Post on 17-Jun-2018
KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI
oleh
KURNIA MEIRINA
F34102031
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
oleh
KURNIA MEIRINA
F34102031
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KURNIA MEIRINA
F34102031
Dilahirkan di Banjar
pada tanggal 25 Mei 1984
Tanggal lulus:
Bogor, 24 Januari 2008
Menyetujui,
Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. Dr. Indah Yuliasih , STP, MSi
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Kurnia Meirina. F34102031. Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo sp.) Siap Saji. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution dan Indah Yuliasih. 2008.
RINGKASAN
Cumi merupakan produk laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (Dahuri, 2004). Cumi memiliki sifat mudah mengalami penurunan mutu sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan segera agar cita rasa cumi tidak berkurang. Produk olahan cumi-cumi sebagai konsumsi lokal di Indonesia masih terbatas pada cumi-cumi kertas, cumi kering asin, cumi asap dan cumi kaleng. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilakukan pengembangan produk, misalnya dengan membuat cumi-cumi olahan yang merupakan produk praktis dalam cara konsumsi maupun penyajiannya. Cumi-cumi olahan merupakan cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami pemasakan sehingga memiliki penampakan yang menarik dan aroma yang khas. Produk ini merupakan produk siap saji yang dapat dikonsumsi langsung maupun dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan melakukan pengukusan, penggorengan, pemanggangan menggunakan api, oven atau microwave. Cara saji cumi-cumi olahan ini dilakukan dengan berbagai variasi waktu, pada suhu dan kekuatan daya yang ditentukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara saji cumi olahan yang disukai panelis. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui karakteristik cumi olahan yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut (kukus, goreng, panggang api, oven dan microwave). Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan memiliki warna (oHue) pada bagian dalam 73,14 dan bagian luar 82,55; nilai kekerasan (tekstur) 1,36 mm/g.dt; kadar air 72,57%; kadar protein (%bk) 14,54%; kadar lemak kasar (%bk) 1,98%; kadar fosfor (%bk) 1,37%; kadar besi 2,31 mg/kg serta tidak ditemukannya mikroorganisme Salmonella, Escherichia coli dan mikroorganisme lain pada uji mikroba. Pengolahan lebih lanjut diberikan pada cumi-cumi olahan yaitu kukus, goreng, panggang menggunakan api, oven dan microwave. Perlakuan tersebut dilakukan dalam tiga variasi waktu yaitu 2 menit, 5 menit dan 7 menit. Suhu yang digunakan pada oven 200 oC, sedangkan power level yang digunakan pada microwave adalah 30%. Produk cumi olahan yang telah diolah lebih lanjut diuji penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa melalui uji organoleptik (uji hedonik). Selain itu juga dilakukan analisa, meliputi warna, tekstur, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan uji mikroba (Salmonella, Escherichia coli, dan mikroorganisme lainnya).
Hasil uji organoleptik untuk penampakan umum menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi dihasilkan pada perlakuan panggang api dan goreng yang dilakukan selama 7 menit. Rata-rata tertinggi untuk warna dihasilkan pada perlakuan goreng selama 5 menit, untuk aroma rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan goreng selama 7 menit, untuk tekstur pada kukus selama 2 menit dan untuk rasa pada microwave selama 5 menit. Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan goreng cenderung lebih disukai oleh panelis sedangkan berdasarkan hasil analisa mutu pada cumi olahan yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut, perlakuan kukus dapat menjadi pertimbangan dalam cara penyajian cumi olahan dilihat dari nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Kadar protein pada perlakuan kukus memiliki nilai yang berkisar antara 19,09-19,99%, kadar lemak 1,44-1,59%, tekstur 1,17-1,27 mm/g.dt serta untuk uji mikroba tidak ditemukan mikroorganisme Salmonella, Escherichia coli dan mikroorganisme lainnya.
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian
Pengolahan Cumi-cumi (Loligo sp.) Siap Saji” adalah karya asli saya sendiri,
dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan
rujukannya.
Bogor, Januari 2008
Yang Membuat Pernyataan
Nama : Kurnia Meirina
NRP : F34102031
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1984 di Banjar, Ciamis. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Atman dan Ibu
Misriyati.
Pendidikan Dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN II Banjar,
pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 1
Banjar dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di
SMUN 1 Banjar.
Penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002
melalui jalur USMI. Selama pendidikannya di IPB, penulis pernah mengikuti
seminar-seminar yang diadakan IPB diantaranya Stadium General “ Succes Story
Alumni Teknologi Industri Pertanian” (2003), Six Sigma (2005), dan lain-lain.
Pada tahun 2005, penulis melaksanakan praktek lapang di PT. Raya Sugarindo
Inti dengan judul laporan “ Aspek Teknologi Proses Produksi di PT. Raya
Sugarindo Inti, Tasikmalaya-Jawa Barat”.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan
segala nikmat, petunjuk, kehendak, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyajikan hasil penelitan penulis dalam bentuk skripsi ini. Skripsi ini disusun
berdasarkan penelitian yang berjudul “Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo
sp.) Siap Saji”.
Penulis sadar, bahwa usaha penulis dari saat akan memulai penelitian
hingga tertuliskannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. M. Zein Nasution, MAppSc sebagai dosen pembimbing I yang telah
mengarahkan penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,
2. Dr. Indah Yuliasih, STP, MSi sebagai dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan pada penulis selama penyusunan skripsi,
3. Drs. Purwoko, MSi sebagai dosen penguji atas evaluasi dan sarannya pada
skripsi ini,
4. Bapak, Ibu, kakak (dan keluarga) serta adik atas do’a, kesabaran, perhatian,
kasih sayang, dan saran-saran bijaknya,
5. Pihak PT. AGFI, khususnya Pak Johan dan mbak Wiwit yang telah
menyediakan bahan baku penelitian serta atas semangat yang diberikan,
6. Seluruh staf dan karyawan serta laboran Departemen TIN yang telah banyak
membantu penulis dalam melakukan penelitian,
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi
ini.
Penulis sadar bahwa skripsi ini kemungkinan besar masih belum sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. x
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................... 1
B. TUJUAN ......................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
A. CUMI-CUMI ................................................................................... 3
B. PENGOLAHAN BAHAN PANGAN ............................................. 5
C. BUMBU ........................................................................................... 9
D. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI ............ 13
III. METODOLOGI ................................................................................... 14
A. BAHAN DAN ALAT ...................................................................... 14
B. METODE PENELITIAN ................................................................ 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 18
A. PROSES PENGOLAHAN CUMI SEGAR ..................................... 18
B. KARAKTERISTIK CUMI SEGAR DAN OLAHAN..................... 19
C. KARAKTERISTIK CUMI SETELAH PENGOLAHAN
LANJUTAN.......................................................................................
D. UJI ORGANOLEPTIK......................................................................
24
31
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 35
A. KESIMPULAN ............................................................................... 35
B. SARAN ............................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 37
LAMPIRAN ............................................................................................... 40
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Komposisi kimia dan gizi cumi-cumi (Loligo sp.) per 100 gram bahan ............................................................................................
5
Tabel 2. Perubahan Nilai gizi cumi-cumi sebelum dan setelah pengukusan per 100 gram bahan ...................................................
8
Tabel 3. Karakteristik awal cumi segar dan cumi olahan............................ 20
Tabel 4.
Karakteristik cumi setelah pengolahan lanjutan ...........................
25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagian tubuh cumi-cumi ........................................................... 3
Gambar 2. Microwave ................................................................................ 7
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7. Gambar 8.
Gambar 9.
Diagram Alir Penelitian ............................................................
Diagram Warna untuk Cumi Segar dan Olahan .......................
Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Nilai Tekstur Cumi ..................................................... Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Air Cumi .......................................................... Pengaruh Cara Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi ....... Pengaruh Lama Waktu Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi .......................................................................................... Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Lemak Cumi ....................................................
18
21
27 28 29 30 31
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur analisis Karakterisasi Cumi-cumi ........................ 40
Lampiran 2. Format Uji Organoleptik ..................................................... 46
Lampiran 3. Data Hasil Analisa Karakteristik Cumi Segar dan Cumi Olahan .................................................................................
48
Lampiran 4. Analisa Statistik Karakteristik Cumi Segar dan Cumi Olahan .................................................................................
49
Lampiran 5. Data Hasil Analisa Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan ...........................................................
52
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Lampiran 8.
Analisa Statistik Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan................................................................................. Uji Kruskal-Wallis pada Parameter Uji Organoleptik .........
Uji Lanjut Dunn ...................................................................
53 58
61
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cumi merupakan produk laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia.
Sebagian besar cumi diolah menjadi bahan makanan protein tinggi. Cumi
memiliki sifat mudah mengalami penurunan mutu sehingga perlu dilakukan
pengolahan dengan segera agar cita rasa cumi tidak berkurang. Jenis produk
olahan cumi sebagai konsumsi lokal masih terbatas antara lain cumi kertas, cumi
kering asin, cumi asap dan cumi kaleng.
Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton
per tahun (Dahuri, 2004). Hasil produksi yang cukup tinggi ini menunjukkan
bahwa cumi mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi berbagai
macam produk yang lebih praktis dalam cara konsumsi maupun penyajiannya.
Konsumsi makanan yang berasal dari laut (termasuk cumi-cumi) semakin
meningkat setelah adanya kesadaran akan pentingnya bahan makanan tersebut
sebagai sumber nutrisi bagi tubuh. Protein, lemak, dan komponen lain yang
berasal dari seafood memiliki keistimewaan tersendiri. Pada cumi-cumi selain
dagingnya yang mudah dicerna, juga mengandung asam amino esensial serta kaya
akan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan dan
pembangunan tulang.
Cumi olahan merupakan salah satu alternatif yang dapat dibuat dalam
pengembangan produk makanan berbahan baku cumi. Cumi olahan merupakan
cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami pemasakan sehingga memiliki
penampakan yang menarik dan aroma yang khas. Proses penambahan bumbu ini
mempunyai tujuan untuk mengubah rasa dan meningkatkan daya terima makanan.
Penambahan bumbu yang dilakukan dapat berupa penambahan minyak esensial,
rempah-rempah, gula, asam dan garam.
Menurut Takahashi (1965) rasio bagian tubuh cumi yang dapat dimakan
dibandingkan keseluruhan tubuhnya sebesar 80%, terdiri dari 50% bagian mantel,
30% bagian lengan dan sisanya sebesar 20% dibuang. Produk ini masih
mempertahankan bentuk utuh dari cumi dan kekenyalan daging cumi. Produk
cumi olahan ini dapat dikonsumsi secara langsung maupun dilakukan pengolahan
lebih lanjut untuk mengkonsumsinya seperti pengukusan, penggorengan dan
pemanggangan menggunakan api, oven atau microwave. Pengolahan lanjutan
tersebut merupakan suatu pengolahan bahan pangan yang menggunakan panas.
Pengolahan lebih lanjut dilakukan agar bahan pangan tersebut aman dan mudah
dikonsumsi, serta untuk meningkatkan kelezatan, kualitas dan daya simpannya.
Produk ini diharapkan dapat dijadikan salah satu produk yang cukup berpotensi
dalam pengembangan usaha produk makanan berbahan baku hasil perikanan.
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini antara lain untuk :
1. Mengetahui karakteristik cumi olahan dan cumi yang telah mengalami
pengolahan lebih lanjut (kukus, goreng, panggang api, oven dan microwave)
2. Mengetahui cara saji cumi olahan yang disukai oleh panelis melalui uji
organoleptik
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. CUMI-CUMI
Cumi-cumi (Loligo sp.) termasuk organisme pelagik, tetapi kadang-
kadang digolongkan demersal karena sering terdapat di dasar perairan, pergerakan
yang dilakukannya diurnal yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar
perairan dan malam hari akan menyebar pada kolom perairan. Cumi-cumi
termasuk karnivora dan bersifat fototaksis positif tertarik terhadap cahaya.
Cumi-cumi adalah binatang yang termasuk golongan Mollusca atau
bertubuh lunak, kelas Cephalopoda yang menggunakan kepala untuk bergerak,
kepala dikelilingi 8 atau 10 tentakel, dalam mulut terdapat bentuk seperti paruh
burung yang kuat dan terdapat gigi kecil yang runcing dan tajam pada lidahnya
(Johnson et al., 1977).
Gambar 1. Bagian Tubuh Cumi-cumi
Tubuh cumi-cumi terdiri dari kepala di bagian ventral, leher yang pendek
dan badan berbentuk tabung dengan sirip berbentuk segitiga di tiap sisinya. Pada
kepala terdapat sepasang mata yang berkembang dengan sempurna, mulut yang
terletak di ujung, dikelilingi oleh empat pasang tangan dan sepasang tentakel
(Sugiri, 1989).
Klasifikasi cumi-cumi sebagai berikut : (Hegner dan Engemann, 1968)
Filum : Mollusca
Kelas : Cephalopoda
Subkelas : Coleoidea
Ordo : Decapoda
Subordo : Teuthoidea
Famili : Loliginidae
Genus : Loligo
Spesies : Loligo sp.
Hamann dan Lanier (1987), menjelaskan bahwa adanya struktur mantel
yang kompleks dan mengandung kolagen yang tinggi menjadikan daging cumi-
cumi mempunyai tekstur kenyal. Adanya lapisan-lapisan dalam mantel tersebut
berpengaruh terhadap teknik penanganan, pengolahan, dan tekstur. Menurut
Takahashi (1965) rasio bagian tubuh cumi-cumi yang dapat dimakan
dibandingkan keseluruhan tubuhnya rata-rata mencapai 80% yang terdiri dari 50%
bagian mantel, 30% bagian lengan, dan sisanya 20% dibuang, sedangkan untuk
jenis ikan sebesar 40-70%.
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang
terdapat di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng
pertahanan dan perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan
berwarna hitam ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna
hitam di sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator
lain (Johnson et al., 1977).
Cumi-cumi memiliki daging yang bersih, licin dan memiliki aroma yang
khas serta mengandung nilai gizi yang cukup baik (Kreuzer, 1986). Selain itu
cumi-cumi juga memiliki beberapa kandungan mineral seperti fosfor dan kalsium
yang berguna untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak (Zaitsev et al., 1969).
