Post on 16-Oct-2021
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah menurut Halim
(2001) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan
bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi).
Selain itu keadaan luar negeri yang juga menunjukkan bahwa semakin
maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya
saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah daerah ini diharapkan
akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah.
Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut
diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah disebutkan:
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah
Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah
Pemerintah Daerah adalah penyelenggara pemerintaha Daerah Otonom
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
22
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan Pemerintah Daerah ini merupakan salah satu bentuk
perwujudan dari sistem pemerintahan desentralisasi yang diyakini lebih baik
daripada sistem sentralistis yang selama ini dianut bangsa Indonesia. Tujuan
utama dibentuknya Pemerintah Daerah menurut Ryaas Rasyid (1996) untuk
menjaga suatu sistem ketertiban sehingga masyarakat bisa menjalankan
kehidupannya dengan wajar.
Dalam rangka membangun pemerintahan yang efektif, diperlukan adanya
desentralisasi tingkat tinggi. Tujuannya membentuk kebutuhan untuk
membangun daerah-daerah otonom yang memiliki kemandirian yang tinggi
pula. Sehingga otonomi adalah bentuk penerapan dari asas desentraliasi.
2.1.1. Desentralisasi
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman dalam
berbagai hal. Sehingga setiap bagian wilayahnya tentu memiliki
karakter potensial, sumber daya alam dan budaya yang akan lebih
tergali apabila pembangunan wilayahnya dilaksanakan secara
mandiri. Dengan demikian adanya desentraliasi menjadi hal yang
mutlak diperlukan.
Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang merupakan
kebalikan dari sistem pengelolaan sentralisasi. Sehingga
23
desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke
bagian-bagiannya baik bersifat kewilayahan maupun fungsinya.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1,
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Penerapan sistem pengelolaan desentralisasi pada
pemerintah dilakukan dengan alasan agar tercapainya efektivitas
pemerintah dan demi terlaksananya demokrasi dari lapisan paling
bawah sehingga efisiensi secara keseluruhan dapat tercapai.
Jadi desentralisasi di bidang pemerintahan adalah menyerahkan
kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan sebagian urusan
Pemerintah Pusat ke Daerah. Hal ini berarti memberi kesempatan
kepada aparat daerah, termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk
berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai
kebijakan pembangunan tanpa harus mengakses atau diakses dari
pusat.
Oleh karena itu pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah bukan
hanya soal administrasi dan keuangan tetapi juga permasalahan
politik. Hal ini terjadi agar keputusan-keputusan yang biasa
dilakukan oleh pusat dapat dilakukan di daerah. Sebab daerah tentu
tahu secara pasti apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat
setempat.
24
2.1.2. Otonomi Daerah
a. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani, yaitu Autos (sendiri)
dan Nomos (hukum atau aturan). Otonomi bermakna kebebasan dan
kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri.
Ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2004
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Wayang yang dikutip Syafrudin (1984:4), mengatakan
bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan
menjalankan kepentingan khusus se-daerah, dengan keuangan
sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan sendiri.
Sedangkan Syafrudin sendiri berpendapat bahwa istilah otonomi
mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atas kemandirian adalah
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan.
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
(Nasional) kepada pemerntah lokal atau daerah dan kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan
aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan
25
pemahaman ini, otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi.
Jadi yang dimaksud otonomi daerah pada pokoknya selalu melihat
otonomi itu sebagai hal, wewenang, dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam system negara Kesatuan republik Indonesia.
Alasan diadakannya otonomi daerah adalah untuk mempermudah,
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan jalannya
pemerintahan dalam suatu negara. Beberapa alasan munculnya
konsep otonomi daerah adalah (http://digilib.petra.ac.id):
Adanya kekurangpuasan atas hasil perencanaan pembangunan
daerah yang dicanangkan dan kontrol yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
Daerah sedang mengalami kemajuan yang cukup baik dan dapat
melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri, walaupun tidak
secara merata.
Makin kompleksnya kondisi daerah dan lingkungan masyarakat
serta meningkatnya kegiatan-kegiatan pusat, sehingga akan
26
semakin sulit untuk mengakomodasikan semua ini dalam
perencanaan yang dilakukan oleh pusat.
b. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Permasalahan otonomi menurut Haryanto (2006) sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru di Indonesia. Bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka, pola pendelegasian wewenang atau otonomi
telah dipraktekkan. Secara formal UU No 32 Tahun 2004 adalah
usaha otonomi yang kesebelas. Berikut ini adalah kronologis upaya
otonomi dalam bentuk peraturan perundang-undanganyang pernah
ada dan berlaku di Indonesia
1. Tahun 1903 Desentralisatie Wet
Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali
didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke
20 melalui Desentralisatie Wet tahun 1903.
