Post on 16-Oct-2021
KEADILAN DISTRIBUSI MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.E.Sy)
Oleh:
WAHYU HIDAYAT
NIM. 207046100615
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011
KEADILAN DISTRIBUSI MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
WAHYU HIDAYAT
NIM. 207046100615
Di Bawah bimbingan
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA.
NIP. 19601171985051001
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Keadilan Distribusi Menurut Asghar Ali Engineer Dalam
Perspektif Ekonomi Indonesia, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Maret 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat.
Jakarta, 25 Maret 2011
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM
NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag
NIP. 196404121994031004
Sekretaris : Moch. Syafii, SE. I
Pembimbing I : Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA.
NIP. 19601171985051001
Penguji I : Prof. Dr. Masykuri Abdillah
NIP. 195812221989031001
Penguji II : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag
NIP. 196404121994031004
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, atas segala rahmat dan
hidayat-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam rangka memenuhi
persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Syariah.
Shalawat serta salam tercurah kepadajunjungan kita Nabi Muhammad SAW,
beserta sahabat dan keluarganya.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang
terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima
kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberi
bantuan baik berupa saran, sapaan moril, kritik membangun, dorongan, semangat,
dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, selaku Ketua Koordinator Teknis Program
(Non Reguler) yang telah membantu penulis memberikan masukan dan arahan
dalam hal administrasi.
3. Kakak Mufida, SHi dan Kakak Syafi’i, SEi yang telah banyak memberikan
masukan dan bantuan dalam hal-hal administrasi serta memberikan masukan-
ii
masukan serta saran yang membantu penulis selama mengerjakan penulisan
skripsi.
4. Ibu Dr. Azizah, MA, selaku pembimbing I dan Bapak Djaka Badranaya,
S.Ag.,ME, selaku pembimbing II atas segala jasanya memberikan bimbingan
dengan kesabaran dan keikhlasan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Azharuddin Lathif, MA, selaku penasihat akademik yang telah membantu
penulis dalam merumuskan judul skripsi.
6. Seluruh Staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunyakepada
penulis.
7. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Syariah dan perpustakaan utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh keluarga tercinta, Ayahanda Legiman dan Ibunda Titi Alawiah yang
selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada ananda, Kakakku Emi Yati
yang telah memberikan banyak inspirasi sehingga skripsi ini dapat cepat
terselesaikan dan Adikku Ricky Yacob yang selalu memberikan dukungan dan
suport selama proses pengerjaan skripsi ini serta Anissa Amalia yang selalu men-
suport dan mendoakan selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung.
9. Senior-senior yang saya hormati, Jeddy octora Lausu (BOS) yang selalu
membantu mengerjakan tugas-tugas dan selalu memberikan petuah-petuah emas
iii
dalam setiap permasalahan, Rivaldi Pragola yang telah banyak menghibur selama
berlangsungnya skripsi ini, Rahman Shidiq yang memberikan masukan-masukan
berharga dalam proses penulisan skripsi, Rofi’udin dan Aray yang telah banyak
memberikan saran dan masukan-masukan yang sangat berguna dalam pengerjaan
skripsi ini dan senior-senior lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
10. Tema-teman seperjuangan, Dico Adhya yang telah sama-sama berjuang dari
semester 1 hingga selesainyaa skripsi ini, Arif Sholeh (Om JHON) yang telah
memberikan ide-ide serta saran-saran yang brilian dalam skripsi ini, Hafidz
juliansyah (Bang Jul) dan teman-teman angkatan 2007 umumnya serta teman-
teman di PS B 07 NR khususnya yang telah memberikan atmosfer yang positif
dalam suasana belajar di dalam kelas.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu
penyelesaian skripsi ini, baik yang telah penulis sebut di atas maupun yang
tidakdapat penulis sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan Allah SWT membalasnya
dengan pahala yang berlipat ganda. Amin.
Ciputat, 05 Maret 2011 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 5
D. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ......................................................... 6
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .......................................... 7
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Keadilan Sosial.................................................................................. 10
B. Prinsip-Prinsip Keadilan Sosial ........................................................ 12
C. Dalil-Dalil Keadilan .......................................................................... 20
BAB III BIOGRAFI
A. Riwayat Hidup .................................................................................. 29
B. Karya-Karya ...................................................................................... 34
v
BAB IV PEMIKIRAN DAN ANALISA
A. Konsep Keadilan dalam Islam ......................................................... 36
B. Islam dan Tantangan Kemiskinan .................................................... 47
C. Relevansi Pemikiran Ali Asghar Terhadap Keindonesiaan ............. 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 72
B. Saran ................................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kita sedang hidup dalam suatu masyarakat industri yang fondasi dasarnya
adalah ekonomi. Disini jelas, ekonomi memainkan peran yang sangat penting
sehingga tidak mungkin ada kemajuan atau pembangunan tanpa mengadopsi
dengan baik kebijakan-kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, sangat penting bagi
kita untuk menelaah resep-resep Islam mengenai persoalan ini. Kita harus bisa
menafsirkan dengan kreatif prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin tertentu yang telah
digariskan islam berkaitan dengan problem sosial-ekonomi karena hal itu akan
membantu kita menyingkirkan kesulitan-kesulitan dizaman industri ini. Akan
tetapi, satu kata perhatian sangat layak dikemukakan disini.
Al-qur’an, sumber prinsipil ajaran islam, merupakan kitab keagamaan
yang utama, dan bukan buku ilmu fisika atau ilmu sosial. Ia memberikan garis
pedoman yang luas mengenai aspek-aspek spiritual dan materiil. Ia juga
memberikan kepada kita konsep tentang masyarakat.
Dengan bantuan konsep tentang masyarakat dan garis pedoman kita yang
luas ini kita bisa menyimpulkan petunjuk ketuhanan, jika perlu dengan menyusun
dan memformulasikan.kembali beberapa konsep yang secara sah telah diterima
oleh para pakar teologi pada aman-zaman sebelumnya.
2
Ajaran-ajaran Al-qur’an mempunyai relevansi kontekstual sekaligus
transdental. Islam lahir dalam lingkungan perdagangan Mekah dan karena itu
didalam konteks sosial-ekonomi ini, ia menekankan kebijakan-kebijakan
perdagangan dan kemudian menempatkan posisi seorang pedagang yang jujur
setelah nabi syuhada yang mati dijalan Allah. Pada saat yang sama, ia
menghukum berat para pedagang dan saudagar-saudagar yang melakukan praktek
tidak jujur dan berusaha memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak adil.
Hal yang menarik adalah mengenai relevansi dari konsep dasar ekonomi
islam tersebut terhadap berbagai perubahan kondisi sosio ekonomi masyarakat
Islam saat ini termasuk perekonomian mayoritas umat muslim di Indonesia.
Kondisi dimana masih terdapat kecurangan maupun eksploitasi dalam strukturnya
dari masyarakat industri maupun pemerintah sebagai penentu kebijakan ekonomi
nasional.
Ali Ashgar Engineer sebagai salah satu pemikir sekaligus pemikir
ekonomi Islam memiliki konsep tersendiri mengenai masalah kebijakan ekonomi
dan keadilan distribusi. Dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, beliau
menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi hendaknya melahirkan keuntungan bagi
semua pihak bukan hanya orang-orang yang memiliki kuasa terhadap
harta.Sehingga tidak ada lagi bentuk penyimpangan seperti penimbunan harta
maupun eksploitasi. Solusi terhadap masalah ini adalah adanya keadilan
distribusi.1
1 Santoso, listiyono, epistemologi kiri, (penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta), 2003.hal.297
3
Ketika dunia sedang tertidur, ia dengan mata terbuka lebar menulis buku,
artikel, kolom, mengonsep memorandum tenteng hak-hak sipil, atau
merancanakan langkah selanjutnya melawan pimpinan bohras. Banyak orang
yang terlantar dan hidup terkatung-katung dalam ketidak pastian disebabkan
meletusnya kerusuhan kota yang mengerikan yang telah menggugahnya untuk
mendengar jeritan kesengsaraan keluarga-keluarga yang diserang, berbicara
dengan para polisi,merekam para kesaksian para aktivis politikdan sosial,serta
merinci pengalaman-pengalaman dalam mingguan politik dan eknomi Bombay.
Sangat banyak figure kota dalam ulasannya tentang berbagai kerusuhan komunal
pada masa pasca kemerdekaan India.
Memulai sebagai seorang pembela perubahan dan perbaikan diantara
kekuasaan bohras pada akhir tahun 1970-an, Asghar mempertahankan langkah
hidupnya dengan menggunakan dua ruangan kecil apartemen yang diperlengkapi
perabot yang sangat terbatas untuk melakukan kegiatan intelektualnya. Inisiatif-
inisiatif reformisnya muncul karena ia telah dianiaya dan disrang secara fisik
dalam kampanye-kampanye publiknya melawan komunalisme. Banyak dari cita-
citanya yang masih belum terpenuhi , yaitu agenda reformasinya yang belum
sepenuhnya membebaskan daerahnya dari keterkungkungngan, meskipn ia
memunyai waktu dan terdorong pula oleh tindakan-tindakan yang melampaui
batas yang telah dilakuka oleh imam besar Bohras. Bagi Asghar, para
cendekiawan Muslim telah bersikap kurang tangap dalam merespon misinya2.
2 Santoso, listiyono, epistemologi kiri, (penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta), 2003.hal.297-298
4
Meskipun Asghar harus melintasi kerasnya hidup sebagai seorang
pembela sendirian, namun ia tetap bersikukuh memutuskan dirri untuk
memerangi obskurantisme, intoleransi, dan kemunafikan religius. Selama hampir
dua dekade, ia bergulat dalam pergerakan. Eksistansinya betul-betul menggaggu
status quo dan merupakan ancaman bagi kemapanan Muslim, politik dan agama.
Keprihatinan dan kegelisahan Asghar mendorongnya untuk menggugat
segala bentuk kemapanan yang menindas dan membodohi kaum yang lemah,
sekalipun harus berhadapan dengan pemimpin teras spiritual. Semangat
revolusioner Asghar cenderung bersifat praktis daripada teoritis. Hal itu tampak
dari gugatan epistemologi-liberatifnya yang terdapat dalam hampir seluruh
karyanya.
Atas dasar pemaparan di atas, maka peneliti bermaksud menuangkan
pemikiran dari Asghar Ali Engineer ke dalam skripsi dengan judul “KEADILAN
DISTRIBUSI MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER DALAM
PERSPEKTIF EKONOMI INDONESIA”
B. Pembatasan dan perumusan masalah
Karena masalah dalam ekonomi sangat luas cakupannya maka penulis
membatasi skripsi ini hanya dalam masalah keadilan distribusi. Adapun rumusan
yang akan menjadi konsentrasi pembahasan penulisan ini adalah:
1. Bagaimana pandangan Asghar mengenai penimbunan kekayaan dan
eksploitasi umat dalam ekonomi?
5
2. Bagaimana Asghar melihat masalah keadilan ditribusi sebagai faktor utama
untuk menghilangkan penimbunan kekayaan dan eksploitasi umat dalam
ekonomi?
3. Bagaimana keadilan distribusi menurut Asghar Ali Engineer dalam perspektif
ekonomi di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setelah menyelesaikan skripsi ini, tujuan dan manfaat yang hendak
dicapai adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk lebih memeahami konsep keadilan distribusi dalam ekonomi islam.
b. Untuk mengetahui bagaimana dampak penimbunan kekayaan dan
eksploitasi umat terhadap perekonomian.
c. Untuk memperkaya khasanah keilmuan ekonomi Islam
2. Manfaat Penelitian
Bagi peneliti: diharapkan dapat menambah dan memberikan
pengetahuan tentang kesejahtraan sosial dan faktor-faktor pendukungnya.
Bagi Akademisi: Semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
masukan bagi para akademisi untuk memperkaya wawasan keilmuan mereka
dan dapat berdampak positif bagi pemikran-pemikiran mereka.
6
Bagi Masyarakat: Skripsi ini dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman yang jelas tentang keadilan distribusi untuk meningkatkan
kesejahteraaan masyarakat.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
1. Pada tahun 2006 telah ditulis skripsi oleh Daniel Firman, mahasiswa jurusan
muamalat jurusan perbankan syariah yang berjudul “PEMIKIRAN
EKONOMI MUHAMMAD BAQIR ASH-SADR yang didalamnya
membahas secara rinci bagaimana seorang Muhammad Baqir Ash-Sadr
melihat masalah-masalah ekonomi.
2. Pada tahun 2010 telah dituls skripsi oleh Rian Maulana, mahasiswa prodi
muamalat dengan judul “KONSEP DISTRIBUSI MENURUT
MOHAMMAD BAQIR ASH-SADR”. Pada skripsi ini membahas pemikiran
seorang BaqirAsh-Sadr pada masalah ekonomi akan tetapi leih dikhususkan
kepada konsep keadila distribusinya.
