Post on 08-Aug-2019
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pembelajaran Geografi Di Sekolah
Tujuan pembelajaran yaitu untuk mengantarkan peserta didik bisa mencapai derajat hidup
bermakna. Dengan belajar geografi, bukan menjadikan peserta didik menjadi eksploitator
lingkungan, yang kemudian menjadikan lingkungan rusak dan merusak kehidupan manusia,
tetapi harus menjadi bagian penting dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
kehidupan.
Pengertian geografi menurut Depdikbud dalam pendidikan formal adalah : Geografi
merupakan pelajaran formal yang membawa siswa kontak dengan realita yang dijumpai
dalam kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Sehingga penilaian proses dan penilaian hasil
belajar siswa tidak saja terbatas pada aspek-aspek nilai dan sikap serta keterampilan.
Menurut Daldjoeni (1997:126) geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang persamaan
dan perbedaan geosfer dengan sudut kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks
keruangan.
Menurut Nursid Sumaatmadja (2001: 9-10) secara sederhana pembelajaran geografi adalah
geografi yang diajarkan di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah.Oleh karena itu
penjabaran konsep-konsep, Materi pokok, dan sub materi pokok harus disesuaikan dan
diselaraskan dengan tingkat pengalaman dan perkembangan mental anak pada jenjang-
jenjang pendidikan yang bersangkutan.Lebih khusus lagi pembelajaran geografi dapat
mengembangkan kemampuan intelektual tiap orang atau secara khusus dan anak didik yang
mempelajarinya.
Berkenaan dengan pengertian geografi yang dikutip oleh Nursid Sumaatmadja (2001: 9),
Richard Hartshorne (1960: 47) mengemukakan, “geography is that discipline that seeks to
describe and interpret the variable character from place to place of the earth As the world of
man”
Pakar-pakar geografi pada Seminar dan Lokakarya Peningkatan Kualitas Pengajaran
Geografi di Semarang tahun 1988, telah merumuskan konsep geografi sebagai berikut.
“Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan
sudut pandang kelingkungan atau kewilyahan dalam konteks keruangan”
Pada hakikatnya pembelajaran geografi terbagi menjadi dua: yaitu indoor study dan outdoor
study. Indoor studi adalah pembelajaran dilaksanakan dalam ruang kelas, sedangan outdoor
studymerupakan pembelajaran dilaksanakan diluar ruang kelas.Berdasarkan penjelasan
tersebut maka ruang lingkup pembelajaran geografi di sekolah dengan mengacu pada Standar
isiuntuk satuan pendidikan dasar dan menengahadalah :
1. Konsep dasar, pendekatan, dan prinsip dasar Geografi
2. Konsep dan karakteristik dasar serta dinamika unsur-unsur geosfer mencakup litosfer,
pedosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer serta pola persebaran spasialnya
3. Jenis, karakteristik, potensi, persebaran spasial Sumber Daya Alam (SDA) dan
pemanfaatannya
4. Karakteristik, unsur-unsur, kondisi (kualitas) dan variasi spasial lingkungan hidup,
pemanfaatan dan pelestariannya
5. Kajian wilayah negara-negara maju dan sedang berkembang
6. Konsep wilayah dan pewilayahan, kriteria dan pemetaannya serta fungsi dan
manfaatnya dalam analisis geografi
7. Pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta,
Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh.
(Sumber : PERMEN DIKNAS NO 20 TAHUN 2006)
2.1.2Teori Belajar Konstruktivisme Dan Hubungannya Dengan Pembelajaran Geografi
Di Sekolah
Menurut Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar
konstruktivisme sebagai berikut.Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna.Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna.Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama
dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme.Pertama, pengetahuan tidak dapat
diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki
anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui
orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar
yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide
yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)
strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan
saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya
Kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.Von glasersfeld menegaskan bahwa
pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan, pengetahuan bukan gambaran dari dunia
yang kenyataannya ada. Tetapi pengetahuan kita merupakan akibat dari suatu konstruksi
kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Secara sederhana konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan
konstruksi kita yang mengetahui sesuatu.Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal
ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya,
jadi seseorang yang belajar itu membentuk pengertian.
Menurut pandangan dan teori kontruktivisme, belajar merupakan proses aktif dari seseorang
yang belajar untuk merekontruksi makna, sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman
fisik dan lain-lain.belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan
pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga
pengertiannya menjadi berkembang.
Ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar ( paul suparno, 1997) antara lain:
1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka
lihat, dengar, rasakan, dan alami.
2. Kontruksi makna adalah proses yang terus menerus.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
perkembangannya, tetapi perkembangan itu sendiri.
