Post on 25-Jun-2015
description
SEMANGAT KEPEMUDAAN INDONESIA
KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK
GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL”
MASYARAKAT
(Eksistensi dari Apolitical Being Aristoteles)
Oleh:
Arie Hendrawan
Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
LOMBA ESAI GREAT MOMENT 2013 DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI
KEBANGKITAN NASIONAL
LEMBAGA PERS MAHASISWA GEMA KEADILAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO – SEMARANG
1
Betapa Politik itu Selalu Inheren dengan Kehidupan
Tidak ada definisi statis mengenai politik. Sebaliknya, jawaban seputar apa itu politik
selalu mobile secara dinamis. Multiperspektif terhadap variabel-variabel politik, tak ubahnya
sebuah analogi tentang seorang buta yang sedang meraba gajah. Sewaktu memegang buntut
(ekor), maka yang terlintas dibenak orang tersebut adalah kuda. Berbeda lagi saat menyentuh
tekstur kulit, mungkin saja dia berfikir induktif bahwa binatang di sampingnya adalah kerbau.
Jika seorang buta tadi mendapati belalai, spontan baru dia mengeneralisasi gajah yang tengah
berada di dekatnya. Begitulah realitas glosa politik, nisbi. Dependen dari kaca mata dan sudut
pandang masing-masing pribadi.
Namun demikian, Harold D. Laswell dalam buku Who Gets What, When, How pernah
melontarkan pandangan yang komprehensif dan dinilai representatif perihal politik. Laswell
mengatakan, “politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.”1 Kemudian
disusul oleh pandangan Bertrand de Jouvenel yang mengungkapkan, “politik adalah aktivitas
untuk menciptakan, memperkuat, dan mempertahankan bentuk-bentuk kerjasama manusia.”2
Melalui dua visualisasi takrif tersebut, kita dapat menetaskan simpulan holistik bahwa politik
sungguh tidak melulu bicara pemerintahan, partai politik, bahkan teori-teori klasik (termasuk
juga, neo klasik) sekalipun. Di luar konteks disiplin keilmuan tertentu, aktualitas nilai politik
justru bersifat universal. Artinya, selalu “inheren” dengan kehidupan.
Baik Plato maupun Aristoteles3, jauh-jauh hari telah menyatakan manusia hidup untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan mencapai tujuan. Usaha yang dilakukan manusia dalam taraf
makro (masyarakat) demi kebutuhan dan tujuannya tersebut oleh Aristoteles dinamai politics.
Meski terkesan normatif, pandangan Aristoteles senantiasa duratif hingga abad ke-19. Berasal
dari konsep itu pula muncul istilah zoon politicon (social and political animal), lagi-lagi oleh
Aristoteles. Ia meyakini utopia masyarakat tidak akan mampu diwujudkan sendiri, dan harus
memerlukan kolaborasi intersosial. Karenanya, Aristoteles menyebut spesies manusia sebagai
zoon politicon. Jika diurai, setidaknya ada dua tesis. Pertama, man is a social being4. Kedua,
man is a political being5. Jadi secara “garis besar”, politik dan kehidupan manusia merupakan
dwi-tunggal yang satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Sadar atau tidak, setiap manusia
pasti merasakan dan menjalankan kegiatan politik.
1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 22.2 Baca Bertrand de Jouvenel dalam Kartono, Pendidikan Politik sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa, Mandar Maju, 2009, hlm. 17.3 Aristoteles adalah murid dari Plato. Bersama Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi satu di antara tiga Filsuf yang paling berpengaruh dalam pemikiran barat.4 Manusia itu selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup (makhluk sosial).5 Manusia selalu berorganisasi (makhluk politik). Sintagma “a political being” juga biasa (lumrah) ditulis dengan “apolitical being”.
2
Sosialisasi Politik = Wujud ISR Generasi Muda
Meskipun terbilang lebih spesifik ketimbang konsepsi politik, skets sosialisasi politik
sebenarnya juga tidak kalah beragam. Sebagai induk dari pendidikan politik dan indoktrinasi
politik6, proses sosialisasi politik sangat penting di dalam upaya membangkitkan hegemonitas
masyarakat terhadap dinamika politik. Sebelum beranjak semakin jauh, ada penegasan makna
sosialisasi politik. Penulis memakai gagasan R.E. Dawson dan K. Prewitt, “sosialisasi politik
merupakan proses pengembangan lewat mana seseorang warga negara menjadi matang secara
politik.”7 Acuan bagaimana metode yang dipakai, bukan merujuk indoktrinasi oleh penguasa
otoritarian. Melainkan, bertendensi terhadap “optik” pendidikan politik yang berciri interaktif
dan tidak hanya bersifat satu arah. Dengan label generasi terpelajar atau agent of intellectual
pemuda mempunyai modal besar dalam memberi sosialisasi politik kepada masyarakat.
