Post on 10-May-2018
IMPLEMENTASI KONSEP PENDIDIKAN JOHN DEWEY
PADA MATA PELAJARAN AGAMA ISLAM (PENDEKATAN
KONTEKSTUAL)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk
Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
Ririn Eka Kartika
1110011000134
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
ABSTRAK
Ririn Eka Kartika (1110011000134). Implementasi Konsep Pendidikan John
Dewey pada Mata Pelajaran Agama Islam (Pendekatan Kontekstual). Skripsi,
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan John Dewey pada
mata pelajaran pendidikan agama Islam (Pendekatan Kotekstual). Penelitian ini
dilakukan pada bulan Agustus 2014 sampai bulan Desember 2014 yang digunakan
untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks
book yang ada di perpustakaan, artikel, jurnal serta website yang ada hubungannya
dengan konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam
(Pendekatan Kontekstual). Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan library research. Sedangkan dalam
memperoleh data, fakta dan informasi yang akan melengkapkan dan menjelaskan
permasalahan dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode deskriptif yang
didukung oleh data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa ada keterkaitan antara
kontekstual konsep pendidikan John Dewey dengan mata pelajaran agama Islam.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kontekstual konsep pendidikan John Dewey
dapat dipadankan dengan mata pelajaran agama Islam.
Kata Kunci: Kontekstual Konsep Pendidikan John Dewey. Pendidikan Agama Islam
ABSTRACT
Ririn Kartika Eka (1110011000134). Implementation Concept of Education John
Dewey on Religious Subjects (Contextual Approach). Thesis, Department of Islamic
Education, Faculty of Science and Teaching UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
This study aims to determine the concept of education John Dewey on the
subjects of Islamic religious education (Kotekstual approach). This research was
conducted in August 2014 through December 2014 are used for collecting data on
written sources obtained from the text book in the library, articles, journals and
websites that have something to do with the concept of education John Dewey on the
subjects of Islam (Contextual Approach). This type of method used in this study is a
qualitative research method to approach research library. While in obtaining the data,
facts and information that would complete and explain the problems in the writing,
the author uses descriptive method that is supported by data obtained through library
research.
The results found in this study that there is a correlation between contextual
concept of education John Dewey with Islamic religious subjects. These results
indicate that the contextual concept of education John Dewey can be paired with
Islamic religious subjects.
Keywords: Contextual Concept of Education John Dewey. Islamic Education
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim
Assalamu’alaikum wr, wb.
Alhamdulillahi Robbil’ alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT pemilik
semesta di seluruh alam raya. Atas berkat dan rahmat serta ridho-Nya. Alhamdulillah
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi tepat pada waktunya. Sholawat dan
salam senantiasa tercurahkan untuk Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para
sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman. Selama proses penyusunan
skripsi ini penulis mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
guna membantu lancarnya penelitian ini, baik secara langsung atau tidak oleh karena
itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.
2. Dr. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
3. Marhamah Saleh, MA selaku Sekertaris jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
4. Dr. Akhmad Sodiq, MA sebagai dosem pembimbing skripsi yang begitu teliti
sabar dalam membimbing saya, memberikan pengarahan dan masukan dalam
penulisan skripsi ini serta meluangkan banyak waktunya dalam proses
penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Zaimudin, MA selaku dosen penasihat akademik dan segenap dosen jurusan
Pendidikan Agama Islam yang selalu memberikan motivasi untuk penulis.
6. Ayahku Entis Rosiawandi dan Ibunda Apiati Sopiah tercinta yang telah merawat
serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, mendo’akan dan mecukupi
ii
moril dan materil sejak kecil hingga saat ini dan juga terimakasih kepada adikku
satu-satunya Rizki Sulaeman yag banyak memberi dukungan selama ini.
7. Teman-teman MOLOSE C, KSR, The Community serta rekan seperjuangan
jurusan Pendidikan Agama Islam 2010 yang selalu mensupport penulis.
8. Semua pihak terkait yang tidak disebutkan satu persatu oleh penulis.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 5
D. Perumusan Masalah ................................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian …………………………………………….. .............. 5
F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 5
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Pembelajaran Kontekstual ...................................................................... 7
1. Pengertian Pendekatan Kontekstual ................................................. 7
2. Peran Guru dalam Pendekatan Kontekstual ..................................... 8
3. Karakteristik Pendekatan Kontekstual ............................................. 9
4. Prinsip Pendekatan Kontekstual ...................................................... 10
5. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pembelajaran
Tradisional ........................................................................................ 11
6. Sejarah Kontekstual dan Keterkaitan dengan John Dewey .............. 12
B. Konsep Pendidikan John Dewey ............................................................ 18
1. Biografi John Dewey ........................................................................ 18
2. Karya-karya John Dewey .................................................................. 19
3. Pandangan Hidup (Falsafah) John Dewey ........................................ 20
4. Konsep Pendidikan John Dewey ....................................................... 23
5. Sekolah Kerja John Dewey ............................................................... 25
C. Pendidikan Agama Islam ....................................................................... 33
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ................................................. 33
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam ...................................................... 35
3. Ruang Lingkup Agama Islam ............................................................ 36
iv
D. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................ 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ..................................................................... 39
B. Metode Penelitian ..................................................................................... 39
C. Fokus Penelitian ....................................................................................... 40
D. Prosedur Penelitian ................................................................................... 40
E. Sumber Data ............................................................................................. 41
F. Analisis Data ............................................................................................. 42
G. Teknik Penulisan ...................................................................................... 42
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kontekstual Pendidikan John Dewey pada Mata Pelajaran Agama Islam ... 43
B. Konsep Pendidikan John Dewey pada Mata Pelajaran Agama Islam
(Pendekatan Kontekstual) ............................................................................. 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................... 58
B. Saran .............................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Teori pendidikan menurut aliran progressivisme ..................................... 18
Tabel 2.2 Perbedaan Pendekatan Kontestual dengan Pembelajaran Tradisional ...... 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia,
karena melalui pendidikan manusia dapat memahami apa arti dan hakikat
hidup, serta untuk apa dan bagaimana menjalankan tugas hidup dan
kehidupan secara benar. Pendidikan juga berperan penuh dalam pembentukan
kepribadian yang unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan
kualitas logika, hati, akhlak dan keimanan.1 Tujuan pendidikan yang akan
dicapai adalah tujuan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, seperti
yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 pada Bab II pasal 3, dijelaskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.2
Berdasarkan tujuan tersebut pemerintah Indonesia memiliki tanggung
jawab mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
berkualitas. Pendidikan nasional bukan hanya sebatas peningkatan kualitas
kehidupan, namun pendidikan juga meningkatkan harkat dan martabat
seseorang di mata Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surah al-
Mujaadalah ayat 11:
1 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. I, h. 10
2 Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: CV. Wacana Prima, 2009), h. 92
2
“...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Mujaadalah: 11)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari kepemilikan ilmu
pengetahuan bukan semata-mata mencerdaskan akal pikiran, akan tetapi
untuk meningkatkan keimanan dan keyakinan kepada Allah. Oleh karenanya
maka perlu dirumuskan pandangan hidup Islam dapat mengarahkan tujuan
dan sasaran pendidikan Islam.
Sebagai landasan pandangan seorang muslim disebutkan dalam ayat al-
Qur’an:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Q.S.
Al-Imran: 19)
Seorang muslim wajib mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat
Allah tetap bersama dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran-Nya yang didorong oeh iman sesuai dengan akidah
Islamiah. Untuk itulah manusia harus dididik melalui proses pendidikan
Islam.
Pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang
mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah.
Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia baik
3
duniawi maupun ukhrawi.3 Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap
oleh pendidikan Islam, maka pendidikan Islam tidak menganut sistem
tertutup melainkan terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat manusia,
baik tuntutan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun tuntutan
pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Kebutuhan itu semakin meluas sejalan
dengan meluasnya tuntutan hidup manusia itu sendiri.
Namun perjalanan panjang pendidikan Islam di Indonesia hingga kini
masih diliputi kendala yang cukup mendasar. Sebagai contoh, persoalan yang
menyangkut kesejahteraan guru, ketersediaan guru baik dari segi kuantitas
maupun kualitas, ketersediaan fasilitas belajar, manajemen kelembagaan,
muatan kurikulum dan tumpukan persoalan lain yang masih terkait. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika kualitas hasil belajar siswa masih rendah.
Proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan
oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu
menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu
mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.
Akan tetapi kenyataannya menunjukan bahwa selama ini kebanyakan guru
menggunakan pembelajaran yang kurang tepat.
Hal tersebut membuat kita mengambil kesimpulan bahwa pembelajaran
agama Islam hanyalah bersumber dari materi yang dihafal oleh siswa. Guru
agama Islam ketika proses belajar mengajar cenderung hanya memakai
metode ceramah dan menganggap siswa sebagai objek, hal tersebut membuat
siswa hanya mendapatkan informasi secara pasif serta tidak berperan aktif di
dalam kelas.
Pembelajaran hanya berpusat pada peran guru menurunkan strategi
pembelajaran langsung (direct insruction). Sedangkan pendekatan
pembelajaran berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran
discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.4 Berdasarkan
kenyataan di atas, maka diperlukan sebuah strategi pembelajaran baru pada
3 Mahmud Yunus, Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1997), h. 9
4 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 2009), Cet. IV,
h. 247
4
mata pelajaran agama Islam yang lebih memperdayakan siswa. Sebuah
strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa untuk menghapal fakta-fakta,
tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan dalam benak mereka sendiri di antaranya dengan pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning).5
dalam masyarakat yang sesuai dengan bakatnya. Pengajaran ini dikenal
dengan kerja proyek John Dewey.6
Pendidikan agama Islam tidak dipandang sebagai salah satu mata
pelajaran yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif saja, melainkan
mencangkup afektif dan psikomotorik. Adapun yang pada awalnya materi
pendidikan agama Islam yang cenderung berpusat pada peran guru (teacher
sentered), kini dapat mendorong siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan
dalam benak mereka sendiri. Selain itu, setelah siswa dapat mengkonstrusikan
pengetahuan sendiri, mata pelajaran agama Islam pun perlu
dimplementasikan ke permasalahan lingkungan hidup dan dapat
mengembangkan minatnya sendiri, hal tersebut merupakan konsep John
Dewey.
Memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka perlu dan penting
dilakukan penelitian tentang, “Implementasi Konsep Pendidikan John
Dewey Pada Mata Pelajaran Agama Islam Dengan Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching And Learning)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat diidentifikasi beberapa masalah:
1. Pembelajaran agama Islam masih didominasi oleh guru (teacher
centered)
2. Prestasi belajar pada mata pelajaran agama Islam siswa masih rendah
5 Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1997), h. 129
6 John Smith, Semangat Filsafat Amerika, (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1995), h. 137
5
3. Siswa kurang mampu menerapkan mata pelajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari
4. Konsep pendidikan John Dewey umumnya digunakan pada mata
pelajaran eksakta (matematika, biolgi, kimia, fisika)
Pembatasan Masalah Penelitian
Mengingat luasnya permasalahan yang telah diungkapkan dan agar
penelitian ini terarah dan operasional, maka masalah pokok yang akan diteliti
dibatasi pada:
1. Pembahasan konsep Pendidikan John Dewey
2. Pembahasan mengenai mata pelajaran agama Islam
3. pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
C. Rumusan Masalah Penelitian
Dari pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dibahas
dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana implementasi
konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam dengan
pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning)?”
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini adalah
sebagai berikut: Mengetahui implementasi konsep pendidikan John Dewey
pada mata pelajaran pendidikan agama Islam dengan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning).
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi guru, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan
pengetahuan dalam memilih strategi dan pendekatan pembelajaran yang
efektif dalam proses belajar-mengajar khususnya di bidang studi agama
islam.
6
2. Bagi Siswa, hasil penelitian ini dapat memudahkan siswa dalam
memahami pelajaran agama islam.
3. Bagi Penulis, Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan bekal ilmu
pengetahuan, bahwasanya konsep pendidikan John Dewey dapat
diterapkan pada mata pelajaran agama islam dengan pendekatan
kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Dan dapat
menerapkannya kelak dengan baik dalam proses kegiatan belajar-
mengajar.