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman scbjek belajar dengan dunia fisik dan
lingkungannya.
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, seseorang belajar,
tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang
dipelajari.
Jadi menurut teori kontruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana seseorang
belajar membangun sendiri pengetahuannya.Seseorang belajar juga mencari sendiri makna
dari sesuatu yang mereka pelajari.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukankepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dandilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untukmengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Dalam hal ini hubungan antara teori konstruktivisme dengan pembelajaran geografi di
sekolah saling berhubungan, dimana pembelajaran geografi pada kegiatannya ada yang
bersifat in-door dan out-door yang keduanya dalam kajiannya akan banyak membahas
manusia dan alam nya. Pengalaman-pengalaman siswa ketika sedang melaksanakan kegiatan
pembelajaran geografi out-door maka siswa akan memahami akan pentingnya menjaga alam,
yang ini akan sangat berpengaruh pada pembentukan diri siswa.
2.1.3 Teori Belajar SibernetikDan Hubungannya Dengan Pembelajaran Geografi Di
Sekolah
Menurut teori sibernetik, belajar merupakan pengolahan informasi. Teori sibernetik
menyatakan bahwa tidak ada suatu proses belajar yang ideal untuk segala situasi, dan yang
cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system informasi.
Komponen pemrosesan informasi dipilih berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk
informasi, serta proses terjadinya “lupa”.
Ketiga komponen tersebut adalah: Sensori Receptor (sel tempat pertama kali informasi
diterima dari luar), Working Memory (diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi
perhatian oleh individu), Long Term Memory (diasumsikan berisi semua pengetahuan yang
telah dimiliki individu, mempunyai kapasitas tak terbatas, sekali informasi disimpan didalam
LTM ia tidak akan pernah terhapus/hilang).
Sejalan dengan teori pemrosesan informasi, Ausubel (19690 mengemukakan bahwa
perolehan pengetahuan baru merupakan fungsi struktur kognitif yang telah dimiliki
individu.Reigeluth & Stein (1983) mengatakan pengetahuan ditata di dalam struktur kognitif
secara hirarkis, artinya pengetehuan yang lebih umum & abstrak yang diperoleh lebih dulu
oleh individu dapat mempermudah perolehan pengetahuan baru yang rinci. Proses
pengolahan informasi dalam ingatan di mulai dari proses penyandingan informasi
(enconding), diikuti dengan penyimpanan informasi (strorage), dan di akhiri dengan
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Ada sembilan tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang
berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah menarik
perhatian, memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa, merangsang ingatan pada
prasyarat belajar, menyajikan bahan berangsang, memberikan bimbingan belajar, mendorong
unjuk kerja, memberikan balikan informative, menilai unjuk kerja, meningkatkan retensi dan
alih belajar.
Keunggulan stategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemrosesan informasi adalah, cara
berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol, penyajian pengetahuan memenuhi
aspek ekonomis, kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap, adanya keterarahan seluruh
kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai, adanya transfer belajar pada lingkungan
kehidupan, yang sesungguhnya, control belajar memungkinkan belajar sesuai irama masing-
masing individu, balikan informative memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat
unjuk, kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Dapat kita menarik hubungan antara teori belajarsibernetik dengan pembelajaran geografi di
sekolah, melihat apa yang telah di jelaskan oleh Nursid Sumaatmadja (2001: 20), lebih
khusus lagi menjelaskan bahwa pembelajaran geografi dapat mengembangkan kemampuan
intelektual tiap orang atau secara khusus dan anak didik yang mempelajarinya. Maka teori
pembelajaran sibernetik yang menekankan pada penerimaan informasi pada siswa, yang
kemudian siswa mampu menganalisa atas apa yang telah diterimannya, dan membentuk
pemahaman pada siswa. Maka tepat sekali ketikamelalui pembelajaran geografi kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotor anak didik dapat ditingkatkan dan akan menjadi sangat
berhubungan dengan teori belajar sibernetik dimana,pembelajaran geografi mempunyai
kemampuan melatih anak didik mencapai kedewasaan mental dalam berfikir, merasakan dan
mengembangkan keterampilannya.
