Post on 27-Mar-2019
i
KEANEKARAGAMAN BENTUK PANAKAWAN
WAYANG KULIT PURWA
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Seni Rupa Strata Satu
Oleh :
Nama : Dian Purbarini Nim : 2450406020 Program Studi : Seni Rupa/SI
JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada :
hari : Kamis
tanggal : 17 Februari 2011
Panitia Ujian Skripsi
Ketua, Sekretaris,
Drs. Dewa Made K., M.Pd. Drs. Syakir, M.Sn. NIP. 195111181984031001 NIP. 196505131993031003
Penguji III, Penguji II, Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd Drs. Syafii, M.Pd. NIP.195008311975011001 NIP. 195908231985031001
Penguji I,
Drs. Purwanto, M.Pd NIP. 195901011981031
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar
hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan
dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Februari 2011
Dian Purbarini
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto :
Hidup kita adalah hari ini bukan masa lalu ataupun masa depan, maka janganlah terus meratapi masa lalu dengan penyesalan dan memandang masa depan dengan ketakukan, tapi jalani hari ini dengan sebaik-baiknya (sumber : peneliti).
Persembahan:
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Bapak Ibuku tercinta atas kasih sayang dan do’a
yang tiada hentinya untuk kesuksesan anaknya;
2. Kakakku Tyas Purbasari dan adikku Abdur
Rahman Al Basyir atas do’a dan dukungannya;
3. Akhlis Miftahun N. atas motivasi dan pelajaran
hidup yang sangat berharga;
4. Almamater UNNES.
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang kulit Purwa. Penulis menyadari
dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan
dan usaha penulis semata, namun juga berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Semarang;
2. Drs. Syafii, M.Pd, Ketua Jurusan Seni Rupa sekaligus Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
3. Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu
dan pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi
ini;
5. Bapak Ibuku tersayang yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
materi, terimakasih atas doa dan kasih sayangnya.
6. Pamanku M. Ali Syafii atas bantuannya baik moral maupun materi sehingga
skripsi ini bisa terwujud.
7. Teman-teman SRD angkatan 2006, Nanik, Fredo, Eva, Suharno, Wahyu,
Bayu, Wahid, Rama, Nita, Kis, Hasan, Arif N.S, Agso, Adi, Arif Ardi, Vega,
Supriyadi, kalian telah memberi warna dalam hidupku, thank’s for all.
vi
8. Teman-teman kost Kinanthi, teman-teman Kontrakan Vera, Rini, Nanik,
Meldut, Sumik, Jum, Karina, yang telah menyertai penulis selama ini, kalian
adalah tokoh utama dalam kisah hidupku, thank’s for all.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan dorongan baik material maupun spiritual sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal atas kebaikan yang
telah mereka berikan selama ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca semua.
Semarang, Februari 2011
Peneliti,
Dian Purbarini
vii
SARI
Purbarini, Dian 2010. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa. Seni Rupa. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I : Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd, Pembimbing II : Drs. Syafii, M.Pd
Kata kunci : Keanekaragaman Bentuk, panakawan, wayang kulit purwa. Salah satu seni rupa tradisi yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya adalah seni wayang. Dalam pewayangan, panakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Selain memiliki karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh pewayangan lainnya, panakawan juga memiliki bentuk yang lucu dan unik. Gaya dan perbentukan panakawan juga bermacam-macam. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang keanekaragaman bentuk panakawan wayang kulit purwa meliputi perbentukan tokoh, busana dan atribut serta sunggingan/pewarnaan. Manfaat penelitian ini adalah sebagai referensi atau sumber pengembangan ilmu, acuan dan bahan pertimbangan untuk lebih melestarikan seni rupa tradisi khususnya wayang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sasaran penelitian adalah panakawan koleksi museum Radya Pustaka Surakarta, Museum Sono Budoyo Yogyakarta, Museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan dalang sudiharjo Jepara. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, wawancara, dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian menyatakan bahwa secara visual panakawan wayang kulit purwa beranekaragam. Keanekaragaman terdapat pada bentuk, sikap tangan, sikap kaki, sikap kepala, di samping itu juga ada yang sama/mirip pada perbentukan mata, hidung, mulut. Busana yang digunakan panakawan adalah sarung. Sedangkan atribut yang digunakan secara umum adalah anting, kalung, gelang, cincin dan senjata. Sedangkan pada Semar tidak memakai kalung dan senjata melainkan memakai sumping. Pewarnaan pada panakawan juga beranekaragam, ada dua warna tubuh yaitu hitam dan perada, warna wajah menggunakan warna putih dan perada. Warna-warna komplementer seperti merah, biru, hijau, kuning terdapat pada sembuliyan dan uncal wasta dan sampur/sabuk, sedangkan warna atribut menggunakan warna merah putih, biru, hijau dan kuning.
Saran yang dikemukakan bagi peneliti lain untuk menindaklanjuti dengan membandingkan tokoh panakawan gagrak lainnya, ada alternatif lain yaitu panakawan gagrak Cirebon, Jawa Timuran, Banyumasan dan bagi para guru seni rupa, dengan kesederhanaan bentuk, busana dan atribut serta pewarnaan/sunggingan panakawan memungkinkan untuk digunakan sebagai pembelajaran yang elementer di sekolah.
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... .. i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... .. ii
HALAMAN PERNYATAAN....................................................................... .. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………...... iv
PRAKATA ................................................................................................... .. v
SARI.................................................................................................................... vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………... xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1
1.2 Masalah………………………………………………………………….. 5
1.3 Tujuan…………………………………………………………………… 6
1.4 Manfaat…………………………………………………………………. . 6
1.5 Sistematika Skripsi……………………………………….……………… 6
BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1 Wayang sebagai Karya Seni tradisi……………………………………… 8
2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa………………..…………………………. 27
2.3 Tokoh Panakawan……………………………………………………… 38
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian…………………………………………………... 45
3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian…………………………………………... 46
3.3 Sumber Data…………………………………………………………...... 46
3.4 Teknik Pengumpulan Data……………………………………………… 47
ix
3.5 Teknik Analisis Data……………………………………….…………….49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Latar Penelitian……………………………………… 52
4.2 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa……………. 80
BAB V PENUTUP
5.1 SIMPULAN…………………………………………………………….182
5.2 SARAN…………………………………………………………………183
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Semar Wayang Kulit
Purwa .............................................................................................. 185
Tabel 2. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Gareng Wayang Kulit
Purwa .............................................................................................. 188
Tabel 3. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Petruk Wayang Kulit
Purwa .............................................................................................. 192
Tabel 4. Keanekaragaman Bentuk Panakawan Bagong Wayang Kulit
Purwa .............................................................................................. 195
xi
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar : 2.1 a). Semar gaya Surakarta, b). Semar gaya Yogyakarta,
c). Semar gaya Jawa Timuran, d). Semar gaya Cirebon ..... 19
Gambar : 2.2 a). Gareng gaya Surakarta, b). Gareng gaya
Yogyakarta, c).Gareng gaya Cirebon, d). Gareng gaya
Jawa Timuran .................................................................... 22
Gambar : 2.3 a). Petruk gaya Surakarta, b). Petruk gaya Yogyakarta,
c).Petruk gaya Ratu Cirebon .............................................. 26
Gambar : 2.4 a). Bagong gaya Surakarta, b). Bagong gaya
Yogyakarta, c). Bagong gaya Cirebon. ............................... 29
Gambar : 2.5 Berbagai Bentuk Mata Wayang ......................................... 31
Gambar : 2.6 Jenis-Jenis Mata Wayang ................................................... 31
Gambar : 2.7 Berbagai Bentuk Hidung Wayang ...................................... 32
Gambar : 2.8 Berbagai Bentuk Mulut Wayang ........................................ 33
Gambar : 2.9 Busana dan Atribut Wayang .............................................. 34
Gambar : 4.1 Museum Radya Pustaka Surakarta ..................................... 56
Gambar : 4.2 Wayang Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta ......... 58
Gambar : 4.3 Panakawan Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS............. 59
Gambar : 4.4 Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS .................... 59
Gambar : 4.5 Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ................... 60
Gambar : 4.6 Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS .................... 60
Gambar : 4.7 Museum Sono Budoyo Yogyakarta .................................... 61
Gambar : 4.8 Wayang Wahyu koleksi Museum SBY .............................. 63
Gambar : 4.9 Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ................ 65
Gambar : 4.10 Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ............... 65
Gambar : 4.11 Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ................ 66
Gambar : 4.12 Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .............. 66
Gambar : 4.13 Panakawan Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ......... 67
xii
Gambar : 4.14 Museum Wayang Kekayon Yogyakarta ............................. 67
Gambar : 4.15 Salah Satu Ruang Pamer Museum WKY ........................... 68
Gambar : 4.16 Wayang Panakawan Madya Surakarta ............................... 71
Gambar : 4.17 Wayang Purwa Gaya Surakarta .......................................... 72
Gambar : 4.18 Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati ............... 72
Gambar : 4.19 Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati ............... 73
Gambar : 4.20 Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ............... 73
Gambar : 4.21 Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY ............ 74
Gambar : 4.22 Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY .............. 74
Gambar : 4.23 Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY............. 75
Gambar : 4.24 Panakawan Koleksi Sudiharjo Jepara ................................. 78
Gambar : 4.25 Semar Koleksi Sudiharjo Jepara......................................... 78
Gambar : 4.26 Gareng Koleksi Sudiharjo Jepara ....................................... 78
Gambar : 4.27 Petruk Koleksi Sudiharjo Jepara ........................................ 79
Gambar : 4.28 Bagong Koleksi Sudiharjo Jepara ...................................... 79
Gambar : 4.29 Bentuk Tubuh Semar RPS ................................................. 82
Gambar : 4.30 Mata Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ........... 83
Gambar : 4.31 Hidung Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ........ 83
Gambar : 4.32 Mulut Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS .......... 83
Gambar : 4.33 Bentuk Tubuh Semar Koleksi SBY .................................... 86
Gambar : 4.34 Mata Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ........ 86
Gambar : 4.35 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ..... 87
Gambar : 4.36 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ..... 87
Gambar : 4.37 Bentuk Tubuh Semar Gaya Yogyakarta WKY ................... 90
Gambar : 4.38 Mata Semar Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ....... 90
Gambar : 4.39 Hidung Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 91
Gambar : 4.40 Mulut Semara Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 91
Gambar : 4.41 Mata Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 91
xiii
Gambar : 4.42 Hidung Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 91
Gambar : 4.43 Mulut Semar Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 92
Gambar : 4.44 Bentuk Tubuh Semar Koleksi Sudiharjo Jepara ................. 94
Gambar : 4.45 Mata Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ........ 94
Gambar : 4.46 Hidung Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 95
Gambar : 4.47 Mulut Semar Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ...... 95
Gambar : 4.48 Tubuh Gareng Gaya Surakarta Museum RPS ..................... 99
Gambar : 4.49 Mata Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS .......... 100
Gambar : 4.50 Mulut Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ........ 100
Gambar : 4.51 Hidung Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ...... 100
Gambar : 4.52 Tubuh Gareng Gaya Yogykarta Koleksi SBY .................... 102
Gambar : 4.53 Mata Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ...... 103
Gambar : 4.54 Hidung Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
SBY................................................................................... 103
Gambar : 4.55 Mulut Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ..... 103
Gambar : 4.56 Tubuh Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi museum
WKY ................................................................................. 106
Gambar : 4.57 Mata Gareng Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ..... 107
Gambar : 4.58 Hidung Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 107
Gambar : 4.59 Mulut Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 107
Gambar : 4.60 Mata Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 108
Gambar : 4.61 Hidung Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi
Museum WKY .................................................................. 108
Gambar : 4.62 Mulut Gareng Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 108
Gambar : 4.63 Tubuh Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 110
xiv
Gambar : 4.64 Mata Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ...... 111
Gambar : 4.65 Hidung Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo
Jepara ................................................................................ 112
Gambar : 4.66 Mulut Gareng Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ..... 112
Gambar : 4.67 Tubuh Petruk Gaya Surakarta Museum RPS ...................... 115
Gambar : 4.68 Mata Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS ........... 115
Gambar : 4.69 Hidung Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS........ 155
Gambar : 4.70 Mulut Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum RPS .......... 116
Gambar : 4.71 Tubuh Petruk Gaya Yogykarta Koleksi SBY ..................... 118
Gambar : 4.72 Mata Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ....... 118
Gambar : 4.73 Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .... 118
Gambar : 4.74 Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ...... 119
Gambar : 4.75 Tubuh Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi museum
WKY ................................................................................. 121
Gambar : 4.76 Mata Petruk Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY....... 121
Gambar : 4.77 Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 122
Gambar : 4.78 Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY .... 122
Gambar : 4.79 Mata Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 122
Gambar : 4.80 Hidung Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 122
Gambar : 4.81 Mulut Petruk Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 123
Gambar : 4.82 Tubuh Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ..... 124
Gambar : 4.83 Mata Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara........ 125
Gambar : 4.84 Hidung Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 125
Gambar : 4.85 Mulut Petruk Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ...... 125
Gambar : 4.86 Tubuh Bagong Gaya Yogykarta Koleksi SBY ................... 128
Gambar : 4.87 Mata Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY ..... 128
xv
Gambar : 4.88 Hidung Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
SBY................................................................................... 129
Gambar : 4.89 Mulut Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY .... 129
Gambar : 4.90 Tubuh Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi museum
WKY ................................................................................. 131
Gambar : 4.91 Mata Bagong Gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY ..... 131
Gambar : 4.92 Hidung Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 132
Gambar : 4.93 Mulut Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 132
Gambar : 4.94 Mata Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 132
Gambar : 4.95 Hidung Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi
Museum WKY .................................................................. 132
Gambar : 4.96 Mulut Bagong Gaya Madya Surakarta Koleksi Museum
WKY ................................................................................. 133
Gambar : 4.97 Tubuh Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo
Jepara ................................................................................ 134
Gambar : 4.98 Mata Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara ...... 134
Gambar : 4.99 Hidung Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo
Jepara ................................................................................ 135
Gambar : 4.100 Mulut Bagong Gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara .... 135
Gambar : 4.101 Anting Semar Koleksi Museum RPS ................................. 152
Gambar : 4.102 Gelang Semar Koleksi Museum RPS ................................. 152
Gambar : 4.103 Sunggingan pada Sabuk dan Sembuliyan ........................... 152
Gambar : 4.104 Aning Cabe Merah Semar SBY ......................................... 153
Gambar : 4.105 Sembuliyan pada Busana Semar SBY ................................ 154
Gambar : 4.106 Gelang Semar SBY ............................................................ 154
Gambar : 4.107 Sunggingan pada Busana Semar SBY ................................ 154
Gambar : 4.108 Sunggingan pada Sabuk Semar WKY ................................ 156
Gambar : 4.109 Sunggingan pada Sarung Semar WKY ............................... 156
xvi
Gambar : 4.110 Sunggingan pada Gelang dan Anting Semar WKY ............ 156
Gambar : 4.111 Sunggingan pada Sabuk Semar Pesisiran ........................... 158
Gambar : 4.112 Sunggingan pada Wajah dan Anting Semara Pesisiran ....... 158
Gambar : 4.113 Sunggingan pada Sumping Semar Pesisiran ....................... 159
Gambar : 4.114 Sunggingan pada Busana Semar Pesisiran ......................... 160
Gambar : 4.115 Sunggingan pada Kalung Gareng RPS ............................... 161
Gambar : 4.116 Sunggingan pada Gelang Gareng RPS ............................... 162
Gambar : 4.117 Sunggingan pada Sabuk dan Senjata Gareng RPS .............. 162
Gambar : 4.118 Busana Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum
SBY................................................................................... 163
Gambar : 4.119 Sunggingan pada Wajah Gareng SBY ................................ 163
Gambar : 4.120 Sunggingan pada Anting dan Kalung Gareng SBY ............ 164
Gambar : 4.121 Sunggingan pada Sarung Gareng WKY ............................. 165
Gambar : 4.122 Sunggingan pada Wajah Gareng WKY .............................. 165
Gambar : 4.123 Sunggingan pada Kalung dan Anting Gareng WKY........... 166
Gambar : 4.124 Sunggingan pada Busana Gareng Pesisiran ........................ 167
Gambar : 4.125 Sunggingan pada Sabuk Gareng Pesisiran .......................... 167
Gambar : 4.126 Sunggingan pada Anting dan Kalung Gareng pesisiran ...... 167
Gambar : 4.127 Sunggingan pada Wajah Gareng Pesisiran ......................... 168
Gambar : 4.128 Sunggingan pada Kalung dan Gelang Petruk RPS .............. 169
Gambar : 4.129 Sunggingan pada Sarung Petruk RPS ................................. 170
Gambar : 4.130 Sunggingan pada Wajah Petruk RPS .................................. 170
Gambar : 4.131 Sunggingan pada Wajah Petruk SBY ................................. 171
Gambar : 4.132 Sunggingan pada Kalung Petruk SBY ................................ 171
Gambar : 4.133 Sunggingan pada Kalung Petruk WKY .............................. 172
Gambar : 4.134 Sunggingan pada Busana Petruk WKY .............................. 173
Gambar : 4.135 Sunggingan pada Wajah Petruk WKY ............................... 173
Gambar : 4.136 Sunggingan pada Busana Petruk Pesisiran ......................... 174
Gambar : 4.137 Sunggingan pada Wajah Petruk Pesisiran........................... 174
Gambar : 4.138 Sunggingan pada Senjata Petruk Pesisiran ......................... 175
Gambar : 4.139 Sunggingan pada Wajah Bagong SBY ............................... 176
xvii
Gambar : 4.140 Sunggingan pada Busana Bagong SBY .............................. 177
Gambar : 4.141 Sunggingan pada Wajah dan Atribut Bagong WKY ........... 178
Gambar : 4.142 Sunggingan pada Busana dan Atribut Bagong WKY ......... 178
Gambar : 4.143 Sunggingan pada Kalung Roda Bagong Pesisiran .............. 179
Gambar : 4.144 Sunggingan pada Wajah Bagong Pesisiran ......................... 180
Gambar : 4.145 Sunggingan pada Busana Bagong pesisiran........................ 180
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Estetika Visual Panakawan…………...…………….. 185
Lampiran 2. Gambar Panakawan Yogyakarta Koleksi Sagio…..…………. 202
Lampiran 3. Instrumen Penelitian……… ……………………………….. 204
Lampiran 4. SK Pengangkatan Dosen Pembimbing Skripsi…………......... 207
Lampiran 5. Lembar Konsultasi Bimbingan Skripsi…………… ………… 208
Lampiran 6. Biodata Peneliti……………………… …………………….. 213
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Budaya Indonesia saat ini, terpengaruh kuat oleh arus budaya asing. Hal
ini disebabkan lemahnya upaya untuk melestarikan budaya sendiri. Jika tidak
adanya upaya tersebut tidak mustahil budaya Indonesia berangsur-angsur akan
semakin hilang. Oleh sebab itu kita harus kembali kepada identitas budaya yang
mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa. Unsur-unsur budaya meliputi
banyak hal, salah satunya adalah seni. Seni adalah hasil karya manusia, dengan
seni manusia lebih peka, sebab ia merasakan keindahan, keselarasan,
keseimbangan, irama, harmoni, proporsi.
Kesenian Indonesia beranekaragam termasuk seni tradisi. Seni rupa tradisi
merupakan seni yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya, karena seni
tradisi adalah sebuah wujud karakteristik dari suatu bangsa. Konsep penciptaan ini
berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas pada sebuah budaya, itu bisa berupa
aktivitas religius, aktivitas seremonial atau simbol-simbol yang menjadi bagian
utuh dari aktivitas tersebut (http//www. galeri nasional.pdf/250310).
Seni rupa tradisi yang termasuk ke dalam seni rupa Indonesia, tidak luput
dari kebudayaan yang melatarbelakanginya. Kebudayaan yang melatarbelakangi
seni rupa tradisi adalah seni rupa yang bersifat kedaerahan, etnik, dan berbeda-
beda di setiap daerah, dipengaruhi oleh tradisi masyarakat setempat, contohnya
wayang, ornamen pada rumah-rumah tradisional di setiap daerah, batik dan
banyak lainnya. Tiap daerah atau suku bangsa pasti mempunyai ciri khas sendiri,
2
meski sama-sama wayang misalnya, antara wayang gaya Yogyakarta dan
Soloterdapat perbedaan.
Wayang adalah salah satu dari seni tradisi yang bersifat kedaerahan serta
memiliki karakteristik yang berbeda di setiap daerah. Wayang kulit purwa
merupakan seni tradisi yang sangat populer di kalangan masyarakat yang tak
lekang oleh waktu. Kesenian wayang merupakan gambaran dari kehidupan
masyarakat Jawa sepanjang zaman. Dalam seni pewayangan, digambarkan
tingkah laku manusia sehari-hari, ada peranan kebathilan dan ada juga peranan
kebajikan yang penuh dengan budi pekerti luhur.
Seni pewayangan di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, yang
membedakannya adalah hadirnya tokoh panakawan pada pewayangan Indonesia,
sedangkan di India tidak ada. Dalam cerita pewayangan, panakawan terdiri dari
Semar, gareng, Petruk, Bagong adalah panakawan pihak baik yang mengabdi pada
tokoh baik. Semar adalah dewa yang menyamar manusia dan turun ke bumi, yang
bertugas untuk menjaga ketentraman. Semar adalah dewa yang diturunkan ke
jagad raya, yang sebelumnya berwujud dewa dan berparas elok bernama Batara
Ismaya.
Dalam pewayangan para dalang tidak akan pernah meninggalkan
Panakawan pada setiap pementasannya. Tanpa adanya adegan geculan
panakawan, pementasan wayang dirasa kurang sempurna. Meskipun hanya
berperan sebagai tokoh pamomong para kesatria dan sering kali sebagai tokoh
lucu dalam adegan geculan, tetapi pitutur yang disampaikan lewat adegan
panakawan sangat sarat dengan piwulang becik. Bahkan para dewa pun selalu
3
meminta bantuan kepada Semar untuk menyelesaikan permasalahan yang dewa
pun tidak bisa menanganinya.
Dalam beberapa adegan pewayangan, panakawan bahkan menjadi tokoh
utama seperti halnya para kesatria. Misalnya dalam lakon Semar Mbangun Jati
Diri, yang menjadikan Semar menjadi tokoh utamanya. Petruk Dadi Ratu, yang
berkisah tentang Petruk yang menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan
bernama Helgeduelbeh setelah ia melarikan ajimat Kalimasada. Begitu halnya
dengan Gareng, ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama
Pandubergola. Ia diangkat sebagai raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat sakti
dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.
Panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu memihak kebenaran
dan keadilan, serta meluruskan segala bentuk penyelewengan. Semar seorang
pamomong yang suci, jujur, dan sederhana. Begitu juga dengan anak-anaknya
yang meskipun selalu bertingkah konyol, tetapi baik hati dan jujur.
Dalam proyek studi karya Wijaya (2009) dan Hidayatusalam (2007)
ternyata panakawan juga dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam berkarya.
Dengan bentuknya yang unik, Wijaya dan Hidayatusalam mengeksplor
panakawan dalam karyanya dengan berbagai bentuk yang imajiner namun tidak
meninggalkan ciri khas aslinya.
Dalam wayang Jawa tokoh panakawan terdiri atas Semar, Gareng,
Bagong, dan Petruk (golongan baik) serta Togog dan Mbilung (golongan buruk).
Seperti tokoh wayang lainnya, panakawan juga mempunyai berbagai versi. Hal ini
dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya Indonesia. Selain itu juga di pengaruhi
4
oleh pengalaman estetis setiap orang yang menciptakan perwujudan wayang itu
sendiri. Wayang panakawan merupakan salah satu hasil karya akal budi
masyarakat Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Selain memiliki karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh pewayangan
lainnya, panakawan juga memiliki bentuk yang lucu dan unik, lain dari yang lain.
Setiap perwujudan dari panakawan mempunyai makna tersendiri. Hal ini sangat
menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Selain mengekpresikan sesuatu yang unik
dan menarik, tampaknya bentuk panakawan secara visual juga beranekaragam.
Bentuk panakawan yang unik dan berbeda dari tokoh wayang kulit purwa lainnya
memiliki gejala menarik untuk dikaji, dipahami, dan dianalisis mengenai
perwujudan visualnya. Mengingat sepengetahuan penulis belum ada penelitian
terhadap keanekaragaman bentuk panakawan, maka perlu dilakukan suatu kajian
secara mendalam dan kontekstual dengan latar yang dikaji.
Sehubungan dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis mengenai keanekaragam
panakawan wayang kulit purwa, meliputi perbentukan visual panakawan. Menurut
Sulano (2008) berbicara mengenai wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih
sangat luas pengertiannya, sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah
keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti
ukuran/proporsi wayang, busana/atribut-atribut yang dikenakan, wanda/karakter
wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, hidung dan mulut wayang, dan
sunggingan/pewarnaan wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan
meneliti pada bagian mata, hidung, mulut, busana dan atribut yang dikenakan, dan
5
sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.. Adapun panakawan yang
dikaji dalam penelitian ini adalah panakawan wayang kulit purwa koleksi museum
dan perorangan.
I.2 Rumusan Masalah
Dari seluruh uraian latar belakang di atas, maka masalah utama yang akan
dikemukakan dalam penelitian ini adalah keanekaragam bentuk panakawan
wayang kulit purwa. Masalah utama dirinci menjadi tiga sub masalah yaitu
perbentukan tokoh panakawaan wayang kulit purwa; busana dan atribut
panakawan wayang kulit purwa; dan sunggingan/pewarnaan panakawan wayang
kulit purwa.
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang keanekaragaman
panakawan wayang kulit purwa meliputi perbentukan tokoh, busana dan atribut
dan sunggingan/pewarnaan panakawan wayang kulit purwa.
I.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
I.4.I Bagi mahasiswa seni rupa, hasil penelitian ini akan menambah wawasan
dan pengetahuan, serta dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi penelitian
lebih lanjut.
I.4.2 Bagi Jurusan Seni Rupa UNNES, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai referensi atau sumber pengembang ilmu pengetahuan dan bahan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
6
I.4.3 Bagi instansi terkait yakni Dinas Pariwisa dan Kebudayaan, hasil penelitian
ini dapat dijadikan acuan dan bahan pertimbangan untuk lebih melestarikan seni
rupa tradisi khususnya wayang.
I.5 Sistematika Skripsi
Guna mempermudah pemahaman para pembaca maka dikemukakan
sistematika skripsi ini yang secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
bagian awal, bagian tengah, bagian akhir.
Pada bagian awal skipsi ini terdiri dari lembar judul, persetujuan
pembimbing, pengesahan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, abstrak,
daftar isi, daftar gambar, daftar tabel, dan daftar lampiran.
Adapun pada bagian tengah skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing memuat pembahasan yang berbeda tetapi masih dalam satu keterkaitan
tema.
BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan mengenai latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II Tinjauan Pustaka. Menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai
landasan penelitian yang dimaksudkan sebagai kerangka acuan atau pedoman
sebelum melaksanakan penelitian terutama berkaitan dengan masalah-masalah
yang dibahas meliputi konsep pewayangan : pengertian wayang kulit purwa, asal
usul wayang, gagrak wayang kulit purwa, pengertian panakawan, asal usul
panakawan, perbentukan panakawan wayang kulit purwa.
BAB III Metode penelitian. Berisi tentang metode-metode tertentu sesuai
dalam melaksanakan penelitian, yaitu meliputi pendekatan penelitian, lokasi
7
penelitian, fokus dan sasaran penelitian, teknik pengumpulan data dan tehnik
analisis data.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi hasil uraian dari
penelitian dan pembahasan, yaitu meliputi panakawan koleksi berbagai museum
dan dalang Sudiharjo Jepara, sekilas mengenai gambaran umum museum dan
dalang Suduharjo Jepara, keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa
meliputi mata, hidung, mulut, busana/atribut dan sunggingan/pewanaan
panakawan wayang kulit purwa.
BAB V Penutup. Berisi tentang rangkuman pernyataan singkat yang
dijabarkan dari hasil penelitian dan saran atas hasil dan kesimpulan penelitian :
keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa, sedangkan bagian akhir berupa
daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
8
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.I Wayang sebagai Karya Seni Tradisi
2.I.I Pengertian Seni Tradisi
Menurut Bastomi (tt : 20) tradisi artinya turun temurun atau kebiasaan.
Seni tradisional berarti suatu kesenian yang dihasilkan secara turun-temurun atau
kebiasaan berdasarkan norma-norma, patron-patron atau pakem tertentu yang
sudah berlaku. Tradisi meliputi banyak hal, salah satu diantaranya adalah seni.
Menurut Rohidi (2000:80) seni adalah suatu simbol yang termasuk dalam
perangkat simbol pengungkapan perasaan atau simbol ekspresif. Demikian pula
dengan karya seni yang merupakan bentuk ekspresi yang identik dengan simbol
yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang mampu
menyampaikan maksud dan makna tertentu.
Berdasarkan pengertian di atas, seni tradisi adalah seni yang telah
diturunkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konsep penciptaan seni ini berdasarkan pada filosofi sebuah aktifitas pada sebuah
budaya itu bisa berupa aktivitas religius, aktivitas seremonial atau simbol-simbol
yang menjadi bagian utuh dari aktivitas tersebut (http//galeri nasional. seni rupa
tradisi/21052010). Menurut Bastomi (tt:22) dalam proses penciptaan seni
tradisional terjadi hubungan antara pencipta dengan kondisi lingkungannya. Seni
tradisional berkaitan dengan hal-hal yang gaib. Seni tradisional akan kuat bertahan
jika berakar pada hal-hal yang sakral. Dalam kegiatan yang sifatnya sakral atau
9
magis dalam bentuk upacara-upacara yang menggunakan alat-alat akan
melahirkan seni tradisional.
Dalam kaitannya dengan seni tradisi, sifat kedaerahan, etnik, mitos dan
magis adalah komponen yang melatarbelakangi munculnya seni tradisi. Faktor
utama yang melatarbelakangi munculnya seni tradisi adalah faktor lingkungan
tempat tinggal masyarakat setempat. Seni rupa tadisi yang sering kali mengangkat
mengenai etnik dan kedaerahan, contohnya wayang.
2.I.2 Pengertian Wayang
Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan”. Dalam bahasa Melayu
disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh : bayang. Dalam bahasa Bugis :
wayang atau bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata : baying artinya “barang”,
yaitu “apa yang dapat dilihat dengan nyata”. Akar kata dari wayang adalah yang.
akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat pada kata layang –
“terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil ; royong – selalu bergerak dari satu
tempat ke tempat lain; Poyang-payingan “berjalan sempoyongan, tidak tenang”
dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian akar kata yang
beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa dasarnya adalah : tidak stabil,
tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari (Mulyono, 1982:9).
Mulyono (1982 :10) juga menyatakan bahwa bahasa Jawa wayang yang
mengangandung pengertian “berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi
substansi bayang-bayang)”, telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika
ketika awalan wa masih mempunyai fungsi tata bahasa. Oleh karena boneka
wayang yang digunakan dalam pertunjukan berbayangan atau memberi bayang-
10
bayang, maka dinamakan wayang, awayang atau hawayang pada waktu itu berarti
“bergaul dengan wayang, mempertunjukan wayang”. Lambat laun wayang
menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang. Jadi
pengertian wayang akhirnya menyebar luas sehingga berarti “pertunjukan pentas
atau pentas dalam arti umum, sehingga sekarang misalnya orang berbicara tentang
wayang topeng”.
Sagio dan Samsugi (1991 : 4) menjelaskan bahwa pengertian wayang
menurut Pigeaud adalah boneka yang dipertunjukan (wayang itu sendiri);
pertunjukan yang dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang
mengandung pelajaran (wejangan), yaitu wayang purwa atau wayang kulit, yang
diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument slendro).
2.I.3 Asal Usul Wayang
Fungsi semula pertunjukan wayang adalah sebagai upacara religius untuk
pemujaan kepada nenek moyang bagi penganut kepercayaan “Hyang” yang
merupakan kebudayaan Indonesia asli. Kemudian berkembang hingga digunakan
sebagai media komunikasi sosial yang dapat bermanfaat bagi perkembangan
masyarakat pendukungnya (www//Wikipedia.wayang purwa/030410). Untuk
menuju roh nenek moyang ini, selain mewujudkannya dalam bentuk gambar dan
patung, roh nenek moyang yang dipuja disebut “hyang” atau “dahyang”. Orang
bisa berhubungan dengan para Hyang ini untuk meminta pertolongan dan
perlindungan melalui seorang medium yang disebut “syaman”. Ritual inilah yang
merupakan asal mula pertunjukan wayang, yaitu sekitar tahun 1500 SM
(Senawangi, 2009 : 24).
11
Soetarno (2007) menyebutkan ada beberapa pendapa dari beberapa ahli
yang menyatakan mengenai asal kelahiran wayang, yaitu :
1). Wayang berasal dari China
Pendapat ini dikemukakan oleh Goslings, ia mengemukakan bahwa
wayang kulit Jawa itu berasal dari China dengan alasan bahwa kata “Ringgit”
bahasa krama “wayang itu berasal dari China. Pendapat ini didukung oleh Kwee
Kek Beng yang menyatakan kata wayang itu berasal dari bahasa China, yaitu
“Wayaah” bahasa Hokiyahatu “Woying” bahasa Mandarin atau juga “Woyong”
bahasa Kanton.
2). Wayang berasal dari India
Pendapat ini dikemukakan oleh Krom dalam bukunya Gescheidenis van
Nederlands Indie. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa wayang kulit Jawa
menggunakan bahan cerita yang berasal dari india yaitu Mahabarata dan
Ramayana. Selain itu juga didasarkan pada alasan di India juga mempunyai
wayang dengan permainan bayangan yang disebut “Chayanataka”. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Pischel, ia menyatakan bahwa asal mula wayang dari
india berasal dari kata rupapajivane yang terdapat dalam Mahabarata dan kata
Rupparupakam yang terdapat daloam Therigatha.
3). Wayang berasal dari Jawa
Pendapat ini dikemukakan oleh Hazeu, Rassers dan Kruyt. Hazeu
menyatakan bahwa orang Jawa pada zaman dahulu mempunyai kepercayaan
menyembah roh leluhur yang telah meninggal. Sebab menurut kepercayaannya
roh-roh nenek moyang itu dapat menampakan di dunia sebagai bayangan. Oleh
12
karena itu orang Jawa untuk menghormati roh nenek moyangnya dengan cara
membuat lukisan yang menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar
itu dijatuhkan pada kelir atau gedhek/tembok. Sedangkan Rassers berpendapat
bahwa wayang kulit itu berasal dari totemisme yang ada di Jawa pada zaman
dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan prasejarah, yaitu kepercayaan
segolongan manusia pada benda keramat.