Dengan mengacu pada dua karya ilmiah diatas, penulis memiliki
perbedaan dalam kajian penulisan karya ilmiah yang dimana penulis akan
membahas konsep-konsep ekonomi khususya tentang konsep keadilan distribusi
dalam pandangan Asghar Ali Engineer.
7
E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang
menggambarkan suatu gejala, data-data, dan informasi yang berdasarkan pada
fakta yang diperoleh dari lapangan. Metode ini adalah metode kualitatif yakni
penelitian yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari fenomena yang ditulis.
2. Sifat Data
Data pada penelitian ini bersifat kualitatif dan historis. Data kualitatif
didasarkan pada isi atau mutu suatu fakta, sedangkan data historis didasarkan
pada pengalaman masa lalu sampai sekarang yang menggambarkan secara
keseluruhan kebenaran kejadian atau fakta yang sampai sekarang masih
diterapkan/dipakai.
3. Data (Sumber dan Teknik Pengumpulan)
a. Sumber data
Sebagai sumber data primer dalam penulisan ini adalah buku
karangan terjemahan ”Islam and its relevance to our age” yang berkaitan
dengan konsep pemikiran orsinil Asghar Ali Engineer. Sedangkan sumber
data yang bersifat sekunder penulis mengambil dari buku-buku, surat
kabar, majalah, karya ilmiah yang tentunya berhubungan dengan
permasalahan dalam penelitian ini
8
b. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan dengan menggunakan
studi dokumenter yaitu kajian pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan
penyimpanan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan, yang diantaranya
meneliti, memahami, menganalisa data-data yang berkaitan dengan
pembahasan ini
4. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan skripsi ini menggunakan buku “Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Press, 2007”.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini didesain secara sederhana dengan mengacu pada
buku “pedoman penulisan karya ilmiah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta”. Dan secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi
dalam lima bab yaitu :
BAB I Pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan
kajian terdahulu, metodologi penulisan serta sistematika penulisan
BAB II Definisi dan teori tentang keadilan, dalil-dalil tentang keadilan dan
sistem ekonomi islam.
9
BAB III Pembahasan biografi, riwayat hidup dan karya-karyanya Asghar Ali
engineer.
BAB IV Pembahasan mengenai pemikiran Asghar Ali Engineer mengenai
keadilan distribusi dalam perspektif ekonomi di Indonesia dan
BAB V Penutup, dalam bab ini, terdiri kesimpulan dan rekomendasi tentang
pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keadilan Sosial
Islam adalah agama yang ajarannya sangat komprehensif (kaffah). Sebab,
Islam mempunyai konsep yang mendasar dalam kehidupan manusia. Konsep itu
adalah aturan tentang hubungan manusia dengan Allah (hablun minallah),
hubungan manusia dengan manusia (hablun minannas), dan hubungan manusia
dengan lingkungannya. Islam diturunkan oleh Allah kepada Muhammad Saw.
sebagai rahmat bagi semesta alam dan menjadi pendobrak ketidakadilan sosial-
ekonomi. Ajaran-ajaran moral al-Qur’an itu merupakan bentuk reformasi sosial
Islam mengenai keadilan yang pada dasarnya berusaha meningkatkan posisi dan
memperkuat kondisi kaum lemah agar menjadi lebih baik. Keberpihakannya
kepada kaum lemah (tertindas) sebagai perwujudan dari perjuangan menegakkan
keadilan sosial ditunjukkan melalui praktek sosial Muhammad Saw. dalam
kehidupan sehari-hari. Pentingnya keadilan ini dalam pandangan Islam dapat
dilihat dari pencapaian ketaqwaan dengan menegakkan keadilan sosial.1
Guna mendapatkan gambaran yang jelas dan mempermudah pemahaman
mengenai keadilan ini, terlebih dahulu akan didefinisikan sebagai berikut: Kata
“adil” dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa arab. Kata ini adalah serapan
dari kata „adl dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai justice, yang artinya sama
1 Al-Qur’an, 5: 8
11
dengan yang dimaksud oleh kata adil, dalam bahasa Indonesia. Namun, dalam Al-
Qur’an, pengertian adil atau justice tidak selamanya menggunakan kata al-„adl,
melainkan juga menggunakan sinonimnya, yaitu al qisth.2
Kata adil atau keadilan mempunyai arti yang luas. Dengan demikian,
keadilan dapat dipahami secara logis dengan menengok ke dalam nilai “keadilan”
yang secara universal. Misalnya bisa dilihat dari segi kehidupan sosial, politik,
ekonomi atau yang lainnya. Sehingga kata adil memiliki definisi yang bervariatif.
Teorisasi keadilan sosial erat kaitannya dengan gerakan-gerakan sosial
yang khususnya marak selama tahun-tahun 1950-an dan 1960-an, yang
mengusung berbagai agenda, sejak dari hak-hak sipil, antirasis, perdamaian,
hingga emansipasi perempuan. Seiring dengan berkembangnya agenda yang
diperjuangkan, istilah keadilan social pun menjadi istilah payung bagi ide-ide
progresif tentang hak-hak asasi manusia, kesetaraan, pluralisme, demokrasi, dan
sebagainya. Demikian pula, istilah ini bersiafat netral ideologis karena bias
diklaim oleh kalangan manapun, baik yang paling kiri, paling kanan, atau
moderat sekalipun, selama masih bertujuan melakukan perubahan social.
Karena luasnya spectrum keadilan social, istilah tersebut sering
diperdebatkan dan dipertarungkan oleh berbagai kelompok dan ideologi. Hal ini
wajar karena sosial lahir dalam rahim masyarakat dengan ideologi, nilai-nilai dan
2 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Jakarta: Paramadina, cet. II, 2002, hlm. 369. lebih lanjut, Dawam menyatakan bahwa katayang
artinya “keadilan” („adl maupun qisth) itu mula-mula diturunkan dalam al-Qur’an, Surat al-A’rof 7:29,
159, 181. Kata adl dalam al-Qur’an disebut sebanyak 14 kali sedangkan kata qisth sebanyak 15 kali.
12
pandanganyang beragam. Di samping itu, keadilan sosial acap diadopsi dari
kepentingan politik yang berbeda-beda, dan sering pula dihubungkan dengan
peran Negara, pasar, dan individu. Karena itu, masing-masing masyarakat bias
jadi memiliki pendekatan dan gagasan yang berbeda tentang “sebuah masyarakat
yang lebih adil”.
Hal demikian pula yang ditegaskan Rawls bahwa persoalan menentukan
prinsip-prinsip keadilan social dipengaruhi oleh interpretasi atas situasi-situasi
dimana individu dan masyarakat tersebut berada. Di samping itu, argument
mengapa prinsip keadilan social tersebut yang dipilih juga menjadi poin penting
dalam sebuah teori keadilan. Walaupun secara tegas memberikan ruang bagi
interprestasi terhadap keadilan sosial, Rawls memberikan bahasan mendalam
tentang prinsip-prinsip umum yang menurutnya bertolak dari prinsip fairness.
B. Prinsip-Prinsip Keadilan Sosial
Keadilan sebagai fairness merupakan konsep yang diajukan Rawls untuk
mengkritik teori kontrak sosial yang selama ini berkembang. Rawls menyatakan
bahwa dalam kontrak sosial, orang dengan status sosial, kelas, dan keadaan
ekonomi yang berbeda harus masuk ke dalam sebuah kontrak social tanpa pernah
mengetahui bagaimana menjalankannya. Situasi inilah yang disebut Rawls
sebagai tidak fair. Karena itu, menurutnya seseorang hendaknya diberi
kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa yang menjadi prinsip-prinsip
keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, dia mengetahui situasi dan
13
posisinya, apa yang harus dipilih, serta bagaimana harus meraih kehidupan yang
baik sesuai dengan konsepsinya sendiri.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang
paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi
ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling
lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan
untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang
kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua
orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama
besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang
berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus
ditolak.
Dalam kaitan ini, Rawls mengajukan dua prinsip keadilan social yang
harus dijamin oleh pranata-pranata social yang menurutnya menyusun struktur
dasar masyarakat. Kedua prinsip ini diterapkan untuk mengatur perumusan hak-
hak dan kewajiban, serta distribusi keuntungan dan beban social dan ekonomi
dalam masyarakat. Prisip pertama, setiap orang berhak memperoleh kebebasan-
kebebasan dasar yang setara sebagaimana yang diperoleh orang lain. Kebebasan-
kebebasan dasar yang setara ini mencakup kebebasan berpolitik, kebebasan
berbicara dan berkumpul, kebebasan berpikir dan kesadaran diri, kebebasan dari
penindasan psikologis maupun penyiksaan fisik, serta kebebasan memiliki
14
kekayaan sendiri. Prinsip kedua, ketidaksetaraan ekonomi dan social yang terjadi
dalam masyarakat harus dikelola sedemikian rupa untuk keuntungan semua, di
satu sisi, dan setiap orang mendapat akses yang sama terhadap jabatan dan
kedudukan dalam masyarakat di sisi lain. Strategi yang demikian ini harus
ditempuh guna menghindari terjadinya ketidakadilan yang lebih besar.
Dengan demikian, prinsip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan
institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap
aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
Rawls menyadari bahwa kebebasan tidak bersifat mutlak, melainkan
dibatasi oleh berbagai keterbatasan manusia, baik alamiah ataupun historis.
Karena itu, di masyarakat terdapat sekelompok orang yang karena sebab alamiah,
cacat misalnya, memiliki kebebasan yang kurang luas dibandingkan dengan
mereka yang normal. Guna memperkuat prinsip kebebasan untuk semua, maka
pranata-pranata sosial harus dibuat guna memberikan perhatian yang besar kepada
kelompok yang kurang beruntung ini. Sementara itu, dalam proses memperkuat
15
system kebebasan ini, kelompok-kelompok yang kurang luas kebebeasannyaharus
menerima keadaan kebebasan yang tidak setara tersebut.
Rawls juga berpendapat bahwa demi memperoleh keuntungan yang
maksimal, efisiensi dalam distribusi sosial-ekonomi seringkali didahulukan,
sedangkan prinsip konpensasi terhadap kelompok kurang mampu dinomorduakan.
Ini tidak boleh terjadi sebagaimana tidak dibolehkannya prinsip perbedaan dalam
masyarakat mengalahkan prinsip kesempatan yang sama. Karena itu, bila
terdapat kesekpatan yang tidak setara dilapangan, maka harus ada upaya yang
sistematis untuk terus meningkatkan peluang mereka yang terbatas
kesempatannya. Demikian pula dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok
yang menunda kesenangannya dengan cara bersusah payah menabung untuk masa
depan generasi yang akan datang. Prinsip keadilan sosial mengharuskan adanya
upaya mengurangi beban mereka yang menanggung penderitaan menabung
tersebut.
Kedua prinsip diatas sama-sama penting, namun demikian prinsip
kebebasan harus dijadikan semacam pengawal prinsip kedua, sehingga jangan
sampai menekan pada distribusi yang merata mengorbankan prinsip-prinsip
kebebasan. Karena itu Rawls merumuskan kedua prinsip tersebut dalam ungkapan
lain yang disebut “maslahat utama” (the primary goods). “maslahat utama” ini
mencakup kebebasan dan kesempatan (liberty and opportunity), pendapatan dan
kekayaan (income n welth), dan basis sosial harga diri (sosial basis of self
respect). Ketiga maslahat utama ini hendaknya didistribusikan secara adil dalam
16
masyarakat. Apabila terjadi ketidakadilan, kompensasi harus diberikan untuk
keuntungan orang banyak, khususnya kelompok yang paling tidak berdaya.
Dari uraian diatas dapat pula dipahami bahwa keadilan sosial merupakan
sebuah proses. Keadilan yang sempurna dalam arti sama sekali tidak ada
ketidakadilan memang sesuatu yang mustahil dicapai. Karenanya masyarakat
yang adil adalah masyarakat yang selalu berada dalam proses menjadi lebih adil
dalam distribusi kesempatan dan kekuasaan terhadap berbagai bidang : sosial,
ekonomi, dan politik. Berkaitan dengan ini, penting untuk digaris bawahi bahwa
kedua prinsip yang dirumuskan Rawls dimaksudkan sebagai landasan bagi
institusi-institusi sosial utama dalam memainkan perannya sebagai penjamin
keadilan dalam masyarakat.