7
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Pembelajaran Kontekstual
1. Pengertian Pendekatan Kontekstual
Menurut Wina Sanjaya Pertama, kontekstual menekankan kepada
proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar
dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
hubungan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengaitkan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa
materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan
mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat
memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi
pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk pada otak dan
kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi
kehidupan nyata.1
1 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Kencaana, 2008), h. 255
8
Pengertian tersebut disimpulkan oleh E. B. Johnson bahwa
kontekstual berarti “teralami” oleh siswa. pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.2
Pada saat pendekatan kontekstual, guru harus mampu menerjemahkan
keanekaragaman dalam proses belajar-mengajar, baik pemilihan materi,
penggunaan metode maupun setting pembelajaran. Hal semacam ini akan
lebih mengaktifkan siswa dan guru. Potensi dasar dari masing-masing akan
terdorong dan berkembang ke arah kemampuan baru. Melalui
pembelajaran ini, siswa menjadi tanggung jawab terhadap dunia mereka
dan sekitarnya. Mereka akan menggunakannya di kehidupan nyata
sehingga memiliki motivasi tinggi dalam belajar.3
Dengan demikian pendekatan kontekstual mengutamakan pada
pengetahuan dan pengalaman atau dunia nyata (Real World Learning),
berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, kreatif,
memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasikan, tidak
membosankan (Joyfull and Quantum Learning), dan menggunakan
berbagai sumber belajar. 4
2. Peran Guru dalam Pendekatan Kontekstual
Tugas guru dalam pendekatan kontekstual adalah membantu siswa
dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan
2 Elaine B. Johnson, op. cit., h. 20
3 Abdurrahman, Meaningful Learning Re-Invensi Kebermaknaan Pembelajaran, (Yogyakarta),
h. 92
4 Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), h. 57
9
strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai
sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi
siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada
teacher centered. Maka guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai
berikut.
a. Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari siswa
b. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses
pengkajian secara seksama.
c. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang
selanjutnya memilih dan mengaitkan dengan konsep atau teori yang
akan dibahas dalam pendekatan kontekstual
d. Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang
dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa
dan lingkungan hidup mereka.
e. Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya
nanti dijadikan bahan refleksi terhadap rencana pembelajaran dan
pelaksanaannya.5
3. Karakteristik Pendekatan Kontekstual
Dalam pembelajaran terdapat lima karakteristik penting dalam
menggunakan Kontekstual.
a. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari
tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh
dan memiliki keterkaitan satu sama lain.
b. Pendekatan kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru
itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai
5 Ibid, h. 36
10
dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan
detailnya.
c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami
dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain
tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan
tersebut beru pengetahuan itu dikembangkan
d. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya
harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak
perubahan perilaku siswa.
e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik
untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.6
4. Prinsip Pendekatan Kontekstual
Prinsip-prinsip (Contextual Teaching Learning) adalah sebagai
berikut.
a. Berpusat pada siswa, artinya bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar
(KBM) harus berpusat pada siswa, dimana siswa yang dibiarkan untuk
aktif menggali pengetahuan baru sedangkan guru hanyalah sebagai
fasilitator yaitu bertugas mengarahkan para peserta didik.
b. Pengetahuan adalah pengalaman yang bermakna dalam kehidupan.
Yaitu bahwa pengetahuan baru yang didapatkan peserta didik
merupakan pengalaman yang dapat bermanfaat dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari.
c. Siswa praktek, bukan menghafal. Dalam hal ini, proses pembelajaran
dilakukan dengan kegiatan peserta didik mempraktekan langsung
terhadap pengetahuan baru yang didapatnya, bukan dengan cara
menghafalkan pengetahuan yang sudah didapat.
6 Wina Sanjaya, loc. cit.
11
d. Hasil belajar berupa hasil karya siswa dan perubahan perilaku, artinya
bahwa dalam proses pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat
menghasilkan sebuah karya, baik itu berupa gambar maupun artikel
dan sebagainya. Selain itu, diharapkan setelah proses pembelajaran
berlangsung, peserta didik mengalami perubahan perilaku yang lebih
baik (positif).
e. Penilaian yang sebenarnya. Jadi pada intinya adalah yang dinilai dari
proses pembelajaran yaitu apakah peserta didik itu belajar, bukan apa
yang sudah diketahui peserta didik sehingga peserta didik dinilai
kemampuannya dengan berbagai cara tidak melalui dari hasil ulangan
tulis.
f. Model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak dan
konteks lingkungan. Bahwasanya pendekatan kontekstual mampu
menyesuaikan kondisi setempat dengan karakteristik peserta didik
sehingga tercipta keselarasan di antara keduanya yang kemudian akan
melahirkan lulusan yang mampu menghadapi dan memecahkan
masalah kehidupan.7
5. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pembelajaran
Tradisional.8
No Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Tradisional
1 Menyadarkan pada pemahaman
makna
Menyadarkan pada hafalan
2 Pemilihan informasi berdasarkan
kebutuhan siswa
Pemilihan informasi ditentukan
oleh guru
3
Siswa sebagai subjek belajar,
artinya siswa terlibat secara aktif
dalam proses pembelajaran
Siswa sebagai objek belajar,
siswa secara pasif menerima
informasi
4 Pembelajaran dikaitkan dengan Pembelajaran sangat abstrak dan
7 Elin Rosalin, op. cit., 30-31
8 Wina Sanjaya, op. cit., h. 261-262
12
kehidupan nyata/masalah yang
disimulasikan
teoritis
5
Selalu mengaitkan informasi
dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa
Memberikan tumpukan
informasi kepada siswa sampai
saaatnya diperlukan
6 Cenderung mengintegrasikan
beberapa bidang
Cenderung terfokus pada bidang
(disiplin) tertentu.
7
Siswa menggunakan waktu
belajarnya untuk mengaitkan,
berdiskusi, berpikir kritis atau
mengerjakan proyek dam
pemahaman masalah (melalui
kerja kelompok)
Waktu belajar siswa sebagian
besar digunakan untuk
mengerjakan buku tugas,
mendengarkan ceramah dan
mengisi latihan yang
membosankan (melalui kerja
individu)
8 Perilaku dibangun atas kesadaran
diri
Perilaku dibangun atas dasar
kebiasaan
9 Keterampilan dikembangkan atas
dasar pemahamannya
Keterampilan dikembangkan
atas dasar latihan
10 Hadiah dari perilaku baik adalah
kepuasan diri
Hadiah dari perilaku baik adalah
pujian atau nilai angka rapor
6. Sejarah Kontekstual dan Keterkaitan dengan John Dewey
Pendekatan kontekstual lahir dari paham konstruktivisme, yaitu
paham yang berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula
dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada pada peserta didik.
Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh
John Dewey pada tahun 1916. Dewey mengatakan bahwa pendidik yang
cakap harus melaksanakan proses pembelajaran sebagai proses penyusun
atau membina pengalaman secara berkesinambungan, serta menekankan
pada keikutsertaan peserta didik pada setiap aktivitas pembelajaran.
Konstruktivisme merupakan landasan filosofi CTL merupakan filosofi
13
belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal,
tetapi peserta didik harus mengonstruksikan pengetahuan dalam benak
mereka sendiri, dimana pengetahuan tidak dapat dipisahkan menjadi
sebuah fakta yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat
diterapkan.
Melalui landasan konstruktivisme, pendekatan kontekstual merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dengan mendorong siswa
untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupannya sehari-hari menjadi alternatif strategi
belajar yang baru.
Kemampuan otak untuk menemukan makna dengan membuat
hubungan-hubungan menjelaskan mengapa siswa yang didorong untuk
menghubungkan tugas-tugas sekolah dengan kenyataan saat ini. Dengan
konteks kehidupan keseharian maka mereka akan mampu memasangkan
makna pada materi akademik mereka sehingga mereka dapat mengingat
apa yang mereka pelajari.9
Maka Dewey menyarankan agar kurikulum dan metodologi
pembelajaran dikaitkan langsung dengan minat dan pengalaman siswa.
Kemudian model pembelajaran CTL dikembangkan oleh ahli-ahli
pendidikan dan bukanlah hal yang baru. John dewey mengatakan bahwa
model pembelajaran ini dikembangkannya pada tahun 1916 yang dikenal
dengan sebutan Learning by Doing, kemudian tahun 1970-an konsep
pembelajaran ini dikenal dengan Experiental Learning, pada tahun 1990
model pembelajaran ini dikenal dengan School to Work. Kemudian pada
era tahun 2000-an, sebutan model kontekstual ini lebih efektif
digunakan.10
9 Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual, (Bandung: PT. Karsa Mandiri
Persada, 2008), h. 24
10 Education Mantap, Sejarah Pembelajaran Kontekstual, 2014, (http://www.education-
mantap.blogspot.com), diakses tanggal 17 Agustus 2014
14
Terdapat salah satu karyanya John Dewey yaitu Democracy and
Education (1916) yang berkaitan dengan pendekatan kontekstual.
Pertama, Pendidikan adalah suatu transmisi yang dilakukan melalui
komunikasi. Komunikasi adalah proses dari penyatuan empiris dan proses
modifikasi watak hingga menjadi suatu keadaan pribadi. Hal ini
menggambarkan bahwa setiap rancangan sosial memiliki bagian penting
dari sebuah kelompok, dari yang tua hingga yang termuda. Untuk itu,
pentingnya komunikasi bagi anak ketika belajar karena hal itu berguna
untukya kelak dalam masyarakat. Hendaknya siswa dilatih dengan
menggunakan waktu belajarnya untuk mengaitkan, berdiskusi, berpikir
kritis atau mengerjakan proyek dalam memahami masalah (melalui kerja
kelompok). Kegiatan tersebut termasuk ciri dari pendekatan kontekstual.
Kedua, Pendidikan sebagai fungsi sosial. Manusia harus dapat
memecahkan permasalahannya sendiri, jika tidak bisa atau tidak mau
berusaha maka manusia akan kehilangan identitas dirinya sebagai makhluk
hidup. Maka anak-anak perlu pembelajaran yang dikaitkan dengan
kehidupan nyata/masalah. Pembelajaran yang dikaitkan dengan
permasalahan kehidupan yang berkembang di masyarakat, hal itu termasuk
ciri dari pendekatan kontekstual. Karena hal itu berguna ketika anak-
anak beranjak dewasa sehingga dapat memecahkan masalah dalam
kehidupannya.
Ketiga, sekolah-sekolah merupakan kesempatan yang besar bagi
penafsiran sebuah aktivitas di dalam pengajaran, dan mereka mungkin
memperoleh sebuah perasaan sosial atas kekuatan mereka sendiri dari
materi-materi serta peralatan-peralatan yang digunakan di sekolah.
Maksudnya sekolah adalah sarana bagi anak mengetahui makna kegiatan
dalam pembelajaran dan pengajaran. Melalui materi-materi serta peralatan-
peralatan yang digunakan di sekolah memungkinkan mereka
mengaplikasikannya di kehidupannya. Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,
15
bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hal itu termasuk ciri
dari pendekatan kontekstual11
Keempat, Pengetahuan adalah pengalaman yang bermakna dalam
kehidupan. Belajar melalui pengalaman-pengalaman yang biasa
dilakukannya. Pengalaman yang telah didapat bermanfaat dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari. Melalui kebiasaan tersebut akan
memberikan pelajaran untuk lebih memanfaatkan lingkungan sesuai
dengan keinginan manusia. Kebiasaan tersebut dapat menghasilkan
pemikiran/riset dan membuat tujuan-tujuan yang baru. Potensi dasar dari
masing-masing individu akan terdorong dan berkembang ke arah
kemampuan baru. Hal tersebut selaras dengan prinsip pendekatan
kontekstual.