Komposisi kimia dan zat gizi cumi-cumi (Loligo sp.) secara rinci disajikan pada
Tabel 1.
Cumi-cumi mengandung sekitar 80% protein miofibril, 12-20% protein
mioplasma dan 2-3% protein miostroma. Tingginya kandungan protein miofibril
pada cumi-cumi memungkinkan untuk membekukan produk sehingga
memudahkan dalam proses diversifikasi produk cumi-cumi. Hal ini disebabkan
jaringannya tidak rusak dalam keadaan beku. Selain kaya akan protein, cum-cumi
juga kaya akan kandungan vitamin. Vitamin yang terdapat pada cumi-cumi
berdasarkan kelarutannya terbagi menjadi vitamin larut air dan vitamin larut
lemak. Vitamin larut air yang terkandung pada cumi-cumi adalah vitamin B1, B2,
B6 dan vitamin C. Vitamin larut lemak yang terkandung pada cumi-cumi adalah
vitamin A, D, E dan K (Okuzumi dan Fujii, 2000).
Tabel 1. Komposisi kimia dan gizi per 100 gr cumi-cumi (Loligo sp.)
Komposisi Jumlah Energi Karbohidrat Protein Lemak Abu Kalsium Fosfor Besi Natrium Kalium Retinol Tiamin (Vitamin B1) Riboflavin Niasin
75 kalori 82 g
15.3 g 0.8 g 1.2 g
15 mg 194 mg 1 mg
176 mg 266 mg 15 mg
0.03 mg 0.08 mg 3.2 mg
Sumber : Okuzumi dan Fujii (2000)
B. PENGOLAHAN BAHAN PANGAN
Tujuan pengolahan bahan pangan adalah agar bahan pangan tersebut aman
dan mudah dikonsumsi, serta untuk meningkatkan kelezatan, kualitas dan daya
simpannya. Ada tiga jenis cara pengolahan atau pemasakan yaitu pertama dry heat
method (contoh pemanggangan dan pengovenan), kedua moist heat method
(contoh perebusan dan pengukusan) dan ketiga penggorengan. Dry heat method
biasa dilakukan dalam oven merupakan metode pemasakan yang relatif lambat,
tetapi memiliki beberapa keuntungan antara lain bisa memasak dalam jumlah
banyak dan panasnya merata. Moist heat method adalah metode pamasakan yang
melibatkan air dan merupakan metode pemasakan yang relatif cepat, karena air
memiliki kemampuan untuk menyerap panas. Penggorengan adalah metode
pemasakan cepat dengan menggunakan minyak panas untuk memasak bahan
pangan (Cameron, 1988).
1. Microwave
Microwave dapat dimanfaatkan dalam pengolahan bahan pangan. Teknologi
microwave banyak diaplikasikan dalam pemasakan, pemanasan, pasteurisasi dan
sterilisasi serta proses pengolahan bahan lainnya secara tepat (George et al.,
1993).
Keuntungan dari pengeringan menggunakan microwave ini adalah konversi
energi microwave ke energi panasnya lebih efisien dan penetrasi gelombang
elektromagnetnya ke dalam makanan lebih mudah. Kemudahan penetrasi energi
ini berhubungan dengan mekanisme konduksi pada bejana, udara panas dan
sistem infra merah. Selain itu keuntungan proses microwave yang lain adalah
waktu proses yang pendek (singkat), tidak ada kemungkinan tumbuh bakteri dan
lebih fleksibel dalam produksinya. Pada pengeringan menggunakan microwave
dimungkinkan untuk memasukkan produk beserta kemasannya ke dalam ruang
pengering. Energi microwave diaplikasikan sebagai perkembangan dari teknik
pengering lain yang sudah umum yaitu vacuum-drying dan freeza-drying.
Aplikasi energi microwave ini dapat mengurangi biaya operasi, waktu proses dan
kerusakan produk untuk membantu meningkatkan kualitas produk (George et al.,
1993).
Microwave oven beroperasi dengan pelepasan gelombang mikro oleh tabung
elektron sehingga molekul-molekul air dalam makanan akan teragitasi, yang
kemudian menimbulkan getaran, dan akhirnya akan memproduksi panas. Dalam
oven ini, gelombang mikro akan masuk melalui bagian atas ruang oven yang
dilengkapi dengan kipas pemusing yang bertugas untuk menyebarkan panas yang
dihasilkan tadi ke seluruh bagian oven, dapat dilihat pada Gambar 2. Kombinasi
panas berintensitas tinggi dengan pusingan tadi menyebabkan cepatnya proses
pemasakan. Uniknya panas yang dihasilkan ini tak dapat menembus wadah
(container) logam, tetapi dapat dengan mudah menembus wadah non logam. Itu
sebabnya makanan yang akan diolah dengan microwave oven dimasukkan dalam
wadah khusus, biasanya terbuat dari plastik.
Gambar 2. Microwave
2. Pengukusan
Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada jaringan
sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan untuk menginaktifkan enzim
yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna, citarasa atau nilai gizi yang
tidak dikehendaki selama penyimpanan (Harris dan Karmas, 1989). Menurut
Laconi (1995) didalam Soeparno (1994) pengukusan bertujuan untuk mengurangi
kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Pengukusan
sering diartikan pula sebagai pemasakan yang dilakukan melalui media uap panas
dengan suhu pemanasan sekitar 100 oC dengan lama yang bervariasi sesuai
dengan sifat bahan. Kisaran waktu pada umumnya adalah 1-11 menit.
Pengukusan atau perebusan membantu menghilangkan bau amis ikan menjadi
seafood dengan aroma segar, menginaktifkan enzim dekomposisi dan lainnya,
mengubah tekstur melalui denaturasi protein dan dengan demikian memberikan
karakteristik rasa pada produk (Okuzumi dan Fujii, 2000). Pengukusan pada suhu
85 oC selama 3 menit akan menyebabkan perubahan kandungan nutrisi pada cumi-
cumi meskipun hanya sedikit, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan nilai gizi cumi-cumi sebelum dan setelah pengukusan per 100 gram bahan
Kadar (%) Air Protein Kasar
Lemak KH Abu Sodium (mg)
pH
Bahan Mentah
Cumi-cumi
Kukus
76,7
74,2
19,5
22,5
0,8
1,5
1,4
0,7
1,6
1,1
121
125
6,6
7,0
Sumber : Okuzumi dan Fujii (2000)
3. Pemanggangan
Pemanggangan daging atau ikan terutama ditujukan untuk mengawetkan dan
menambah cita rasa. Selain itu pemanggangan juga dapat menghambat oksidasi
lemak di dalam bahan pangan tersebut (Winarno, 1991).
Pada dasarnya pemanggangan ikan merupakan gabungan aktivitas
penggaraman, pengeringan dan pengasapan. Proses pemanggangan menyebabkan
turunnya kadar air, naiknya kadar garam dan tertinggalnya bahan-bahan
pembentuk asap pada permukaan ikan. Selain dapat memperpanjang masa simpan
ikan, pemanggangan juga akan menimbulkan rasa dan aroma yang khas (Cutting,
1965).
4. Pemanggangan Oven
Pada proses pemanggangan terjadi tiga perubahan, yaitu terjadi perubahan
struktur, perubahan warna permukaan, dan pengurangan kadar air menjadi sekitar
1-4%. Proses pemanggangan menggunakan oven akan menghasilkan produk yang
dipengaruhi oleh suhu dan waktu yang digunakan selama pemasakan. Menurut
Fellows (2000), pemanggangan didefinisikan sebagai pengoperasian panas pada
produk dalam oven. Tujuan dari proses pemanggangan yaitu untuk meningkatkan
sifat sensori dan memperbaiki sifat palatabilitas dari bahan pangan.
Pemanggangan juga dapat menghancurkan enzim dan mikroorganisme serta
menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat mengawetkan makanan.
5. Penggorengan
Proses penggorengan adalah salah satu proses pemasakan yang populer karena
masakan hasil penggorengan menjadi lebih gurih, berwarna lebih menarik, nilai
gizi meningkat dan waktu pemasakan yang lebih cepat. Berbeda dengan
pengolahan pangan yang lain, pada penggorengan selain berfungsi sebagai media
penghantar panas, minyak juga akan diserap oleh pangan (Damayanthi, 1994).
Pada umumnya, sistem menggoreng bahan pangan ada dua macam, yaitu
sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Ciri khas dari
proses gangsa adalah karena bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam
dalam minyak, sedangkan pada proses penggorengan dengan sistem deep frying,
bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak (Ketaren, 1986).
C. BUMBU
1. Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum L.) berfungsi sebagai penambah aroma dan
untuk meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih merupakan
bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan makanan atau produk lain
sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan (Palungkun
dan Budhiarti, 1995). Seperti bumbu masakan lainnya, bawang putih harus
digunakan dengan hati-hati karena adanya bau yang kuat dan rasa yang kurang
disukai bila digunakan secara berlebihan (Farrel, 1990).
Bawang putih yang utuh tidak menimbulkan bau atau rasa yang spesifik.
Namun apabila teriris akan terjadi perubahan kimia, yaitu enzim allinase
memecahkan allin menjadi allicin, suatu zat yang menyebabkan timbulnya rasa
pada umbinya (Ashari, 1995). Allicin yang terbentuk ini berperan memberikan
aroma bawang putih dan merupakan salah satu zat aktif yang bersifat anti bakteri,
selain itu terdapat scordinin, senyawa kompleks thioglisidin yang bersifat
antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Menurut Barnes et al. (2002),
allicin pada bawang putih menunjukkan aktivitas antibakteri, diantaranya pada
spesies Staphylococcus, Escherichia, dan Salmonella.
2. Bawang Merah
Bawang merah (Allium cepa L.) seperti halnya bawang putih, juga berfungsi
sebagai bahan pengawet makanan. Penggunaan bawang merah lebih utama karena
aromanya yang kuat (Wibowo, 1991).
Karakteristik bau bawang merah dipengaruhi oleh kandungan minyak
volatil yang sebagian besar terdiri dari komponen sulfur. Komponen volatil tidak
terdapat dalam sel secara utuh. Ketika sel pecah, terjadi reaksi antara enzim liase
dan komponen flavor seperti metil dan turunan propil (Lewis, 1984). Bawang
merah juga mengandung allin yang karena suatu hal berubah menjadi allicin,
setelah bereaksi dengan vitamin B1 berubah menjadi allithiamin. Zat ini
membentuk vitamin B1 menjadi lebih efisien dimanfaatkan oleh tubuh (Wibowo,
1991).
3. Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica Val.) termasuk famili Zingiberaceae, memiliki
kandungan minyak atsiri sebesar 5%, terdiri dari turmeron, borneol, cineol, cireol.
Felandren, kurkumin dan zingeron (Farrel, 1990).
Menurut Buckle et al. (1987) minyak Curcumin mengandung 60%
“turmerone”. Salah satu komponen lain ialah minyak “Zingiberene” 25%, yang
keseluruhannya memberi bau yang khas, yaitu bau kunyit. Sifat-sifat minyak
curcumin ialah merupakan bahan antioksidan dan anti bakteri. Di Indonesia,
kunyit banyak dimanfaatkan untuk penyedap sekaligus pewarna masakan telur,
daging, ikan, nasi kuning dan sebagainya. Parutan kunyit yang halus dapat
menghilangkan bau amis/ hanyir dari daging ayam maupun ikan.
4. Jahe
Komposisi kimiawi rimpang jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma
dan pedasnya rimpang jahe. Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak
atsiri (ginger oil) 0,25-0,33% pembawa aroma dari jahe (bau khas jahe), minyak
tersebut terdiri atas beberapa jenis minyak terpentin, zingiberene, curcumene,
philandren dan sebagainya, rasa pedas tidak berada di dalam minyak jahe, yang
menghasilkan rasa pedas adalah gingerols dan shogaols yang banyak berada
dalam oleoresin jahe, oleoresin jahe mengandung 33% gingerols, terdapat pula
beberapa jenis lipid sebanyak 6-8% yang terdiri atas asam phosphatidic, lechitins,
asam lemak bebas dan sebagainya, protein 9%, zat tepung lebih dari 50%, vitamin
khususnya niacin dan vitamin A, serta beberapa jenis zat mineral, asam amino,
damar dan sebagainya (Rismunandar, 1988).
Menurut Rismunandar (1988), zat enzim protease yang dalam rimpang jahe
segar terdapat sebanyak + 2,26%, dapat mempercepat pencernaan masakan
daging. Jahe dapat pula dimanfaatkan untuk melunakkan daging sebelum
dimasak. Menurut Mazza dan Oomah (1998), gingerols pada jahe memperlihatkan
efek antibakteri pada Bacillus subtilis, Escherichia coli, bakteri gram postif dan
bakteri gram negatif.
5. Cabai Merah
Cabai memiliki rasa pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin dan
dihidricapsaicin sebanyak 1,5% (w/w). Selain itu pada cabai juga terdapat
karotenoid (capsanthin, capsorubin, carotene, dan lutein) sebesar 0,1-0,5%,
lemak (9-17%), protein (12-15%), vitamin A dan C (Lukmana, 1994).
Warna merah pada cabai disebabkan oleh adanya pigmen yang terdiri dari
campuran karotenoid sebanyak 0,1-0,5% untuk cabai merah. Karotenoid
merupakan senyawa yang apabila mengalami pemanasan, proteinnya akan
terdenaturasi (Winarno, 1991).
6. Kemiri
Setiap 100 gram daging biji kemiri mengandung 636 kalori, 19 gram protein,
63 gram lemak, 8 gram karbohidrat, 80 miligram kalsium, 200 miligram fosfor, 2
miligram besi, 0,06 miligram vitamin B dan 7 gram air. Buah kemiri tidak dapat
langsung dimakan mentah karena beracun, yang disebabkan oleh toxalbumin.
Persenyawaan toxalbumin dapat dihilangkan dengan cara pemanasan dan dapat
dinetralkan dengan penambahan bumbu lainnya seperti garam, merica dan terasi.
Daging buah kemiri digunakan sebagai bumbu dalam jumlah yang relatif kecil
(Ketaren, 1986).
