Post on 13-Mar-2019
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan
2.1.1. Konsep dan Definisi Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun
waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih
dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek-
aspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara
di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan
konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia
walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan
berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya,
arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten
dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang (Khanna et al.
1999). Menurut Leach dan Scooness (1997), masyarakat dilihat sebagai unit
yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi
lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan berkelanjutan harus
berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi
wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara
di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi
Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda
tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000)
menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya
adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras
menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka
berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah
dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya
yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001)
menyatakan bahwa berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai
pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup
yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi
lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.
16
Bosshard (2000) mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju
pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu:
(1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi
dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka
konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber
daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat
mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan
ekonomi (Greenland, 1992). Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang
berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi
kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996).
Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan
sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan
kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti
berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika
ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada.
Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable
dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable.
World Commision on Environment and Development (1987)
mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam naskah tersebut
terkandung dua gagasan penting yaitu :
- Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia
yang harus diprioritaskan.
- Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan
organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.
Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs (1994), adalah
bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara
pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi
lingkungan secara harmonis.
Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley (2001), bahwa pembangunan
berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan
internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika
sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi
17
mendatang dapat dipenuhi. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan
dikemukakan oleh Roderic dan Meppem (1997), bahwa berkelanjutan
memerlukan pengelolaan tentang (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap
dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan
antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3)
efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kajian ini Djojohadikusumo
(1994) mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan
yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini
tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Dengan kata
lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara terus-menerus dan
sambung-menyambung.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, secara umum dapat diartikan
bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak
bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi
dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
2.1.2. Prinsip - Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan publikasi Our Common Future, banyak upaya telah
dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Pertimbangannya adalah bahwa tanpa pedoman atau prinsip,
tidak mungkin ditentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan
berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan
berkelanjutan.
Mitchell (1997) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan antara lain:
1) Prinsip lingkungan/ekologi, yaitu melindungi sistem penunjang kehidupan,
memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan
strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan
lingkungan global.
2) Prinsip sosial politik, yaitu mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia
dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan
manusia, dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi
dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.
Menurut Plessis (1999), pada awalnya pembangunan berkelanjutan
hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan
sumberdaya alam untuk menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang.
18
Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai
tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial seperti pengurangan
tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial.
Pembangunan berkelanjutan juga harus memenuhi kebutuhan generasi
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal
ini perlu dijaga keseimbangannya terhadap tiga persyaratan prinsip yaitu: (1)
kebutuhan masyarakat (the social objective), (2) effisiensi dalam mengelola
keterbatasan sumber daya alam (the economic objective) dan, (3) perlu
mengurangi beban ekosistem untuk melestarikan lingkungan (the environmental
objective) (Chemical Industry dan Chemistry, 2005).
Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem
ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor
lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang
esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, dan ketiga, lingkungan
sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.
Sitorus (2004) mengemukakan pokok-pokok pikirannya bahwa
pembangunan berkelanjutan perlu menjadi pertimbangan karena ada
keterbatasan planet bumi dalam empat asumsi dasar yaitu:
1) terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui
(non-renewable resources),
2) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi
3) terbatasnya lahan yang dapat ditanami
4) terbatasnya produksi per satuan luas lahan, atau batasan fisik
terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.
Sitorus (2004) selanjutnya menyatakan bahwa ciri-ciri pembangunan
yang tidak berkelanjutan antara lain adalah:
1) Prakarsa biasanya dimulai dari pusat
2) Proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat
pakar dan teknokrat
3) Mekanisme kelembagaan bersifat top-down
19
2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global
mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan
sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.
Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial.
Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan
kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.
Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,
dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united
nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang
akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi
Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi
yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses
perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa
depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Dalam rangka mengoperasionalkan
paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep
pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan
berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti pada Gambar 3.
Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk
pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat
berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa
suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,
pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara
efisien.
Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut
harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
20
lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.
Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan
hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas
sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,
identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan
Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan
pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan
antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi
intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan
kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang
memerlukannya. Pada konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi,
strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta
konsultasi.
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada
banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator
keberlanjutan antara lain Center for international Forestry Research (CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan
mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles
(2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan
21
memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial,
dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan
untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial,
kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.
Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergi dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini
menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan
yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan
melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya
melalui proses penataan lingkungan.
Upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak
saja bersifat kuratif, melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-
upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini
menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui
opsi ekonomi maupun melalui proses-proses peraturan dan penataan
penggunaan lahan (Setiawan, 2003).
2.2. Pengembangan Wilayah
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan
administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan
tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif
terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Akil, 2003).
Dalam kontek ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa
kawasan produksi serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan
wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban)
adalah saling tergantung (interdependent) dalam kontek perubahan penduduk
jangka panjang dan tenaga kerja (Voith, 1998). Pengembangan wilayah dengan
memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih
rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).
22
Kasikoen (2005) menyatakan bahwa ada keterkaitan pembangunan
perkotaan dan perdesaan dimana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk
fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya
ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.
Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai
tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun
lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada beberapa dekade yang lalu, cara
pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi
dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang
sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan yang hanya pada
pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh
Djajadiningrat (1997). Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan
ekonomi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam yang tidak dapat
diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan
ekonomi, dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka
ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh. Menurut Shukla (2000), melalui
perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu
pembangunan dan keberlanjutan, jawaban ini dapat diuraikan sebagai berikut;
- Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang
ada, sumber daya fisik serta teknologi
- Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan dimana akan
mengisi kebutuhan lokal
- Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang
kurang berimbang antar dan dalam wilayah.
Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini
telah menimbulkan dampak/masalah yang semakin besar dan komplek
sehingga cenderung menimbulkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan
perdesaan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Erwidodo (1999) menyatakan
bahwa kesenjangan pertumbuhan antara wilayah perkotaan dan perdesaan telah
memunculkan permasalahan kompleks antara lain meningkatnya arus migrasi
penduduk desa ke kota, meningkatnya kemiskinan masyarakat dan "pengurasan"
sumber daya alam.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya "pengurasan"
tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong
kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar
23
untuk mengeksploitasi sumberdaya yang terdapat di desa. Masyarakat desa
sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi
sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan
perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya
kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern
dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar
aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak
SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai keterampilan dan kemampuan.
Menurut Basri (1999), bahwa rendahnya tingkat sosial ekonomi
masyarakat perdesaan dipengaruhi oleh:
1) Kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi
kapasitas individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam melakukan
interaksi sosial dan proses produksi;
2) Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar lapangan usaha dan
pendapatan rumah tangga atau masyarakat;
3) Potensi daya dukung regional (geographical setting) seperti kondisi geografis,
sumberdaya alam serta infrastruktur yang mempengaruhi pola kegiatan
produksi dan distribusi;
4) Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial
dan jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan
global.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka masalah utama dalam
pembangunan wilayah perdesaan adalah kebijakan yang kurang berpihak
terhadap masyarakat perdesaan dan rendahnya kemampuan sumber daya
manusia dalam mengelola sumber-sumber daya alam guna pembangunan
masyarakat perdesaan.
Miyoshi (1997) mengemukakan pendapat Friedman dan Douglas, bahwa
strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan
hal-hal sebagai berikut yaitu: (1) sektor pertanian harus dipandang sebagai
leading sektor; (2) kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota
dan desa harus dikurangi; (3) small scale production untuk pemasaran lokal
harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Pembangunan rural
small enterprise sangat penting untuk mengembangkan pusat-pusat
pertumbuhan atau kota kecil yang berperan sebagai pusat pemasaran desa-desa
di sekitarnya.
24
Akibat dari kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh terjadinya
urban bias di atas, pembangunan di wilayah perdesaan mengalami kekurangan
investasi modal, dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja
bagi masyarakat perdesaan. Dalam kondisi seperti ini posisi tawar masyarakat
perdesaan menjadi semakin lemah sehingga pengambilan keputusan
pembangunan menjadi tersentralisasi di kota-kota tanpa menghiraukan kondisi
perdesaan. Pembangunan di perdesaan semakin terpuruk sedangkan
pertumbuhan ekonomi kota-kota relatif semakin besar yang diikuti dengan
eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan. Keadaan ini mendorong terjadinya
kerusakan-kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang pada
gilirannya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas, baik di wilayah
perdesaan maupun di kawasan perkotaan sendiri. Kondisi di atas terjadi antara
lain karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik (material
capital: man-made and natural), sumberdaya manusia (human capital) dan
sumberdaya sosial (social capital) dan kebijaksanaan pengembangan teknologi
tidak diiakukan secara tepat dan memadai, bahkan di masa yang lalu terkesan
banyak diabaikan.
Makin meluasnya masalah-masalah sejenis di sebagian besar negara-
negara berkembang, mengakibatkan para pakar pembangunan mulai berpikir
untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang
berimbang secara: spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini
menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien,
berkeadilan dan berkelanjutan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Rustiadi (2003), mengatakan bahwa
pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: (1) mengedepankan
peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan
masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari
pada sebagai pelaksana. (2) Menekankan aspek proses dibandingkan
pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa
master plan dan sejenisnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan
Ruang, bahwa proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian ruang yang merupakan suatu sistem yang terkait satu sama
lainnya. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan daerah pada
era otonomi ini perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah
25
bukan lagi pendekatan sektor sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Menurut
Hull (1998), perencanaan tata ruang merupakan suatu mekanisme integratif
untuk mengkoordinasikan berbagai strategis pembangunan.
Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan
struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan
karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung
daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak
arus globalisasi. Menurut Rondinelli (1985), ada tiga konsep dalam
pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole); (2)
integrasi fungsi (functional integration), dan (3) pendekatan pendesentralisasian
wilayah (decentralized territorial approaches).
Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi
pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negara-
negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu:
pertama, industrialisasi dengan teknologi modern dapat didesentralisasikan
manfaatkannya pada daerah perdesaan, kedua, keterpaduan pada tingkat
nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah
pembangunan regional. Pendekatan pembangunan agropolitan merupakan
bagian dari pada pengembangan wilayah skala kawasan merupakan senergitas
pembangunan antara kota-desa (urban rural development).
Dalam rangka mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang
didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri dan keterkaitan dengan
perekonomian kota harus bisa diminimalkan, maka pendekatan agropolitan dapat
menjadi salah satu pendekatan pembangunan perdesaan. Agropolitan yang
dilakukan di wilayah penelitian merupakan aktivitas pembangunan yang
terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000
sampai 150.000 orang, sehingga kegiatan ini menjadi relevan dengan wilayah
perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan
sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian
besar masyarakat perdesaan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(1996).
2.3. Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan
kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu
sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa
26
diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena
pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam memang
merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan.
Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya
ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan
pertanian. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada
dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama
sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu
menurun dan tertinggal, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan
pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan
ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal,
dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan
permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat akan
berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah secara keseluruhan.
Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak
memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru
menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan di sekitarnya
(backwash effect). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang
mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth
poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (tricle down effect)
dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya
malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa dalam bidang ekonomi telah terjadi transfer
neto sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besar-
besaran.
Dalam konteks wiiayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula
diiihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi,
regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif
akan mendorong terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini telah dan
sedang terjadi proses pemekaran wilayah adminstratif dengan munculnya
kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat
muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah.
Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah satu
27
jawaban pemerintah untuk mengatasi kesenjangan yang mencolok
pembangunan nasional dibanding Kawasan Barat Indonesia (KBI).
Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan
dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalah
ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan
adalah :
1. Suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi,
mengandaikan pembangunan infrastruktur setara kota di wiiayah pedesaan,
sehingga mendorong terbentuknya kota-kota di wilayah perdesaan. Dari
berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang
sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan
perdesaan - perkotaan selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh
batasan administratif pemerintahan (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten)
tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan
economic of scope.
2. Bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti yang selama ini
terjadi yaitu migrasi desa-kota (urbanisasi) yang tak terkendali, polusi,
kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya
alam, pemiskinan desa dll.
3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur
urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik.
4. Mendorong peningkatan produktivitas perdesaan secara ekonomi, sosial, dan
kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan.
Pendekatan agropolitan bisa mendorong penduduk perdesaan tetap
tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Melalui agropolitan
diharapkan dapat tercapai tujuan akhir pembangunan yaitu tercipta daerah yang
mandiri dan otonom, dan karenanya dapat mengurangi kekuasaan korporasi
transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat
menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat sub-
ordinatif.
Pengembangan agropolitan diperlukan untuk lebih mengembangkan
potensi perdesaan sehingga lebih mandiri, hal tersebut ditujukan untuk:
Mereduksi pengurasan kekayaan desa (sentra produksi) ke kota besar.
28
Menghidupkan ekonomi perdesaan/kerakyatan dengan memberdayakan
potensi perdesaan/kerakyatan sehingga rnengurangi ketergantungan kepada
kota besar.
Mengurangi kemacetan/aglomerasi baik pasar modal, industri, transportasi
dll. ) kota-kota besar yang merusak lingkungan
Agropolis dikembangkan sebagai kekuatan yang mampu mendorong,
menghela dan melayani daerah-daerah pertumbuhan
Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis dalam suatu kawasan terpiiih
dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasilnya.
2.3.1. Pengertian Agropolitan terdiri dari kata "agro" yang berarti pertanian dan "politan
(polis)" yang berarti kota. Sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota
pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota
(Departemen Pertanian, 2002). Hasan (2003) mengemukakan bahwa kegiatan
kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan
pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan
lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan
pembangunan masa lalu.
Menurut Saefulhakim (2004), "agro" bermakna "tanah yang dikelola" atau
"budidaya tanaman", yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai
aktivitas berbasis pertanian. "Metropolis" bermakna " a central point or principal"
Agro - metropolis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-
sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah
kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih
yang pada kawasan tersebut, terdapat kota pertanian (agropolis) yang
merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2003).
2.3.2. Batas Kawasan Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan
dikembangkan oleh Friedman dan Douglass (1975). Keduanya bahkan
menekankan pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangan
perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan
bahwa pembangunan perdesaan (rural development) secara beriringan dapat
dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada
tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issue
29
utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan pertanian
dan penyediaan pengairan, (2) desentralisasi politik dan wewenang administratif
dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan
pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian.
Melihat kota - desa sebagai fungsi - fungsi politik dan administrasi, pendekatan
pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala
kabupaten (Douglass, 1998).
Menurut Friedman dan Douglass (1975), tujuan pembangunan
agropolitan adalah menciptakan "cities in the field" dengan memasukkan
beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang
berpenduduk padat dan mempunyai ukuran tertentu. Agropolitan district
merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan
ruang, melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan
(decentralized). Agropolitan districts dapat dikembangkan pada perdesaan
dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk meningkatkan standar
hidup, meningkatkan kesempatan tenaga kerja, dan mengurangi tingkat migrasi
ke kota (Friedman, 1996).
Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site
utama untuk fungsi politik dan administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke
daerah (desentralisasi) dan demokratisasi. Sebagai bagian dari perubahan
politik, hal tersebut akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan
perdesaan mengenai bagaimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan
kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat dalam suatu
program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan
perkotaan.
Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran
agropolitan adalah pertama, skala geografinya relatif kecil. Kedua, proses
perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi
koperatif pada tingkat lokal. Ketiga, diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian
dan kegiatan non pertanian. Keempat, pemanfaatan teknologi dan sumberdaya
setempat. Kelima, berfungsi sebagai urban-rural industrial.
Dengan luasan skala kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai
berikut: (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2)
cukup luas untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan
ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya
30
pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan
pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal (local
knowledge) akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika proses itu
dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.
Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai
stakeholders secara terpadu sesuai tanggung jawab bidang masing-masing.
Menurut Misra (1980), pendekatan pembangunan harus dilakukan secara
komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan
kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan bertumpu
pada masyarakat. Pendekatan pembangunan tersebut disarankan agar
dilaksanakan melalui enam elemen dasar yaitu: (1) pembangunan pertanian
dengan padat karya (labour intensive), (2) menciptakan lapangan kerja, (3)
membangun industri kecil/industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4)
gotong-royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan,
(5) mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan
perdesaan, dan (6) kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor.
Menurut Rustiadi (2004) pengembangan agropolitan memerlukan
terjadinya re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini
dapat dilakukan melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan
pendapatan. Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan agar
mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi
asset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital.
Di Indonesia, pembangunan agropolitan yang sifatnya masih rintisan telah
dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Program ini merupakan kerjasama
antara Depertemen Pertanian dengan Departemen Kimpraswil.
Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap penyiapan lokasi garapan
dan penyuluhan sedangkan Departemen Kimpraswil sesuai dengan core bisnis-
nya membangun prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mendukung
keberhasilan program agropolitan. Dalam pelaksanaannya belum didukung
adanya kebijakan secara nasional melainkan hanya berupa Pedoman Umum
Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan
Pengembangan Kawasan Agropolitan, yang dikeluarkan oleh Departemen
Pertanian.
Dalam pelaksanaanya, belum semua stakeholders yang diharapkan ikut
bersama-sama secara terpadu menangani program agropolitan ini. Saat ini baru
31
beberapa instansi saja yang secara aktif menangani program ini. Adalah tidak
mungkin kalau untuk keberhasilan program ini hanya bertumpu pada peran
pemerintah, tetapi juga diperlukan keterlibatan masyarakat, swasta, dan
pemerintah secara bersama-sama dan bermitra untuk menyepakati program-
program yang dibutuhkan untuk dilaksanakan secara terencana dan
berkesinambungan.