Para tokoh islam lainnya mengemukakan definisi yang bervariatif yang
diantara lain :
1. Aristoteles; berpendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan
numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan
setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami
tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa
semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan
banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
17
2. Imam Ali r.a.; menafsirkan keadilan itu sebagai inshaf “kejujuran”.
Sedangkan Ibnu Athiyyah menafsirkan keadilan dengan seluruh akidah dan
syari’at yang diwajibkan dalam menunaikan amanat, meninggalkan
kezaliman, jujur dan memberikan hal.3
3. Ibnu Arabi; yang mengatakan bahwa keadilan antara hamba dan Rabbnya
adalah mendahulukan hak Allah atas kepentingan dirinya. Mementingkan
ridha Allah dari dorongan nafsunya. Serta menjauhi yang dilarang dan
melakukan yang diperintahkan.4
4. Sa’id Ibnu Jubair (Theolog Faqih awal Madinah) mendefinisikan “keadilan”
sebagaimana konsep keadilan dalam al-Qur’an dengan memiliki empat5 arti:
a. Al-„Adl dalam penilaian dalam memutuskan perkara (al-hukm), selaras
dengan perintah Allah: “…dan ketika kamu menilai (memutuskan perkara)
di antara manusia, nilailah dengan adil”. (QS. 4: 61).
b. Al-„Adl dalam berkata-kata, sebagaimana terkandung dalam perintah
Allah: “….dan ketika kamu berbicara, adillah”. (QS. 6: 153).
c. Al-„Adl dalam arti tebusan (al-fidyah), seperti dipahami dalam firman
Allah: “… dan ingatlah suatu hari ketika tidak ada jiwa yang dapat
menolong yang lain, dan tidak ada timbalan („adl) yang akan diterima
3 Ali Abdul Hakim Mahmud, Fikih Responsibilities Tanggungjawab Muslim dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 239.
4 Ali Abdul Hakim Mahmud, Fikih Responsibilities Tanggungjawab Muslim dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 239.
5 Abdul Aziz A. Sachedina, “The just Ruler in Shi’ite Islam”, terj. Ilyas Hasan,
Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi‟ah, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 202-203.
18
darinya (jiwa itu), juga tidak ada perantara yang akan bermanfaat
baginya”. (QS. 2: 113).
d. Al-„Adl dalam arti mempersamakan dengan Allah (al-isyrak), seperti tersirat
dalam firman Allah: “… orang-orang kafir menisbahkan kesamaan-kesamaan
(ya‟dilun) kepada Tuhan mereka”. (QS. 6: 1).
5. Murtadha Muthahhari; memandang bahwa kata “adil atau keadilan”
digunakan dalam empat6 hal :
a. Yang dimaksud dengan adil adalah keadaan sesuatu yang seimbang.
Keadilan dengan pengertian “proporsional” dan “seimbang” termasuk
keniscayaan yang menyimpulkan bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan
Maha Mengetahui. Dari konsekuensi ilmu-Nya yang komprehensif dan
dengan kebijakan-Nya yang menyeluruh.
b. Keadilan dimaknai sebagai persamaan dan meniadakan pembedaan
apapun. Artinya adanya keharusan memandang setiap sesuatu dan setiap
orang dengan pandangan yang sama.
c. Keadilan diartikan sebagai pemeliharaan hak-hak individu dan
memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
d. Keadilan dimaksudkan untuk memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi
dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi untuk melakukan transformasi.
Keadilan Tuhan menurut pandangan ini dimaknai sebagai suatu yang eksis
6 Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Mizan,
1992, hlm. 54-58.
19
(maujud) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang
menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi.
6. Yusuf Qardhawi; Keadilan didefinisikan sebagai keseimbangan antar individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat, antara suatu masyarakat dan masyarakat lainnya.7
7. Ibnu Arabi; yang mengatakan bahwa keadilan antara hamba dan Rabbnya
adalah mendahulukan hak Allah atas kepentingan dirinya. Mementingkan
ridha Allah dari dorongan nafsunya. Serta menjauhi yang dilarang dan
melakukan yang diperintahkan.8
8. Syafi’i Antonio; memandang keadilan dalam Islam memiliki implikasi 2 hal9
sebagai berikut :
a. Keadilan Sosial; Islam menekankan bahwa umat manusia sebagai suatu
keluarga. Karena itu, semua anggota keluarga mempunyai derajat yang
sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan
yang miskin. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain
adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada
kemanusiaan.
7 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm.
228.
8 Ali Abdul Hakim Mahmud, Fikih Responsibilities Tanggungjawab Muslim dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 239.
9 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001,
hlm. 14.
20
b. b. Keadilan Ekonomi; Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi
setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus diimbangi
oleh keadilan ekonomi. Tanpa perimbangan tersebut, keadilan sosial
menjadi kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu
akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing
kepada masyarakat.
C. Dalil-dalil Tentang Keadilan
Dasar hukum keadilan dalam Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an
maupun al-Hadits. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan keadilan,
diantaranya sebagai berikut:
Firman Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 29 :
Artinya: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan (qisth).” Dan
Katakanlah “Luruskan mukamu disetiap shalat dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia
telah menciptakan kamu pada awalnya, demikian pulalah kamu akan
kembali kepada-Nya”. (QS. Al-A’raf : 29).10
Pada ayat 29 surat Al-A’raf menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang
menjalankan keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah:
10
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm.
228.
21
Pertama, mengkonsentrasikan perhatian dalam shalat kepada Allah dan kedua,
mengikhlaskan ketaatan kepada Nya. “Meluruskan wajah kepada Allah” dalam
shalat maksudnya adalah tidak menyangkutkan perhatian kepada sesuatu yang
lain, yang berarti syirik. Maksud lain keadilan pada ayat di atas adalah taat secara
ikhlas kepada Allah.11
Dalam penegakan hukum dan peradilan, keberadaan saksi sangat penting.
Menjadi saksi karena Allah mempunyai pengertian yang luas, tidak terbatas pada
lingkungan lembaga pengadilan, tapi juga lembaga-lembaga lain dalam berbagai
bidang-bidang kehidupan. Kesaksian yang sebenarnya juga mencakup berbagai
aktivitas perlawanan publik terhadap segala bentuk penyimpangan dan kezaliman,
dengan mengungkapkan fakta yang benar melalui saluran yang tersedia.12
Penyimpangan tersebut antara lain dapat berbentuk Arogansi kekuasaan,
ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah (dhuafa), pengekangan terhadap
aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi kulit, bangsa atau jenis kelamin,
penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan akan mengarah pada struktur
sosio-ekonomi yang menindas.
11
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci,., hlm. 370. Dawam menambahkan bahwa ketaatan yang ikhlas ini diartikannya sebagai
mendasarkan diri dan berorientasi kepada Allah: berbuat sesuatu karena diperintahkan oleh Allah dan
meninggalkan sesuatu karena larangan allah.
12
Ali Zawawi dan Saifullah Ma’shum, Penjelasan Al-Qur‟an tentang Sosial, Ekonomi, dan
Politik, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, hlm. 65-66.
22
Allah berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat 135:
Artinya: Wahai orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menjadi
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutarbalikkan fakta atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
(QS. An-Nisa’: 135)13
Firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 8:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Maidah : 8).
Dalam ayat 8 surat Al-Maidah, dinyatakan bahwa adil itu adalah suatu
sifat yang dekat kepada taqwa. Adil adalah salah satu unsur taqwa, karena dalam
taqwa terkandung pengertian tentang kemampuan memilih antara yang baik dan
13
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 144-145
23
buruk dengan pertimbangan-pertimbangan yang adil. Dalam kesaksian, seseorang
dituntut bersikap adil menerangkan apa yang sebenarnya tanpa memandang siapa
orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat atau
kerabat. Ayat ini senafas dengan surat an-Nisa’ ayat 135 yaitu sama-sama
menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian.
Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku adil dan
jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri atau
kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu
kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak
adil dan tidak jujur.
Salah satu dimensi keadilan adalah keseimbangan. Dalam Surat al-Isra’
ayat 35 :
Artinya: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah
dengan neraca yang setimbang. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya (bagi yang lain). (QS. al- Isra’:35).14
Keadilan dalam ayat 35 surat al-Isra’, digambarkan dengan cara orang
menimbang, misalnya menimbang emas atau perak. Timbangan yang benar
adalah timbangan yang ukurannya benar, yaitu seimbang antara yang di sebelah
kiri dan di sebelah kanan. Karena itu, lambang keadilan adalah gambar seorang
dewi yang sedang menimbang dengan menutup matanya, yang menggambarkan
ketidakberpihakan kepada salah satu di antara yang dipertimbangkan.
14
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 429.
24
Artinya: Dan Syu‟aib berseru: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di
muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Hud : 85).15
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Syu’aib a.s menjelaskan kepada
kaumnya tentang hal-hal yang harus mereka lakukan dalam soal takaran dan
timbangan setelah lebih dahulu melarang mereka mengurangi takaran dan
timbangan. Kewajiban itu ialah supaya kaumnya menyempurnakan takaran dan
timbangan dengan adil tanpa menguranginya. Setelah Syu’aib a.s melarang
kaumnya mengurangi takaran dan timbangan, kemudian ia melarang kaumnya
lagi dari segala macam perbuatan yang sifatnya mengurangi hak-hak orang lain
baik jenis yang ditakar dan yang ditimbang maupun yang dihitung.16
Selanjutnya, dalam ayat 26 surat Shad, Allah menegaskan tentang
bagaimana seharusnya sikap seorang penguasa :
15
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 341.
16
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 559
25
Artinya: Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, maka berilah keputusan (atas masalah-masalah yang
timbul) diantara manusia itu dengan adil, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah itu akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan. (QS. Shad : 26).17
Berdasarkan petunjuk Allah, seorang penguasa itu haruslah yang adil dan
tidak mengikuti hawa nafsu. Esensi dan asas pemerintahan itu adalah keadilan.
Dalam ayat itu, Al-Qur’an memakai istilah al-Haqq tentang keadilan. Yang
dimaksud dengan al-Haqq itu dalam kasus pemerintahan adalah keadilan. Karena
unsur utama keadilan adalah al Haqq (kebenaran).18
Adapun Hadits yang memerintahkan untuk bersikap adil, atau mendorong
untuk bersikap dengan keadilan atau juga menjadikannya sebagai bagian dari
sifat-sifat kaum mukminin, diantaranya adalah sebagai berikut:
Imam Muslim, Nasa’i dan Ahmad meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu
Umar r.a., ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Orang-orang yang berbuat adil pada hari kiamat akan berdiri di
mimbar-mimbar dari cahaya disisi ar-Rahman, dan kedua tangan Nya
adalah kanan, yaitu mereka yang berlaku adil dalam memberi putusan
hukum, dalam keluarga dan atas orang yang dipimpin.19
17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 736.
18
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, hlm. 383
19
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut Libanon: Dar Al-Fikr, t.th,
hlm. 187.
26
Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad dari Nu’man bin Basyir r.a., ia
mengatakan Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Berlaku adillah di antara anak-anak kalian, Berlaku adillah di antara
anak-anak kalian.20
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia
mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Tidak ada pemimpin atas sepuluh orang kecuali pada hari kiamat nanti
ia akan datang dengan tangan terikat, hingga di buka ikatan itu oleh
keadilannya atau dijerumuskan oleh kecurangannya.21
Imam Nasai meriwayatkan dengan sanad dari jabir ra., ia mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
Artinya: Dari Jabir bahwa seorang wanita Bani Mahzum mencuri kemudian di
bawah kehadapan Nabi Saw lalu dia memohon pengampunan kepada
Ummu Salamah. Nabi Saw bersabda: “Seandainya Fatimah puteri
20
Jalaluddin Assuyuthi, Sunan An-Nasa‟i, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
t.th, hlm. 262.
21
Al-baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubro, Juz X, Makkah al-Mukarromah, Maktabah al-Baz,
1994 / 1414 H, hlm. 96.
27
Muhammad (mencuri) pasti aku akan memotong tangannya, kemudian
dipotonglah tangan wanita tersebut.22
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Imam itu adalah perisai yang dipertahankan (dibela) dibelakangnya,
dan berlindung dengannya, maka jika ia memerintahkan dengan takwa
dan adil, maka itu menjadi pahala baginya, dan jika ia memerintahkan
bukan dengannya maka ia mendapatkan dosanya.23
Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad dari Abi Sa’id r.a., berkata Nabi
Muhammad bersabda:
Artinya: Jihad yang paling besar adalah berkata adil di depan pemimpin yang
curang.24
Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
22
Jalaluddin Assuyuthi, Sunan An-Nasa‟i, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
t.th, hlm. 71.
23
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut Libanon: Dar Al-Fikr, t.th,
hlm. 195.
24
Abi Isa Muhammad, Sunan At-Turmudzi, Juz IV, Beirut, Libanon Dar Al-Fikr, t.th, hlm.
72.