Asal mula bentuk wayang kulit (purwa) sekarang dapat ditelusuri dalam
cerita Ramayana di relief candi Panataran ( JawaTimur 1350-1369). Pola tersebut
mas ih dipertahankan pada wayang kulit Bali. Berangkat dari pola dasar di candi
Panataran, bentuk wayang lambat laun berkembang dan mencapai puncak pada
akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 masa Sri Susuhunan Paku Buwono IV dan
Paku Buwono IX di Surakarta atau masa Sri sultan Hamengku buwono V, VI, VII
dan Paku Buwono Alam I, II di Jogjakarta. Di candi Prambanan (Jawa Tengah)
terdapat cerita Ramayana dalam bentuk relief dan pahatan dekoratif. Namun tidak
dapat disimpulkan bahwa pola itu sumber bentuk wayang kulit/purwa yang ada
sekarang (Ismunandar, 1994 : 61).
2.1.4 Bentuk Visual Wayang Kulit Purwa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 277) dijelaskan bahwa
bentuk mempunyai arti, lengkung; lentur; taji; kuku; busur; bangun; gambaran;
rupa; wujud. Sularno (2010) mengemukakan bahwa berbicara mengenai
bentuk/wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih sangat luas pengertiannya,
sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah keseluruhan bentuk wayang
yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuran/proporsi wayang,
13
busana/atribut-atribut yang di kenakan, wanda/karakter wayang, bentuk-bentuk
tatahan, bentuk mata, hidung dan mulut, dan sunggingan/pewarnaan dalam
wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneneliti pada
bagian mata, hidung, mulut, sunggingan/pewarnaan dan busana/atribut panakawan
wayang kulit purwa.
2.1.4.1 Bentuk Mata
Menurut Widodo, bentuk-bentuk mata wayang adalah mata gabahan
tunduk, contoh Arjuna, Puntadewa, Pandudewanata; mata kedelai, contoh
Drupada, Salya, Udawa; mata kedondong, contoh patih Tuhayata, Kartamarma;
mata bulat, contoh Arya Bima, Arya Gatut Kaca; mata penanggalan, contoh
Pandita Durna, Raksasa Cakil; mata kelipan, contoh Semar, Sukrasana,
Kalabendana. Sedangkan menurut Sagio dan Ir. Samsugi (1988:124) bentuk
mata yang merupakan bagian dari muka wayang adalah mata liyepan (gabahan),
kedhelen, thelengan, peten, plelengan, kiyipan, kiyeran (penanggalan), mata wuta,
dan mata kapi.
1). Mata liyepan
Mata liyepan disebut juga mata gabahan, karena bentuk biji mata yang
menyerupai gabah. Terdapat pada wayang kelompok Bambang jangkah, dan
putren. Biasanya diikuti dengan bentuk hidung ambangir dan mulut salitan.
Contoh : Sembada, Irawan, Kresna.
14
2). Mata kedhelen
Bentuk mata ini biji matanya mirip dengan biji kedelai. Terdapat bersama
hidung Sembada dan mulut salitan. contoh prabu Baladewa, Resi Seta, Prabu
Matswapati.
3). Mata thelengan
Mata thelengan memiliki biji mata bundar (mirip lingkaran). Terdapat
bersama-sama hidung dhempok dan mulut salitan misalnya pada Gatutkaca, Bima
Suyudana dan Antareja.
4). Mata peten
Bentuk biji mata peten menyerupai buah petai. Terdapat bersama-sama
hidung dhempok, mulut salitan dan gusen alus, misalnya pada Citraksi.
5). Mata plelengan
Ditinjau dari bentuknya hampir sama dengan mata thelengan. Jika
disungging biji matanya diberi warna emas, putih, merah dan hitam. pada mata
plelengan juga kelihatan bulu mata. Perbedaan lain dengan mata thelengan, pada
mata plelengan terdapat tatahan langgat bubuk mengelilingi bentuk luar mata.
Plelengan disebut juga thelengan. Wayang yang bermata plelengan misalnya
Dasamuka, Dursasana, Indrajit, Burisrawa.
6). Mata kiyipan
Mata kiyipan disebut juga mata kelipan. Biji mata separuh lonjong,
disungging dengan warna emas, putih, merah dan hitam juga kelihatan bulu
matanya. mata kiyipan terdapat bersama-sama mulut gusen atau merenges dan
hidung medhang. Contohnya Narada dan Cakil.
15
8). Mata Wuta
Bentuk mata ini untuk menggambarkan mata buta, tidak tampak biji
matanya misalnya Destarasta.
9). Mata kapi
Mempunyai dua biji mata yang berbentuk bundar. Disungging seperti
mata plelengan. Pada mata kapi terdapat alis yang dipahat. Misalnya Anoman,
Sugriwa dan Subali.
10). Mata Belis
Bentuknya seperti mata plelengan, tapi dua buah. Disungging juga seperti
mata plelengan. Terdapat alis yang ditatah. Biasanya terdapat pada tokoh raksasa.
misalnya Kumbakarna dan Prahastha.
11). Mata Rembesan
Mata ini bentuknya hampir sama dengan mata kelipan. Pada sunggingan di
bawah biji mata diberi warna merah. Terdapat khusus pada tokoh Semar.
12) Mata Keran
Kera (Jawa) sama artinya dengan juling. Mata ini berbiji mata bunder,
dengan sunggingan seperti pada mata plelengan tidak tampak bulu matanya.
Contohnya Nala Gareng.
16
Gambar : 2.6
Jenis-jenis Mata Sumber ; Sagio dan Widodo
2.1.4.2 Bentuk Hidung
Menurut Sagio dan Samsugi (1988 : 120), hidung dalam wayang kulit
adalah ambangir, sembada, dempok, mungkal Gerang, nyantik palwa, bunder
dan nemplik.
1) Hidung ambangir
Hidung ambangir bentuknya kecil dan runcing sehingga dapat
menggambarkan hidung ynag mancung. tokoh dalam wayang yang memiliki
hidung ini biasanya mempunyai ciri bertubuh kecil (kelompok putren), bokongan
(bambangan) dan jangkah (bambang jangkah). Bentuk hidung ini disertai mulut
salitan dan mata liyepan (gagahan). Contoh Krisna, Arjuna, dewi Sinta, Prabu
Rama dan Wisanggeni.
17
2) Hidung sembada
Hidung ini hampir sama bentuknya dengan hidung ambangir, hanya saja
ukurannya pada umumnya lebih besar. Terdapat pada wayang kelompok
Katongan atau sebagian kelompok gagahan. Hidung sembada biasanya diikuti
dengan mata kedelen dan mulut salitan. Contoh Setyaki, Seta, Baladewa dan
Aswatama.
3) Hidung Dhempok
Bentuknuya mirip dengan ujung jari tangan. biasanya disertai dengan mata
berbentuk thelengan dan bermulut salitan. Terdapat pada sebagian kelompok
gagahan. Misalnya pada Gatutkaca, Bima, Dasamuka, Antareja.
4) Hidung mungkal gerang
Bentuk hidung ini hampir sama dengan hidung dhempok. Tetapi ujungnya
sedikit lebih runcing. Disebut mungkal gerang diduga karena bentuknya yang
menyerupai ungkal (batu asah) yang telah gerang (aus). Hidung jenis ini terdapat
bersama-sama dengan mata plelengan dan mulut gusen. contoh Dasamuka,
Indrajit, Burisrawa dan Dursasana.
5) Hidung medang
Bentuk hidung ini seperti ujung pedang dan biasanya mencuat ke atas.
terdapat bersama-sama dengan mulut prengesan atau gusen dan mata
penanggalan. Misalnya pada Cakil dan Narada.
6) Hidung nyantik palwa
Hampir sama dengan bentuk hidung dhempok tapi ukuran pada umumnya
lebih besar. Palwa (Jawa) berarti perahu. Nyantik palwa mungkin karena
18
ujungnya seperti haluan perahu. Bentuk hidung ini terdapat bersama-sama dengan
mulut ngablak, mata belis. Misalnya Kumbakarna, Niwatakawaca dan Prahasta.
7) Hidung bunder
Bentuk hidung ini bunder (mirip dengan lingkaran). Terdapat pada
wayang dalam bentuk dhagelan, misalnya Nala Gareng.
8) Hidung Nemlik
Bentuk hidung nemlik pada umumnya lebih kecil dari pada hidung ynag
lain. Terdapat pada tokoh-tokoh kera. Contoh Anoman dan Togog.
Gambar : 2.7
Jenis-jenis hidung Sumber : Sagio dan Widodo
2.1.4.3 Bentuk Mulut
Menurut Widodo, berbagai wayang dapat dibedakan dari jenis-jenis
mulutnya. Ada wayang halusan yaitu golongan putrid, putran hingga prabu Rama
19
Wijaya dan prabu Basudewa, kesemuanya tidak mempunyai anak gigi di muka
gigi depan. Wayang halusan yang mempunyai anak gigi depan yaitu: untuk yang
bermata kedelai Arya Setyaki sampai Prabu Baladewa dan untuk yang bermata
bulat yaitu Arya Gatutkaca dan sejenisnya. Sedangkan menurut Sagio dan
Samsugi (1988 : 127) seperti halnya dengan mata dan hidung, mulut wayang
banyak ragamnya. Karakter tokoh dalam cerita wayang mempengaruhi bentuk
mulut. Jenis-jenis diantaranya adalah mulut salitan, mulut mingkem, mulut
mesem, mulut gusen, mulut mrenges, mulut anjeber dan mulut ngablak. Berikut
adalah gambar jenis-jenis mulut di atas :
1). Mulut Salitan
Biasanya terdapat pada wayang mempunyai karakter baik, misalnya
Kresna, Gatutkaca dan Lesmana. Sebenarnya salitan merupakan sebutan untuk
lengkungan mulut bagian belakang. Dalam mulut salitan tampak unton-unton
yang menggambarkan gigi. Banyaknya unton-unton tiga buah. Kadang-kadang di
depan unton-unton pertama (paling depan) terdapat seperti unton-unton kecil yang
disebut slilitan. Pada wayang kelompok bambangan dan gagahan yang bermulut
salitan ada yang menggunakan slilitan ada yang tidak.
2) Mulut mingkem
Mingkem (Jawa) artinya tertutup rapat. Hal ini ditandai dengan
bertemunya bibir atas dan bawah. Dalam wayang kulit mulut mingkem terdapat
bersama-sama dengan hidung ambangir. Contohnya pada Begawan abiyasa dan
Sang Hyang Wenang.
20
3). Mulut mesem
Mesem (Jawa) artinya tersenyum. Biasanya terdapat pada wayang
kelompok dhagelan yang digambarkan murah senyum dan bersuasana gembira,
Contohnya pada Petruk dan Gareng.
4) Mulut Gusen
Ciri dan bentuk mulut gusen ialah bahwa gigi dan gusi bagian atas tampak.
unton-unton (gigi) berjumlah tiga buah ditambah dengan sebuah gigi taring yang
letaknya paling belakang. Kadang-kadang ditemukan pula slilitan di depan gigi
terdepan. Bentuk slilitan pada wayang bermulut gusen berbeda dengan yang
bermulut salitan. Biasanya terdapat bersama-sama dengan mata plelengan dan
mulut mungkal gerang. Misalnya Dasamuka, Indrajit dan Pragota. Ditemukan
juga wayang bermulut salitan yang tampak gusi atasnya, dengan unton-unton tiga
buah tanpa taring disebut gusen alus. Mulut gusen alus disertai hidung ambangir
atau dhempok, mata liyepan, atau gabahan, misalnya Citraksi dan Wibisana
(ketika berada di Pancawati pertama kali) dan Bogagenta.
5) Mulut Mrenges
Mulut mrenges tampak sedikit terbuka sehingga gigi dan gusi rahang atas
dan bawah kelihatan jelas. Biasanya terdapat bersama-sama mata plelengan atau
penanggalan. Misalnya Cakil dan Sumali.
6) Mulut anjeber
Mulut anjeber juga terbuka tetapi pada umumnya lebih lebar. Biasanya
terdapat pada wayang kapi (kera) dengan hidung nemlik. Misalnya Anoman,
Anila, Subali dan Sugriwa.
21
7) Mulut ngablak
Mulut ngablak juga terbuka lebar degan gigi-gigi yang pada umumnya
besar. Terdapat bersama-sama mata belis, plelengan dan kliyipan, serta hidung
nyathik palwa.Contohnya Kumbakarna, Prahasta dan Kala Sekipu.
Gambar : 2.8
Jenis-jenis Mulut Sumber : Sagio dan Widodo
2.1.4.4 Busana dan Atribut Wayang
Tokoh-tokoh wayang dapat dikenali dari busana dan atributnya. Para dewa
dan pendeta digambarkan memakai baju berlengan panjang semacam jubah,
sementara dibagian bahu bergantung selendang. Para satria mengenakan kain
yang disebut dodot, bagian dadanya terbuka. Bentuk busana dodot beragam, ada
yang membulat ke belakang ada yang bergelambir menganjur ke bawah. Para
panakawan memakai sarung. Busana dan atribut wayang juga beranekaragam
22
tergantung kedudukan dan perannya dalam pewayangan, sebagai contoh raksasa
kumbakarna di bawah ini :
Keterangan Gambar : 2.9 :
Gambar : 2.10
Busana dan atribut Wayang Sumber : http://wayangku.wordpress.com//120610)
Keterangan Gambar : 01. Jamang Lidi 02. Jamang 03. Mahkota 04. Tali Garuda 05. Utah-utahan 06. Dawala/Tali 07. Sumping 08. Praba 09. Kelatbahu 10. Kelatbahu depan 11. kalung 12. Tali praba 13. Tali Ulur-ulur 14. Sabuk/ Paningset
23
15. Timang Slepe 16. Tali Sabuk 17. Gelang 18. Kampuh/ Dodot 19. Uncal wastra 20. Badong 21. Uncal kencana 22. Celana pendek 23. Celana Panjang 24. Kunca 25. Gelang kaki 2.1.4.5 Sunggingan Wayang Kulit Purwa
Warna adalah kualitas rupa yang dapat membedakan kedua objek identik
raut, ukuran, dan nilai gelap terangnya (Sunaryo, 2002:12 ). Pulasan sendiri juga
sering disebut dengan kata sunggingan. Untuk mewarnai wayang diperlukan
beberapa tahap pulasan (polesan).
Sistem percampuran dan perpaduan warna dapat dijumpai pada pewarnaan
wayang kulit. Dalam menyungging wayang, orang Jawa sangat berpedoman pada
sistem warna Jawa. Menyungging wayang sudah menggunakan warna putih untuk
menciptakan nada warna. Perpaduan monokromatik dan analogus dapat dijumpai
pada teknik sunggingan wayang. Tentu saja pewarnaan wayang bagi orang Jawa
tidak sembarang, melainkan berpedoman pada kaidah-kaidah pewarnaan wayang
yang meliputi aspek estetis dan simbolis. Hal ini dilakukan karena orang Jawa
sangat menjunjung tradisi dan nilai-nilai kebudayaan, terutama dalam
melestarikan wayang yang menjadi pedoman kehidupan orang Jawa.
Menurut Hermawati, dkk (2006 :72-82), ada beberapa tahapan dalam
proses menyungging wayang, yakni :
Tahap pertama adalah persiapan bermacam-macam cat. Dalam tahapan ini adalah
membuat bahan pewarna/cat. Untuk membuat bahan pewarna/cat, diperlukan
bahan baku warna dan bahan perekat. Bahan baku warna merupakan bahan dasar
24
cat pokok, biasanya terbuat dari ; putih dari tulang dibakar, kuning dari atal batu,
yaitu atal utuh yang belum menjadi serbuk, nila dibuat dari nila werdi, yakni
untuk kain batik, hitam dibuat dari hoyan, pewarna hitam dibuat dari langes,
kukus lampu, merah dari gincu merah.
Bahan-bahan tersebut masing-masing dicampur dengan bahan perekat dari
ancur/arabic gom/lem arab yang masih berupa lempengan.
Tahap kedua, proses pewarnaan. Sebelum proses mewarna, hal utama
yang harus dilakukan yakni, menggosok wayang kulit yang hendak disungging
dengan kertas amplas atau gelas sampai halus untuk menghilangkan sisa-sisa
bekas tatahan, agar mudah disungging dan cat-catnya melekat dengan baik.
Adapun urut-urutan menyungging wayang kulit, yakni :
Andasari, proses ini adalah memberi warna putih atau kuning pada seluruh
bagian wayang kulit, secara rata dan tipis. Nyengo atau menghitamkan, yakni
memberi warna hitam pada seluruh bagian-bagian wayang yang seharusnya
berwarna hitam misalnya, bagian kepala, suluhan(bagian mata), muka, gelung,
bodolan, gimbalan, semua jenis seritan(rambut), harus sampai pada bagian dalam
agar tidak belang seperti uban. Angrodo, pengenaan perada (warna keemas-
emasan), yang perlu diperada adalah perlengkapan pakaian, misalnya : perhiasan-
perhiasan, jamang, kawatan, uncal kencana, dan sebagainya.
Amepesi, yakni meskipun cara pemberian perekat ancur/lem arab sesuai
dengan tempat dan bentuknya, sesuai pula perada yang ditempelkan, namun masih
ada sisa-sisa perada yang dibersihkan. Proses amepesi ini bermaksud agar jelas
batas-batas garis cat yang satu dengan yang lainnya, sehingga tampak rapi.
25
Angjambon, memberi warna merah muda, pengecatan jambon dilakukan
setelah amepesi. Bagian-bagian yang dicat jambon adalah : jamang, garuda, kelat
bau, ujung-ujung mas-masan, yang serba sembuliyan, warna-warna harus
berselang-seling, jangan sampai warna-warna yang berdekatan hampir sama
(tumbuk).
Menguningkan, proses ini ialah memberi warna kuning, misal pada
jamang, sumping, patran (daun), dawala (tali jamang), kalung, dan sebagainya.
Cat kuning tidak hanya untuk hijau saja, sebagian juga untuk sinar kapuranta
(merah kekuning-kuningan). Mijenen, memberi warna hijau muda, dalam proses
warna hijau muda ini digunakan untuk membuat kuning menjadi lebih tua yang
hendak dijadikan sinar hijau. Memberi warna biru muda atau mengapurantakan,
proses ini memberi warna biru muda, kemudian mewarnai kapuranta (merah
kekuning-kuningan). Proses ini dalam hal menyungging wayang disebut ngenem-
enemi. Warna biru atau kapuranta digunakan pada : muka garuda, dawala, lung
(garis-garis melengkung) untuk praba. Nyawi, proses ini adalah membuat coretan-
coretan tipis pada perlengkapan pakaian wayang yang berlukiskan wastra agar
terlihat penuh dan rumit. Selain nyawi, ada proses drenjemi yakni memberi titik-
titik lembut pada bagian yang tidak patut disawi.
Angraupi, berasal dari kata raup yang berarti muka, angraupi berarti
mencat muka. Warna muka merah, hitam dan sebagainya. Menggembleng, yakni
mengenakan perada pada tubuh wayang. Sebelum diperada harus dicat dulu
dengan warna kuning, agar ketika perada pecah tidak nampak mencolok.
26
Angulat-ulati, berasal dari kata ulat yang berarti air muka. Angulat-ulati,
memberikan perwatakan pada wajah wayang, misalnya membuat alis,
mempertegas biji mata, membuat godek, memperjelas bibir dan gigi wayang
sesuai dengan karakter masing -masing tokoh wayang yang di pulas. Seorang
tukang pulas dituntut juga menguasai karakter wayang yang disunggingnya,
sehingga tidak lari dari karakter yang sebenarnya. Angulat-ulati berarti memberi
lukisan air muka. Misal, ketika melukiskan pusat mata hendaklah tidak ditengah-
tengah sekali, tetapi agak maju sedikit.
Angedus, proses memandikan wayang, agar warna semakin mengkilat dan
tahan lama. Demikianlah beberapa tahapan dalam menyungging wayang.
Menghidupkan air mukanya, itulah pekerjaan terakhir dan menghasilkan wayang
paripurna, setelah pemasangan gapit dan penyambungan tangan.
2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa
Pada awal pemerintahan Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati
menambahkan wayang Garuda dan Gajah untuk pelengkap pertunjukan. Saat ini
pula lah rambut mulai ditatah halus. Wayang inilah yang sekarang dikenal sebagai
wayang gagrak/gaya Mataraman. Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Wayang
kembali diperbesar. Dengan mulai menggunakan istilah wanda pada wayang-
wayang tertentu. Setelah jaman pemerintahan Sultan Agung, tepatnya zaman
pemerintahan Amangkurat Tegal Arum, pakem pedalangan kemudian pecah
menjadi dua. Yaitu Gaya Kanoman oleh Nyi Anjang Mas dengan penggunaan
sepatu, jubah, dan keris pada wayang dewa dan pendeta yang beroprasi di wilayah
timur (www.gagrak Wayang//030410).
27
Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya
pedalangan ini menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah
Belanda. Bagong dianggap sebagai orang yang lancang mulut dan sering
mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa. Pada pemerintahan Pakubuono III
pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini adalah
masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat
dengan diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain
itu wayang gaya Surakarta juga diperamping sehingga memudahkan dalang dalam
melakukan sabet atau olah wayang.
Pada masa pemerintahan Pakubuono IV, terjadi perselisihan antara
golongan tua dan muda. Golongan tua yang dikepalai oleh Pangeran Mangkubumi
menyatakan perselisihannya terhadap Pakubuono IV yang mau bekerjasama dan
mengakui kedaulan pemerintahan Belanda atas kerajaan Mataram. Akibat dari
perjanjian Giyanti, Mataram di pecah menjadi dua yaitu Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi
lalu menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai golongan tua, kemudian
Mangkubumi mengembangkan wayang gaya Mataraman sedangkan Pakubuono
IV mengembangkan wayang gaya Surakarta atau sekarang lebih tenar dengan
nama wayang gaya Solo. Lebih lanjut, Kasunanan Surakarta yang kemudian
pecah lagi menjadi Kasunanan Solo dan Mangkunegaran. Oleh Mangkunegara I,
wayang gaya Solo lalu di perbesar. Pada wayang gaya Yogyakarta pun lalu terjadi
perubahan dengan adanya gaya baru yaitu wayang Paku Alaman yang masih
28
mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya
menggunakan keris (www.gagrak wayang kulit purwa.pdf//030410).
Berbicara masalah gagrak dalam konsep wayang disebut dengan gaya
dalam seni selalu terkait dengan istilah aliran seni. Gaya atau corak, langgam
maupun style ( still ) sebenarnya berurusan dengan bentuk luar sesuatu karya seni.
Sebenarnya, yang dimaksud gaya wayang kulit purwa disini yaitu : Suatu
terminology dalam dunia seni yang memberi keterangan ragam tentang adanya
corak tertentu, sehingga masing-masing ragam dapat dilihat dan dibedakan
dengan jelas. Gaya ini tidak hanya terbatas pada perwujudan wayangnya saja
seperti ukuran wayang, jenis tatahan dan sunggingannya, namun juga meliputi
pementasannya yakni tari, suluk, dan iringannya ( Sagio dan Ir. Samsugi:13 ).
Berdasarkan berbagai sumber (www.gagrak wayang wayang kulit
purwa//030410); Sularno (2010), www/wapedia/mobi/id/Banyumas/260610) ada
berbagai macam gagrak wayang kulit yaitu gagrak/gaya Surakarta, Yoyakarta,
Jawa Timuran, Banyumasan, Cirebonan dan lain-lain semuanya memiliki
perbedaan dan memiliki ciri yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan lebih
banyak membahas mengenai wayang gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta
dan Pesisiran.
Secara khusus penelitian ini mengkaji mengenai keanekaragaman
panakawan dilihat dari segi perbentukan visualnya. Dalam penelitian ini lebih
mengutamakan pada panakawan wayang kulit purwa Semar, Gareng, Petruk,
Bagong. Berbicara mengenai wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih
sangat luas pengertiannya, sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah
29
keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti
ukuran/proporsi wayang, busana/atribut-atribut yang dikenakan, wanda/karakter
wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, bentuk-bentuk hidung, bentuk mulut
dan sunggingan/pewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi
hanya akan meneliti pada bagian mata, hidung, mulut, busana/atribut-atribut dan
sunggingan/pewarnaan saja
2.3 Tokoh Panakawan
Kata panakawan menurut pedalangan berasal dari kata pana yang artinya
cerdik, jelas, terang sekali atau cermat dalam pengamatan dan kawan yang berarti
teman. Jadi panakawan berati teman atau pamong yang sangat (pana) cerdik
sekali, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan luas dan pengamatan yang
tajam dan cermat (secara tegasnya panakawan adalah pamong/orang kepercayaan
yang dapat tanggap ing sasmita dan limpad pasang ing grahita). Jadi
sesungguhnya panakawan bukan sebagai pelayan melainkan “abdi” (Mulyono,
1989:68).
Panakawan secara lahiriah adalah sebagai simbol atau suatu pola struktur
dari “pembantu pimpinan” yang sangat ideal. Artinya bahwa panakawan itu
adalah “abdi” (bukan pelayan). Ajudan itu hendaknya memiliki watak
“wicaksana”, dapat dipercaya, jujur, panjang nalar dan rileks/tenang serta berani
menghadapi segala keadaan dan persoalan, baik yang rumit maupun pelik
(Mulyono, 1989:68).
Menurut Hermawati (2006:27) kata panakawan berarti teman yang
multifungsi, yang mumpuni, yang bukan saja mengawani tetapi juga
30
mengarahkan, menghibur, memberi semangat dan motivasi. Hampir pada jenis
wayang memiliki panakawan, namun yang paling terkenal adalah para panakawan
pada wayang purwa yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Tokoh
panakawan menggambarkan rakyat biasa yang mengabdi pada tuannya. Semar,
Gareng, Petruk dan Bagong mengabdi pada para satria yang baik budi. Sedangkan
panakawan yang mengabdi pada para raja atau satria yang dipihak jahat terdapat
Togog dan Sarawita atau Bilung. Dalam wayang terdapat pula abdi wanita, yang
paling dikenal ialah Limbuk dan Cangik. Limbuk berbadan gemuk sedangkan
Cangik berbadan kecil dan Kurus. Para abdi atau panakawan umumnya sebagai
penghibur tuannya, tetapi tidak jarang pula mereka juga berperan sebagai
penasehat.
Dalam wayang Jawa karakter panakawan terdiri atas Semar, Gareng,
Bagong, dan Petruk. Panakawan adalah para pembantu dan pengasuh setia
Pandawa. Dalam wayang kulit, panakawan ini paling sering muncul dalam gara-
gara, yaitu babak pertujukan yang seringkali berisi lelucon maupun wejangan.
2.3.1 Berbagai Versi Panakawan Wayang Kulit Purwa di Jawa
2.3.1.1 Semar
2.3.1.1.1 Tokoh Semar dalam Cerita Pewayangan
Dari segi etimologi, Joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat
bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti
suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga
Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono, 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau
bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki
31
rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah
disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula. Ia merupakan
pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam
bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono,
1978 : 119).
Semar adalah salah satu nama panakawan dalam kisah pewayangan yang
menjadi pengasuh dari Pandawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Nama
lain Semar adalah Badranaya, Naya Antaka, Janggan Asmarasanta, Boga Sampir,
Ismaya, Duda Nanang Nunung. Mekipun ia berwujud manusia jelek, ia memiliki
kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para dewa. Domisili Semar adalah
padepokan Karang Kadempel. Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh
panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini
dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan
kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak
ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa
Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa (Setyani,
2008).
Menurut Widyawati (2009 : 711) munculnya Semar di bumi ketika jaman
raden Kaniyasa atau Resi Kanumanasa, pandhita yang ada di Saptarga. Pada
waktu itu, di sana ada orang cebol yang sedang berlari karena dikejar dua ekor
macan yang akan memangsanya, orang tersebut bernama Smarasanta, lalu
ditolong oleh sang resi. Macan diruwat dengan senjata lalu berubah menjadi dua,
yang tua bernama Dewi Kanastren jadi jodoh Smarasanta, sedangkan yang muda
32
bernama Dewi Retnawati, jadi istri Sang Resi Kanumayasa. Semarasanta lalu
nyantrik pada sang resi dan dipanggil Janggan Semarasanta. Sang Janggan
Semarasanta itu lalu jadi pamong keturunan sang Resi Kanumayasa, hanya sampai
para Pandawa Raden Harjuna. Sedangkan kalau ada putra Raden Janakandan
diikuti oleh Semar itu hanya silihan saja sebagai teman supaya bisa meramaikan
pakeliran. Semar berbadan hitam, warnanya hitam berarti tetap tidak berubah
(langgeng), menjadi ratu di jagad Sunyaruri, yaitu di alam sunyi. Kalau
memperlihatkan diri dibumi hanya jadi tuwanggana, yaitu pamong keturunan
Sang Manik Maya.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot,
Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar
hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki
seorang anak bernama Besut. Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan
pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya
sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang
Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna
seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang
satunya adalah Semar (http//www.Semar//090810).
2.3.1.1.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Semar
Menurut Usman (2010 : 34) Semar memiliki bentuk fisik yang sangat
unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang
bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk
lainnya. Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Wajahnya tua tapi
33
potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ia berkelamin laki-laki,
tapi memiliki payudara seperti perempuan. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup
sebagai rakyat jelata.
Menurut Siswoharsoyo (1953 : 68) seperti yang dikutip Widyawati (2009 :
710) Semar itu dewa yang berbadan manusia, berbentuk Semamar
membingungkan, laki-laki bukan, wanita pun bukan, cebol, badannya hitam
gemuk, bulat, tidak muda tidak tua,dikepalanya ada kuncung jadi kelihatan seperti
bocah, makanya dia punya ciri sebentar-sebentar menangis, senang menangis,
susah juga menangis karena selamanyatidak tahu senang dan tidak tahu susah.
Bentuk tokoh Semar itu sendiri sering digambarkan dengan perawakan
cebol, kepala kecil berambuk pendek / cepak warna hitam, berkuncung rambut
putih, mata berair, hidung kecil, bibir tipis, gigi satu, wajah berbedak putih,
memakai anting-anting (bentuk) lombok, pantat besar bundar, memakai jarik
poleng (motif kotak-kotak) dengan empat warna : merah kuning putih hitam.
Nama lain Semar, Ki Bogajati, Ki Margaewuh, Badra Naya, Naya Antaka,
Janggan Asmara Santa, Duda Nanang Nunung, Ismaya, Boga Sampir. Tempat
tinggalnya bernama Karang Kabolotan. Selain itu juga perbentukan tokoh Semar
lainnya adalah Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya ke atas
dan tangan kirinya ke belakang (www.wikipedia//semar/090810). Berikut adalah
contoh bentuk tokoh Semar :
34
a) b)
c) d)
Gambar : 2.1 a). Semar gaya Surakarta, b) Semar gaya Yogyakarta, c). Semar gaya Jawa
Timuran, d). Semar gaya Cirebon (Sumber : http//www.Semar//090810
2.3.1.2 Gareng
2.3.1.2.1 Tokoh Gareng dalam Cerita Pewayangan
Gareng adalah nama dari salah satu panakawan dalam kisah pewayangan
yang berkembang di Jawa Tengah. Menurut Mulyono (1989 : 67) Nala Gareng
mempunyai bentuk tubuh yang semua cacat. Selanjutnya Mulyono mengatakan
Gareng adalah panakawan yang berkaki pincang, hal ini merupakan sebuah
sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak.
Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini
35
adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik
orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Selain itu Gareng berhidung besar dan matanya julig. Gareng mengkhususkan
dirinya pada permainan kata-kata insinuasi yang lihai ketimbang dalam dagelan
yang kasar.
Menurut Widyawati (2009 : 221) Gareng adalah seorang satria tampan
yang bernama Bambang Sukadadi dari padepokan Bluluktiba. Setelah selesai
bertapa, ia kemudian bertemu dengan Bambang Pecrupanyukilan dari padepokan
Kembang Sore yang tak lain adalah Petruk. Mereka saling mengadu kekuatan
serta kesaktiannya. Dalam perkelahian tersebut mereka dilerai oleh bathara
Ismaya dan setelah diberikan nasihat-nasihat mereka berubah rupa dan wujudnya.
Kemudian kedua satria tersebut deberi nama Gareng untuk Bambang Sukadadi
dan Petruk untuk Bambang Pecrupanyukilan. Kedua insan tersebut akhirnya
menjadi pengikut Batara Ismaya yang berwujud Semar dan diakui sebagai anak-
anaknya sendiri.
Waluyo (tt:30) menyebutkan Gareng sangat sakti namun sombong,
sehingga selalu menantang duel setiap satriya yang ditemuinya. Suatu hari, saat
baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satriya lain bernama
Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi.
Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah
mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian
melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa
yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia
36
(Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Dikarenakan kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi
dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya)
itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua
kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur
(Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat
menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
2.3.1.2.1 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Gareng
Gareng adalah Si Kerdil yang bertubuh cacat, dengan lengan yang
bengkok dan terputus-putus, kakinya gejig/bubulen (Mulyono, 1989:67).
Perawakannya pendek dan kecil, kepalanya gundul memakai kucir, matanya
juling, mulutnya kecil, hidungnya besar dan bulat seperti bola pingpong,
tangannya bengkok (ceko), kakinya pincang karena penyakit "bubulen" aura
wajahnya gelap, berkalung gobog (koin dari negara Cina), sarungnya slobok yaitu
bercorak kotak-kotak dengan garis-garis diagonal dari sudut-sudutnya,
mempunyai senjata sabit (clurit, beberapa orang / pakar menyebutnya kudi).
Gareng juga berkaki pincang, tangan yang ciker atau patah, tumit kanannya
terkena semacam penyakit bubul. Selain itu Gareng berhidung besar dan matanya
julig. Berikut adalah beberapa contoh bentuk tokoh Gareng :
37
(a) (b)
(c) (d)
Gambar : 2.2 a). Gareng Gaya Surakarta, b). Gareng Gaya Yogyakarta, c) Gareng Gaya
Cirebon, d). Gareng Gaya Jawa Timur (Sumber : http/www.Gareng.co.id//090810)
Gareng juga mempunyai banyak versi seperti halnya Semar, dia juga
terdapat dalam berbagai gagrak, yaitu gagrak Betawi, Cirebon, Kedu,
Banyumasan, Yogyakarta, Surakarta, Jawa Timuran dan sebagainya. Gareng
digambarkan sebagai figur yang tubuhnya cacat, mulai dari kepala, tangan hingga
kakinya. Hampir semua gagrak menggambarkan Gareng semacam itu. Hanya saja
postur tubuhnya yang berbeda.