Kelima, Pendidikan adalah mempersiapkan atau mendapat kesiapan
untuk menjawab tugas atau tanggung jawab mendatang. Hendaknya dalam
proses pembelajaran memberi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
untuk bekal anak ketika dewasa. Hal ini sangatlah berguna agar anak kelak
mengetahui tanggung jawab dan hak-hak kehidupan dewasa. Melalui
pembelajaran ini, siswa menjadi tanggung jawab terhadap dunia mereka
dan sekitarnya. Karena pada dasarnya pendidikan mempersiapkan anak
dalam menghadapi tugas atau tanggung jawab di masa yang akan datang.
Hal tersebut selaras dengan hakikat pengertian pendekatan kontekstual.12
Pada era selanjutnya pendekatan kontekstual (Contextual Teaching
and Learning) dikembangkan oleh The Washington State Consortium for
Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi,
20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan
di Amerika Serikat.
Pada saat departemen pendidikan Amerika mendanai proyek yang
dinamai Recruiting New Teacher yang bertujuan membangun tenaga kerja
11 John Dewey, Democracy and Education, EBook #852, 2010, h. 1,
(http://www.gutenberg.org/files/852/852-h/852-h.htm), diakses tanggal 28 Januari 2014
12 Ibid, h. 36
16
guru untuk sekolah-sekolah perkotaan (U.S Departement of
Education/DEO, n.d), kebanyakan sekolah Amerika terus mengikuti
praktik-praktik tradisional, dan akibatnya mengecewakan bagi kemajuan
para siswa. Kekurangan-kekurangan ini telah digambarkan dalam berbagai
laporan pemerintah selama lebih dari 15 tahun. Berikut ini adalah
beberapa cuplikan laporan mengenai keterbatasan yang ditimbulkan oleh
pendidik tradisional di Amerika.13
a. Sekolah-sekolah Amerika tidak hanya mengecewakan bagi remaja-
remaja berusia antara 16 dan 18 tahun yang meninggalkan sekolah,
tetapi mereka juga merugikan orang-orang yang sudah 2 dan 4 tahun
kuliah di akademi dan perguruan tinggi. Sudah bukan rahasia lagi
bahwa sebagian besar mahasiswa tahun pertama di kampus tanpa
persiapan melakukan perkuliahan. Biasanya para mahasiswa ini dibatasi
oleh kosakata yang miskin sehingga mereka tidak mampu memahami
teks yang lebih rumit ataupun menemukan hal-hal yang agak
tersembunyi. Mereka sering melewatkan detail-detail penting dan
jarang memahami logika dari suatu pendapat tertulis. Karena mereka
sulit memahami bacaan, banyak mahasiswa tahun pertama yang
mengalami kesulitan menghadapi tugas membaca yang biasanya
diberikan di perkuliahan. Tak heran kebanyakan perguruan tinggi dan
universitas Amerika menawarkan kelas-kelas perbaikan bahasa Inggris.
Tak heran banyak mahasiswa yang drop out.
b. Para mahasiswa yang mengikuti program D-2 politeknik kerap kali
tampil lebih baik daripada mahasiswa tahun pertama perguruan tinggi
tradisional. Lagi pula, para mahasiswa politeknik belajar berbagai
keterampilan praktis yang membuat mereka lebih siap kerja. Karena
terlatih sebagai operator televisi, montir mobil, koki dan pekerja
konstruksi, mereka dapat memperoleh pekerjaan. Namun, mereka
menyelesaikan pendidikan kejuruan tanpa pengetahuan akademis yang
13 Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar
Mengajar Mengasyikan Dan Bermakna, (Terj. Ibnu Setiawan), (Bandung: Mizan Learning Center,
2007), h. 38-42
17
diharapkan oleh para pemberi kerja. Menjadi semakin jelas dapat
dibuktikan dari iklan-iklan lowongan pekerjaan dan deskripsi
pekerjaannya bahwa di dalam era tekhnologi yang cepat berubah ini,
para pemberi pekerjaan menginginkan para pekerja mampu
menghitung, membaca, mendengarkan dengan seksama, berbicara
dengan jelas, menulis dengan baik dan benar, bertanggung jawab,
membuat keputusan, memecahkan masalah, belajar sendiri dan bekerja
kelompok. Singkatnya, mereka mengharapkan para pekerja memiliki
keterampilan dan kompetensi dasar. Di samping situasi lain juga tidak
membantu. Biasanya para pengajar terlalu sibuk mengajar kelas-kelas
sepanjang hari hingga mereka tidak mempunyai waktu untuk mengenal,
atau berbicara kepada setiap siswa. Tambahan lagi karena di dalam
sistem tradisional kelas-kelas biasanya hanya berlangsung selama 45
sampai 50 menit, mereka tidak memberikan waktu untuk siswa
bertanya, berdiskusi, berpikir kritis, mencari tahu atau bahkan terlibat
dalam proyek kerja nyata dan pemecahan masalah. Waktu siswa hanya
dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajar, dan
mengerjakan latihan-latihan yang membosankan. Akibatnya siswa
mengikut ujian bukan karena pemahaman siswa melainkan mengukur
kemampuan siswa menghafal fakta.
Menyadari bahwa sekolah kerap kali gagal maka desakan yang kuat
untuk reformasi yang mengusung pembelajaran baru terhadap pendidikan
yang kemudian dikenal sebagai CTL, CTL memiliki kemampuan untuk
memperbaiki beberapa kekurangan yang paling serius dalam pendidikan
tradisional. Desakan ini disuarakan pada tahun 1983 dalam sebuah
makalah, A Nation A Risk: The Imperative for Educational Reform
(Negara dalam Bahaya: Perlunya Dilakukan Reformasi Pendidikan).
Kemudian diselenggarakannya pertemuan tingkat tinggi mengenai
pendidikan pada tahun 1989 di Charlottesville, Virginia yang dihadiri oleh
para gubernur negara bagian dan presiden Amerika Serikat. Mereka yang
menghadiri pertemuan tersebut menginginkan sasaran-sasaran nasional
18
harus telah dicapai pada tahun 2000. Sasaran-sasaran yang harus dicapai
pada tahun 2000 itu antara lain seperti berikut:
a. Semua anak Amerika akan memulai sekolah dalam keadaan siap belajar
b. Tingkat kelulusan sekolah menengah ke atas akan meningkat hingga
setidaknya 90%
c. Siswa-siswa Amerika akan lulus dari kelas empat, delapan dan dua
belas setelah menunjukkan prestasi menonjol dalam pelajaran-pelajaran
yang menantang termasuk bahasa Inggris, matematika, ilmu
pengetahuan, sejarah dan geografi dan setiap sekolah di Amerika
dengan baik untuk mempersiapkan diri menjadi warga negara yang
bertanggung jawab untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
selanjutnya dan agar bisa menjadi pekerja produktif dalam ekonomi
modern.
d. Semua orang dewasa Amerika akan bisa baca tulis dan akan memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing dalam
ekonomi global dan menjalankan hak serta tanggung jawab
kewarganegaraan.
e. Semua sekolah di Amerika akan bebas narkoba dan bebas kekerasan
serta akan memberikan lingkungan penuh disiplin dan kondusif untuk
belajar.14
B. Konsep Pendidikan John Dewey
1. Biografi John Dewey
John Dewey dilahirkan di Burlington, Vermont pada tanggal 20
Oktober 1859 sebagai anak seorang pemilik toko. Seusai Dewey mendapat
diploma ujian kandidat di Universitas Vermont (1879) ia menjadi guru
selama 2 tahun. Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan
mendapatk
an gelar doktor filsafat (Ph.D) di Universitas John Hopkins (1884).
Kemudian ia diangkat menjadi dosen, lalu asisten profesor dan kemudian
14 Elin Rosalin, op. cit., h. 20-22
19
profesor di Michigan. Kemudian dia pergi ke Universitas Chicago dan
mengajar di sana sebagai profesor filsafat (1894).15
Sebagai profesor filsafat di Chicago, ia juga memimpin bagian
pedagogik dan mendirikan suatu sekolah untuk menguji dan
mempraktekan teorinya. Sekolah yang didirikan Dewey bukanlah suatu
sekolah model, melainkan sekolah percobaan yang digabungkan pada
universitasnya di Chicago.
Sekitar tahun 1904 sampai 1931 dia meninggalkan universitas
tersebut, lalu pergi ke Universitas Colombia di New York. Ketika
mengajar di Universitas Colombia, ia mempunyai banyak waktu luang
untuk melakukan penelitian dan melakukan perjalanan ke Eropa dan Asia.
Dia mengunjungi Cina dan Jepang, pertemuan tersebut sangatlah penting
terlebih ketika ia di Japan memberikan penyuluhan mengenai
Reconstruction in philosophy (merekonstruksi filsafat). Pada tahun 1924
Dewey mengunjungi Turki, dimana ia membuat organisasi Turkish
Educational System. Dua tahun kemudian saat musim panas dia bergabung
dengan Universitas Mexico. Pada tahun 1928 dia mengunjungi Rusia dan
melakukan perbaikan sistem pendidikan disana. Dewey tinggal di New
York lebih dari 40 tahun sampai dia pensiun dari mengajar dalam tahun
1930. Dan akhirnya Dewey meninggal di kota ini pada tanggal 1 Juni
1952.16
2. Karya-karya John Dewey
Selama bergabung di Universitas Colombia ia aktif di bidang filsafat
dan melanjutkan. Di sini terciptalah buku-bukunya yang termasyhur.
Dalam bidang filsafat, buku John Dewey yang paling penting adalah
Experience and Nature, The Quest for Certainty, Logic, Essays in
Experimental Logic dan masih banyak yang lainnya. Dalam dunia
15 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2001), h. 149
16
Ibid., h. 150
20
pendidikan, School and Society, Democracy and Education keduanya
merupakan buku John Dewey yang dikatakan spesial.
Dewey mengenalkan filsafat sosialnya dengan karyanya yang terbaik
Character and Events, dan Freedom and Culture. Dia juga membahas
tentang filsafat politik melalui karyanya The Public and its Problems.
Dewey juga berkontribusi dalam bidang seni dan diungkapkannya dengan
karyanya Art as Experience. Dalam bidang agama ada karyanya yang
berjudul A common faith is most vital, namun jarang ditemui karya John
Dewey yang membahas agama.17
3. Pandangan Hidup (Falsafah) John Dewey
Sebelum memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan
pengajaran, sebaiknya dibentangkan terlebih dahulu tentang dasar pokok
dari pandangan hidupnya. Karena menurut pendapat Dewey bahwa filsafat
serta pendidikan itu tidak dapat dipisahkan dan filsafat merupakan dasar
dari teori pendidikan. Pandangan hidup John Dewey meliputi beberapa
teori sebagai berikut:
a. Dasar pokok dari filsafatnya ialah teori evolusi dari Darwin, Dalam
tahun lahir Dewey (1859) diterbitkan buku Ch. R. Darwin (1809-1882)
On The Origin of Species by Means of Natural Selection tentang asal
mula jenis disebabkan seleksi alam. Dalam pokoknya teori evolusi itu
mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai
dari tingkatan terendah dan selalu berkembang maju serta meningkat.18
Pandangan Darwin tentang manusia sebagai makhluk yang berubah
dan berkembang di tengah-tengah suatu lingkungan yang melindungi
dan sekaligus mengancam kehidupannya adalah sesuatu yang
menentukan bagi Dewey. Makhluk hidup dan lingkungan,
perkembangan dan perjuangan, kekhawatiran dan ketenangan
merupakan unsur-unsur campuran dalam pemikirannya. Inilah
17 Fredrick Mayer, A History of Modern Philosophy, (California: University of Redlands,
2000), h. 537
18 Soejono, op. cit., h. 127
21
konsepnya yang paling sentral yaitu memahami pengalaman dan
hubungannya dengan alam tak lain dari memahami makna.