2.4. Pembangunan Agribisnis yang Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
Pembangunan agribisnis di Indonesia dapat dikatakan merupakan sektor
yang paling mampu bertahan dan mampu menikmati keuntungan yang berlipat
ganda apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini terjadi
karena pengembangan kegiatan agribisnis relatif kurang mengandalkan bahan
baku yang berasal dari komponen impor, artinya kegiatan agribisnis
menggunakan sebanyak mungkin komponen input yang dapat dihasilkan di
dalam negeri. Pada sisi lain, output kegiatan agribisnis sebagian besar adalah
jenis barang-barang yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelanjutan
kehidupan manusia yang berupa kebutuhan pangan, sandang, papan,
kosmetika, kesehatan, dan sebagainya. Perbandingan rendahnya harga beli
input dan tingginya nilai jual output kegiatan agribisnis menyebabkan keuntungan
ideal yang dapat diperoleh oleh para pengusaha agribisnis di Indonesia.
Akan tetapi apabila kita mengkaji lebih jauh pengelolaan usaha-usaha
agribisnis yang terjadi selama ini di Indonesia, umumnya kurang memperhatikan
manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Orientasi usaha agribisnis
yang dilakukan oleh banyak pengusaha di Indonesia selama ini, baik petani kecil
yang mengelola usaha skala kecil atau pengusaha besar yang mengelola lahan
pertanian pada skala yang amat luas, cenderung kurang memperhatikan pola
pengusahaan kegiatan agribisnis yang berkelanjutan.
Kegiatan agribisnis memang berbasiskan pada sumber daya yang
renewable (dapat diperbaharui), tetapi lahan usaha (tanah, hutan, air) sebagai
sarana produksi yang mendasar untuk mengembangkan kegiatan agribisnis juga
mempunyai daya dukung yang juga terbatas jika tidak diperhatikan usaha-usaha
pengelolaannya agar tetap lestari. Keberhasilan agribisnis tidak hanya
diindikasikan oleh kontinuitas dan peningkatan produksi agribisnis, tetapi juga
bagaimana agar agribisnis tersebut dapat memberikan manfaat yang merata bagi
32
semua pelaku dalam sistem agribisnis secara kontinyu dan menjaga kelestarian
lingkungan.
Ada dua kelemahan mendasar dalam pengembangan usaha di sektor
pertanian Indonesia selama ini. Pertama, adalah keuntungan hanya dinikmati
oleh sekelompok pengusaha yang memiliki modal besar dan aksesibilitas
terhadap berbagai sumber daya pokok maupun pendukung usaha (perbankan,
pasar, informasi harga dan teknologi); dan kedua, terjadinya eksploitasi besar-
besaran terhadap sumber daya sehingga menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan.
Dalam perencanaan kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia,
khususnya dalam pengembangan agribisnis, maka penting diperhatikan strategi
kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi
sumber daya lokal yang ada (sumber daya alam dan sumber daya sosial-
budaya) dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam kegiatan penge-
lolaan usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani pada zaman dahulu,
banyak kepercayaan atau strategi memanfaatkan sumber daya alam yang
sangat memperhatikan terjaganya kelestarian lingkungan. Contoh untuk hal
tersebut adalah menggunakan pupuk tanaman yang berasal dari sisa tanaman
atau kotoran hewan, menghindari melakukan eksploitasi sumber daya alam di
wilayah pegunungan, upaya memberantas hama dan penyakit tanaman tanpa
menggunakan zat-zat kimia tetapi dengan menggunakan cara-cara
pemberantasan secara alami, dan banyak lagi cara-cara lainnya yang seringkali
dipandang kurang rasional oleh pengikut teori modernisasi.
Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal bagi pengembangan agri-
bisnis di Indonesia merupakan strategi terbaik dalam mendukung pertumbuhan
perekonomian masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam
Indonesia cukup besar untuk dapat mendukung keberlangsungan hidup seluruh
rakyat Indonesia, tetapi kuncinya adalah bagaimana mengelola semua itu secara
benar, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang dalam
jangka pendek.
Pengembangan agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan
pertanian di Indonesia yang berusaha meningkatkan nilai tambah dan daya saing
komoditas pertanian Indonesia di pasaran domestik dan internasional. Namun
penting diperhatikan berbagai upaya yang dapat mencegah eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam Indonesia dan mengabaikan
33
pengembangan usaha yang selaras dengan lingkungan alam serta lingkungan
sosial.
Berbagai kasus pengembangan agribisnis beberapa komoditas
kehutanan dan perkebunan yang telah banyak dilakukan selama ini umumnya
berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang
dihasilkan dalam jangka pendek, sehingga kurang memperhatikan daya dukung
sumber daya alam, manusia dan kelembagaan lokal yang ada di wilayah
pengembangan usaha tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup
banyak kegiatan agribisnis yang tidak berumur panjang, melakukan eksploitasi
sumber daya yang berlebihan atau menimbulkan konflik dengan masyarakat di
sekitar lokasi (Tampubolon, 2002).
2.5. Agribisnis Sapi Potong
Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang
digunakan terhadap gugus industri (cluster industry) yang melakukan
pendayagunaan sumberdaya hayati (Pambudy et al. 2001). Berdasarkan
pendekatan etimologis, pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang
berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai
basis budidaya (agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang).
Dengan demikian, agribisnis sapi potong berarti pemanfaatan tanah atau lahan
sebagai usaha perdagangan sapi potong. Namun, pengertian agribisnis saat ini
tIdak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etiomologis, akan tetapi telah
meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global dikaitkan dengan
semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang.
Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis sapi potong
diartikan sebagai "suatu kegiatan bidang usaha sapi potong yang menangani
seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan
yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana
praduksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua
stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-
peternak, perusahaan swasta dan pemerintah)". Sistem agribisnis sapi potong
merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian
secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait
dalam suatu kluster industri (industrial cluster) sapi potong yang mencakup
34
empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah
sebagai berikut:
1) Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan
ekonomi (praduksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti
bibit sapi potong, pakan ternak, industri obat-obatan, dan inseminasi buatan;
2) Subsistem agribisnis budidaya sapi potong (on-farm agribusiness) yaitu,
kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak sapi
potong;
3) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan
ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke
dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri
pengalengan dan pengolahan daging, dan industri pengolahan kulit;
4) Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang
menyediakan jasa bagi agribisnis sapi potong seperti perbankan, asuransi,
koperasi, trasportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah,
lembaga pendidikan dan penelitian.
Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem
terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu:1) Subsistem pengadaan
dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input
produksi pada subsistem budidaya, 2). Subsistem produksi atau usaha tani, yang
akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, dan jagung
dan lain-lain, 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4). Subsistem
pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan
lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem
agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Sebagai suatu sistem,
keempat subsistem agribisnis sapi potong beserta usaha-usaha di dalamnya
berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada
Gambar 4.
35
2.5.1. Subsistem agribisnis hulu
Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness) dari sistem
agribisnis sapi potong mencakup kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan)
yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti bibit, pakan ternak,
industri obat-obatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan
penting dalam pengembangan sistem agribisnis terutama bibit. Skala usaha atau
jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 -
3 ekor per petani. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga,
dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar
berasal dari keluarga petani yang serba terbatas. Karena kecilnya pemilikan
ternak, usaha pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan.
Ada dua macam teknik reproduksi ternak yang sudah dikembangkan di
Indonesia untuk menghasilkan bibit, yaitu inseminasi buatan (IB) dan kawin alam.
Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan
masyarakat petani ternak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan
ternak terutama ternak besar. Menurut Hadi dan llham (2002), ada beberapa
permasalahan dalam. industri pembibitan ternak di Indonesia, antara lain; 1).
Angka pelayanan kawin per kebuntingan (service per conception - S/C) masih
cukup tinggi, mencapai 2.6, 2). Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang
Subsistem Agribisnis Hulu
Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan : Bibit/Induk/Semen Pakan/Konsentrat Obat Hewan Lahan Kandang Tenaga Kerja
Subsistem Agribisnis Budidaya
Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produk-produk primer : Pengolahan lahan Antisipasi iklim/cuaca Pencegahan penyakit Pemberantasan penyakit Pembelian Sapronak Kegiatan produksi
Subsistem Agribisnis Hilir
Sistem pengumpulan produk primer peternakan, pengolahan produk, distribusi dan pemasaran produk olahan (segar, beku, kaleng dan sebagainya) sampai ke konsumen akhir
Subsistem Lembaga Penunjang
Penyedian sarana usaha (agrisupport) dan pengaturan iklim usaha (agriclimate) Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain) Kebijakan (RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain) Penyuluhan
Gambar 4. Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong
36
tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator dan masalah
transportasi, 3). Jarak beranak (calving interval) masih terlalu panjang, dan 4).
Tingginya tingkat kematian (mortality rate) pedet pra sapih, bahkan ada yang
mencapai 50%. Rendahnya produktivitas ternak dalam hal pembibitan seperti ini
menyebabkan kebutuhan ternak yang bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini
sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang
mengharuskan kita tetap mengimpor ternak dalam jumlah yang cukup besar.
Pakan ternak dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat.
Satu hal yang terpenting adalah pakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan
protein, karbohidrat, lemak vitamin, dan mineral. Hijauan untuk pakan ternak
dapat berasal dari rumput alam atau limbah pertanian dan perkebunan. Berbagai
hasil penelitian merekomendasikan jerami dan dedak (bekatul) serta limbah
perkebunan kelapa sawit (pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, dan
bungkil) merupakan sumber pakan yang cukup baik untuk ternak sapi potong
(Sarwono dan Arianto, 2002) dan (Dwiyanto et al. 2003). Teknologi pengolahan
pakan menjadi aspek penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis sapi
potong. Ketergantungan pakan hijauan yang bersumber dari rumput alam akan
menghadapi kendala pada saat musim kering.
2.5.2. Subsistem agribisnis budidaya
Pada subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusiness), menurut
Prasetyo (1994) ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pengembangbiakan
(reproduksi) dan penggemukan. Kegiatan budidaya ternak untuk tujuan
penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil (petani)
maupun dalam bentuk perusahaan besar. Faktor yang penting untuk diperhatikan
dalam usaha budidaya peternakan adalah manajemen pemberian pakan.
Pemberian pakan pada ternak peliharaan dibedakan menjadi dua golongan yaitu
pakan perawatan, untuk mempertahankan hidup dan kesehatan dan pakan
produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan.
2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir
Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) dari sistem
agribisnis peternakan adalah kegiatan ekonomi yang mengolah dan
memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri
37
pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri
pengolahan kulit dan lain-lain.
Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir
diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi
prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste dan
pollutan, dan pengembangan teknologi produk. Sapi potong menghasilkan
produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang,
tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran.
Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan sebagai produk bermanfaat
yang bisa dimakan dan tidak bias dimakan, seperti disajikan dalam pohon
industri pada Gambar 6.
Menurut llham et al. (2002), keragaan saluran tataniaga ternak dan
daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah
konsumen daging segar. Pola umum saluran tataniaga daging dapat dilihat pada
Gambar 5. Konsumen membeli daging dengan harga eceran jika membeli dari
pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal/distributor. Kelompok
konsumen daging segar terdiri dari; konsumen rumah tangga, rumah
makan/restoran, hotel, tukang baso, dan lain-lain.
Gambar 5. Pola umum saluran tataniaga ternak dan daging
Pedagang
Peternak Penjagal/Pemotong
Pengecer
Konsumen
38
Gamb
ar 6.