28
Artinya: Jika seorang laki-laki mempunyai dua orang istri dan ia tidak berlaku
adil di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan
satu sisi tubuhnya miring.25
Hadits-Hadits nabi itu menguatkan bahwa keadilan adalah tujuan manusia
dalam seluruh cakupan kepemimpinan dan pemerintahan, dan mereka yang
memegang suatu kepemimpinan, juga bagi setiap muslim dan seluruh suami yang
memiliki lebih dari satu istri.
25
Abi Isa Muhammad, Sunan At-Turmudzi, Juz IV, Beirut, Libanon Dar Al-Fikr, t.th, hlm.
72.
29
BAB III
BIOGRAFI ASGHAR ALI ENGINEER
A. Riwayat hidup Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah pemikir dari india,1 merupakan satu dari
sekian banyak nama penulis muslim yang cukup produktif dan ia menuliskan
karya-karyanya dalam bahasa Inggris dengan bagus. Ia dianggap banyak memberi
inspirasi bagi sebuah gerakan pembebasan dan penyadaran masyarakat tertindas
(mustad’afin) berhadapan dengan kaum penindas (mustakbirin). Di kalangan
aktivis gerakan feminis muslim pun nama Engineer juga bisa disejajarkan dengan
nama-nama aktivis feminis muslim lainnya, seperti Fatima Mernisi, Amina
Wadud Muhsin, dan yang lainnya.2
Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam keluarga muslim yang taat pada 10
Maret 1939 di Salumba, Rajasthan, dekat Udiapur, dimana Sheikh Qurban
Husain, ayahnya, menjadi seorang amil (pegawai yang bekerja di Masjid yang
mengelola semacam zakat) pada waktu itu. Asghar telah diberi pelajaran
mengenai tafsir al qur’an (komentar atau penjelasan tentang firman tuhan), ta’wil
(makna ayat al qur’an yang tersembunyi), fiqh (yurisprudensi), dan hadist
(perkataan nabi). Sewaktu belajar tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, fiqh, dan hadist, ia
1 Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hal. 297
2 Arif Zamhari, Islam dan Kesadaran Historis: Analisi Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, dalam
Pemikiran-pemikiran Revolusioner, Averroes Press, Malang; 2003, hal. 173-174.
30
juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku
telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat
berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan
bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan
radikal, dan sebagainya.3
Ayahnya, Syekh Qurbain Husain adalah seorang alim yang mengabdi
kepada pemimpin keagamaan Bohra. Ia dikenal sebagai orang yang punya sikap
liberal, terbuka dan sabar. Sikap open minded seperti ini menjadikannya kerap
kali terlibat diskusi dan berbagai pengalaman keagamaan dengan pemeluk agama
lain, misalnya dengan seorang Hindu Brahma. Dalam lingkungan sosial
keagamaan seperti itulah Engineer dibesarkan.
Asghar juga belajar bahasa arab dari ayahnya, dan selanjutnya ia
menekuni serta mengembangkan sendiri. Ia telah diajarkan seluruh karya utama
dari Fatimi Da’wah oleh Sayedna Hatim, Sayedna Qadi nu’man, Sayedna
Muayyad Shirazi, Sayedna Hamiduddin Kirmani, Sayedna Hatim al-Razi,
Sayedna Jafar Mansyur al-Yaman dan sebagainya.
Asghar juga mendapatkan pendidikan secular, disamping pendidikan
agama. Ia adalah lulusan teknik sipil dari Indore (M.P) dengan tanda kehormatan,
serta mengabdi selama dua puluh tahun sebagai seorang insinyur di Koperasi
Kota Praja Bombay dan kemudian mengundurkan diri secara sukarela untuk
menerjunkan dirinya kedalam gerakan reformasi Bohra. Ia mulai memainkan
3 Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, hal. 299
31
dalam gerakan reformasi dari tahun 1972, ketika terjadi pemberontakan di
Udiapur. Asghar telah menulis beberapa artikel tentang gerakan reformasi
dibeberapa koran India terkemuka seperti The Times of India, Indian express,
Statesman, Telegraph, The Hindu dan sebagainya. Ia terpilih dengan suara bulat
sebagai Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Dawoodi Bohra
dalam konfrensi pertamanya di Udiapur pada tahun 1977. Ia mencurahkan waktu
dan pikirannya demi urusan besar pada waktu itu, yaitu gerakan reformasi dan
menginternasionalisasi-kan gerakan reformasi, baik melalui tulisan-tulisan
maupun ceramah-ceramahnya.
Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu
tentang kekerasan komunial dan komunialisme di India sejak pecahnya kerusuhan
besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961. Karyanya ini dipertimbangkan
sebagai pelopor dan telah diakui oleh Universitas Calcutta yang kemudian
menganugerahkan gelar kehormatan (D.Lit) padanya pada bulan februari 1983.4
Asghar diakui sebagai seorang sarjana Islam terkemuka dan di
undanguntuk koferensi-koferensi international tentang Islam oleh berbagai pihak,
baik oleh pemerintah maupun universitas. Asghar juga memberi kuliah di
beberapa universitas terkemuka di Amerika, Kanada, Indonesia, Malaysia,
Jerman, Prancis, Thailand, Pakistan, Sri Langka, Yaman, Meksiko, Lebanon,
Mesir, Jepang, Uzbekistan, Rusia, dan sebagainya. Ia juga mengajar di seluruh
universitas di India.
4 Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, hal. 300
32
Asghar telah menerima beberapa penghargaan atas karyanya tentang
pemahaman interrelegius. Ia pernah mendapatkan Penghargaan Harmony antar-
agama oleh Pemimpin Baru, Komite, dan Chennai. Ia yakin dengan menunjukan
rasa hormat yang sama kepada semua agama dan mempertimbangkan keyakinan
beragama sebagai yang sangat penting bagi kehidupan yang bermakna.
Bagaimanapun, ia tidak meyakini secara buta dalam menerima dogma-dogma
yang diwariskan oleh masa silam. Ia percaya dengan selalu memikirkan ulang
(rethinking) isu-isu dan mereinterprestasikan Islam untuk menjaganya dalam
konteks waktu yang senantiasa berubah. Menurut pendapatnya, inilah kewajiban
kita untuk mendapatkan pelajaran Islam dan merefleksikannya secara lebih
mendalam ketimbang hanya membebek secara buta.5
Dia juga dianugerahi penghargaan Hakim Khan Sur untuk integrasi
nasional oleh Maharana Mewar Foundation, Udaipur, Rajasthan. Pada Hari
Republik India, Asghar juga di beri penghargaan National Communal Harmony
Award pada tahun 1997 oleh pemerintah India dalam pengakuannya atas karya
Asghar dalam mempromosikan harmoni komunal kepada dunia.
Asghar adalah seorang pemikir sekaligus aktivis, dan pemimpin salah satu
kelompok Syi’ah Islama’iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di
Bombay, India. Dengan keilmuan yang dimilikinya, Asghar ingin menerapkan
gagasan-gagasannya. Ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung
konservatif dan mempertahankan kemapanan.
5 Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, hal. 301
33
Agar dapat menyingkap latar belakang keagamaan Asghar menjadi lebih
jelas, maka penting untuk mengenal terlebih dahulu kelompok Daudi Bohras ini.
Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh imam sebagai pengganti nabi yang
dijuluki Amir al-Mu’minin. Mereka mengenal dua puluh satu orang imam.
Maulana Abu al-Qasim al –Thayyib adalah imam mereka yang terakhir yang
menghilang pada tahun 526 H. Tapi mereka percaya bahwa ia masih hidup hingga
sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para da’i (dari perkataan itu berasal
ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan imam terakhir itu. Untuk
diakui sebagai seorang da’i tidaklah mudah. Ia harus memiliki sembilan puluh
empat kulifikasi yang diringkas dalam empat hal pokok, yaitu kualifikasi : (1)
pendidikan; (2) administrative; (3) moral dan teoritikal; serta (4) keluarga dan
kepribadian. Da’i juga harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan
berjuang melawan kezaliman. Asghar sendiri adalah seorang da’i.
Dengan memahami posisi ini, tidak heran mengapa Asghar Ali sangat
peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-
benar religius akan sensitive terhadap penderitaan orang lain, terutama
penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang religius akan menentang
ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan
penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut religius. Dari telaah kesejarahan
Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang religius,
adalah seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-
perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.
34
B. Karya-karyanya
Asghar juga merupakan penulis produktif, ia telah menerbitkan lebih dari
48 buku tentang Islam, Masalah Muslim, Hak Perempuan Muslim, Masalah
Komunal dan Etnis di India dan Asia Selatan. Asghar juga telah menerbitkan
berbagai artikel penelitian yang berlaku di harian nasional terkemuka di India
seperti: Times of India, India Express, The Hindu, The Hindustan Times, Daily
Telegraph, dan jurnal-jurnal seperti The Ekonomi dan Politik Mingguan,
Frontline, The Illustrated Mingguan dan lain sebagainya. Secara garis besar,
karya-karya Engineer dapat dikategorikan ke dalam empat bidang: (1) tentang
teologi pembebasan; (2) tentang gender; (3) tentang komunalisme; (4) tentang
Islam secara umum. Karya-karya Engineer ada yang berwujud buku, artikel dan
tulisan lain di media massa.
Beberapa karya Engineer yang penting untuk dibaca antara lain:
1. Islam and Revolution, (New Delhi: Ajanta Publication, 1984)
2. Islam and Relevance to our age, (Kuala Lumpur: Ikraq, 1987)
3. The Origin and Development of Islam (london: sangam book, 1987)
4. Status of Women in Islam (new delhi: ajanta Publication, 1987)
5. The Shah Bano Controversy, ed, Asghar Ali Engineer, (Hyderabad: Orient
Longman Limited, 1987)
6. Justice, Women, and Communal Harmony in Islam, (new Delhi: Indian
Council of social science research, 1989)
35
7. Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New
Delhi: Sterling Publisher Private limited, 1990)
8. The Rights of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992)
9. Islam and Pluralism (Mumbay: Institute of Islamic Studies, 1999)
10. Islam-The Ultimate Vision, (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999) k.
The Qur’an, Women and Modern Society (New Delhi: Sterling Publishers
Private limited, 1999)
11. Reconstruction of Islamic Thought (Mumbai: Institute of Islamic Studies,
1999)
12. What I Believe (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999)
36
BAB IV
PEMIKIRAN DAN ANALISA ASGHAR ALI ENGINEER
A. Konsep Keadilan dalam Islam
Islam pada awalnya lebih dari sekedar gerakan religius, Islam juga
merupakan gerakan ekonomi.1 Islam dengan kitab sucinya, Al-Qur‟an, sangat
menentang stuktur sosial yang tidak adil dan menindas yang secara umum
melingkupi kota mekah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam, dan juga kota-
kota lainnya diseluruh dunia. Bagi orang yang memperhatikan Al-Qur‟an secara
teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang
sangat pokok. Al-Qur‟an mengajarkan kepada umat Islam untuk berlaku adil dan
berbuat kebaikan, “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan,”2. Lebih
lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau masyarakat tidak
boleh menjadikan orang yang beriman sampai berbuat tidak adil, “Hai orang-
orang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah
rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih
dekat kepada taqwa…”3
Dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, Asghar Ali Engineer
menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi hendaknya melahirkan keuntungan bagi
1 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hal. 57
2 Al-Qur‟an 16:91
3 Al-Qur‟an 5:8
37
semua pihak bukan hanya orang-orang yang memiliki kuasa terhadap
harta.Sehingga tidak ada lagi bentuk penyimpangan seperti penimbunan harta
maupun eksploitasi. Solusi terhadap masalah ini adalah adanya keadilan
distribusi.4
Kita lihat bahwa Allah menyuruh berbuat adil dan kebaikan, juga
disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dilarang berbuat tidak adil meskipun
terhadap musuhnya, dan agar tetap memegang keadilan, serta lebih dari itu Al-
Qur‟an menyatakan bahwa keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Yang perlu
digaris bawahi adalah bahwa Al-qur‟an menempatkan keadilan sebagai bagian
integral dari taqwa. Dengan kata lain, taqwa di dalam Islam bukan hanya konsep
ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.