38
2.3.1.3 Petruk
2.3.1.3.1 Tokoh Petruk dalam Cerita Pewayangan
Petruk adalah nama dari salah satu panakawan dalam kisah pewayangan
yang berkembang di Jawa Tengah. Menurut pedalangan, Petruk adalah anak
pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan
Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar
bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi.
Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya.
Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Bambang Pecrupanyukilan berniat mengadu kesaktiannya, kemudian di
tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba
yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena
mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi
sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-
menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud
aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta
(Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan
nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada
Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa
tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama. Akibat perubahan wujud
tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Petruk Panyukilan
menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng (Ki Waluyo : tt :
40).
39
Menurut Widyawati (2009 : 221) Petruk adalah seorang satria tampan
bernama Bambang Pecrupanyukilan dari padepokan kembang sore. Setelah
menyelesaikan tapanya, ia ingin menguji kesaktiannya. Ditengah jalan ia bertemu
dengan Bambang Sukadadi dari padepokan Bluluktiba, karena sama-sama ingin
membuktikan kekuatan dan kesaktiannya, mereka pun berkelahi, tidak ada yang
menang tidak ada yang kalah, hingga mereka dipisahkan oleh Batara Ismaya yaitu
Semar. Keduanya menjadi pengikut Semar dan dianggap sebagai ank kandung
sendiri oleh Semar. Bambang Pecrupanyukilan diberi nama Petruk sedangkan
bambang Sukadadi diberi nama Gareng.
Menurut Usman (2010:42) Petruk dan panakawan yang lain (Semar,
Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu
keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah
satu sama lain. Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang
bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari
bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan
Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan
Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri
kepada Semar dan Bagong. Di sinilah saat mulai adanya panakawan yang terdiri
dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nama ”parepat/prepat”.
Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la,
artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga,
mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena
Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok
40
yang tidak bisa diduga. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki
Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh
(gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau
resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong
Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas,
hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada
yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel
(http/www.Petruk.org.com//24/0910).
2.3.1.3.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Petruk
Menurut Usman (2010 : 42) Petruk terkemuka karena tubuhnya yang
kurus, mulutnya yang sangat besar dan banyak makan, serta hidungnya yang
sangat panjang dan melit. tubuhnya panjang dengan tangan yang panjang dan juga
hidung tubuh yang panjang.
Petruk terdiri dari beberapa wanda, di antaranya yang banyak dikenal
adalah Petruk wanda Jamblang dan Petruk wanda Jlegong. Selanjutnya dalam
sumber tersebut dijelaskan, ciri Petruk wanda Jamblang adalah sebagai berikut :
adegipun ndegeg (dalam sikap berdiri dadanya maju ke depan ), bahu padeg,
jangga ageng (lehernya besar), praupan ndangah (wajah menengadah ), praean
wiyar (muka lebar), Badan ketingal kendor (badan terlihat bongsor dan longgar).
Sedangkan ciri Petruk wanda Jlegong adalah adegipun agrong (perawakannya
besar/bongsor), bahu ngajeng andhap (bahu depan rendah), jangga celak dan
ageng (leher pendek dan besar), praean wiyar (muka lebar), jaja ageng, badan
41
ketingal kera (kurus), awak-awakan limrahipun cemeng (badan warna hitam) (
http://www.wikipedia//com).
(a) (b)
(c)
Gambar : 2.3 a). Petruk Gaya Surakart, b). Petruk Gaya Yogyakarta, c) Petruk Ratu Cirebon
(Sumber : www.wayang petruk//230410)
2.3.1.4 Bagong
2.3.1.4.1 Tokoh Bagong dalam Cerita Pewayangan
Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh panakawan dalam kisah
pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut
Widyawati (2009 : 43) Bagong terjadi dari bayangan Bathara Ismaya ketika
diperintahkan oleh sang rama Sanghyang Tunggal untuk jadi pengurus Resi
42
Kanumanasa sampai Sang Arjuna. Lalu ia diberi teman yang diciptakan dari
bayangan Sang Ismaya. Bayangan tersebut lalu berbentuk wujud bulat, gemuk,
matanya lebar, mulutnya juga lebar, bibirnya menggantung memakai Gombak.
Bisa menjadi wujud seperti itu adalah kehendak Ywang Kang Murbeng Pasthi,
sebagai teman Batara Manik Maya (Batara Guru). Bagong itu artinya Gombak,
ketika jaman dahulu, setiap bocah banyak yang digombak supaya awet muda
seperti bocah kecil. Begitu arti diadakannya wayang Bagong, asalnya dari kata
Bagong atau Gombak.
Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para
dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung
meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya
sebagai pemimpin Kesultanan Mataram (http//www.bagong.org//24/09/10).
Selanjutnya dalam sumber tersebut dijelaskan raja baru ini sangat berbeda dengan
ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama
dengan pihak VOC-Belanda. Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun
terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-
Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi
perpecahan.
Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai
Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang
sebaliknya. Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering
dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini,
golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai
43
Panjang Mas tetap mempertahankannya. Namun, pada zaman kemerdekaan
Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun
kembali menampilkan empat orang panakawan dalam setiap pementasan mereka.
Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya
hanya muncul dalam gara-gara saja.
2.3.1.4.2 Aneka Bentuk Tokoh Wayang Bagong
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, tokoh Wayang Bagong dilukiskan
dalam beberapa wanda. Di antara wanda Bagong adalah: Wanda Gembor dengan
bibir lebih lebar dan terbuka. Dibandingkan dengan wanda lainnya, Bagong
wanda Gembor merupakan wanda yang paling tua dan paling besar ukurannya.
Hampir sebesar Semar. Sikap tubuhnya agak membungkuk dan kepalanya agak
menunduk. Wanda Gilut, yakni yang bibir bawahnya lebih tebal. Tubuh Bagong
wanda Gilut agak pendek, tetapi kepalanya mendongak dan dadanya membusung.
Ciri lainnya, Bagong pada wanda Gilut ini mengenakan keris berwarangka
sandang walikat. Wanda Ngengkel, sikap tubuhnya lebih tegak dan kepalanya
agak mendongak. Yang terakhir, disebut Wanda Blungkang, yang gundul
rambutnya, dan bibir bawahnya panjang. Pada tahun 1987 Ir. Haryono
Haryoguritno, seorang pakar seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta,
menciptakan wanda baru bagi Bagong, yakni Bagong wanda Blo'on. Wanda baru
itu diciptakan sebagai pasemon terhadap keadaan zaman, saat generasi muda yang
kurang peduli pada keadaan di sekitarnya (http//www.bagong.org//24/09/10).
44
( a) (b)
(c)
Gambar : 2.4
a). Raja Gaya Surakarta b). Bagong Gaya Kyai Inten Yogyakarta c). Gambar Grafis Wayang Kulit Purwa Gagrak Cirebon
(Sumber : http;//4.bp.blogspot.com)
45
BAB III
METODE PENELITIAN
3.I Pendekatan Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan metode ilmiah.
Metode adalah suatu cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan ( Koentjaraningrat,1987 : 14). Dalam penelitian
ini supaya tujuan yang diharapkan tercapai maka harus ditetapkan metode
penelitian yang tepat.
Sesuai dengan pokok permasalah yang dikaji, penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, yang mempunyai sifat deskriptif. Artinya permasalahan
yang dibahas dalam penelitian tidak berkenaan dengan angka-angka, tetapi
bertujuan menggambarkan atau menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan keadaan atau status fenomena (Moleong, 1994: 103).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu pendekatan dalam suatu penelitian yang tidak menggunakan
perhitungan angka-angka melainkan menggunakan rangkaian kalimat-kalimat.
Penelitian ini mengkaji mengenai keanekaragaman panakawan wayang kulit
purwa dari berbagai versi yang terdiri atas serangkaian subsistem/komponen yang
memiliki keterkaitan hubungan fungsional sebagai suatu sistem. Sehingga untuk
mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis keterkaitan itu maka penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
46
3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian
Penelitian ini mengambil objek wayang panakawan di museum-museum
dan koleksi perorangan meliputi museum Sono Bodoyo dan museum wayang
Kekayon Yogyakarta, Museun Radya Pustaka Surakarta dan koleksi pribadi
dalang di daerah Jepara yaitu bapak Sudiharjo.
Sasaran penelitian ini adalah panakawan wayang kulit purwa dari
berbagai versi, Satuan-satuan masalah yang dikaji adalah keanekaragaman
panakawan wayang kulit purwa ditinjau dari berbagai versi. Fokus kajian tertuju
pada upaya untuk mengidentifikasi, memahami, dan menjelaskan secara kualitatif
terhadap masalah-masalah tersebut. Untuk memperoleh data empiris penulis
mengambil sampel panakawan wayang kulit purwa dari museum Radya pustaka
Surakarta, museum Sono Budoyo dan museum Wayang Kekayon Yogyakarta,
dan koleksi pribadi dalang di daerah Jepara yaitu bapak Sudiharjo.
3.3 Sumber Data
Sumber data yang ada dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data
dapat diperoleh. Untuk mempermudah mengidentifikasi sumber data, Suharsimi
(2006:129) mengklasifikasikannya menjadi tiga tingkatan huruf p dari bahasa
Inggris yaitu :
1. person, sumber data berupa orang. Maksudnya sumber data yang bisa
memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis
melalui angket,
2. place, sumber data berupa tempat. Maksudnya sumber data yang
menyajikan tampilan berupa keadaan diam (misalnya ruangan, wujud benda,
47
warna) dan bergerak (misalnya aktivitas, kinerja, laju kendaraan, nyannyian, gerak
tari, dan lain-lain), dan
3. paper, sumber data berupa simbol. Maksudnya sumber data yang
menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, atau simbol-simbol lain.
Sumber data dalam penelitian ini tergolong sumber data person, place and
paper. Dikatakan person karena data dapat diperoleh dari pemilik wayang
panakawan dan Staf bagian koleksi dan konservasi museum Radya Pustaka
Surakarta, museum Sono Budoyo dan museum Wayang Kekayon Yogyakarta
melalui observasi sedangkan dikatakan place karena sumber datanya berupa
wujud benda yang diambil dari suatu tempat. Sumber datanya adalah wayang
panakawan koleksi museum dan milik pribadi. Sedangkan dikatakan paper karena
dalam penelitian ini juga menggunakan data yang berupa gambar dari buku-buku
dan juga internet. Museum yang digunakan dalam penelitian ini adalah museum
Radyapustaka Surakarta, museum Sono Budoyo, museum wayang kekayon
Yogjakarta dan koleksi perorangan bapak Sudiharjo.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang
lebih banyak menampilkan uraian kata-kata dari pada angka. Oleh karena itu
teknik yang digunakan dalam usaha memperoleh data di lapangan ialah :
3.4.I Observasi
Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data
tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat
rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh
48
sebelumnya. Arikunto (1996:145) menyatakan bahwa teknik observasi dalam
pengertian psikologi meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek
dengan menggunakan seluruh alat indera.
Teknik observasi dilakukan di lapangan dengan penelitian pengamatan
langsung terhadap segala hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara cermat mengenai keanekaragaman
panakawan dilihat dari segi perbentukan visualnya. Dalam penelitian ini lebih
mengutamakan pada keanekaragaman panakawan wayang kulit purwa, meliputi
perbentukan tokoh, busana/atribut dan pewarnaan/sunggingan. Teknik observasi
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan observasi langsung, yaitu peneliti
terjun langsung ke tempat penelitian dengan menggunakan alat bantu tulis dan
kamera untuk membantu peneliti mendokumentasikan wayang panakawan.
3.4.2 Wawancara
Teknik wawancara merupakan teknik utama yang lebih banyak digunakan
untuk mencari data lapangan. Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap
muka dengan maksud tertentu. Dalam penelitian kualitatif, wawancara merupakan
teknik utama dalam pengumpulan data karena dengan wawancara akan dapat
memperoleh data selain yang diketahui dan dialami oleh subjek juga yang
tersembunyi, yang melatarbelakangi perilaku subjek (Ismiyanto, 2003:MP/X/8).
Dalam penelitian ini, informan yang digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai keanekaragaman bentuk panakawan, dan faktor-faktor
pendukung seperti aspek sosial, agamis, filosofis, dan politik adalah para dalang
Jawa dan pecinta wayang kulit purwa.
49
3.4.3 Dokumentasi
Dokumentasi atau studi dokumenter merupakan teknik pengumpulan data
penelitian melalui dan dengan menggunakan dokumen-dokumen atau peninggalan
(sudah ada penelitian sebelum dilakukan) yang relevan dengan masalah penelitian
(Ismiyanto, 2003:MP/X/9).
Melalui teknik dokumentasi dapat disimpulkan beberapa dokumen, data-
data dan gambaran yang berkaitan dengan permasalahan yang diungkap seperti
pengumpulan data dengan melihat catatan-catatan penting yang ada hubungannya
dengan penelitian yang akan dilakukan yakni mengenai panakawan wayang kulit
purwa.
Lebih lanjut penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data yang
dibutuhkan untuk penelitian meliputi data-data berupa dokumen tertulis, foto-foto
dan gambar yang ada hubungannya dengan objek penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses penyusunan data, pengolahan data dan
interaksi data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi.
Analisis data dilakukan melalui dua prosedur yaitu analisis selama pengumpulan
data dan analisis setelah proses pengumpulan data (Miles dan Huberman 1984 dan
Syamsudin 2006 : 111). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan secara deskriptif kualitatif. Miles dan Huberman (1992:16-20)
menyebutkan tiga unsur dalam proses analisis penelitian kualitatif yaitu : reduksi
data, penyajian data, dan verifikasi.
50
3.5.I Reduksi data
Proses reduksi data meliputi pemilihan, penyederhanaan data-data kasar
yang diperoleh dari lapangan. Kemudian diseleksi, diringkas dan dikelompokkan
dalam satuan-satuan pokok pikiran. Dalam proses reduksi, data-data yang tidak
perlu maupun yang tidak berkenaan dengan masalah penelitian dapat disingkirkan
dan kemudian diganti dan ditambah dengan data-data yang sesuai.
3.5.2 Penyajian Data
Setelah direduksi tahap berikutnya adalah penyajian data, sebagaimana
halnya dengan proses reduksi data. Penciptaan dan penggunaan data tidaklah
terpisah dari analisis. suatu penyajian sekumpulan informasi yang tersusun akan
memberikan kemungkinan adanya penarikan sebuah kesimpulan. Dalam
penyajian ini akan disajikan data secara lengkap, baik data yang diperoleh melalui
observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian dianalisis antara kategori dan
permasalahan yang ada, guna mendapatkan hasil penyajian yang rapi dan
sistematis sehingga data yang terkumpul tersusun dengan baik.
3.5.3 Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan tahap atau langkah paling akhir dalam
proses analisis data. Proses ini berkaitan dengan penarikan kembali selama
penulisan terhadap hal-hal yang melintas dalam pikiran baik pendapat, cerita
tertentu yang dikategorikan dan ditelaah secara seksama untuk memperoleh
kesimpulan.
Dari ketiga hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi sebagai sesuatu yang
51
saling berhubungan dan jalin-menjalin antara satu dengan yang lain baik pada saat
sebelum, selama, dan setelah pengumpulan data.
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umun Latar Penelitian
4.1.1 Tokoh Panakawan dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa di Jawa
Dalam masyarakat Jawa, wayang adalah sebuah wujud karakteristik dari
kepribadian luhur Jawa. Seperti dalam cerita-cerita maupun karakter tokoh-
tokohnya mengindikasikan pandangan hidup masyarakat Jawa. Selain bahwa
cerita wayang adalah pandangan hidup orang Jawa, masyarakat Jawa juga percaya
bahwa wayang adalah ritual tradisi yang tidak bisa ditinggalkan, seperti contoh
jika mempunyai anak onthang-anthing, atau anak satu-satunya harus diruwat
dengan mengadakan pagelaran wayang semalam suntuk dan dengan syarat-syarat
lainnya jika anak tersebut menikah (Usman 2010:94).
Menurut Sudiharjo, informan peneliti, pertunjukan wayang kulit terbagi
menjadi tiga babak, dan selanjutnya dibagi menjadi adegan-adegan. Dalam babak
pertama, adegan pembukaan yang khas yang bertempat di balairung suatu istana
raja, dalam adegan ini terjadinya krisis dilaporkan. Adegan kedua dalam babak
pertama menggambarkan istana musuh. Adegan-adegan dalam babak kedua ini
meliputi perang tanding, pertemuan pahlawan dengan orang bijak dan selingan
berupa dagelan atau hadirnya tokoh panakawan. Dalam babak kedua inilah
penonton menantikan hadirnya tokoh panakawan yang merupakan tokoh yang
disenangi dan banyak dikenal pecinta wayang kulit Jawa. Babak kedua saat
adegan gara-gara muncul menjadi perhatian para penikmat wayang kulit Jawa
53
karena dalam adegan gara-gara muncul tokoh panakawan, khususnya panakawan
Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Keempat tokoh panakawan inilah yang menjadi
fokus dalam penelitian ini. Babak ketiga mempertunjukan adegan perang atau
pertempuran terakhir.
Berbicara mengenai panakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong, tentu erat
kaitannya dengan adegan gara-gara dalam pementasan wayang. Panakawan
tersebut lazimnya muncul saat adegan gara-gara. Gara-gara merupakan suguhan
yang segar, sedap dan santai, Namun selalu sarat dengan pesan moral dan petuah-
petuah yang adiluhur. Adapun ucapan dalam adegan gara-gara yang biasa
diucapkan dalang dari Jepara Ki Mutoyo, informan peneliti, adalah sebagai
berikut :
“Eka bumi, dwi sawah, tri gunung, catur samodra, panca taru, sad panggonan, sapta pandita, hasta tawang, nawa langit, dasa ratu”. Artosipun inggih punika : Eka (siji) bumi-lemah kang ingederan ing samodro; dwi(lara) Sawah-lemah kang tinanduran ing pari lan palawija sarta tethukulan kanggo kebutuhane kawula ing madyapada; Tri (telu) gunung-gunung iku minangka dadi pakukuhane jagad saisine, catur (papat) samodra-banyu kang ngideri jagad; panca (lima) taru-gegodhodongan minangka pepaesane bumi lan bisa dadi sebab kesuburane bumi; sad (enem) panggonan-pasabane jalma manungsa sarta sato kewan lan gegremetan lan sapanunggalane; sapto(pitu) manungsa pinandhita kang wus katarima tapane mungguhuing Gusti kang akarya jagad lan bisa dadi pangayomane sapada titah madya pada ing babagan kautaman; hasta(wolu) tawang-langit minangka pralampita yen manungsa saknyatane suwung yen tan purun angudi kawruh kautaman; nawa (songo) langit-jroning urip ora keno darbe laku adigang-adigung-adiguna, jalaran senajan langit sinawang langit wis katon dhuwur nanging sayektine sak dhuwure iseh ana langit maneh; dasa (sepuluh) ratu, sayektine ratu kuwi minangka mustikane jalma manungsa. (Eka (satu) bumi tanah yang dikelilingi oleh samudra; dwi (dua) sawah-tanah yang ditanami dengan padi dan palawija serta tumbuhan untuk kebutuhan manusia di dunia; tri (tiga) gunung- gunung itu sebagai paku dunia beserta isinya; catur (empat) samudra
54
air yang mengelilingi bumi; panca (lima) dedaunan sebagai perhiasan bumi dan bisa menjadi sebab kesuburan bumi; sad (enam) tempat tinggal manusia serta hewan dan serangga dan lain sebagainya; sapta (tujuh) manusia yang sudah sempurna ilmu dan ibadahnya, sehingga mampu menjadi panutan bagi sesama manusia; hasta (delapan) langit sebagai perlambang bahwa manusia sejatinya kosong jika tidak mau mencari ilmu; nawa (sembilan) langit – dalam hidup orang tidak boleh serakah, sombong, dan merasa paling kuat karna di atas langit masih ada langit; dasa (sepuluh) ratu sejatinya ratu itu sebagai mutiara diantara manusia).
Selajutnya Ki Mutoyo menjelaskan, disebut gara-gara karena di dalam
gara-gara itu sebagai pembuka perjalanan hidup manusia di dunia untuk
berhubungan di antara sesama manusia dan juga Yang Maha Pencipta. Akhirnya
jika sudah dapat melakukan perintah dengan benar dan tepat langsung dapat
kajumbuhan manunggale kawula kelawan Gusti. Selanjutnya setelah gara-gara
selesai ada seberkas sinar cerah memancarkan teja sebesar lidi, namun mampu
menyinari dunia seisinya karena seberkas sinar cerah yang memancarkan teja itu
muncul perilaku baik dan buruk, benar dan salah, terang dan gelap dan
sebagainya. Siapa sesungguhnya cahaya yang bersinar itu, sesungguhnya wujud
dari sinar itu tidak lain adalah Husna : Semar ya Badranaya sebagai pamonge
tumuwuhe trah Wita Radya, dene Husamane pitutur utama (wedhatama).
Panakawan dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh
keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh
utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan
Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh
keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam
setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan
(Sumukti, 2005:21).
55
Panakawan terdiri dari dua faksi, dalam kisah Mahabarata yaitu
panakawan faksi benar dan panakawan faksi salah. Panakawan faksi benar, sering
disebut panakawan kanan, karena membela pihak yang dianggap benar seperti
para Pandawa adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Dalam kisah Ramayana
panakawan Semar, Gareng Petruk Bagong sering diceritakan mengikuti Sri Rama.
Sedangkan panakawan pihak salah atau sering disebut pihak kiri, karena dianggap
membela pihak yang salah adalah Togog dan Bilung. Selain itu ada juga
panakawan perempuan yang pada umumnya melayani Sumbadra atau beberapa
putri lainnya di keraton, yaitu Limbuk dan Cangik (Usman : 40).
Mengingat panakawan terdiri dari beberapa golongan, maka pada
penelitian ini hanya dibatasi pada panakawan golongan baik atau benar yang
mengabdi pada Pandhawa dan pihak-pihak yang dianggap benar, yaitu Semar,
Gareng, Petruk dan Bagong saja.
4.1.2 Tokoh Panakawan Koleksi Beberapa Museum dan Dalang Ki
Sudiharjo
4.1.2.1 Koleksi Wayang Museum Radya Pustaka Surakarta
Museum Radya Pustaka Surakarta (selanjutnya ditulis museum RPS)
didirikan oleh Patih Karaton Surakarta : Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat
IV pada tanggal 28 Oktober 1890, semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakoe
Boewono IX memegang tampuk pimpinan, hingga penghujung tahun 1990 sudah
genap berusia satu abad. Dalam bangunan ini banyak menyimpan riwayat R.T.H.
Djojohadiningrat II yang nama kecilnya Walidi, yang memprakarsai pendirian
sebuah perkumpulan Paheman Radya Pustaka dengan museumnya. Namun
56
realisasinya terwujud pada hari Selasa Kliwon tanggal 15 Maulud Ehe 1820
bertepatan tanggal 28 Oktober 1890 (www.visit-solo.com, id.wikipedia.org).
Gambar : 4. 1
Museum Radya Pustaka Surakarta (Sumber : Dokumentasi pribadi)
Proses pemindahan museum ini dari Dalem Kepatihan ke Gedung
Kadipolo pada tanggal 1 Januari 1913. Gedung ini digunakan untuk museum dan
Sriwedari digunakan untuk Kebon Rojo. Hal tersebut dimulai ketika gedung yang
kosong tersebut diminta oleh pengurus Paheman kepada Sri Susuhunan untuk
kepentingan Radya Pustaka. Dalam aktivitasnya museum ini menyelenggarakan
sarasehan yang terdiri dari unsur utusan Karaton Kesunanan Surakarta,
Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, Pura Paku Alaman serta sejumlah
hadirin, yang kemudian melahirkan ejaan Sriwedari,yaitu suatu kesepakatan
dalam cara penulisan huruf Jawa dan menjadi keputusan Pemerintah pada tanggal
29 Desember 1922. Radya Pustaka kemudian mendirikan Panitibasa pada 25
Syawal Be 1820 atau 15 November 1941 dengan pimpinan G.B.H. Kusumayuda
57
dan menerbitkan Candrawati dan Nitibasa. Pemerintah membeli Candrawati untuk
dibagi-bagikan ke sekolah-sekolah secara gratis. Juga dimulai peng-Indonesia-an
buku-buku yang bertuliskan huruf Jawa (www.visit-solo.com, id.wikipedia.org).
Berdasarkan pengamatan peneliti ketika observasi di museum Radya
Pustaka ini, begitu masuk dengan membayar biaya Rp. 5000 per orang, di teras
gedung kita akan menemukan koleksi arca dan meriam serta beberapa batu
peringatan ulang tahun museum ini. Ada 3 ruang utama pada gedung ini. Di ruang
pertama kita akan menemukan patung Sosrodiningrat IV sang pendiri museum
tepat berada di depan pintu masuk. Di ruang utama ini kita akan menemukan
berbagai macam koleksi wayang. Ada wayang gedhog, wayang purwo, wayang
krucil, wayang golek, topeng, dan koleksi senjata. Koleksi panakawan yang
dipajang adalah koleksi panakawan yang masih mengikuti gaya Kasepuhan oleh
Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini menghilangkan Bagong karena mendapat
larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai orang yang lancang
mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa. Sehingga panakawan
yang ada hanya tiga, yaitu Semar, Gareng dan Petruk. Kondisi wayang panakawan
sebagian cat warna yang ada sudah mulai mengelupas, terutama pada tubuh
Petruk, tetapi sebagian masih lumayan baik.
Menurut pendapat peneliti, pengelola museum kurang telaten dalam
merawat koleksi wayang yang ada, khususnya koleksi panakawan yang di pajang.
Karena ketika peneliti melihat koleksi panakawan yang ada, posisi panakawan
Petruk terjatuh kesamping, sehingga terhalang figura dan tidak begitu terlihat. Hal
ini menyulitkan peneliti untuk mendokumentasikan panakawan tersebut. Ketika
58
peneliti meminta kepada siswa yang magang sebagai pemandu di museum
tersebut untuk membenarkan posisi Petruk, mereka tidak dapat membukanya
karena tidak memegang kuncinya. Namun ketika peneliti datang untuk kedua
kalinya, posisi Petruk sudah di tegakkan ke posisi yang benar.
Koleksi panakawan berada di ruang pertama pintu masuk sebelah kanan
menghadap ke pintu masuk. Panakawan dipajang dalam pigura kaca berbentuk
persegi panjang dengan background berwarna putih dan merah. Pigura yang
digunakan terbuat dari kayu berwarna coklat tua. Panakawan ini terdapat pada
adegan bersama Bambang Wijanarko (putera Raden Harjuna). Panakawan yang
terdapat pada museum ini mempunyai warna tubuh hitam dengan warna wajah
yang berbeda-beda, dengan aksesoris berupa kalung, gelang, anting dan cincin.
Pada Petruk dan Gareng mempunyai senjata.
Gambar : 4.2 Wayang Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta
(Sumber : www.Cahandong.org.com)
59
Gambar : 4.3 Panakawan Gaya Surakarrta Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar : 4.4 Semar Gaya Surakarta Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
60
Gambar : 4.5
Gareng Gaya Surakarta Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar : 4.6
Petruk Gaya Surakarta Koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta Sumber : Dokumentasi Pribadi
61
4.1.2.2 Koleksi Wayang Museum Sono Budoyo Yogyakarta
Gambar : 4.7 Museum Sono Budoyo Yogyakarta
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Museum Sono Budoyo (selanjutnya ditulis museum SBY) terletak di
sebelah utara alun-alun Utara Kraton Yogyakarta, memiliki koleksi budaya
terlengkap setelah museum pusat Jakarta. Bangunan dengan arsitketur jawa ini
dibangun tahun 1935 sebuah gapura yang bentuk arsiteknya menyerupai gapura
pada Masjid Kudus menghubungkan pendopo dengan bangunan joglo induk, yang
keseluruhannya merupakan arsitektur bangunan yang indah. Di dalamnya
memamerkan barang-barang tembikar dari zaman Neolitikum, arca-arca dan
benda-benda perunggu dari abad VIII sampai abad X yang merupakan
kelengkapan dari candi-candi di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah
(http//:www.museum sono budoyo/040710).
Pada tahun 1919 di Surakarta berdiri Yayasan Java Institut yang bergerak
dibidang kebuayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini dipimpin oleh
62
Prof. Dr.D.A. Husein Jayadiningrat dibantu oleh Koperberg (sekretaris), Ir.
Karsten (perencana bangunan museum), Stutterheim (arkeolog), P.H.W. Sitson
dan K.P. Bosch (ahli museum dan penasehat museum pemerintah). Dalam
kongres yang dilaksanakan pada tahun 1924, Java Instituut memutuskan akan
mendirikan sebuah museum di Yogyakarta. Realisasi berikutnya dari keputusan
kongres Java Instituut, adalah pembentukan sebuah panitia kecil pada thun 1931
dengan tugas mempersiapkan berdirinya sebuah museum. Panitia dipimpin Ir. Th.
Karsten, P.H.W. Sitsen, dan S. Koperberg. Pada Tahun 1934 panitia kecil diberi
wewenang untuk menentukan lokasi serta corak arsitektur bangunan museum.
Tanah dan bangunan Schouten hadiah dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
dimanfaatkan utnuk mendirikan museum ini. Kemudian dibangunlah pendapa
dengan sengkalan "Buta Ngrasa Esthining Lata" yang artinya tahun 1865 Jawa
atau tahun 1934 M. Peresmian pembukaan Museum Sonobudoyo ini dilakukan
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada hari Rabu Wage, 9 Ruwan 1866
Jawa dengan ditandai candrasengkala " kayu Winayang ing Brahmana Budha"
yang berarti tahun 1866 Jawa atau tanggal 6 November 1935 Masehi
(http//:www.museum sono budoyo/040710).
Bangunan museum berupa rumah joglo dengan model masjid keraton
kasepuhan Cirebon, luas bangunan 7.867 m2. Bangunan ini terdiri : ruang
pameran, pendapa kecil, pendapa besar, gandok kiri dan kanan, gudang,
laboratorium, ruang konsevasi, perpustakaan, audotorium, dan perkantoran.
63
Gambar : 4.8
Wayang Wahyu Koleksi Museum Sono Budoyo (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Berdasarkan pengamatan peneliti ketika melakukan observasi di museum
Sono Budoyo Yogyakarta, di Ruang Wayang yang terletak di belakang ruang
utama, tersimpan koleksi aneka wayang sebagai berikut: Wayang kulit gaya
Yogyakarta, sumber ceritanya berasal dari Kitab Mahabarata dan Ramayana,
Wayang Suluh, yang menceritakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia,
Wayang kulit Gedhog, bersumber dari cerita Panji, Wayang Diponegoro, karya
RM Kuswadji KS dari Yogyakarta, dibuat pada tahun 1985, dengan cerita Babad
Diponegoro, Wayang Wahyu, hasil karya Bapak Sutadi BS dari Surakarta.
Mengambil cerita dari kitab perjanjian lama dan perjanjian baru (kelahiran Yesus,
dll), Wayang Kancil, yang bercerita tentang hewan-hewan (fabel). Dibuat oleh
Babah Bo Liem pada tahun 1925, wayang Sadat karya Bapak Suryadi BA yang
beralamat di Trucuk, Klaten, dibuat tahun 1992; bercerita tentang Babad Demak
dan Babad Tanah Jawi, Wayang Cina; bercerita tentang Babad Cina, Kapiten
Liem Kie Tjwan tahun 1850, simpingan wayang kulit Purwa, yang terdiri dari:
64
144 wayang, sebuah kelir atau layar, lampu blencong dan gedebog pisang (untuk
menancapkan wayang), wayang kulit Purwa gaya Bali, wayang Golek Purwa dari
Pasundan Jawa Barat, yang mengambil cerita dari kitab Mahabarata dan
Ramayana, wayang Klithik, diciptakan oleh Paku Buwono II, dengan cerita
bersumber dari Serat Damarwulan, wayang Dupara, wayang Golek Menak dari
Tegal, Jawa Tengah dengan sumber cerita Serat Menak, wayang Golek Menak
dari Krawang, Jawa Barat. Jenis Panakawan yang dimiliki adalah panakawan gaya
Yogyakarta, koleksi ini berada di bagian khusus koleksi-koleksi wayang lainnya.
Berdasarkan pengamatan peneliti, koleksi panakawan yang dimiliki
museum ini dipajang dalam figura kaca berbentuk persegi panjang dikemas
seperti pada saat pagelaran wayang kulit lengkap dengan kelir, lampu blencong,
dan panakawan ditancapkan pada gedebog pisang imitasi. Panakawan di
posisikan di tengah-tengah kelir, sedangkan pada kiri dan kanannya terdapat
gunungan dan beberapa wayang yang dijejer (lihat gambar : 4.27). Bagian koleksi
panakawan ini terdapat pada ruang di belakang ruang utama.
Panakawan koleksi museum Sono Budoyo ini masih terlihat baik. Hal ini
terlihat dari warna cat yang masih jelas dan tidak ada yang mengelupas. Selain itu,
lampu blencong yang ada selalu dihidupkan pada jam kunjung, sehingga dapat
menerangi bagian koleksi panakawan. Meskipun pada ruang pamer khusus
wayang ini lebih gelap dari ruang-ruang pamer yang berada di depan.