2.1.4 Teori Belajar Behavioristik Hubungannya Dengan Kesiapan Belajar
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans)
yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum
mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak,
berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan
kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1. Mementingkan faktor lingkungan
2. Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Sifatnya mekanis
5. Mementingkan masa lalu
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme
untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting
learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup
besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor
dalam psikologi pendidikan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum Kesiapan(law of readiness)
Yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka
pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan
cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar
menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Prinsip pertama teori koneksionisme
adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera
dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada
kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang
melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan
lain.Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka
timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi
atau meniadakan ketidakpuasannya.Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan
bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan
melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2. Hukum Latihan (law of exercise)
Yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan
semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan
melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip
menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi,
materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3. Hukum akibat(law of effect)
Yaituhubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin
kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai
akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu
perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan
diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau
melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila
anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan
dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
2.1.5 Kesiapan Belajar
a. Pengertian Kesiapan
Pada hakikatnya semua pekerjaan yang akan dilakukan harus dipersiapkan terlebih dahulu,
begitu pula dengan belajar. Belajar tidak dapat dilakukan dengan paksaan karena hal tersebut
menunjukkan bahwa seseorang belum siap untuk belajar.Menurut Thorndike yang dikutip
dalam Slameto (2010:114) kesiapan adalah prasyarat untuk belajar berikutnya. Menurut
Hamalik (2003:41) kesiapan adalah keadaan kapasitas yang ada pada diri siswa dalam
hubungan dengan tujuan pengajaran tertentu.
Menurut Djamarah (2010: 39) mengungkapkan “Kesiapan untuk belajar merupakan kondisi
diri yang telah dipersiapkan untuk melakukan kegiatan belajar”. Pendapat tersebut selaras
dengan Nasution (2008: 179) “Kesiapan belajar merupakan kondisi-kondisi yang mendahului
kegiatan belajar”.
Sedangkan menurut Slameto (2010: 113) “Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang
yang membuatnya siap untuk memberi respons/ jawaban di dalam cara tertentu terhadap
suatu situasi.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kesiapan belajar adalah suatu kondisi seseorang yang
bersedia untuk merespons atau bereaksi dalam belajar.Kesediaan ini timbul dari dalam diri
seseorang yang dapat menciptakan kesiapan untuk melakukan sesuatu.
Dalam pembelajaran, kesiapan belajar sangat penting peranannya bagi guru dan siswa. Guru
akan mengajar dengan efektif apabila selalu membuat perencanaan sebelum mengajar yang
dapat menimbulkan banyak inisiatif dan daya kreatif saat mengajar. Siswa akan berhasil
dalam belajar jika memiliki kesiapan belajar yang baik.
Slameto (2010: 59) menyatakan “Kesiapan belajar ini perlu diperhatikan dalam pembela-
jaran, bila siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih
baik.Pendapat tersebut selaras dengan Djamarah (2010: 40) yang menyatakan “Kesiapan diri
untuk belajar akan menghasilkan hasil belajar yang optimal.”
Siswa yang telah siap untuk belajar akan dapat melakukan kegiatan belajar yang lebih baik,
lebih mudah, dan lebih berhasil. Kesiapan diri akan melahirkan perjuangan untuk mencapai
apa yang dicita-citakan.
Dalyono (2007: 52) mengemukakan sebagai berikut:
“Setiap orang yang hendak melakukan kegiatan belajar harus memiliki kesiapan yakni
dengan kemampuan yang cukup, baik fisik, mental, maupun perlengkapan belajar.Kesiapan
fisik berarti memiliki tenaga yang cukup dan kesehatan yang baik, sementara kesiapan
mental, memiliki motivasi yang cukup untuk melakukan kegiatan belajar.Belajar tanpa
kesiapan fisik, mental, dan perlengkapan akan banyak mengalami kesulitan, akibatnya tidak
memperoleh hasil belajar yang baik.”
Untuk mendapatkan prestasi belajar yang baik, hendaknya siswa memiliki kesiapan belajar
berupa kesiapan fisik, mental, dan perlengkapan.Perlengkapan yang dimaksud adalah segala
jenis alat dan bahan yang menunjang siswa untuk belajar, misalnya buku pelajaran dan alat
tulis.
b. Faktor-Faktor Kesiapan
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan belajar siswa. Di bawah ini di
kemukakan faktor-faktor kesiapan belajar dari beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut:
Menurut Djamarah(2010:13) faktor-faktor kesiapan meliputi:
1. kesiapan fisik
misalnya tubuh tidak sakit (jauh dari gangguan lesu, mengantuk, dan sebagainya);
2. kesiapan mental
misalnya ada hasrat untuk belajar, dapat berkonsentrasi, dan ada motivasi intrinsik;
3. kesiapan sarana
misalnya ada bahan yang dipelajari atau dikerjakan berupa buku bacaan, catatan dll.
Menurut Slameto (2010: 113) kondisi kesiapan mencakup 3 aspek yaitu:
a. kondisi fisik dan mentals;
b. kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan;
c. keterampilan dan pengertian yang lain yang telah dipelajari.
