Post on 25-Mar-2019
IDENTIFIKASI MORFOMETRI KARAKTERISTIK DAN
EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DAGING KELELAWAR
DI SULAWESI SEBAGAI BAHAN PANGAN
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Identifikasi Morfometri
Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi
sebagai Bahan Pangan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2013
Tiltje Andretha Ransaleleh
NIM: D161090031
iv
ABSTRACT
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Morphometric Identification
Characteristics and Extraction of Bioactive Components of Fruit Bats Meat in
Celebes as Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
This study aims to determine the species of fruitbats, bioactive compounds
in meat, carcass and meat product, meat quality and nutritional value, level of
consumer acceptance of processed meat, and security of processed meat as food.
The results showed five species of bats identified to species level, and 3 types to
genus level. Carcass production of Acerodon celebensis were 51.98-56.04%,
Pteropus alecto (54.49-56.55%), Nyctimene cephalotes (61.58%), Rousettus
amplexicaudatus (55.65%) Thoopterus sp (49.29-64.07%), and meat production
were 54.81-56.92, 45.37-54.03, 50.27, 51.67, 51.41-51.86%, respectively. The pH
value and water holding capacity for unfrozen P. alecto meat were higher than
frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna, while the cooking loss were
lower. Protein, water, Ca and P percentage of P. alecto and R. amplexicaudatus
were lower than pork, chicken, and tuna, but the fat percentage was higher. Ratio
of saturated fatty acid (SFA), Monounsaturated fatty acid (MUFA), and
Polyunsaturated fatty acid (PUFA) for A. celebensis was 17.21:13.27:1, for P.
alecto was 23.36:13.13:1, for R. amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was
2.48:2.83:1, Chicken was 2:1.5:1, Tuna was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino
acids and non essential amino acids for A. celebensis was 1.16:1, for P. alecto
was 0.98:1, for R. amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken
was 1.17:1, and for tuna was 1.12:1. Cholesterol for P. alecto, R.
amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20, 234.75, 287.54, 192.88,
263.15, 138.21 mg, respectively. LC-MS results showed that the highest in
percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 (C26H3704),
324.2691 (C23H34N), 276.2 (C19H34N), and 319.3 (C21H39N2). Consumer
preference for processed P. alecto meat was the same with conventional livestock
meat and tuna. P. alecto meat was cooked rica-rica that stored up to 14 days in
freezing temperatures contained total microbial count of 3.1 x 104 cfu/mL-6.0 x
104
cfu/mL, Staphylococcus aureus, 7.7 x 101 cfu / mL - 7.6 x 10
3 cfu / mL.
Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of P.
alecto meat that cooked kari was 6.8 x 105 cfu / mL - 9.7 x 10
5 cfu/mL, S. aureus
was 4.3 x 101 cfu / mL - 1 x 10
4 cfu / mL. E. coli <3 / mL, and Salmonella sp was
negative. The conclusions of this study was fruit bats were found 5 sp. The body
weight could be used to predict the expected growth rate and carcass component
of the fruit bats. The quality for fruit bat meats are similar with conventional
livestock and tuna. Rica-rica P. alecto meat and curry were preferred by
consumers and safe for consumption up to 14 days of storage at 5ºC.
Keywords: fruitbats, characteristics, bioactive, food, Celebes.
RINGKASAN
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Morfometri Karakteristik dan
Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan
Pangan. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU.
Kelelawar sangat penting keberadaannya karena peranannya sebagai
pemencar biji buah-buahan dan penyerbuk tumbuhan, juga sebagai bahan pangan
yang dipercayai dapat menyembuhkan alergi, asma, dan meningkatkan stamina.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah
yang dijadikan bahan pangan, produksi karkas dan komponen karkas, sifat-sifat
fisik dan kimia daging, nilai gizi daging, serta jenis komponen bioaktif pada
daging kelelawar yang dibandingkan dengan daging ternak konvensional, dan
ikan cakalang. Selain itu untuk mengetahui komponen bioaktif bumbu masak,
tingkat penerimaan konsumen, dan total mikrob daging kelelawar olahan pada
saat dikonsumsi.
Identifikasi dilakukan menggunakan kunci identifikasi kelelawar
berdasarkan morfometri dan warna tubuh. Metode yang digunakan adalah survei
lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi.
Produksi karkas dan komponen karkas dihitung berdasarkan perhitungan ternak
konvensional. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya
mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging
adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol.
Untuk mengetahui komponen bioaktif dalam daging, sebagai skrining awal
dilakukan uji fitokimia, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi
ekstrak n-heksana P. alecto. Ekstraksi menggunakan metode Sokhlet. Uji
fitokimia daging dan bumbu masak meliputi uji steroid/triterpenoid menggunakan
pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof,
pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi
AlCl2, dan uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa
aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi
lapis tipis (KLT).
Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot
molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-MS).
Penentuan struktur kimia senyawa aktif menggunakan software masslynx. Untuk
mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan
dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak dengan cara
dikukus, dimasak kari, dan masak rica-rica dianalisis menggunakan uji Kruskal-
Wallis. Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji,
dianalisis menggunakan grafik kotak plot (boxplot). Skala hedonik yang
digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma,
keempukan, dan penerimaan umum. Untuk mengkaji total mikrob, Escherichia
coli. Staphylococcus aureus, Salmonella sp, dan Koliform dalam daging kelelawar
menggunakan metode hitungan cawan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelawar pemakan buah yang
teridentifikasi sampai tingkat genus ada tiga jenis, yaitu satu jenis dari genus
Pteropus sp, dua jenis dari genus Thoopterus sp. Kelelawar yang teridentifikasi
viii
sampai tingkat spesies ada lima spesies. Analisis kelompok (cluster analysis)
menunjukkan Pteropus sp memiliki kesamaan morfometri mencapai 99% dengan
P. alecto. Thoopterus sp memiliki kesamaan 99% dengan T. nigrescens. Produksi
karkas A. celebensis adalah 51.98%-56.04% dan produksi daging 54.81-56.92%.
Produksi karkas P. alecto adalah 54.49%-56.55% dan produksi daging 45.37%-
54.03%. Produksi karkas N. cephalotes adalah 61.58% dan produksi daging
50.27%. Produksi karkas R. amplexicaudatus 55.65% dan produksi daging
51.67%. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29%-64.07%
dan produksi daging 51.41%-51.86%. Nilai pH daging kelelawar P. alecto yang
disembelih, daging kelelawar P. alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07,
dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92%±2.95%, 32.63±1.00%,
44.78±0.68%, 45.78±3.59%, dan 43.23 ±1.13%, sedangkan susut masak adalah
12.83±.1.12%, 36.46±1.39%, 19.45±1.46%, 16.30±1.12%, dan 27.32±0.72%.
Berdasarkan basis segar maka kadar protein daging kelelawar P. alecto, kelelawar
N. cephalotes, dan kelelawar R. amplexicaudatus secara berturut-turut adalah
20.48, 21.73, dan 21.08%, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84%.
Berdasarkan basis kering, kadar protein P. alecto, R. amplexicaudatus, daging
babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 48.97, 51.49,
69.08, 67.14, dan 69.41%, kadar lemak adalah 29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan
3.47%, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27, dan 9.90%, kadar Ca adalah 10.62,
2.09, 1.09, 1.36, dan 1.83%, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72%.
Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1. P.
alecto adalah 23.36:13.13:1. R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1. Daging babi
adalah 2.48:2.83:1. Daging ayam adalah 2:1.5:1. Ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1.
Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial daging A. celebensis adalah
1.16:1, daging P. alecto adalah 0.98:1, daging R. amplexicaudatus adalah 1.05:1,
daging babi adalah 1.1:1, daging ayam adalah 1.17:1, dan ikan cakalang adalah
1.12:1. Kadar kolesterol P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam,
dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg,
192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Hasil skrining awal tahap pertama
menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging N. cephalotes,
P. alecto, dan T. nigrescens positif mengandung senyawa steroid. Hasil skrining
awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari N. cephalotes, P.
alecto, dan R. amplexicaudatus menunjukkan adanya senyawa steroid dan
alkaloid, sedangkan A. celebensis, T. nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp,
daging babi, kelinci, dan ikan cakalang hanya mengandung senyawa steroid.
Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa
triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak
n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron, yaitu 17-[(3
Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate dengan rumus molekul
C26H37O4, dan empat senyawa mirip dengan steroid kelompok androstan, yaitu
(5α,14β,17β)- Androstan -17-aminium, (5β,14β,17β)- Androstan -17-aminium,
(5β,8α,14β,17β)-Androstan-17-aminium, (5α,8α,14β,17β)-Androstan-17-aminium
dengan rumus molekul C19H34N. Empat senyawa mempunyai kemiripan dengan
alkaloid kerangka piridin-piperidin dan senyawa kitotifen, yaitu 1-{[(5R,7S)-3-(4-
Methyl phenyl)- 1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3- phenylpyridinium, 1-
{[3-(4-Methyl phenyl)-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1-(7-Isopropyl-1-
ix
methyl-4-azulenyl)-2-methyl-2-propanyl]- 1-methylpyrrolidinium, dan satu
senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid golongan imidazol, yaitu
(3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3, 9-dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo
[1,2-a:1',2'-c] pyrimidin-4-ium. Tingkat kesukaan konsumen menunjukkan bahwa
jenis daging dengan cara pengolahan yang berbeda berpengaruh nyata (P˂0.05)
pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis tahap
pertama terhadap kandungan mikrob menunjukkan bahwa total mikrob S. aureus,
E. coli, coliform, dan Salmonella sp dari tiga jenis kelelawar yang dimasak rica-
rica dan dimasak kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang
ditetapkan Bandan Standard Nasional untuk pangan asal hewan. Hasil analisis
tahap kedua menunjukkan bahwa kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan
hingga 14 hari mengandung total mikrob 3.1 x 104 cfu/mL-6.0 x 10
4cfu/mL, S.
aureus 7.7 x 101 cfu/mL-7.6 x 10
3 cfu/mL, sedangkan E. coli dan Salmonella sp
adalah negatif. Daging kelelawar kari mengandung total mikrob 6.8 x 105cfu/mL-
9.7 x 105cfu/mL, S. aureus 4.3 x 10
1 cfu/mL-1 x 10
4 cfu/mL. E. coli < 3/ mL, dan
Salmonella sp adalah negatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kelelawar yang ditemukan
adalah lima spesies. Daging kelelawar A. celebensis, P. alecto, dan R.
amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging yang hampir sama
dengan daging babi dan ayam, walaupun kandungan SFA yang tinggi. Tingkat
kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak menggunakan bumbu kari
dan rica. Daging kelelawar rica-rica dan kelelawar kari yang dimasak beberapa
jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 pada suhu 5ºC masih
layak dikonsumsi. N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa yang lebih beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh
senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka
piridin-piperidin dan imidazol, oleh karena itu dugaan daging kelelawar dapat
membantu penyembuhan penyakit asma dan dapat meningkatkan stamina dapat
diterima.
Kata kunci : kelelawar, karakteristik, bioaktif, pangan, Sulawesi.
x
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
xii
IDENTIFIKASI MORFOMETRI KARAKTERISTIK DAN
EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF DAGING KELELAWAR
DI SULAWESI SEBAGAI BAHAN PANGAN
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
xiv
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.RurSc.
Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka :
Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria-Rungkat, MSc
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Judul Disertasi : Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi
Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi
sebagai Bahan Pangan
Nama : Tiltje Andretha Ransaleleh
NIM : D161090031
Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA
Ketua
Prof. Dr. Dra. Purwantiningsih Sugita, MS Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu
Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 20 November 2012 Tanggal Lulus: ……………………
Almarhum
xvi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
anugerah dan kasihNya sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan
judul Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif
Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan Pangan pada Program Studi Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan. Penyusunan disertasi ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing Ibu Dr. Ir.
Rarah Ratih Adjie Maheswari DEA, Ibu Prof. Dr. Dra. Purwantiningsih Sugita
MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu yang telah memberi arahan, bimbingan,
saran, dan perhatian dalam penyelesaian disertasi ini. Dekan Pascasarjana IPB dan
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, para
dosen dilingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan
staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB atas ilmu, arahan, layanan, bantuan
dan semua masukkan yang diberikan.
Terima kasih disampaikan kepada bapak Sigit Wiantoro dari LIPI
Cibinong yang sudah membantu mengidentifikasi kelelawar. Bapak Sabur, Ibu
Jenni, mbak Nia, dan adik-adik mahasiswa dari Laboratorium Kimia Organik,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Mner John dan Cristine
dari Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Manado. Mbak
Devi, Angie dan adik-adik mahasiswa dari Laboratorium Bagian Mikrobiologi,
Fakultas Peternakan IPB. Ibu Anis dari Laboratorium Bioteknologi, Pusat Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, Serpong,
Tangerang. Teman-teman mahasiswa pascasarjana angkatan 2009 (Ibu Lucia
lambey, Ibu Triana Susanti, Ibu Nena Helmia, Ibu Lia Budimulyati Salman, Ibu
Nova Rugayah, Ibu Yurleni, Bapak Hasil Tamsil) akan bantuan, kebersamaan,
saling membagi, dan memberi semangat dalam menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman Asrama
Mahasiswa Bogor Baru ll (Only, Ola, Enci Lenda, Indri, Dave, Rendy), Asrama
Bogor Baru 1 dan Sempur atas kerjasama yang baik, juga Ibu Adel yang selalu
mendoakan selama menuntut ilmu di IPB. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada kakak dan adik-adikku Jefri Ransaleleh, Heltie Ransaleleh, Weycke
Ransaleleh, James Ransaleleh, Swingly Ransaleleh, Stenly Weley, dan Solly
Schalwyk, serta hukum tua dan masyarakat desa Peonea yang sudah membantu
penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih dan hormat dipersembahkan
kepada papa dan mama serta seluruh keluarga besar Ransaleleh-Schalwyk atas
doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Tiltje Andretha Ransaleleh
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karimbow, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi
Sulawesi Utara pada tanggal 17 Agustus 1964 sebagai anak kedua dari enam
bersaudara dari pasangan Bapak Max Ransaleleh dan ibu Adolfina Schalwyk.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1989, penulis
diterima di Program Studi Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, IPB Bogor dan
menamatkannya pada Tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
doktor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan, di universitas yang
sama pada tahun 2009. Penulis merupakan dosen Fakultas Peternakan Universitas
Sam Ratulangi Manado. Selama menempuh Program Doktor di biayai oleh BPPS
tahun 2009-2012.
Selama mengikuti program S-3, karya tulis ilmiah berjudul Kandungan
Mikrob Daging Kelelawar yang Diolah sebagai Bahan Pangan Tradisional akan
diterbitkan di Jurnal Veteriner volume 14, No 3, edisi September Tahun 2013.
Karya tulis berjudul Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan
Buah Di Sulawesi sebagai Bahan Pangan, juga Produksi Karkas dan Daging
Kelelawar Pemakan Buah (Pteropus alecto ) Asal dari Empat Lokasi di Sulawesi
(sedang di review) pada jurnal Veteriner. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian
dari penelitian program S-3 penulis.
xx
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………….................. xxiii
DAFTAR GAMBAR…...…………………………………………………...
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………...
Tujuan Penelitian …………………………………………………...
Manfaat Penelitian ………………………………………………….
Ruang Lingkup Penelitian …………………………………………..
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………
IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR
PEMAKAN BUAH di SULAWESI
Abstrak ……………………………………………………...............
Abstract ……………………………………………………………..
Pendahuluan ………………………………………………………..
Bahan dan Metode ………………………………………………….
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………...
Simpulan ………………………………………………………........
Daftar Pustaka ………………………………………………………
PRODUKSI KARKAS DAN DAGING KELELAWAR PEMAKAN
BUAH
Abstrak ……………………………………………………………...
Abstract ……………………………………………………………..
Pendahuluan ………………………………………………………...
Bahan dan Metode ………………………………………………….
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………...
Simpulan ……………………………………………………………
Daftar Pustaka ………………………………………………………
KUALITAS DAGING KELELAWAR DIBANDINGKAN DENGAN
DAGING BABI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
Abstrak ……………………………………………………………...
Abstract ……………………………………………………………..
Pendahuluan ………………………………………………………...
Bahan dan Metode ………………………………………………….
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………...
Simpulan ……………………………………………………………
Daftar Pustaka ………………………………………………………
xxv
xxix
1
3
4
5
7
15
16
17
18
21
36
37
39
40
41
42
45
53
54
57
58
59
60
69
83
84
xxii
TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF
EKSTRAK N-HEKSANA DAGING KELELAWAR
Abstrak………………………………………………………............
Abstract……………………………………………………………………...
Pendahuluan………………………………………………………..
Bahan dan Metode…………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan………………………………………………
Simpulan…………………………………………………………….
Daftar Pustaka……………………………………………………….
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING KELELAWAR, SAPI,
AYAM, DAN IKAN CAKALANG
Abstrak……………………………………………………………..
Abstract……………………………………………………………………..
Pendahuluan………………………………………………………..
Bahan dan Metode…………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan………………………………………………
Simpulan…………………………………………………………….
Daftar Pustaka………………………..……………………………...
KAJIAN MIKROB DAGING KELELAWAR SEBAGAI BAHAN
PANGAN TRADISIONAL
Abstrak………………………………………………………………
Abstract……………………………………………………………………...
Pendahuluan…………………………………………………………
Bahan dan Metode…………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan………………………………………………
Simpulan……………………………………………………………
Daftar Pustaka……………………………………………………….
PEMBAHASAN UMUM…………………………………………………...
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
LAMPIRAN ………………………………………………………………...
87
88
89
91
99
110
111
113
114
115
116
121
139
140
141
142
143
144
150
156
157
161
169
171
181
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di
lokasi pengambilan sampel………….…………………………………..
21
2 Rataan sifat fisik daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang…………………………………………………………………
69
3 Rataan komposisi kimia daging kelelawar, daging babi, daging ayam,
dan ikan cakalang……..…………………………………………………
74
4 Profil asam lemak daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan
ikan cakalang…........................................................................................
76
5 Perbandingan kolesterol total daging kelelawar, daging babi, daging
ayam, dan ikan cakalang (basis kering)…………………………………
80
6 Profil Asam amino daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan
ikan cakalang…………………………………………………………....
81
7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P. alecto yang
diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi………………………...
99
8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging
ternak konvensional serta ikan cakalang………………………………
100
9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan
kelelawar………………………………………………………………...
102
10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari
ketiga jenis kelelawar dan daging babi….…………………...………….
102
11 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap rasa daging
Kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari,
dan masak rica-rica………..……………………………………………
121
12 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap warna
daging kelelawar, sapi, ayam dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica………………………………………………...
125
13 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap aroma
daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica………………………………………………..
129
14 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap keempukan
daging kelelawar, sapi, ayam dan, ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica………………………………………………...
132
xxiv
15 Rataan, standar deviasi dan median respon penelis terhadap penerimaan
umum daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan masak rica-rica……….………………………………...
136
16 Rataan total mikrob (cfu/mL) daging kelelawar segar, rica-rica, dan
kari yang disimpan selama 14 hari………………………………………
151
17 Rataan S. aureus (cfu/mL) daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari
yang disimpan selama 14 hari………………..………………………….
154
18 Rataan Coliform, E. coli, dan Salmonella sp (cfu/mL) daging kelelawar
segar, rica-rica, dan kari yang disimpan selama 14 hari………………...
155
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya,
Matialemba, Peonea, dan Kolono……………………………………..
Perbedaan warna Pteropus sp (a) dan P. alecto (b) pada bagian leher
dan punggung……………………………………….…………………
Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran
tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan
Kolono……….………………………………………………………..
Perbedaan T. nigrescens (a), Thoopterus sp 1(b) dan Thoopterus sp 2
(c) berdasarkan warna tubuh…………………………………………..
Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan
ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure………………………………
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono……………………………………...…………………………
Warna tubuh A. celebensis cokelat kekuningan (a), dan warna sayap
cokelat tua (b)…………………………………………………………
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak N. cephalotes di
Pakuure………………………………………………………………..
Warna tubuh dan bercak kuning pada sayap (a), garis cokelat
ditengah puggung (b), ekor, dan bentuk hidung (c) N.
cephalotes……………………………………………………………..
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati
(PaB), Lamaya (PaL), Matialemba (PaM), dan Kolono
(PaK)......................................................................................................
Warna seluruh tubuh, sayap, dan jumlah rigi palatum P. alecto……
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di
Pakuure………………………………………………………..............
R. amplexicaudatus yang terjaring di Peonea………………………
Rataan ukuran tubuh dan tengkorak T. nigrescens (TnP) Thoopterus
sp 1 (TnP 1), dan Thoopterus sp 2 (TnP 2) di Pakuure…………….…
22
23
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
35
xxvi
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dab BK) A. celebensis dari
Lamaya dan Kolono………………………………...............................
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) P. alecto di Pasar
Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono…………………………
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk) , bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) Thoopterus sp di
Pakuure……………………………………………………….……….
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) N. cephalotes di
Pakuure……………………………………………..............................
Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) R. amplexicaudatus
di Peonea…………………………………………………………..…..
Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana daging
kelelawar……………………………………………………................
Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan
penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan………...
Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak
n-hexana P. alecto pada enam pelarut tunggal……....………………..
Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak
n-heksana pada pelarut etanol-etil asetat dan n-heksana-etil
asetat……..............................................................................................
Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak
tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang
berbeda……………………………………………….……………......
Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase tak
tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto………...…………….............
Spektrum MS dari fraksi A…………………………………………....
Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26…………………..
Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27……………….....
Struktur molekul senyawa kitotifen……………………………….......
45
48
50
51
52
96
98
103
103
104
104
105
106
107
108
xxvii
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Spektrum MS dari fraksi C…………………………………………....
Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26…..……………..
Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.3……………
Diagram alir pengolahan daging sampai pengujian organoleptik……
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap rasa
daging kelelawar, sapi, ayam dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari dan rica-rica…………………………………………………........
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap warna
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari dan rica-rica…………………………………....
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap aroma
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari dan rica-rica…………………………………......
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap
keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan
cakalang yang dikukus, masak kari dan rica-rica…………………......
Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap
penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan
ikan cakalang yang dikukus, masak kari dan rica-rica……………......
Diagram alir analisis mikrob daging kelelawar segar, masak kari dan
rica-rica…………………………………………………………..........
108
109
110
119
122
126
130
133
137
148
xxviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono…………………………………………………………….......
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak N. chepalotes di
Pakuure………………………………………...……………………...
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati,
Lamaya, Matialemba, dan Kolono…………………….………………
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di
Peonea………………………………………………………………....
Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak Thoopterus spp. di
Pakuure………………………………………………………………..
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas A. celebensis di Lamaya dan Kolono……………………
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan
Kolono…………………………………………………………….......
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas Thoopterus spp. di Pakuure……………………………......
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas N. cephalotes di Pakuure………………………………....
Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas R. amplexicaudatus di Peonea……………………….........
Intensitas warna senyawa steroid ekstrak n-heksana kelelawar,
daging ternak konvensional, dan ikan cakalang………………………
Uji alkaloid N. cephalotes, T. nigrescens, dan P.
alecto……………….………………………………………………….
183
184
183
186
187
188
189
190
191
192
193
195
xxx
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Intensitas warna senyawa triterpenoid bumbu masak yang digunakan
dalam pengolahan daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan
ikan cakalang………………………………………………………….
Uji flavonoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan
daging kelelawar, ternak konvensional, dan ikan cakalang…………
Data uji hedonik terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica………………………………………………………….........
Uji Kruskal-Wallis rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam,
dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-
rica…………………………………………………………………….
Data uji hedonik terhadap warna daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica…………………………………………………….
Uji Kruskal-Wallis warna daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica…………………………………………………….…….........
Data uji hedonik terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica…………………………………………………….
Uji Kruskal-Wallis aroma daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica………………………………………………………………
Data uji hedonik terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica………………………………………………….....
Uji Kruskal-Wallis keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica……………………………………………………………......
Data uji hedonik terhadap penerimaan umum daging kelelawar,
daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak
kari, dan dimasak rica-rica…………………………………………..
Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica…………………………………………………….
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan daging ternak konvensional (ruminansia dan unggas) secara
nasional dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya
mengkonsumsi makanan bergizi. Untuk memenuhi kebutuhan daging maka
pemerintah bersama swasta harus mengimpor daging atau ternak dari luar negeri.
Berdasarkan data Statistik Peternakan (2009) bahwa pada tahun 2007 konsumsi
daging rata-rata per kapita per tahun di Indonesia sebesar 8.37 kg, tahun 2008
sebesar 7.75 kg, tahun 2009 sebesar 6.5 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.97 kg.
Sementara ketersediaan daging per kapita per tahun untuk tahun 2007 hanya
sebesar 6.3 kg, tahun 2008 sebesar 6.4 kg, tahun 2009 sebesar 6.60 kg, dan tahun
2010 sebesar 6.95 kg, sehingga harus mengimpor daging tahun 2009 sebesar
771.370.806 kg, tahun 2010 sebesar 874.680.103, dan tahun 2011 sebesar
599.823.558 kg (Direktorat Jenderal Peternakan 2011).
Salah satu alternatif untuk memenuhi suplai daging adalah mencari potensi
hayati yang ada di Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber daging. Indonesia
kaya akan keragaman hayati yang merupakan sumber daya genetik, di antaranya
terdapat 205 jenis kelelawar atau sekitar 21% dari semua jenis kelelawar yang ada
di dunia (Suyanto 2001). Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan
manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan (Hodgkison et al.
2003), sebagai penyerbuk tumbuhan (Bumrungsri et al. 2009), sebagai bahan
pangan (Jenkins & Racey 2008), dan dipercaya sebagai obat tradisional (Mohd-
Azlan et al. 2001).
Berdasarkan informasi lewat media elektronik diketahui bahwa pada
beberapa tempat, seperti di Jawa Timur, Medan, Kalimantan, dan Yogyakarta,
sebagian masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar karena masyarakat
meyakini bahwa selain sebagai bahan pangan, daging kelelawar juga dapat
menyembuhkan penyakit tertentu, seperti asma dan alergi serta dapat
meningkatkan stamina. Di Sukabumi, daging kelelawar diolah menjadi abon
untuk diperdagangkan dengan label dapat menyembuhkan penyakit asma,
walaupun belum ada informasi ilmiah yang menguatkan secara pasti tentang jenis
2
kelelawar yang dikonsumsi sebagai bahan pangan yang berfungsi untuk
menyembuhkan asma. Diduga daging kelelawar mengandung komponen aktif
berupa senyawa steroid dan senyawa kitotifen. Steroid adalah sejenis lipid yang
berfungsi sebagai hormon pengatur tubuh. Kitotifen adalah antihistamin yang
berfungsi untuk menstabilkan membran sel-sel mastosit dan menghambat
pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan hipersensitivitas (Klooker
et al. 2010). Sel-sel mastosit kaya akan histamin dan leukotrin yang bertanggung
jawab atas awal mula terjadinya asma akibat alergi. Histamin adalah senyawa
turunan dari asam amino yang terlibat dalam tanggapan imun (Bratawijaya 1988).
Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI (2007) bahwa asma
adalah inflamasi saluran napas, dan salah satu pemicu asma adalah alergi
(Bratawidjaya & Sundaru 1981).
Seiring dengan permintaan konsumen terhadap daging kelelawar, dan
adanya pemeo bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, maka
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan mulai bergeser, yaitu pangan yang
diminati bukan sekadar mempunyai nilai gizi dan cita rasa yang enak, tetapi juga
memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh yang dikenal sebagai pangan fungsional
(Wijaya 2002). Pangan fungsional menurut Undang Undang No. 7 (1996) dan
Badan Pengawas Obat dan Minuman Republik Indonesia (BPOM RI 2011) adalah
pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau
lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah dianggap mempunyai
fungsi fisiologis tertentu, tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan.
Daging kelelewar diduga mempunyai potensi sebagai pangan fungsional,
karena diduga selain memiliki nilai gizi yang baik, juga mengandung komponen
aktif. Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa komponen aktif hasil
ekstraksi, seperti alkaloid, flavonoid, fenolik, terpenoid, dan steroid berfungsi
sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan sebagai hormon pengatur tumbuh yang
terdapat pada hewan, tumbuhan, dan rempah-rempah (Yohnny et al. 2003,
Chaovanalikit &Wrolstad 2004, Handayani et al. 2008, Sukadana et al. 2008).
Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah-
rempah, seperti jahe, kunyit, cabe rawit, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan
bawang putih menjadikan kelelawar olahan disukai dan banyak diminati di
3
Minahasa dan Manado. Berdasarkan wawancara dengan beberapa konsumen
diperoleh informasi bahwa mereka mengkonsumsi daging kelelawar olahan bukan
karena mereka menyadari bahwa daging tersebut sebagai sumber gizi, tetapi
karena daging kelelawar lezat dan enak. Daging kelelawar sebagai lauk
merupakan salah satu pangan tradisional alternatif sumber daging selain daging
ternak konvensional lainnya. Pangan tradisional pada umumnya memiliki
kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya mikrobiologi (Khalafalla et
al.1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010). Adanya bahaya tersebut sering kali
ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum
diterapkannnya praktik sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya
kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional
(Setiowati & Mardiastuty 2009).
Kelelawar sebagai bahan pangan mempunyai keunikan tersendiri apabila
dibandingkan dengan ternak konvensional karena hampir semua komponen tubuh
kelelawar, yaitu karkas, sayap, rongga dada, dan rongga perut diolah bersama
untuk dikonsumsi. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan,
Minahasa, Sulawesi Utara, diperoleh data bahwa rata-rata penjualan kelelawar
setiap penjual per hari adalah 50 kg, dengan bobot masing-masing kelelawar rata-
rata 300-600 g. Berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat
penjual kelelawar di Pasar Bersehati, Manado, diperoleh informasi bahwa rata-
rata kelelawar yang habis terjual sebanyak 100 ekor per hari, atau setiap harinya
daging kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 30-50 kg.
Mempertimbangkan minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging
kelelawar olahan dan sumbangan daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi
daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan ketersediaannya.
Laporan ilmiah yang mengungkapkan jenis-jenis kelelawar pemakan buah
yang dikonsumsi, produksi karkas dan daging, kandungan komponen aktif,
komposisi nilai gizi yang baik dan aman dikonsumsi, serta tingkat penerimaan
masyarakat terhadap daging kelelawar olahan sampai saat ini belum tersedia.
Sampai sejauh ini, bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit
tertentu masih merupakan pemeo. Oleh karena itu, manfaat dan khasiat ini perlu
dibuktikan secara ilmiah. Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik
4
untuk dilakukan dan diharapkan data hasil penelitian ini merupakan informasi
awal untuk menjadikan daging kelelawar sebagai salah satu alternatif ternak
penghasil daging yang bersifat fungsional.
Tujuan Penelitian
a. Melakukan identifikasi berdasarkan morfometri, struktur gigi, dan
ciri-ciri fisik tubuh untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan
buah yang dijadikan sebagai bahan pangan di Sulawesi.
b. Mengkaji distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan
buah di Sulawesi.
c. Mengkaji kandungan gizi, sifat fisik, dan sifat kimia daging kelelawar
dibandingkan dengan daging ternak konvensional.
d. Mengkaji tingkat penerimaan daging kelelawar yang dimasak rica-rica
dan kari dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional
e. Mengkaji kandungan komponen bioaktif daging kelelawar pemakan
buah, dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional, dan
ikan cakalang.
f. Mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan yang
disimpan selama 14 hari.
g. Membuktikan potensi kelelewar sebagai pangan fungsional yang aman
berbasis pangan tradisional yang disukai dan aman untuk dikonsumsi.
Manfaat Penelitian
a. Sebagai informasi ilmiah awal tentang jenis-jenis kelelawar pemakan
buah di Sulawesi yang dijadikan bahan pangan.
b. Sebagai informasi ilmiah awal tentang distribusi potongan karkas dan
daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi.
c. Sebagai pembuktian ilmiah tentang kandungan senyawa aktif, nilai
gizi, dan tingkat penerimaan konsumen terhadap kelelawar pemakan
buah di Sulawesi dan beberapa hewan konvensional sebagai pangan
yang merupakan keanekaragaman sumber daya hayati lokal.
5
d. Memperkuat klaim kasiat dan potensi kelelawar sebagai bahan pangan
yang aman dikonsumsi dan mempunyai fungsi fisiologis yang dapat
memberi manfaat bagi kesehatan tubuh.
e. Menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang pangan, khususnya
pangan berbasis tradisional sebagai pangan fungsional
f. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk
pengembangan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai
komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus acuan untuk
mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber
plasma nutfah Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri atas 6 tahap.
Tahap ke-1. Survei lapangan meliputi enam daerah di Sulawesi dengan kegiatan
penelitian yaitu identifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah.
Tahap ke-2. Produktivitas karkas dan komponen karkas kelelawar pemakan buah
yang teridentifikasi.
Tahap ke-3. Kualitas daging yang meliputi sifat-sifat fisik daging dan nilai gizi
daging kelelawar yang meliputi komposisi kimia, kandungan kolesterol,
kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kandungan asam-asam amino
esensial dan nonesensial.
Tahap ke-4. Uji fitokimia daging kelelawar dan daging ternak konvensional, serta
bumbu masak, yang dilanjutkan dengan karakterisasi komponen aktif, khususnya
pada daging kelelawar yang positif mengandung senyawa aktif yang intensitas
warnanya sangat kuat dan ketersediaan daging di pasaran.
Tahap ke-5. Uji penerimaan konsumen terhadap daging kelelawar olahan
dibandingkan dengan daging olahan ternak konvensional serta ikan.
Tahap ke-6. Uji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan
kari yang disimpan selama 14 hari.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Kelelawar
Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan sebagai
kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mamalia, ordo Chiroptera.
Berdasarkan jenis makanan, kelelawar di Indonesia dibagi menjadi dua subordo,
yaitu subordo Megachiroptera yang terdiri atas 1 famili, 41 genus, dan 163
spesies, dan subordo Microchiroptera yang terdiri atas 17 famili, 147 genus, dan
814 spesies (Corbet & Hill 1992, Flannery 1995). Megachiroptera adalah
kelelawar pemakan buah, daun, nektar, dan serbuk sari, dan Microchiroptera
adalah kelawar yang kebanyakan memakan serangga dan hanya sebagian kecil
yang pemakan buah dan nektar (Yalden & Morris 1975). Di Indonesia,
diperkirakan terdapat 72 spesies subordo Megachiroptera, 133 spesies subordo
Microchiroptera.
Di Sulawesi, subordo Megachiroptera terdapat 11 genus, 22 spesies, yaitu
Acerodon Jourdan, 1837; L.F.I yang terdiri atas 2 spesies, yaitu Acerodon
celebensis Peters, 1867 dengan nama daerah kalong sulawesi yang tersebar di
Sulawesi, dan Acerodon humilis K Andersen, 1909 dengan nama daerah kalong
talaud yang tersebar di Pulau Karakelang dan Salibabu Kepulauan Talaud. Boneia
Jentink, 1879 hanya 1 spesies, yaitu Boneia bidens, Jentink 1879 dengan nama
daerah cecudu sulawesi yang hanya tersebar di Sulawesi. Chironax Andersen,
1912; L.F.2 hanya 1 spesies, yaitu Chironax melanocephalus Temminck, 1825
dengan nama daerah bakul kepala hitam yang tersebar di Thailand, Malaysia,
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Pteropus Erxlebe,
1777 terdiri atas 5 spesies, yaitu Pteropus alecto Temminck, 1837 dengan nama
daerah kalong hitam yang tersebar di Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi,
Maluku, Ambon, Papua Barat, Panua Niugini, dan Australia, Pteropus caniceps
Gray, 1844 dengan nama daerah kalong morotai yang tersebar di Sulawesi dan
Maluku, Pteropus griseus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah kalong kelabu
yang tersebar di Filipina, Sulawesi, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Pteropus
pumilus Miller, 1910 dan Pteropus speciosus Andersen, 1908 dengan nama
daerah kalong laud yang tersebar di Filipina dan Kepulauan Talaud. Nyctimene
Borkhausen, 1797 terdiri atas 2 spesies, yaitu Nyctimene cephalotes Pallas, 1767
8
dengan nama daerah paniki pallas yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Pulau
Timor, Nusa Tenggara, Papua Barat, dan Papua Niugini, dan Nyctimene minitus K
Andersen, 1910 dengan nama daerah paniki sulawesi yang tersebar di Sulawesi,
Pulau Buru, dan Maluku. Chynopterus F Cuvier, 1824 terdiri atas 2 spesies, yaitu
Chynopterus luzoniensis Peters, 1861 dengan nama daerah codot sulawesi yang
tersebar di Filipina dan Sulawesi, dan Chynopterus minutus Miller, 1906 dengan
nama daerah codot mini yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan
Sumatera. Dobsonia Palmer, 1898 terdiri atas 3 spesies, yaitu Dobsonia exoleta K
Andersen, 1909 dengan nama daerah kubu sulawesi tersebar hanya di Sulawesi,
Dobsonia minor Dobson, 1879 dengan nama daerah kubu kecil tersebar di
Sulawesi, dan Papua Barat, Dobsonia viridis Heude, 1896 dengan nama daerah
kubu hijau tersebar di Sulawesi, dan Maluku. Neopteryx Hayman, 1946 hanya 1
spesies, yaitu Neopteryx frosti dengan nama daerah cocot gigi kecil tersebar hanya
di Sulawesi. Thoopterus Matschie, 1899 hanya 1 spesies, yaitu Thoopterus
nigrescens dengan nama daerah codot walet tersebar di Sulawesi dan Maluku.
Macroglossus F Cuvier, 1824 hanya 1 spesies, yaitu Macroglossus minimus E
Geoffroy, 1810 dengan nama daerah cecudu pisang kecil tersebar luas di
Indonesia, kecuali Sumatera, Thailand, Papua Niugini, Indocina, Filipina, dan
Australia. Rousettus Gray, 1821 terdiri atas 3 spesies, yaitu Rousettus
amplexicaudatus E Geoffroy 1810 dengan nama daerah nyap biasa tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Kepulauan
Bismarck, dan Solomon, Rousettus celebensis K Andersen, 1907 dengan nama
daerah nyap sulawesi tersebar di Sulawesi dan Maluku (Flannery 1995, Suyanto
2001), dan Rousettus linduensis tersebar di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi
Tengah (Maryanto & Yani 2003)
Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan yaitu,
Microchiroptera menggunakan ekolokasi untuk orientasi saat terbang, memiliki
mata yang kecil, memiliki tragus dan antitragus, yaitu bagian yang menyerupai
tangkai yang terletak di dalam telinga, sedangkan Megachiroptera lebih
menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat
dengan jelas, serta memiliki cakar pada jari kedua (Flannery 1995, Suyanto 2001).
9
Morfologi kelelawar dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh luar,
seperti panjang ekor, panjang kaki belakang, bobot tubuh, ekor, bola mata,
telinga, dan rambut. Perbedaan ukuran tubuh dapat diketahui berdasarkan jenis
pakannya. Megachiroptera umumnya memiliki ukuran tubuh yang besar, bisa
mencapai bobot lebih dari 1500 g, dan moncong seperti anjing. Microchiroptera
umumnya berukuran lebih kecil, ukuran paling kecil 2 g dan paling besar 196 g
(Suyanto 2001). Kelelawar merupakan binatang nokturnal, yakni mencari makan
pada malam hari dan beristirahat di siang hari, dan mempunyai tempat tinggal
yang sangat bervariasi, ada yang bertengger di pohon, lubang pohon, gua,
gulungan dedaunan dan celah-celah pada ruas bambu (Hill & Smith 1984).
Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena
perannya sebagai pemencar biji buah-buahan (Hodgkison et al. 2003), sebagai
penyerbukan bunga dan buah-buahan (Bumrungisri et al. 2009, Dumont 2004),
oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai bahan pangan (Wiles et al. 1997, Lee
2000b, Riley 2002, Jenkins & Racey 2008, Afolabi et al. 2009), dan diyakini
dapat menyembuhkan suatu penyakit (Mohd-Azlan et al. 2001).
Karakteristik Fisik-Kimia Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ-organ, seperti
hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot, termasuk
ke dalam definisi ini (Lawrie 2003, Soeparno 2005). Karakteristik fisik dan kimia
daging segar antara lain ditentukan oleh susut masak, daya mengikat air oleh
protein daging, keempukan, dan pH (Aberle et al. 2001). Susut masak atau
cooking loss didefinisikan sebagai hilangnya cairan daging akibat pemasakan.
Susut masak merupakan indikator nilai gizi yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot, dan
besarnya nilai susut masak bervariasi antara 1.5-54% (Aberle et al. 2001,
Soeparno 2005). Daya mengikat air atau Water Holding Capacity (WHC)
didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya selama aplikasi
daya eksternal, seperti, pemotongan, pemanasan, dan pengepresan (Aberle et al.
2001). pH atau derajat keasaman daging segar berkisar antara 5.5-6.4. pH akhir
10
daging mencapai titik isoelektrik (5.2-5.4) apabila jumlah gugus reaktif dari
protein otot yang dimuati secara positif dan negatif sama, sehingga gugus tersebut
cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk
mengikat air (Aberle et al. 2001). Keempukan merupakan salah satu faktor
berhubungan dengan palatabilitas. Kesan keempukan mencakup tekstrur yang
melibatkan aspek kemudahan awal menggigit, mudah dikunyah menjadi bagian
kecil, dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie 2003).
Keempukan daging dapat diuji berdasar sensory test atau uji organoleptik yang
dilakukan oleh uji panel (Setyaningsih et al. 2010)
Komposisi Kimia Daging Beberapa Hewan/Ternak
Kandungan zat gizi daging merupakan salah satu penentu kualitas daging.
Secara umum susunan kimia daging terdiri atas air (65-80 %), protein (16-22%),
lemak (1.5-13%), dan zat terlarut bukan protein (2.3%), dan selebihnya adalah
vitamin (Aberle et al. 2001). Air merupakan unsur utama daging dilihat secara
kualitas, yang dapat mempengaruhi juiciness, keempukan, warna, dan citarasa
daging. Kadar air dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin, dan kadar lemak
dalam daging. Karbohidrat dan substansi non protein dalam daging terdapat dalam
bentuk glikogen dan glukosa. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar
air, kadar protein, dan kadar lemak, sehingga daging tanpa lemak secara relatif
lebih banyak mengandung mineral (Aberle et al. 2001). Kadar abu daging
bervariasi antara 0.5-1.5% (Soeparno 2005).
Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa
kolagen yang terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Di dalam otot, proporsi
protein terbesar terdapat pada miofibril, yaitu lebih besar dari 50% dan sisanya
dalam jumlah kecil berupa protein regulator (Aberle et al. 2001). Protein terdiri
atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino
terdiri atas asam amino esensial dan nonesensial. Asam amino esensial tidak dapat
disintesis oleh tubuh sehingga perlu tersedia dalam bahan pangan. Asam amino
yang dapat disintesis oleh tubuh digolongkan sebagai asam amino nonesensial
(Murray et al. 2003).
Lemak daging merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding
karbohidrat dan protein. Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin larut lemak dan
11
memberi rasa enak pada makanan (Aberle et al. 2001). Lemak (triasil gliserol)
tersusun oleh gliserol dan asam lemak. Asam lemak adalah asam organik berantai
panjang yang mempunyai atom karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak dapat
dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak
tidak jenuh (unsaturated fatty acid).Tingkat kejenuhan asam lemak dapat
mempengaruhi penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya
titik cair (Lawrie 2003).
Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya
terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan, seperti, kuning telur, daging,
hati, dan otak. Kolesterol merupakan senyawa yang dibutuhkan tubuh dalam
keadaan normal untuk membentuk membran sel, sistem saraf pusat, dan vitamin.
Kolesterol terdapat dalam darah bersama dengan trigliserida. Kolesterol berada
dalam keadaan bebas ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh (Wibraham
& Matta 1992).
Keamanan Daging dan Produk Olahannya
Di Indonesia, proses pengolahan daging sangat bervariasi, baik diolah
secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional pengolahan daging
didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun
temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, dan
pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah
dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan
pangan yang diolah. Secara alami, rempah-rempah mengandung berbagai macam
komponen aktif yang sangat besar perannya dalam penciptaan cita rasa suatu
produk. Rempah-rempah telah terbukti memiliki senyawa antioksidan yang
diperlukan untuk mengatasi serangan radikal bebas. Komponen bioaktif yang
berdapat pada kemangi adalah steroid/tritepenoid (Hendarwati 2009 ), pada sereh
adalah sitral dan geraniol, cabai merah kapcaisin, hidrokapsaisin, vitamin A,
vitamin C, zat warna kapsantin, serta karoten yang berkhasiat sebagai antirematik,
dan peluruh kencing atau diuretik. Daun batang bawang mengandung komponen
aktif, seperti flavonoid, saponin, dan steroid. Jahe memiliki komponen aktif,
seperti zingiberen, curcumin, filandren, gingerol, dan shogaol yang berfungsi
12
sebagai antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, rematik, dan kekebalan tubuh.
Kunyit memiliki komponen aktif kurkominoid dan komponon fenolik yang
berfungsi sebagai antikolesterol dan penghilang rasa nyeri (Winarti & Nurdjana
2005). Rahayu (2000) melaporkan bahwa penggunaan bumbu masak dapat
membantu bahan-bahan lainya dalam bahan makanan untuk menghambat
sejumlah mikrob.
Pemasakan daging merupakan langkah untuk mendapatkan makanan
secara mikrobiologi lebih aman. UU Pangan No.7 tahun 1996 mendefinisikan
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Batas cemaran
mikrob daging, produk daging, dan daging hewan buruan mentah adalah angka
lempeng total (ALT) 1 x 106
cfu/mL, Koliform 1x102
cfu/mL, Salmonella sp
1x101
cfu/mL, Staphylococcus Aureus 1x102
cfu/mL, Campylobacter sp negatif/25
mL. Batas cemaran mikrob produk olahan daging, daging unggas, dan daging
hewan buruan adalah ALT (30 ºC, 72 jam) 1 x105
cfu/mL, Escherichia coli <
3/mL, Salmonella sp. negatif/25 mL, S. Aureus 1x102
cfu/mL, Bacilus careus
1x102
cfu/mL (BSN 2009).
Metabolit Sekunder
Pada dasarnya senyawa-senyawa pangan bagi berbagai kehidupan
mempunyai peranan universal sama, yaitu sebagai bahan energi, sebagai bahan
struktural, serta untuk fungsi-fungsi fisiologis. Senyawa-senyawa demikian
mempunyai fungsi vital dan pola biosintesis maupun perombakannya dalam
berbagai jenis kehidupan mengikuti tapak-tapak yang sama. Lintasan
metabolismenya tergolong pada metabolisme primer. Berbagai senyawa
bioorganik hewan, mikrob dan tumbuhan yang tidak berperan dalam proses
metabolisme primer disebut metabolit sekunder. Metabolisme sekunder
mengiringi metabolisme primer karena metabolisme primer menghasilkan
metabolit sekunder. Senyawa-senyawa metabolit sekunder sangat berbeda antar
spesies. Metabolit sekunder dapat juga dianggap sebagai hasil ekstraksi yang tidak
berguna bagi kehidupan yang menghasilkannya. Metabolit sekunder pada hewan
tidak selalu hasil sintesis dalam tubuh hewan itu sendiri, sering hal tersebut
13
dihasilkan oleh pola dan kebiasaan makannya. Komponen aktif hasil metabolit
sekunder pada hewan umumnya disimpan dalam jaringan khusus seperti alkoloid
salamander kodok ditemukan dalam kelenjar kulit (Moeljohardjo 1990).
Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan
antidegranulasi sel-sel mastosit. Handayani et al. (2008) melaporkan bahwa
ekstrak metanol spon laut acanthodendrilla sp kosentrasi 25 µg/mL sampai
dengan 400µg/mL dapat menghambat sel-sel mastosit yang diinduksi dengan
antigen putih telur ayam ras konsentarsi 50% secara in vivo. Nurjanah et al.