65
Gambar : 4.9
Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum Sono Budoyo (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar : 4.10
Gareng Gaya Yogyakarta Koleksi Museum Sono Budoyo (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
66
Gambar : 4.11
Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum Sono Budoyo (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar : 4.12
Bagong Gaya Yogyakarta Koleksi Museum Sono Budoyo (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
67
Gambar : 4.13
Panakawan Gaya Yogyakarta Koleksi Museum Sono Budoyo (Sumber : Dokumentasi Pribadi
4.1.2.3 Koleksi Wayang Museum Wayang Kekayon Yogyakarta
Gambar : 4.14
Museum Wayang Kekayon Yogyakarta (Sumber : Dokumentasi pribadi)
Museum Wayang Kekayon (selanjutnya ditulis museum WKY) adalah
museum mengenai wayang yang ada di kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Raya
Yogya-Wonosari Km. 7, kurang lebih 1 km dari Ring Road Timur. Kompleks
68
bangunan seluas 1,1 ha dibuat sesuai dengan arsitektur Jawa tradisional dan
didominasi oleh bentuk Joglo. Kompleks Museum terdiri atas 1 (satu) ruang
auditorium dengan fasilitas audio visual digunakan untuk penjelasan awal bagi
pengunjung serta sepuluh unit bangunan museum. Ada ruang lebih besar bernama
Pendopo, digunakan untuk menampung kegiatan-kegiatan sosial seperti
pernikahan, pameran seni, rapat dan kinerja bayangan wayang.Museum yang
didirikan pada tahun 1990 ini memiliki koleksi berbagai wayang dan topeng serta
menampilkan sejarah wayang yang diperkenalkan mulai dari abad ke-6 sampai
abad ke-20. Wayang-wayang di dalam museum ini terbuat baik dari kulit, kayu,
kain, maupun kertas (Sumber : http/museum wayang kekayon.com)
Gambar : 4.15
Salah Satu Ruang Pamer Museum Wayang Kekayon (Sumber : http/museum wayang kekayon.com)
Berdasarkan pengamatan peneliti secara langsung di museum Wayang
Kekayon ini, terdapat koleksi beberapa jenis wayang, seperti: Wayang Purwa,
Wayang Madya (menceritakan era pasca perang Baratayuda), Wayang Thengul,
Wayang Klithik (mengisahkan Damarwulan dan Minakjinggo), Wayang Beber,
69
Wayang Gedhog (cerita Dewi Candrakirana), Wayang Suluh (mengenai sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia), dan lain lain. Berkaitan dengan wayang
purwa, museum ini memiliki beberapa poster yang menggambarkan strategi
perang yang dipakai dalam perang Baratayuda antara keluarga Pandawa dan
Kurawa, yaitu: strategi Sapit Urang dan strategi Gajah.
Di dalam gedung pameran wayang unit 7, terdapat koleksi Wayang Jawa,
Wayang Tutur, Wayang Transparant gaya Surakarta, Wayang Diponegaran,
Wayang Golek Purwo, Wayang Golek Cepak, Wayang Golek Sunda Mini,
Wayang Sunda, Wayang Sejati (Wisnuwardhana), Wayang Wong Dewi Trijata.
Koleksi wayang di museum ini adalah 100 personifikasi dari Kurawa, musuh
Pandawa, dan Wayang Golek berusia 250th yang berasal dari Jepara. Ada juga
boneka dengan kostum secara rinci mewakili karakter dari kinerja Ramayana
Ballet, seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan lain-lain.
Menurut pengamatan peneliti, Museum Wayang Kekayon memiliki
koleksi wayang yang cukup banyak dari seluruh kawasan Nusantara dan
mancanegara yang terdapat di dalam sepuluh unit bangunan museum yang terdiri
atas : Wayang Purwa gaya Yogyakarta termasuk di dalamnya adalah tokoh
panakawan, khusus tokoh panakawan gaya Yogyakarta berada ditempat paling
belakang, wayang Purwa gaya Surakarta, Wayang Madya dan Gedhog, Wayang
Klithik, Krucil, dan Beber, Wayang Madura, Dupara, Kartasuran, Kidang
Kencana, Wayang Bali, Suluh, Golek Menak, Golek Tengul, dan lain-lain,
Wayang Jawa, Tutur, Diponegaran, Golek Cepak, Sejati, dan lain-lain, Aneka
Topeng, Yogya, Bali & aneka kesenian tradisional, Wayang Kontemporer,
70
Wayang Thailand, Amerika, India, Wayang satu abad khusus Kraton, dan lain-
lain. Koleksi masterpiece adalah wayang kulit seratus kurawa dan koleksi yang
unik lainnya adalah hubungan zodiak/ bintang anda dengan tokoh wayang.
Berdasarkan pengamatan peneliti, koleksi panakawan yang dimiliki
museum WKY ini lebih dari satu versi panakawan. Panakawan yang ada pada
museum ini panakawan gaya Yogyakarta, panakawan gaya Surakarta dan
panakawan madya Surakarta. Panakawan terdapat pada ruang pamer unit 2 dan
ruang pamer paling belakang. Pada ruang pamer unit 2 terdapat panakawan dalam
berbagai adegan,ada panakawan yang terlihat unik dan berbeda dari panakawan
lainnya, yaitu Panakawan Madya Surakarta yang terdiri dari Semar, Gareng,
Petruk dan Bagong ini mempunyai warna tubuh biru, tidak seperti warna yang
biasanya digunakan sebagai warna tubuh seperti warna coklat, perada atau hitam.
Hal ini yang membuat Panakawan gaya ini unik dan menarik. Panakawan ini
memakai sarung berwarna dasar hitam dan ornament berwarna kuning, pada
sarung Semar terdapat ornament kawung, Sarung Petruk, Gareng dan Bagong
terdapat ornamen tumpal, (lihat gambar : 4.30).
Selain Panakawan Madya Surakarta, pada ruang pamer unit 2 juga terdapat
panakawan dalam adegan di Pancawati yang menghadirkan Prabu Rama, Raden
Lesmana, Patih Sugriwo, Raden Anggada, Raden Anila, Raden Senggana dan
juga panakawan Gareng dan Petruk (lihat gambar : 32 dan 33). Pada adegan
Senggana Duta tersebut, panakawan Gareng dan Petruk bertubuh tegak dengan
warna coklat kekuningan pada tubuh dan memakai sarung berwarna dasar coklat
tua dengan ornament berbentuk segitiga berwarna coklat muda. Masih diruang
71
pamer unit 2, terdapat panakawan Limbuk dan Cangik gaya Surakarta dalam
adegan Jejeran Negara astina.
Pada ruang pamer terakhir, yaitu berada di bagian paling belakang
museum ini terdapat koleksi panakawan gaya Yogyakarta yang dikemas satu-satu
dalam figura kaca berbentuk persegi panjang yang diposisikan secara vertikal,
berwarna biru dan background berwarna hijau. Pada pemasangannya, dimulai dari
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Berikut gambar-gambar panakawan koleksi
museum Wayang Kekayon :
Gambar : 4.16 Wayang Madya Surakarta
Sumber : Dokumentasi Pribadi
72
Gambar : 4.17
Wayang Purwa Gaya Surakarta Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar : 4.18 Panakawan era Ramayana Adegan di Pancawati
Sumber : Dokumentasi Pribadi
73
Gambar : 4.19
Panakawan Era Ramayana Adegan di Pancawati Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar : 4.20
Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum Wayang Kekayon Sumber : Dokumentasi Pribadi
74
Gambar : 4.21
Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta Sumber : Dokumentasi pribadi
Gambar : 4.22
Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta Sumber : Dokumentasi Pribadi
75
Gambar : 4.23
Bagong Gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta Sumber : Dokumentasi Pribadi
4.1.2.4 Koleksi Wayang dalang Ki Sudiharjo Jepara
Ki Sudiharjo tinggal di desa Kelet, kecamatan Keling, kabupaten Jepara.
Desa Kelet terletak di daerah perbatasan antara Jepara dan Pati. Kelet adalah
daerah pesisir pantai Utara. Ada sekitar 40 RT dan 5 Rw yang ada di Desa Kelet.
Sekitar 65% warga desa Kelet bermatapencarian sebagai pedagang, 15% sebagai
petani, 10% sebagai wirausaha dan tukang, sedangkan 10% sebagai PNS.
meskipun berbeda-beda status dan matapencaharian warga desa Kelat tetap hidup
rukun berdampingan.
Secara keseluruhan penduduk desa Kelet beragama Islam, sekitar 15%
beragama Kristen. Tempat untuk masing-masing penduduk berbeda agama ini
tidak digabungkan dalam satu komplek melainkan untuk penduduk beragama
Kristen bermukim di Persil, yaitu tempat yang bersebelahan dengan pemukiman
penduduk beragama Islam, tetapi masih satu desa yaitu desa kelet.
76
Penduduk desa Kelet sangat agamis dan penuh rasa solidaritas terhadap
umat beragama. Hal ini terlihat dari kebanyakan anak-anak bersekolah di sekolah
Islami seperti MI, MTs, dan Madrasah Aliyah. Tetapi masih ada yang bersekolah
di Sekolah Dasar Negeri yang kebanyakan siswa dan guru-gurunya beragama non
Islam. Dalam bertetangga, penduduk desa Kelet masih menjunjung tinggi gotong
royong dan kekeluargaan. Namun seperti kehidupan di pedesaan lainnya warga
masyarakat di desa Kelet belum bisa sepenuhnya menerima berubahan-perubahan
yang dibawa dari perkotaan, seperti gaya-gaya remaja yang nyentrik dan gaul
dalam istilah sekarang ini. Warga masyarakat desa Kelet masih mengangap tabu
tentang pacaran. Sehingga jika anak gadisnya atau anak laki-lakinya sudah
mengenal lawan jenis, mereka segera menikahkannya. Oleh karena itu
kebanyakan remaja di desa Kelet menikah di usia kurang dari 20th. Kesadaran
akan pentingnya menempuh pendidikan tinggipun sangat kurang. Pemuda-
pemuda di desa Kelet bekerja di luar kota, seperti Jakarta, Kalimantan dan
menjadi TKW atau TKI ke luar negeri.
Ki Sudiharjo (67th) terakhir mendalang pada tahun 1976. Ia memperoleh
nafkah sehari-hari dengan menyewakan wayang kulit purwa. Saat ini Ki Sudiharjo
tidak lagi bekerja sebagai seorang dalang maupun pekerjaan lainnya. Ia menikmati
masa tuanya bersama keluarganya di desa Kelet. Menurut Ki Sudiharjo, jenis
wayang kulit yang dimilikinya adalah wayang kulit gaya Pesisiran. Ia
memesannya dari perajin di daerah Solo. Meskipun ia adalah seorang dalang, kini
ia tidak lagi menerima tanggapan dikarenakan usia yang sudah tua. Ki Sudiharjo
sudah tidak jelas dalam berbicara dan penglihatannya sudah sangat berkurang.
77
Kini ia mewariskan kepiawaiannya dalam mendalang kepada beberapa muridnya
yang juga merupakan dalang yang sering mendapat tanggapan di desa Kelet dan
sekitarnya.
Koleksi wayang yang dimiliki Ki Sudiharjo ada satu kotak yang terdiri
lebih dari 147 buah wayang. Ia juga memiliki koleksi wayang Arjuna dan Bima
gaya Yogyakarta dan beberapa wanda. Koleksi Ki Sudiharjo diantaranya adalah
panakawan dari pihak pandawa yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong dan
panakawan pihak kurawa yaitu, Togog dan Mbilung. Ada juga tokoh lain seperti
Limbuk, Cangik, buta dan dewa.
Menurut Ki Sudiharjo panakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong
yang dimiliki adalah panakawan gaya Pesisiran, ia memesan wayang koleksinya
dari Solo sekitar taun 60-an. Ki Sudiharjo hanya mempunyai satu jenis panakawan
saja, yaitu gaya Pesisiran yang disimpan dalam kotak bersama dengan koleksi
wayang lainnya. Hal ini dikarenakan Ki Sudiharjo sudah tidak mendalang lagi,
sehingga koleksi wayang yang dimiliki hanya dijadikan satu dalam kotak. Sekitar
satu tahun sekali wayang-wayang tersebut dikeluarkan dari kotak dan dibersihkan
agar awet, karena wayang koleksi Ki Sudiharjo sering di sewa setiap ada
pagelaran wayang di desa Kelet, Mojo dan sekitarnya. Namun dikarenakan usia
dan kurangnya perawatan, panakawan yang dimiliki sudah tidak terlalu bagus
lagi, banyak cat yang sudah mengelupas. Berikut panakawan koleksi Sudiharjo
Jepara :
78
Gambar : 4.24
Panakawan koleksi Sudiharjo Jepara Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar : 4.25
Semar gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar : 4.26
Gareng gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara Sumber : Dokumentasi Pribadi
79
Gambar : 4.27
Petruk gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara Sumber : dokumentasi Pribadi
Gambar : 4. 28
Bagong gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara (Sumber : dokumentasi pribadi)
80
4.2 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Wayang Kulit Purwa
4.2.1 Perbentukan Tokoh
4.2.1.1 Semar
Berikut ini adalah keanekaragaman panakawan Semar yang dikaji oleh
peneliti, meliputi Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo,
Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo, Semar Madya Surakarta
dan Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan
Semar gaya pesisiran koleksi Ki Sudiharjo Jepara yang meliputi bentuk tubuh,
mata, hidung dan mulut.
Perbentukan tokoh Semar gaya Surakarta koleksi Museum Radya Pustaka
Surakarta adalah tubuh tegak, pendek, bokong besar. Hidung pesek, mulut lebar
dan terbuka dengan satu gigi di rahang bagian bawah, telinga lebar, memakai
anting berwarna kuning, memakai sumping berupa bunga berwarna biru dan
putih, memakai gelang tangan berwarna kuning, badan tegak agak kurus, pada
buah dadanya terdapat dua lekukan/garis di bagian bawah dan atas, kedua kaki
sejajar, wajah lebar dengan garis-garis lengkung di sudut hidung dan dahi dan
wajah mendongak ke atas, lekukan pada dagunya terdiri dari empat lekukan/garis,
memaki kain bang bintulu yang terdiri dari empat warna, yaitu merah, putih, biru
dan kuning, memakai uncal, memakai sabuk yang terdiri dari dua tingkatan,
tingkatan pertama terdiri dari lima sunggingan yaitu merah, kuning, putih, biru
keputih-putihan,dan biru dan tingkatan kedua berwarna merah dengan ornament
berupa belah ketupat dan titik-titik/garis berbentuk silang, kelima jari tangan
kanan terbuka (lihat Gambar : 4.4).
81
Bentuk mata Semar adalah rembesan dengan garis sudut mata yang
melengkung ke atas. Terdapat pula lingkaran mata berupa garis lengkung yang
mengelilingi mata. Alis mata tebal dan pendek. Mata terdiri dari tiga tingkatan,
bagian terluar yaitu kornea mata yang berbentuk setengah lingkaran berwarna
kuning, pupil atau bola mata yang berbentuk setengah lingkaran berwarna merah
dan dan lingkaran hitam di tengah-tengah bola mata (Gambar : 4.30). Hal ini
memberi kesan bahwa Semar sedang melirik ke atas. Keseluruhan dari bentuk
mata terdapat outline berwarna merah. Bentuk mata Semar tersebut memberi
kesan sayu dan tenang pada wajah Semar.
Bentuk hidung Semar besar dan lebih ke dalam, pada sudut hidung
terdapat dua garis lengkung sejajar yang membelah antara mata dan mulut
(Gambar : 4.31). Adanya garis tersebut memberikan kesan dinamis pada wajah
Semar. Garis-garis pada wajah Semar membuat wajah Semar terlihat tua. Pada
hidung Semar gaya Surakarta ini pipi bagian belakang kelihatan, ini karena wajah
Semar mengahadap ¼ bagian. Hal ini memberi kesan Semar semakain terlihat
gemuk.
Bentuk mulut Semar pada rahang bagian bawah lebih panjang dari rahang
bagian atas, mulut agak terbuka dan terdapat satu gigi di rahang bawah,
mempunyai kumis-kumisan, pada sudut bibir terdapat garis lengkung berbentuk
ulir (Gambar : 4.32). Mulut Semar tersenyum dan cabik. Pada dagu terdapat tiga
lekukan/garis. Outline tidak begitu tegas, hanya berupa garis yang sangat tipis.
Bentuk mulut Semar ini membuat wajah Semar terlihat ceria seperti kanak-kanak.
82
Tubuh Semar gaya Surakarta ini tegap dan wajah mendongak ke atas. Raut
wajah Semar terlihat tua namun ekspresinya terkesan kekanak-kanakan. Pada
bahu kanan lebih keatas hingga sejajar dengan telinga, hal ini juga memberi kesan
tegap pada tubuh Semar. Ukuran telingapun lebih besar dan lebar. Secara
keseluruhan, Semar gaya Surakarta Koleksi Museum Radya Pustaka Solo ini
terkesan tegas dan lebih ramping, seperti halnya tokoh-tokoh wayang kulit gaya
Surakarta yang ramping sehingga memudahkan dalang untuk memainkannya.
Menurut pendapat penulis, figur Semar gagak Surakarta koleksi museum
Radya Pustaka Solo memiliki kesan sedikit lebih tegas karena posisi badannya
yang tegak, dan memiliki genggaman tudingan yang menunjuk dengan jari
telunjuk yang berkesan kasar.
Gambar : 4.29 Bentuk tubuh Semar RPS
Gambar oleh Penulis
83
Gambar : 4.30
Bentuk Mata Semar gaya Surakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.31 Bentuk Hidung Semar gaya Surakarta Koleksi Museum RPS
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.32 Bentuk Mulut Semar gaya Surakarta Koleksi Museum RPS
Gambar oleh Penulis
Selanjutnya adalah panakawan gaya Yogyakarta koleksi museum SBY.
Perbentukan Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY tampak tubuh lebih
tegak dan pendek, rambut berwarna hitam, jambul putih, warna tubuh hitam,
memakai jarik poleng (motif kotak-kotak) berwarna putih dengan garis-garis
84
berwarna hitam, tangan bagian kiri kedepan, jari telunjuk menunjuk ke bawah,
tangan bagian belakang diatas bokong, jari-jari menghadap ke depan, tubuh tegak,
wajah menengadah, mulut terbuka dengan satu gigi di bagian bawah, memakai
anting cabe merah, memakai gelang tangan berwarna merah putih (lihat Gambar :
4.33).
Pada Semar gaya Yogyakarta ini warna tubuhnya sama dengan Semar
gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo yaitu badan berwarna hitam
dan wajah putih. Meskipun sama-sama Semar gaya Yogyakarta, tetapi Semar
gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo ini tidak sama dengan Semar
gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon. Pada pewarnaan saja sudah
jauh berbeda, pada Semar koleksi museum Sono Budoyo ini menggunakan warna
hitam dan putih pada tubuh dan wajahnya, sedangkan Semar koleksi museum
wayang kekayon menggunakan warna perada pada tubuh dan wajahnya. Semar
gaya Yogyakarta ini, pada dagunya terdapat dua garis/lekukan, hal ini sama
dengan Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon. Pada dahinya
juga tidak ada garis-garis kerutan seperti ketiga gagrak lainnya. Ukuran tubuhnya
pun berbeda, Semar gaya ini lebih kecil daripada Semar koleksi Wayang
Kekayon. Persamaan yang ada pada keduanya adalah pada tangan kiri jari
telunjuk menunjuk, sedang jari tangan lainnya menggenggam.
Bentuk mata pada Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo
ini juga sangat berbeda dengan ketiga gagrak sebelumnya, Semar gaya ini
mempunyai bentuk mata yang berupa garis dengan bola mata berbentuk setengah
lingkaran (Gambar : 4.34), kelopak mata besar dengan garis lengkung pada sudut
85
mata yang tegas. Alis mata melengkung tajam dengan ujung garis yang
melengkung ke atas. Bentuk mata seperti ini memberi kesan tegas dan penuh
wibawa pada wajah Semar. Mata Semar gaya ini terdiri dari tiga lapisan, lapisan
pertama pupil mata berwarna hitam, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga
berwarna coklat.
Bentuk hidung pada Semar gaya ini hanya berupa garis lengkung
berbentuk ulir (Gambar : 4.35). Letak hidung lebih ke dalam, sehingga pipi bagian
samping kelihatan, selain itu pada ujung ulir pada hidung juga terdapat garis yang
berkelok ditengah-tengah bagian mata dan mulut. Hal ini sama dengan Semar
gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo. Hanya saja hidung Semar
gaya Surakarta lebih besar dan pendek. Jarak antara dahi dengan mulut juga cukup
jauh, berbeda dengan Semar gaya pesisiran yang lebih dekat, selain itu juga Semar
gaya Pesisiran dahinya lebih panjang.
Bentuk mulut Semar gaya Yogyakarta ini juga berbeda dengan mulut
Semar dari ketiga gagrak lainnya, mulut Semar gaya ini lebih kecil dan tipis.
Mulutnya terbuka dengan satu gigi dibagian bawah (Gambar : 4.36). Persaman
yang ada dari ke empat gagrak tersebut adalah adanya satu gigi di rahang bagian
bawah. Bibir Semar gaya ini pada bagian bawah lebih panjang daripada bibir
bagian atas. Hampir sama dengan bibir Semar gaya Surakarta yang juga bibir pada
bagian bawah lebih panjang dari pada bibir bagian atas.
86
Gambar : 4.33 Bentuk tubuh Semar koleksi SBY
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.34
Mata Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY Gambar oleh Penulis
87
Gambar : 4.35 Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.36
Mulut Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY Gambar oleh Penulis
Museum wayang kekayon memiliki dua koleksi panakawan Semar,
Gareng, Petruk, Bagong, yaitu gaya Yogyakarta dan panakawan madya Surakarta.
Pada penggambaran tokoh Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang
Kekayon Yogyakarta adalah bokong Semar lebih besar, tubuh pendek dan gemuk,
tangan bagian belakang menggenggam, sedangkan jari telunjuk menunjuk ke atas,
kelima jari tangan kanan terbuka, wajah menengadah, kaki sejajar, memakai
anting cabe berwarna hijau, memakai sarung bermotif kawung, memakai gelang
tangan berwarna merah dan putih (lihat Gambar : 4.37). Sedangkan Semar Madya
Surakarta koleksi museum WKY memiliki proporsi tubuh yang lebih besar (lihat
88
Gambar : 4.16), wajah menengadah ke atas, bibir bagian bawah lebih panjang dari
pada bibir bagian atas. Semar gaya ini terlihat unik karena memiliki tubuh yang
berwarna biru. Semar gaya ini juga mempunyai kuncung, tetapi tidak berwarna
putih seperti pada Semar gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, melainkan
berwarna hitam, perut buncit dengan bokong yang besar, lebih besar daripada
Semar gaya Yogyakarta koleksi museum WKY.
Bentuk wajah Semar gaya Yogyakarta koleksi museum wayang Kekayon
ini lebih pendek dan lebar , pada dahi terdapat tiga lekukan yang memberi kesan
bahwa Semar selalu tampak sedang berfikir. Pada Semar gaya madya Surakarta
koleksi museum WKY kepala lebih kecil. Jika dagu pada Semar gaya Surakarta
koleksi museum RPS dan Semar gaya pesisiran bulat, maka Semar gaya
Yogyakarta dan gaya madya Surakarta koleksi museum WKY ini lebih lonjong.
Bentuk mata Semar gaya Yogyakarta WKY ini rembesan, hampir mirip
dengan bentuk mata Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo.
Hanya bedanya mata Semar gaya ini lebih sempit. Mata Semar ini terdiri dari tiga
tingkatan yaitu tingkatan pertama pada bagian terluar berwarna perada, tingkatan
kedua berwarna putih, dan tingkatan ketiga bola mata berwarna merah (Gambar :
4.38). Pada bagian atas mata sebelum alis terdapat dua garis lengkung, sedangkan
alis mata tebal dan pendek. Jika dibandingkan dengan kedua gagrak sebelumnya,
mata Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon ini lebih tampak
sayu. Sedangkan bentuk mata Semar gaya madya Surakarta memiliki mata yang
lebih besar dan lebih lebar dari mata Semar gaya Yogyakarta koleksi museum
WKY. Pada ujung mata terdapat suluh mata. Alis mata panjang dan tebal, tetapi
89
lebih tebal alis mata pada Semar Yogyakarta koleksi museum WKY. Jika Semar
gaya Yogyakarta memiliki tiga lapisan warna, mata Semar gaya ini terdiri dari
empat lapisan warna. Lapisan pertama, pipil mata berwarna hitam, lapisan kedua
berwarna jingga, lapisan ketiga berwarna kuning, lapisan keempat berwarna
merah (Gambar : 4.41).
Hidung berbentuk ulir, menonjol ke luar (Gambar : 4.39). Seperti hidung
Semar pada gaya Surakarta, pada hidung Semar gaya Yogyakarta ini juga terdapat
dua garis diagonal yang membelah antara mata dan mulut yang berawal dari sudut
hidung. Namun tidak terlalu panjang seperti halnya pada Semar gaya Surakarta.
Antara dahi dan hidung dihubungkan oleh lekukan yang cukup dalam, sehingga
membuat hidung Semar lebih mancung dari pada dahi. Sedangkan pada hidung
Semar gaya Madya Surakarta hampir sama dengan hidung Semar gaya Yogyakrta
koleksi museum WKY, kecil, tetapi tidak terdapat ulir dan terdapat dua garis yang
melengkung dari liang hidung hingga ke ujung mulut. Hanya saja wajah Semar
gaya ini pipi bagian belakang agak terlihat, sehingga hidung Semar gaya ini lebih
ke tengah (Gambar : 4. 42) .
Mulut Semar gaya Yogyakarta koleksi Museum Wayang Kekayon, mulut
panjang dan mengatup, bibir bagian atas dan bawah sejajar, janggut menonjol
kedepan, mulut mengatup, gigi satu dibagian bawah. Mulut Semar gaya
Yogyakarta koleksi museum Wayang kekayon ini lebih tipis jika dibanding
Wayang gaya Surakarta maupun gaya Pesisiran. Seperti tampak pada gambar,
mulut Semar mengatup dengan satu gigi terlihat menonjol keluar (Gambar : 4.40).
Pada sudut bibir terdapat lekukan melingkar yang tidak terdapat pada gaya
90
Surakarta maupun gaya Pesisiran. Bibir bagian atas lebih tipis dari pada bibir
bagian bawah. Antara hidung dan bibir bagian bawah terdapat jarak yang panjang.
Sedangkan bibir Semar gaya Madya Surakarta lebar dengan satu gigi di bagian
bawah, bibir bagian bawah lebih panjang dari bibir bagian atas (lihat gambar
4.43). Hal ini sama dengan bibir Semar gaya Yogyakarta koleksi museum WKY.
Gambar : 4.37
Bentuk tubuh Semar gaya Yogyakarta WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.38
Mata Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY
91
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.39
Hidung Semar gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.40
Mulut Semar Gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.41
Mata Semar gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.42
Hidung Semar gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
92
Gambar : 4.43
Mulut Semar gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
Pada tokoh Semar Gaya Pesisiran bentuk tubuh lebih pendek, kepala dan
badan menyatu tanpa leher, tubuh berwarna prada, memakai kain bermotif
kawung berwarna putih dengan garis-garis hitam, memakai gelang tangan
berwarna merah putih, kaki lebih pendek, kelima jari tangan kanan terbuka, Jari
telunjuk tangan kiri menunjuk, wajah menghadap ke depan, mulut terbuka dengan
satu gigi, wajah putih, berkuncung putih, memakai sumping bermotif daun,
memakai anting di hidung, dagu terdiri dari tiga lekukan/garis (Gambar : 4.25).
Bokong pada Semar gaya Pesisiran ini lebih rendah dan lebih lonjong
dibanding Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo. Pada
Semar gaya ini tubuhnya juga lebih pendek, dan perut lebih besar. Jika Semar
gaya Surakarta Koleksi museum Radya Pustaka Solo panjang tangan hingga
sejajar dengan telapak kaki maka Semar gaya Pesisiran Koleksi Ki Sudiharjo ini
tangan lebih pendek hanya sampai mata kaki (Gambar : 4.58).
Mata Semar gaya Pesisiran koleksi Ki Sudiharjo sangat berbeda dengan
Semar koleksi Museum Radya Pustaka Solo, mata Semar gaya ini besar dan
hanya berupa bulatan dengan garis atau lekukan di sudut mata yang sangat kecil
93
dan tipis. Mata Semar gaya ini terdiri dari dua tingkatan, tingkatan pertama
berwarna merah dan tingkatan kedua yaitu bola mata berwarna hitam (Gambar ;
4.45). Alis mata berupa garis lengkung yang kecil, tipis dan panjang melebihi
ukuran mata. Jika Semar gaya Surakarta pada dahi Semar halus dan hanya ada
garis horizontal yang merupakan guratan pada tengah-tengah dahi, Semar gaya
pesisiran ini memiliki dahi dengan delapan garis lekukan vertikal yang
melengkung dari rambut ke dahi. Garis tersebut tebal, jelas, dan tersusun secara
teratur. Bentuk dahi pun berbeda dengan bentuk dahi Semar gaya Surakarta. Dahi
Semar gaya Pesisiran lurus ke depan sedang Semar gaya Surakarta melengkung
sehingga menonjol ke depan.
Bentuk mulut Semar gaya ini terbuka dengan satu gigi di bagian bawah,
kumis-kumisan, rahang bagian bawah lebih lebar (Gambar ; 4.46). Pada mulut
Semar gaya pesisiran ini lebih kecil jika dibandingkan Semar gaya Surakarta
koleksi museum Radya Pustaka Solo. Terdapat lekukan di bawah bibir, sehingga
dagu tidak menonjol ke depan. Tidak seperti Semar gaya Surakarta yang dagunya
menonjol ke depan. Pada dagu terdapat tiga lekukan/garis dengan garis outline
yang tegas. Pada kumis-kumisan juga menggunakan garis yang tebal dan panjang
hingga melebihi bibir bagian bawah.
Hidung Semar gaya Pesisiran ini lebih kecil dan menonjol ke luar, tidak
seperti hidung Semar gaya Surakarta yang berada lebih ke dalam dan pipi bagian
belakang kelihatan menonjol (Gambar : 4.47). Wajah Semar gaya ini diposisikan
menyamping, sehingga hanya terlihat bagian samping saja. Sedangkan Semar
gaya Surakarta memiliki wajah dengan sudut pandang ¾ bagian, sehingga bagian
94
pipi yang lainnya sedikit terlihat. Pada bagian dari dahi ke hidung terdapat
lekukan yang cukup dalam, sehingga hidung Semar sejajar dengan dahi. Pada
Hidung Semar gaya Pesisiran ini pada lubang hidung terdapat anting-anting
berwarna perada. Hal ini tidak ada pada Semar gaya Surakarta.
Gambar : 4.44
Bentuk Tubuh Semar koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.45
Mata Semar gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
95
Gambar : 4.46 Mulut Semar gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.47
Hidung Semar gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
Berdasarkan pengamatan peneliti dari penjelasan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan dan persamaan pada perbentukan Semar
berbagai versi di atas. Perbedan yang mencolok terdapat pada Semar gaya
Pesisiran dengan ketiga gagrak lainnya. Pada Semar gagrak Pesisiran bentuk
tubuh lebih tegak dan lebih ramping dibanding gagrak lainnya yang rata-rata
tubuhnya melebar. Selain perbedaan pada postur tubuh, perbedaan juga terdapat
pada bentuk mata, hidung dan mulut.
Secara keseluruhan bentuk mata Semar memang berbentuk rembesan,
namun pada setiap mata terdapat perbedaan pada lapisan dalam mata. Pada mata
Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS, mata terdiri dari tiga tingkatan,
bagian terluar yaitu kornea mata yang berbentuk setengah lingkaran berwarna
96
kuning, pupil atau bola mata yang berbentuk setengah lingkaran berwarna merah
dan dan lingkaran hitam di tengah-tengah bola mata, sehingga memberi kesan
Semar melirik ke atas. Mata Semar gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
mempunyai terdiri dari tiga lapisan, lapisan pertama pupil mata berwarna hitam,
lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga berwarna coklat. Sedangkan pada
Semar gaya Yogyakarta koleksi museum WKY dan Semar gaya Pesisiran
masing-masing mempunyai tiga lapisan mata dan dua lapisan mata.
Pada hidung hampir semua mempunyai bentuk hidung yang sama, hanya
saja pada Semar gaya Pesisiran memakai anting-anting hidung. Pada bentuk
Mulut juga hampir sama pada semua gagrak, perbedaannya hanya pada menutup
dan membuka saja. Pada Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS, Semar gaya
Yogyakarta koleksi museum SBY dan Semar gaya Pesisiran mulut terbuka
sedangkan Semar gaya Yogyakarta koleksi museum WKY mulut semar
mengatup. Persamaan lainnya terdapat pada gigi, Semar berbagai versi di atas
mempunyai satu gigi yang terlihat, baik mulut mengatup maupun terbuka.
Postur tubuh Semar berbagai versi di atas juga berbeda-beda satu dengan
lainnya. Semar gaya Yogyakarta koleksi museum SBY mempunyai portur tubuh
yang paling besar diantara Semar gaya lainnya. Ia juga mempunyai bokong dan
perut yang sama besarnya. Sedangkan postur tubuh yang paling kecil adalah
Semar gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara. Menurut Sudiharjo, informan
peneliti, Semar gaya Pesisiran yang dimilikinya memang lebih kecil daripada
Semar gagrak Yogyakarta, hal ini dikarenakan untuk memudahkan dalang ketika
memainkan wayang. Kebanyakan wayang yang diminati para dalang adalah gaya
97
Pesisiran dan Surakarta, karena bentuknya yang ramping, sehingga tidak
menyulitkan dalang ketika memainkannya.
Dilihat dari ekspresi wajah Semar, Semar gaya Pesisiran terlihat lebih
muda karena tidak terdapat guratan-guratan pada wajahnya seperti pada ketiga
gagrak lainnya, yaitu Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS, Semar gaya
Yogyakarta koleksi museum SBY dan Semar gaya Yogyakarta koleksi museum
WKY yang terdapat garis-garis pada wajahnya sehingga terkesan seperti kerutan
pada wajah yang menandakan lanjut usia. Selain itu juga Semar gaya Pesisiran
mempunyai mulut yang terbuka lebar yang terlihat seperti tertawa, sehingga
ekspresi wajahnya terlihat lebih cerah dan ceria.
4.2.I.2 Gareng
Keanekaragaman bentuk selanjutnya adalah Nala Gareng. Berikut adalah
kajian estetika visual Gareng yang dikaji oleh Peneliti, meliputi Gareng gaya
Surakarta koleksi museum RPS, Gareng koleksi museum SBY, Gareng gaya
Yogyakarta dan gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY dan Gareng gaya
Pesisiran koleksi Ki Sudiharjo Jepara.
Perbentukan Gareng gaya Surakarta Koleksi museum RPS adalah
Bersenjata, tangan bagian kiri didepan bengkok, rambut hitam digelung, kaki
depan pincang, kepala menunduk, memakai sarung, ornamen pada sarung lebih
banyak, tubuh lebih kurus, tangan kiri ciker dan bengkok, mempunyai ukuran kaki
depan dan belakang sama, kaki depan pincang/jinjit (Gambar : 4.48).
Bentuk mata Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS ini adalah mata
keran, bulat, besar dengan tiga tingkatan warna, tingkatan pertama yaitu bagian
98
dalam mata atau pupil berwarna hitam, tingkatan kedua berwarna merah,
tingkatan ketiga berwarna putih (Gambar : 4.49). Alis mata berupa garis
lengkung panjang setengah lingkaran mengelilingi lingkaran mata. Pupil mata
berada di bagian atas, sehingga mata Gareng menatap ke atas dengan wajah agak
menunduk.