2. Tahun 1922
Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pembaharuan untuk
memberikan otonomi lebih besar kepada Daerah untuk
menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitasnya.
3. Tahun 1942
Pemerintah Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan
Jepang yang memerintah sampai dengan tahun 1945.
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang ini diterbitkan pada tanggal 23 Nopember 1945
dan merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah
27
kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD
1945.
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
Undang-undang No 22 Tahun 1948 yang dimaksudkan sebagai
pengganti UU No 1 Tahun 1945 yang sudah dianggap tidak
sesuai lagi dengan semangat kebebasan.
6. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Apabila UU No 1/1946 lebih menekankan pada aspek
dekonsentrasi, dan UU No 22/1948 pada aspek desentralisasi,
maka UU No 1/1957 ditandai dengan penekanan yang jauh lagi
kearah desentralisasi.
7. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari
Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk
mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD.
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang
semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan Daerah agar
sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom.
9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU 5/1974 yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam
prakteknya, prinsip dekonsentrasi yang lebih dominan.
28
10. Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999
Perubahan ini secara prinsip mengubah secara radikal hubungan
Pusat Daerah, besarnya kewenangan Daerah dan Perimbangan
Keuangan yang diatur secara khusus dalam UU No 25 sebagai
buah reformasi 1999.
11. Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Merupakan revisi terhadap UU No 22 dan 25 Tahun 1999.
Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah
untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana publik (public services).
Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri
oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta
pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan banyak
memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya:
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat
Mendorong perkembangan perekonomian daerah
Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang
Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
Meningkatkan pendapatan asli daerah
Mendorong kegiatan investasi
29
c. Prinsip-Prinsip Pemberian Otonomi Daerah
Untuk mencapai tujuan otonomi daerah, maka diperlukan prinsip-
prinsip dalam pemberian otonomi daerah antara lain, pelaksanaan
otonomi harus didasarkan pada otonomi seluas-luasnya, nyata, dan
bertanggung jawab.
Penjelasan umum Undang-Undang No.32 tahun 2004 mengenai
prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab,
yaitu:
a. Otonomi seluas-luasnya berarti daerah diberikan kewenagan
mengurus pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah
yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
b. Nyata berarti bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasrkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyata-nyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup
dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
c. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
30
Sedangkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang dijadikan pedoman
dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 adalah:
a. Penyelenggaraan otonomi derah dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada
daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah
propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi
negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara
pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah
kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan
pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan
perkebunan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan
semacamnya berlaku ketentuan “Peraturan Daerah Otonom”.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan
dan fungsi badan legislatif saerah, baik sebagai fungsi legislasi,
31
fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atau penyelenggaraan
pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi
dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang
dilimpahkan kepada gubernur sebaga wakil pemerintah.
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya
dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan
daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada
yang menugaskannya.
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD. APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan
peraturan daerah.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada
RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk
tercapainya tujuan bernegara. APBD merupakan dasar pengelolaan
32
keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai
tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Penetapan prioritas anggaran pengeluaran daerah harus mengacu pada
prinsip penganggaran terpadu (unified budgeting). Penganggaran terpadu
adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara
terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan
pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi
dana.
Sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,
penyusunan APBD 2007 harus berdasar pada penganggaran terpadu.
Penyusunan APBD dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja.
Penyusunan APBD tersebut juga harus berorientasi pada anggaran berbasis
kinerja.
Penganggaran di daerah harus di susun dalam Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (Medium-Term Expenditure Framework). Kerangka Pengeluaran
Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan,
dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam
perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan
implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya
yang dituangkan dalam prakiraan maju. Prakiraan Maju (forward estimate)
adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari
tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan
33
kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun
berikutnya.
1. Asas dan Fungsi APBD
Salah satu asas penting dalam menetapkan prioritas anggaran belanja yang
dijabarkan dalam APBD adalah bahwa penentuan anggaran disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah. Secara khusus, penganggaran pengeluaran harus
didukung oleh adanya kepastian sumber pendanaan yang cukup dan
memiliki landasan hukum yang kuat (Pasal 18 PP Nomor 58 Tahun 2005).