Kondisi fisik mencakup kondisi fisik yang temporer seperti lelah dan lesu serta yang
permanen misalnya cacat tubuh.Kondisi mental menyangkut kecerdasan.Anak yang berbakat
memungkinkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang lebih tinggi.Sedangkan kondisi
emosional ada hubungannya dengan motif berupa insentif positif, insentif negatif, hadiah, dan
hukuman.Kebutuhan mencakup peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan saat belajar
seperti buku pelajaran atau catatan pelajaran.
c. Prinsip-prinsip Kesiapan
1) Menurut Slameto (2010:115) prinsip-prinsip kesiapan meliputi:
a) Semua aspek perkembangan berinteraksi (saling pengaruh mempengaruhi)
b) Kematangan jasmani dan rohani adalah perlu untuk memperoleh manfaatdari
pengalaman
c)Pengalaman-pengalaman mempunyai pengaruh yang positif terhadap kesiapan
d) Kesiapan dasar untuk kegiatan tertentu terbentuk dalam periode tertentu selama masa
pembentukan dalam masa perkembangan.
2) Menurut Soemanto (1998:192) prinsip bagi perkembangan readiness meliputi:
a) Semua aspek pertumbuhan berinteraksi dan bersama membentuk readiness.
b) Pengalaman seseorang ikut mempengaruhi pertumbuhan fisiologis individu.
c) Pengalaman mempunyai efek kumulatif dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian
individu, baik yang jasmaniah maupun yang rohaniah.
d) Apabila readiness untuk melaksanakan kegiatan tertentu terbentuk pada diri seseorang,
maka saat-saat tertentu dalam kehidupan seseorang merupakan masa formatif bagi
perkembangan pribadinya.
Dengan adanya persiapan yang baik maka kegiatan atau pekerjaan akan dapat dilaksanakan
dengan baik sehingga akan memperoleh keberhasilan. Demikian pula halnya dengan belajar,
apabila belajar telah dipersiapkan sedemikian rupa tentunya hasil yang akan diperoleh akan
baik pula, beberapa persiapan yang perlu dilakukan dalam belajar agar terjadi kesiapan
belajar menurut Thabrany (1994: 49) sebagai berikut:
a. Persiapan fisik
Kondisi fisik mencakup kondisi fisik yang temporer seperti lelah dan lesu serta yang
permanen misalnya cacat tubuh. Kondisi fisik yang tidak mendukung kegiatan belajar, seperti
gangguan kesehatan, cacat tubuh, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan lain
sebagainya sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan
pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas.
b. Persiapan mental
Persiapan mental yang dimaksud adalah bahwa tekad untuk belajar benar-benar sudah
siap.Menurut Djamarah (2002: 58) persiapan mental merupakan upaya menumbuhkan sikap
mental yang diperlukan dalam belajar.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa persiapan mental yang perlu dilakukan adalah:
1. memahami arti atau tujuan belajar;
2. kepercayaan pada diri sendiri;
3. keuletan.
c. Persiapan sarana
Sarana yang dibutuhkan dalam belajar yaitu ruang belajar dan perlengkapan belajar
(Thabrany, 1994: 48).Ruang belajar mempunyai peranan yang cukup besar dalam
menentukan hasil belajar seseorang.Persyaratan yang diperlukan untuk ruang belajar adalah
bebas dari gangguan, sirkulasi dan suhu udara yang baik, penerangan yangmemadai,
sedangkan perlengkapan belajar yang perlu disiapkan dalam belajar berupa perabot belajar,
buku pelajaran, buku catatan, dan alat-alat tulis.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesiapan belajar adalah
suatu kondisi seseorang yang bersedia untuk merespons atau bereaksi dalam belajar.Kondisi
kesiapan belajar tersebut berupa kesiapan fisik, mental, dan sarana. Kesiapan fisik terkait
dengan kesehatan badan, seperti keadaan mengantuk atau lelah saat akan belajar. Kesiapan
mental meliputi pengetahuan tentang belajar kecenderungan mempergunakan waktu belajar.
Siswa yang memiliki tekad untuk belajar maka siswa tersebut akan memiliki kecenderungan
untuk melepaskan diri dari ketergantungan orang lain dalam belajar. Sedangkan kesiapan
sarana berupa perlengkapan belajar dan ruang belajar yang memadai.Semua aspek kesiapan
belajar tersebut dapat membantu siswa dalam mengatur kegiatan belajar yang bertujuan
memperoleh hasil belajar yang optimal.