Menjelaskan teori John Dewey tentang pengalaman berarti mulai
memasuki konsepnya tentang manusia. Dewey menekankan bahwa
manusia pada dasarnya adalah organisme yang berkembang dalam
waktu, dan ciptaan yang kehidupannya dapat dilukiskan paling jelas
dalam hubungan masyarakat.19
Maka tiap orang sebagai unsur
masyarakat dan suatu mata rantai satu masa ke masa yang lain wajib
ikut bekerja untuk kemajuan masyarakatnya. Begitulah kemajuan
masyarakat itu hanya dapat dicapai dengan kerja dan kerjasama dalam
filsafat Dewey.
b. John Dewey pula penganut teori pragmatisme atau dapat disebut
dengan progressivisme. Teori ini secara garis besarnya mengatakan
bahwa ukuran untuk segala perbuatan memiliki manfaat dalam setiap
prakteknya dan hasil yang dapat memajukan hidup.20
Pandangan-
pandangan penganut pragmatisme dianggap sebagai “The Liberal Road
to Culture”. Liberal dimaksudkan sebagai fleksibel, berani, toleran dan
bersikap terbuka. Penganut pragmatisme tidak hanya memegang sikap
tersebut melainkan juga bersifat penjelajah, peneliti secara continue
demi pengembangan pengalaman. Progressivisme menganggap
pendidikan sebagai cultural transition. Progressivisme percaya bahwa
pendidikan dapat menolong manusia dalam menghadapi priode transisi
antara zaman tradisional yang segera berakhir, untuk siap memasuki
zaman modern yang segera kita masuki.
Dewey berkata, filsafat klasik menggambarkan bahwa dalam alam
terdapat tata tertib feodalisme keluarga, kekeluargaan. Kata hukum
“alam” menunjukan asal sosial dari kategori-kategori filsafat tersebut.
Tiap masyarakat membentuk diri dengan gambarannya sendiri. Oleh
karena itu, ilmu pendidikan John Dewey lebih condong untuk
19 John Smith, loc. cit.
20
Soejono, op. cit., h. 127
22
membentuk manusia yang dapat mengabdi pada masyarakat.
“pertumbuhan adalah satu-satunya tujuan dari moral.21
Ciri utama dari progressivisme yakni mempercayai manusia
sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan
lingkungan hidupnya yang multikompleks dengan kemampuan dan
kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan itu manusia dapat
memecahkan semua problemanya secara inteligen, dengan inteligensi
aktif. Dan dalam makna ini, maka arti liberalisme di atas berarti
menghormati martabat manusia, menghormati harga diri manusia
sebagai subjek di dalam hidupnya. Dalam arti demokrasi, pandangan-
pandangan progressivisme merupakan cara berpikir liberal yang
memberi kemungkinan dan pra syarat bagi perkembangan tiap pribadi
manusia sebagaimana potensi yang ada padanya.22
c. Dalam hal kejiwaan ia menganut teori behaviorisme (teori hal tingkah
laku). Beberapa pengertian pokok mengenai behaviorisme diantaranya:
1) Kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam.
2) Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi atas
perangsang (stimulus) dari luar. Stimulus-respons merupakan
perangsang langsung yang menimbulkan reaksi.
3) Perbuatan manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan
hidupnya. Lingkungan hidup ini terus menerus merupakan
perangsang, dan perangsang dapat dilihat melaui kebiasaan.
Begitulah perbuatan manusia merupakan deretan kebiasaan. Manusia
adalah makhluk refleks atau makhluk kebiasaan.
Alam sekitar atau lingkungan hidup kita selalu mengandung bahaya
dan menimbulkan berbagai kesulitan yang menghambat kemajuan, jika
kita tidak dapat mengatasinya bahaya itu akan selalu ada dan berganti-
ganti sifatnya sesuai dengan masyarakat yang selalu berubah pula.
Zaman dahulu banjir dan binatang buas, lalu sekarang lalu lintas,
21 Rosjidi, Mencari Agama pada Abad XX Wasiat Filsafat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986),
h. 121
22 Muhammad Noor Syam, op. cit., h. 227
23
perang total, udara dan air kotor, kepadatan penduduk dan sebagainya
yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Kita wajib bertindak
guna mengatasi kesulitan dari luar dengan kerja badan atau rohani,
terutama pikir. Kita harus berfikir dan bekerja, karena berpikir tidak
lain adalah reaksi atau perangsang dari luar, yaitu kesulitan. Dengan ini
jelaslah bahwa dasar ilmu kejiwaan dari John Dewey itu behaviorisme.
Ternyata bahwa berbuat atau bekerja itu termasuk proses dalam
evolusi. Dan barang siapa tidak dapat mengatasi kesulitan atau berbuat
yang tidak bermanfaat guna menyesuaikan diri dengan alamnya, jadi
kalah dalam perjuangan untuk hidup (The Struggle for Live) dan akan
tenggelam atau lenyap dari masyarakat. Ia terseleksi oleh alam dan
disingkirkan. Tinggallah yang kuat, artinya yang dapat bertahan
menyesuaikan diri dengan alamnya atau lingkungan hidup maupun
ekologinya (The Survival of The Fittest).23
4. Konsep Pendidikan John Dewey
Menurut Dewey tidak diutamakan pendidikan kecerdasan, tetapi
pendidikan sosial dan kesusilaan. Kecerdasan penting tetapi bukanlah hal
yang utama, tetapi pendidikan kemasyarakatan dan kesusilaan. Pendidikan
kemasyarakatan dan pendidikan kesusilaan menurut Dewey amat erat
kaitannya. Dan untuk mencapai pendidikan kemasyarakatan dan
pendidikan kesusilaan, John Dewey menginginkan pendidikan untuk anak
berdasarkan atas 2 segi yaitu psikologi dan sosiologi.
a. Dasar Psikologi. Cara memberi pengajaran wajib disesuaikan dengan
tingkatan perkembangan, cara berfikir dan cara bekerja anak.
Penentuan bahan pengajaran wajib disesuaikan dengan perhatian dan
keperluan anak, sebagai akibat dari instingnya. Maka segala sesuatu
23Soejono, op. cit,. h. 128
24
wajib disesuaikan dengan insting anak.24
Dewey mengenal 4 macam
insting, yaitu:
1) Insting sosial. Insting sosial yang dimaksud oleh Dewey ialah
keinginan anak mengadakan hubungan dengan orang di sekitarnya.
Insting sosial sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak
didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman
lingkungan sekitarnya. Kita amati ketika anak bermain bersama
dengan temannya jika tidak ada teman, anak akan sulit bermain.
Alat permainan saja belum cukup untuk anak, ia masih
memerlukan temannya untuk bermain bersama. Ada alat
penghubung sosial yang dipergunakan dalam pergaulan, yaitu
bahasa. Bahasa tidak hanya menjadi alat penghubung dalam
pergaulan anak, tetapi juga untuk generasi yang lampau 25
Anak adalah organisme yang mengalami satu proses
pengalaman, sebab ia merupakan bagian integral dari
lingkungannya dengan peristiwa-peristiwa, antar hubungan,
perasaan pikiran dan benda-benda. Anak dalam lingkungannya
selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sehingga anak
membutuhkan proses pendidikan untuk latihan dan penyempurnaan
inteligensi. Sekolah merupakan lembaga pendidikan pembinaan
anak yang paling efektif, jika sekolah tersebut didasarkan pada
prinsip-prinsip pendidikan yang tepat.26
2) Insting menyelidiki. Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa
anak itu suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Alat
permainan yang dibeli mahal oleh orang tua untuknya sebentar saja
ia rusak, karena anak ingin menyelidiki seluk beluk. Ia ingin
mengetahui apa sebabnya mobilnya dapat berjalan? apakah isi
24 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John
Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), Cet. I, h. 71
25 Soejono, loc. cit.
26
Muhammad Noor Syam, op. cit., h. 249-250.
25
perahunya? apakah bonekanya juga berdarah seperti dirinya apabila
ditusuk pisau dan sebagainya.
3) Insting kesenian. Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting
membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannnya, agar
menjadi lebih baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru
saja selesai tidak ditinggalkan begitu saja; rumah itu dihias dengan
berbagai alat, bendera, daun, tanaman, gambaran,dan sebagainya.
Kesukaan anak untuk menari, menyanyi, menggambar dengan
warna menambah bukti bahwa pada anak ada insting kesenian itu.
b. Dasar Sosiologi. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan
pengajaran adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota
masyarakat berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib
dibimbing ke arah itu. Bahan pengajaran perlu diambil dari problem
masyarakat. Dewey pula menemukakan tentang gagasan
pemikirannya, yaitu pendidikan seluruh rakyat, pendidikan suatu
bangsa, dan melalui keduanya pendidikan suatu zaman. Hal ini
merupakan usaha untuk mengarahkan kembali seluruh kebudayaan
pada suatu taraf yang paling mendasar yakni transformasi sosial.
Transformasi sosial yaitu perubahan kondisi sosial, ekonomi dan
politik secara mendasar. Hal ini akan berhasil jika seluruh penduduk
dilibatkan.27
5. Sekolah Kerja John Dewey
Sekolah yang dikehendaki John Dewey adalah sekolah kerja. Sekolah
percobaan yang didirikan pada bulan Oktober tahun 1895 dan
digabungkan pada Universitas Chicago itu berkembang baik.kira-kira 60
tahun sesudah didirikan sekolah itu sudah kurang lebih 800 orang
muridnya. Dewey memberikan nama sekolah percobaannya dengan nama
sekolah progressif. Maksud dengan nama itu hendak dikemukakan bahwa
metode dan alat-alat pelajaran yang digunakan sekolah itu senantiasa
27 John Smith, op. cit., h. 138
26
merupakan yang terbaik. Nilai dari setiap alat akhirnya akan ditentukan
dari hasil yang diperoleh.
Metode yang digunakan pada sekolah progressif itu kadang-kadang
memang agak ganjil tampaknya. Murid-murid disuruh belajar
memecahkan soal-soal yang dihadapinya. Latihan-latihan wajib pula
diberikan supaya anak dapat menaklukkan segala kesulitan yang mungkin
dihadapinya kelak. Sekolah mengajarkan anak untuk berpikir perihal
segala sesuatu yang mengandung nilai bagi hidup kita. Berpikir itu
mungkin hanya sesudah anak menerima bekal pengetahuan yang cukup
dari kita. Jadi, seharusnyalah kita memilih masalah-masalah yang tepat di
sekolah percobaan. Masalah-masalah itu terdapat di berbagai lapangan.
Sekolah percobaan selalu berikhtiar supaya anak menggunakan segala
sesuatu yang dianugerahkan alam kepadanya ketika dilahirkan. Ia harus
maju, karena itu anak harus bekerja bersungguh-sung
guh. Anak-anak di sekolah percobaan umumnya tak banyak menimbulkan
kesulitan karena murid diajak mencapai tujuannya dengan jalan
menggerakan perhatiannya. Selain itu, ditujukan kepadanya faedah belajar
dan bekerja. Hal itu ditunjukkan kepadanya faedah belajar dan bekerja.
Hal itu membangkitkan dan mengukuhkan perhatian pula. Karena itu guru
perlu memahami arah perhatian murid-muridnya dan pandai menggunakan
perhatian.28
Sebagaimana sekolah kerja John Dewey yang telah
dipaparkan di atas, maka Dewey mengkritik sekolah tradisional mengenai:
a. Bahan pengajaran. Di sekolah tradisional terlalu banyak mata pelajaran
yang diajarkan, karena tujuan sekolah tradisional ialah agar para siswa
kelak dapat menduduki jabatan intelektual. Bahan materi pelajaran
menjadi pusat (materi-sentris). Itu tidak sesuai dengan kenyataan,
karena hanya sebagian kecil saja yang terdapat pada bahan materi
pelajaran dibutuhkan untuk masa yang akan datang.
28 Siahaan, Prof. Dr. John Dewey, Penganut Filsafat Pragmatisme Penganjur Sekolah Karya,
(Jakarta: KU, 1985), h. 67-68
27
Maka perlulah mata pengajaran yang banyak jumlahnya dan
menimbulkan pendidikan intelektual itu dikurangi dan diganti dengan
pengajaran dan latihan bekerja. Dewey berkata: Tidak hanya dengan
berhitung orang dididik berfikir, melainkan juga dengan bekerja.