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.
a. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
b. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
c. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
d. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan
34
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
e. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian daerah.
Secara lebih spesifik, fungsi APBD dalam proses pembangunan di daerah
adalah sebagai:
a. Instrumen kebijakan (policy tools). Anggaran daerah adalah salah satu
instrumen formal yang menghubungkan Eksekutif Daerah dengan
tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh Legislatif Daerah.
b. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tool). Dengan mengubah prioritas dan
besar alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong,
memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi
masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah.
c. Instrumen perencanaan (planning tool). Di dalam anggaran daerah
disebutkan tujuan yang ingin dicapai, biaya dan output/hasil yang
diharapkan dari setiap kegiatan di masing-masing unit kerja.
d. Instrumen pengendalian (control tool). Anggaran daerah berisi rencana
penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini
dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending
atau mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain.
35
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa anggaran daerah tersebut tidak
dapat berdiri sendiri. Anggaran daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari seluruh proses perencanaan pembangunan daerah.
2. Pedoman Penyusunan APBD
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 mengatur tentang
Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007. Secara singkat,
pedoman tersebut meliputi:
a. Sinkronisasi kebijakan pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah
Daerah
Untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan nasional tahun 2007,
perlu dilakukan sinkronisasi program dan kegiatan Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah. Selain itu, perlu ada keterkaitan antara
sasaran program dan kegiatan provinsi dengan kabupaten/kota untuk
menciptakan sinergi sesuai dengan kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota.
b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD dan perubahan APBD
Penyusunan APBD perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Partisipasi masyarakat;
Pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan
APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga
masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam
pelaksanaan APBD.
36
2. Transparansi dan akuntabilitas anggaran;
APBD harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah
diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan
pada setiap jenis/objek belanja serta korelasi antara besaran anggaran
dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang
dianggarkan.
3. Disiplin anggaran;
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang
terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi pengeluaran belanja;
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan
tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia
atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam
APBD/Perubahan APBD;
Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD
dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah.
4. Keadilan anggaran;
Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang
dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan
kemampuan untuk membayar. Dalam mengalokasikan belanja
daerah, Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan keadilan dan
37
pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.
5. Efisiensi dan efektivitas anggaran;
Dana yang tersedia harus dimanfaatkandengan sebaik mungkin untuk
dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
maksimal guna kepentingan masyarakat.
6. Taat azas; penyusunan APBD tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan peraturan daerah lainnya.
c. Teknik penyusunan APBD
Dalam menyusun APBD pada tahun anggaran 2007, langkah-langkah
yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 adalah:
1. Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan dokumen Prioritas
dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
2. Pembahasan KUA dan PPAS antara Pemerintah Daerah dengan
DPRD
3. Penetapan Nota Kesepahaman KUA dan Prioritas dan Plafon
Anggaran (PPA)
4. Penyusunan dan penyampaian surat edaran kepala daerah tentang
pedoman penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD
5. PPKD melakukan kompilasi RKA-SKPD menjadi Raperda APBD
untuk dibahas dan memperoleh persetujuan bersama dengan DPRD
sebelum diajukan dalam proses Evaluasi
38
6. Pembahasan RKA-SKPD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD) dengan SKPD
7. Penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang APBD
8. Pembahasan Raperda APBD
9. Proses penetapan Perda APBD baru dapat dilakukan jika
Mendagri/Gubernur menyatakan bahwa Perda APBD tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan
yang lebih tinggi
10. Penyusunan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD.
d. Teknis penyusunan perubahan APBD
Perubahan APBD harus dilandasi dengan perubahan KUA dan Prioritas
dan Plafon Anggaran (PPA) yang disepakati bersama antara Pimpinan
DPRD dan Kepala Daerah. Perubahan Peraturan Daerah tentang APBD
hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali
dalam keadaan luar biasa.