2.1.6Prestasi Belajar
a. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Istilah
tersebut lazim digunakan sebagai sebutan dari penilaian dari hasil belajar. Dimana penilaian
tersebut bertujuan melihat kemajuan belajar peserta didik dalam hal penguasaan materi
pengajaran yang telah dipelajarinya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Prestasi
belajar terdiri dari dua kata, yakni prestasi dan belajar. Prestasi belajar digunakan untuk
menunjukkan hasil yang optimal dari suatu aktivitas belajar sehingga artinya pun tidak dapat
dipisahkan dari pengertian belajar
“Prestasi merupakan hasil yang telah dicapai dari usaha yang telah dilakukan dan dikerjakan”
, atau dalam definisi yang lebih singkat bahwa prestasi adalah “hasil yang telah di capai
(dilakukan dan dikerjakan)”. Senada dengan pengertian di atas, prestasi adalah “hasil yang
telah di capai dari apa yang dikerjakan/ yang sudah diusahakan” . Djamarah (2002:20)
menyatakan bahwa prestasi adalah “hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan, yang menyenangkan hati yang diperoleh dengankeuletan kerja, baik secara
individual maupun kelompok dalam bidang kegiatan tertentu”. Dengan demikian, dapat
dinyatakan beberapa rumusan dari pengertian prestasi belajar, diantaranya bahwa prestasi
belajar adalah penguasaan pengetahuan atau materi yang dikembangkan oleh mata pelajaran.
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa, setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Sedangkan prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan murid untuk mempelajari
materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes
mengenai sejumlah materi. Dalam dunia pendidikan, bentuk penilaian dari suatu prestasi
biasanya dapat dilihat atau dinyatakan dalam bentuk simbol huruf atau angka-angka.
Jadi, prestasi belajar adalah hasil yang diraih oleh peserta didik dari aktivitas belajarnya yang
ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat diwujudkan dengan
adanya perubahan sikap dan tingkah laku dan pada umumnya dinyatakan dalam bentuk
simbol huruf atau angka-angka.
Prestasi belajar yang didapatkan oleh seorang siswa bersifat sementara kadang kala dalam
suatu tahapan belajar, siswa yang berhasil secara gemilang dalam belajar, sering pula
dijumpai adanya siswa yang gagal. Seperti angka raport rendah, tidak naik kelas, tidak lulus
ujian akhir dan sebagainya.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Menurut Muhibbin Syah (2009) secara global faktor-faktor yang memengaruhi prestasi
belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan
faktor pendekatan belajar.Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi pembelajaran siswa yang berdampak pada prestasi siswa.
1) Faktor Internal
Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan / kondisi jasmani dan rohani
siswa. Faktor ini meliputi 2 aspek, yakni :
a) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah)
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-
organ tubuh dan sendisendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam
mengikuti pelajaran. Kondisi jasmani yang tidak mendukung kegiatan belajar, seperti
gangguan kesehatan, cacat tubuh, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan lain
sebagainya sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan
pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas.
b) Aspek psikologis (yang bersifat rohaniah)
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kualitas dan
kuantitas perolehan pembelajaran siswa. Diantaranya adalah tingkat intelegensi siswa,
sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa.
Intelegensi Siswa
Tingkat kecerdasan merupakan wadah bagi kemungkinan tercapainya hasil belajar yang
diharapkan. Jika tingkat kecerdasan rendah, maka hasil belajar yang dicapai akan rendah
pula. Clark mengemukakan bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh
kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Sehingga tidak diragukan lagi
bahwa tingkat kecerdasan siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.
Sikap Siswa
Sikap merupakan gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi dengan cara relatif tetap terhadap objek, baik secara positif maupun negatif. Sikap
siswa yang positif terutama kepada guru dan mata pelajaran yang diterima merupakan tanda
yang baik bagi proses belajar siswa. Sebaliknya, sikap negatif yang diiringi dengan kebencian
terhadap guru dan mata pelajarannya menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut, sehingga
prestasi belajar yang di capai siswa akan kurang memuaskan.
Bakat Siswa
Sebagaimana halnya intelegensi, bakat juga merupakan wadah untuk mencapai hasil belajar
tertentu. Secara umum bakat merupakan kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk
mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Bakat juga diartikan sebagai
kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan. Peserta didik yang kurang atau tidak berbakat untuk suatu kegiatan
belajar tertentu akan mengalami kesulitan dalam belajar.
Minat Siswa
Minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap
sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa. Siswa yang
menaruh minat besar terhadap bidang studi tertentu akan memusatkan perhatiannya lebih
banyak dari pada siswa lain, sehingga memungkinkan siswa tersebut untuk belajar lebih giat
dan pada akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
Motivasi Siswa
Tanpa motivasi yang besar, peserta didik akan banyak mengalami kesulitan dalam belajar,
karena motivasi merupakan faktor pendorong kegiatan belajar. Motivasi dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik
adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya
melakukan tindakan belajar. Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal keadaan yang datang dari
luar individu siswa yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi yang
dipandang lebih esensial adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta
tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi/keadaan lingkungan di sekitar siswa.