Dengan bekerja berupa apapun, pikiran dan intelegensi orang dapat
dididik.29
Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada
anak didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan
berfikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan agar orang dapat maju atau
mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak
dengan intelegen sesuai degan tuntutan dari lingkungan.30
Pengetahuan yang diberikan di sekolah tradisional kepada murid
merupakan pengetahuan yang telah disiapkan dan telah terpecahkan
kesulitannya terlebih dulu oleh orang dewasa, Anak tinggal
mendengarkan, percaya dan menghafal saja. Itu tidak ada gunanya.
Anak harus mengalami peroses berfikir sendiri dari permulaan hingga
akhir, sesuai dengan tingkat kemajuannya sendiri. Karena itu janganlah
guru berfikir dan memecahkan masalah untuknya. Hal ini menjadikan
siswa lebih mempunyai potensi untuk mengerti, memecahhkan
problem, komunikasi dan daya cipta.
Bahan pengajaran di sekolah tradisional diberikan secara terpisah.
Mata pengajaran tidak memiliki hubungan dengan mata pengajaran
yang lain. Bahan pengajaran yang diberikan di sekolah tidak ada
hubungannya dengan kebutuhan anak dalam hidupnya di masyarakat.
Karena itu pengalaman yang didapatkan anak di sekolah tidak dapat
digunakan dalam masyarakat. Begitulah pengajaran teori di sekolah
dengan praktek dalam kehidupan di masyarakat terpisah, sekolah
diisolasikan. Keadaan itu wajib diubah. Mata pengajaran yang satu
wajib dihubungkan denga mata pengajaran lain. Bahan pengajaran di
29 Soejono, op. cit., h. 133
30
Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 77
28
sekolah wajib dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, sesuai
dan memenuhi kebutuhannya.31
Murid perlu diberikan kesempatan untuk belajar dari pengalaman
yang pernah dialaminya, kemudian diintegrasikan dengan teori yang
anak dapati di sekolah. Siswa wajib disadarkan bahwa pengajaran di
sekolah serta pengalaman yang ia alami akan diterapkan di dalam
kehidupan yang selalu berubah.32
b. Guru dan cara mengajar. Di sekolah tradisional gurulah yang
menentukan segala sesuatu. Gurulah yang memaksakan bahan
pengajaran kepada anak, berfikir untuk anak, memecahkan masalah
untuk anak, guru yang senantiasa aktif. Dengan begitu tidak mungkin
anak mempunyai perhatian yang spontan atau minat langsung. Bahkan
siswa hanya memperhatikan secara terpaksa karena guru menakuti
siswa dengan berbagai hukuman.
Menurut Dewey, tidak perlu adanya minat paksaan, sebab kecuali
minat tidak langsung ditimbulkan pada anak. Misalkan anak menyukai
ilmu alam, tetapi untuk mendapatkan ilmu alam itu dengan baik
perlulah ia berhitung. Berhitung yang tidak disukai anak. Untuk itu,
guru wajib membangkitkan semangat anak untuk berhitung dengan
menyadarkannya anak bahwa berhitung itu penting untuk ilmu alam.
Maka bagaimanapun sulitnya berhitung, anak tersebut harus
mempelajari berhitung dengan sebaik-baiknya demi ilmu alam yang ia
sukai. Adanya integrasi antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu
pengetahuan matematika. Guru di sekolah hanya berfungsi sebagai
penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak untuk dapat
mengetahui hal yang menarik minat anak.33
c. Murid dan cara belajar. John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran
tradisional, dimana terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat,
hafal), murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya menerima
31 Soejono, op. cit., h. 134
32
Jalaluddin dan Abdullah, loc. cit.
33 Soejono, op. cit., h. 135
29
pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa
secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru mendominasi
kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sama sekali untuk
bersikap dan berbuat. Segala sesuatu terletak di luar minat anak.34
Keadaan semacam itu wajib diubah. Anak harus bekerja bersama-
sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik
kesimpulan sendiri, membangun sendiri sesuai dengan insting yang ada
padanya. Dengan jalan ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja
sambil belajar. Learning by doing adalah hal yang dikehendaki John
Dewey dalam sekolah.
Anak harus dididik kecerdasannya, agar padanya timbul hasrat
untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berpikir secara
keilmuan, obyektif dan logis. Yang diperhatikan adalah jalan berpikir,
bukan yang dipikirkan. Jadi pendidikan formal bukan materil yang
dialami sebagai pengalaman negatif haruslah disadari dan dijadikan
suatu pengalaman positif dengan mengubah cara bertindak.
d. Penyelenggara sekolah. Alat pelajaran dan peraturan di sekolah
tradisional seakan-akan memaksa anak untuk pasif, dari segi perbuatan
di sekolah yang begitu kaku maupun bentuk bangunan sekolah, rencana
pelajaran, dan metode pelajaran. Hal tersebut bersifat mengikat, tidak
memberikan kebebasan kepada anak maupun guru. Karena itu, sekolah
terpisah dari rumah, alam sekitar, lingkungan hidup, perindustrian,
perdagangan dan sebagainya. Tidak ada kesempatan untuk mengadakan
penyelidikan (survey) dan percobaan. Jumlah mata pelajaran terlalu
banyak dan dalam kelas terlalu banyak murid.
Sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahnya
agar anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat
pengajaran wajib disesuaikan dengan tujuan itu antara berbagai
tingkatan sekolah, dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi harus ada
34 Jalaluddin, Abdullah, loc. cit
30
satu organisasi yang sama.35
Pendapat John Dewey tentang sekolah
kerja ini sesuai dengan prinsip filsafat aliran progressivisme mengenai
pendidikan, tertera dalam tabel berikut ini:
Teori Pendidikan menurut aliran progressivisme36
No Komponen Keterangan
1
Hakekat
Pendidikan
Menghendaki pendidikan yang pada
hakekatnya progresif, tujuan pendidikan
hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi
pengalaman yang terus menerus, agar peserta
didik dapat berbuat sesuai inteligen dan
mampu mengadakan penyesuaian dan
penyesuaian kembali sesuai dengan tuntunan
dari lingkungan
2 Tujuan
Pendidikan
Siswa memiliki keterampilan, alat dan
pengalaman sosial (interaksi dengan
lingkungan)
Siswa memiliki kemampuan problem solving
(personal maupun sosial).
Tujuan pendidikan keseluruhan adalah melatih
anak agar kelak dapat bekerja. Bekerja secara
sistematis, mencintai kerja dan bekerja dengan
otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendidikan harusnya merupakan
pengembangan sepenuhnya bakat dan minat
setiap anak.
3 Kurikulum Kurikulum dibangun dari pengalaman
personal dan sosial siswa.
35 Soejono, op. cit., h. 137
36
Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakarta:Stain PO Press,
2010), Cet. I, h. 43-46
31
Ilmu sosial sebagai bidang inti untuk problem
solving
Keterampilan komunikasi, proses matematika,
scientific inquiry secara interdisipliner sebagai
alat problem solving.
Buku sebagai alat proses belajar, bukan
sebagai pengetahuan pokok
Kurikulum pendidikan progresif adalah
kurikulum yang berisi dari Lester Dix adalah
berisi studi tentang dirinya sendiri, studi
tentang lingkungan sosial, studi tentang
lingkngan alam dan studi tentang seni.
4 Metode
Metode belajar aktif. Metode pendidikan
progresif lebih berupaya penyediaan
lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan
berlangsungnya proses belajar secara bebas
pada setiap anak untuk mengembangkan bakat
dan minatnya.
Metode memonitor kegiatan belajar.
Mengikuti proses kegiatan-kegiatan anak
belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-
bantuan tertentu apabila diperlukan yang
sifatnya memperlancar proses berlangsungnya
kegiatan-kegiatan belajar tersebut.
Metode penelitian ilmiah. Pendidikan
progresif merintis digunakannya metode
penelitian ilmiah yang tertuju pada
penyusunan konsep, sedangkan metode
pemecahan masalah lebih tertuju pada
pemecahan masalah-masalah kritis.
32
Pemerintahan pelajar. Pendidikan progresif
memperkenalkan pemerintahan pelajar dalam
kehidupan sekolah (student goverment) dalam
rangka demokratisasi dalam kehidupan
sekolah, sehingga pelajar diberikan
kesempatan untuk turut serta dalam
penyelenggaraan kehidupan di sekolah.
5 Pelajar
Pendidikan berpusat pada anak. Anak
merupakan pusat dari keseluruhan kegiatan-
kegiatan pendidikan. Sebab mengajar yang
bermutu berarti aktivitas siswa,
pengembangan kepribadian siswa, studi
ilmiah tentang pendidikan dan latihan guru
sebagai seniman pendidikan.
Anak adalah unik. Pendidikan progresif
sangat memuliakan harkat dan martabat anak
dalam pendidikan. Anak bukanlah orang
dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah anak
yang sangat berbeda dengan orang dewasa.
Setiap anak mempunyai individualitas sendiri;
anak mempunyai alur pemikiran sendiri,
mempunyai keinginan sendiri, mepunyai
harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan
sendiri, yang berbeda dengan orang dewasa.
Dengan demikian anak harus di perlakukan
berbeda dari orang dewasa.
6 Pengajar
Pembimbing dalam proyek dan aktivitas
problem solving.
Guru dalam melakukan tugasnya dalam
praktek pendidikan berpusat pada anak
33
peranan-peranan sebagai (a) Fasilitator, atau
orang yang menyediakan dirinya untuk
memberikan jalan bagi kelancaran proses
belajar sendiri siswa; (b) Motivator, atau
orang yang mampu membangkitkan minat
siswa untuk terus belajar sendiri. (c)
Konselor, atau orang yang dapat membantu
siswa menemukan dan mengatasi sendiri
masalah-masalah yang di hadapi setiap siswa
dalam kegiatanya belajar sendiri. (d) guru
mempunyai pemahaman yang baik
tentang karakterristik siswa, dan teknik-
teknik memimpin perkembangan siswa, serta
kecintaan pada anak agar dapat melaksanakan
peranan-peranan yang baik. Untuk itu guru
harus sabar, fleksibel, interdisipliner, cerdas
dan kreatif
C. Pendidikan Agama Islam
i. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal dalam
kehidupan manusia. Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukan
warna pendidikan tertentu, yakni pendidikan yang berwarna islam,
pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena
Islam merupakan agama yang menasibkan belajar sejak kecil, tanpa
membedakan ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu alam, kecuali dari segi
kebutuhan, kemampuan dan spesialisasi.
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
34
terbentuknya kepribadian yang utama.37
Bilamana pendidikan diartikan
sebagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) demi terbentuknya
kepribadian yang utama. Maka makna dari pendidikan agama Islam adalah
suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan
yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedoman
seluruh aspek kegiatan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi.
Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap oleh pendidikan
agama Islam, maka pendidikan Islam tidak menganut sistem tertutup
melainkan terbuka tehadap tuntutan kesejahteraan umat manusia, baik
tuntutan bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi maupun tuntutan
pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah.