Perubahan APBD dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
1. Perkembangan yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi KUA,
misalnya perubahan asumsi makro, proyeksi pendapatan daerah
terlampaui atau tidak tercapai, terdapat faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya peningkatan belanja daerah, dan adanya
perubahan kebijakan di bidang pembiayaan
39
2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antar unit organisasi, antar program, antar kegiatan, dan antar jenis
belanja
3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan
4. Keadaan darurat
5. Keadaan luar biasa.
2.3 Keuangan Daerah
Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu
melaksanakan otonomi, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya
daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri
yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya,
dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan
terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka
pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh pelayanan
kemasyarakatan di daerah, oleh karena itu keuangan daerah diupayakan
untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Secara konseptual lahirnya otonomi daerah telah memberikan keleluasaan
daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah
yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman
40
Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Untuk itu kebijaksanaan
keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan
sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi
pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-
sumber Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan ini juga diarahkan pada
penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar akuntansi dalam
penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan,
pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Tujuan keuangan daerah pada masa otonomi adalah menjamin tersedianya
keuangan daerah guna pembiayaan pembangunan daerah, pengembangan
pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip, norma, asas dan
standar akuntansi serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara kreatif
melalui penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan
sasaran yang ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan
daerah melalui upaya yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif
dan efisien.
2.3.1 Pandapatan Asli Daerah
Pada masa orde baru kemampuan daerah dalam menjalankan
pemerintahannya didasarkan pada undang-undang No 5/tahun 1974 di
samping mengatur pemerintahan daerah, Undang-undang tersebut juga
menjelaskan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya
pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan
41
dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari
tiga komponen besar yaitu;
1. Pendapatan asli daerah yang meliputi:
Hasil pajak daerah
Hasil retribusi daerah
Hasil perusahaan daerah (BUMD)
Lain-lain hasil usaha daerah yang sah
2. Pendapatan yang berasal dari pusat meliputi:
Sumbangan dari pemerintah
Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
2.3.2 Pajak Daerah
Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang
pajak daerah, pajak daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang
pribadi atau badan pada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan-peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan daerah.
Penggolongan pajak daerah mencakup :
1. Pajak Propinsi terdiri dari :
a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air
42
b. Bea balik nama kendaraan bernlotor dan kendaraan diatas air
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak pengembalian dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan.
2. Pajak kabupaten /kota terdiri dari :
a. Pajak parkir
Objek pajak parkir antara lain : tempat penyelenggaraan tempat
parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan sebagai suatu
usaha, tempat penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor
dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Yang
tidak termasuk objek pajak adalah penyelenggaraan tempat
parkir oleh pemerintah pusat dan daerah, kedutaan dan
perwakilan negara asing, penyelenggaraan tempat parkir yang
diatur oleh pemerintah daerah.
Subjek parkir antara lain : orang pribadi atau badan yang
melakukan pembayaran atas tempat parkir, orang pribadi atau
badan yang menyelenggarakan tempat parkir. Tarif pajak parkir
paling tinggi sebesar 20 % yang diatur oleh pemerintah daerah
Dasar pengenaan pajak parkir adalah orang pribadi atau badan
yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir.
b. Pajak hotel
c. Pajak restoran
d. Pajak hiburan
e. Pajak reklame
43
f. Pajak penerangan jalan
g. Pajak pengambilan bahan galian golongan C
Selain jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut, pemerintah daerah juga
memiliki wewenang untuk menetapkan jenis pajak yang lain dengan
mengeluarkan peraturan daerah.
Adapun jenis pajak tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi
2. Objek pajak terletak/terdapat diwilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta harus
melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
3. Objek dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum
4. Objek bukan merupakan pajak propinsi atau objek pajak pusat
5. Potensinya memadai
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif
7. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat
8. Menjaga kelestarian lingkungan
2.3.3 Retribusi Daerah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai
44
pembayaran atau jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Retribusi adalah pungutan uang sebagai pembayaran pemakaian atau karena
memperoleh pekerjaan, atau usaha milik pemerintah baik yang
berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh pemerintah dan berdasarkan
peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah.
Retribusi adalah pungutan daerah sebagi pembayaran pemakaian atau
karena mernperoleh jasa pekerjaan. Usaha atau milik daerah untuk
kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik
langsung maupun tidak langsung (Kaho: 1991).
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa retribusi
daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian
jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi
yang berkepntingan atau karena jasa yang diberikan oleh pemerintah
daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi
daerah, dapat digolongkan :
1. Retribusi Jasa Umum
Adalah retribusi jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan
Jenis jenis retribusi jasa umum antara lain :
45
a. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
Adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang
ditentukan oleh pemerintah daerah. Karena jalan menyangkut
kepentingan umum, maka penetapan jalan umum sebagai tempat
parkir mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Retribusi pelayanan kesehatan
c. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan
d. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte
catatan sipil
e. Retribusi pelayanan pemakaman dan penguburan mayat
f. Retribusi kendaraan bermotor
g. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebaran
h. Retribusi biaya cetak peta
i. Retribusi pengujian kapal perikanan
j. Retribusi pelayanan pasar
2. Retribusi Jasa Usaha
Adalah retribusi yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan
oleh sektor swasta.