(2008) melaporkan bahwa ekstrak steroid dari teripang pasir dapat meningkatkan
kadar testoteron pada mencit.
Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, isoprene,
terpena, dan steroid. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari fungi,
tumbuhan dan hewan. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen
yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan, tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan. Isoprena dihasilkan secara
alamiah oleh tumbuhan dan hewan. Isoprena biasa juga dikandung dalam kadar
rendah pada banyak bahan pangan. Terpena merupakan suatu golongan
hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sejumlah hewan. Sebagai
contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpena.
Terpena dan terpenoid menyusun banyak minyak atsiri yang dihasilkan oleh
tumbuhan. Kandungan minyak atsiri mempengaruhi penggunaan produk rempah-
rempah, baik sebagai bumbu, sebagai wewangian, serta sebagai bahan pengobatan
kesehatan (Moeljohardjo 1990).
Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan
bebas, sedangkan pada tanaman dalam keadaan glikosida. Pada sterol-sterol
hewani, kebanyakan bertindak sebagai senyawa induk ialah lanosterol yang dalam
tubuh hewan diubah menjadi sterol-sterol yang lain. Lanosterol ialah yang
pertama diubah menjadi kolesterol melalui zimosterol. Kolesterol adalah
intermediat penting dalam sintesis steroid baik pada hewan (Murray et al. 2003).
Beberapa steroid bersifat anabolik. Secara fisiologi, steroid anabolik dapat
membuat seseorang menjadi agresif. Hormon steroid menimbulkan peningkatan
total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu
14
(Johny et al. 2003). Saleh (2007) melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar
tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid (clionesterol) mempunyai
aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL / kg bb mencit jantan.
Pangan Fungsional
Pangan menurut Badan Pengawasan Obat dan Minuman Republik
Indonesia (UU No. 7 1996, BPOM 2011) adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah dan
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan, sedangkan pangan
fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses,
mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian
ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak
berbahaya dan bermanfaat bagi kesehatan. Suatu pangan dapat dikategorikan
menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu
merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang
mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus
merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi
tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan
biologis, mencegah, dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan
mental, serta memperlambat proses penuaan dini (Gibson & Williams 2000).
IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI
KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Berdasarkan Morfometri
Kelelawar Pemakan Buah di Sulawesi. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena
peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan, sebagai penyerbu tumbuhan,
sebagai penghasil pupuk organik, dan sebagai bahan pangan. Di Sulawesi Utara,
kelelawar pemakan buah dijadikan pangan eksotik sehingga keberadaan kelelawar
dikhawatirkan akan terancam punah karena perburuan tak terkendali. Perombakan
hutan untuk lahan-lahan perkebunan menyebabkan habitat kelelawar terganggu
dan berpindah tempat. Identifikasi morfometri ukuran tubuh, tengkorak, dan ciri-
ciri fisik diperlukan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebaran kelelawar
pemakan buah di Sulawesi. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke
tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Data yang
terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan diinterpretasikan melalui
narasi untuk menggambarkan seluruh penelitian. Kelelawar pemakan buah yang
ditemukan di lokasi ada lima spesies, yaitu Acerodon celebensis ditemukan di
Desa Lamaya, Gorontalo dan Desa Kolono, Sulawesi Tengah, Nyctimene
cephalotes dan Tooptherus nigrescens ditemukan di Desa Pakuure, Sulawesi
Utara, Rousettus amplexicaudatus ditemukan di Desa Peonea, Sulawesi Tengah,
Pteropus alecto ditemukan di Pasar Bersehati Kota Manado, Desa Lamaya
Gorontalo, Desa Matialemba dan Kolono, Sulawesi Tengah.
Kata kunci : kelelawar pemakan buah, morfometri, identifikasi.
16
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. The Morphometric Identification of Fruit
Bats In Sulawesi. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
The presence of bats is very important for human life, because of its role
as pollinators of plants, as a producer of organic fertilizer, and as food. In
Northern Sulawesi, fruit bats serve as an exotic food, so the population of bats is
feared to be threatened with extinction due to uncontrolled hunting. Overhaul of
the forest for plantation lands cause disturbed habitats and migratory bats.
Morphometry of body size, skull, and physical characteristics are required to
determine the types and distribution of fruit bats in Sulawesi. The method used
was a survey of the field to the hunt, collectors, and sellers of bats in
Sulawesi. The collected data were analyzed using descriptive method with a
narrative that described the entire study. Five types of fruit bats were found at the
site. Acerodon celebensis was found in Lamaya, Gorontalo and Kolono, Central
Sulawesi. Nyctimene cephalotes and Thoopterus nigrescens were found in
Pakuure, North Sulawesi. Rousettus amplexicaudatus was found in Peonea,
Central Sulawesi. Pteropus alecto was found in the Bersehati market of Manado,
North Sulawesi, Lamaya Gorontalo, Matialemba and Kolono, Central Sulawesi.
Keywords : fruit bats, morphometric, identification
17
Pendahuluan
Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan dalam
kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mammalia, ordo Chiroptera.
Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar dibagi menjadi dua subordo, yaitu
subordo megachiroptera, yaitu pemakan tumbuhan, yang terdiri atas satu famili,
yaitu Pteropodidae, 42 genus, 175 spesies, dan subordo microchiroptera, yaitu
pemakan serangga, yang terdiri atas 16 famili, 145 genus, dan 788 spesies.
Kedua subordo tersebut memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, telinga, serta
ecolocation (Corbet & Hill 1992). Megachiroptera mempunyai tubuh berukuran
besar, lidah panjang, dan umumnya memiliki cakar pada jari sayap kedua. Di
Sulawesi, subordo megachiroptera (Pteropodidae) terdapat 11 genus dan 22
spesies, yaitu Acerodon spp. dua spesies, Boneia sp. satu spesies, Chironax sp.
satu spesies, Pteropus spp. lima spesies, Nyctimene spp. dua spesies, Chynopterus
spp. dua spesies, Dopsonia spp. tiga spesies, Neopteryx sp. satu spesies, Rousettus
sp. satu spesies, Thoopterus sp. satu spesies, dan Macroglossus sp. satu spesies
(Flanery 1995, Suyanto 2001, Maryanto & Yani 2003).
Di beberapa negara, seperti Nigeria, Madagaskar, Selandia Baru, dan
Malaysia, sebagian masyarakat menjadikan daging kelelawar sebagai bahan
pangan (Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins & Racey 2008,
Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009), serta sebagai obat tradisional
(Mohd-Azlan et al. 2001). Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan daging
kelelawar pemakan buah sebagai bahan makanan tradisional yang penting, dan
kelelelawar terus diburu sehingga di pasar-pasar tradisional dan swalayan sering
dijumpai kelelawar sebagai salah satu produk yang dipasarkan (Lee 2000b).
Lee et al. (2005) melaporkan bahwa spesies kelelawar yang dipasarkan di
Sulawesi Utara adalah Pteropus hypomelanus, P. alecto, A. celebensis, dan
Acerodon humilis, dengan jumlah yang terjual adalah 38.000 ekor selama 2 tahun
hanya untuk 6 pasar tradisional. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan
penjual kelelawar pada Maret-Oktober 2011 di pasar Pinasungkulan dan Pasar
Bersehati Manado, diketahui bahwa kelelawar pemakan buah yang dipasarkan di
Sulawesi Utara, berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis kelelawar yang dipasarkan adalah P.
18
alecto dan A. celebensis dan rata-rata kelelawar yang terjual adalah 100 ekor per
hari.
Melihat minat masyarakat terhadap daging kelelawar, dikhawatirkan suatu
saat keberadaannya akan terancam punah. Lane et al. (2006) melaporkan bahwa
diduga ada 24% kelelawar pemakan buah di Asia Tenggara akan punah pada akhir
abad 21, dan 25 spesies dari genus Pteropus dan 5 spesies dari genus Acerodon
masuk status concern. Beberapa spesies kelelawar endemik Sulawesi yang masuk
daftar IUCN Red List dengan status endangered adalah Neopteryx frosti dan A.
humilis (IUCN Redlist 2012). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk
mengendalikan populasi kelelawar, di antaranya usaha budi daya dengan harapan
bahwa masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar yang berasal dari hasil budi
daya. Untuk mencegah kepunahan maka keberadaan populasi kelelawar perlu
dikaji. Salah satu bentuk kajian awal yang sangat penting adalah identifikasi
morfomeri kelelawar.
Identifikasi berdasarkan morfomeri adalah salah satu upaya untuk
mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi masyakarat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi berdasarkan morfometri dan ciri-
ciri fisik kelelawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi
untuk pengelolaan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas
alternatif satwa penghasil daging, sekaligus dasar untuk mengkaji upaya
pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Identifikasi kelelawar pemakan buah dilakukan di enam tempat, yaitu (1)
Pasar Bersehati Kecamatan Wenang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; (2)
Perkebunan rakyat hutan Gunung Lolombulan, Desa Pakuure, Kecamatan Tenga,
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, di titik ordinat 1°
06᾿10.50” N, 124° 26’19.54” E; (3) Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan
Pamona Timur, Kabupaten Poso; (4) Hutan Lindung Saluwaidei, Desa Peonea,
Kecamatan Mori Bawah, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, di titik
19
ordinat 01°59᾿15,6”S, 121°08’48,8” E; (5) Hutan mangrove Desa Kolono,
Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, di titik
ordinat 02°40᾿56.0”S, 122°00’26,1” E; (6) Hutan Tapa, Desa Lamaya, Kecamatan
Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo di titik ordinat
00°41᾿55.0”S, 122°51’00.0”E. Pertimbangan melaksanakan penelitian di enam
lokasi ini ialah hasil survei lapangan bahwa tempat-tempat ini merupakan jalur
perdagangan dan perburuan kelelawar. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa
semua lokasi penelitian terletak di jalur trans-Sulawesi. Penelitian dilaksanakan
selama 6 (enam) bulan, yaitu bulan April hingga Oktober 2011.
Bahan dan Alat Penelitian
Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS (Global
Position System), jangka sorong, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan,
kamera, alkohol, kloroform, formalin, kapas, tofles, dan beberapa spesies
kelelawar pemakan buah.
Metode Penelitian
Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara langsung pada saat
bulan baru di tiap-tiap lokasi. Teknik penangkapan dilakukan dengan dua cara,
yaitu menggunakan jaring kabut yang dipasangkan di dekat gua dan tempat yang
diduga dilalui kelelawar pada waktu malam dan menggunakan kail nomor 12
yang dipasang di sekitar pohon tempat kelelawar tidur pada waktu malam. Cara
pertama dilakukan untuk jenis Dobsonia sp, Nyctimene sp, Rousettus sp,
Thoopterus sp, sedangkan cara kedua untuk jenis P. alecto dan A. celebensis.
Kelelawar yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam kandang untuk
diidentifikasi. Identifikasi kelelawar dilakukan dengan cara pengambilan gambar
pada kelelawar hidup, pengukuran bagian-bagian tubuh, termasuk tengkorak, serta
struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar (Suyanto 2001). Untuk
menindaklanjuti hasil identifikasi dengan pengukuran karakter morfometri,
beberapa spesimen kelelawar dibawa ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong
untuk dicocokkan dengan spesimen kelelawar yang ada di labaratorium tersebut.
Sebelum dibawa ke laboratorium, kelelawar terlebih dahulu difiksasi dengan
formalin 4-8% netral selama 12 jam.
20
Identifikasi kelelawar pemakan buah didasarkan pada ciri-ciri fisik, ukuran
tubuh, ukuran tengkorak, dan struktur gigi menggunakan kunci identifikasi
kelelawar. Karakter yang diamati adalah cici-ciri fisik tubuh, struktur gigi, ukuran
tubuh, dan tengkorak. Peubah yang diukur untuk ukuran tubuh dan tengkorak
adalah panjang ekor, yang diukur dari panjang pangkal ekor sampai ujung ekor.
Panjang kaki belakang diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang. Panjang
telinga diukur dari pangkal telinga sampai ujung telinga terjauh. Panjang betis
diukur dari lutut sampai pergelangan kaki. Panjang lengan bawah sayap diukur
dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap yang
melengkung. Panjang tengkorak total diukur dari titik paling belakang pada
tengkorak belakang sampai ke titik terdepan pada rahang atas. Panjang tengkorak
conylobasal diukur pada titik condylus occipytalus yang paling belakang sampai
titik terdepan pada rahang atas di antara gigi seri pertama kanan dan kiri. Panjang
tengkorak condylocaninus diukur dari titik pada condylus occipitalis yang paling
belakang sampai titik terjauh pada taring. Lebar tulang pipi adalah jarak terlebar
antara tulang pipih kanan dan kiri (Suyanto 2001, Maharadatunkamsi & Maryanto
2002). Tingkat ketelitian pengukuran tubuh dan tengkorak adalah 1 milimeter dan
untuk bobot badan adalah 1 g. Sebelum dilakukan pengukuran tengkorak dan gigi,
bagian kepala dan bagian daging dikeluarkan dengan cara direbus terlebih dahulu.
Analisis Data
Metode deskriptif dengan tabel dan narasi digunakan untuk menjelaskan
data ciri-ciri fisik tubuh, ukuran tubuh, dan tengkorak. Selain itu analisis
dilakukan untuk melihat struktur komunitas kelelawar berdasarkan tingkat
kelimpahan jenis. Kesamaan suatu spesies ditentukan berdasarkan karakter
morfometri dan kelimpahan jenis pada setiap lokasi penelitian, menggunakan
analisis kluster berupa dendogram.
21
Hasil dan Pembahasan
Jenis-Jenis Kelelawar
Jenis-jenis kelelawar pemakan buah beserta jumlah individu yang
ditemukan di lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 1. Kesepuluh jenis
kelelawar yang ditemukan, tujuh jenis dapat diidentifikasi sampai spesies
berdasarkan ciri fisik, ukuran tubuh, tengkorak, dan stuktur gigi, dan tiga jenis
hanya sampai pada genus karena mempunyai ciri fisik yang berbeda, yaitu
Pteropus sp, Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Tiga spesies merupakan
endemik Sulawesi, yaitu A. celebensis, D. exoleta, N. cephalotes, empat spesies,
yaitu R. celebensis dan T. nigrescens tersebar di Sulawesi dan Maluku, P. alecto
tersebar di Sulawesi, Maluku, Ambon, Nusa Tenggara, Papua Barat, Papua
Nuigini, dan Australia, serta R. amplexicaudatus tersebar di Indonesia, Malaysia
Timur, Filipina, dan Asia Tenggara (Flannery 1995).
Tabel 1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi
pengambilan sampel
A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono
Berdasarkan pada lokasi penangkapan, jenis kelelawar yang paling banyak
ditemukan (6 jenis dengan jumlah individu 64 ekor) terdapat di Desa Pukuure, di
Lumaya dua spesies dengan jumlah individu 50 ekor, di Kolono dua jenis dengan
jumlah individu 42 ekor, di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Peonea masing-
masing satu jenis dengan jumlah individu masing-masing 32 ekor, 9 ekor, dan 26
ekor. Analisis cluster mengelompokkan keenam lokasi dalam empat kelompok
lokasi dengan tingkat kesamaan 78.01% (Gambar 1). Keempat kelompok lokasi
itu terdiri atas kelompok 1, yaitu Pasar Bersehati dan Matialemba, kelompok 2,
Jenis Kelelawar
A B C D E F Total
A. celebensis 0 0 29 0 0 28 57
D. exoleta 0 4 0 0 0 0 4
N. cephalotes 0 12 0 0 0 0 12
P. alecto 32 0 0 9 0 14 55
Pteropus sp. 0 0 21 0 0 0 21
R. amplexicaudatus 0 7 0 0 16 0 23
R. celebensis 0 2 0 0 0 0 2
T. nigrescens 0 15 0 0 0 0 15
Thoopterus sp.1 0 11 0 0 0 0 11
Thoopterus sp.2 0 13 0 0 0 0 13
Total 32 64 50 9 16 42 213
Individu/Lokasi
22
yaitu Lamaya dan Kolono, kelompok 3, yaitu Pakuure, dan kelompok empat,
yaitu Peonea. Hal ini berarti bahwa kehadiran jenis dan kelimpahan kelelawar dari
masing-masing kelompok memiliki kesamaan. Pengelompokan ini dipengaruhi
oleh kondisi habitat. Secara umum, kondisi keenam lokasi hampir sama karena
memiliki hutan primer dan hutan sekunder dengan struktur vegetasi yang
beragam, yang merupakan tempat kelelawar bertengger dan mencari makan.
Demikian pula keadaan bentang alam dengan ketersediaan berbagai sumber air
menyebabkan kelembapan tanahnya tinggi sehingga sangat baik untuk habitat
satwa.Walaupun demikian, lokasi Pakuure dan Peonea berdiri sendiri.
A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono
Gambar 1 Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya,
Matialemba, Peonea, dan Kolono.
Perbedaan ini karena di Pakuure, selain memiliki hutan primer dan hutan
sekunder, juga memiliki perkebunan rakyat yang di dalamnya terdapat jenis buah-
buahan, seperti pisang, pepaya, duren, mangga, dan rambutan sebagai sumber
pakan. Sebaliknya, di Peonea, walaupun lokasi habitat kelelawar berada di hutan
lindung, kehadiran kelelawar di hutan hanya untuk mencari makan, sedangkan
tempat bertengger dan tidur berada di gua yang terletak di dalam hutan, dan
kehadiran kelelawar di dalam gua membentuk koloni dengan spesies yang sama.
Selain itu, juga terdapat perkebunan rakyat berupa perkebunan cokelat, jeruk, dan
pepaya yang merupakan sumber pakan.
Berdasarkan struktur gigi, ukuran lengan bawah sayap, dan panjang
telinga Pteropus sp dapat digolongkan ke dalam P. alecto, namun berdasarkan
warna tubuh masih diragukan, karena Pteropus sp memiliki warna kuning
kecokelatan di daerah leher, sebagian punggung dan kepala yang berwarna
BEFCDA
34.04
56.02
78.01
100.00
Lokasi
Ting
kat K
esam
aan
Kelompok Lokasi
23
kontras dengan warna bagian tubuh yang hitam, sedangkan P. alecto berwarna
hitam pada seluruh tubuh (Gambar 2).
Gambar 2 Perbedaan warna Pteropus sp (a) dan P. alecto (b) pada bagian leher
dan punggung.
Analisis cluster yang didasarkan pada ukuran tubuh dan ukuran tengkorak
(Gambar 3) menunjukkan bahwa Pteropus sp yang berasal dari Lamaya
mempunyai tingkat kesamaan yang mencapai 99.54% dan 99.95% dengan P.
alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono.
PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM:
P.alecto Matialemba, PaK: P.alecto
Kolono, PaL: P. alecto Lamaya.
PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM:
P.alecto Matialemba, PaK:P.alecto
Kolono, PaL: P. alecto Lamaya.
Gambar 3 Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran
tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono.
PaLPaKPaMPaB
99.54
99.70
99.85
100.00
Lokasi
Tin
gkat
kes
amaa
n
Ukuran Tubuh
PaKPaLPaMPaB
99.95
99.97
99.98
100.00
Lokasi
Tin
gkat
kes
amaa
n
Ukuran tengkorak
a
b
24
Melihat tingkat kesamaan yang besar berdasarkan ukuran badan dan
tengkorak maka Pteropus sp yang berasal dari Lamaya dapat dikelompokkan
bersama P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono.
Dua jenis Thoopterus sp tidak digolongkan bersama dengan T. nigrescens karena
T. nigrescens berwarna cokelat kemerahan dan abu yang menyebar pada seluruh
tubuh. Thoopterus sp 2 memiliki warna abu-abu, dan Thoopterus sp 1 memiliki
warna cokelat pada bagian leher belakang sampai ekor, sedangkan pada kepala,
perut, dan lengan berwarna abu-abu (Gambar 4).
Gambar 4 Perbedaan T. nigrescens (a), Thoopterus sp 1 (b) dan Thoopterus sp 2
(c) berdasarkan warna tubuh.
Analisis cluster dari ketiga jenis kelelawar Thoopterus yang didasarkan
pada tengkorak dan ukuran tubuh (Gambar 5) menunjukkan tingkat kesamaan
(a).belakang
(b). belakang
(c). belakang
(a). muka
(b). muka
(c). muka
25
yang mencapai 99.91 dan 99.02. Oleh karena itu, Thoopterus sp dapat
dikelompokkan dengan T. nigrescens.
TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus
sp jenis satu yang diidentifikasi sampai
genus, TnP2:Thoopterus sp jenis dua
yang diidentifikasi sampai genus.
TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp
jenis satu yang diidentifikasi sampai
genus, TnP2 :Thoopterus sp jenis dua
yang diidentifikasi sampai genus.
Gambar 5 Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan
ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure.
Spesies dari jenis Pteropus sp dan Thoopterus sp ini dipastikan dengan
membawa contoh ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong Jl. Raya Jakarta-
Bogor KM 46 Cibinong untuk dibandingkan dengan spesimen utama yang dipakai
sebagai acuan pemberian nama spesies (Holotype), namun holotype tidak tersedia.
Karekteristik A. celebensis
Berdasarkan identifikasi morfometri diketahui bahwa genus Acerodon yang
diperoleh dalam penelitian adalah A. celebensis. Flannery (1995), Suyanto (2001)
melaporkan bahwa genus Acerodon di Indonesia ada tiga jenis, yaitu A. mackloti
di Nusatenggara, serta A. celebensis, dan A. humilis di Sulawesi. Rataan,
simpangan baku, jumlah sampel, dan kisaran parameter ukuran tubuh dan
tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 1. Rataan variabel pengukuran ukuran
tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 6. Bobot badan A. celebensis dari
Desa Lamaya Gorontalo lebih kecil (56.11 g) dibandingkan dengan yang berasal
dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Perbedaan bobot badan maksimum dan
minimum dari Gorontalo 94.9 g, sedangkan dari Kolono 286 g. Perbedaan ini
menggambarkan bobot badan A. celebensis dari Lamaya Gorontalo tidak banyak
bervariasi, dibandingkan dengan A. celebensis dari Desa Kolono Sulawesi
Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah polulasi di Lamaya mulai
TnP2TnP1TnP
99.91
99.94
99.97
100.00
Jenis kelelawar
Tin
gk
at k
esam
aan
Ukuran tubuh
TnP1TnP2TnP
99.02
99.35
99.67
100.00
Jenis kelelawar
Tin
gk
at k
esam
aan
Ukuran tengkorak
26
mengalami penurunan yang disebabkan oleh perburuan yang tidak terkendali.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penangkap dan
penjual di lokasi penelitian diketahui bahwa penangkapan kelelawar di Lamaya
dilakukan setiap hari, dan hasil penangkapan ada yang langsung dipasarkan, ada
juga yang dikumpulkan ke penampung dan setiap minggunya dipasarkan ke lokasi
pemasaran, seperti Minahasa dan Manado. Sebaliknya, di Kolono, penangkapan
kelelawar dilakukan sesuai dengan pesanan, dan setiap dua minggu diambil oleh
pengumpul di lokasi penangkapan. Selain itu, aktivitas masyarakat untuk
pemburuan masih kurang.
bb : bobot badan, pb : panjang badan,
plb: panjang lengan bawah, pb: panjang
betis, pk : panjang kaki, pt : panjang
telinga. Satuan (bb=gram, ukuran,
pb,plb,pbt,pk dan pt =milimeter)
ptt : panjang tengkorak, cbl : panjang
tengkorak condylobasal, ccs : panjang
tengkorak condylocaninus, ra : panjang
baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang
pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm
: lebar baris gigi molar
Gambar 6 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono.
Rataan lengan bawah sayap, betis, telinga, dan tengkorak total A.
celebensis dari Gorontalo lebih pendek dibandingkan A. celebensis dari Sulawesi
Tengah, namun parameter ini sesuai ukuran yang dilaporkan Flannery (1995),
yaitu A. celebensis bobot badan 250-500 g mempunyai panjang lengan bawah
sayap 120.5-144.3 mm, telinga 28.8-31.1 mm, dan panjang betis 50.2-54.3 mm,
serta tengkorak total 62.5-64.9 mm (Suyanto 2001). Parameter lain dari
komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada
laporan sebelumnya.
Karakteristik fisik A. celebensis yang teridentifikasi adalah memiliki cakar
pada jari kedua, tidak ada ekor, warna tubuh cokelat kekuningan, sayap cokelat
dan pada jari sayap kedua dan tiga berwarna kuning muda (Gambar 7). Rumus
bb pb plb pbt pk pt
Lamaya 354.14 213.29 136.86 59.29 50.71 31.86
Kolono 410.25 213.27 140.77 59.42 53.46 31.54
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Satu
an
Variabel pengukuran
Ukuran tubuh
ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm
Lamaya 59.29 52.00 47.29 25.00 34.86 19.86 15.14 12.86 8.29
Kolono 62.88 55.58 49.38 24.85 36.08 20.19 15.50 13.73 8.65
0
10
20
30
40
50
60
70
Sa
tua
n
Variabel pengukuran
Ukuran tengkorak
27
gigi I1I2CP
1P
3P
4M
1M
2/I1I2CP1P3P4M1M2M3. P1 umumnya tanggal, di tengah
permukaan kunyah geraham bawah P4 M1 M2 mempunyai tonjolan yang
memanjang, dan ada tonjolan sebelah depan geraham atas P4
M1. Berdasarkan
rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah
dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, walaupun tidak dapat ditentukan
umurnya yang tepat. Beberapa ekor ditemukan bunting (17.64%) untuk A.
celebensis dari Kolono, dan (25%) dari Lamaya.
Gambar 7 Warna tubuh A. celebensis cokelat kekuningan (a), dan warna sayap
cokelat tua (b).
Persentase betina yang tertangkap adalah 65.38% dan jantan 34.64%
untuk A. celebensis dari Kolono, sedangkan A. celebensis dari Lamaya adalah
betina 57.14% dan jantan 42.86%. Ini berarti, sebagian besar yang tertangkap
adalah betina produktif yang mengindikasikan bahwa suatu waktu populasi
spesies ini akan terancam apabila pemburuan tidak terkendali.
Karakteristik N. cephalotes
Di Sulawesi, genus Nyctimene terdapat dua jenis, yaitu N. cephalotes dan
N. minitus. Ciri yang membedakan kedua spesies ini adalah garis cokelat di
tengah punggung, panjang tengkorak total, kaki belakang, lengan bawah sayap,
dan betis, serta garis cokelat di tengah punggung (Flannery 1995, Suyanto 2001).
Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Pakuure
adalah N. cephalotes. Rataan, simpangan baku, dan jumlah sampel dari parameter
ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 2. Rataan variabel
pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan
bobot badan N. cephalotes yang terjaring lebih tinggi (9.40 g) dan perbedaan
a b
28
variasi bobot 16.9 g dari rataan bobot badan N. cephalotes yang berasal dari
pulau Sanana. Flannery (1995) melaporkan bahwa rataan bobot badan jantan dan
betina adalah 43.2 g dengan variasi bobot antara 40-47 g, dan ukuran lengan
bawah sayap, betis dan telinga N. cephalotes jantan asal Sanana, Pulau Maluku
secara berurutan adalah 64.7, 25.5, dan 14.6 mm, sedangkan betina adalah 65.3,
6.3, dan 14.6 mm. Lebih besarnya bobot badan N. cephalotes pada penelitian ini
mungkin disebabkan karena lokasi dan ketersediaan pakan yang memenuhi
kebutuhan disertai aktivitas perburuan yang jarang dilakukan.
bb:bobot badan, pb:panjang sayap, plb :
panjang lengan bawah, pb:panjang betis,
pk:panjang kaki, pt:panjang telinga.
Satuan (bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt,
pk dan pt =milimeter)
ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang
tengkorak condylobasal, ccs:panjang
tengkorak condylocaninus, ra:
panjang baris gigi geraham atas, ltp:
lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham
premolar, gm:lebar baris gigi molar
Gambar 8 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak N. cephalotes di Pakuure.
Ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang terjaring sama
dengan ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang dilaporkan
Suyanto (2001), namun kaki dan telinga lebih panjang masing-masing 1.40 mm
dan 0.30 mm. Panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal sama dengan
panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Kitchener et
al. (1993). Kesamaan ukuran panjang lengan bawah sayap, kaki, tengkorak total,
dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan paremeter untuk identifikasi N.
cephalotes karena paremeter ini tidak akan berubah apabila kelelawar sudah
dewasa. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada
pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.
52.60
509.80
69.3027.00 19.60 16.80
0
100
200
300
400
500
600
bb ps plb pbt pk pt
Sa
tua
n
Variabel pengukuran
Ukuran tubuh
32.0028.00
25.57
10.14
22.57
10.29
6.003.29
6.00
0
5
10
15
20
25
30
35
40
ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm
sa
tuan
Variabel pengukuran
Ukuran tengkorak
29
Rumus gigi kelelawar ini adalah I1CP
1P
3P
4M
1/CP1P3P4M1M2.. Berdasarkan
rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah
dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, bahkan sudah ada yang aus dan
tanggal. Karakteristik fisik lain N. cephalotes yang teridentifikasi adalah memiliki
ekor, hidung berbentuk tabung, ada bercak kuning pada sayap, hidung, dan
telinga. Warna seluruh tubuh cokelat kehijauan, ada garis cokelat dan sempit di
tengah punggung (Gambar 9).
Gambar 9 Warna tubuh dan bercak kuning pada sayap (a), garis cokelat di
tengah puggung (b), ekor dan bentuk hidung (c) N. cephalotes.
Persentase betina yang tertangkap adalah 40% dan jantan 60%. Ini berarti
bahwa jantan dan betina pada habitatnya seimbang yang mengindikasikan bahwa
spesies ini pada habitatnya dapat bertahan dan dapat memperbanyak diri sehingga
tidak diragukan terancam pada suatu waktu tertentu.
Karakteristik P. alecto
Di Indonesia, genus Pteropus ada 20 spesies dan di Sulawesi ada lima
spesies, yaitu P. alecto, P. caniceps, P. griseus, P. pumilis dan P. speciosus
(Suyanto 2001). Ciri yang membedakan spesies adalah basal ledge posterior,
warna tubuh, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga, dan bulu pada
betis. Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa marga Pteropus yang
ditemukan di empat lokasi adalah P. alecto. Rataan, simpangan baku, jumlah
sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Variasi pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 10.
Bobot badan P. alecto dari Pasar Bersehati hampir seragam dengan selisih bobot
badan maksimum dan minimum 95 g, sedangkan P. alecto asal Lamaya,
Matialemba dan Kolono bervariasi dengan selisih bobot maksimum dan minimum
masing-masing 277.4 g, 247 g, dan 470 g. Variasi bobot badan paling kecil adalah
a b c
30
pada P. alecto asal Pasar Bersehati. Hal ini disebabkan karena P. alecto tidak
diambil dari habitat asalnya, tetapi diambil dari pasar yang merupakan pusat
penjualan kelelawar di Kota Manado sehingga sudah dipilih dan dikelompokkan
berdasarkan bobot badan. Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan
penjual kelelawar diperoleh informasi bahwa kelelawar yang dipasarkan berasal
dari Pulau Sangihe dan Talaud, walaupun ada juga yang berasal dari Gorontalo,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
bb:bobot badan, pb:panjang badan,
plb:panjang lengan bawah, pb:
panjang betis, pk:panjang kaki,
pt:panjang telinga. Satuan (bb=gram,
ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt =
milimeter)
ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang
tengkorak condylobasal, ccs:panjang
tengkorak condylocaninus, ra:panjang
baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang
pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm
:lebar baris gigi molar
Gambar 10 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati
(PaB), Lamaya (PaL), Matialemba (PaM), dan Kolono (PaK).
Variasi bobot badan paling besar adalah pada P. alecto asal Kolono, diikuti
Matilemba dan Lamaya. Hal ini karena lokasi habitat hutan primer di ketiga lokasi
dan hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono masih baik, selain itu budaya
masyakarat yang tidak mengkonsumsi daging dan lokasi pemasaran yang cukup
jauh juga ikut menentukan kurangnya aktivitas masyarakat untuk memburu
kelelawar. Berdasarkan hasil survei dan wawancara langsung dengan
penangkapan kelelawar di Kolono diperoleh informasi bahwa jumlah penangkap
kelelawar di Kolono ada dua orang. Kelelawar yang diburu dikumpulkan dan
dipasarkan di daerah sekitar Motibawah Kecamatan Beteleme, Kabupaten
Morowali, Makasar dan Manado setiap dua minggu oleh pengumpul. Hasil survei
dan wawancara langsung dengan penangkap dan pengumpul di Lamaya,
Gorontalo diperoleh informasi pada musim buah, setiap minggu kelelawar
bb pb plb pbt pk pt
PaB 508,89 231,33 154,67 73,93 59,33 32,53
PaL 535,66 247,14 166,43 75,71 57,86 32,14
PaM 679,00 262,78 166,11 77,22 61,33 32,22
PaK 545,86 236,79 159,29 74,29 59,29 32,00
0100200300400500600700800
Satuan
Variabel pengukuran
Ukuran Tubuh
0
20
40
60
80
ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm
PaB 69.60 59.60 54.33 28.20 38.27 19.13 14.13 15.27 8.00
PaL 69.29 59.86 54.86 27.71 35.29 20.14 16.86 16.14 8.43
PaM 70.56 61.67 56.67 29.56 39.44 22.00 15.00 16.33 8.00
PaK 70.14 60.07 54.64 27.43 37.29 20.07 16.86 16.21 8.93
Satu
an
Variabel pengukuran
Ukuran tengkorak
31
ditangkap dan dikumpulkan untuk dipasarkan di daerah Minahasa dan Manado,
sedangkan pada musim buah-buahan tidak berbuah aktivitas penangkapan
berkurang karena populasi kelelawar berkurang atau berpindah tempat. Hasil
wawancara di Pasar Bersehati diperoleh informasi bahwa kelelawar yang berasal
dari Pulau Mantehage hanya di bawa ke Manado pada waktu tertentu. Hal ini
mengindikasikan bahwa habitat di Sulawesi Tengah masih lebih baik dibanding
habitat asal P. alecto yang diambil di Pasar Bersehati dan Habitat di Lamaya
Gorontalo.
Rataan ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak
total dari ke empat lokasi variasinya sama dengan yang dilaporkan oleh Flannery
(1995) dan Suyanto (2001). Hal ini berarti bahwa ukuran lengan bawah sayap,
betis, telinga, dan panjang tengkorak total merupakan parameter penentu dalam
identifikasi P. alecto. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak
belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.
Karakteristik fisik lain P. alecto yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh
berwarna hitam, sayap berwarna cokelat tua, dan rigi palatum 5+5+3 (Gambar
11).
Gambar 11 Warna seluruh tubuh, sayap, dan rigi palatum P. alecto.
Rumus gigi marga Pteropus adalah I1I2CP
1P
3P
4M
1M
2/I1I2CP1P3P
4M1M2M3. Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa semua kelelawar yang
ditangkap sudah dewasa karena gigi permanen sudah tumbuh semuanya, bahkan
ada beberapa gigi geraham belakang yang sudah tanggal. Hampir semua P. alecto
betina belum pernah beranak. Persentase betina dan jantan yang tertangkap
adalah 33.33% dan 66.67% untuk P. alecto asal Pasar Bersehati, Matialemba dan
Kolono sama yaitu 21.43% dan 78.57%, dan Lamaya 57.15% dan 42.85%,
Tubuh & Sayap Rigi palatum
32
dengan persentase kebuntingan 28.57%, dan persentase kebuntingan dari Kolono
21.43%. Ini berarti jumlah kelelawar jantan yang tertangkap di keempat lokasi
lebih tinggi daripada kelelawar betina. Walaupun jantan lebih banyak yang
tertangkap dibanding betina, betina yang tertangkap adalah betina produktif.
Lebih banyaknya jantan yang tertangkap mungkin disebabkan karena populasi
jantan lebih besar daripada betina. Ini mungkin karena jantan lebih banyak yang
dilahirkan daripada betina. Hasil pengamatan langsung pada P. alecto yang
dikandangkan, dari tujuh ekor yang bunting semua melahirkan anak jantan.
Karakteristik R. amplexicaudatus
Di Indonesia genus Rousettus terdiri atas empat jenis, yaitu R.
amplexicaudatus, R. celebensis, R. spinalatus dan R. leschenauli, sedangkan di
Sulawesi dan Maluku marga ini hanya terdapat satu jenis, yaitu R. celebensis. Ciri
yang membedakan spesies ini adalah ada tidaknya perlekatan sayap di tengah
punggung, ukuran lengan bawah sayap, dan banyaknya bulu (Flannery 1995,
Suyanto 2001). Maryanto & Yani (2003) melaporkan bahwa di Sulawesi ada satu
spesies baru, yaitu R. linduensis. Ciri-ciri Rousettus sp adalah moncong panjang,
lidah panjang, gigi seri belah ujungnya kanan kiri, lengan bawah sayap 69-99 mm,
mempunyai cakar pada jari kedua serta rumus gigi I1I2CP
1P
3P
4M
1M
2/I1I2CP1P3P
4M1M2M3. P1
mengecil seukuran gigi seri, geraham belakang nomor satu lebih
pendek dari pada nomor tiga dan empat.
Berdasarkan parameter tersebut di atas diketahui bahwa jenis yang
terjaring di Peonea adalah R. amplexicaudatus. Rataan, simpangan baku, jumlah
sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 4.
Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada
Gambar 12. Rataan bobot badan R. amplexicaudatus adalah 104.24 g dengan
variasi berkisar dari 58.5-149.6 g. Rataan bobot badan ini lebih tinggi 27-87. 2 g
dibandingkan dengan rataan bobot badan dari R. amplexicaudatus yang
dilaporkan Flannery (1995) bahwa rataan bobot badan R. amplexicaudatus di New
Ireland adalah 101.5 g dengan kisaran 98-105 g.
Besarnya bobot badan dan variasi bobot badan R. amplexicaudatus di
Peonea mengindikasikan struktur populasi yang seimbang, dan habitat gua batu
yang menyusuri sungai sepanjang tiga kilometer di tengah hutan lindung
33
Saluwaidei, yang ditunjang dengan aneka pohon dan buah-buahan yang tumbuh
sebagai sumber pakan yang cocok bagi kehidupan kelelawar.
bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb
:panjang lengan bawah, pb: panjang
betis, pk:panjang kaki, pt:panjang
telinga. Satuan (bb=gram, ukuran, pb,
plb, pbt, pk, dan pt =milimeter)
ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang
tengkorak condylobasal, ccs:panjang
tengkorak condylocaninus, ra: panjang
baris gigi geraham atas, ltp:lebar
tulang pipih, g-g:lebar geraham
premolar, gm:lebar baris gigi molar
Gambar 12 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea.
Selain itu, aktivitas penangkapan masyarakat di sekitar hutan lindung
jarang dilakukan. Flannery (1995) melaporkan bahwa panjang lengan bawah
sayap, ekor, dan telinga R. amplexicaudatus jantan asal New Ireland adalah 74.9
(73.2-77.2 mm, 18,7 (17.6-20.6) mm dan 15.7 (14.4-17) mm, dan betina adalah
70.3 (66.8-74) mm, 16 (14.8-15.2) mm dan 16 (14-18.3) mm. Bergman &
Rozendaal (1988) melaporkan beberapa ukuran tubuh dan tengkorak dari R.
amplexicaudatus dari Sulawesi adalah, panjang lengan bawah sayap 81.55 (77.3-
85.6) mm, panjang tengkorak total 36.85 (35.2-38.5) mm, tengkorak condylobasal
35.4 (34.2-37.2) mm dan lebar tulang pipi 22.3 (20.7-23.3) mm.
Ukuran maksimum dan minimum lengan bawah sayap R. amplexicaudatus
di Peonea lebih tinggi 4-33 mm dan panjang telinga lebih tinggi 2-5 mm dari
ukuran panjang ekor dan telinga R. amplexicaudatus yang dilaporkan oleh
Flannery (1995), sedangkan ukuran maksimun dan minimum panjang ekor sama.
Ukuran maksimum dan minimum tengkorak total lebih tinggi 1.8-9.5 mm dan
tengkorak condylobasal lebih tinggi 0.8-4.8 mm dari ukuran maksimum dan
minimum tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Bergmans
& Rozendaal (1988). Hal ini mengindikasikan bahwa panjang ekor merupakan
104.24
133.56
87.63
45.5630.25
20.44
0
20
40
60
80
100
120
140
160
bb pb plb pbt pk pt
Satu
an
Variabel pengukuran
Ukuran tubuh
42.69
37.9433.75
14.81
23.13
12.88 11.25 10.06
5.13
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm
Satu
an
Variabel pengukuran
Ukuran tengkorak
34
parameter yang tidak mengikuti bobot badan, sedangkan ukuran lengan bawah
sayap, telinga, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal mengikuti bobot
badan sehingga panjang lengan dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan
parameter dalam mengidentifikasi spesies ini. Karakteristik fisik lain yang
teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna cokelat abu-abu dan bulu yang
tidak lebat dan pendek (Gambar 13). Persentase jantan dan betina yang tertangkap
adalah 75% dan 25%.
Gambar 13 R. amplexicaudatus yang terjaring di Peonea.
Karakteristik T. nigrescens
Marga ini hanya satu jenis, yaitu codot walet T. nigrencens yang
penyebarannya terbatas di Sangihe, Sulawesi Utara, Morotai, dan Mangole . Ciri-
cirinya moncong perdek, warna keabuan dan cokelat pada daerah punggung dan
bahu (Flannery 1995). Rumus giginya adalah I1I2CP
1P
3P
4M
1/I1I2CP1P3P4.M1M2. P4
dan M1 sangat lebar dibandingkan gigi lainnya. M2 kecil hampir sama dengan P1,
I2 lebih pendek daripada I (Suyanto 2001). Berdasarkan rumus gigi, bentuk
kepala, dan bentuk moncong maka jenis yang ditemukan adalah T. nigrescens.
Namun, berdasarkan bobot badan, ukuran lengan bawah sayap, betis, dan warna
bulu, ditemukan kemungkinan dua jenis berbeda yang dapat digolongkan sebagai
marga Thoopterus sp, yaitu Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Data rataan,
simpangan baku, jumlah sampel, parameter ukuran tubuh, dan tengkorak hasil
pengukuran ketiga jenis ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Rataan variabel
pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 14.
Rataan bobot badan T. nigrescens hasil penelitian ini lebih rendah 8,81 g
dan ukuran betis lebih tinggi 1,43 mm dari kisaran T. nigrescens asal Morotai
yang dilaporkan Flannery (1995). Rataan bobot badan, lengan bawah sayap, betis,
panjang tengkorak total, dan tengkorak condylobasal Thoopterus sp 1 dan
35
Thoopterus sp 2 lebih rendah dari T. nigrescens yang ditemukan di lokasi
penelitian dan T. nigrescens asal Mangole yang dilaporkan Flannery (1995), yaitu
T. nigrescens mempunyai panjang tubuh 107-109 mm, lengan bawah sayap 71.2-
72.3 mm, panjang betis 28.7 mm, telinga 16.6-16.8 mm, dan bobot badan 62-88 g
untuk jantan dan panjang tubuh 94.1-106.7 mm, lengan bawah sayap 70.4-73.9
mm, panjang betis 27.4-31 mm, telinga 14.1-16.7 mm, dan bobot badan 52-60 g
untuk betina.
Bb:bobot badan, pb: panjang badan,
plb:panjang lengan bawah, pb:
panjang betis, pk : panjang kaki, pt
: panjang telinga. Satuan (bb=gram,
ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt
=milimeter)
ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang
tengkorak condylobasal, ccs: panjang
tengkorak condylocaninus, ra:
panjang baris gigi geraham atas, ltp:
lebar tulang pipih, g-g: lebar geraham
premolar, gm:lebar baris gigi molar
Gambar 14 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak T. nigrescens (TnP) Thoopterus
sp 1 (TnP 1), dan Thoopterus sp 2 (TnP 2) di Pakuure.
Dari rumus gigi diketahui bahwa T. nigrescens yang tertangkap sebanyak
13 ekor (84.62%) sudah dewasa, dan dua ekor (15.38%) masih muda. Dengan
jumlah jantan yang terjaring lebih rendah dari betina dengan persentase 46.15:
53.85, demikian juga Thoopterus sp 1 dengan persentase jantan 27:73.
Sebaliknya, untuk jenis Thoopterus sp 2 jumlah jantan yang terjaring lebih tinggi
daripada betina dengan persentase 90.90:0.90. Dilihat dari perbandingan jantan
dan betina yang terjaring, maka pada kondisi habitat yang tidak menunjang
kehidupan kelelawar ada kemungkinan suatu waktu akan terjadi penurunan
populasi dan perubahan struktur populasi apabila perburuan terus dilakukan.
bb ps plb pbt pk pt
TnP 83.65 553.15 75.92 30.15 25.31 17.00
TnP1 51.59 467.67 66.00 27.53 20.53 15.47
TnP2 24.42 379.09 53.82 20.09 14.64 15.91
0
100
200
300
400
500
600
Satu
an
Variabel pengukuran
Ukuran tubuh
ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm
TnP 37.88 34.00 30.88 13.75 23.25 13.25 8.13 0.00 8.13
TnP1 33.60 29.67 28.27 16.73 16.80 10.87 7.13 2.47 6.67
TnP2 29.00 25.88 24.38 10.88 18.75 10.25 6.38 2.00 5.50
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Satu
an
Variabel pengukuran
Ukuran tengkorak
36
Simpulan
Berdasarkan susunan gigi, ukuran tengkorak dan ukuran tubuh maka jenis
kelelawar pemakan buah yang ditemukan ada lima spesies yang terdiri atas 1. A.
celebensis dapat ditemukan di Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Lumaya
Gorontalo dan Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono Kecamatan Bungku
Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 2. N. cephalotes, dan 3.
T. nigrescens dapat ditemukan di Perkebunan Rakyat Toori sekitar hutan Gunung
Lolombulan Kecamatan Tenga, Kabupaten Manahasa Selatan, Provinsi Sulawesi
Utara, 4. R. amplexicaudatus dapat ditemukan di gua batu hutan lindung
Saluwadei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, Provinsi
Sulawesi Tengah, 5. P. alecto dapat ditemukan di Pasar Bersehati, Kota Manado,
Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi
Gorontalo dan Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur,
Kabupaten Poso, dan Hutan mongrove di pesisir pantai Desa Kolono, Kecamatan
Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Saran
Perlu dilakukan penelitian molekuler untuk memperkuat informasi
morfometri jenis-jenis kelelawar di setiap lokasi. Penelitian tentang populasi dan
habitat kelelawar perlu dilakukan untuk mengetahui status populasi dan habitat
kelelawar pemakan buah yang tersebar di Sulawesi.
37
Daftar Pustaka
Afolabi OO et al. 2009. Determination of major mineral in bats (Chiropterans
disambiguation). Continent J Food Sci Technol 3:14-18.
Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from
Sulawesi and Some off-lying island (Mamalia, Megachiroptera). Zool
Verhandlugen 248:1-14.
Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology
of durian (Durio zibethinus, Bombacae) in southern Thailand. J Trop Ecol
25:85-92.
Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers
long they become rare. Ecologi 87(2):271-276.
Corbet GB, Hill JE. 1992.The Mammals of the Indomalayan Region: A Systematic
Review. Oxford : Oxford University Press.
Dumont ER, O'nell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit
bats (Pteropodidae). J mammal 85 (1): 8-14.
Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific & Moluccan Islands.
Sydney : Australian Museum/ Reed Book.
Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats (Chiroptera: pteropodidae) as seed
dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic
34(4):491-503
Jenkins RKB, Racey PA. 2008. Bats as bustmeat in Madagascar. Madagascar
Conserv Develop 3 (1):22-30.
Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene
(Chiroptera : Pteropodidae) from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku,
Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417.
Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species
richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv
131:584-593.
Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop
Biodivers 6:145-162.
Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in
Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488.
38
Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species
fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record.
Treubia 32(1):63-85.
Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus (Chiroptera :
Pteropodidae) from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111-
120.
Mickleburgh S, Waylen K, Racey P. 2008. Bat as bushmeat: a global review.
Oryx 43(3):217-234.
Mohd-Azlan J, Zubaid A, Kunz TH. 2001. The distribution, relative abundance,
and conservation status of the large flying fox, Pteropus vampyrus, in
Peninsular Malaysia: a preliminary assessment. Acta Chiropt 3:149-162.
Riley J. 2002. Mammal survey on the Sangihe and Talaud Island, Indonesia and
the impact of hunting and habitat loss. Oryx 36:288-296
Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor.
Wiles GJ, Engbring J, Otobed D, 1997. Abudance, biology, and human
exploitation of bat in the Pulau Islands. J Zool 241 :203-227
PRODUKSI KARKAS DAN DAGING
KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Produksi Karkas dan Daging Kelelawar
Pemakan Buah. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi
Tengah pada bulan Maret sampai Oktober 2011. Tujuan penelitian ialah untuk
mengetahui potensi kelelawar pemakan buah sebagai sumber daging. Materi yang
digunakan adalah enam jenis kelelawar, yaitu Acerodon celebensis, Nyctimene
cephalotes, Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, dan Thoopterus
sp.Variabel yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas, bobot nonkarkas,
bobot tulang, bobot daging, bobot lemak, dan kulit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa produksi karkas Acerodon celebensis di dua lokasi adalah 51.9-56.04% dan
produksi daging 54,81-56.92%. Produksi karkas Pteropus alecto tertinggi dan
terendah di empat lokasi adalah 54.49-56.55% dan produksi daging 45.37%-
54.03%. Produksi karkas Nyctimene cephalotes adalah 61.58% dan produksi
daging 50.27%. Produksi karkas Rousettus amplexicaudatus 55.65% dan produksi
daging 51.67%. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29%-
64.07% dan produksi daging 51.41%-51.86%.
Kata kunci : produksi karkas, daging, kelelawar pemakan buah.
40
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Carcass and Meat Production of Fruit
Bats in Celebes. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
The research was conducted in North Sulawesi, Gorontalo, and Central
Sulawesi in March until October 2011. The purpose of this study was to determine
the potential of fruit bats as a source of meat. The materials used were six species
of bats, namely Acerodon celebensis, Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto,
Rousettus amplexicaudatus, and Thoopterus sp. Variables measured were body
weight, carcass weight, non carcass weight, the bone weight, meat weight, fat
weight, and skin weight. The results showed that the production of Acerodon
celebensis carcasses at two sites was 51.9-56.04%, meat production was 54,81-
56.92%. The lowest and the highest Pteropus Alecto carcass production in four
locations were 54.49-56.55%, meat production were 45.37%-54.03%. Carcass
production of Nyctimene cephalotes was 61.58%, meat production was 50.27%.
Production of Rousettus amplexicaudatus carcass was 55.65%, meat production
was 51.61%. Carcass production of both genera Thoopterus sp ranged from
49.29% to 64.07%, meat production ranged from 51.41% to51.86%.
Keywords : carcasses production, meat, fruit bats.
41
Pendahuluan
Hasil identifikasi berdasarkan morfometri, diperoleh 5 spesies kelelawar
pemakan buah yang dikonsumsi di Sulawesi Utara, yaitu P. alecto, A. celebensis,
N. cephalotes, R. amplexicaudattus, dan T. nigrescens. Walaupun belum ada data
jumlah konsumsi daging kelelawar per tahun, sumbangsih daging kelelawar dalam
pemenuhan konsumsi daging dan asupan zat gizi cukup berarti. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa setiap hari kelelawar dalam bentuk hidup dan mati serta
kelelawar olahan yang dikenal dengan paniki bisa ditemukan di pasar tradisional,
swalayan, dan tempat penjual makanan tradisional sebagai pangan eksotik.
Bahkan pada hari-hari tertentu, seperti natal, tahun baru, hari ulang tahun
perkawinan, dan pengucapan syukur karena berhasil dalam pertanian, kelelawar
olahan dijadikan menu spesial bagi keluarga. Hasil survei di pasar tradisional
Tomohon dan Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, pada Maret 2011,
menunjukkan bahwa rata-rata penjualan kelelawar setiap hari adalah 50 kg,
sedangkan berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat
penjual kelelawar di Pasar Bersehati Manado pada Oktober 2011 diperoleh
informasi bahwa setiap harinya daging kelelawar yang terjual adalah 30-50 kg.
Dengan demikian, setiap harinya kelelawar menyumbang penyediaan daging yang
setara dengan 80-100 kg. Kelelawar pemakan buah, sebagai alternatif penghasil
daging, kaya akan mineral yang esensial bagi tubuh (Lee 2000b, Riley 2002, Lee
et al. 2005, Jenkins & Racey 2008, Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009).
Melihat minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging
kelelawar dan sumbangsih daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi
daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan produktivitas karkas
dan ketersediaannya. Produktivitas berhubungan dengan komposisi karkas yang
meliputi tulang, daging, dan lemak yang dihasilkan, sedangkan komposisi karkas
berhubungan dengan bobot badan (Aberle et al. 2001). Sampai saat ini, informasi
tentang produksi karkas dan daging kelelawar belum tersedia secara ilmiah karena
kelelawar merupakan satwa liar yang belum ada penanganannya sehingga
pengukuran produktivitasnya belum diperhatikan.
Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi pertumbuhan dan produksi
daging kelelawar berdasarkan bobot hidup dan bobot karkas. Diharapkan hasil
42
penelitian ini dapat menjadi informasi tentang pendugaan bobot karkas dan
nonkarkas berdasarkan bobot hidup, serta pendugaan bobot komponen karkas
berdasarkan bobot karkas yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan pegembangan
potensi kelelawar sebagai satwa harapan sumber daging yang ketersediaannya
kontinu melalui budi daya.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Manado dan Pakuure (Sulawesi Utara), Lamaya
(Gorontalo), serta Matialemba, Peonea, dan Kolono (Sulawesi Tengah)
Pengambilan data potongan karkas dan nonkarkas kelelawar pemakan buah
dilakukan di Labaratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Sam Ratulangi untuk kelelawar yang berasal dari Pasar Manado,
sedangkan yang lainnya dilakukan di lokasi masing-masing. Lama penelitian
enam bulan dimulai dari Maret sampai Oktober 2011.
Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan enam jenis kelelawar dari enam lokasi, yaitu
A. celebensis dari Lamaya sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 300.90-
395.80 g, dan dari Kolono sebanyak 11 ekor dengan kisaran bobot badan 274.40-
533.90 g. N. cephalotes dari Pakuure sebanyak 8 ekor dengan kisaran bobot badan
43.14-60 g. P. alecto dari pasar Bersehati sebanyak 15 ekor dengan kisaran bobot
badan 450-545 g, Lamaya sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 333.60 -
600 g, Matialemba sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 719-779 g, dan
Kolono sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 325–795 g. R.
amplexicaudatus dari Peonea sebanyak 8 ekor dengan kisaran bobot badan 58.50-
149.60 g. Thoopterus sp dari Pakuure yang terdiri atas T. nigrescens sebanyak 9
ekor dengan kisaran bobot badan 59–156.50 g, Thoopterus sp 2 sebanyak 5 ekor
dengan kisaran bobot badan 22.50–39.30 g. Peralatan dan bahan yang digunakan
adalah kompas, GPS (Global Position System), jaring kabut, senter, kain blacu,
timbangan, kamera, alkohol, kapas, kandang penampungan dalam bentuk ram
kawat, gunting, silet, pisau, timbangan digital kapasitas 1000 g, juga seperangkat
alat untuk keamanan diri.
43
Metode Penelitian
Kelelawar yang berasal dari Pasar Bersehati Manado telah mengalami
transportasi dari asalnya selama satu minggu dan sudah dikandangkan selama dua
hari. Selama transportasi, kelelawar diberikan pakan berupa pepaya dan pisang
sehari sekali, sedangkan kelelawar yang ditangkap di lima lokasi, sebelum
dilakukan pengukuran bobot, dimasukkan ke dalam kandang selama semalam.
Sebelum disembelih, masing-masing kelelawar ditimbang untuk mengetahui
bobot hidupnya. Kelelawar yang sudah mati kemudian dibakar bulunya
menggunakan kompor gas.
Penyembelihan dilakukan dengan pemotongan kedua sayap mulai dari
lengan atas sampai betis, dan bagian leher sehingga kulit, otot, vena jugolaris, dan
eshopagus terpotong sempurna. Pengeluaran isi rongga perut dan rongga dada
dilakukan dengan menyayat dinding abdomen sampai dada. Batasan karkas dan
nonkarkas yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti batasan ternak
konvensional, yaitu karkas terdiri atas tulang, daging, dan lemak. Pada penelitian
ini, kulit dipisahkan dengan lemak dan dimasukkan ke dalam komponen karkas
karena daging kelelawar yang dikonsumsi tidak dikuliti. Yang termasuk dalam
definisi kulit dalam penelitian ini adalah kulit beserta lemak di bawah kulit atau
lemak subkutan, sedangkan lemak adalah lemak tubuh tanpa lemak di bawah
kulit atau lemak intramuskuler.
Komponen nonkarkas adalah rongga dada dan rongga perut yang terdiri
atas paru-paru, hati, ginjal, limfa, dan usus. Pengukuran bobot badan dilakukan
dengan penimbangan sebelum penyembelihan (g). Bobot karkas panas dihitung
dengan mengurangi bobot badan dengan bobot kepala, sayap, rongga perut, dan
rongga dada (g). Persentase karkas panas dihitung dengan perbandingan bobot
karkas panas dengan bobot badan dikalikan seratus persen (%). Persentase daging
adalah perbandingan antara bobot daging dan bobot karkas dikalikan seratus
persen (%). Persentase tulang adalah perbandingan antara bobot tulang dengan
bobot karkas dikalikan seratus persen (%). Persentase lemak adalah perbandingan
antara bobot lemak dan bobot karkas dikalikan seratus persen (%). Persentase
kulit adalah perbandingan antara bobot kulit dengan bobot karkas dikalikan
seratus persen (%). Persentase nonkarkas adalah perbandingan antara bobot
44
nonkarkas dan bobot badan dikalikan seratus (%). Persentase bagian-bagian
nonkarkas adalah perbandingan bobot bagian nonkarkas dengan bobot nonkarkas
dikalikan seratus persen.
Analisis Data
Hasil analisis data produksi karkas dan komponen karkas diuraikan secara
deskriptif
45
Hasil dan Pembahasan
Produksi Karkas dan Daging Acerodon celebensis di Lamaya dan Kolono
Rataan bobot badan, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang, bobot
daging, bobot lemak, dan bobot kulit dari A. celebensis di dua lokasi disajikan
pada Gambar 15, sedangkan jumlah sampel, standar deviasi, dan bobot
maksimum dan minimum dapat dilihat pada Lampiran 6. Rataan bobot badan A.
celebensis dari Kolono lebih tinggi 31.75 g dari A. celebensis yang berasal dari
Lamaya, dengan perbedaan bobot karkas sebesar 30.40 g, bobot tulang 2.16 g,
bobot daging 14.49 g, bobot lemak 15.38 g, dan kulit 5.48 g.
AcM : A. celebensis dari Lamaya, Gorontalo, AcK : A. celebensis dari
Kolono, Sulawesi Tengah, Bb : bobot badan, Bk: bobot karkas, BnK : bobot
rangga dada dan rongga perut, Bd : bobot daging, Bt: bobot tulang, Bl : bobot
lemak, Bk : bobot kulit dan lemak di bawah kulit
Gambar 15 Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) A. celebensis dari
Lamaya dan Kolono.
Rataan bobot badan A. celebensis di Lamaya adalah 354.14 g dengan
produksi karkas sebesar 51.98% dan produksi nonkarkas 18.28%. Berdasarkan
pada bobot karkas, maka produksi tulang A. celebensis di Lamaya adalah 21.43%,
produksi daging 56.92%, produksi lemak 2.03%, dan kulit 15.54 %, sehingga
perbandingan daging dan tulang (meat bone ratio) adalah 3.6:1.
Bb Bk BnK Bd Bt Bl Bk
AcM 354.14 184.14 64.03 103.99 39.23 3.67 29.07
ACK 385.94 215.47 64.03 118.48 41.36 19.06 34.55
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Sat
uan
(gra
m)
Variabel Pengukuran
46
Rataan bobot badan A. celebensis dari Kolono adalah 385.94 g dengan
rataan produksi karkas sebesar 56.04% dan produksi nonkarkas 17.09%.
Berdasarkan pada bobot karkas maka produksi tulang A. celebensis di Kolono
secara berurutan adalah 19.86%, produksi daging 54.81%, produksi lemak 8.97%,
dan kulit 16.06% sehingga perbandingan daging dan tulang (meat bone ratio)
adalah 2.7:1.
Peningkatan produksi karkas selalu sejalan dengan peningkatan bobot
potong (Aberle et al. 2001, Soeparno 2005, Brahmantiyo et al. 2010, Warsono &
Priyanto 2011). Produksi karkas A. celebensis dari Kolono lebih tinggi (4.06%)
dari Lamaya. Hal ini demikian karena bobot badannya lebih tinggi dari A.
celebensis di Lamaya. Produksi karkas dan lemak A. celebensis di kedua lokasi
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan ternak konvensional, seperti kelinci
yang dilaporkan oleh Hutajulu & Yunilas (2007), yaitu produksi karkas 49.66%
dan produksi lemak 4.79%, sedangkan produksi tulang lebih rendah, yaitu 23.15%
(Harjoko & Warsiti 2008). Demikian juga produksi daging A. celebensis di kedua
lokasi tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi daging babi, yaitu
54% - 55.88% (Rehfelt et al. 2008).
Perbandingan produksi daging dan lemak dalam karkas untuk A.
celebensis di Lamaya dan Kolono masing-masing adalah 27.7:1 dan 6.1:1.
Walaupun tidak diketahui umur yang tepat dari kelelawar A. celebensis di dua
lokasi tersebut, melalui perbandingan produksi daging dan lemak dalam karkas
dapat menggambarkan bahwa umur A. celebensis di Kolono lebih dewasa dari A.
celebensis di Lamaya. Oleh karena itu, bertambahnya bobot badan A. celebensis
di Kolono akan menghasilkan proporsi lemak dalam karkas meningkat dan
proporsi daging akan menurun, karena pertambahan bobot bukan karena
pertambahan daging, melainkan karena pertambahan lemak. Bertambahnya bobot
badan A. celebensis di Lamaya akan menghasilkan proporsi daging dalam karkas
meningkat dan proporsi lemak menurun. Artinya bahwa yang memberikan
kontribusi terbesar terhadap bobot karkas A. celebensis di Lamaya adalah
produksi daging, sedangkan pada A. celebensis di Lamaya adalah produksi lemak.
Dengan kata lain bahwa semakin besar bobot daging, akan diikuti dengan semakin
47
kecilnya lemak dalam karkas. Sebaliknya, semakin besar proporsi lemak dalam
karkas akan diikuti dengan semakin sedikitnya proporsi daging.
Berdasarkan pada produksi karkas dan daging ketahui bahwa pada rataan
bobot badan 354.14 g dengan bobot karkas 184,7 g akan menghasilkan daging
dengan proporsi lemak sedikit, atau pertambahan bobot badan karena
pertambahan daging, sedangkan kisaran bobot badan 385.94 g dengan bobot
karkas 215.47 g akan menghasilkan proporsi daging dengan lemak yang banyak,
atau pertambahan bobot badan karena pertambahan lemak. Dilihat dari produksi
daging dan lemak, maka disarankan untuk memotong kelelawar A. celebensis
pada kisaran bobot badan 354.14 g. Aberle et al. (2001) melaporkan bahwa
pertumbuhan pada hewan secara umum dapat diartikan sebagai pertambahan
bobot hidup per satuan waktu, yaitu laju pertumbuhan dan distribusi komponen-
komponen tubuh, seperti tulang, otot, dan lemak berlangsung secara gradual, yaitu
tulang meningkat pada laju pertumbuhan awal diikuti otot dan terahir
pertumbuhan lemak yang meningkat dengan pesat.
Produksi Karkas dan Daging P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya,
Matialemba, dan Kolono
Rataan bobot badan, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang, bobot
daging, bobot lemak, dan bobot kulit dari P. alecto di empat lokasi dapat disajikan
pada Gambar 16, sedangkan jumlah sampel, standar deviasi, dan bobot maksimun
dan minimum dapat dilihat pada Lampiran 7.
Berdasarkan rataan bobot badan maka diperoleh produksi karkas dan
nonkarkas P. alecto di Pasar Bersehati adalah 54.49% dan 12.41%, dan
berdasarkan bobot karkas maka produksi tulang, daging, lemak, dan kulit
berturut-turut adalah 18.12%, 54.03%, 7.59%, dan 18.49%. Produksi karkas dan
nonkarkas P. alecto di Lamaya adalah 54.85% dan 13.78%, dan berdasarkan
bobot karkas maka produksi tulang, daging, lemak, dan kulit berturut-turut adalah
19.15%, 54.00, 11.49%, dan 16.80%. Produksi karkas dan nonkarkas P. alecto di
Matialemba adalah 56.55% dan 12.59%, dan berdasarkan bobot karkas produksi
tulang, daging, lemak, dan kulit secara berturut-turut adalah 18.97%, 45.37%,
19.16%, dan 15.63%. Demikian juga dengan Produksi karkas dan nonkarkas P.
alecto di Kolono adalah 56.03% dan 12.67%, dan berdasarkan bobot karkas
48
produksi tulang, daging, lemak, dan kulit P. alecto di Kolono secara berurutan
adalah 20.86%, 47.18%, 11.74%, dan 16.54%. Walaupun P. alecto di
Matialemba dan Kolono mempunyai produksi karkas lebih tinggi dari P.alecto di
Pasar Bersehati dan Lamaya, produksi daging P. alecto di Matialemba dan
Kolono lebih rendah dari produksi daging P. alecto di Pasar Bersehati dan
Lamaya. Perbedaan tersebut disebabkan karena produksi lemak karkas P. alecto
di Matialemba dan Kolono lebih tinggi dari produksi lemak karkas P. alecto di
Pasar Bersehati dan Lamaya.
PaB: P. alecto dari Pasar bersehati Manado. PaL : P. alecto dari Lamaya
Gorontalo, PaM: P. alecto dari Matialemba, Sulteng. PaK: P. alecto dari
Kolono, Sulteng. Bb : bobot badan, Bk: bobot karkas, BnK : bobot
rangga dada dan rongga perut, Bd : bobot daging, Bt: bobot tulang, Bl :
bobot lemak, Bk : bobot kulit dan lemak di bawah kulit
Gambar 16 Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas
(Bnk), dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) P. alecto
di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono.
Perbandingan rataan produksi daging dan lemak P. alecto di Pasar
Bersehati adalah 6.85:1, Lamaya 4.7:1, Kolono 4.5:1, dan Matialemba 2.3:1.
Dari perbandingan lemak dan daging, dapat diketahui bahwa dengan
bertambahnya bobot badan P. alecto di Matialemba akan diikuti dengan
pertambahan jaringan lemak bukan pertambahan daging, sedangkan dengan
bertambahnya bobot badan P. alecto di Pasar Bersehati akan diikuti dengan
Bb Bk BnK Bd Bt Bl Bk
PaB 508.89 276.83 63.18 156.97 50.17 20.11 51.17
PaL 535.66 297.29 72.66 156.27 54.74 38.11 49.71
PaM 739.53 418 93.27 189.57 79.26 80.32 65.29
PaK 546.19 314.23 66.26 144.46 62.26 45.83 45.83
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Sat
uan
(gra
m)
Variabel Pengukuran
49
pertambahan jaringan daging lebih banyak dari jaringan lemak, demikian juga
dengan P. alecto lamaya dan Kolono.
Perbandingan rataan produksi daging dan tulang P. alecto di Matialemba,
Lamaya, Kolono, dan Pasar Bersehati masing-masing sebesar 2.9:1, 2.8:1, 2.4:1,
dan 2.5:1. Walaupun tidak diketahui umur yang tepat dari kelelawar P. alecto di
empat lokasi, melalui perbandingan rataan produksi daging-lemak, dan daging-
tulang dapat menggambarkan bahwa umur P. alecto di ke empat lokasi sudah
dewasa, sehingga bertambahnya bobot badan dari P. alecto di empat lokasi ini
akan menghasilkan proporsi lemak dalam karkas meningkat, sedangkan proporsi
daging akan menurun, karena pertambahan bobot bukan karena pertambahan
daging, melainkan pertambahan lemak.
Berdasarkan produksi daging dan lemak maka disarankan untuk
memotong kelelawar P. alecto pada bobot badan tidak lebih dari 508.89 g. Owen
et al. (1993) menyatakan bahwa tingkat umur sangat menentukan dalam
pertumbuhan. Bertambahnya umur akan menyebabkan deposisi lemak di antara
otot, lemak di bawah kulit, dan terakhir lemak antara serabut otot (Soeparno
2005).
Produksi Karkas dan Daging Thoopterus spp. di Pakuure
Berdasarkan pada formula gigi, kedua marga Thoopterus sp di Pakuure
dapat diklasifikasikan pada spesies T. nigrescens, namun berdasarkan bobot
tubuh, tengkorak, dan warna bulu maka jenis Thoopterus sp berbeda spesies dari
T. nigrescens. Dengan demikian, kedua marga ini dibedakan atas dua kelompok,
yaitu kelompok Thoopterus sp 1 (belum teridentifikasi sebagai T. nigrescens) dan
T. nigrescens. Rataan bobot badan, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang,
bobot daging, bobot lemak, dan bobot kulit dari dua Marga Thoopterus sp ini
dapat dilihat pada Gambar 17, sedangkan jumlah sampel, standar deviasi, dan
bobot maksimun dan minimum dapat dilihat pada Lampiran 8.
Rataan bobot badan T. nigrescens adalah 90.54 g dengan produksi karkas
sebesar 49.29% dan produksi nonkarkas 18.44%. Berdasarkan produksi karkas
maka produksi tulang T. nigrescens adalah 21.59%, daging 51.41%, lemak 4.09%,
dan kulit 17.21%. Thoopterus sp 2 mempunyai rataan bobot badan 30.60 g dengan
50
produksi karkas 64.07% dan nonkarkas 17,51%. Berdasarkan bobot karkas maka
produksi tulang Thoopterus sp 2 adalah 19.85%, daging 51.86%, dan kulit 9.34%.
TnP: T. nigrescens, TnP1: Thoopterus sp, Bb : bobot badan, Bk: bobot
karkas, BnK : bobot rangga dada dan rongga perut, Bd : bobot daging, Bt:
bobot tulang, Bl : bobot lemak, Bk : bobot kulit dan lemak di bawah kulit
Gambar 17 Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk), bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) Thoopterus sp di
Pakuure.
Perbandingan rataan produksi daging dan lemak T. nigrescens adalah
12.6:1, dan Thoopterus sp 1 tidak memiliki lemak intramuskuler, sedangkan
perbandingan produksi daging dan tulang masing-masing sebesar 2.4:1 dan 2.6:1.
Dari kandungan tulang, daging, dan lemak dapat diketahui bahwa T. nigrescens
dan Thoopterus sp 1 sedang mengalami pertumbuhan sehingga dengan
bertambahnya bobot badan T. nigrescens dan Thoopterus sp 1 akan diikuti dengan
pertambahan jaringan daging. Hal ini menggambarkan bahwa bertambahnya
bobot badan akan menyebabkan pertambahan bobot karkas, nonkarkas, tulang,
daging, lemak, dan kulit. Diduga bahwa pada kisaran bobot badan 90 g semua
komponen dari T. nigrescens sedang tumbuh.
Produksi Karkas dan Daging Nyctimene cephalotes di Pakuure
Rataan bobot badan, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang, bobot
daging, bobot lemak, dan bobot kulit N. cephalotes dapat dilihat pada Gambar
18, sedangkan jumlah sampel, standar deviasi, dan bobot maksimun dan minimum
dapat dilihat pada Lampiran 9. Rataan bobot badan N. cephalotes 52.76 g dengan
Bb Bk BnK Bd Bt Bl Bk
TnP 90.54 44.47 16.03 22.74 8.96 2.68 7.47
TnP 1 30.6 19.54 5.38 10.22 3.82 0 1.8
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Satu
an (g
ram
)
Variabel pengukuran
51
rataan produksi karkas sebesar 61.58%, dan produksi nonkarkas 17.81%.
Berdasarkan produksi karkas maka N. cephalotes mempunyai produksi tulang
19.09%, daging 50.27%, lemak 4.89%, dan kulit 11.37%. Dengan demikian,
perbadingan daging dan tulang (meat bone ratio) serta daging dan lemak adalah
2.6:1 dan 10.28:1.
Gambar 18 Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk) , bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl dan BK) N. cephalotes di
Pakuure.
Berdasarkan pada perbandingan daging dan tulang serta daging dan lemak
diduga bahwa pada kisaran bobot badan 52.76 g komponen daging dan lemak N.
cephalotes sedang tumbuh. Namun, diduga bahwa umur N. cephalotes sudah
dewasa dan diduga sudah masuk fase pertumbuhan lemak, dan apabila bobot
badan terus bertambah maka proporsi daging akan menurun dan proporsi lemak
akan terus berbertambah.
Produksi Karkas dan Daging Rousettus amplexicaudatus di Peonea
Rataan bobot badan, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang, bobot
daging, bobot lemak, dan bobot kulit R. amplexicaudatus dapat dilihat pada
Gambar 19, sedangkan jumlah sampel, standar deviasi, dan bobot maksimum dan
minimum dapat dilihat pada Lampiran 10.
52.76
32.33
17.81 16.23
6.11
1.65 3.65
0
10
20
30
40
50
60
Bb Bk BnK Bd Bt Bl Bk
Sat
uan
(gra
m)
Variabel pengukuran
52
Bb : bobot badan, Bk: bobot karkas, BnK : bobot rangga dada dan rongga
perut, Bd : bobot daging, Bt: bobot tulang, Bl : bobot lemak, Bk : bobot kulit
dan lemak di bawah kulit
Gambar 19 Rataan bobot badan (Bb), bobot karkas (Bk) , bobot nonkarkas (Bnk),
dan bobot komponen karkas (Bd, Bt, Bl, dan BK) R.
amplexicaudatus di Peonea.
Rataan bobot badan R. amplexicaudatus 97.84 g dengan rataan produksi
karkas sebesar 55.65% dan produksi nonkarkas sebesar 15.65%. Berdasarkan
produksi karkas maka R. amplexicaudatus memiliki produksi tulang sebesar
24.28%, daging 51.89%, lemak 10.6%, dan kulit 12.57%, sehingga perbadingan
daging dan tulang serta daging dan lemak adalah 2.13:1 dan 4.9:1.
Johnson et al. (2005) menyatakan bahwa nilai karkas ditentukan antara
lain oleh proporsi daging pada karkas, dimana ratio daging dan tulang
berhubungan dengan perdagingan yang baik. Ratio tulang dan daging A.
celebensis 2.7-3.6:1, P. alecto 2.5-2.9:1, Thoopterus sp 2.4-2.6:1, N. chepalotes
2.6:1, dan R. amplexicaudatus 2.13:1. Ratio tersebut sama dengan kisaran ratio
tulang dan daging pada kelinci yang dilaporkan Balsco et al. (1984) yaitu 2.94:1.
97.84
54.74
16
28.38
13.166.26 6.39
0
20
40
60
80
100
120
Bb Bk BnK Bd Bt Bl Bk
Sat
uan
(gra
m)
Variabel pengukuran
53
Simpulan
Persentase karkas A. celebensis yang mempunyai kisaran bobot badan
354.14-385.94 g adalah 51.98-56.04%, persentase daging 54.81-56.92%, dan ratio
daging-tulang 2.7-3.6:1. Persentase karkas P. alecto yang mempunyai kisaran
bobot badan 508.89-739.53 g adalah 54.49-56.55%, persentase daging 45.37-
54.03%, dan ratio daging-tulang 2.5-2.9:1. Persentase karkas Thoopterus sp yang
mempunyai kisaran bobot badan 30-90.54 g adalah 49.29-64.07%, persentase
daging 51.41-51.86%, dan ratio daging-tulang 2.4-2.6:1. Persentase karkas N.
cephalotes yang mempunyai bobot badan 52.76 g adalah 61.58%, persentase
daging 50.27%, dan ratio daging-tulang 2.6:1. Persentase karkas R.
amplexicaudatus yang mempunyai bobot badan 97.84 g adalah 55.65%,
persentase daging 51.67%, dan ratio daging-tulang 2.13:1.
54
Daftar Pustaka
Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science.
Ed Ke-4. USA : Kendal/Hunt Pulishing Co.
Afolabi OO et al. 2009. Determination of major mineral in bats (Chiropterans
disambiguation). Continent J Food Sci Technol 3:14-18.
Afolayan RA et al. 2002. Prediction of carcass meat, fat and bone yield across
diverse cattle genotypes using live-animal measurements. Anim Prod Aust
24:13-16.
Blasco A, Estany J, Baselga M. 1984. Prediction rabbit meat and bone weight
using carcass measurements and simple cuts. Ann Zootec 33(2):161-170.
Brahmantiyo B, Raharjo YC, Martoyo H, Mansjoer SS. 2010. Performa produksi
kelinci Rex, satin dan persilangan. JITV 15(2) 131-137.
Haryoko I, Warsiti T. 2008. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap
karakteristik fisik karkas kelinci peranakan New Zealand White. Anim
Product 10(2): 85-98.
Hutajulu WL, Yulinas. 2007. Pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang
difermentasi Aspergillus niger terhadap karkas kelinci local umur 16
minggu. J Agribis Pet 3(2):75-79
Jenkins RKB, Racey PA. 2008. Bats as bushmeat in Madagascar. Madagascar
Conserv and Develop 3(1):22-30.
Johnson PL, Purchas RW, Mcewan JC, Blair HT. 2005. Carcass composition and
meat quality differens between pasture-reared ewe and lambs. Meat Sci
71(2):383-391.
Lee RJ. 2000b. Market hunting pressures in North Sulawesi, Indonesia. Trop
Biodivers 6:145-162.
Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implications for low enforcement in
Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123 :477-488.
Mickleburgh S, Waylen K, Racey P. 2008. Bat as bushmeat: a global review.
Oryx 43(3):217-234.
Rehfeldt C, Tuchscherer A, Hartung M, Kuhn G. 2008. A second look at the
influence of birth weight on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci 78
;170-175.
Riley J. 2002. Mammal survey on the Sangihe and Talaud Island, Indonesia and
the impact of hunting and habitat loss. Oryx 36:288-296.
55
Orellana C et al. 2009. Carcass characteristics, fatty acid composition, and meat
quality of criollo argentino and braford steers raised on forage in a semi-
tropical region of argentina. Meat Sci 81:57-64.
Owens FN, Dubeski P, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and
development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150.
Sents AE, Walters, Whiteman JV. 1982. Performans and carcass characteristics of
ram lambs based on slaughtered different weight. J Anim Sci 60(6):1360-
1368.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Warsono IU, Priyanto R. 2011. Sifat biologis dan karakteristik karkas bandikot
(Echymipera kalubu). Berk Penel Hayati Ed Khusus 4B:13-19.
56
KUALITAS DAGING KELELAWAR DIBANDINGKAN DENGAN
DAGING BABI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kualitas Daging Kelelawar Dibandingkan
dengan Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh RARAH
RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN
MANALU
Penelitian eksplorasi ini bertujuan untuk mengkaji kualitas daging
kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Kualitas
daging meliputi sifat fisik dan kimia daging. Sifat fisik yang diamati adalah
derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak,
sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam
lemak, dan total kolesterol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH daging
kelelawar Pteropus alecto yang disembelih, daging kelelawar Pteropus alecto
beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah
6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat
air adalah 48.92%±2.95%, 32.63%±1.00%, 44.78%±0.68%, 45.78%±3.59%, dan
43.23% ±1.13%, sedangkan susut masak adalah 12.83%±.1.12%, 36.46%±1.39%,
19.45%±1.46%, 16.30%±1.12%, dan 27.32%±0.72%. Berdasarkan bahan segar
maka kadar protein daging kelelawar Pteropus alecto, kelelawar Nyctimene
cephalotes, dan kelelawar Rousettus amplexicaudatus secara berturut-turut adalah
20.48%, 21.73%, dan 21.08%, dan kadar air adalah 67.21%, 62.45%, dan 63.84%.
Berdasarkan bahan kering, kadar protein Pteropus alecto, Rousettus
amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-
turut adalah 48.97 %, 51.49%, 69.08%, 67.14%, dan 69.41%, kadar Lemak adalah
29.85%, 22.63%, 8.91%, 11.65%, dan 3.47%, kadar air adalah 5.76%, 7.54%,
9.92%, 8.27 %, dan 9.90%, kadar Ca adalah 10.62%, 2.09%, 1.09%, 1.36%, dan
1.83%, dan kadar P adalah 1.46%, 1.44%, 0.69%, 0.66%, dan 0.72%.
Perbandingan saturated fatty acid (SFA), monounsaturated fatty acid (MUFA),
dan poliunsaturated fatty acid (PUFA) untuk Acerodon celebensis adalah 17.21:
13.27:1, untuk Pteropus alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk Rousettus
amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk
daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1.
Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial untuk daging Acerodon
celebensis adalah 1.16:1, untuk daging Pteropus alecto adalah 0.98:1, untuk
daging Rousettus amplexicaudatus adalah 1.05:1, untuk daging babi adalah 1.1:1,
untuk daging ayam adalah 1.17:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar
kolesterol untuk Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, daging babi, daging
ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg,
287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Kesimpulannya adalah
Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus memiliki
kualitas fisik dan kimia daging sama dengan daging babi dan daging ayam, tetapi
untuk SFA tinggi.
Kata kunci : kualitas daging, kelelawar, babi, ayam.
58
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Meat Quality of Fruit Bats Compared
With Pork, Chicken and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
The purpose of this exploratory study was to assess the quality of bats
meat as compared to pork, chicken, and tuna. The physical properties observed
were pH,water holding capacity, and cooking loss. While the chemical properties
observed were proximate analysis, amino acids, fatty acids, and cholesterol
concentrations. The results showed that the pH of unfrozen Pteropus alecto meat,
frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 6.44 ± 0.08, 5.33 ±
0.02, 5.97 ± 0.06, 6.05 ± 0.07, 5.57 ± 0.04, respectively. Water holding capacity
for unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken,
and tuna were 48.92% ± 2.95%, 32.63% ± 1.00%, 44.78% ± 0.68%, 45.78% ±
3.59%, 43.23% ± 1.13, respectively. Cooking loss for unfrozen Pteropus alecto
meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 12.83% ±
1.12%, 36.46% ± 1.39%, 19.45% ± 1.46%, 16:30% ± 1.12%, 27.32% ± 0.72%,
respectively. Based on the fresh matter, protein percentage of Pteropus alecto,
Nyctimene cephalotes, and Rousettus amplexicaudatus were 20.48%, 21.73%,
21:08%, respectively, and water percentage were 67.21%, 62.45%, 63.84%,
respectively. Based on dry matter, protein percentage of Pteropus Alecto,
Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 48.97%, 51.49%,
69.08%, 67.14%, 69.41%, respectively, fat percentage were 29.85%, 22.63%,
8.91 %, 11.65%, 3:47%, respectively, water percentage were 5.76%, 7:54%,
9.92%, 8:27%, 9.90%, respectively, Ca percentage were 10.62%, 2:09%, 1.09%,
1.36%, 1.83%, and P percentage were 1.46% , 1.44%, 0.69%, 0.66%, 0.72%,
respectively. Ratio of saturated fatty acid (SFA), monounsaturated fatty acid
(MUFA), and poliunsaturated fatty acid (PUFA) for Acerodon celebensis was
17.21:13.27:1, for Pteropus alecto was 23.36:13.131, for Rousettus
amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, for chicken was
2:1.5:1, and for tuna fish was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non
essential amino acids for Acerodon celebensis was 1.16:1, for Pteropus alecto
was 0.98:1, for Rousettus amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for
chicken was 1.17:1, and for Tuna was 1.12: 1. Cholesterol levels for Pteropus
alecto, Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20 mg,
234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, 138.21 mg, respectively. The
conclusion were Acerodon celebensis, Pteropus alecto, and Rousettus
amplexicaudatus have meat quality similar to pork and chicken.
Keywords : meat quality, fruit bats, pork, chicken.
59
Pendahuluan
Daging kelelawar hanya dikonsumsi oleh sebagian masyarakat (Brooke &
Tschapka 2002, Lee et al. 2005, Mohd-Azlan et al. 2001, Jenkins & Racey 2008,
Afolabi et al. 2009). Walaupun daging kelelawar tidak merupakan pangan yang
umum dikonsumsi semua orang, informasi tentang kualitas dan nilai gizinya perlu
diketahui. Dengan mengetahui nilai gizi, karakteristik fisik, dan kimia daging
kelelawar maka kelelawar sebagai pangan asal hewan yang berkualitas dapat
dipercaya. Untuk mengetahui posisi daging kelelawar sebagai bahan pangan yang
berkualitas, perlu dibandingkan dengan daging ternak konvensional dan jenis ikan
yang umum dijadikan sebagai bahan pangan dan diakui sebagai sumber protein
yang tinggi, dengan komposisi asam amino yang lengkap, dan asam lemak yang
seimbang. Salah satu bahan pangan dari ternak konvensional yang sudah dikenal
antara lain daging babi dan daging ayam, sedangkan jenis ikan yang dipilih ialah
ikan cakalang yang dikonsumsi hampir semua masyarakat, dan dapat dijangkau
semua kalangan.
Sifat-sifat fisik daging yang berhubungan dengan kualitas daging adalah
derajat keasaman, daya mengikat air, susut masak (Aberle et al. 2001, Soeparno
2005), dan sifat kimia berhubungan dengan komposisi kimia, komposisi asam
amino, komposisi asam lemak jenuh (SFA, saturated fatty acid), asam lemak tak
jenuh rangkap satu (MUFA, monounsaturated fatty acid), asam lemak tak jenuh
rangkap banyak (PUFA, polyunsaturated fatty acid ), dan kadar kolesterol total
daging (Murray et al. 2003, Lawrie 2003)
Informasi ilmiah tentang karakteristik fisik dan kimia daging ayam, daging
babi, dan ikan sudah pernah dilakukan (Siagian et al. 2004, Morel et al. 2006,
Rehfeldt et al. 2007, Florowski et al. 2006, Garcia et al. 2010, Kumar et al. 2011,
Robb et al. 2000, Wijayanti et al. 2006, Adebiyi et al. 2011, Salakova et al.
2009), namun dilakukan secara terpisah-pisah oleh peneliti yang berbeda dengan
kondisi yang berbeda pula. Informasi tentang kelelawar belum penah ada, oleh
karena itu untuk mendapatkan informasi secara menyeluruh pada waktu, kondisi,
dan tempat yang sama telah dilakukan penelitian tentang kualitas fisik dan kimia
daging kelelawar, khususnya Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus
60
amplexicaudatus yang dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan
cakalang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat-sifat fisik dan profil kimia
daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang
sebagai sumber bahan pangan yang bernilai gizi tinggi. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk kajian-kajian
lanjutan tentang kelelawar dalam pengembangannya.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengeringan sampel daging dan analisis karakteristik fisik daging
dilakukan di laboratorium bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi, Manado. Analisis komposisi kimia daging dilakukan
di Laboratorium Pusat Sumberdaya dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Analisis
komposisi asam lemak dan asam amino dilaksanakan di Laboratorium Terpadu
Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis kadar kolesterol total
dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan,
yaitu bulan Juli 2011-Maret 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian pendahuluan untuk mengetahui kadar protein telah dilakukan
pada tiga jenis kelelawar, yaitu P. alecto dari Pasar Bersehati Manado, Sulawesi
Utara, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus yang berasal dari Desa Pakuure,
Sulawesi Utara. Penelitian selanjutnya untuk mengkaji sifat kimia daging
mengunakkan A. celebensis dan P. alecto dari Kolono, Sulawesi Tengah masing-
masing sebanyak 10 ekor, dan R. amplexicaudatus dari Peonea, Sulawesi Tengah
sebanyak 20 ekor, dan daging ayam, daging babi, serta ikan cakalang masing-
masing sebanyak 3 kg yang berasal dari Pasar Bersehati Manado. Daging babi
yang digunakan adalah bagian paha tanpa pemisahan bagian lemak, daging ayam
dan kelelawar menggunakan seluruh karkas tanpa pemisahan bagian lemak. Untuk
melihat sifat fisik, yaitu perubahan pH, daya mengikat air, dan susut masak,
61
diambil pada kelelawar P. alecto yang masih hidup kemudian disembelih sendiri
dan kelelawar yang sudah dibekukan, sedangkan daging ayam dan daging babi
diambil pada saat pemotongan, dan ikan cakalang diambil dalam keadaan sudah
beku. Semua materi berasal dari Pasar Bersehati. Pengambilan sampel diambil
pada pagi hari, yaitu saat pemotongan dilakukan.
Zat-zat yang digunakan adalah aquades, n-heksan, petrolium benzena,
dietil eter, etanol, amonia 25%, indikator fenolpltalein, NaOH 0.5 N, BF3 20%,
NaCL jenuh, isooctana, Na2SO4 anhidrid, standar asam lemak, H2SO4, (NH4)2SO4,
NH3, NaOH jenuh, HCL, H3BO3 2%, brom cresol green-methyl red, NH4OH,
indikator pp, dan KMnO4.
Peralatan yang digunakan adalah kamera digital, food processor, cool
box, pH meter, beban besi 35 kg, timbangan kasar dan analitik, kapas bebas
lemak, kertas saring whatman 41, stop wacth, dissecting set, termometer bimetal,
oven, cawan perselin, cawan petri, vortex, desikator, seperangkat alat sohklet,
sentrifuge, tabung reaksi, tabung majonnier, pipet mohr, 5 mL dan 10 mL, labu
lemak, gelas ukur, gelas piala, vacuum rotary evoporator, lemari asam, high
performance liquid chromatography (HPLC), gas chromatography (CG), atomic
absorbance spektrophotometer (AAS) , dan spektrofotometer.
Metode Penelitian
Pada penelitian pendahuluan, karkas dari ketiga jenis kelelawar dibekukan
dan dimasukkan ke dalam coolbox lalu dibawa ke Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB untuk dianalisis
dalam bentuk bahan segar, sedangkan pada penelitian kedua, semua bahan daging
dikeringkan di Laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, untuk mendapatkan bahan
kering, selanjutnya dianalisis di laboratorium sesuai tujuan yang akan dicapai.
Peubah yang diamati adalah uji komposisi kimia daging yang meliputi kadar air,
kadar protein kasar, lemak kasar, kadar abu, kadar mineral Ca dan P, uji total
kolesterol daging, analisis komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak
jenuh, analisis komposisi asam amino esensial dan nonesensial, uji karakteristik
fisik dan kimia daging segar yang meliputi derajat keasaman daging (pH),
kemampuan mengikat air oleh protein daging, dan susut masak. Analisisnya
62
mengikuti prosedur Association of Official Analytical Chemists (AOAC 1995)
sebagai berikut.
Kadar Air
Prinsipnya adalah menguapkan air yang terdapat dalam sampel. Cawan
aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Sampel sebanyak 5 g
dimasukkan ke dalam cawan setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C
selama 8 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga
diperoleh bobot tetap. Persen air bahan dihitung dengan rumus :
Air (%) –
Kadar Lemak Kasar
Prinsipnya melarutkan lemak yang terdapat dalam bahan dengan pelarut
lemak. Sebanyak 5 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan
digulung membentuk timbel, lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet, kemudian n-
heksana dituangkan ke dalam alat labu sesuai ukuran yang dibutuhkan.
Kondensator dan labu lemak dipasang, air dan listrik dihidupkan. Ekstraksi
dilakukan selama 6 jam sampai larutan pelarut yang turun ke dalam labu jernih.
Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Lemak hasil ekstraksi dipanaskan
dalam oven suhu 105°C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Persen lemak kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut :
( ) ( )
( )
Analisis Asam Lemak Menggunakan Gas Kromatografi
Analisis dengan kromatografi gas didasarkan pada partisi komponen-
komponen dari suatu cairan di antara fase gerak berupa gas dan fase diam berupa
zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap. Dalam analisis asam lemak,
mula-mula lemak dihidrolis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi
menjadi bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Transformasi
dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak
(FAME). Selanjutnya FAME dianalisis dengan kromatografi gas. Identifikasi tiap
komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar
63
pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder
sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampel ke tengah
komponen yang dipertimbangkan. Penentuan kandungan komponen dalam contoh
dilakukan dengan teknik standar internal. Luas puncak dari masing-masing adalah
berbanding lurus dengan jumlah komponen dalam contoh. Prosedur analisisnya
adalah sebanyak 20 g lemak ditimbang dalam tabung tertutup teflon ditambahkan
1 mL NaOH 0.5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20
menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL BF3 20%, dan dipanaskan lagi selama 20
menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan
1 mL isooktana dan dikocok dengan baik. Lapisan isooktana dipindahkan dengan
bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi sekitar 0.1 g Na2SO4 anhidrat, dan
dibiarkan selama 15 menit. Fase cairnya dipisahkan kemudian diinjeksikan ke
kromatografi gas. Sebelum diinjeksikan, perangkat alat kromatografi diatur
dengan menggunakan kolom Cyanopropil methyl sil (capilary column) sebagai
fase diam, laju alir N2 sebagai fase gerak, suhu injektor 220ºC, dan suhu detektor
240ºC. Kemudian sebanyak 1 μL campuran standar FAME dinjeksikan ke alat
kromatografi yang sudah diatur. Ditunggu sampai semua puncak sudah keluar,
apabila semua puncak sudah keluar, maka contoh yang sudah dipreparasi
diinjeksikan. Waktu retensi dan puncak masing-masing diukur dan dibandingkan
dengan standar. Jumlah komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut :
( ) 100%
Dimanan : Ax = Area sampel, As = Area standar, C standar = Cone standar,
V contoh = volume tera sampel.
Analisis Kolesterol Daging
Kolosterol daging ditentukan dengan menggunakan metode Leibermann
Buchhard. Hasil pengukurannya adalah kadar kolesterol dalam mg/g. Sampel
daging ditimbang sebanyak 0.1 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
diekstraksi dengal etanol dan n-heksana dengan perbandingan 3:1 sebanyak 8
mL. Kemudian diaduk sampai daging hancur dan homogen. Tabung dipanaskan
dalam penangas air sampai mulai mendidih. Setelah dingin, filtratnya dimasukkan
ke tabung sentrifuge dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
64
Supernatan yang terbentuk dimasukkan ke tabung reaksi dan diuapkan dengan
dipanaskan dalam air mendidih sampai kering dan terbentuk residu. Residu kering
dilarutkan dan dihomogenkan. Kemudian ditambah pereaksi Liebermann
Burchard sehingga larutan berwarna hijau kebiruan, kemudian biarkan selama 15
menit di tempat yang gelap. Dengan cara yang sama dibuat larutan blangko
sebanyak 0.4 mg. Hasil analisis ditera dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 420 nm. Perhitungan kadar kolesterol daging dilakukan dengan
membandingkan absorbansnya dengan absorbans kolesterol standar. Jumlah
kolesterol dihitung sebagai berikut :
Kadar Protein Kasar
Prinsipnya penetapan nilai protein kasar dilakukan secara tidak langsung,
analisis ini didasarkan pada penentuan kandungan nitrogen yang terdapat dalam
bahan. Kandungan nilai protein dikalikan 6.25 sebagai angka konversi nilai
nitrogen menjadi nilai protein. Nilai 6.25 sebagai asumsi bahwa protein
mengandung 16% nitrogen. Penentuan nitrogen melalui tiga tahapan analisis
kimia. (1) Destruksi, yaitu tahap penghancuran bahan menjadi komponen
sederhana sehingga nitrogen dalam bahan terpisah dari ikatan organiknya,
nitrogen tersebut kemudian diikat oleh H2SO4 menjadi (NH4)2SO4. (2) Destilasi,
yaitu tahap pemisahan. Untuk melepaskan nitrogen dalam larutan hasil destruksi
adalah dengan mengubah nitrogen dalam bentuk (NH4)2SO4 menjadi gas NH3
dengan pemberian NaOH jenuh yang terbentuk selanjutnya dikondensasi dengan
kondensor, selanjutnya NH3 diikat oleh H3BO3 membentuk (NH4)3BO3. (3)
Titrasi, yaitu tahap penetapan nilai nitrogen. Nitrogen dalam (NH4)3BO3 dititrasi
dengan HCl. Sebanyak 0.25 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 100 mL lalu ditambahkan selenium 0.25 dan 3 mL H2SO4 pekat, dan
didestruksi selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah itu, didinginkan kemudian
ditambahkan 50 mL aquadest dan 20 mL NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam labu erlenmeyar yang berisi campuran 10 mL H3BO3
2% dan 2 tetes indikator Brom cresol Green-methyl red berwarna merah muda.
Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 mL dan berwarna hijau
65
kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai
berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap blangko.
Selanjutnya untuk penetapan total nitrogen dihitung dengan rumus :
( )
Dimana: S = volume titran sampel (mL), B = volume titran blangko (mL), w =
bobot sampel kering (mg), 14 = bobot atom nitrogen. Kadar protein
diperoleh dengan mengalikan kadar nitrogen dengan faktor perkalian
untuk berbagai bahan pangan berkisar 5.18 – 6.38. Untuk protein
daging digunakan 6.25 (konversi nitrogen ke protein kasar).
Analisis Asam Amino Menggunakan HPLC
Penentuan kadar asam amino dimulai dari tahap hidrolisis protein,
pengeringan dan penetapan asam amino menggunakan HPLC. Sebanyak 50 mg
sampel yang kering dan halus dimasukkan ke dalam tabung pyrex 10 mL yang
tertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 mL HCl 6 N dan dialiri gas nitrogen murni,
kemudian tabung ditutup dan diletakkan dalam oven dengan suhu 105ºC-110
ºC
selama 24 jam. Hasil hidrolisis dikeluarkan dalam oven, dibiarkan sampai suhu
ruang, kemudian disaring dengan kertas saring whatman No. 41. Selanjutnya,
dipipet 1 mL larutan ke dalam tabung 10 mL, dibekukan dengan es kering dan
dikeringkan pada pengering vakum. Hasil hidrolisis yang sudah kering dilarutkan
kembali dengan HCl 0.1N hingga volume 3 mL, diaduk dengan vortex sampai
homogen, dan disaring dengan alat penyaring ukuran membran 0.22 µm.
Sebanyak 100 mL (atau mikroliter) hasil saringan diinjeksikan pada alat yang
akan digunakan. Larutan hasil saringan dapat dianalisis dengan menggunakan
HPLC atau amino acid analyzer. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan
rumus
Dimana: l.a spl = luas area sampel masing-masing asam amino
l.a sd = luas area standar masing-masing asam amino
kons.sd = konsentrasi larutan standar
vol.spl = volume sampel
BM AA = bobot molekul masing-masing asam amino
66
Kadar Abu
Kadar abu adalah total mineral dalam bahan. Prinsipnya adalah membakar
bahan dalam tanur sehingga semua unsur utama pembentuk senyawa organik (C,
H,O, N) habis terbakar dan berubah menjadi gas dan sisanya adalah abu berwarna
putih atau abu-abu yang merupakan kumpulan dari mineral-mineral. Sebanyak 1-5
g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah
diketahui bobot tetapnya. Sampel diarang di atas bunsen dengan nyala api kecil
hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600°C selama 2 jam
sampai menjadi abu berwarna putih sampai abu-abu. Cawan yang berisi abu
didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan sampai memperoleh
bobot tetap. Persen abu dihitung dengan rumus:
( ) ( )
( )
Kadar Kalsium (Ca)
Prinsipnya larutan kalsium klorida dalam ekstrak HCL akan mengendap
dalam bentuk kalsium oksalat dalam larutan amonium oksalat dan buffet asam
asetat. Sampel abu diencerkan dengan HCl pekat sebanyak 5 mL, kemudian
dipanaskan sampai mengering. Abu yang telah kering ditambahkan 2 mL HCl
pekat dan air panas, kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dicuci dengan air
panas dan dimasukkan ke dalam labu ukur, kemudian ditambahkan air suling.
Hasil filtratnya disebut ekstrak HCl. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke
dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan pereaksi chapman sampai 100 mL
kemudian dipanaskan. Lalu ditambahkan larutan NH4OH pekat beberapa tetes
sampai larutan berubah menjadi warna hijau. Larutan didiamkan selama satu
malam. Endapan disaring, kemudian dicuci dengan air panas. Kemudian, endapan
yang ada pada kertas saring dimasukkan ke dalam gelas piala, lalu ditambahkan
sebanyak 25 mL H2SO4 4 N dan H2O sampai volume 150 mL. Larutan ini
dipanaskan di atas penangas air hingga suhu larutan 80-90ºC. Larutan dititer
dengan KMnO4 0.02 N sampai larutan berwarna merah jambu. Kemudian dibuat
blangko dengan cara mengencerkan 8.5 mL HCl pekat hingga 100 mL. Lalu
diambil 20 mL HCl encer sebagai blangko. Persen kalsium dihitung dengan rumus
67
( ) ( )
( )
Dimana : C = faktor pengenceran, 28 = bobot setara CaO
N KMnO4 = Normalitas KMnO4.
Kadar Fosfor (P)
Prinsipnya, ion fosfor dalam keadaan basa akan membentuk endapan
kuning. Endapan ini akan larut dalam NaOH. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl
dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan ammonium nitrat 5 g dan
asam nitrat 5 mL. Kemudian dipanaskan pada suhu 42ºC, dan ditambahkan
larutan ammonium hepta, hingga larutan berwarna kuning. Larutan didiamkan
selama satu malam. Larutan disaring, kemudian dicuci dengan air. Endapan yang
ada dimasukkan pada kertas saring dalam gelas piala, lalu ditambahkan 25 mL
H2SO4 0.2 N, air suling sampai volume 100 mL, dan 2 tetes indikator pp hingga
larutan berwarna merah jambu. Selanjutnya larutan dititer dengan HCL 0.1 N
hingga larutan tidak berwarna. Persen fosfor dihitung dengan rumus :
( ) ( )
( )
Dimana : 0.1347 =
Derajat Keasaman Daging (pH)
Sampel daging yang telah dihaluskan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam
beaker glass, dan diencerkan dengan akuades sampai 100 mL, kemudian
dicampur dengan menggunakan blender selama 1 menit. Setelah itu diukur
dengan pH meter yang telah dikalibrasi.
Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity)
Daya mengikat air diuji dengan menggunakan analisis daya mengikat air,
yaitu modifikasi metode Hamm menggunakan beban yang terbuat dari besi
seberat 35 kg. Sebanyak 0.3 g sampel daging diletakkan pada kertas saring dan
dibebankan di antara dua plat selama 5 menit, daerah yang tertutup sampel
daging yang telah pipih dan luas daerah basa di sekitarnya ditandai dan diukur.
Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel
daging dari luasan total (luas daerah basah dan luas daerah yang tertutup sampel
68
daging). Kandungan air daging dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
( )
Dimana : MgH2O = persen air bebas,
Daya mengikat air (%) = kadar air total (%) – kadar air bebas (%)
Susut Masak (Cooking Loss)
Susut masak adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah
dimasak yang dinyatakan dalam (%). Sampel daging sebanyak 100 g yang telah
ditancapkan termometer bimetal, dimasukkan ke dalam air mendidih. Setelah
termometer bimetal mencapai angka 81ºC, sampel daging diangkat dan
didinginkan selama 60 menit dan ditimbang setiap 30 menit sampai bobotnya
konstan.
69
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Fisik Daging Kelelawar, Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Setelah hewan dipotong, fungsi hidup otot tidak langsung berhenti dan
otot langsung menjadi daging, tetapi masih terjadi perubahan-perubahan fisik dan
struktur yang dikenal sebagai proses perubahan otot menjadi daging. Beberapa
karakteristik daging yang terjadi selama perubahan otot menjadi daging adalah
perubahan pH daging, perubahan daya mengikat air oleh protein daging,
perubahan warna daging, dan susut masak. Karakteristik daging merupakan
sebagian parameter penentu kualitas daging yang dihasilkan. Pada penelitian ini,
parameter sifat fisik daging yang diamati adalah pH daging, daya mengikat air,
susut masak, dan kadar air. Rataan sifat fisik daging kelelawar, daging babi,
daging ayam, dan ikan cakalang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan sifat fisik daging kelelawar babi, ayam, dan ikan cakalang
Jenis daging dan
Ikan
Sifat Fisik
pH DIA (%) Susut masak (%) Kadar air (%)
Kelelawar 1 6.44±0.08 48.92±2.95 12.83±1.12 67.10±3.87
Kelelawar 2 5.33±0.02 32.63±1.00 36.46±1.39 72.55±0.84
Babi 5.97±0.06 44.78±0.68 19.45±1.46 75.20±1.24
Ayam 6.05±0.07 45.78±3.59 16.30±1.12 73.72±2.36
Ikan cakalang 5.57±0.04 43.23±1.13 27.32±0.72 74.32±0.89
1 Daging kelelawar yang disembelih sendiri;
2 Daging kelelawar yang diambil di
pasar tradisional
Derajat Keasaman Daging (pH)
Derajat keasaman daging dinyatakan dalam pH. Perubahan pH daging erat
kaitannya dengan persediaan glikogen otot pada saat pemotongan. Tabel 7
menunjukkan bahwa rataan nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri,
daging babi, ayam, serta ikan cakalang masih dalam keadaan pH normal,
sedangkan daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik
daging. Daging kelelawar yang disembelih sendiri mempunyai nilai pH lebih
tinggi (1.05) dari daging kelelawar yang dibekukan. Perbedaan pH ini disebabkan
oleh penanganan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan
pedagang bahwa daging kelelawar yang dibekukan berasal dari daerah Sulawesi
Tengah sehingga harus mengalami proses transportasi selama 2-3 hari. Selain
70
lama transportasi, untuk menjaga agar daging tetap dalam kondisi baik sampai di
lokasi penjualan, pengumpul kelelawar harus mengumpulkan kelelawar hasil
buruan dalam kotak-kotak polietilen yang berisi es dan dibekukan, kemudian
dikirim seminggu sekali. Akibatnya, lama waktu penjualan lebih dari satu minggu
sehingga pada waktu dianalisis nilai pH daging kelelawar yang dibekukan sudah
mencapai titik isoelektrik daging. Foegeding et al. (1996) menyatakan bahwa
jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH 7.2-7.4, dan akan
menurun setelah pemotongan. Secara normal, dalam waktu 6-8 jam pH daging
akan turun secara bertahap dari 7.0 sampai 5.7 dan mencapai titik isoelektrik
sekitar 5.4-5.6 pada 24 jam setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Titik
isoelektrik adalah nilai pH pada saat protein memiliki jumlah muatan negatif yang
sama dengan jumlah muatan positif. Pada kondisi ini, terjadi pemendekan
sarkomer sehingga air cenderung akan didorong dan sifat-sifat fungsional protein,
seperti kelarutan protein dan kemampuan membentuk gel dan emulsi juga hilang.
Jika daging pada kondisi ini dimasak akan memiliki tekstur yang keras dan kering
dengan citarasa yang hambar.
Rataan nilai pH daging babi adalah 5.97±0.06. Nilai pH ini lebih rendah
dari nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari
nilai pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih tinggi dari
nilai pH daging babi 24 jam setelah pemotongan, yaitu 5.49-5.54 seperti yang
dilaporkan oleh Siagian et al. (2004), Morel et al. (2006), Rehfeldt et al. (2007).
Florowski et al. (2006) melaporkan pH daging dari beberapa jenis babi yang
diisimpan selama 48 jam adalah 5.54-5.52.
Rataan nilai pH daging ayam adalah 6.05±0.06. Nilai pH ini lebih rendah
dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari pH
daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH
daging ayam 2 jam setelah dipotong yang dilaporkan Carcia et al.(2010), yaitu
6.50, namun lebih tinggi dari nilai pH daging ayam broiler 6 jam setelah
pemotongan, yaitu 5.94 yang dilaporkan Dunn et al. (1993), dan Kumar et al.
(2011), yaitu 5.87 untuk daging ayam yang dipotong di pasar tradisional.
Karaoglu et al. (2004) melaporkan bahwa nilai pH daging ayam broiler 1-3 jam
71
setelah pemotongan ialah 6.40-6.12 dan menurun menjadi 5.95, saat 7 jam setelah
pemotongan.
Tingginya nilai pH daging kelelawar yang dipotong sendiri, babi dan ayam
karena lama waktu pemotongan sampai dianalisis tidak lebih dari 3 jam. Pada
kondisi ini, secara fisik penampakan daging masih baik dan proses rigor mortis
belum selesai. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa rigor mortis pada babi dan
ayam berlangsung selama 30 menit sampai 4.5 jam. Menurut Lawrie (1995)
bahwa setelah hewan mati terjadi penurunan pH daging akibat perombakan
glikogen melalui proses glikolisis secara anaerobik yang menyebabkan
terbentuknya asam laktat. Pada metabolisme anaerob, ion hidrogen yang
dibebaskan pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen sehingga terjadi
akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini kemudian dipergunakan
untuk mengubah asam piruvat menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat
dalam daging menyebabkan peningkatan keasaman otot. Laju penurunan pH akan
menentukan sifat fisik daging. Perubahan pH menyebabkan sebagian protein
terdenaturasi dan perubahan muatan protein.
Rataan nilai pH daging ikan cakalang adalah 5.57±0.04. Nilai pH ini
hampir setara dengan nilai pH daging kelelawar yang dibekukan, namun lebih
rendah dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri. Nilai pH ini juga lebih
rendah dari nilai pH normal daging ikan segar yang dinyatakan oleh Robb et al
(2000) bahwa pH daging ikan biasanya berkisar 7-7.5 dan dapat turun sampai 6.5,
namun masuk ke dalam pH normal yang dilaporkan Haard (2000) bahwa ikan
tuna dapat mencapai di bawah pH 5.5, sementara ikan lainnya memiliki pH 6.2-
6.6. Rendahnya nilai pH ikan cakalang yang diambil di pasar diduga karena ikan
cakalang telah diberikan es dan disimpan dalam waktu cukup yang lama.
Wijayanti et al. (2006) melaporkan bahwa pH ikan cakalang yang disimpan
selama 7 hari pada suhu 11ºC adalah 5.8 dan mulai naik 6.15-6.40 setelah hari ke-
8 sampai ke-10.
Daya Mengikat Air oleh Protein Daging
Daya mengikat air oleh protein daging didefinisikan sebagai kemampuan
daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, seperti pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan
72
(Soeparno 2005). Daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri,
daging babi, daging ayam, dan ikan lebih tinggi dari daya mengikat air daging
kelelawar yang dibekukan. Walaupun daging ayam dan daging babi berasal dari
pasar, daya mengikat airnya hampir setara dengan daya mengikat air daging
kelelawar yang dipotong sendiri. Hal ini karena pada waktu pengambilan sampel
untuk dianalisis, daging ayam dan daging babi baru disembelih sehingga proses
rigor mortis belum berakhir yang dibuktikan dengan masih normalnya nilai pH
daging. Perbedaan daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri
dengan daging kelelawar yang dibekukan adalah 14.13%. Perbedaan daya ikat air
ini terjadi karena perbedaan lama waktu pemotongan, yaitu kelelawar yang
diambil di pasar sudah lama dipotong kemudian dibekukan untuk dipasarkan.
Daya mengikat air daging ayam pada penelitian ini adalah 45.78%, lebih
tinggi dari daging kelelawar yang dibekukan dan lebih rendah dari daging
kelelawar yang disembelih sendiri. Daya mengikat air daging ayam ini juga lebih
rendah dari daya mengikat air daging ayam bagian dada yang diukur dua jam
setelah pemotongan, yaitu 64.79% yang dilaporkan oleh Carcia et al. (2010) dan
Adebiyi et al. (2011) yaitu 59.43%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena
pH, lama waktu pengukuran sampel, dan jenis daging, yaitu pada penelitian ini
menggunakan daging bagian paha dan waktu pengukuran tiga jam setelah
pemotongan. Kumar et al. (2011) melaporkan bahwa pada pH 5.75, daya
mengikat air oleh protein daging ayam segar yang dipotong di rumah potong
adalah 40.50%. Daya mengikat air daging babi adalah 44.78%. Daya ikat air ini
lebih tinggi dari daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan, dan lebih
rendah dari daya ikat air daging babi yang dilaporkan oleh Budaarsa (1997), yaitu
66.60 pada pH 5.72.
Menurunnya daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan
disebabkan oleh hilangnya kemampuan protein daging untuk mengikat air oleh
karena terjadinya perubahan ion-ion dalam protein daging setelah pemotongan.
Lawrie (1985) mengatakan bahwa kemampuan protein untuk mengikat air
disebabkan oleh karena banyaknya gugus reaktif protein. Dalam keadaan pH
rendah karena banyak terbentuk asam laktat, gugus reaktif akan berkurang sampai
mencapai titik terendah pada pH isoelektrik.
73
Susut Masak Daging
Susut masak adalah kehilangan bobot selama daging mengalami
pemasakan. Susut masak daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging ayam,
daging babi, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 12.83%, 19.45%,
16.30%, dan 27.32%. Susut masak ini lebih kecil dari daging kelelawar yang
dibekukan, yaitu 36.46%, walaupun demikian susut masak daging kelelawar yang
dibekukan masih dalam batas standar umum, yaitu 1.5-54.5% (Soeparno 2005),
dan masih lebih rendah dari susut masak daging kancil, yaitu 45.17% yang
dilaporkan Rosyidi et al. (2010).
Susut masak daging ayam lebih rendah dari susut masak daging ayam
broiler bagian dada yang dilaporkan oleh Salakova et al. (2009), yaitu 26,45-
31.40% demikian juga dengan susut masak daging babi yang dilaporkan oleh
Lee et al. (2000), yaitu 66%. Susut masak daging babi lebih rendah dari susut
masak daging babi yang dilaporkan Morel et al. (2006), yaitu 27.70%.
Besarnya susut masak yang dihasilkan berbeda-beda. Hal ini selain
disebabkan oleh pH dan daya mengikat air, juga oleh perbedaan jenis daging.
Shanks et al. (2002), Soeparno (2005) menyatakan bahwa besarnya susut masak
dipengaruhi oleh banyaknya air yang keluar dari daging, lama simpan daging,
kemampuan mengikat air oleh proten daging, dan pH akhir daging.
Kadar Air Daging
Kadar air merupakan komponen dalam daging yang berkaitan dengan
kapasitas menahan air oleh protein daging dan susut masak. Semakin kecil
kapasitas menahan air oleh protein daging akan semakin besar kadar air yang
keluar dalam daging yang akan menyebabkan susut masak semakin besar. Ada
tiga jenis air yang terikat dalam daging, yaitu pertama adalah air terikat sangat
kuat secara kimia oleh gugus reaktif protein, kedua adalah air terikat lemah
terhadap gugus hidrofilik (air dalam keadaan tidak bergerak), dan ketiga adalah
air bebas yang berada di antara molekul protein. Air pertama dan kedua bebas dari
perubahan molekul, sedangkan air ketiga akan menurun jika protein daging
mengalami denaturasi (Aberle et al. 2001).
Kadar air daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam,
ikan dan kelelawar yang dibekukan masing-masing adalah 76.10%, 75.20%,
74
73.72%, 74.32%, dan 72.55%. Kadar air kelelawar yang dibekukan lebih tinggi
dari kadar air kelelawar yang disembelih sendiri. Hal ini menyebabkan susut
masak juga lebih tinggi dan kapasitas menahan air menjadi rendah. Kadar air ikan
cakalang masih dalam batas kadar air yang dilaporkan Sumsundari (2007) bahwa
kadar air ikan tongkol adalah 79.52%, sedangkan daging babi adalah 76.40%-
86.20% (Susilo 2006).
Komposisi Kimia Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Komposisi kimia akan menentukan nilai gizi dan kualitas daging.
Gambaran komposisi kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi,
daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan komposisi kimia daging kelelawar, daging babi, daging ayam,
dan ikan cakalang
Jenis Daging Komposisi Kimia (%)
Air Protein Lemak Abu Ca P
P. alecto* 67.21 20.48 - - - -
N. cephalotes* 62.45 21.73 - - - -
R. amplexicaudatus* 63.84 21.08 - - - -
Pteropus alecto** 5.76 48.97 29.85 10.17 10.62 1.46
R. amplexicaudatus** 7.54 51.49 22.63 8.49 2.09 1.44
Babi** 9.92 69.08 8.91 4.78 1.09 0.69
Ayam** 8.27 67.14 11.65 3.86 1.36 0.66
Ikan cakalang** 9.90 69.41 3.47 4.54 1.83 0.72
*Dalam basis segar dianalisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB; **
Dalam basis kering dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
dan Bioteknologi LPPM.IPB, ; - Tidak diukur.
Kadar protein daging segar dari P. alecto, N. cephalotes, dan R.
amplexicaudatus adalah 20.4-21.73%, sedangkan kadar airnya adalah 62.45%-
67.21%. Rataan kadar protein ini relatif sama dengan kadar protein daging
kancil, dan daging sapi, namun kadar airnya relatif lebih rendah. Rosjidi et al.
(2010) melaporkan bahwa kadar air daging kancil adalah 76.33%, protein 21.42%,
lemak 0.51%, dan abu 1.20%. Prasetyo et al. (2009) melaporkan bahwa kadar
protein daging sapi segar adalah 21.08%, kadar air 75.90%, lemak 0.87%, dan
abu 1.37%. Adegoke & Falede (2005) menyatakan bahwa komposisi kimia otot
75
mamalia terdiri atas air (65-80%), protein (16-22%), dan Lemak (1.5-13%).
Berdasarkan basis kering, kadar air P. alecto dan N. cephalotes lebih rendah,
sedangkan kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan
ikan. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara kadar lemak
dengan kadar air. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan penurunan kadar
lemak dalam otot. Rendahnya kadar air daging dari ketiga jenis kelelawar
dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan dalam penelitian ini selain
karena jenis ternak juga aktivitas yang dilakukan. Diduga bahwa lemak yang
tinggi akan digunakan sebagai cadangan energi untuk aktivitas terbang. Aberle et
al. (2001) melaporkan bahwa secara umum, kandungan lemak dalam otot
ditentukan oleh pakan, jenis ternak, umur, dan aktivitas yang dilakukan.
Kadar protein daging kelelawar tampak paling rendah bila dibandingkan
dengan kadar protein daging babi, ayam, dan ikan. Rendahnya kadar protein ini
karena komposisi lemak yang tinggi dan kadar air yang rendah. Diduga bahwa
selain lemak digunakan sebagai cadangan energi untuk terbang, kedua kelelawar
ini sudah dewasa sehingga pertumbuhan kadar protein jaringan tubuh sudah
mencapai konstan.
Kadar abu, Ca, dan P kedua jenis kelelawar hasil penelitian ini juga lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar abu, Ca, dan P daging babi, daging ayam, dan
ikan. Tingginya kadar abu, Ca, dan P diduga karena pakan yang dikonsumsi di
alam adalah pakan yang mengandung sumber mineral yang tinggi. Berdasarkan
hasil pengamatan bahwa kedua jenis kelelawar ini makan buah berupa pisang,
mangga, pepaya, semangka, jambu biji, dan jambu air. Jenis buah-buahan ini
kaya akan vitamin dan mineral, terutama Ca, P, K, dan Fe (Israhadi 2008).
Profil Asam Lemak Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan
Cakalang
Profil asam lemak daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Asam lemak dibedakan menjadi
asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh tunggal
(Monounsaturated fatty acid, MUFA), dan asam lemak tak jenuh ganda
(Polyunsaturated fatty acid, PUFA). Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan
tunggal di antara atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh
76
memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon
penyusunnya.
Tabel 4 Profil asam lemak kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang
Asam lemak jenuh (SFA) yang terdeteksi ada delapan, yaitu asam kaprat
(Capric acid), asam laurat (Lauric acid), asam miristat (Myristic acid), asam
palmitat (Palmitic acid), asam stearat (Stearic acid), asam arakhidat (Arachidic
acid), asam behenat (Behenic acid), dan asam lignoserat (Licnoceric acid). Asam
lemak tidak jenuh (MUFA) adalah asam miristoleinat (Myristoleic acid), asam
palmitoleinat (Palmitoleic acid), asam oleat (Oleic acid), asam eikosenat (Cis-11-
Eicosenoic acid), asam erukat (Erucic acid), dan asam nervonat (Nervonic acid),
sedangkan asam lemak tak jenuh (PUFA) adalah: asam linoleat (Linoleic acid),
asam linolenat (Linolenic acid), asam eikosedienoat (cis11-14-Eicosedienoic
acid), asam eikosetrienoat (Cis-8,11,14-Eikosetrienoic acid, Cis-11,14,17-
Eikosetrienoic acid), asam arakidonat (Arachidonic acid), asam eikosapentaenoat
Asam Lemak (%)
A. celebensis P.alecto R.amplexicaudatus Babi Ayam Ikan Cakalang
Asam lemak jenuh (SFA)
Kaprat, C10:0 0.29 0.02 0 0 0 0
Laurat, C12:0 0.39 1.80 1.26 0.33 0.05 0.04
Miristat, C14:0 11.19 15.64 9.23 1.32 0.50 1.74
Palmitat, C16;0 27.22 24.82 19.67 16.43 17.39 14.43
Stearat, C18:0 3.48 6.58 7.43 8.81 3.99 7.85
Arakidat, C20:0 0.05 0.14 0.21 0.15 0.06 0.47
Behenat, C22:0 0.02 0.02 0.04 0.05 0.03 0.29
Lignoserat, C24:0 0.03 0.04 0.05 0.05 0.04 0.29
Asam lemak tak jenuh (MUFA)
Miristoleinat, C14:1 1.00 0.23 0.14 0 0.14 0.02
Palmitoleinat, C16:1 3.18 1.06 0.59 1.34 4.63 2.36
Oleat, C18:1n9c 28.74 26.10 27.16 28.87 29.60 10.25
Eikosenat, C20:1 0.09 0.16 0.32 0.74 0.31 1.05
Erukat, C22:1n9 0.01 0 0.08 0.03 0.02 0.14
Nervonat, C24:1 0.03 0.04 0.08 0.02 0.02 0.46
Asam lemak tak jenuh (PUFA)
Linoleat, C18:2n6c 0.98 0.67 1.83 8.66 9.18 0.89
Linolanat, C18:3n3c 0.28 0.27 0.40 0.31 0.44 0.28
Eikosedienoat, C20:2 0.10 0.08 0.12 0.49 0.22 0.27
Eikosetrienoat, C20:3n6 0.05 0.10 0.25 0.11 0.19 0.10
Eikosetrienoat, C20:3n3 0.03 0.03 0.05 0.03 0 0.10
Arakidonat, C20:4n6 0.48 0.52 1.57 0.67 0.64 2.33
Eikosanpentaenoat (EPA), C20:5n3 0.19 0.13 0.44 0.61 0.29 1.88
Dekosaheksaenoat (DHA), C22:6n3 0.38 0.30 1.15 0.05 0.05 17.28
Jenis Daging dan Ikan
77
(Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoicacid), dekosaheksaenoat (Cis-4,7,10,13,16,19-
decosahexaenoic acid).
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi asam lemak jenuh
tertinggi adalah asam palmitat, asam miristat, asam stearat, dan asam laurat. R.
amplexicaudatus, P. alecto dan A. celebensis memiliki konsentrasi asam lemak
palmitat dan asam miristat lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam,
dan ikan. Asam stearat tertinggi terdapat pada daging babi diikuti ikan cakalang,
R. amplexicaudatus, P. alecto, ayam, dan A. celebensis. Asam laurat tertinggi
terdapat pada P. alecto, R. amplexicaudatus, A. celebensis yang diikuti daging
babi, ayam, dan ikan cakalang. Yu et al. (1995) melaporkan bahwa asupan asam
laurat, asam palmitat, asam miristat secara signifikan meningkatkan total
kolesterol, LDL-kolesterol, dan HDL-kolesterol plasma manusia, sedangkan asam
stearat tidak meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol dalam plasma.
Imaizumi et al. (1993) juga menyatakan bahwa lemak murni yang mengandung
asam stearat menghasilkan kolesterol lebih rendah dalam plasma. Tingginya
konsentrasi asam palmitat dan miristat pada ketiga jenis kelelawar diduga karena
kelelawar mengkonsumsi bahan pakan yang kaya akan kedua asam lemak ini.
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi tempat kelelawar ditangkap diketahui
bahwa yang menjadi sumber pakan adalah jambu air, jambu biji, pisang, pepaya,
tetapi tidak menutup kemungkinan kelelawar mengkonsumsi buah cokelat dan
buah kelapa muda, karena habitat kelelawar dikelilingi dengan tanaman kelapa
sawit dan kakao. Lemak kakao sangat kaya dengan asam lemak palmitat, stearat,
dan oleat. Lipp & Enklam (1998) melaporkan bahwa komposisi asam lemak buah
kakao adalah asam palmitat 24.9%, asam stearat 37.3%, dan oleat 33.5%,
sedangkan Indarti (2007) melaporkan bahwa lemak biji kakao mengandung asam
palmitat sebesar 26.24%, asam stearat 43.23%, dan asam oleat 26.53%.
Konsentrasi asam lemak jenuh tak tunggal (MUFA) tertinggi adalah asam
lemak oleat (omega 9), yaitu 10.25-29.60%. Asam palmitoleinat (omega 7) hanya
berkisar 0.59-3.18%, dan asam miristoleinat hanya berkisar 0.02-1.00%.
Konsentrasi asam oleat terbesar ada pada daging ayam, diikuti daging babi, A.
celebensis, R. amplexicaudatus, P. alecto, dan ikan cakalang. Asam lemak oleat
dan asam lemak palmitoleinat bukan merupakan asam lemak esensial dalam
78
makanan karena jaringan tubuh dapat menyisipkan ikatan rangkap pada posisi Δ9
ke dalam asam lemak jenuh bersesuian (Muray et al. 2002). Asam lemak oleat
berperan dalam memperbaiki profil lipida dalam tubuh sehingga memberi
pengaruh positif pada level kolesterol, dan mencegah risiko penyempitan pembulu
darah (Grundy 1989).
Konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) tertinggi adalah linoleat
(omega 6) yang terdapat pada daging ayam, yaitu 9.18% dan daging babi 8.66%,
sedangkan daging kelelawar hanya berkisar 0.67-1.83%, dan ikan cakalang hanya
sebesar 0.89%. Konsentrasi asam lemak linolenat (omega 3) secara keseluruhan
dalam daging kelelawar berkisar 0.27%-0.40%, daging babi 0.31%, ayam 0.44%,
dan ikan 0.28%. Konsentrasi asam arakidonat untuk semua daging kelelawar,
daging ayam, dan ikan berkisar 0.48-2.33%. Murray et al. (2002) menyatakan
bahwa kebutuhan asam lemak arakidonat akan terpenuhi jika terdapat linoleat
dalam makanan.
Asam lemak tak jenuh ganda lain yang terdeteksi dari kelelawar, daging
babi, daging ayam, dan ikan adalah asupan eikosanpentaenoat (EPA) dan
dokosahexaenoat (DHA) yang merupakan derivat asam lemak omega 3.
Konsentrasi EPA tertinggi terdapat pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga
jenis kelelawar berkisar 0.13-0.44%, daging babi 0.61%, dan ayam 0.29%.
Demikian juga konsentrasi DHA tertinggi ada pada ikan cakalang, sedangkan
pada ketiga jenis kelelawar berkisar 0.30-1.15% dan daging babi dan ayam
sebesar 0.05%. Namun, kedua jenis asam lemak tak jenuh ganda ini kadarnya
lebih tinggi dari daging kelinci yang dilaporkan Rosyidi et al. (2010). Walaupun
proporsi asam lemak PUFA dibanding SAF dalam daging kelelawar, babi, ayam,
dan ikan cakalang sangat kecil dalam daging, jumlah ini sangat berarti karena
asam-asam lemak ini merupakan asam lemak esensial bagi nutrisi yang lengkap
pada banyak spesies hewan, termasuk manusia. Murray et al. (2002) menyatakan
bahwa pada sebagian tubuh hewan, semua ikatan rangkap dapat disisipkan pada
posisisi Δ4, Δ5
, Δ6, dan Δ9
yang dihitung dari ujung terminal karboksil, tetapi
tidak pernah di atas posisi Δ9, sehingga hanya dapat mensintesis kelompok asam
lemak Δ9 (omega 9) secara lengkap melalui penggabungan proses pemanjangan
rantai dengan desaturasi, dan dalam keadaan defisiensi asam lemak esensial, asam
79
lemak dari PUFA dari kelompok Δ9 akan menggantikan asam lemak esensial
dalam fosfolipid. DHA disintesis dari linolenat yang diperlukan bagi
perkembangan otak (Murray et al. 2002).
Rasio asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh dalam makanan
merupakan faktor utama dalam penurunan konsentrasi kolesterol plasma.
Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA dalam penelitian ini untuk A. celebensis
adalah 17.21: 13.27:1, untuk P. alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk R.
amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk
daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1
Perbandingan kelompok omega 3 dengan kelompok omega 6 untuk A. celebensis,
P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan dan ikan secara
berturut-turut adalah 1:1.77, 1:1.76, 1:1.68, 1:63.33, 1:10, 5.96:1. Perbandingan
asam lemak linolenat dan linoleat untuk A. celebensis, P. alecto, R.
amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan masing-masing adalah 1:3.5
1: 2.48, 1:4.75, 1:26.24, 1:20.86, dan 1:3.17.
Profil Kolesterol Total Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan
Cakalang
Kolesterol merupakan komponen struktural esensial yang membentuk
membran sel serta lapisan eksternal lipoprotein plasma, juga merupakan prekursor
semua senyawa steroid dalam tubuh, seperti kortikosteroid, hormon seks, asam
empedu, dan vitamin D (Hard et al. 2003). Manusia membutuhkan 1.1 g
kolesterol/hari untuk memelihara dinding sel dan fungsi fisiologis lainnya. Dari
jumlah tersebut, kurang lebih 300 mg berasal dari makanan dan kurang lebih 700
mg berasal dari sintetis endogen di dalam tubuh (Murray et al. 2002, Hard et al.
2003). Total kolesterol daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.
Konsentrasi kolesterol total dalam daging paling tinggi terdapat pada R.
amplexicaudatus, diikuti A. celebensis, daging ayam, P. alecto, daging babi, dan
ikan cakalang. Konsentrasi kolesterol ini lebih tinggi dari konsentrasi kolesterol
daging kancil, yaitu 50 mg/100 g (Rosyidi et al. 2010). Walaupun demikian, total
kolesterol kelelawar lebih rendah jika dibandingkan dengan total kolesterol dari
kuning telur ayam kampung (1881.30 mg/100 g), ayam ras (1274.50 mg/100 g),
80
itik (2118.75 mg/100 g), (puyuh 2139.17 mg/100 g) yang dilaporkan Dwiloka
(2003).
Tabel 5 Perbandingan kolesterol total daging kelelawar, daging babi, daging
ayam, dan ikan (basis kering)
Jenis daging Konsentrasi (mg/100 gram
Kelelawar
A. celebensis
P. alecto
R. amplexicaudattus
Babi
Ayam
Ikan cakalang
284.20
234.75
287.54
192.88
263.15
138.21
Tingginya kolesterol ketiga jenis kelelawar dan daging ayam diduga
karena produksi kolesterol dalam hati berlebihan, juga pakan yang dikonsumsi
mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi, sedangkan serat
kasarnya rendah. Kolesterol dan lemak dalam pakan akan mempengaruhi kadar
kolesterol dan lemak dalam darah, daging, dan lemak tubuh. Adanya serat dalam
pakan akan menyebabkan kecernaan dan penyerapan kolesterol dan lemak
menurun, namun asam lemak volatil meningkat. Peningkatan asam lemak volatil
akan menghambat kerja enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA (HMG-KoA)
reduktase. Dengan demikian, biosintesis kolesterol terhambat. Budaarsa (1997)
melaporkan kandungan kolesterol pada daging babi yang mendapatkan pakan
berserat dari rumput laut lebih rendah, yaitu 195.30 mg/100 g daripada ternak
yang tidak mendapatkan pakan berserat (tanpa rumput laut), yaitu 246.46 mg/100
g. Kolesterol disintesis oleh mamalia di hati dan disebarkan ke plasma darah dan
jaringan lain. Jika kolesterol pangan dikurangi maka tubuh meningkatkan sintesis
untuk mengimbangi kekurangannya, sebaliknya jika kolesterol dalam pangan
tinggi, maka hati akan menurunkan sintesis kolesterol (Wilbraham et al. 1992).
Profil Asam Amino Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan
Cakalang
Asam amino diperlukan tubuh sebagai penyusun protein atau sebagai
kerangka molekul-molekul penting zat pembangun. Asam amino esensial adalah
asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari
81
bahan pangan. Komposisi asam amino esensial dan nonesensial kelelawar, daging
babi, daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 6.
Tabe l 6 Profil asam amino daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang
Asam Amino Jenis Daging dan Ikan
(%) A. celebensis P.alecto R.amplexicaudatus Babi Ayam I. cakalang
Esensial
Arginina 3.77 3.47 4.53 4.58 5.03 4.35
Histidina 1.25 1.09 1.84 2.63 2.27 4.95
Fenilalanina 2.32 2.02 3.08 2.93 3.14 2.98
Isoleusina 2.27 1.98 2.66 2.65 2.92 2.82
Leusina 4.25 3.15 3.64 3.51 3.83 3.73
Lisina 3.81 4.35 5.38 5.27 5.78 5.62
Metionina 1.31 1.12 1.89 2.02 2.18 2.27
Treonina 2.44 2.08 3.28 3.19 3.36 3.35
Tirosina 1.77 1.53 2.52 2.41 2.52 2.45
Valina 2.73 2.27 2.74 2.64 2.92 2.90
Nonesensial
Asam Aspartat 5.04 4.38 5.98 5.88 6.46 6.33
Asam Glutamat 8.63 7.53 9.15 9.14 10.04 9.24
Alanina 3.69 3.32 4.14 3.92 4.32 4.35
Glisina 4.22 3.99 2.99 2.72 3.00 3.28
Serina 2.47 2.16 2.98 2.78 2.99 2.77
Asam amino esensial yang harus dipenuhi dari pangan sehari-hari ialah
isoleusina, leusina, lisina, metionina, fenilalanina, treonina, triptofan, tirosina,
valina, arginina, dan histidina. Histidina dan arginina disebut sebagai "setengah
esensial" karena tubuh manusia dewasa sehat mampu memenuhi kebutuhannya.
Asam amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh
sendiri, yaitu asam aspartat, asam glutamat, alanina, glisina, dan serina.
Komposisi asam amino esensial dan nonesensial untuk daging A.
celebensis adalah 24.15% dan 20.81% (dengan perbandingan 1.16:1), daging P.
alecto 22.51% dan 22.91% (dengan perbandingan 0.98:1), daging R.
amplexicaudatus 25.84% dan 24.43% (dengan perbandingan 1.05:1), daging babi
33.90% dan 30.51% (dengan perbandingan 1.1:1), daging ayam 31.43% dan
29.43% (dengan perbandingan 1.17:1), dan ikan cakalang 32.97% dan 29.42%
(dengan perbandingan 1.12:1). Kandungan asam amino esensial dan nonesensial
dari ketiga jenis kelelawar, daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang berbeda-
82
beda. Lawrie (2003) menyatakan bahwa perbedaan urat daging, bangsa, dan umur
hewan sangat mempengaruhi komposisi asam amino.
Kandungan asam amino arginina tertinggi ditemukan pada daging ayam
(5.03%), diikuti daging babi (4.58%), R. amplexicaudatus (4.53%), ikan cakalang
(4.35%), A. celebensis (3.77%), dan P. alecto (3.47%). Asam amino leusina A.
celebensis (4.25%) lebih tinggi dari R. amplexicaudatus (3.64%), P. alecto
(3.15%), daging babi (3.51%), ayam (3.83%), dan Ikan cakalang (3.73%). Asam
amino histidina tertinggi (4.95%) ada pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga
jenis daging kelelawar (1.09-1.84%), dan daging babi (2.63%) relatif rendah.
Kandungan asam amino fenilalanina tertinggi terdapat pada daging ayam (3.14%)
diikuti R. amplexicaudatus (3.08%), A. celebensis (2.32%), P. alecto (2.02%),
daging babi (2.93%), dan ikan cakalang (2.98%). Kandungan asam amino lisina
paling tinggi pada daging ayam (5.78%) diikuti ikan cakalang (5.62%), R.
amplexicaudatus (5.38%), daging babi (5.27%), P. alecto (4.35%), dan A.
celebensis (3.81%). Kandungan asam amino isoleusina tertinggi ada pada daging
ayam (2.92%) diikuti ikan cakalang (2.82%), R. amplexicaudatus (2.66%),
daging babi (2.65%), A. celebensis (2.27%), dan P. alecto (1.98%). Kandungan
asam amino metionina tertinggi ada pada ikan cakalang (2.27%) diikuti daging
ayam (2.18%), daging babi (2.02%), R. amplexicaudatus (1.89%), A.celebensis
(1.31%), dan P. alecto (1.12%). Kandungan asam amino treonina pada daging A.
celebensis (2.44%) dan P. alecto (2.08%) relatif lebih rendah dibanding R.
amplexicaudatus (3.28%), daging babi (3.19%), daging ayam (3.36%), dan ikan
cakalang (3.35%). Kandungan asam amino valina P. alecto lebih rendah (2.27%)
dibandingkan dengan kedua jenis daging kelelawar, daging babi, ayam, dan ikan
cakalang (2.67-2.92%).
Nelson et al. (2000) menyatakan bahwa arginina berperan penting dalam
pembelahan sel, sekresi testoteron, dan meningkatkan hormon pertumbuhan yang
berpengaruh pada perototan, sedangkan histidina merupakan prekursor histamin
yang berperan dalam sistem saraf, dan merupakan asam amino semiesensial
karena dapat disintesis oleh tubuh, tetapi tidak mencukupi untuk pertumbuhan
anak. Asam amino histidina dan arginina merupakan asam amino esensial bagi
anak-anak. Fenilalanina merupakan kelompok asam amino aromatik yang
83
memiliki cincin benzena, sebagai penyampai pesan pada sistem saraf otak. Dalam
keadaan normal, tubuh akan mengubah fenilalanina menjadi tirosin, yaitu asam
amino untuk proses sintesis protein, adrenalin, noradrenalin, dan hormon tiroid.
Leusina berperan penting dalam metabolisme protein dan diperlukan untuk
pertumbuhan optimal bayi serta mendorong pemulihan otot setelah beraktivitas.
Valina dan isoleusina adalah asam amino penyusun protein yang dikodekan DNA.
Lisina adalah asam amino yang bersifat antivirus. Treonina adalah salah satu asam
amino yang akan menghasilkan senyawa fosfotreonin yang penting pada
biosintesis metabolisme sekunder. Metionina adalah asam amino yang berperan
dalam proses transkripsi yang menerjemahkan urutan basa nitrogen di DNA untuk
membentuk RNA. Glisina berperan dalam sistem saraf sebagai neorotransmiter
pada sistem saraf pusat.
Simpulan
Nilai pH daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam,
dan ikan cakalang berada pada kisaran pH normal (5.57-6.44), sedangkan daging
kelelawar yang diambil di pasar mencapai titik isoelektrik daging (5.33). Daya
mengikat air daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan
ikan cakalang lebih besar (43.23-48.92%) daripada daging kelelawar yang diambil
di pasar (32.63%). Susut masak daging kelelawar yang diambil di pasar lebih
besar (36.46%) daripada daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging
ayam, dan ikan cakalang (12.83-27.32%). Komposisi kimia, kadar asam lemak,
kadar kolesterol, dan kadar asam amino daging kelelawar tidak jauh berbeda dari
daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang, namun DHA dan EPA berbeda dari
ikan cakalang.
Saran
Perlu penelitian lanjutan untuk membedakan nilai gizi kelelawar yang
dibudidayakan dan kelelawar yang diambil di alam.
84
Daftar Pustaka
Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and
carcass quality if broiler chicks under high stocking dencity fed vitamin E
supplement diet. J Agric 6 (5):264-268.
Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90.
Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 (5):
422-425.
Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai
sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan
kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 27(2): 58-65.
Florowski T, et al. 2006. Tecnological parametres in pig of two polish local
breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 (3):
217-224
Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a
commersial processing plant. Braz J Poult Sci 12:233-237.
Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism
implication for dietary recommendations. J Nutr 119:529-533
Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid
increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density
lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters
fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702.
Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses
pengepresan biji kakao. J Rek Kim Lingk 6(2):50-54.
Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia
Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour
charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim
Sci 78:253-259.
Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical,
microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci
:1–6.
Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity
in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389.
85
Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in
chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 62(1):73-97.
Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of
meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci
71:194-204.
Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM, 2006. Evaluation of three pork
quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust.
J Anim Sci 19(2):266-272.
Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. 3rd ED.
New York : Worth publishing.
Prasetyo A, Prasetyo T, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan
mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.
Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the
influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci
78:170-175.
Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med
Pet 33(2): 95-102.
Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat
depending on their sex. Actavet 78:497-504.
Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing
on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across
several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125.
Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan
pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum.
Med Pet 27(1):1-11
Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta
kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14
(1) : 41-48
Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol
Hasl Ternak 2(2): 42:51.
Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol
predictive equations demontrate that strearic acid is neural and
monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61
:1129:1139.
86
TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF
EKSTRAK n-HEKSANA DAGING KELELAWAR
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Telaah Fitokimia dan Fraksinasi Senyawa
Aktif Ekstrak n-Heksana Daging Kelelawar. Dibimbing oleh RARAH RATIH
ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN
MANALU
Penelitian eksplorasi ini dilakukan berdasarkan adanya dugaan sebagian
masyarakat yang menyatakan bahwa makan daging kelelawar dapat
menyembuhkan penyakit asma, alergi, dan meningkatkan stamina. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari komponen senyawa aktif pada daging
kelelawar dibandingkan dengan daging beberapa ternak konvensional dan ikan,
serta bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar.
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama
adalah uji steroid sebagai skrining awal pada beberapa potongan karkas dan hati
kelelawar, yang dilaksanakan selama dua bulan. Tahap kedua terdiri atas
ekstraksi dan uji fitokimia daging kelelawar, daging babi, ayam, kelinci, dan ikan
cakalang, serta bumbu masak, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan
karakterisasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto yang dilaksanakan selama enam
bulan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode Sokhlet. Telaah
fitokimia daging meliputi identifikasi komponen aktif secara kuantitatif, yaitu uji
steroid/ triterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid
menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah
total fenolik menggunakan pereaksi AlCl2, uji flavonoid menggunakan Mg dan
HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik
kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (KLT). Karakterisasi senyawa
hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid
chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Struktur kimia senyawa aktif
ditentukan menggunakan software masslynx, tools element composition. Hasil
skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati,
kecuali daging Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Thoopterus nigrescens
menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua
menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari Nyctimene cephalotes, Pteropus
alecto, dan Rousettus amplexicaudatus mengandung senyawa steroid dan
alkaloid, sedangkan Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp,
dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan hanya mengandung senyawa
steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa
triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana
Pteropus alecto menunjukkan persen kelimpahan yang tertinggi adalah senyawa
dengan bobot molekul masing-masing 413.2692 (C26H3704), 324.2691 (C23H34N),
276.2 (C19H34N), dan 319.3 (C21H39N2). Keempat bobot molekul mempunyai
kemiripan dengan senyawa steroid sebanyak lima senyawa, dan lima senyawa
lainnya mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid.