7. Garam
Garam dipergunakan manusia sebagai salah satu metode pengawetan pangan
yang pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai
macam makanan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan
menyebabkan terjadinya penggumpalan atau salting out dan rasa produk menjadi
asin (Buckle et al., 1987).
Penggunaan garam dalam pengolahan makanan telah dikenal oleh masyarakat
sejak dahulu. Selain digunakan sebagai bahan pengawet, garam berfungsi juga
sebagai penambah cita rasa pada bahan pangan dalam konsentrasi tertentu
(Soeparno, 1994).
Garam sebagai bahan pembantu sangat berperan untuk menambah cita rasa
produk akhir. Pada konsentrasi rendah (1-3%) garam tidak bersifat membunuh
mikroorganisme, tetapi hanya sebagai bumbu yang dapat memberikan cita rasa
gurih pada bahan pangan (Buckle et al., 1987).
8. Gula
Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat
yang digunakan sebagai pemanis. Dalam industri pangan, gula yang banyak
digunakan adalah sukrosa. Gula banyak digunakan dalam pengolahan buah-
buahan, sayuran maupun bumbu untuk produk daging (Buckle et al., 1987).
Pemberian gula dapat mempengaruhi cita rasa yaitu menambah rasa manis,
kelezatan, dapat mempengaruhi aroma, tekstur daging dan mampu menetralisir
garam yang berlebihan serta menambah energi. Selain itu gula dapat berfungsi
sebagai pengawet (Buckle et al., 1987).
Adanya glukosa, sukrosa pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada
bahan makanan. Misalnya sukrosa menimbulkan rasa manis, pati menimbulkan
rasa khusus pada makanan karena tekstur yang dimilikinya, demikian juga bila
gula dipanaskan atau bereaksi dengan asam amino akan terbentuk warna coklat
yang membuat bahan lebih menarik (Winarno, 1991).
9. Santan
Santan merupakan cairan berwarna putih yang dipisahkan dari daging buah
kelapa. Santan kelapa termasuk emulsi minyak dalam air yang berarti terdiri dari
fasa terdispersi berupa minyak dan fasa pendispersi berupa air. Santan kelapa
mengandung protein lebih banyak daripada susu sapi. Santan kelapa mengandung
2,68% protein, sedangkan susu sapi hanya 1,63%. Menurut Ketaren (1986),
santan kelapa dapat dijadikan sebagai bahan pengganti susu.
D. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI
Pengolahan pangan mengandung maksud mengolah bahan pangan (bahan
mentah) menjadi produk jadi (pangan), baik yang dapat langsung dikonsumsi
maupun yang harus melalui proses pemasakan lebih lanjut. Jadi dalam kata
pengolahan terkandung maksud adanya perubahan bentuk bahan asal menjadi
produk jadi. Proses pengolahan dapat dilakukan dengan pemanasan (penggunaan
suhu tinggi) misalnya blancing, pasteurisasi, sterilisasi, pengeringan dan
pemanggangan; penggunaan suhu rendah (cooling, freezing); penggunaan bahan
kimia (asam, alkali, garam, aditif); fermentasi (tape, tempe, yoghurt) atau
kombinasi dari dua atau tiga perlakuan tersebut (Muchtadi dan Sugiono, 1992).
Pengolahan bahan bertujuan untuk mengawetkan, mengemas dan
menyimpan. Selama pengolahan bahan pangan kerusakan gizi terjadi berangsur-
angsur. Perubahan zat gizi ini dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah
pengolahan (Harris dan Karmas, 1989). Selain itu, kehilangan zat gizi dapat
diakibatkan oleh pengolahan dengan menggunakan panas terutama zat-zat yang
labil seperti asam askorbat, tetapi teknik dan peralatan pengolahan dengan panas
yang modern dapat memperkecil kehilangan ini. Semua perlakuan pemanasan
harus dioptimalisasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta
menghancurkan mikroba (Buckle et al., 1987).
Pemanasan tidak banyak menurunkan nilai gizi protein. Tetapi panas yang
terlalu tinggi dan lama akan mengakibatkan nilai gizi menurun dan hilangnya cita
rasa (Winarno, 1991).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cumi-cumi (Loligo
sp) segar dan cumi-cumi olahan yang diperoleh dari salah satu rumah makan di
Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis seperti HNO3, H2SO4 pekat,
HCl 0,02 N, NaOH 50%, NaOH 0,02 N, hexan, Plate Count Agar (PCA),
Salmonella-Shigella Agar (SSA), Eosin Methylene Blue Agar (EMB) dan pereaksi
Vanadat-Molibdat. Bahan lain yang juga digunakan adalah minyak goreng.
Peralatan penelitian yang digunakan adalah oven, microwave, kompor gas,
loyang, wajan, panci, dan alat panggang. Alat-alat untuk analisa yaitu inkubator,
penetrometer, kolorimeter, spektrofotometer, desikator, timbangan analitik,
pemanas listrik, Erlenmeyer, tabung reaksi, autoklaf, labu kjeldahl, alat ekstraksi
soxhlet lengkap dengan kondensor dan labu lemak, blender, gelas piala, pipet,
buret, cawan porselen.
B. METODE PENELITIAN
1. Pengolahan Cumi Segar
Cumi segar dicuci bersih, dibuang bagian yang tidak bisa dikonsumsi
(benda seperti plastik pada tubuhnya) dan kantung tinta pada tubuhnya dibuang.
Bumbu berupa bumbu bubuk yang terdiri dari cabe merah, bawang merah,
bawang putih, kunyit, jahe, gula, garam dan santan, serta bumbu halus berupa
kemiri yang dihaluskan disiapkan. Wajan bersih yang siap pakai dipanaskan,
kemudian bumbu (bumbu bubuk dan bumbu halus) dan air (+ 50 ml) dimasukkan.
Cumi segar yang telah dibersihkan dimasukkan dan dilakukan pengadukan sampai
bumbu merata. Pemasakan dilakukan selama + 15 menit. Setelah matang, cumi
diangkat dan ditiriskan. Sisa air bumbu dipanaskan kembali sampai kental. Jika
sudah kental, cumi dimasukkan kembali. Aduk sebentar lalu api dimatikan.
2. Karakterisasi cumi segar dan olahan
Karakterisasi cumi-cumi bertujuan untuk mengetahui kondisi awal cumi
sebagai acuan untuk mengetahui perubahan mutu cumi setelah dilakukan
pengolahan (pemasakan). Ada dua macam cumi-cumi yang dianalisis dalam
penelitian ini, yaitu cumi segar dan cumi setelah pemasakan (cumi olahan). Uji-uji
yang dilakukan terhadap cumi segar dan cumi olahan meliputi kadar air, protein,
lemak, fosfor, besi, total mikroba, tekstur dan warna. Metode analisis karakterisasi
cumi segar dan cumi olahan disajikan pada Lampiran 1.
3. Pengolahan Untuk Penyajian
a. Pengukusan
Cumi olahan dimasukkan kedalam panci pengukus setelah air mendidih (suhu
100 oC) menggunakan api kecil (pada tingkat perapian 1), kemudian dihitung
waktu pemasakannya. Pada penelitian digunakan kompor gas yang memiliki 5
tingkat perapian (5 berarti tingkat yang paling tinggi dan 1 yang paling rendah).
Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.
b. Penggorengan
Cumi olahan dimasukkan ke dalam wajan setelah minyak panas (suhu 80 oC)
menggunakan api kecil (pada tingkat perapian 1), kemudian dihitung waktu
pemasakannya. Pada penelitian digunakan kompor gas yang memiliki 5 tingkat
perapian (5 berarti tingkat yang paling tinggi dan 1 yang paling rendah). Variasi
waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.
c. Pemanggangan dengan api
Cumi olahan diletakkan di atas pemanggang setelah api menyebar ke seluruh
permukaan alas pemanggang (menggunakan api pada tingkat l), kemudian
dihitung waktu pemasakannya. Pada penelitian digunakan kompor gas yang
memiliki 5 tingkat perapian (5 berarti tingkat yang paling tinggi dan 1 yang paling
rendah). Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.
d. Pemanggangan dengan oven
Cumi olahan diletakkan di atas wadah (loyang) kemudian dimasukkan ke
dalam setelah suhu oven mencapai 200 oC, kemudian dihitung waktu
pemasakannya. Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7
menit.
e. Pemanggangan dengan microwave
Cumi olahan diletakkan pada wadah khusus microwave (wadah yang tahan
terhadap gelombang elektromagnetik) kemudian dimasukkan ke dalam
microwave. Microwave yang digunakan memiliki daya 1000 watt. Pemanggangan
dilakukan pada tingkat daya 30% yang berarti bahwa daya yang dikeluarkan oleh
microwave sebesar 300 watt. Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini
adalah 2, 5 dan 7 menit.
Pada masing-masing produk yang dihasilkan dari pengolahan tersebut dilakukan
karakterisasi meliputi kadar air, protein, lemak, warna, tekstur dan uji mikroba.
4. Pengujian organoleptik cumi siap saji
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui pengolahan lanjutan yang disukai oleh panelis. Parameter yang
diuji meliputi warna, tekstur, aroma, rasa dan penilaian umum. Format isian
organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
Cumi segar
Pengolahan (pemasakan selama + 15 menit)
- Bumbu bubuk : Cabe merah,
bawang merah, bawang putih,
kunyit, jahe, gula, garam dan santan - Bumbu halus :
kemiri Cumi olahan
Pengolahan untuk Penyajian
Analisis mutu
Cumi panggang microwave
Cumi panggang oven
Cumi panggang api
Cumi goreng
Cumi kukus
Pengujian Organoleptik
Pengukusan (2, 5 dan 7 menit)
Penggorengan (2, 5 dan 7 menit)
Pemanggangan api (2, 5 dan 7 menit)
Pemanggangan oven (2, 5 dan 7 menit)
Pemanggangan microwave (2, 5 dan 7 menit)
Analisis mutu
Analisis mutu
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROSES PENGOLAHAN CUMI SEGAR
Cumi olahan merupakan cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami
pemasakan sehingga memiliki penampakan yang menarik dan aroma yang khas.
Pada pengolahan cumi segar menjadi cumi olahan dilakukan beberapa proses
yaitu pencucian dan pembuangan bagian yang tidak dapat dikonsumsi,
penambahan bumbu dan pengolahan menggunakan panas.
Pencucian yang dilakukan pada cumi segar bertujuan menghilangkan
kotoran yang terdapat pada bahan agar produk yang dihasilkan terjamin
kebersihannya. Pada proses ini juga dilakukan pembuangan bagian yang tidak
dapat dikonsumsi, diantaranya benda seperti plastik yang terdapat pada tubuh
cumi serta kantung tinta sehingga warna produk yang dihasilkan tetap menarik
(tidak dipengaruhi warna hitam dari tinta).
Penambahan bumbu pada proses pengolahan ini mempunyai tujuan untuk
mengubah rasa dan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap makanan
tersebut. Penambahan bumbu yang dilakukan berupa bumbu bubuk yang terdiri
dari cabai merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, gula, garam dan
santan, serta bumbu halus berupa kemiri. Bumbu yang dicampurkan pada cumi
dapat membangkitkan selera makan karena mutu bahan makanan yang meliputi
warna, aroma dan tekstur akan meningkat. Garam dan gula selain berfungsi untuk
menambah cita rasa, juga dapat berfungsi sebagai pengawet. Masakan yang
ditambahkan kemiri dan santan akan menjadi lebih gurih dan lebih kental.
Pengolahan cumi segar dilakukan untuk mendapatkan produk cumi yang
aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung cumi tersebut dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu produk cumi olahan tersebut dapat
diterima oleh konsumen berdasarkan penampakannya (aroma, rasa) dan
teksturnya (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).
Pengolahan yang sering dilakukan terhadap cumi segar yaitu pemasakan dengan
menggunakan panas. Selama pemasakan akan terjadi perubahan warna, tekstur
dan rasa, meningkatkan daya cerna komponen pangan, terjadi destruksi
mikroorganisme dan toksin serta inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki.
Pemasakan dilakukan menggunakan kompor gas dengan tingkat perapian 1
(tingkat yang paling rendah) pada suhu + 100 oC. Selama pemasakan daging cumi
akan melunak (empuk), warna daging cumi menjadi kuning serta rasa yang
meningkat akibat penambahan bumbu.
Pengolahan dengan pemanasan dapat meningkatkan nilai gizi bahan
pangan, misalnya karena terjadinya destruksi senyawa anti-nutrisi, terjadinya
denaturasi molekul sehingga meningkatkan daya cerna dan ketersediaan zat gizi.
Tetapi proses pengolahan dengan suhu tinggi bila tidak terkontrol dengan baik
justru akan menurunkan nilai gizi bahan pangan, misal terjadinya reaksi antar
molekul nutrien, hancurnya nutrien yang tidak tahan panas atau terbentuknya
molekul kompleks yang tidak dapat diuraikan/dicerna oleh enzim tubuh.
Pemasakan cumi tidak dilakukan sampai air bumbu mengental.
Pengentalan sisa air bumbu dilakukan setelah cumi diangkat dan ditiriskan karena
jika cumi mengalami pemasakan dalam waktu yang terlalu lama akan
menyebabkan daging cumi menjadi liat (tidak empuk) saat dikonsumsi.
Pengentalan sisa air bumbu dilakukan selama + 5 menit pada suhu 100 oC.
B. KARAKTERISTIK CUMI SEGAR DAN OLAHAN
Karakterisasi ini diperlukan untuk mengetahui mutu awal cumi segar dan
cumi olahan sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut. Karakterisasi yang
dilakukan meliputi warna, tekstur, kadar protein kasar, lemak, air, besi, fosfor, dan
uji mikroba. Hasil karakterisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Pengukuran terhadap warna cumi dilakukan pada dua sisi, yaitu sisi bagian
dalam dan sisi bagian luar. Nilai chroma menunjukkan intensitas warna sampel.
Semakin tinggi nilai chroma maka warna akan terlihat semakin tua. Derajat Hue
digunakan untuk mengidentifikasikan warna sampel, menunjukkan posisi warna
dalam diagram warna.