Oleh karena itu ditinjau dari aspek pengamalannya pendidikan Islam
berwatak akomodatif kepada tuntutan kemajuan zaman yang ruang
lingkupnya berada di dalam kerangka acuan norma-norma kehidupan
Islam. Hal demikian akan nampak jelas dan teorisasi pendidikan Islam
yang dikembangkan.38
Pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan
salah satu mata pelajaran yang dikembangkan pada pendidikan dasar
disamping mata pelajaran lainnya. Masing-masing mata pelajaran memuat
pesan-pesan normative yang ditanamkan kepada peserta didik.39
Guru pendidikan agama Islam yang profesionalisme tercermin dalam
segala aktivitasnya sebagai murabbi, mu’allim, mursyid, mu’addib dan
muddaris. Sebagai murabbiy ia akan berusaha mengembangkan potensi
minat, bakat serta kemampuan secara optimal melalui kegiatan-kegiatan
penelitian dan eksperimen di laboraturium. Sebagai mu’allim, ia akan
mentransfer ilmu pengetahua/nilai, serta melakukan penyerapan atau
penghayatan ilmu ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta
berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk
37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010), Cet. IX, h. 24
38 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 12
39
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan Pengembangan
Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa: 2003), Cet. I, h. 66
35
mengamalkannya. Sebagai mursyid, ia akan melakukan transinternalisasi
akhlak/kepribadian kepada peserta didik. Sebagai mu’addib, maka ia sadar
eksistensinya sebagai guru agama Islam memiliki peran dan fungsi untuk
membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui
pendidikan. Sebagai muddaris, ia berusaha mencerdaskan peserta
didiknya, menghilangkan ketidaktahuan dan memberantas kebodohan
mereka, serta melatih keterampilan mereka baik melalui kegiatan
pendidikan, pengajaran maupun pelatihan.40
Dapat diketahui bahwa guru agama Islam tidak hanya sekedar untuk
mengembangkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan
juga mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola
hidup yang dihajatkan manusia dalam bidang duniawiyah dan ukhrawiyah,
dalam bidang fisik dan mental yang harmonis. Oeh karena itu, keharusan
pendidikan itu sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang
antara lain: 41
a. Aspek pedagogis
b. Aspek psikologis
c. Aspek sosiologi dan kultural
d. Aspek filosofis
e. Aspek agama
ii. Tujuan Pendidikan Agama Islam
a. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian
dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta
pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia Muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan,
ketakwaannya kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk
dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
40 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), h. 21
41 Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. V, h. 12
36
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak
mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas,
produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga
keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
agama dalam komunitas sekolah.
c. Untuk berkembangnya kemampuan perserta didik dalam
mengembangkan, memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama
Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
d. Untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak
mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca al-Qur’an dan tajwid
sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan wakaf.
iii. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam42
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT. Program pengajarannya
meliputi segi iman, Islam dan ihsan
b. Hubungan Manusia dengan sesama manusia. Program pengajarannya
berkisar pada pengaturan dan kewajiban antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat, dan
mencakup segi kewajiban dan larangan dalam hubungan dengan sesama
manusia.
c. Hubungan manusia dengan alam (makhluk selain manusia) dan
lingkungan. Sebagai Khalifah di bumi manusia bertugas mengolah dan
memanfaatkan alam yang telah dianugerahkan Allah menurut
kepentingannya sesuai dengan garis-garis yang telah ditentukan agama.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan kajian yang
relevan selama proses penelitian dan beberapa skripsi diantaranya:
42 M. Arifin, op. cit., h. 23
37
1. Nanda Putri Pratiwi (167016100971), Pengaruh Pendekatan Contextual
Teaching Learning (CTL) Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep
Bioteknologi Sederhana, 2013. Penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat
pengaruh pendekatan kontekstual Contextual Teaching Learning terhadap
hasil belajar siswa pada konsep bioteknologi sederhana. Rata-rata nilai
posttest kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata posttest kelompok
kontrol yakni 84,61> 53,31 dengan = 10,7 dan = 1,67.43
2. Eti sumiati (809018300028), Penerapan Model (CTL) Contextual
Teaching Learning dalam Pembelajaran IPA pada Materi Energi dan
Perubahannya Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa (PTK di
Kelas IV MI Ghidaul Athfal Kota Sukabumi), 2012. Penelitian ini
menjelaskan bahwa penerapan Model (CTL) Contextual Teaching
Learning dalam pembelajaran IPA pada materi energi dan perubahannya
terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV Ghidaul Athfal
Kota Sukabumi. Peningkatan hasil belajar IPA siswa kelas IV Ghidaul
Athfal Kota Sukabumi setelah dilaksanakan tindakan pembelajaran dengan
menerapkan model CTL, dapat meningkatkan dari posttes akhir siklus I
(70,83%) dengan penelitian akhir siklus II sebesar (84,17%).44
3. Isti Pramita (106017000496), Meningkatkan Kemampuan Penalaran
Induktif Matematik Melalui Pendekatan Contextual Teaching Learning
(PTK di SMKN 3 Bekasi), 2011. Penelitian ini menjelaskan bahwa
penggunaaan pendekatan CTL dalam pembelajaran matematika dapat
meningkatkan kemampuan penalaran induktif matematik siswa. Hal ini
terlihat dari peningkatan rata-rata hasil tes kemampuan penalaran induktif
sebesar 62,2 pada siklus I menjadi 75,3 pada siklus II. Kemampuan
penalaran induktif yang meningkat dengan pendekatan CTL meliputi
kemampuan menarik kesimpulan, kemampuan mengajukan dugaan, serta
43 Nanda Putri Pratiwi, “Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL) Terhadap
Hasil Belajar Siswa pada Konsep Bioteknologi Sederhana,” Skripsi pada Program Studi
Pendidikan Biologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2013), h. 62
44 Isti Pramita, “Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematik Melalui Pendekatan
Contextual Teaching Learning (PTK di SMKN 3 Bekasi,” Skripsi pada Program Studi Pendidikan
Matematika di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2011), h. 99
38
kemampuan untuk menemukan pola/sifat umum untuk membuat
generalisasi. Adapun peningkatan masing-masing indikator kemampuan
penalaran induktif yang dilakukan peneliti, diantaranya: meningkatnya
kemampuan siswa dalam menarik kesimpulan melalui pendekatan CTL.
Hal ini terlihat dari kenaikan persentanse indikator dalam kemampuan
menarik kesimpulan sebesar 69% (cukup) pada siklus I menjadi 73,5%
(baik) pada siklus II dan meningkatnya kemampuan menyusun dugaan
pada siswa diketahui pada saat siswa mampu menentukan suku selanjutnya
dari suatu barisan bilangan atau gambar. Hal tersebut dapat dilihat dari
peningkatan hasil presentase kemampuan mengajukan dugaan pada siswa
yaitu sebesar 61% (cukup) pada siklus I menjadi 78,2% (baik) pada siklus
II.45
4. Annike Suci Badriawan (1110011000094), Penerapan Metode Proyek
Guna Meningkatkan Keaktifan Siswa dalam Pembelajaran PAI (PTK di
Kelas XI SMK Islam Ruhama Cirendeu), 2014. Penelitian ini menjelaskan
tentang penerapan metode proyek dapat meningkatkan keaktifan siswa
dalam proses pembelajaran PAI hal ini dapat terlihat dari keaktifan siswa
dalam pembelajaran tata cara pengurusan jenazah mengalami peningkatan
setiap siklus I terdapat siswa yang sangat aktif 6,04%, aktif 63,19%, cukup
aktif 24,11% dan kurang aktif 4,67%. Selain itu diperoleh hasil belajar
siswa yang tuntas memenuhi nilai >75 adalah 52,94%. Siklus II terdapat
siswa yang sangat aktif 19,75%, aktif 78,99% dan cukup aktif 1,26%.
Selain itu diperoleh hasil belajar siswa yang tuntas memenuhi nilai >75
adalah 94,12%. Terdapat perbedaan peningkatan keaktifan siswa dalam
belajar sebelum menggunakan metode proyek dan sesudah menggunakan
metode proyek.46
45 Eti sumiati, “Penerapan Model (CTL) Contextual Teaching Learning dalam Pembelajaran
IPA pada Materi Energi dan Perubahannya Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”
(PTK di Kelas IV MI Ghidaul Athfal Kota Sukabumi), Skripsi pada Program Studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2012), h. 103
46 Anike Suci Badriawan, “Penerapan Metode Proyek Guna Meningkatkan Keaktifan Siswa
dalam Pembelajaran PAI”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2014), h. 142, dipublikasikan
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 sampai bulan
Desember 2014 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-
sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan,
artikel, jurnal serta website yang ada hubungannya dengan konsep pendidikan
John Dewey pada mata pelajaran agama Islam dengan pembelajaran
kontekstual.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis menggunakan penelitian kualitatif.
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “Penelitian kualitatif adalah suatu
pembelajaran penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan,
persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”.1
Dalam memperoleh data, fakta dan informasi yang akan melengkapkan
dan menjelaskan permasalahan dalam penulisan skripsi, penulis
menggunakan metode deskriptif yang didukung oleh data yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan library research. Penelitian library research
yaitu suatu usaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan
serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan.
Penelitian kepustakaan merupakan jenis penelitian kualitatif yang pada
umumnya tidak terjun ke lapangan dalam pencarian sumber datanya.
penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan
atas karya tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun yang
belum dipublikasikan. Alasan penulis menggunakan study kepustakaan atau
library research ini dimaksudkan untuk memperoleh dan menela’ah teori-
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), cet ke-3, h. 60
40
teori yang berhubungan dengan topik dan sekaligus dijadikan sebagai
landasan teori.2
Contoh-contoh penelitian semacam ini adalah penelitian sejarah,
penelitian pemikiran tokoh, penelitian (bedah) buku dan berbagai contoh lain
penelitian yang berkait dengan kepustakaan. Pada hakekatnya data yang
diperoleh dengan penelitian perpustakaan dapat dijadikan landasan dasar dan
alat utama bagi pelaksanaan penelitian lapangan.
C. Fokus Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus dalam proposal lebih di
dasarkan pada tingkat informasi terbaru yang akan di peroleh dari situasi
sosial. Informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara lebih luas dan
mendalam tentang situasi sosial, tetapi juga ada keinginan untuk
menghasilkan ilmu baru dari situasi sosial yang di teliti.3 Maka dapat digaris
bawahi bahwa fokus penelitian pada masalah ini adalah membermaknakan
(kontekstual) konsep-konsep pendidikan tokoh John Dewey yang umumnya
digunakan pada mata pelajaran eksakta kini dapat dgunakan pada mata
pelajaran agama Islam.
D. Prosedur Penelitian
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada hubungan
antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin di
pecahkan. Pengumpulan data tak lain adalah suatu proses pengadaan data
untuk keperluan penelitian.
Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan teknik dokumenter, teknik dokumenter merupakan cara
mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip, dalil
2 Sutrisno Hadi, Metodologi research, (Yogyakarta : Andi Ofset, 1997), cet. XXV, h. 82
3 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian,… h. 92
41
atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian.4
E. Sumber data
Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka), maka
untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan
penelitian sumber data primer
dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut :
1. Sumber data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek
penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada
subjek informasi yang di cari sumber data primer dalam penelitian ini
meliputi beberapa buku yakni: Democracy and Education karya John
Dewey dan buku Contextual Teaching And Learning: Menjadikan
Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan Dan Bermakna karya Elaine B.
Johnson,
2. Sumber data skunder
Data skunder adalah data yang di peroleh dari pihak lain, tidak
langsung dari subjek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau berkaitan
dengan tema yang diangkat.5 Dalam penelitian ini beberapa buku-buku
yang berkaitan dengan tema yaitu:
a. Pengantar Filsafat Pendidikan karya Basuki As’adi dan Miftahul
Ulum
b. Filsafat Pendidikan. karya Hamdani Ali
c. Filsafat Pendidikan karya Jalaluddin dan Abdullah
d. Semangat Filsafat Amerika karya John Smith
e. Aliran Baru Dalam Pendidikan karya Soejono
f. Meaningful Learning Re-Invensi Kebermaknaan karya Abdurrahman
g. Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual karya Elin Rosalin
4 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik ( Bandung :
Transito, 1998), h. 139
5Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Hal.181
42
h. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan karya
Wina Sanjaya
F. Analisis data
Analisis data adalah kegiatan untuk memaparkan data, sehingga dapat
diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu hipotesis. Batasan
ini diungkapkan bahwa analisis data adalah sebagai proses yang merinci
usaha secara formal untuk merumuskan ide/konsep sebagai yang disarankan
oleh data sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada ide/konsep.6
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal penelitian
dan selama proses penelitian dilaksanakan. Data diperoleh dan dikumpulkan
untuk diolah secara sistematis. Reliabilitas penelitian kualitatif pada
penelitian ini juga dipengaruhi oleh pendekatan analisis konsep. Analisis
konsep merupakan suatu analisis tentang istilah (kata-kata) yang mewakili
konsep atau gagasan.7
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berpedoma pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahum 2013
6Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h.