Jenis-jenis retribusi jasa usaha antara lain :
a. Retribusi tempat parkir khusus
Adalah penyediaan tempat khusus parkir yang khusus disediakan.
Dimiliki dan /atau dikelola oleh pemerintah daerah, tidak termasuk
46
dikelola oleh badan usaha milik daerah dan pihak swasta.
b. Retribusi pemakaian kekayaan daerah
c. Retribusi pasar grosir /pertokoan
d. Retribusi tempat pelelangan
e. Retribusi terminal
f. Retribusi tempat penginapan
g. Retribusi penyedotan kakus
h. Retribusi pelabuhan kapal
i. Retribusi potong hewan
j. Retribusi tempat rekreasi dan olahraga
k. Retribusi tempat penyeberangan diatas air
l. Retribusi pengolahan limbah cair
m. Retribusi penjualan produksi usaha daerah.
3. Retribusi Perizinan Tertentu
Adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pembinaa, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas
kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau faslitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis jenis retribusi perizinan tertentu antara lain:
a. Retribusi mendirikan bangunan
b. Retribusi izin menjual tempat minuman alkohol
47
c. Retribusi izin gangguan
d. Retribusi izin trayek
Sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada hampir semua daerah di
Indonesia masih bertumpu pada pajak dan retribusi daerah. Sehingga
kreativitas pemerintah daerah sering dituntut untuk dapat memperoleh
pendapatan melalui dua unsur penting ini dengan cara-cara yang tepat.
Ditinjau dari segi ekonomi pajak diartikan sebagai uang atau harta dari wajib
pajak ke sektor pemerintah tanpa adanya imbalan secara langsung yang
dapat ditunjuk dan penggunaannya adalah untuk menyelenggarakan
pelayanan. Sedangkan retribusi diartikan adalah pungutan sebagai
pembayaran atas jasa pekerjaan, jasa milik daerah dan jasa lainnya yang
diberikan daerah.
Davey (1988:39) mengartikan pajak adalah:
1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari
daerah sendiri
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penerapan
tarifnya dilakukan oleh pemerintah sendiri.
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah.
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat
tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan,
atau dibebani pungutan tambahan (opsi oleh pemerintah daerah)
48
Sehingga pajak daerah semestinya mampu meningkatkan penerimaan
daerah, sehingga pajak harus:
1. Tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat
2. Biaya pungut dan administrasinya relatif murah
3. Pajak daerah bersifat sederhana dan objeknya jelas
4. Pajak daerah memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi pajak
negara (pusat).
Sedangkan retribusi seperti definisinya, menurut Ibnu Rejo (1996:17)
merupakan:
1. Pungutan-pungutan yang dilakukan oleh daerah
2. Pungutan retribusi tersebut dikenakan kepada siapa saja yang
memanfaatkanya atau mendapatkan jasa yang disediakan daerah.
3. Pungutan retribusi diarahkan kepada prestasi yang diberikan daerah
secara langsung dapat ditunjuk.
Dengan pengertian di atas maka retribusi daerah merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang potensial, hal ini tergantung dengan besar
kecilnya jasa layanan yang diberikan daerah kepada masyarakat.
Dalam hal pelayanan publik apakah akan dikenakan pajak atau retribusi
Santoso (1995:22) menyimpulkan bahwa hal ini tergantung pada derajat
kemanfaatan barang dan jasa itu sendiri. Semakin dekat kemanfaatan barang
dan jasa dengan private goods maka pembiayaannya berasal dari retribusi.
Semakin dekat kemanfaatan suatu barang dan jasa dengan public goods
maka pembiayaan berasal dari pajak. Keputusan untuk tidak memungut
49
retribusi atas penyediaan barang dan jasa pada esensinya berarti keputusan
untuk menarik pajak.