Poh
on in
dustr
i sap
i poto
ng (ju
doam
idjojo
, 198
0; Pa
lupi, 1
986;
Purn
omo,
1997
; WW
W.ris
tek.go
.id, 2
00; D
ewan
Iptek
dan I
ndus
tri Su
mbar
, 200
1;
Asta
wan ,
2004
; Usk
a, 20
04; W
ahyo
no da
n Mar
zuki,
2004
; Mur
tidjo,
2005
; www
.Hala
lguide
.info
[09-0
1-20
09]
39
2.5.4. Subsistem agribisnis lembaga penunjang
Subsistem agribisnis lembaga penunjang (supporting institution)
merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem
agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara
kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada
beberapa lembaga yang berperan di dalam sub sistem lembaga penunjang untuk
pengembangan sistem agribisnis berbasis lingkungan seperti perbankan,
asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah,
lembaga pendidikan dan penelitian, dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan hewan perlu mendapat perhatian dalam upaya
pengembangan sistem agribisnis peternakan karena hal tersebut berkaitan
dengan tingkat produktivitas ternak. Kesehatan ternak menjadi faktor penentu
tingkat produktifitas ternak, karena kondisi kesehatan ternak terkait dengan
pertambahan berat badan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai usia
dewasa kelamin. Ternak yang tidak sehat akan terganggu pertumbuhannya
sehingga produktifitasnya menjadi rendah. Aplikasi teknologi kesehatan hewan
berupa pelayanan kesehatan hewan seperti pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular, pemberian vitamin/probiotik, pemberian obat cacing,
pemeriksaan kesehatan reproduksi dan lain sebagainya memerlukan pos
kesehatan hewan (poskeswan) yang difasilitasi oleh pemerintah dan didukung
oleh tenaga teknis di bidang kesehatan hewan (Dokter Hewan dan paramedis
kesehatan hewan).
Koperasi merupakan salah satu lembaga yang juga perlu mendapat
perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat
petani ternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki
kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan aplikasi
teknologi (Yusdja et al. 2002). Koperasi dapat menjadi media bagi petani ternak
untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari
subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar petani ternak dapat memperoleh nilai
tambah yang lebih baik. Saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak
sapi potong memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di
kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia
(GKSI).
Khusus aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa
usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapatkan
40
prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak
perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong beresiko tinggi
(high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return) (Karim 2002). Namun
menurut Thohari (2003) ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat
dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis sapi potong antara
lain adalah: kredit taskin, modal ventura, pemanfaatan laba BUMN, pegadaian,
kredit BNI, kredit komersial perbankan (kupedes dari BRI, swamitra dari Bukopin,
kredit usaha kecil dari: BNI, Bank Danamon, Bll, Bank Mandiri, kredit BCA, kredit
pengusaha kecil dan mikro (KPKM) dari Bank Niaga, kredit modal kerja dari Bank
Agro Niaga), dan pemanfaatan lembaga keuangan mikro (LKM) di pedesaan.
Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis maka prasarana jalan
merupakan faktor yang menentukan tingkat aksesibilitas dalam suatu kawasan.
Aksesibilitas kawasan akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi
masyarakat. Di sisi lain, tingginya sumbangan terhadap perekonomian wilayah
dari suatu daerah akan mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur
jalan menuju kawasan agribisnis. Prasarana jalan merupakan prasarana vital
untuk mengembangkan perekonomian di wilayah. Terbangunnya jalan
kabupaten (antar kecamatan) dan antar desa akan memudahkan pengangkutan
hasil pertanian dan peternakan berupa barang produksi dan konsumsi.
Prasarana jalan merupakan kebutuhan prioritas dalam pengembangan agribisnis
di wilayah perdesaan.
2.6. Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah
Program pembangunan peternakan sebagai bagian dari program
pembangunan sektor pertanian mengarah langsung kepada pemberdayaan
petani ternak, koperasi, dan swasta. Mekanisme pelaksanaannya dilakukan
melalui pelimpahan wewenang (dekosentrasi) dan penyerahan wewenang
(desentralisasi) kepada daerah kabupaten/kota sebagai pencerminan dari
kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Undang-
undang No 32 Tahun 2004, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 serta PP No. 25
Tahun 2000, merupakan landasan yuridis formal dalam penataan peran dan
tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam
pembangunan peternakan.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan 25 Tahun 1999 kemudian
dituangkan ke dalam PP No. 25 Tahun 2000 dijelaskan batas kewenangan
41
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya
bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) secara rinci
pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi
pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi
daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang
bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat,
dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset
tersebut menjadi milik pemerintah daerah.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang
pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah
didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program
tersebut, yaitu untuk membentuk kawasan peternakan, menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk
meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat peternak.
2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong. Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut
Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah
mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada
kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah
populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk
pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas
atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi
kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi
wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak
dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap
variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto (PDRB) per
kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai
data populasi ternak di seluruh Indonesia.
42
Tabel 1. Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.
Tingkat Pusat Tingkat Provinsi Tingkat Kabupaten/Kota
Penetapan kebijakan tata ruang peternakan
Pembinaan & pengembangan kelembagaan peternakan
Perumusan model pengembangan kelembagaan ekonomi peternakan seperti koperasi, kelembagaan pemasaran dan pengembangan usaha.
Analisis dan pelayanan informasi pasar
Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah.
Analisis dan pelayanan informasi peluang investasi. Analisis pola pengembangan usaha peternakan di kawasan agroekologi. Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi.
Identifikasi potensi, pemetaan tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan pengembangan peternakan.
Bimbingan dan pengawasan penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak.
Bimbingan dan pengawasan ternak oleh swasta.
Penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak pemerintah.
Pelaksanaan promosi komoditas peternakan.
Pembinaan dan pengembangan kemitraan petani ternak dan pengusaha.
Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha, analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan.
Bimbingan eskplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati peternakan.
Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.
Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002
Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah
dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan
PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha
ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang
tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar (1991)
menyatakan sebagai berikut.
43
1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah
ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di
wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain
belum terbuka. 2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta
sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya
produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu
dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang
perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga
dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi
pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi
ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi
ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan
membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif.
Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau
kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi
kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan
perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi
tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan
baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.
1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang
ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak
telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum
terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat
(kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah
pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan
ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan.
2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru
setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan
binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan
peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok
madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan
skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok
44
dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-
unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran
pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai
sudah berkurang.
3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan
yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas.
Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi
kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam
wadah KUBA (kelompok usaha bersama agribisnis), dan dapat
dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi
minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per
kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu
kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana
produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani
peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran
pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB,
2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan
produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas
daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total
daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al.
(1997) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi
bobot total daging yang dihasilkan.
Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang
diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong
yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah
serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan
disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih
disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah
kandungan air daging.
Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut
Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi
dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan
sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan
waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan
45
teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan
lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan
Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan
Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam
rumen (alat pencernaan).
Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran
bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi
mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil temak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001).
2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong
Perkembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus
memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis.
Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang
berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di
suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak
menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomis mengandung
arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi
perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri (Santosa, 2001).
Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain
yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal diantaranya
infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan
penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat dan
daerah. Pengembangan sistem budidaya sapi potong melalui pola-pola integrasi,
pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip ekosistem alami dengan cara
memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia dan ramah lingkungan
(environmental friendly) sehingga tercipta suatu keseimbangan yang dinamis dan
meningkatkan produktivitas. Karena yang menjadi ciri ekosistem alami adalah
adanya keanekaragaman, adanya ketergantungan dan keterkaitan, adanya
keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilisasi, serta adanya
manfaat dan produktivitas (Sutjahjo 2004)
Menurut Atmadilaga (1975), hambatan-hambatan dalam usaha
meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang
kompleks dan bersifat biologis, ekologis, serta sosioekonomis. Hal ini akan
46
berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama ternak yang
bersifat tradisional.
Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata
masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini
tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha
kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji, 1995).
Hal tersebut diperkuat oleh Sudrajat (2000) yang menyatakan bahwa beberapa
kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : (1)
Penyempitan lahan pangonan, (2) kualitas sumberdaya manusia rendah, (3)
produktivitas ternak rendah, (4) akses ke pemodal sulit. (5) koordinasi lintas
sektoral belum kondusif, dan (5) penggunaan teknologi masih rendah.
Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih
menghadapi berbagai kendala. Menurut Santosa (2001) secara nasional kita
dihadapkan kepada persoalan-persoalan sebagai berikut.
Harga obat hewan yang semakin tinggi.
Kesulitan untuk memperoleh bibit.
Kesulitan untuk akses ke sumber modal.
Rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak.
Rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak.
Masih tingginya angka pemotong ternak betina produktif.
Manajemen pakan yang kurang baik.
Masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi IB.
Belum ada upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan
kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi
potong di Indonesia adalah : (I) permintaan pasar terhadap daging sapi semakin
meningkat, (2) Ketersediaan tenaga kerja cukup besar, (3) Kebijakan pemerintah
mendukung, (4) Hijauan dari sisa pertanian tersedia sepanjang tahun, (5) Usaha
peternakan sapi lokal tidak terpengaruh krisis. Kendala dan peluang
pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan
dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.
2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong Sejak dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan
47
mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus
menyesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional
dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam dan
mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
nasional dan berkelanjutan.
Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan
produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan
bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan
penggunaan sumberdaya tersedia, dan lebih jauh dapat meningkatkan nilai
tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Gurnadi
(1998) menganjurkan bahwa dalam pengembangan ternak di suatu daerah,
maka perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya tersebut
mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang
akan dikembangkan. Potensi tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah
pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian
yang ada. Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat
dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan
meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak,
dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan
teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya, serta
pembentukkan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi
terkait, (3) Pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan
peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan,
pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi. pengolahan
hasil, dan pemasaran.
Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng (1987) tujuan dasar
yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem
usaha tani lain adalah:
1. Untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan
dengan menggunakan input yang tersedia
2. Untuk memadukan antara beberapa jenis tanaman, ternak, limbah
peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan.
Pemeliharaan ternak merupakan salah satu komponen dalam usaha tani
dan ternak ini akan terintegrasi dengan komoditi lain yang diusahakan oleh
48
petani. Menurut Sabrani et al. (1981) problema yang dihadapi dalam
pengembangan ternak sistem tradisional adalah ketepatan pengalokasian
sumberdaya. Selanjumya dijelaskan bahwa bila usaha ternak skala kecil yang
berorientasi pada usaha keluarga maka program pengembangan ternak tersebut
didasarkan pada sistem pertanian secara terpadu.
Sistem pertanian terpadu (integrated farming system) adalah suatu usaha
dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas
pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra produksi dan pasca
produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa
(Rusono, 1999). Selanjutnya dijelaskan bahwa keterpaduan merupakan hal
penting maka suatu sistem pertanian terpadu membutuhkan dan mensyaratkan
sumberdaya manusia yang berkualitas serta mampu dalam menata aliran input-
output sedemikian rupa sehingga kombinasi input-output yang dihasilkan adalah
kombinasi optimum yang menghasilkan manfaat yang besar bagi petani.
Tanaman pangan atau hortikultura tidak hanya menghasilkan pangan
sebagai produk utama, tetapi menghasilkan produk sampingan atau limbah
ikutan misalnya jerami padi, ampas tahu, limbah tanaman kacang tanah dan
sebagainya. Dengan cara sederhana limbah tersebut dapat diubah menjadi
pangan yang bermutu (daging) melalui sapi potong, sehingga biaya pakan
produksi ternak dapat ditekan. Disamping menghasilkan produk utama berupa
daging, sapi potong menghasilkan kotoran (feses) yang diolah dengan cara
sederhana dapat menjadi komoditas ekonomis atau digunakan sebagai pupuk
sehingga dapat menopang kegiatan produksi tanaman pangan dan secara
langsung mengurangi biaya pengadaan pupuk, dan pada akhirnya keterpaduan
tersebut dapat meningkatkan tambahan pendapatan petani peternak (Suharto,
1999).