Bentuk mulut Gareng gusen, mempunyai kumis-kumisan (Gambar : 4.50).
Mulut Gareng mengatup dengan satu gigi terlihat. Bibir bagian atas sama tipisnya
dengan bibir bagian bawah. Pada dagu terdapat empat garis lekukan yang
memberi kesan Gareng lebih gemuk. Dagu tersebut menutupi leher, dagu
langsung menempel pada dada, sehingga leher Gareng tidak kelihatan. Kumis-
kumisan pada Gareng gaya Surakarta ini memanjang sepanjang bibir bagian atas.
Bentuk hidung pentel pace, terdapat liang hidung dengan cuping hidung
yang besar. Bentuk hidung Gareng besar dan tanpa hiasan apapun, hanya bulatan
dengan liang hidung yang besar (Gambar : 4.51). Hidung Gareng yang besar
memenuhi wajah Gareng. Sehingga Gareng terkesan keberatan hidung. Dibanding
mulut dan mata, hidung Gareng jauh lebih besar.
Secara keseluruhan, Gareng gaya ini memiliki bentuk tubuh yang lebih
tegak dan lebih besar. Unsur visual seperti mata, hidung dan mulut mempunyai
ciri yang berbeda dengan Gareng gagrak lainnya. Begitu juga dengan atribut yang
digunakan, meskipun sama-sama memakai kalung roda, gelang, cincin, anting dan
senjata, tetapi memiliki bentuk, warna dan ornament yang berbeda-beda. Pada
atribut Gareng gaya ini memiliki gelang, kalung dan cincin berwarna senada, yaitu
perada.
99
Gareng gaya ini mempunyai bentuk wajah yang pipih dan lebar,
mempunyai bentuk mata keran yang menghadap ke atas, hal ini sesuai dengan
pacandrane Gareng yang sering diucapkan dalang ketika melakukan pagelaran
wayang saat adegan gara-gara. Hidung Gareng besar seperti buah terong, hingga
melebihi besar mata dan mulutnya. Sehingga Gareng terkesan keberatan hidung.
Selain mata, bentuk hidung ini bisa dijadikan ciri khas untuk membedakan Gareng
dengan panakawan atau tokoh wayang lainnya. Mulut Gareng gaya ini lebih kecil
jika dibandingkan dengan hidung Gareng. Telinga Gareng lebar dan memakai
antingberwarna merah, putih dan coklat.
Gambar : 4.48
Tubuh Gareng gaya Surakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
100
Gambar : 4.49
Mata Gareng gaya Surakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.50
Mulut Gareng gaya Surakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
Gambar :4.51
Hidung Gareng gaya Surakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
101
Berikut adalah perbentukan Gareng gaya Yogyakarta koleksi Museum
SBY. Bentuk tubuh lebih besar, bersenjata, tangan bagian kiri di depan, bengkok
dan terputus-putus, tubuh bengkok, kaki sejajar, rambut hitam bergelung.
Memakai aksesoris berupa kalung, gelang tangan, memakai sarung, tubuh
berwarna hitam dengan wajah berwarna putih (Gambar : 4.52).
Bentuk mata Gareng koleksi Museum SBY berbeda dengan ketiga Gareng
gagrak lainnya, meskipun sama-sama berbentuk bulat, namun sunggingan di
dalamnya yang membuatnya berbeda. Mata Gareng gaya ini terdiri dari tiga
warna, pada lapisan pertama yaitu pada lapisan mata bagian bawah berwarna
coklat kurang dari seperempat bagian, bagian kedua yaitu bagian tengah berwarna
merah, bagian ini paling luas diantara kedua bagian lainnya, hampir memenuhi
seluruh lingkaran mata, bagian ketiga pupil mata berwarna hitam (Gambar : 4.53).
Tidak seperti pupil pada mata Gareng gaya pesisiran dan gaya Yogyakarta koleksi
museum Wayang Kekayon yang memiliki pupil mata yang besar, Gareng koleksi
museum Sono Budoyo ini lebih kecil, hanya berupa titik hitam saja. Pupil mata
berada di bagian atas mata, sehingga membuat pandangan mata Gareng mengarah
ke atas. Alis mata Gareng gaya ini mirip dengan Gareng gaya Yogyakarta lainnya,
yaitu panjang melengkung hingga mencapai pelipis.
Hidung Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum Sonobudoyo mirip
dengan ketiga gagrak sebelumnya, yaitu hidung pentel pace. Hanya saja hidung
Gareng gaya ini bagian ujungnya tidak terlalu menonjol, ini juga dikarenakan
wajah Gareng yang menunduk, sehingga hidungnya pun luruh ke bawah (Gambar
: 4.54).
102
Mulut Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY bentuknya sama
dengan gagrak lainnya, hanya saja pada Gareng gaya ini mulutnya mengatup
sehingga giginya tidak begitu terlihat. Bibir Gareng gaya ini bibir atas dan bibir
bawah sama-sama tipis dengan sudut bibir menonjol dan melengkung ke atas
(Gambar : 4.55). Bentuk bibir seperti ini mirip dengan bentuk bibir pada Gareng
gaya Surakarta koleksi museum RPS, tetapi gigi Gareng gaya RPS terlihat jelas.
Lekukan pada bawah bibir sangat dalam sehingga membuat bibir bagian bawah
terlihat lebih panjang dan lancip. Sedangkan pada dagu Gareng gaya ini terdiri
dari dari tiga lekukan dengan ukuran yang berbeda-beda. Lekukan pertama lebih
besar dari kedua lekukan lainnya. Panjang telinga dengan dagu lebih panjang
dagu, karena telingga Gareng gaya ini lebih ke atas, tidak seperti telinga Gareng
gaya pesisiran dan Gareng koleksi museum WKY yang lebih panjang dari dagu.
Bentuk telinga Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum Sonobudoyo ini sama
dengan Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS.
Gambar : 4.52
Tubuh Gareng Gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
103
Gambar : 4.53
Mata Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.54
Hidung Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.55
Mulut Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY memiliki dua koleksi
panakawan, yaitu gaya Yogyakarta dan gaya Madya Surakarta. Sehingga dalam
penelitian ini peneliti mengkaji dua Gareng. Gareng gaya Yogyakarta koleksi
museum WKY memiliki tubuh besar, badan gemuk, tidak bersenjata, kaki bagian
depan jinjit dan lebih kecil dari kaki bagian belakang, lengan bagian kiri bengkok
104
dan terputus-putus, rambut berkuncir panjang melengkung, memakai sarung
bermotif kawung, warna tubuh perada, rambut hitam, memakai sarung motif
kawung berwarna putih dengan dasaran berwarna perada (Gambar : 4.56).
Dominasi warna perada/emas. Palemahan berwarna merah. Sedangkan Gareng
gaya Madya Surakarta memiliki bentuk tubuh yang paling kecil diantara tiga
panakawan lainnya, tubuh lebih tegak, wajah menghadap lurus ke depan, kaki
depan cacat, ukuran kaki depan lebih kecil dari pada kaki bagian belakang, warna-
warna yang digunakan adalah warna merah, biru, coklat, kuning dan hitam
(Gambar : 16).
Bentuk mata Gareng gaya ini hampir sama dengan Gareng gaya Pesisiran,
besar dan terdiri dari empat tingkatan. Bedanya hanya mata Gareng gaya ini
menatap ke atas, sedangkan Gareng gaya Pesisiran menatap ke bawah. Tingkatan
pada mata Gareng gaya ini terdiri dari, tingkatan pertama dari bagian terluar dari
bola mata yaitu berwarna perada, lapisan kedua berwarna putih, lapisan ketiga
berwarna merah, dan lapisan keempat berwarna hitam (Gambar : 4.57). Alis mata
tebal dan pendek dengan garis ujung yang lebih kecil dan melengkung ke atas.
Sedangkan mata Gareng gaya Madya Surakarta terdiri dari tiga lapisan warna,
lapisan pertama, bagian terluar mata berwarna kuning, lapisan kedua berwarna
merah, lapisan ketiga pupil mata berwarna hitam. Alis mata berwarna hitam, tebal
dan panjang dengan ujung yang semakin menipis (Gambar : 4.60)
Bentuk hidung Gareng gaya Yogyakarta ini adalah pentil pace, bulat
dengan liang hidung yang lebar (Gambar : 4.58). Bentuk hidung Gareng gaya ini
mirip dengan hidung Gareng gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo
105
dan juga Gareng gaya Pesisiran koleksi Ki Sudiharjo. Pada Gareng gaya ini garis
awal hidung di mulai tepat pada tengah-tengah mata, atau ¾ bagian wajah, sama
seperti Gareng gaya Pesisiran. Hidung Gareng ini tidak terlalu besar dan tidak
juga terlalu kecil. Sedangkan Gareng gaya Madya Surakarta lebih besar dan liang
hidung juga lebih besar dari pada hidung Gareng Yogyakarta koleksi museum
WKY (Gambar : 4.61).
Bentuk mulut Gareng gaya Yogyakarta ini sama dengan mulut Gareng
gaya Pesisiran dan Gaya Surakarta koleksi museum RPS, hanya saja mulut
Gareng gaya ini lebih kecil dan gigi terlihat lebih jelas. Bibir bagian atas dan
bawah sama-sama tipis dan bibir bagian atas lebih panjang daripada bibir bagian
bawah (Gambar : 4.59). Dagu lebih pendek dengan tiga lelukan. Wajah Gareng
gaya ini lebih kecil dibanding Gareng gaya Pesisiran dan gaya Surakarta.
Sedangkan mulut Gareng gaya Madya Surakarta juga kecil, bibir atas dan bibir
bawah sama-sama tipis, mempunyai kumis-kumisan dan dagu terdiri dari tiga
lekukan (Gambar : 4.62).
Berbeda dengan gagrak sebelumnya, Gareng gaya Yogyakarta koleksi
museum WKY ini memiliki postur tubuh yang lebih bagus. Hal ini terlihat dari
panjang kaki dan badan seimbang tidak ada perbedaan terlalu jauh seperti Gareng
gaya Pesisiran panjang tubuh lebih panjang dibanding kaki, sehingga membuat
Gareng gaya ini tersebut terkesan cebol. Namun jika dibandingkan dengan Gareng
gaya Surakarta, Gareng gaya Yogyakarta ini masih terlihat lebih gemuk. Hal ini
dikarenakan Gareng gaya Yogyakarta memiliki tubuh lebih tinggi dan besar.
Tangan Gareng gaya Yogyakarta ini keduanya juga terlihat cacat, yang paling
106
parah, terlihat pada tangan bagian kiri tampak bengkok dan terpuus-putus dan
kelima jari terbuka. Begitu juga dengan Gareng gaya Pesisiran, hanya saja yang
terlihat terputus-putus justru tangan sebelah kanan.
Perbentukan lainnya adalah bentuk kaki, pada Gareng gaya Pesisiran, kaki
sebelah kiri bertumpu pada tungkai kaki, sedang Gareng gaya ini bertumpu pada
jari-jari kaki/jinjit. Pada garis bahu Gareng gaya ini bahu bagian kanan, tepat di
bawah leher, lebih ke atas dibanding bahu sebelah kanan. Pada rambut Gareng
gaya Yogyakarta ini jauh berbeda dari rambut kedua gagrak lainnya. Rambut
Gareng gaya ini panjang dan dikuncir melengkung ke bawah hingga menyentuh
leher, sedangkan Gareng gaya Surakarta mempunyai rambut yang digelung dan
Gareng gaya Pesisiran rambut agak panjang, kaku, dan di kuncir ke atas.
Gambar : 4.56 Tubuh Gareng gaya Yogyakarta Koleksi Museum WKY
Gambar oleh Penulis
107
Gambar : 4.57
Mata Gareng gaya Yogyakarta keloksi museum WKY
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.58
Hidung Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY Gambar oleh penulis
Gambar : 4.59
Mulut Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
108
Gambar : 4.60
Mata Gareng Madya Surakarta Koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.61
Hidung Gareng Madya Surakarta Koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.62
Mulut Gareng Madya Surakarta Koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Selanjutnya adalah Gareng gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara.
Gareng Pesisiran ini mempunyai tubuh pendek berwarna perada, wajah putih,
rambut hitam berkuncir ke atas, kepala menunduk, memakai sarung bermotif
kawung, tubuh lebih kurus, tangan ciker dan bengkok, mempunyai ukuran kaki
depan dan belakang sama, kaki depan pincang, memakai atribut berupa anting,
kalung, gelang dan tidak bersenjata (Gambar : 4.63).
109
Bentuk mata Gareng gaya Pesisiran ini tergolong mata keran, berbentuk
bulat dengan empat tingkatan (Gambar : 4.64), tidak seperti bentuk mata Gareng
gaya Surakarta yang matanya berbentuk bulat telur. Tingkatan pertama bagian
terluar berwarna putih, tingkatan kedua berwarna merah muda/njambon, tingkatan
ketiga berwarna merah, tingkatan keempat pupil berwarna hitam. Secara
keseluruhan, pandangan Gareng menghadap ke bawah. Alis mata tebal dan
panjang, hingga mencapai pelipis.
Bentuk hidung Gareng pentil pace, bulat besar terdapat upil-upilan
(Gambar : 4.65). Bentuk hidung Gareng gaya ini mirip dengan hidung Gareng
gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo. Bentuk dahi lebih turun,
tidak terlalu menonjol, sehingga membuat hidung Gareng ini terlihat lebih besar.
Pada gareng gaya ini garis awal hidung di mulai tepat pada tengah-tengah mata,
atau ¾ bagian wajah, sedangkan Gareng gaya Surakarta lebih ke atas, sejajar
dengan garis mata bagian bawah, atau ¼ bagian wajah.
Bentuk mulut Gareng gaya ini mirip dengan mulut Gareng gaya Surakarta,
hanya bedanya bibir bagian atas lebih lancip dan tanpa gigi (Gambar : 4.66).
Mulut Gareng mengatup dengan bentuk mulut lebih panjang dan mempunyai
kumis-kumisan. Bibir bagian atas lebih tebal dan lebih panjang daripada bibir
bagian bawah. Pada dagu terdapat tiga garis lekukan yang memberi kesan Gareng
lebih gemuk. Kumis-kumisan pada Gareng gaya Pesisiran ini lebih panjang dari
pada Gareng gaya Surakarta.
Gareng gaya ini sangat berbeda dengan Gareng gaya Surakarta koleksi
museum Radya Pustaka Solo. Gareng gaya pesisiran ini lebih pendek dan kecil,
110
jika perut Gareng gaya Surakarta sangat buncit maka Gareng gaya ini perutnya
lebih kecil. Gareng gaya ini memiliki kedua tangan yang ciker, lebih-lebih pada
tangan sebelah kanan, tampak sekali patah-patah dan dan berkelok-kelok dengan
kelima jari tangan terbuka. Sedangkan pada tangan sebelah kiri juga jari-jarinya
ciker dan keempat jarinya menggenggam, sedangkan jari telunjuknya menunjuk
ke bawah. Perbedaan lainnya juga tampak mata mata, pada Gareng gaya Pesisiran,
bola mata menghadap ke bawah, sedang pada Gareng gaya Surakarta bola mata
menatap ke atas. Bentuk wajah Gareng gaya ini lebih lonjong tidak seperti Gareng
gaya Surakarta yang lebih lebar. Gareng juga memakai kalung bermotif bintang
berwarna biru dan anting berbentuk bulat dengan warna yang sama. Rambut
Gareng gaya Pesisiran ini dikuncir tegak ke atas, sedang Gareng gaya Surakarta
rambutnya digelung.
Gambar : 4. 63 Tubuh Gareng gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo
Gambar oleh Penulis
111
Gambar : 4.64
Mata Gareng gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.65
Hidung Gareng gaya Pesisiran Koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.66
Mulut Gareng gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
112
Secara keseluruhan, dari perbentukan Gareng berbagai versi di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa Gareng gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara
mempunyai postur tubuh yang paling kecil dibanding Gareng gaya lainnya.
Sedangkan Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY mempunyai postur
tubuh yang paling besar dari ketiga gagrak lainnya. Selain itu perbedaan yang
mencolok juga terdapat pada senjata, rambut dan kaki. Gareng gaya Yogyakarta
koleksi museum WKY tidak mempunyai senjata seperti Gareng gagrak lainnya.
Kaki Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY, Gareng koleksi museum
WKY dan Gareng gaya Pesisiran kaki depannya jinjit, sedangkan Gareng gaya
Surakarta koleksi museum RPS kaki depannya tidak terlihat jinjit.
Rambut Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS dan Gareng gaya
Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo mempunyai rambut yang digelung,
Sedangkan Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY mempunyai rambut
panjang yang dikuncir hingga menjuntai ke bahu. Gareng gaya Pesisiran juga
mempunyai rambut yang panjang dikuncir, hanya saja rambutnya tidak sepanjang
Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY. Jika rambut Gareng koleksi
museum WKY panjang melengkung ke bawah, Gareng Pesisiran mempunyai
rambut yang kaku lurus ke atas.
Pada mata. hidung dan mulut juga terdapat perbedaan sekaligus
persamaan. Gareng berbagai versi di atas sama-sama mempunyai bentuk mata
keran. Perbedaannya terdapat pada lapisan dalam matanya dan arah pandangnya.
Pada Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS dan Gareng koleksi museum
SBY mempunyai tiga lapisan warna dalam mata, sedangkan Gareng gaya
113
Yogyakarta koleksi museum WKY dan Pesisiran mempunyai empat lapisan warna
mata. Wajah Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY menunduk
sedangkan yang lainnya tidak. Arah pandangan mata juga berbeda-beda, Gareng
gaya Surakarta koleksi museum RPS, koleksi museum SBY dan koleksi museum
WKY pupil mata menghadap kebelakang atas, sedangkan Gareng gaya Pesisiran
pupil mata menghadap ke bawah. Pada bibir hampir semuanya sama, hanya saja
bibir Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY terlihat agak lebar dibanding
bibir Gareng lainnya.
4.2.I.3 Petruk
Selanjutnya adalah keanekaragaman Panakawan Petruk yang dikaji oleh
peneliti, meliputi Petruk gaya Surakarta koleksi Museum RPS, gaya Yogyakarta
koleksi museum SBY, gaya Yogyakarta dan gaya Madya Surakarta koleksi
Museum WKY dan Petruk gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara.
Petruk gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo memiliki
bentuk tubuh tegak, perut buncit, wajah lurus ke depan, garis bahu depan turun,
kaki sejajar, jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bawah, tubuh panjang, warna
wajah putih, rambut hitam berkuncir ke atas, warna-warna yang digunakan : biru,
merah, kuning, hijau, hitam, putih, memakai sarung. Atribut yang digunakan :
gelang, kalung berbentuk lonceng/kalung Genta, cincin, anting, mempunyai
senjata (Gambar : 4.67).
Bentuk mata Petruk adalah mata kedondong. Mata petruk gaya ini terdiri
dari dua bagian, bagian dalam dan bagian luar, pada bagian dalam terdiri dari tiga
tingkatan. Bagian luar adalah pinggiran mata berwarna putih, sedangkan pada
114
bagian dalam yang terdiri dari tiga tingkatan/lapisan yaitu lapisan pertama pupil
mata berwarna hitam, lapisan dua berwarna merah, dan lapisan ketiga berwarna
putih (Gambar : 4.68). Alis mata panjang dan melengkung, ujung alis mata
melengkung ke atas.
Bentuk hidung Petruk gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka
nyampaluk, lebih pendek dan besar. Hidung Petruk gaya ini berkelok agak
bengkok (Gambar : 4.69). Mulut mesem/prengesan, bentuk mulut Petruk gaya ini
lebar, agak terbuka, tanpa gigi dan bibir bagian atas lebih tebal dari bibir bawah.
Seperti tokoh panakawan lainnya, Petruk juga mempunyai kumis-kumisan yang
memanjang sepanjang bibir dan melengkung ke bawah. Pada bibir bagian bawah,
bagian ujung berada di bawah dagu (Gambar : 4.70). Hal ini dikarenakan dagu
Petruk besar dibagian ujung dan melengkung ke atas, sehingga menutupi ujung
bibir bagian bawah. Dagu Petruk terdiri dari tiga lekukan.
Petruk gaya ini mempunyai bentuk tubuh yang ramping. Mata, hidung dan
mulut Petruk gaya ini memiliki kekhasan tersendiri. Pada mata misalnya, mata
Petruk gaya ini, meski sama-sama bermata kedondong, tetapi lapisan dalam atau
sunggingan matanya pasti berbeda dengan Petruk gaya lainnya. Mata Petruk aya
ini lebar sehingga memberi kesan seperti melotot. Hidung Petruk panjang, hal ini
menjadi iri khas dari tokoh Petruk ini. Menurut pengamatan peneliti, tokoh
wayang yang mempunyai hidung panjang seperti ini mungkin hanya Petruk.
Sedangkan pada mulut, Petruk mempunyai mulut yang lebar, seolah seperti selalu
tersenyum.
115
Gambar : 4. 67
Bentuk tubuh Petruk gaya Surakarta koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
Gambar: 4.68
Mata Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.69
Hidung Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
116
Gambar : 4.70
Mulut Petruk Gaya Yogyakarta Koleksi Museum RPS Gambar oleh Penulis
Selanjutnya adalah Petruk gaya Yogyakarta Koleksi Museum SBY. Petruk
gaya ini mempunyai tubuh lebih tinggi, panjang, wajah agak menunduk, garis
bahu depan lebih turun, tubuh bengkok dan bungkuk, kaki sejajar, panjang tangan
sampai ke mata kaki, kedua tangan menggengam dengan jari telunjuk menunjuk.
Rambut hitam berkuncir pendek, tubuh hitam, wajah putih, bibir merah (Gambar :
4.71). Hidung nyempaluk, panjang dan berkelok, upil-upilan, bibir bagian atas
lebih tebal dari bibir bagian bawah, dan berkumis. Sunggingan : hijau. kuning.
merah putih. Memakai atribut berupa gelang, kalung, cincin dan bersenjata.
Bentuk mata Petruk gaya ini adalah mata kedondong. Mata Petruk gaya ini
berbeda dari mata Petruk gaya Surakarta. Meski sama-sama bermata
kedondongan, tetapi lapisan dalam mata Petruk ini berbeda. Pada Petruk gaya
Surakarta koleksi museum RPS tiga lapisan warna, sedangkan Petruk gaya ini
terdiri dari empat bagian (lihat Gambar : 4.72). Bagian pertama, pupil mata
berwarna hitam, lapisan ketiga berwarna putih, lapisan keempat bagian terluar
dari pupil mata berwarna coklat.
117
Bentuk hidung Petruk gaya ini nyampaluk, berkelok dan lebih kecil
dibagian ujung (lihat Gambar : 4.73). Hidung Petruk gaya ini sama seperti Petruk
gaya Surakarta koleksi museum RPS, namun cuping hidung petruk gaya ini lebih
besar dibanding Petruk gaya Surakarta.
Mulut Petruk gaya ini adalah mulut mesem/prengesan. Bentuk mulut
Petruk gaya ini sama dengan Petruk gaya Surakarta di atas, yaitu panjang, bibir
bagian atas bergelombang, mempunyai satu gigi dan berkumis (lihat Gambar
:4.74). Meskipun secara umum bentuk mulut kedua gagrak tersebut sama, akan
tetapi ada perbedaannya pula. Pada Petruk gaya ini bibir bagian atas lebih tebal
daripada bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terdiri dari tiga lekukan, begitu
juga dengan kumis-kimsan yang mengikuti lekuk bibir bagian atas. Pada ujung
kumis melungkung ke atas dan semakin menipis, dagu menonjol ke depan dan
terdiri dari tiga lekukan.
Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang mendasar dari perbentukan
Petruk kedua gagrak di atas. Hanya saja tubuh Petruk gaya ini lebih besar, dan
terkesan sangkuk. Seperti pada Petruk gaya Surakarta koleksi museum RPS yang
mempunyai mata kedondong, hidung panjang dan mulut yang lebar, petruk gaya
Yogyakarta kolekasi museum SBY ini juga mempunyai mata kedondong, hidung
panjang dan mulut yang lebar. Hanya saja pada Petruk gaya ini, kesemuanya lebih
besar dan panjang. Pada hidung Petruk gaya ini lebih besar dan panjang dari pada
hidung Petruk gaya Surakarta koleksi museum RPS. Begitu juga mulutnya. Bibir
bagian atas Petruk gaya ini jauh lebih tebal dibanding bibir bagian bawah. Jika
118
dibandingkan dengan Petruk gaya Surakarta koleksi museum RPS, Petruk gaya ini
terlihat lebih menarik dan bersih karena wajahnya berwarna putih.
Gambar : 4. 71 Perbentukan Petruk gaya Yogyakarta koleksi Museum SBY
Gambar oleh penulis
Gambar : 4. 72
Mata Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.73
Hidung Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
119
Gambar : 4.74
Mulut Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
Berikutnya adalah Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY. Pada
Petruk gaya ini terdapat dua gaya, yaitu Petruk gaya Yogyakarta dan Petruk gaya
Madya. Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY ini memiliki bentuk tubuh
yang lebih tegak, lebih besar, kaki depan jinjit, bersepatu, bersenjata, jari telunjuk
tangan kanan menunjuk ke bawah, tangan kiri menggenggam (Gambar : 4.75).
Hidung nyampaluk, lurus, bibir atas lebih besar dari bibir bawah, terdapat kumis-
kumisan, rambut hitam berkuncir panjang hingga ke bahu, tubuh berwarna perada.
Memakai atribut berupa gelang, kalung, anting-anting dan bersenjata. Sunggingan
: hijau, biru, jingga, merah, kuning. Sedangkan Petruk gaya Madya Surakarta
memiliki bentuk tubuh yang lebih pendek dan perut yang lebih buncit, memakai
atribut berupa anting, kalung, gelang (Gambar : 4.16). Warna-warna yang
digunakan adalah, biru, kuning, coklat, merah dan hitam. Perbentukan Petruk gaya
ini hampir sama dengan Petruk gaya Surakarta koleksi museum RPS.
Bentuk mata pada Petruk gaya ini berbeda dari kedua gagrak sebelumnya.
Jika Petruk gaya Surakarta koleksi museum RPS dan Petruk gaya Yogyakarta
koleksi museum SBY memiliki bentuk mata kedondong, maka mata Petruk gaya
ini adalah mata kedelai tegak (Gambar: 4.76). Alis mata pendek dan lebih tebal.
Pada bagian luar mata terdapat garis tipis yang mengelilingi mata. Sedangkan
120
Petruk gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY mempunyai mata yang lebih
sipit, dengan tiga lapisan warna. Lapisan pertama berwarna jingga, lapisan kedua
pupil mata berwarna hitam dan lapisan ketiga berwarna putih (Gambar : 4.79).
Bentuk hidung Petruk gaya ini nyempaluk, dengan ujung hidung mengecil.
Hidung Petruk gaya ini lebih lurus dan lebih pendek di banding Petruk gaya
Yogyakarta koleksi Museum SBY dan Petruk gaya Surakarta koleksi museum
RPS (Gambar : 4.77). Hidung Petruk gaya Madya Surakarta juga nyempaluk.
Hampir sama dengan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, hanya saja
hidung Petruk ini lebih besar (Gambar : 4.80).
Mulut Petruk adalah mulut mesem/prengesan. Bentuk mulut Petruk gaya
Yogyakarta ini berbeda dari kedua Petruk sebelumnya, jika kedua Petruk di atas
bibir bagian atas bergelombang dan lebih tebal dari bibir bagian bawah, Petruk
gaya ini bibir bagian atas dan bawah sama-sama tipis, hanya saja pada bibir
bagian atas lebih menjorok ke depan (Gambar : 4.78). Seperti Petruk gagrak
lainnya, Petruk gaya ini giginya juga terlihat. Dagu Petruk gaya ini lebih menonjol
dan hanya terdiri dari satu lekukan.Mulut Petruk gaya Surakarta koleksi museum
WKY ini sama dengan mulut Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY,
hanya saja Petruk gaya ini mempunyai kumis-kumisan (Gambar ; 81).
Kedua Petruk di atas, satu sama lain tidak mempunyai perbedaan yang
mendasar. Perbedaan yang mencolok adalah pada warna. Sedangkan pada unsur-
unsur visual seperti mata, hidung dan mulut tidak mempunyai perbedaan yang
berarti. Perbedaan yang mencolok juga terdapat pada perut. Perut Petruk gaya
Yogyakarta koleksi museum WKY lebih kecil jika dibandingkan perut Petruk
121
gaya Madya Surakarta yang memiliki perut yang lebih buncit dan besar. Kedua
Petruk tersebut juga memakai atribut berupa anting, kalung, gelang. Hanya saja
bentuk, warna dan motif masing-masing atribut tersebut berbeda. Selain itu pada
Petruk gaya Madya Surakarta tidak mempunyai senjata.
Gambar : 4.75
Perbentukan Petruk gaya Yogyakarta koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4. 76 Mata petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY
Gambar oleh Penulis
122
Gambar : 4.77
Hidung Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.78
Mulut Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.79
Mulut Petruk gaya Madya Surakarta koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.80
Hidung Petruk gaya Madya Surakarta koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
123
Gambar : 4.81
Mulut Petruk gaya Madya Surakarta koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Selain koleksi beberapa museum di atas, dalam penelitian ini juga
membahas mengenai Petruk gaya pesisiran koleksi dalang di derah Jepara. Petruk
gaya Pesisiran koleksi dalang Sudiharjo Jepara memiliki bentuk tubuh lebih
condong ke belakang, tangan bagian depan menunjuk ke bawah, tangan bagian
belakang menggenggam, kedua kaki sejajar, panjang tangan sebatas mata kaki,
wajah menghadap lurus ke depan, rambut dikuncir menghadap ke atas, memakai
gelang, kalung, anting dan bersenjata (Gambar : 4.82).
Bentuk mata Petruk gaya Surakarta koleksi Sudiharjo Jepara adalah
mata kedondong, sama seperti mata Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum
SBY hanya saja pada pada apisan mata dalam dan letak pupil mata berbeda. jika
petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY pandangan mata mengarah ke
belakang, pandangan mata Petruk gaya ini mengarah ke depan. Lapisan mata
terdiri dari tiga lapisan warna. Lapisan pertama, yaitu lapisan terluar mata
berwarna putih, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga, pupil mata
berwarna hitam (Gambar : 4.83). Alis mata melengkung seperti alis mata pada
Petruk gaya Surakarta.
124
Bentuk hidung Petruk gaya ini nyampaluk, panjang dengan ujung
hidung mengecil (Gambar : 4.84). Mulut petruk gaya ini prengesan/mesem. bibir
bagian atas dan bawah sama-sama tipis hanya saja pada bibir bagian atas lebih
panjang dari bibir bawah (Gambar : 4.85). Bibir bagian atas terdiri dari tiga
lekukan. Sama seperti Petruk gagrak lainnya, Petruk gaya ini juga mempunyai
satu gigi yang terlihat. kumis-kumisan mengikuti lekuk bibir atas tebal dan
melengkung ke bawah. Dagu menjorok ke depan dan terdiri dari tiga lekukan.
Gambar : 4.82 Perbentukan Petruk gaya Pesisiran
Gambar oleh Penulis
125
Gambar : 4.83 Mata Petruk gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.84
Hidung Petruk gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.85
Mulut Petruk gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara Gambar oleh Penulis
126
Menurut peneliti, secara keseluruhan Petruk berbagai versi di atas
mempunyai lebih banyak kemiripan/kesamaan, meskipun masih ada
perbedaannya. Kemiripan yang ada terlihat pada postur tubuh yang sama-sama
panjang dan tinggi, tangan yang sama-sama panjang, hidung yang sama-sama
panjang, aksesoris yang sama berupa kalung gentha dan gelang, sama-sama
bersenjata, perut yang sama-sama buncit dan rambut yang sama-sama panjang
berkuncir.
Meskipun secara umum semua hal tersebut mirip, bukan berarti sama
persis. Pada postur tubuh, mesipun sama-sama tinggi, Petruk gaya Yogyakarta
mempunyai postur tubuh yang lebih besar dari pada Petruk gaya Surakarta dan
Pesisiran. Tubuh Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo memiliki
tubuh lebih bungkuk dibanding Petuk gaya lainnya. Perbedaan lainnya terdapat
pada mata Petruk, jika lazimnya Petruk bermata kedondong, Petruk gaya ini justru
bermata kedelai tegak dengan suluh mata yang tampak jelas. Selain itu pada bibir
Petruk gaya ini juga berbeda dari Petuk gaya lainnya, ia mempunyai mulut dengan
bibir atas dan bibir bawah yang sama-sama tipis. Tidak seperti petruk gaya
Yogyakarta koileksi museum SBY yang mempunyai bibir atas lebih tebal
daripada bibir bagian bawah. Rambut Petruk gaya ini juga sangat panjang,
melebihi panjang rambut Petruk gaya lainnya. Petruk gaya Pesisiran juga
mempunyai rambut yang unik, rambut Petruk gaya ini berkuncir, agak panjang,
kaku dan menghadap ke atas.
127
4.2.I.4 Bagong
Keanekaragaman bentuk panakawan selanjutnya adalah Bagong.
Berikut ini adalah keanekaragaman bentuk Bagong yang dikaji oleh Peneliti,
meliputi Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo Yogyakarta,
Bagong gaya Yogyakarta dan gaya Madya Surakarta koleksi Museum Wayang
Kekayon Yogyakarta dan Bagong gaya Pesisiran koleksi dalang di daerah Jepara.
Menggingat museum RPS mengikuti aliran Kyai Pajang mas sehingga
menghilangkan Bagong, maka dalam penelitian ini langsung membahas mengenai
perbentukan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY. Bagong gaya
Yogyakarta koleksi museum SBY mempunyai bentuk tubuh bulat, tegak, wajah
lurus ke depan, kepala menunduk, wajah tersenyum, perut buncit, dada lebih besar
daripada perut, kedua tangan menggenggam, kaki kecil, tubuh berwarna hitam,
wajah putih, memakai gelang, anting, kalung dan tidak bersenjata (Gambar ;
4.86).
Bentuk mata Bagong gaya ini adalah mata plelengan, berbentuk bulat
dengan tiga lapisan warna. Lapisan pertama, bagian terluar dari mata berwarna
perada, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga pupil mata berwarna hitam.
Pada tepi mata terdapat garis tipis berwarna hitam yang mengelilingi mata
(Gambar : 4.87). Pada Bagong gaya ini suluh mata tidak tampak jelas pada garis
mata, tetapi hanya berupa garis tipis yang terlihat samar-samar. Alis mata
melengkung berbentuk setengah lingkaran menyatu dengan garis yang
mengelilingi mata dan suluh mata.