Nilai warna (oHue) untuk cumi segar adalah 63,6 (bagian dalam) dan 68,32
(bagian luar) menunjukkan warna cenderung kemerahan karena pada cumi segar
terdapat selaput tipis yang berwarna merah-ungu berbintik, dengan intensitas
(nilai chroma) 30,35 (bagian dalam) dan 52,02 (bagian luar). Warna (oHue) cumi
olahan adalah 73,14 (bagian dalam) dan 82,55 (bagian luar) menunjukkan warna
kuning pada intensitas (nilai chroma) 48,91 (bagian dalam) dan 53,72 (bagian
luar), karena pada proses pengolahan diberikan bumbu diantaranya kunyit yang
merupakan bahan pewarna alami untuk makanan sehingga menyebabkan warna
cumi olahan menjadi kuning.
Tabel 3. Karakteristik Cumi Segar dan Cumi Olahan Analisa Cumi segar Cumi olahan
Warna (oHue) Dalam 63,6 Dalam 73,14 Luar 68,32 Luar 82,55
(Chroma) Dalam 30,35 Dalam 48,91 Luar 52,02 Luar 53,72
Tekstur (mm/g.dt) 0,75 1,36 Kadar Air (%) 84,54 72,57 Kadar Protein (% bk) 8,24 14,54 Kadar Lemak (% bk) 0,57 1,98 Kadar Fosfor (% bk) 1,10 1,37 Kadar Besi (mg/kg) 8,21 2,31 Uji mikroba : - Salmonella 4,7 x 102 0 (koloni) - E. Coli 9,1 x 102 0 - total mikroba 3,8 x 104 0
Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan
bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi
olahan dengan warna yang berbeda. Hal ini berarti terjadi perubahan yang
signifikan pada warna cumi dan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan
memberikan pengaruh terhadap warna. Analisis statistik warna cumi segar dan
olahan disajikan pada Lampiran 4. Warna cumi segar dan olahan dapat lebih jelas
dilihat dengan diagram warna yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang
ditimbulkan oleh bahan (Winarno, 1991). Nilai keempukan cumi segar lebih kecil
yaitu 0,75 (mm/g.dt) daripada cumi olahan 1,36 (mm/g.dt). Pengolahan dengan
pemanasan menyebabkan terjadinya perubahan tekstur yang semula liat/kenyal
menjadi lebih lunak. Panas yang diberikan pada cumi mengakibatkan otot daging
cumi yang banyak mengandung protein diantaranya kolagen mengalami
perubahan sifat fisik sehingga daging cumi empuk. Selain itu, penambahan bumbu
(diantaranya jahe) juga menyebabkan tekstur cumi menjadi lebih lunak setelah
mengalami pemasakan. Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi
α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar
menghasilkan cumi olahan dengan tekstur yang tidak berbeda nyata. Analisis
statistik nilai tekstur cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.
Gambar 4. Diagram Warna untuk Cumi Segar dan Cumi Olahan
Kadar air menunjukkan kualitas produk. Kadar air yang terlalu tinggi akan
menyebabkan produk menjadi cepat rusak. Menurut Sudarmadji et al. (1989),
apabila kandungan air dalam bentuk bebas tinggi, maka dapat membantu
terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis,
kimiawi, enzimatik bahkan aktivitas serangga perusak.
Pengukuran kadar air cumi segar dan olahan menunjukkan bahwa kadar air
cumi segar lebih tinggi dibandingkan cumi olahan. Kadar air cumi segar sebesar
84,54%, sedangkan cumi olahan sebesar 72,57%. Berdasarkan analisis ragam
pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan
terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar air yang berbeda.
2
1
cumi segar (luar)
cumi segar (dalam)
3 cumi olahan (dalam)
4 cumi olahan (luar)
Pemanasan mengunakan wadah terbuka mengakibatkan sejumlah air pada bahan
berkurang (sejumlah air mengalami penguapan) sehingga menurunkan kadar air.
Selain itu, penambahan bumbu seperti gula karena memiliki daya larut yang tinggi
dapat mengikat air suatu bahan dan garam yang bersifat higroskopis dapat
menyerap air pada bahan yang digarami sehingga menurunkan kadar air. Analisis
statistik kadar air cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.
Pengolahan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan mengakibatkan
terjadinya perubahan kandungan gizi termasuk protein. Kadar protein cumi segar
sebesar 8,24 %, sedangkan cumi olahan memiliki kadar protein sebesar 14,54 %.
Menurut Sudarmadji et al. (1989), kandungan N yang terukur tidak hanya
menunjukkan kadar protein tetapi senyawa-senyawa lain yang mengandung unsur
N yang jumlahnya lebih sedikit dari protein seperti asam amino bebas dan
amoniak.
Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan
bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi
olahan dengan kadar protein yang tidak berbeda. Penambahan bumbu diantaranya
santan, jahe, cabai merah dan kemiri yang mengandung protein akan menambah
kadar protein terukur. Analisis statistik kadar protein cumi segar dan olahan
disajikan pada Lampiran 4.
Pengukuran kadar lemak dilakukan untuk mengetahui nilai gizi lemak yang
terdapat pada cumi segar dan olahan. Pengukuran kadar lemak terhadap cumi
segar dan cumi olahan menunjukkan hasil 0,57 % dan 1,98 %. Berdasarkan
analisis ragam pada tingkat signifikansi 0,05 menunjukkan bahwa pengolahan
yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar
lemak yang berbeda. Hal ini berarti terjadi perubahan signifikan dan menunjukkan
bahwa pengolahan memberikan pengaruh terhadap kadar lemak, karena pada
pengolahan dilakukan penambahan bumbu yang mengandung minyak atau lemak
seperti kemiri dan santan sehingga menambah kandungan lemak terukur. Analisis
statistik kadar lemak cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.
Sumber fosfor yang utama adalah bahan makanan dengan kadar protein
tinggi seperti daging, unggas, ikan dan telur. Bahan pangan yang kaya protein dan
kalsium biasanya juga kaya akan fosfor (Winarno,1991). Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa kadar fosfor pada cumi segar sebesar 1,10 %, sedangkan
pada cumi olahan sebesar 1,37 %. Berdasarkan analisis ragam pada tingkat
signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap
cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar fosfor yang tidak berbeda.
Hal ini berarti tidak terjadi perubahan yang signifikan dan menunjukkan bahwa
pengolahan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar fosfor.
Analisis statistik kadar fosfor cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.
Berdasarkan Gaman dan Sherrington (1981), fungsi zat besi adalah sebagai
salah satu pembentuk sel darah merah. Kandungan zat besi cumi segar lebih
tinggi dibandingkan cumi olahan. Cumi segar memiliki kandungan zat besi
sebanyak 8,21 mg/kg, sedangkan cumi olahan sebesar 2,31 mg/kg.
Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan
bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi
olahan dengan kadar besi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan
dengan pemanasan (pemasakan) menyebabkan zat besi dalam cumi mengalami
penurunan. Berdasarkan Bender (1987), hilangnya zat besi akibat pemasakan bisa
mencapai 32%. Analisis statistik kadar besi cumi segar dan olahan disajikan pada
Lampiran 4.
Uji mikroba dilakukan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme
cumi segar dan cumi olahan. Uji yang dilakukan adalah uji total mikroba (TPC),
uji Escherichia coli, dan uji Salmonella. Perhitungan TPC bertujuan untuk
menghitung semua mikroba yang tumbuh dalam produk. Adanya bakteri dalam
bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan, menimbulkan penyakit yang
ditularkan melalui makanan dan terjadinya fermentasi (Buckle et al.,1987). E. coli
merupakan bakteri yang sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran.
Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pada perut
juga menyebabkan demam tifus dan paratifus.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa cumi segar tercemar oleh
bermacam-macam mikroba, di antaranya adalah Escherichia coli dan Salmonella.
Pengujian yang dilakukan terhadap cumi olahan menunjukkan bahwa tidak
terdapat cemaran mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan cumi
sudah cukup baik dan higienis. Selain itu, bahan tambahan berupa bumbu yang
digunakan pada saat pengolahan, antara lain bawang putih dan bawang merah
yang memiliki senyawa anti mikroba (allicin) serta kunyit yang mengandung
curcumin merupakan senyawa antioksidan dan antibakteri.
C. KARAKTERISTIK CUMI SETELAH PENGOLAHAN LANJUTAN
Karakterisasi ini diperlukan untuk mengetahui mutu dan nilai gizi produk
cumi-cumi setelah dilakukan pengolahan lebih lanjut. Karakterisasi yang
dilakukan meliputi warna, tekstur, kadar protein kasar, lemak, air, dan uji
mikroba. Hasil karakterisasi cumi setelah pengolahan lanjutan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Pengukuran terhadap warna cumi pada satu sisi cumi yaitu bagian luar.
Warna bagian luar cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut berada
pada kisaran oHue yang menunjukkan warna kuning-kemerahan. Kisaran oHue
cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut berada pada kisaran 81,14 -
83,20 dan nilai chroma pada kisaran 48,59 - 56,65. Cumi panggang oven selama 5
menit memiliki nilai oHue tertinggi yang menunjukkan bahwa produk tersebut
berwarna kuning. Nilai chroma tertinggi terdapat pada produk cumi microwave
selama 7 menit yang menunjukkan bahwa produk ini memiliki warna yang lebih
tua (kuning tua kecoklatan) dibandingkan dengan produk yang lain. Microwave
sebaiknya tidak digunakan dalam waktu yang lama karena dengan panas tinggi
dan cepat merata, produk akan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan
warna, tekstur dan penampakan yang menyimpang.
Hasil analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 terhadap cumi yang
telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang
dilakukan (kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave) dan
waktu pengolahan yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) tidak memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap warna. Hasil analisis statistik warna cumi setelah
pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6.
Selama pemasakan terjadi empat mekanisme pokok terhadap tekstur bahan
pangan yaitu : (1) enzim proteolitik endogenous dinonaktifkan, (2) denaturasi
termal jaringan ikat mengakibatkan keempukan, (3) terjadi denaturasi protein
kontraktil yang berakibat pengerasan, (4) turunnya WHC (Water Holding
Tabel 4. Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
Uji Mikroba (koloni) Proses Pengolahan Warna
(oHue) Warna
(Chroma) Tekstur
(mm/g.dt)
Kadar Air (%)
Kadar Protein(%bk)
Kadar Lemak (%bk) TPC Salmonella E. coli
Pemasakan awal 82,55 53,72 1,36 72,57 14,54 1,98 0 0 0 Pengukusan 82,19 49,05 1,27 60,87 19,99 1,59 0 0 0
82,43 51,70 1,24 59,98 19,74 1,44 0 0 0 81,14 52,02 1,17 59,24 19,09 1,46 0 0 0
Penggorengan 82,70 53,84 1,32 59,32 15,37 1,85 0 0 0 82,66 52,12 1,27 59,16 15,35 2,31 0 0 0 81,87 53,49 1,26 58,68 15,03 2,91 0 0 0
Pemanggangan Api 82,97 51,84 1,29 58,72 15,47 1,48 0 0 0 82,64 51,89 1,19 58,49 15,23 1,47 0 0 0 82,30 49,69 1,11 58,12 14,98 1,47 0 0 0
Pemanggangan Oven 82,45 52,38 1,33 58,23 15,05 1,51 0 0 0
83,20 56,65 1,33 58,08 14,87 1,49 0 0 0 81,29 49,82 1,27 57,89 14,75 1,49 0 0 0
Microwave 82,89 53,68 1,30 50,56 10,92 1,50 0 0 0 82,84 51,18 0,47 24,65 8,76 1,47 0 0 0 82,94 48,59 0,25 20,04 8,24 1,43 0 0 0
Capacity), kekurangan cairan seperti air, lemak dan terjadi penyusutan diameter
dan panjang sel serta peningkatan densitas (Wirakartakusumah et al., 1992).
Tekstur cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan didasarkan pada
nilai keempukannya. Nilai keempukan tertinggi terdapat pada produk cumi
panggang oven selama 2 dan 5 menit yaitu 1,33 (mm/g.dt), sedangkan yang
terendah pada produk cumi microwave selama 7 menit yaitu 0,25 (mm/g.dt). Hasil
analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan
menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api,
panggang oven dan microwave) dan waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit)
serta interaksi antara kedua perlakuan menghasilkan tekstur yang berbeda
(Gambar 5). Jenis pengolahan yang diberikan mempengaruhi nilai keempukan
produk karena pada pengolahan kukus dan goreng digunakan bahan tambahan
berupa uap air dan minyak sebagai penghantar panas sehingga tekstur menjadi
lunak dan empuk. Pengolahan panggang api dan oven yang dilakukan
menyebabkan panas diserap oleh cumi sampai ke bagian dalam sehingga akan
merubah tekstur yang semula liat menjadi lunak. Sedangkan pada perlakuan
pengolahan panggang menggunakan microwave, panas yang tinggi dan cepat
merata menyebabkan hanya bagian permukaan cumi saja yang mengalami
perubahan tekstur sehingga tekstur keras bahkan jika dilakukan dalam waktu yang
cukup lama akan menyebabkan kerusakan (produk menjadi kering dan liat).
Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan lanjutan, tekstur
produk pun menjadi semakin keras karena air yang terdapat pada bagian luar
bahan pangan akan berkurang akibat adanya pemanasan. Hasil analisis statistik
tekstur cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6.
Kadar air cumi setelah mengalami pengolahan lanjutan yang tertinggi
terdapat pada perlakuan kukus selama 2 menit yaitu sebesar 60,87 % karena pada
proses pengolahan lanjutannya digunakan uap air sebagai media penghantar panas
sehingga kemungkinan penyerapan air oleh bahan akan terjadi. Pada waktu
pengolahan yang sama, perlakuan pengolahan dengan microwave selama 2 menit
menghasilkan kadar air cumi 50,56 %. Hal ini diduga disebabkan oleh pemanasan
dengan microwave lebih cepat panas dan merata sehingga penguapan air
berlangsung lebih cepat. Menurut George et al. (1993), keuntungan proses
microwave adalah waktu proses yang pendek (singkat), tidak ada kemungkinan
tumbuh bakteri dan lebih fleksibel dalam produksinya. Oleh karena itu, kadar air
yang terkandung pada bahan akan mengalami penurunan secara drastis.