Absorpsi nilai-nilai politik setiap individu, terjadi berkat berbagai perantara. Perantara
yang dimaksud disebut “agen” sosialisasi politik. Kapabilitas pemuda sebagai agen sosialisasi
politik patut diperhitungkan. Mereka masih idealistis, dan objektif. Bukankah ilmu layaknya
sebuah gizi, ketika diajarkan secara natural (apaadanya)? Objek yang paling oportunitif untuk
pemuda “berkhidmat” diri, yakni: institusi pendidikan, peer group8, dan media massa. Lantas,
kenapa berkhidmat? Karena mengabdikan diri (berkhidmat) sama dengan wujud atau realisasi
nyata Intellectual Social Responsibility (ISR)9 generasi muda.
Tidak bisa dipungkiri anak-anak muda secara terjadwal menghabiskan sebagian besar
waktunya di sekolah, selain di rumah tentunya. Sebagai ladang “akademisi”, sekolah menjadi
tempat memperoleh informasi dan berbagai pengetahuan tentang proses-proses politik. Untuk
itu, role yang bisa dikerjakan oleh pemuda di sini dalam rangka sosialisasi politik mencakup
pengorganisiran kegiatan yang pro terhadap sosialisasi politik. Umpamanya saja mengadakan
diskusi isu-isu politik yang aktual dan kontekstual dengan mengkorelasikannya bersama ilmu
yang telah diterima saat pembelajaran. Kedua melalui aksi-aksi penyuluhan politik, kita dapat
mengambil contoh, misalnya penyuluhan seputar “urgenitas” Pemilu bagi segmentasi pemilih
pemula. Terakhir, menjalin kerjasama dengan ekstrakulikuler maupun Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS) untuk menyelenggarakan “praktek” kegiatan secara demokratis dan harmonis
6 Baca Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, 1992, hlm. 117.7 Simak buku Richard E. Dawson dan Kenneth Prewitt, Political Socialization, Little Brown and Company, Inc., 1969.8 Peer group bermakna kelompok pergaulan (teman sebaya). Sikap seseorang terhadap “objek” politik tertentu sering dipengaruhi oleh teman-teman sebaya atau sejawatnya (Sunarto, 2004: 23). Bagai pedang bermata dua, pengaruh tersebut bisa berupa hal positif maupun negatif.9 Bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat dengan bermodalkan daya intelektual. Misalnya: pelatihan a, kursus b, dan sosialisasi c terhadap masyarakat.
3
mengacu prinsip fundamental political responsibility. Hal tersebut, merupakan implementasi
dari sosialisasi politik lewat pendidikan keteladanan.
Berikutnya, sosialisasi politik pemuda pada peer group, atau akrab dijuluki kelompok
pergaulan. Setiap orang tidak selalu menggunakan waktu yang dimilikinya, “hanya” di dalam
keluarga maupun di sekolah. Ada dunia lain bagi mereka, termasuk bagi para golongan muda
dan itulah apa yang mereka anggap sebagai dunia pergaulan. Anggota-anggota dalam sebuah
kelompok pergaulan mempunyai hubungan akrab yang kuat dan loyal. Lagipula, keterbukaan
di sini juga memang bertaraf lebih tinggi karena tidak wajib mengikuti “yurisdiksi” akademis
layaknya di sekolah. Kesempatan emas itu membuat kaum muda sanggup meletakkan dirinya
secara berani namun tetap bertanggung jawab, untuk melakukan sharing berbagai nilai politik
praktis. Meski bukan berarti hal tersebut dijadikan “instrumen”, guna mengarahkan seseorang
menuju kiblat kepentingan kelas tertentu. Tidak serta merta. Sebaliknya, pemuda dalam peer
group definitif menggairahkan mekanisme sosialisasi politik dari perkara kecil dengan model
pendekatan yang bersifat konstruktivistik.
Selanjutnya, objek pengunci di mana generasi muda dapat menyumbangkan diri demi
sosialisasi politik adalah media massa. “Pers, langsung maupun tidak langsung sesungguhnya
bisa mendegradasikan nilai-nilai politik kepada masyarakat luas,” begitu argumentasi faktual
yang dikemukakan oleh Firmanzah.10 Ya, media massa adalah lembaga (paling) efektif untuk
membangun public opinion. Hal itu, juga relevan dengan pendapat Hyman yang substansinya
mengatakan bahwa media massa menyebarkan informasi politik. Tak hanya konsisten, namun
standar pula secara “simultan” bagi sejumlah besar orang sehingga berhasil memainkan peran
strategis dalam transformasi yang cepat di masyarakat.11 Bagaimana step pemuda untuk ikut
andil bagian? Mudah, rubrik opini sangat berjubel hampir di setiap media massa. Di samping
job jurnalis lepas yang kini mulai awam digeluti mahasiswa, bahkan pelajar sekalipun. Ruang
tersebut rasa-rasanya tidak akan terlalu jauh dari jangkauan mereka, para generasi muda. Jadi
sahih sudah, bukti jika pemuda berkapabel menjadi agen sosialisasi politik.