128
Hidung Bagong nemplik. Hidung Bagong gaya ini hanya berupa
tonjolan pada daerah antara mata dan mulut, selain itu juga terdapat liang hidung
(Gambar : 4.88). Mulut Bagong gaya ini termasuk dalam mulut gusen/prengesan
(Gambar : 4.89). Bibir atas dan bibir bawah sama-sama tipis, mulut agak terbuka
dengan satu gigi yang tampak. Kumis-kumisan hanya terdapat diatas keketan,
tidak sepanjang bibir. Dagu menjorok ke depan dengan dua lekukan.
Gambar : 4.86 Mata Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.87
Mata Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
129
Gambar : 4.88 Hidung Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.89
Mulut Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY Gambar oleh Penulis
Selanjutnya adalah Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum WKY.
Bagong di museum WKY ini juga ada dua, yaitu Bagong gaya Yogyakarta dan
Bagong gaya Madya Surakarta. Perbentukan Bagong gaya Yogyakarta ini tubuh
lebih bungkuk jika dibanding Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY.
Wajah lebih menunduk, namun pandangan mata lurus ke depan, sehingga dagu
menyentuh dada hanya menyisakan rongga sebagai leher yang menghubungkan
kepala dan badan, perut Bagong lebih kecil, tangan bagian belakang
menggenggam sedangkan tangan bagian depan jari telunjuk menunjuk ke bawah,
kedua kaki sejajar tanpa palemahan (Gambar : 4.90). Sedangkan Bagong gaya
130
Madya Surakarta memiliki tubuh yang lebih besar dari pada Semar dan Gareng
gaya Madya Surakarta, wajahnya besar dan lebar, begutu juga dengan mata dan
mulutnya. Ia memakai atribut berupa kalung, anting dan gelang. warna-warna
yang digunakan adalah biru, kuning, merah, coklat, putih dan hitam (Gambar :
4.16).
Bentuk mata Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum WKY adalah
plelengan, yang menjadi pembeda Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum
WKY dan koleksi museum SBY selain bentuk tubuhnya juga pada matanya.
Meski sama-sama bermata plelengan, namun kedua gaya ini berbeda pada
sunggingan matanya. Mata Bagong gaya ini terdiri dari tiga lapisan warna, lapisan
pertama bagian terluar mata berwarna prada, lapisan kedua berwarna putih,
lapisan ketiga berwarna merah (Gambar : 4.91). Alis mata tebal dan pendek. Sulur
mata berwarna hitam. Pada mata Bagong gaya Madya Surakarta juga mempunyai
mata plelengan sama dengan mata Bagong gaya Yogyakarta, hanya saja mata
Bagong gaya ini lebih besar dan terdiri dari empat lapisan warna, lapisan pertama
berwarna hitam, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga berwarna kuning
dan lapisan keempat pupil mata berwarna hitam ( Gambar : 4.94).
Bentuk hidung nemplik. Hidung Bagong gaya ini kecil dan liang hidung
yang besar (Gambar : 4.92). Hidung Bagong gaya ini sama dengan hidung
Bagong gaya Madya Surakarta. Hanya saja hidung Bagong Madya Surakarta agak
panjang dan liang hidung lebih besar (Gambar : 4.95). Mulut Bagong gaya
Yogyakarta ini sama dengan mulut Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum
SBY. Hanya saja dagu Bagong gaya ini bagian tengah dagu menonjol. Kumis-
131
kumisan berada di atas keketan melengkung ke bawah dengan ujung kumis
semakin tipis dan melengkung ke atas (Gambar : 4.93). Sedangkan mulut Bagong
gaya Madya Surakarta lebih lebar dan panjang dengan bibir bawah lebih panjang
dari pada bibir bagian atas (Gambar : 4.96).
Gambar : 4. 90 Perbentukan Bagong gaya Yogya koleksi museum WKY
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4. 91
Mata Bagong gaya Yogya koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
132
Gambar : 4.92
Hidung Bagong gaya Yogya koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.93
Mulut Bagong gaya Madya Surakarta koleksi Museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.94
Mata Bagong gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.95
Hidung Bagong gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
133
Gambar : 4.96
Mulut Bagong gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY Gambar oleh Penulis
Gagrak ketiga adalah Bagong gaya pesisiran koleksi dalam Ki Sudiharjo
Jepara. Bagong gaya ini mempunyai bentuk tubuh lebih tegak dan besar, rambut
kuncung seperti Semar berwarna hitam,mata lebih besar, alis mata panjang hingga
kepelipis,kedua jari-jari tangan membuka, kaki sejajar, wajah lebih besar,mulut
lebar,wajah menghadap ke depan. Bagong memakai atribut berupa kalung, gelang
dan cincin serta tidak bersenjata (Gambar : 4. 97).
Bentuk mata Bagong gaya ini sama dengan gaya Bagong gaya lainnya,
yaitu bermata plelengan. Namun ada perbedaan pada mata Bagong gaya ini
dengan kedua gagrak sebelumnya, kedua gagrak tersebut mempunyai sulur mata
sedangkan Bagong gaya pesisiran tidak memiliki sulur mata. Mata Bagong terdiri
dari tiga lapisan warna. Lapisan pertama bagian luar mata berwarna putih, lapisan
kedua berwarna merah, dan ketiga pupil mata berwarna hitam (Gambar : 4.98).
Alis mata tebal dan panjang hingga kepelipis mata.
Hidung Bagong gaya ini nemplik, hidung Bagong gaya ini berbeda dari
dua gagrak sebelumnya, pada liang hidung Bagong gaya ini terdapat dua garis
sejajar hingga mencapai keketan pada mulut Bagong (Gambar : 4.99). Mulut
Bagong gaya ini lebih panjang dibanding gaya Bagong gaya Yogyakarta koleksi
134
museum SBY dan museum WKY. Bibir atas dan bawah tipis, hanya saja bibir
bagian bawah lebih panjang dari bibir bagian atas (Gambar : 4.100). Kumis-
kumisan terdapat disepanjang bibir bagian atas melengkung ke bawah. Dagu
terdiri dari tiga lekukan.
Gambar : 4.97 Perbentukan Bagong gaya Pesisiran
Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.98
Mata Bagong gaya Pesisiran Gambar oleh Penulis
135
Gambar : 4.99
Hidung Bagong gaya Pesisiran Gambar oleh Penulis
Gambar : 4.100
Mulut Bagong gaya Pesisiran Gambar oleh Penulis
Berdasarkan diskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
Bagong berbagai versi di atas mempunyai bentuk tubuh yang berbeda satu dengan
lainnya. Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY mempunyai kepala yang
besar, mempunyai wajah yang lebar dan mulut yang lebar juga. Ia juga
mempunyai dada yang lebih pesar dari pada perutnya, ia mempunyai dada dan
perut yang besar, tetapi mempunyai bokong yang lebih kecil dari perutnya,
136
sehingga Bagong gaya ini terlihat susah berjalan karena keberatan dada dan perut.
Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum WKY juga mempunyai kepala yang
kecil dan wajah yang lebar, tetapi ia mempunyai bokong yang besar, perut dan
dada yang tidak terlalu besar, sehingga bentuk tubuh Bagong gaya ini terlihat
lebih balance dari pada Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY. Tubuh
Bagong gaya Peisiran berbeda dari kedua gaya sebelumnya, tubuh Bagong gaya
ini seimbang antara kepala, perut dan bokong. Ia mempunyai kepala yang besar,
perut yang besar dan lebar, ia juga mempunyai bokong yang besar dan lebar.
Diantara Bagong berbagai Gagrak di atas, Bagong gaya Madya Surakarta
mempunyai ukuran tubuh, mata dan mulut paling besar.
Mata Bagong berbagai versi di atas semuanya bermata plelengan. Hanya
saja perbedaannya tampak pada lapisan dalam mata. Bagong gaya Yogyakarta
koleksi museum SBY dan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
mempunyai tiga lapisan warna dan terdapat suluh mata, tetapi Bagong Pesisiran
tidak terdapat suluh mata, mata Bagong gaya ini bulat dan besar. Hidung Bagong
kesemua gagrak di atas adalah berhidung nemplik. Sedangkan mulut Bagong
berbagai versi diatas lebar dan panjang. Pada Mulut Bagong gaya Madya
Surakarta koleksi Museum WKY paling lebar dari pada mulut Bagong gaya
lainnya.
137
4.2.2 Busana dan Atribut
4.2.2.I Semar
Berikut adalah busana dan atribut Semar gaya Surakarta koleki museum
RPS yang dikaji oleh peneliti. Semar gaya ini memakai aksesoris berupa anting
berwarna kuning (Gambar : 4.101), memakai sumping bermotif bunga berwarna
biru keputihan, memakai busana berupa sarung, ornament yang terdapat pada
sarung Semar berwarna merah, kuning, biru, putih dan didominasi warna kuning
(gambar), gelang tangan berwarna kuning (Gambar : 4.102). Atribut-atibut yang
digunakan adalah gelang tangan, anting, sumping berupa bunga dan cincin (lihat
Gambar : 4.4).
Pada Semar gagrak Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo kurang
menonjolkan karakter Semar sebagai seorang dewa yang mengejawantah, hal ini
terlihat dari tidak adanya aksesoris Semar yang memiliki makna simbolik seperti
Anting Cabe Merah, kuncung, rantai yang menghubungkan mulut dengan kaki,
tetapi Semar gaya ini mempunyai satu gigi bawah dan Kain Poleng Bangbintulu
(Poleng Bang Bintulu, kain yang mempunyai 4 macam warna didalamnya.
Pewarnaan kampuh yang berjumlah 4 macam tersebut merupakan bentuk
simbolisasi dan nafsu manusia, yaitu Lawwamah, Sufiah, Ammarah, dan
Mutmainah yaitu warna merah, hitam, putih, kuning). Nafsu merah dari desakan
kedugingan yang berasal dari anasir api, nafsu hitam berasal dari anasir tanah,
nafsu kuning berasal dari anasir suasana ( udara ) dan nafsu putih yang berasal
dari anasir air. Empat nafsu tersebut merupakan pembentuk jasmani. Masing-
masing anasis membawa sifat asalnya. Empat nafsu itu yang menjadi musuh
138
manusia yang harus dikendalikan, atau dikalahkan ( Sularno, www.tesis seni
rupa//060710).
Selanjutnya adalah busana dan atribut Semar gaya Yogyakarta koleksi
museum Sono budoyo Yogyakarta. Busana Semar gaya Yogyakarta koleksi
museum SBY berupa sarung. Namun ornament pada sarung Semar gaya ini
berbeda dari Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS. Semar gaya Yogyakarta
ini memakai kain bermotif kotak-kotak hitam putih. Atribut yang digunakan
Semar gaya ini anting cabe merah (Gambar : 4.104), gelang tangan biasa (4.106)
seperti yang digunaka para abdi dan cincin (lihat Gambar : 4.33).
Secara keseluruhan atribut dan busana yang dikenakan Semar gaya ini
tidak jauh berbeda dari Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka
Solo. Satu hal yang dimiliki Semar gaya ini tetapi tidak dimiliki Semar gaya
Surakarta adalah anting cabe merah yang menjadi ciri khas Semar sebagai seorang
dewa yang ngejawantah (lihat Gambar : 4.104).
Seperti halnya Semar gaya lainnya, Semar gagrak Yogyakarta koleksi
museum WKY juga memakai busana berupa sarung. Semar gaya Yogyakarta
koleksi museum Wayang Kekayon mempunyai rambut hitam, mempunyai
kuncung berwarna putih, memakai aksesoris berupa anting berwarna hijau (lihat
Gambar ; 4.110), gelang tangan dan cincin. Semar gaya ini terlihat lebih
sederhana dalam berbusana dibanding kedua gagrak sebelumya, jika kedua gagrak
sebelumnya memakai hiasan pada rambut, anting cabe merah, pada Semar gaya
Yogyakarta Koleksi museum Wayang Kekayon ini kesemuanya absen. Sedangkan
139
Semar gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY juga memakai busana
sarung, memakai atribut berupa anting, gelang dan cincin (lihat Gambar : 4.16).
Ornament yang terdapat pada sarung Semar gaya Surakarta koleksi
museum RPS lebih njlimet dengan warna merah, kuning, biru, putih dan
didominasi warna kuning, Semar gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
memakai sarung bermotif kotak-kotak hitam putih, sedangkan Semar gaya
Yogyakarta koleksi WKY memakai sarung bermotif kawung (Gambar : 4.109). Ia
juga mengenakan aksesoris gelang tangan berwarna merah putih dan anting cabe
berwarna hijau. Seperti wayang kulit gaya Yogyakarta lainnya, Semar gaya ini
juga mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan lebih gemuk.
Ornamen yang terdapat pada sarung Semar gaya Surakarta koleksi
museum WKY juga bermotif kawung seperti pada Semar gaya Yogyakarta
koleksi museum WKY, hanya saja motif kawung pada Semar gaya Madya
Surakarta ini lebih besar (gambar : 4.16). Semar gaya ini tidak memakai sumping
dan sangat sederhana dalam penampilannya.
Semar koleksi Ki Sudiharjo memakai aksesoris berupa anting berwarna
biru, memakai sumping, memakai busana berupa sarung (lihat Gambar : 4.44),
jika ornament yang terdapat pada sarung Semar lebih njlimet dengan warna
merah, kuning, biru, putih dan didominasi warna kuning , Semar gaya pesisiran
ini lebih sederhana yaitu ia memakai jarik poleng (motif kotak-kotak) berwarna
putih dengan garis-garis berwarna hitam (Gambar : 4.114). Ia juga mengenakan
aksesoris gelang tangan berwarna merah putih (Gambar : 4.114). Jika ditelaah
lebih dalam, wujud Semar gaya Pesisiran ini lebih memenuhi kriteria sesuai
140
dengan karakternya dibandingkan dengan Semar gaya Surakarta yang jauh dari
karakter Semar yang sebenarnya yaitu sebagai seorang dewa yang ngejawantah..
Berdasarkan uraian di atas, Semar gaya Pesisiran koleksi Ki Sudiharjo ini
lebih menonjolkan karakter Semar sebagai seorang dewa yang mengejawantah
dibanding Semar gaya Surakarta. Namun Semar gaya Pesisiran ini juga kurang
sesuai jika dimaknai sempurna sebagai seorang sufi, karena ia juga tidak memakai
aksesoris yang mempunyai makna simbolik seperti anting cabe merah, rantai yang
menghubungkan mulut dengan kaki, Kain Poleng Bangbintulu (Poleng Bang
Bintulu, kain yang mempunyai 4 macam warna didalamnya. Pewarnaan kampuh
yang berjumlah 4 macam tersebut merupakan bentuk simbolisasi dan nafsu
manusia, yaitu Lawwamah, Sufiah, Ammarah, dan Mutmainah yaitu warna
merah, hitam, putih, kuning).
Secara keseluruhan Semar berbagai gagrak di atas mempunyai perbedaan
sekaligus persamaan. Perbedaan yang ada terdapat pada masing-masing ornament
pada sarung dan juga atribut yang digunakan. Perbedaan yang mencolok dengan
Semar gagrak lainnya adalah Semar gaya Surakarta. Semar gaya ini tidak
mempunyai kuncung berwarna putih seperti gagrak lainnya, selain itu juga Semar
gaya Surakarta dan Semar gaya Pesisiran memakai sumping sedang Semar gaya
lainnya tidak. Persamaan sekaligus perbedaan lainnya adalah pada anting, Pada
Semar gaya Yogyakarta koleksi museum WKY dan SBY memakai anting yang
sama yaitu berbentuk cabai, meskipun dengan warna yang berbeda. Walaupun
Semar berbagai versi tersebut memakai busana dan atribut yang sama yaitu
memakai busana berupa sarung dan memakai atribut berupa gelang, cincin dan
141
anting-anting, namun pada setiap busana dan atribut yang digunakan mempunyai
warna, motif dan bentuk yang berbeda-beda
Pada Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS tidak mempunyai
kuncung berwarna putih, seperti pada Semar gagrak lainnya, tetapi mempunyai
kuncung yang berwarna hitam seperti warna rambutnya. Ia juga memakai atribut
berupa sumping dengan ornament berupa bunga seperti pada Semar gaya
Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara. Selain itu Semar mempunyai buah dada seperti
perempuan. Namun, raut wajahnya seperti laki-laki. Hal ini sesuai dengan
pendapat para ahli bahwa tokoh Semar adalah samar, yaitu ora lanang ora wadon.
Selain Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS juga ketiga gagrak lainnya
juga mempunyai perbentukan yang mengisyaratkan figur Semar yang ora lanang
ora wadon.
4.2.2.2 Gareng
Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS ini seperti halnya panakawan
lainnya, ia memakai kain berupa sarung. Atribut yang digunakan adalah
sejata/parang, anting, gelang tangan, memakai kalung roda bermotif ceplok (lihat
Gambar : 4.48). Busana Gareng lebih lengkap dibanding Semar, jika Semar tidak
memakai atribut seperti kalung dan senjata, tetapi ketiga anaknya termasuk
Gareng memakai keduanya. Ia juga memakai kain sarung bermotif yang berwarna
merah, putih, biru dan kuning. Atribut yang dipakai adalah senjata berwarna
merah yang terletak di tengah-tengah sarung (Gambar : 4.117). Senjata tersebut
disarungkan di sabuk. Ia juga memakai anting berwarna coklat dan merah,
142
memakai gelang tangan berwarna kuning kecoklatan (Gambar : 4.116), memakai
kalung berwarna kuning kecoklatan dengan motif ceplok (Gambar : 4.115).
Selanjutnya adalah Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY.
Busana yang dikenakan Gareng gaya Yogyakarta ini sama seperti yang dikenakan
panakawan lainnya, yaitu memakai sarung. Busana yang digunakan Gareng gaya
Yogyakarta koleksi museum SBY berupa kain sarung dengan motif segitiga. Pada
kain Gareng gaya ini motif segitiga yang digunakan terbentuk dari pembagian
motif kotak-kotak yang dibagi menyilang menjadi empat bagian. bagian atas dan
bawah diberi warna yang sama, begitu juga bagian sisi kiri diberi warna yang
sama dengan motif segi tiga bagian kanan (lihat Gambar : 4.118). Motif ini sangat
berbeda dengan motif sarung Gareng gaya Yogyakarta WKY dan Gareng gaya
Pesisiran yang memakai sarung bermotif kawung.
Atribut yang digunakan juga terdapat perbedaan dan persamaan dengan
gagrak sebelumnya. Gareng gaya ini juga memakai atribut seperti kalung, anting,
dan juga gelang tangan. Tidak seperti Gareng gaya Pesisiran, Gareng gaya ini
membawa senjata. Anting yang digunakan berbentuk lingkaran berwarna merah
putih senada dengan warna kalung yang dipakai (Gambar : 4.119).
Busana yang digunakan Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY
berupa kain sarung dengan motif kawung (Gambar : 4.135). Pada kain Gareng
gaya ini motif kawung yang digunakan lebih kecil dibanding motif kawung pada
kain gareng gaya Pesisiran. Atribut yang digunakan juga berbeda dengan kedua
gagrak sebelumnya. Gareng gaya ini juga memakai atribut seperti kalung, anting,
dan juga gelang tangan (lihat Gambar : 4.56). Sama seperti Gareng gaya Pesisiran,
143
Gareng gaya ini juga tidak membawa senjata. Kalung Gareng gaya ini berupa
lingkaran tanpa ornament dengan tali yang sangat tipis. Anting yang digunakan
berbentuk lingkaran, dengan kuncup bunga di bawahnya.
Sarung yang dipakai Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY
pemakaiannya lebih ke atas perut dan sangat pendek. Jika Gareng gagrak
Surakarta dan Pesisiran kain bagian belakang menutupi lutut dan kain bagian
depan di atas lutut, tidak begitu dengan Gareng gagrak Yogyakarta ini, Gareng
gagrak ini kain bagian belakang menutupi lulut sedang kain bagian depan hanya
sampai di pangkal paha. Sehingga bagian paha hingga ujung kaki terlihat (Gambar
: 4.56). Busana dan atribut pada Gareng gaya Madya Surakarta juga berupa
sarung, dengan atribut seperti kalung, anting dan gelang. Kalung yang digunakan
Gareng gaya ini berbeda dari gagrak lainnya, jika pada Gareng gagrak lainnya
memakai kalung roda, Gareng gaya ini memakai kalung lonceng seperti halnya
Petruk (Gambar : 4.16).
Sama seperti Gareng gaya lainnya, Gareng gaya Pesisiran koleksi
Sudiharjo Jepara ini juga memakai busana berupa sarung. Sarung yang dipakai
Gareng gaya Pesisiran ini bermotif kawung berwarna putih dengan outline
berwarna merah, sedangkan dasaran berwarna hitam (Gambar : 4.124).
Atribut yang digunakan Gareng pesisiran adalah anting, kalung, gelang
tangan, dan tanpa senjata (Gambar ; 4.63). Hal ini berbeda dengan Gareng gaya
Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo, karena pada Gareng gaya
Surakarta memakai senjata. Pada kalung dan anting pun berbeda, Gareng gaya ini
144
memakai kalung yang bermotif bintang berwarna biru (Gambar : 4.126)
sedangkan Gareng gaya Surakarta bermotif ceplok.
Secara keseluruhan dari keempat gagrak tersebut tidak terdapat perbedaan
yang terlalu mendasar. Gareng keempat gagrak di atas sama-sama memakai
sarung dan atribut berupa kalung, gelang dan cincin. Perbedaan yang ada terdapat
pada ornament masing-masing gagrak, ornament pada kalung dan anting dan juga
senjata yang digunakan. Hanya Gareng gaya Pesisiran yang tidak mempunyai
senjata. Jika diperhatikan secara seksama, meskipun bentuk, warna dan model
kalung yang dipakai oleh Gareng beranekaragam, namun kalung tersebut adalah
tetap kalung roda. Hanya saja telah diubah dan dieksplor oleh pembuat wayang
Gareng tersebut sesuai dengan keinginan perajin wayang tersebut.
Pada atribut berupa gelang tangan pada Gareng berbagai gagrak di atas
memakai gelang dengan bentuk yang sama, hanya saja pada warnanya berbeda.
Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS memakai gelang tangan dengan
warna coklat kekuningan, sedangkan Gareng gaya lainnya memakai gelang tangan
berwarna merah putih.
4.2.2.3 Petruk
Busana yang dikenakan Petruk gaya Surakarta Koleksi Museum Radya
Pustaka Surakarta sama dengan busana yang dikenakan oleh panakawan pada
umumnya, yaitu sarung. Pada Petruk gaya Surakarta ini atribut yang digunakan
adalah sejata/parang, anting, gelang tangan, memakai kalung berbentuk lonceng.
Busana dan atribut yang dikenakan Petruk sama dengan yang digunakan Gareng,
jika Semar tidak memakai atribut seperti kalung dan senjata, tetapi ketiga anaknya
145
termasuk Gareng dan Petruk memakai keduanya. Ia juga memakai kain sarung
bermotif yang berwarna merah, putih, biru dan kuning. Atribut yang dipakai
adalah senjata berwarna merah yang terletak di tengah-tengah sarung (gambar :
4.129). Senjata tersebut disarungkan di sabuk. Ia juga memakai anting berwarna
coklat, memakai gelang tangan berwarna kuning kecoklatan (Gambar : 4.128),
dan juga memakai kalung berbentuk lonceng yang berwarna kuning kecoklatan
(Gambar : 4.128).
Seperti busana Petruk gaya Surakarta koleksi museum RPS, busana yang
dikenakan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY berupa sarung. Atribut
yang digunakan gelang, kalung genta, anting, senjata (Gambar : 4.71). Busana
Petruk gaya ini berupa kain sarung bermotif kotak-kotak. Pada setiap kotak terdiri
dari empat segitiga yang berwarna hitam putih. Segitiga pada bagian atas dan
bawah berwarna hitam, sedangkan bagian kiri dan kanan berwarna putih.
Ornamen pada kain sarung ini berbeda dengan ketiga kain Petruk gagrak lainnya.
Ornamen pada kain Petruk gaya ini motif segitiga yang digunakan
terbentuk dari pembagian motif kotak-kotak yang dibagi menyilang menjadi
empat bagian. Bagian atas dan bawah diberi warna yang sama, begitu juga bagian
sisi kiri diberi warna yang sama dengan motif segi tiga bagian kanan (Gambar : 4.
4.71). Motif ini sangat berbeda dengan motif sarung Petruk gaya Surakarta koleksi
museum RPS.
Selanjutnya busana dan atribut Petruk gaya Yogyakarta koleksi Museum
WKY. Petruk gaya ini juga memakai busana sarung. Petruk mempunyai rambut
hitam panjang dan dikuncir, memakai aksesoris berupa anting berwarna coklat,
146
dan memakai sepatu (Gambar : 4.75). Hal ini yang membedakan Petruk dari
panakawan lainnya. Sehingga membuat Petruk gaya ini terlihat lebih spesial
karena panakawan lainnya tidak ada yang memakai sepatu. Agaknya Petruk gaya
Yogyakata memang sering ditampilkan memakai sepatu, hal ini sama seperti pada
Petuk gaya Yogyakarta yang dibuat Sagio, seperti yang tedapat pada Sagio dan Ir.
Pambudi (lihat lampiran II Gambar : 2.3).
Petruk gaya ini terlihat lebih sederhana dalam berbusana dibanding kedua
gagrak sebelumya. Ornament yang terdapat pada sarung Petruk Surakarta koleksi
RPS lebih njlimet dengan warna merah, kuning, biru, putih dan didominasi warna
kuning , Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY memakai sarung bermotif
kotak-kotak hitam putih, Petruk gaya ini memakai sarung bermotif kawung
(Gambar : 4.134).
Dalam memakai sarung, Petruk sama seperti Gareng gaya Yogyakarta
koleksi museum WKY, yaitu lebih ke atas perut dan sangat pendek. Jika kedua
gagrak sebelumnya yaitu Petruk gagrak Surakarta dan Petruk gaya Yogyakarta
koleksi museum SBY kain bagian belakang menutupi lutut dan kain bagian depan
di atas lutut, tidak begitu dengan Petruk gagrak Yogyakarta ini, Petruk gagrak ini
kain bagian belakang menutupi lulut sedang kain bagian depan hanya sampai di
pangkal paha. Sehingga bagian paha hingga ujung kaki terlihat Bahkan kaki
Petruk bagian depan seperti telanjang. Sedangkan busana pada Petruk gaya Madya
Surakarta koleksi museum WKY juga berupa sarung dengan motif segitiga.
Atribut yang digunakan berupa kalung , gelang dan anting-anting.
147
Busana dan atribut Petruk gaya pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara. Petruk
gaya ini juga memakai sarung. Atibut yang digunakan adalah anting, kalung
genta, gelang, dan senjata. Perbedaan yang tampak mencolok pada atribut Petruk
gaya ini dibanding Petruk gaya lainnya adalah pada senjatanya. Senjata Petruk
gaya ini pada gagang/peganggannya yang berbentuk kepala burung (Gambar :
4.138). Sehingga membuat senjata Petruk gaya ini terlihat lebih unik dari senjata
Petruk gaya lainnya. Ornamen yang terdapat pada sarung Petruk gaya Pesisiran
berupa kain slobok, yaitu kain bercorak kotak-kotak dengan garis-garis diagonal
dari sudut-sudutnya (Gambar : 4.135).
Secara keseluruhan Petruk berbagai versi tersebut memiliki perbedaan
sekaligus persamaan. Perbedaan yang mendasar terdapat pada ornament sarung
dan msing-masing atribut seperti anting, kalung, cincin dan senjata. Sedangkan
atribut berupa gelang, hanya Petruk gaya Surakarta yang berbeda. Persamaan
lainya Petruk berbagai versi di atas memakai busana berupa sarung. Meskipun
sama-sama memakai sarung, namun sarung yang dipakai Petruk berbagai versi di
atas tentu saja berbeda motif dan sunggingannya. Petruk berbagai versi ini sama-
sama memakai kalung genta, meskipun bentuk, motif dan warnanya berbeda.
Perbedaan yang paling mencolok adalah pada Petruk gaya Yogyakarta
koleksi museum SBY, Petruk gaya ini memakai sepatu, padahal lazimnya sepatu
hanya digunakan oleh pawa dewa dan jika ada tokoh Petruk memakai sepatu
adalah pada saat ia menjadi raja dengan nama Prabu Durtawarna atau Gurnadur
Jenderal Belgeduwel Beh (Widodo, 1984 : 136). Selain tiu pada Petruk gaya
Yogyakarta dalam Sagio dan Ir. Pambudi juga memakai sepatu.. Namun sampai
148
hasil penelitian ini dibuat, peneliti belum dapat mengetahui secara jelas mengapa
Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY ini memakai sepatu.
4.2.2.4 Bagong
Busana yang dikenakan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
sama dengan busana panakawan pada umumnya, yaitu sarung. Ornamen yang
terdapat pada kain sarung Bagong berupa segitiga dengan warna-warna yang
berbeda (Gambar : 4.140). Ornamen ini sama dengan Petruk dan Gareng gaya
Yogyakartakoleksi museum SBY. Letak sarung berada di bawah perut dan
panjangnya sebatas mata kaki. Atribut yang terdapat pada Bagong gaya ini adalah
kalung roda, gelang, anting dan tidak bersenjata (lihat Gambar : 4.86). Dibanding
panakawan lainnnya, busana dan atribut Bagong lebih sederhana.
Selanjutnya adalah atribut Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum
WKY. Bagong gaya ini memiliki perbedaan yang menonjol dengan Bagong
gagrak Yogyakarta koleksi Museum Sono Budoyo pada atribut dan ornament
sarungnya. Ornamen yang terdapat pada sarung Bagong gaya ini bermotif kawung
(Gambar :4.142). Atribut yang digunakan sama yaitu anting, kalung dan gelang
(Gambar : 4.90). Perbedaanya pun terletak pada ornament masing-masing atribut
yang digunakan. Bentuk kalung Bagong gaya ini adalah kalung dengan tiga
leontin (Gambar : 4.141). Bagong gaya ini memakai sarung di bawah perutnya
dengan panjang sarung mencapai mata kaki. Sedangkan Busana yang dipakai
Bagong gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY berupa kain sarung dengan
motif segitiga. Atribut yang dipakai adalah anting, kalung dan Gelang.
149
Busana dan atribut berikutnya adalah busana Bagong gaya Pesisiran
koleksi Sudiharjo Jepara. Busana Bagong gaya ini sama dengan busana kedua
gagrak sebelumnya yaitu sarung. Atribut-atribut yang dipakai yaitu kalung,
anting, gelang. Tidak seperti Gareng dan Petruk yang memiliki senjata, Bagong
tidak memiliki senjata.
Ornamen yang ada pada busana Bagong gaya Pesisiran ini berbeda dari
panakawan gaya Pesisiran lainnya. Jika Semar, Gareng dan Petruk memakai
sarung dengan motif kotak-kotak, Bagong memakai sarung dengan motif kawung
berwarna putih dengan dasaran berwarna hitam. Dalam pemakaian sarung,
Bagong gaya ini berbeda dari Bagong versi lainnya. Bagong gaya ini memakai
sarung lebih ke atas, yaitu di bawah dada, Sedangkan bagong gaya lainnya
memakai sarung di bawah perutnya.
Secara keseluruhan Bagong berbagai versi di atas juga mempunyai
perbedaan sekaligus persamaan. Meski sama-sama memakai atribut berupa
sarung, namun ornament yang terdapat pada masing-masing sarung tersebut
berbeda-beda. Perbedaan lainnya adalah pada kalung yang digunakan Bagong
gaya Yogyakarta koleksi museum WKY. Bagong gaya ini tidak memakai kalung
roda berbentuk bulat seperti pada Bagong gaya lainnya, melainkan memakai
kalung dengan tiga leontin berbentuk segitiga.
Bagong berbagai gagrak di atas, memakai gelang yang sama, baik bentuk
maupun warnanya. Anting yang dipakai pada Bagong gaya Yogyakarta koleksi
museum WKY dan anting Gareng gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara
mempunyai bentuk yang sama dengan leontin pada kalung yang dipakai. Hanya
150
Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY yang memakai anting yang
berbeda dengan kalungnya, ia memakai anting berbentuk bulat dengan warna
merah putih.
4.2.3 Pewarnaan/Sunggingan
4.2.3.I Semar
Tahap terakhir pada klasifikasi bentuk wayang adalah warna dari wayang
tersebut atau dalam dunia pewayangan sering disebut sunggingan. Dan warna
utama yang digunakan pada zaman dulu adalah :Warna putih terbuat dari tulang
binantang yang dibakar. Ditumbuk hingga halus, ditambah dengan kapur sirih dan
ancur mentah yang di rendam dalam proporsi perbandingan yang tepat. Warna
Hitam Warna hitam dihasilkan dari hoyan yang dicampur londho jangkang kepuh.
Bisa juga dari langer kukus lampu. Warna Kuning warna kuning dihasilkan dari
dari batu atal yang digerus. Warna Biru dibuat dari bahan nila (nila werdi). Warna
merah bahan dari gincu merah (Widodo, 1984 : 89). Seiring berkembangnya
zaman maka warna-warna tersebut sudah tidak digunakan lagi. Adapun pengrajin
wayang kulit jaman sekarang menggunakan cat acrylic sebagai bahan
penyunggingnya. Selain mudah didapat di toko-toko, dengan menggunakan cat ini
maka pengrajin wayang dapat menghemat waktu yang dulunya digunakan untuk
membuat warna-warna tersebut.
Berikut adalah sunggingan/pewarnaan Semar yang dikaji oleh peneliti,
meliputi Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo, Semar gaya
Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo, Semar Madya Surakarta dan Semar
151
gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan Semar gaya
pesisiran koleksi Ki Sudiharjo Jepara
Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS mempunyai badan berwarna
hitam, warna muka Semar putih, tetapi telinga hitam (lihat Gambar : 4.4).
Berdasarkan makna filosofisnya, putih berarti suci, hal ini sesuai dengan karakter
Semar yang merupakan seorang pamomong sejati yang berilmu tinggi, suci lahir
maupun bathin. Sedangkan tubuh Semar yang berwarna hitam berdasarkan
psikologi warna melambangkan misteri, agaknya hal ini sesuai dengan figur
Semar yang sangat misterius dan menyimpan berbagai macam pertanyaan.