Sangat disayangkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggalan nabi, yakni
pemerinahan dinastik, menghancurkan stuktur sosial yang adil yang sangat
ditekankan dalam Islam dan kemudian segera membuat peraturan-peraturan yang
justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, namun
sekarang yang tinggal hanyalah sebuah kerangka yang kosong (empty shell).5
Pemerintahan Umayyah dan Abbasiah yang menindas benar-benar
mencampakkan konsep keadilan Islam dan mereduksi taqwa menjadi sekedar
konsep ritualistik. Orang yang dianggap sholeh adalah mereka yang mengerjakan
sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji, namun kesholehannya dijauhkan
4 Santoso, listiyono, epistemologi kiri, (penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta), 2003.hal.297
5 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 58
38
dari masalah keadilan sosio-politik dan sosio-ekonomi. Dalam sejarah Islam,
berkuasanya pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang
disuarakan dengan keras, dan protesnya itu didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur‟an
yang menekankan pentingnya keadilan. Selama kekhalifahan Ustman, khalifah
ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi pada segelintir orang, dan seiring dengan
itu Islam mulai kehilangan semanga, karena para pemimpinnya terlelap oleh
kemakmuran. Melihat hal ini seorang sahabat Nabi yang sangat jujur dan
terhormat, Abu Dharr, memprotes kebijakan Ustman tersebut. Protesnya itu
didasarkan pada ayat Al-Qur‟an yang secara tegas mengancam orang-orang yang
menumpuk-numpuk kekayaan. Disebutkan, “Dan orang-orang yang menimbun
emas dan perak dan tiada menafkahkannya dijalan Allah, beritahulah mereka
tentang siksaan yang pedih menyakitkan. Pada hari itu, emas dan perak mereka
dipanaskan dalam api neraka, dibakar dengan dahi-dahi mereka, sisi-sisi dan
punggungnya. Dikatakan kepada mereka, „inilah harta yang kamu timbun bagi
dirimu. Maka rasakan olehmu harta yang kamu simpan itu.‟”6
Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur‟an
adalah ‘adl dan qist’. Adl dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi
mengandung pengetian yang identik dengan sawiyyat.7 Kata itu juga mengandung
makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (leveling). Penyamarataan dan
6 Al-Qur‟an 9: 34-35
7 Lihat Al-Munjid yang disusun oleh Lawis Ma‟luf (Beirut,1937) dalam kata adl halaman 491,
dan juga A Diictionary of Modern Written Arabic, diedit oleh J. Million Cowan (New York, 1976:
506).
39
kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan).
Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, dan juga
keadilan, kejujuran dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga
bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Dan qistas, kata turunan
lainnya berarti keseimbangan berat. Sehingga kedua kata di dalam Al-Qur‟an
yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ‘adl dan qist, mengandung
makna distribusi yang merata termasuk distribusi materi dan dalam kasus tertentu,
penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.
Ayat tersebut diatas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang
sesungguhnya mempunyai pengertian sama.
Artinya: “apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”8
8 Al-Qur‟an, 59: 7
40
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar9 dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".10
`Al-Qur‟an juga mengecam orang-orang kaya yang suka pamer, dan
kehidupan yang seperti iniakan membawa kepada kehancuran. “Dan bila Kami
bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-
orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh,11
namun mereka melanggar
perintah itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu kamipun
membinasakannya.”12
Al-Qur‟an bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak
disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda dan anak-anak yatim), namun juga
menentang kemewahan dan tindakan yang menghambur-hamburkan uang (untuk
kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak orang miskin yang
membutuhkannya). Keduanya merupakan tindakan jahat, dan mereka
9 Segala minuman yang memabukkan.
10
Al-Qur‟an, 2: 219
11
Kata yang digunakan dalam Al-Qur‟an adalah mitrib yang berarti orang yang hidup dalam
kemudahan dan kemewahan dalam segala hal. Juga digunakan kata mutrifin bahwa mereka melampaui
batas dan memperturutkan nafsunya dalam perbuatan yang amoral.
12
Al-Qur‟an, 17: 16
41
mengganggu keseimbangan sosial (sosial balance), sehingga terjadi bencana.
Maka keadilan di dalam Al-Qur‟an bukan hanya berarti norma hokum (rule of
law), namun juga berarti keadilan yang distributif (karena hukum, kata Socrates,
seringkali hanya dapat dijaga, bila kekayaan sosial (sosial wealth) dimanfaatkan
secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar.
Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya
tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah
kepada kehancuran masyarakat secara total.
Jika orang mengkaji Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti,
maka pasti akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan
dalam berbagai aspek berbeda. Menurut Al-Qur‟an, hanya apa yang telah
diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan
mendapatkan kecuali yang diusahakannya.”13
Dengan ungkapan yang pendek itu,
seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi
pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah
ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertahanan
dalam Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al-Qur‟an
bukanlah sebuah esai tentang ekonomi yang bersifat kesukuan, feudal atau
kapitalistik. Al-Qur‟an berisikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai
(value-oriented declarations). Al-Qur‟an tidak menetapkan satu dogma ekonomi.
Sehingga Al-Qur‟an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian,
13
Al-Qur‟an, 23: 84
42
manusia diperingati agar jangan sampai memperkuat suatu stuktur yang menindas
dan mengeksploitasi.14
Nabi sangat memperhatikan berbagai malpraktek perdagangan dan
perniagaan. Malpraktek ini satu demi satu dihapuskan oleh Nabi melalui dakwah
kepada sahabat-sahabatnya. Satu prinsip utama yang jelas adalah penolakan yang
tegas terhadap spekulasi. Sebenarnya, sangat banyak masalah dalam masyarakat
industrial atau niaga yang berasal dari praktek-prektek spekulatif yang membuka
jalan untuk meraih keuntungan dengan cepat. Semua praktek spekulatif telah
dilarang dengan tegas didalam Islam. Dilarang menjual buah yang belum masak
yang belum dipetik, karena belum diketahui berapa jumlahnya. Sama juga orang
tidak boleh menjual bayi hewan yang masih dalam kandungan, karena kesehatan
kondisinya tidak diketahui, demikian juga induknya.15
Islam juga melarang jual
beli yang takarannya dikurangi atau dilebihkan.16
Nabi juga melarang penimbunan barang untuk menaikan harga. Nabi
pernah berkata kepada Hazrat „Umar bahwa siapa saja yang menimbun barang,
Allah mengutuknya dan barangnya itu berhak diambil darinya dan dijual dengan
harga yang lebih murah dari harga biasa.17
Kemudian menurut Ibn Taymiyya
berkata, “Nabi melarang orang kota yang mengetahui harga pasar untuk menjadi
14
Asghar Ali Engineer, ”Islam and Liberation Theology”, terj. Agung Prihantoro, Islam dan
Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, hlm. 59-60.
15
Bulugh al-Muram yang disusun oleh Aamah Hajar Asqatani (Banaras, 1982) hal, 223
16
Dalam buku Imam Malik, Muwatta’ (Delhi, 1975) hal, 536
17
Dalam buku Imam Malik, Muwatta’ , hal, 551
43
agen dari orang luar kota yang ingin membeli barang-berang, karena dia
mengetahui bahwa diperlukannya barang tersebut sehingga memungkinkan dia
menaikan harga seenaknya. Nabi juga melarang penjualan barang yang belum
diketahui oleh pembelinya karena akan menimbulkan eksploitasi, termasuk barter
antara hasil pertanian atau logam dalam ukuran sama, misalnya dengan emas atau
perak. Hanya emas yang bisa ditukar dalam ukuran yang sama dengan emas, dan
perak dengan perak, atau gandum dengan gandum, dan sebagainya. Barter barang
yang tidak sejenis dinamakan riba, karena mengarah pada eksploitasi.18
Larangan
untuk semua praktek ini sangat dikenal dalam Islam, dan riba betul-betul dikecam
dalam kitab suci Al-Qur‟an.19
Banyak pemikir Islam yang menganggap riba bukan hanya berarti bunga,
namun secara umum juga bermakna eksploitasi. Semua praktek yang mengarah
kepada eksploitasi sesama manusia, termasuk industri dan perniagaan yang tidak
adil, dianggap riba. Sesungguhnya dalam masyarakat industrial modern, semua
praktek monopoli, kartel dan pengawasan multinasional terhadap pasar harus
diperlakukan sebagai riba.
Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial, bahwa
penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan
menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh
multi Negara. Sistem ekonomi seperti ini hanya akan mengakibatkan kerugian.
18
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 68
19
Al-Qur‟an, 2: 275-276, 278.
44
Namun demikian, sayangnya para ulama tradisional dengan bodohnya terantuk
pada konsep riba yang masih tradisional dan tidak mau tahu dengan istilah-istilah
mekanis ekonomi industrial modern yang mencengkram berjuta-juta orang dan
praktek-prektek multinasional yang eksploitatif betul-betul merampok negara-
negara dunia ketiga.
Sebenarnya sekarang ini seluruh sistem perekonomian dunia Islam berada
dalam cengkeraman perusahaan multinasional Amerika, mungkin kecuali Iran.
Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya (mereka
jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari
perekonomian modern), mewarisi system ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan
multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi
tradisional. Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran
ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ketiga. Hanya pemikir
yang demikian inilah yang dapat menangkap semangat dan tujuan Islam yang
sebenarnya untuk menciptakan system ekonomi yang tidak eksploitatif.
Sekali lagi agar tidak salah tangkap terhadap dimensi religius dari masalah
ini, Ibn Taymiyya menjelaskan bahwa keadilan dan suatu bentuk kerja sama
dengan kejahatan masih lebih baik daripada apa yang disebutnya tirani yang saleh
(pious tyranny). Kehidupan manusia di duniayang diatur dengan keadilan dan
kerja sama dengan kejahatan masih lebih baik daripada tirani yang saleh. Inilah
mengapa dikatakan bahwa Allah menghargai Negara yang adil meskipun kafir
(ma’al kufr), namun tidak demikian dengan Negara yang tidak adil meskipun
45
muslim. Juga disebutkan bahwa dunia dapat bertahan dengan keadilan dan
kekafiran, namu tidak dengan ketidakadilan dan Islam. Nabi Muhammad SAW
mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih cepat mendapatkan balasan kecuali
menindas orang lain dan memutuskan tali persaudaraan.” Bagi para penindas,
hukuman langsung ditimpakan di dunia, dan mungkin akan dimaafkan dan
mendap[atkan ampunan kelak di akhirat.20
Berikut ini argumentasi Ibn Taymiyya, “Keadilan itu adalah suatu tatanan
yang universal. Anehnya, kehidupan di dunia yang berlangsung adil,
pemimpinnya justru tidak mendapatkan pahala di akhirat kelak.” Namun,
sebagian besar ulama yang mendapatkan keuntungan dari kemapanan justru
sebaliknya , memperoleh pahala di akhirat. Mereka mengikuti pemerintahan yang
tiran, meskipun mereka orang yang saleh. Bagi mereka, taqwa itu dipahami secara
konvensional dan ritualistik, serta lebih penting daripada keadilan, padahal nabi
sendiri memberikan penekanan yang lebih pada keadilan. Ironisnya, justru prinsip
keadilan itu berada di tangan para ulama sendiri. Sejarah Islam mengatakan
kepada kita dengan bukti yang cukup bahwa ulama berada dalam satu pihak
dengan kemapanan yang menindas atas nama Islam. Hal ini tidak baik, suatu
semangat Islam yang buruk.
Allah memberikan keputusan jelas kepada mereka, “Dan mereka yang
memutuskan perkara tidk menurut kehendak Allah, merekalah orang-orang
20
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 68-69
46
kafir…merekalah durjana…merkalah orang yang membangkang!”.21
Allah juga
memerintahkan kepada nabi untuk “memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah turuti hawa nafsu mereka. Dan
hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkanmu dari
sebagian apa yang Allah turunkan kepadamu…”22
Al-Qur‟an secara jelas memerintahkan kepada nabi untuk tidak mengikuti
hawa nafsu mereka. Sesungguhnya, syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan
adalah mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan
seseorang menjadi eksploitator, tiran dan penindas. Al-Qur‟an mensyaratkan
ketundukan untuk berlaku adil meskipun bertentangan dengan kepentingannya
sendiri, orang tuanya, kerabatnya, orang kaya yang berpengaruh dan untuk tidak
menurutkan hawa nafsunya.23
Al-Qur‟an juga memperingatkan mereka yang
merusak keadilan akan diberi balasan yang mengerikan.24
Keadilan bukanlah
peraturan yang didasarkan pada kepentingan orang yang kaya dan berpengaruh.
Keadilan, sesuai dengan Al-Qur‟an tidak dapat diperoleh dengan mengikuti
aturan mereka. Dan dalam menghadapi tirani yang kuat, kaum muslim dibenarkan
untuk melakukan jihad. Keadilan lebih diutamakan daripada Islam formal, tidak
ada orang yang benar-benar tunduk kepada Allah tanpa benar-benar
21
Al-Qur‟an 5: 44-47.
22
Al-Qur‟an, 5: 49.
23
Al-Qur‟an, 4: 135.
24
Al-Qur‟an, 3: 21.