Gambar 5. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya
terhadap Nilai Tekstur Cumi
Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan
menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api,
panggang oven dan microwave), waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) serta
interaksi antara kedua perlakuan menghasilkan kadar air yang berbeda (Gambar
6). Perlakuan pengolahan yang menggunakan media penghantar panas, seperti air
dan minyak goreng memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pengolahan tanpa media penghantar panas (panggang api, oven dan microwave).
Kontak langsung dengan panas menyebabkan air di permukaan cumi menguap
lebih cepat sehingga mengurangi kadar air cumi. Semakin lama waktu pengolahan
yang digunakan mengakibatkan kandungan air pada cumi menguap lebih banyak.
Hasil analisis statistik kadar air cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada
Lampiran 6.
Gambar 6. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya
terhadap Kadar Air Cumi
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena
zat ini dapat berfungsi sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak
terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Selain itu juga berfungsi sebagai zat
pembangun dan pengatur (Winarno, 1991).
Kadar protein yang diukur adalah kadar protein kasar, yang berarti bahwa
kandungan N yang terukur tidak hanya menunjukkan kadar protein tetapi
senyawa-senyawa lain yang mengandung unsur N yang jumlahnya lebih sedikit
dari protein seperti asam amino bebas dan amoniak. Kadar protein cumi-cumi
setelah pengolahan lanjutan berada pada kisaran 8,24 - 19,99 % , nilai tertinggi
pada produk cumi kukus selama 2 menit (19,99 % bk). Pada waktu pengolahan
yang sama, cumi yang diolah menggunakan microwave menghasilkan kadar
protein 10,92 % bk. Menurut deMan (1999), perlakuan menggunakan panas
secara lunak (uap air) dapat mempertahankan nilai gizi protein, sedangkan panas
yang berlebihan dapat merusak mutu protein.
Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan
menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api,
panggang oven dan microwave) dan waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit)
menghasilkan kadar protein yang berbeda. Pada pengolahan menggunakan
microwave, cumi akan mendapatkan panas dengan cepat dan merata sehingga
protein yang terkandung dalam cumi akan lebih banyak mengalami kerusakan
dibandingkan dengan pengolahan lain yang penyebaran panasnya tidak terlalu
cepat. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan lanjutan,
kadar protein pada bahan semakin menurun karena semakin banyak protein pada
cumi yang mengalami kerusakan (denaturasi protein) akibat adanya pemanasan.
Hasil analisis statistik kadar protein cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan
pada Lampiran 6. Pengaruh cara pengolahan dan lama waktunya terhadap kadar
protein cumi, berturut - turut disajikan pada Gambar 7 dan 8.
Lemak merupakan zat makanan sebagai sumber energi yang lebih efektif
dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua
bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda, tetapi lemak sering
ditambahkan dengan sengaja ke bahan makanan dengan berbagai tujuan
diantaranya untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan citarasa
makanan (Winarno,1991).
Gambar 7. Pengaruh Cara Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi
Gambar 8. Pengaruh Lama Waktu Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi
Hasil pengukuran kadar lemak terhadap cumi yang telah diolah lebih lanjut
menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada cumi yang mendapat perlakuan
goreng selama 7 menit yaitu sebesar 2,91 % bk, karena pada perlakuan tersebut
ada penambahan minyak goreng yang akan diserap oleh cumi. Semakin lama
waktu yang digunakan pada proses pengolahan (goreng), jumlah minyak yang
diserap cumi juga akan semakin banyak. Sedangkan pada perlakuan kukus,
panggang api, oven dan microwave kadar lemak yang terkandung dalam cumi
lebih rendah karena tidak ada penambahan minyak pada pengolahan yang
dilakukan. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa
gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno, 1991).
Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan
menunjukkan bahwa waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) dan interaksi antara
perlakuan pengolahan dengan waktu yang digunakan menghasilkan kadar lemak
yang berbeda. Hasil analisis statistik kadar lemak cumi setelah pengolahan
lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Pengaruh interaksi antara cara pengolahan
dan lama waktunya terhadap kadar lemak ditunjukkan pada Gambar 9.
Uji mikroba dilakukan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme
pada cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut. Uji yang dilakukan
adalah uji total mikroba (TPC), uji Escherichia coli, dan uji Salmonella.
Gambar 9. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya
terhadap Kadar Lemak Cumi
Perhitungan TPC bertujuan untuk menghitung semua mikroba yang tumbuh
dalam produk. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mengakibatkan
pembusukan, menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan
terjadinya fermentasi (Buckle et al.,1987). E. coli merupakan bakteri yang sering
digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Salmonella merupakan bakteri
yang dapat menyebabkan gangguan pada perut juga menyebabkan demam tifus
dan paratifus.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada cumi-cumi yang telah
mengalami pengolahan lebih lanjut tidak terdapat cemaran mikroba (baik
Escherichia coli, Salmonella maupun mikroorganisme lain). Hal ini menunjukkan
bahwa proses pengolahan lanjutan yang dilakukan pada cumi sudah cukup baik
dan higienis.
D. UJI ORGANOLEPTIK
Nilai organoleptik merupakan faktor yang penting untuk mengetahui
penerimaan konsumen dan kesukaannya terhadap suatu produk makanan.
Penerimaan uji organoleptik yang dilakukan terhadap produk cumi setelah
pengolahan lebih lanjut meliputi uji hedonik (kesukaan) pada parameter penilaian
umum, warna, aroma, tekstur dan rasa. Skala yang digunakan adalah 1 (tidak
suka), 2 (agak tidak suka), 3 (netral atau biasa), 4 (suka) dan 5 (sangat suka). Uji
ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan/pengolahan lanjutan apa yang lebih
disukai oleh panelis.
1. Warna
Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya tergantung dari beberapa
faktor seperti cita rasa, tekstur dan nilai gizi. Tetapi sebelum faktor lain
dipertimbangkan secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan sangat
menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik
tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau
memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna juga dapat
digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan suatu bahan. Baik
tidaknya pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam
(Winarno, 1991). Oleh karena itu, warna memiliki peranan penting dalam
menentukan penerimaan konsumen terhadap produk.
Menurut Soekarto (1985), warna mempunyai arti dan peranan dalam
produk pangan, yaitu sebagai tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu, dan
pedoman proses pengolahan. Warna merupakan atribut yang pertama kali diterima
oleh indera manusia, dan perbedaan warna meskipun sedikit memberikan efek
yang berbeda terhadap penerimaan setiap individu. Nilai rata-rata warna pada
cumi-cumi setelah pengolahan lanjutan berkisar antara 3,04 - 3,88 (biasa sampai
suka). Nilai rata-rata tertinggi pada produk goreng selama 5 menit. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan tersebut paling disukai oleh panelis pada
parameter warna.
Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa pengolahan dan
waktu yang digunakan tidak mempengaruhi persepsi panelis terhadap warna
(P>0,05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 7.
2. Aroma
Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut.
Untuk pengukuran dan identifikasi aroma, cara yang paling sering dan mudah
digunakan adalah dengan memanfaatkan alat indera manusia (Winarno, 1991).
Aroma merupakan salah satu parameter yang menentukan rasa enak suatu
makanan. Dalam banyak hal aroma menjadi daya tarik tersendiri untuk
menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri. Dalam industri pangan, uji
terhadap aroma dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan
penilaian terhadap hasil produksinya, apakah produknya disukai atau tidak disukai
konsumen (Soekarto, 1985).
Nilai rata-rata aroma hasil uji hedonik pada cumi-cumi yang telah
mengalami pengolahan lanjutan berkisar antara 3 - 4,4 (biasa sampai suka). Nilai
rata-rata tertinggi pada produk cumi goreng selama 7 menit. Hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan tersebut paling disukai panelis pada parameter aroma. Uji
Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa pengolahan dan waktu yang
digunakan mempengaruhi persepsi panelis terhadap aroma (P<0,05). Hasil uji
dapat dilihat pada Lampiran 7 dan uji lanjut multiple comparison pada Lampiran
8.
3.Tekstur
Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang
ditimbulkan. Perubahan tekstur bahan dapat mengubah rasa dan aroma yang
timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel
reseptor (Winarno, 1991).
Nilai rata-rata untuk parameter tekstur pada cumi-cumi setelah mengalami
pengolahan lanjutan adalah 3,04 - 4,42 (biasa sampai suka). Nilai rata-rata
tertinggi pada produk cumi kukus selama 2 menit. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan tersebut paling disukai panelis pada parameter tekstur. Uji Kruskal-
Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa pengolahan dan waktu yang
digunakan mempengaruhi persepsi panelis terhadap tekstur (P<0,05). Hasil uji
dapat dilihat pada Lampiran 7 dan uji lanjut multiple comparison pada Lampiran
8.
4. Rasa
Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu,
konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Timbulnya respons
tidak sama untuk rasa yang berbeda, respons terhadap rasa asin lebih cepat dari
respons terhadap rasa pahit (Winarno, 1991). Rasa merupakan salah satu faktor
yang menentukan keputusan konsumen untuk menerima atau menolak suatu
produk pangan. Rasa dimulai melalui tanggapan rangsangan indera pencicip
hingga akhirnya terjadi keseluruhan interaksi antara aroma, rasa dan tekstur
sebagai keseluruhan rasa makanan.
Nilai rata-rata rasa pada cumi dengan pengolahan lanjutan memiliki
kisaran 3,04 - 4 (netral sampai suka). Nilai rata-rata tertinggi pada cumi
microwave selama 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tersebut paling
disukai oleh panelis pada parameter rasa. Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan
menunjukkan bahwa pengolahan dan waktu yang digunakan mempengaruhi
persepsi panelis terhadap rasa (P<0,05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 7
dan uji lanjutan multiple comparison pada Lampiran 8.
5. Penilaian Umum
Penilaian umum merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui
penerimaan panelis secara keseluruhan terhadap produk, meliputi warna, aroma,
tekstur dan rasa. Produk cumi setelah pengolahan lanjutan pada parameter
penilaian umum diperoleh nilai rata-rata berkisar antara 3,28 - 3,92 (antara biasa
sampai suka). Nilai rata-rata tertinggi pada produk cumi goreng selama 7 menit,
artinya perlakuan tersebut yang paling disukai oleh panelis pada parameter
penilaian umum. Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa
pengolahan dan waktu yang digunakan tidak mempengaruhi persepsi panelis
terhadap penilaian umum (P>0,05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 7.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Karakteristik cumi segar yang digunakan pada penelitian ini meliputi
warna (oHue) bagian dalam 63,6o dan bagian luar 68,32o, warna (Chroma) bagian
dalam 30,35, bagian luar 52,02, tekstur 0,75 mm/g.dt, kadar air 84,54 %, protein
8,24 % bk, lemak 0,57 % bk, fosfor (1,10 % bk), besi (8,21 mg/kg), total
Salmonella 4,7x102 koloni, total E.coli 9,1x102 koloni dan total mikroba 3,8x104
koloni. Karakteristik cumi setelah diolah dengan bumbu meliputi warna (oHue)
bagian dalam 73,14o, bagian luar 82,55o, warna (Chroma) bagian dalam 48,91,
bagian luar 53,72, tekstur 1,36 mm/g.dt, kadar air 72,57 %, protein 14,54 % bk,
lemak 1,98 % bk, fosfor 1,37 % bk, besi 2,31 mg/kg serta tidak ditemukannya
Salmonella, E.coli, maupun mikroorganisme lainnya.
Kisaran warna (oHue) cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut
berada pada kisaran 81,14 - 83,20 dan nilai chroma pada kisaran 48,59 - 56,65.
Tekstur cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan berada pada kisaran nilai
0,25 – 1,33 mm/g.dt. Kadar air cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan
berkisar antara 20,04 – 60,87 %. Kadar air cumi setelah mengalami pengolahan
lanjutan yang tertinggi terdapat pada perlakuan kukus selama 2 menit yaitu
sebesar 60,87 %. Pada lama waktu pengolahan lanjutan yang sama (2 menit),
pemanggangan menggunakan microwave menghasilkan kadar air yang rendah
(50,56 %). Kadar protein yang dihasilkan dari karakterisasi cumi setelah
pengolahan lanjutan 8,24 – 19,99 % bk, sedangkan kadar lemaknya berkisar
antara 1,43 – 2,91 % bk. Cumi yang mendapat perlakuan goreng selama 7 menit
memiliki kadar lemak tertinggi yaitu sebesar 2,91 % bk. Pada uji mikroba, tidak
ditemukan adanya Salmonella, E. coli dan mikroorganisme lain dalam produk
cumi setelah pengolahan lanjutan.
Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, perlakuan pengolahan
goreng selama 7 menit pada parameter aroma dan penilaian umum lebih disukai
oleh panelis. Produk yang dihasilkan pada perlakuan tersebut memiliki
karakteristik warna (o Hue) 81,87o, warna (Chroma) 53,49, tekstur 1,26 mm/g.dt,
kadar air 58,68 %, protein 15,03 % bk, dan lemak 2,91 % bk.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kualitas produk secara
organoleptik setelah penyimpanan.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui analisa biaya yang
diperlukan untuk mendirikan industri pengolahan cumi-cumi secara lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Agricultural Chemist, Washington D.C. Barnes, J., L. A. Anderson, and J. D. Phillipson. 2002. Herbal Medicines. 2nd Ed.
Pharmaceutical Press. London. Buckle, K. A., G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari
Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta. Cameron, A. 1988. The Science of Food and Cooking. 3rd Ed. Edward Arnold.
London. Cutting, C. L. 1965. Fish Smoking dalam Fish As Food. Volume III. G.
Borgstorm (Ed.). Academic Press. New York Dahuri, R. 2004. Membangun Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan
Indonesia yang Maju, Makmur, dan Berkeadilan melalui Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Departemen Perikanan dan Kelautan RI. Jakarta.
Damayanthi, E. 1994. Pengaruh Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan. Skripsi.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. deMan, J. M. 1999. Principles of Food Chemistry. 3rd Ed. Aspen Publishers Inc.
Maryland. Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan . Lembaga Sumberdaya
Informasi. IPB. Bogor. Farrel, K. T. 1990. Spices, Condiments and Seasoning. 2nd Ed. Van Nostrand
Reinhold. New York. Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice. 2nd Ed.
CRC Press. England. Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1981. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. George, R. M., S. A.Burnett, and P. S. Richardson. 1993. Microwave Radiation. J.