Kata kunci : fitokimia, ekstrak n-heksana, senyawa aktif, kelelawar.
88
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Phytochemical Study and Fractionation of
the Active Compound of n-Hexane Extract on Bushmeat of Fruit Bats. Under
direction of RARAH RATH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH
SUGITA, and WASMEN MANALU
This exploratory research was conducted to study the claim of some
people that eating meat of bat can cure asthma, allergies, and increase stamina.
The objective of this study was to determine the active compounds in meat of
bats as compared to those of conventional livestocks and fish, as well as cooking
spices used in the processing of the bat. The research was carried out for 8 months
which consisted of two stages. The first stage was a steroid test as an initial
screening on a few pieces of carcass and liver bats, carried out for two months.
The second stage consisted of the extraction and phytochemical test from meat of
bats, pork, chicken, rabbit, and tuna, as well as spices, followed by isolation,
fractionation, and characterization of n-Hexane extract of Pteropus alecto, held
for six months. Phytochemical study of meat included identification of active
compouns, namely quantitative test steroid/triterpenoid using Lieberman Burchard
reagent, the alkaloid test using reagents Dragendrof, Meyer reagents, reagent
Bouchardat, the total phenolic using AlCl2 reagent, flavonoids test using Mg and
concentrated HCl. Fractionation of the active compound was done by using
column chromatography and thin layer chromatography. Characterization of the
fractionation was done through the determination of molecular weight by the
method of liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Chemical
structure of the active compounds was determined by using masslynx software,
tools element composition. The results of initial screening indicated that boneless
carcass and liver of Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, and Thoopterus
nigrescens showed a steroid compound. The second stage showed that the
boneless carcass of Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, and Rousettus
amplexicaudatus showed steroids and alkaloids, while Acerodon celebensis,
Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, Thopterus sp, pork, rabbit, and fish
contained only steroid compounds. The results of the initial screening of the
spices showed the existence of triterpenoid compounds, flavonoids, and
alkaloids. The results of the characterization of the isolated extract n-Hexane
Pteropus alecto showed that the highest abundance in percentage were
compounds with molecular weights of each 413.2692 (C26H3704), 324.2691
(C23H34N), 276.2 (C19H34N), and 319.3 (C21H39N2). The four molecular weights
observed that have molecular structure similar to steroid compounds were five
compounds and five compounds others of molecular structures found similar to
alkaloid.
Keywords: phytochemicals, extracts n-Hexane, the active compound, bats.
89
Pendahuluan
Tuntutan sebagian konsumen terhadap bahan pangan dewasa ini semakin
bergeser, yaitu pangan yang diminati adalah pangan yang bersifat fungsional.
Artinya, bukan saja memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita
rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh
(Wijaya 2002). Suatu bahan pangan dapat dikategorikan menjadi pangan
fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan
makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung
senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang
dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, dan memiliki fungsi tertentu setelah
dikonsumsi (Gibson & Williams 2000).
Definisi pangan fungsional menurut Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia adalah pangan yang secara alamiah maupun telah
melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu, terbukti tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan (UU No 7 1996,
BPOM RI 2011). Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan kelelawar sebagai
lauk yang dikenal dengan nama paniki. Berdasarkan informasi di media masa dan
wawancara langsung dengan konsumen, dipercayai bahwa daging dan hati
kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, seperti asma, alergi, juga dapat
mempertahankan stamina bagi pria atau wanita. Diduga bahwa daging kelelawar
mengandung senyawa aktif ketotifen dan steroid. Berdasarkan bank data, ketotifen
merupakan senyawa pemblokir pelepasan mediator inflamasi (PubChem, Drug
Bank). Steroid merupakan senyawa aktif yang terdapat pada hewan yang
berfungsi sebagai hormon pengatur tumbuh (Yohny et al 2003, Handayani et al.
2008).
Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan
rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cabai, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan
bawang putih menjadikan daging kelelawar olahan kaya akan komponen aktif.
Darusman et al. (2007) melaporkan bahwa kandungan senyawa aktif pada kunyit
adalah flavonoid dan triterpenoid, kandungan cabe rawit adalah flavonoid,
90
sedangkan kandungan jahe adalah triterpenoid. Rustam et al. (2007) melaporkan
bahwa ekstrak metanol kunyit mempunyai efek antiinflamasi pada tikus.
Pada saat ini telah banyak dilakukan studi terkait keberadaan senyawa
bioaktif dalam bahan nabati atau tumbuhan, sedangkan eksplorasi satwa, hewan,
dan ternak masih sangat sedikit sekali dipelajari, terlebih yang berkaitan dengan
sumber daya/kekayaan hayati lokal Indonesia. Laporan ilmiah yang
mengungkapkan penggunaan daging kelelawar sebagai bahan pangan yang
bersifat fungsional sampai saat ini belum tersedia. Adanya kepercayaan sebagian
masyarakat akan keistimewaan daging kelelawar untuk menyembuhkan penyakit
asma perlu dibuktikan secara ilmiah. Identifikasi dan karakterisasi senyawa-
senyawa aktif yang terdapat di dalam daging kelelawar sangat berkaitan erat
dengan pengembangan ilmu pengetahuan karena akan mengaplikasikan berbagai
metode ekstraksi hingga pemurnian untuk mendapatkan jenis senyawa aktif yang
bertanggung jawab terhadap pengobatan penyakit asma.
Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan,
salah satunya adalah dengan melakukan telaah fitokimia dan karakterisasi
senyawa aktif ekstrak n-Heksana dari daging kelelawar. Penelitian ini bertujuan
untuk melakukan identifikasi secara kualitatif senyawa-senyawa aktif dan
karakterisasi senyawa-senyawa aktif dalam daging kelelawar melalui penentuan
bobot molekul. Teridentifikasinya senyawa-senyawa aktif akan menjawab
berbagai kepercayaan/pemeo yang beredar di masyarakat dan kesesuaian klaim
daging kelelawar sebagai pangan yang bersifat fungsional. Diharapkan, dengan
diketahuinya beberapa keistimewaan daging kelelawar, pelestarian dan
pemanfaatan hewan ini dapat diseimbangkan. Berdasarkan informasi ini
pemerintah dapat menindaklanjuti dengan program pelestarian kelelawar di
wilayah Sulawesi sebagai plasma nutfah, sekaligus membudidayakannya agar
terhindar dari kepunahan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Penelitian
ini diharapkan menghasilkan suatu temuan baru untuk dapat menjelaskan secara
ilmiah keterkaitan antara konsumsi daging kelelawar dengan pengobatan penyakit
asma. Studi lanjut secara genetik molekuler di antaranya melalui genotyping
terhadap spesies kelelawar, khususnya di Sulawesi dan secara umum di Indonesia,
akan terbuka, didasari dengan pembuktian keberadaan senyawa aktif dari hasil
91
penelitian ini nantinya. Penelitian ini, dengan demikian, akan menyumbangkan
satu penemuan baru dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk senyawa-
senyawa aktif yang terdapat pada produk hewani. Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
jenis senyawa aktif yang terdapat dalam daging kelelawar dan bumbu-bumbu
sebagai bahan pangan. Kepercayaan akan kegunaan konsumsi daging kelelawar
sebagai obat juga mengantarkan penelitian ini untuk mengisolasi dan
mengkarakterisasi senyawa aktif golongan alkaloid dan steroid yang terdapat
dalam daging kelelawar.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk proses
pengeringan daging, Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan, IPB untuk telaah fitokimia dan fraksinasi senyawa aktif, dan
Laboratorium Biotek, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset
dan Teknologi, Serpong, Tangerang, untuk penentuan bobot molekul dan struktur
molekul. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap pertama, yaitu uji
pendahuluan pada Oktober-Desember 2010. Tahap kedua pada Oktober 2011
sampai April 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap satu sebagai uji
pendahuluan adalah 3 ekor kelelawar P. alecto. Jenis kelelawar tahap kedua
adalah 37 ekor A. celebensis, 20 ekor N. cephalotes, 20 ekor P. alecto, 7 ekor
Pteropus sp, 20 ekor R. amplexicaudatus, 10 ekor T. nigrescens, 5 ekor
Thoopterus sp 1, 6 ekor Thoopterus sp 2 yang diperoleh dari beberapa lokasi di
Sulawesi, 2 kg daging ayam, 2 kg daging babi, dan 2 kg ikan cakalang yang
diperoleh di Pasar Bersehati Manado, 2 kg daging kelinci yang diperoleh dari
peternakan rakyat di Bogor, serta bumbu masak yang digunakan dalam
pengolahan daging kelelawar. Bahan kimia yang digunakan terdiri atas berbagai
jenis pelarut organik teknis dan proanalisis, yaitu n-heksana, dietil eter, etil asetat,
92
metanol, etanol, kloroform, Pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Dragendrof,
Pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, HCl, FeCl3, Mg, amyl alkohol, amonia, dan
silica gel 60, 70-230 mesh, E. Merck untuk kromatografi kolom, silica gel 60 F
254 untuk kromatografi lapis tipis.
Peralatan yang digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan analitik,
dissecting set, camera digital, food processor, cool box, lempeng tetes,
seperangkat alat sokhlet, oven, seperangkat alat kromatografi kolom dengan
panjang kolom 40 cm, dan diameter1.8 cm, vacuum rotary evoporator bunchi R
114 yang dilengkapi dengan sistem vakum bunchi B 169, oven, lemari asam,
sinar UV 254 (original hanau floutest), pipa kapiler, dan seperangkat alat LC-MS,
seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof, jenis kolom acquatif BEH 1.7 μm C18
diameter 2.1 mm x 50 mm.
Metode Penelitian
Penelitan Tahap l
Penelitian tahap pertama adalah uji pendahuluan yang bertujuan untuk
mengetahui bagian mana dari komponen karkas dan non karkas kelelawar yang
mempunyai zat aktif, dan jenis ekstraksi yang akan digunakan dalam penelitian.
Jenis kelelawar yang digunakan adalah P. alecto. Uji pendahuluan yang dilakukan
adalah uji steroid.
Metode ekstraksi dilakukan secara dingin dengan maserasi dan secara
panas dengan sokhlet. Sebelumnya, kelelawar dipelihara dalam kandang di
tempat asalnya kurang lebih dua minggu dan diberi makan buah-buahan, seperti
pisang dan pepaya setiap hari. Satu hari sebelum dibawa ke laboratorium
kelelawar sudah dibakar kemudian karkasnya disimpan di lemari es suhu 5°C.
Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Peternakan IPB, dan disimpan pada suhu dingin.
Seminggu kemudian, karkas diblender sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Setiap sampel diuji sebanyak tiga kali. Analisis sampel terdiri atas: Sampel A
adalah bagian daging beserta lemak dan kulit, Sampel B adalah karkas
keseluruhan, Sampel C adalah daging tanpa lemak dan kulit, Sampel D adalah
bagian hati. Prosedur kerja uji pendahuluan adalah sebagai berikut.
93
Ekstraksi Dingin dengan Maserasi.
Sebanyak 0.3 g sampel dalam keadaan segar yang telah halus dimasukkan
ke dalam tabung reaksi ditambahkan dietil eter sebanyak 5 mL kemudian dikocok
menggunakan vorteks sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas dipipet
dan diteteskan pada lempeng dan diidentifikasi menggunakan pereaksi Lieberman
Buchard.
Ekstraksi Panas Menggunakan Metode Sokhlet (AOAC, 1995)
Sejumlah sampel daging yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu
80ºC selama 12 jam, dimasukkan ke dalam kertas saring yang dibentuk
menyerupai timbel, kemudian ditutup dengan kapas wol bebas lemak. Timbel
tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet, kemudian alat ekstraksi
dipasangkan dengan labu lemak di bawahnya. Pelarut n-heksana dituangkan ke
dalam alat ekstraksi sokhlet sesuai dengan ukuran yang digunakan, alat ekstraksi
sokhlet dipasang pada alat kondensator di atasnya.
Selanjutnya, dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun
ke dalam labu lemak berwarna jernih. Timbel dikeluarkan dan pelarut yang ada
dalam labu lemak didestilasi selama satu jam. Labu lemak yang berisi hasil
ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C selama satu jam dan didinginkan
dalam desikator.
Untuk pengujian steroid, ekstrak sebanyak 0.1 g ditambahkan kloroform
dan air dengan perbandingan 1:1 kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kemudian dikocok dan didiamkan sampai berbentuk dua lapisan. Lapisan bawah
disaring dan filtratnya dipipet kemudian diteteskan ke plat tetes. Setelah kering
ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard.
Penelitian Tahap ll
Hasil pengujian tahap pertama merupakan rekomendasi untuk uji fitokimia
tahap kedua. Kelelawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelelawar
yang ditangkap langsung di habitatnya yang langsung dipotong kemudian diambil
bagian karkasnya dan dikeringkan, sedangkan daging ternak konvensional dan
ikan serta bumbu masak diambil di pasar tradisional. Prosedur kerja penelitian
tahap kedua adalah sebagai berikut.
94
Pengeringan Sampel
Sampel daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang
yang digunakan dipotong-potong tipis dengan ukuran 1-3 cm, sedangkan bumbu
masak dihaluskan, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80ºC salama 6-12 jam
sampai daging dan bumbu masak mudah dihancurkan, kemudian dihaluskan, lalu
dikemas dalam plastik untuk dianalisis. Sampel daging diekstraksi dengan pelarut
n-heksana menggunakan sokhlet, kemudian ekstrak n-heksana hasil akstraksi
diuji dengan metode fitokimia. Bumbu masak langsung diuji fitokimianya.
Uji Fitokimia Daging dan Bumbu Masak
Uji fitokimia merupakan skrining awal. Hasil uji fitokimia untuk ekstrak
n-heksana yang positif mengandung senyawa aktif dilanjutkan dengan isolasi dan
fraksinasi untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Uji fitokimia
daging secara kuantitatif meliputi, pemeriksaan alkaloid, flavonoid, fenolik, dan
triterpenoid, dengan prosedur kerja sebagai berikut.
Persiapan Bahan Uji.
Ekstrak n-heksana sebanyak 0.1 g ditambahkan pelarut campuran
kloroform dan aquades dengan perbandingan 1:1. Campuran dikocok dalam
tabung reaksi dan dibiarkan sejenak sehingga berbentuk dua lapisan. Lapisan yang
berada di atas digunakan untuk pemeriksaan fenolik dan flavonoid.
Pemeriksaan Alkaloid.
Ekstrak n-heksana sebanyak 0.3 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Setelah itu ditambahkan ammonia 10% dan CHCl3 10 mL kemudian dikocok.
Lapisan CHCl3 diambil dan ditambahkan H2SO4, kemudian dikocok lagi, fase
cairnya diambil dan dibagi menjadi tiga bagian.
Ke dalam masing-masing bagian ditambahkan pereaksi Dragendrof,
pereaksi Meyer, dan pereaksi Wegner. Warna merah yang terbentuk pada sampel
yang diberikan pereaksi Dragendrof, endapan warna putih pada sampel yang
ditambahkan pereaksi Meyer, dan endapan cokelat kemerahan pada sampel yang
ditambahkan pereaksi Wegner menunjukkan bahwa sampel positif mengandung
alkanoid.
95
Pemeriksaan Fenolik.
Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang
berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes,
kemudian ditambahkan pereaksi AlCl3. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna
hijau, biru, atau ungu.
Pemeriksaan Senyawa Flavonoid.
Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g yang berada di dalam tabung
reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan
sedikit bubuk logam Mg serta beberapa tetes asam klorida pekat. Reaksi positif
adalah bila terbentuk warna merah kuning atau jingga
Pemeriksaan Senyawa Saponin
Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang
berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian residunya dimasukkan ke dalam
gelas piala, ditambahkan aquades sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan selama 5
menit sampai mendidih. Kemudian, didinginkan dan dikocok vertikal sampai
membentuk busa. Kemudian ditambahkan HCl 2N dan didiamkan selama 10
menit. Positif mengandung saponin, jika busa dalam tabung reaksi tidak berubah.
Pemeriksaan Senyawa Triterpenoid/ Steroid.
Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang
berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian filtratnya dipipet dan dipindahkan
ke dalam plat tetes kemudian diangin-anginkan. Identifikasi keberadaan senyawa
steroid dilakukan dengan reaksi warna dengan pereaksi Lieberman Burchard.
Triterpenoid positif apabila terbentuk warna merah atau violet, steroid positif
apabila terbentuk warna hijau atau biru.
Isolasi Ekstrak n-Heksana
Ekstrak n-heksana yang positif mengandung steroid dan alkoloid
selanjutnya diisolasi. Isolasi senyawa steroid dilakukan pada tiga jenis kelelawar,
yaitu A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus, serta daging babi. Dasar
pertimbangan memilih ketiga jenis kelelawar ini adalah A. celebensis merupakan
endemik Sulawesi, R. amplexicaudatus penyebaranya luas, P. alecto sudah
96
dikomersialkan dan dipasarkan baik di pasar tradisional maupun di pasar modern
di daerah Sulawesi. Selain itu jumlah sampelnya tersedia. Bagan kerja tahap
ekstraksi dan isolasi senyawa steroid dapat dilihat pada Gambar 20
- dipotong-potong halus
- dikeringkan (80ºC, 12 jam)
- diekstrak dengan n-heksana
- diuji fitokimia - disabunkan
dengan KOH
- direfluks
(700C, 1jam)
-difraksinasi
dgn dietil eter
-dievaporasi
-uji L-B -uji L-B
-dipekatkan
Gambar 20 Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana.
Ekstrak n-heksana pekat sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu ukur,
disabunkan dengan menambahkan KOH kristal pa sebanyak 9.5 g dan 50 mL
etanol 95%, dan dipanaskan pada suhu 70°C selama 1 jam. Kemudian didinginkan
dan ditambahkan aquades sebanyak 50 mL, dan dimasukkan ke dalam labu kocok.
Kemudian ditambahkan dietil eter sebanyak 50 mL dan dikocok-kocok.
Didiamkan sampai terjadi pemisahan. Lapisan atas ditampung dalam gelas kimia,
dan ditambahkan dietil eter 20 mL kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu
kocok. Pemisahan ini diulangi sampai benar-benar lapisan atas bebas dari lemak
dan air. Hasil tampungan dicuci dengan air sampai alkali dengan menggunakan
indikator pp. Warna pink berarti belum bebas sabun, dan warna netral berarti
Daging segar
Bahan kering
Ekstrak n-heksana
Ekstrak n-heksana Ekstrak n-heksana
Steroid Alkaloid Flavonoid Fenolik Saponin
Fase tak tersabunkan
Fase tersabunkan
Steroid (-) Steroid (+)
97
bebas dari sabun. Fase yang tidak tersabunkan dipekatkan menggunakan
evaporator sampai bebas pelarut. Kedua fase ini kemudian diuji dengan pereaksi
Lieberman Buchart yang terdiri atas kloroform, asam asetat anhidrid dan asam
sulfat pekat.
Pemisahan Fase Tak Tersabunkan
Untuk melihat larutan pengembang yang baik, maka fase yang tak
tersabunkan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Fase tak
tersabunkan ditotolkan sebanyak 3 ulangan dengan jarak ulangan 1 cm pada
masing-masing plat kromatografi lapis tipis yang sudah diaktifkan pada suhu
80ºC selama 15 menit, dan dipotong-potong ukuran 5 cm x 6.5 cm dengan jarak
eluen dari titik penotolan dan batas atas 5 cm. Masing-masing Plat KLT yang
sudah ditotolkan ekstrak tak tersabunkan dimasukkan ke dalam masing-masing
vial yang berisikan larutan pengembang tunggal yang sudah dijenuhkan, yaitu n-
hexana, kloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan etil asetat sampai pergerakan
eluen mencapai batas atas KLT. Setelah itu, plat KLT diangkat dan diangin-
anginkan. Untuk melihat noda-noda pada plat KLT digunakan sinar UV. Melihat
jarak noda dan jumlah noda yang terbentuk pada plat KLT maka dilakukan
penggabungan dua jenis pelarut. Hasil penggabungan dua jenis eluen diperoleh
gabungan pelarut, yaitu n-heksana-dietil eter (80:20) dengan jumlah noda empat
titik dengan jarak noda yang sama. Setelah diperoleh eluen yang terbaik, sebanyak
1 g fase tak tersabunkan dipisahkan dengan cara kromatografi kolom
menggunakan fase diam silika gel 60 (70-230 mesh) sebanyak 80 g dengan
panjang kolom 40 cm, dan diameter 1.8 cm menggunakan fase gerak n-heksana-
etil asetat dan difraksinasi secara gradient. Fraksi-fraksi ditampung dalam tabung
reaksi yang sudah diberi label (T1-T125) setiap 5 menit. Masing-masing fraksi
dianalisis secara kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola Rf yang sama
digabungkan menjadi satu kemudian diuapkan. Semua fraksi-fraksi diuji steroid
dan alkaloid.
Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul
Identifikasi dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan
dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-
98
MS). Penentuan struktur molekul ditentukan dengan bantuan software masslynx,
tools element composition. Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak
tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan
ditunjukkan dalam Gambar 21.
Analisis Data
Hasil analisis fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif diuraikan secara
deskriptif.
- di KK dengan silika gel 60 (70-230
mesh)
- dielusi secara gradient dengan eluen n-
heksana-EtOAc
- ditampung setiap 5 menit
- hasilnya di KLT dengan larutan
pengembang n-heksana-EtOAc (80 : 20)
- disinar UV
- fraksinasi dengan pola Rf sama
digabung
-LC-MS -LC-MS
-Software masslynx, -Software masslynx,
tools element composition tools element composition
Gambar 21 Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan
penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan.
Fase tak tersabunkan 1 g
Fraksi A Fraksi B Fraksi C Fraksi D Fraksi E Fraksi F
Bobot molekul Bobot molekul
Struktur molekul Struktur molekul
99
Hasil dan Pembahasan
Penelitian Tahap l
Penelitian tahap pertama merupakan uji pendahuluan. Berdasarkan uji
pendahuluan maka diketahui bahwa pada hati, daging bersama kulit, dan daging
campuran semua bagian tubuh yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan yang
dimaserasi, memiliki komponen senyawa steroid. Identifikasi senyawa steroid
diketahui dengan adanya perubahan warna sampel sebelum dan sesudah diuji
dengan pereaksi Lieberman-Buchard. Perubahan warna sampel disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P alecto yang
diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi
Komponen
tubuh
Maserasi Sokhlet
Warna awal Warna akhir Warna awal Warna akhir
A Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun
B Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun
C Bening putih gading - -
D Bening biru kehijauan - -
Tanda - tidak dianalisis, A: daging dan kulit, B: karkas keseluruhan, C: daging
tanpa kulit, D: hati
Uji Lieberman Buchard pada penelitian pendahuluan ini memperlihatkan
bahwa sampel A, B, dan D menunjukkan perubahan warna dari warna bening
menjadi biru kehijauan, sedangkan sampel C tidak memperlihatkan perubahan
warna. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B, dan D teridentifikasi
positif memiliki senyawa steroid. Harborne (2006) menyatakan bahwa senyawa
aktif dapat diidentifikasikan dari warna yang dihasilkan dengan menggunakan
pereaksi Lierbemann Buchard, warna hijau menunjukkan steroid, warna merah,
merah muda, dan ungu menunjukkan triterpenoid. Senyawa steroid pada hewan
kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas. Secara fisiologis, steroid anabolik
dapat membuat seseorang menjadi agresif. Johnny et al. ( 2003) melaporkan
bahwa steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai
sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu. Saleh (2007) melaporkan bahwa ekstrak
metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid
(clionesterol) mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL / kg bb mencit
jantan.
100
Penelitian Tahap II
Uji fitokimia Daging Kelelawar, Ternak Konvensional, dan Ikan Cakalang
Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, maka penelitian tahapan kedua
ditetapkan untuk mengambil sampel karkas tanpa tulang dengan menggunakan
metode ekstraksi secara panas, yaitu sokhlet. Pada penelitian ini pengujian
fitokimia meliputi beberapa spesies daging kelelawar yang ditangkap di beberapa
daerah, dibandingkan dengan ternak konvensional, seperti ayam, babi, kelinci, dan
ikan cakalang. Tabel 8 menunjukkan bahwa semua jenis kelelawar, daging
kelinci, dan ikan cakalang positif mengandung senyawa steroid kecuali daging
ayam, dan ada 3 spesies kelelawar yang mengandung senyawa alkaloid.
Tabel 8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging
ternak konvensional serta ikan cakalang
Jenis daging Komponen aktif
Steroid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin
D M W 1 2 3
Daging kelelawar
A. celebensis
N. cephalotes
P. alecto
Pteropus sp
R. amplexicaudatus
T.nigrescens
Thoopterus sp 1
Thoopterus sp 2
++
++
++
++
++
+++
++
++
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Daging kelinci + - - - - - - - -
Daging ayam - - - - - - - - +
Daging babi + - - - - - - - -
Ikan cakalang ++ - - - - - - - -
W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; +++:
intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah;
- tidak terdapat senyawa aktif
Intensitas warna senyawa steroid sangat kuat pada T. nigrescens (+++)
daripada A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, Pteropus sp, Thoopterus sp 1,
Thoopterus sp 2, R. amplexicaudatus, serta ikan cakalang (++), sedangkan daging
babi dan kelinci intensitas warnanya lemah (+) seperti pada Lampiran 1. Kuatnya
intensitas warna pada semua jenis daging kelelawar diduga karena jenis makanan
yang dikonsumsi kelelawar di alam dan kemampuan tubuh kelelawar untuk
101
memetabolisme nutrisi dalam tubuh terutama karbohidrat yang akan
menghasilkan asam asetat yang merupakan prekursor untuk pembentukan asam
mevalonat yang akan menghasilkan steroid.
Uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner
menunjukkan bahwa P. alecto, N. cephalotes, dan T. nigrescens mengandung
senyawa alkaloid, walaupun intensitas warna lemah dan endapan yang terbentuk
kurang (+), seperti pada Lampiran 12. Identifikasi senyawa alkaloid diketahui
dengan adanya perubahan warna dari bening menjadi oranye dengan endapan
oranye pada pereaksi Dragendrof, warna bening menjadi putih keruh dan endapan
putih keruh pada pereaksi Meyer, dan perubahan warna bening menjadi cokelat
dan endapan cokelat pada pereaksi Wagner. Terdapatnya kandungan alkaloid pada
N. cephalotes, P. alecto, dan T.nigrescens diduga karena pakan yang dikonsumsi
kelelawar jenis ini mengandung nutrisi yang dapat dijadikan sebagai prekursor
pembentukan alkaloid dan adanya kemampuan tubuh untuk membentuk asam-
asam amino, seperti lisina, histidina, dan tirosina yang merupakan cikal bakal
terbentuknya alkaloid
Uji fitokimia Bumbu Masak
Pengujian fitokimia menunjukkan bahwa bumbu masak mengandung
senyawa triterpenoid dan alkaloid. Tabel 9 menunjukkan bahwa cabe rawit, jahe
merah, kunyit, daun sereh, dan gabungan dari semua jenis bumbu masak positif
mengandung senyawa triterpenoid dan senyawa flavonoid, sedangkan kunyit dan
daun bawang hanya menggandung triterpenoid.
Identifikasi senyawa triterpenoid diketahui dengan adanya perubahan
warna sampel sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard menjadi merah
muda dengan intensitas warna setiap bumbu yang berbeda. Intensitas warna
senyawa triterpenoid sangat kuat pada kunyit, daun sereh, dan bumbu campur
(+++) daripada cabe rawit (++), sedangkan jahe merah dan daun bawang
intensitas warnanya lemah (+), seperti pada Lampiran 13.
Uji flavonoid menunjukkan bahwa jahe, sereh, cabe rawit, dan campuran
semua bumbu masak menggandung flavonoid. Identifikasi flavonoid diketahui
dengan adanya perubahan warna menjadi kuning untuk ekstrak jahe, cabe rawit,
102
dan campuran bumbu masak serta warna jingga untuk ekstrak sereh, dengan
intensitas perubahan warna yang sangat kuat, seperti pada Lampiran 14.
Tabel 9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar
Jenis bumbu Komponen aktif
Triterpenoid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin
D M W
Cabe rawit ++ - - - - +++ -
Jahe merah + - - - - +++ -
Kunyit +++ - - - - - -
Bawang daun + - - - - - -
Bawang merah - - - - - - -
Daun sereh +++ - - - - +++ -
Daun jeruk purut - - - - - -
Bumbu campur +++ - - - - +++ -
W:pereaksi Wagner; M:pereaksi Meyer; D:pereaksi Dragendrof; +++: intensitas
warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak
terdapat senyawa aktif
Isolasi Senyawa Steroid dengan Penyabunan
Prinsip penyabunan ialah memisahkan senyawa-senyawa lemak selain
senyawa-senyawa yang mengandung steroid, yaitu fase yang tersabunkan adalah
lemak, dan fase tidak tersabunkan mengandung senyawa steroid. Tabel 10
menunjukkan hasil uji Lieberman Buchart dan perolehan bobot ekstrak tak
tersabunkan dari masing-masing ekstrak n- heksana.
Tabel 10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari
ketiga jenis kelelawar dan daging babi
Jenis ekstrak
n-heksana
Bobot ekstrak
n-heksana (g)
Bobot fase tidak
tersabunkan (g)
Uji steroid
A. celebensis 70 1.225 Warna biru
P. alecto 130 3.887 Warna biru
R. amplexicaudatus 55 0.991 Warna biru
Daging babi 10 0.204 Warna biru
Hasil penyabunan ekstrak n-heksana A. celebensis, P. alecto, dan R.
amplexicaudatus serta daging babi yang difraksinasi dengan menggunakan dietil
eter menunjukkan bahwa fase tidak tersabunkan mengandung steroid, dan fase
yang tidak tersabunkan tidak mengandung steroid.
103
Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Tak Tersabunkan
Berdasarkan banyaknya fase tak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar
dan daging babi, maka untuk pemisahan dengan menggunakan kromatografi
kolom diambil satu spesies yang jumlah fase tidak tersabunkan lebih banyak,
yaitu P. alecto. Untuk menguji pelarut terbaik yang digunakan dalam
kromatografi kolom digunakan enam pelarut tunggal sebagai analisis awal
menggunakan kromatografi lapis tipis. Gambar 22 memperlihatkan pola noda
yang terbentuk pada KLT dari fase tak tersabunkkan ekstrak n-heksana P. alecto
pada enam pelarut tunggal.
Kloroform
Etanol
Etil asetat
n-Heksana
Dietil eter
Metanol
Gambar 22 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n-
heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal.
Berdasarkan pada pola noda yang terbentuk dari keenam pelarut tunggal
dilakukan kombinasi pelarut, yaitu Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat.
Gambar 23 memperlihatkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis
kombinasi pelarut Etanol–etil asetat (50:50) dan n-heksana-etil asetat (50:50)
Etanol–etil asetat (50:50)
n-Heksana-etil asetat(50:50)
Gambar 23 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n-
heksana pada pelarut Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat.
Berdasarkan pola noda dari kedua kombinasi pelarut maka dipilih
kombinasi n-heksana-etil asetat. Hasil analisis kombinasi n-heksana-etil asetat
yang terbaik untuk proses kromatografi kolom dari fraksi yang tidak tersabunkan
104
adalah n-heksana-etil asetat (80 :20), dengan empat noda dan nilai Rf1 = 0.17,
Rf2 = 0.37, Rf3 = 0.73 dan Rf4 =1. Gambar 24 menunjukkan pola noda pada plat
kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto dengan
perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda.
n-Heksana - etil asetat
(50 :50)
n-Heksana - etil
asetat (70 :30)
n-Heksana - etil asetat
(80 :20)
Gambar 24 Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak
tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang
berbeda.
Hasil analisis dengan kromatografi kolom terhadap satu gram fase tidak
tersabunkan ekstak n-Hexana P. alecto diperoleh sebanyak 126 fraksi. Setelah
dianalisis dengan KLT diperoleh 6 fraksi gabungan. Fraksi-fraksi yang
menampakkan pola yang sama pada kromatogram lapis tipis adalah fraksi A (T1-
T12) seberat 0.0436 g, fraksi B (T13-T36) seberat 0.0378 g, fraksi C (T37-T58)
seberat 0.237 g , fraksi D (T59-T67) seberat 0.127 g, fraksi E (T68-T76) seberat
0.0144 g, dan fraksi F (T77-T126) seberat 0.358 g. Kromatografi lapis tipis dari
keenam fraksi gabungan dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase
tak tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto.
105
Hasil analisis KLT terhadap enam fraksi gabungan menunjukkan bahwa
fraksi A memiliki satu noda tebal dengan nilai Rf = 0.92, fraksi B memiliki dua
noda dengan nilai Rf = 0.30 dan 0.63, fraksi C memiliki dua noda dengan nilai Rf
= 0.41 dan 0.58, fraksi D memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.40 dan 0.6, fraksi
E memiliki 3 noda dengan nilai Rf masing masing 0.16, 0.25, dan 0.46, dan fraksi
F memiliki dua noda dengan nilai Rf 0.73 dan 0.86.
Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul
Analisis selanjutnya adalah menentukan bobot molekul senyawa hasil
fraksinasi kolom menggunakan LC-MS seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof ,
kolom acquatif BEH 1.7 μm C18, 2.1 mm x 50 mm, dan pendugaan rumus
molekul serta struktur molekul menggunakan bantuan software masslynx, tools
element composition serta database melalui database (ChemSpider).
Hasil LC-MS dari fraksi A menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi
secara berurutan adalah 2.3, 2.75, 3.06, 3.19, 3.27, 3.75, 3,97, 4.32, 4.73, 5.00 dan
5.26. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.75 dan 4.73. Spektrum
massa dari fraksi A ditunjukkan dalam Gambar 26.
Gambar 26 Spektrum MS dari fraksi A.
Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa dengan waktu retensi 3.75
mempunyai rumus molekul C26H37O4 dan bobot molekul 413.2692, dan senyawa
dengan waktu retensi 4.73 mempunyai rumus molekul C23H34N dan bobot
106
molekul 324.2691. Berdasarkan database senyawa dengan bobot molekul 413.26
mempunyai lima kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 27.
17-[(3 Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-
oxoestr-4-en-4-olate
Massa: 413.269989013672 Da
11-(6-Hydroxy-2,5,7,8-
tetramethyl-3,4-dihydro-2H-
chromen-2-yl)-4,8-dimethyl-4,8-
undecadienoate
Massa: 413.269989013672 Da
O
15-(3-Carboxylato-3-
methyl-2-
butanyl)retinoic acid
Massa: 413.269745 Da
4-(Octyloxy)-4-[2-
(pentyloxy)phenyl]-2,5-
cyclohexadiene-1-carboxylate
Massa: 413.269745 Da
2-(4-isobutylphenyl)propanoate;
2-(4-isobutylphenyl)propanoic
acid; molecular hydrogen
Massa: 413.269745 Da
Gambar 27 Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26.
Dari kelima struktur tersebut satu senyawa mempunyai kemiripan dengan
struktur molekul senyawa steroid golongan estron, yaitu 17-[(3
Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate. Estron adalah kelompok
steroid jenis estrogen yang merupakan hormon seks wanita yang diproduksi di
kelenjar adrenal dan ovari dan berkaitan dengan pengembangan sel telur dan
perkembangan seks sekunder pada wanita (Wilbraham et al. 1992, Hart et al.
2003).
Senyawa dengan bobot molekul 324.27 mempunyai enam kemungkinan
senyawa seperti pada Gambar 28. Berdasarkan strukrur molekulnya, senyawa
N,N-Diethyl-N-[4-(3-phenyl-2butanyl)benzyl]ethanaminium dan [4-(1-ethyl-3-
107
phenyl-pentyl) phenyl]methyl-trimethyl-ammonium tidak memiliki kemiripan
dengan senyawa steroid. Kedua senyawa ini memiliki kemiripan dengan turunan
benzena, dan cincin benzena sebagai subtituen pada alkana. Empat senyawa,
yaitu 1-{[(5R,7S)-3-(4-Methylphenyl)-1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3-
phenylpyridinium, 1-{[3-(4-Methylphenyl)-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1-
(7-Isopropyl-1-me thyl-4-azulenyl)-2-methyl-2-propanyl]-1-methylpyrrolidinium
mempunyai kemi ripan dengan struktur molekul alkaloid golongan piridin-
piperidin karena mengandung cincin karbon dan satu atom nitrogen dalam satu
cincin karbon sebagai struktur inti. Senyawa alkaloid golongan ini terdapat pada
tumbuhan Piperis nigri (lada hitam), dan tumbuhan areca catechu (pohon pinang)
yang berguna sebagai obat cacing dan penenang (Kristina & Syahid 2008).
1-[1-(7-Isopropyl-1-methyl-4-
azulenyl)-2-methyl-2propanyl]-
1-methylpyrrolidinium
Massa: 324.268585 Da
N,N-Diethyl-N-[4-(3-phenyl-2-
butanyl)benzyl]ethanaminium
Massa: 324.268585 Da
1-{[3-(4-
Methylphenyl)adamantan-1-
yl]methyl}piperidinium
Massa: 324.268585 Da
1-{[(5R,7S)-3-(4-
Methylphenyl)adamantan-1-yl]
methyl}piperidinium
Massa: 324.268585 Da
1-Dodecyl-3-phenylpyridinium
Massa: 324.269012451172 Da
[4-(1-ethyl-3-phenyl-
pentyl)phenyl]methyl-
trimethyl-ammonium
Massa: 324.269 Da
Gambar 28 Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27.
Keempat senyawa juga mempunyai kemiripan struktur molekul dengan
senyawa Kitotifen (Gambar 29) yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit,
108
anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor
histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi.
4-(1-Methyl-4-piperidinylidene)-4,9-dihydro-10H-
benzo[4,5]cyclohepta[1,2-b]thiophen-10-one
Molecular Formula: C19H19NOS
Monoisotopic mass: 309.118744 Da
Gambar 29 Struktur molekul senyawa kitotifen.
Hasil LC-MS dari fraksi C menunjukkan 11 puncak dengan waktu
retensi secara berurutan adalah 2.16, 2.23, 2.82, 3.11, 3.21, 3.39, 4.05, 4.58, 4.62,
4.95 dan 5.18. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.21 dan 4.62
dengan bobot molekul 276.2 dan 319.3. Spektrum massa dari fraksi C ditunjukkan
dalam Gambar 30.
Gambar 30 Spektrum MS dari fraksi C.
Hasil analisis spektrum massa menunjukkan bahwa senyawa dengan
waktu retensi 3.21 mempunyai molekul 276.26, dan senyawa dengan waktu
retensi 4.62 mempunyai bobot molekul 319.31. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan bantuan software senyawa dengan bobot molekul 276.26
mempunyai rumus molekul C19H34N dengan 17 kemungkinan senyawa. Empat
109
senyawa di antaranya mempunyai kemiripan dengan steroid golongan androstan.
Salah satu jenis hidrokarbon induk steroid dari keempat senyawa ini adalah
androstan dengan gugus fungsi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan rantai
samping NH3 yang melekat pada atom C nomor 17, seperti pada Gambar 31.
(5α,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa:
276.268585 Da
(5β,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa: 276.268585
Da
(5α,8α,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa:
276.268585Da
(5β,8α,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa:
276.268585 Da
Gambar 31 Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26858.
Harold et al. (2003) menyatakan bahwa ciri umum struktur steroid adalah
sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B, dan C beranggotakan enam, dan
cincin D beranggota lima, biasanya ada substitusi metil yang melekat pada C-10
dan C-13 dan semacam rantai samping yang melekat pada C-17. Adrostan
merupakan hormon seks pada pria yang masuk ke dalam kelompok androgen
yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang berkaitan dengan perkembangan seks
sekunder pada pria (Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003).
Senyawa dengan bobot molekul 319.31 mempunyai rumus molekul
C21H39N2 dengan dua kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 32.
Berdasarkan pada struktur molekul, kedua senyawa tersebut mempunyai
kemiripan dengan senyawa alkaloid, karena adanya atom nitrogen dalam struktur
lingkar heterosklik.
Berdasarkan pada atom nitrogen, senyawa (3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3,9-
dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo[1,2-a:1',2'-c] pyrimi din-4-ium
masuk ke dalam alkaloid heterosiklik golongan imidazol yang atom nitrogen
terdapat pada cincin karbon dan cincin karbonnya mengandung dua atom
nitrogen. Alkaloid golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata
110
dan untuk meningkatkan sirkulasi darah. Santos & Moreno (2004) melaporkan
bahwa alkaloid pilocarpine dari tamanam Pilocarpus digunakan sebagai obat
tetes mata untuk pengobatan glaukoma, serta untuk stimulasi keringat dan kelenjar
air mata (Sawaya et al. 2011).
4-Amino-1-hexadecylpyridinium
Massa: 319.310791 Da
(3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3,9-dipropyl-
2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-
dipyrrolo[1,2-a:1',2'-c]pyrimidin-4-ium
Massa: 319.310791 Da
Gambar 32 Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.31.
Harbone (2006) mengatakan bahwa tidak satu pun definisi alkaloid yang
memuaskan, tetapi umumnya alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang
bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen, dan biasanya dalam
cincin heterosiklik, sekurang-kurangnya satu atom di antara cincin harus
merupakan heteroatom, yaitu atom yang bukan karbon. Adanya senyawa steroid
dan alkaloid pada daging kelelawar, serta senyawa triterpenoid dan flavoinoid
pada bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar
menjadikan daging kelelawar sebagai pangan yang dapat berfungsi sebagai
pangan fungsional. Adanya kemiripan senyawa steroid golongan estron dan
androstan serta senyawa alkaloid golongan piridin-piperidin dan imidazol pada
daging kelelawar P. alecto maka dugaan daging kelelawar dapat membantu proses
penyembuhan asma, alergi dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima
Simpulan
Hasil skrining tahap awal pada bagian hati, daging bersama kulit, dan
karkas kelelawar P. alecto menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil uji
fitokimia tahap kedua menunjukkan N. cephalotes dan P. alecto mengandung
senyawa aktif yang beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-
heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan
alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol.
111
Daftar Pustaka
[AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical
Chesmist. 1995. Inc. Arlington. Virginia. USA.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK.
00.05.52.0685. 2005. Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan
Fungsional. BPOM RI.
Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of
frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69
(1) :67-72.
Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari
spektrum infra merah sebagai penanda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J
Ilmu Pert Indones 12(3):154-162.
Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product.
Cambridge England: Wood Publishing Limited
Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi
mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains
Teknol Farm13(1):1-11.
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa
tumbuhan. ITB Bandung
Harold H, LE Craine, DH Hart. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta:
Erlangga.
Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality test) dan antioksidan (1.1-diphenyl-2-
pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Makara
Sains 13(1):50-54.
Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa (Cocos nucifera),
pinang (Areca catechu) dan aren (Arenga pinnata) sebagai tanaman obat.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. (terhubung berkala)
http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/ (7 Mei 2012)
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed
ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill.
Rustam E, Atamasari I, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol
kunyit (curcuma domestica val.) pada tikus putih jantan galur wistar. J
Sains Teknol 12(2):112-115.
112
Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan
cendana (Santalum album Linn). Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts
and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137.
Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of
pilocapus (Rustaceae) as sources of pilocarine and other imidazole
alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 (3). Absrtact.
http://www.springerlink.com/content/01027wm4011mr53w/. (7 mei 2012)
Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa
golongan triterponoid dari biji pepaya (Carica papaya L.). J Kim 2(1):15-
18.
Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung
: Penerbit ITB Bandung.
Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai
pangan fungsional. J Litbang Pert 24 (2): 47-55.
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING
KELELAWAR, SAPI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Karakteristik Organoleptik Daging
Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh
RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan
WASMEN MANALU
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen
pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica.
Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Data hasil uji hedonik
diolah dengan metode Kruskal-Wallis. Untuk mengetahui sebaran data dari
respons panelis terhadap contoh uji, dianalisis menggunakan grafik kotak plot.
Skala hedonik yang digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah
warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa jenis daging dengan cara pengolahan yang berbeda
berpengaruh nyata (P˂0.05) pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan
penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Kesimpulan adalah tingkat kesukaan
penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang. Daging yang disukai adalah daging yang dimasak
menggunakan bumbu kari dan rica-rica.
Kata kunci : daging kelelawar, tingkat kesukaan, bumbu, kari, rica-rica.
114
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Organoleptic Characteristics of Fruit Bats
Meat, Beef, Chicken, and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
The experiment was designed to study the hedonic scaling of the bat meat
as compared to beef, chicken, and tuna cooked by steaming, kari, and rica-rica.
The organoleptic testing used was hedonic test. The hedonic scale used was 1 to 7.
Hedonic test data was processed by the Kruskal-Wallis method. To know the
distribution of renponse, data were analyzed using boxplot chart. The analysis
showed that various kinds of meat with different ways of processing had
significan effect (P˂0.05) on flavor, color, aroma, tenderness, and general
acceptance of bat meat, beef, chicken, and tuna. The conclusion is the panelist
liked the meat of the bat same as beef, chiken, and tuna that were cooked rica-rica
and kari.
Keywords : fruit bats, hedonic scaling, meat, seasoning, kari, rica-rica
115
Pendahuluan
Nilai gizi sangat menentukan kualitas bahan pangan, namun bahan pangan
yang diminati konsumen bukan saja dilihat dari nilai gizi yang baik, namun dari
penampakan yang menarik, cita rasa yang enak juga aman untuk dikonsumsi.
Warna, aroma, rasa, kekerasan, dan penerimaan umum adalah atribut penampakan
dan cita rasa suatu pangan yang dikenal sebagai sifat organoleptik (Soewarno S.
1981, Setyaningsih et al. 2010).
Penilaian setiap orang untuk atribut organoleptik terhadap bahan pangan
berbeda-beda sesuai dengan budaya, kebiasaan, bentuk, dan jenis produk. Dengan
demikian, bahan pangan yang menurut seseorang disukai belum tentu disukai oleh
orang lain. Untuk mengetahui suatu produk disukai atau tidak disukai maka
dilakukan analisis organoleptik terhadap bahan pangan, menggunakan indera
manusia sebagai instrumen, seperti penglihatan, penciuman, pencicipan, dan
perabaan. Metode analisis sensori pada prinsipnya ada tiga jenis, yaitu uji
pembedaan, uji deskripsi, dan uji afeksi. Uji afeksi adalah metode yang digunakan
untuk mengukur subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat
organoleptik. Tujuan uji afeksi untuk mengetahui tingkat penerimaan atau
kesukaan terhadap produk yang sudah ada atau produk baru. Uji hedonik adalah
salah satu uji kesukaan. Dalam uji ini panelis diminta untuk mengemukakan
tingkat kesukaannya terhadap suatu produk secara langsung. Uji ini dapat
diaplikasi pada pengembangan suatu produk atau pembandingan suatu produk
(Setyaningsih et al. 2010).
Di Indonesia, proses pengolahan bahan pangan sangat bervariasi, baik
diolah secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional, pengolahan
daging didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun
temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan,
pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah
dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan
pangan yang diolah supaya diterima konsumen (Soewarno 1981).