47
memperdulikan keadilan. Sebenarnya di dalam Islam, ada penekanan yang lebih
pada keadilan, bahkan daripada pada cinta, karena peduli pada keadilan
sebenarnya adalah peduli pada kemanusiaan.25
B. Islam dan Tantangan Kemiskinan
Agama menurut bahasa aslinya (bahasa latin) berarti kesadaran dan
kesalehan di satu sisi, dan menghubungkan atau mengikat di sisi lain. Dengan
kata lain, agama didefinisikan sebagai seperangkat doktrin spiritual dan
metafisika yang mengikat orang yang memeluknya. Agama, selama bertahun-
tahun juga menjadi system pengertian (signification), sistem symbol dan sistem
ibadah yang menyediakan sense of identity yang mendalam bagi penganutnya
untuk menghadapi hidup di dunia yang kompleks ini sebagai sebuah tantangan
eksistensial.26
Dalam sejarah kehidupan manusia, sebenarnya agama menjadi
wadah pencarian hidup, kebenaran dan kepastian yang hakiki. Namun demikian,
sisi negatifnya dari proses pencarian kebenaran tersebut seringkali kehilangan
dinamikanyadan mengkristal menjadi dogma-dogma yang tidak bisa dirubah.
Kemudian dogma-dogma ini dilengkapi dengan rangkaian ibadah yang menjadi
„pelipur lara‟ dan rasa kepatuhan simbolik (a senses of syimbolic fulfillment) bagi
orang-orang yang beriman.27
25
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 70
26
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 87
27
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 88
48
Jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri
dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus
mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan
sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap
tatanan sosial yang telah using yang dengan sendirinya memilki mekanisme
sosio-legal dan politik-ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak
khusus dan kekuasaan „kasta yang tinggi‟ dan kelas atas.
Ketika membahas mengenai Islam dan tantangan kemiskinan, perlu
dipahami pendekatan yang dipakai Al-Qur‟an dalam membahas masalah-masalah
tertentu yang berkaitan dengan tema tersebut. Nabi-nabi yang disebutkan di dalam
Al-Qur‟an, sebagaimana dikemukakan oleh sang pemikir Islam Iran, Ali Shari‟ati,
berasal dari kalangan masyarakat biasa, bukan bagian dari kelompok kemapanan
atau pemimpin yang berkuasa (kecuali Nabi Daud dan Sulaiman). Kitab suci Al-
Qur‟an dengan jelas menyebutkan,
Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.”28
28
Al-Qur‟an, 62: 2
49
Jelaslah, Al-Qur‟an menyatakan bahwa Tuhan mnegutus Nabi-nabi itu
berdiri di tengah-tengah masyarakat dan tidak pernah mengidentifikasi diri
dengan penguasa atau dengan kelas yang berkuasa.
Pendekatan yang dipakai Al-Qur‟an adalah dengan menggambarkan para
penguasa, pimpinan dan mereka yang diatas sebagai mustakbirin (sombong,
mabuk kekuasaan), dan menyebut rakyat jelata atau masyarakat awam dengan
mustad’afin (lemah dan tertindas). Nabi-nabi Tuhan selalu berasal dari golongan
masyarakat lemah dan berjuang demi membebaskan mereka dari cengkraman
para penindas. Nabi Musa melawan raja fir‟aun yang kuat untuk membebaskan
bangsa Israel yang tertindas karenanya. Raja Fir‟aun disebut mustakbirin
(penindas yang sombong) dan bangsa Israel mustad’afin. Semua kelas yang
berkuasa mendukung Fir‟aun dalam menghadapi Nabi Musa, seperti yang
dinyatakan Al-Qur‟an, “Berkatalah para pemuka kaum Fir‟aun, „apakah kau
biarkan Musa dan kaumnya berbuat kerusakan di muka bumi dan
meninggalkanmu dan tuhan-tuhanku?‟ Fir‟aun menjawab, „kita akan membunuh
anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan anak-anak perempuan mereka hidup.
Sehingga kita akan lebih berkuasa dari mereka‟”29
Al-Qur‟an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri di pihak golongan
masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas. Al-Qur‟an menyesalkan,
bahkan menegur orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.
Peringatan itu berbunyi, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan
29
Al-Qur‟an, 7: 127
50
membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang bekata,
„Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim.
Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu.‟”30
Teologi Qur‟ani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi
kekuasaan dan penindasan, namun juga memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman untuk memerangi orang-orang jahat ini dan untuk menyelamatkan
golongan yang lemah dan tertindas sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas.
Selanjutnya, Al-Qur‟an juga menegaskan janji Allah untuk mengangkat golongan
yang lemah dan tertindas sebagai pemimpin berkuasa. Dalam surat Al-Qashash,
28: 5 disebutkan, “Kami ingin member karunia kepada mereka yang tertindas di
atas bumi, menjadikan mereka pemimpin dan pewaris.”31
Al-Qur‟an juga mengatakan bahwa tidak akan ada kota yang dapat
bertahan, jika di dalamnya berlangsung ketidakadilan dan eksploitasi, “Berapa
banyak kota-kota yang telah Kami hancurkan yang penduduknya berbuat
kejahatan, sehingga runtuh berantakan, dan betapa banyak mata air yang
ditinggalkan dan puri-puri yang tinggi menjulang kami binasakan.”32
Banyak
sekali ayat-ayat Al-Qur‟an yang secara keras mengecam penindasan dan
30
Al-Qur‟an 4: 75
31
Al-Qur‟an, 28: 5
32
Al-Qur‟an, 22: 45
51
ketidakadilan. Dalam sunnah dikatakan bahwa Nabi menempatkan kekafiran itu
itu lebih rendah satu tingkat di bawah penindasan dan ketidakadilan.33
Al-Qur‟an juga dengan tegas mengecam penumpukan harta kekayaan dan
sifat sombong. Dikatakan, “Celakalah orang yang menyebarkan fitnah dan
mengumpat, yang mengumpulkan kekayaan dan penimbunannya, yang mengira
kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Ia akan dilemparkan ke
dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu? Ialah api Allah yang dinyalakan, yang
merasuk ke dalam hati, menutupi mereka seperti kubah dengan tiang-tiang yang
menjulang.”34
Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan
membangun stuktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan
konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam sturktur sosial yang
seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan dibidang sosial,
ekonomi, hukum dan politik. Al-Qur‟an sangat menekankan keadilan dan
menggunakan istilah ‘adl dan qist35
untuk membangun stuktur sosial tersebut di
atas. Istilah lain adalah ‘adl dan ihsan (keadilan dan kebaikan) yang dipakai untuk
mengungkapkan pentingnya keadilan ekonomi. Keadilan itu juga harus ada dalam
transaksi ekonomi. “Supaya kamu jangan melampaui batas timbangan. Tegakkan
33
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 92
34
Al-Qur‟an, 104: 1-4
35
Asghar Ali Engineer, ”Islam and Liberation Theology”, terj. Agung Prihantoro, Islam dan
Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, hlm. 59-60.
52
neraca dengan keadilan dan jangan kamu kurangi sukatannya.”36
Keadilan dan
keseimbangan ekonomi ini diperlukan, karena dengan demikian berarti kebutuhan
pokok, seperti makanan, tempat tinggal dan seterusnya dapat terpenuhi, sehingga
kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan.
Al-Qur‟an menyeru kepada orang-orang yang beriman agar menghindari
pemborosan. “Hai Bani Adam! Bawalah perhiasanmu kapan saja dan dimana
sajakamu sembahyang. Makan dan minumlah. Tapi jangan berlebih-lebihan.”37
Kita ketahui bahwa masyarakat kapitalis barat sekarang ini, yang didasarkan pada
stuktur yang menindas dan eksploitatif, hidup makmur dengan merampas sumber-
sumber ekonomi dunia ke tiga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang
sangat banyak dan dengan standar hidup yang tidak masuk akal serta sangat
tinggi, dengan mengorbankan penderitaan masyarakat Afrika, dan Asia dan
Amerika Latin. Budaya konsumtif dan suka pamer ala barat merupakan bencana
besar bagi kemiskinan dunia. Sebaliknya, ekonomi sosialis yang dapat menjamin
kebutuhan pokok masyarakat, menghambat konsumerisme dan suka pamer.
Ekonomi sosialis menekankan pada produksi barang-barang untuk mencukupi
kebutuhan pokok, bukannya produksi barang-barang mewah.
Melihat masalah ekonomi dunia yang kompleks sekarang ini, keadilan
ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan hanya dapat diciptakan bila konsep
keadilan tidak hanya dipahami dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang
36
Al-Qur‟an 55: 8-9
37
Al-Qur‟an 7: 31
53
sosial dan hukum. Mengkaji konsep keadilam Qur‟ani yang sebanarnya sangat
lengkap. Setelah mengatakan , ”Tuhanku memerintahkan berbuat adil”,38
Al-
qur‟an melanjutkan dengan, “Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu
penegak keadilan sebagai saksi dari Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau
orang tuamu, atau kerabatmu, baik ia kaya maupun miskin, karena Allah akan
melindungi keduanya. Janganlah ikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak
menyimpang dari kebenaran…”39
System kapitalisme modern sangat eksploitatif, sehingga menimbulkan
struktur sosio-ekonomi yang tidak adil. Dalam struktur seperti ini tidak akan ada
keadilan sosial, ekonomi dan politik, khususnya yang disebutkan dalam Al-
Qur‟an. Bahkan seandainya peraturan politik yang ada tidak selaras dengan
kepentingan kelas yang berkuasa dalam masyarakat Marxian, dan tidak selaras
dengan kepentingan masyarakat banyak dalam masyarakat modern-demokratis,
kita tetap saja sulit untuk menolak hegemonikelas kapitalis dan praktek-praktek
yang eksploitatif. Bentuk bentuk eksploitasi sesama manusia sudah menjadi
ketidakadilan yang parah dan tidak sesuai dengan doktrin keadilan dalam Islam.
Masyarakat barat sebagai masyarakat kapitalis yang mengeksploitasi dunia ketiga
melanggengkan kejahatan tersebut dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan
dan kepentingan generasi berikutnya yang akan kehilangan sumber-sumber
kekayaan yang tidak dapat diciptakan lagi karena telah dihabiskan oleh generasi
38
Al-Qur‟an, 7: 29
39
Al-Qur‟an, 4: 135
54
sebelumnya secara besar-besaran. Generasi yang akan datang sangat sulit untuk
memenangkan perang melawan kemiskinan ini jika jerat-jerat kapitalisme masih
tetap mengikatnya.
Nabi Muhammad SAW membenci kemiskinan dan kelaparan. Ada banyak
hadist yang membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Hadist yang
diriwayatkan oleh Nissi berbunyi, “Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari
kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari
keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang lain.” Ini merupakan hadist
nabi yang perlu diperhatika, karena berkaitan dengan kemiskinan, kekurangan,
kehinaan, penindasan, sikap saling membantu dan bekerja sama. Nabi dengan
mengucap doa tersebut berarti mewajibkan semua umat Islam untuk memerangi
kemiskinan. Hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud berbunyi,m “Ya
Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kufr dan kemiskinan.” Tidak salah kalau
kufr dan faqr keduanya sama-sama dikecam. Hadist lain yang diriwayatkan oleh
Baihaqi dan Tabrani berbunyi, “Kemiskinan mengakibatkan kekafiran.”
Semua hadist yang dipaparkan tadi mewajibkan umat untuk menyatakan
perang terhadap kemiskinan. Kemiskinan itu sama celanya dengan kekafiran, dan
karena seorang muslim harus memerangi kufr, berarti ia juga harus memerangi
kemiskinan. Membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran.
Paham atau system yang berusaha mengekalkan kemiskinan, kelaparan, dan
kekurangan, harus dilawan karena akan mengarah kepada feodalisme atau
55
kapitalisme. Sehingga perang melawan kemiskinan merupakan bagian integral
dari keyakinan Islam.40
Islam adalah sebuah agama, dan agama dalam pengertian umum utamanya
dipahami sebagai narasumber masalah-masalah spiritual. Namun demikian,
sejarah Islam menapaki jalan yang berbeda. Islam yang dilahirkan di Arab bukan
hanya membicarakan masalah spiritual, namun juga banyak masalah-masalah
lain. Islam lahir sebagai tanggapan atas suatu kondisi historis dan adanya
kebutuhan akan petunjuk hidup yang komprehensif dalam bidang religio-kultural
dan sosio-ekonomi. Lebih dari itu, perkembangan sejarah Islam selanjutnya
semakin mengokohkan keterlibatan Islam dalam berbagai bidang yang kemudian
diperlakukan bukan hanya sebagai bagian integral dari doktrin Islam, namun juga
nyaris dianggap sebagai hal yang suci. Para fuqoha dalam merespon kebutuhan
masyarakat Islam yang terus berkembang menetapkan aturan-aturan berkenaan
dengan bidang-bidang yang baru, termasuk bidang agricultural dan perdagangan
dengan mengacu pada sunnah nabi, ijtihad, dan perdagangan, serta tentu saja
berpedoman pada ayat-ayat Al-Qur‟an.
