Post on 08-Sep-2019
i
KARYA TULIS
INDUKSI KALUS UBI JALAR UNGU SECARA IN VITRO
OLEH:
Ir. MADE PHARMAWATI, MSc., PhD
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
ii
RINGKASAN
Penelitian mengenai induksi kalus ubi jalar ungu secara in-vitro dilakukan dengan tujuan
untuk menghasilkan kalus ubi jalar ungu yang baik secara kualitas dan kuantitas yang merupakan
salah satu cara untuk mendapatkan keragaman ubi jalar ungu yaitu melalui terjadinya variasi
somaklonal. Ubi jalar memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan ubi jalar ungu memiliki
kandungan antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan. Variasi dari ubi jalar ungu diperlukan
untuk memperoleh ubi dengan kandungan antosianin yang tinggi
Zat pengatur tumbuh 2,4D dan kombinasi 2,4D dengan kinetin dalam dua konsentrasi
sukrosa yaitu 30g/L dan 40g/L dalam medium MS digunakan untuk menginduksi kalus dari
eksplan setek batang ubi jalar ungu. Delapan kombinasi perlakuan dicoba termasuk kontrol yaitu
: (1) MS + Tanpa pengatur tumbuh + sukrosa 30 g/L, (2) MS + Tanpa pengatur tumbuh +
sukrosa 40 g/L, (3) MS + 1 mg/L 2,4-D + sukrosa 30 g/L, (4) MS + 1 mg/L 2,4-D + sukrosa 40
g/L, (5) MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L, (6) MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2
mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L, (7) MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L, (8)
MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentasi munculnya kalus sangat rendah yaitu
36.84% dari keseluruhan perlakuan. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan eksplan dan
cara meletakkan eksplan yang kurang baik. Eksplan dari tanaman in vitro (plantlet) dilaporkan
lebih cepat menghasilkan kalus dibandingkan eksplan dari tanaman yang ditanam di lapang.
Perlakuan (5) MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L memberikan
hasil terbaik di antara semua perlakuan dengan persentase munculnya kalus 62.5%. Penambahan
kinetin pada media memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan penggunaan 2,4D saja.
Penggunaan sukrosa dengan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 40 g/L tidak menambah
kuantitas kalus yang dihasilkan.
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh lain
seperti kombinasi NAA dan kinetin atau NAA dan BAP untuk mendapatkan kalus yang lebih
banyak dan lebih cepat. Bersamaan dengan itu, perlu pula dilakukan pengujian regenerasi
tanaman dari kalus dengan berbagai zat pengatur tumbuh untuk dapat menghasilkan tunas.
iii
SUMMARY
A research was conducted on In Vitro Callus Induction of Purple Sweet Potato (Ipomoea
batatas) with aim to produce callus of purple sweet potato in good quantity and quality to obtain
variation through somaclonal variation. Sweet potato has high karbohidrat and purple sweet
potato contains high antocyanin which acts as antioxidant. Variation of purple sweet potato
therefore is needed to obtain purple sweet potato with high antocyanin content.
Plant growth regulator 2,4D and combination of 2,4D with kinentin and two sucrose
concentration which are 30g/L and 40g/L were used in MS media to induce callus. The explant
used was stem of purple sweet potato. Eight combinations of media were tested; (1) MS +
without plant growth regulator + sucrose 30 g/L, (2) MS + without plant growth regulator +
sucrose 40 g/L, (3) MS + 1 mg/L 2,4-D + sucrose 30 g/L, (4) MS + 1 mg/L 2,4-D + sucrose 40
g/L, (5) MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sucrose 30 g/L, (6) MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2
mg/L kinetin + sucrose 40 g/L, (7) MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sucrose 30 g/L, (8)
MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sucrose 40 g/L.
The results showed that the percentage of callus induction was low which was 36.84%.
This low percentage may because of the use of stem as explants and the method of planting
explant or explant position on the media. It was reported that explant from in vitro plantlet
produced callus faster than explant from field plant.
Medium (5) MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sucrose 30 g/L had the highest
percentage of callus induction which was 62.5%. The addition of kinetin on the media with 2,4D
gave better results than 2,4D alone. The use of sucrose with higher concentration (40 g/L) did not
increase callus quantity.
Further study need to be done using other plant growth regulators such as NAA and
kinetin or NAA and BAP in various ratio to produce callus in a shorther period with high
quantity. Also, search for ideal medium for shoot and root regeneration from callus need to be
conducted to produce whole plant.
iv
PRAKATA
Penelitian dengan judul Induksi Ubi Jalar Ungu Secara In Vitro dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana dengan tujuan menghasilkan kalus
ubi jalar ungu yang baik secara kualitas dan kuantitas yang merupakan salah satu cara untuk
mendapatkan keragaman ubi jalar ungu yaitu melalui terjadinya variasi somaklonal.
Ubi jalar memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga ubi jalar dapat digunakan
sebagai makanan pokok pengganti beras. Di samping itu ubi jalar ungu mengandung antosianin
yang tinggi yang berfungsi sebagai antoksidan yang dapat mencegah proses oksidasi dan
terbentuknya radikal bebas. Untuk itu, keragaman ubi jalar ungu perlu ditingkatkan, salah
satunya melalui induksi kalus sehingga diperoleh variasi somaklonal. Delapan macam medium
diuji pada penelitian ini untuk kemampuannya menginduksi kalus.