Paniki adalah salah satu produk pangan dengan bahan dasar daging
kelelawar yang merupakan pangan eksotik masyarakat di Sulawesi Utara, yang
diolah rica-rica dan santan kari, dan bisa diperoleh di rumah-rumah makan
116
tradisional, restoran atau pada upacara keagamaan, dan ucapan syukur di setiap
keluarga. Bahkan paniki sudah dikirim ke luar daerah sampai mancanegara karena
permintaan secara personal. Walaupun belum ada data ilmiah yang menyatakan
seberapa besar tingkat kesukaan masyarakat di Manado dan Minahasa terhadap
daging paniki olahan, jika dibandingkan dengan daging olahan yang lainnya,
maka daging paniki merupakan salah satu daging favorit yang disukai. Untuk
membuktikan tingkat kesukaan masyarakat pada daging paniki olahan, maka telah
dilakukan penelitian terhadap daging paniki yang dimasak dengan cara dikukus,
dimasak kari, dan masak rica-rica, dan dibandingkan dengan daging sapi, ayam,
dan ikan cakalang. Dipilihnya daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
sebagai pembanding karena daging sapi dan ayam bisa dikonsumsi untuk semua
kalangan, sedangkan ikan cakalang merupakan menu yang hampir tiap hari
tersedia dan sudah dikenal masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap daging kelelawar dibandingkan
dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Uji organoleptik dilakukan pada Agustus 2011 di Laboratorium Teknologi
Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah kelelawar jenis
Pteropus alecto sebanyak 5 ekor, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
masing-masing sebanyak 2 kg, cabe rawit, bawang merah, jahe, sereh, kunyit dan
daun jeruk, mentimun, dan aquades. Peralatan yang digunakan adalah timbangan
digital, dissecting set, food processor, cawan petri, kompor, format uji, alat tulis
menulis, wadah sampel, kapas, dan tisu makan.
Metode Penelitian
Uji Organoleptik Daging
Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan konsumen
terhadap daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, ayam, dan ikan
117
cakalang, untuk melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap daging olahan hasil
dari tiga cara pengolahan, yaitu direbus, dimasak kari, dan dimasak rica.
Kelelawar jenis P. alecto dimatikan dengan cara memotong bagian kepalanya,
darahnya ditiriskan, bulunya dibakar menggunakan kompor gas, lalu kepala,
sayap, rongga pencernaan, dan pernapasan dikeluarkan. Lalu dipotong-potong
berbentuk dadu dan siap untuk dimasak. Daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dari pasar dicuci bersih, lalu dipotong-potong dadu seperti daging
kelelawar. Setiap jenis daging dimasak dengan tiga cara, yaitu dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica, menggunakan bumbu masak cabe rawit, bawang merah,
jahe, sereh, kunyit, dan daun jeruk dengan perbandingan 100 g : 50 g : 25 g : 10 g
: 20 g : 3 g untuk setiap 500 g daging. Bumbu yang digunakan untuk masak rica-
rica sama dengan masak kari hanya pada masak kari ditambahkan kunyit dan
santan kelapa kental sebanyak 100 mL, sedangkan yang dikukus tidak diberi
bumbu. Waktu pemasakan masing-masing selama 20 menit.
Sebelum diuji, masing-masing masakan diberi kode sebanyak tiga huruf
sebagai berikut : kelelawar kukus (KKU), kelelawar masak kari (KKA), dan
kelelawar masak rica (KRI), sapi kukus (SKU), sapi masak kari (SKA), dan sapi
masak rica (SRI), ayam kukus (AKU), ayam masak kari (AKA), dan ayam masak
rica (ARI), serta ikan cakalang kukus (IKU), ikan cakalang masak kari (IKA), dan
ikan cakalang masak rica (IRI). Pengujian organoleptik menggunakan uji hedonik
(Setyaningsih et al 2010). Jumlah panelis yang digunakan adalah 50 orang panelis
tidak terlatih, yaitu mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi
yang terdiri atas pria dan wanita pada kelompok umur yang sama. Daging diolah
dengan cara masak dan pemberian bumbu yang sama, setelah dimasak bahan uji
disajikan secara acak dan dilakukan secara spontan. Skala hedonik yang
digunakan berkisar antara 1 sampai 7. Pengujian dilakukan pada pukul 08.00
sampai 12.00. Sebelum penelis memberikan tanggapan tentang contoh uji pada
format uji, panelis diberikan arahan atau petunjuk tentang apa yang akan mereka
lakukan. Untuk menghindari komunikasi antara panelis, antara panelis satu
dengan lainnya dipisahkan dengan sekat yang dibuat dari karton ukuran 100 cm x
50 cm x 50 cm. Komunikasi hanya terjadi antara panelis dan penyaji. Penyajian
contoh dilegkapi dengan air minum. Setiap kali panelis pindah contoh uji
118
diwajibkan untuk minum agar supaya tidak terjadi bias terhadap atribut penilaian.
Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan menggunakan
format uji seperti di bawah ini.
Form Penilaian Organoleptik Uji Hedonik
Nama panelis :
Tanggal Pengujian :
Bahan uji :
Petunjuk
1. Dihadapan Anda terdapat 12 sampel.
2. Anda dimohon untuk memberi penilaian terhadap masing-masing sampel
berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, kekerasan, dan penerimaan
keseluruhan, dengan angka yang sesuai dengan penilaian sebagaimana
ditunjukkan pada keterangan notasi.
3. Setiap kali anda mencicipi satu sampel, mohon saudara minum air putih, untuk
menetralkan sampel berikutnya.
Kode
Sampel
Tingkat kesukaan yang diuji
Rasa Warna Aroma Keempukan Penerimaan
Keseluruhan
KKU
KKA
KRI
SKU
SKA
SRI
AKU
AKA
ARI
IKU
IKA
IRI
Keterangan notasi : 7 = sangat suka
6 = suka
5 = agak suka
4 = biasa saja
3 = agak tidak suka
2 = tidak suka
1 = sangat tidak suka
Diagram alir proses pengolahan sampai pengujian disajikan pada Gambar
33. Untuk analisis keragaman maka data hedonik diubah menjadi skala numerik.
Untuk membaca skala hedonik maka angka numerik di belakang koma yang lebih
119
besar dari lima harus dibulatkan ke atas, dan angka numerik di belakang koma di
bawah lima harus dibulatkan ke bawah.
-darah ditiriskan,
-sayap, kepala,
rongga pernapasan
dan pencernaan dikeluarkan
-daging dipisahkan
-dibersihkan dengan air
-dibagi tiga bagian
-dipotong dadu
-tanpa bumbu - bumbu kari -bumbu rica
-dimasak 20’ - dimasak 20’ -dimasak 20’
- diberi kode - diberi kode - diberi kode
-dianalisis -dianalisis -dianalisis
- rasa -rasa -rasa
-warna -warna -warna
-aroma -aroma -aroma
-keempukan -keempukan -keempukan
-penerimaan umum -penerimaan umum -penerimaan umum
Gambar 33 Diagram alir pengolahan daging sampai pengujian organoleptik.
Analisis Data
Pengujia organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik (Setyangsih et al.
2010). Data hasil uji hedonik diolah dengan metode Kruskal-Wallis (Gibbons
1975) menggunakan Minitab versi 16. Untuk mengetahui perlakuan mana yang
Kelelawar
hidup
Mati
daging
daging
kukus
daging
masak kari
daging
masak rica
contoh uji contoh uji contoh uji
Daging sapi, ayam
dan ikan cakalang
Data hedonik Data hedonik Data hedonik
120
berbeda dianalisis menggunakan grafik kotak plot (boxplot). Tujuan
menggunakan grafik boxplot adalah melihat median dan sebaran data respons
panelis terhadap contoh uji. Prinsip dari boxplot adalah 50% dari data pengamatan
menyebar dalam kotak (box), dan median adalah 50% respons penilaian panelis
seperti pada nilai median kotak plot. Garis atas dan bawah yang merupakan
perpanjangan dari kotak (whiskers) merupakan nilai yang lebih tinggi atau rendah
dari data dalam kotak. Nilai di luar badan boxplot merupakan nilai outlier, yaitu
data yang letaknya 1.5 kali panjang kotak diukur dari garis atas dan bawah kotak,
dan nilai extrim adalah nilai-nilai yang letaknya lebih dari 3 kali panjang kotak
diukur dari garis atas dan bawah kotak.
Susunan perlakuan uji hedonik adalah sebagai berikut. Perlakuan 1 adalah
daging kelelawar kukus (KKU), perlakuan 2 adalah daging kelelawar masak kari
(KKA), perlakuan 3 adalah daging kelelawar masak rica (KRI), perlakuan 4
adalah daging sapi kukus (SKU), perlakuan 5 adalah daging sapi masak kari
(SKA), perlakuan 6 adalah daging sapi masak rica (SRI), perlakuan 7 adalah
daging ayam kukus (AKU), perlakuan 8 adalah daging ayam masak kari (AKA),
perlakuan 9 adalah daging ayam masak rica (ARI), perlakuan 10 adalah ikan
cakalang kukus (IKU), Perlakuan 11 adalah ikan cakalang masak kari (IKA), dan
perlakuan 12 adalah ikan cakalang masak rica (IRI).
121
Hasil dan Pembahasan
Uji Hedonik Terhadap Rasa Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam,
dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Indera manusia adalah instrumen yang digunakan dalam analisis sensori,
yang terdiri atas indera pencicipan, penglihatan, penciuman, dan perabaan. Proses
penginderaan dimulai dari rangsangan suatu benda pada indera manusia, dan akan
diteruskan oleh sel-sel saraf ke otak, dan otak akan menginterpretasikan
rangsangan yang masuk menjadi persepsi, kemudian respons akan diformulasikan
berdasarkan persepsi manusia.
Data uji hedonik respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis
terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 16.
Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa
daging Kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica
Jenis Daging Olahan Rataan Standar Deviasi Median
Kelelawar kukus
Kelelawar kari
Kelelawar rica-rica
Sapi kukus
Sapi kari
Sapi rica-rica
Ayam kukus
Ayam kari
Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus
Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica
2.10
5.90
5.94
2.75
5.67
5.69
3.82
6.14
6.18
2.98
5.82
6.12
1.06
0.76
0.79
1.67
1.07
0.95
1.88
0.66
0.82
1.49
0.95
0.84
2
6
6
2
6
6
4
6
6
3
6
6
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 16) menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh nyata (P˂0.05) pada rasa daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini
menggambarkan respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi,
122
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-
rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap rasa
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 34. Respons penerimaan panelis
terhadap rasa daging kelelawar kukus tidak disukai (2.10), dan daging sapi kukus
hampir sama dengan ikan cakalang kukus, yaitu agak tidak disukai (2.75 dan
2.98), sedangkan daging ayam kukus, panelis menyatakan biasa saja (4). Namun,
nilai median untuk daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus adalah 2,
daging ayam kukus 4, dan ikan cakalang kukus 3. Hal ini memberikan gambaran
bahwa panelis cenderung lebih menyukai daging ayam kukus diikuti ikan
cakalang kukus, walaupun masih dalam taraf agak menyukai dan biasa saja,
dibandingkan dengan daging kelelawar dan daging sapi kukus.
Gambar 34 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap rasa
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica.
Respons pemerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kari hampir
sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu
disukai (5.82-6.14), dengan nilai median masing-masing adalah 6. Demikian juga
respons penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar rica-rica (5.94)
hampir sama dengan daging sapi rica-rica (5.69), ayam rica-rica (6.18), dan ikan
cakalang rica-rica (6.12), dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis cenderung menyukai daging kelelawar kari
dan daging kelelawar rica-rica sama dengan daging sapi kari dan daging sapi rica-
IRIIKAIKUARIAKAAKUSRISKASKUKRIKKAKKU
7
6
5
4
3
2
1
Jenis Daging Olahan
Skal
a H
edon
ik
2
6 6 66
2
6 6
4
6 6
3
Nilai Median Rasa
123
rica, daging ayam kari dan daging ayam rica-rica, juga ikan cakalang kari dan ikan
cakalang rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk daging kelelawar kukus dimulai
dari 1 hingga 4, sedangkan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan
cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging
kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 3 ke 4 yang menggambarkan tingkat
penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kukus hanya sampai ke arah
biasa saja, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari daging sapi kukus ke
arah atas mulai dari skala hedonik 4 hingga 7 yang menggambarkan tingkat
penerimaan panelis terhadap rasa daging sapi kukus sampai ke arah sangat
menyukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging ayam kukus dan ikan
cakalang kukus ke arah bawah mulai dari skala 2 ke 1, dan ke arah atas mulai dari
skala 6 ke 7 untuk daging ayam kukus, dari skala 4 hingga 7 untuk ikan cakalang
kukus, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap rasa daging ayam
kukus dan ikan cakalang kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak
menyukai sampai sangat menyukai.
Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar kari dan daging ayam
kari dimulai dari 5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk daging
kelelawar kari ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 yang menggambarkan tingkat
penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kari ke arah sangat menyukai,
sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot pada daging ayam kari ke arah
bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap
daging ayam kari mengarah ke biasa saja sampai sangat disukai. Rentang
penyebaran skala hedonik daging sapi kari dan ikan cakalang kari dimulai dari 4
hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala
hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai
dari skala hedonik 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap rasa
daging sapi kari dan ikan cakalang kari sama, yaitu ke arah biasa saja sampai
sangat menyukai. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar rica-rica
sama dengan ikan cakalang rica-rica dimulai dari skala 5 hingga 7, tanpa ada garis
perpanjangan kotak boxplot, yang menggambarkan 50% respons panelis
mengarah ke sangat menyukai kelelawar rica-rica dan ikan cakalang rica-rica.
124
Rentang penyebaran skala hedonik daging sapi rica dimulai dari skala 4
hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala
hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai
dari skala hedonik 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap rasa
daging sapi rica-rica ke arah biasa saja sampai sangat menyukai, dan rentang
penyebaran skala daging ayam rica-rica dimulai dari 5 hingga 7, sedangkan garis
perpanjangan kotak boxplot pada daging ayam rica-rica k earah bawah mulai dari
6 ke 5 yang menggambarkan respons panelis terhadap daging ayam rica-rica dari
agak suka ke sangat menyukai.
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 11 serta pola
penyebaran data hedonik pada Gambar 34 dapat dinyatakan bahwa penelis
menyukai rasa daging kelelawar, baik yang dimasak kari dan rica-rica sama
dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-
rica, sedangkan daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus cenderung disukai,
dan daging kelelawar kukus serta daging sapi kukus dinyatakan tidak disukai.
Rasa daging yang disukai adalah rasa daging yang diberi bumbu masak. Hal ini
disebabkan cara masak daging di Manado yang menggunakan bumbu-bumbu
masak, terutama bumbu kari dan rica-rica sehingga penelis terbiasa
mengkonsumsi daging yang diolah menggunakan bumbu masak rica-rica dan kari
yang pedas. Akibatnya, indera pencicipan peka terhadap sensasi rasa pedas.
Setyaningsih et al. ( 2010) menyatakan bahwa kepekaan terhadap rasa bervariasi
bergantung pada substansi yang diuji, yaitu pada permukaan lidah terdapat sel-sel
yang peka terhadap lima rasa dasar dengan urutan kepekaan, yaitu lidah ujung
depan peka terhadap manis, tengah depan terhadap rasa asin, tengah belakang
asam, pangkal lidah pahit, dan selain rasa dasar terdapat sensasi rasa yang
dihasilkan oleh saraf trigeminal yang terletak di rongga mulut dan hidung, seperti
rasa pedas, rasa dingin, dan rasa terbakar. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam
proses pengolahan daging memberikan sensasi rasa pedas, gurih, dan enak.
Uji Hedonik Terhadap Warna Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging
Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Bagi konsumen, salah satu hal yang penting dalam penilaian produk
makanan adalah warna produk, dan konsumen akan memilih makanan sesuai
125
dengan selera yang dilihatnya secara visual. Data uji hedonik respons panelis
terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran
17. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap warna daging kelelawar,
daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 18. Rataan, standar deviasi, dan
median respons penelis terhadap rasa disajikan pada Tabel 12.
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 18) menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh nyata (P˂0.05) terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini
menggambarkan respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-
rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Tabel 12 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap warna
daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica
Jenis Daging Olahan Rataan Standar deviasi Median
Kelelawar kukus
Kelelawar kari
Kelelawar rica-rica
Sapi kukus
Sapi kari
Sapi rica-rica
Ayam kukus
Ayam kari
Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus
Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica
4.14
5.58
5.52
4.38
5.72
5.50
4.58
5.84
5.72
4.50
5.64
5.26
1.51
0.81
0.81
1.32
0.88
0.91
1.58
1.18
1.01
1.59
0.98
1.35
5
6
5
5
6
5
5
6
6
5
6
6
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap warna
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 35. Respons penerimaan panelis
terhadap warna daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus,
dan ikan cakalang kukus hampir sama, yaitu biasa saja, dengan rataan masing
masing adalah 4.14, 4.38, 4.58,4.50, dan nilai median masing-masing adalah 5.
Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung menyukai warna daging
126
kelelawar kukus sama dengan warna sapi kukus, ayam kukus, dan ikan cakalang
kukus
Respons pemerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar kari hampir
sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu
disukai, dengan rataan masing masing adalah 5.58, 5.72, 5.84, 5.64, dan nilai
median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis
menyukai warna daging kelelawar kukus sama dengan warna daging sapi kukus,
daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus
Respons penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar rica-rica
hampir sama dengan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan
cakalang rica-rica dengan rataan masing masing adalah 5.58, 5.72, 5.84, dan 5.64,
namun nilai median daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-rica adalah 5,
sedangkan daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis lebih menyukai daging ayam rica-rica dan
ikan cakalang rica-rica daripada daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-
rica.
Gambar 35 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap warna
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk daging kelelawar kukus, daging
sapi kukus, dan daging ayam kukus dimulai dari 2 hingga 7, dan ikan cakalang
kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar
kukus dan daging sapi kukus ke arah atas mulai dari skala 5 ke 7, namun untuk
IRIIKAIKUARIAKAAKUSRISKASKUKRIKKAKKU
7
6
5
4
3
2
1
Jenis Daging Olahan
Skal
a H
edon
ik 5
6 6 6
5 5
6
5 5
6 6
5
Nilai Median Warna
127
daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus mulai dari 6 ke 7, dan garis
perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan
daging ayam kukus ke arah bawah dari 3 ke 2, namun untuk ikan cakalang kukus
dari 3 ke 1, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap warna daging
kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus
sangat luas dimulai dari arah sangat tidak disukai sampai sangat disukai.
Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar kari, daging sapi kari,
dan ikan cakalang kari dimulai dari 4 hingga 7, dan daging ayam kari dimulai dari
5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk daging kelelawar kari, daging
sapi kari, dan ikan cakalang kari ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis
perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari skala 5 ke 4, namun untuk ikan
cakalang kari terdapat data respons yang terletak di luar badan boxplot, yang
menggambarkan respons panelis terhadap warna daging kelelawar kari, daging
sapi kari, dan ikan cakalang kari mengarah dari biasa saja sampai sangat disukai.
Namun, ada sebagian panelis secara ekstrim agak tidak suka. Rentang penyebaran
skala hedonik daging ayam kari dimulai dari 5 hingga 7, dan garis perpanjangan
kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 6 ke 5, namun terdapat data
respons yang terletak di luar badan boxplot yang merupakan nilai ekstrim. Hal ini
mengambarkan bahwa pada umumnya panelis mempunyai persepsi yang sama
dalam menyatakan respons terhadap kesukaan warna daging ayam kari, dan
sebagian panelis menyatakan tidak menyukai daging ayam kari.
Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar rica-rica sama
dengan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica
dimulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas
mulai dari skala hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke
arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4. Namun, untuk daging kelelawar rica-
rica dan daging sapi rica-rica mempunyai nilai median 5, sedangkan daging ayam
rica-rica mempunyai nilai median 6. Hal ini menggambarkan bahwa respons
panelis terhadap warna daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging
ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dimulai dari arah biasa saja sampai
sangat disukai, namun sebagian besar panelis menyatakan menyukai warna daging
128
kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-rica, sedangkan untuk daging ayam rica-
rica, dan ikan cakalang rica-rica dinyatakan sangat disukai.
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 12 serta pola
penyebaran data hedonik pada Gambar 35 dapat dinyatakan bahwa penelis lebih
menyukai warna daging kelelawar kari, daging sapi kari, daging ayam kari, ikan
cakalang kari, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica daripada daging
kelelawar kukus, daging kelelawar rica-rica, daging sapi kukus, daging sapi rica-
rica, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Warna daging yang lebih
disukai adalah warna yang kelihatan cerah, sedangkan yang tidak disukai adalah
warnanya kelihatan agak gelap. Hal ini disebabkan karena pengaruh jenis daging,
yaitu daging kelelawar, daging sapi, dan ikan cakalang, warnanya agak gelap
dibanding daging ayam yang berwarna putih. Aberlle et al. (2001), Lawrie (2003)
menyatakan bahwa warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi faktor
penentunya adalah kandungan mioglobin daging, yaitu kandungan mioglobin
bergantung pada spesies, umur, jenis daging dan aktivitas fisik. Selain jenis
daging, pemberian bumbu masak juga mempengaruhi penampilan warna daging,
yaitu daging yang dimasak kari warnanya lebih cerah, sedangkan yang diberi
bumbu rica-rica warnanya gelap. Lebih cerahnya warna daging yang dimasak kari
karena daging yang dimasak rica-rica tidak diberikan kunyit, sedangkan daging
yang dimasak kari diberikan kunyit, sehingga warna kunyit menyebarkan ke
seluruh permukaan daging yang dimasak kari. Desroiser (1988) menyatakan
bahwa atribut warna pada umumnya dianggap suatu sifat dari benda, dan benda
akan berwarna jika memantulkan dan menyebarkan energi yang dapat dilihat.
Uji Hedonik Terhadap Aroma Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging
Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Aroma adalah suatu atribut sensori yang dapat dideteksi dengan indera
penciuman, yaitu hidung, dan merupakan sifat mutu yang penting dalam penilaian
bahan pangan. Data uji hedonik respons panelis terhadap aroma daging kelelawar,
daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 19. Hasil uji Kruskal-Wallis
respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan
ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat
129
pada Lampiran 20. Rataan, standar deviasi dan median respons penerimaan
penelis terhadap aroma disajikan pada Tabel 13.
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 20) menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh nyata (P˂0.05) terhadap aroma daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal
ini menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di masak
rica-rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Tabel 13 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap aroma
daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica
Jenis Daging Olahan Rataan Standar Deviasi Median
Kelelawar kukus
Kelelawar kari
Kelelawar rica-rica
Sapi kukus
Sapi kari
Sapi rica-rica
Ayam kukus
Ayam kari
Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus
Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica
2.54
5.78
5.65
2.72
5.50
5.61
3.09
5.87
6.04
3.09
5.70
5.87
1.28
0.85
0.64
1.15
1.15
0.91
1.49
0.93
0.67
1.36
1.11
0.81
2
6
6
2
6
6
3
6
6
3
6
6
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap warna
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan rica-rica, disajikan pada Gambar 36. Respons penerimaan panelis
terhadap aroma daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus berkisar antara
2.54 hingga 2.72, yaitu tidak suka hingga agak tidak suka, dengan nilai median 2,
dan daging ayam kukus serta ikan cakalang kukus 3.09, yaitu agak tidak disukai,
dengan nilai median 3. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung
tidak menyukai aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam
kukus, dan ikan cakalang kukus.
Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar kari, daging
sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar antara antara 5.54 hingga
5.87, yaitu agak suka dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis menyukai aroma daging kelelawar kari,
130
sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari. Respons
penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-
rica, ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.61 hingga 6.04,
dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran
bahwa panelis menyukai aroma daging kelelawar kari sama dengan sapi kari, dan
sapi rica-rica, ayam kari dan ayam rica-rica, juga ikan cakalang kari.
Gambar 36 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap aroma
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk aroma daging kelelawar kukus
dimulai dari 1 hingga 4, daging sapi kukus 1 hingga 6, ayam kukus, dan ikan
cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari kelelawar
kukus ke arah atas mulai dari skala 3 hingga 4, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap aroma daging kelelawar kukus mulai dari sangat tidak suka
sampai ke arah biasa saja, walaupun ada data respons panelis di luar badan
boxplot yang menyatakan agak suka dengan aroma daging kelelawar kukus,
kecenderungan itu sangat kecil. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus
ke arah atas mulai dari skala hedonik 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap aroma daging sapi kukus mulai dari sangat tidak menyukai ke
arah sangat menyukai, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam
kukus dan ikan kukus ke arah bawah mulai dari skala 2 ke 1, dan ke arah atas
mulai dari skala 6 ke 7 yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap
IRIIKAIKUARIAKAAKUSRISKASKUKRIKKAKKU
7
6
5
4
3
2
1
Jenis Daging Olahan
Skal
a H
edon
ik
2
6 6 66
2
6 6
3
6 6
3
Nilai Median Aroma
131
aroma daging ayam kukus dan ikan kukus sangat luas dimulai dari arah sangat
tidak menyukai hingga sangat menyukai. Berdasakan pada distribusi data pada
Gambar 36, dapat dikatakan bahwa aroma daging kelelawar kukus cenderung
kurang disukai dibanding dengan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan
cakalang kukus. Adanya kecenderungan daging kelelawar kukus kurang disukai
karena kelelawar memiliki kelenjar pada bagian leher yang mengeluarkan aroma
khas yang tidak disukai, dan aroma tersebut terakumulasi dengan daging.
Rentang penyebaran skala hedonik aroma daging kelelawar kari sama
dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu berkisar
dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 6
ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4
yang menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar kari sama
dengan aroma daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu
mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data panelis di
luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai aroma daging sapi kari,
daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, gambaran tersebut hanya sebagian kecil
dari jumlah panelis.
Rentang penyebaran skala hedonik aroma daging kelelawar rica-rica sama
dengan aroma daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang kari berkisar dari 4 hingga
7, sedangkan daging ayam rica-rica tidak membentuk boxplot karena data respons
panelis tidak menyebar, namun berkumpul pada median 6, walaupun ada data
yang di luar median yang menyebar dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak
boxplot untuk aroma daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, dan ikan
cakalang rica-rica ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan
kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan
respons panelis terhadap aroma daging kelelawar rica-rica sama dengan aroma
daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica, yaitu mulai dari arah biasa saja
sampai sangat disukai, walaupun ada data panelis di luar badan boxplot yang
menyatakan kurang menyukai aroma daging sapi rica-rica. Aroma daging ayam
rica-rica cenderung sangat disukai, walaupun terdapat data panelis yang jauh dari
respons panelis umumnya yang menyatakan kurang menyukai aroma daging ayam
rica-rica.
132
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 13 serta pola
penyebaran data hedonik pada Gambar 36 dapat dinyatakan bahwa aroma daging
kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus
kurang disukai, sedangkan aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam
dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica disukai. Kurang disukainya
aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan
daging ikan cakalang kukus karena panelis tidak terbiasa mengkonsumsi daging
dan ikan cakalang yang hanya di kukus. Dengan demikian, pada waktu disajikan,
sensasi tidak menyukai yang diterima oleh sel-sel saraf dari indera penciuman
diteruskan ke otak, dan otak akan menginterpretasikan respons yang masuk
menjadi persepsi tidak menyukai. Winarno (2005) menyatakan bahwa aroma
makan banyak menentukan kelezatan bahan makanan. Zaika et al (1978)
menyatakan bahwa aroma dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan ke
dalam adonan, makin banyak bumbu maka aroma makin tajam.
Uji Hedonik Terhadap Keempukan Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging
Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Rataan, standar deviasi dan median respons penerimaan penelis terhadap
keempukan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap
keempukan daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan masak rica-rica
Jenis Daging Olahan Rataan Standar deviasi Median
Kelelawar kukus
Kelelawar kari
Kelelawar rica-rica
Sapi kukus
Sapi kari
Sapi rica-rica
Ayam kukus
Ayam kari
Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus
Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica
4.88
5.80
5.86
4.72
5.76
5.62
5.28
5.84
6.08
5.08
5.86
5.94
1.51
0.76
0.78
1.46
0.85
0.90
1.20
0.84
0.78
1.44
0.83
0.82
5
6
6
5
6
6
6
6
6
5
6
6
Data uji hedonik respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar,
daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil uji Kruskal-Wallis
133
respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam,
dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat
pada Lampiran 22. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 22) menunjukkan bahwa
perlakuan berpengaruh nyata (P˂0.05) pada keempukan daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal
ini menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar,
daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-
rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap
keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 37. Respons
penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kukus dan daging sapi
kukus berkisar antara 4.72 sampai 5.28, yaitu biasa saja hingga agak suka, dengan
nilai median 5 untuk daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan ikan
cakalang kukus, sedangkan nilai median ayam kukus adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa keempukan daging kelelawar kukus cenderung
disukai penelis sama dengan keempukan daging sapi kukus, dan ikan cakalang
kukus, namun panelis lebih menyukai keempukan daging ayam kukus.
Gambar 37 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap
keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica.
IRIIKAIKUARIAKAAKUSRISKASKUKRIKKAKKU
7
6
5
4
3
2
1
Jenis daging Olahan
Skal
a H
edon
ik 5
6 6 66
5
6 6 6 6 6
5
Nilai Median Keempukan
134
Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kari,
daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar antara 5.76 hingga
5.86, yaitu agak suka, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis menyukai keempukan daging kelelawar
kari, sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari.
Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar rica-rica,
daging sapi rica-rica, ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara
5.94 hingga 6.08, yaitu agak suka hingga suka, dengan nilai median masing-
masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai
keempukan daging kelelawar kari sama dengan keempukan daging sapi rica-rica,
ayam rica-rica, juga ikan cakalang rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk keempukan daging kelelawar
kukus dimulai dari 1 hingga 7, daging sapi kukus 2 hingga 7, ayam kukus dan
ikan cakalang kukus dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari
kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari 4 hingga 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap keempukan daging kelelawar kukus dari sangat tidak suka hingga
sangat disukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus ke arah atas
mulai dari skala hedonik 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah
bawah dari 4 ke 2 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap
aroma daging sapi kukus mulai dari tidak menyukai ke arah sangat disukai. Garis
perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus dan ikan kukus ke arah bawah
adalah sama mulai dari skala 5 ke 4, dan ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, serta
terdapat data respons panelis di luar badan boxplot, namun nilai median dari
daging ayam kukus 6, sedangkan ikan cakalang kukus hanya 5, yang
menggambarkan bahwa respons panelis terhadap keempukan daging ayam kukus
lebih disukai dibandingkan dengan keempukan ikan cakalang kukus.
Rentang penyebaran skala hedonik keempukan daging kelelawar kari sama
dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu berkisar
dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 6
ke 7 untuk daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan daging ayam kari, namun
untuk ikan cakalang kari tidak terdapat perpanjang garis ke arah atas, dan garis
135
perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang
menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar kari sama
dengan keempukan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari,
yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data
panelis di luar badan bloxplot yang merupakan gambaran sebagian kecil panelis
yang menyatakan kurang menyukai keempukan daging ayam kari.
Rentang penyebaran skala hedonik keempukan daging kelelawar rica-rica
sama dengan keempukan daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica
berkisar dari 4 hingga 7, sedangkan daging ayam rica-rica berkisar dari 5 hingga
7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas untuk keempukan daging
kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang
rica-rica mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah
bawah mulai dari skala 5 ke 4 untuk daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-
rica, dan ikan rica-rica, sedangkan daging ayam rica-rica dari 6 ke 5, yang
menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar rica sama
dengan keempukan daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica, yaitu mulai
dari arah biasa saja sampai sangat disukai, sedangkan daging ayam rica-rica
dimulai dari agak suka hingga sangat menyukai, walaupun ada data panelis di luar
badan boxplot yang menyatakan kurang menyukai keempukan daging sapi rica-
rica dan ayam rica-rica.
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 14 serta pola
penyebaran data hedonik pada Gambar 37 dapat dinyatakan bahwa keempukan
daging kelelawar dikukus sama dengan keempukan daging sapi kukus dan ikan
cakalang kukus, yaitu cenderung disukai, sedangkan keempukan daging kelelawar
kari dan rica-rica sama dengan daging keempukan daging sapi kari, daging sapi
rica-rica, daging ayam kukus, daging ayam kari, daging ayam rica-rica, dan ikan
cakalang kari, serta ikan cakalang rica-rica.
Uji Hedonik Terhadap Penerimaan Umum Daging Kelelawar, Daging Sapi,
Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Data uji hedonik respons panelis terhadap penerimaan umum daging
kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak
kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 23. Hasil uji Kruskal-
136
Wallis respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-
rica dapat dilihat pada Lampiran 24. Rataan, standar deviasi, dan median respons
penerimaan panelis terhadap penerimaan umum disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap
penerimaan umum daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang
yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica
Jenis Daging Olahan Rataan Standar Deviasi Median
Kelelawar kukus
Kelelawar kari
Kelelawar rica-rica
Sapi kukus
Sapi kari
Sapi rica-rica
Ayam kukus
Ayam kari
Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus
Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica
3.10
5.94
6.06
3.39
5.76
5.96
4.18
5.92
6.28
4.10
6.00
6.20
1.79
0.74
0.77
1.65
0.96
0.83
1.81
0.80
0.64
1.62
0.78
0.78
2
6
6
3
6
6
4
6
6
4
6
6
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 24) menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh nyata (P˂0.05) pada penerimaan umum daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal
ini menggambarkan respons panelis terhadap penerimaan umum daging
kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari,
dan rica-rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap
penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 38.
Respons pemerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging kelelawar
kukus adalah 3.10, dengan nilai median 2, yaitu tidak suka, daging sapi kukus
berkisar 3.39 dengan nilai median 3, yaitu agak tidak suka, dan daging ayam
kukus 4.18, dengan nilai median 4, yaitu biasa saja. Hal ini memberikan gambaran
bahwa panelis cenderung tidak menyukai penampakan keseluruhan dari daging
kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang
kukus.
137
Respons penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging
kelelawar kari, daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar 5.76
hingga 6, dengan nilai median masing-masing adalah 6, yaitu suka. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis menyukai penampakan keseluruhan daging
kelelawar kari, sama dengan penampakan keseluruhan daging sapi kari, daging
ayam kari, dan ikan cakalang kari.
Gambar 38 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap
penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan
ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica.
Respons penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging
kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan
cakalang rica-rica berkisar antara 5.92 hingga 6.20, dengan nilai median masing-
masing adalah 6, yaitu suka. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis
menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica sama dengan
penampakan keseluruhan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, juga ikan
cakalang rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk penerimaan umum daging
kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 7 sama dengan daging sapi kukus, daging
ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Garis perpanjangan kotak boxplot dari
kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan
kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap penampakan umum daging kelelawar kukus mulai dari sangat
IRIIKAIKUARIAKAAKUSRISKASKUKRIKKAKKU
7
6
5
4
3
2
1
Jenis Daging Olahan
Skal
a H
edon
ik
2
6 6 66
3
6 6
4
6 6
4
Nilai Median Penerimaan Umum
138
tidak suka hingga sangat suka. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus
ke arah atas mulai dari skala hedonik 5 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap penampakan umum daging sapi kukus sama dengan daging
kelelawar kukus, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus ke
arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot dari ke
arah bawah mulai dari skala 3 ke 1, yang menggambarkan bahwa respons panelis
terhadap penampakan keseluruhan daging ayam kukus sama dengan penampakan
keseluruhan daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus. Demikian juga
dengan ikan cakalang kukus, yaitu garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas
mulai dari skala 5 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah
mulai dari skala 3 ke 1.
Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging kelelawar
kari sama dengan daging sapi kari dan daging ayam kari yang berkisar dari 4
hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 5
hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5
ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap penerimaan umum daging
kelelawar kari sama dengan penerimaan umum daging sapi kari dan daging ayam
kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat
data panelis di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai
penerimaan umum daging sapi kari. Gambaran tersebut hanya sebagian kecil dari
jumlah panelis. Penyebaran skala hedonik penerimaan umum ikan cakalang kari
berkisar 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan
garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 6 ke 5 yang
menggambarkan panelis cenderung sangat menyukai penampakan keseluruhan
ikan cakalang kari, walaupun sama dengan daging sapi kari, terdapat data panelis
di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai penampakan
keseluruhan daging sapi kari.
Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging kelelawar
rica-rica, yaitu mulai dari 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan ke arah atas
dan ke arah bawah yang menggambarkan kecenderungan panelis sangat menyukai
penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica. Rentang penyebaran skala
139
hedonik penerimaan umum daging sapi rica-rica berkisar dari 4 hingga 7, tanpa
ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan panelis menyukai
biasa saja hingga sangat menyukai penampakan keseluruhan sapi rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging ayam rica-rica dan
ikan cakalang rica-rica adalah sama, yaitu mulai dari 5 hingga 7, tanpa ada garis
perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke
arah bawah mulai dari skala 6 ke 5 yang menggambarkan respons panelis
terhadap penampakan keseluruhan daging ayam rica dan cakalang rica-rica mulai
dari arah agak suka sampai sangat sukai, walaupun ada data panelis di luar badan
boxplot yang menyatakan kurang menyukai penampakan keseluruhan daging
ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica.
Berdasarkan nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 15 serta pola
penyebaran data hedonik pada Gambar 38 dapat dinyatakan bahwa panelis tidak
menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar kukus, sapi kukus agak
tidak disukai, ayam kukus dan ikan cakalang kukus biasa saja, sedangkan
penampakan keseluruhan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dimasak kari dan rica-rica disukai.
Simpulan
Berdasarkan uji hedonik terhadap atribut rasa, warna, aroma, keempukan,
dan penerimaan umum maka disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap
daging kelelawar sama dengan kesukaan panelis terhadap daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang. Dilihat dari cara pengolahan maka penelis menyukai
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak
kari dan masak rica-rica, sedangkan yang dikukus tidak disukai.
140
Daftar Pustaka
Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science.
Ed Ke-4. USA: Kendal/Hunt Pulishing Co.
Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press.
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri
Pangan dan Agro. Bogor : IPB press.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Soewarno S. 1981. Penilaian organoleptik untuk industri pangan dan hasil
pertanian. Pusat teknologi pangan (Pusbangtepa). IPB. Bogor.
Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan
dari : Meat Science.
Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL, 1978. Effect of spice and salt on
fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189.
KAJIAN MIKROB DAGING KELELAWAR SEBAGAI BAHAN
PANGAN TRADISIONAL
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kajian Mikrob Daging Kelelawar sebagai
Bahan Pangan Tradisional. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kandungan mikrob daging
kelelawar yang dimasak secara tradisional berupa kari dan rica-rica, yang
disimpan dalam lemari es selama 14 hari. Penelitian dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama menggunakan daging dari tiga jenis kelelawar, yaitu kalong
sulawesi (Acerodon celebensis), kalong hitam (Pteropus alecto), dan nyap biasa
(Rousettus aplexicaudatus) yang dimasak rica-rica dan kari, setelah 14 hari
disimpan dalam lemari es. Tahap kedua menggunakan satu jenis daging kelelawar
yaitu, Pteropus alecto yang dimasak rica-rica dan kari beberapa jam setelah
disembelih. Hasil analisis dari daging olahan penelitian tahap pertama
menunjukkan bahwa total mikrob, Staphylococcus aureus, Eschericia coli,
coliform, dan Salmonella sp dari daging tiga jenis kelelawar yang dimasak rica-
rica dan kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang ditetapkan
Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk pangan asal hewan. Hasil analisis
pada tahap kedua menunjukkan bahwa daging kelelawar yang dimasak rica-rica
dan disimpan selama 14 hari dalam lemari es mengandung total mikrob 3.1 x 104-
6.0 x 104
cfu/mL, Staphylococcus aureus 7.7 x 101
– 7.6 x 103
cfu/mL, sedangkan
Eschericia coli dan Salmonella sp adalah negatif. Daging kelelawar yang dimasak
kari mengandung total mikrob 6.8 x 105-9.7 x 10
5 cfu/mL, Staphylococcus aureus
4.3 x 101-1 x 10
4 cfu/mL, Eschericia < 3/ mL, dan Salmonella sp adalah negatif.
Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa daging kelelawar rica-rica dan
kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan
hingga hari ke-14 layak dikonsumsi. Sementara rica-rica dan kari yang berasal
dari daging tiga jenis kelelawar yang sudah dibekukan 14 hari sebelum dimasak
mengandung mikrob yang melebihi batas maksimum, sehingga proses pengolahan
ini sesuai BSN tidak direkomendasikan.
Kata kunci : daging kelelawar, kari, rica-rica, mikrob.
142
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Microbial Study on Meat of Fruit Bats as
a Traditional Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
This study was designed to assess the microbial characteristics of bats
meats which were cooked as kari and rica-rica, and were stored up to 14 days.
The study was divided into two stages. The first stage used three types of bat meat
that were cooked as rica-rica and kari 14 days after being stored in the
refrigerator. The second stage used meat of a species of bat that was cooked as
rica-rica and kari a few hours after slaughtering. The result of the meat analysis at
the 1st experiment showd that the total count of microbials i.e ; Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, coliform, and Salmonella sp from three species of bats
that were cooked rica-rica and kari were above the maximum limit of microbial
contaminant occording to BSN 2009. The analyses showed that bat meat cooked
as rica-rica and stored up to 14 days contained total microbial count of 3.1 x 104 –
6.0 x 104 cfu/mL, Staphylococcus aureus 7.7 x 10
1-7.6 x 10
3 cfu / mL,
Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of bat
meat cooked as kari was 6.8 x 105-9.7 x 10
5 cfu/mL, Staphylococcus aureus was
4.3 x 101-1 x 10
4 cfu /mL, Escherichia coli<3/mL, and Salmonella sp was
negative. Based on the result obtained, it was concluded that the bat meat cooked
as rica-rica and kari which were cooked in a few hours after cutting and stored
until 14 days were suitable for human consumption.
Keywords: bat meat, kari, rica-rica, microbial count.
143
Pendahuluan
Daging sebagai bahan pangan rentan terhadap mikroorganisme karena
tinggi kandungan gizinya, dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme sehingga mudah rusak (Rao et al. 2009, Ukut et
al. 2010). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa kelelawar
yang disebut paniki adalah salah satu satwa yang diolah sebagai bahan pangan
sumber daging oleh masyarakat di Sulawesi Utara, bahkan dikirim ke luar daerah
sesuai permintaan untuk acara-acara tertentu. Kelelawar yang dikonsumsi adalah
kelelawar pemakan buah, yaitu jenis P. alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus,
dan Toopterus sp. Secara umum, daging kelelawar yang dijual di pasar-pasar
tradisional dan swalayan di Minahasa dan Manado adalah jenis P. alecto yang
berasal dari daerah Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Jenis ini
mempunyai bobot badan sekitar 250-1000 g, dan sebagian besar dipasarkan dalam
keadaan sudah dibakar atau dalam keadaan beku. Berdasarkan daftar
Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources, jenis-
jenis ini masuk kategori least concern, artinya jenis-jenis kelelawar tersebut di
atas masih dalam status aman dan belum terancam punah.
Trasportasi daging kelelawar beku dari tempat penangkapan ke tempat
penjualan membuat jalur pemasaran cukup panjang sehingga mengalami
penyimpanan cukup lama, dan mempunyai risiko terhadap keamanan daging,
karena kemungkinan untuk tercemar mikroorganisme cukup tinggi. Tercemarnya
daging oleh mikroorganisme memungkinkan daging tidak aman untuk dikonsumsi
karena menyebabkan penyakit saluran pencernaan, seperti muntah-muntah, diare,
nyeri perut, dan sakit kepala (Clarence et al. 2009, Ukut et al. 2010). Walaupun
sampai saat ini tidak ada kasus penyakit yang dilaporkan akibat mengkonsumsi
daging kelelawar olahan, perlu diamati, mengingat daging kelelawar olahan
merupakan pangan khas di Minahasa dan Manado. Beberapa parameter uji
cemaran mikrob dalam daging segar dan olahan meliputi Total Plate Count
(TPC), Eschericia coli, Coliform, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp
(BSN 2008). Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan
rempah-rempah menjadikan daging kelelawar aman dikonsumsi, karena rempah-
rempah dapat berkhasiat sebagai antibakteri (Shelef 1983, Zaika 1988, Jenie et al.
144
1992, Fardiaz et al. 1998, Rahayu 2000). Namun, adanya permintaan daging
kelelawar olahan dari luar daerah menyebabkan timbul upaya untuk meningkatkan
daya simpan daging olahan melalui proses pendinginan dan penyimpanan.
Pendinginan dan penyimpanan yang tidak benar dapat menyebabkan bahaya
secara mikrobiologis (Khalafalla et al. 1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010).
Adanya bahaya tersebut perlu dikaji lebih lanjut secara ilmiah.
Berdasarkan cara pengolahan, dikenal dua jenis pangan yang berasal dari
daging kelelawar, yaitu kelelawar rica-rica dan kelelawar kari. Kelelawar rica-rica
terbuat dari daging kelelawar yang dimasak bersama bumbu-bumbu masak
tertentu, yakni cabe rawit, daun bawang, sereh, jahe merah, kunyit, dan daun
jeruk. Kelelawar kari adalah hampir sama dengan kelelawar rica-rica,
perbedaannya adalah dimasak pakai santan kelapa. Berdasarkan pemikiran
tersebut maka dilakukan penelitian yang mengkaji kandungan mikrob dalam
daging kelelawar segar yang dimasak rica-rica dan kari yang disimpan selama 14
hari pada suhu di bawah 5ºC. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi dalam pengembangan produk hewani berbasis pangan lokal.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Uji mikrobiologis dilakukan pada Februari-Maret 2012 di Laboratorium
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Kegiatan penelitian ini dilakukan
selama 3 bulan.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan untuk uji adalah kelelawar jenis Pteropus alecto
yang masih hidup dan beku masing-masing sebanyak 5 ekor, cabe rawit, bawang
merah, jahe, sereh, kunyit dan daun jeruk, mentimun, dan telur bebek. Bahan
kimia yang digunakan adalah aquades, alkohol, kloroform, larutan NaCl fisiologis
85%, potasium telullurit, Buffer Pepton Water (BPW), Plate Count Agar (PCA),
Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA), Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA),
dan Baird Parker Agar (BPA).
Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, dissecting set, food
processor, cool box, vortex, waterbath, oven, autoclave, refrigerator, hockey
145
stick, colony caunter, laminari, inkubator, kamera, cawan petri, tabung reaksi,
botol scott, erlenmeyer, pembakar bunsen, vortex, magnetic stirer, kompor, format
uji, alat tulis menulis, wadah sampel, kapas, dan tissue makan.
Metode Penelitian
Pengujian tahap pertama untuk melihat Total Plate Count (TPC), E. coli,
Coliform, S. aureus, dan Salmonella sp pada tiga jenis daging kelelawar, yaitu P.
alecto, A. celebensis, dan R. amplexicaudatus yang dimasak rica-rica, kari, dan
tanpa pemasakan. Prosedur penyiapan contoh untuk pengujian mikrob adalah
sebagai berikut. Ketiga jenis kelelawar dari Manado yang sudah dipelihara dalam
kandang selama 1 minggu masing-masing sebayak 5 ekor dibius dengan kapas
berkloroform dan disembelih pada bagian kepala, lalu kedua sayapnya
dikeluarkan dan rambutnya dibakar menggunakan kompor gas. Kemudian
dikemas menggunakan steroform dan dibawa ke Laboratorium Bagian
Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB, lalu disimpan selama14 hari dalam
lemari es pada suhu di bawah 5ºC. Sebelum diolah, daging pada bagian dada dari
masing-masing kelelawar dikeluarkan dan dipisahkan menjadi tiga bagian
masing-masing sebanyak 250 g, dan dipotong-potong berbentuk dadu. Satu
bagian tidak dimasak, satu bagian dimasak kari, dan satu bagian lainnya dimasak
rica-rica.
Kelelawar yang dimasak rica-rica dibuat dengan formulasi bumbu yang
terdiri atas 50 g cabe rawit, bawang merah 25 g, daun bawang 25 g, jahe merah 10
g, bawang putih 5 g, serai 5 g, dan daun jeruk 3 g. Cara pengolahannya adalah
semua bumbu ditumis sampai matang kemudian daging kelelawar yang sudah
dipotong dadu dimasukkan ke dalam tumisan dan ditutup sampai matang.