Food Processing. 3 : 26-30.
Hamman, D.D. dan T.C. Lanier. 1987. Instrumental Methods for Predicting Seafood Sensory Texture Quality in Seafood Quality Determination. Proceeding of The International Symposium on Seafood Quality Determination. University of Alaska Sea Grant College Program Anchorage Alaska, USA. 10-14 November 1986.
Harris, R. S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan.
Terjemahan S. Achmad. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hegner, R.W. dan J.G. Engemann. 1968. Invertebrates Zoology. 2nd Ed. Mac
Milan Publishing Company. New York. Johnson, W. H., E. Louis, Delaney, C. E. Williams, Thomas Cole A.. 1977.
Principle of Zoology. Holt, Rinehart and Winston Inc. New York. Kreuzer, R. Squid-Seafood Extraordinaire. Infofish 6/1986: 29-32. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Lewis, Y. S. 1984. Spices and Herbs for The Food Industry. Food Trade Press.
Orprinston. England. Mazza, G., and B. D. Oomah. 1998. Herbs, Botanicals, and Teas. CRC Press.
USA. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas. IPB.
Bogor. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. PAU, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Okuzumi, M. dan Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid
and Cuttlefish. National Cooperative Association of Squid Processor. Tokyo.
Palungkun, R. dan A. Budhiarti. 1995. Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar
Swadaya. Jakarta. Rismunandar. 1988. Lada: Budidaya dan Tataniaganya. Penebar Swadaya,
Jakarta. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press. Yogyakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sugiri, N. 1989. Zoology Avertebrata II. Pusat Antar Universitas, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Takahashi, T. 1965. Squid Meatand It Processing dalam Fish As Food. Volume
IV. Terjemahan G. Borgstorm. Academic Press. New York. Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang: Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang
Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta. Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta. Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah, dan A. M. Syarief. 1992. Sifat Fisik
Pangan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zaitsev, V., I. Kizzevetter, L. Lagunov, T. Makarova, L. Minder, dan V.
Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publishers. Moskow:722 pp.
Lampiran 1. Prosedur analisis karakterisasi cumi-cumi
1. Total Plate Count (TPC)
- Sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet ke dalam cawan petri
steril.
- Ke dalam cawan petri tersebut kemudian dituangkan sebanyak 12-15 ml
media PCA (Plate Count Agar) yang telah dicairkan dan disterilisasi serta
bersuhu 45 + 1 oC.
- Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke depan
dan ke belakang serta ke kanan dan ke kiri) hingga contoh tercampur dengan
pembenihan
- Campuran dalam cawan petri dibiarkan hingga membeku
- Semua cawan petri dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari
pengeram (inkubator) dan diinkubasi pada suhu 36 + 1 oC selama 24-48 jam
- Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan setelah 48 jam
- TPC dihitung dalam 1 gr/ 1 ml contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata
koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan
2. Analisa Escherichia coli
- Sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet ke dalam cawan petri
steril.
- Ke dalam cawan petri tersebut kemudian dituangkan sebanyak 12-15 ml
media EMB (Eosin Methylen Blue) agar yang telah dicairkan dan disterilisasi
serta bersuhu 37 oC.
- Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke depan
dan ke belakang serta ke kanan dan ke kiri) hingga contoh tercampur dengan
pembenihan
- Campuran dalam cawan petri dibiarkan hingga membeku
- Semua cawan petri dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari
pengeram (inkubator) dan diinkubasi pada suhu 36 + 1 oC selama 24-48 jam
- Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan setelah 48 jam
- TPC dihitung dalam 1 gr/ 1 ml contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata
koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan
3. Analisa Salmonella
- Sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet ke dalam cawan petri
steril.
- Ke dalam cawan petri tersebut kemudian dituangkan sebanyak 12-15 ml
media SSA (Salmonella Shigella Agar) yang telah dilarutkan dalam air dan
dipanaskan
- Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke depan
dan ke belakang serta ke kanan dan ke kiri) hingga contoh tercampur dengan
pembenihan
- Campuran dalam cawan petri dibiarkan hingga membeku
- Semua cawan petri dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari
pengeram (inkubator) dan diinkubasi pada suhu 36 + 1 oC selama 24-48 jam
- Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan setelah 48 jam
- TPC dihitung dalam 1 gr/ 1 ml contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata
koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan
4. Kekerasan
Uji kekerasan terhadap cumi siap saji dilakukan dengan menggunakan
penetrometer. Cumi siap saji diletakkan dibawah jarum penetrometer.
Penembusan oleh jarum penetrometer ke dalam daging cumi siap saji (mm)
selama 5 detik menunjukkan nilai kekerasan daging cumi siap saji.
5. Warna
Analisa terhadap warna cumi siap saji dilakukan dengan menggunakan alat
Colorimeter. Sistem penilaian terhadap nilai L (tingkat kecerahan), a (tingkat
kemerahan), dan b (tingkat kekuningan) pada alat tersebut adalah dengan
membandingkan contoh terhadap lempengan putih yang mempunyai standar nilai
L, a, dan b. Nilai L mempunyai skala 0 - 100 (0 = hitam, 100 = putih). Nilai a
mempunyai skala -80 - 100 (-80 = hijau, 100 = merah). Nilai b mempunyai skala -
80 -70 (-80 = biru, 70 = kuning).
Pengukuran dilakukan dengan meletakkan contoh di tempat yang telah
disediakan. Alat tersebut secara otomatis akan menunjukkan nilai L, a, dan b dari
contoh.
6. Kadar Protein (AOAC, 1984)
Sebanyak 0,1 gram contoh dimasukkan ke dalam labu kjedahl 50 ml, lalu
ditambahkan katalis berupa campuran CuSO4 dan Na2SO4 dengan perbandingan
1:1,2 serta 2,5 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi sampai cairan contoh menjadi
jernih. Cairan contoh yang telah jernihdidinginkan dengan air mengalir secara
perlahan-lahan dan dibilas dengan aquades secukupnya. Contoh didestilasi dengan
penambahan NaOH 50% sebanyak 15 ml. Destilat ditampung dengan 25 ml
larutan HCl 0,02 N dan 2 tetes indikator mensel dalam erlenmeyer 125 ml yang
diletakkan di bawah kondensor. Proses destilasi dihentikan apabila volume
destilat telah mencapai dua kali volume sebelum deatilasi. Destilat
kemudiandititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi
hijau. Dilakukan juga penetapan blanko. Kadar protein dihitung dengan
persamaan di bawah ini :
% total N = (ml HCl blanko – ml HCl contoh)x N NaOHx 14 x 100 % mg sampel
% Protein = % N x faktor konversi
Untuk cumi-cumi, faktor konversinya 6,25
7. Kadar Lemak Kasar Metode Soxhlet (AOAC, 1984)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 g contoh dibungkus
dalam kertas saring kemudian dimasukkan dalam labu ekstraksi Soxhlet. Alat
kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut
heksan dimasukkan dalam labu lemak secukupnya, selanjutnya dilakukan reflux
selama kurang lebih 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak
berwarna jernih.
Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan pelarut ditampung kembali.
Kertas saring yang berisi sisa contoh yang tidak terekstrak dikeringkan dan
dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC hingga mencapai berat yang tetap,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar lemak (%) = A - B x 100 %
C
A : kertas saring + contoh sebelum diekstrak (g)
B : kertas saring + contoh setelah diekstrak (g)
C : bobot contoh (g)
8. Kadar Fosfor (Muchtadi, 1989)
Sampel halus ditimbang sebanyak 5 gram di dalam gelas piala 150 ml,
ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat, kemudian dididihkan selama 5 menit.
Didinginkan dan ditambah 5 ml asam sulfat pekat, kemudian dipanaskan dan
menyempurnakan “digestion” dengan menambah HNO3 setetes demi setetes
sampai larutan tidak berwarna. Sampel dipanaskan sampai timbul asap putih, dan
didinginkan. Ditambahkan 15 ml air destilata dan dididihkan lagi selama 10
menit, dan didinginkan. Kemudian pindahkan larutan kedalam labu takar 250 ml.
Gelas piala dibilas sampai bersih, masukkan bilasan kedalam labu takar. Larutan
diencerkan dalam labu takar sampai tanda tera dengan air destilata.
Larutan diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,
dan ditambahkan 40 l air destilata dan 25 ml pereaksi vanadat-molibdat. Larutan
diencerkan dengan air destilata sampai tanda tera. Larutan didiamkan selama 10
menit, kemudian absorbansi diukur dengan kolorimeter pada panjang gelombang
400 nm. Konsentrasi fosfor dicatat dari kurva standar berdasarkan absorbansi
yang terbaca.
% fosfor dalam sampel (P2O5) = C x 2.5 W
C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca
dari kurva standar.
W = berat sampel yang digunakan
9. Kadar Besi (Muchtadi, 1989)
Senyawa besi dalam contoh uji didestruksi dalam suasana asam sampai
terlarut semua, kemudian diukur kadarnya dengan Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA) secara langsung. Contoh sebanyak + 3 gram didestruksi dengan
menggunakan asam nitrat 5-10 ml. Sebelumnya contoh dilarutkan terlebih
dahulu di dalam 25 ml air suling. Larutan dipanaskan hingga tersisa + 10 ml.
Setelah dingin, ditambahkan kembali 5 ml asam nitrat (HNO3) dan 1-3 ml
asam perklorat setetes demi setetes melalui dinding erlenmeyer. Kemudian
dipanaskan kembali hingga menjadi jernih dan timbul asap putih. Setelah
timbul asap putih. Pemanasan dilanjutkan hingga + 30 menit. Contoh uji
disaring menggunakan kertas saring kuantitatif dengan ukuran pori 0,8 µm.
Filtrat diencerkan dalam labu takar 100 ml. Larutan blanko dibuat dengan
cara sama, tanpa penambahan contoh uji. Pembuatan spike matrix dilakukan
dengan cara sama, dengan penambahan + 30 gram contoh dan larutan baku
Fe.
Pengukuran kadar besi dengan menggunakan SSA dengan terlabih dahulu
dibuat kurva kalibrasi untuk uji Fe. Kadar besi diperoleh dengan memplotkan
hasil pengukuran besi dengan kurva kalibrasi. Perhitungan kadar besi :
Fe = C x V
B
Fe : kadar besi (µg/g)
C : kadar besi yang diperoleh dari kurva kalibrasi (µg/ml)
V : volume akhir (ml)
B : berat contoh uji (g)
10. Kadar Air (AOAC, 1984)
Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip
dari metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan
jalan pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
selama 10 menit. Sebanyak 2-10 gram sample ditimbang di dalam cawan
yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven
pada suhu 105oC selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang
sampai bobot konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan persamaan :
%100B
BB(%)AirKadar
1
21 ×−
=
Di mana :
B1 = Bobot contoh awal (g)
B2 = Bobot contoh akhir (g)
Lampiran 2. Format uji organoleptik
UJI HEDONIK
Nama :
No. Telp/ HP :
Jenis Sampel :
Petunjuk : Nyatakanlah penilaian anda terhadap warna, aroma, tekstur dan
rasa pada setiap sampel tanpa membandingkan sampel yang satu
dengan yang lainnya.
Berilah penilaian angka pada pernyataan yang sesuai dengan
penilaian anda dan sesuai dengan kode sampel.
Sampel Penilaian
812 628 859 713 729 457 614 527 658
Penilaian umum
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
Keterangan :
1 = tidak suka
2 = agak tidak suka
3 = netral
4 = suka
5 = sangat suka
UJI HEDONIK
Nama :
No. Telp/ HP :
Jenis Sampel :
Petunjuk : Nyatakanlah penilaian anda terhadap warna, aroma, tekstur dan
rasa pada setiap sampel tanpa membandingkan sampel yang satu
dengan yang lainnya.
Berilah penilaian angka pada pernyataan yang sesuai dengan
penilaian anda dan sesuai dengan kode sampel.