Adapun faktor eksteren yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa adalah :
a) Lingkungan sosial
Lingkungan sosial siswa di sekolah adalah para guru, staf administrasi dan teman-teman
sekelasnya, yang dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Masyarakat, tetangga dan
teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa juga termasuk lingkungan sosial
bagi siswa.Namun lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar
lainnya ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik
pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan letak rumah, semuanya dapat memberi
dampak baik dan buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai siswa.
b) Lingkungan non sosial
Lingkungan non sosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga
siswa dan letaknya, alat alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan
siswa.
3) Faktor Pendekatan Belajar
Tercapainya hasil belajar yang baik dipengaruhi oleh bagaimana aktivitas siswa dalam
belajar. Faktor pendekatan belajar adalah jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi
dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materimateri
pelajaran. Faktor pendekatan belajar sangat mempengaruhi hasil belajar siswa, sehingga
semakin mendalam cara belajar siswa maka semakin baik hasilnya.
2.1.7 Hubungan Kesiapan Belajar Dengan Prestasi Belajar
Kesiapan belajar seseorang siswa sangat berkaitan erat dengan perolehan prestasi
belajaranya, mencapai kemajuan studi, dan akan meraih sukses belajar di sekolahnya. Tetapi
sebaliknya, jika seseorang siswa memilki kesiapan belajar yang buruk maka akan
mempersulit dirinya dalam memahami pengetahuan, menghambat kemajuan studi dan
akhirnya mengalami kegagalan dalam meraih prestasi disekolahnya. Penjelasan di atas
menyatakan bahwa kesiapan belajar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar siswa yang akan dicapai.
Seperti apa yang telah disampaikan Thorndike dalam teori belajar behavioristik yang dikutip
dalam Slameto (2010:114) “kesiapan adalah prasyarat untuk belajar berikutnya”. Artinya
siswa akan membutuhkan kesiapan sebelum mereka melakukan pembelajaran berikutnya.
Dengan demikian siswa dengan kondisi kesiapan belajar mereka yang baik maka akan
memperoleh prestasi belajar yang baik pula, sedangkan siswa dengan kesiapan belajar yang
buruk, maka prestasi belajarnyapun akan buruk.
2.1.8 Hasil Penelitian Sejenis “Kesiapan Belajar Dengan Prestasi Belajar”
Merujuk pada hasil penelitian yang sejenis, dimana dalam intan primasari (2010:48) peneliti
juga meneliti antara hubungan kesiapan belajar dengan prestasi belajar matematika, dimana
hasilnya adalah “ada korelasi positif antara kesiapan belajar dengan Prestasi belajar
matematika siswa kelas X SMA Negeri 8 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009/2010
dengan kontribusi sebesar 22,2%”.
2.2 Pengembangan Rintisan SMA Bertaraf Internasional
Pengembangan rintisan SMA bertaraf internasional berdasarkan pedoman penjaminan mutu
sekolah/ madrasah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
dikeluarakan oleh menteri pendidikan nasioanl tanggal 27 juli 2007, terdiri atas dua yaitu
fase rintisan dan fase kemandirian.
Berikut adalah uraian pentahapan pengembangan rintisan SMA bertaraf internasional beserta
indikatornya:
1. Standar isi dan kompetensi lulusan
a. Standar isi (kurikulum)
Pada tahap ini sekolah mengembangkan KTSP dalam bahasa indonesia dan bahasa
inggris, melakukan adaptasi dengan kurikulum sekolah di salah satu negara anggota
OECD atau negara maju lainnya sesuai dengan kondisi dan kesiapan sekolah.
Persiapan tersebut meliputi melakukan suatu pemetaan terhadap isi kurikulum yang
ada pada standar Isi (SI) dan standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang ada pada
kurikulum sekolah di negara maju.
b. Standar kompetensi lulusan
Pada tahap awal standar kompetensi lulusan (SKL) minimal memiliki program
rintisan SMA bertaraf internasional yang harus dicapai adalah SKL yang tertuang
dalam PerMen Diknas no 23 tahun 2006, yang secara bertahap diharapkan dapat
mencapai SKL sesuai standar nasional pendidikan (SNP) dengan menambahkan SKL
yang mencerminkan ciri standar internasional.