Landasan teoritis kebijaksanaan memungut bayaran untuk barang dan
layanan (retribusi) yang disediakan oleh pemerintah daerah berpangkal pada
pengertian efisiensi ekonomi. Dalam hal orang perorangan bebas
menentukan besarnya layanan tertentu yang hendak dinikmatinya harga
layanan itu memainkan peranan penting dalam memberi alokasi
permintaaan, mengurangi penghamburan dan dalam memberikan isyarat
yang perlu kepada pemasok mengenai besarnya produk layanan tersebut.
Selain itu penerimaan dari pengutan adalah sumber daya untuk menaikkan
produk sesuai dengan keadaan permintaan.
Secara umum keunggulan utama retribusi atas pajak adalah karena
pemungutan retribusi berdasarkan pada kontra prestasi, dimana tidak
ditentukan batasan seperti halnya sektor pajak. Pembatas utama bagi
retribusi adalah terletak pada ada atau tidaknya jasa yang disediakan
pemerintah. Sampai sejauh mana retribusi dapat menghasilkan keuangan
daerah tentunya ditujukan oleh seberapa banyak jasa yang telah diberikan
pemerintah daerah kepada pengguna jasa tersebut. Sementara berdasarkan
pada prinsip kemanfaatan dalam penerikan retribusi maka mereka yang tidak
mendapatkan manfaat dari penyediaan barang dan jasa tidak harus
membayar, sebaliknya mereka yang tidak membayar dapat dikecualikan dari
mengkonsumsi barang/jasa tersebut.
50
2.4 Kinerja Keuangan Daerah
Dari ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu
pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari
ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Di
samping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi
kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu
berada di daerah. Sehingga ada beberapa proyek pemerintah pusat melalui
APBN tetapi dana itu juga masuk di dalam anggaran pemerintah daerah
(APBD). Adapun pembiayaan pemerintah dalam hubungannya dengan
pembiayaan pemerintah pusat diatur sebagai berikut:
Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam
rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka
desentralisasi dibayar dari dan atas beban APBD.
Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah
daerah atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan,
dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau pemerintah
daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi Pemerintah
pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan
demikian bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya
disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat ajuga mendapat
limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan, dana
propinsi tersebut berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai
51
penelitian empiris yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga
sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas peranan dari pendapatan
yang berasal dari pusat sangat dominan.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk
dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan
baik atau tidak.
Dalam instansi pemerintahan pengukuran kinerja tidak dapat diukur dengan
rasio-rasio yang biasa di dapatkan dari sebuah laporan keuangan dalam suatu
perusahaan seperti, Return Of Investment. Hal ini disebabkan karena
sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak ada “Net Profit”. Kewajiban
pemerintah untuk mempertanggung jawabkan kinerjanya dengan sendirinya
dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan
hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-
kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah.
Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada
pertanggung jawaban apakah sumber yang diperoleh sudah digunakan sesuai
dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian
pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan
dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan
posisi pemerintah saat itu.
52
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Hasil analisis
rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolok ukur dalam:
a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai
penyelengggaraan otonomi daerah.
b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan
daerah.
c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam
membelanjakan pendapatan daerahnya.
d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendaptan dalam
pembentukan pendapatan daerah.
e. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan
pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
2.5 Analisis Laporan Keuangan
Laporan keuangan memuat informasi yang relevan mengenai posisi
keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan
selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk
membandingakn realisasi, pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan
dengan anggaran yang ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi
efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan
ketaatannya terhadap peraturan perundangan.
53
Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan ini diperlukan
mengingat setiap entitas pelaporan menggunakan sumber dana/anggaran
yang berasal dari rakyat dan perlu dipertanggungjawabkan pencapaian
kegiatannya. Oleh karena itu laporan keuangan yang disusun oleh suatu
entitas diperlukan untuk keperluan:
1. Akuntabilitas, yaitu untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan
sumber daya serta pelaksanaan kegiatan secara periodik.
2. Transparansi, yaitu memberikan informasi keuangan yang terbuka dan
jujur kepada masyarakat.
3. Keseimbangan antar generasi (intergenerational equity), membantu para
pengguna untuk mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah untuk
membiayai seluruh pengeluaran pengeluaran yang dialokasikan.
(http://www.bppk.depkeu.go.id)
2.5.1 Metode Analisis Laporan Keuangan
a. Analisis Horizontal
Analisis horizontal disebut juga analisis trend,yaitu dengan
melihat atau mempelajari turun naiknya data yang nampak pada
laporan keuangan. Teknik analisis ini menunjukkan
kecenderungan setiap pos dari suatu laporan keuangan apakah
tetap, meningkat atau, arah yang menurun agar dapat
menunjukkan arah tcrsebut dibutuhkan suatu perhitungan untuk
mencari hubungan antara pos yang sama selama beberapa tahun
serta diperlukannya alat pengukuran yaitu tahun dasar.