Warna-warna yang digunakan pada kain sarung Semar adalah merah,
kuning, biru dan putih, tampak warna kuning menjadi dominasi. Pada sabuk yang
dikenakan Semar terdapat dua sunggingan dengan dua tingkatan, tingkatan
pertama terdiri dari lima sunggingan yaitu merah, kuning, putih, biru keputih-
putihan, dan biru dan tingkatan kedua berwarna merah dengan ornament berupa
belah ketupat dan titik-titik/garis berbentuk silang, pada sunggingan uncal warna-
warna yang digunakan adalah warna-warna panas seperti merah, kuning dan biru
(Gambar : 4.103). Pada atribut berupa gelang, cincin dan anting menggunakan
warna masing-masing berwarna kuning. Pada pewarnaan wayang gaya Surakarta
koleksi museum Radya Pustaka Solo, Warna komplementer lebih diutamakan,
sehingga membuat pewarnaan ini terlihat mencolok. Selain itu warna hitam pada
tubuh Semar menjadi dominasi dalam pewarnaan Semar gagrak Surakarta ini.
152
Gambar : 4.101 Gambar : 4.102 Anting Semar Koleksi Museum RPS Gelang Semar Koleksi Museum RPS
(Gambar diolah oleh Penulis)
Gambar : 4.103 Sunggingan Pada Sabuk dan Sembuliyan
(Gambar Diolah oleh Penulis)
Pewarnaan pada Semar gaya Surakarta koleksi Museum SBY. Warna-
warna yang digunakan : merah, hitam, putih, hijau, rambut hitam, memakai
aksesoris berupa anting cabe merah yang merupakan ciri khas dari sosok Semar,
dari keempat gagrak yang ada, hanya Semar gaya Yogyakarta koleksi museum
SBY ini saja yang memakainya. Semar koleksi museum Sono Budoyo ini
153
menggunakan warna hitam dan putih pada tubuh dan wajahnya (Gambar : 4.9).
Wajah berwarna putih artinya suci, sama seperti pewarnaan pada Semar gagrak
Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo.
Pada busana Semar gaya ini kain sarung yang digunakan terdapat
sembuliyan yang disungging dengan warna-warna cerah seperti kuning, hijau dan
merah (Gambar : 4.105). Diantara warna-warna yang ada pada Semar gaya
Yogyakarta ini warna-warna tersebut terlihat paling menyala. Hal ini dikarenakan
warna-warna lainnya pada sarung Semar adalah hitam dan putih. Pewarnaan pada
gagrak Yogyakarta Koleksi museum SBY warna hitam menjadi dominasi.
Pada Semar gagrak Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo Yogyakarta
inilah yang paling sesuai dengan karakter Semar sebagai seorang dewa yang
mengejawantah, hal ini terlihat dari aksesoris Semar yang memiliki makna
simbolik seperti Anting Cabe Merah (Gambar : 104), kuncung, satu gigi bawah
dan Kain memakai jarik poleng/motif kotak-kotak berwarna putih dengan garis-
garis berwarna hitam (Gambar : 4.107). Selain itu juga memakai gelang biasa
berwarna merah putih (Gambar : 106).
Gambar : 4.104
Anting cabe merah SBY Gambar diolah oleh Penulis
154
Gambar : 4. 105
Sembuliyan pada Busana Semar SBY Gambar diolah oleh Penulis
Gambar : 4. 106
Gelang Semar SBY Gambar diolah oleh Penulis
Gambar : 4.107
Sunggingan Pada Busana Semar SBY Gambar diolah oleh Penulis
155
Berikutnya pewarnaan Semar gaya Yogyakarta koleksi Museum Wayang
Kekayon Yogyakarta (WKY). Warna-warna yang digunakan pada Semar gaya ini
adalah warna hitam, putih, merah, emas/prada, hijau dan biru. Warna hitam
terdapat pada rambut, garis-garis outline dan juga pada kain sarung, warna putih
pada kuncung dan pada ornament kawung pada busana Semar, warna merah
tampak pada ukiran sabuk, selain merah sunggingan pada sabuk juga berwarna
biru, emas/perada dan putih (Gambar : 4.108), sedangkan warna perada terdapat
pada warna tubuh dan wajah, juga pada dasaran sarung yang dipakai Semar
(Gambar : 4.109). Pada aksesoris berupa gelang tangan, warna-warna yang
digunakan adalah merah dan putih (Gambar : 4.110). Warna-warna yang
digunakan Semar gaya ini lebih sedikit jika dibandingkan warna-warna yang ada
pada Semar gaya Surakarta dan Pesisiran. Sedangkan pewarnaan yang ada pada
Semar gaya Madya Surakarta tergolong unik dan lain dari pewarnaan wayang
yang biasa peneliti lihat. Semar gaya ini memiliki tubuh berwarna biru. Hal ini
berbeda dari pewarnaan pada panakawan maupun tubuh tokoh wayang lainnya
yang kebanyakan menggunakan warna hitam dan perada. Pewarnaan pada atribut
yang digunakan Semar gaya ini lebih sederhana dan sedikit warna, hanya
menggunakan warna kuning dan coklat. Pada sarung digunakan warna dasar hitam
dan ornament berwarna kuning (lihat Gambar : 4.16).
Pada Semar gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon
Yogyakarta ini warna perada lebih banyak digunakan, sehingga membuat
pewarnaan ini lebih menyala. Warna-warna lainnya pun sangat sederhana dan
tidak terlalu menjolok. Namun dengan adanya warna emas/perada memberikan
156
kesan indah dan mewah. Warna emas pada tubuh, sebagian busana dan aksesoris
tampak sangat menonjol.
Gambar : 4.108
Sunggingan Pada Sabuk Semar WKY (Gambar Diolah oleh penulis)
Gambar : 4.109
Sunggingan pada sarung Semar WKY (Gambar Diolah oleh penulis)
Gambar : 4.110
Sunggingan Pada Gelang dan Anting Semar WKY (Gambar Diolah Oleh Penulis)
157
Selanjutnya adalah pewarnaan Semar gaya Pesisiran. Warna-warna yang
digunakan pada Semar gaya ini adalah warna hitam, putih, merah, emas/prada,
hijau dan biru. Warna hitam terdapat pada rambut, garis-garis outline dan juga
pada kain sarung, warna putih pada kuncung,wajah, dan motif kotak-kotak pada
kain sarung, warna merah tampak pada sunggingan sabuk, selain merah
sunggingan pada sabuk juga berwarna hijau dan putih, sedangkan warna perada
terdapat pada warna tubuh dan aksesoris berupa anting hidung. Warna-warna yang
digunakan Semar gaya ini lebih sedikit jika dibandingkan warna-warna yang ada
pada Semar gaya Surakarta.
Pada Semar gaya Pesisiran koleksi Ki Sudiharjo ini warna perada lebih
banyak digunakan, sehingga membuat pewarnaan ini terlihat menyala. Warna-
warna lainnya pun sangat sederhana dan tidak terlalu mencolok. Namun dengan
adanya warna emas/perada memberikan kesan indah dan mewah. Warna emas
pada tubuh dan perhiasan seperti anting tampak sangat menonjol (Gambar : 4.25).
Pada sabuk Semar sunggingan yang digunakan adalah warna gradasi
kuning, hijau kuning, hijau biru dan gradasi putih, merah (Gambar : 111). Disela-
sela antara dua gradasi tersebut terdapat warna perada. Pada sunggingannya
terdapat arsiran berupa garis-garis horizontal yang beraturan, hal ini membuat
sunggingan lebih indah. Sedangkan sunggingan pada sumping adalah ukir-ukiran
yang disungging dengan warna kuning, hijau, putih dan merah. Semar gaya
pesisiran ini lebih sederhana yaitu ia memakai jarik poleng (motif kotak-kotak)
berwarna putih dengan garis-garis berwarna hitam (Gambar : 114).
158
Warna muka Semar putih (Gambar : 112), putih berarti suci, hal ini sesuai
dengan karakter Semar yang merupakan seorang pamomong sejati yang berilmu
tinggi, suci lahir maupun bathin. Pada wajah Semar terdapat bibir dan mata yang
berwarna merah menyala, hal ini tampak kontras dengan warna wajah Semar yang
Putih. Mata Semar gaya ini terdiri dari dua tingkatan, tingkatan pertama berwarna
merah dan tingkatan kedua yaitu bola mata berwarna hitam. Pada wajah Semar
tidak tampak adanya garis-garis guratan berwarna hitam seperti yang tampak pada
Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka solo, hal ini membuat
Semar gaya Pesisiran terlihat lebih muda.
Gambar : 4.111
Sunggingan pada sabuk Semar Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
Gambar : 4.112
Sunggingan Pada Wajah dan Anting Semar Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
159
Gambar : 4.113
Sunggingan Pada Sumping Semar Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
Gambar : 4.129
Sunggingan Pada Busana Semar Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa
sunggingan/pewarnaan Semar berbagai versi di atas banyak yang menggunakan
warna-warna komplementer. Untuk pewarnaan gaya Yogyakarta koleksi museum
SBY dan gaya Surakarta koleksi museum RPS banyak ditemui kombinasi dari
warna-warna komplementer pada bagian sarung, kain lipatan, sembuliyan dan
bagian sabuk seperti Merah dan Hijau, dan Orange dan Biru. Gaya Yogyakarta
160
koleksi museum WKY dan gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara juga
menggunakan pewarnaan yang sama, namun karena pada gaya Surakartawarna
prada (emas) lebih di utamakan maka warna komplementer tersebut terkesan
kalah terang yang mengakibatkan pewarnaan ini kurang menyala.
Pada bagian mata juga tampak jelas sekali perbedaannya dimana pada
mata Semar tidak menyisakan warna putih seperti yang terlihat pada Semar gaya
Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara. Sedangkan pada Semar gaya Yogyakarta
koleksi museum WKY menyisakan warna putih pada matanya. Berbeda lagi pada
mata Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS dan museum SBY warna putih
diganti dengan warna perada. Pada pewarnaan bibir berwarna merah.
Perbedaan sunggingan kedua gaya ini juga terletak pada kumis dimana
kumis pada Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS adalah kumis yang tebal
sedang kumis pada Semar gaya Yogyakarta koleksi museum SBY berupa sayatan
tipis. Dan perbedaan terakhir ada pada pola kain sarung, dimana sunggingan pada
sarung Semar gaya Surakarta koleksi museum RPS, gaya Yogyakarta koleksi
museum SBY dan gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo lebih banyak menggunakan
warna komplementer seperti merah, hijau, biru, kuning, Sedangkan Semar gaya
Yogyakarta koleksi museum WKY lebih banyak menggunakan warna perada.
4.2.3.2 Gareng
Berikut adalah sunggingan/pewarnaan pada Gareng yang dikaji oleh
Penulis meliputi Gareng gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo,
Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo, Gareng Madya Surakarta
161
dan Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan
Gareng gaya pesisiran koleksi Ki Sudiharjo Jepara.
Gareng gaya Surakarta koleksi museum RPS warna-warna yang digunakan
adalah hitam, putih, merah, biru, kuning, warna kuning kecoklatan. Warna hitam
pada rambut dan warna tubuh, warna kuning kecoklatan pada warna wajah dan
atribut berupa kalung (Gambar : 4.115), gelang tangan (Gambar : 4.116) dan
sebagian ornament pada sarung, warna putih pada mata, gigi, sunggingan pada
sabuk, selain warna putih sunggingan pada sabuk juga terdapat warna merah,
kuning, biru dan coklat (Gambar : 4.117), warna merah pada bola mata, bibir,
senjata dan sebagian ornament pada sarung.
Warna hitam menjadi dominasi pada pewarnaan Gareng gaya Surakarta.
Namun diimbangi dengan warna komplementer pada busananya, sehingga
membuat pewarnaan ini terlihat mencolok, meski warna wajah yang berwarna
coklat tampak tidak terlalu mencolok. Dalam pewarnaan Gareng gaya Surakarta
ini tidak menggunakan prada/emas yang biasa digunakan pada sunggingan
wayang kulit purwa. Untuk mengganti warna perada, digunakan warna kuning
kecoklatan seperti yang tampak pada warna wajah dan atribut.
Gambar : 4.115 Ornament dan Sunggingan Pada Kalung Gareng RPS
Gambar Diolah oleh Penulis
162
Gambar : 4.116
Sunggingan Pada Gelang Gareng RPS Gambar diolah oleh Penulis
Gambar : 4.117
Sunggingan pada sabuk dan senjata Gareng RPS Gambar diolah oleh Penulis
Pewarnaan kedua adalah Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY.
Warna-warna yang digunakan pada Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum
SBY adalah warna coklat, hitam, putih, merah dan kuning. Warna hitam terdapat
pada tubuh, rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-outline. Warna
merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata, gelang tangan dan
sunggingan pada anting (Gambar : 4.5). Warna putih pada sunggingan mata dan
163
warna hitam putih terdapat pada motif segitiga pada kain. Pada atribut seperti
kalung, gelang, anting dan cincin menggunakan warna merah putih.
Secara keseluruhan warna-warna Gareng gaya Yogyakarta didominasi
oleh warna hitam, sehingga membuat pewarnaan ini tidak terlalu menyala. Warna-
warna lain seperti perada tidak dipakai di sini. hal ini sangat berbeda dengan
gagrak Yogyakarta lainnya yang cenderung menggunakan warna perada sehingga
terkesan mewah dan mahal. Pewarnaan pada sarung saja sangat sederhana, hanya
ada warna hitam putih pada motif segitiga dan warna merah dan kuning pada
uncal dan sabuk (Gambar : 4.118).
Gambar : 4. 118 Busana Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum SBY
Gambar diolah oleh Penulis
Gambar : 4.119
Sunggingan pada wajah Gareng SBY Gambar Diolah oleh Penulis
164
Gambar : 4. 120 Sunggingan Pada Anting dan Kalung Gareng SBY
Gambar Diolah oleh Penulis
Selanjutnya pewarnaan Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY.
Warna-warna yang digunakan pada Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum
WKY adalah warna emas/perada, warna coklat, hitam, putih, merah, dan biru.
Warna hitam tedapat pada rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-
outline. Warna merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata, gelang
tangan dan sunggingan pada anting. Warna putih pada sunggingan mata dan motif
kawung pada kain. Warna coklat terdapat pada leontin kalung dan warna perada
terdapat pada warna tubuh dan pada dasaran kain. Berbeda dari
sunggingan/pewarnaan Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum WKY yang
lebih banyak mengunakan warna perada, Gareng gaya Madya Surakarta ini lebih
banyak menggunakan warna biru. Atribut yang dipakai adalah gelang, kalung, dan
165
cincin. Kalung berwarna merah, kuning, hitam, sedangkan sarung berwarna dasar
hitam dengan ornament berwarna kuning (lihat Gambar : 4.121)
Secara keseluruhan warna-warna Gareng gaya Yogyakarta WKY ini
didominasi oleh warna perada/emas, sehingga membuat pewarnaan ini terkesan
mewah dan menarik. Warna-warna lain seperti biru dan merah sangat sedikit
dipakai. Hanya ada pada ornament sabuk, sehingga membuat pewarnaan ini
kurang mencolok. Sedangkan pada gareng gaya Madya Surakarta WKY ini
didominasi warna biru sehingga membuat pewarnaan Gareng gaya ini terlihat
mencolok.
Gambar : 4.121
Sunggingan pada Sarung Gareng WKY Gambar diolah oleh Penulis
Gambar : 4.122
Sunggingan pada Wajah Gareng WKY Gambar Diolah oleh Penulis
166
Gambar : 4.123
Sunggingan pada Kalung dan Anting Gareng WKY Gambar Diolah oleh penulis
Pewarnaan keempat yaitu Gareng gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara.
Pada Gareng gaya Pesisiran koleksi Ki Sudiharjo ini warna perada lebih banyak
digunakan, sehingga membuat pewarnaan ini terlihat menyala. Warna-warna
lainnya pun sangat sederhana dan tidak terlalu mencolok. Namun dengan adanya
warna emas/perada memberikan kesan indah dan mewah. Warna emas pada tubuh
tampak sangat menonjol.
Warna-warna yang digunakan pada Gareng gaya ini adalah warna hitam,
putih, merah, emas/prada, hijau dan biru. Warna hitam terdapat pada rambut,
garis-garis outline dan juga pada dasaran kain sarung, warna putih pada wajah,
dan motif kawung pada kain sarung (Gambar : 4.124), warna merah tampak pada
sunggingan sabuk, selain merah sunggingan pada sabuk juga berwarna hijau dan
putih (Gambar : 4.125), sedangkan warna perada terdapat pada warna tubuh, dan
warna biru pada anting dan pada leontin kalung, sedangkan talinya berwarna
merah (Gambar : 4.126). Warna-warna yang digunakan Gareng gaya ini lebih
167
sedikit jika dibandingkan warna-warna yang ada pada Gareng gaya Surakarta,
selain itu pada tiap sunggingan terdapat arsiran.
Gambar : 4.124
Sunggingan pada Busana Gareng Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
Gambar : 4.125
Sunggingan pada Sabuk Gareng Pesisiran Gambar diolah oleh penulis
Gambar : 4.126
Sunggingan Pada Anting dan Kalung Gareng Pesisiran Gambar diolah oleh Penulis
168
Gambar : 4.127
Sunggingan pada Wajah Gareng Pesisiran (Gambar Diolah oleh Penulis)
Secara keseluruhan, keempat Gareng dari berbagai versi di atas memiliki
persamaan sekaligus perbedaan dalam pewarnaan/sunggingan. Perbedaan yang
menonjol tampak pada wajah Gareng gaya Pesisiran, Gareng gaya surakarta dan
Gareng gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang kekayon. Wajah Gareng gaya
Pesisiran berwarna putih, wajah Gareng gaya Surakarta berwarna coklat
kekuningan, sedangkan Gareng gaya Yogyakarta berwarna prada. Warna putih
pada wajah Gareng gaya Pesisiran ini sama dengan warna wajah pada Gareng
gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo. Seperti halnya sunggingan pada
Semar, sunggingan pada Gareng juga lebih banyak menggunakan warna
komplementer seperti merah dan hijau, kuning dan biru. Pada Gareng gaya
Yogyakarta koleksi museum WKY warna komplementer sangat sedikit
digunakan, yaitu warna merah dan biru pada sabuk saja. Perwarnaan Gareng gaya
ini didominasi warna perada. Sehingga membuat Gareng gaya ini terkesan lebih
mewah dibanding Gareng gaya lainnya.
169
4.2.3.3 Petruk
Berikut ini adalah sunggingan/pewarnaan Petruk yang dikaji oleh peneliti,
meliputi Semar gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo, Semar gaya
Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo, Semar Madya Surakarta dan Semar
gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta dan Semar gaya
pesisiran koleksi Ki Sudiharjo Jepara.
Warna-warna yang digunakan pada Petruk gaya Surakarta koleksi museum
RPS adalah warna perada, coklat, hitam, putih, merah, biru dan kuning. Warna
hitam terdapat pada tubuh, rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-
outline. Warna merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata,
palemahan dan sebagian ornament pada sarung (Gambar : 4.6). Warna perada
terdapat pada warna wajah dan juga terdapat pada warna dasar kain sarung. Warna
hitam terdapat pada warna tubuh. Pada atribut seperti kalung, gelang dan cincin
menggunakan warna kuning kecoklatan (Gambar : 4.128).
Secara keseluruhan, warna Petruk gaya ini didominasi warna hitam. Selain
itu warna perada juga banyak digunakan dalam pewarnaan Petruk gaya Surakarta.
Warna-warna komplementer seperti merah, biru dan kuning jarang sekali
digunakan, kalaupun digunakan itu sangat sedikit dan pada bagian yang kecil saja.
Sehingga membuat pewarnaan ini kurang mencolok.
170
Gambar : 4.128
Sunggingan Pada Kalung dan Gelang Tangan Petruk RPS Gambar Diolah oleh Penulis
Gambar : 4.129
Sunggingan Pada Sarung Petruk RPS
Gambar : 4.130
Sunggingan pada Wajah Petruk RPS Gambar Diolah oleh Penulis
171
Pewarnaan Petruk gaya Yokyakarta koleksi museum SBY. Warna-warna
yang digunakan pada Petruk gaya ini adalah warna merah, kuning, hijau, hitam,
dan putih. Warna merah terdapat pada warna bibir, mata, anting, gelang, kalung,
tangkai senjata dan sunggingan pada sarung. Warna hitam terdapat pada rambut,
warna tubuh, alis mata, kumis, dan sunggingan pada sarung, dan sebagainya.
Warna hitam menjadi dominasi pada Petruk gaya ini. Warna komplementer
banyak digunakan dalam pewarnaan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum
SBY sehinnga membuat pewarnaan ini terlihat menyala.
Gambar : 4.131 Sunggingan pada Wajah Petruk SBY
Gambar Diolah oleh penulis
Gambar : 4.147
Sunggingan pada Kalung Genta Petruk SBY Gambar Diolah oleh Penulis
172
Selanjutnya adalah pewarnaan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum
WKY. Warna-warna yang digunakan pada Petruk gaya ini adalah warna perada/
emas, warna hitam, hijau, putih, merah, jingga dan kuning (Gambar : 4.22).
Warna perada terdapat pada wajah dan seluruh tubuh. Warna hitam terdapat pada
rambut, alis mata,pupil mata,warna hijau terdapat pada kalung genta Petruk dan
anting, warna putih terdapat pada ornament kawung, merah terdapat pada gelang,
bibir,sunggingan pada mata, dan sunggingan pada kain sarung. Biru terdapat pada
sembuliyan. Jingga, merah, perada terdapat pada kain wiru, dan sepatu. Kuning
pada senjata. Pada Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, warna perada
menjadi dominasi. Warna-warna komplementer sangat sedikit digunakan.
Sehingga membuat pewarnaan ini kurang mencolok. Berbeda dari pewarnaan
Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY yang didomonasi warna perada,
pewarnaan Petruk gaya Madya Surakarta koleksi Museum WKY dominan
berwarna biru. Warna-warna yang digunakan adalah biru, merah, kuning, coklat
dan hitam (lihat Gambar : 4.16)
Gambar : 4.133
Sunggingan pada Kalung Genta Petruk WKY Gambar Diolah oleh Penulis
173
Gambar : 4.134
Sunggingan Pada Busana Petruk WKY Gambar Diolah Oleh Penulis
Gambar : 4.135 Sunggingan Pada Wajah Petruk WKY
Gambar Diolah Oleh Penulis
Petruk sampel terakhir adalah Petruk gaya Pesisiran. Pewarnaan Petruk
gaya ini berbeda dari ketiga gagrak sebelumnya. Warna-warna yang digunakan
Petruk gaya ini adalah warna perada/emas, hitam, putih, merah, biru, coklat,
kuning dan hijau. Warna perada terdapat pada warna tubuh, warna hitam terdapat
pada rambut, warna putih terdapat pada wajah dan sarung (Gambar : 151), warna
merah terdapat pada bibir dan kalung genta, warna biru terdapat pada anting dan
174
sembuliyan pada kain sarung. Pada tepi kain atau wiru terdapat sunggingan
dengan warna merah, kuning dan hijau. Pada senjata Petruk terdapat warna coklat
pada tempat/sarung senjata, sedangkan pada gagang senjata yang berbebtuk
kepala burung berwarna hijau dengan garis berwarna merah (Gambar : 4.138).
Secara keseluruhan warna-warna yang digunakan Petruk gaya pesisiran ini
didominasi oleh warna perada, yaitu warna pada seluruh tubuh yang membuat
pewarnaan Petruk gaya ini terlihat menyala. Warna-warna komplementer sangat
sedikit digunakan, sehinggga membuat pewarnaan ini kurang mencolok.
Gambar : 4.136
Sunggingan pada Busana Petruk Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
Gambar : 4.137
Sunggingan pada Wajah Petruk Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
175
Gambar : 4.138
Sunggingan pada Senjata Petruk Pesisiran Gambar Diolah Oleh Penulis
Berdasarkan pewarnaan/sunggingan Petruk berbagai versi di atas, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa selalu terdapat perbedaan dan persamaan pada
pewarnaan wayang kulit purwa, khususnya tokoh panakawan. Meskipun sama-
sama Petruk gaya Yogyakarta, antara Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum
Sono Budoyo dan koleksi museum Wayang Kekayon pun berbeda. Petruk gaya
Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo didominasi warna hitam, sedangkan
Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon didominasi warna
prada/emas. Persamaan yang ada terdapat pada Petruk gaya Pesisiran dan Petruk
gaya Yogyakarta koleksi museum Sono Budoyo, yaitu wajah kedua gagrak
tersebut berwarna putih.
Pewarnaan yang ada pada Petruk berbagai versi di atas juga lebih banyak
menggunakan warna komplementer. Hanya saja masih diimbangi dengan warna
perada dan hitam pada tubuh. Seperti pada Petruk gaya Pesisiran dan Petruk gaya
Yogyakarta koleksi museum WKY yang bertubuh perada dan Petruk gaya
Yogyakarta koleksi museum SBY dan Petruk gaya Surakarta koleksi museum
RPS yang berawarna hitam.
176
4.2.3.4 Bagong
Pewarnaan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY menggunakan
warna-warna hitam, putih, merah, biru, hijau, dan kuning. Hitam terdapat pada
seluruh tubuh dan rambut. Merah, kuning, hijau terdapat pada ornament sarung.
Biru gradasi putih terdapat pada kalung roda. Putih terdapat pada wajah.
Pewarnaan Bagong gaya ini didominasi warna hitam.
Secara keseluruhan warna pada Bagong didominasi warna hitam.
Penggunaan warna komplementer pada pewarnaan Bagong gaya ini membuat
pewarnaan Bagong gaya ini terlihat menyala. Warna hitam pada seluruh tubuh
tampak menjadi dominasi, namun hal ini diimbangi dengan warna putih pada
wajah Bagong. Sehingga membuat Bagong gaya ini terlihat balance.
Gambar : 4.139
Sunggingan Pada Wajah SBY Gambar diolah oleh Penulis
177
Gambar : 4.155
Sunggingan Pada Busana Bagong SBY Gambar diolah oleh Penulis
Warna-warrna yang digunakan pada Bagong gaya Yogyakarta koleksi
WKY adalah warna-warna perada, merah, hitam, putih, hijau, dan biru. Warna
perada terdapat pada seluruh tubuh, hitam terdapat pada rambut, outline, warna
merah, biru, hijau, terdapat pada sarung. Warna merah terdapat pada bibir, gelang,
dan sunggingan tengah mata. Putih terdapat pada gigi, bagian dalam mata, dan
kuku-kuku. Secara keseluruhan warna perada menjadi dominasi pada Bagong
gaya Yogyakarta koleksi MWKY.
Dibandingkan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY, pewarnaan
Bagong gaya ini lebih terkesan mewah. Hal ini dikarenakan penggunaan warna
prada pada Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum WKY. Perbedaan yang
tampak dari kedua gagrak tersebut terdapat pada pewarnaan. Meski pada
perbentukkan pun juga terdapat berbeda, tetapi perbedaan yang paling menonjol
tampak pada pewarnaannya. Sedangkan pewarnaan pada Bagong gaya Madya
Surakarta dominan berwarna biru. Warna tubuh berwarna putih, rambut bitam,
178
warna pada busana/sarung berwarna dasar hitam dengan ornament berwarna
kuning (lihat Gambar : 4.16).
Gambar : 4.141
Sunggingan pada Wajah dan Atribut Bagong WKY
Gambar : 4.142
Sunggingan pada Busana dan Atribut Bagong WKY (Gambar Diolah oleh Penulis )
Selanjutnya adalah pewarnaan/sunggingan Bagong gaya Pesisiran koleksi
Sudiharjo Jepara. Warna-warna yang digunakan adalah warna putih, prada/emas,
hitam, merah, biru, dan hijau. Warna putih terdapat pada wajah dan dasaran pada
179
sarung Bagong, warna prada terdapat pada warna tubuh, warna hitam terdapat
pada rambut, kumis-kumisan, dan outlie. Warna merah terdapat pada tali kalung,
mulut, sembuliyan dan sunggingan pada gelang.
Pewarnaan Bagong gaya ini hampir sama dengan Bagong gaya
Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon Yogyakarta, yaitu sama-sama
menggunakan warna prada sebagai warna tubuh. Sehingga membuat pewarnaan
ini terlihat menyala. Hanya saja warna wajah kedua gagrak tersebut tidak sama.
Warna-warna komplementer tidak banyak digunakan pada Bagong gaya ini.
Sunggingan pada atribut dan wiru hanya menggunakan warna merah, hijau dan
biru. Seperti pada anting, kalung dan wiru/tepi kain hanya disungging dengan
warna gradasi biru ke putih. Sunggingan dengan gradasi hijau ke putih terdapat
pada sabuk. Sedangkan sunggingan dengan warna merah terdapat pada
sembuliyan dan gelang. Dari ketiga gagrak Bagong ini, Bagong gaya pesisiran
koleksi Sudiharjo Jepara inilah yang sedikit menggunakan sunggingan dengan
warna komplementer. Sunggingan pada sarung saja hanya menggunakan warna
hitam dan putih.
Gambar : 4.143
Sunggingan pada Kalung Roda Bagong Pesisiran Gambar Diolah oleh Penulis
180
Gambar : 4.144
Sunggingan pada Wajah Bagong Pesisiran (Gambar Diolah oleh Penulis)
Gambar : 4.145
Sunggingan pada Busana Bagong Pesisiran (Gambar Diolah oleh penulis)
Secara keseluruhan berdasarkan Bagong berbagai versi di atas, dapat
disimpulkan bahwa Bagong gaya Surakarta koleksi museum Radya Pustaka Solo
mempunyai sunggingan dengan warna-warna yang bervariasi dan lebih banyak
menggunakan warna komplementer, seperti merah, biru, kuning dan hijau .
Sedangkan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum Wayang Kekayon dan
bagong gaya Pesisiran Jepara lebih banyak menggunakan sunggingan warna biru
pada sabuk dan atribut dan warna putih untuk sunggingan pada wajah.
181
Sunggingan pada mata Bagong gaya Yogyakarta Koleksi museum WKY
mnyisakan warna hitam, sedangkan mata Bagong gaya Yogyakarta koleksi
museum SBY dan gaya Pesisiran koleksi Sudiharjo Jepara tidak menyisakan
warna putih, tetapi semua bagian di blok dengan warna merah, hanya menyisakan
warna hitam ditengah-tengah mata sebagai pupil mata. Bagong Pesisiran : warna
putih, prada/emas, hitam, merah, biru, dan hijau. Warna perada menjadi dominasi
sehingga membuat pewarnaan ini terlihat menyala.
Pewarnaan Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY menggunakan warna-
warna hitam, putih, merah, biru, hijau, dan kuning.
182
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti menyimpulkan
bahwa panakawan wayang kulit purwa beranekaragam. Keanakaragaman terdapat
pada bentuk, sikap tangan, sikap kaki, sikap kepala, di samping itu juga ada yang
sama/mirip pada perbentukan mata, hidung, mulut. Busana yang digunakan
panakawan adalah sarung. Sedangkan atribut yang digunakan Gareng, Petruk,
Bagong secara umum adalah anting, kalung, gelang, cincin dan senjata.
Sedangkan pada Semar tidak memakai kalung dan senjata melainkan memakai
sumping. Pewarnaan pada panakawan juga beranekaragam, ada dua warna tubuh
yaitu hitam dan prada, warna wajah menggunakan warna putih dan prada. Pada
uncal wastra terdapat warna-warna komplementer seperti merah, biru, hijau,
kuning terdapat pada sembuliyan dan sampur/sabuk. Sedangkan warna atribut
menggunakan warna merah putih, biru, hijau dan kuning. keanekaragaman
panakawan dari segi perbentukan tokoh terutama dikaji dari segi mata, hidung,
mulut; busana/atribut dan pewarnaan/sunggingan. Secara rinci simpulan
dideskripsikan sebagai berikut :
5.1.1 Perbentukan tokoh panakawan beranekaragam. Selain itu juga terdapat
kesamaan/kemiripan pada mata, hidung dan mulut. Perbentukan tokoh panakawan
Semar adalah tubuh pendek, bokong besar, kaki pendek, mempunyai kuncung,
mata rembesan, mulut tipis dengan satu gigi, terdapat kumis-kumisan, hidung
pesek dan kecil. Gareng bertubuh pendek, kaki gejig/jinjit, tangan ciker/bengkok,
183
kepala bulat, rambut hitam, Mata keran, mulut gusen dengan satu gigi,
mempunyai kumis-kumisan, bentuk hidung pentel pace. Petruk bertubuh
kero(kurus), panjang/tinggi, perut buncit, rambut panjang, bentuk mata
kedondong, hidung nyempaluk, panjang dan melit, mulut lebar. Bagong bertubuh
bulat, perut buncit, kedua kaki sejajar tanpa palemahan, mata plelengan, hidung
pesek dan kecil, mulut lebar.
5.1.2 Busana dan atribut panakawan memiliki kesamaan yaitu sarung. Atribut
yang digunakan pun tidak jauh berbeda. pada Gareng, Petruk dan Bagong atribut
yang digunakan berupa gelang tangan, cincin, anting, kalung dan bersenjata.
Sedangkan Semar juga memakai atribut seperti anting, gelang tangan, cincin,
tetapi tidak bersenjata, melainkan memakai sumping.
3. Pewarnaan/sunggingan pada panakawan ada dua warna tubuh yang berbeda,
yaitu hitam dan prada. Hitam pada panakawan RPS dan Panakawan SBY,
sedangkan perada pada panakawan WKY dan panakawan Pesisiran. Warna-warna
komplementer seperti, merah, biru, hijau, kuning terdapat pada uncal wastra dan
sampur/sabuk. Warna wajah menggunakan warna putih dan prada. Sedangkan
Warna pada atribut lebih banyak menggunakan warna merah putih dan kuning.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya, peneliti memberikan
saran:
5.2.1 Bagi peneliti lain untuk menindaklanjuti dengan membandingkan tokoh
panakawan gagrak lainnya, ada alternatif lain yaitu panakawan gagrak Banyumas,
panakawan gagrak Cirebon dan panakawan gagrak Jawa timuran.
184
5.2.2 Bagi para guru seni rupa di Sekolah Dasar, dengan kesederhanaan bentuk,
busana dan atribut serta pewarnaan/sunggingan panakawan memungkinkan untuk
digunakan sebagai pembelajaran yang elementer di sekolah.