Telah menjadi perdebatan bagi para sarjana Islam, apakah Islam itu
mendukung industrialisasi atau tidak. Ada banyak pendapat tentang masalah ini.
Beberapa sarjana berpendapat tanpa memberikan bukti nyata bahwa Islam lebih
banyak menghambat daripada mendukung industrialisasi, apalagi modernisasi.
Pendapat mereka ini tampaknya tidak tepat. Agama, apakah Islam, Hindu,
40
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 99-100
56
Kristen, Yahudi atau Budha tidak dapat dikatakan menjadi penghambat
medernisasi atau industrialisasi. Anggota masyarakat yang terbelakang
mempunyai pandangan agama yang juga terbelakang dan menafsirkannya dalam
pengertian teologi tradisional. Pada akhirnya yang menentukan bagaimana orang
memandang agama atau system pengetahuan lainnya adalah kondisi
lingkungannya.41
Perlu dicatat bahwa agama tidak bisa dipungkiri telah menjadi sebuah
kekuatan tersendiri dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap cara berpikir
sebagian besar masyarakat. Kenyataan ini sulit diingkari oleh para pengamat
sosial, dan yang perlu digarisbawahi dengan tebal adalah agama selalu dan terus
menjadi kekuatan yang amat besar di Negara-negara sedang berkembang. Tetapi
ini tidak berarti bahwa seluruh masyarakat di Negara-negara sedang berkembang
ini mempunyai pandangan yang sama terhadap agama. Masyarakat yang berada di
bawah system kapitalis seringkali tingkat perkembangannya tidak sama dan
penafsiran atau pemahaman terhadap agama tergantung pada tingkat
perkembangan dan kebutuhannya. Jika masyarakat merasa perlu melaksanakan
industrialisasi, agama akan ditafsirkan kembali sesuai dengannya. Jika
masyarakat tidak memiliki keinginan untuk melakukan perubahan dan merasa
diuntungkan dengan keadaannya kini, maka agama juga tidak perlu diubah
penafsirannya. Dengan kata lain, keadaan statis akan menghasilkan pandangan
agama yang statis pula.
41
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 118-119
57
Setelah mengupas perkembangan kapitalisme dan industrialisasi dalam
masyarakat Islam, kini kita perlu membahas kebijakan yang dikeluarkan Negara-
negara Islam berkenaan dengan kapitalisme dan industrialisasi. Banyak ahli Islam
dan ulama ketika mendiskusikan kebijakan industrial dalam masyarakat Islam
cenderung berpendapat bahwa kebijakan industrial dalam masyarakat Islam dapat
dilakukan jika syarat-syarat seperti larangan diproduksinya minuman keras dan
terciptanya system ekonomi yang bebas bunga dapat dipenuhi. Ini merupakan
pandangan yang sangat dangkal dan pendekatan seperti itu mengingkari masalah-
masalah yang berat dan kompleks sebagai akibat dari kapitalisme industrial.42
Industrialisasi tidak dapat dijalankan dengan kerangka berpikir kapitalisme yang
tanpa kendali. Keadilan sosial dan eksploitasi tidak dapat menjadi satu.
Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan akumulasi modal. Al-
Qur‟an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari keuntungan dengan
cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebihan) demi tujuan-tujuan
sosial. Keuntungan yang adil didasarkan pada tukar-menukar komoditi harus
dibedakan dari keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Ekonomi
perdagangan didasarkan pada tukar-menukar barang, sedangkan ekonomi
industrial pada produksi barang.43
Al-Qur‟an memberikan konsep ekonomi perdagangan yang terjadi pada
saat turunnya Al-Qur‟an. Jika kita akan menerapkan kebijakan ekonomi
42
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 126
43
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 127
58
industrial yang berlandaskan Al-Qur‟an dan sunnah maka kita harus dapat
mengaplikasikan konsep ini secara kreatif dalam system ekonomi industrial. Perlu
diingat bahwa larangan terhadap diadakannyaruba secara integral terkait dengaan
konsep ‘adl dan ihsan. Dalam pengertian ini, riba lebih dari sekedar bunga.
Kebanyakan ulama dan kaum Islam modernis mengartikan riba sebagai bunga,
tidak lebih dari itu. Mereka memperjuangkan penghapusan bunga bank dan
membuat bank yang bebas bunga.
Prof. Fazlur Rahman berpendapat44
“Apa yang dimaksud dengan riba
bukanlah bunga bank, namun bunga dalam pengertian hutang yang harus
dikembalikan dalam jumlah dua kali lipat dengan jangka waktu tertentu, dan ini
eksploitasi yang sangat dilarang oleh Al-Qur‟an”. Namun kedua pandangan
tersebut tidak sepenuhnya mewakili semangat Al-Qur‟an yang sebenarnya.
Konsep riba harus dilihat dalam pandangan Al-Qur‟an tentang keadilan distributif
‘adl dan ihsan yang menguntungkan golongan masyarakat lemah. Sedangkan
penghapusan bunga bank tidak sampai tujuan ini. Menurut semangat Al-Qur‟an,
riba harus dimaknai bukan hanya sebagai bunga, namun dimaknai sebagai
eksploitasi secara umum. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa Al-Qur‟an
menggunakan bahasa yang sangat keras dalam mengutuk riba. Dalam sebuah ayat
tentang riba disebutkan,
44
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 128
59
Artinya : “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba45
tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila.46
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu47
(sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.48
Dan dalam ayat selanjutnya
disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-
orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.49
45
] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang
yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
46
orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
47
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
48
Al-Qur‟an, 2: 275
49
Al-Qur‟an, 2: 278-279
60
Kita lihat bahwa Al-Qur‟an mengajarkan perdagangan yang jujur dan
mengecam riba yang ditafsirkan sebagai bunga dan eksploitasi dalam segala
bentuknya. Al-Qur‟an menyatakan perang kepada mereka yang tidak
menghentikan riba dan seharusnya membuat kita berpikir serius tentang implikasi
dari ayat-ayat tentang pelarangan riba. Pada dasarnya Al-Qur‟an berpihak pada
masyarakat yang berkeadilan dan segala yang menggangu terwujudnya
masyarakat yang seperti ini diperhatikan secara serius oleh Al-Qur‟an. Bukan
hanya bunga perbankan yang secara umum dikecam ulama dan sejumlah kaum
muslim modernis, namun juga seluruh praktek yang eksploitatif, termasuk
keuntungan yang diperoleh dengan cara yang tidak adil yang dikecam Al-Qur‟an
dengan istilah riba.50
Dalam ekonomi industrial, profit lebih eksploitatif daripada bunga.
Namun sekarang ini, di Negara-negara Islam yang diprotes hanyalah bunga,
sedangkan profit dihalalkan. Islamisasi ekonomi hanya dilaksanakan dengan
membuat bank tanpa bunga, sementara praktek-praktek eksploitasi lainnya masih
terus berlangsung.
Kebijakan ekonomi industrial yang Islami seperti diatas tidak dapat
melihat persoalan dengan hati jernih. Kebijakan itu hanya akan mendukung kelas
yang sedang berkuasa yang sebenarnya bertanggung jawab atas terjadinya
ketidakadilan sosial yang terus-menerus. Sebuah kebijakan industrial yang Islami
mestinya tidak hanya berkonsentrasi pada penghapusan bunga perbankan,
50
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 129
61
sementara membiarkan terjadinya distorsi ekonomi dan tidak menyentuh
kepentingan-kepentingan pribadi yang sangat berpengaruh. Seharusnya kebijakan
itu juga memberantas seluruh praktek eksploitasi, termasuik profit, yang
bertentangan dengan konsep keadilan sosial dalam Al-Qur‟an dan merugikan
golongan masyarakat lemah. Sebuah kebijakan industrial yang Islami seharusnya
mempunyai tujuan ganda, yakni pertumbuhan dan keadilan sosial. Tetapi tidak
cukup mengukur pertumbuhan rata-rata ini hanya dalam istilah ekonomi saja.
Menurut kebijakan yang Islami juga ditekankan produksi barang-barang yang
diperlukan oleh kelas pekerja dan buruh kasar serta golongan ekonomi lemah
lainnya.51
Hal ini membawa pada pertanyaan penting yang lain, yakni bagaimana
kebebasan usaha-usaha yang bersifat pribadi. Sektor swasta tidak menunjukan
adanya kepentingan pribadi terlalu banyak dalam perusahaan-perusahaan barang-
barang karena keuntungan yang diperoleh rendah. Kebijakan industrial yang
Islami harusnya mendorong sector swasta untuk berinvesstasi di waliayah-
wilayah yang tidak begitu menguntungkan, atau pada industry-industri yang
komit terhadap terciptanya keadilan sosial. Dalam Islam, mewujudkan keadilan
sosial itu lebih penting daripada menciptakan kebebasan pada pemodal untuk
mencari keuntungan. Imam Ibn Taymiyyah merangkum semua uraian ini dalam
prisipnya yang terkenal bahwa kepentinga umum mendahului kepentingan
pribadi.
51
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 130
62
Masyarakat industrial Islam tidak akan mendukung apa yang disebut
dengan konsumerisme. Ekonomi kapitalis barat sekarang ini pada dasarnya
berlandaskan konsumerisme dan industry persenjataan yang canggih. Istilah yang
paling tepat adalah military-industrial complex. Kebijakan industrial yang Islami
tidak cukup hanya melarang industry minuman keras, namun juga melarang
seluruh perindustrian yang didasarkan pada penciptaan kebutuhan yang artificial
yang menekan public untuk mengkonsumsinya. Kebutuhan yang artificial ini
bukan hanya mendistorsi perekonomian yang bertentangan dengan kepentingan
golongan ekonomi lemah, namun juga mengarah pada eksploitasi Negara-negara
lain yang juga tidak berkeadilan.52
Ekonomi kapitalis barat dapat bertahan karena mengeksploitasi Negara-
negara lain. Kebijakan industrial yang Islami harus dengan tegas mengekang
periklanan yang menjadi bagian integral dari ekonomi kapitalis. Periklanan
diijinkan jika sebagai agan informasi, bukan sebagai agen untuk menciptakan
kebutuhan yang artificial dalam rangka mengeruk keuntungan secara kapitalis
tanpa mengindahkan etika. Periklanan harus diarahkan dengan prinsip-prinsip
etika tertentu.53
Islam juga tidak setuju dengan military-industrial complex. Senjata boleh
diproduksi untuk kepentingan pertahanan, bukan untuk menjadi penyangga
ekonomi atau menambah keuntungan yang berlipat ganda bagi perusahaannya,
yang berati secara langsung mensponsori adanya perang. Islam adalah agama
52
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 131
53
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 130-131
63
damai dan hanya mengijinkan perang yang bersifat defensive. Islam tidak
memperbolehkan perdagangan yang dapat menyebabkan kematian. Jadi bisnis
senjata seharusnya diharamkan. Dalam masalah perang, Al-Qu‟an mengatakan,
“Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangimu, tetapi janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.”54
Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa Al-Qur‟an tidak
mengijinkan perang sebagai agresi. Sehingga tidak ada tempat untuk
mnegembangkan military-industrial complex dalam ekonomi Islam.
Kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan industrial yang Islami tidak
dapat didasarkan pada niat mencari keuntungan semata, sebagaimana yang terjadi
dalam ekonomi kapitalis barat. Dasarnya adalah menciptakan keadilan sosial
dengan memberantas seluruh bentuk eksploitasi. Tidak perlu ragu-ragu untuk
mendorong tumbuhnya sector swasta, atau mungkin malah menghapuskannya jika
memang diperlukan dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Harus
diperhitungkan pengaturan produksi agar menguntungkan golongan masyarakat
lemah selama meraka masih ada. Islam tidak mengijinkan periklanan yang tidak
mengindahkan etika. Iklan hanya diperbolehkan jika ditujukan untuk memberikan
informasi yang menguntungkan konsumen. Islam menempatkan perusahaan yang
memproduksi barang-barang untuk kebutuhan pokok pada prioritas tertinggi dan
sangat keras melarang konsumerisme yang tidak berorintasi pada kepentingan
sosial.55
54
Al-Qur‟an, 2: 190 55
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 132
64
C. Relevansi Pemikiran Ali Asghar Terhadap Keindonesiaan
Konsep taqwa menurut Ali Asghar di dalam Islam bukan hanya konsep
ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.
Baginya Al-Qur‟an mengajarkan bahwa keadilan untuk golongan masyarakat
lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok.56
Dalam UUD 1945 bab
kesejahteraan sosial, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan sosial
menyangkut pemenuhan kebutuhan materiil yang harus diatur dalam organisasi
dan sistem ekonomi yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Hal ini mempunyai kaitan antara keadilan sosial dan kesejahteran sosial.