Sampel Penilaian
256 374 493 291 328 483
Penilaian umum
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
Keterangan :
1 = tidak suka
2 = agak tidak suka
3 = netral
4 = suka
5 = sangat suka
Lampiran 3. Data Hasil Analisa Karakteristik Cumi Segar dan Cumi Olahan
Parameter Ulangan Cumi Segar Cumi Olahan
Warna (oHue)
Dalam 1 66,7 74,86
2 60,5 71,42
Luar 1 66,86 82,7 2 69,78 82,4 (Chroma)
Dalam 1 32,47 48,78
2 28,23 49,04
Luar 1 52,64 53,46
2 51,4 53,98
Tekstur (mm/g.dt) 1 0,64 1,46
2 0,86 1,26
Kadar Air (%) 1 83,78 73,28
2 85,3 71,86
Kadar Protein (% bk) 1 10,34 13,66
2 5,99 15,19
Kadar Lemak (% bk) 1 0,37 1,73
2 0,76 2,21
Kadar Fosfor (% bk) 1 1,18 1,35
2 1,01 1,38
Kadar Besi (mg/kg) 1 7,76 1,76
2 8,76 2,87
Total Mikroba (koloni) 3,8 x 104 0
Total Salmonella (koloni) 4,7 x 102 0
Total E. coli (koloni) 9,1 x 102 0
Lampiran 4. Analisis Statistik Karakteristik Cumi Segar dan Cumi Olahan
a. Warna (o Hue)
- Bagian Dalam
Analisis Sidik Ragam Warna Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 18697,83 18697,83 Perlakuan 1 91,01 91,01 7,24 18,51Error 2 25,14 12,57 Jumlah 4 18813,98
Keterangan : F hitung < F tabel tidak berbeda nyata pada α= 0,05
- Bagian Luar Analisis Sidik Ragam Warna Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 22761,76 22761,76 Perlakuan 1 202,49 202,49 94,18 * 18,51 Error 2 4,31 2,15 Jumlah 4 22968,56
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Warna (Chroma) - Bagian Dalam
Analisis Sidik Ragam Warna Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 6282,15 6282,15 Perlakuan 1 344,47 344,47 76,38 * 18,51Error 2 9,02 4,51 Jumlah 4 6635,64
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
- Bagian Luar
Analisis Sidik Ragam Warna Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 11180,95 11180,95 Perlakuan 1 2,98 2,98 6,62 18,51Error 2 0,90 0,45 Jumlah 4 11184,83
Keterangan : F hitung <F tabel tidak berbeda nyata pada α= 0,05
b. Tekstur (mm/g.dt) Analisis Sidik Ragam Tekstur Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 4,4521 4,4521 Perlakuan 1 0,3721 0,3721 16,83710407 18,51 Error 2 0,0442 0,0221 Jumlah 4 4,8684
Keterangan : F hitung < F tabel tidak berbeda nyata pada α= 0,05
c. Kadar Air (%)
Analisis Sidik Ragam Kadar Air Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 24683,55 24683,55 Perlakuan 1 143,2809 143,2809 132,4589997 * 18,51 Error 2 2,1634 1,0817 Jumlah 4 24828,9943
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
d. Kadar Protein (% bk)
Analisis Sidik Ragam Kadar Protein Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 510,3081 510,3081 Perlakuan 1 39,1876 39,1876 7,371840816 18,51 Error 2 10,6317 5,31585 Jumlah 4 560,1274
Keterangan : F hitung < F tabel tidak berbeda nyata pada α= 0,05
e. Kadar Lemak (% bk)
Analisis Sidik Ragam Kadar Lemak Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 6,426225 6,426225 Perlakuan 1 1,974025 1,974025 20,64339869 * 18,51 Error 2 0,19125 0,095625 Jumlah 4 8,5915
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
f. Kadar Fosfor (% bk) Analisis Sidik Ragam Kadar Fosfor Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 6,0516 6,0516 Perlakuan 1 0,0729 0,0729 9,785234899 18,51 Error 2 0,0149 0,00745 Jumlah 4 6,1394
Keterangan : F hitung < F tabel tidak berbeda nyata pada α= 0,05
g. Kadar Besi (mg/kg)
Analisis Sidik Ragam Kadar Besi Cumi
Sumber keragaman
dk JK KT F hitung F tabel α= 0,05
Rata-rata 1 111,8306 111,8306 Perlakuan 1 35,34303 35,34303 63,33592581 * 18,51 Error 2 1,11605 0,558025 Jumlah 4 148,28968
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Lampiran 5. Data Hasil Analisa Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan Cara Pengolahan
Kukus Goreng Panggang Api Panggang Oven Panggang Microwave Parameter Ulangan 2 menit 5 menit 7 menit 2 menit 5 menit 7 menit 2 menit 5 menit 7 menit 2 menit 5 menit 7 menit 2 menit 5 menit 7 menit
Warna (o Hue) 1 81,36 82,6 82,31 82,68 81,98 82,44 82,38 82,72 81,9 82,37 83,6 82,06 83,14 82,57 82,93 2 83,02 82,26 79,97 82,72 83,34 81,3 83,56 82,56 82,7 82,53 82,8 80,52 82,64 83,11 82,95 (Chroma) 1 48,79 52,48 51,44 53,08 52,16 52,86 51,62 51,69 48,99 53,04 55,7 49,66 53,2 52,01 48,75 2 49,31 50,92 52,6 54,6 52,06 54,12 52,06 52,09 50,39 51,72 57,6 49,98 54,16 50,35 48,43 Tekstur (mm/g.dt) 1 1,58 1,32 1,23 1,41 1,37 1,15 1,39 1,17 0,93 1,54 1,27 1,13 1,28 0,51 0,31 2 0,96 1,16 1,11 1,23 1,17 1,37 1,19 1,21 1,29 1,12 1,39 1,41 1,32 0,43 0,19 Kadar Air (%) 1 59,7 58,99 60,16 58,7 58,98 59,6 57,61 57,98 58,82 58,31 58,13 58,44 51,25 25,12 20,15 2 58,78 60,97 61,13 58,66 59,34 59,04 58,63 59 58,62 57,47 58,03 58,02 49,87 24,18 19,93 Kadar Protein (% bk) 1 19,67 18,89 19,88 16,04 15,01 15,02 14,98 14,88 15,6 15,04 14,58 14,97 11,86 8,49 8,21 2 20,31 19,29 19,6 14,7 15,05 15,68 15,96 15,08 14,86 15,06 14,92 14,77 9,98 9,03 8,27 Kadar Lemak (% bk) 1 1,39 1,5 1,46 1,8 2,36 2,87 1,38 1,51 1,48 1,49 1,62 1,54 1,63 1,54 1,45 2 1,79 1,42 1,42 1,9 2,26 2,95 1,58 1,43 1,46 1,53 1,36 1,44 1,37 1,4 1,41 Total Mikroba (koloni) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Total Salmonella (koloni)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total E.coli (koloni) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 6. Analisa Statistik Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan a. Warna (o Hue)
Analisis Sidik Ragam Warna (o Hue)Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (α=0,05) rata-rata 1 203860,93 203860,93 Perlakuan:
A 4 4,22 1,05 1,84 3,06 B 2 3,17 1,59 2,79 3,68
AB 8 2,71 0,34 0,59 2,64 Error 15 8,57 0,57 Jumlah 30 203879,6
Warna (Chroma)
Analisis Sidik Ragam Warna (Chroma) Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (α=0,05) rata-rata 1 80690,01 80690,01 Perlakuan:
A 4 20,99 5,25 8,076 * 3,06 B 2 28,46 14,23 21,89 * 3,68
AB 8 72,82 9,10 14 * 2,64 Error 15 9,76 0,65 Jumlah 30 80822,04
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Analisis Uji lanjut Newman-Keuls Warna (Chroma) Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
Cara Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Kukus 50,92 A
Cumi Panggang Api 51,14 A
Cumi Panggang Microwave 51,15 A
Cumi Panggang Oven 52,95 B
Cumi Goreng 53,15 B
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Waktu Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
7 menit 50,7 A
2 menit 52,16 B
5menit 52,7 B
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Interaksi Pengolahan dan Waktu Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 7 menit 48,59 A
Cumi Kukus 2 menit 49,05 B
Cumi Panggang Api 7 menit 49,69 C
Cumi Panggang Oven 7 menit 49,82 C
Cumi Panggang Microwave 5 menit 51,18 D
Cumi Kukus 5 menit 51,7 E
Cumi Panggang Api 2 menit 51,84 E
Cumi Panggang Api 5 menit 51,89 E
Cumi Kukus 7 menit 52,02 E
Cumi Goreng 5 menit 52,11 E
Cumi Panggang Oven 2 menit 52,38 E
Cumi Goreng 7 menit 53,49 F
Cumi Panggang Microwave 2 menit 53,68 F
Cumi Goreng 2 menit 53,84 F
Cumi Panggang Oven 5 menit 56,65 G
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
b. Tekstur (mm/g.dt)
Analisis Sidik Ragam Tekstur Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (α=0,05)
rata-rata 1 38,85 38,85
Perlakuan:
A 4 0,44 0,11 3,67 * 3,06
B 2 1,67 0,83 27,67 * 3,68
AB 8 0,84 0,10 3,33 * 2,64
Error 15 0,50 0,03
Jumlah 30 42,3 Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Analisis Uji lanjut Newman-Keuls Tekstur Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
Cara Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 0,67 A
Cumi Panggang Api 1,19 B
Cumi Kukus 1,23 B
Cumi Goreng 1,28 B
Cumi Panggang Oven 1,31 B
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Waktu Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
7 menit 1,021 A
5 menit 1,1 A
2 menit 1,302 B
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Interaksi Pengolahan dan Waktu Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 7 menit 0,25 A
Cumi Panggang Microwave 5 menit 0,47 B
Cumi Panggang Api 7 menit 1,11 C
Cumi Kukus 7 menit 1,17 C
Cumi Panggang Api 5 menit 1,19 C
Cumi Kukus 5 menit 1,24 C
Cumi Goreng 7 menit 1,26 C
Cumi Panggang Oven 7 menit 1,27 D
Cumi Goreng 5 menit 1,27 D
Cumi Kukus 2 menit 1,27 D
Cumi Panggang Api 2 menit 1,29 D
Cumi Panggang Microwave 2 menit 1,3 D
Cumi Goreng 2 menit 1,32 D
Cumi Panggang Oven 5 menit 1,33 D
Cumi Panggang Microwave 2 menit 1,33 D
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
c. Kadar Air (%)
Analisis Sidik Ragam Kadar Air Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
sumber keragaman dk JK KT F hitung F tabel (α=0,05) rata-rata 1 85718,83 85718,83 Perlakuan: A 4 253,15 63,29 158,22 * 3,06 B 2 3545,1 1772,55 4431,38 * 3,68 AB 8 832,45 104,06 260,15 * 2,64 Error 15 6,00 0,4 Jumlah 30 90355,53
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Analisis Uji lanjut Newman-Keuls Kadar Air Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
Cara Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 31,75 A
Cumi Panggang Oven 58,06 B
Cumi Panggang Api 58,44 B
Cumi Goreng 59,05 C
Cumi Kukus 59,95 D
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Waktu Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
7 menit 50,79 A
5 menit 52,07 B
2 menit 57,49 C
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Interaksi Pengolahan dan Waktu Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 7 menit 20,04 A
Cumi Panggang Microwave 5 menit 24,65 B
Cumi Panggang Microwave 2 menit 50,56 C
Cumi Panggang Oven 7 menit 57,89 C
Cumi Panggang Oven 5 menit 58,08 C
Cumi Panggang Api 7 menit 58,12 C
Cumi Panggang Oven 7 menit 58,23 C
Cumi Panggang Api 5 menit 58,49 C
Cumi Goreng 7 menit 58,68 C
Cumi Panggang Api 7 menit 58,72 C
Cumi Goreng 5 menit 59,16 D
Cumi Kukus 7 menit 59,24 D
Cumi Goreng 2 menit 59,32 D
Cumi Kukus 5 menit 59,98 E
Cumi Kukus 7 menit 60,65 F
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
d. Kadar Protein (% bk)
Analisis Sidik Ragam Kadar Protein Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
sumber keragaman dk JK KT F hitung F table (α=0,05) rata-rata 1 6621,02 6621,02 Perlakuan: A 4 4,50 1,12 4,0 * 3,06 B 2 321,95 160,97 574,89 * 3,68 AB 8 4,92 0,61 2,18 2,64 Error 15 4,20 0,28 Jumlah 30 6956,59
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Analisis Uji lanjut Newman-Keuls Kadar Protein Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
Cara Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 9,31 A
Cumi Panggang Oven 14,89 B
Cumi Panggang Api 15,23 B
Cumi Goreng 15,25 B
Cumi Kukus 19,,60 C
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Waktu Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
7 menit 14,42 A
5 menit 14,79 A
2 menit 15,36 B
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
e. Kadar Lemak (% bk) Analisis Sidik Ragam Kadar Lemak Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
sumber keragaman dk JK KT F hitung F table (α=0,05) rata-rata 1 82,47 82,47 Perlakuan: A 4 0,14 0,03 2,31 3,06 B 2 3,66 1,83 140,77 * 3,68 AB 8 1,02 0,13 10 * 2,64 Error 15 0,20 0,013 Jumlah 30 87,49
Keterangan : F hitung > F tabel beda nyata pada α= 0,05
Analisis Uji lanjut Newman-Keuls Kadar Lemak Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan
Waktu Pengolahan Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
2 menit 1,59 A
5 menit 1,64 A
7 menit 1,75 B
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Interaksi Pengolahan dan Waktu Rata-rata Signifikansi 5 % (α=0,05)
Cumi Panggang Microwave 7 menit 1,43 A
Cumi Kukus 5 menit 1,44 A
