaknya komunitas ilmiah
yang menyepakati dan menggunakannya.
Baik Foucault dan Kuhn melihat bahwa kebenaran, dalam konteks ini
adalah agama, mempunyai dan melahirkan jejaring kuasanya masing-masing.
Dalam sudut pandang ilmiah, kebenaran justru relatif. Sedang dalam relasinya
dengan kuasa, ia menjadi mutlak dan kian mutlak. Dengan analisa inilah kita bisa
membaca secara seksama kasus Copernicus, Galileo, Goya, Jenar, Zayd, dan
seterusnya.
Sebenarnya sangat mungkin (dalam sudut pandang ilmiah) pemikiran dan
keyakinan tokoh-tokoh di atas merupakan kebenaran. Hanya saja produk
pemikiran mereka diadili dengan standar kebenaran arus utama yang erat
kaitannya dengan jejaring kuasa. Dalam sejarah lain beberapa imam madzhab
mengalami inkuisisi (mihnah) di bawah standar kebenaran Mu’tazilah yang
menyatakan bahwa al Aquran adalah makhluk. Mengingat saat itu Mu’tazilah
menjadi madzhab agama negara, pemaksaan standar kebenaran itu berlangsung
secara represif dan efektif.
Alhasil, keyakinan atau pengetahuan tertentu yang berbeda dan
bertentangan dengan keyakinan atau pengetahuan arus utama harus menerima
perlakuan sewenang-wenang. Penemuan keyakinan atau pengetahuan yang lain
tidak didialogkan secara terbuka, justru mereka dibungkam dan bila perlu
menggunakan otoritas tertentu dicabut hak-haknya serta hidupnya.
Power/Corrupt
Power tend to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely, demikian tulis
seorang ilmuwan politik kenamaan, Lord Acton. Melalui analisa sosio-historis, ia
sampai pada kesimpulan bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasan yang
mutlak, korup secara mutlak. Premis ini kemudian menginspirasi tatanan
kekuasaan negara. Kekuasaan tidak lagi terpusat seperti pada raja. Kekuasaan
harus dibagi dan didistribusikan (share of power) pada institusi lain. Dalam dunia
modern, proses distribusi kekuasaan ini terlihat dalam logika demokrasi. Dimana
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pilar-pilar lainnya diselenggarakan secara
terpisah.
Sebelum logika demokrasi ini maju, dalam kehidupan gereja Eropa terjadi
sebuah revolusi mendasar. Adagium yang paling terkenal adalah, “Berikan hak
gereja pada gereja dan berikan hak raja pada raja”. Pada titik inilah bermula
logika pemisahan antara otoritas agama dengan negara. Masing-masing
diselenggarakan secara terpisah, raja mengurus masalah warga. Sedang gereja
mengurus masalah umat.
Mencampurkan dua masalah tersebut pada otoritas tertentu justru semakin
memperlebar kemungkinan tindak penyelewengan (abuse of power). Seperti pada
analisa di atas, kebenaran agama sebagai seperangkat pengetahuan dan
pemahaman cenderung relatif. Ia menjadi mutlak dan semakin mutlak saat
bersentuhan dengan jejaring kuasa lain, misal negara. Dalam lingkaran
kemutlakan itu, praktik-praktik agamawan justru jauh dari nilai-nilai agamis. Atas
nama Tuhan dan klaim kebenaran tertentu, nyawa manusia nampak tak berharga.
Sekurang-kurangnya tragedi ini sudah dirasakan oleh Ali ibn Thalib, Faraq
Faoda—cendekiawan Mesir—yang di bunuh di pasar ikan, dan seterusnya.
Pada sisi lain, dengan melihat potensi emosionalitas dan fanatisme
butanya, negara atau kelompok-kelompok kepentingan justru menyeret-nyeret
agama ke gelanggang kekuasaan. Pada Pemilu tahun 1987 Majlis Ta’lim Darul
Ulum Jawa Barat mengeluarkan fatwa haram pada Golongan Putih (Golput).10
Sedang pada tahun 1999, beberapa otoritas agama (‘ulama) menyatakan bahwa
calon presiden perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Fatwa agama yang
bernuansa politis itu muncul saat Megawati hendak mencalonkan diri sebagai
presiden.11
Kasus di atas alih-alih menunjukan peran produktif agama dalam
gelanggang kekuasaan, justru terlihat agama hanya sebagai stempel bagi
sah/tidaknya sebuah produk politik. Kasus-kasus di atas biasanya mengemuka saat
mendekati hajatan politik tertentu, misal Pemilu. Baik partai, kelompok
kepentingan, bahkan negara, kadang mencari basis legitimasi untuk suatu langkah
atau kebijakan politik tertentu. Tentu saja semuanya berangkat dari hitungan
rasional, bahwa mayoritas penduduk Indonesia—calon pemilih—beragama Islam.
10 Dalam Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan Fenomena Politik, tahun 1992. 11 Dalam Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, tahun 2003.
Prophan/Sacral
Pemisahan kekuasaan (negara) dan agama merupakan proses sekularisasi.