Keadilan sosial adalah suatu keadaan dimana seluruh rakyat merasa aman dan
tentram karena aturan-aturan main dalam hubungan-hubungan ekonomi yang
berdasarkan prinsip-prinsip etik dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat.
Kesejahteraan sosial adalah sarana materiil yang harus dipenuhi untuk mencapai
rasa aman dan tentram yang disebut keadilan sosial. Dua hal ini menyangkut pasal
33 dan 34 dalam UUD 1945. 57
Menurut Ali Asghar syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan adalah
mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan seseorang
menjadi eksploitator, tiran dan penindas. Oleh karena itu dalam masyarakat
pancasila roda ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, yaitu harga melalui
sistem pasar dengan sekaligus ada “pengontrolan” sosial atau pengawasan oleh
56
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 58
57
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila. hal. 228
65
masyarakat dan pedoman moral oleh seluruh bangsa yang bertaqwa kepada tuhan
yang maha Esa.58
Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial, bahwa
penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan
menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh
multi Negara.
Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya
(mereka jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari
perekonomian modern), mewarisi sistem ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan
multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi
tradisional.
Indonesia yang notabene berpaham Pancasila mempunyai pandangan
negara menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi tertentu
bukanlah demi ”penguasaan” itu sendiri, melainkan karena penguasaan itu
dipandang menjamin perlindungan kepentingan orang banyak.59
Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran
ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ketiga. Penumpukan
kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat
menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah kepada kehancuran
58
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. hal. 39
59
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, hal. 52
66
masyarakat secara total. Dalam Islam, mewujudkan keadilan sosial itu lebih
penting daripada menciptakan kebebasan pada pemodal untuk mencari
keuntungan.
Pasal 33 UD 1945 mengatur tentang penguasaan bumi, air dan kekayaan
alam untuk kemakmuran rakyat. Hal ini demi kemakmuran rakyat secara
maksimal dan menghindari eksploitasi alam yang berlebihan.60
Dalam
kenyataannya, jaminan perlindungan kepentingan orang banyak, dan peningkatan
kemakmuran rakyat secara makmur itulah, yang masih sering dipertanyakan
pemenuhannya. Ini dapat ditunjukkan oleh pelayanan yang tidak efisien dari
aneka rupa usaha negara disatu pihak, dan kurang adilnya distribusi pendapatan
dan kekayaan nasional di pihak lain.61
Industrialisasi tidak dapat dijalankan dengan kerangka berpikir
kapitalisme yang tanpa kendali. Keadilan sosial dan eksploitasi tidak dapat
menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan
akumulasi modal. Al-Qur‟an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari
keuntungan dengan cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebihan)
demi tujuan-tujuan sosial.
Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan
membangun stuktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan
konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam sturktur sosial yang
60
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, hal. 52
61
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,hal. 158
67
seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan dibidang sosial,
ekonomi, hukum dan politik.
Negara sebagai regulator perekonomian harus menentang monopoli hal ini
selaras dengan Q.S. Al Hasyr ayat 7. Mekanisme pasar dalam Pancasila adalah
pasar yang anti free-fight liberalism yang telah melahirkan monopoli yang
merugikan masyarakat. Pasar Indonesia adalah pasar yang menekankan pada asas
kekeluargaan, yaitu asas kerjasama yang tidak saling merugikan.62
Kebijakan industrial yang Islami tidak dapat didasarkan pada niat mencari
keuntungan semata, sebagaimana yang terjadi dalam ekonomi kapitalis barat.
Dasarnya adalah menciptakan keadilan sosial dengan memberantas seluruh
bentuk eksploitasi. Tidak perlu ragu-ragu untuk mendorong tumbuhnya sector
swasta, atau mungkin malah menghapuskannya jika memang diperlukan dalam
rangka menciptakan keadilan sosial.
Demokrasi ekonomi Indonesia menekankan pada pentingnya masalah
kemakmuran rakyat: kemakmuran bagi semua orang. Pasal 33 dan pasal 34 UUD
1945 telah memililh dan menentukan sistem ekonomi seperti dijelaskan oleh ayat-
ayatnya. UUD 1945 juga telah menetapkan prioritasnya, yaitu membangun
langsung manusianya melalui pasal 27 (ayat 2) bahwa: “Tiap-tiap warga Negara
berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaa.” 63
62
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,hal. 68
63
Sri Edi Swasono, Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Indonesia: Pemikiran ke Arah
Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal.166.
68
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun
artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam
konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan
menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan
emancipatory).64
Politik kemakmuran masyarakat paling tidak harus diarahkan kepada dan
dapat menjawab tiga hal pokok berikut ini: (1) bagaimana meningkatkan lepangan
kerja dan mengurangi pengangguran, (2) bagaimana mengurangi ketidakmerataan
untuk mencapai keadilan sosial, (3) bagaimana kemiskinan untuk mencapai
keadaan yang lebih adil dan makmur.65
Jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri
dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus
mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan
sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap
tatanan sosial yang telah usang yang dengan sendirinya memilki mekanisme
64
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 24 desember
2010 dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_9.htm
65
Sri Edi Swasono, Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Indonesia: Pemikiran ke Arah
Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 167.
69
sosio-legal dan politik-ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak
khusus dan kekuasaan „kasta yang tinggi‟ dan kelas atas.66
Dalam perumusan dan pelaksanaan suatu teori maupun dalam penyusunan
suatu strategi pembangunan nasional, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari
asas politik ekonomi yang dianut. Hal ini telah tercantum dalam UUD 1945
khususnya pasal 33 dan penjelasannya yaitu demokrasi ekonomi. Biarpun hal itu
sebenarnya dapat juga dianggap lebih menyangkut tata penyelenggaraan atau
instrumentasi suatu strategi.67
Berdasarkan pengalaman usaha pembangunan dimasa lampau dan dengan
memberi perhatian terhadap perkembangan pemikiran tentang teori maupun
strategi pembangunan di dunia, maka di Indonesia terdapat perkembangan teori
dasar pembangunan nasional yang merangkum keserasian berbagai pendekatan
dengan penerapan terhadap kondisi dengan potensi dan prospek Indonesia dengan
memperhatikan perspektif tahapan-tahapannya dan terutama kepada dasar negara
dan filsafat bangsa Pancasila.68
Sejak permulaan tahun 1970-an, kebangkitan kehidupan beragama di Asia
Barat menggoncang dunia. Kebangkitan yang oleh media massa barat dicap
sebagai „Fundamentalisme Islam‟ talah menjadi perhatian dunia. Namun
66
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 126
67
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja A.R, Teori & Strategi Pembangunan Nasional,
(Jakarta: Haji Masagung, 1988), hal. 92
68
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja A.R, Teori & Strategi Pembangunan
Nasional, hal 92
70
demikian, meraka memandang kebangkitan Islam dengan sangat negative.
Kebangkitan Islam ini juga dianggap sebagai fanatisme keagamaan atau „watak
Islam yang sesungguhnya‟. Semua persepsi tersebut keliru, karena fenomena ini
tidak menunjukkan watak Islam yang muncul secara tiba-tiba atau pun fanatisme
keagamaan yang misterius. Tidak ada fenomenal sosoal yang dapat dikenali atau
dijelaskan tanpa dilacak akar sosialnya. Sebuah fenomena yang bersifat
transcendental seperti fenomena keagamaan ini bukannya tanpa akar sosial. Akan
tetapi, sebuah system berpikir, betapapun transdentalnya, tentu berkaitan dengan
masalah sosial dan system keagamaan, betapapun erat hubungannya dengan
spiritualitas, bukannya tidak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan struktur
sosial yang mendahuluinya.69
Slogan Islam fundamentalis yang terkenal adalah perbankan yang bebas
bunga. Slogan ini digunakan secara sangat efektif oleh kelas-kelas eksploitator,
ironisnya untuk mengekalkan eksploitasi terhadap ekonomi masyarakat. Seluruh
konsep Islamisasi ekonomi direduksi menjadi sekedar menciptakan bank tanpa
bunga dan mencegah pembuatan serta penjualan minuma keras. Kitab suci
AlQur‟an sangat menentang riba yang ditafsirkan sebagai bunga bank. Al-Qur‟an
mengatakan, “Orang-orang yang mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
69
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 135-136
71
jual beli dan mengharamkan riba.”70
Selanjutnya, Allah berfirman, “Allah
mengharamkan riba dan menganjurkan shadaqah.”71
Al-Qur‟an sangat keras dalam mencela riba yang secara tradisional
ditafsirkan dengan bunga. Akan tetapi, para ekonom Muslim modern, walaupun
menafsirkan riba juga sebagai bunga, berpendapat bahwa penghapusan bunga
tidak akan membantu menciptakan ekonomi yang bebas eksploitasi. Sebaliknya,
membuat bank tanpa bunga dalam system ekonomi kapitalis yang rentan inflasi
ini, mengarah pada eksploitasi yang lebih besar terhadap penabung kecil dan
memberikan keuntungan kepada orang-orang kaya yang meminjam uang dari
bank tanpa bunga atau bebas biaya untuk semakin memperkaya dirinya. Inflasi itu
mengurangi nilai mata uang yang tidak menghasilkan bunga dalam perbankan
yang bebas bunga dan disinilah penabung kecil kehilangan uangnya. Dengan
demikian, didalam ekonomi kapitalis yang rentan inflasi, Negara-negara yang
sudah maju pun tetap saja mudah terkena inflasi, terlebih Negara yang sedang
berkembang.72
70
Al-Qur‟an, 2: 275
71
Al-Qur‟an, 2: 276
72
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 141
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa yang telah dilakukan pada bab-bab
terdahulu, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai jawaban dari perumusan
masalah yang ditentukan. Kesimpulan tersebut penulis uraikan sebagai berikut :
1. Asghgar Ali memandang penimbunan kekayaan merupakan suatu hal yang
menggangu jalannya roda perekonomian dan menimubulkan eksploitasi umat
manusia dalam kegiatan ekonomi sebab penumpukan kekayaan pada
segelintir orang menimbulkan kekayaan absolut dan kemiskinan absolut.
2. Keadilan distribusi sebagai alat untuk menghilangkan konsentrasi kekayaan
pada segelintir orang melalui efektifitas pengolahan zakat agar terjaadi
pemerataan pendapatan sehingga menghilangkan kemiskinan absolut.
Kemudian untuk mengatasi eksploitasi umat dalam ekonomi melalui
penghapusan riba, riba bukan hanya sekedar bunga melainkan eksploitasi
sesama manusia termasuk industri dan periagaan yang tidak adil dianggap
riba.
3. Konsep taqwa menurut Asghar Ali bukan hanya sebuah konsep ritualistik,
namun juga integral terkait kewadilan sopsial dan ekonomi. Hal ini sesuai
dengan UUD 1945 BAB Kesejahteraan sosial menyangkut kebutuhan materil
73
yang harus diatur dalam organisasi dan system ekonomi yang berdasarkan
kekeluargaan dengan berlandaskan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan sosial adalah
nlai yang menduduki posisi penting dalam pemikiran system ekonomi Islam.
Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat
problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian
perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak
menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik
yang eksploitatif.
Asghar Ali belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini.
Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan
tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang
cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi
sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya penulis memiliki
beberapa saran :
1. Untuk pembaca sebaiknya melihat pemikiran Asghar Ali Engineer secara
konprehensif sebab Asghar Ali Engineer merupakan seorang sosiolog bukan
ekonom murni yang menyebabkan ia selalu berpikir kritis sesuai keadaan
yang dialami.
74
2. Untuk semua pihak yang berkonsentrasi pada bidang perekonomian
hendaknya mampu meneladani kepribadian Rasulullah pada setiap aspek
kehidupan dalam langkah dan waktu. Maksudnya bahwa sendi-sendi
keislaman yang berkaitan dengan keadilan ekonomi sudah berjalan sejak lama
sampai sekarang harus tetap berjalan.
3. Untuk mahasiswa, seyogyanya bersemangat progresif untuk terus mencari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh
Asghar Ali Engineer kepada kita.
4. Untuk civitas akademika UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
hendaknya menggali lebih dalam pemikiran Asghar Ali Engineer yang
bersifat progresif revolusioner dalam memihak masyarakat lemah menuju
masyarakat yang berkeadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bakti: jogyakarta
1997
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro,
(Jakarta: Karim Bussines Consulting,2001).
Al-qu’an al-karim
Engginer, Asghar Ali, 1984, Islam and Its Our Age, Bombay:I.I.S.
______________________, terjemahan Islam and Its Our Age, Jogjakarta:LKIS,
2007, jilid 2.
Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), cet.I. h.12.
Santoso, Listiyono dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Pres, 2003), cet.
Ke-1
Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984),
cet. Ke-1.
Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai Dalam Perekonomian Islam, Didin Hafidudin
(penterjemah), (Jakarta:Robbani Press,1977), cet ke-1