Beberapa manfaat integrasi ternak pada usaha pertanian yaitu :
1. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya lokal (domestic based resources)
2. Optimalisasi hasil usaha
3. Penciptaan produk-produk baru hasil diversifikasi usaha
4. Penciptaan kemandirian petani sehingga tidak tergantung pinjaman luar
5. Meningkatkan pendapatan petani peternak
6. Menciptakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja pedesaan
49
Pengembangan sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu
pendekatan dalam memanfaatkan keragaman sumberdaya alam. Bila
dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar
pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Supaya sistem usaha tani
terpadu dapat berkembang, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah
(1) sifat usaha tani, (2) sumberdaya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan pra
sarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis, (6) orientasi
usaha, dan (7) kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Rusono, 1999).
2.7. Penggunaan Model
Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah suatu penggambaran
abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata
untuk aspek-aspek tertentu. Model yang baik akan memberikan gambaran
perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan
perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.
Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang
sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai
representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem
yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain
atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah
(Blanchord dan Fabrycky, 1981). Menurut Kholil (2005), untuk dapat
menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali
dengan berpikir sistemik (system thinking), sibernetik (goal oriented), holistik dan
efektif.
Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan
sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.
Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung
serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu suatu model
adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari
pada realitas itu sendiri (Eriyatno, 2003).
Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat
untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi
model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang
berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang
mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.
50
Menurut Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi
dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih
sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan
masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan menurut Hall dan John (1977),
model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan.
Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk meyakinkan
bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak.
Selanjutnya Ruth dan Hannon (1997) mengemukakan bahwa model adalah
pusat pemahamannya terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan
dan manipulasi fenomena nyata. Dengan membangun model dapat memahami
pengaruh positif terhadap keputusan alternatif dalam kinerja ekonomi,
pengelolaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Model merupakan suatu
alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan baru. Dari berbagai pendapat
tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda
dalam skala yang lebih kecil skalanya.
2.8. Analisis Kebijakan Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu
yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk
analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai
biaya dan manfaat tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan
suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lain. Selanjutnya menurut Vining
dan Weimer (1998) analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada
klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai
sosial, tapi kenyataannya tidak semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi
untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan
kebijakan publik.
Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup tiga hal utama, yaitu
bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi
kebijakan (Dwijowijoto, 2003). Setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan
tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi
dan misi) bersama yang telah disepakati. Dengan demikian, analisis kebijakan
adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik
51
kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi
dari kebijakan yang ada.
Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan,
namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan
kebijakan. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan
evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis
kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan.
Meski analisa kebijakan lebih fokus kepada perumusan, pada prinsipnya setiap
analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis kebijakan
menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan,
menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang evaluasi,
dan kondisi lingkungan kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis
untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan
untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional, skenario
dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah
sistem; dan (2) kebijakan struktural, skenario dengan tindakan yang akan
menghasilkan sistem yang berbeda (Aminullah, 2004).
Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif
kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi
penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi
yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat
sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu
kebijakan. Oleh karena itu seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai
berikut.
1. Harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan
mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan
waktu dan akses.
2. Membutuhkan perspektif (pandangan) untuk melihat masalah-masalah sosial
yang dihadapi dalam konteksnya.
3. Membutuhkan kemampuan teknik agar dapat memprediksi kebijakan yang
diperlukan di masa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan
dengan lebih baik.
52
4. Harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk
dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat
menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif.
5. Harus mempunyai etika (moral).
Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah
pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk
memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis
untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi
model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1)
pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk
menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka
mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model
maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya
untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan
perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan.
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu
terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi
juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis
sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk
menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga
macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama
untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya
dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan
yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui
apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal
tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang
berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran
yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan
akibat dari tindakan pemerintah.
Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis
retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif
merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi
53
informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya
berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan
dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara
utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis
prospektif dan retrospektif.
2.9. Hasil Penelitian Terdahulu
Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang
kegiatan budidaya sapi potong khususnya di Indonesia dan pendekatan
pembangunan berkelanjutan sebagai metode untuk melakukan studi terhadap
suatu sumberdaya alam secara keberlanjutan. Kusumawati (1999) dalam
penelitiannya tentang pengaruh nilai tukar rupiah/USD terhadap usaha
penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia menyimpulkan bahwa
usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia dengan cara
impor bibit/bakalan tidak layak untuk dikembangkan jika kondisi nilai tukar
rupiah/USD tidak stabil. Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk
membuat kebijakan percepatan pengembangan bibit/bakalan bermutu dengan
menggunakan teknologi inseminasi buatan dan transfer embrio untuk
mengurangi ketergantungan kepada bibit/bakalan impor.
Himawan, (2001) dalam penelitiannya yang berjudul strategi
pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan
ketahanan pangan di Provinsi Riau, dengan menggunakan metode analisis
lingkungan eksternal dan internal berdasarkan konsep manajemen strategi,
menyimpulkan bahwa untuk pengembangan budidaya ternak sapi di Propinsi
Riau harus dilakukan dengan pendekatan kawasan dengan sistem integrasi.
Susilo (2003), melakukan studi di Kepulauan Seribu dengan judul
Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau
Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dengan
menggunakan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan, yang
bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di
wilayah studi. Berdasarkan hasii analisis dengan metode MDS disimpulkan
bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Panggang dan Pulau Pari termasuk ke
dalam kategori "cukup" berkelanjutan.
Mersyah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul desain sistem
budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi
54
daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan menyusun nilai indeks
keberlanjutan menggunakan MDS disimpulkan bahwa budidaya sapi potong di
Kabupaten Bengkulu Selatan kurang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan
sistem budidaya sapi potong berkelanjutan dapat dilakukan dengan strategi
moderat-optimistik.