Akhirnya puji syukur kepada Tuhan atas berkatnya sehingga penelitian dapat terlaksana
dengan baik. Tim peneliti juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang membantu
terlaksananya penelitian dan penyusunan laporan ini. Semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat.
v
DAFTAR ISI
Hal
RINGKASAN ii
SUMMARY iii
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
BAB.I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang 1
1.2. Perumusan masalah 2
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Ubi jalar 3
2.2. Variasi somaklonal 3
2.3. Zat pengatur tumbuh dalam induksi kalus 4
2.4. Konsentrasi sukrosa 5
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 7
3.1. Tujuan 7
3.2. Manfaat 7
BAB IV. METODE PENELITIAN 8
4.1. Bahan tanaman dan zat kimia 8
4.2. Medium induksi kalus 8
4.3. Penyiapan eksplan dan penanaman eksplan 8
4.4. Pengamatan 9
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 10
5.1. Hasil 10
5.1.1. Persentasi kultur yang terkontaminasi 10
5.1.2. Persentase kultur yang membentuk kalus 10
5.1.3. Waktu munculnya kalus 12
vi
5.1.4. Warna kalus 13
5.1.5. Intensitas kalus 13
5.2. Pembahasan 14
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 18
6.1. Kesimpulan 18
6.2. Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
No. Hal
1. Persentasi kultur yang membentuk kalus pada eksplan stek batang
ubi jalar ungu dengan perlakuan 2,4D dan sukrosa 12
2. Intensitas kalus yang tumbuh pada eksplan stek batang ubi jalar ungu
dalam berbagai konsentrasi 2,4D dan sukrosa 13
viii
DAFTAR GAMBAR
No. Hal
1. Penampilan kalus pada saat kultur berumur 8 minggu
pada perlakuan 1, 3, 4, 5……………………………………………………. 11
2. Penampilan kalus pada saat kultur berumur 8 minggu
pada perlakuan 6, 7, 8………………………………………………………. 11
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau disebut juga ketela rambat merupakan tanaman umbi-
umbian terna yang menjalar (Heyne, 1987). Di antara tanaman umbi-umbian di Indonesia, ubi
jalar merupakan tanaman terpenting kedua setelah singkong (Saleh dan Hartojo, 2003). Umbi
ubi jalar ada yang berwarna putih, kuning, oranye, merah dan ungu. Kandungan karbohidratnya
yang tinggi, menyebabkan ubi jalar dapat digunakan sebagai makanan pokok pengganti beras.
Di samping itu ubi jalar kuning mengandung beta karoten yang tinggi (Sarwono, 2005),
sedangkan ubi jalar ungu mengandung antosianin yang tinggi (Kano et al., 2005) yang berfungsi
sebagai antoksidan yang dapat mencegah proses oksidasi dan terbentuknya radikal bebas
(Kahkonen dan Heinonen, 2003).
Di Bali, penggunaan ubi jalar sebagai bahan pangan sumber karbohidrat telah sejak lama
dilakukan. Menu makanan khas Bali ’nasi séle’ (nasi yang dicampur dengan ubi jalar yang
dipotong segiempat kecil/dadu) merupakan menu yang sejak lama dikonsumsi masyarakat Bali.
Akhir-akhir ini menu ’nasi séle’ banyak ditawarkan bukan hanya di warung-warung dan di pasar
tapi juga menjadi salah satu pilihan menu di restoran-restoran di Bali. Warna ubi jalar yang
bervariasi membuat sajian ’nasi séle’ sangat menarik (Radar Bali, 2007). Penciptaan varietas-
varietas baru ubi ungu perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas ubi ungu.
Menurut Saleh dan Hartojo (2003), dan Jusuf (2003) salah satu prioritas dalam penelitian ubi
jalar adalah program penelitian pemuliaan untuk sifat-sifat khusus seperti kandungan, karoten,
vitamin B dan C atau kandungan antosianin.
Salah satu cara menambah variasi genetik ubi jalar ungu adalah melalui induksi kalus
yang kemudian ditumbuhkan menjadi tanaman. Regenerasi tanaman melalui kalus dapat
menghasilkan tanaman yang berbeda dari asalnya akibat terjadinya perubahan materi genetik
(Pontaroli dan Camadro, 2005). Untuk jangka panjang, perbanyakan tanaman secara in vitro
diharapkan dapat membantu perbaikan genetik ubi jalar ungu. Dalam perbaikan tanaman secara
in vitro sistem induksi kalus dan regenerasi tanaman dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan
konsentrasi sukrosa (Jain, 1997, Sudarmadji, 2003). Untuk itu perlu diteliti berapakah
2
konsentrasi zat pengatur tumbuh serta konsentrasi sukrosa yang paling baik untuk induksi kalus
ubi jalar ungu.
1.2. Perumusan masalah
Zat pengatur tumbuh 2,4-D (2,4-Diclorophenoxyacetic acid) merupakan golongan auxin
yang berfungsi menginduksi terbentukknya kalus. Biasanya penggunaannya dikombinasikan
dengan kinetin dalam konsentrasi rendah. Dalam penelitian ini akan dicari komposisi zat
pengatur tumbuh yang efektif menginduksi kalus.
Secara lebih spesifik, permasalahan yang muncul adalah:
1. Berapakah konsentrasi 2,4-D yang baik untuk induksi kalus pada ubi jalar ungu?
2. Apakah pemberian kinetin yang dikombinasikan dengan 2,4-D dapat memberikan induksi
kalus yang lebih baik?
3. Apakah konsentrasi sukrosa berpengaruh terhadap terbentuknya kalus? Serta konsentrasi
sukrosa berapakah yang lebih baik untuk terbentuknya kalus pada ubi jalar ungu.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Ubi Jalar
Tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan tanaman herba. Beberapa ciri
morfologinya adalah memiliki batang berbuku dan dari tiap buku tumbuh daun akar dan tunas.