185
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan praktik. Edisi
Revisi IV.Jakarta: PT Rineka Cipta
Bastomi, Suwaji.2001. Gelis Kenal Wayang. Surabaya : Pustaka Baru
_____________. Sejarah Seni Rupa Indonesia 1. Semarang : FPBS IKIP
Semarang
Gie, TL.1976. Garis Besar Estetika Filsafat Keindahan.Yogyakarta: Karya
_______.1976. Pengantar Estetika. Yogyakarta: Yayasan Kanisius
Hermawati, dkk.2006. Wayang Koleksi Museum Jawa Tengah. Semarang
Hidayatussalam.2007.Ekspresi Semar dalam Karya Seni Lukis.Skripsi.Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Ismiyanto.2003. Metode Penelitian. Semarang:Universitas Negeri Semarang
Moeliono. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Moleong, Lexy J.1988.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mulyono, Sri.1989. Apa dan Siapa Semar.Jakarta: PT Tema Baru
Rhondi, M.2002.Tinjauan Seni Rupa. Paparan perkuliahan Mahasiswa.Jurusan
Seni Rupa.Tidak dipublikasikan
Rohidi, T.R.2000.Kesenian dalam pendekatan kebudayaan.Bandung:STSI
Bandung
Rokhmat, Nur.2009.Nilai Estetis dan Makna Simbolis Lampion Arak-arakan
Takbir Mursal. Dalam Imajinasi Jurnal SeniVolume V-1 Juli 2009.
Fakultas Bahasa dan Seni UniversitasNegeri Semarang.
Sachari, A.2002.Estetika: makna, simbol dan daya. Bandung:ITB
186
Sagio dan Samsugi, 1988. Wayang Kulit Gagrak Yogyakarta, Morfologi, Tatahan,
Sunggingan dan Teknik Pembuatan. Jakarta: Balai Pustaka.
Setyani, T.I.2008. Ragam Wayang di Nusantara.Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia.
Sularno.2010. Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta dan Wayang Kulit Purwa
Gaya Yogyakarta Ditinjau dari Bentuk Visualnya.Tesis.Fakultas
Sastra dan Seni Rupa, Universitas Ssebelas Maret
Sumukti, Tuti.2006. SEMAR; Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta : Galang
Press
Sunaryo, Aryo.2010.“Identifikasi dan Apresiasi Wayang Kulit”. Bahan
Perkuliahan Kajian Seni Rupa Nusantara Jurusan Seni Rupa
Universitas Negeri Semarang
____________.2007.Wayang Kulit Gaya Surakarta dan Yogjakarta, Perupaan
dan perbedaannya. Bandung:ITB
____________.2002. Nirmana. Paparan Perkuliahan Mahasiswa. Jurusan Seni
Rupa Unnes Tidak dipublikasikan
Syafii.2006.Konsep dan model pembelajaran Seni Rupa. Paparan Perkuliahan
Mahasiswa. Jurusan Seni Rupa tidak dipublikasikan
Triyanto.2008.Estetika Nusantara: Sebuah Perspektif Budaya. Semarang:
UNNES PRESS
Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din.2010. WAYANG (Kepribadian Luhur
Jawa).Jakarta: Cakrawala
Widodo M. P. 1984. Tuntunan Ketrampilan Tatah Sungging Wayang Kulit.
Surakarta: Depdikbud Kanwil Propinsi Jawa Timur.
Widyawati, R.W.2009. Ensiklopedi Wayang.Yogyakarta : Pura Pustaka
http//www.galeri nasional.pdf/250310
http//Wikipedia, ensiklopedia bebas.wayang/03062010
187
www.wayang kulit purwa/o40310)
http//www.Sudarjanto.multiply.com//230911)
http//www.bagong.org//240910
188
Lampiran 1 Tabel : 1
Keanekaragaman Bentuk Panakawan Semar Wayang Kulit Purwa No. Aspek-aspek Koleksi Museum RPS Koleksi Museum SBY Koleksi Museum WKY Koleksi Dalang
Gaya Yogyakarta Madya Surakarta 1. Perbentukan
Tokoh Tubuh tegak, bokong besar, lonjong, wajah lebar dengan garis-garis lengkung di sudut hidung dan dahi dan wajah mendongak ke atas, mempunyai kuncung.
tubuh lebih tegak dan pendek, tangan bagian kiri kedepan, jari telunjuk menunjuk ke bawah, tangan bagian belakang diatas bokong, jari-jari menghadap ke depan, tubuh tegak, wajah menengadah, mempunyai kuncung
bokong Semar lebih besar, tubuh pendek dan gemuk, tangan bagian belakang menggenggam, sedangkan jari telunjuk menunjuk ke atas, kelima jari tangan kanan terbuka, wajah menengadah, kaki sejajar, berkuncung
tubuh lebih besar, wajah menengadah ke atas, mempunyai kuncung, perut buncit, kaki lebih pendek, tangan kiri menunjuk, bokong besar dan lonjong.
bentuk tubuh lebih pendek, kaki lebih pendek, kelima jari tangan kanan terbuka, Jari telunjuk tangan kiri menunjuk, wajah menghadap ke depan, bokong besar.
-Mata Mata rembesan dengan garis sudut mata yang melengkung ke atas. Terdapat lingkaran mata berupa garis lengkung yang mengelilingi mata. Mata terdiri tiga lapisan warna : kuning, merah, hitam.
Bentuk mata yang berupa garis dengan bola mata berbentuk setengah lingkaran, kelopak mata besar dengan garis lengkung pada sudut mata yang tegas. Mata terdiri dari tiga lapisan, lapisan pertama pupil mata berwarna hitam, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga berwarna coklat.
Mata rembesan, terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkatan pertama pada bagian terluar berwarna perada, tingkatan kedua berwarna putih, dan tingkatan ketiga bola mata berwarna merah.
Mata rembesan, terdiri dari empat lapisan pertama, pupil mata berwarna hitam, lapisan kedua berwarna jingga, lapisan ketiga berwarna kuning, lapisan keempat berwarna merah
Mata besar dan hanya berupa bulatan dengan garis atau lekukan di sudut mata yang sangat kecil dan tipis. Mata Semar gaya ini terdiri dari dua tingkatan, tingkatan pertama berwarna merah dan tingkatan kedua yaitu bola mata berwarna hitam
-Hidung Bentuk hidung Semar besar dan lebih ke dalam, pada sudut hidung terdapat dua garis lengkung sejajar yang
Hidung berupa garis lengkung berbentuk ulir. Letak hidung lebih ke dalam, sehingga pipi bagian
Hidung berbentuk ulir, menonjol ke luar, terdapat dua garis diagonal yang membelah antara mata dan
Hidung kecil, pesek, tidak terdapat ulir dan terdapat dua garis yang melengkung dari liang hidung hingga ke
Hidung kecil dan menonjol ke luar, memakai anting di hidung.
189
membelah antara mata dan mulut.
samping kelihatan, selain itu pada ujung ulir pada hidung juga terdapat garis yang berkelok ditengah-tengah bagian mata dan mulut.
mulut yang berawal dari sudut hidung, a ntara dahi dan hidung dihubungkan oleh lekukan yang cukup dalam.
ujung mulut, pipi bagian belakang agak terlihat, sehingga hidung Semar gaya ini lebih ke tengah
-Mulut rahang bagian bawah lebih panjang dari rahang bagian atas, mulut agak terbuka dan terdapat satu gigi di rahang bawah, mempunyai kumis-kumisan, pada sudut bibir terdapat garis lengkung berbentuk ulir
Mulut lebih kecil, terbuka dengan satu gigi dibagian bawah, bibir atas dan bawah sama-sama tipis, mempunyi kumis-kumisan.
mulut lebar dan mengatup, bibir bagian atas dan bawah sejajar, janggut menonjol kedepan, mulut mengatup, gigi satu dibagian bawah, Bibir bagian atas lebih tipis dari pada bibir bagian bawah. Antara hidung dan bibir bagian bawah terdapat jarak yang panjang.
bibir lebar dengan satu gigi di bagian bawah, bibir bagian bawah lebih panjang dari bibir bagian atas, mulut terbuka, terdapat kumis-kumisan.
terbuka dengan satu gigi di bagian bawah, kumis-kumisan, rahang bagian bawah lebih lebar Terdapat lekukan di bawah bibir yang menghubungkan dengan dagu.
2. Busana dan Atribut
Memakai aksesoris berupa anting berwarna kuning, memakai sumping bermotif bunga berwarna biru keputihan, memakai busana berupa sarung, Atribut-atibut yang digunakan adalah gelang tangan, anting, sumping berupa bunga dan cincin
Busana berupa sarung, memakai kain bermotif kotak-kotak hitam putih. Atribut yang digunakan Semar gaya ini anting cabe merah, gelang tangan biasa seperti yang digunaka para abdi dan cincin.
Memakai busana berupa sarung dengan motif kawung, aksesoris berupa anting cabe berwarna hijau, gelang tangan dan cincin.
Memakai busana sarung bermotif kawung, memakai atribut berupa anting, gelang dan cincin wajah putih, berkuncung putih, memakai sumping bermotif daun, memakai anting di hidung,
Memakai aksesoris berupa anting berwarna biru, memakai sumping, memakai busana berupa sarung, memakai jarik poleng (motif kotak-kotak) berwarna putih dengan garis-garis berwarna hitam juga mengenakan aksesoris gelang tangan merah putih.
3. Sunggingan Warna-warna yang digunakan pada kain sarung Semar adalah merah, kuning, biru dan putih, tampak warna kuning menjadi dominasi. Pada sabuk yang dikenakan
Warna-warna yang digunakan : merah, hitam, putih, hijau, rambut hitam, memakai aksesoris berupa anting cabe merah, wajah putih, tubuh hitam. Sembuliyan yang
Warna-warna yang digunakan adalah warna hitam, putih, merah, emas/prada, hijau dan biru. Warna hitam terdapat pada rambut, garis-garis outline dan juga pada kain sarung,
Warna biru pada tubuh menjadi dominasi. Pewarnaan pada atribut yang digunakan adalah warna kuning dan coklat. Pada sarung digunakan warna dasar hitam dan
Warna-warna yang digunakan adalah warna hitam, putih, merah, emas/prada, hijau dan biru. Warna hitam terdapat pada rambut, garis-garis outline dan
190
Semar terdapat dua sunggingan dengan dua tingkatan, tingkatan pertama terdiri dari lima sunggingan yaitu merah, kuning, putih, biru keputih-putihan, dan biru dan tingkatan kedua berwarna merah dengan ornament berupa belah ketupat dan titik-titik/garis berbentuk silang, pada sunggingan uncal warna-warna yang digunakan adalah warna-warna panas seperti merah, kuning dan biru. Pada atribut berupa gelang, cincin dan anting menggunakan warna masing-masing berwarna kuning.
disungging dengan warna-warna cerah seperti kuning, hijau dan merah. Sarung bercorak kotak-kotak hitam putih
warna putih pada kuncung dan pada ornament kawung pada busana Semar, warna merah tampak pada ukiran sabuk, selain merah sunggingan pada sabuk juga berwarna biru, emas dan putih, sedangkan warna prada terdapat pada warna tubuh dan wajah, juga pada dasaran sarung yang dipakai Semar, pada aksesoris berupa gelang tangan, warna-warna yang digunakan adalah merah dan putih.
ornament berwarna kuning juga pada kain sarung, warna putih pada kuncung,wajah, dan motif kotak-kotak pada kain sarung, warna merah tampak pada sunggingan sabuk, selain merah sunggingan pada sabuk juga berwarna hijau dan putih, sedangkan warna perada terdapat pada warna tubuh dan aksesoris berupa anting hidung.
191
Tabel : 2 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Gareng Wayang Kulit Purwa
No. Aspek-aspek Koleksi Museum RPS Koleksi Museum SBY Koleksi Museum WKY Koleksi Dalang
Gaya Yogyakarta Madya Surakarta 1. Perbentukan
tokoh Bersenjata, tangan bagian kiri didepan bengkok, rambut hitam digelung, kaki depan pincang, kepala menunduk, memakai sarung, ornamen pada sarung lebih banyak, tubuh lebih kurus, tangan kiri ciker dan bengkok, mempunyai ukuran kaki depan dan belakang sama, kaki depan pincang/jinjit.
Bentuk tubuh lebih besar, bersenjata, tangan bagian kiri di depan, bengkok dan terputus-putus, tubuh bengkok, kaki sejajar, rambut hitam bergelung. Memakai aksesoris berupa kalung, gelang tangan
memiliki tubuh besar, badan gemuk, tidak bersenjata, kaki bagian depan jinjit dan lebih kecil dari kaki bagian belakang, lengan bagian kiri bengkok dan terputus-putus, rambut berkuncir panjang melengkung, memakai sarung bermotif kawung,
bentuk tubuh yang paling kecil diantara tiga panakawan lainnya, tubuh lebih tegak, wajah menghadap lurus ke depan, kaki depan cacat, ukuran kaki depan lebih kecil dari pada kaki bagian belakang
tubuh pendek berwarna perada, wajah putih, rambut hitam berkuncir ke atas, kepala menunduk, memakai sarung bermotif kawung, tubuh lebih kurus, tangan ciker dan bengkok, mempunyai ukuran kaki depan dan belakang sama, kaki depan pincang. Memakai atribut berupa anting, kalung, gelang dan tidak bersenjata
-Mata mata keran, bulat, besar dengan tiga tingkatan warna, tingkatan pertama yaitu bagian dalam mata atau pupil berwarna hitam, tingkatan kedua berwarna merah, tingkatan ketiga berwarna putih
Mata keran, terdiri dari tiga warna, pada lapisan pertama yaitu pada lapisan mata bagian bawah berwarna coklat kurang dari seperempat bagian, bagian kedua yaitu bagian tengah berwarna merah, bagian ini paling luas diantara
besar dan terdiri dari empat tingkatan. Bedanya hanya mata Gareng gaya ini menatap ke atas, sedangkan Gareng gaya Pesisiran menatap ke bawah. Tingkatan pada mata Gareng gaya ini terdiri dari, tingkatan
terdiri dari tiga lapisan warna, lapisan pertama, bagian terluar mata berwarna kuning, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga pupil mata berwarna hitam. Alis mata berwarna hitam, tebal dan panjang dengan ujung yang semakin menipis (
mata keran, berbentuk bulat dengan empat tingkatan, tidak seperti bentuk mata Gareng gaya Surakarta yang matanya berbentuk bulat telur. Tingkatan pertama bagian terluar berwarna putih, tingkatan kedua berwarna merah
192
kedua bagian lainnya, hampir memenuhi seluruh lingkaran mata, bagian ketiga pupil mata berwarna hitam
pertama dari bagian terluar dari bola mata yaitu berwarna perada, lapisan kedua berwarna putih, lapisan ketiga berwarna merah, dan lapisan keempat berwarna hitam
muda/njambon, tingkatan ketiga berwarna merah, tingkatan keempat pupil berwarna hitam. Secara keseluruhan, pandangan Gareng menghadap ke bawah
-Hidung hidung pentel pace, terdapat liang hidung dengan cuping hidung yang besar. Bentuk hidung Gareng besar dan tanpa hiasan apapun, hanya bulatan dengan liang hidung yang besar
hidung pentel pace. Hanya saja hidung Gareng gaya ini bagian ujungnya tidak terlalu menonjol, ini juga dikarenakan wajah Gareng yang menunduk, sehingga hidungnya pun luruh ke bawah
Hidung pentil pace, bulat dengan liang hidung yang lebar, garis awal hidung di mulai tepat pada tengah-tengah mata, atau ¾ bagian wajah, sama seperti Gareng gaya Pesisiran. Hidung Gareng ini tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil.
Hidung pentil pace, lebih besar dan liang hidung juga lebih besar
Pentil pace, bulat besar terdapat upil-upilan.
-Mulut mulut Gareng gusen, mempunyai kumis-kumisan, mulut Gareng mengatup dengan satu gigi terlihat. Bibir bagian atas sama tipisnya dengan bibir bagian bawah
mulutnya mengatup sehingga giginya tidak begitu terlihat. Bibir Gareng gaya ini bibir atas dan bibir bawah sama-sama tipis dengan sudut bibir menonjol dan melengkung ke atas
lebih kecil dan gigi terlihat lebih jelas. Bibir bagian atas dan bawah sama-sama tipis dan bibir bagian atas lebih panjang daripada bibir bagian bawah. Dagu lebih pendek dengan tiga lelukan.
kecil, bibir atas dan bibir bawah sama-sama tipis, mempunyai kumis-kumisan dan dagu terdiri dari tiga lekukan
bibir bagian atas lebih lancip dan tanpa gigi. Mulut Gareng mengatup dengan bentuk mulut lebih panjang dan mempunyai kumis-kumisan. Bibir bagian atas lebih tebal dan lebih panjang daripada bibir bagian bawah. Pada dagu terdapat tiga garis
193
lekukan yang memberi kesan Gareng lebih gemuk. Kumis-kumisan
2. Busana dan Atribut
Busana berupa sarung. Atribut yang digunakan adalah sejata/parang, anting, gelang tangan, memakai kalung roda bermotif ceplok
Memakai sarung dengan motif segitiga. Pada kain Gareng gaya ini motif segitiga yang digunakan terbentuk dari pembagian motif kotak-kotak yang dibagi menyilang menjadi empat bagian. bagian atas dan bawah diberi warna yang sama, begitu juga bagian sisi kiri diberi warna yang sama dengan motif segi tiga bagian kanan. Atribut : kalung, anting, dan juga gelang tangan.
Sarung dengan motif kawung. Pada kain Gareng gaya ini motif kawung yang digunakan lebih kecil dibanding motif kawung pada kain Gareng gaya Pesisiran. Atribut yang digunakan juga berbeda dengan kedua gagrak sebelumnya. Gareng gaya ini juga memakai atribut seperti kalung, anting, dan juga gelang tangan. Sama seperti Gareng gaya Pesisiran, Gareng gaya ini juga tidak membawa senjata. Kalung Gareng gaya ini berupa lingkaran tanpa ornament dengan tali yang sangat tipis. Anting yang digunakan berbentuk lingkaran, dengan kuncup bunga di bawahnya.
Busana berupa sarung, dengan atribut seperti kalung, anting dan gelang. kalung yang digunakan gareng gaya ini berbeda dari gagrak lainnya, jika pada Gareng gagrak lainnya memakai kalung roda, Gareng gaya ini memakai kalung lonceng
Sarung yang dipakai Gareng gaya Pesisiran ini bermotif kawung berwarna putih dengan outline berwarna merah. Sedangkan dasaran berwarna hitam. anting, kalung, gelang tangan, dan tanpa senjata.
3. Sunggingan warna-warna yang warna coklat, hitam, Warna-warna yang lebih banyak warna hitam, putih,
194
digunakan adalah hitam, putih, merah, biru, kuning, warna kuning kecoklatan. Warna hitam pada rambut dan warna tubuh, warna kuning kecoklatan pada warna wajah dan atribut berupa kalung. gelang tangan dan sebagian ornament pada sarung, warna putih pada mata, gigi, sunggingan pada sabuk, selain warna putih sunggingan pada sabuk juga terdapat warna merah, kuning, biru dan coklat, warna merah pada bola mata, bibir, senjata dan sebagian ornament pada sarung.
putih, merah dan kuning. Warna hitam terdapat pada tubuh, rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-outline. Warna merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata, gelang tangan dan sunggingan pada anting. Warna putih pada sunggingan mata dan warna hitam putih terdapat pada motif segitiga pada kain. Pada atribut seperti kalung, gelang dan cincin menggunakan warna merah putih.
digunakan adalah warna emas/perada, warna coklat, hitam, putih, merah, dan biru. Warna hitam tedapat pada rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-outline. Warna merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata, gelang tangan dan sunggingan pada anting. Warna putih pada sunggingan mata dan motif kawung pada kain. Warna coklat terdapat pada leontin kalung dan warna perada terdapat pada warna tubuh dan pada dasaran kain.
menggunakan warna biru. Atribut yang dipakai adalah gelang, kalung, dan cincin. Kalung berwarna merah, kuning, hitam, sedangkan sarung berwarna dasar hitam dengan ornament berwarna kuning
merah, emas/prada, hijau dan biru. Warna hitam terdapat pada rambut, garis-garis outline dan juga pada dasaran kain sarung, warna putih pada wajah, dan motif kawung pada kain sarung, warna merah tampak pada sunggingan sabuk, selain merah sunggingan pada sabuk juga berwarna hijau dan putih, sedangkan warna perada terdapat pada warna tubuh, dan warna biru pada anting dan pada leontin kalung, sedangkan talinya berwarna merah.
195
Tabel : 3 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Petruk Wayang Kulit Purwa
No. Aspek-aspek Koleksi Museum RPS Koleksi Museum SBY Koleksi Museum WKY Koleksi Dalang
Gaya Yogyakarta Madya Surakarta 1. Perbentukan
Tokoh Bentuk tubuh tegak, perut buncit, wajah lurus ke depan, garis bahu depan turun, kaki sejajar, jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bawah, tubuh panjang, warna wajah putih, rambut hitam berkuncir ke atas
Tubuh lebih tinggi, panjang, wajah agak menunduk, garis bahu depan lebih turun, tubuh bengkok dan bungkuk, kaki sejajar, panjang tangan sampai ke mata kaki, kedua tangan menggengam dengan jari telunjuk menunjuk. Rambut hitam berkuncir pendek,
Lebih tegak, lebih besar, kaki depan jinjit, bersepatu, bersenjata, jari telunjuk tangan kanan menunjuk ke bawah, tangan kiri menggenggam. rambut hitam berkuncir panjang hingga ke bahu
Bentuk tubuh yang lebih pendek dan perut yang lebih buncit. Petruk gaya ini juga memakai atribut berupa anting, kalung, gelang.
Bentuk tubuh lebih condong ke belakang, tangan bagian depan menunjuk ke bawah, tangan bagian belakang menggenggam, kedua kaki sejajar, panjang tangan sebatas mata kaki, wajah menghadap lurus ke depan, rambut dikuncir menghadap ke atas
-Mata Mata kedondong. Mata petruk gaya ini terdiri dari dua bagian, bagian dalam dan bagian luar, pada bagian dalam terdiri dari tiga tingkatan. Bagian luar adalah pinggiran mata berwarna putih, sedangkan pada bagian dalam yang terdiri dari tiga tingkatan/lapisan yaitu lapisan pertama
Mata kedondong terdiri dari empat bagian. Bagian pertama, pupil mata berwarna hitam, lapisan ketiga berwarna putih, lapisan keempat bagian terluar dari pupil mata berwarna coklat.
Petruk gaya ini adalah mata kedelai tegak. Alis mata pendek dan lebih tebal. Pada bagian luar mata terdapat garis tipis yang mengelilingi mata.
Sedangkan Petruk gaya Madya Surakarta koleksi museum WKY mempunyai mata yang lebih sipit, dengan tiga lapisan warna. Lapisan pertama berwarna jingga, lapisan kedua pupil mata berwarna hitam dan
Mata kedondong, mata Petruk gaya ini mengarah ke depan. Lapisan mata terdiri dari tiga lapisan warna. Lapisan pertama, yaitu lapisan terluar mata berwarna putih, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga, pupil mata berwarna hitam
196
pupil mata berwarna hitam, lapisan dua berwarna merah, dan lapisan ketiga berwarna putih
lapisan ketiga berwarna putih
-Hidung nyampaluk, lebih pendek, besar dan melit. Hidung Petruk gaya ini berkelok dan agak bengkok
nyampaluk, berkelok dan lebih kecil dibagian ujung
nyampaluk, dengan ujung hidung mengecil. Hidung Petruk gaya ini lebih lurus dan lebih pendek
nyampaluk. Hampir sama dengan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, hanya saja hidung Petruk ini lebih besar
nyampaluk, panjang dengan ujung hidung mengecil
-Mulut Bentuk mulut Petruk gaya ini lebar, agak terbuka, tanpa gigi dan bibir bagian atas lebih tebal dari bibir bawah. Seperti tokoh panakawan lainnya, Petruk juga mempunyai kumis-kumisan yang memanjang sepanjang bibir dan melengkung ke bawah. Pada bibir bagian bawah, bagian ujung berada di bawah dagu
panjang, bibir bagian atas bergelombang, mempunyai satu gigi dan berkumis
bibir bagian atas dan bawah sama-sama tipis, hanya saja pada bibir bagian atas lebih menjorok ke depan. Seperti Petruk gagrak lainnya, Petruk gaya ini giginya juga terlihat. Dagu Petruk gaya ini lebih menonjol dan hanya terdiri dari satu lekukan.
Mulut Petruk gaya Surakarta koleksi museum WKY ini sama dengan mulut Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum WKY, hanya saja Petruk gaya ini mempunyai kumis-kumisan
Mulut petruk gaya ini prengesan/gusen. bibir bagian atas dan bawah sama-sama tipis hanya saja pada bibir bagian atas lebih panjang dari bibir bawah .Bibir bagian atas terdiri dari tiga lekukan. Sama seperti Petruk gagrak lainnya, Petruk gaya ini juga mempunyai satu gigi yang terlihat. kumis-kumisan mengikuti lekuk bibir atas tebal dan melengkung ke bawah. Dagu menjorok ke depan dan terdiri dari tiga lekukan
2. Busana dan Busana sarung. Pada Busana sarung. Atribut Busana sarung. Petruk Busana sarung Busan sarung. Atibut yang
197
Atribut Petruk gaya Surakarta ini atribut yang digunakan adalah sejata/parang, anting, gelang tangan, memakai kalung berbentuk lonceng.
yang digunakan gelang, kalung genta, anting, senjata. Busana Petruk gaya ini berupa kain sarung bermotif kotak-kotak. Pada setiap kotak terdiri dari empat segitiga yang berwarna hitam putih. Segitiga pada bagian atas dan bawah berwarna hitam, sedangkan bagian kiri dan kanan berwarna putih.
mempunyai rambut hitam panjang dan dikuncir, memakai aksesoris berupa anting berwarna coklat, dan memakai sepatu.
dengan motif segitiga. Atribut yang digunakan berupa kalung, gelang dan anting-anting.
digunakan adalah anting, kalung genta, gelang, dan senjata. Perbedaan yang tampak mencolok pada atribut Petruk gaya ini dibanding Petruk gaya lainnya adalah pada senjatanya. Senjata Petruk gaya ini pada gagang/peganggannya yang berbentuk kepala burung.
3. Sunggingan warna perada, coklat, hitam, putih, merah, biru dan kuning. Warna hitam terdapat pada tubuh, rambut, kumis-kumisan, alis mata, dan pada outline-outline. Warna merah terdapat pada sabuk, bibir, sunggingan pada mata, palemahan dan sebagian ornament pada sarung. Warna perada terdapat pada warna wajah dan juga terdapat pada warna dasar kain sarung. Warna
Warna-warna yang digunakan warna merah, kuning, hijau, hitam, dan putih. Warna merah terdapat pada warna bibir, mata, anting, gelang, kalung, tangkai senjata dan sunggingan pada sarung. Warna hitam terdapat pada rambut, warna tubuh, alis mata, kumis, dan sunggingan pada sarung, dan sebagainya. Warna hitam menjadi
Warna-warna yang digunakan pada Petruk gaya ini adalah warna perada/ emas, warna hitam, hijau, putih, merah, jingga dan kuning. Warna perada terdapat pada wajah dan seluruh tubuh. Warna hitam terdapat pada rambut, alis mata,pupil mata,warna hijau terdapat pada kalung genta Petruk dan anting, warna putih terdapat pada
berwarna biru. Warna-warna yang digunakan adalah biru, merah, kuning, coklat dan hitam
Warna-warna yang digunakan Petruk gaya ini adalah warna perada/emas, hitam, putih, merah, biru, coklat, kuning dan hijau. Warna perada terdapat pada warna tubuh, warna hitam terdapat pada rambut, warna putih terdapat pada wajah dan sarung, warna merah terdapat pada bibir dan kalung genta, warna biru terdapat pada anting dan sembuliyan pada kain sarung. Pada tepi kain
198
hitam terdapat pada warna tubuh. Pada atribut seperti kalung, gelang dan cincin menggunakan warna kuning kecoklatan
dominasi pada Petruk gaya ini. Warna komplementer banyak digunakan dalam pewarnaan Petruk gaya Yogyakarta koleksi museum SBY sehinnga membuat pewarnaan ini terlihat menyala.
ornament kawung, merah terdapat pada gelang, bibir,sunggingan pada mata, dan sunggingan pada kain sarung. Biru terdapat pada sembuliyan. Jingga, merah, perada terdapat pada kain wiru, dan sepatu. Kuning pada senjata
atau wiru terdapat sunggingan dengan warna merah, kuning dan hijau. Pada senjata Petruk terdapat warna coklat pada tempat/sarung senjata, sedangkan pada gagang senjata yang berbebtuk kepala burung berwarna hijau dengan garis berwarna merah
199
Tabel : 4 Keanekaragaman Bentuk Panakawan Bagong Wayang Kulit Purwa
No. Aspek-aspek Koleksi Museum
RPS Koleksi Museum SBY Koleksi Museum WKY Koleksi Dalang
Gaya Yogyakarta Madya Surakarta 1. Perbentukan Tokoh Bentuk tubuh bulat, tegak,
wajah lurus ke depan, kepala menunduk, wajah tersenyum, perut buncit, dada lebih besar daripada perut, kedua tangan menggenggam, kaki kecil, tubuh berwarna hitam, wajah putih, memakai gelang, anting, kalung dan tidak bersenjata.
Tubuh lebih bungkuk, wajah lebih menunduk, namun pandangan mata lurus ke depan, sehingga dagu menyentuh dada hanya menyisakan rongga sebagai leher yang menghubungkan kepala dan badan, perut buncit, tangan bagian belakang menggenggam sedangkan tangan bagian depan jari telunjuk menunjuk ke bawah, kedua kaki sejajar tanpa palemahan.
Bagong gaya Madya Surakarta memiliki tubuh yang lebih besar dari pada Semar dan Gareng gaya Madya Surakarta, wajahnya besar dan lebar, begutu juga dengan mata dan mulutnya.
Bentuk tubuh lebih tegak dan besar, rambut kuncung seperti Semar berwarna hitam,mata lebih besar, alis mata panjang hingga kepelipis,kedua jari-jari tangan membuka, kaki sejajar, wajah lebih besar,mulut lebar,wajah menghadap ke depan.
-Mata plelengan, berbentuk bulat dengan tiga lapisan warna. Lapisan pertama, bagian terluar dari mata berwarna perada, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga pupil mata
Plelenganerdiri dari tiga lapisan warna, lapisan pertama bagian terluar mata berwarna prada, lapisan kedua berwarna putih, lapisan ketiga berwarna merah. Alis
Pada mata Bagong gaya Madya Surakarta juga mempunyai mata plelengan sama dengan mata Bagong gaya Yogyakarta, hanya saja mata Bagong gaya ini
Bermata plelengan. Namun ada perbedaan pada mata Bagong gaya ini dengan kedua gagrak sebelumnya, kedua gagrak tersebut mempunyai sulur mata
200
berwarna hitam. Pada tepi mata terdapat garis tipis berwarna hitam yang mengelilingi mata
mata tebal dan pendek. Sulur mata berwarna hitam.
lebih besar dan terdiri dari empat lapisan warna, lapisan pertama berwarna hitam, lapisan kedua berwarna merah, lapisan ketiga berwarna kuning dan lapisan keempat pupil mata berwarna hitam
sedangkan Bagong gaya pesisiran tidak memiliki sulur mata. Mata Bagong terdiri dari tiga lapisan warna. Lapisan pertama bagian luar mata berwarna putih, lapisan kedua berwarna merah, dan ketiga pupil mata berwarna hitam.
-Hidung berupa tonjolan pada daerah antara mata dan mulut, selain itu juga terdapat liang hidung.
kecil dan liang hidung yang besar .
Hanya saja hidung Bagong Madya Surakarta agak panjang dan liang hidung lebih besar
liang hidung Bagong gaya ini terdapat dua garis sejajar hingga mencapai keketan pada mulut.
-Mulut Mulut Bagong gaya ini termasuk dalam mulut gusen/prengesan. Bibir atas dan bibir bawah sama-sama tipis, mulut agak terbuka dengan satu gigi yang tampak. Kumis-kumisan hanya terdapat diatas keketan, tidak sepanjang bibir. Dagu menjorok ke depan dengan dua lekukan.
Mulut Bagong gaya Yogyakarta ini sama dengan mulut Bagong gaya Yogyakarta koleksi museum SBY. Hanya saja dagu Bagong gaya ini bagian tengah dagu menonjol. Kumis-kumisan berada di atas keketan melengkung ke bawah dengan ujung kumis semakin tipis dan melengkung ke atas
Sedangkan mulut Bagong gaya Madya Surakarta lebih lebar dan panjang dengan bibir bawah lebih panjang dari pada bibir bagian atas
Bibir atas dan bawah tipis, bibir bagian bawah lebih panjang dari bibir bagian atas. Kumis-kumisan terdapat disepanjang bibir bagian atas melengkung ke bawah. Dagu terdiri dari tiga lekukan.
2. Busana dan Atribut Memakai sarung. Ornamen yang terdapat
Memakai sarung bermotif kawung. Atribut yang
Memakai sarung dengan motif segitiga. Atribut
Memakai sarung. Atribut-atribut yang dipakai yaitu
201
pada kain sarung Bagong berupa segitiga dengan warna-warna yang berbeda. kalung roda, gelang, anting dan tidak bersenjata. Dibanding panakawan lainnnya, busana dan atribut Bagong lebih sederhana.
digunakan sama yaitu anting, kalung dan gelang.
yang dipakai adalah anting, kalung dan Gelang.
kalung, anting, gelang. Tidak seperti Gareng dan Petruk yang memiliki senjata, Bagong tidak memiliki senjata.
3. Sunggingan Warna-warna hitam, putih, merah, biru, hijau, dan kuning. Hitam terdapat pada seluruh tubuh dan rambut. Merah, kuning, hijau terdapat pada ornament sarung. Biru gradasi putih terdapat pada kalung roda. Putih terdapat pada wajah. Pewarnaan Bagong gaya ini didominasi warna hitam.
Warna-warna perada, merah, hitam, putih, hijau, dan biru. Warna perada terdapat pada seluruh tubuh, hitam terdapat pada rambut, outline, warna merah, biru, hijau, terdapat pada sarung. Warna merah terdapat pada bibir, gelang, dan sunggingan tengah mata. Putih terdapat pada gigi, bagian dalam mata, dan kuku-kuku.
Dominan berwarna biru. Warna tubuh berwarna putih, rambut bitam, warna pada busana/sarung berwarna dasar hitam dengan ornament berwarna kuning
Warna-warna yang digunakan adalah warna putih, prada/emas, hitam, merah, biru, dan hijau. Warna putih terdapat pada wajah dan dasaran pada sarung Bagong, warna prada terdapat pada warna tubuh, warna hitam terdapat pada rambut, kumis-kumisan, dan outlie. Warna merah terdapat pada tali kalung, mulut, sembuliyan dan sunggingan pada gelang