54
Jadi trend yang dimaksud, di sini adalah untuk menunjukkan
hubungan antara masing-masing tahun terhadap tahun dasar.
Adapun kesulitannya dalam hal ini adalah menentukan tahun
yang dapat mencerminkan keadaan normal dan yang akan
digunakan sebagai tahun dasar. Analisis trend akan dapat
menunjukkan suatu pos itu mempunyai kecenderungan atau
tendensi yang menguntungkan alau tidak menguntungkan.
b. Analisis Vertikal
Analisis vertikal yaitu laporan keuangan yang dianalisis hanya
meliputi satu periode atau satu saat saja, yaitu dengan
membandingkan antara satu pos yang satu dengan pos yang lain
dalam laporan keuangan tersebut, sehingga akan diketahui
keadaan keuangan atau hasil operasi pada saat itu saja.
2.6 Rasio Keuangan Daerah
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar
penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja
keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio
keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim,
2002).
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan
secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat
55
komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah
masih sangat terbatas sehingga secara teoretis belum ada kesepakatan yang
bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan
keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan
akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu
dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntansiannya
dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo,
2002).
Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur
akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2002:128), yaitu rasio kemandirian
keuangan (otonomi fiskal), rasio efektivitas terhadap pendapatan asli daerah,
rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian, rasio pertumbuhan
(analisis shift), rasio proporsi pendapatan dan belanja daerah (analisis share).
Namun dalam penelitian ini hanya akan mengukur kinerja keuangan berupa
tingkat kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi.
2.6.1 Tingkat Kemandirian
Menurut Halim (2002) gambaran citra kemandirian daerah dalam
berotonomi dapat diketahui melalui beberapa besar kemampuan
sumber daya keuangan untuk daerah tersebut, agar mampu
membangun daerahnya disamping mampu pula untuk bersaing
secara sehat dengan kabupaten lainnya dalam mencapai otonomi
yang sesungguhnya. Upaya nyata didalam mengukur tingkat
56
kemandirian yaitu dengna membandingkan besarnya realisasi PAD
dengan total pendapatan daerah.
DaerahPenerimaanTotalDaerahAslitanPendapa
nKemandiriaTotal
Tingkat kemandirian menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian,
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah yang merupakan komponen utama Pendapatan Asli
Daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi
daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
semakin tinggi pula.
Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168)
mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan
undang-undang Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu
sebagai berikut.
a. Pola hubungan instruktif, peranan pemerintah pusat lebih
dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah. (daerah yang
tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)
b. Pola hubungan konsultatif, campur tangan pemerintah pusat
sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih
mampu melaksankan otonomi.
57
c. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin
berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan
otonomi daerah.
d. Pola hubungan delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
Tabel 3. Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
KemampuanKeuangan
Kemandirian % Pola Hubungan
Rendah SekaliRendahSedangTinggi
0% - 25%25% - 50%50% - 75%75% - 100%
InstruktifKonsultatifPartisipatifDelegatif
2.6.2 Rasio Efektivitas
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil
daerah. (Halim: 2002)
PADTarget
PADPenerimaanalisasiResEfektivitaRasio
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif
apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen.
Dengan kata lain kemampuan daerah dalam menjalankan tugas
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%.
Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan
kemampuan daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan
58
Kepmendagri No.690.900-327, Tahun 1996 mengkategorikan
kemampuan efektivitas keuangan daerah otonom ke dalam lima
tingkat efektivitas seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 4. Rasio Efektivitas Kinerja Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan Rasio Efektivitas (%)Sangat EfektifEfektifCukup EfektifKurang EfektifTidak Efektif
>100>90-100>80-90>60-80
≤60
2.6.3 Rasio Efisiensi
Rasio efesiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan
antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja
pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan
dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu)
atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja
pemerintah semain baik.
Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa
besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh
pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah
kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal
itu perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil
merealisasikan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan,
namun keberhasilan itu kurang memilki arti apabila ternyata biaya
59
yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan
pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang
diterimanya.
PADPenerimaanRealisasi
PADmemungutuntukndikeluarkayangBiayaEfisiensiRasio