Daunnya berbentuk hati, tiga jari, lima jari atau tujuh jari sedang bunganya berbentuk terompet
(Sarwono, 2005). Di Indonesia ubi jalar dapat tumbuh pada lingkungan yang bervariasi pada
ketinggian 10 m sampai 2500 m di atas permukaan laut.
Ubi jalar merupakan tanaman yang penting di Indonesia. Kandungan utama umbi ubi
jalar adalah karbohidrat (sekitar 28%), protein (2.3g/100g), zat besi (1.0g/100g), vitamin A (7.1
IU/100g), vitamin C (2.0mg/100g), vitamin B1 (0.08mg/100g), vitamin B2 (0.05mg/100g), serat
(0.3g/100g) (Sarwono, 2005). Sehingga ubi jalar dapat menjadi makanan pokok pengganti.
Selama satu dekade lalu (tahun 1990 sampai tahun 2000) produksi ubi jalar di Indonesia
tetap berkisar pada 9.4 ton/hektar sampai 9.5 ton/hektar (Saleh dan Hartojo, 2003). Produksi ubi
jalar pada tahun 2002 tercatat rata-rata 10 ton/hektar. Produksi ini masih jauh lebih rendah
dibandingkan potensi hasil ubi jalar yaitu 30 – 40 ton/hektar (Saleh dan Hartojo, 2003). Salah
satu cara meningkatkan produksi adalah dengan melakukan penciptaan varietas-varietas baru
yang lebih baik. Ubi jalar yang akhir-akhir ini banyak diminati adalah ubi jalar ungu. Hal ini
karena kandungan antosianinnya yang dapat berfungsi sebagai antioksidan.
2.2. Variasi somaklonal
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan tergolong perbanyakan vegetatif sehingga
tanaman hasil kultur jaringan memiliki karakter genetik yang sama dengan tanaman asalnya.
Akan tetapi, konsistensi genetik tidak selalu terjadi dalam perbanyakan secara kultur jaringan.
Hal ini karena mutasi dapat terjadi saat sel membelah khususnya dalam kondisi buatan seperti
pada kultur jaringan dimana nutrien dan hormon berada dalam konsentrasi yang tinggi (Taji et
al., 1997). Mutasi genetik selama perbanyakan dengan kultur jaringan disebut variasi
somaklonal yang dapat meningkatkan keragaman genetik plasma nutfah tanaman. Somaklonal
4
variasi dalam kultur jaringan mencakup variasi antar tanaman atau sel yang dapat terjadi dari
semua jenis kultur jaringan (Skirvin et al., 1993)
Variasi/keragaman yang terjadi termasuk perubahan struktur dan/atau jumlah kromosom,
mutasi titik, perubahan ekspresi gen sebagai hasil perubahan kromosom, pengaktifan elemen
transposable, hilangnya kromatin, amplifikasi DNA, pindah silang somatik, pengurangan
somatik dan perubahan struktural DNA organel sitoplasma (Kaeppler, et al., 2000). Empat
variabel penting yang berpengaruh pada variasi somaklonal adalah genotipe, asal eksplan,
periode/lama pengkulturan dan kondisi kultur (Kaeppler, et al., 2000).
Variasi somaklonal dapat terbentuk pada tanaman yang berasal dari kultur pucuk, daun,
akar atau organ tanaman yang lain. Di samping itu, kultur kalus juga dapat memunculkan variasi
somaklonal. Pada kultur kalus, variasi dapat terjadi melalui pembentukan embrio somatik
ataupun melalui organogenesis (Taji, 1997).
Perubahan fenotipe yang dihasilkan misalnya perubahan bentuk daun, bentuk bunga
(Zhang et al., 2001). Beberapa tanaman hortikultura yang diregenerasikan secara kultur jaringan
telah diuji keragaman somatiknya, seperti pada Asparagus dimana dihasilkan fenotipe, ploidi,
dan pembelahan meiosis serta profil molekuler AFLP (amplified fragment length polymorphism)
yang berbeda (Pontaroli dan Camadro, 2005). Juga pada tanaman kentang yang berasal dari
kalus, menunjukkan keragaman genetik yang tinggi yang terlihat dari profil RAPD (random
amplified polymorphism DNA) (Bordallo et al., 2004).
2.3. Zat pengatur tumbuh dalam induksi kalus
Dalam kultur jaringan tanaman, diperlukan nutrisi yang mencakup unsur inorganik dan
unsur organik seperti vitamin, termasuk juga sumber karbon dalam bentuk sukrosa. Di samping
itu, zat pengatur tumbuh merupakan faktor yang berperan penting dalam mengendalikan
perkembangan kultur karena dapat memanipulasi kultur. Zat pengatur tumbuh auxin dan
sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang secara signifikan berpengaruh pada manipulasi
kultur.
Auxin mempunyai beberapa peran dalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman.
Auxin menstimulasi pemanjangan dan pertumbuhan sel, menstimulasi pembelahan sel khususnya
pembentukan kalus dan pembentukan akar adventif serta menghambat perkembangan tunas
5
aksilar (Taji et al., 1997, Smith, 2000). Termasuk kedalam auxin adalah IAA (indole acetic
acid), IBA (indole butyric acid), NAA (Naphthalene acetic acid) dan 2,4-D (2,4-dichlorophenoxy
acetic acid).