Memintasi Apatisme Politik (Apol) dan Gagap Politik (Gapol)
Siapa yang tak kenal Golput? Istilah “beken” itu mulai mencuat ketika Pemilu 1971 di
zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Golput atau Golongan Putih, merupakan suatu reaksi
protes atas kekuasaan yang otoritarian dan manipulatif. Gerakan Golput disimbolkan dengan
gerakan segi lima kekosongan yang diusung Arief Budiman Cs.12 Sampai saat ini Indonesia
10 Coba lihat Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 287.11 Nukilan dari Herbert Hyman, Political Socialization, The Free Press, 1959, hlm. 197.12 Perhatikan Andrias Ali, Pilkada dan Peluang Golput, www.mega.subhanagung.net, 2011.
4
masih dilanda krisis non-voter, dan prosentasenya rajin mengalami eskalasi. Puncaknya, pada
Pemilu 2009 jumlah Golput hampir 50 juta orang,13 mencengangkan bukan? Meskipun sangat
absurd jika menginginkan Pemilu yang 100% terbebas dari Golput, setidaknya angka Golput
masyarakat Indonesia yang sedemikian besar tersebut bisa ditekan.
Fenomena Golput adalah salah satu bentuk apatisme politik. Dan hal yang paling erat
terkait dengan problematika tersebut, yaitu kesadaran politik serta budaya politik. Sebenarnya
kita juga tidak boleh gegabah menghakimi masyarakat sebagai biang keladi. Jika menganalis
secara komprehensif, ada beberapa faktor lain penyebab Golput. Taruhlah, minimnya kinerja
aparatur pemerintahan sehingga menimbulkan krisis kepercayaan, sosialisasi politik setengah
hati14 para suprastruktur maupun infrastruktur politik, maupun hantaman kesejahteraan rakyat
yang begitu rendah. Parahnya, apatisme politik masyarakat kini kian diperparah kembali oleh
pengetahuan masyarakat yang buruk tentang politik.15 Untuk yang kedua ini dampaknya akan
sangat jelas terasa jika kita dihadapkan pada sebuah pemerintahan tirani. Maka, upaya-upaya
preventif melalui sosialisasi politik pemuda menjadi semakin mendesak dilakukan.
Bersandar pemaparan di atas, tampak sekali betapa pentingnya sosialisasi politik bagi
masyarakat. Peran generasi muda dalam hal ini tidak perlu disanksikan. Pemikiran Aristoteles
tentang apolitical being manusia juga terbukti masih terus eksis hingga sekarang. Masyarakat
konstan terbelenggu kehidupan politik. Butuh instrumen untuk memastikan segala sesuatunya
berjalan baik-baik saja. Sosialisasi politik, ialah jawaban. Memintasi, jauh lebih baik daripada
mengobati. Tak ada kata terlambat untuk aksi mulia. Pemuda memegang “estafet” perjuangan
bangsa. Nasib Indonesia, ada di tangan mereka. Bangkitlah wahai pemuda!
DAFTAR PUSTAKA13 Lebih lanjut, baca Faisal Assegaf, Jumlah Golput Hampir 50 Juta Orang, www.pemiluindonesia.com, 2009.14 Dianggap setegah hati karena banyak sosialisasi politik yang justru hanya digunakan sebagai “kedok” interest belaka, baik berupa politik pencitraan ataupun kampanye terselubung lainnya.15 Buruk dalam arti pengetahuan masyarakat yang sempit mengenai politik, entah itu persepsi maupun aplikasi politik, hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam kancah perpolitikan, bahkan yang lebih parah lagi tidak mengetahui apa itu konsep politik? Penulis menyebutnya sebagai masyarakat “gagap politik”.
5
Buku
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dawson, E. Richard dan Kenneth Prewitt. 1969. Political Socialization. Boston: Little Brown
and Company, Inc.
Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hyman, Herbert. 1959. Political Socialization. New York: The Free Press.
Kartono. 2009. Pendidikan Politik sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa.-----------
Bandung: Mandar Maju.
Subakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sunarto. 2009. Sistem Politik Indonesia. Semarang: Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan----
Universitas Negeri Semarang.
Internet
Ali, Andrias. 2011. Pilkada dan Peluang Golput. Diunduh dari www.mega.subhanagung.net
pada tanggal 8 Maret 2013.
Assegaf, Faisal. 2009. Jumlah Golput Hampir 50 Juta Orang. Diunduh dari---------------------
www.pemiluindonesia.com pada tanggal 8 Maret 2013.
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA
6
1. Nama Penulis : Arie Hendrawan
2. Tempat & Tanggal Lahir : Kudus & 28 Agustus 1992
3. Nama Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Semarang
4. Nama Fakultas & Jurusan : Fakultas Ilmu Sosial & Politik dan Kewarganegaraan
5. Domisili : Ds. Jepang, RT05/RW10, Kec. Mejobo, Kab. Kudus
6. Alamat Email : arie_hendrawan@rocketmail.com
7. FB : a1213_awan@yahoo.co.id
8. No. Ponsel : 085740228837
9. Scan KTP dan KTM :
10. Scan Bukti Pembayaran :
7