Pemasakan dilakukan selama 30 menit menggunakan kompor. Bumbu yang
digunakan untuk masak kari sama dengan bumbu rica-rica hanya ditambahkan
kunyit 10 g dan santan kelapa kental sebanyak 100 g. Cara pengolahan kelelawar
masak kari adalah semua bumbu ditumis sampai matang kemudian daging
kelelawar yang sudah dipotong dadu dimasukkan ke dalam tumisan bersama
dengan santan kelapa dan dibiarkan sampai kering. Pemasakan dilakukan selama
kurang lebih 40 menit menggunakan kompor. Daging yang tidak dimasak dan
yang diolah kemudian diuji kandungan mikrobnya.
146
Pengujian tahap kedua dilakukan pada daging kelelawar jenis Pteropus
alecto yang tidak disimpan beku. Prosedur penyiapan contoh untuk pengujiannya
adalah sebagai berikut. Kelelawar yang masih hidup sebanyak 5 ekor dari
kandang yang berasal dari Manado, disembelih pada pukul 4.00 pagi, lalu
dikuliti, dan seluruh isi saluran pencernaan dan organ pernapasan dikeluarkan,
lalu dikemas dalam kemasan steroform yang berisi icepack untuk diuji di
Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Setibanya di
laboratorium, daging pada semua bagian karkas dikeluarkan dan dipisah menjadi
tiga bagian masing-masing sebanyak 300 gram, satu bagian dimasak kari, satu
bagian dimasak rica, dan satu bagian tidak dimasak. Lalu, masing-masing bagian
dibagi lagi menjadi dua bagian, dan satu bagian langsung diuji kandungan
mikrobnya, sedangkan satu bagian disimpan dalam lemari es pada suhu di bawah
5 ºC selama 14 hari kemudian diuji kandungan mikrobnya.
Metode pengujian dengan hitungan cawan menggunakan larutan
pengencer Buffered Pepto Water (BPW) dan medium Plate Count Agar (PCA)
untuk menghitung total mikrob, Baird Parker Agar (BPA) untuk total
Staphylococcus aureus, Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA) untuk
Salmonella sp, Violet Red Bile Agar (VRBA) untuk total Coliform, dan Eosyn
Methylen Blue Agar (EMBA) untuk Escherichia coli. Cara pengujian yang
digunakan untuk masing-masing mikrob disajikan sebagai berikut.
Analisis Kuantitatif Total Mikrob (Metode Hitungan Cawan SNI 2008)
Sampel dihancurkan dengan chopper, lalu ditimbang sebanyak 5 g dan
ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 45 mL larutan BPW steril,
dihomogenkan menggunakan vortex, dan larutan ini merupakan pengenceran
pertama (10-1
). Untuk mendapatkan pengenceran 10-2
dibuat dengan mengambil 1
mL dari larutan pengenceran 10-1
dan ditambahkan ke dalam larutan BPW 9 mL,
selanjutnya dibuat pengenceran 10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
. Sebanyak 1 mL suspensi dari
setiap pengenceran 10-4
10-5
10-6
10-7
dimasukkan
ke dalam cawan petri, lalu
ditambahkan 15-20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga temperatur 45 ºC
pada masing-masing cawan yang berisi suspensi. Supaya larutan contoh dan
media PCA tercampur merata, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke
belakang membentuk angka delapan dan didiamkan sampai padat, kemudian
147
diinkubasikan pada temperatur 34ºC-36
ºC selama 24-48 jam dengan meletakkan
cawan pada posisi terbalik. Perhitungan jumlah koloni adalah Jumlah koloni x1/
faktor pengenceran
Analisis kuantitatif E. Coli (Metode Hitungan Cawan APHA 1992)
Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer berisikan 45
mL larutan BPW steril, dihomogenkan, dan didapatkan pengenceran 10-1
,
selanjutnya dibuat sampai pengenceran 10-4
. Masing-masing hasil pengenceran
diambil dengan pipet sebanyak 1 mL sampel dan dituangkan ke dalam cawan petri
steril, kemudian dituangi media EMBA sebanyak 15 mL. Segera setelah
penuangan medium agar, cawan digerakkan dengan gerakan melingkar atau
gerakan seperti angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan diinkubasi pada
suhu 37°C dengan posisi terbalik selama 24-48 jam. Koloni Escherichia coli
berwarna kehijauan jika diletakkan di bawah sinar matahari atau lampu
Analisis Kwantitatif S. Aureus (Metode Hitungan Cawan Sebar BSN 2008)
Sampel 5 g diencerkan dari pengenceran (10-1
) sampai pengenceran (10
-4).
Suspensi dari tiap pengenceran sebanyak 0.1 mL disebarkan di seluruh permukaan
medium BPA yang diberi Egg Yolk tellurit emulsion (5 mL dalam 95 ml media
BPA), dan diratakan dengan hockey stick steril, lalu diinkubasikan pada suhu 35
°C, selama 45-48 jam dengan posisi cawan terbalik. Koloni staphylococcus
aureus pada medium ini berwarna hitam mengkilat dan dikelilingi oleh area
bening
Analisis Pendugaan Salmonella sp (Metode Hitungan Cawan APHA 1992)
Sampel 5 g diencerkan dari pengenceran ( 10-1
) sampai pengenceran
(10-4
). Sebanyak 1 mL suspensi dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke
dalam cawan petri steril, lalu dituangkan 15-20 mL media XLDA. Larutan
suspensi dan media agar dihomogenkan dengan menggerakkan cawan ke depan
dan ke belakang membentuk angka delapan, lalu didiamkan sampai padat dan
diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 24-28 jam dengan posisi cawan terbalik.
Salmonella sp pada medium ini berwarna merah mudah bintik hitam di tengah.
Diagram alir proses penyiapan sampai pengujian sampel dapat dilihat pada
Gambar 39.
148
Tahap 1
Tahap 2
-darah ditiriskan,
-dikemas -sayap, kepala,
-dimasukkan ke dalam cool box rongga pernapasan
-diberi icepack dan pencernaan dikeluarkan
-ditransportasi (±6 jam) -dikuliti
-disimpan, 14 hari,-5ºC
-dibersihkan dengan air
-dikemas
-dimasukkan ke dalam coolbox
-dibagi tiga bagian -diberi icepack
-transportasi ke lab.(±8 jam)
-dibagi tiga bagian
-tanpa bumbu - bumbu kari -bumbu rica
-tidak dimasak - dimasak 20’ -dimasak 20’
-dihaluskan
-dibagi 2bgn
-diambil 5g. -simpan,
-diencerkan (BPW) 14hari,-5ºC
-Inkubasi 24-48jam, -35-37◦C -diambil 5 g,
-diencerkan (BPW)
Gambar 39 Diagram alir analisis mikrob daging segar, masak kari dan rica-rica.
Kelelawar hidup
Mati
Karkas tanpa kulit
Daging tanpa diolah Daging masak kari Daging masak rica
contoh uji, tanpa penyimpanan contoh uji untuk disimpan
kelelawar bakar
dipupuk PCA,
PDA,XLDA,
VRBA,EMBA
Karkas dalam kemasan
Penghitungan mikrobia pada cawan
contoh uji beku
Kelelawar beku
149
Analisis Kualitatif Coliform (Metode Hitungan Cawan, APHA 1992)
Sampel 5 g diencerkan dari pengenceran (10-1
) sampai pengenceran (10
-
4). Sebanyak 1 mL suspensi dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke
dalam cawan petri steril, lalu dituangkan 15-20 mL media VRBA. Larutan
suspensi dan media agar dihomogenkan dengan menggerakkan cawan ke depan
dan ke belakang membentuk angka delapan, lalu didiamkan sampai padat dan
diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 24-28 jam dengan posisi cawan terbalik.
Koloni berwarna ungu muda berbentuk kecil-kecil seperti wijen.
Analisis Data
Metode deskriptif dengan tabel dan narasi akan digunakan untuk
menjelaskan data karakteristik mikrob hasil penelitian.
150
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Mikrob Daging P. alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus
yang Dimasak Rica-rica dan Kari
Pengujian tahap pertama terhadap kandungan mikrob dari tiga jenis daging
kelelawar yang biasa dikonsumsi masyarakat Sulawesi Utara, yaitu P. alecto,
A.celebensis, dan R. amplexicaudatus yang disimpan beku selama 14 hari pada
suhu 5 ºC sebelum dimasak kari dan rica-rica diperoleh hasil Total Plate Count
(TPC), Coliform, E. coli, Salmonella sp, dan S. aureus yang jumlah koloninya
terlalu banyak untuk dihitung (TBUD) yang berarti berada diatas standard plate
count. Hal tersebut melebihi batas maksimum cemaran total mikrob daging segar,
yaitu 1 x 106
cfu/mL, dan daging olahan, yaitu 1 x 102
cfu/mL (BSN 2009).
Tingginya kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan tersebut
diduga karena berasal dari tubuh kelelawar itu sendiri, yaitu melalui alat
pencernaan dan alat pernapasan, karena pada waktu disimpan semua isi perut dan
dada tidak dikeluarkan, juga kontaminasi dengan lingkungan selama proses
pengolahan. Ibekwe et al. (2008) melaporkan bahwa Salmonellla merupakan
bakteri patogen secara normal terdapat di dalam usus dan udara yang tercemar.
Coliform dan E. coli merupakan mikrob normal dalam saluran pencernaan dan
galur tertentu bersifat patogen, S. aureus terdapat di udara, air, atau peralatan yang
diperoleh dalam pengolahan bahan pangan, secara normal terdapat di hidung,
tenggorokan, dan kulit (Turtura 1991, Clarence et al. 2009).
Kondisi ini menggambarkan keberadaan daging kelelawar yang disimpan
terlalu lama di pasar, walaupun cara penanganan daging kelelawar di pasar
disimpan beku tanpa dibakar terlebih dahulu, dan pada waktu dijual baru dibakar
sehingga kemungkinan mikrob yang tumbuh akan mati oleh suhu pembakaran.
Namun, kemungkinan untuk terkontaminasi mikrob pada waktu masih segar
sangat tinggi karena transportasi yang cukup lama, dan disimpan beku bersama
dengan alat pencernaan dan pernapasan yang merupakan sumber mikrob.
Penjualan daging di pasar tradisional umumnya dalam keadaan terbuka dan
daging disajikan di lokasi lingkungan yang kurang terjamin kebersihannya yang
merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikrob (Zottola & Sasahara
1994, Schlegelova et al. 2010, Adeyinka et al. 2011). Ngitung (2008) melaporkan
151
bahwa daging ayam broiler yang dijual di pasar swalayan yang disimpan pada
suhu 5ºC di kota Makasar memenuhi standar cemaran total mikrob, yaitu 1.9 x 105
-0.4 x 106
cfu/mL, namun kandungan E. coli adalah 3.0 x 102
-1.0 x 103 cfu/mL,
dan berada di atas batas cemaran mikrob pada daging segar, yaitu 1 x 102
cfu/mL.
Palupi et al. (2010) melaporkan bahwa tingginya S. aureus daging ayam beku
yang dilalulintaskan melalui pelabuhan penyeberangan Merak, karena sanitasi
yang buruk dari pekerja yang menangani proses pemotongan ayam hingga karkas
di rumah potong, dan juga dari ayam itu sendiri. Sartika et al. (2005) melaporkan
bahwa semua daging sapi yang diambil dari pasar tradisional dan rumah potong
hewan di Bogor telah terkontaminasi oleh E. coli. Nurwantoro et al. (2012)
melaporkan bahwa daging sapi yang diambil dari rumah potong hewan semarang
2 jam setelah pemotongan mengandung E. coli 2.4 x 105
cfu /100 mL.
Total Mikrob Daging P. alecto Segar, Masak Rica-Rica, dan Masak Kari.
Tingkat higienis bahan pangan dapat dilihat dari tingginya cemaran
mikrob, terutama TPC. Data rataan total mikrob daging kelelawar segar dan
kelelawar masak rica-rica dan kari yang disimpan hingga 14 hari disajikan pada
Tabel 16.
Tabel 16 Rataan total mikrob (cfu/mL) daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari
yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ᵒC
Produk daging Standard Lama Penyimpanan
(segar & olahan) BSN 2009 0 hari 14 hari
Daging segar 1x10⁶ 2.3 x 10⁷ 4.8 x 10⁷
Masak rica-rica 1x10⁵ 3.1 x 10⁴ 6.0 x 10⁴
Masak kari 1x10⁵ 6.8 x 10⁵ 9.7 x 10⁵
Secara umum, total mikrob daging segar, daging masak kari dan rica-rica
meningkat selama penyimpanan. Total mikrob daging kelelawar segar yang
disimpan selama 14 hari berkisar dari 2.3 x 10⁷ - 4.8 x 10⁷ cfu/mL dan berada di
atas batas maksimum cemaran mikrob pada daging segar yaitu 1 x 10⁶ cfu/mL
BSN (2009). Hal tersebut disebabkan daging kelelawar yang digunakan berasal
dari Manado sehingga mengalami waktu cukup panjang dalam menganalisis, yaitu
mulai dari pemotongan sampai di Laboratorium Bagian Mikrobiologi Departemen
Ilmu Produksi dan Tekonologi, Fakultas Peternakan IPB sekitar 8 jam, dan waktu
152
persiapan pengujian mulai dari pengenceran sampai pemupukan sekitar 5 jam,
sehingga daging telah mencapai rigormortis dan nilai pH daging menurun sampai
pada titik isoelektrik. Akibatnya, kemampuan protein daging menahan air
berkurang sehingga banyak cairan dalam daging yang keluar. Selain itu, selama
proses pengenceran hingga pemupukan, daging berada pada suhu kamar. Kondisi
seperti itu merupakan kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan mikrob,
seperti jamur dan bakteri. Aberle et al. (2001) mengemukakan bahwa secara
normal dalam waktu 6-8 jam pH daging akan turun secara bertahap dari 7.0
sampai 5.7 dan mencapai titik isoelektrik sekitar 5.4-5.6 pada 24 jam setelah
pemotongan. Brooks et al. (1995) mengemukakan bahwa hampir semua bakteri
tumbuh pada pH berkisar 4 hingga 8 dan jamur 2.0 hingga 8.0.
Total mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan
hingga 14 hari berkisar dari 3.1 x 104- 6.0 x 10
4 cfu/mL, dan masih berada di
bawah batas maksimum cemaran mikrob daging olahan, yaitu 1 x 105 cfu/mL.
Total mikrob daging kelelawar yang dimasak kari dan disimpan hingga 14 hari
berkisar dari 6.8 x 105- 9.7 x 10
5 cfu/mL. Nilai ini
berada di atas batas maksimum
cemaran mikrob daging olahan berdasarkan BSN (2009). Namun, hasil ini masih
berada di bawah batas cemaran mikrob bila dibandingkan dengan pernyataan yang
dilaporkan Ockerman (1984), yaitu tingkat maksimum total mikrob yang dapat
diterima pada daging adalah 3.39 x 10⁶ cfu/mL. Kisaran total mikrob daging
kelelawar masak kari dan rica-rica berada di bawah kisaran total mikrob kalio
(sejenis rendang dengan formulasi bumbu masak relatif sama dengan rendang,
tetapi memiliki kadar air lebih tinggi dengan kuah lebih encer dibanding rendang),
yang disimpan 1 hari pada suhu kamar yang dilaporkan Murhadi et al. (1994)
berkisar dari 8.6 x 106 cfu/mL.
Mengacu kepada Badan Standardisasi Nasional Indonesia (2009), daging
kelelawar segar yang disimpan 14 hari sudah tidak layak dikonsumsi, namun
setelah dilakukan perlakuan pemasakan dan pengolahan dengan pemberian bumbu
kari dan rica-rica, maka kandungan total mikrob berkurang dan layak untuk
dikonsumsi. Berkurangnya total mikrob dalam daging olahan karena beberapa
mikrob tidak tahan terhadap suhu pemanasan saat pemasakan. Stillmunkess et al.
(1993) melaporkan bahwa perlakuan pemanasan 60-70ºC dapat menginaktifkan
153
sebagian besar mikrob pembusuk. Murhadi et al. (1994) melaporkan pemanasan
dapat menurunkan total mikrob pada masakan rendang sapi dan kalio.
Berkurangnya total mikrob pada daging yang dimasak kari dan rica-rica
disebabkan juga oleh kombinasi bumbu-bumbu masak yang diberikan, seperti
cabe rawit, jahe, kunyit, sereh, bawang merah, bawang putih, dan daun jeruk yang
mengandung senyawa-senyawa antimikrob, seperti senyawa fenol, kurkumin,
allisin, dan minyak astiri yang bersifat bakterisidal dan bakteristatik yang dapat
menghambat dan membunuh pertumbuhan mikrob. Komariah et al. (2004)
melaporkan bahwa pemberian jahe pada daging sapi dapat menurunkan total
mikrob daging. Rahayu (2000) melaporkan bahwa bumbu masak yang digunakan
sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi
pada konsentrasi tersebut dapat membantu bahan-bahan lain untuk mencegah
pertumbuhan mikrob, dan kemampuan bumbu masak untuk menghambat
sejumlah mikrob disebabkan karena senyawa aktif dari masing-masing bumbu
masak.
Total mikrob daging kelelawar yang dimasak kari, dan disimpan selama
14 hari, kandungan mikrobnya lebih tinggi dibandingkan dengan total mikrob
daging yang dimasak rica-rica. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena
kandungan lemak dan air yang terdapat dalam bumbu kari, sehingga mikrob
tumbuh dengan baik dan berkembang dengan cepat. Ting & Deibel (1992)
melaporkan bahwa lemak yang terdapat dalam ekstrak daging mampu membentuk
lapisan pada permukaan mikrob, dan dapat mencegah penetrasi zat antimikrob
dari bumbu ke dalam sel mikrob. Rahayu (2000) melaporkan bahwa produk
pangan yang mempunyai kadar air yang tinggi cenderung meningkatkan jumlah
mikrob.
Kandungan S. aureus pada Daging Kelelawar Segar, Dimasak Rica-Rica, dan
Kari
Total S. aureus daging segar, dimasak rica-rica, dan kari disajikan pada
Tabel 17. Rataan S. aureus pada daging segar selama 14 hari berkisar 3.7 x 102-
1.2 x 105
cfu/mL, dan berada di atas batas maksimum cemaran S. aureus untuk
daging segar, yaitu 1 x 102 cfu/mL (BSN 2009). Tingginya kandungan S. aureus
154
pada daging segar diduga karena kontaminasi saat penanganan pada waktu
disembelih, pengepakan, dan pada waktu tiba di laboratorium.
Tabel 17 Rataan S. aureus (cfu/mL) daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari
yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ᵒC
Produk daging Standard Lama penyimpanan
(segar & olahan) BSN 2009 0 hari 14 hari
Daging segar 1x10² 3.7 x 10² 1.2 x 10⁵
Masak rica-rica 1x10² 7.7 x 10¹ 7.6 x 10³
Masak kari 1x10² 4.3 x 10¹ 1 x 10⁴
Pada waktu tiba di laboratorium uji, daging dikeluarkan dari dalam
coolbox dan diletakkan pada suhu ruang untuk dihaluskan. Selain itu, lama waktu
pengenceran dan pemupukan berkisar hampir 5 jam. Demikian juga pada hari ke-
14, daging dikeluarkan dari lemari es dan di-thawing terlebih dahulu di suhu
ruang sebelum diencerkan dan dipupuk. Total kandungan S. aureus pada daging
yang dimasak rica-rica sebelum penyimpanan adalah 7.7 x 101 cfu/mL, dan berada
di bawah batas maksimum Standar Nasional Indonesia untuk daging olahan, yaitu
1 x 102
cfu/mL, sedangkan total S. aureus yang disimpan hingga 14 hari adalah
7.6 x 103 cfu/mL, dan berada di atas batas maksimun Standard Nasional Indonesia
(BSN 2009).
Total kandungan S. aureus pada daging yang dimasak kari sebelum
penyimpanan adalah 4.3 x 101
cfu/mL, dan berada di bawah batas maksimum
Standar Nasional Indonesia, sedangkan total S. aureus yang disimpan hingga 14
hari adalah 1 x 104
cfu/mL, dan berada di atas batas maksimun Standard Nasional
Indonesia. Total kandungan S. aureus pada daging yang dimasak kari dan
disimpan selama 14 hari masih lebih rendah dari total S. aureus kalio yang
disimpan selama 1 hari pada suhu kamar dan dipanaskan kembali selama lima
menit pada suhu 70-75ºC, yaitu 4.3 x 104 cfu/mL (Murhadi et al. 1994)
Berdasarkan BSN (2009) bahwa daging kelelawar segar tanpa
penyimpanan sudah melampaui batas maksimum cemaran S. aureus pada daging
segar, namun setelah dilakukan perlakuan pemasakan dan pemberian bumbu
masak kari dan rica-rica maka total S. aureus berkurang, karena sifat dari S.
aureus yang relatif tidak tahan terhadap panas. Pada penyimpanan hari ke-14 total
S. aureus meningkat, dan peningkatan ini diduga tidak terjadi selama daging
155
segar, daging yang dimasak rica-rica dan kari disimpan dalam suhu penyimpanan.
Peningkatan terjadi setelah daging dikeluarkan dari lemari es dan diletakkan pada
suhu kamar, sehingga kemungkin kontaminasi terjadi selama penanganan untuk
persiapan pengenceran sampai pemupukan.
Kandungan Coliform, E. coli, dan Salmonella sp pada Daging P. alecto Segar,
Masak Rica-Rica, dan Kari
Total Coliform hanya diujikan pada daging kelelawar belum diolah,
sedangkan E. coli, dan Salmonella sp untuk daging olahan, disesuaikan dengan
SNI yang ditetapkan oleh BSN. Total Coliform, E. coli, dan Salmonella sp daging
kelelawar yang disimpan selama 14 hari disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Rataan Coliform, E. coli, dan Salmonella sp (cfu/mL) daging kelelawar
segar, rica-rica, dan kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ᵒC
nd = tidak dianalisis, 0 = nol
Total Coliform daging kelelawar segar tanpa penyimpanan, ditemukan
bebas dari Coliform, sedangkan total Coliform daging yang disimpan hingga 14
hari adalah 4.9 x 104
cfu/mL. Hasil ini melebihi batas ambang maksimum
cemaran Coliform berdasarkan Standard Nasional Indonesia, yaitu 1x102 cfu/mL.
Keberadaan bakteri Coliform dalam daging diperkirakan berasal dari kotorannya
pada saat pengeluaran semua isi saluran pencernaan dan pernapasan waktu
disembelih, dan juga pada saat pencucian untuk mempersiapkan proses
pengenceran dan pemupukan.
Total E. coli pada daging yang dimasak kari tanpa penyimpanan adalah 2
cfu/mL. Nilai ini berada di bawah batas ambang cemaran Coliform berdasarkan
standar Nasional Indonesia, yaitu 3 cfu/mL, sedangkan E. coli pada daging yang
disimpan hingga 14 hari dan E. coli daging yang dimasak rica-rica tanpa
penyimpanan dan yang disimpan selama 14 hari, tidak terdapat bakteri E. coli.
Demikian juga dengan bakteri Salmonella sp pada daging segar, daging masak
kari, dan daging masak rica-rica tanpa penyimpanan dan penyimpanan hingga hari
ke-14 adalah negatif.
Produk daging
(segar & olahan) Standard Standard Standard
BSN 2009 0 hari 14 hari BSN 2009 0 hari 14 hari BSN 2009 0 hari 14 hari
Daging segar 1x10² 0 4.9 x 10⁴ nd 0 0 nd nd nd
Masak rica-rica nd nd nd ˂3/g 0 0 negatif/25 g negatf negatf
Masak kari nd nd nd ˂3/g 2 0 negatif/25 g negatf negatf
Salmonella sp
Lama PenyimpananLama Penyimpanan
Coliform E. coli
Lama Penyimpanan
156
Simpulan
Berdasarkan pada hasil uji mikrob tahap pertama dapat disimpulkan
bahwa pada penyimpanan daging kelelawar tanpa pengeluaran isi saluran
pencernaan, menyebabkan kontaminasi mikrob yang melampaui batas ambang
maksimum cemaran mikrob sehingga tidak layak dikonsumsi. Berdasarkan pada
hasil uji total mikrob, E. coli, dan Salmonella sp pada tahap kedua yang relatif
rendah maka dapat direkomendasikan bahwa daging kelelawar yang dimasak kari
dan rica-rica, dan disimpan hingga hari ke-14 masih layak dikonsumsi.
Saran
Perlu penelitian tentang karakteristik mikrob daging olahan yang disimpan
selama 14 hari, kemudian dipanaskan sebelum dimakan. Di samping itu,
karakteristik mikrob daging kelelawar yang dibekukan dan tidak dibekukan
kemudian dimasak rica-rica dan kari juga perlu dikaji secara lebih detil.
157
Daftar Pustaka
Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science.
4th
Ed. USA : Kendal/Hunt Pulishing Co.
Adejinka AE et al. 2011. Physicochemical properties and microorganisms isolated
from drier meat obtained in Oja-Oba market in Ilorin, Nigeria. Adv Appl
Sci Research 2(4):391-400.
Botha SStC, Hoffman LC, Britz TJ. 2006. Effect of hot deboning on the physical
quality characteristics of ostrich meat. S Afr J Anim Sci 36:197-208.
Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995. Medical Mocrobiology. Ed ke-4.
Conecticut : Appleton & Lange, Simon & Schuster Co.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional 2008. Metode Pengujian Mikrob dalam
Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. SNI. Standar Nasional
Indonesia. 2897:2008
[BSN]. Badan Standardisasi Nasional 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikrob
Pangan. SNI. Standar Nasional Indonesia. 7388:2009
Cetin O et al. 2010. The microbiological, serologi and chemical quality of
mincemeat marketed in Istanbul. Turk J Vet Anim Sci 34(4): 407-412.
Clarence SY, Obinna CN, Shalom NC. 2009. Assessment of bacterilogical quality
of ready to eat food (Meat pie) in Benin city metropolis, Nigeria. Afr. J
Microb Res 3(6): 390-395.
Fardiaz S, Triana A, Rahayu WP. 1998. Aktivitas antimikrob bumbu segar hasil
olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. J Ilmu Teknol
Pangan 3 (2) : 1-7.
Ibekwe AC et al. 2008. Baseline Salmonella agglutinin titres in apparently healthy
freshmen in Awka, South Eastern, Nigeria. Sci Res Essay 3(9): 225-230.
Jenie BSL, Undriyani K, Dewanti R. 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu
kontak terhadap aktivitas beberapa mikrob penyebab kerusakan pangan.
Bul Penel Ilmu Teknol Pangan 3(2):1-16
Khalafalla F, Gergis AF, El-Sherif A. 1993. Effect of freezing and mincing
technique on microbial load of minced meat. Die Nahrung 37:422-427.
Komariah, Arief I, Wiguna Y. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang
ditambahkan jahe (Zingiber Officinale Roscoe) pada konsentrasi dan lama
penyimpanan yang berbeda. Med Pet 27(2): 46-54.
158
Murhadi, Fardiaz S, Laksmi SS, Satiawihardja B. 1994. Pengaruh penyimpanan
dan pemanasan kembali terhadap mutu biologis kalio dan rendang daging
sapi. Bul Tek Indus Pangan 5 (3) : 26-33.
Ngitung R. 2007. Tingkat kontaminasi mikrobiologi daging broiler pada pasar
swalayan di kota Makasar. J Agris 9(1):23-40.
Nurwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Escherichia coli daging
sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. J Aplik Teknol Pangan.
1(2):20-22.
Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post Mortem Muscle Tissue. Vol 4:
Microbilogy. Ed ke-12. Department of Animal Science. The Ohio State
University.
Palupi KT et al. 2010. Penyujian Staphylococcus aureus pada daging ayam yang
dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Hem Soa 2(1):
9-14.
Rahayu WP. 2000. Aktifitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan
industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul Teknol Indus Pangan
11(2) : 42-48.
Rao VA, Thulasi G, Ruban SW. 2009. Meat quality characteristics of non-discript
buffalo as effected by age and sex. Word App Sci J 6(8):1058-1065.
Sartika RAD, Ivonne M, Indrawani, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi
Escherichia coli O157:O7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses
produksinya. Mak Kes 9(1):23-28.
Schlegelova J et al. 2010. Microbial contamination after sanitation of food contact
surface in dairy and meat processing plants. Czech J Food Sci 28(5):450-
461.
Shelef LA. 1983. Antimicrobial effect of species. J Food Sci 6: 29-44.
Stillmunkes AA, Prabhu GA, Sebranek JG. 1993. Microbiological safety of
cooked beef roasts treated with lactate monolaurin or glukonate. J Food
Sci 58(5): 953-958.
Ting WTE, Deibel KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at
two temperature. J Food Safety12:129-137.
Turtura GC. 1991. Enterobacteriaceae and other gram negatif bacteria in
slaughtered poultry. MAN 9(2): 139-146.
Ukut IOE et al. 2010. Assessment of bacteriological quality of fresh meats sold in
calabar metropolis, Nigeria. EJEAChe 9(1): 89-100.
159
Zaika LL.1988. Spices and herb: their antimicrobial activity and its determination.
J Food Safety 9: 97-118.
Zottola EA, Sasahara KC.1994. Microbial biofilm in the food processing industry.
Intl J Food Microbiol 23 :125-148.
160
PEMBAHASAN UMUM
Pangan adalah bahan yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan
atau minuman (UU No.7 1996). Fungsi pangan adalah sebagai asupan zat gizi
untuk keberlangsungan hidup, pemuas sensori seperti citarasa dan tekstur, dan
secara fisiologis menjadi regulasi bioritme sistem saraf, sistem imun, dan
pertahanan tubuh (Yamada et al. 2008).
Besarnya tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan dewasa ini
menyebabkan pangan yang diminati sebagian konsumen memiliki kombinasi nilai
gizi yang baik dan fungsi fisiologis untuk kesehatan dan kebugaran tubuh, yang
dikenal sebagai pangan fungsional (Gibson & Williams 2000). Definisi pangan
fungsional dari setiap negara berbeda-beda karena perbedaan dalam jenis
makanan. Jepang adalah negara yang pertama kali mendefinisikan pangan
fungsional, yaitu pangan olahan bergizi yang juga mengandung bahan atau unsur
yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu (Gibson & Williams 2000).
Dewan informasi makanan internasional (The International Food Information
Council, IFIC 2011) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang
menguntungkan bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai sumber zat gizi dasar.
Asosiasi ahli gizi Amerika (The America Dietetic Association, ADA 2009)
mendefinisikan pangan fungsional sebagai serangkaian pangan meliputi produk
segar atau produk olahan yang diperkaya dan ditingkatkan mutunya sehingga
menguntungkan bagi kesehatan dan mengurangi risiko penyakit pada konsumen.
Definisi pangan fungsional menurut UU No. 7 (1996) dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia (BPOM 2011) adalah pangan olahan yang
mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah
mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan, dan
bermanfaat bagi kesehatan, dengan kriteria memenuhi standar mutu dan
persyaratan keamanan, memiliki karakteristik warna, tekstur, dan cita rasa yang
dapat diterima konsumen.
162
Klasifikasi pangan fungsional menurut departemen kesehatan Jepang
antara lain produk daging dan susu, dan golongan komponen yang dapat
meningkatkan kesehatan, antara lain asam amino, vitamin, mineral, asam lemak
tak jenuh ganda, dan phytochemicals (Gibson & Williams 2000). BPOM (2011)
menyatakan bahwa suatu pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional
jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau
minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif
tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari
bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi.
Kelelawar yang disebut dengan paniki adalah jenis pangan hasil olahan
tradisional yang disukai oleh sebagian masyarakat di Sulawesi Utara sebagai
sumber zat gizi, juga sebagian masyarakat percaya dapat menyehatkan dan dapat
meningkatkan stamina/kebugaran. Berdasarkan pada definisi, klasifikasi dan
persyaratan pangan fungsional tersebut di atas, maka daging kelelawar memiliki
potensi sebagai pangan fungsional karena hasil penelitian pendahuluan melalui uji
fitokimia yang merupakan skrining awal terbukti bahwa kulit dan lemak di bawah
kulit, serta hati kelelawar memiliki senyawa golongan steroid. Uji fitokimia
terhadap kombinasi daging, lemak, dan kulit dari beberapa jenis kelelawar
menunjukkan bahwa N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens positif
mengandung senyawa steroid dan senyawa alkaloid, sedangkan A. celebensis, P.
alecto, R. amplexicaudatus, dan Thoopterus sp positif mengandung senyawa
steroid. Uji fitokimia terhadap bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan
daging kelelawar positif mengandung triterpenoid dan flavonoid. Hasil
karakterisasi senyawa aktif pada ekstrak n-heksana daging P. alecto menunjukkan
adanya senyawa yang mempunyai kemiripan dengan struktur molekul senyawa
steroid golongan estron, steroid golongan androstan, alkaloid golongan piridin-
piperidin, dan alkaloid heterosiklik golongan imidazol. Estron adalah jenis
estrogen yang menyebabkan perkembangan seks sekunder pada wanita, seperti
pembentukan buah dada, dan androstan merupakan hormon seks jantan kelompok
androgen menghasilkan ciri seks kejantanan seperti perubahan suara,
pertumbuhan bulu dan janggut pada remaja pria (Wilbraham et al. 1992, Hart et
al. 2003). Alkaloid golongan piridin-piperidin mempunyai kemiripan dengan
163
senyawa kitotifen yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit, anafilaksis, dan
rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan
pelepasan mediator inflamasi (PubChem, drug bank). Alkaloid heterosiklik
golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata, juga untuk
peningkatan sirkulasi darah (Santos & Moreno 2004). Adanya kemiripan senyawa
steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, juga senyawa flavonoid yang terdapat
dalam bumbu-bumbu yang digunakan pada pengolahan daging kelelawar
menjadikan daging kelelawar olahan sebagai pangan yang berpotensi sebagai
bahan pangan fungsional, namun adanya steroid golongan estron dan adrostan
pada daging kelelawar disarankan untuk dikonsumsi secara bijaksana karena
kelebihan asupan adrogen dapat menyebabkan virilisasi pada wanita dan
kelebihan asupan estrogen dapat menyebabkan sifat kewanitaan pada pria,
walaupun belum diketahui kandungannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk
mengolah dan mengkonsumsi daging kelelawar berdasarkan jenis kelamin.
Terdeteksinya senyawa estron diduga berasal dari P. alecto betina, dan senyawa
androstan berasal dari P. alecto jantan, karena dalam penelitian ini jantan dan
betina tidak dipisahkan.
Selain keberadaan komponen aktif, daging kelelawar mempunyai
komposisi asam-asam lemak, asam amino baik jumlah dan jenisnya yang cukup
lengkap, juga kandungan kalsium (Ca) dan fosfor (P) yang tinggi. Tingginya
keberadaan Ca dan P pada daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai
sumber mineral yang dapat diandalkan bagi tubuh, karena kalsium berperan
penting dalam mengatur fungsi sel, seperti pembentukan dan pemecahan
asetilkolin yaitu zat kimia penghantar saraf (neotransmiter), relaksi dan kontraksi
otot, dan menjaga permebialitas membran sel. Kalsium mengatur kerja hormon
dan faktor pertumbuhan. Kekurangan Ca pada masa pertumbuhan akan
menyebabkan pertumbuhan terganggu, sedangkan pada usia lanjut menyebabkan
osteoporosis, dan osteomalasia (riketsia pada orang dewasa karena kurang vit D).
Kekurangan fosfor mengakibatkan kerusakan tulang, gejala lelah, dan kurang
nafsu makan (Almatsier 2003).
Kandungan asam lemak jenuh yang paling dominan adalah asam miristat
(C14:0), asam palmitat (C16:0), dan asam stearat (C18:0), dan total kolesterol
164
daging kelelawar dalam penelitian ini lebih tinggi dari daging babi dan ikan
cakalang, namun terdapat juga asam lemak tak jenuh ganda yang terdeteksi
dalam daging kelelawar adalah ekosanpentaenoat (EPA) dan dokosaheksaenoat
(DHA) yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Oleh karena itu, konsumsi
daging kelelawar tidak perlu ditakuti, karena tubuh mempunyai mekanisme
penyeimbang antara kolesterol yang masuk dan kolesterol yang disintesis tubuh.
Selain itu, terdapat juga kandungan asam stearat, linoleat, linolenat, DHA, dan
EPA yang dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL dalam darah (Imaizumi et
al. 1993, Yu et al. 1995, Murray et al. 2002).
Kandungan asam amino yang menonjol pada daging kelelawar dalam
penelitian ini adalah fenilalanina, leusina, glisina, dan tirosina. Pada keadaan
normal, fenilalanina akan diubah menjadi tirosina, yaitu asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis protein, zat kimia otak termasuk L-DOPA, adrenalin,
noradrenalin. L-DOPA adalah prekursor untuk neotransmitter dopamin, adrenalin,
dan noradrenalin. Adrenalin merupakan neotransmitter yang dikeluarkan oleh
safaf simpatis dan juga sebagai hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal
(Djojosoebagio 1996). Aderalin digunakan sebagai zat yang dapat memperlebar
(bronkodilator) bagian saluran pernapasan, dan meningkatkan saluran udara
keparu-paru untuk penderita asma. Tingginya adrenalin menyebabkan otot polos
disaluran pernapasan relaksasi (http://www.medicinet.com/asthma/page3.htm).
Kerja noradrenalin memberikan efek fisiologis guna mengatasi depresi.
Noradrenalin dilepaskan ketiga terjadi perubahan fisiologi yang disebabkan
karena stres. Fungsi penting noradrenalin sebagai neotransmitter yang dilepaskan
dari saraf simpatik ke jantung sehingga laju kontraksi meningkat (Guyton et al.
2006). Sebagai hormon stres, noradrenalin dapat meningkatkan aliran darah ke
otot dan meningkatkan oksigen ke otak (http://www.hormone.org/endocrine_
system.cfm). Leusina digunakan sel untuk perombakan dan pembentukan protein
otot. Glisina tidak merupakan asam amino ensensial bagi tubuh, namun berfungsi
sebagai prekursor biosintesis profirin, dan mencegah pembesaran prostat pada pria
(Lehninger 1982).
Keberadaan komponen aktif dan zat gizi dalam kelelawar membuktikan
bahwa pemeo daging kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan
165
yang dapat berfungsi bagi kesehatan, namun bahan pangan yang disukai
konsumen bukan saja dilihat dari kandungan komponen aktif dan nilai gizi yang
baik, namun juga dari penampakan yang menarik, cita rasa yang enak, serta aman
dan sehat untuk dikonsumsi (Wijaya 2002). Hasil uji hedonik terhadap sifat-sifat
organoleptik menunjukkkan bahwa panelis menerima daging kelelawar yang
dimasak kari dan rica-rica sama dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang
yang dimasak kari dan rica-rica, sedangkan daging kelelawar yang hanya dikukus
tanpa menggunakan bumbu tidak disukai panelis. Hal ini menggambarkan bahwa
jenis daging tidak berpengaruh pada tingkat pemerimaan konsumen terhadap
atribut organoleptik. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan
penggunaan bumbu-bumbu masak menjadikan daging kelelawar olahan aman
dikonsumsi. Rahayu (2000) melaporkankan bahwa bumbu masak yang digunakan
sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi
pada konsentrasi tersebut dapat membantu bahan-bahan lain untuk mencegah
pertumbuhan mikrob. Namun, penanganan pengolahan yang kurang higienis dan
penyimpanan yang cukup lama dan tidak benar akan menyebabkan
terkontaminasinya dan berkembangnya mikrob patogen (Khalafalla et al. 1993,
Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010). Hasil analisis terhadap daging kelelawar
yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC, kemudian dimasak kari dan rica-rica
menghasilkan total mikrob, S. aureus, E.coli, Coliform, dan Salmonella sp di atas
batas maksimum cemaran mikrob. Hasil analisis terhadap daging kelelawar segar
8-9 jam setelah pemotongan, juga daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari
pada suhu 5ºC menunjukkan total mikrob dan total S. aureus di atas batas
maksimum cemaran mikrob, namun total mikrob daging kelelawar yang dimasak
rica-rica dan dimasak kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC berada di
bawah batas cemaran mikrob yang dapat diterima pada daging olahan, walaupun
total S. aureus pada daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari,
juga total Coliform pada daging segar meningkat pada penyimpanan ke-14 hari,
sehingga berada di atas batas cemaran yang ditetapkan BSN (2009), sedangkan
total E. coli, Salmonella sp, dan Coliform adalah negatif. Berdasarkan pada
karakteristik mikrob daging kelelawar segar dan daging kelelawar yang dimasak
rica-rica dan kari hasil penelitian ini, maka disarankan untuk membekukan karkas
166
kelelawar tanpa isi saluran pencernaan, dan sebaiknya mengolah daging kelelawar
segera setelah pemotongan.
Kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional
yang aman untuk dikonsumsi harus tersedia secara berkelanjutan. Berdasarkan
pada segi ketersediaan sebagai bahan pangan, P. alecto adalah spesies kelelawar
pemakan buah yang paling banyak ditemukan diperjualbelikan di pasar, baik
pasar tradisional maupun swalayan, dan jalur pemasarannya telah terbentuk mulai
dari penangkap, pengumpul, sampai ke penjual. Berdasarkan pengamatan, di
daerah Kolono, P. alecto dan A. celebensis yang dijual berada dalam keadaan mati
beku. Sebaliknya, di daerah Lamaya, pengumpul mengambil kelelawar dalam
keadaan masih hidup dan langsung diangkut dan dipasarkan. Berdasarkan
pengamatan, pada sekitar bulan Mei hingga Juni, jumlah P. alecto di pasar
berkurang, sedangkan sekitar bulan September hingga Maret, penjualan kelelawar
melimpah di pasar. Hal itu terjadi karena di sekitar bulan tersebut merupakan
musim buah-buahan sehingga kelelawar kembali ke habitat asalnya sehingga
dengan mudah para penangkap mendapatkan tangkapannya. Dilihat dari lokasi,
Gorontalo dan Sulawesi Tengah merupakan habitat yang ideal untuk
kelangsungan hidup kelelawar karena kondisi hutan tempat bertengger dan
mencari makan masih baik, yang ditandai dengan tidak ditemukannya
perombakan dan pembakaran hutan untuk lahan pertanian dan perumahan.
Demikian juga hutan mangrove di sekitar pantai masih terjaga. Selain itu,
ditemukan juga beberapa gua batu yang terdapat dalam hutan yang tidak pernah
diganggu manusia sehingga kelelawar dapat bertengkar membentuk koloni.
Berkaitan dengan prospek penyediaan daging kelelawar kedepan, status A.
celebensis, P. alecto, N. cephalotes, R. amplexicaudatus, dan T. nigrescens
berdasarkan daftar IUCN Redlist yang dikeluarkan Internasional Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN 2012) masuk kategori
least concer, Artinya, jenis-jenis kelelawar tersebut di atas masih dalam status
aman dan belum terancam punah, dan keberadaan N. cephalotes, T. nigrescens,
dan R. amplexicaudatus tidak termasuk dalam daftar konvensi perdagangan
internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES, Convention on
Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) baik
167
appendix l dan ll. Artinya, spesies-spesies ini populasinya tidak dalam taraf yang
membahayakan dan bisa diperdagangkan secara internasional. Sebaliknya,
Pteropus alecto dan Acerodon celebensis termasuk dalam appendix ll. Artinya,
kedua jenis ini tidak segera terancam punah, tetapi mungkin akan terancam punah
bila perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan. Walaupun keberadaan
kelelawar hasil penelitian masih masuk kategori aman, ketersedian secara
berlanjut untuk bahan pangan diragukan karena berdasarkan pengamatan di
lapangan ditemukan ada indikasi eksploitasi yang berlebihan, dan betina-betina
yang tertangkap/terjaring umumnya adalah betina produktif (bunting dan sedang
menyusui) yang menyebabkan produktivitas kelelawar berkurang sehingga
dikhawatirkan apabila eksploitasi terus dilakukan, suatu saat akan mengalami
kepunahan.
Hasil penelitian ini sangat menarik, karena disatu sisi ada kekhawatiran
bahwa jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi akan mengalami
kepunahan apabila perburuan terus dilakukan tanpa memperhatikan kelangsungan
hidup kelelawar. Tidak terdapatnya informasi ilmiah tentang populasi kelelawar
pemakan buah di Sulawesi merupakan kendala dalam hal ketersediaan daging
kelelawar secara berkelajutan. Di sisi lain, daging kelelawar mempunyai
kandungan gizi yang hampir sama dengan ternak konvensional lainnya, bahkan
daging kelelawar P. alecto yang paling banyak dijual di pasar mengandung
senyawa aktif yang berfungsi sebagai pangan yang dapat menyehatkan. Apabila
hasil penelitian ini dipublikasikan, maka kelelawar akan terus diburu di habitatnya
yang akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi kelelawar dan
kemungkinan akan menuju kepunahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan
untuk menjaga populasi dan habitat kelelawar di alam bekerja sama dengan
pemerintah membuat aturan atau larangan seperti penangkapan betina produktif
dengan cara melepaskan betina bunting dan menyusui pada waktu ditangkap,
pengaturan waktu penangkapan melalui sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat pemburu dan pengumpul kelelawar, juga edukasi kepada anak-anak
sekolah tentang peran kelelawar sebagai bahan pangan dan fungsi ekologis
kelelawar sebagai pengatur keseimbangan di hutan. Adanya pelarangan
penangkapan kelelawar menyebabkan mata pencarian pemburu dan penjual
168
kelelawar akan terganggu sehingga perlu dipikirkan bagaimana mengalihkan
pekerjaan mereka. Ditinjau dari sisi peternakan, perlu dikaji cara budi daya
kelelawar dengan melibatkan masyarakat, khususnya pemburu dan penjual
kelelawar. Diharapkan masyarakat penggemar daging kelelawar mengkonsumsi
daging kelelawar bukan mengambil dari alam tetapi dari hasil budi daya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat spesies ada 5
jenis yaitu A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, R. amplexicaudatus, dan T.
nigrescens. Produksi karkas kelelawar berkisar 49.29-64.07%, tulang 19.09-
24.29%, daging 50.27-51.86%, dan lemak 4.09-10.61%. Kualitas dan nilai gizi
daging kelelawar hampir sama dengan ternak konvensional. N. cephalotes, P.
alecto, dan T. nigrescens memiliki kandungan steroid dan alkaloid, bumbu masak
memiliki triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-
heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan
alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol. Daging kelelawar masak
kari dan rica-rica yang disimpan selama 14 hari dalam lemari pendingan pada
suhu 5ºC layak dikonsumsi manusia, dan dari sisi organoleptik, daging kelelawar
olahan disukai konsumen sama dengan daging olahan ternak konvensional.
Dilihat dari nilai gizi dan komponen aktif yang ada pada daging kelelawar dan
bumbu masak maka daging kelelawar yang diolah rica-rica dan kari berpotensi
untuk dijadikan pangan fungsional.
Saran
Berdasarkan hasil pengamatan, ada gejala ekploitasi yang berlebihan dan
betina yang tertangkap pada umumnya betina produktif sehingga ada
kemungkinan suatu saat keberadaan kelelawar menuju kepunahan. Untuk itu
perlu dilakukan kajian untuk melihat status populasi dan keberadaan habitat
kelelawar di setiap lokasi. Untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis
kelelawar yang ada di tiap lokasi, maka perlu dilakukan penelitian molekuler.
Perlu dilakukan penelitan untuk membedakan nilai gizi dan kandungan
bioaktif kelelawar hasil budi daya dibandingkan kelelawar di alam, juga dengan
karakteristik mikrob daging olahan yang berada di rumah-rumah makan, dan
daging kelelawar olahan yang dibekukan kemudian dipanaskan sebelum
dikonsumsi.