2. Proses pembelajaran
Permendiknas no 23 tahun 2006 menuntut luluasan SMA yang mampu menunjukan
kesadaran hidup yang tinggi, bersikap dan berprilaku hidup yang positif, mampu
berfikir logis, kritis, analitis, dan kreatif, serta mampu memecahkan masalah secar
inovatif. Dengan demikian proses pembelajaran pada program rintisan SMA bertaraf
internasioan seharusnya minimal diarahkan untuk menumbuhkan kemampuan-
kemampuan tersebut. Dalam penyelenggaraannya memalui 3 tahapan secara berkala.
3. Penilaian
Penilaian pada program Rintisan SMA bertaraf internasional mencangkup dua tujuan
utama: (a) penilaian hasil belajar dan (b) penilaian program.
4. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia pelaksana program rintisan SMA bertaraf internasioanl terdiri
dari pendidik, tenaga kependidikan, tenaga penunjang, dan fasilitator sekolah. Pada
tahap rintisan ini, SMA penyelengaraan program rintisan SMA bertaraf internasional
menyiapkan SDM yang meliputi kegiatan:
a. Mempelajari panduan rintisan SMA bertaraf inernasioanl.
b. Melakukan pemetaan kebutuhan calon SDM program rintisan SMA bertaraf
internasional dari segi kuantitas dan kualitas.
c. Mengadakan sosialisasi tentang rekruitmen SDM program rintisan SMA bertaraf
internasional.
d. Melakukan kegiatan pelatihan meliputi mekanisme in-house traning dengan
melibatkan tenaga profesional independent sesuai dengan bidangnya.
e. Merintis program kerjasama dengan lembaga sertifikasi pendidikan internasional.
f. Memberikan kesempatan kepada SDM yang telah siap untuk mengikuti uji
kompetensi ,sertifikasi yang diselenggarkan lembaga uji/sertifikasi bertaraf
nasional dan internasional.
5. Sarana dan prasarana pendidikan
Sarana dan prasaran untuk program rintisan SMA bertaraf internasional merupakan
fasilitas pendukung pencapaian target yang telah ditentukan pada SMA bertaraf
internasional.
6. Biaya
Sesuai dengan PP no 38 tahun 2007 dan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun,
pembiayaan dapat berasal dari :
a. Pemerintah
b. Pemerintah provinsi
c. Pemerintah daerah kabupaten/kota
d. Stake-holder (perusahaan, komite sekolah)
Pada tahap ini pembiayaan program rintisan SMA bertaraf internasional masih
menekankan pada subsidi dari pemerintah, baik pusat ataupun daerah, dengan sistem
block grant.
7. Pengelolaan
Pada tahap ini pengelolaan program rintisan SMA bertaraf internasional sekurangan-
kurangnya dapat mencapai indikator-indikator berikut ini:
a. SMA terakreditasi secara nasional dengan kategori ”A” dan sertifikat akreditasi
masih berlaku sekurang-kurangnya sampai tahun ke empat.
b. Melaksnakan kurikulum nasional dan telah menerapkan KTSP.
c. Semua guru berkualifikasi S-1, sekurang-kurangnya 30% berkualifikasi S-2.
d. Tersedia sekurang-kurangnya 50% tenaga pengajar yang mampu mengajar mata
pelajaran dengan bahasa inggris, diluar guru bahasa inggris.
e. Memilki sekurang-kurangnya satu mitra sekolah di dalam dan maupun diluar
negeri.
f. Memiliki siswa berpotensi melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
g. Tersedia sarana dan prasarana yang memenuhi standar.
h. Tersedia sumber buku referensi dengan rasio buku dan jumlah siswa sekurang-
kurangnya 1:10
i. Memilki rencana strategis pengembangan sekolah (RPS/SDIP).
j. Tersidia minimal 50% ruang kelas yang dilengkapi dengan sarana TIK/
Multimedia.
k. Tersedia masing-masing satu laboraturium fisika, kimia, dan biologi.
l. Laboratorium bahasa dan komputer beserta alat-alat pendukung lainnya.
m. Memilki sistem menejemen keruangan dan administrasi yang transparan berbasis
TIK.
n. Mempunyai fasilitas komunikasi telepon, faximile, internet dan website.