Sitokinin mempunyai efek membesarkan jaringan, menginduksi pembentukan tunas
aksilar dan tunas adventif serta mendukung pembelahan sel. Fungsinya yang menyebabkan
pertumbuhan tunas aksilar melalui penghambatan dominansi apikal, sangat penting dalam kultur
jaringan (Taji et al., 1997, Smith, 2000). Anggota dari sitokinin adalah BA
(benzylaminopurine), 2iP (isopentenyl adenine), kinetin dan zeatin.
Konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh merupakan faktor penting pada pembentukan
kalus. Konsentrasi zat pengatur tumbuh berbeda untuk masing-masing tanaman dan tipe
eksplan. Zat pengatur tumbuh 2,4-D secara luas digunakan untuk induksi kalus (Smith, 2000).
Sebagai contoh, pada Begonia, media yang digunakan untuk induksi kalus dengan eksplan daun
adalah media MS yang diperkaya dengan 0.60 μM NAA, 1.0 μM 2,4-D dan 0.50 μM BA (Jain,
1997). Sedangkan pada Oryza sativa, penelitian dengan tiga macam medium yaitu MS + 2,4-D
0,5 mg/l + NAA 1 mg/l + BA 1 mg/l; MS + 2,4-D 2 mg/l + casein hidrolisat (CH) 3 g/l, serta MS
+ 2,4-D 20 mg/l, ketiga media menghasilkan kalus yang remah, globuler dan berwarna bening.
Media dengan komposisi MS + 2,4-D 2 mg/l + casein hidrolisat 3 g/l menghasilkan kalus yang
banyak membentuk nodul-nodul bakal tunas (Purnamaningsih dan Mariska, 2005). Lee et al.
(2003) menggunakan kombinasi 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin dengan medium dasar MS
untuk menginduksi kalus pada Ipomoea batatas.
Di samping untuk induksi kalus, zat pengatur tumbuh 2,4-D digunakan untuk induksi
kalus embrionik pada Gossypium, dengan komposisi media MS ditambah 0.1 mg/l kinetin, 0.2
mg/l IAA dan 0.1 mg/l 2,4-D (Zhang et al., 2001). Penggunaan auxin dengan daya aktivitas kuat
(antara lain 2,4-D atau dikombinasikan dengan sitokinin dengan konsentrasi rendah) baik untuk
induksi kalus embrionik (Purnamaningsih, 2006).
2.4. Konsentrasi sukrosa
Pembentukan kalus juga dipengaruhi oleh konsentrasi sukrosa. Pada pembentukan kalus
tanaman Hypericum perforatum, diantara tiga konsentrasi sukrosa yang dicoba (30 g/L, 40 g/L
dan 50 g/L), konsentrasi sukrosa 30 g/L menghasilkan frekuensi induksi kalus yang tertinggi
6
(Ayan et al., 2004). Tetapi, berat basah kalus terbesar diperoleh pada media dengan sukrosa 50
g/L (Ayan et al., 2004).
Pada pembentukan kalus kacang tanah, konsentrasi sukrosa 40 g/L menghasilkan embrio
somatik terbanyak dan dalam waktu yang tercepat dibandingkan dengan konsentrasi 20 g/L dan
30 g/L sukrosa (Srilestari, 2005).
7
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan membentuk kalus ubi jalar ungu melalui teknik
kultur jaringan. Dari kalus ini, dapat diinduksi menjadi tanaman lengkap. Tanaman yang
berasal dari kalus akan menunjukkan variasi yang disebut variasi somaklonal. Variasi ubi jalar
ungu ini merupakan modal dasar dalam pemuliaan tanaman ubi jalar.
Secara detail, tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang efektif menginduksi kalus ubi jalar
ungu.
2. Menentukan peranan zat pengatur tumbuh kinetin dalam induksi kalus
3. Menjelaskan pengaruh konsentrasi sukrosa dalam induksi kalus ubi jajar ungu.
3.2. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah dengan diketahuinya konsentrasi 2,4D dan kombinasi
dengan kinetin serta konsentrasi sukrora yang paling baik untuk menginduksi kalus pada ubi
jalar ungu, maka dapat dihasilkan kalus yang merupakan modal dalam meningkatkan variasi
genetik ubi jalar ungu melalui variasi somaklonal. Peningkatan keragaman genetik ini penting
untuk tujuan pemuliaan ubi jalar ungu, selain untuk meningkatkan produktivitas juga untuk
mendapatkan galur-galur dengan kandungan antosianin yang tinggi.
8
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Bahan tanaman dan zat kimia
Bahan tanaman yang digunakan adalah batang ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu diperoleh
dari supermarket di Denpasar, lalu ditumbuhkan dalam polibag. Setelah tunas tumbuh,
dipelihara hingga berukuran 15 – 20 cm, dan digunakan sebagai eksplan. Beberapa zat kimia
penting yang digunakan adalah medium MS (Murashige dan Skoog), instan, 2,4-D, kinetin, agar,
sukrosa, alkohol, benlate, bayclin.
4.2. Medium induksi kalus
Medium yang dicobakan untuk induksi kalus adalah medium MS dengan 8% agar dan
dengan perlakuan zat pengatur tumbuh. Faktor lain yang diuji adalah konsentrasi sukrosa.
Perlakuan yang dicoba adalah sebagai berikut:
1. MS + Tanpa pengatur tumbuh + sukrosa 30 g/L
2. MS + Tanpa pengatur tumbuh + sukrosa 40 g/L
3. MS + 1 mg/L 2,4-D + sukrosa 30 g/L
4. MS + 1 mg/L 2,4-D + sukrosa 40 g/L
5. MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L
6. MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L
7. MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L
8. MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L
masing-masing perlakuan diulang sepuluh kali.