170
DAFTAR PUSTAKA
Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science.
Ed ke-4. USA : Kendal/Hunt Pulishing Co.
Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and
carcass quality if broiler chicks under high stocking density fed vitamin E
supplement diet. J Agric 6 (5):264-268.
Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90.
Adejinka AE. et al. 2011. Physicochemical properties and microorganisms
isolated from drier meat obtained in Oja-Oba market in Ilorin, Nigeria.
Adv Appl Sci Res 2(4):391-400.
Almatseir. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[APHA] American Public Health Association. 1992. Standard method for the
examination of Dayry Product. Ed ke-16. Washington DC : Porth Cyti
Press.
[AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical
Chesmist. 1995. Inc. USA : Arlington.Virginia.
Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 (5)
422-425.
Baratawidjaya K, Sundaru H. 1981. Asma bronkial : Patofisiologi. Cermin Dunia
Kedokteran 21:29-32.
Baratawijaya K. 1988. Imunolog Dasar. Indonesia : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from
Sulawesi and Some off-lying island (Mamalia, Megachiroptera). Zool
Verhandlugen 248:1-14.
Blasco A, Estany J, Baselga M. 1984. Prediction rabbit meat and bone weight
using carcass measurements and simple cuts. Ann Zootec 33(2):161-170.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK.
03.1.23.11.11.09909. 2011. Tentang Pengawasan Klaim Dalam label dan
Iklan Pangan Olahan. BPOM RI.
Botha SStC, Hoffman LC, Britz TJ. 2006. Effect of hot deboning on the physical
quality characteristics of ostrich meat. S Afr J Anim Sci 36:197-208.
172
Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995. Medical Microbiology. Ed ke-4.
Conecticut : Appleton & Lange, Simon & Schuster Co.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional 2008. Metode Pengujian Mikrob dalam
Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. SNI. Standar Nasional
Indonesia. 2897:2008
[BSN]. Badan Standarisasi Nasional 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikrob
Pangan. SNI. Standar Nasional Indonesia. 7388:2009
Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai
sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan
kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology
of durian (Durio zibethinus, Bombacae) in southern Thailand. J Trop Ecol
25:85-92.
Cetin O et al. 2010. The microbiological, serologi and chemical quality of
mincemeat marketed in Istanbul. Turk J Vet Anim Sci 34(4): 407-412.
Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of
frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69
(1) :67-72.
Clarence SY, Obinna CN, Shalom NC. 2009. Assessment of bacterilogical quality
of ready to eat food (Meat pie) in Benin city metropolis, Nigeria. Afr. J
Microb Res 3(6): 390-395.
Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers
long they become rare. Ecology 87(2):271-276.
Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari
spektrum infra merah sebagai penenda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J
Ilmu Pert Indones 12(3):154-162.
Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press.
[Ditjenak Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011.
Statistik Peternakan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
[Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan] Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
173
Dumont ER, O'nell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit
bats (Pteropodidae). J Mammal 85 (1): 8-14.
Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 27(2): 58-65.
Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific & Moluccan Islands.
Sydney : Australian Museum/ Reed Book.
Florowski T et al. 2006. Teknological parametres in pig of two polish local
breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 (3):
217-224.
Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a
commersial processing plant. Brazil J Poul Sci 12:233-237.
Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product.
Cambridge England: Wood Publishing Limited.
Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism
implication for dietary recommendations. J Nutr. 119:529-533.
Guyton, Arthur, Hall, John (2006). Textbook Kedokteran Fisiologi. Ed ke-11.
Pennsylvania: Elsevier Inc.
Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi
mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains
Teknol Farm13(1):1-11.
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa
tumbuhan. Bandung : Penerbit ITB Bandung.
Harold H, Craine LE, Hart DH. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta:
Erlangga.
Haryoko I, Warsiti T. 2008. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap
karakteristik fisik karkas kelinci peranakan New Zealand White. Anim
Product 10(2): 85-98.
Hill JE, Smith JD. 1984. Bats : A Natural History London : Cromwell Road.
Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats (Chiroptera: pteropodidae) as seed
dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic
34(4):491-503.
Hutajulu WL, Yulinas. 2007. Pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang
difermentasi Aspergillus niger terhadap karkas kelinci local umur 16
minggu. J Agribis Pet 3(2):75-79.
174
Ibekwe AC et al. 2008. Baseline Salmonella agglutinin titres in apparently healthy
freshmen in Awka, South Eastern, Nigeria. Sci Res Essay 3(9): 225-230.
Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid
increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density
lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters
fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702.
Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses
pengepresan biji kakao. J Rekay Kim Lingk 6(2):50-54.
Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia
Jenie BSL, Undriyani K, Dewanti R. 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu
kontak terhadap aktivitas beberapa mikrob penyebab kerusakan pangan.
Bul Penel Ilmu Teknol Pangan 3(2):1-16.
Johnson PL, Purchas RW, Mcewan JC, Blair HT. 2005. Carcass composition and
meat quality differens between pasture-reared ewe and lambs. Meat Sci
71(2):383-391.
Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality test) dan antioksidan (1.1-diphenyl-2-
pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Makara
Sains 13(1):50-54.
Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour
charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim
Sci 78:253-259.
Khalafalla F, Gergis AF, El-Sherif A. 1993. Effect of freezing and mincing
technique on microbial load of minced meat. Die Nahrung 37:422-427.
Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene
(Chiroptera : Pteropodidae) from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku,
Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417.
Klooker et al. 2010. The mast cell stabiliser ketotifen decreases visceral
hypersensitivity and internal symptoms in patients with irritable bowel
syndrome. Gut 59(9):1213-1221.
Komariah, Arief I, Wiguna Y. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang
ditambahkan jahe (Zingiber Officinale Roscoe) pada konsentrasi dan lama
penyimpanan yang berbeda. Med Pet 27(2): 46-54.
Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa (Cocos nucifera),
pinang (Areca catechu) dan aren (Arenga pinnata) sebagai tanaman obat.
175
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. (terhubung berkala)
http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/ (7 Mei 2012)
Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical,
microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci
:1–6.
Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species
richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv
131:584-593.
Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan
dari : Meat Sci.
Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop
Biodivers 6:145-162.
Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in
Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488.
Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity
in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389.
Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Volume ke-2. Menggy Thenawijaya,
penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Principle of
Biochemisrty.
Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in
chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 62(1):73-97.
Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of
meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci
71:194-204.
Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species
fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record.
Treubia 32(1): 63-85.
Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus (Chiroptera :
Pteropodidae) from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111-
120.
Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM. 2006. Evaluation of three pork
quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust.
J Anim Sci 19(2):266-272.
176
Murhadi, Fardiaz S, Laksmi SS, Satiawihardja B. 1994. Pengaruh penyimpanan
dan pemanasan kembali terhadap mutu biologis kalio dan rendang daging
sapi. Bul Tek Indus Pangan 5 (3) : 26-33.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed
ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill.
Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. ED ke-3.
New York : Worth publishing.
Ngitung R. 2007. Tingkat kontaminasi mikrobiologi daging broiler pada pasar
swalayan di kota Makasar. J Agris 9(1):23-40.
Nurwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Escherichia coli daging
sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. J Aplik Teknol Pangan.
1(2):20-22.
Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post Mortem Muscle Tissue. Vol 4:
Microbilogy. Ed ke-12. Department of Animal Science. The Ohio State
University.
Owens FN, P Dubeski, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and
development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150.
Palupi KT et al. 2010. Penyujian Staphylococcus aureus pada daging ayam yang
dilalulintaskan melalui pelalbuhan penyeberangan merak. Hemera Soa.
2(1): 9-14.
Prasetyo A, PrasetyoT, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan
mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.
Rahayu WP. 2000. Aktifitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan
industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul Teknol Indust Pangan
11(2) : 42-48.
Raji. (2008). Sistem endokrin dan jenis hormon : An overview. Hormon Health
Network. http://www.hormone.org/endocrine_system.cfm (21 Oktober
2012)
Rao VA, Thulasi G, Ruban SW. 2009. Meat quality characteristics of non-discript
buffalo as effected by age and sex. Word App Sci J 6(8):1058-1065.
Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the
influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci
78:170-175.
177
Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med
Pet 33(2): 95-102.
Rustam E, I Atamasari, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol
kunyit (curcuma domestica val.) pada tikus putih jantan galur wistar. J
Sains Teknol 12(2):112-115.
Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat
depending on their sex. Actavet 78:497-504.
Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan
cendana (Santalum album Linn). Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana.
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts
and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137.
Sartika RAD, Ivonne M, Indrawani, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi
Escherichia coli O157:O7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses
produksinya. Mak Kes 9(1):23-28.
Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of
pilocapus (Rustaceae) as sources of pilocarine and other imidazole
alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 (3). Absrtact.
http://www.springerlink.com/content/01027wm4011mr53w/. (7 mei 2012)
Schlegelova J et al. 2010. Microbial contamination after sanitation of food contact
surface in dairy and meat processing plants. Czech J Food Sci 28(5):450-
461.
Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang
asuh berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. 19 November 2009.
Badan Standardisasi Nasional. Hlm 1-11.
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri
Pangan dan Agro. Bogor : IPB press.
Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing
on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across
several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125.
Shelef LA. 1983. Antimicrobial effect of species. J Food Sci 6: 29-44.
Shiel MC. 2010. Asma. http://www.medicinenet.com/asthma/page3.htm. (12
Oktober 2012)
178
Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan
pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum.
Med Pet 27(1):1-11.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Stillmunkes AA, Prabhu GA, Sebranek JG. 1993. Microbiological safety of
cooked beef roasts treated with lactate monolaurin or glukonate. J Food
Sci 58(5):953-958.
Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa
golongan triterponoid dari biji pepaya (Carica papaya L.). J Kim 2 (1):15-
18.
Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta
kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14
(1) : 41-48.
Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol
Has Tern 2(2): 42:51.
Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor.
Ting WTE, Deibel KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at
two temperature. J Food Safe 12:129-137.
Turtura GC. 1991. Enterobacteriaceae and other gram negatif bacteria in
slaughtered poultry. MAN 9(2): 139-146.
Ukut IOE et al. 2010. Assessment of bacteriological quality of fresh meats sold in
Calabar metropolis, Nigeria. EJEAChe 9(1): 89-100.
Presiden Republik Indonesia. 1996. Undang undang No. 7. Tentang Pangan.
Jakarta.
Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung
: Penerbit ITB Bandung.
Wiley DJ, Engbring J, Otobed D. 1997. Abundance, biology, and human
exploitation of bats in the Pulau Islands. J Zool London 241:203-227.
Wijaya H. (2002). Pangan fungsional dan kontribusinya bagi kesehatan. Seminar
online Kharisma ke-2.http://ml.scribd.com/doc/28608855/pangan-
fungsional-dan-kontribusinya-bagi-kesehatan [26 Sept 2012]
179
Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai
pangan fungsional. J Litbang Pert 24 (2): 47-55.
Yalden DW, Morris PA. 1975. The live of bats. New York : The New York Times
Quadrangle. 247 hlm.
Yohnny F, Tridjoko, Roza. 2003. Study pendahuluan pengaruh hormon steroid
terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek. J Vet 4(4): 30-
34.
Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol
predictive equations demontrate that strearic acid is neural and
monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61
:1129:1139.
Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL. 1978. Effect of spece and salt on
fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189.
Zottola EA, Sasahara KC.1994. Microbial biofilm in the food processing industry.
Int J Food Microbiol 23 :125-148.
180
LAMPIRAN
182
183
Lampiran 1 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono
Ukuran Tubuh dan Tengkorak (mm)
Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max
Panjang badan 213.29 25.57 7.00 195.00 270.00 213.27 8.12 26.00 200.00 220.00
Panjang lengan bawah 136.86 2.41 7.00 135.00 140.00 140.77 6.43 26.00 130.00 150.00
Panjang betis 59.29 4.50 7.00 55.00 65.00 59.42 2.58 26.00 55.00 65.00
Panjang kaki 50.71 4.50 7.00 45.00 55.00 53.46 2.35 26.00 50.00 55.00
Panjang telinga 31.86 1.86 7.00 30.00 34.00 31.54 1.58 26.00 30.00 35.00
Panjang tengkorak total 59.29 1.38 7.00 57.00 61.00 62.88 2.70 26.00 57.00 68.00
Panjang tengkorak condylobasal 52.00 3.96 7.00 45.00 56.00 55.58 3.78 26.00 45.00 63.00
Panjang tengkorak condylocaninus 47.29 3.09 7.00 42.00 50.00 49.38 2.50 26.00 42.00 55.00
Panjang baris gigi geraham atas 25.00 1.53 7.00 23.00 28.00 24.85 2.29 26.00 15.00 28.00
Lebar tulang pipi 34.86 1.68 7.00 32.00 37.00 36.08 1.67 26.00 32.00 39.00
Lebar geraham (baris gigi) premolar 12.86 0.38 7.00 12.00 13.00 13.73 0.45 26.00 13.00 14.00
Lebar geraham (baris gigi) molar 8.29 0.76 7.00 7.00 9.00 8.65 0.75 26.00 7.00 10.00
KolonoLamaya
184
Lampiran 2 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak N. chepalotes di Pakuure
Ukuran Tubuh dan Tengkorak (mm)
Rataan St.dev N Min Max
Panjang sayap 509.80 18.81 10.00 470.00 540.00
Panjang lengan bawah 69.30 1.64 10.00 65.00 70.00
Panjang betis 27.00 1.25 10.00 25.00 30.00
Panjang kaki 19.60 0.84 10.00 18.00 20.00
Panjang telinga 16.80 0.79 10.00 15.00 18.00
Panjang tengkorak total 32.00 1.00 7.00 32.00 33.00
Panjang tengkorak condylobasal 28.00 0.58 7.00 27.00 29.00
Panjang tengkorak condylocaninus 25.57 0.79 7.00 25.00 27.00
Panjang baris gigi geraham atas 10.29 0.49 7.00 10.00 11.00
Lebar tulang pipi 22.57 1.40 7.00 20.00 24.00
Lebar geraham (baris gigi) premolar 3.29 0.49 7.00 3.00 4.00
Lebar geraham (baris gigi) molar 6.00 0.00 7.00 6.00 6.00
Pakuure
185
Lampiran 3 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati,
Lamaya, Matialemba, dan Kolono
Ukuran Tubuh dan Tengkorak (mm)
Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max
Panjang badan 231.33 8.55 15.00 220.00 245.00 247.14 28.70 7.00 190.00 270.00 262.78 15.63 9.00 225.00 270.00 236.79 14.89 14.00 210.00 250.00
Panjang lengan bawah 154.67 3.39 15.00 150.00 158.00 166.43 9.45 7.00 145.00 170.00 166.11 4.17 9.00 160.00 170.00 159.29 12.07 14.00 140.00 170.00
Panjang betis 73.93 4.23 15.00 70.00 80.00 75.71 3.45 7.00 70.00 80.00 77.22 2.64 9.00 75.00 80.00 74.29 2.67 14.00 70.00 80.00
Panjang kaki 59.33 1.76 15.00 55.00 60.00 57.86 2.67 7.00 55.00 60.00 61.33 2.18 9.00 60.00 65.00 59.29 1.82 14.00 55.00 60.00
Panjang telinga 32.53 0.52 15.00 32.00 33.00 32.14 1.07 7.00 30.00 33.00 32.22 0.97 9.00 30.00 33.00 32.00 1.18 14.00 30.00 33.00
Panjang tengkorak total 69.60 0.83 15.00 68.00 70.00 69.29 1.89 7.00 65.00 70.00 70.56 1.67 9.00 70.00 75.00 70.14 2.11 14.00 68.00 74.00
Panjang tengkorak condylobasal 59.60 0.83 15.00 58.00 60.00 59.86 2.27 7.00 55.00 62.00 61.67 2.50 9.00 60.00 65.00 60.07 2.81 14.00 55.00 64.00
Panjang tengkorak condylocaninus 54.33 1.11 15.00 52.00 55.00 54.86 2.19 7.00 50.00 56.00 56.67 2.50 9.00 55.00 60.00 54.64 3.03 14.00 48.00 58.00
Panjang baris gigi geraham atas 28.20 0.56 15.00 28.00 30.00 27.71 0.76 7.00 26.00 28.00 29.56 0.53 9.00 29.00 30.00 27.43 0.85 14.00 26.00 28.00
Lebar tulang pipi 38.27 0.70 15.00 38.00 40.00 35.29 1.70 7.00 33.00 38.00 39.44 0.88 9.00 38.00 40.00 37.29 2.13 14.00 34.00 40.00
Lebar geraham (baris gigi) premolar 15.27 0.46 15.00 15.00 16.00 16.14 0.69 7.00 15.00 17.00 16.33 1.00 9.00 15.00 17.00 16.21 0.80 14.00 15.00 17.00
Lebar geraham (baris gigi) molar 8.00 0.00 15.00 8.00 8.00 8.43 0.53 7.00 8.00 9.00 8.00 0.00 9.00 8.00 8.00 8.93 0.83 14.00 8.00 10.00
KolonoLamayaPasar Bersehati Matialemba
186
Lampiran 4 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea
Ukuran Tubuh dan Tengkorak (mm)
Rataan St.dev N Min Max
Panjang badan 133.56 12.95 16.00 105.00 160.00
Panjang lengan bawah 87.63 9.60 16.00 70.00 100.00
Panjang betis 45.56 6.77 16.00 30.00 50.00
Panjang kaki 30.25 5.34 16.00 20.00 35.00
Panjang telinga 20.44 2.56 16.00 16.00 23.00
Panjang tengkorak total 42.69 3.50 16.00 37.00 48.00
Panjang tengkorak condylobasal 37.94 2.46 16.00 35.00 42.00
Panjang tengkorak condylocaninus 33.75 2.72 16.00 30.00 39.00
Panjang baris gigi geraham atas 14.81 1.64 16.00 12.00 17.00
Lebar tulang pipi 23.13 2.00 16.00 20.00 25.00
Lebar geraham (baris gigi) premolar 10.06 1.18 16.00 8.00 11.00
Lebar geraham (baris gigi) molar 5.13 0.81 16.00 4.00 6.00
Peonea
187
Lampiran 5 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan
minimum ukuran tubuh dan tengkorak Thoopterus spp. di Pakuure
Ukuran Tubuh dan Tengkorak (mm)
Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max
Panjang sayap 553.15 77.41 13.00 490.00 725.00 467.67 39.50 15.00 400.00 510.00 379.09 52.00 11.00 260.00 420.00
Panjang lengan bawah 75.92 5.39 13.00 70.00 85.00 66.00 7.01 15.00 57.00 75.00 53.82 9.13 11.00 35.00 60.00
Panjang betis 30.15 1.34 13.00 29.00 33.00 27.53 1.36 15.00 26.00 30.00 20.09 3.39 11.00 15.00 24.00
Panjang kaki 25.31 3.84 13.00 23.00 32.00 20.53 1.55 15.00 18.00 23.00 14.64 2.73 11.00 10.00 20.00
Panjang telinga 17.00 0.58 13.00 16.00 18.00 15.47 1.30 15.00 14.00 17.00 15.91 0.94 11.00 15.00 17.00
Panjang tengkorak total 37.88 0.83 8.00 37.00 39.00 33.60 4.19 15.00 28.00 40.00 29.00 1.85 8.00 25.00 31.00
Panjang tengkorak condylobasal 34.00 0.76 8.00 33.00 35.00 29.67 3.75 15.00 25.00 35.00 25.88 1.25 8.00 24.00 27.00
Panjang tengkorak condylocaninus 30.88 0.83 8.00 30.00 32.00 28.27 3.37 15.00 24.00 32.00 24.38 0.74 8.00 23.00 25.00
Panjang baris gigi geraham atas 13.75 0.46 8.00 13.00 14.00 16.73 7.19 15.00 8.00 28.00 10.88 2.17 8.00 8.00 13.00
Lebar tulang pipi 23.25 1.04 8.00 22.00 25.00 16.80 3.88 15.00 13.00 24.00 18.75 2.12 8.00 15.00 21.00
Lebar geraham (baris gigi) premolar 3.13 0.35 8.00 3.00 4.00 2.47 0.52 15.00 2.00 3.00 2.00 0.00 8.00 2.00 2.00
Lebar geraham (baris gigi) molar 8.13 0.35 8.00 8.00 9.00 6.67 1.35 15.00 5.00 8.00 5.50 0.53 8.00 5.00 6.00
Thoopterus sp 2Thoopterus nigrescens Thoopterus sp 1
188
Lampiran 6 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas A. celebensis di Lamaya dan Kolono
Komponen
Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max
Bobot badan (kg) 7 354.14 32.47 300.90 395.80 11 385.94 74.20 274.40 533.90
Karkas (%) 7 51.98 3.64 47.59 57.24 11 56.04 2.79 50.03 59.11
Daging (%) 7 56.92 4.89 49.77 63.00 11 54.81 3.42 47.06 59.01
Kulit (%) 7 15.54 1.13 14.08 17.72 11 16.06 1.44 13.44 18.63
Tulang (%) 7 21.43 1.99 19.02 24.87 11 19.86 3.35 15.08 25.16
Lemak (%) 7 2.03 1.26 0.00 3.80 11 8.97 5.18 1.90 17.25
Non karkas (%) 7 18.28 2.25 14.72 21.80 11 17.09 2.92 13.41 22.75
Lamaya Kolono
189
Lampiran 7 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan
Kolono
Komponen
Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah samplel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max
Bobot badan ((kg) 7 535.66 92.89 333.60 600.00 7 546.19 163.17 325.00 795.00 7 739.53 20.30 719.50 779.20 15 508.89 25.22 450.00 545.00
Karkas (%) 7 54.85 7.58 41.64 61.74 7 56.03 8.22 40.54 63.70 7 56.55 2.30 52.84 59.79 15 54.49 1.02 247.30 56.34
Daging (%) 7 54.07 10.99 44.40 72.36 7 47.18 4.56 41.22 55.06 7 45.37 2.78 42.39 50.10 15 54.03 1.59 51.23 56.45
Kulit (%) 7 16.80 2.52 15.28 22.27 7 16.54 1.04 15.27 18.60 7 15.63 2.45 13.73 20.96 15 18.49 1.27 16.59 20.37
Tulang (%) 7 19.15 3.58 14.02 24.32 7 20.86 3.34 18.10 26.48 7 18.97 1.76 16.64 20.90 15 18.12 0.86 17.05 19.41
Lemak (%) 7 11.49 6.64 0.00 17.28 7 11.74 8.90 0.00 20.51 7 19.16 2.81 14.30 21.37 15 7.59 1.75 5.93 12.04
Non karkas (%) 7 13.78 1.87 11.67 16.48 7 12.67 2.49 11.01 17.47 7 12.59 1.62 9.91 15.36 15 12.41 0.89 11.20 13.94
Matialemba Pasar Bersehati ManadoLamaya Kolono
190
Lampiran 8 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas Thoopterus spp. di Pakuure
Komponen
Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max
Bobot badan (kg) 9 90.54 39.81 59.80 156.50 5 30.6 6.06 22.5 39.3
Karkas (%) 9 49.29 6.50 42.61 65.49 5 64.07 2.05 61.75 66.63
Daging (%) 9 51.41 3.10 47.49 57.63 5 51.86 3.93 47.26 55.43
Kulit (%) 9 17.21 2.97 11.55 20.13 5 9.34 0.94 8.53 10.95
Tulang (%) 9 21.59 5.12 15.53 29.19 5 19.85 1.92 17.44 21.92
Lemak (%) 9 4.09 6.19 0.00 13.79 5 0.00 0.00 0.00 0.00
Non karkas (%) 9 18.44 5.85 11.05 28.50 5 17.51 2.71 14.03 21.29
Thoopterus nigrescens Thoopterus sp
191
Lampiran 9 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas N. cephalotes di Pakuure
Komponon Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max
Bobot Badan (kg) 8 52.76 5.15 43.1 60
Karkas (%) 8 61.58 3.16 54.77 64.14
Daging (%) 8 50.27 2.23 46.25 53.31
Kulit (%) 8 11.37 0.95 10.40 13.28
Tulang (%) 8 19.09 2.07 17.42 23.44
Lemak (%) 8 4.89 3.07 0.00 7.61
Non karkas (%) 8 17.81 0.68 16.50 18.83
192
Lampiran 10 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan
minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas R. amplexicaudatus di Peonea
Komponon Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max
Bobot badan (kg) 8 97.84 35.05 58.50 149.60
Karkas (%) 8 55.65 2.29 50.99 58.65
Daging (%) 8 51.67 1.77 48.65 53.60
Kulit (%) 8 12.57 2.77 8.92 16.13
Tulang (%) 8 24.29 2.50 21.30 29.68
Lemak (%) 8 10.61 3.16 5.48 14.87
Non karkas (%) 8 15.89 1.95 13.16 18.96
193
Lampiran 11 Intensitas warna senyawa steroid ekstrak n-heksana kelelawar,
daging ternak konvensional, dan ikan cakalang
Jenis daging Perubahan warna Keterangan warna
Kelelawar :
Acerodon celebensis Bening menjadi biru
(++)
Nyctimene chepalotes Bening menjadi biru
(++)
Pteropus alecto Bening menjadi biru
(++)
Pteropus sp Bening menjadi hijau
(++)
Rousettus ampexicaudatus Bening menjadi biru
(++)
Thoopterus nigrescens Bening menjadi biru
pekat (++)
194
Lanjutan lampiran 11
Jenis daging Perubahan warna Keterangan warna
Thoopterus sp 1
Bening menjadi biru
(++)
Thoopterus sp 2 Bening menjadi biru
(++)
Daging babi Bening menjadi biru
(+)
Daging kelinci Bening menjadi biru
(+)
Ikan Bening menjadi hijau
(++)
Ayam Tidak ada perubahan
(-)
++: intensitas warna kuat;+ + intensitas warna lemah; - tidak terdapat steroid
195
Lampiran 12 Uji Alkaloid N. cephalotes, T. nigrescens, dan P. alecto
Jenis daging Perubahan warna Keterangan gambar
W
M
D
N. cephalotes Bening-
cokelat
kemerahan
(+).
Terbentuk
endapan
cokelat
Bening-
keruh (+).
Terbentuk
endapan
putih
Bening-
oranye
(+).
Terbentuk
endapan
oranye
T. nigrescens Bening-
cokelat
kemerahan
(+).
Terbentuk
endapan
cokelat
Bening-
keruh (+).
Terbentuk
endapan
putih
Bening-
oranye(+).
Terbentuk
endapan
oranye
P. alecto Bening-
cokelat
kemerahan
(+).
Terbentuk
endapan
cokelat
Bening-
keruh (+).
Terbentuk
endapan
putih
Bening-
oranye
(+).
Terbentuk
sedikit
endapan
oranye
W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; + endapan
yang terbentuk sedikit.
196
Lampiran 13 Intensitas warna senyawa triterpenoid bumbu masak yang digunakan
dalam pengolahan kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan
cakalang
Jenis bumbu Perubahan warna Keterangan warna
Cabe rawit bening menjadi merah
jambu
(++)
Jahe Bening menjadi merah
jambu (++)
Kunyit Kuning menjadi merah
jambu (+++)
Bawang daun Bening menjadi kuning
kemerahan (+)
Daun sereh Bening menjadi kuning
kemerahan (+)
Rempah
campur
Bening menjadi merah
jambu pekat (+++)
+++: intensitas warna kuat;++ intensitas warna sedang; + intensitas warna lemah
197
Lampiran 14 Uji flavonoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan
daging kelelawar, ternak konvensional, dan ikan cakalang
Jenis bumbu Perubahan warna Keterangan gambar
Jahe Bening menjadi kuning
(+++)
Cabe rawit Bening menjadi kuning
(+++)
Sereh Bening bening jingga
(+++)
Rempah campur Bening menjadi kuning
(+++)
+++: intensitas warna kuat
198
Lampiran 15 Data uji hedonik terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di
masak rica-rica
Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan
Cara Pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica
Panelis/Kode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI
1 3 5 7 7 6 5 5 7 7 3 7 7
2 2 6 5 2 6 6 7 7 7 5 3 7
3 4 5 6 6 7 7 6 5 7 3 6 7
4 2 5 5 4 7 7 6 7 6 4 6 7
5 4 6 7 5 5 6 6 6 7 6 6 7
6 3 7 7 5 7 7 6 7 7 7 7 7
7 4 6 6 2 6 6 2 5 5 2 5 5
8 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6
9 1 5 6 3 5 4 1 7 7 1 7 6
10 1 5 5 1 5 5 4 6 7 3 5 5
11 2 6 7 2 6 5 7 6 6 5 6 5
12 2 6 5 3 4 5 5 5 6 4 5 5
13 4 7 7 6 7 7 6 6 5 5 7 7
14 1 7 6 2 7 6 2 7 6 2 7 6
15 4 5 7 3 6 7 4 6 4 6 6 7
16 3 6 6 5 6 6 4 7 7 3 6 5
17 4 5 6 2 7 6 5 7 7 2 6 6
18 1 5 5 2 6 5 2 5 5 5 5 5
19 1 7 7 1 4 7 6 5 6 2 5 7
20 3 7 7 7 4 7 5 6 7 5 6 7
21 2 6 7 5 6 7 4 6 6 2 6 7
22 2 6 6 3 5 5 5 6 5 5 6 6
23 2 5 5 1 4 5 6 7 6 1 4 6
24 2 7 6 2 6 7 2 6 6 2 6 7
25 1 7 7 3 7 7 2 7 7 2 7 7
26 2 6 6 1 6 5 3 6 5 1 6 6
27 1 7 7 1 7 7 2 7 6 2 7 7
28 2 6 5 2 6 6 2 6 7 4 6 6
29 1 6 7 1 6 6 1 6 5 1 6 7
30 3 7 5 4 5 5 5 6 7 2 6 7
31 4 6 6 4 5 5 6 6 6 2 6 6
32 1 6 5 2 7 6 1 6 7 3 5 7
33 1 6 5 4 6 5 6 7 7 4 7 7
34 1 6 5 1 7 5 1 6 6 1 7 5
35 2 6 5 1 7 5 3 6 7 2 7 6
36 2 6 7 2 6 7 4 6 6 2 7 7
37 1 6 7 2 5 4 6 5 5 5 5 5
38 1 7 5 1 4 4 1 6 5 1 5 5
39 2 5 6 2 3 5 2 7 7 2 5 5
40 1 5 6 2 6 6 5 7 7 2 3 7
41 2 5 6 3 5 6 5 6 6 3 6 6
42 3 5 5 3 5 5 2 5 5 2 5 5
43 1 7 6 4 6 6 4 6 7 4 6 6
44 3 5 6 2 3 4 3 6 6 2 6 5
45 2 6 6 1 6 6 1 6 6 2 6 6
46 1 6 6 1 5 6 2 6 6 3 6 6
47 2 7 6 3 7 6 1 7 7 3 7 7
48 4 6 6 5 5 4 5 6 6 4 5 5
49 1 5 5 1 5 5 3 5 5 3 5 5
50 1 5 5 1 5 5 4 6 7 3 5 5
Total 105 296 298 138 283 283 192 307 309 150 291 306
Rataan 2.1 5.92 5.96 2.76 5.66 5.7 3.84 6.14 6.18 3 5.82 6.12
199
Lampiran 16 Analisis uji Kruskal-Wallis rasa daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Perlakuan N Median Ave Rank Z
1 50 2.000 75.3 -9.59
2 50 6.000 373.0 3.09
3 50 6.000 385.0 3.60
4 50 2.000 123.7 -7.53
5 50 6.000 357.0 2.41
6 50 6.000 352.6 2.22
7 50 4.000 199.0 -4.32
8 50 6.000 412.2 4.76
9 50 6.000 416.2 4.93
10 50 3.000 133.6 -7.11
11 50 6.000 372.7 3.08
12 50 6.000 405.7 4.48
Overall 600 300.5
H = 322.81 DF =11 P = 0.000
H = 339.27 DF = 11 P = 0.000 (adjusted for ties)
200
Lampiran 17 Data uji hedonik terhadap warna daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan
Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica
Panelis/Kode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI
1 2 4 5 7 7 7 6 7 7 4 4 3
2 3 5 5 3 5 5 4 5 5 3 5 6
3 5 5 5 3 5 5 5 7 7 5 5 6
4 2 6 6 5 5 6 2 5 7 2 7 5
5 3 5 5 5 5 5 5 7 7 3 6 5
6 4 5 5 3 5 5 5 7 6 5 7 6
7 3 5 4 3 5 4 6 6 5 4 5 5
8 3 5 5 3 6 5 4 1 3 4 6 3
9 5 6 5 3 6 6 4 6 6 3 5 7
10 3 4 4 3 7 7 3 6 6 3 6 5
11 2 6 6 5 6 5 2 4 4 2 4 3
12 3 5 4 3 5 5 5 6 3 5 6 6
13 5 6 6 5 6 6 6 6 6 5 6 7
14 5 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6
15 5 7 6 5 6 6 4 6 6 4 5 6
16 5 5 6 6 6 6 5 6 7 4 6 7
17 4 7 7 3 7 7 4 7 5 3 6 6
18 5 6 7 5 5 5 6 7 5 6 3 4
19 5 6 6 6 7 6 5 5 5 3 6 6
20 5 6 6 7 7 6 6 7 7 5 7 7
21 6 5 5 4 6 5 4 6 5 3 5 5
22 6 7 6 7 6 7 2 6 6 4 7 6
23 6 7 7 5 7 6 4 3 5 4 4 5
24 5 7 7 5 6 7 5 6 6 6 6 6
25 5 6 6 5 6 6 7 7 6 7 6 6
26 5 6 7 5 5 7 6 6 6 7 6 5
27 6 5 6 5 4 5 6 6 7 7 7 7
28 5 6 5 5 6 5 6 6 6 6 6 5
29 7 7 5 5 6 6 3 7 5 4 6 5
30 5 6 5 7 6 5 6 6 6 6 6 6
31 4 4 5 3 4 5 6 7 6 5 5 6
32 4 6 5 4 6 5 6 5 5 6 5 4
33 5 6 6 5 6 6 6 7 6 6 6 6
34 5 5 5 5 5 5 7 6 6 6 7 6
35 5 5 6 5 6 6 6 7 7 7 6 5
36 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 6 5
37 2 7 5 2 7 4 6 3 5 6 7 5
38 2 6 6 5 6 6 2 6 6 2 5 3
39 2 6 7 5 4 4 6 6 7 6 6 4
40 5 5 5 5 4 4 6 6 6 6 5 6
41 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
42 6 6 5 3 6 5 2 6 3 6 3 1
43 7 5 7 5 7 4 6 4 5 4 5 1
44 2 6 5 2 7 7 2 6 6 2 6 6
45 2 5 5 4 5 7 5 7 6 6 6 5
46 2 5 5 4 5 5 2 6 5 2 6 6
47 3 5 5 3 5 5 3 6 6 3 5 5
48 2 5 5 2 5 5 3 6 6 3 6 6
49 5 5 5 2 5 5 4 6 6 1 4 6
50 3 5 5 4 7 4 2 6 6 4 7 6
Total 210 280 276 221 286 275 233 293 285 226 282 263
Rataan 4.2 5.6 5.52 4.42 5.72 5.5 4.66 5.86 5.7 4.52 5.64 5.26
201
Lampiran 18 Uji Kruskal-Wallis warna daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica
Perlakuan N Median Ave Rank Z
1 50 5.000 179.0 -5.18
2 50 5.500 334.0 1.43
3 50 5.000 322.2 0.93
4 50 5.000 190.8 -4.68
5 50 6.000 359.6 2.52
6 50 5.000 321.8 0.90
7 50 5.000 238.0 -2.66
8 50 6.000 397.0 4.11
9 50 6.000 368.5 2.90
10 50 5.000 226.2 -3.16
11 50 6.000 355.1 2.32
12 50 6.000 313.8 0.57
Overall 600 300.5
H = 97.91 DF =11 P = 0.000
H = 105.64 DF = 11 P = 0.000 (adjuted for ties)
202
Lampiran 19 Data uji hedonik terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan
Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica
Panelis/Kode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI
1 1 7 5 1 4 6 1 6 6 2 3 6
2 5 6 7 4 5 7 7 6 7 4 7 7
3 4 5 6 4 5 7 5 5 7 5 6 7
4 4 5 6 4 5 6 4 6 6 4 6 6
5 2 6 5 2 6 5 2 6 7 2 6 5
6 2 5 6 3 5 5 4 5 6 4 5 6
7 2 5 5 3 5 5 3 6 6 3 6 6
8 3 5 6 3 5 5 4 6 6 4 6 7
9 7 6 6 2 7 6 6 7 6 7 4 7
10 2 6 6 3 6 6 5 6 6 1 5 6
11 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6
12 3 6 6 4 6 6 2 7 6 2 6 6
13 2 5 6 1 3 4 2 6 6 2 6 5
14 2 6 6 1 6 6 3 6 6 2 2 6
15 2 5 5 2 7 5 2 3 6 3 4 6
16 2 6 6 2 6 6 2 6 6 2 7 6
17 2 5 6 2 5 4 2 6 6 4 6 6
18 3 4 4 4 4 4 4 5 6 5 5 6
19 1 5 5 2 3 6 3 6 6 5 3 6
20 2 7 6 2 4 6 4 5 5 4 6 6
21 2 5 5 2 5 5 4 6 6 3 5 5
22 2 6 6 2 6 5 4 6 7 3 6 5
23 3 7 6 3 7 7 4 7 6 3 7 6
24 2 6 6 2 6 5 2 6 5 2 7 5
25 1 6 5 2 6 5 4 6 6 3 6 6
26 1 6 5 3 6 5 3 6 5 3 6 5
27 1 7 6 2 7 7 2 7 6 2 7 6
28 4 6 7 5 7 4 2 4 2 5 4 6
29 4 6 6 3 6 6 4 7 7 4 5 4
30 2 6 5 2 6 6 2 6 7 2 6 6
31 2 4 5 3 4 4 2 5 4 2 5 5
32 4 7 5 6 5 6 6 7 6 5 7 6
33 5 6 6 4 4 5 3 5 6 3 7 5
34 1 6 5 4 7 5 2 6 6 5 6 5
35 2 7 6 2 7 6 2 7 7 2 6 7
36 4 5 5 4 4 6 3 7 7 4 7 7
37 2 5 5 2 5 6 2 6 5 4 6 6
38 2 5 5 5 7 7 5 6 6 4 6 7
39 2 6 5 2 5 5 5 5 6 5 5 6
40 2 5 6 2 5 3 2 3 6 2 6 5
41 2 5 6 1 6 5 3 5 7 2 5 5
42 2 6 6 3 5 6 2 5 5 2 5 6
43 4 5 6 4 6 6 1 7 6 2 6 4
44 1 7 5 2 4 5 2 6 6 1 5 5
45 3 6 7 4 7 7 2 6 6 4 6 7
46 4 7 5 4 7 6 4 5 5 4 6 7
47 2 6 7 1 7 6 1 6 6 1 6 5
48 4 5 6 2 5 6 3 7 7 1 7 6
49 2 7 6 3 6 6 3 5 5 2 6 6
50 1 6 5 2 7 6 1 6 6 1 6 6
Total 126 288 283 137 278 278 156 291 297 153 283 292
Rataan 2.520 5.760 5.660 2.740 5.560 5.560 3.120 5.820 5.940 3.060 5.660 5.840
203
Lampiran 20 Uji Kruskal-Wallis aroma daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica
Perlakuan N Median Ave Rank Z
1 50 2.000 100.6 -8.52
2 50 6.000 390.6 3.84
3 50 6.000 376.1 3.22
4 50 2.000 111.6 -8.05
5 50 6.000 368.3 2.89
6 50 6.000 365.0 2.75
7 50 3.000 143.0 -6.71
8 50 6.000 405.0 4.46
9 50 6.000 419.8 5.08
10 50 3.000 134.6 -7.07
11 50 6.000 388.3 3.74
12 50 6.000 403.2 4.37
Overall 600 300.5
H = 322.81 DF =11 P = 0.000
H = 339.27 DF = 11 P = 0.000 (adjusted for ties)
204
Lampiran 21 Data uji hedonik terhadap keempukan daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari,
dan dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan
Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica
Panelis/Kode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI
1 2 5 5 2 5 4 6 6 7 2 5 5
2 3 7 4 4 4 7 6 6 6 2 6 6
3 1 4 5 2 4 5 6 5 5 7 4 5
4 5 6 7 5 6 6 4 6 6 5 6 7
5 4 6 7 4 6 5 4 6 7 4 5 5
6 4 7 6 4 7 6 5 5 6 5 7 6
7 6 6 5 5 6 5 5 6 6 5 6 6
8 3 5 6 2 5 3 3 6 7 3 4 4
9 5 7 5 5 7 5 5 7 6 5 7 5
10 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
11 5 5 5 5 6 5 6 6 6 4 5 5
12 7 7 7 5 7 5 4 7 7 7 7 6
13 4 7 5 7 7 3 7 6 7 5 7 6
14 5 6 6 5 6 6 6 6 6 7 6 6
15 7 6 6 5 6 6 5 3 6 7 5 6
16 4 6 6 4 5 6 3 6 5 5 6 5
17 5 5 6 5 5 5 6 6 6 5 6 5
18 4 5 6 2 4 6 4 5 6 3 6 6
19 4 6 5 4 6 5 5 6 4 4 6 4
20 5 5 5 5 5 6 6 5 6 6 6 6
21 6 6 6 6 7 6 6 6 7 6 7 7
22 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5 5 6
23 5 7 6 5 5 6 6 7 6 6 7 6
24 5 6 6 5 6 6 5 6 6 6 5 6
25 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 7 7
26 6 6 6 6 6 6 6 6 7 6 6 7
27 6 7 7 6 7 7 7 7 7 7 6 7
28 6 5 5 6 6 6 5 4 6 5 6 6
29 2 7 7 2 6 7 4 7 7 2 6 7
30 5 5 7 5 5 7 5 6 6 5 7 7
31 6 6 6 6 5 5 6 5 7 6 7 6
32 2 7 7 2 7 7 2 7 5 2 5 6
33 2 5 5 2 5 7 3 5 5 3 5 5
34 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5 6 6
35 2 5 6 2 5 5 2 5 5 2 5 5
36 4 6 5 4 5 5 6 6 5 4 5 5
37 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
38 6 6 5 6 6 5 6 5 6 6 5 5
39 5 6 7 5 6 7 5 6 6 5 5 7
40 5 5 6 6 6 6 6 5 7 6 6 7
41 6 5 6 6 5 6 6 6 7 6 6 6
42 7 5 6 3 6 5 5 7 7 5 5 6
43 5 5 6 5 7 5 5 5 6 5 5 6
44 5 6 7 7 5 5 6 6 5 6 7 7
45 7 6 7 7 6 6 7 7 7 7 7 7
46 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6
47 7 5 7 6 7 5 7 7 7 6 7 7
48 5 6 5 5 5 6 6 7 7 6 7 6
49 5 6 7 5 6 5 6 5 5 6 6 7
50 6 6 6 6 7 7 6 5 6 6 6 7
Total 242 289 295 237 287 282 263 292 304 254 294 298
Rataan 4.84 5.78 5.9 4.74 5.74 5.64 5.26 5.84 6.08 5.08 5.88 5.96
205
Lampiran 22 Uji Kruskal-Wallis keempukan daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Perlakuan N Median Ave Rank Z
1 50 5.000 179.0 -5.18
2 50 5.500 334.0 1.43
3 50 5.000 322.2 0.93
4 50 5.000 190.8 -4.68
5 50 6.000 359.6 2.52
6 50 5.000 321.8 0.91
7 50 5.000 238.0 -2.66
8 50 6.000 397.0 4.11
9 50 6.000 368.5 2.90
10 50 4.000 226.2 -3.16
11 50 6.000 355.1 2.32
12 50 6.000 313.8 0.57
Overall 600 300.5
H = 97.91 DF =11 P = 0.000
H = 105.64 DF = 11 P = 0.000 (adjusted for ties)
206
Lampiran 23 Data uji hedonik terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan
Cara Pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica
Panelis/Kode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI
1 3 6 5 3 6 5 3 5 5 3 5 5
2 1 5 6 1 5 6 4 6 7 3 5 6
3 1 4 5 3 4 5 3 4 5 7 4 5
4 3 5 5 5 3 7 6 4 6 5 4 6
5 2 7 5 3 5 5 2 5 6 4 5 7
6 2 6 6 2 6 6 2 6 6 3 6 6
7 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5
8 2 5 6 1 4 5 2 6 7 2 5 6
9 4 6 6 3 5 5 2 5 7 4 6 6
10 2 6 5 3 5 5 1 5 7 2 6 6
11 2 6 6 3 6 6 5 6 6 3 6 6
12 4 5 6 2 5 5 3 7 7 2 5 5
13 3 6 6 2 6 6 2 6 6 3 6 6
14 5 7 7 7 7 7 6 6 7 6 7 7
15 6 6 6 6 6 6 5 6 6 5 6 6
16 1 5 6 2 5 6 6 5 6 4 5 6
17 1 6 5 3 5 5 2 6 6 2 6 6
18 5 5 6 5 5 6 5 6 6 6 6 6
19 1 5 7 1 6 7 2 5 6 2 6 6
20 2 5 7 4 5 5 5 7 7 4 7 7
21 1 5 6 4 6 5 1 6 6 5 5 6
22 2 7 7 3 7 7 2 6 7 2 6 7
23 6 7 7 7 7 7 6 6 7 6 7 7
24 6 6 7 6 6 7 6 7 7 6 7 7
25 7 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 7
26 6 7 6 5 5 6 6 6 6 6 6 5
27 3 6 6 3 5 5 4 5 6 5 5 6
28 2 6 7 2 5 6 1 5 6 1 6 7
29 1 7 6 2 7 7 4 7 6 2 7 5
30 2 7 7 2 5 6 6 7 7 2 5 6
31 2 6 6 3 5 6 5 5 6 5 6 6
32 1 7 7 1 7 7 5 6 6 4 6 7
33 4 7 7 4 7 7 3 6 7 6 7 7
34 1 6 6 2 6 6 4 6 6 4 6 6
35 7 6 7 6 7 7 7 7 5 7 7 7
36 6 6 7 6 6 7 7 6 7 4 6 7
37 6 7 7 6 7 7 6 7 7 7 7 7
38 4 6 5 3 6 6 3 6 6 6 6 5
39 2 6 7 2 6 4 1 5 7 4 6 7
40 2 6 5 2 7 7 4 6 6 5 6 6
41 2 7 7 3 7 6 7 7 7 5 7 6
42 2 5 5 3 5 5 4 6 6 3 6 5
43 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6
44 4 7 5 3 7 7 4 7 5 1 7 4
45 2 6 6 2 6 6 7 7 6 5 7 7
46 3 6 5 3 5 5 3 5 6 3 6 6
47 4 6 5 5 6 5 6 7 7 4 6 7
48 4 5 6 5 6 7 4 5 7 3 6 7
49 3 6 7 1 7 6 6 7 7 3 5 7
50 3 5 7 3 4 6 5 7 7 5 7 7
Total 155 298 304 168 287 298 210 297 315 202 298 309
Rataan 3.1 5.96 6.08 3.36 5.74 5.96 4.2 5.94 6.3 4.04 5.96 6.18
207
Lampiran 24 Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari,
dan dimasak rica-rica
Perlakuan N Median Ave Rank Z
1 50 2.500 121.6 -7.62
2 50 6.000 358.4 2.47
3 50 6.000 377.0 3.26
4 50 3.000 131.4 -7.20
5 50 6.000 336.5 1.54
6 50 6.000 362.1 2.63
7 50 4.000 196.1 -4.43
8 50 6.000 357.0 2.41
9 50 6.000 413.7 4.82
10 50 4.000 178.9 -5.18
11 50 6.000 370.3 2.97
12 50 6.000 402.4 4.34
Overall 600 300.5
H = 219.18 DF =11 P = 0.000
H = 233.86 DF = 11 P = 0.000 (adjusted for ties)