103
7Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan,. h. 61
BAB IY
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kontekstual Konsep Pendidikan John Dewey pada lVlata Pela.iaran
Agama Islam
Pembahasan bab IV disini mengenai jawaban berdasarkan pertanyaan yang
terdapat dalam rumusan masalah, yaitu "Bagaimana Kontekstual konsep
pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam?". Untuk
mengetahui bagaimana Kontekstual konsep pendidikan John Dewey pada mata
pelajaran agama Islam adalah dengan melihat terlebih dahulu konsep-konsep
pendidikan Dewey secara umum yang diperoleh dari falsafah dan sekolah
percobaan Dewey yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan Dewey rrrenggunakan sekolah sebagai alat untuk
menernukan pembaharuan dan menjadikan siswa-siswa yang belajar di
sekolah tersebut sebagai motor penggeraknya. Maksudnya siswa sebagai
subjek, dan sistem tugas guru pun harus diubah. Pada umumnya guru hanya
menyilmpaikan hal-hal yang telah diketahuinya, seharusnya guru berani
mencari hal-hal baru bersama murid-muridnya. Anak-anak perlu diberi
kesempatan memperoleh pengalaman-pengalaman baru.
Guru dapat memberikan contoh adat istiadat yang telah melembaga
pada masa silam. Dapat pula menerangkan kepada murid tentang
pertumbuhan dan perkembangan tentang hal-hal yang guru suguhkan.
Dengaa demikian, hal-hal dari masa yang telah lampau itu terbukti sungguh
besar manfaatnya dan wajib menghargainya. Guru dapat menjelaskan bahwa
tanpa pengalaman orang-crang terdahulu tidak mungkin generasi sekarang
melaksanakan us aha-us aha p emb aharuan d al am hidup. I
Dewey sangat menganjurkan pembaharuan dalam hidup, hal tersebut
dikatakan Dewey dalam karyanya Democracy and Education bahwa
makhluk hidup mernbutuhkan pembaharuan. Makhluk hidup (manusia)
harus dapat memecahkan peffnasalahannya sendiri, jika tidak bisa berusaha
I Siahaan, op. cit., h.37-38
43
44
2.
mencoba ia akan kehilngan identitas dirinya sebagai makhluk hidup.
Baginya yang Perbedaan yang paling menonjol antara hidup dan mati
adal ah mempertahankan diri dengan mel akuk an pembaharuan. 2
Guru wajib mengamati anak dan maklum akan keinginannya dan
kelakuannya. Pengetahuan akan kedua hal itu merupakan alat baginya untuk
membantu anak didiknya dalam pertumbuhannya pertumbuhan jiwa anak
itu perlu sekali dibimbingnya. Segala kejadian luar biasa yang menyertai
perkembangan kepribadian anak didik hendaknya tidak luput dari
pengamatan sang guru. Jangan pula pendidik lupa menyelidiki makna dan
tujuan kej adian-kej adian itu.
Anak dan masyarakat. Anak yang dibesarkan ditengah-tengah masyarakat
sangatlah menguntungkan karena dalam masyarakat anak akan mendapati
berbagai perkumpulan maupun sekolah lain. Masyarakat berguna bagi
perkembangan insting sosial anak. Insting sosial yang dimaksud oleh
Dewey ialah keinginan anak mengadakan hubungan dengan orang di
sekitarnya. Insting sosial sebagai proses perhimbuhan dan proses dimana
anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan
sekitarnya. Amatilah ketika anak bermain bersama dengan temannya, jika
tidak ada teman, anak akan sulit bermain. Alat permainan saja belum cukup
untuk anak, ia masih memerlukan temannya unfuk bermain bersama. Ada
alat penghubung sosial yang dipergunakan dalam pergaulan, yaitu bahasa.
Bahasa tidak hanya menjadi alat penghubung dalam pergaulan anak, tetapi
juga untuk generasi yang lampau 3
Anak adalah organisme yang mengalami satu proses pengalaman, sebab
ra merupakan bagian integral dari lingkungannya dengan peristiwa-
peristiwa, antar hubungan, perasaan pikiran dan benda-benda. Anak dalam
lingkungannya selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sehingga
anak membutuhkan proses pendidikan untuk latihan dan penyempurnaan
inteligensi. Sekolah merupakan lembaga pendidikan pembinaan anak yang
3.
2 John Dewey,loc. cit.3 Soejono, loc. cit.
45
paling efektif, jika sekolah tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip
pendidikan yang tepat.
Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah
kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban
mengembangkannya dan anak r,vajib dibimbing ke arah itu. Bahan
pengajaran perlu diambil dari problem masyarakat. Dewey pula
menemukakan tentang gagasan pemikirannya, yaitu pendidikan seluruh
rakyat, pendidikan suatu bangsa, dan melalui keduanya pendidikan suatu
zaman. Hal ini merupakan usaha untuk mengarahkan kembali seluruh
kebudayaan pada suatu taraf yang paling mendasar yakni transformasi
sosial. ltansformasi sosial yaitu perubahan kondisi sosial, ekonomi dan
politik secara mendasar. Hal ini akan berhasil jika seluruh penduduk
dilibatkan
4. Pertumbuhan berfikir anak diperoleh dari rasa keingintahuan (insting
menyelidik). Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu suka
merusak segala sesuatu yang ia pegang. Alat permainan yang dibeli mahal
oleh orang tua untuknya sebentar saja ia rusak, karena anak ingin
menyelidiki seluk beluk. Ia ingin mengetahui apa sebabnya mobilnya dapat
berjalan? apakah isi perahunya? apakah bonekanya juga berdarah seperti
dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya.a
Secara umum dapat terlihat dalam mewujudkan konsep-konsep
pendidikan John Dewey memerlukan eksperimen-eksperimen yang terdapat
di lingkungan hidup anak. Hal itu terlihat dari sistem pengajarannya di
sekolah percobaan Dewey yang lebih banyak praktek guna mempersiapkan
murid untuk bekerja. Untuk itu, konsep pendidikan Dewey ini diketahui lebih
banyak digunakan pada mata pelajaran eksakta (biologi, matematika, kimia,
fisika) contohnya di sekolah Dewey ada pelajaran pekerjaan tangan, yang
mana siswa diajarkan cara berdagang, penelitian di laboraturium,
menggambar, menjahit, dan membuat kerajinan dan keterampilan lainnya.
a Muhammad Noor Syam, loc. cit.
46
Banyak sekolah-sekolah lain yang meniru sistem pembelajaran John
Dewey, karena dianggap lebih efektif. Namun tidaklah banyak konsep
pendidikan John Dewey yang diterapkan pada mata pelajaran agama Islam,
bahkan jarang ditemukan karya-karya John Dewey yang membahas tentang
keyakinan agamanya.
Konsep sistem pembelajaran John Dewey yang lebih efektif dapat
digunakan pada mata pelajaran agmna Islam. Sebagaimana telah dibahas pada
bab I bahwa pembelajaran agama Islam hanyalah bersumber dari materi yang
dihafal oleh siswa. Guru agama Islam ketika proses belajar mengajar
cenderung hanya memakai metode ceramah dan menganggap siswa sebagai
objek, hal tersebut metnbuat siswa hanya mendapatkan informasi secara pasif
serta tidak berperan aktif di dalam kelas. Pembelajaran hanya berpusat pada
peran guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct insruction).
Karena pada dasarnya guru agama Islam tidak hanya sekedar
mengembangkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga
mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup
yang dihajatkan manusia dalam bidang duniawiyah dan ukhrawiyah, dalam
bidang fisik dan mental yang harmonis.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka diperlukan sebuah pembelajaran
baru pada mata pelajaran agama Islam yang lebih memperdayakan siswa dan
tidak mengharuskan siswa untuk menghapal fakta-fakta. Pembelajaran yang
menyesuaikan dengan kehidupan nyata dan melatih anak agar kelak dapat
beke{a. Beke{a secara sistematis, mencintai kerja dar, bekerja dengan otak
dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya
dikembangkan sepenuhnya melalui bakat dan minat setiap anak.
Pembelajaran tersebut dikenal dengan Konsep pendidikan John Dewey.
Bagaimana konsep pendidikan John Dewey dapat diintegrasikan pada
mata pelajaran agama Islam? Tentunya dalam proses pembelajaran agama
Islam di kelas harus cenderung latihan, mengonstruksi pengetahuan
lingkungan pada masanya dengan hukum agama Islam, dan mengaplikasikan
pengetahuan agama Islam yang telah diajarkan di sekolah ke masyarakat.
47
Pada konsep pendidikan John Dewey siswalah yang mencari informasi atau
menjawab semua permasalahan tersebut.
Sementara tugas guru agama Islam dalam proses implementasi konsep
pendidikan John Dewey pada pembelajaran agama Islam sebagai Fasilitator
(guru memberikan jalan bagi kelancaran proses belajar siswa), dengan cara
guru memberikan penjelasan sumber referensi agar anak mencari informasi
atau jawaban sesuai dengan hukum Islam.
Motivator (guru mampu membangkitkan minat siswa untuk terus belajar
sendiri), dengan cara guru memberikan bantuan-bantuan tertentu apabila
diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya kegiatan-
kegiatan belajar tersebut. Misalkan, guru dapat menyediakan lingkungan dan
fasilitas yang memungkinkan.
Konselor (guru dapat membantu siswa menemukan dan mengatasi
sendiri masalah-masalah yang .di hadapi setiap siswa dalam kegiatannya
belajar sendiri). Dan guru harus mempunyai pemahaman yang baik tentang
karakterristik siswa, dan teknik-teknik memimpin perkembangan siswa, serta
kecintaan pada anak, agar dapat melaksanakan peranan-peranan yang baik.
Untuk itu guru harus sabar, fleksibel, interdisipliner, cerdas dan kreatif.s
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep
pendidikan John Devrey dapat diintegrasikan dengan baik pada mata pelajaran
agama Islam. Sedangkan keterkaitan antara kontekstual dan konsep pendidikan
John Dewey pada dasarnya bahwa keduanya (konsep pendidikan John Dewey
dan pendekatan kontekstual) dapat diintegrasikan pada mata pelajaran agarna
Islam. Karena sesungguhnya pendekatan kontekstual lahir dari paham
konstruktivisme, yaitu paham yang berpendapat bahwa pembelajaran yang
bermakna itu bermula dari pengetahuan dan pengalaman yang ada pada peserta
didik. Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh
John Dewey pada tahun 1916.
Oleh karena itu, sudah pasti adanya kesesuaian antara John Dewey dengan
pendekatan kontekstual, hanya saja seiring zarflan pendekatan ini banyak
5 Basuki As'adi dan Miftahul lJltm, loc. cit.
48
mengalami perubahan dan pergantian nama semenjak digagas oleh John
Dewey pada tahun 19i6 yang dikenal dengan sebutan Learning by Doing.
Kemudian tahun 1970-an konsep pembelajaran ini dikenal dengan Experiental
Learning, pada tahun 1990 model pembelajaran ini dikenal dengan School to
Work. Kemudian pada era tahun 2000-an, sebutan model kontekstual ini tebih
efektif digunakan.6
Telah banyak dite;ukan penelitian tentang mata pelajaran agarna Islam
yang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual. Pada dasarnya
pendekatan pembelajaran kontekstual sangatlah efektif digunakan pada setiap
mata pelajaran. Dan kontekstual konsep pendidikan John Dewey lebih
memudahkan kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran agama Islam.
Karena jika proses kegiatan belajar menggunakan pendekatan kontekstual
siswa terlibat untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan
pada proses pengalaman secara langsung. Secara umum pendekatan
kontekstual dapat disimpulkan:
1. Pendekatan kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung.
2. Pendekatan kontekstual mendorong agat siswa dapat menemukan
hubungan antara yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya
siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalarnan
belajar di sekolah dengan kehidupan nyata.
3. Pendekatan kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari, hal demikian bukan hanya mengharapkan
siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana
materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-
hai^.7
Berdasarkan dari kesimpulan di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran
yang menggunakan pendekatan kontekstual siswa dapat mengaplikasikan dari
u John Dewey,loc. cit'Wina Sanjaya, loc. cit.