4.3. Penyiapan eksplan dan penanaman eksplan
Eksplan yang digunakan berupa stek batang muda ubi jalar ungu. Stek batang dibuat
mulai dari lima cm dari ujung apikal sepanjang sekitar delapan cm dari apikal. Daun-daun
dihilangkan, dan stek batang dicuci dengan air dan direndam dalam air sabun dan benlate selama
30 menit. Selanjutnya stek batang direndam direndam dalam 50% bayclin selama 15 menit,
perendaman dalam 50% bayclin diulang selama 5 menit. Tahap selanjutnya stek batang dibilas
9
tiga kali dengan air steril dan dilakukan di dalam laminar airflow cabinet. Sterilisasi selanjutnya
dilakukan dengan merendam eksplan dalam fungisida dengan dosis 2 g/L selama 15 menit.
Selanjutnya eksplan dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali.
Stek batang ubi jalar yang telah dibilas, kemudian dipotong-potong sepanjang 1 cm
dalam cawan petri steril. Eksplan selanjutnya ditanam pada media perlakuan secara aseptik di
dalam laminar airflow cabinet. Ditanam satu eksplan per botol.
4.4. Pengamatan
Pengamatan terhadap induksi kalus dilakukan terhadap parameter: persentase kultur yang
membentuk kalus, umur kalus mulai tumbuh (hari setelah penanaman), penampilan fisik kalus
(kompak atau tidak/remah, warna kalus). Frekuensi induksi kalus atau persentase munculnya
kalus dihitung dengan cara membagi jumlah eksplan yang menghasilkan kalus dengan jumlah
eksplan yang bertahan (bebas dari kontaminasi) dikalikan 100%. Di samping itu diamati juga
persentase kultur yang terkontaminasi.
10
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1. Persentase kultur yang terkontaminasi
Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah kultur yang terkontaminasi, diperoleh hasil
bahwa sampai kultur berumur 8 minggu dan sebelum dilakukan sub kultur, terdapat 23 kultur
yang terkontaminasi dari total 80 kultur (28.75%). Kontaminasi seluruhnya berasal dari eksplan,
bukan dari medium yang menandakan bahwa sterilisasi eksplan kurang baik.
5.1.2. Persentase kultur yang membentuk kalus
Terbentuknya kalus pada keseluruhan perlakuan pada penelitian ini tergolong rendah
yaitu 36.84%. Tabel 1. Menunjukkan persentase munculnya kalus dari masing-masing perlakuan
pada total 57 kultur yang diamati sebelum sub kultur atau sampai minggu ke-8. Gambar 1 dan
Gambar 2 menunjukkan contoh kultur pada masing-masing perlakuan.
11
Gambar 1. Penampilan kalus pada saat kultur berumur 8 minggu pada perlakuan 1, 3, 4, 5
Gambar 2. Penampilan kalus pada saat kultur berumur 8 minggu pada perlakuan 6, 7, 8
Perlakuan 1 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Perlakuan 5
Perlakuan 6 Perlakuan 7 Perlakuan 8
12
Tabel 1. Persentasi kultur yang membentuk kalus pada eksplan stek batang ubi jalar ungudengan perlakuan 2,4D dan sukrosa
No Perlakuan Jumlah kulturyang survive
Jumlah kulturyang membentukkalus
Persentase (%)
1 MS + Tanpa pengaturtumbuh + sukrosa 30 g/L
6 1 16.67
2 MS + Tanpa pengaturtumbuh + sukrosa 40 g/L
6 0 0
3 MS + 1 mg/L 2,4-D +sukrosa 30 g/L
8 4 50
4 MS + 1 mg/L 2,4-D +sukrosa 40 g/L
6 2 33.33
5 MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2mg/L kinetin + sukrosa 30g/L
8 5 62.5
6 MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2mg/L kinetin + sukrosa 40g/L
8 4 50
7 MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2mg/L kinetin + sukrosa 30g/L
7 2 28.57
8 MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2mg/L kinetin + sukrosa 40g/L
8 3 37.5
Total 57 21 36.84
5.1.3. Waktu munculnya kalus
Kalus diamati muncul pertama kali pada umur kultur 2 minggu pada perlakuan MS + 1
mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L, tetapi hanya muncul pada 1 kultur saja dari 77
kultur saat itu (3 kultur terkontaminasi)
Pada saat kultur berumur 3 minggu, kalus juga hanya terdapat pada 1 kultur pada
perlakuan MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L. Setelah kultur berumur 4
minggu, pada perlakuan ini terdapat 5 kultur yang membentuk kalus. Pada umur 3 minggu ini,
kalus juga terbentuk pada perlakuan MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L
dan pada perlakuan MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L. Kalus terbentuk
13
pada semua perlakuan pada minggu ke-5, kecuali pada perlakuan MS + Tanpa pengatur tumbuh
+ sukrosa 40 g/L yang sampai kultur berumur 8 minggu tetap tidak membentu kalus.
5.1.4. Warna kalus
Hasil pengamatan terhadap kultur pada perlakuan yang menghasilkan kalus,
memperlihatkan bahwa kalus berwarna coklat gelap pada permukaan eksplan.
5.1.5. Intensitas kalus
Kalus yang terbentuk hanya terdapat pada permukaan eksplan, menunjukkan bahwa
pertumbuhan kalus pada ubi jalar ungu pada perlakuan yang diberikan terjadi dengan lambat.
Intensitas kalus yang terbentuk sampai minggu ke-8 ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Intensitas kalus yang tumbuh pada eksplan stek batang ubi jalar ungu dalam berbagaikonsentrasi 2,4D dan sukrosa.