8. Kesiswaan
Siswa merupakan salah satu komponen yang memegang peranan penting dalam
keberhasilan pelaksanaan program rintisan SMA bertaraf internasional. Untuk itu
diperlukan suatu mekanisme seleksi calon siswa program rintisan SMA bertaraf
internasional. Tahap seleksi dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut:
a. Seleksi administrasi, meliputi ;
1) Nilai rapor SMP kelas VII s.d IX untuk pelajaran matematika, IPA, IPS dan
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris rata-rata minimal 7,5
2) Penghargaan prestasi akademik
3) Sertifikat dari lembaga kursus bahasa inggris
b. Achievement test, meliputi : Bahasa indonesia, matematika, IPA dan IPS dengan
skor minimal 7 dalam rentang 0-10
c. Tes kemampuan bahasa ingris, meliputi : reading, listening, writing, dan speaking
dengan skor minimal 7 dalam rentang 0-10
d. Lulus tes psikotes, meliputi ; IQ, CQ, TC dan kepribadian (Personality Test)
e. Wawancara kepada siswa dan orang tua.
9. Kultur Sekolah
Aspek kultur sekolah meliputi : kebersihan, kerapihan, keamanan, keindahan,
kerindangan, bebas asap rokok, bebas narkoba, bebas kekerasan (bullying), bebas
pornografi, disiplin, semangat kompetitif, budaya malu, dan budaya baca dan tulis.
Berdasarkan Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional dan
memperhatikan Surat Keputusan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Departemen
Pendidikan Nasional Tahun 2006 dengan nomor 802.a/C4/MN/2006 bahwa SMAN 9
Bandarlampung di tetapkan sebagai Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berstatus Rintisan
SMA Bertaraf Internasional.
2.3Kerangka Pikir
Penelitian ini membahas tentang korelasi variabel respons dengan variabel prediktor.
Variabel respons dalam penelitian ini adalah kesiapan belajar (X) yang dibagi menjadi 3
yaitu: kesiapan fisik sebagai (X1), kesiapan mental sebagai (X2), dan kesiapan kebutuhan
(sarana) belajar sebagai (X3), sedangkan variabel prediktornya adalah prestasi belajar
geografi (Y).
Proses belajar yang dialami siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Adanya perubahan itu tampak dalam prestasi belajar
siswa.Siswa yang di awal pembelajaran telah memiliki kesiapan belajar yang baik dan dalam
pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar geografi yang akan diperoleh.
Proses belajar yang dialami siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Adanya perubahan itu tampak dalam prestasi belajar
siswa.prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti pembelajaran.
Prestasi belajar biasanya ditunjukkan oleh nilai yang diperoleh siswa setelah diadakan tes.
Diduga dengan belum optimalnya atau rendahnya prestasi belajar geogarfi siswa SBI kelas X
SMAN 9 Bandarlampung, berhubungan erat dengan kesiapan belajar dari diri siswa.
Kesiapan belajar siswa merupakan faktor yang berkorelasi dengan prestasi belajar geografi.
Adanya kesiapan belajar maka akan mendorong seseorang lebih mencurahkan perhatian pada
hal yang dipelajari. Dengan adanya kesiapan belajar maka siswa akan berusaha merespon
pertanyaan yang diberikan oleh guru.Dalam proses belajar, kesiapan belajar menyebabkan
seseorang belajar secara aktif, sungguh-sungguh, dan penuh gairah. Kesiapan belajar perlu
diperhatikan dalam proses belajar geografi, siswa belajar dalam keadaan siap untuk belajar,
maka akan memperoleh hasil belajar geografi yang lebih baik.
Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir di atas dapat disajikan dalam diagram yang
menggambarkan keterkaitan antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
Gambar 1. Model teoritis korelasi antara kesiapan fisik(X1). kesiapan mental (X2), dan
kesiapan sarana belajar (X3)dengan prestasi belajar geografi (Y)
Keterangan:
X1 : kesiapan fisik siswa;
X2 : kesiapan mental siswa;
X3 : kesiapan sarana belajar;
Y : prestasi belajar geografi siswa
1.4 Hipotesis
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan suatu hipotesis sebagai
berikut :
1. Ada hubungan positif yang erat dan signifikan antara kesiapan fisik siswa dengan prestasi
belajar geografi siswa SBI kelas X SMAN 9 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2011-2012.
2. Ada hubungan positif yang erat dan signifikanantara kesiapan mental siswa dengan
prestasi belajar geografi siswa SBI kelas X SMAN 9 Bandarlampung Tahun Pelajaran
2011-2012.
3. Ada hubungan positif yang erat dan signifikan antara kesiapan sarana belajar siswa dengan
prestasi belajar geografi siswa SBI kelas X SMAN 9 Bandarlampung Tahun Pelajaran
2011-2012.
4. Ada hubungan positif yang erat dan signifikan antara kesiapan fisik, kesiapan mental dan
kesiapan sarana belajar siswa dengan prestasi belajar geografi siswa SBI kelas X SMAN
9 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2011-2012.
X2 Y
X3
X1