Dimana dalam proses itu berlaku adagium, “Memprofankan yang profan dan
menyakralkan yang sakral”. Artinya, masalah dunia lebih tepat diselesaikan
dengan logika-logika duniawi. Sebaliknya, masalah akhirat akan tepat
diselesaikan dengan logika ukhrawi. Gagasan sekularisasi, seperti yang
digemakan Nurcholis Madjid12 dengan jargon “Islam Yes, Partai Islam No!”
nampaknya sering disalahpahami. Banyak berkembang anggapan bahwa
sekularisasi merupakan pangkal masalah dari demoralisasi dan korupsi. Atau
banyak yang menganggap bahwa sekularisasi merupakan anti-agama.
Sebenarnya apa yang ditolak dari sekularisasi hanyalah formalisasi agama
dalam struktur kekuasaan negara. Agama sebagai sebuah nilai-nilai mulia (virtus)
justru perlu digali sebagai salah satu input bagi kebijakan-kebijakan negara.
Dalam konteks ini, nampaknya gagasan Kuntowijoyo perlu diperhatikan.
Menurutnya, nilai-nilai agama perlu diobyektivikasikan agar ia tak lagi bersifat
partikular (hanya untuk agama tertentu) dan menjadi general (untuk seluruh warga
negara) tanpa memandang latar belakang agama yang berbeda.
Gagasan obyektivikasi nilai-nilai agama ini sudah mulai dikonseptualisasi
secara matang, misal oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam bukunya Toward
an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law
yang terbit tahun 1990. Gagasan besar beliau berpangkal dari bagaimana Islam
12 Dalam Kurzman, Wacana Islam Liberal, tahun 2003.
merespon isu-isu kekinian seperti kebebasan sipil, hak azasi, hukum internasional
dan sebagainya dalam lanskap kebijakan negara.
Berbeda dengan An-Na’im beberapa kelompok di Indonesia justru lebih
mengarah pada formalisasi Islam. Sebutlah masalah Perda Syariah13 yang sudah
diterapkan di lebih dari 30 kota di Indonesia. Perda tersebut bersifat partikular
yang hanya berlaku untuk umat agama tertentu saja. Pada titik ini, pemerintah
daerah sudah bertindak diskriminatif dengan mengistimewakan agama tertentu
saja. Justru di kasus lain, misal Perda Jilbab di Padang14, umat Kristiani menjadi
korban dari pewajiban jilbab. Perda partikular itu diberlakukan secara general
yang melukai perasaan pemeluk agama lain.
Pemisahan antara urusan duniawi (profan-publik) dengan urusan ukhrawi
(sakral-privat) tidak sama dengan melepaskan tanggungjawab sosial-politik
agama. Pemisahan tersebut hanya dalam logika bentuknya (form) dimana isi atau
substansi tetap bisa dan bahkan harus digali dari unsur agama dan unsur lainnya.
Dalam konteks seperti ini, ajaran agama bertali kelindan secara gemulai dan indah
dengan kekuasaan.
Semacam Penutup
Belajar pada Foucault dan Kuhn kita bisa melihat jejaring kuasa dan
bagaimana kuasa beroperasi di dalam dan di seputar pengetahuan. Dalam konteks
ini, kita bisa mengetahui bahwa agama senantiasa melahirkan otoritasnya. Di sisi
lain, otoritas tersebut semakin berlipat ganda saat agama bersentuhan dengan
otoritas lain, misal kekuasaan negara.
13 Dalam www.gatra.com 16 Juni 2006. 14 Dalam penelitian Guntur Romli di www.guntur.name tahun 2005.
Kemudian, dalam gelanggang kekuasan, kita diingatkan bahwa kekuasaan
cenderung korup. Untuk itu, agama dengan negara, yang masing-masing
mempunyai basis ontologis kekuasannya sendiri, perlu dipisah. Agar tentunya,
penyelewengan secara mutlak tidak pernah terjadi.
Dan akhirnya, hubungan antara kekuasaan (negara) dan agama tidak harus
berhadap-hadapan dan tolak-menolak. Hubungan tersebut akan produktif ketika
masing-masing menyadari konteks dimana ia hidup dan tumbuh. Belajar dari
Nurcholis, Kuntowijoyo dan An-Naim, sadar konteks merupakan kemampuan
agama untuk mengobyektivikasikan nilai-nilainya yang partikular agar lebih
bersifat general. Sadar konteks merupakan kemampuan untuk mawas diri, bahwa
wadag (bentuk) akan terkikis waktu dan tempat, sedang isi (substansi) senantiasa
akan tepat untuk segala waktu dan tempat. Dalam kemawasdirian itu, kekuasaan
dan agama bisa berdampingan secara harmonis. []
Tentang Penulis Nama lengkap : Firdaus Putra Aditama Tempat lahir : Pekalongan Tanggal lahir : 31 Maret 1985 Pendidikan : Mahasiswa Sosiologi 2003 FISIP
UNSOED Purwokerto (sedang menyusun skripsi) Organisasi : Direktur Lingkar Studi (LS) Profetika, Kajian Sosial-Agama
untuk Transformasi di Purwokerto Direktur Writing and Empowering Press (WE-Press), Sekolah Menulis di Purwokerto
Situs : www.firdausputra.co.cc Email : el_ferda85@yahoo.com Ponsel : +62 8564 7788 101 Konsentrasi : Teori Kritik Sosial dalam kajian Sosiologi dan Pemikiran Islam Salam hangat, Firdaus Putra A.