Perlakuan Intensitas kalus
Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 - - - + - knts knts - knts Knts
2 knts - - - - - - knts knts Knts
3 - + + knts - + + knts - -
4 ++ knts - - + - knts knts knts -
5 ++ knts - ++ + +++ ++ - knts -
6 + ++ ++ - - - ++ knts - Knts
7 + ++ - knts Knts - - - - Knts
8 knts ++ knts - - + + - - -
Keterangan: + = sangat sedikit
++ = sedikit
+++ =sedang
14
Setelah pengamatan pada minggu ke-8, dilakukan sub kultur terhadap kultur yang
membentuk kalus. Pengamatan setelah subkultur sampai minggu ke 12, tidak banyak
menunjukkan perubahan. Terdapat penambahan pertumbuhan kalus pada perlakuan (3), (5), (6),
(7) dan (8), sedangkan perlakuan (1) terkontaminasi.
5.2. Pembahasan
Pada penelitian induksi kalus ubi jalar ungu ini digunakan 2,4D sebagai zat pengatur
tumbuh yang dikombinasikan dengan kinetin. Di samping penggunaan zat pengatur tumbuh,
konsentrasi sukrosa yang berbeda juga dicobakan. Persentase kultur yang membentuk kalus
adalah 28.75%.
Rendahnya persentasi kalus yang muncul kemungkinan disebabkan karena pengaruh
eksplan yang digunakan. Di samping itu dapat juga diakibatkan oleh cara meletakkan eksplan
yang kurang baik, sehingga hanya sedikit bagian eksplan yang terkena medium. Jaringan yang
cepat membentuk kalus adalah jaringan parenkim. sehingga dalam induksi kalus perlu
diusahakan agar jaringan parenkim yang lebih banyak terkena media.
Di samping alasan terebut di atas, penggunaan jenis eksplan juga berpengaruh dalam
induksi kalus, karena pertumbuhan sel dan jaringan dipengaruhi oleh sumber eksplan dan
komposisi media. Eksplan dari tanaman dewasa yang tumbuh di lapang, menghasilkan kalus
dengan kualitas dan kuantitas yang kurang dibandingkan penggunaaan eksplan dari kultur in
vitro (plantlet). Hal ini terbukti dari penelitian pada induksi kalus pada Ipomoea littoralis yang
menggunakan eksplan daun dan petiole dari tanaman in vitro yang dapat menghasilkan kalus
pada umur 1 minggu setelah eksplan ditransfer ke medium MS yang mengandung 0.02 mg/L
2,4D + 0.5 mg/L kinetin (Kokubu et al, 1993). Akan tetapi tahapan kerja dalam induksi kalus
menjadi lebih panjang, karena harus memperbanyak tunas secara in vitro terlebih dahulu.
Dari seluruh kombinasi perlakuan yang diberikan, perlakuaan kultur dalam media MS + 1
mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L, menunjukkan hasil yang terbaik, dimana dari 8
kultur dengan eksplan yang tidak terkontaminasi, 5 kultur diantaranya membentuk kalus dengan
intensitas yang rendah (1 kultur), sedang (3 kultur) dan tinggi (1 kultur). Sedangkan perlakuan
kultur dalam media MS + tanpa pengatur tumbuh + sukrosa 40 g/L tidak dapat menginduksi
kalus pada 6 kultur yang masih bertahan tanpa kontaminasi.
15
Pada penelitian ini penggunaan 2,4D dengan konsentrasi 1mg/L lebih baik dalam
menginduksi kalus dibandingkan konsentrasi 2,4D 2 mg/L. Zat pengatur tumbuh 2,4D
merupakan zat pengatur tumbuh yang umum digunakan untuk menginduksi kalus. Konsentrasi
2,4D yang digunakan untuk menginduksi kalus bervariasi antara 1 mg/L sampai 4 mg/L (Shirin
et al., 2007). Penggunaan 2,4D dengan konsentrasi rendah untuk menginduksi kalus telah
banyak dibuktikan. Misalnya pada tanaman pasak bumi (Eurycoma longifolia) pada eksplan
batang penggunaan 1 mg/L 2,4D menghasilkan persentase pembentukan kalus sebesar 80%,
sedangkan penggunaan 2,4D dengan konsentrasi yang lebih tinggi 2 mg/L, 3mg/L dan 4 mg/L
menghasilkan persentase pembentukan kalus masing-masing 60%, 70% dan 50% (Hussein et al.,
2005).
Menurut Oggema et al (2007), 2,4D merupakan salah satu zat pengatur tumbuh auxin
yang paling efektif menginduksi kalus pada ubi jalar, tetapi konsentrasi optimumnya bervariasi
tergantung pada kultivarnya. Pada kultivar ubi jalar asal Kenya, konsentrasi 2,4D yang paling
efektif menghasilkan pertumbuhan kalus adalah pada konsentrasi rendah yaitu 0.5mg/L (Oggema
et al., 2007). Pada konsentrasi ini pada ubi jalar lokal Kenya, waktu yang diperlukan untuk
menginduksi kalus embrionik berkurang dan kejadian munculnya kalus meningkat (Oggema et
al., 2007). Pada konsentrasi 2,4D yang tinggi sampai di atas 3mg/L secara signifikan
menurunkan kualitas dan kuantitas terbentuknya kalus (Oggema et al., 2007).