49
Konsep yang telah dipelajari. Hal tersebut dapat menekankan kepada
anak bahwa setiap kejadian dalam kehidupan terdapat pembelajaran, melalui
pendekatan tersebutlah anak dapat menguasai pengetahuan, membentuk
konsep sendiri, memiliki kompetensi atau keterampilan yang sesuai dalam
kehidupan.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual didasarkan pada pikiran bahwa
makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Berbicara sisi isi dan
konteks (Content dan Context), dua wadah ini terdapat pada Quantum
Teaching. Context (konteks) adalah kemeriahan lingkungan tempat belajar
mengajar, sedangkan Content (Konten) adalah kekayaan materi yang
disampaikan kepada siswa. Konteks dan konten saling berkaitan, guru harus
memperhatikan dan menyiapkan betul dua wadah ini.
Konteks memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang
ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya
bagi mereka. Jadi, sebagian besar tugas seorang guru adalah menyediakan
konteks. Semakin mampu para siswa mengaitkan pelajaran-pelajaran
akademis mereka dengan konteks ini, semakin banyak makna yang akan
mereka dapatkan dari pelajaran tersebut. Mampu mengerti makna dari
pengetahuan dan keterampilan akan menuntut pada penguasaan pengetahuan
dan keterampilan. Pendekatan kontekstual ada juga yang dikembangkan di
Indonesia, yaitu:
a. Belajar berbasis masalah (Problem based learning)
Suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia
nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam
pengetahuan dan konsep yang esensi dari meteri pelajaran, dalam hal ini
siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang
50
mengintegerasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi
pelajaran. Pendekatan ini mencangkup pengumpulan informasi yang
berkaitan dengan pertanyaan, mengintesis dan mempresentasikan
penemunya kepada orang lain.
b. Belajar berbasis (Cooperatif learning)
Pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil siswa
untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam
mencapai tujuan.
c. Pembelajaran langsung
Pembelajaran hanya berpusat pada peran guru menurunkan strategi
pembelajaran langsung. Pembelajaran ini menekankan guru untuk lebih
memonitoring kegiatan siswa, disini peran guru sangat penting dalam
keberhasilan pembelajaran.
Ketika membangun pembelajaran dan pengajaran dengan pendekatan
kontekstual maka guru harus menggali, mengembangkan dan melakukan
perubahan terhadap dua hal tersebut, yaitu (1) konten apakah yang tepat untuk
dipelajari? (2) langkah-langkah kreatif apakah yang harus diambil untuk
membentuk dan memberi makna pada konteks? Apabila seorang guru dapat
focus dan mempersiapkan detail-detail dari masing-masing konteks dan
konten, akan banyak makna yang diperoleh para siswa dari kegiatan
belajarnya. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan ketika pembelajaran dan
pengajaran dengan pendekatan kontekstual di kelas yaitu:
a. Membangun dan memberi makna pada sisi konteks
Untuk membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang
mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan
konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, social
maupun budaya. Dalam sisi konteks, seorang guru dapat berkreasi secara
bebas dalam membangun landasan yang kokoh, menciptakan lingkungan
yang mendukung dan membuat rancangan belajar yang dinamis.
51
Untuk membangun dan memberi makna pada konteks pembelajaran,
banyak pendekatan yang digunakan. Pendekatan pembelajaran adalah
suatu srategi (siasat) dalam mengajar yang digunakan untuk
memaksimalkan hasil pembelajaran. Pendekatan pembelajaran merupakan
srategi yag digunakan dalam upaya menciptakan berlangsungnya proses
pembelajaran dalam situasi, kondisi dan lingkungan belajar yang kondusif
dengan menitikberatkan pada salah satu sasaran yang ingin dicapai.
b. Mengaitkan pembelajaran dengan konteks sehari-hari siswa.
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pengajaran
dan pembelajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari
mata pelajaran akademik dengan pengalaman mereka sendiri, mereka
menemukan makna dan makna memberikan mereka alasan untuk belajar.
Mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses
belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL. Keterkaitan isi
dengan konteks berhasil karena ini merupakan komponen dari CTL.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa
dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran
akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan
mengaitkan keduanya, para siswa melihat maknanya di dalam tugas
sekolah. Ketika para siswa menyusun proyekatau menemukan
permasalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihandan
menerima tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan,
ketika mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, merencanakan,
menyelidiki, mempertanyakan dan membuat keputusan. Dengan
mengaitkan isi akademik dengan konteks dalam situasi kehidupan dengan
cara ini mereka menemukan makna.
Otak terus-menerus mencari makna dan menyimpan hal-hal yang
bermakna, proses mengajar harus melibatkan para siswa dalam pencarian
52
makna. Proses belajar harus memungkinkan para siswa memahami arti
pelajaran yang mereka pelajari. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual
meminta para siswa melakukan hal tersebut karena CTL mengajak para
siswa membuat hubungan-hubungan yang mengungkapkan makna. CTL
memiliki potensi untuk membuat para siswa berminat belajar.
B. Contoh konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam
(pendekatan kontekstual)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Mata pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Kelas/Semester : VII/1
Alokasi waktu : 2x40 menit
Standar kompetensi : Memahami tata cara sholat berjama’ah dan munfarid
Kompetensi dasar : 1. Menjelaskan pengertian sholat berjama’ah dan munfarid
2. Mempraktikkan sholat berjama’ah dan munfarid
Tujuan pembelajaran : Siswa mampu menjelaskan dan mempraktikkan sholat
berjama’ah dan munfarid
Materi pembelajaran : Tata cara pengurusan jenazah (terlampirkan)
Metode pembelajaran :
1. Ceramah
2. Proyek (John Dewey)
3. Menemukan (inquiry)
4. Masyarakat belajar (learning community)
5. Pemodelan (Modelling)
53
6. Refleksi (Reflection)
Langkah-langkah pembelajaran
1. Pendahuluan
No Kegiatan pembelajaran Nilai
karakter Waktu
1
Kegiatan Awal
Guru masuk ke dalam seraya mengucapkan salam dan
mengkondisikan suasana kelas agar para siswa dapat
belajar dengan nyaman
Religius,
patuh 2 menit
2 Guru memimpin membaca do’a dan mengabsen siswa
terlebih dahulu
Disiplin,
perhatian 2 menit
3
a. Appersepsi
Guru mengaitkan materi yang lalu atau mengaitkan
masalah kehidupan sehari-hari dengan materi hari ini
Peduli 2 menit
4 Guru menjelaskan kepada siswa tentang materi ketentuan
sholat berjama’ah dan munfarid Perhatian
10
menit
2. Kegiatan Inti
2.1 Eksplorasi
No Kegiatan pembelajaran Nilai
karakter Waktu
1
Kegiatan Awal
Guru menyuruh siswa untuk membuat kelompok yang
beranggotakn 4 orang, kemudian guru memberikan lembar
pengamatan untuk diisi tiap individu sedangkan studi kasus
untuk tiap kelompok
Teliti 9 menit
2 Setelah mereka mendapatkan lembaran tersebut, guru
memerintahkan siswa untuk mengisi lembaran Patuh 5 menit
54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan, setelah dilakukan
penelitian, maka kontekstual konsep pendidikan John Dewey dapat digunakan
pada mata pelajaran Agama Islam. Pendekatan kontekstual lahir dari paham
konstruktivisme, yaitu paham yang berpendapat bahwa pembelajaran bermakna itu
bermula dari pengetahuan dan pengalaman yang ada pada peserta didik.
Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey
pada tahun 1916. Dan Kontekstual konsep pendidikan John Dewey tersebut dapat
digunakan pada mata pelajaran apapun khususnya mata pelajaran agama Islam.
B. Saran
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, untuk itu agar mencetak anak
bangsa yang berkualitas hendaknya lebih diperhatikan lagi faktor-faktor yang
menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Misalnya, ketersediaan fasilitas belajar,
manajemen kelembagaan, muatan kurikulum, kesejahteraan guru, ketersediaan
guru baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Proses belajar-mengajar dan hasil
belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Untuk
itu guru perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Guru perlu memilih pendekatan serta metode pembelajaran yang sesuai agar
anak lebih berminat dan aktif dalam belajar, terlebih lagi mata pelajaran agama
Islam.
2. Guru pendidikan agama Islam harus lebih kreatif lagi mengkombinasikan
metode-metode yang umumnya tidak pernah digunakan pada mata pelajaran
agama Islam atau metode yang cenderung lebih cocok digunakan untuk
pelajaran eksakta.
55
3. Guru harus lebih memperhatikan keaktifan siswa di dalam kelas, janganlah
pembelajaran hanya berpusat guru sehingga yang mengerti hanya untuk guru
pribadi, menjadikan tujuan pembelajaran tak tersampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdunahman. Meaningful Learning Re-Invensi Kebermal*taan Pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I, 2007.
Ali, Hamdani. Filsafat Pendidikan Yogyakarta: Kota Kembang,2001.
Arifin, M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Islam di Lingkungan
Sekolah dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Arifin, Zainal Penelitian pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung :
PT. Rosdakary42017.
As'adi, Basuki dan Ulum, Miftahul. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta:
Stain PO Press. Cet. I, 2010.
Azwar, Syaifuddin. Metodologi Penelitian Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ofifset,
2004.
Dewey, John. Democracy and Education. EBook #852, 2010.
(http://www.gutenberg.org/files/852/852-h/852-h.htm). diakses tanggal 28
Januai2014
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Pt. Rineka Cipta.
Cet. fV,2009.
Hadi, Sutrisno. Metodologi research. Yogy'akarta : Andi Ofset. Cet. XXV, 2007.
Hakim, Lukmanul. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
2009.
Hakim, Lukmanul. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima,
2009.
Iman, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan
Progresivisme John Dewey. Yogyakarta: Safiria lnsania Press. Cet. I,
2404.
Jalaluddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan. Iakarta: Gaya Media Pratama,
1997.
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching And Learning: Menjadiknn Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikan Dan Bermalcna. (Terjemahan Ibnu
Setiawan). Bandung: Mizan Learning Center, 2007.
Mantap, Education. sejarah Pembelajaran Kontekstual. 2a14.
(http://www.education-mantaB.ble$pE!.gqgr), diakses tanggal 1 7 Agustus
2014
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan Jakarta : Rineka Cipta, 2004.
Mayer, Fredrick. A History of Modern Philosophy. California: University ofRedlands,2000.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 7994.
Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: pemberdayaan
Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan.
Bandung: Nuansa: Cet. I, 2003.
Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. V,2010
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bandung: Ghalia Indonesia. Cet. VII, 2009"
Pramita, Isti. "Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematik Melalui
Pendekatan Contextual Teaching Learning (PTK di SMKN 3 Bekasi,"
Skripsi pada Program Studi Pendidikan Matematika di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah J akarta, 201 .
Pratiwi, Nanda Putri. "Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching Learning
GfD Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Biotel*tologi
Sederhana," Skripsi pada Program Studi Pendidikan Biologi di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Iakarta, Z0I3
Rosalin, Elin. Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT.
Karsa Mandii Persada, 2008.
Rosjidi. Mencari Agama pada Abad xx wasiat Filsafat. Jakarta: pT. Bulan
Bintang, 1986.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana, 2008.
Siahaan. Prof. Dr. John Dewey, Penganut Filsafat Pragmatisme Penganjur
Sekolah Karya. Jakarta: KU, 1985.
Smith, lohn Semangat Filsafat Amerika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1995.
Soejono. Aliran Baru dalam Pendidikan Bandung: CV. Ilmu, 1997.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan Bandung: pT.
Remaja Rosdakarya. Cet. III,2007 .
Sumiati, Eti. "Penerapan Model (CfD Contextual Teaching Learning dalam
Pembelajaran IPA pada Materi Energi dan Perubahannya Sebagai tJpaya
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa" (PTK di Kelas II/ MI Ghidaul Athfal
Kota Sukabumi), Skripsi pada Program Studi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Surakhmad, Winamo. Pengantar Penelitian llmiah Dasar Metode Tehnik.
Bandung : Transito, I 998.
Syam, Muhammad Noor. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya. Cet. IX, 2010.
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Cet. I, 1997 .
IJsman, Uzer. Menjadi guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rodakarya,20ll.