Cumi Kukus 7 menit 1,46 A
Cumi Panggang Api 7 menit 1,47 A
Cumi Panggang Api 5 menit 1,47 A
Cumi Panggang Microwave 5menit 1,47 A
Cumi Panggang Api 2 menit 1,48 A
Cumi Panggang Oven 7 menit 1,49 A
Cumi Panggang Oven 5 menit 1,49 A
Cumi Panggang Microwave 2 menit 1,5 A
Cumi Panggang Oven 2 menit 1,51 B
Cumi Kukus 2 menit 1,59 C
Cumi Goreng 2 menit 1,85 D
Cumi Goreng 5 menit 2,31 E
Cumi Goreng 7 menit 2,91 F
Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α=0,05
Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis pada Parameter Uji Organoleptik Kruskal-Wallis Test: penilaian versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on penilaian perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 4.000 167.0 -1.00 291 25 4.000 200.5 0.59 328 25 3.000 170.1 -0.86 374 25 4.000 182.8 -0.25 457 25 4.000 207.9 0.95 483 25 3.000 155.4 -1.56 493 25 3.000 174.2 -0.66 527 25 3.000 162.4 -1.22 614 25 4.000 213.9 1.23 628 25 4.000 178.6 -0.45 658 25 4.000 194.7 0.32 713 25 4.000 203.7 0.75 729 25 4.000 196.2 0.39 812 25 4.000 199.1 0.53 859 25 4.000 213.7 1.23 Overall 375 188.0 H = 10.97 DF = 14 P = 0.688 H = 11.83 DF = 14 P = 0.620 (α=0,05) Kruskal-Wallis Test: warna versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on warna perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 164.1 -1.14 291 25 4.000 199.6 0.55 328 25 3.000 153.1 -1.67 374 25 3.000 178.4 -0.46 457 25 4.000 224.7 1.75 483 25 3.000 146.7 -1.97 493 25 3.000 161.2 -1.28 527 25 3.000 160.2 -1.33 614 25 4.000 195.0 0.33 628 25 4.000 196.0 0.38 658 25 3.000 190.2 0.11 713 25 4.000 229.4 1.98 729 25 4.000 208.0 0.95 812 25 4.000 200.7 0.60 859 25 4.000 212.7 1.18 Overall 375 188.0 H = 20.35 DF = 14 P = 0.120 H = 21.95 DF = 14 P = 0.080 (α=0,05)
Kruskal-Wallis Test: aroma versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on aroma perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 120.1 -3.24 291 25 4.000 214.5 1.26 328 25 3.000 154.3 -1.61 374 25 3.000 163.4 -1.17 457 25 4.000 202.7 0.70 483 25 3.000 144.3 -2.09 493 25 3.000 147.0 -1.96 527 25 4.000 181.5 -0.31 614 25 5.000 259.2 3.40 628 25 4.000 180.0 -0.38 658 25 4.000 200.0 0.57 713 25 4.000 226.9 1.86 729 25 4.000 190.1 0.10 812 25 4.000 212.1 1.15 859 25 4.000 223.8 1.71 Overall 375 188.0 H = 41.59 DF = 14 P = 0.000 H = 44.88 DF = 14 P = 0.000 (α=0,05) Kruskal-Wallis Test: tekstur versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on tekstur perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 125.8 -2.97 291 25 3.000 154.2 -1.61 328 25 4.000 179.0 -0.43 374 25 4.000 158.2 -1.42 457 25 4.000 204.5 0.79 483 25 3.000 170.4 -0.84 493 25 4.000 177.2 -0.52 527 25 4.000 242.0 2.58 614 25 4.000 198.5 0.50 628 25 4.000 226.2 1.82 658 25 3.000 161.4 -1.27 713 25 4.000 215.2 1.30 729 25 4.000 219.1 1.48 812 25 4.000 201.4 0.64 859 25 4.000 186.9 -0.05 Overall 375 188.0 H = 29.27 DF = 14 P = 0.010 H = 31.52 DF = 14 P = 0.005 (α=0,05)
Kruskal-Wallis Test: rasa versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on rasa perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 164.3 -1.13 291 25 4.000 230.8 2.04 328 25 3.000 147.9 -1.91 374 25 4.000 231.2 2.06 457 25 3.000 153.0 -1.67 483 25 3.000 153.6 -1.64 493 25 4.000 190.4 0.12 527 25 4.000 191.6 0.17 614 25 4.000 220.4 1.55 628 25 4.000 194.6 0.32 658 25 3.000 157.4 -1.46 713 25 3.000 169.2 -0.90 729 25 4.000 221.9 1.62 812 25 4.000 193.7 0.27 859 25 4.000 200.1 0.58 Overall 375 188.0 H = 25.54 DF = 14 P = 0.030 H = 27.21 DF = 14 P = 0.018 (α=0,05)
Keterangan :
812 : Goreng selama 2 menit
713 : Goreng selama 5 menit
614 : Goreng selama 7 menit
527 : Kukus selama 2 menit
628 : Kukus selama 5 menit
729 : Kukus selama 7 menit
457 : Panggang api selama 2 menit
658 : Panggang api selama 5 menit
859 : Panggang api selama 7 menit
256 : Panggang oven selama 2 menit
328 : Panggang oven selama 5 menit
493 : Panggang oven selama 7 menit
483 : Microwave selama 2 menit
374 : Microwave selama 5 menit
291 : Microwave selama 7 menit
61
Lampiran 8. Uji lanjut multiple comparison (Dunn) untuk Aroma
Keterangan : * menunjukkan hasil berbeda nyata (α=0,05)
Antar Perlakuan Nilai α=0,05 Antar Perlakuan Nilai α=0,05 812 – 713 14,84 76,46 628 – 859 43,82 76,46 812 – 614 47,1 76,46 628 – 256 59,86 76,46 812 – 527 30,56 76,46 628 – 328 25,66 76,46 812 – 628 32,08 76,46 628 – 493 32,96 76,46 812 – 729 21.96 76,46 628 – 483 35,74 76,46 812 – 457 9,38 76,46 628 – 374 16,56 76,46 812 – 658 12,12 76,46 628 – 291 34,48 76,46 812 – 859 11,74 76,46 729 – 457 12,58 76,46 812 – 256 91,94 * 76,46 729 – 658 9,84 76,46 812 – 328 57,74 76,46 729 – 859 33,7 76,46 812 – 493 65,04 76,46 729 – 256 69,98 76,46 812 – 483 67,82 76,46 729 – 328 35,78 76,46 812 – 374 48,64 76,46 729 – 493 43,08 76,46 812 – 291 2,4 76,46 729 – 483 45,86 76,46 713 – 614 32,26 76,46 729 – 374 26,68 76,46 713 – 527 45,4 76,46 729 – 291 24,36 76,46 713 – 628 46,92 76,46 457 – 658 2,74 76,46 713 – 729 36,8 76,46 457 – 859 21,12 76,46 713 – 457 24,22 76,46 457 – 256 82,56 * 76,46 713 – 658 26,96 76,46 457 – 328 48,36 76,46 713 – 859 3,1 76,46 457 – 493 55,66 76,46 713 – 256 106,8 * 76,46 457 – 483 58,44 76,46 713 – 328 72,58 76,46 457 – 374 39,26 76,46 713 – 493 79,88 * 76,46 457 – 291 11,78 76,46 713 – 483 82,66 * 76,46 658 – 859 23,86 76,46 713 – 374 63,48 76,46 658 – 256 79,82 * 76,46 713 – 291 12,14 76,46 658 – 328 45,62 76,46 614 – 527 77,66 * 76,46 658 – 493 52,92 76,46 614 – 628 79,18 * 76,46 658 – 483 55,7 76,46 614 – 729 69,06 76,46 658 – 374 36,52 76,46 614 – 457 56,48 76,46 658 – 291 14,52 76,46 614 – 658 59,22 76,46 859 – 256 103,68 * 76,46 614 – 859 35,36 76,46 859 – 328 69,48 76,46 614 – 256 139 * 76,46 859 – 493 76,78 * 76,46 614 – 328 104,8 * 76,46 859 – 483 79,56 * 76,46 614 – 493 112,1 * 76,46 859 – 374 60,38 76,46 614 – 483 114,9 * 76,46 859 – 291 9,34 76,46 614 – 374 95,74 * 76,46 256 – 328 34,2 76,46 614 – 291 44,7 76,46 256 – 493 26,9 76,46 527 – 628 1,52 76,46 256 – 483 24,12 76,46 527 – 729 8,6 76,46 256 – 374 43,3 76,46 527 – 457 21,18 76,46 256 – 291 94,34 * 76,46 527 – 658 18,44 76,46 328 – 493 7,3 76,46 527 – 859 42,3 76,46 328 – 483 10,08 76,46 527 – 256 61,38 76,46 328 – 374 9,1 76,46 527 – 328 27,18 76,46 328 – 291 60,14 76,46 527 – 493 34,48 76,46 493 – 483 2,78 76,46 527 – 483 37,26 76,46 493 – 374 16,4 76,46 527 – 374 18,08 76,46 493 – 291 67,44 76,46 527 – 291 32,96 76,46 483 – 374 19,18 76,46 628 – 729 10,12 76,46 483 – 291 70,22 76,46 628 – 457 22,7 76,46 374 - 291 51,04 76,46 628 – 658 19,96 76,46
62
Uji lanjut multiple comparison untuk rasa Antar Perlakuan Nilai α=0,05 Antar Perlakuan Nilai α=0,05
812 – 713 24,46 68,17 628 – 859 5,46 68,17 812 – 614 26,7 68,17 628 – 256 30,32 68,17 812 – 527 2,1 68,17 628 – 328 46,72 68,17 812 – 628 0,98 68,17 628 – 493 4,2 68,17 812 – 729 28,22 68,17 628 – 483 41,06 68,17 812 – 457 40,7 68,17 628 – 374 36,58 68,17 812 – 658 36,28 68,17 628 – 291 36,14 68,17 812 – 859 6,44 68,17 729 – 457 68,92 * 68,17 812 – 256 29,34 68,17 729 – 658 64,5 68,17 812 – 328 57,74 68,17 729 – 859 21,78 68,17 812 – 493 3,22 68,17 729 – 256 57,56 68,17 812 – 483 40,08 68,17 729 – 328 73,96 * 68,17 812 – 374 37,56 68,17 729 – 493 31,44 68,17 812 – 291 37,12 68,17 729 – 483 68,3 * 68,17 713 – 614 51,16 68,17 729 – 374 9,34 68,17 713 – 527 22,36 68,17 729 – 291 8,9 68,17 713 – 628 25,44 68,17 457 – 658 4,42 68,17 713 – 729 52,68 68,17 457 – 859 47,14 68,17 713 – 457 16,24 68,17 457 – 256 11,36 68,17 713 – 658 11,82 68,17 457 – 328 5,04 68,17 713 – 859 30,9 68,17 457 – 493 37,48 68,17 713 – 256 4,88 68,17 457 – 483 0,62 68,17 713 – 328 21,28 68,17 457 – 374 78,26 * 68,17 713 – 493 21,24 68,17 457 – 291 77,82 * 68,17 713 – 483 15,62 68,17 658 – 859 42,72 68,17 713 – 374 62,02 68,17 658 – 256 6,94 68,17 713 – 291 61,58 68,17 658 – 328 9,46 68,17 614 – 527 28,8 68,17 658 – 493 33,06 68,17 614 – 628 25,72 68,17 658 – 483 3,8 68,17 614 – 729 1,52 68,17 658 – 374 73,84 * 68,17 614 – 457 67,4 68,17 658 – 291 73,4 * 68,17 614 – 658 62,98 68,17 859 – 256 35,78 68,17 614 – 859 20,26 68,17 859 – 328 52,18 68,17 614 – 256 56,04 68,17 859 – 493 9,66 68,17 614 – 328 72,44 * 68,17 859 – 483 46,52 68,17 614 – 493 29,92 68,17 859 – 374 31,12 68,17 614 – 483 66,78 68,17 859 – 291 30,68 68,17 614 – 374 10,86 68,17 256 – 328 16,4 68,17 614 – 291 10,42 68,17 256 – 493 26,12 68,17 527 – 628 3,08 68,17 256 – 483 10,74 68,17 527 – 729 30,32 68,17 256 – 374 66,9 68,17 527 – 457 38,6 68,17 256 – 291 66,46 68,17 527 – 658 34,18 68,17 328 – 493 42,52 68,17 527 – 859 8,54 68,17 328 – 483 5,66 68,17 527 – 256 27,24 68,17 328 – 374 83,3 * 68,17 527 – 328 43,64 68,17 328 – 291 82,86 * 68,17 527 – 493 1,12 68,17 493 – 483 36,86 68,17 527 – 483 37,98 68,17 493 – 374 40,78 68,17 527 – 374 39,66 68,17 493 – 291 40,34 68,17 527 – 291 39,22 68,17 483 – 374 77,64 * 68,17 628 – 729 27,24 68,17 483 – 291 77,2 * 68,17 628 – 457 41,68 68,17 374 - 291 0,44 68,17 628 – 658 37,26 68,17
Keterangan : * menunjukkan hasil berbeda nyata (α=0,05)
63
Uji lanjut multiple comparison untuk tekstur Antar Perlakuan Nilai α=0,05 Antar Perlakuan Nilai α=0,05
812 – 713 13,72 75,51 628 – 859 39,28 75,51 812 – 614 2,92 75,51 628 – 256 100,4 * 75,51 812 – 527 40,56 75,51 628 – 328 47,16 75,51 812 – 628 24,76 75,51 628 – 493 49,04 75,51 812 – 729 17,64 75,51 628 – 483 55,84 75,51 812 – 457 3,08 75,51 628 – 374 68 75,51 812 – 658 40,08 75,51 628 – 291 72 75,51 812 – 859 14,52 75,51 729 – 457 14,56 75,51 812 – 256 75,6 * 75,51 729 – 658 57,72 75,51 812 – 328 22,4 75,51 729 – 859 31,16 75,51 812 – 493 24,28 75,51 729 – 256 93,24 * 75,51 812 – 483 31,08 75,51 729 – 328 40,04 75,51 812 – 374 43,24 75,51 729 – 493 41,92 75,51 812 – 291 47,24 75,51 729 – 483 48,72 75,51 713 – 614 16,64 75,51 729 – 374 60,88 75,51 713 – 527 26,84 75,51 729 – 291 64,88 75,51 713 – 628 11,04 75,51 457 – 658 43,16 75,51 713 – 729 3,92 75,51 457 – 859 17,6 75,51 713 – 457 10,64 75,51 457 – 256 78,68 * 75,51 713 – 658 53,8 75,51 457 – 328 25,48 75,51 713 – 859 28,24 75,51 457 – 493 27,36 75,51 713 – 256 89,32 * 75,51 457 – 483 34,16 75,51 713 – 328 36,12 75,51 457 – 374 46,32 75,51 713 – 493 38 75,51 457 – 291 50,32 75,51 713 – 483 44,8 75,51 658 – 859 25,56 75,51 713 – 374 56,96 75,51 658 – 256 35,52 75,51 713 – 291 60,96 75,51 658 – 328 17,68 75,51 614 – 527 43,48 75,51 658 – 493 15,8 75,51 614 – 628 27,68 75,51 658 – 483 9 75,51 614 – 729 20,56 75,51 658 – 374 3,16 75,51 614 – 457 6 75,51 658 – 291 7,16 75,51 614 – 658 37,16 75,51 859 – 256 61,08 75,51 614 – 859 11,6 75,51 859 – 328 7,88 75,51 614 – 256 72,68 75,51 859 – 493 9,76 75,51 614 – 328 19,48 75,51 859 – 483 16,56 75,51 614 – 493 21,36 75,51 859 – 374 28,72 75,51 614 – 483 28,16 75,51 859 – 291 32,72 75,51 614 – 374 40,32 75,51 256 – 328 53,2 75,51 614 – 291 44,32 75,51 256 – 493 51,32 75,51 527 – 628 15,28 75,51 256 – 483 44,52 75,51 527 – 729 22,92 75,51 256 – 374 32,36 75,51 527 – 457 37,48 75,51 256 – 291 28,36 75,51 527 – 658 80,64 * 75,51 328 – 493 1,88 75,51 527 – 859 55,08 75,51 328 – 483 8,68 75,51 527 – 256 116,16 * 75,51 328 – 374 20,84 75,51 527 – 328 62,96 75,51 328 – 291 24,84 75,51 527 – 493 64,84 75,51 493 – 483 6,8 75,51 527 – 483 71,64 75,51 493 – 374 18,96 75,51 527 – 374 83,8 * 75,51 493 – 291 22,96 75,51 527 – 291 87,8 * 75,51 483 – 374 12,16 75,51 628 – 729 7,12 75,51 483 – 291 16,16 75,51 628 – 457 21,68 75,51 374 - 291 4 75,51 628 – 658 64,84 75,51
Keterangan : * menunjukkan hasil berbeda nyata (α=0,05)