Pada penelitian ini, kombinasi 2,4D dengan zat pengatur tumbuh kinetin memberikan
hasil induksi kalus yang lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan 2,4D saja. Kinetin
berkombinasi dengan auxin telah banyak digunakan dalam induksi kalus. Seperti pada induksi
kalus Glycine wightii, penggunaan 2,4-D 1.0 mg/L + kinetin 0.1 mg/L + sucrose 30g/L
menghasilkan berat kalus terbesar (da Silva et al., 2003). Hasil penelitian da Silva et al (2003)
ini mendukung penelitian induksi kalus ubi jalar yang dilakukan, karena juga menggunakan 2,4D
dalam konsentrasi rendah (1 mg/L) dan kinetin dalam konsentrasi yang rendah pula (0.1mg/L).
Penggunaan sukrosa pada konsentrasi yang lebih tinggi dalam medium (40g/L) tidak
menghasilkan kalus yang lebih banyak. Hal ini berlawanan dengan pendapat Srilestari (2005)
yang menyatakan bahwa media dengan sukrosa 40g/L menghasilkan kalus dengan embrio
somatik terbanyak dalam waktu yang singkat. Sukrosa, menurut Pierik (1987) di dalam media
berfungsi sebagai sumber energi dan untuk keseimbangan tekanan osmotik. Menurut George
16
dan Sherrington (1984), sukrosa merupakan sumber karbon penting yang digunakan sebagai
penyusun sel. Sukrosa merupakan sumber karbon yang terbaik, yang berperan sebagai bahan
baku yang menghasilkan energi dalam proses respirasi
Pada penelitian ini, penggunaan sukrosa 30g/L pada medium MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2
mg/L kinetin memberikan hasil induksi kalus dengan persentase yang tertinggi yaitu 62.5%.
Persentasi induksi kalus sebesar 50% diperoleh pada medium pada medium MS + 1 mg/L 2,4-D
+ 30g/L sukrosa dan pada medium MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi sukrosa menjadi 40g/L tidak memberikan
pengaruh lebih baik dalam induksi kalus dibandingkan dengan penggunaan sukrosa 30g/L. Dari
tiap pasang perlakuan dimana dibandingkan penggunaan sukrosa 30g/L dengan 40g/L, terlihat
bahwa pada penggunaan sukrosa 30g/L persentase munculnya kalus lebih banyak. Perkecualian
terjadi pada media MS + 2 mg/L 2,4-D + 0.2 mg/L kinetin + sukrosa 40 g/L yang memiliki
persentasi munculnya kalus lebih tinggi dibandingkan penggunaan sukrosa 30g/L.
Sukrosa pada beberapa penelitian terlihat tidak merupakan faktor yang esensial. Seperti
pada pembentukan kalus Glycine wightii, penggunaan media yang tanpa gula yaitu medium MS
+ 2,4-D 0.5 mg/L; MS + 2,4-D 0.5 mg/L + kinetin 0.1 mg/L; MS + 2,4-D 0.5 mg/L + kinetin 0.5
mg/L; MS + 2,4-D 1.0 mg/L + kinetin 0.1 mg/L; MS + 2,4-D 1.0 mg/L + kinetin 0.5 mg/L dapat
mengakibatkan terbentuknya kalus (da Silva et al., 2003). Menurut Franklin dan Dixon (1994),
kombinasi yang tepat antara zat pengatur tumbuh 2,4D dan sitokinin baik dengan atau tanpa
interaksi keduanya dapat menginduksi pembentukan kalus. Sel-sel baru yang terbentuk pada
kalus, kemungkinan menggunakan mineral atau sumber karbon lain yang terdapat pada MS
media dan pada agar (Franklin dan Dixon, 1994). Sukrosa dengan konsentrasi yang lebih tinggi,
menurunkan induksi kalus, kemungkinan karena osmotic shock atau tekanan terhadap jalur
metabolik (Mihaljevic et al., 2002).
Pada penelitian ini warna kalus yang diperoleh adalah berwarna kehitaman. Warna kalus
yang kehitaman ini dapat dikarenakan oleh eksplan stek batang yang digunakan yang
kemungkinan mengandung senyawa fenolik. Penggunaan arang aktif dalam medium dapat
menjadi salah satu solusi mengatasi browning pada kalus (Hussein et al., 2005).
Browning merupakan salah satu masalah dalam kultur jaringan tanaman karena senyawa
phenolic yang dikeluarkan oleh jaringan tanaman. Proses ini diinisiasi oleh browning pada
17
permukaan jaringan tanaman karena oksidasi senyawa fenolik menyebabkan pembentukan
kuinon yang sangat reaktif terhadap jaringan tanaman (Titov et al., 2006). Penggunaan
antioksidan 0.125% potassium citrate: citrate (K-C: C dengan rasio 4:1 w/w) sebagai pencuci
selama 2 jam dapat menghambat oksidasi yang menyebabkan browing (Titov et al., 2006).
18
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada eksplan stek batang ubi jalar ungu, dari
beberapa perlakuan konsentrasi 2,4D, kombinasi 2,4D dan kinetin serta konsentrasi sukrosa,
kalus paling banyak dapat diinduksi dengan menggunakan media MS + 1 mg/L 2,4-D + 0.2
mg/L kinetin + sukrosa 30 g/L. Presentase munculnya kalus pada media tersebut adalah 62.5%.
Penggunaan 2,4D dengan konsentrasi yang lebih tinggi (2mg/L) tidak meningkatan jumlah kalus,
demikian pula penggunaan sukrosa 40 mg/L.
6.2. Saran
Untuk mendapatkan kalus yang lebih banyak, perlu dicoba sumber eksplan yang berasal
dari kultur in vitro. Di samping itu, penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh lain seperti
NAA, IAA, BAP dengan berbagai rasio konsentrasi perlu dicoba.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ayan, A.K., Çirak, C., Kevseroglu, K., Sokmen, A. 2005. Effects of explant types and differentconcentrations of sucrose and phytoharmones on plant regeneration and hypericin contentin Hypericum perforatum L. Turk J Agric For. 29 (2005) 197-204
Bordallo, P.N.; Silva, D.H.; Maria, J.; Cruz, C.D.; Fontes, E.P. 2004. Somaclonal variation on invitro callus culture potato cultivars. Horticultura Brasileira 22: 300-304.
Da Silva, A.L.C., Caruso, C.S., Moreira, R.D.A., Horta, A.C.G. 2003. In vitro induction ofcallus from cotyledon and hypocotyls explants of Glycine wightii (Wight & Arn.) Verdc.Ciênc. agrotec., Lavras. 27:1277-1284
Franklin C.I., Dixon, R.A. R. A. 1994. Initiation and maintenance of callus and cell suspensionculture. In: Dixon, R.A., Gonzales, R.A. (Eds.). Plant cell culture: a practical approach.Oxford: Oxford University. p. 1-26.
George, E.F. dan T.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook andDirectionary of Commercial Laboratories. England.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia Jilid III. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta
Hussein, S., Ibrahim, R., Kiong, A.L.P., Fadzillah, N.M., Daud, S.K. 2005. Micropropagation ofEurycoma longifolia Jack via formation of somatic embryogenesis. Asian Journal of PlantSciences 4:472-485
Jain, S.M.. 1997. Micropropagation of selected somaclones of Begonia and Saintpaulia J.Biosci. 22: 585–592.
Jusuf, M. 2003. Breeding improved sweetpotato varieties in Indonesia.http://www.papuaweb.org/dlib/tema/ubi/psp-2003-jusuf.pdf
Kahkonen, M.P., Heinonen, M. 2003. Antioxidant activity of anthocyanins and their aglycons.J. Agric. Food Chem. 51: 628-633
Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K. 2005. Antioxidative activity of anthocyanins from purplesweet potato Ipomoea batatas cultivar Ayamurasaki. Biosci. Biotechnol. Biochem. 65:979-988
Kaeppler, S.M., Kaeppler H.F., Rhee, Y. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation inplants. Plant Molecular Biology 43: 179-188
20
Kokubu, T., Sugita, T., Liu, Q., Sato, M. 1993. Plant regeneration in leaf and petiole explantcultures of Ipomoea littoralis Blune. Mem. Fac. Agr. Kagoshima Univ. 29: 49-52
Lee, M. H., Yang, C.C., Wang, H.L., Lee, P.D. 2003. Regulation of sucrose phosphate synthaseof the sweet potato callus is related to illumination and osmotic stress. Bot. Bull. Acad.Sin. 44: 257-265
Mihaljevic, s., Bjedov, I, Kovac, M., levanic, D.L., Jelaska, S. 2002. Effect of Explant Sourceand Growth Regulators on in vitro Callus Growth of Taxus baccata L. Washingtonii.Food Technol. Biotechnol. 40: 299–303
Oggema, J.N., Kinyua, M.G., Ouma, J.P. 2007. Optimum 2,4D concentration suitable forembriogenic callus induction in local Kenyan sweet potato cultivars. Asian Journal ofPlant sciences 6: 484-489
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publiser Kluwer AcademicPublisher Group.
Pontaroli, A.C., Camadro, E.L.. 2005. Somaclonal variation in Asparagus officinalis plantsregenerated by organogenesis from long-term callus cultures. Genet. Mol. Biol.. 28: 1-11
Purnamaningsih, R., Mariska, I. 2005. Seleksi in vitro tanaman padi untuk sifat ketahananterhadap aluminium. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 10: 61-69
Purnamaningsih, R. 2006. Induksi kalus dan optimasi regenerasi empat varietas padi melaluikultur in vitro. Jurnal AgroBiogen 2: 74-80
Saleh, N., Hartojo, K. 2003. Present status and future research in sweetpotato in Indonesia.http://www.papuaweb.org/dlib/tema/ubi/psp-2003-saleh-hartojo.pdf
Sarwono, B. 2005. Ubi jalar. Penebar Swadaya, Jakarta.
Shirin, F., Hossain, M., Kabir, M.F., Roy, M., Sarker, S.R. 2007. Callus induction and plantregeneration from internodal and leaf explants of four potato (Solanum tuberosum L.)cultivars. World Journal of Agricultural Sciences 3:1-6
Skirvin, R.M., Coyner, M., Norton, M.A., Motoike, S., and Gorvin, D. 2000. Somaclonalvariation: do we know what causes it? AgBiotechNet 2: 1-4
Srilestari, R. 2005. Induksi embrio somatik kacang tanah pada berbagai macam vitamin dansukrosa. Ilmu Pertanian. 12: 43-50
Sudarmadji. 2003. Penggunaan benzil amino purin pada pertumbuhan kalus kapas secara invitro. Buletin Teknik Pertanian. 8: 8-10
21
Titov, S. 2006. Control of Phenolic Compound Secretion and Effect of Growth Regulators forOrgan Formation from Musa spp. cv. Kanthali Floral Bud Explants. American Journal ofBiochemistry and Biotechnology 2: 97-104, 2006
Taji, A., Dodd, W., Williams, R.R. 1997. Plant Tissue Culture Practice. University of NewEngland, Armidale, NSW, Australia
Zhang, B.H., Wang, Q.L., Liu, F. 2001. Phenotypic variation in cotton (Gossypium hirsutum L.)regenerated plants. Current Sci. 81 1112 - 1115